ANALISIS DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH
TERHADAP PENGELOMPOKKAN KECAMATAN
BERDASARKAN BEBERAPA PEUBAH SOSIAL EKONOMI
DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2008
OLEH
RA. LEISA TRIANA H14094003
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Pengelompokkan Kecamatan Berdasarkan Beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008 (dibimbing oleh FIFI DIANA THAMRIN).
Dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah guna meningkatkan dan mempercepat pembangunan daerah, pembangunan dilakukan dengan konsep pembangunan lintas wilayah. Pembangunan lintas wilayah mencakup upaya pengembangan wilayah untuk mendayagunakan potensi dan kemampuan daerah dengan berbagai alat kebijakan yang mendukung perkembangan perekonomian daerah, berkembangnya pemukiman, perkotaan, pedesaan, wilayah cepat tumbuh, perbatasan dan wilayah tertinggal, serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, meningkatkan hidup dan kehidupannya. Pemekaran wilayah menjadi suatu pilihan yang dilakukan pemerintah daerah untuk mempercepat pembangunan daerah.
Kabupaten Bogor sebelum otonomi daerah terdiri dari 30 kecamatan kini dimekarkan menjadi 40 kecamatan. Strategi pembangunan dilakukan dengan pendekatan per wilayah pembangunan yaitu wilayah pembangunan Bogor Barat, Bogor Tengah dan Bogor Timur. Namun dirasakan adanya ketimpangan pembangunan yang tercermin dari potensi wilayah dan sarana prasarana sosial ekonomi yang tidak merata di Kabupaten Bogor.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengelompokkan kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor berdasarkan kondisi sarana sosial ekonomi dan potensi yang dimiliki sebagai suatu alternatif dalam menetapkan kebijakan pembangunan wilayah tersebut menjadi lebih operasional dan terarah. Pada penelitian ini, untuk mengelompokkan kecamatan di Kabupaten Bogor digunakan analisis faktor dan analisis cluster dengan metode hierarki. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data agregat yang diolah dari potensi desa/kelurahan 2008 dan Publikasi Kabupaten Bogor dalam Angka tahun 2009.
produksi padinya cukup baik. Wilayah ini terdiri dari sembilan kecamatan. Wilayah kedua adalah cluster kecamatan yang potensi penduduk dan sarana prasarana sosial ekonomi cukup memadai terdiri dari lima kecamatan, wilayah ketiga adalah cluster kecamatan yang produksi padinya cukup baik terdiri dari sembilan kecamatan dan wilayah keempat adalah kecamatan yang potensi penduduk, sarana prasarana sosial ekonomi kurang memadai dan produksi padinya cukup rendah yang terdiri dari 17 kecamatan. Berdasarkan wilayah pembangunan dengan menggunakan peubah yang sama maka wilayah pembangunan Bogor Timur memiliki potensi penduduk, sarana prasarana sosial ekonomi cukup memadai dan produksi padinya cukup baik, Bogor Tengah memiliki potensi penduduk dan sarana sosial ekonomi yang cukup memadai sementara wilayah pembangunan Bogor Barat produktivitas padinya cukup baik.
Adapun perbedaan penelitian pada Tahun 1999 dan Tahun 2008 adalah jumlah peubah yang digunakan pada Tahun 1999 sebanyak 13 peubah dan pada Tahun 2008 sebanyak 12 peubah. Faktor yang terbentuk adalah lima faktor pada tahun 1999 dan dua faktor pada Tahun 2008. Banyaknya cluster yang terbentuk adalah sepuluh cluster pada Tahun 1999 dan 11 cluster pada Tahun 2008. Berkurangnya jumlah faktor dari lima pada tahun 1999 menjadi dua pada tahun 2008 dapat dijelaskan dari keragaman antar peubah dan korelasi erat antar peubah dengan faktornya. Penambahan jumlah cluster dari sepuluh cluster di tahun 1999 menjadi 11 cluster pada tahun 2008 dengan komposisi kecamatan berbeda dalam tiap kelompoknya disebabkan oleh jarak kedekatan antar peubahnya yang membuat beberapa kecamatan yang memiliki ciri yang sama berada pada satu cluster. Penambahan jumlah kecamatan yang disebabkan oleh pemekaran wilayah juga dimungkinkan dapat menambah cluster karena kecamatan-kecamatan hasil pemekaran memiliki ciri yang sama sehingga membentuk satu cluster baru. Kecamatan-kecamatan hasil pemekaran wilayah tergabung ke dalam satu cluster yang sama dimana rata-rata semua faktornya berada di bawah rata-rata kabupaten. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan. pembangunan ekonomi dan pembangunan sarana sosial ekonomi hendaknya diprioritaskan pada kecamatan yang termasuk pada Wilayah IV. Untuk wilayah yang berpotensi dalam produksi padi diharapkan dapat dikembangkan industri yang mengolah hasil pertanian baik itu industri besar sedang maupun industri kecil dan kerajinan rumah tangga.
Oleh
RA. LEISA TRIANA H14094003
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Judul Skripsi : Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pengelompokkan Kecamatan Berdasarkan Beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008 Nama Mahasiswa : RA. Leisa Triana
Nomor Registrasi Pokok : H14094003 Program Studi : Ilmu Ekonomi
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si NIP. 19730424 200604 2 006
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Oktober 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama RA. Leisa Triana lahir pada tanggal 16 April 1976 di Jakarta. Penulis anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan H.RM. Inuni Pasha Ayub Bachtiar (Alm) dan Hj. F. Hanidah. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar pada SDN Curug I pada Tahun 1988, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Cimanggis dan lulus pada tahun 1991. Tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1994 penulis menamatkan pendidikan menengah di SMA Negeri 39 Jakarta.
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul ”Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pengelompokkan Kecamatan Berdasarkan Beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Fifi Diana Thamrin yang telah memberikan segenap waktu, ilmu dan perhatiannya dalam membimbing penulis baik teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Wiwiek Rindayanti yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kuliah seperjuangan yang telah sangat membantu memberikan kritik dan saran pada saat Seminar Hasil Penelitian skripsi ini. Penulis juga berterimakasih kepada Bapak Annazri yang telah memberi kesempatan, perhatian dan dorongan, Bapak Dedi Supriadi yang terus memberikan motivasi agar pantang menyerah, rekan-rekan BPS Kabupaten Bogor, rekan-rekan BPS Propinsi Jawa Barat dan semua pihak atas segala penyediaan dan pengolahan data yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini.
artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Oktober 2009
i
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 9
2.1. Tinjauan Teori-teori ... 9
2.1.1. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 9
2.1.2. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah .. 10
2.2. Ketimpangan Pembangunan ... 14
3.3. Definisi Operasional Variabel ... 32
IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN BOGOR... 34
4.1. Kondisi Kependudukan Kabupaten Bogor ... 34
4.2. Kondisi Ketenagakerjaan Kabupaten Bogor ... 34
ANALISIS DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH
TERHADAP PENGELOMPOKKAN KECAMATAN
BERDASARKAN BEBERAPA PEUBAH SOSIAL EKONOMI
DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2008
OLEH
RA. LEISA TRIANA H14094003
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Pengelompokkan Kecamatan Berdasarkan Beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008 (dibimbing oleh FIFI DIANA THAMRIN).
Dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah guna meningkatkan dan mempercepat pembangunan daerah, pembangunan dilakukan dengan konsep pembangunan lintas wilayah. Pembangunan lintas wilayah mencakup upaya pengembangan wilayah untuk mendayagunakan potensi dan kemampuan daerah dengan berbagai alat kebijakan yang mendukung perkembangan perekonomian daerah, berkembangnya pemukiman, perkotaan, pedesaan, wilayah cepat tumbuh, perbatasan dan wilayah tertinggal, serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, meningkatkan hidup dan kehidupannya. Pemekaran wilayah menjadi suatu pilihan yang dilakukan pemerintah daerah untuk mempercepat pembangunan daerah.
Kabupaten Bogor sebelum otonomi daerah terdiri dari 30 kecamatan kini dimekarkan menjadi 40 kecamatan. Strategi pembangunan dilakukan dengan pendekatan per wilayah pembangunan yaitu wilayah pembangunan Bogor Barat, Bogor Tengah dan Bogor Timur. Namun dirasakan adanya ketimpangan pembangunan yang tercermin dari potensi wilayah dan sarana prasarana sosial ekonomi yang tidak merata di Kabupaten Bogor.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengelompokkan kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor berdasarkan kondisi sarana sosial ekonomi dan potensi yang dimiliki sebagai suatu alternatif dalam menetapkan kebijakan pembangunan wilayah tersebut menjadi lebih operasional dan terarah. Pada penelitian ini, untuk mengelompokkan kecamatan di Kabupaten Bogor digunakan analisis faktor dan analisis cluster dengan metode hierarki. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data agregat yang diolah dari potensi desa/kelurahan 2008 dan Publikasi Kabupaten Bogor dalam Angka tahun 2009.
produksi padinya cukup baik. Wilayah ini terdiri dari sembilan kecamatan. Wilayah kedua adalah cluster kecamatan yang potensi penduduk dan sarana prasarana sosial ekonomi cukup memadai terdiri dari lima kecamatan, wilayah ketiga adalah cluster kecamatan yang produksi padinya cukup baik terdiri dari sembilan kecamatan dan wilayah keempat adalah kecamatan yang potensi penduduk, sarana prasarana sosial ekonomi kurang memadai dan produksi padinya cukup rendah yang terdiri dari 17 kecamatan. Berdasarkan wilayah pembangunan dengan menggunakan peubah yang sama maka wilayah pembangunan Bogor Timur memiliki potensi penduduk, sarana prasarana sosial ekonomi cukup memadai dan produksi padinya cukup baik, Bogor Tengah memiliki potensi penduduk dan sarana sosial ekonomi yang cukup memadai sementara wilayah pembangunan Bogor Barat produktivitas padinya cukup baik.
Adapun perbedaan penelitian pada Tahun 1999 dan Tahun 2008 adalah jumlah peubah yang digunakan pada Tahun 1999 sebanyak 13 peubah dan pada Tahun 2008 sebanyak 12 peubah. Faktor yang terbentuk adalah lima faktor pada tahun 1999 dan dua faktor pada Tahun 2008. Banyaknya cluster yang terbentuk adalah sepuluh cluster pada Tahun 1999 dan 11 cluster pada Tahun 2008. Berkurangnya jumlah faktor dari lima pada tahun 1999 menjadi dua pada tahun 2008 dapat dijelaskan dari keragaman antar peubah dan korelasi erat antar peubah dengan faktornya. Penambahan jumlah cluster dari sepuluh cluster di tahun 1999 menjadi 11 cluster pada tahun 2008 dengan komposisi kecamatan berbeda dalam tiap kelompoknya disebabkan oleh jarak kedekatan antar peubahnya yang membuat beberapa kecamatan yang memiliki ciri yang sama berada pada satu cluster. Penambahan jumlah kecamatan yang disebabkan oleh pemekaran wilayah juga dimungkinkan dapat menambah cluster karena kecamatan-kecamatan hasil pemekaran memiliki ciri yang sama sehingga membentuk satu cluster baru. Kecamatan-kecamatan hasil pemekaran wilayah tergabung ke dalam satu cluster yang sama dimana rata-rata semua faktornya berada di bawah rata-rata kabupaten. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan. pembangunan ekonomi dan pembangunan sarana sosial ekonomi hendaknya diprioritaskan pada kecamatan yang termasuk pada Wilayah IV. Untuk wilayah yang berpotensi dalam produksi padi diharapkan dapat dikembangkan industri yang mengolah hasil pertanian baik itu industri besar sedang maupun industri kecil dan kerajinan rumah tangga.
Oleh
RA. LEISA TRIANA H14094003
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Judul Skripsi : Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pengelompokkan Kecamatan Berdasarkan Beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008 Nama Mahasiswa : RA. Leisa Triana
Nomor Registrasi Pokok : H14094003 Program Studi : Ilmu Ekonomi
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si NIP. 19730424 200604 2 006
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Oktober 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama RA. Leisa Triana lahir pada tanggal 16 April 1976 di Jakarta. Penulis anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan H.RM. Inuni Pasha Ayub Bachtiar (Alm) dan Hj. F. Hanidah. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar pada SDN Curug I pada Tahun 1988, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Cimanggis dan lulus pada tahun 1991. Tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1994 penulis menamatkan pendidikan menengah di SMA Negeri 39 Jakarta.
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul ”Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pengelompokkan Kecamatan Berdasarkan Beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Fifi Diana Thamrin yang telah memberikan segenap waktu, ilmu dan perhatiannya dalam membimbing penulis baik teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Wiwiek Rindayanti yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kuliah seperjuangan yang telah sangat membantu memberikan kritik dan saran pada saat Seminar Hasil Penelitian skripsi ini. Penulis juga berterimakasih kepada Bapak Annazri yang telah memberi kesempatan, perhatian dan dorongan, Bapak Dedi Supriadi yang terus memberikan motivasi agar pantang menyerah, rekan-rekan BPS Kabupaten Bogor, rekan-rekan BPS Propinsi Jawa Barat dan semua pihak atas segala penyediaan dan pengolahan data yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini.
artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Oktober 2009
i
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 9
2.1. Tinjauan Teori-teori ... 9
2.1.1. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 9
2.1.2. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah .. 10
2.2. Ketimpangan Pembangunan ... 14
3.3. Definisi Operasional Variabel ... 32
IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN BOGOR... 34
4.1. Kondisi Kependudukan Kabupaten Bogor ... 34
4.2. Kondisi Ketenagakerjaan Kabupaten Bogor ... 34
ii
4.4. Kondisi Ekonomi Kabupaten Bogor ... 37
4.4.1. Struktur Ekonomi ... 37
4.4.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 38
4.4.3. Pendapatan per Kapita ... 39
V.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41
5.1. Analisis Deskriptif ... 41
5.1.1. Potensi Wilayah ……….. 41
5.1.2. Sarana Pendidikan dan Kesehatan………... 42
5.2. Hasil Analisis Faktor ... 44
5.3. Hasil Analisis Cluster ... 47
5.4. Analisis Wilayah Pembangunan ... 58
5.5. Analisis Dampak Pengelompokkan Wilayah Kecamatan Sebelum dan Setelah Pemekaran Wilayah ... 66
VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 76
6.1. Kesimpulan ... 76
6.2. Saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 79
iii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
4.1. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama dan Jenis Kelamin
Tahun 2007 ... 35 4.2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bogor dan
Komponennya Tahun 2005-2008 ... 36 4.3. Struktur Ekonomi Kabupaten Bogor Menurut Kelompok Sektor
Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2008 ... 37 4.4. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Menurut Kelompok
Sektor Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2008 ... 39 4.5. Perkembangan Pendapatan per Kapita Penduduk Kabupaten
Bogor Tahun 2005-2008 ... 40 5.1. Nilai Akar Ciri, Persentase Keragaman Data dan Persentase
Kumulatif Keragaman Data ... 44 5.2. Rotasi Faktor ... 45 5.3. Rata-rata Skor Faktor Tiap Cluster ... 48 5.4. Cluster Kecamatan Menurut Wilayahnya
Di Kabupaten Bogor ... 55 5.5. Rata-rata Skor Faktor Tiap Wilayah Pembangunan ... 59 5.6. Jumlah Peubah dan Hasil Penelitian Pengelompokan
Kecamatan Sebelum dan Sesudah Pemekaran Wilayah
di Kabupaten Bogor ... 67 5.7. Daftar Kecamatan Menurut Cluster Sebelum dan Sesudah
Pemekaran Wilayah di Kabupaten Bogor ... 71 5.8. Daftar Kecamatan Menurut Potensi Wilayah Tahun 1999
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Model Interaksi Kependudukan , Lingkungan
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Bogor
Tahun 2008 ... 81 2. Produksi Padi Sawah, Jumlah Sarana Perdagangan
Jumlah Industri Besar Sedang, Jumlah IKKR, Jumlah Hotel dan Jumlah Objek Wisata di Kabupaten Bogor
Tahun 2008 ... 82 3. Jumlah SLTP dan Jumlah Puskesmas di Kabupaten Bogor
Tahun 2008 ... 83 4. Daftar Skor Faktor Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor ... 84 5. Data Peubah yang Mewakili Sumber Daya dan Sarana Prasarana
Sosial Ekonomi per Kecamatan di Kabupaten Bogor
Tahun 2008 ... 85 6. Data Peubah yang Mewakili Sumber Daya dan Sarana Prasarana
Sosial Ekonomi per Cluster Kecamatan di Kabupaten Bogor
Tahun 2008 ... 87 7. Data Peubah yang Mewakili Sumber Daya dan Sarana Prasarana
Sosial Ekonomi per Wilayah di Kabupaten Bogor
Tahun 2008 ... 91 8. Data Peubah yang Mewakili Sumber Daya dan Sarana Prasarana
Sosial Ekonomi per Wilayah Pembangunan di Kabupaten Bogor
Tahun 2008 ... 93 9. Data Z Score Peubah yang Mewakili Sumber Daya dan Sarana
Prasarana Sosial Ekonomi per Kecamatan di Kabupaten Bogor
Tahun 2008 ... 95
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan
kerja, memeratakan distribusi pendapatan, meningkatkan hubungan ekonomi
regional dan mengusahakan pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke
sektor sekunder dan tersier. Pembangunan dilakukan untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi, dan
institusional dimana terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar manusia,
meningkatnya standar hidup dan tersedianya pilihan pilihan ekonomis dan sosial
bagi setiap individu.
Pembangunan ekonomi dalam kerangka perekonomian daerah, Arsyad
(1999) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah proses dimana
pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta untuk
menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan
ekonomi daerah. Untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah
tersebut dibutuhkan kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan
daerah (endogenous development), dengan menggunakan potensi sumberdaya lokal.
Untuk itu pemerintah mengeluarkan kebijakan Otonomi Daerah melalui
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, didalamnya daerah diberikan hak dan kewenangan sesuai
dengan prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab serta berhak
mengatur seluruh kewenangannya, baik berupa urusan wajib maupun urusan
pilihan, mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 juga mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pelaksanaan desentralisasi.
Konsep pembangunan yang dicantumkan dalam Program Pembangunan
Nasional (Propenas 2000-2004) untuk meningkatkan dan mempercepat
pembangunan daerah dilakukan dengan konsep pembangunan lintas wilayah.
Pembangunan lintas wilayah mencakup upaya pengembangan wilayah untuk
mendayagunakan potensi dan kemampuan daerah dengan berbagai alat kebijakan
yang mendukung perkembangan perekonomian daerah, berkembangnya
pemukiman, perkotaan, pedesaan, wilayah cepat tumbuh, perbatasan dan wilayah
tertinggal, serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas
masyarakat, meningkatkan hidup dan kehidupannya. Secara khusus
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pembentukan
daerah dan kawasan khusus yang dapat berupa penggabungan beberapa daerah
atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih dengan syarat
3
telah mengakomodir keinginan pemerintah dan masyarakat daerah melalui
pemekaran wilayah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Sebelum otonomi daerah diberlakukan, wilayah di Kabupaten Bogor terdiri
dari 30 kecamatan kemudian setelah otonomi daerah diberlakukan maka dengan
Perda No. 3 Tahun 2003 tentang pembentukan dan Perda No. 40 Tahun 2004
tentang Organisasi dan Tata Kerja (OTK) Kecamatan, telah terbentuk 10
kecamatan baru hasil pemekaran wilayah yaitu Kecamatan Sukajaya, Tanjungsari,
Tajurhalang, Leuwisadeng, Rancabungur, Tamansari, Cigombong, Tenjolaya,
Klapanunggal dan Ciseeng, sehingga saat ini Kabupaten Bogor terdiri atas 40
kecamatan. Adanya pemekaran wilayah kecamatan di Kabupaten Bogor ini
diharapkan perekonomian Kabupaten Bogor dapat berkembang pesat yang pada
akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk membangun suatu daerah sebaiknya kebijakan yang diambil harus
sesuai dengan masalah, kebutuhan dan potensi daerah yang bersangkutan. Hal ini
ditekankan karena setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda baik dari sisi
potensi sosial ekonomi, kandungan sumber daya alam, kondisi geografis maupun
potensi khas daerah lainnya.
Terkait dengan pentingnya identifikasi kebutuhan dan potensi dalam
proses perencanaan pembangunan daerah, maka berbagai pendekatan model
perencanaan pembangunan daerah dapat dilakukan untuk menentukan arah dan
bentuk kebijakan yang diambil. Sebelum merumuskan kebijakan pembangunan
wilayah hendaknya terlebih dahulu perlu ditetapkan pengelompokkan wilayah
Maka perumusan kebijakan akan lebih tepat, sesuai dengan kondisi, permasalahan
dan potensi wilayah. Salah satunya adalah pengelompokkan wilayah yang
memiliki karakteristik sosial ekonomi yang sama (homogenous region).
Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun
2003-2008 yang tertuang pada Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 2 Tahun
2004 berisi tentang ditetapkannya visi, misi, tujuan dan sasaran serta strategi
pembangunan. Strategi pembangunan yang dirumuskan berupa serangkaian
kebijakan dan program yang memfokuskan pada penyusunan kegiatan dan
pengalokasian sumberdaya, terdiri dari strategi pembangunan perwilayahan
pembangunan dan strategi urusan pemerintahan. Strategi perwilayahan pembangunan
dikelompokkan ke dalam strategi percepatan pembangunan di wilayah Bogor Barat,
pengendalian pembangunan di Bogor Tengah dan strategi pemantapan pembangunan
di wilayah Bogor Timur.
Pembangunan berdasarkan wilayah pembangunan ini diharapkan dapat
mencapai tujuan yang diinginkan tiap wilayah pembangunan secara lebih terarah.
Namun saat ini masih dirasakan adanya ketimpangan pembangunan pada
beberapa wilayah kecamatan yang dapat dilihat dari perbedaan tingkat
kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Berdasarkan indeks
Williamson dengan data tahun 2005 didapatkan indeks ketimpangan wilayah
pembangunan Bogor Barat 0,27, Bogor Tengah 0,23 dan Bogor Timur 0,06. Hal
ini menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi pada tiap wilayah
pembangunan cukup rendah berarti cukup merata pada tiap wilayah
5
ketimpangan pembangunan ekonomi di wilayah Bogor Barat lebih tinggi
dibandingkan wilayah pembangunan yang lainnya. Jumlah rumah tangga miskin
hasil pendataan BPS tahun 2008 menunjukkan bahwa di Kecamatan Gunung Putri
berjumlah 2.773 rumah tangga miskin sedangkan di Kecamatan Leuwiliang
mencapai 11.429 rumah tangga miskin (lampiran 1). Ketimpangan pelayanan
sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan dan kesehatan juga terjadi antar
wilayah, dari data terlihat jumlah SLTP di Kecamatan Cibinong berjumlah 39
SLTP sementara di Kecamatan Sukajaya hanya ada 3 SLTP. Kondisi yang sama
juga terlihat pada jumlah puskesmas dimana di Kecamatan Cibinong ada 10
puskesmas sementara di Kecamatan Parung dan Tajurhalang hanya ada 2
puskesmas (lampiran 3).
Bila dilihat dari wilayah pembangunan yang ada terdapat perbedaan
potensi kecamatan dalam satu wilayah pembangunan. Wilayah pembangunan
Bogor Barat terdiri dari kecamatan-kecamatan yang berpotensi dalam sektor
pertanian. Sementara untuk wilayah pembangunan Bogor Timur terdiri dari
kecamatan kecamatan yang sebagian berpotensi di sektor pertanian dan sebagian
lagi berpotensi pada sektor industri dan untuk Bogor Tengah terdiri dari
kecamatan-kecamatan yang sebagian berpotensi pada sektor perdagangan dan
jasa, sebagian lagi berpotensi pada sektor industri.
Sumber daya manusia di Kabupaten Bogor persebarannya juga yang tidak
merata antar kecamatan. Hal ini ditandai dengan kepadatan penduduk yang
berbeda cukup tinggi yaitu di atas 5.000 jiwa per kilometer persegi di Kecamatan
Jasinga yang kepadatannya kurang dari 500 jiwa per kilometer persegi. Banyak
faktor yang menyebabkan persebaran penduduk ini tidak merata. Salah satunya
adalah keterkaitan manusia dengan lingkungan hidup yang ditempatinya, baik
lingkungan fisik, sosial dan komponen keluarga, tetangga, organisasi sosial, serta
lingkungan budaya. Semua komponen ini amat berpengaruh dalam penyebaran
penduduk dan pergerakan manusia untuk mencapai tujuan hidup yang
diidealkannya. Pengaruh potensi sosial ekonomi pada setiap kecamatan juga
sangat berperan dalam mewujudkan terjadinya ketidakmerataan persebaran
penduduk.
Bila ditelaah lebih lanjut kecamatan yang kepadatannya kurang dari 500
jiwa per kilometer persegi adalah kecamatan yang sebagian besar wilayahnya
adalah daerah pertanian dan perkebunan. Pembangunan sarana dan prasarana
sosial ekonomi di daerah yang berpotensi pertanian ini masih dirasakan kurang
memadai. Sementara di kecamatan yang padat penduduknya sarana dan prasarana
sosial ekonomi yang sebenarnya sudah memadai masih terus bertambah
jumlahnya misalnya jumlah sarana kesehatan dan jumlah sarana perdagangan.
Tentunya akan sangat berarti bila dalam merencanakan pembangunan terlebih
dahulu mengetahui potensi wilayah dan sarana prasarana sosial ekonomi antar
kecamatan. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan lebih terarah sehingga
merangsang terciptanya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development). Untuk itu perlu dibuat suatu pengelompokkan wilayah kecamatan
7
sebagai suatu alternatif bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan
pembangunan.
1.2. Perumusan Masalah
Sejalan dengan latar belakang dan uraian sebelumnya, maka penulis
mencoba melakukan pengelompokkan wilayah baru yang berdasarkan potensi
wilayah dan kondisi sarana-prasarana sosial ekonomi. Permasalahan yang akan
dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. faktor-faktor apa saja yang mewakili kesamaan karakteristik dari potensi
wilayah dan kondisi sarana prasarana sosial ekonomi;
2. pengelompokkan baru wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan faktor tersebut.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mewakili kesamaan
karakteristik dari potensi wilayah yang dilihat dari sarana prasarana sosial
ekonomi yang telah dibangun di wilayah Kabupaten Bogor;
2. menganalisis hasil pengelompokkan wilayah di Kabupaten Bogor yang
memiliki kesamaaan karakteristik sosial ekonominya.
1.4. Kegunaan Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu:
2. pengelompokkan wilayah kecamatan dapat menjadi masukan dan bahan
evaluasi bagi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam rangka penyusunan
perencanaan pembangunan;
3. hasil penelitian ini dapat pula digunakan sebagai bahan acuan untuk
penelitian-penelitian serupa selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor. Objek penelitian
adalah 40 kecamatan di Kabupaten Bogor dengan menggunakan data agregat 12
peubah untuk mewakili variabel kependudukan, kondisi lingkungan, sarana
II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teori-teori
2.1.1. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf
hidup suatu bangsa yang seringkali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan
riil perkapita. Tujuan pembangunan ekonomi adalah meningkatkan pendapatan
nasional riil dan meningkatkan produktivitas. Todaro (2000) mendefinisikan
pembangunan ekonomi sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup
perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan, selain mencakup peningkatan
pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan
pemberantasan kemiskinan.
Menurut Jhingan (1988), beberapa ahli ekonomi seperti Schumpeter dan
Ursula Hicks, telah membuat perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan ekonomi. Pertumbuhan menurut Schumpeter merupakan perubahan
secara spontan dan terputus dalam keadaan stasioner yang senantiasa mengubah
dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya.
Namun pembangunan yang lebih menekankan pertumbuhan ekonomi telah
membuat kekhawatiran akan rusaknya lingkungan hidup, khususnya lingkungan
alam yang dapat mendukung pembangunan secara berkelanjutan. Untuk itu
konsep pembangunan berkelanjutan merupakan jawaban terhadap kritik konsep
Komisi Brundtland PBB (1987) mendefinisikan bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah model pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dan
aspirasi generasi masa kini maupun masa depan secara harmonis. Definisi ini
membawa beberapa konsekuensi yang antara lain menuntut adanya kesadaran dan
kemauan nasional untuk melaksanakan proses pembangunan agar berjalan
seimbang dengan proses pelestarian kualitas lingkungan dan pembaharuan sumber
daya agar dapat menjamin tercapainya pemerataan antar generasi dan tidak hanya
sekedar mencapai sasaran material semata-mata atau pertumbuhan ekonomi saja,
tetapi juga terpenuhinya aspirasi berbagai masyarakat.
Sumber daya manusia, sumber daya alam, dan teknologi adalah tiga faktor
pembangunan yang pokok. Sumber daya manusia adalah jumlah, komposisi,
karakteristik dan persebaran penduduk. Sumber daya alam adalah semua sumber
daya yang disediakan oleh alam meliputi sumber daya yang dapat diperbaharui
dan yang tidak dapat diperbaharui.
2.1.2. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Arsyad (1999) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah
proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang
ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta
untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi daerah. Untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi
11
kekhasan daerah (endogenous development), dengan menggunakan potensi sumberdaya lokal.
Untuk mencapai tujuan pembangunan daerah, kebijaksanaan utama yang
perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas
pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini perlu
diusahakan karena potensi pembangunan yang dihadapi oleh masing-masing
daerah sangat bervariasi. Karena itu, bila prioritas pembangunan daerah kurang
sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, maka sumber
daya yang ada kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Keadaan tersebut
mengakibatkan relatif lambatnya proses pertumbuhan ekonomi daerah
bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dikatakan
berjalan jika ditandai dengan adanya pertumbuhan ekonomi.
Menurut Sjafrizal (2008) dalam konteks pembangunan ekonomi daerah
maka konsep wilayah (region) digunakan sebagai representasi dari unsur ruang
(space) yang diartikan sebagai suatu kesatuan ruang yang dikelompokkan
berdasarkan unsur tertentu (berupa kondisi sosial ekonomi maupun keterkaitan
antar wilayah) tergantung dari tujuan analisa. Berdasarkan beberapa unsur utama
tersebut secara umum terdapat 4 bentuk wilayah, yaitu:
a. homogeneous region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk dengan memperhatikan kesamaan karakteristik sosial ekonomi dalam wilayah yang
bersangkutan;
c. planning region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk untuk tujuan perencanaan pembangunan;
d. administrative region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan dan kebutuhan administrasi pemerintahan.
Sasaran pembangunan ekonomi daerah adalah mewujudkan kemakmuran
wilayah dan kemakmuran masyarakatnya. Kemakmuran wilayah adalah
terwujudnya kondisi fisik daerah yang maju meliputi sarana dan prasarana
perumahan dan lingkungan pemukiman, kegiatan ekonomi masyarakat, fasilitas
pelayanan sosial dibidang pendidikan dan kesehatan, kualitas lingkungan hidup
dan lain-lainnya. Kemakmuran masyarakat adalah terwujudnya sumberdaya
manusia yang berkualitas baik dari sisi pendidikan maupun kesehatan. Guna
tercapainya tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus
bersama-sama mengambil inisiatif memanfaatkan seluruh potensi yang ada secara
optimal dalam membangun daerah untuk kesejahteraan masyarakat.
Teori-teori pembangunan daerah banyak membahas penggunaan alat
analisis dan metode statistik dalam menganalisis perekonomian suatu daerah serta
teori tentang berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah.
Todaro (2000) mengatakan bahwa ada tiga faktor atau komponen utama dalam
pertumbuhan ekonomi. Pertama, akumulasi modal yang meliputi semua bentuk
dan jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan sumber
daya manusia. Kedua, pertumbuhan penduduk yang beberapa tahun selanjutnya
dengan sendirinya membawa pertumbuhan angkatan kerja dan ketiga adalah
13
Kemudian Jhingan (1999) mengatakan bahwa suatu perekonomian
dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan
ekonomi lebih tinggi daripada yang telah dicapai pada masa sebelumnya. Artinya
perkembangan baru tercipta apabila jumlah barang dan jasa yang dihasilkan
(tingkat output) dalam perekonomian tersebut menjadi bertambah besar pada
tahun-tahun berikutnya.
Menurut Syafrizal (2008), teori pertumbuhan ekonomi daerah digunakan
untuk menjelaskan cepat-lambatnya suatu daerah mengalami pertumbuhan dan
terjadinya ketimpangan antar wilayah. Ada empat model yang dihasilkan dari
teori yang berkembang selama ini. Pertama, model basis ekspor (ekspor base
models) yang dipelopori oleh Douglas C. North pada tahun 1956. Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan
kompetitif yang dimiliki oleh daerah bersangkutan. Bila daerah yang
bersangkutan dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai
keuntungan kompetitif sebagai basis untuk ekspor, maka pertumbuhan daerah
yang bersangkutan akan dapat ditingkatkan.
Kedua, model interregional income, dikembangkan oleh Harry W. Richardson menggunakan alur pemikiran ala Keynes. Ekspor diasumsikan sebagai
faktor yang berada dalam sistem yang ditentukan oleh perkembangan kegiatan
perdagangan antar wilayah yang terdiri atas barang konsumsi dan barang modal
serta dimasukkan pula unsur pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah dan
kegiatan investasi.
Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan
oleh kemampuan daerah tersebut utuk meningkatkan kegiatan produksinya.
Sedangkan kegiatan produksi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi
daerahnya, tetapi juga ditentukan oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas
modal antar daerah.
Keempat, model penyebab berkumulatif (cumulative causation models).
Teori ini dipelopori oleh Nikolas Kaldor pada tahun 1970. Menurut model ini,
ketimpangan pembangunan regional hanya akan dapat dikurangi melalui
program pemerintah. Bagaimanapun pemerintah perlu melakukan campur tangan
secara aktif dalam bentuk program pembangunan wilayah, terutama untuk daerah
yang tergolong masih terbelakang.
2.2 Ketimpangan Pembangunan
Menurut Sjafrijal (2008) ketimpangan pembangunan antar wilayah
merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah.
Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan sumberdaya
alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing masing
wilayah.
Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan
berwujud dalam bentuk, aspek, atau dimensi. Ketimpangan antar daerah dapat
diungkap melalui berbagai variabel selain pendapatan yaitu variabel non ekonomi.
Diawali dengan mengenali berbagai ketimpangan dalam variabel-variabel non
15
pembangunan dan hasil-hasilnya disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor
ketidaksetaraan anugrah awal diantara pelaku-pelaku ekonomi. Kondisi ini
disebabkan adanya ketidaksamaan sumber daya alam, kapital, keahlian, bakat atau
potensi atau sarana dan prasarana antar daerah. Kedua, strategi pembangunan
yang lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan tanpa pernah menetapkan target
mengenai tingkat kemerataan.
Ketimpangan pembangunan juga dijelaskan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Ketimpangan pembangunan
antar wilayah ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan
prasarana ekonomi dan sosial terutama masyarakat di perdesaan, wilayah
terpencil, perbatasan serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan
perkotaan dan perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat desa, tertinggalnya pembangunan kawasan perdesaan dibanding
dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap
kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada permodalan,
lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, dan pemasaran hasil-hasil
produksi di perdesaan.
2.3. Pembangunan Wilayah
Sebelum menentukan kebijakan pembangunan wilayah terlebih dahulu
perlu ditetapkan pengelompokkan wilayah pembangunan dengan memperhatikan
kondisi dan potensi wilayah tersebut agar penetapan kebijakan pembangunan
kebijaksanaan pembangunan dengan pendekatan perwilayahan akan mempunyai
beberapa amanat salah satu diantaranya adalah untuk mengetahui potensi dan
faktor-faktor pembatas yang ada pada setiap wilayah. Pengembangan wilayah
merupakan suatu cara pendekatan dalam meratakan segala aspek sosial ekonomi
dalam kaitannya dengan perataan ruang wilayah sebagai wadah keterpaduan
program-program pembangunan yang sangat diperlukan baik dalam skala makro
maupun mikro.
Menurut Sjafrizal (2008) penetapan wilayah pembangunan dapat
dilakukan dengan memperhatikan 4 aspek utama yaitu :
1. kesamaan kondisi, permasalahan dan potensi umum wilayah, sosial dan
geografi. Bila aspek ini dijadikan pertimbangan utama dalam pembentukan
wilayah pembangunan maka wilayah tersebut dikategorikan sebagai
homogenous region. Aspek ini sangat penting agar kebijakan dapat ditetapkan sesuai dengan kondisi dan potensi utama wilayah yang
bersangkutan;
2. keterkaitan yang erat antara daerah-daerah yang tergabung dalam wilayah
pembangunan yang bersangkutan. Hal ini diketahui melalui data tentang
kegiatan perdagangan antar daerah dan mobilitas penduduk. Bila aspek ini
dijadikan pertimbangan utama dalam pembentukan wilayah pembangunan
maka wilayah tersebut dikategorikan sebagai nodal region. Aspek ini sangat penting agar kebijakan yang ditetapkan dapat mendorong keterpaduan dan
17
3. kesamaan karakteristik geografis antar daerah-daerah yang tergabung dalam
wilayah pembangunan tersebut. Meliputi jenis daerah, kesuburan,
kesesuaian lahan dan potensi sumber daya alam. Bila aspek ini dijadikan
pertimbangan utama dalam pembentukan wilayah pembangunan maka
wilayah tersebut dikategorikan sebagai Wilayah Fungsional. Aspek ini
sangat penting agar kebijakan yang ditetapkan akan dapat didukung oleh
kondisi geografis dan potensi sumber daya alam;
4. kesatuan wilayah administrasi pemerintahan yang tergabung dalam wilayah
pembangunan yang bersangkutan. Bila aspek ini dijadikan pertimbangan
utama dalam pembentukan wilayah pembangunan maka wilayah tersebut
dikategorikan sebagai Wilayah Perencanaan (Planning Region). Aspek ini
sangat penting agar kebijakan yang ditetapkan dapat terjamin
pelaksanaannya karena sesuai dengan kewenangan yang dimiliki sehingga
dapat dilakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan.
John Glasson dalam bukunya Pengantar Perencanaan Regional yang
diterbitkan pada tahun 1977 menyatakan pemecahan persoalan kemerosotan
ekonomi dapat mencakup penentuan batas-batas formal dengan menggunakan
kriteria tertentu yang relevan dan pemecahan persoalan yang terlampau banyak
dapat mencakup penentuan batas-batas daerah fungsional. Pada saat data yang
memadai tidak tersedia dapat digunakan cara pendekatan intuitif yang bersifat
kualitatif tetapi pendekatan ini cenderung membuat batas-batas daerah menjadi
sangat kabur. Hal ini membuat orang beralih pada pendekatan yang lebih
batas-batas daerah formal berarti mengelompok dan unit-unit lokal yang
mempunyai ciri-ciri serupa menurut kriteria tertentu dengan definisi yang jelas.
Namun berbeda secara nyata dengan unit-unit yang ada dikelompok lain sesuai
dengan kriteria yang dipilih. Daerah formal yang didefinisikan seperti itu memang
tidak pernah homogen secara sempurna, tetapi haruslah homogen di dalam
batas-batas tertentu yang didefinisikan secara jelas (Vincentius, 1985).
Menurut Sjafrizal (2008), bila upaya pembangunan wilayah diarahkan
untuk peningkatan kemakmuran masyarakatnya yang berarti meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia biasanya laju pertumbuhan ekonomi dan penyediaan
lapangan kerja cenderung akan bertumbuh lebih lambat dibandingkan bila
upayanya diarahkan untuk peningkatan kemakmuran wilayah. Hal ini terjadi
karena upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat lebih
ditekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemberdayaan
manusia yang biasanya memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan
upaya pembangunan fisik wilayah. Sehingga pertumbuhan ekonomi dan
penyediaan lapangan kerja daerah cenderung menjadi lebih rendah yang
berimplikasi pada kinerja pembangunan daerah akan cenderung lebih lambat pula.
2.4. Penelitian Sebelumnya
Hasil penelitian Vincentius (1985) memperlihatkan bahwa dalam
mengelompokkan wilayah Indonesia berdasarkan beberapa peubah sosial
ekonomi, telah terjadi keragamaan antar propinsi yang disebabkan oleh dua
19
protein serta fasilitas pelayanan kesehatan. Kemudian dengan menggunakan
teknik pengelompokkan sidik jarak minimum D2 Mahalanobis didapatkan tiga
kelompok propinsi di Indonesia yang masing-masing mempunya ciri umum.
Kelompok pertama terdiri dari 14 propinsi, kelompok kedua tujuh propinsi dan
kelompok ketiga lima propinsi. Berdasarkan adanya keragaman tersebut
dibutuhkan suatu perencanaan pembangunan yang berbeda untuk tiap kelompok.
Penulis pun telah melakukan penelitian pengelompokkan wilayah di
Kabupaten Bogor pada tahun 1999 berdasarkan peubah sarana-prasarana sosial
ekonomi dan sumber daya manusia, sebelum diberlakukannya otonomi daerah.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis faktor dan analisis cluster. Hasil dari penelitian tersebut adalah ada lima faktor yang digunakan untuk
pengelompokkan kecamatan di Kabupaten Bogor. Adapun kelima faktor tersebut
adalah faktor sarana pendidikan dan industri, faktor sarana sektor perdagangan,
faktor sarana dan prasarana transportasi, faktor sumber daya manusia dan
prasarana kesehatan dan faktor produktivitas dan tenaga pelayanan kesehatan.
Berdasarkan kelima faktor tersebut terbentuk sepuluh cluster kecamatan, dengan melihat persamaan ciri yang ada antar cluster maka potensi wilayah Kabupaten Bogor dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu kelompok pertama
adalah kecamatan berpotensi bagus terdiri empat kecamatan, kelompok kedua
adalah kecamatan yang berpotensi sedang (non ekonomi) terdiri dari 10
kecamatan, kelompok ketiga adalah kecamatan yang berpotensi sedang (ekonomi)
kelompok keempat adalah kecamatan yang berpotensi rendah terdiri dari 10
kecamatan.
Selanjutnya dalam penelitian kali ini dilakukan pengelompokkan wilayah
di Kabupaten Bogor setelah adanya pemekaran wilayah sebagai bagian dari
dijalankannya otonomi daerah. Metode analisis yang digunakan masih sama
dengan penelitian sebelumnya yaitu analisis faktor dan analisis cluster. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan Statistical Package for Social Sience (SPSS) 12 for Windows. Peubah yang mewakili sarana prasarana sosial ekonomi yang digunakan kali ini dalam bentuk agregat dan sedikit berbeda
dengan penelitian sebelumnya karena ada beberapa peubah yang sudah tidak lagi
berkorelasi, sehingga peubah tersebut diganti dengan peubah baru yang dianggap
mewakili sarana prasarana sosial ekonomi dan berkorelasi cukup tinggi dengan
peubah yang lain.
2.5. Kerangka Pemikiran
Menurut Emil Salim (1991) dalam melaksanakan pembangunan harus ada
perhatian atas interaksi yang dinamis antara variabel-variabel kependudukan,
lingkungan dengan model atau strategi pembangunan. Tim Peneliti pada Pusat
Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada memformulasikan model
interaksi Kependudukan (K) – Lingkungan (L) – Pembangunan Ekonomi (PE)
yang mengonseptualisasikan kualitas hidup (physical quality of life) dan daya
dukung wilayah sebagai pencerminan dari kondisi keberlanjutan pembangunan
21
berubah sesuai kondisi lingkungan alam dan kualitas penduduk yang dapat
berubah karena pengaruh kebijaksanaan dan strategi pembangunan ekonomi serta
teknologi. Model interaksi antara K, L, dan PE dapat dilihat pada gambar 2.1.
Kebijaksanaan pembangunan dapat pula diarahkan pada peningkatan kualitas
penduduk.
Gambar 2.1. Model Interaksi Kependudukan, Lingkungan, Dan Pembangunan
Peningkatan kualitas penduduk dapat dilakukan melalui penerapan
teknologi kesehatan dan pendidikan dengan demikian kemampuan untuk
Sumber : Universitas Gajah Mada, Pusat Penelitian Kependudukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi Kependudukan, Sumber Daya dan Pembangunan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian 1991
Lingkungan -Kondisi Lingkungan
Pembangunan
Strategi Pembangunan dan Teknologi
Tingkat Keberlanjutan
Interaksi
Daya dukung wilayah
Kualitas hidup
memanfaatkan lingkungan alam menjadi meningkat dan menyebabkan daya
dukung wilayah meningkat. Suatu tipologi daya dukung wilayah yang dirumuskan
dengan menggunakan variabel kualitas penduduk dan variabel kondisi lingkungan
hidup dapat menjadi alat analisis yang cukup baik dan bermanfaat bagi perumus
kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan. (Laporan Penelitian : Sofian
Effendi).
Rencana dan strategi pembangunan yang menerapkan konsep
pembangunan wilayah salah satu aspek utamanya dalam penetapan wilayah
pembangunan adalah kesamaan kondisi (homogenous region) dan karakteristik
wilayah agar kebijakan yang ditetapkan sesuai dengan kondisi dan potensi utama
wilayah yang bersangkutan. Berdasarkan Laporan Pertanggungjawaban Bupati
Kabupaten Bogor Tahun 2007 pembangunan yang dilakukan sudah disesuaikan
dengan potensi wilayah di kecamatan yang bersangkutan. Namun hasilnya
dirasakan masih kurang optimal.
Penelitian ini mencoba mengelompokkan wilayah berdasarkan variabel
kependudukan, variabel kondisi lingkungan (potensi wilayah) dan sarana
prasarana ekonomi dan sosial. Beberapa peubah yang digunakan ditransformasi
menjadi beberapa faktor dengan tidak kehilangan informasi yang ada sebelumnya
(analisis faktor) dilakukan pengelompokkan secara hierarki (analisis cluster). Hasil yang diperoleh mampu menerangkan keragaman antar kecamatan
semaksimal mungkin dan kelompok yang terbentuk terdiri dari kecamatan yang
mempunyai potensi yang sama dan sangat berbeda secara signifikan dengan
23
Berdasarkan keadaan dan kondisi Kabupaten Bogor serta untuk
mempermudah pengembangan wilayah maka perlu dilakukan pembagian wilayah
pembangunan, dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. terkonsentrasinya pembangunan di wilayah tengah Kabupaten Bogor;
b. menyadari bahwa fungsi wilayah Kabupaten Bogor dalam konteks regional
Jabotabek sebagai daerah penyangga ibukota, namun perlu diperhatikan juga
aspek kebutuhan dan kemampuan daerah Kabupaten Bogor untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan pengembangan ekonomi
masyarakatnya;
Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian
Ketimpangan Pembangunan
Wilayah Pembangunan Berdasarkan Daya Dukung Wilayah (Potensi Sumber Daya dan Kondisi Lingkungan) Sebelum dan Sesudah Pemekaran Wilayah
Identifikasi Faktor Pengelompokkan Wilayah
Analisis Faktor
Analisis Cluster
c. adanya persamaan dan perbedaan yang relatif kondisi dan potensi antara
wilayah yang satu dengan lainnya;
d. pengerahan semua sumber daya publik dan sumber daya privat untuk
III.
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diolah dari Potensi Desa/Kelurahan 2008 dan Publikasi Kabupaten Bogor dalam
Angka (KBDA) 2009. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS) 12 for windows.
3.2. Metode Analisis
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang telah dirumuskan dalam
penelitian ini maka metode analisis yang digunakan adalah analisis faktor dan
analisis cluster. Analisis secara deskriptif juga dilakukan untuk melihat potensi wilayah dan sarana prasarana sosial ekonomi yang ada di Kabupaten Bogor dan
membandingkan hasil pengelompokkan dengan pengelompokkan wilayah di
Kabupaten Bogor yang terbagi dalam wilayah pembangunan.
3.2.1. Analisis Faktor
Analisis faktor merupakan salah satu teknik statistik untuk
menyederhanakan deskripsi dari suatu set data (peubah) yang banyak dan saling
berkorelasi menjadi set data yang ringkas dan tidak lagi berkorelasi. Analisis
Analisis faktor pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan sejumlah kecil
faktor (komponen utama) yang memiliki sifat berikut (Jhonson & Winchern,
1982) :
1. mampu menerangkan semaksimum mungkin keragaman data;
2. terdapat kebebasan antar factor;
3. tiap faktor dapat diinterprestasikan sejelas-jelasnya.
Model analisis faktor :
X1 - µ1 = I11F1 + I12F2 + …+ I1mFm + ε1 (1)
X1 - µ2 = I21F1 + I22F2 + …+ I2mFm + ε2 (2)
Xp - µp = Ip1F1 + Ip2F2 + …+ IpmFm + εp (3)
atau dalam notasi matriks :
X - µ = L F + ε (4)
(p x 1) (p x m) (m x 1) (p x 1)
dimana :
X = vektor peubah asal
µ = vektor rata-rata peubah asal
L = matrik loading faktor
F = vektor faktor umum ε = vektor faktor spesifik
Model faktor dapat menjelaskan peubah-peubah Xi dipengaruhi secara linier oleh
faktor-faktor umum dan faktor spesifik.
Asumsi yang dipakai adalah :
27
2. Cov (F) = E (FF’) = I (mxm) 3. E(ε) = 0,
(px1)
4. Cov (ε) = E (εε’) = ψ (pxp)
5. Cov (ε,F’) = E (εF’) = 0, sehingga F dan E independen.
dimana,
Struktur covarians untuk model faktor orthogonal :
1. Cov (X) = LL’ + atau
Var ( ) = = (5)
Cov ( , ) = (6)
2. Cov (X,F) = L atau
Cov ( , ) = (7)
dimana :
= komunalitas ke-i (bagian dari total varian yang disebabkan oleh
faktor-faktor umum)
= spesifitas yaitu bagian dari total varian yang disebabkan oleh
faktor-faktor spesifik
Langkah-langkah dalam analisis faktor adalah sebagai berikut :
1. menghitung matrik korelasi ρ antara semua peubah yang digunakan dan
rumus dugaan koefisien korelasi :
dalam bentuk matriks R :
R =
2. melakukan uji KMO (Kaiser Meyer Olkin);
sebelum menganalisis faktor lebih lanjut terlebih dahulu data yang
digunakan diuji KMO untuk mendapatkan suatu nilai yang menunjukkan
keeratan hubungan antar semua peubah dalam set data.
Rumus koefisien korelasi KMO :
dimana
: koefisien korelasi sederhana antara peubah i dan j
: koefisien korelasi parsial antara peubah i dan j
Adapun penilaian uji KMO dari matrik antar peubah adalah sebagai
berikut :
0,9 ≤ KMO ≤ 1,0 = data sangat baik untuk dianalisis faktor
0,8 ≤ KMO ≤ 0,9 = data dinyatakan baik untuk dianalisis faktor
0,7 ≤ KMO ≤ 0,8 = data dinyatakan agak baik untuk dianalisis faktor
0,6 ≤ KMO ≤ 0,7 = data dinyatakan lebih dari cukup dianalisis faktor (8)
29
0,5 ≤ KMO ≤ 0,6 = data dinyatakan cukup layak untuk dianalisis
faktor
KMO ≤ 0,5 = data dinyatakan tidak layak untuk diuji lebih
lanjut dengan analisis faktor (Joseph F. Hair. Jr.,
et al, 1987);
3. menduga koefisien faktor umum (loading factor) dengan menggunakan
analisis komponen utama. Tujuan utama dari analisis komponen utama
adalah untuk memilih sejumlah peubah baru (yang disebut komponen
utama) yang menjelaskan total variasi dalam set data sebesar-besarnya
(maksimum). Walaupun jumlah peubah baru berkurang dari peubah
asalnya, tetapi informasi mengenai permasalahan yang diteliti tidak terlalu
banyak yang hilang. Secara umum, komponen utama ke-i adalah
kombinasi linier terbobot peubah asal yang mampu menerangkan keragaan
data ke-i, bisa ditulis sebagai berikut :
Apabila komponen utama yang diambil adalah q buah, dimana q p, maka
proporsi keragaman data yang bisa diterangkan adalah :
Nilai ini diharapkan semaksimum mungkin.
(10)
(11)
(12)
Banyaknya komponen utama yang digunakan sebagai analisis dapat
ditentukan dengan cara memilih akar ciri yang nilainya lebih besar dari
satu ( ) atau dapat juga dengan memilih Var . (Joseph
F. Hair, Jr., et al, 1987). Hasil dari analisis komponen utama, faktor-faktor
(komponen utama) yang diperoleh masih belum tepat apabila langsung
diinterprestasikan karena dikhawatirkan masih adanya korelasi yang tinggi
antara satu faktor dengan faktor lainnya. Maka harus dilakukan
transformasi pada matriks loading. Dari faktor awal sebanyak m, maka
diberi bobot sehingga membangkitkan peubah baru (loading factor) yang
memiliki peubah bersama, agar diperoleh daya interpretasi yang tinggi di
mana suatu faktor hanya berkorelasi dengan peubah tertentu saja.
Transformasi ini menggunakan metode rotasi tegak lurus varimaks dimana
matriks L ditransformasikan menjadi L*.
Dimana T adalah matriks transformasi yag dipilih sehingga :
Adalah matriks faktor penimbang yang telah dirotasikan.
Berdasarkan perumusan di atas terlihat jelas bahwa rotasi merupakan suatu
upaya untuk menghasilkan faktor penimbang baru yang lebih mudah untuk
diinterpretasikan dengan cara mengalikan faktor penimbang awal dengan
suatu matrik transformasi yag bersifat orthogonal. Meskipun telah
31
Selanjutnya, varian spesifik , dan tentunya communality , juga tidak
berubah. Rotasi faktor yang sering digunakan adalah rotasi yang
orthogonal yaitu rotasi varimax. Rotasi varimax merupakan rotasi yang
membuat jumlah varian faktor loading dalam masing-masing faktor akan
menjadi maksimum. Dimana nantinya setiap peubah asal hanya akan
mempunyai korelasi yang tinggi kuat dengan faktor tertentu saja
(korelasinya mendekati 1) dan tentunya memiliki korelasi yang lemah
dengan faktor lainnya (korelasi mendekati 0).
3.2.2. Analisis Cluster
Analisis cluster merupakan salah satu teknik statistik untuk mengelompokkan individu-individu atau objek menjadi beberapa kelompok yang
mempunyai sifat berbeda antar kelompok. Individu-individu dalam satu kelompok
lebih homogen dibandingkan dengan individu yang ada dalam kelompok lain.
Sebelum melakukan pengelompokkan terlebih dahulu harus ditentukan
jarak kedekatan antar peubah dengan menggunakan jarak euclidian. Jarak euclidian dinyatakan dengan :
d(x,y) =
dimana x adalah amatan pertama dan y adalah amatan kedua.
Metode pengelompokan yang digunakan dalam penulisan ini adalah
metode pengelompokan hierarki karena banyaknya kelompok yang dibentuk
belum diketahui sebelumnya. Metode yang digunakan untuk menentukan jarak
karena metode ini bertujuan untuk meminimumkan rataan jarak semua pasangan
dari dua kelompok yang digabungkan. Jarak ini dinyatakan dengan :
dimana
= jarak antara objek ke-i dalam kelompok (uv) dan objek ke-k dalam
kelompok w
dan = jumlah amatan dalam kelompok uv dan w
3.3. Definisi Operasional Variabel
Peubah-peubah yang digunakan dalam skripsi ini berasal dari beberapa
indikator dan agregat tentang kondisi, sarana dan prasarana serta potensi wilayah
yang dianggap cukup mewakili dalam menggambarkan keadaan dan potensi
Kabupaten Bogor. Adapun peubah-peubah tersebut adalah sebagai berikut :
1. jumlah penduduk adalah banyaknya penduduk laki-laki dan perempuan yang
tinggal di suatu wilayah;
2. jumlah dokter adalah banyaknya dokter praktek umum, spesialis dan gigi;
3. jumlah petugas kesehatan adalah banyaknya petugas kesehatan yang terdiri
dari dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan dan bidan praktek swasta;
4. jumlah puskesmas dan pustu adalah banyaknya sarana kesehatan puskesmas
dan puskesmas pembantu;
5. jumlah sekolah SLTP adalah banyaknya sekolah lanjutan tingkat pertama
33
6. jumlah sekolah SLTA adalah banyaknya sekolah lanjutan tingkat atas baik
berstatus negeri dan swasta;
7. jumlah KUD adalah banyaknya koperasi unit desa;
8. jumlah toko dan mini market adalah banyaknya toko dan mini market;
9. jumlah restoran adalah banyaknya restoran. Restoran adalah
perusahaan/usaha yang menyajikan dan menjual makanan dan minuman bagi
umum ditempat usahanya yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan
permanen, dilengkapi peralatan dan perlengkapan proses pemuatan
penyimpanan dan penyajian. Proses pembuatan dari bahan baku menjadi
bahan jadi dilakukan ditempat usahanya;
10. jumlah industri besar dan sedang adalah banyaknya perusahaan industri yang
memiliki tenaga kerja lebih dari 20 orang;
11. luas wilayah adalah besarnya areal wilayah yang biasanya diukur dalam
satuan hektar atau kilometer persegi;
12. produksi padi adalah banyaknya produksi padi yang dihasilkan baik padi
Jumlah penduduk Kabupaten Bogor menurut hasil Sensus Penduduk 2000
adalah 3.508.826 jiwa dan kini di tahun 2008 telah meningkat menjadi 4.340.520
jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,69 persen per tahunnya. Bila
diperhatikan berdasarkan kecamatannya terlihat adanya persebaran penduduk
yang tidak merata (lampiran 1). Kecamatan Cibinong memiliki jumlah penduduk
terbesar, mencapai 251.562 jiwa sementara Kecamatan Cariu berpenduduk paling
sedikit yaitu 47.234 jiwa. Kepadatan penduduk pun berbeda cukup tinggi yaitu
diatas 5.000 jiwa per kilometer persegi di Kecamatan Ciomas, Bojonggede dan
Cibinong serta terendah di Kecamatan Tanjungsari dan Jasinga yang
kepadatannya kurang dari 500 jiwa per kilometer persegi.
4.2. Kondisi Ketenagakerjaan Kabupaten Bogor
Partisipasi Angkatan Kerja merupakan perbandingan antara jumlah
angkatan kerja dengan penduduk 15 tahun lebih. Tahun 2007 Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Bogor untuk laki-laki 84,39 persen dan
perempuan 35,75 persen dan secara total TPAK Kabupaten Bogor sebesar 60,87
persen. Jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor sebanyak 231.696 orang terdiri
dari 138.753 laki-laki dan 92.943 perempuan.
Dari sisi sektoral tampak bahwa tenaga kerja di Kabupaten Bogor terserap