• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi dan Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau Scylla Serrata Forskal di Ekosistem Mangrove Belawan Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Distribusi dan Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau Scylla Serrata Forskal di Ekosistem Mangrove Belawan Sumatera Utara"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

RATNAWATI

117030005/BIO

PROGRAM PASCASARJANA BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

DISTRIBUSI DAN POLA PERTUMBUHAN KEPITING

BAKAU

Scylla serrata

Forskal DI EKOSISTEM MANGROVE

BELAWAN SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh :

RATNAWATI

117030005/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Magister Sains dalam Program Studi

Magister Ilmu Biologi pada Program Pascasarjana

Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara

Oleh :

RATNAWATI

117030005/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(4)

PENGESAHAN

Judul Tesis : DISTRIBUSI DAN POLA PERTUMBUHAN KEPITING BAKAU Scylla serrata Forskal DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : RATNAWATI Nomor Induk Mahasiswa : 117030005

Program Studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si. Dr. T. Alief Aththorik, M.Si Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed Dr. Sutarman, M.Sc

(5)

DISTRIBUSI DAN POLA PERTUMBUHAN KEPITING

BAKAU

Scylla serrata

Forskal DI EKOSISTEM MANGROVE

BELAWAN SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar

Medan, Oktober 2013

(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ratnawati NIM : 117030005

Program Studi : Magister Biologi Jenis karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Distribusi dan Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau Scylla Serrata Forskal di Ekosistem Mangrove Belawan Sumatera Utara

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan,

mengalih media, memformat, mengelola, dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasi Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, Oktober 2013

(7)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si Anggota : 1. Dr. T. Alief Athtorick, M.Si

(8)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap berikut gelar : Dra. Ratnawati.

Tempat dan Tanggal lahir : Perbaungan, 31 Maret 1968

Alamat Rumah : Jl. P.Kemerdekaan No 52 C Binjai Telepon/Faks/HP : 081376865788

e-mail : watiratna14@ymail.com

Instansi Tempat Bekerja : SMA Negeri 4 Binjai

Alamat Kantor : Jl. Cut Nyak Dhien No 132 Binjai Telepon/Faks/HP : 061- 8821608

DATA PENDIDIKAN

SD : SD Negeri no. 101884 Tg.Morawa Tamat : 1981 SMP : SMP Bersubsidi Tg.Morawa Tamat : 1984

SMA : SMA N.1. Tg. Morawa Tamat : 1987

(9)

berjudul “Distribusi dan Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau Scylla serrata Forskal di Ekosistem Mangrove Belawan Sumatera Utara.

Dengan selesainya Tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan masukan hingga selesainya tesis ini 2. Bapak Dr, T. Alief Aththorik, M.Si selaku Anggota Pembimbing yang telah

membimbing dan memberikan arahan hingga selesainya tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed dan Bapak Prof. Dr.Ing. Ternala A. Barus, M.Sc atas masukan dan sarannya demi perbaikan tesis ini.

4. Ketua Program Studi Magister/ Doktor Biologi, Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed dan Sekretaris Program Studi Magister Biologi, Dr. Suci Rahayu, M.Si yang telah memfasilitasi penulis untuk melanjutkan studi di Program Studi Magister Biologi Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Magister Biologi Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan wawasannya kepada penulis.

6. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister.

7. Dekan Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara, Dr. Sutarman, M.Sc atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara.

8. Gubernur Sumatera Utara dan Kepala Bapeda Sumatera Utara Medan yang telah memberikan beasiswa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 pada Sekolah Pascasarjana Biologi Universitas Sumatera Utara.

9. Ayahanda H. Johan M, Alm Ramli Pane dan Ibunda Hj. Lamrah, Hj. Syamsiah Bintang serta suami tersayang Drs. H. Ahmad Ghazali Pane, MM dan anak-anakku terkasih Gugi Imam Nugraha Pane, Dwi Rizki Lirasati Pane dan Yuke Wulandari Pane, Terima kasih atas segala pengorbanan kalian, baik berupa moril maupun materil, budi baik ini tidak dapat dibalas, hanya diserahkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, Oktober 2013

(10)

DISTRIBUSI DAN POLA PERTUMBUHAN KEPITING

BAKAU

Scylla serrata

Forskal DI EKOSISTEM MANGROVE

BELAWAN SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Suatu kajian telah dibuat tentang distribusi dan pola pertumbuhan kepiting bakau Scylla serrata Forskal di ekosistem mangrove Belawan Sumatera Utara. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keterkaitan karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove dengan distribusi kepiting bakau berdasarkan jenis kelamin dan kelas ukuran, mengetahui pola pertumbuhan kepiting bakau S. serrata di ekosistem mangrove Belawan Sumatera Utara. Karakteristik habitat kepiting bakau berdasarkan parameter biofisik kimia pada tiap stasiun dianalisa menggunakan analisis komponen utama, pola pertumbuhan dengan regresi linear dan distribusi kepiting bakau berdasarkan kelas ukuran dan jenis kelamin menggunakan analisis koresponden. Hasil analisis komponen utama memperlihatkan informasi penting terpusat pada dua sumbu utama sebesar 51,84% dan 27,43%, serta mampu mengelompokkan 3 kelompok stasiun. Hasil analisis koresponden memperlihatkan informasi distribusi spasial terpusat pada 2 sumbu utama sebesar 47,32% dan 46,59%. Kepiting bakau jantan dan betina berukuran kecil banyak ditemukan di habitat yang memiliki kecepatan arus serta substrat debu dan liat tinggi; kepiting bakau betina berukuran besar di habitat yang memiliki DO, kecerahan, kedalaman, pH, salinitas, dan substrat pasir tinggi, memiliki kerapatan mangrove jenis A. marina, A. alba,L. racemosa, R. apiculata, S. alba,S. caseolaris,N. fruticans, B. gymnorrhizaR. mucronata tinggi; kepiting bakau jantan dan betina berukuran sedang, kepiting jantan berukuran besar banyak ditemukan di habitat yang memiliki kecepatan arus, fraksi substrat debu dan liat tinggi, memiliki kerapatan mangrove jenis H. littoralis dan E. agallocha tinggi. Pola pertumbuhan kepiting bakau di ekosistem mangrove Belawan adalah allometrik negatif.

(11)

ABSTRACT

A study was made on distribution and growth pattern mud crab Scylla serrata. in Belawan mangrove ecosystem, North Sumatra. This study was aimed to know biophysical and chemical characteristics relationships among mangrove ecosystems with mud crab distribution based sex and size. To know growth patter of mud crab in Belawan mangrove ecosystem, North Sumatra. Mud crab habitat characteristic based on biophysical and chemical parameters at each station was evaluated using principal component analysis, growth pattern using linear regression, and mud crab spatial distribution based on sex and size using correspondence analysis.

P

rincipal component analysis results described that correlation between parameters centered on two main axes, explaining 51.84% and 27,43%, and can be classified three groups of station. Analysis of mud crab distribution based on sex and size class showed information which centered on two main axes, explaining 47,32% dan 46,59%. Small male and female-sized of mud crab were found in habitats which have current speed, high dust and clay substrate; big size female mud crab found in habitats which have DO, brightness, dept, pH, salinity, and high sand substrate. It have high mangrove density of

spesies A. marina, A. alba,L. racemosa, R. apiculata, S. alba, S. caseolaris, N. fruticans, B. gymnorrhiza R. mucronata; midle size male and female and big

size male of mud crab werw found in habitats which have current speed, high dust

and clay substrate, It have high mangrove density of spesies H. littoralis and E. agallocha. Growth patter of mud crab in Belawan mangrove ecosystem

included negative allometric

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

DATAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Kerangka Pemikiran 4

1.4. Tujuan Penelitian 4

1.5. Manfaat Penelitian 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau 6

2.2. Daur Hidup Kepiting Bakau 8

2.3. Pertumbuhan Kepiting Bakau 9

2.4. Makanan dan Kebiasaan Makan 10 2.5. Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat Kepiting Bakau 10

2.6. Deskripsi Hutan Mangove 13

2.7. Komposisi Jenis dan Parameter Lingkungan Mangove 13 2.8. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove 14 2.9. Peran Ekosistem Mangrove sebagai Habitat Kepiting Bakau 16

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 17

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 18

3.2. Alat dan Bahan Penelitian 18

(13)

Parameter Biofisik Kimia pada Tiap Stasiun 23

3.6.3. Kelimpahan Kepiting Bakau 23

3.6.4. Distribusi Kepiting Bakau Menurut Jenis Kelamin

dan Kelas Ukuran 24

3.6.5. Pola Pertumbuhan 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 25

4.1. Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat 25 4.1.1. Suhu Air dan Kecerahan Air 25 4.1.2. Kecepatan Arus dan Kedalaman Air 26 4.1.3. pH Air, Salinitas Air danOksigen Terlarut 27

4.1.4. Fraksi Substrat 28

4.2. Parameter Biologi 29

4.2.1. Kelimpahan Kepiting Bakau Menurut Jenis

Kelamin 29

4.2.2. Kelimpahan Kepiting Bakau Menurut Kelas

Ukuran 31

4.2.3. Vegetasi Mangrove 32

4.3. Karakteristik Habitat Kepiting Bakau 37 4.4. Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau 39 4.5. Distribusi Kepiting Bakau Menurut Jenis Kelamin

dan Kelas Ukuran 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 42

DAFTAR PUSTAKA 44

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Gambar Judul Halaman

1.1 Diagram Kerangka Pemikiran 5

2.1 Daur Hidup Kepiting Bakau Scylla serrata 9

3.1 Peta Lokasi Penelitian 19

3.2 Bubu yang Digunakan untuk Menangkap Kepiting Bakau 21 3.3 Metode Transek Garis dalam Pengukuran Vegetasi

Mangrove 22

4.1 Kelimpahan Kepiting Bakau Menurut Jenis Kelamin

(ind/m3) pada Tiap Stasiun. 30

4.2 Kelimpahan Kepiting Bakau Menurut Kelas Ukuran

(ind/m3) pada Tiap Stasiun. 31

4.3 Diagram Lingkaran Korelasi antara Jenis Mangrove pada

Sumbu 1 dan 2 35

4.4 Diagram Sebaran Stasiun Penelitian Berdasarkan Jenis

Mangrove pada Sumbu 1 dan 2. 36

4.5 Diagram Lingkaran Korelasi antara Parameter Biofisik

Kimia Lingkungan pada Sumbu 1 dan Sumbu 2 37 4.6 Diagram Sebaran Stasiun Penelitian Berdasarkan

Parameter Biofisik Kimia Lingkungan pada Sumbu 1 dan

Sumbu 2 38

4.7 Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau Scylla serrata 39 4.8 Diagram Analisis Koresponden Keterkaitan Stasiun

Pengamatan dengan Distribusi Kepiting Bakau Menurut

(15)

2.1 Morfologi Kepiting Bakau 8 3.1 Parameter yang Diukur, Satuan, Alat/Bahan/Metode yang

Digunakan dan Tempat Pengukuran 20

4.1 Nilai Parameter Fisik Kimia Air pada Tiap Stasiun 25 4.2 Nilai Fraksi Substrat (%) pada Tiap Stasiun 29 4.3 Kerapatan Jenis Mangrove (ind/Ha) Kategori Pohon pada

Tiap Stasiun 33

4.4 Kerapatan Jenis Mangrove (ind/Ha) Kategori Permudaan pada Tiap Stasiun

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Lampiran Judul Halaman

A Hasil Analisis Fraksi Substrat pada Tiap Stasiun L-1 B Hasil Analisis Komponen Utama Vegetasi Mangrove L-2 C Hasil Analisis Komponen Utama Karakteristik Habitat L-6 D Hasil Analisis Koresponden Kepiting Bakau Menurut

Jenis Kelamin dan Kelas Ukuran pada Tiap Stasiun L-11

E Hasil Analisis Regresi Linear L-15

F Sampel Kepiting Bakau S. serrata di Lokasi Kajian L-16 G Foto Penarikan Transek Garis dalam Pengukuran

(17)

ABSTRAK

Suatu kajian telah dibuat tentang distribusi dan pola pertumbuhan kepiting bakau Scylla serrata Forskal di ekosistem mangrove Belawan Sumatera Utara. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keterkaitan karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove dengan distribusi kepiting bakau berdasarkan jenis kelamin dan kelas ukuran, mengetahui pola pertumbuhan kepiting bakau S. serrata di ekosistem mangrove Belawan Sumatera Utara. Karakteristik habitat kepiting bakau berdasarkan parameter biofisik kimia pada tiap stasiun dianalisa menggunakan analisis komponen utama, pola pertumbuhan dengan regresi linear dan distribusi kepiting bakau berdasarkan kelas ukuran dan jenis kelamin menggunakan analisis koresponden. Hasil analisis komponen utama memperlihatkan informasi penting terpusat pada dua sumbu utama sebesar 51,84% dan 27,43%, serta mampu mengelompokkan 3 kelompok stasiun. Hasil analisis koresponden memperlihatkan informasi distribusi spasial terpusat pada 2 sumbu utama sebesar 47,32% dan 46,59%. Kepiting bakau jantan dan betina berukuran kecil banyak ditemukan di habitat yang memiliki kecepatan arus serta substrat debu dan liat tinggi; kepiting bakau betina berukuran besar di habitat yang memiliki DO, kecerahan, kedalaman, pH, salinitas, dan substrat pasir tinggi, memiliki kerapatan mangrove jenis A. marina, A. alba,L. racemosa, R. apiculata, S. alba,S. caseolaris,N. fruticans, B. gymnorrhizaR. mucronata tinggi; kepiting bakau jantan dan betina berukuran sedang, kepiting jantan berukuran besar banyak ditemukan di habitat yang memiliki kecepatan arus, fraksi substrat debu dan liat tinggi, memiliki kerapatan mangrove jenis H. littoralis dan E. agallocha tinggi. Pola pertumbuhan kepiting bakau di ekosistem mangrove Belawan adalah allometrik negatif.

(18)

DISTRIBUTION AND GROWT PATTERN MANGROVE CRAB

Scylla serrata Forskal

IN BELAWAN MANGROVE

ECOSYSTEM, NORTH SUMATRA

ABSTRACT

A study was made on distribution and growth pattern mud crab Scylla serrata. in Belawan mangrove ecosystem, North Sumatra. This study was aimed to know biophysical and chemical characteristics relationships among mangrove ecosystems with mud crab distribution based sex and size. To know growth patter of mud crab in Belawan mangrove ecosystem, North Sumatra. Mud crab habitat characteristic based on biophysical and chemical parameters at each station was evaluated using principal component analysis, growth pattern using linear regression, and mud crab spatial distribution based on sex and size using correspondence analysis.

P

rincipal component analysis results described that correlation between parameters centered on two main axes, explaining 51.84% and 27,43%, and can be classified three groups of station. Analysis of mud crab distribution based on sex and size class showed information which centered on two main axes, explaining 47,32% dan 46,59%. Small male and female-sized of mud crab were found in habitats which have current speed, high dust and clay substrate; big size female mud crab found in habitats which have DO, brightness, dept, pH, salinity, and high sand substrate. It have high mangrove density of

spesies A. marina, A. alba,L. racemosa, R. apiculata, S. alba, S. caseolaris, N. fruticans, B. gymnorrhiza R. mucronata; midle size male and female and big

size male of mud crab werw found in habitats which have current speed, high dust

and clay substrate, It have high mangrove density of spesies H. littoralis and E. agallocha. Growth patter of mud crab in Belawan mangrove ecosystem

included negative allometric

(19)

1.1.Latar Belakang

Kepiting bakau Scylla serrata Forskal termasuk ke dalam filum Arhtropoda, kelas Crustacea, ordo Decapoda, dan family Portunidae (Motoh, 1977; Keenan et al., 1998). Dalam perdagangan internasional kepiting bakau lebih dikenal dengan sebutan mangrove crab atau mud crab. Di Indonesia kepiting ini dikenal dengan nama kepiting lumpur (mud crab), sedangkan di Medan lebih dikenal dengan nama ketam kelapa. Kepiting bakau memiliki potensi nilai ekonomis penting di wilayah Indo-Pasifik. Dewasa ini kepiting bakau sangat digemari oleh masyarakat sebab selain memiliki daging yang lezat (terutama kepiting yang matang gonad) juga mengandung protein yang cukup tinggi. Sulaeman (1992) menyatakan setiap

100 g daging kepiting bakau segar mengandung 13,6 g protein, 3,8 g lemak, 14,1 g hidrat arang, dan 68,1 g air. Sulaeman dan Hanafi (1992) menyatakan telur

kepiting bakau mengandung 88,55% protein dan 8,16% lemak, sedangkan Susanto (2008) melaporkan bahwa dalam 100 g daging kepiting bakau mengandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6 (AA) yang penting untuk pertumbuhan dan kecerdasan anak.

(20)

2

pengembangan sektor perikanan di wilayah pesisir, terutama yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti kepiting bakau S. serrata. Tingginya produktivitas dan adanya ketersediaan pakan alami pada ekosistem ini, menjadikan kepiting bakau berukuran kecil (pasca larva dan juvenil) akan tumbuh dan berkembang menjadi kepiting dewasa.

Ekosistem mangrove Belawan adalah salah satu kawasan yang terletak di pesisir timur Sumatera Utara, dan memiliki luasan mangrove sekitar 2.967,32 Ha. Kawasan ekosistem mangrove Belawan terletak pada 2 wilayah administratif yaitu: Kotamadya Medan yang memiliki luasan mangrove ± 1.967,32 Ha dan Kabupaten Deli Serdang dengan luasan mangrove ± 1.000 Ha (Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2011), Pada saat ini di beberapa bagian kawasan Ekosistem Mangrove Belawan telah mengalami degradasi akibat adanya kegiatan konversi lahan menjadi peruntukan lain, seperti lahan permukiman, perkebunan, pertambakan, dan wisata. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas habitat untuk sumberdaya kepiting bakau akibat terjadinya kerusakan daerah asuhan dan mencari makan biota ini. Hasil wawancara dengan nelayan dan masyarakat di sekitar kawasan, memperlihatkan bahwa pada lima tahun terakhir ini telah terjadi penurunan hasil tangkapan nelayan terhadap komoditas kepiting bakau, dimana pada tahun-tahun sebelumnya setiap nelayan dapat memperoleh hasil tangkapan rata-rata 7-10 kg/hari, tetapi pada saat ini hanya mencapai 4-6 kg/hari. Demikian pula dengan ukuran kepiting bakau yang didapat relatif lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata memiliki ukuran/size 2 (kelas jumbo dan A), tetapi pada saat ini kepiting yang didapatkan hanya berukuran/size 4 – 5 (kelas B dan C), walaupun terkadang masih didapatkan ukuran/size 2 (kelas A). Kondisi ini diduga terjadi karena adanya degradasi lingkungan pada ekosistem mangrove, akibat konversi lahan menjadi peruntukan lain. Pengkonversian hutan mangrove menjadi peruntukan lain dapat mengurangi fungsi ekosistem ini dalam menunjang kehidupan kepiting bakau yang hampir seluruh siklus hidupnya sangat bergantung pada ekosistem mangrove.

(21)

upaya-upaya pengelolaan baik yang mencakup upaya-upaya konservasi habitat, maupun upaya-upaya pemulihan bagi populasi kepiting bakau. Hal ini mengingat pentingnya nilai manfaat ekologi dari ekosistem mangrove sebagai habitat kepiting bakau maupun nilai ekonomi yang dimiliki kepiting bakau sebagai salah satu komoditas unggulan daerah di bidang perikanan. Untuk mencapai upaya tersebut dibutuhkan data dan informasi mengenai aspek ekologi kepiting bakau yang mencakup distribusi spasial menurut jenis kelamin dan kelas ukuran, maupun pola pertumbuhannya.

1.2. Perumusan Masalah

Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya sangat dipengaruhi oleh produktivitas, ketersediaan pakan alami, dan kualitas habitat ekosistem mangrove. Semakin menurunnya populasi kepiting bakau di alam selain disebabkan adanya penangkapan, juga disebabkan telah terjadinya penurunan kerapatan mangrove akibat adanya pengkonversian lahan menjadi peruntukan lain. Fungsi ekosistem

mangrove seperti menyediakan berbagai makanan bagi kepiting bakau, baik dalam bentuk material organik yang terbentuk dari jatuhan serasah, maupun berbagai jenis pakan alami lainnya. Kepiting bakau umumnya hidup sebagai fauna bentik di ekosistem mangrove dan mendapatkan makanan dari substrat dasar perairan. Kerapatan mangrove yang tinggi dapat meningkatkan tingkatan hidup kepiting bakau, disebabkan perakaran mangrove yang menjulur ke dalam perairan menjadikannya sebagai tempat berlindung bagi kepiting muda dari serangan predator.

(22)

4

1.3 Kerangka Pemikiran

Degradasi ekosistem mangrove dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan populasi kepiting bakau di alam. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan upaya pelestarian melalui upaya konservasi habitat maupun pemulihan bagi populasi kepiting bakau yang sudah tidak stasbil. Upaya konservasi habitat dilakukan dengan menganalisa karakteristik biofisik kimia lingkungan, yang diperoleh dengan melakukan pengklasifikasian wilayah berdasarkan kawasan alami dan pemanfaatan, serta karakteristik khusus yang terdapat pada setiap stasiun.

Pemulihan populasi kepiting bakau dapat dilakukan dengan mengetahui struktur populasi melalui analisa kelimpahan, distribusi spasial berdasarkan jenis kelamin dan kelas ukuran, serta pola pertumbuhannya di ekosistem mangrove Belawan Sumatera Utara. Kerangka pemikiran tersaji pada Gambar 1.1.

1.4.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui keterkaitan karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove dengan distribusi kepiting bakau berdasarkan jenis kelamin dan kelas ukuran. 2. Mengetahui pola pertumbuhan kepiting bakau S. serrata di ekosistem

mangrove Belawan Sumatera Utara.

1.5.Manfaat Penelitian

(23)

Gambar 1.1. Diagram Kerangka Pemikiran Degradasi ekosistem mangrove

Penurunan populasi kepiting bakau Karakteristik biofisik kimia

ekosistem mangrove

Biologi Fisik-kimia

Suhu air

Kecerahan

Kecepatan arus Kerapatan

mangrove

Kedalaman air

Fraksi substrat

DO

Salinitas air

pH air

Struktur populasi

Distribusi kelas ukuran

dan jenis kelamin

Pola pertumbuhan Konservasi

habitat

Pemulihan populasi

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau

Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yang terdiri atas enam subfamili yaitu: Carcininae, Polybiinae, Caphyrinae, Catoptrinae, Podophthalminae dan Portuninae. Portunidae tergolong ke dalam kelompok kepiting perenang (swimming crabs), karena memiliki pasangan kaki terakhir yang memipih, dan dapat digunakan untuk berenang, Kepiting bakau merupakan biota yang termasuk ke dalam famili Portunidae. Motoh (1977), mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut

Filum : Arthropoda Subfilum : Mandibulata Kelas : Crustasea Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Subordo : Pleocyemata Famili : Portunidae Subfamili : Portuninae Genus : Scylla

Spesies : Scylla serrata Forskal

(25)

di antara kedua tangkai mata terdapat enam buah duri kokoh pada bagian atas dan dua duri kokoh pada bagian bawah kiri dan kanan. Sepasang duri pertama pada bagian anterolateral kiri dan kanan karapas, serta dua pasang duri pada bagian atas dan bawah karapas berada dalam posisi mengelilingi rongga mata dan berfungsi melindungi mata. Duri-duri pada bagian depan karapas memiliki bentuk dan ketajaman yang bervariasi antar jenis, sehingga menjadi salah satu faktor pembeda dalam identifikasi jenis kepiting bakau.

Keenan et al., (1998) menyatakan kepiting bakau terdiri atas empat jenis yaitu: Scylla serrata, S. tranquebarica, S. pararamosain dan S. olivacea. Estampador (1949) dalam Mulya (2000) membagi genus Scylla atas tiga jenis dan satu varietas, yaitu: S. serrata (Forskal), S. oceanica (Dana), S. tranquebarica (Fabricius) dan S. serrata var. paramamosin (Estampador). Keempat jenis Scylla tersebut dapat dibedakan melalui warna sebagai salah satu faktor pembeda utama, walaupun menurut Warner (1977), identifikasi jenis berdasarkan warna tubuh saja mungkin akan keliru, karena kondisi setempat seperti cahaya, panas dan warna latar belakang habitat tempat kepiting bakau hidup, dapat berdampak terhadap dispersi pigmen pada tubuh kepiting. Estampador (1949) dalam Mulya (2000) mendeskripsikan keempat jenis kepiting bakau sebagai berikiut: Kepiting bakau jenis S. oceanica dan S. tranquebarica mempunyai warna dasar kehijauan atau

hijau keabu-abuan, atau disebut juga warna hijau buah zaitun, sedangkan S. serrata dan S. serrata var. paramamosin mempunyai warna dasar hijau merah

(26)

8

Tabel 2.1. Morfologi Kepiting Bakau

S. oceanica S. tranquebarica S. serrata S. serrata var. Paramamosin

Warna

Hijau menuju hijau keabu-abuan

Hijau buah zaitun

Hijau coklat merah seperti karat

Coklat abu-abu

Bentuk seperti huruf H pada karapas

Dalam Dalam Tidak begitu

dalam

Tidak begitu dalam

Bentuk gerigi

depan karapas - - Tumpul Sedang

Bentuk duri pada fingerjoint Kedua duri jelas dan runcing

Kedua duri jelas dan satu agak tumpul

Duri tidak ada, berubah menjadi vestigial - Bentuk rambut/ setae Melimpah

pada karapas -

Hanya pada

daerah hepatik -

Sumber : Estampador (1949) dalam Mulya (2000)

2.2. Daur Hidup Kepiting Bakau

Kepiting bakau melangsungkan perkawinannya di perairan hutan mangrove, dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan bermigrasi ke perairan laut, untuk mencari perairan yang parameter lingkungannya sesuai (terutama suhu dan salinitas perairan) sebagai tempat memijah (Hill, 1974 dan Le Reste et al., 1976). Kepiting bakau jantan setelah melakukan perkawinan akan tetap berada di perairan hutan mangrove, tambak atau sela-sela perakaran mangrove.

Perkembangan kepiting bakau dalam daur hidupnya dibagi atas tiga stadia, yaitu: stadia embrionik, larva dan pascalarva. Motoh (1977) dan Soim (1999) menyatakan perkembangan kepiting bakau S. serrata mulai dari telur hingga mencapai dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan, yaitu: stadia zoea, megalopa, kepiting muda (juvenil) dan kepiting dewasa (Gambar 2.1).

Setelah telur menetas di perairan laut, muncul larva tingkat I (zoea I) yang akan terus menerus berganti kulit (moulting), kemudian terbawa arus ke perairan

pantai, hingga mencapai stadia zoea V. Proses ini memerlukan waktu minimal 18 hari. Setiap kali pergantian kulit, zoea akan tumbuh dan berkembang yang

(27)

(Warner, 1977). Zoea V kemudian akan mengalami pergantian kulit menjadi megalopa, yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Menurut Motoh (1977), megalopa yang lebih mirip kepiting dewasa sering dirujuk sebagai kepiting pada stadia pascalarva. Proses perkembangan dari stadia megalopa ke stadia kepiting muda (juvenil) memerlukan waktu 11-12 hari. Kepiting bakau muda akan bermigrasi kembali ke hulu estuari, kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove, hingga berkembang menjadi kepiting bakau dewasa.

Gambar 2.1. Daur Hidup Kepiting Bakau Scylla serrata (Soim, 1999).

2.3. Pertumbuhan Kepiting Bakau

(28)

10

molting tubuh kepiting akan bertambah besar sekitar sepertiga kali dari sebelumnya dan panjang karapas meningkat 5-10 mm (seitar 2 kali dari ukuran semula). Kepiting dewasa umur 12 bulan memiliki panjang karapas 170 mm dan berat sektar 200 g/ekor (Gufron dan Kordi, 2000).

2.4. Makanan dan Kebiasaan Makan

Kepiting bakau merupakan organisme pemakan bangkai ( omnivorous-scavenger) dan pemakan sesama jenis (kanibal). Kepiting bakau dewasa juga merupakan organisme pemakan bentik atau organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, jenis-jenis gastropoda dan krustase (Hutching dan Sesanger, 1987). Snedaker dan Getter (1985 menyatakan kepiting bakau adalah organisme yang memakan serasah mangrove, dimana habitatnya adalah perairan intertidal (dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur.

Di alam, biasanya kepiting bakau berukuran lebih besar akan menyerang kepiting yang lebih kecil dan melumpuhkannya dengan merusak umbai-umbai kemudian merusak karapas menjadi potongan-potongan selanjutnya mengambil bagian- bagian yang lunak dari mangsanya untuk dimakan. Tangan dan sapit kepiting yang besar memungkinkannya menyerang musuh dengan ganas atau merobek makanannya. Sobekan makanan tersebut dibawa ke mulut menggunakan kedua sapitnya (Arriola, 1940 dalam Moosa et al., 1985). Waktu makan kepiting bakau tidak beraturan tetapi malam hari lebih aktif dibanding siang hari sehingga kepiting bakau digolongkan sebagai hewan nokturnal yang aktif makan di malam hari (Queensland Department of Primary Industries, 1989).

2.5. Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat Kepiting Bakau 2.5.1. Suhu Perairan

(29)

besar lebih tahan terhadap suhu yang tinggi. Dengan ukuran karapas yang lebih besar maka proses penguapan cairan tubuh akan berlangsung lebih lama.

2,5.2. Salinitas

Salinitas merupakan parameter lingkungan yang mempengaruhi proses biologi dan secara langsung akan mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan yang dikonsumsi dan daya kelangsungan hidup biota air (Kinne, 1964 dalam Sukarya, 1991). Perubahan yang terjadi pada salinitas air dapat mempengaruhi sifat fungsional dan struktural organisme yaitu melalui perubahan osmosis konsentrasi total, keseimbangan cairan tubuh, densitas dan viskositas.

Setiap fase siklus hidup suatu spesies membutuhkan kisaran salinitas yang berbeda (Clark, 1974). Diantara hewan golongan krusrasea, kepiting bakau memiliki pengaturan osmosis yang berkembang lebih baik dibanding jenis lainnya. Kombinasi antara permiabilitas tubuh yang sangat terbatas karena adanya kerangka luar menjadi penyebab biota ini dapat hidup di kawasan estuaria (Nybakken, 1992).

2.5.3. pH Air

Derajat keasaman atau pH menggambarkan aktifitas potensial ion hirogen dalam perairan yang dinyakatan sebagai konsentrasi ion hidrogen (mol/L) pada suhu tertentu, atau pH = - log (H+). Air murni mempunyai nilai pH = 7, dan dinyatakan netral, sedang pada air payau berkisar antara 7 – 9 (Boyd, 1990). Konsentrasi pH mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan yang asam cenderung menyebabkan kematian pada biota perairan umumnya, demikian juga pada pH yang mempunyai nilai kelewat basa. Hal ini disebabkan konsentrasi oksigen akan rendah sehingga aktifitas pernafasan tinggi dan berpengaruh terhadap menurunnya nafsu makan. (Ghufron dan Kordi, 2005).

Nilai pH air dipengaruhi oleh konsentrasi CO2. Pada siang hari karena

terjadi fotosintesis maka konsentrasi CO2 menurun sehingga pH airnya

(30)

12

CO2 hasil respirasi sehingga pH air menurun. Namun demikian air payau cukup

ter-buffer dengan baik sehinga pH airnya jarang turun mencapai nilai dibawah 6,5 atau meningkat hingga mencapai nilai 9, sehingga efek buruk pada biota air yang hidup di kawasan ini jarang terjadi (Boyd, 1990). Proses penguraian bahan organik menjadi garam mineral, seperti amonia, nitrat dan fosfat akan lebih cepat jika kisaran pH berada pada kisaran basa (Afrianto dan Liviawati, 1991). Pada pH diatas 7, amonia dalam molekul NH3 akan lebih dominan dari ion NH4. Menurut

Amir (1994) kepiting bakau mengalami pertumbuhan dengan baik pada kisaran pH 7,3 – 8,5.

2.5.4. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut dalam perairan berasal dari dua sumber utama yaitu dari proses difusi gas O2 dari udara bebas saat ada perbedaan tekanan parsial di udara

dan masuk ke dalam air, dan bersumber dari fotosintesa. Difusi gas ini dalam air dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Difusi akan menurun sejalan dengan meningkatnya salinitas dan suhu air. Pengaruh fotosintesa pada keberadaan oksigen dalam air tergantung pada kemelimpahan fitoplankton dan kekeruhan. Fitoplankton akan berpengaruh pada produksi dan konsumsi oksigen sedangkan kekeruhan lebih berpengaruh pada benyaknya produksi oksigen. Oksigen terlarut tidak saja digunakan untuk pernafasan biota dalam air tetapi juga untuk proses biologis lainnya. Jika oksigen terlarut dalam keadaan minim dapat menyebebkan stres dan meningkatkan peluang infeksi penyakit. Bila konsentrasi oksigen terlarut < 3 mg/L, maka nafsu makan biota akan berkurang dan tidak dapat berkembang dengan baik (Boyd, 1990).

Menurut Ramelan (1994) kepiting bakau bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dengan kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 4 mg/L. Kepiting bakau akan mengalami stress bila kadar oksigen terlarut < 3 mg/L.

2.5.5. Substrat Dasar Perairan

(31)

dapat mengendap dengan cepat disebabkan perairan di sekitar ekosistem mangrove relatif tenang atau terlindung. Dalam kaitannya dengan kehidupan dan sebaran kepiting bakau, substrat dasar perairan merupakan salah satu faktor yang sangat penting (Moosa et al., 1985).

2.6. Deskripsi Hutan Mangrove

Kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis ya.itu mangue dan bahasa Inggris yaitu grove (McNae, 1968). Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan baik untuk komunitas pepohonan atau rerumputan, atau semak belukar yang tumbuh di daerah pesisir, maupun untuk jenis tumbuhan lainnya yang berasosiasi dengannya. Kata mangrove dalam Bahasa Portugis digunakan untuk jenis tumbuhan, dan kata mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas jenis mangrove tersebut. Menurut UU Nomor 5 tahun 1967, kata mangrove menunjukkan vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, dan dapat juga tumbuh pada pantai karang atau dataran koral mati, yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau lumpur, atau pada pantai berlumpur (Darsidi, 1986).

2.7. Komposisi Jenis dan Parameter Lingkungan Mangrove

Komunitas mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia, dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies, yang terdiri atas 35 spesies

tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasitik (Nontji, 1987). Beberapa jenis yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah: bakau (Rhizophora), api-api (Avicennia), pedada (Sonneratia), tancang (Bruguiera), nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops) dan buta-buta (Exoecaria).

(32)

14

mangrove biasanya didominasi oleh bakau. Lebih ke arah daratan (hulu) pada tanah lempung, biasanya tumbuh komunitas tancang. Paku laut (Acrostichum aureum) dan jeruju (Acanthus ilicifolius), seringkali dijumpai di daerah pinggiran pohon-pohon mangrove sebagai tumbuhan bawah (Dahuri, 1996). Jenis palma yang disebut nipa (Nypa fruticans) merupakan salah satu komponen penyusun komunitas mangrove dan seringkali tumbuh di tepian sungai ke arah hulu dengan pengaruh air tawar yang sangat dominan.

Parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove adalah pasokan air tawar, salinitas, stabilitas substrat, dan pasokan nutrien. Ketersediaan air tawar dan parameter salinitas yang mengendalikan efisiensi metabolisme dari ekosistem mangrove, dipengaruhi oleh frekwensi dan volume air tawar, frekwensi dan volume pertukaran pasang surut, serta tingkat evaporasi. Stabilitas substrat dipengaruhi oleh kecepatan aliran air tawar dan muatan sedimen yang dikandungnya, laju limpasan arus pasang surut, serta gaya gelombang (Berwick, 1983). Pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove dipengaruhi oleh berbagai proses yang saling terkait meliputi masukan ion-ion mineral organik dan anorganik, serta pendaur ulangan nutrien secara internal melalui jaring makanan berbasis (detritus).

2.8. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove, merupakan sumberdaya alam wilayah tropis, yang memiliki manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas terhadap aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Besarnya peranan ekosistem mangrove terhadap kehidupan dapat dilihat dari keragaman jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas substrat, maupun di tajuk-tajuk tumbuhan mangrove, serta ketergantungan manusia secara langsung terhadap ekosistem ini (Naamin, 1991).

(33)

primer yang terdiri dari zooplankton, ikan dan krustasea, sampai akhirnya dimangsa oleh manusia sebagai konsumer utama Ekosistem mangrove juga merupakan pendaur ulang zat hara tanah yang diperlukan bagi tanaman. Hasil penelitian di Florida menunjukan bahwa 90,0% kotoran hutan mangrove menghasilkan 35-60% unsure hara yang terlarut di pantai. Pada awal pembusukan, daun-daun bakau (Rhizophora spp.) mengadung kadar protein 3,1% dan setelah satu tahun meningkat menjadi 21,0%. Kadar N daun kering adalah sekitar 0,55 kg dan diperkirakan setelah satu tahun menghasilkan sekitar 47 kg N. Produksi serasah dalam satu hektar lahan hutan magrove dapat mencapai 7,1 – 8,8 ton per tahun.

Mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik dengan berbagai macam fungsi yakni fungsi fisik, biologi dan ekonomi atau produksi (Naamin, 1991). Fungsi fisik dari ekosistem mangrove adalah menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai, sebagai perangkap bahan pencemar dan limbah, perlindungan bagi tata guna lahan di wilayah pantai dari badai dan tsunami, pencegahan terhadap intrusi garam, pemurnian alami perairan pantai terhadap polusi, serta suplai detritus dan zat hara untuk perairan pantai di dekatnya. Fungsi biologi ekosistem mangrove adalah sebagai daerah asuhan bagi larva dan individu muda, tempat bertelur, tempat mencari makan serta habitat alami berbagai jenis biota, yang beberapa diantaranya memiliki nilai komersial. Daun-daun mangrove yang berjatuhan dan berakumulasi pada sedimen mangrove sebagai lapisan sisa-sisa daun (leaf litter), mendukung kehadiran sejumlah besar komunitas organisme detrital. Organisme ini bertindak sebagai pengurai detritus, dan mengubahnya menjadi energi yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah spesies termasuk kepiting bakau dan jenis krustasea lainnya, ikan, moluska, reptilia, mamalia serta burung (Dahuri, 1996). Lebih lanjut Nontji (1987) melaporkan bahwa terdapat kurang lebih 80 spesies krustasea dan 65 spesies moluska di ekosistem mangrove di Indonesia.

(34)

16

dihasilkan oleh tumbuhan mangrove bagi kepentingan manusia, baik produk langsung, seperti; bahan bakar, bahan bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku pembuatan kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil, maupun produk tidak langsung seperti tempat rekreasi dan bahan makanan. Dikatakan pula bahwa sebagian besar produk yang dihasikan telah dimanfaatkan oleh masyarakat.

2.9. Peran Ekosistem Mangrove Sebagai Habitat Kepiting Bakau

Ekosistem mangrove memainkan peranan penting bagi berbagai jenis biota yang hidup pada, atau di sekitar ekosistem tersebut. Nontji (1987), mengatakan bahwa beberapa produk perikanan yang bernilai ekonomi penting, mempunyai hubungan yang erat dengan ekosistem mangrove, termasuk kepiting bakau (Scylla). Kepiting bakau menjalani sebagian besar hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove, dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan beruaya dari perairan hutan mangrove ke perairan laut untuk memijah, sedangkan kepiting bakau jantan akan tetap berada di hutan mangrove untuk melanjutkan aktifitas hidupnya. Setelah memijah, kepiting bakau betina akan kembali ke hutan mangrove. Demikian pula dengan juvenil kepiting bakau yang akan bermigrasi ke hulu estuari, untuk kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove.

(35)
(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data kepiting bakau ini dilakukan pada bulan Januari – Pebruari 2013 di ekosistem mangrove Belawan Sumatera Utara. Penentuan stasiun penelitian ditetapkan berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan (dekat pemukiman, perkebunan, pertambakan, dan wisata) (Gambar 3.1). Stasiun 1 berada di Paluh Titi Kecamatan Sicanang yang berdekatan dengan pemukiman penduduk; Stasiun 2 berada di Kuala Paluh Leman Kecamatan Sicanang yang merupakan kawasan alami; Stasiun 3 di Paluh Perepat Kecamatan Hamparan Perak yang berdekatan dengan kawasan wisata Siba Island; Stasiun 4 berada di Paluh Sersah Kecamatan Hamparan Perak yang berdekatan dengan kawasan perkebunan kelapa sawit; Stasiun 5 berada di Sei Baharu Kecamatan Hamparan Perak yang berdekatan dengan kawasan pertambakan. Pada tiap stasiun selanjutnya dibuat sub stasiun sebanyak 3 buah.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer Hg, piring secchi, stop wacth, bola pimpong, nilon sepanjang 10 m, tali berskala yang diberi pemberat, oven, sieve shaker, botol Winkler, alat titrasi, Salinometer, pH meter, line transek dan bubu. Bahan yang digunakan adalah NaOHKI, MnSO4, H2SO4

(37)
[image:37.595.121.503.117.382.2]

Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian

(38)

20

3.3. Parameter Biofisik Kimia yang Diukur

[image:38.595.107.562.190.650.2]

Parameter biofisik kimia yang diukur tersaji pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Parameter yang Diukur, Satuan, Alat/Bahan/Metode yang Digunakan, dan Tempat Pengukuran

Parameter Satuan Alat/ Bahan dan Metode yang digunakan

Tempat pengukuran I. FISIK-KIMIA AIR DAN

FRAKSI SUBSTRAT

Suhu air º C termometer Hg insitu

Kecerahan air Cm piring secchi insitu Kecepatan arus m/det stop wacth, bola pimpong,

nilon sepanjang 10 m

insitu Kedalaman air Cm tali berskala yang diberi

pemberat

insitu

Fraksi substrat % oven, sieve shaker laboratorium

Oksigen terlarut (DO) mg/l botol Winkler, alat titrasi, NaOHKI, MnSO4, H2SO4

Amilum, Natrium TioSulfat (titrimetri Winkler)

insitu

Salinitas air ‰ Salinometer insitu

pH air - pH meter insitu

II. BIOLOGI

Vegetasi mangrove Kerapatan jenis Kerapatan relatif jenis

ind/Ha %

line transek, buku identifikasi, meteran, (diidentifikasi, diukur diameter batang, dihitung jumlah individu perjenis, dan dianalisa)

insitu dan laboratorium

Kepiting bakau

Kelimpahan kelas ukuran dan jenis kelamin Distribusi kelas ukuran dan jenis kelamin, pola pertumbuhan

Pola pertumbuhan

ind/m2 buku identifikasi, bubu, alkohol 96% (dihitung jumlah individu perjenis kelamin, diukur lebar karapas, dihitung kelimpahan dan distribusinya).

Regresi linear

insitu dan laboratorium

3.4. Pengambilan Sampel Kepiting Bakau

Pengambilan sampel kepiting bakau dilakukan di kawasan ekosistem

(39)
[image:39.595.150.467.307.460.2]

tinggi 20 cm) (Gambar 3.2). Pengambilan sampel kepiting bakau dilakukan sebanyak empat kali setiap bulannya pada waktu surut siang hari. Pengambilan hasil tangkapan sampel kepiting dilakukan setelah 4 jam pemasangan bubu. Pada tiap stasiun dipasang 30 buah bubu yang dibagi atas 3 sub stasiun. Posisi bubu selalu berubah untuk setiap stasiun sehingga dapat mewakili seluruh daerah kajian. Sampel kepiting bakau yang didapat dari tiga sub stasiun (30 bubu) selanjutnya disatukan menjadi satu unit contoh untuk tiap stasiun, lalu dihitung kelimpahan per kelas ukuran dan jenis kelamin, distribusi menurut kelas ukuran dan jenis kelamin pada tiap stasiun serta pola pertumbuhan.

Gambar 3.2. Bubu yang Digunakan untuk Menangkap Kepiting Bakau

3.5. Pengukuran Kerapatan Mangrove

Pengukuran kerapatan mangove dilakukan mulai dari tingkat pohon dan permudaan pada tiap stasiun menggunakan metode transek garis (line transect) sepanjang 25 m, yang ditempatkan tegak lurus garis pantai menuju ke arah belakang hutan mangove (Kusmana, 1997; Bengen, 2002; Fachrul, 2007). Pada tiap stasiun dipasang 3 buah transek garis dengan jarak antar transek 30 m. Data vegetasi mangove diambil dari tiap transek menggunakan metode kuadrat dengan membuat 2 buah plot berukuran 10 m x 10 m untuk kategori pohon (diameter batang  10 cm). Pada setiap plot 10 m x 10 m selanjutnya dibuat plot berukuran

5 m x 5 m untuk mengukur kategori permudaan mangove (tinggi tanaman

 1,5 m, diameter batang < 10 cm). Jarak antar plot pada tiap transek adalah 5 m 20 cm

Pintu masuk

(40)
[image:40.595.162.514.206.540.2]

22

(Gambar 3.3). Vegetasi mangove yang ditemukan pada tiap plot diidentifikasi menggunakan buku acuan menurut Bengen (2002) dan Kusmana et al., (2005), lalu dihitung jumlah individu perjenis untuk setiap kategori guna mengetahui kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenisnya.

Gambar 3.3. Metode Transek Garis dalam Pengukuran Vegetasi Mangrove.

3.6 Analisa Data

3.6.1 Vegetasi Mangrove

Data vegetasi mangove yang didapat, selanjutnya dilihat jenis yang memiliki

kerapatan tertinggi pada tiap stasiun menggunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada analisis komponen utama (principal component analysis, PCA) (Bengen 2002). Analisa ini merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik, informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang digunakan

Arah transek

10 m x 10 m 10 m x 10 m

10 m x 10 m 10 m x 10 m

10 m x 10 m 10 m x 10 m

5 m x 5 m 5 m x 5 m 5 m x 5 m

5 m x 5 m

5 m x 5 m 5 m x 5 m

5 m x 5 m 5 m x 5 m

5 m x 5 m 30 m

30 m

5 m

5 m

5 m

25 m

(41)

terdiri atas matriks data stasiun pengamatan sebagai individu statistik/baris dan data kerapatan jenis mangrove sebagai variabel kuantitatif/kolom.

Data kerapatan jenis mangrove yang diukur tidak berunit pengukuran dan ragam yang sama, sehingga sebelum dilakukan analisa komponen utama, data tersebut harus dinormalisasikan melalui pemusatan dan pereduksian. PCA tidak dianalisa dari nilai variabel asal tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linear variabel asal. PCA mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam stasiunnya maksimum, yang disebut komponen utama pertama. Dicari juga komponen utama kedua yang tidak berkorelasi dengan komponen utama pertama. Proses ini berlanjut terus hingga diperoleh komponen utama ke- p, sehingga bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil.

3.6.2. Karakteristik Habitat Kepiting Bakau Berdasarkan Parameter Biofisik Kimia pada Tiap Stasiun

Karakteristik habitat kepiting bakau berdasarkan variasi parameter biofisik kimia lingkungan pada tiap stasiun, juga dianalisa menggunakan analisa komponen utama (principal component analysis, PCA) (Bengen 2002). Matriks data yang digunakan terdiri atas matriks data stasiun pengamatan sebagai individu statistik/baris dan data parameter biofisik kimia lingkungan yang mencakup parameter fisik kimia lingkungan serta kerapatan jenis mangrove sebagai variabel kuantitatif/kolom.

3.6.3. Kelimpahan Kepiting Bakau

Data kelimpahan kepiting bakau menurut jenis kelamin dan kelas ukuran dapat diketahui menggunakan persamaan menurut Brower et al., (1990) sebagai berikut:

A n K

dengan: K = kelimpahan kepiting bakau menurut jenis kelamin atau kelas ukuran (ind/m2)

n = jumlah individu kepiting bakau menurut jenis kelamin atau kelas ukuran

(42)

24

3.6.4. Distribusi Kepiting Bakau Menurut Jenis Kelamin dan Kelas Ukuran

Distribusi kepiting bakau berdasarkan jenis kelamin dan kelas ukuran dianalisa menggunakan correspondence analysis, CA (Bengen 2002). Analisa ini merupakan salah satu bentuk analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada matriks data i baris (stasiun penelitian) dan j kolom (jenis kelamin dan kelas ukuran). Kelimpahan kepiting bakau menurut jenis kelamin dan kelas ukuran yang ditemukan pada tiap stasiun terdapat pada baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks data yang digunakan merupakan tabel kontingensi stasiun pengamatan dengan modalitas jenis kelamin dan kelas ukuran.Kriteria kelas ukuran kepiting bakau adalah sebagai berikut: kepiting bakau yang memiliki lebar karapas < 9 cm

dikategorikan kepiting bakau berukuran kecil; lebar karapas berkisar antara 9 cm – 12 cm dikategorikan berukuran sedang; lebar karapas > 12 cm

dikategorikan kepiting bakau berukuran besar. Kriteria kelas ukuran yang digunakan didasarkan atas kebiasaan nelayan mensortir kepiting bakau untuk dijual ke pedagang pengumpul atau ke tempat pendaratan ikan.

3.6.5. Pola Pertumbuhan

Pola pertumbuhan kepiting bakau dapat diketahui dengan melihat hubungan lebar karapas kepiting bakau dan bobot tubuh melalui analisa regresi linier sederhana menurut Sparre dan Venema (1999). Studi hubungan lebar karapas dan bobot tubuh mempunyai nilai praktis yang memungkinkan mengkonversi nilai lebar karapakas ke dalam bobot tubuh kepiting bakau atau sebaliknya. Bobot tubuh kepiting bakau dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari lebar karapasnya.

W= a Lb atau Ln W = Ln a + b Ln L dengan: W ; bobot tubuh (g)

L ; lebar karapas a dan b ; konstanta

(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat

[image:43.595.113.515.296.445.2]

Hasil pengukuran parameter fisik kimia air dan substrat pada tiap stasiun yang mencakup suhu air, kecerahan air, kecepatan arus, kedalaman air, pH air, salinitas air dan oksigen terlarut dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Nilai Parameter Fisik Kimia Air pada Tiap Stasiun

Parameter Stasiun

I II III IV V

Suhu air (°C) 29.00 29.00 30.00 29.00 29.00

Kecerahan air (cm) 50,69 52,69 97,56 52,15 53,28 Kecepatan arus (m/detik) 0,62 0,38 0,46 0,56 0,53

Kedalaman air (m) 2,92 4,63 4,52 2,96 3,06

pH air 6,75-7,02 6,90-7,20 6,89-7,12 6,82-7,02 6,80-7,02 Salinitas air (‰) 20,34 25,39 25,14 21,51 21,01

DO (mg/L) 4,42 5,11 4,19 4,36 4,40

4.1.1. Suhu dan Kecerahan Air

Hasil pengukuran suhu air pada tiap stasiun memperlihatkan kisaran nilai antara 29°C – 30°C, dengan suhu air terendah dijumpai pada stasiun II dan tertinggi pada stasiun III. Untuk kecerahan air, hasil pengukuran mendapatkan kisaran nilai antara 50,69 cm – 97,56 cm, dengan nilai terendah dijumpai pada stasiun I dan tertinggi pada stasiun III (Tabel 4.1).

(44)

26

Dari kisaran nilai suhu yang diukur, dapat dikatakan bahwa suhu di perairan ekosistem mangrove Belawan masih dalam batas toleransi untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan kepiting bakau. Hutabarat (1983) menyatakan kepiting bakau dapat hidup pada kisaran suhu perairan 26°C- 35°C di perairan Ujung Alang Cilacap. Sulistiono et al. (1992) menyatakan kepiting bakau dapat dijumpai pada kisaran suhu 13,0°C – 40,0°C di perairan Segara Anakan. Queensland Department of Primary Industries (1989) menyatakan kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang mempunyai kisaran suhu 12°C - 35°C dan tumbuh dengan cepat pada suhu 29°C.

Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan. Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa secara keseluruhan nilai kecerahan air di lokasi kajian tidak lebih dari 3 m. Sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 (2004a) menyatakan nilai baku mutu untuk kecerahan air laut lebih besar dari 3 m. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi perairan ekosistem mangrove Belawan relatif keruh dan sangat mendukung kehidupan kepiting bakau. Kasry (1996) menyatakan perairan yang keruh sangat sesuai bagi kehidupan kepiting bakau sebab dapat mengurangi jangkauan jarak penglihatan predator, sehingga memperluas daerah pembesaran kepiting dan akhirnya dapat meningkatkan tingkatan hidup kepiting muda yang banyak terdapat pada ekosistem mangrove.

4.1.2. Kecepatan Arus dan Kedalaman Air

Kecepatan arus berperan penting bagi kehidupan kepiting bakau terutama dalam hal migrasi, sedangkan kedalaman air berpengaruh terutama pada saat melakukan perkawinan. Hasil pengukuran kecepatan arus pada tiap stasiun mendapatkan kisaran nilai antara 0,38 m/detik – 0,62 m/detik, dan untuk kedalaman air menunjukkan kisaran nilai antara 2,92m – 4,63 m (Tabel 4.1).

(45)

air tawar, sehingga dapat mempengaruhi kecepatan arusnya. Knox (1986) menyatakan tingginya kecepatan arus salah satunya disebabkan oleh adanya sumber air tawar yang mengalir ke perairan tersebut, selain adanya pengaruh arus akibat pasang surut.

Kedalaman air di ekosistem mangrove Belawan masih dapat mendukung kehidupan kepiting bakau. Siahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kedalaman air yang berkisar antara 2,00 m – 4,00 m di perairan hutan mangrove Teluk Pelita Jaya, Seram Barat Maluku. Moosa et al., (1985) menyatakan sebaran kepiting bakau menurut kedalaman hanya terbatas pada paparan benua atau dengan kisaran 0 – 32 m.

4.1.3. pH Air, Salinitas Air dan Oksigen Terlarut

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan. pH air berperan dalam kehidupan kepiting bakau terutama dalam hal moulting, demikian juga dengan salinitas air. Ketersediaan oksigen di perairan sangat dibutuhkan kepiting bakau dalam proses respirasi. Hasil pengukuran terhadap pH air pada tiap stasiun mendapatkan nilai berkisar antara 6,75 – 7,20 (Tabel 4.1). Nilai pH air terendah didapatkan pada stasiun I dan tertinggi pada stasiun II. Secara keseluruhan nilai pH air di perairan ekosistem mangrove Belawan masih dalam kisaran toleransi dalam mendukung kehidupan kepiting bakau. Toro (1986) dan Sukarya (1991) menyatakan kepiting bakau dapat hidup pada perairan dengan kondisi agak asam sampai basa atau dengan kisaran nilai pH antara 6,16 – 8,90. Siahainenia (2008) juga mendapatkan kepiting bakau pada kisaran pH 6,00- 7,00 di perairan hutan mangrove Teluk Pelita Jaya, Seram Barat-Maluku.

(46)

28

pada stasiun ini. Wahyuni dan Ismail (1987) menyatakan kepiting bakau mulai dari fase juvenil hingga dewasa termasuk golongan hewan eurihalin yang dapat mentolerir dan hidup pada kisaran salinitas luas yakni sebesar 0‰ – 34,0‰. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa salinitas air di perairan ekosistem mangrove Belawan masih layak dalam mendukung kehidupan kepiting bakau.

Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada tiap stasiun menunjukkan nilai yang bervariasi antara 4,19 mg/L – 5,11 mg/L. Nilai oksigen terlarut terendah didapatkan pada stasiun III sebesar 4,19 mg/L dan tertinggi pada stasiun II sebesar 5,11 mg/L. Rendahnya kandungan oksigen terlarut pada stasiun III disebabkan suhu perairan pada stasiun tersebut cukup tinggi (30°C) yang berpengaruh pada nilai kandungan oksigen terlarutnya. Boyd (1990) menyatakan kandungan oksigen terlarut pada perairan akan rendah jika suhu perairan tinggi.

Hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa nilai oksigen terlarut di perairan ekosistem mangrove Belawan masih dapat kisaran toleransi dalam mendukung kehidupan kepiting bakau. Clark (1974) menyatakan bahwa oksigen

terlarut optimum bagi kehidupan biota perairan berkisar antara 4,1 mg/L - 6,6 mg/L, dengan batas toleransi minimum adalah 4 mg/L.

4.1.4. Fraksi Substrat

Substrat dasar di perairan hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau, terutama dalam melangsungkan perkawinan. Hasil analisis fraksi substrat dasar perairan yang dilakukan pada tiap stasiun (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa fraksi substrat di perairan ekosistem mangrove Belawan sangat bervariasi. Fraksi substrat pada stasiun IV dan V didominasi oleh fraksi debu sedangkan pada stasiun II dan III didominasi oleh fraksi pasir.

(47)
[image:47.595.112.520.263.337.2]

menggumpal membentuk partikel yang lebih berat dan besar, kemudian mengendap dan membentuk dasar lumpur yang khas. Air laut juga mengandung materi tersuspensi yang cukup banyak. Ketika air laut masuk ke estuari dengan kondisi yang terlindung dan tenang akan mengurangi gerakan arus, yang berperan mempertahankan berbagai partikel dalam bentuk tersuspensi. Akibatnya partikel akan mengendap dan membentuk substrat lumpur.

Tabel 4.2. Nilai Fraksi Substrat (%) pada Tiap Stasiun

Fraksi Substrat Stasiun

I II III IV V

Pasir (%) 32.56 52.26 56.56 28.58 28.56

Debu (%) 36.00 32.00 28.00 52.00 44.00

Liat (%) 31.44 15.44 15.44 19.44 27.44

Berdasarkan hasil analisis fraksi substrat yang telah dilakukan, dapat dikatakan bahwa substrat dasar perairan ekosistem mangrove Belawan termasuk substrat lumpur. Substrat lumpur ini sangat baik dalam mendukung kehidupan kepiting bakau di alam. Robertson (1988) menyatakan bahwa substrat lumpur merupakan salah satu habitat yang disenangi oleh kepiting bakau. Hal ini dikarenakan substrat lumpur banyak mengandung bahan organik yang berasal dari serasah mangrove, dan terurai membentuk partikel detritus yang selanjutnya akan mengendap pada substrat tersebut.

4.2. Parameter Biologi

4.2.1. Kelimpahan Kepiting Bakau Menurut Jenis Kelamin

(48)
[image:48.595.128.495.117.341.2]

30

Gambar 4.1. Kelimpahan Kepiting Bakau Menurut Jenis Kelamin (ind/m3) pada Tiap Stasiun.

Tingginya kelimpahan kepiting bakau jantan maupun betina pada stasiun II (Gambar 4.1) dikarenakan stasiun tersebut memiliki karakteristik habitat yang cukup baik seperti kerapatan mangrove yang relatif tinggi, sehingga sangat mendukung kehidupan kepiting bakau. Kerapatan mangrove yang relatif tinggi merupakan salah satu faktor penyebab tingginya kelimpahan kepiting bakau pada stasiun ini. Moosa et al., (1985) menyatakan ekosistem mangrove merupakan habitat alami utama kepiting bakau. Hutching & Saenger (1987) menyatakan kepiting bakau banyak dijumpai dan hidup di kawasan ekosistem mangrove, dikarenakan hewan ini memakan guguran dedaunan mangrove. Selanjutnya Snedaker dan Getter (1985) menyatakan kepiting bakau adalah organisme yang memakan serasah mangrove.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kepiting bakau betina banyak didapatkan pada stasiun II dan III yang merupakan kawasan dekat dengan laut. Kondisi ini diduga berhubungan dengan tingkah laku reproduksi kepiting bakau betina. Kepiting bakau betina matang gonad setelah melakukan perkawinan, secara berangsur-angsur akan meninggalkan perairan hutan mangrove menuju perairan laut yang memiliki kondisi lingkungan relatif lebih stabil untuk memijah

12.5 14.9 12.3 14.1 14.1 9.2 18.7 13.7 9.6 12.0 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0 18.0 20.0

I II III IV V

(49)

dan menetaskan telur-telurnya, sedangkan kepiting bakau jantan akan tetap tinggal di perairan hutan mangrove (Mulya, 2000). Le Reste, et al., (1976) dalam Kasry (1996) menyatakan kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya yang betina akan beruaya ke laut dan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat berpijah Selanjutnya Kasry (1996) menyatakan pemijahan kepiting bakau dapat berlangsung pada perairan yang dalam dengan jarak ruaya tidak lebih dari 1 km dari tepi pantai, walaupun kepiting tersebut juga pernah dijumpai memijah di tambak dan estuaria.

4.2.2. Kelimpahan Kepiting Bakau Menurut Kelas Ukuran

[image:49.595.151.503.506.713.2]

Hasil analisis kelas ukuran kepiting bakau yang tertangkap pada tiap stasiun (Gambar 4.2) memperlihatkan kepiting bakau di ekosistem mangrove Belawan dapat dikelompokkan atas tiga kelas ukuran yaitu: kepiting bakau berukuran besar (lebar karapas > 12 cm), kepiting bakau berukuran sedang (lebar karapas 9 - 12 cm) dan kepiting bakau berukuran kecil (lebar karapas < 9 cm). Pengelompokan kelas ukuran kepiting bakau ini didasarkan atas kebiasaan nelayan setempat dalam mensortir ukuran kepiting yang akan dijual ke tempat pelelangan ikan.

Gambar 4.2. Kelimpahan Kepiting Bakau Menurut Kelas Ukuran (ind/m3) pada Tiap Stasiun. 9.3 7.4 7.5 4.8 6.9 6.2 12.8 8.6 11.4 11.7 6.2 13.4 9.9 5.3 7.5 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0

I II III IV V

(50)

32

Hasil yang didapat juga memperlihatkan kepiting bakau berukuran kecil memiliki kelimpahan yang cukup tinggi pada stasiun I, kepiting bakau berukuran sedang pada stasiun II, IV dan V, sedangkan kepiting bakau berukuran besar memiliki kelimpahan tinggi pada stasiun II dan III. Tingginya kelimpahan kepiting bakau berukuran kecil pada stasiun I disebabkan stasiun ini memiliki salinitas lebih rendah (20.34‰) dibanding stasiun lainnya, dikarenakan adanya sumber-sumber air tawar yang terdapat pada stasiun tersebut. Siahainenia (2008) menyatakan kepiting bakau berukuran kecil banyak didapatkan pada perairan dengan salinitas berkisar 20,00‰ – 22,00‰.

Pada stasiun II dan III didapatkan kelimpahan kepiting bakau berukuran besar yang cukup tinggi disebabkan stasiun ini letaknya lebih dekat dengan perairan laut, sehingga memiliki salinitas tinggi. Brick (1974) dalam Siahainenia (2008) menyatakan kepiting bakau betina berukuran besar akan bermigrasi ke perairan laut dengan kisaran salinitas 24‰ – 28‰ untuk memijah.

4.2.3. Vegetasi Mangrove

Hasil pengukuran vegetasi mangrove pada kelima stasiun mendapatkan 9 jenis mangrove inti dan 2 jenis mangrove pinggiran (Tabel 4.3 dan 4.4).

(51)

No Spesies Nama lokal Famili Stasiun

I II III IV V

1 Avicennia alba Api-api Avicenniaceae 250,00 450,00 100,00 50,00 50,00

2 A. marina Api-api putih Avicenniaceae 166,67 200,00 83,33 33,33 66,67 3 Bruguiera gymnorrhiza Tancang Rhizophoraceae 116,67 183,33 66,67 0 0

4 Excoecaria agallocha Buta-buta Euphorbiaceae 0 0 83,33 100,00 100,00

5 Heritiera littoralis Dungun Sterculiaceae 66,67 0 33,33 0 50,00

6 Lumnitzera racemosa Teruntum Combretaceae 0 0 16,67 0 0

7 Nypa fruticans Nipah Arecaceae 0 0 0 50,00 50,00

8 Rhizophora apiculata Bakau kacang Rhizophoraceae 0 133,33 50,00 16,67 0

9 R. mucronata Bakau Rhizophoraceae 0 66,67 33,33 0 0

10 Sonneratia alba Perepat Sonneratiaceae 100,00 133,33 16,67 0 33,33

11 S. caseolaris Pedada Sonneratiaceae 0 0 33,33 66,67 50,00

[image:51.842.112.715.104.343.2]
(52)
[image:52.842.112.720.104.324.2]

34

Tabel 4.2. Kerapatan Jenis Mangrove (ind/Ha) Kategori Permudaan pada Tiap Stasiun

No Spesies Nama Lokal Famili Stasiun

I II III IV V

1 Avicennia alba Api-api Avicenniaceae 1.333 2.000 667 1.067 267

2 A. marina Api-api putih Avicenniaceae 533 867 600 333 133

3 Bruguiera gymnorrhiza Tancang Rhizophoraceae 467 400 1.067 0 0

4 Excoecaria agallocha Buta-buta Euphorbiaceae 0 0 467 2.067 400

5 Heritiera littoralis Dungun Sterculiaceae 1.800 2.067 0 0 2.600

6 Lumnitzera racemosa Teruntum Combretaceae 200 1.067 333 0 0

7 Nypa fruticans Nipah Arecaceae 400 533 933 267 600

8 Rhizophora apiculata Bakau kacang Rhizophoraceae 133 400 267 333 0

9 R. mucronata Bakau Rhizophoraceae 0 200 267 0 0

10 Sonneratia alba Perepat Sonneratiaceae 467 1.000 0 400 333

11 S. caseolaris Pedada Sonneratiaceae 0 733 267 467 333

(53)

Hasil pengukuran vegetasi mangrove kategori pohon menunjukkan bahwa kondisi mangrove pada stasiun 2 berada dalam kondisi rusak sedang, dan pada stasiun 1, 3, 4 dan 5 berada dalam kondisi sangat rusak. Untuk kategori permudaan, hasil pengukuran menunjukkan kondisi mangrove berada dalam masih dalam kondisi baik untuk tiap stasiun. Kondisi ini didasarkan atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 (2004a) kondisi hutan mangrove dikatakan baik bila vegetasi mangrovenya memiliki kerapatan vegetasi ≥ 1.500 ind/Ha, kondisi sedang bila memiliki kerapatan vegetasi ≥ 1.000 ind/Ha

sampai < 1.500 Ha dan kondisi rusak bila memiliki kerapatan vegetasi < 1.000 ind/Ha.

[image:53.595.178.474.453.687.2]

Hasil analisis komponen utama vegetasi mangrove pada matriks korelasi menunjukkan informasi penting yang menggambarkan korelasi antar jenis mangrove terpusat pada dua sumbu utama (F1 dan F2). Kualitas informasi yang disajikan oleh kedua sumbu masing-masing sebesar 43,60% (F1) dan 28,30% (F2) (Gambar 4.3), sehingga ragam karakteristik jenis mangrove menurut stasiun penelitian dapat dijelaskan sebesar 71,98% dari ragam total.

Gambar 4.3. Diagram Lingkaran Korelasi antara Jenis Mangrove pada Sumbu 1 dan 2. 0 A. alba 0 A. marina 0 B. gymnorrhiza 0 E. agallocha 0 H. littoralis 0 L. racemosa 0 N. fruticans 0 R. apiculata 0 R. mucronata 0 S. alba 0 S. caseolaris -1 -0.5 0 0.5 1

-1 -0.5 0 0.5 1

--axi

s F2 (28.37

%) -->

(54)

36

[image:54.595.124.503.202.593.2]

Diagram sebaran stasiun penelitian berdasarkan jenis mangrove pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 4.4) membentuk 4 kelompok stasiun, yang masing-masing memiliki jenis mangrove berbeda.

Gambar 4.4. Diagram Sebaran Stasiun Penelitian Berdasarkan Jenis Mangrove pada Sumbu 1 dan 2.

Kelompok pertama yang terdiri atas stasiun III dicirikan oleh tingginya kerapatan mangrove jenis N. fruticans, B. gymnorrhiza dan R. mucronata. Kelompok kedua yang terdiri atas stasiun II dicirikan oleh tingginya kerapatan

mangrove jenis A. marina, A. alba, L. racemosa, R. apiculata, S. alba dan S. caseolaris. Kelompok ketiga yang terdiri atas stasiun IV dicirikan oleh

St I St II St III St IV St V 0 A. alba

0 A. marina

0 B. gymnorrhiza 0 E. agallocha 0 H. littoralis

0 L. racemosa

0 N. fruticans 0 R. apiculata 0 R. mucronata 0 S. alba 0 S. caseolaris -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4

-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4

--axi

s F2 (28.37

%) -->

(55)

tingginya kerapatan mangrove jenis E. agallocha dan kelompok keempat yang

terdiri atas stasiun I dan V dicirikan oleh tingginya kerapatan mangrove jenis H. littoralis.

4.3. Karakteristik Habitat Kepiting Bakau

[image:55.595.173.463.401.640.2]

Hasil analisis karakteristik habitat kepiting bakau berdasarkan variasi parameter biofisik kimia lingkungan pada tiap stasiun menggunakan Analisis Komponen Utama menunjukkan informasi penting yang menggambarkan korelasi antar parameter terpusat pada dua sumbu utama (F1 dan F2). Ragam karakteristik habitat kepiting bakau menurut stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik kimia lingkungan dapat dijelaskan melalui dua sumbu utama, yang masing-masing mampu menjelaskan sebesar 51,84% dan 27,43% dari ragam total sebesar 79,27% (Gambar 4.5).

Gambar 4.5. Diagram Lingkaran Korelasi antara Parameter Biofisik Kimia Lingkungan pada Sumbu 1 dan 2.

0 A. alba 0 A. marina 0 B. gymnorrhiza 0 E. agallocha 0 H. littoralis 0 L. racemosa 0 N. fruticans 0 R. apiculata 0 R. mucronata 0 S. alba 0 S. caseolaris 0 Suhu 0 Kecerahan 0 Kec arus 0 Kedalaman 0 pH 0 Salinitas 0 DO 0 Pasir 0 Debu 0 Liat -1 -0.5 0 0.5 1

-1 -0.5 0 0.5 1

--axi

s F2 (27.43

%) -->

(56)

38

Diagram sebaran stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2 membentuk 3 kelompok stasiun, yang masing-masing memiliki karakteristik biofisik kimia lingkungan berbeda (Gambar 4.6). Kelompok pertama yang terdiri atas stasiun I, IV, dan V dicirikan oleh kecepatan arus serta substrat liat dan debu yang tinggi, dengan kerapatan mangrove yang tinggi dijumpai pada jenis H. littoralis. (stasiun I dan V) dan E. agallocha (stasiun IV). Kelompok kedua terdiri atas stasiun II dicirikan oleh kedalaman, DO, pH, salinitas dan substrat pasir yang tinggi. Jenis mangrove yang memiliki kerapatan

tinggi pada stasiun ini adalah A. marina, A. alba, L. racemosa, R. apiculata, S. alba dan S. caseolaris. Kelompok ketiga terdiri atas stasiun III dicirikan oleh

[image:56.595.145.471.393.701.2]

suhu, kecerahan yang tinggi. Stasiun ini juga dicirikan kedalaman, DO,

Gambar

Gambar 1.1
Tabel 2.1
Gambar 1.1. Diagram Kerangka Pemikiran
Tabel 2.1. Morfologi Kepiting Bakau
+7

Referensi

Dokumen terkait

DPA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. DPA - SKPD 2.2.1 Rincian Dokumen

Pembuatan aplikasi multimedia ini merupakan salah bentuk pemanfaatan teknologi informasi di bidang pendidikan khususnya pada mata pelajaran geografi yang ditujukan kepada siswa

DPA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. DPA - SKPD 2.2.1 Rincian Dokumen

Situs memberikan pengetahuan tentang kelompok musik The Beatles, dimulai dari pengenalan personil, sejarah, album terbaru anthology, gagalnya suatu reformasi, orang yang

[r]

Pengembangan permainan ini dilakukan melalui beberapa tahap, tahap pertama yakni pengumpulan data, dilanjutkan dengan tahap perancangan aplikasi, pembuatan program java serta

frequency of the toothbrushing, respondents who informed their patients the recommended time for toothbrushing was as much as 96.67%, as much as 85% of the respondents

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan, skripsi yang disusun oleh Amran Abbas lebih memusatkan analisisnya terhadap Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Adapun