TAHUN 2012
SKRIPSI
OLEH : ASTRIANDA NIM : 108101000054
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH : ASTRIANDA NIM : 108101000054
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Nama : Astrianda
Tempat, Tanggal Lahir : Bogor, 26 Oktober 1991
Alamat : Jalan M. Tadjir Rt: 04 Rw: 06 No.7 Kelurahan: Serua
Kecamatan: Bojongsari Kota: Depok
Kode Pos : 16517
Agama : Islam
Golongan Darah : A
No. Telepon : (021) 7430415 / 085710556254 Email : ananda_as3@yahoo.com
Riwayat Pendidikan:
1996 – 2002 : SDN Serua 03, Depok 2002 – 2005 : SMP Al-Hasra, Depok 2005 – 2008 : SMA Al-Hasra, Depok
i
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Oktober 2012
Astrianda, NIM : 108101000054
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
xii+116 Halaman, 11 Tabel, 4 gambar, 3 Lampiran ABSTRAK
Dermatitis kontak merupakan salah satu jenis dari penyakit kulit akibat kerja. Salah satu pekerja yang berisiko untuk mengalami dermatitis kontak adalah pekerja bengkel motor, yang diakibatkan dari paparan penggunaan air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 terdapat 7 (70%) dari 10 pekerja bengkel motor mengalami dermatitis kontak.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Disain studi penelitian ini yaitu cross sectional. Sampel penelitian ini adalah seluruh total populasi yaitu sebanyak 101 pekerja bengkel. Analisis data yang digunakan yaitu uji Chi Square, uji t-independent dan uji Mann-Whitney. Variabel yang diteliti yaitu lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene.
Pekerja bengkel motor yang mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 37,6%, sedangkan pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 62,4%. Ada dua faktor yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak yaitu riwayat penyakit kulit (P value 0,000) dan riwayat alergi (P value 0,018).
ii
OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Thesis, October 2012
Astrianda, NIM : 108101000054
Related Factors of Contact Dermatitis Incident on Motorcycle Repair Workers at East Ciputat Region in 2012
xii + 116 pages, 11 table, 4 image, 3 attachment ABSTRACT
Contact dermatitis is one type of occupational skin disease. One of the workers at risk for contact dermatitis is motorcycle repair workers, caused of exposure to use battery acid (sulfuric acid), petroleum products such as degreasers, lubricants, oil, petrol, and cooling system fluid. Based on the results of a preliminary study at East Ciputat region in 2012, there are 7 (70%) of the 10 motorcycle repair workers with contact dermatitis.
The purpose of this study was to find out the factors related to contact dermatitis on motorcycle repair workers at East Ciputat region in 2012. The design of this study was cross sectional. Sample of this study is the total population of as many as 101 repair workers. Data analysis is used by the chi-square test, t-independent test and Mann-Whitney test. The variables studied is prolonged of contact, frequency of contact, working period, age, history of atopy, history of skin disease, history of allergy, and personal hygiene.
Motorcycle repair workers with contact dermatitis are 37,6%, and workers who did not have contact dermatitis are 62.4%. There are two factors that have a significant relationship with contact dermatitis, that is a history of skin disease (P value 0.000) and history of allergy (P value 0.018).
To anticipate the risk of contact dermatitis, workshop owners should provide an adequate hand washing facilities, oversee the personal hygiene of workers, and provide of PPE for workers, especially gloves. As for the workers, improving personal hygiene and use of gloves during work.
iii
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga membuat penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012”.
Adapun penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan akademis dalam memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam Kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapkan terimakasih kepada : 1. Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan ridha-Nya kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
2. Prof. Dr (Hc). dr. MK. Tadjudin, SP.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat.
4. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku Sekretaris Program Studi Kesehatan Masyarakat.
5. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku penanggung jawab peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sekaligus sebagai pembimbing pertama yang telah memberikan ilmunya, dan banyak membantu dalam memberi masukan dan dukungan kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai.
iv
8. Semua dosen pada Program Studi Kesehatan Masyarakat. Terimakasih atas ilmu-ilmu yang kalian berikan selama penulis kuliah di UIN Jakarta.
9. Ayah dan Mama tercinta yang telah memberikan semangat, do’a dan dukungan, serta kakaku Mareny dan abangku Reggy terimakasih atas do’a dan support kalian semua.
10.Keluarga dan juga sahabatku dirumah Sarah, Ayu, & Gita. Terimakasih atas semangat dan dukungan yang diberikan.
11.Team penelitian DK yaitu Sofia, Riska, Via yang juga merupakan sahabat terbaik, serta Niswah sahabat terbaik juga yang selalu bersama-sama berjuang dengan penulis selama mengerjakan skripsi dan turun lapangan penelitian, terimakasih atas semangat, dukungan, dan bantuan akomodasinya.
12.Rahmi, Aresh, Nadya, Dea dan semua teman Kesmas UIN Jakarta angkatan 2008 (Stoopelth) khususnya peminatan K3, terimakasih atas semangat dan support kalian semua.
13.Terimakasih kepada bapak Gozali selaku Adm. pada prodi Kesmas, dan untuk semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini.
14.Dan juga terimakasih kepada someone special “M” yang turut membantu penulis dalam hal waktu, tenaga dan meteril serta tidak pernah bosan memberikan nasihat, saran, support dan semangatnya kepada penulis.
Penulis menyadari skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, namun semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Oktober, 2012
v
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK ……….. i
KATA PENGANTAR ……… iii
DAFTAR ISI ………. . v
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………... 1
1.2 Rumusan Masalah ……….. 8
1.3 Pertanyaan Penelitian ………. 9
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum ……… 10
1.4.2 Tujuan Khusus ………... 10
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Pekerja Bengkel. ... 11
1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ... 12
1.5.3 Bagi Peneliti ... ... 12
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ………. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Pekerjaan Bengkel Motor ……….. 14
2.1.1 Bahaya Keselamatan Kerja ………... 14
vi
2.2.2.1 Anamnesis ……….. 18
2.2.2.2 Pemeriksaan Klinis ………. 19
2.2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium ………. 19
2.2.2.4 Uji Tempel/Patch Test ………. 20
2.3Dermatitis Kontak . ... 21
2.3.1 Anatomi Kulit ……… 21
2.3.1.1 Epidermis ……… 22
2.3.1.2 Dermis ………. 22
2.3.1.3 Lapisan Subkutis ………. 23
2.3.2 Fungsi Kulit ………... 24
2.3.3 Dermatitis Kontak Akibat Kerja ……… 24
2.3.3.1 Dermatitis Kontak Iritan ………. 26
2.3.3.1.1 Patogenesis ………. 27
2.3.3.1.2 Manifestasi Klinis ……….. 28
2.3.3.2 Dermatitis Kontak Alergik ……….. 29
2.3.3.2.1 Patogenesis ………. 30
2.3.3.2.2 Manifestasi Klinis ……….. 31
vii
2.4.11 Musim ………. 42
2.4.12 Tipe Kulit ……… 42
2.4.13 Pengeluaran Keringat ……….. 43
2.4.14 Jenis Proses Pekerjaan ……….. 43
2.4.15 Suhu dan Kelembaban ……… 44
2.4.16 Personal Hygiene ……… 44
2.4.17 Pemakaian APD ……….. 46
2.5Kerangka Teori . ... 47
BAB III KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep ... 49
3.2 Definisi Operasional ... 55
3.3 Hipotesis ………... 58
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Disain Penelitian ... 59
4.2Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 59
4.3 Populasi dan Sampel ……… 59
4.4 Instrumen Penelitian 4.4.1 Lembar Pemeriksaan Fisik Dermatitis Kontak ……… 64
4.4.2 Kuesioner ………. 64
4.4.3 Lembar Observasi ……… 64
4.5 Pengumpulan Data ……… 65
viii
4.7 Analisis Data
4.7.1 Analisis Univariat ……… 67
4.7.2 Analisis Bivariat ……….. 67
BAB V HASIL 5.1 Gambaran Lokasi Penelitian ……… 69
5.2 Analisis Univariat 5.2.1 Gambaran Kejadian Dermatitis Kontak ………. 72
5.2.2 Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak ……….. 72
5.2.2.1 Lama Kontak ……….. 73
5.2.2.2 Frekuensi Kontak ……… 73
5.2.2.3 Masa Kerja ……….. 74
5.2.2.4 Usia ………. 74
5.2.2.5 Riwayat Atopi ………. 75
5.2.2.6 Riwayat Penyakit Kulit ……….. 76
5.2.2.7 Riwayat Alergi ……… 76
5.2.2.8 Personal Hygiene ………. 76
5.3 Analisis Bivariat ……….. 77
5.3.1 Hubungan Antara Lama Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 78
ix
5.3.4 Hubungan Antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah
Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ………. 80 5.3.5 Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Kejadian
Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor
di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 82 5.3.6 Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Kejadian
Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor
di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 82 5.3.7 Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Kejadian
Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor
di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 83
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian ………... 84 6.2 Kejadian Dermatitis Kontak ……… 85 6.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis
Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan
Ciputat Timur Tahun 2012 ……….. 92 6.3.1 Hubungan antara Lama Kontak dengan
Kejadian Dermatitis Kontak ………. 92 6.3.2 Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan
Kejadian Dermatitis Kontak ………. 95 6.3.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan Kejadian
x
Dermatitis Kontak ………. 105
6.3.6 Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit dengan
Kejadian Dermatitis Kontak ……….. 108 6.3.7 Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Kejadian
Dermatitis Kontak ……….. 110
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan ……… 114
7.2 Saran ……….. 115
xi
Tabel 2.1 Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi ……….. 25 Tabel 2.2 Jenis Iritan yang Umum Terdapat di Tempat Kerja ……… 27 Tabel 2.3 Jenis Alergen yang Umum Terdapat di Tempat Kerja …. …….. 30 Tabel 3.1 Definisi Operasional ……… 55 Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ……… 63 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Dermatitis Kontak
pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan
Ciputat Timur Tahun 2012 ……….. 72 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi (Lama Kontak, Frekuensi Kontak,
Usia dan Masa Kerja) Pada Pekerja Bengkel Motor
di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……… 73 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi (Riwayat Atopi, Riwayat Penyakit Kulit,
Riwayat Alergi, dan personal hygiene) Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……… 75 Tabel 5.4 Analisis Hubungan antara (lama kontak, frekuensi kontak
dan masa kerja) dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah
Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ………... 78 Tabel 5.5 Analisis Hubungan Antara Usia dengan Kejadian
Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor
di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ……… 80 Tabel 5.6 Analisis Hubungan Antara (riwayat atopi, riwayat penyakit
kulit, riwayat alergi) dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motordi Wilayah Kecamatan
xii
Gambar 2.1 Anatomi Kulit ………. 21
Bagan 2.1 Kerangka Teori ……… 48
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ……… 54
1
1.1 Latar Belakang
Sebagai sistem organ tubuh yang paling luas, kulit tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia. Kulit membangun sebuah barrier yang memisahkan organ-organ internal dengan lingkungan luar, dan turut berpartisipasi dalam banyak fungsi tubuh yang vital. Kulit merupakan cerminan dari keadaan umum pasien, banyak kondisi sistemik dapat disertai dengan manifestasi dermatologik (Smeltzer & Bare, 2001). Masalah pada kulit merupakan salah satu penyakit yang termasuk kedalam penyakit akibat kerja.
Terjadinya penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan penyakit akibat kerja sering terjadi pada pekerja, terutama pada kelompok pekerja sektor informal. Penelitian WHO pada pekerja tentang penyakit kerja di 5 (lima) benua tahun 1999, memperlihatkan bahwa penyakit gangguan otot rangka (Musculo Skeletal Disease) pada urutan pertama 48 %, kemudian gangguan jiwa 10-30 %, penyakit paru obstruksi kronis 11 %, penyakit kulit (Dermatosis) akibat kerja 10 %, gangguan pendengaran 9 %, keracunan pestisida 3 %, cedera dan lain-lain. Berdasarkan data tersebut, penyakit kulit akibat kerja menempati urutan ke-empat dalam penyakit akibat kerja (Lestari, 2008).
pengaruh-pengaruh yang terdapat dalam lingkungan kerja. Gangguan kesehatan berupa dermatosis akibat kerja akan mengurangi kenyamanan dalam melakukan tugas dan akhirnya akan mempengaruhi proses produksi, secara makro akan mengganggu proses pembangunan secara keseluruhan. Di Indonesia, dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah atau pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat prevalensinya cukup tinggi (Siregar, 1996). Penyakit kulit akibat kerja merupakan salah satu kelompok utama penyakit akibat kerja dalam hal prevalensi. Meskipun penyakit kulit akibat kerja tidak mengancam jiwa, dampak ekonominya sangat besar. Dermatitis kontak merupakan salah satu bentuk dari dermatosis akibat kerja sekaligus bagian terbesar yang paling sering terjadi dari kelompok penyakit kulit (Ket & Leok, 2001).
Sedangkan untuk prevalensi dari dermatitis kontak tidak diketahui secara pasti, tetapi dari hasil survai sebelumnya menunjukkan proporsi yang bermakna penyakit terkait-pekerjaan (hampir 50%) disebabkan oleh cedera akibat kerja, dan yang paling sering terkena adalah tangan. Dermatitis kontak memberikan beban ekonomik yang bermakna. Pada tahun 1975, survai di California menunjukkan bahwa 95% dari semua penyakit kulit terkait kerja adalah dermatitis kontak, yang pada gilirannya merupakan hampir dari 50% klaim pekerjaan pada tahun itu (Isselbacher et al, 1999). Dari seluruh penderita dermatitis kontak, 80% disebabkan karena dermatitis kontak iritan, sedangkan 10-20% disebabkan karena dermatitis kontak alergik. Berdasarkan laporan dari bagian Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado, dari tahun 1988-1991 insiden dermatitis kontak di Indonesia tercatat sebesar 4,45% (Sumantri dkk, 2008).
Di Indonesia banyak penelitian yang telah dilakukan terkait dengan dermatitis kontak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo (2007) dari 80 responden pada industri otomotif terdapat sebanyak 48,8% pekerja mengalami dermatitis kontak. Penelitian lanjutan dilakukan oleh Nuraga, dkk (2008) pada industri otomotif dan didapatkan hasil bahwa pekerja yang mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 74% dari 54 responden.
frekuensi kontak, suhu dan kelembaban, serta faktor individu yaitu usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi (dermatitis atopi). Berdasarkan hasil penelitian Lestari dan Utomo (2007), ada 4 faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya dermatitis kontak pada pekerja yaitu, jenis pekerjaan, usia, lama bekerja, dan riwayat dermatitis akibat pekerjaan sebelumnya. Sedangkan menurut Nuraga dkk (2008), ada faktor lain yang memiliki hubungan paling berpengaruh yaitu pemakaian APD terhadap pekerja yang mengalami dermatitis kontak.
atau merendahkan daya tahan kulit. Sedangkan reaksi yang menimbulkan alergi kulit umumnya adalah hipersensitivitas tipe lambat (Anies, 2005).
Motor sebagai alat transportasi yang murah dan cepat merupakan pilihan utama kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Jumlah kendaraan di wilayah Polda Metro Jaya yang membawahi wilayah Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang, tiap harinya bertambah 890 unit sehingga pada bulan September 2010 jumlahnya sudah mencapai 8,3 juta unit (Prambudi, 2010). Berdasarkan data dari AISI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia) (2012), penjualan sepeda motor pada tahun 2011 tercatat mecapai 8 juta unit. Jumlah kepemilikan sepeda motor yang besar ini dapat memunculkan banyaknya layanan berbagai kebutuhan otomotif ataupun usaha bengkel perbaikan sepeda motor. Hal tersebut juga dapat memberikan peluang kepada orang lain yang juga ahli dalam menangani motor untuk bekerja sebagai mekanik dibengkel motor yang telah didirikan.
Accu zuur (H2SO4 pekat) merupakan salah satu contoh bahan kimia yang dapat menimbulkan dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor. Berdasarkan data yang diperoleh dari dermatologis di UK, dari bulan Februari 1993 sampai bulan Januari 1999 terdapat 152 kasus dermatitis kontak pada mekanik motor dengan insiden rate 12,7/100.000 pekerja. Agen penyebab tertinggi kejadian dermatitis kontak pada pekerja mekanik motor yaitu dari produk minyak bumi sebesar 35,6% (Meyer et al, 2000). Penelitian di Indonesia menunjukkan angka prevalensi dermatitis kontak iritan (DKI) sebesar 2% dan prevalensi yang pernah mengalami riwayat DKI subjektif sebesar 64% pada pekerja bengkel mobil di Jakarta. Didapatkan perbedaan bermakna riwayat DKI subjektif antara pekerja yang kebersihan dirinya tidak baik dengan pekerja yang kebersihan dirinya baik (Lestari, 2009).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurzakky (2011) pada pekerja bengkel motor didapatkan hasil bahwa sebesar 65,7% pekerja bengkel motor menderita dermatitis kontak akibat kerja, dari pekerja yang menderita dermatitis kontak memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk. Pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk memiliki risiko untuk mengalami dermatitis kontak akibat kerja 18,791 kali lebih besar daripada pekerja yang memiliki kebiasaan mencuci tangan yang baik.
kontak setelah mereka terpapar atau kontak dengan bahan kimia. Dari 7 pekerja tersebut 85,7% merasakan gatal, 71,4% merasakan panas pada kulit, 14,3% kulit memerah, dan 14,3% kulit mengelupas. Seluruh pekerja bengkel tidak memakai APD berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaannya.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciputat Timur karena Ciputat Timur merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk yang tertinggi berdasarkan data BPS Kota Tangerang Selatan tahun 2011 mencapai 11.589 jiwa/Km2 dengan penduduk berjumlah 178.818 jiwa. Dan sebagian besar usaha di Ciputat Timur terkonsentrasi pada pelayanan jasa. Berdasarkan hal tersebut memungkinkan banyaknya kepemilikan kendaraan bermotor di Ciputat Timur dan memunculkan banyaknya berbagai layanan service motor (bengkel). Pada observasi awal diketahui bahwa di Kecamatan Ciputat Timur terdapat 43 bengkel motor informal. Selain itu, UIN Syarif Hidayatullah terletak pada Kecamatan Ciputat Timur, sehingga hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai data base pelaksanaan program intervensi khususnya untuk pekerja sektor informal di wilayah terdekat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1.2 Rumusan Masalah
Kejadian dermatitis kontak dapat disebabkan oleh beberapa faktor menurut Schnuch & Carlsen (2011), Djuanda dan Sularsito (2002), Lestari dan Utomo (2007), dan Nuraga, dkk (2008) yaitu lama kontak, frekuensi kontak, bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit lain, riwayat alergi, musim, tipe kulit, pengeluaran keringat, masa kerja, jenis pekerjaan, personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?
2. Bagaimana gambaran lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?
3. Apakah ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 4. Apakah ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?
5. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 6. Apakah ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 7. Apakah ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak
pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012? 8. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
2. Diketahuinya gambaran lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
3. Diketahuinya hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
4. Diketahuinya hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
6. Diketahuinya hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. 7. Diketahuinya hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
8. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
9. Diketahuinya hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Pekerja Bengkel
1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai data base pelaksanaan program intervensi khususnya untuk pekerja sektor informal di wilayah terdekat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai referensi keilmuan K3, khususnya mengenai dermatitis kontak pada pekerja. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai informasi penelitian dan menambah referensi hasil penelitian untuk mahasiswa keselamatan dan kesehatan kerja.
1.5.3 Bagi Peneliti
Dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran dan pengalaman dalam melakukan penelitian bidang keselamatan dan kesehatan kerja, khusunya terkait dengan dermatitis kontak. Selain itu dapat menambah wawasan keilmuan mengenai dermatitis kontak dan faktor penyebab serta faktor yang mempengaruhinya.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
14
2.1 Pekerjaan Bengkel Motor
Pekerjaan bengkel dapat dibagi menjadi tiga kategori, berdasarkan jenis
mesin atau peralatan yang digunakan dan jumlah pekerja yang dipekerjakan.
Misalnya, beberapa bengkel yang berada dalam satu perusahaan dengan 100 atau
lebih karyawan, sementara bengkel lainnya sangat kecil, terutama yang terlibat
dalam menjual bahan bakar dan membuat perbaikan kecil dan mempekerjakan satu
atau dua pekerja. Ada juga bengkel yang dijalankan oleh pekerja keluarga saja.
Selain dari perusahaan, ada juga bengkel yang bergerak pada sektor informal
(Ghebreyohannes, 2005).
Bengkel motor yang berskala kecil atau bengkel motor informal
merupakan bengkel yang melayani melayani servis kendaraan roda dua, mulai dari
servis ringan, tune-up, spare parts, sampai servis besar (turun mesin). Selain itu
juga melayani reparasi hingga penggantian bahan pelumas/oli.
2.1.1 Bahaya Keselamatan Kerja
Bahaya keselamatan didefinisikan sebagai zat (bahan baku),
mesin atau peralatan yang bisa menyebabkan luka sederhana atau serius
yang berpengaruh untuk ketidakhadiran kerja yang berlangsung setidaknya
tangan dan kaki karena asam dehidrasi berat, kelelahan, amputasi, injeksi,
pemotongan, abrasi, patah tangan atau endapan dan cedera mata (karena
benda terbang).
2.1.2 Bahaya Kesehatan Kerja
Bahaya kesehatan kerja didefinisikan sebagai kondisi patologis,
apakah disebabkan oleh fisik, kimia atau biologis agen, yang muncul sebagai
konsekuensi dari pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan atau lingkungan
tempat dia bekerja. Bahaya kesehatan kerja di bengkel diantaranya yaitu
pelarut organik dan anorganik, bahan kimia yang digunakan dalam
membersihkan atau mencuci bagian mesin, dari pengisian baterai, lead yang
digunakan dalam pengelasan, lead filler dan molten lead cair yang digunakan
untuk mengisi keretakan dan penyok. Kejadian dermatitis sensitisasi telah
dilaporkan dari penggunaan primer kromat seng dalam mereparasi bagian
logam.
Dermatitis kontak merupakan salah satu bahaya kesehatan yang
terdapat pada pekerja bengkel. Jenis paparan bahan kimia yang ada di
bengkel motor yaitu air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi
seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin
2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja
Penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul pada
waktu melakukan pekerjaan serta pengaruh-pengaruh yang terdapat di dalam
lingkungan kerja (Siregar, 1996). Penyakit kulit dapat ditandai dengan ruam yang
memiliki kesamaan letak yang terbatas ke daerah serangan eksternal. Menggaruk
ruam karena gatal dapat menyebabkan perluasan daerah yang terpapar. Penggunaan
berbagai salep dalam kombinasi dapat memperburuk daripada mengurangi gejala.
Penggunaan sarung tangan dapat melindungi terhadap kontak dengan bahan kimia
penyebab, tetapi penggunaan sarung tangan yang tidak tepat dapat menyebabkan
bahan kimia dapat masuk diantara sarung tangan dan kulit tangan. Hal ini dapat
memperburuk dermatitis kontak. Beberapa orang juga alergi terhadap lateks dan
komponen lain dalam sarung tangan (Gardiner & Harrington, 2007). Di
negara-negara industri, sekitar 90% dari semua bentuk penyakit kulit akibat kerja terbatas
pada tangan dan lengan bawah, terkadang juga terdapat pada wajah, serta bagian
tubuh lainnya juga kadang-kadang dapat mengalami dermatitis kontak.
Kebanyakan kasus didiagnosis sebagai eksim atau dermatitis kontak (Waldron &
Edling, 2004).
Jenis penyakit kulit akibat kerja adalah sebagai berikut (Waldron &
Edling, 2004):
Subtipe eksim / dermatitis kontak
Depigmentasi dan hyperpigmentasi
Infeksi
tumor jinak dan ganas - berbagai penyakit misalnya lichenoid reaksi.
2.2.1 Penyebab penyakit kulit akibat kerja
Penyakit kulit akibat kerja dapat disebabkan oleh 4 faktor
(Siregar, 1996):
1. Faktor kimiawi, dapat berupa iritasi primer, allergen atau karsinogen.
2. Faktor mekanis/fisik, seperti getaran, gesekan, tekanan, trauma, panas,
dingin, kelembaban udara, sinar radioaktif.
3. Faktor biologis, seperti jasad renik (mikroorganisme) hewan dan
produknya, jamur, parasit dan virus.
4. Faktor psikologis (kejiwaan), ketidakcocokan pengelolaan perusahaan
sering menghambat konflik diantara pegawai dan dapat menimbulkan
gangguan pada kulit seperti neurodermatitis.
Sebenarnya kulit mempunyai fungsi untuk mempertahankan diri
dari serangan/rangsangan luar. Epidermis berfungsi menghambat penguapan
air yang berlebihan dari tubuh, menghambat penyerapan berlebihan dari luar.
Pigmen didalam kulit melindungi tubuh dari pengaruh sinar matahari. Selain
itu kulit mengandung kelenjar keringat dan pembuluh darah yang berfungsi
sebagai alat penjaga keseimbangan cairan tubuh, mempermudah timbulnya
2.2.2 Diagnosis Penyakit Kulit Akibat Kerja
Untuk menegakkan diagnosis suatu penyakit kulit akibat kerja,
sebagaimana penyakit lain, dilakukan (Siregar, 1996):
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan klinis
c. Pemeriksaan laboratorik
d. Percobaan temple/uji temple
2.2.2.1 Anamnesis
Yang perlu ditanyakan antara lain ialah:
Apakah sudah ada penyakit kulit sebelum masuk kerja di perusahaan
yang sekarang.
Jenis pekerjaan penderita.
Pengaruh libur/istirahat terhadap penyakitnya.
Apakah ada karyawan lain menderita penyakit yang sama.
Riwayat alergi penderita atau keluarganya.
Proses produksi di tempat kerja dan bahan-bahan yang digunakan di
tempat pekerjaan.
Apakah kelainan terjadi di tempat-tempat yang terpajan.
Bahan yang dipakai untuk membersihkan kulit dan alat proteksi yang
Lingkungan pekerjaan, tempat kerja terutama mengenai kebersihan
dan temperatur.
Kebiasaan atau hobi penderita yang mendorong timbulnya penyakit,
dan lain-lain.
2.2.2.2 Pemeriksaan Klinis
Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan
kontak bahan yang dicurigai, yang tersering ialah daerah yang terpajan,
misalnya tangan, lengan, muka atau anggota gerak. Kemudian tentukan
ruam kulit yang ada, kelainan kulit yang akut dapat terlihat berupa
eritem, vesikel, edema, bula, dan eksudasi. Kelainan kulit yang kronis
berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, kering dan skuamasi. Bila ada
infeksi terlihat pustulasi. Bila ada pertumbuhan tampak tumor, eksudasi,
lesi verukosa atau ulkus.
2.2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, tinja hendaknya dilakukan secara
lengkap. Bila ada infeksi bakteri hendaknya pus atau nanah dibiak dan
selanjutnya dilakukan tes resistensi. Bila ada jamur perlu diperiksa
kerokan kulit dengan KOH 10% dan selanjutnya dibiak dalam media
Sabouraud agar. Pemeriksaan biopsy kulit kadang-kadang perlu
2.2.2.4 Uji Tempel/ Patch Test
Karena penyakit kulit akibat kerja sebagian besar berbentuk
dermatitis kontak alergik (80%), maka uji tempel perlu dikerjakan untuk
memastikan penyebab alergennya. Bahan tersangka dilarutkan dalam
pelarut tertentu dengan konsentrasi tertentu. Sekarang sudah ada bahan
tes tempel yang sudah standard an disebut unit uji tempel. Unit ini terdiri
atas filter paper disc, yang dapat mengabsorbsi bahan yang akan diuji.
Bahan yang akan diuji diteteskan diatas unit uji tempel, kemudian
ditutup dengan bahan impermeabel, selanjutnya ditutup lagi dengan
plester yang hipoalergis. Pembacaan dilakukan setelah 48, 72 dan 96
jam. Setelah penutup dibuka, ditunggu dahulu 15-30 menit untuk
menghilangkan efek plester.
Hasil 0 : bila tidak ada reaksi
+ : bila hanya ada eritema
++ : bila ada eritema dan papul
+++ : bila ada eritema, papul, dan vesikel
++++ : bila ada edema, vesikel
Dalam penilaian ini harus dapat dibedakan antara reaksi iritasi
dan reaksi alergi, reaksi negatif semu dan reaksi positif semu, untuk itu
2.3 Dermatitis Kontak
2.3.1 Anatomi Kulit
Kulit adalah massa jaringan terbesar di tubuh. Kulit bekerja
melindungi dan enginsulasi struktur-struktur dibawahnya dan berfungsi
sebagai cadangan kalori. Kulit mencerminkan emosi dan stress yang kita
alami, dan berdampak pada penghargaan orang lain merespon kita. Selama
hidup, kulit dapat teriris, tergigit, mengalami iritasi, terbakar, atau terinfeksi.
Kulit memiliki kapasitas dan daya tahan yang luar biasa untuk pulih. Kulit
terdiri atas tiga lapisan, yang masing-masing tersusun dari berbagai jenis sel
dan fungsi yang bermacam-macam. Ketiga lapisan tersebut afalah epidermis,
dermis, dan subkutis (Corwin, 2009).
Sumber : Craecker, 2008
2.3.1.1 Epidermis
Epidermis adalah lapisan kulit terluar. Sel-sel epidermis terus
menerus mengalami mitosis, dan diganti sel baru sekurang-kurangnya setiap
30 hari. Epidermis mengandung reseptor sensorik untuk sentuhan, suhu,
getaran, dan nyeri. Komponen utama epidermis adalah protein keratin, yang
dihasilkan oleh sel keratinosit. Keratin mencegah hilangnya air tubuh dan
melindungi epidermis dari iritan dan mikroorganisme penyebab infeksi.
Melanosit (sel pigmen) terdapat dibagian dasar epidermis. Melanosit
mensintesis dan mengeluarkan melanin sebagai respon terhadap rangsangan
hormon hipifisis anterior. Sel-sel imun, yang disebut sel Langerhans, terdapat
diseluruh epidermis. Sel langerhans mengenali partikel asing atau
mikroorganisme yang masuk ke kulit, dan member sinyal pada limfosit T atas
keberadaan partikel atau mikroorganisme tersebut untuk memulai suatu
serangan imun (Corwin, 2009).
2.3.1.2 Dermis
Dermis terletak tepat dibawah epidermis. Jaringan ini dianggap
jaringan ikat longgar dan terdiri atas sel-sel fibroblast yang mengeluarkan
protein kolagen dan elastin. Diseluruh dermis dijumpai pembuluh darah, saraf
sensorik dan simpatis, pembuluh limfe, folikel rambut, serta kelenjar keringan
dan palit (sebasea). Sel mast, yang mengeluarkan histamine selama cedera
mikroorganisme, juga terdapat di dermis. Pembuluh darah di dermis
menyuplai makanan dan oksigen dermis dan epidermis, dan membuang
produk-produk sisa. Aliran darah dermis memungkinkan tubuh mengontrol
temperaturnya (Corwin, 2009).
Dermis membentuk bagian terbesar kulit dengan memberikan
kekuatan dan struktur pada kulit. Lapisan ini tersusun dari dua lapisan yaitu
papilaris dan retikularis. Lapisan papilaris dermis berada langsung dibawah
epidermis dan tersusun terutama dari sel-sel fibroblast yang dapat
menghasilkan salah satu bentuk kolagen, yaitu suatu komponen dari jaringan
ikat. Lapisan retikularis terletak dibawah lapisan papilaris dan juga
memproduksi kolagen serta berkas-berkas serabut elastic. Dermis sering
disebut sebagai “kulit sejati” (Smeltzer & Bare, 2001).
2.3.1.3 Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis kulit terletak dibawah dermis. Lapisan ini terdiri
atas lemak dan jaringan ikat dan berfungsi sebagai peredam kejut dan
insulator panas. Lapisan subkutis adalah tempat penyimpanan kalori selain
lemak, dan dapat dipecah menjadi sumber energy jika diperlukan (Corwin,
2009). Lapisan subkutis/jaringan subkutan ini terutama berupa jaringan
adiposa yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal
seperti otot dan tulang. Jaringan ini memungkinkan mobilitas kulit, perubahan
2.3.2 Fungsi Kulit
Fungsi kulit menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu diantaranya
sebagai perlindungan, sensibilitas, keseimbangan air, pengaturan suhu,
produksi vitamin, dan fungsi respon imun.
2.3.3 Dermatitis Kontak Akibat Kerja
Dermatitis kontak akibat kerja menyumbang 90% dari semua kasus
gangguan kulit yang berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini dapat dibagi ke dalam
dermatitis kontak iritan, yang terjadi pada 80% kasus, dan dermatitis kontak alergi.
Dalam kebanyakan kasus, kedua jenis akan hadir sebagai lesi eczematous pada
bagian tubuh yang terkena, terutama tangan (Sasseville, 2008).
Smeltzer & Bare (2001) juga mengatakan dermatitis kontak merupakan
reaksi inflamasi kulit terhadap unsur-unsur fisik, kimia, atau biologi. Epidermis
mengalami kerusakan akibat iritasi fisik dan kimia yang berulang-ulang. Dermatitis
kontak bisa berupa tipe iritan-primer dimana reaksi non-alergik terjadi akibat
pajanan terhadap substansi iritatif, atau tipe alergi (dermatitis kontak alergik) yang
disebabkan oleh pajanan orang yang sensitive terhadap allergen kontak. Reaksi
pertama dari dermatitis kontak mencakup rasa gatal, terbakar, eritema yang segera
diikuti oleh gejala edema, papula, vesikel serta perembasan cairan atau secret.
Sedangkan pada fase subakut, perubahan vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi
dan berubah menjadi pembentukan krusta, pengeringan, pembentukan fisura serta
terus-menerus menggaruk kulitnya, penebalan kulit (likenifikasi) dan pigmentasi
(perubahan warna) akan terjadi.
Ada dua tipe dermatitis kontak akibat kerja yaitu:
1. Dermatitis kontak iritan
2. Dermatitis kontak alergik
Tabel 2.1 Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi
Dematitis kontak iritan Dermatitis Kontak Alergik Patogenesis Efek sitotoksik langsung Reaksi imun yang diperantai sel
T
Individu yang terkena
Semua orang Hanya orang yang alergik
Onset Langsung atau setelah paparan berulang terhadap iritasi lemah
12-48 jam
Tanda Subakut atau kronis ekzema dengan
deskuamasi, fisura
Akut hingga subakut ekzema dengan vesiculation
Gejala Nyeri atau rasa kulit terbakar gatal Konsentrasi
kontaktan
tinggi rendah
Pemeriksaan Tidak ada Tes patch atau prick
2.3.3.1 Dermatitis Kontak Iritan
Dalam Partogi (2008) dermatitis kontak iritan (DKI) adalah
suatu proses inflamasi lokal pada kulit jika berkontak dengan zat yang
bersifat iritan. Secara umum terdapat dua macam DKI yang bergantung
dari jenis bahan iritannya, yaitu DKI akut dan kumulatif. Pada DKI
akut, kerusakan kulit oleh bahan iritan terjadi hanya dalam satu kali
pajanan. Zat yang menyebabkan DKI akut adalah zat yang cukup iritan
untuk menyebabkan kerusakan kulit bahkan dalam satu pajanan.
Mencakup didalamnya adalah asam pekat, basa pekat, cairan pelarut
kuat, zat oksidator dan reduktor kuat.
Sedangkan pada DKI kumulatif, kerusakan terjadi setelah
beberapa kali pajanan pada lokasi kulit yang sama, yaitu terhadap
zat-zat iritan lemah seperti: air, deterjen, zat-zat pelarut lemah, minyak dan
pelumas. Zat-zat ini tidak cukup toksik untuk menimbulkan kerusakan
kulit pada satu kali pajanan, melainkan secara perlahan-lahan hingga
pada suatu saat kerusakannya mampu menimbulkan inflamasi.
Tabel 2.2 Jenis Iritan yang Umum Terdapat di Tempat Kerja
No Iritan 1 Asam dan Basa (Alkali)
2 Pelarut
Alifatik : Minyak bumi, Minyak tanah, Bensin Aromatik : Benzena, Toluena, Xylene/Xilena
Halogenasi : Kloroform, Trikloroetilen, Metil klorida
Beberapa macam lainnya : Air, Alkohol, Keton, Glikol, Terpentin
3 Sabun dan Deterjen 4 Plastik dan Resin
Epoxy, Fenolik dan Akrilik monomer Amina katalis
Styrene, Benzoil peroksida 5 Logam
Nikel, Kromium, Kobalt, Platina, Arsenik 6 Tanaman
Bulu, Duri
Kalsium oksalat : Dieffenbachia, Philodendron, Daffodil, Agave Fototoksik psoralen : Apiaceae, Rutaceae
7 Partikel
Pasir, Serbuk gergaji, Fiberglass, Kikiran logam, dan lain-lain. Sumber : Sasseville (2008)
2.3.3.1.1 Patogenesis
Mekanisme patogenesis DKI kumulatif dapat terjadi
melalui dua cara yaitu melalui mekanisme kerusakan fungsi sawar kulit
yang diperankan oleh stratum korneum dan pelepasan mediator akibat
kerusakan keratinosit. Stratum korneum memiliki banyak fungsi, salah
satunya adalah sebagai lapisan sawar pelindung yang mencegah
pelepasan cairan berlebih dari kulit. Fungsi integritas kulit bergantung
Kerusakan akibat pajanan zat iritan dimulai dengan
kerusakan lapisan lipid dan Natural Moisturizing Factor (NMF)
sehingga terjadi kekeringan kulit, kemudian kelainan stratum korneum
ini akan mengakibatkan kulit kehilangan fungsi sawarnya. Hal tersebut
akan menyebabkan terjadinya pajanan langsung sel kulit yang masih
hidup terhadap zat iritan tersebut. Jika zat iritan telah dapat mencapai
membrane lipid keratinosit, maka zat tersebut dapat berdifusi melalui
membrane untuk masuk lisosom, mitokondria, atau komponen inti.
2.3.3.1.2 Manifestasi Klinis
Penyebab kerusakan stratum korneum pada DKI kumulatif
adalah penurunan ambang kulit terhadap kerusakan berulang yang
terjadi lebih cepat daripada waktu untuk penyembuhan sempurna
fungsi sawar kulit. Gejala klinis baru terlihat jika kerusakan yang
terjadi melebihi “ambang manifestasi” tertentu, yang akan berbeda
untuk setiap individu. Nilai ambang bukan angka yang tetap bagi
individu, tetapi dapat menurun jika ada suatu penyakit.
Dikatakan bahwa sebelum efek inflamasi dan kulit kering
terlihat oleh mata, secara histopatologik pada kulit sudah terjadi
kerusakan. Karena DKI kumulatif disebabkan oleh zat kimia lemah,
maka kelainan kulit yang diakibatkannya bersifat kronis. Efek iritasi
yang terjadi dapat merupakan gejala yang dapat diobservasi oleh
eritematosa, likenifikasi, ekskoriasi, skuama, hyperkeratosis, dan kulit
pecah dengan batas yang tidak tegas. Sedangkan keluhan yang timbul
dapat berupa gatal, panas, dan nyeri akibat pecahnya kulit yang
hiperkeratotik. Lokasi kulit dimana saja dapat terkena, akan tetapi yang
terbanyak adalah tangan.
2.3.3.2 Dermatitis Kontak Alergik
Berbeda dengan dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak
alergika merupakan suatu fenomenan imunologi yang membutuhkan
Antigen Presenting Cells (APC) dan Anti gen Processing Cells tanpa
mempersoalkan keadaan pertahanan stratum korneum, sehingga
meskipun stratum korneum intak, tidak dapat mencegah terjadinya
Tabel 2.3 Jenis Alergens yang Umum Terdapat di Tempat Kerja
No Alergen 1 Logam
Nikel, Kromium, Kobalt, Merkuri, Emas, Platinum 2 Karet Aditif
Akselerator : Merkaptobenzotiazol, Karbamat, Thiurams, Tiourea
Antioksidan : N-fenil-N-isopropil-paraphenylenediamine, dan lain-lain
3 Plastik dan Resin
Epoxy, Fenolik dan Akrilik monomer Amina, Anhidrida, dan Katalis peroksida Colophony, Terpentin, Katekol
4 Biosida
Formalin dan Formaldehid releasers Glutaraldehid
Paraben dan pengawet lainnya (lihat biosida) Wewangian dan minyak esensial
6 Tanaman
Penta-dan Heptadecylcatehols Seskuiterpen lakton
Sumber : Sasseville (2008)
2.3.3.2.1 Patogenesis
Di sini yang berperan adalah reaksi tipe IV (Gell dan
Coombs). Reaksi ini di bagi dalam dua fase yaitu, fase sensitisasi dan
fase elisitasi. Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai allergen
sebut sebagai hapten. Hapten akan berpenetrasi menembus lapisan
korneum sampai mencapai lapisan bawah epidermis. Hapten ini akan
difagosit oleh sel Langerhans, kemudian hapten akan di ubah oleh
enzim lisosom dan sitosolik yang kemudian berikatan dengan HLA-DR
membentuk anti gen. HLA-DR dan anti gen ini akan di perkenalkan
kepada sel limfosit T melalui CD4 (cluster of differentiation-4) yang
akan mengenal HLA-DR dan CD3 (cluster of differentiation-3) yang
akan mengenal anti gen tersebut. Sedangkan fase elisitasi di mulai
ketika anti gen yang serupa, setelah difagosit oleh sel Langerhans
dengan cepat akan di kenal oleh sel memori sehingga sel memori akan
mengeluarkan IFN-g (interferon gamma) yang akan merangsang
keratinosit yang akan menampakkan ICAM-1 dan HLA-DR pada
permukaan keratinosit. ICAM-1 akan memungkinkan keratinosit
berikatan dengan sel lekosit yang pada permukaannya terdapat LFA-1
(lymphocyte associated-1).
2.3.3.2.2 Manifestasi Klinis
Penderita umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut di
mulai dengan bercak eritea berbatas jelas, kemudian di ikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada kronis terlihat kulit
kering berskuama, papul likenifikasi dan mungkin juga fisura, batas
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak
Faktor yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak yaitu lama kontak,
frekuensi kontak dan bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat
penyakit kulit lain, tipe/jenis kulit, riwayat alergi, riwayat pekerjaan, masa kerja,
jenis pekerjaan, personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban.
2.4.1 Lama Kontak
Lama kontak dapat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak
akibat kerja (Djuanda dan Sularsito 2002). Lama kontak dengan bahan kimia
yang terjadi akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja.
Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi
kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit. Pengendalian
risiko, yaitu dengan cara membatasi jumlah dan lama kontak yang terjadi
perlu dilakukan (Nuraga, 2008).
Berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2008), ada hubungan antara
lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja yang terpajan
dengan bahan kimia di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri
Cibitung Jawa Barat. Dalam penelitian tersebut didapatkan bahwa pekerja
dengan lama kontak 8 jam//hari lebih banyak menderita dermatitis kontak
dibandingkan dengan pekerja dengan lama kontak < 8 jam/hari. Dari
penelitian Ruhdiat (2006) juga didapatkan bahwa perjalanan dermatitis
mempunyai kontak selama 8 jam, dan lama kontak merupakan salah satu
faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian dermatitis kontak.
Menurut Cohen (1999), lama kontak mempengaruhi kejadian
dermatitis kontak, karena semakin lama kontak dengan bahan kimia maka
akan semakin merusak sel kulit hingga ke lapisan yang lebih dalam dan
risiko terjadinya dermatitis kontak akan semakin tinggi. Agius (2004) juga
mengatakan bahwa semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit, maka
penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit akan semakin luas dan dalam
hingga menyebabkan reaksi peradangan/iritasi yang lebih berat.
2.4.2 Frekuensi Kontak
Frekuensi kontak juga merupakan faktor yang mempengaruhi
kejadian dermatitis kontak akibat kerja (Djuanda dan Sularsito, 2002).
Menururt Cohen (1999), dermatitis kontak alergi dapat disebabkan karena
adanya frekuensi yang terus-menerus dan berulang khususnya untuk bahan
yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis
kontak alergi, dimana dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun
beratnya tidak proporsional biasanya disebabkan oleh bahan kimia dengan
jumlah sedikit. Menurut Nuraga dkk (2008), upaya menurunkan frekuensi
kontak pekerja dengan bahan kimia merupakan salah satu upaya yang baik
Dalam penelitian Ruhdiat (2006), dermatitis kontak akut
terbanyak terjadi pada pekerja yang mempunyai frekuensi kontak dengan
bahan kimia sebanyak 5 kali/hari. Sedangkan dermatitis kontak sub akut
banyak terjadi pada pekerja sebanyak 3 dan 5 kali kontak bahan kimia/ hari.
Untuk dermatitis kontak kronik terjadi pada pekerja yang mempunyai kontak
bahan kimia diatas 6 kali, yaitu 7 dan 8 kali kontak. Dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa semakin banyak frekuensi kontak pekerja dengan bahan
kimia, maka berpotensi untuk terjadinya dermatitis kontak hingga kronik.
Pada penelitian itu disebutkan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak
dengan kejadian dermatitis kontak.
2.4.3 Bahan Kimia
Bahan kimia dapat bergabung dengan protein kulit dan
menyebabkan kerusakan kulit (Gardiner Aw & Harrington, 2007). Linins
dalam Ruhdiat (2006) mengatakan bahwa bahaya bahan kimia adalah korosif
(iritan) dan racun. Bahan kimia dapat menyebabkan langsung jaringan kulit
iritasi sampai cedera atau korosi pada permukaan logam, namun yang sering
terjadi adalah cedera korosi yang merusak jaringan lunak baik kulit maupun
mata, iritasi kulit merupakan derajat cedera korosif dengan derajat ringan.
Bahan kimia korosif cairan basa merusak jaringan lunak lebih kuat dari pada
asam anorganik. Bahan ini merusak lebih dalam pada jaringan lunak kulit
yang hebat dan melemahkan lapisan epidermis sehingga kulit menjadi lebih
rentan terhadap bahan kimia lain. Namun pada saat permulaan terpapar
justru tidak timbul rasa sakit.
Bahan kimia cair asam berbeda cara kerjanya dengan basa, yang
mana asam menimbulkan luka bakar luas dengan efek panas dengan proses
perusakan jaringan lunak. Asam bereaksi sangat cepat dengan lapisan
pelindung. Pelarut organik dapat menyebabkan iritasi berat pada kulit dan
membran mukosa dengan merusak jaringan lunak yang menyebabkan jalan
masuk untuk terjadinya infeksi sekunder (Linins dalam Ruhdiat, 2006).
2.4.4 Masa Kerja
Masa kerja merupakan lamanya pekerja bekerja pada suatu
tempat. Analisis hubungan antara lama bekerja dengan kejadian dermatitis
kontak menunjukan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian
dermatitis kontak pada pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Pekerja yang
memiliki lama bekerja ≤2 tahun lebih banyak yang terkena dermatitis
dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja > 2 tahun. Hasil analisis
juga menunjukkan bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤2 tahun memiliki
peluang 3,5 kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja
yang telah bekerja selama >2 tahun (Lestari dan Utomo, 2007).
Cohen (1999) mengatakan bahwa pekerja denganlama bekerja ≤
pekerja tersebut belum memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan
pekerjaannya. Jika pekerja ini masih sering ditemui melakukan kesalahan
dalam prosedur penggunaan bahan kimia, maka hal ini berpotensi
meningkatkan angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan lama
bekerja ≤ 2 tahun. Pekerja dengan pengalaman akan lebih berhati-hati
sehingga kemungkinan terpajanbahan kimia lebih sedikit.
Masa kerja seseorang menentukan tingkat pengalaman seseorang
dalam menguasai pekerjaannya. Hal ini dimungkinkan bahwa para pekerja
yang telah bekerja lebih dari dua tahun telah memiliki resistensi terhadap
bahan iritan maupun alergen, sehingga penderita dermatitis kontak pada
kelompok ini cenderung sedikit ditemukan. Pekerja dengan lama kerja
kurang atau sama dengan 2 tahun dapat menjadi salah satu faktor yang
mengindikasikan bahwa pekerja tersebut belum memiliki pengalaman yang
cukup dalam melakukan pekerjaanya (Cahyawati dan Budiono, 2011).
Sama dengan yang dikatakan oleh Utomo (2007) bahwa pekerja
dengan lama bekerja ≤ 2 tahun masih rentan terhadap berbagai macam zat
kimia. pada pekerja dengan lama bekerja > 2 tahun dapat dimungkinkan
telah memiliki resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan. Resistensi
ini dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi
lebih tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang
2.4.5 Usia
Pada beberapa literatur menyatakan bahwa kulit manusia
mengalami degenerasi seiring bertambahnyausia. Sehingga kulit kehilangan
lapisan lemak diatasnyadan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulitini
memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi
lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Usia pekerja yang lebih tua
menjadilebih rentan terhadap bahan iritan. Seringkali pada usia lanjut terjadi
kegagalan dalam pengobatan dermatitis kontak, sehingga timbul dermatitis
kronik (Cronin dalam Lestari dan Utomo, 2007).
Dapat dikatakan bahwa dermatitis kontak akan lebih mudah
menyerang pada pekerja dengan usia yang lebih tua. Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007), pekerja dengan usia yang
lebih muda justru lebih banyak yang terkena dermatitis kontak. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa dermatitis kontak lebih banyak
terjadi pada pekerja dengan usia ≤ 30 tahun yaitu sebesar 60,5%, sedangkan
pada usia > 30 tahun kejadian dermatitis kontak sebesar 35,1%.
2.4.6 Jenis Kelamin
Dermatitis kontak sering terjadi pada perempuan (Wigger dalam
Avivah, 2005). Studi epidemiologi secara konsisten menunjukkan di antara
pasien dengan iritasi eksim pada tangan tingkatnya lebih tinggi pada wanita,
perbedaan antara kedua jenis kelamin dalam hal akut atau reaktivitas
kumulatif iritan. Persepsi umumnya, wanita memiliki kulit yang lebih
sensitif dibandingkan dengan pria. Dalam studi yang lebih baru, pria
bereaksi terhadap paparan iritan yang lebih besar tingkatnya daripada wanita
(Schnuch & Carlsen, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Trihapsoro (2003), Dari 40 pasien yang diuji tempel bahwa ternyata jenis
kelamin yang terbanyak adalah perempuan yaitu 29 pasien (72,5%)
dibandingkan dengan laki-laki yaitu hanya 11 pasien (27,5%).
2.4.7 Ras
Variasi antar etnis dalam reaksi iritan telah dinilai antara orang
Asia dan Kaukasia, kulit hitam dan kulit putih, serta Hispanik dan Kaukasia.
Beberapa studi telah dilakukan dengan tujuan untuk menyelidiki perbedaan
reaktivitas iritan antara kulit hitam dan kulit putih. Studi dasar penilaian
visual, telah dilaporkan penurunan reaktivitas pada kulit hitam, sedangkan
studi dasar pada parameter obyektif telah menghasilkan peningkatan
reaktivitas, kesamaan reaktivitas, ataupun penurunan reaktivitas, tetapi untuk
sebagian besar penurunan reaktivitas pada kulit hitam dibandingkan dengan
kulit putih. Lapisan korneum memainkan peran utama dalam perbedaan
antar etnis yang diamati. Mungkin ada perbedaan struktural dalam stratum
korneum antara kulit hitam dan kulit putih. Jumlah lapisan sel dan kohesi
tetapi ketebalan stratum korneum sama. Lipid interseluler juga tampaknya
lebih besar pada kulit Hitam. Jadi dapat dikatakan, kulit putih lebih rentan
untuk terjadinya dermatitis (Schnuch & Carlsen, 2011).
2.4.8 Riwayat Atopi
Riwayat atopi adalah sekelompok penyakit pada individu yang
mempunyai riwayat keadaan kepekaan dalam keluarganya, missal dermatitis
atopi, rhinitis alergi, asma bronkiale (Djuanda, 2007). Ada pengaruh yang
signifikan antara riwayat atopik dengan timbulnya dermatitis kontak iritan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Sulistyani dkk (2010), didapatkan
bahwa orang dengan riwayat atopik akan lebih mudah terkena dermatistis
kontak iritan dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopi.
Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan 41 orang (58,6%) menderita
dermatitis kontak iritan (DKI) dan 29 orang ( 41,4%) tidak menderita DKI.
Dari 41 orang yang menderita DKI, sebanyak 29 orang (41,4%) mempunyai
latar belakang riwayat atopi dan sebanyak 12 orang (17,1%) tidak
mempunyai latar belakang riwayat atopi. Dari hasil penelitian tersebut juga
dikatakan bahwa orang yang memiliki riwayat atopik memiliki peluang yang
lebih besar yaitu sebesar 5,37 kali dibandingkan dengan orang yang tidak
memiliki riwayat atopik.
Sularsito (2007) menyatakan bahwa seseorang yang telah
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopik. Schnuch &
Carlsen (2011) juga mengatakan bahwa pasien dengan riwayat dermatitis
atopi tetapi tidak ada lesi aktif tidak menunjukkan reaktivitas meningkat
dibandingkan dengan pasien dengan dermatitis atopi aktif. Hiperreaktivitas
yang diamati pada pasien dermatitis atopi mungkin juga berkorelasi positif
dengan keparahan penyakit. Kerentanan tinggi terhadap reaksi iritasi pada
orang yang memiliki riwayat/dermatitis atopi mungkin sebagian dikarenakan
oleh permeabilitas barrier kulit yang lebih tinggi dan oleh respon inflamasi
yang lebih besar.
2.4.9 Riwayat Penyakit Kulit
Pada pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit
dermatitis, merupakan kandidat utamauntuk terkena penyakit dermatitis. Hal
ini karena kulitpekerja tersebut sensitif terhadap berbagai macam zatkimia.
Jika terjadi inflamasi maka zat kimia akan lebih mudah dalam mengiritasi
kulit, sehingga kulit lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Dari
hasil penelitian Cahyawati dan Budiono (2011), menyatakan bahwa faktor
riwayat penyakit kulit ternyata menjadi faktor yang berhubungan dengan
kejadian dermatitis. Sebagian besar responden yang memiliki riwayat
penyakit kulit sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Sumantri dkk
(2008) memgatakan bahwa beberapa faktor mungkin mempengaruhi
menghasilkan dermatitis yang parah akibat membiarkan iritan dengan mudah
memasuki dermis.
2.4.10 Riwayat Alergi
Riwayat alergi merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi dermatitis kontak (Hipp, 1985 dalam Utomo, 2007). Riwayat
alergi dapat menjadikan kulit lebih rentan terhadap penyakit dermatitis
kontak. Analisis hubungan antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak
menunjukkan bahwa pekerja dengan riwayat alergi yang terkena dermatitis
sebanyak 15 orang (57,7%) dari 26 orang yang memiliki riwayat alergi.
Sedangkan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi terkena dermatitis
sebanyak 24 orang dengan persentase sebesar 44,4% dari 54 orang pekerja
(Lestari dan Utomo 2007).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cahyawati dan
Budiono (2011) sebagian besar responden yang tidak menderita dermatitis
tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya. Dari data sebanyak 17 responden
(85%) responden yang tidak menderita dermatitis tidak memiliki alergi
sebelumnya, sebaliknya 10 responden (50%) yang menderita dermatitis
2.4.11 Musim
Menurut Hipp (1985) dalam Utomo (2007), faktor musim dapat
mempengaruhi kejadian dermatitis kontak. Menururt Gilles L et al (1990)
dalam Situmeang (2008), musim panas dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan pengeluaran keringat oleh pekerja, selain itu dapat membuat
pekerja menghindari pemakaian APD dan memakai pakaian kerja yang
minim sehingga memungkinkan kontak langsung dengan bahan kimia secara
mudah. Pada cuaca yang dingin, pekerja biasanya lebih malas untuk
membersihkan diri dengan air setelah kontak dengan bahan kimia.
2.4.12 Tipe kulit
Kulit manusia dapat berbeda berdasarkan pada status pigmentasi
dan kemampuan dalam penyamakan respon terhadap sinar matahari. Tidak
ada perbedaan nilai ambang respon dalam iritan akut yang telah dicatat
antara individu sesuai dengan jenis kulit mereka, tetapi pengukuran dosis
eritema minimal tampaknya berkorelasi terbalik dengan tingkat reaksi
terhadap paparan iritan (Schnuch & Carlsen, 2011). Ketebalan kulit juga
dapat mempengaruhi ketahanan terhadap paparan bahan kimia. Selain itu,
kulit yang berminyak lebih tahan terhadap at-zat yang larut dalam air,
dibandingkan dengan kulit kering yang kurang tahan terhadap bahan-bahan
2.4.13 Pengeluaran Keringat
Tingkat efek dermatitis kontak tergantung dari beberapa faktor,
salah satunya adalah berkeringat (Gardiner Aw & Harrington, 2007). Gilles
L et al (1990) dalam Situmeang (2008) mengatakan bahwa bahan-bahan
iritan dapat diencerkan dan dihanyutkan oleh keringat yang keluar dari kulit,
dan akan memudahkan absorbs melalui pori-pori kulit.
2.4.14 Jenis Proses Pekerjaan
Jenis proses pekerjaan merupakan berbagai macam tahap
pekerjaan yang dilakukan pada suatu tempat pekerjaan yang sama. Jenis
proses pekerjaan dapat mempengaruhi dermatitis kontak karena diantara satu
pekerjaan dengan pekerjaan lainnya memungkinkan adanya paparan bahan
kimia yang berbeda jumlah konsentrasi dan lama paparannya. Semakin besar
jumlah, konsentrasi dan lama pajanan, maka semakin besar kemungkinan
pekerjatersebut terkena dermatitis kontak (Priatna dalam Lestari dan Utomo,
2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo
(2007), ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian dermatitis
kontak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang bekerja pada
proses realisasi lebih banyak yang mengalami dermatitis kontak
dibandingkan dengan pekerja yang bekerja pada proses pendukung. Hasil
peluang 3,358 (3,4) kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan
pekerja di proses pendukung.
2.4.15 Suhu dan Kelembaban
Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor fisik udara di
lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak (Djuanda &
Sularsito, 2002). NIOSH dalam Ruhdiat (2006) merekomendasikan tentang
kriteria untuk nyaman, suhu udara dalam ruang yang dapat diterima adalah
berkisar antara 20-240C untuk musim dingin dan 23-260C untuk musim
panas pada kelembaban 35-65%. Mc Beath dalam Ruhdiat (2006)
mengatakan semua bahan penyebab dermatitis kontak iritan seperti basa kuat
dan asam kuat, sabun, dan detergen dan banyak bahan kimia organik
diperberat dengan faktor turunnya kelembaban dan naiknya suhu lingkungan
kerja. Hasil penelitian yang dilakukan Ruhdiat (2006), menunjukkan bahwa
dermatitis kontak banyak terjadi pada pekerja yang bekerja didalam ruang
yang memiliki suhu 25 dan 260C dan pada kelembaban < 65%.
2.4.16 Personal Hygiene
Personal hygiene juga merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi dermatitis kontak (Hipp, 1985 dalam Utomo, 2007). Menurut
Lestari dan Utomo (2007), salah satu faktor yang dapat mencegah terjadinya
dermatitis kontak adalah personal hygiene. Dari hasil penelitiannya
dermatitis dengan personal hygiene yang baik dengan pekerja yang
mengalami dermatitis kontak pada pekerja yang personal hygiene-nya
kurang baik. Dermatitis kontak lebih banyak terjadi pada pekerja yang
memiliki personal hygiene kurang baik. Dalam hal ini, yang dimungkinkan
menjadi penyebabnya personal hygiene kurang baik adalah masalah mencuci
tangan. Kebiasaan mencuci tangan seharusnya dapat mengurangi potensi
penyebab dermatitis akibat bahan kimia yang menempel setelah bekerja,
tetapi nyatanya pekerja masih bisa berpotensi untuk mengalami dermatitis
meski sudah melakukan kebiasaan mencuci tangan. Hal tersebut bisa
disebabkan karena adanya kesalahan dalam mencuci tangan (kurang bersih
dalam mencuci tangan).
Dalam penelitian Cahyawati dan Budiono (2011) juga
menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor personal hygiene dengan
kejadian dermatitis kontak. Ada kecenderungan bahwa responden yang
menderita dermatitis karena memiliki personal hygiene yang buruk,
sebaliknya responden yang tidak menderita dermatitis sebagian besar
memiliki personal hygiene baik.
Menurut hasil penelitian Nurzakky (2011) sebesar 65,7% pekerja
bengkel motor menderita dermatitis kontak akibat kerja, dari pekerja yang
menderita dermatitis kontak memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk.
Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki kebiasaan
kontak akibat kerja 18,791 kali lebih besar daripada pekerja yang memiliki
kebiasaan mencuci tangan yang baik.
2.4.17 Pemakaian APD
Sebaiknya para pekerja diperlengkapi dengan alat penyelamat
atau pelindung yang bertujuan menghindari kontak dengan bahan yang
sifatnya dapat mengiritasi, merangsang atau karsinogen. Alat pelindung yang
dapat dipergunakan misalnya baju pelindung, sarung tangan, topi, kaca mata
pelindung, sepatu, krim pelindung dan lain-lain (Siregar, 1996).
Pekerja yang selalu menggunakan sarung tangan dengan tepat
akan menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja baik jumlah
maupun lama perjalanan dermatitis kontak. Besarnya risiko kelompok
pekerja yang kadang-kadang menggunakan APD dibandingkan dengan
kelompok pekerja yang menggunakan APD terhadap kejadian dermatitis
kontak (positif) adalah 8,556. Artinya pekerjayang kadang-kadang memakai
APD mempunyai risikomengalamai dermatitis kontak 8,556 kali lebih besar
dari pekerja yang selalu menggunakan APD (Nuraga dkk, 2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Cahyawati dan Budiono
(2011) membuktikan bahwa ada hubungan antara pemakaian APD dengan
kejadian dermatitis kontak. Pekerja yang cenderung memakai APD secara
Pemakaian alat pelindung diri, maka akan menghindarkan seseorang kontak
langsung dengan agen-agen fisik, kimia maupun biologi.
Kesesuaian APD juga perlu untuk diperhatikan. APD yang baik
seharusnya dapat mengurangi potensi pekerja untuk terkena dermatitis
kontak. Jika pekerja masih merasakan adanya kontak dengan bahan kimia
walaupun telah mengenakan APD, hal ini menunjukan bahwa APD yang
digunakan tidak sesuai untuk melindungi kulit dari material bahan kimia
(Lestari dan Utomo, 2007).
2.5 Kerangka Teori
Berdasarkan teori yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak menurut Djuanda dan
Sularsito (2002) yaitu lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban, serta
faktor individu yaitu usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi.
Menurut Schnuch & Carlsen (2011), faktor yang mempengaruhi diantaranya yaitu
dermatitis atopi/riwayat atopi, jenis kelamin, usia, etnik/ras, penyakit kulit lainnya,
serta tipe kulit. Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi seperti masa kerja dan
jenis proses pekerjaan (Cohen, 1999), pemakaian APD (Siregar, 1996), riwayat
alergi, musim dan personal hygiene (Hipp dalam Utomo, 2007), serta bahan kimia
dan pengeluaran keringat (Gardiner Aw & Harrington, 2007). Hal tersebut dapat