• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis dampak pemekaran wilayah terhadap pengelompokkan kecamatan berdasarkan beberapa peubah sosial ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis dampak pemekaran wilayah terhadap pengelompokkan kecamatan berdasarkan beberapa peubah sosial ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH

TERHADAP PENGELOMPOKKAN KECAMATAN

BERDASARKAN BEBERAPA PEUBAH SOSIAL EKONOMI

DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2008

OLEH

RA. LEISA TRIANA H14094003

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

Pengelompokkan Kecamatan Berdasarkan Beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008 (dibimbing oleh FIFI DIANA THAMRIN).

Dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah guna meningkatkan dan mempercepat pembangunan daerah, pembangunan dilakukan dengan konsep pembangunan lintas wilayah. Pembangunan lintas wilayah mencakup upaya pengembangan wilayah untuk mendayagunakan potensi dan kemampuan daerah dengan berbagai alat kebijakan yang mendukung perkembangan perekonomian daerah, berkembangnya pemukiman, perkotaan, pedesaan, wilayah cepat tumbuh, perbatasan dan wilayah tertinggal, serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, meningkatkan hidup dan kehidupannya. Pemekaran wilayah menjadi suatu pilihan yang dilakukan pemerintah daerah untuk mempercepat pembangunan daerah.

Kabupaten Bogor sebelum otonomi daerah terdiri dari 30 kecamatan kini dimekarkan menjadi 40 kecamatan. Strategi pembangunan dilakukan dengan pendekatan per wilayah pembangunan yaitu wilayah pembangunan Bogor Barat, Bogor Tengah dan Bogor Timur. Namun dirasakan adanya ketimpangan pembangunan yang tercermin dari potensi wilayah dan sarana prasarana sosial ekonomi yang tidak merata di Kabupaten Bogor.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengelompokkan kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor berdasarkan kondisi sarana sosial ekonomi dan potensi yang dimiliki sebagai suatu alternatif dalam menetapkan kebijakan pembangunan wilayah tersebut menjadi lebih operasional dan terarah. Pada penelitian ini, untuk mengelompokkan kecamatan di Kabupaten Bogor digunakan analisis faktor dan analisis cluster dengan metode hierarki. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data agregat yang diolah dari potensi desa/kelurahan 2008 dan Publikasi Kabupaten Bogor dalam Angka tahun 2009.

(3)

produksi padinya cukup baik. Wilayah ini terdiri dari sembilan kecamatan. Wilayah kedua adalah cluster kecamatan yang potensi penduduk dan sarana prasarana sosial ekonomi cukup memadai terdiri dari lima kecamatan, wilayah ketiga adalah cluster kecamatan yang produksi padinya cukup baik terdiri dari sembilan kecamatan dan wilayah keempat adalah kecamatan yang potensi penduduk, sarana prasarana sosial ekonomi kurang memadai dan produksi padinya cukup rendah yang terdiri dari 17 kecamatan. Berdasarkan wilayah pembangunan dengan menggunakan peubah yang sama maka wilayah pembangunan Bogor Timur memiliki potensi penduduk, sarana prasarana sosial ekonomi cukup memadai dan produksi padinya cukup baik, Bogor Tengah memiliki potensi penduduk dan sarana sosial ekonomi yang cukup memadai sementara wilayah pembangunan Bogor Barat produktivitas padinya cukup baik.

Adapun perbedaan penelitian pada Tahun 1999 dan Tahun 2008 adalah jumlah peubah yang digunakan pada Tahun 1999 sebanyak 13 peubah dan pada Tahun 2008 sebanyak 12 peubah. Faktor yang terbentuk adalah lima faktor pada tahun 1999 dan dua faktor pada Tahun 2008. Banyaknya cluster yang terbentuk adalah sepuluh cluster pada Tahun 1999 dan 11 cluster pada Tahun 2008. Berkurangnya jumlah faktor dari lima pada tahun 1999 menjadi dua pada tahun 2008 dapat dijelaskan dari keragaman antar peubah dan korelasi erat antar peubah dengan faktornya. Penambahan jumlah cluster dari sepuluh cluster di tahun 1999 menjadi 11 cluster pada tahun 2008 dengan komposisi kecamatan berbeda dalam tiap kelompoknya disebabkan oleh jarak kedekatan antar peubahnya yang membuat beberapa kecamatan yang memiliki ciri yang sama berada pada satu cluster. Penambahan jumlah kecamatan yang disebabkan oleh pemekaran wilayah juga dimungkinkan dapat menambah cluster karena kecamatan-kecamatan hasil pemekaran memiliki ciri yang sama sehingga membentuk satu cluster baru. Kecamatan-kecamatan hasil pemekaran wilayah tergabung ke dalam satu cluster yang sama dimana rata-rata semua faktornya berada di bawah rata-rata kabupaten. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan. pembangunan ekonomi dan pembangunan sarana sosial ekonomi hendaknya diprioritaskan pada kecamatan yang termasuk pada Wilayah IV. Untuk wilayah yang berpotensi dalam produksi padi diharapkan dapat dikembangkan industri yang mengolah hasil pertanian baik itu industri besar sedang maupun industri kecil dan kerajinan rumah tangga.

(4)

Oleh

RA. LEISA TRIANA H14094003

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(5)

Judul Skripsi : Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pengelompokkan Kecamatan Berdasarkan Beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008 Nama Mahasiswa : RA. Leisa Triana

Nomor Registrasi Pokok : H14094003 Program Studi : Ilmu Ekonomi

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si NIP. 19730424 200604 2 006

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003

(6)

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Oktober 2009

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama RA. Leisa Triana lahir pada tanggal 16 April 1976 di Jakarta. Penulis anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan H.RM. Inuni Pasha Ayub Bachtiar (Alm) dan Hj. F. Hanidah. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar pada SDN Curug I pada Tahun 1988, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Cimanggis dan lulus pada tahun 1991. Tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1994 penulis menamatkan pendidikan menengah di SMA Negeri 39 Jakarta.

(8)

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul ”Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pengelompokkan Kecamatan Berdasarkan Beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Fifi Diana Thamrin yang telah memberikan segenap waktu, ilmu dan perhatiannya dalam membimbing penulis baik teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Wiwiek Rindayanti yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kuliah seperjuangan yang telah sangat membantu memberikan kritik dan saran pada saat Seminar Hasil Penelitian skripsi ini. Penulis juga berterimakasih kepada Bapak Annazri yang telah memberi kesempatan, perhatian dan dorongan, Bapak Dedi Supriadi yang terus memberikan motivasi agar pantang menyerah, rekan-rekan BPS Kabupaten Bogor, rekan-rekan BPS Propinsi Jawa Barat dan semua pihak atas segala penyediaan dan pengolahan data yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini.

(9)

artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2009

(10)

i

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 9

2.1. Tinjauan Teori-teori ... 9

2.1.1. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 9

2.1.2. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah .. 10

2.2. Ketimpangan Pembangunan ... 14

3.3. Definisi Operasional Variabel ... 32

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN BOGOR... 34

4.1. Kondisi Kependudukan Kabupaten Bogor ... 34

4.2. Kondisi Ketenagakerjaan Kabupaten Bogor ... 34

(11)

ANALISIS DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH

TERHADAP PENGELOMPOKKAN KECAMATAN

BERDASARKAN BEBERAPA PEUBAH SOSIAL EKONOMI

DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2008

OLEH

RA. LEISA TRIANA H14094003

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(12)

Pengelompokkan Kecamatan Berdasarkan Beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008 (dibimbing oleh FIFI DIANA THAMRIN).

Dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah guna meningkatkan dan mempercepat pembangunan daerah, pembangunan dilakukan dengan konsep pembangunan lintas wilayah. Pembangunan lintas wilayah mencakup upaya pengembangan wilayah untuk mendayagunakan potensi dan kemampuan daerah dengan berbagai alat kebijakan yang mendukung perkembangan perekonomian daerah, berkembangnya pemukiman, perkotaan, pedesaan, wilayah cepat tumbuh, perbatasan dan wilayah tertinggal, serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, meningkatkan hidup dan kehidupannya. Pemekaran wilayah menjadi suatu pilihan yang dilakukan pemerintah daerah untuk mempercepat pembangunan daerah.

Kabupaten Bogor sebelum otonomi daerah terdiri dari 30 kecamatan kini dimekarkan menjadi 40 kecamatan. Strategi pembangunan dilakukan dengan pendekatan per wilayah pembangunan yaitu wilayah pembangunan Bogor Barat, Bogor Tengah dan Bogor Timur. Namun dirasakan adanya ketimpangan pembangunan yang tercermin dari potensi wilayah dan sarana prasarana sosial ekonomi yang tidak merata di Kabupaten Bogor.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengelompokkan kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor berdasarkan kondisi sarana sosial ekonomi dan potensi yang dimiliki sebagai suatu alternatif dalam menetapkan kebijakan pembangunan wilayah tersebut menjadi lebih operasional dan terarah. Pada penelitian ini, untuk mengelompokkan kecamatan di Kabupaten Bogor digunakan analisis faktor dan analisis cluster dengan metode hierarki. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data agregat yang diolah dari potensi desa/kelurahan 2008 dan Publikasi Kabupaten Bogor dalam Angka tahun 2009.

(13)

produksi padinya cukup baik. Wilayah ini terdiri dari sembilan kecamatan. Wilayah kedua adalah cluster kecamatan yang potensi penduduk dan sarana prasarana sosial ekonomi cukup memadai terdiri dari lima kecamatan, wilayah ketiga adalah cluster kecamatan yang produksi padinya cukup baik terdiri dari sembilan kecamatan dan wilayah keempat adalah kecamatan yang potensi penduduk, sarana prasarana sosial ekonomi kurang memadai dan produksi padinya cukup rendah yang terdiri dari 17 kecamatan. Berdasarkan wilayah pembangunan dengan menggunakan peubah yang sama maka wilayah pembangunan Bogor Timur memiliki potensi penduduk, sarana prasarana sosial ekonomi cukup memadai dan produksi padinya cukup baik, Bogor Tengah memiliki potensi penduduk dan sarana sosial ekonomi yang cukup memadai sementara wilayah pembangunan Bogor Barat produktivitas padinya cukup baik.

Adapun perbedaan penelitian pada Tahun 1999 dan Tahun 2008 adalah jumlah peubah yang digunakan pada Tahun 1999 sebanyak 13 peubah dan pada Tahun 2008 sebanyak 12 peubah. Faktor yang terbentuk adalah lima faktor pada tahun 1999 dan dua faktor pada Tahun 2008. Banyaknya cluster yang terbentuk adalah sepuluh cluster pada Tahun 1999 dan 11 cluster pada Tahun 2008. Berkurangnya jumlah faktor dari lima pada tahun 1999 menjadi dua pada tahun 2008 dapat dijelaskan dari keragaman antar peubah dan korelasi erat antar peubah dengan faktornya. Penambahan jumlah cluster dari sepuluh cluster di tahun 1999 menjadi 11 cluster pada tahun 2008 dengan komposisi kecamatan berbeda dalam tiap kelompoknya disebabkan oleh jarak kedekatan antar peubahnya yang membuat beberapa kecamatan yang memiliki ciri yang sama berada pada satu cluster. Penambahan jumlah kecamatan yang disebabkan oleh pemekaran wilayah juga dimungkinkan dapat menambah cluster karena kecamatan-kecamatan hasil pemekaran memiliki ciri yang sama sehingga membentuk satu cluster baru. Kecamatan-kecamatan hasil pemekaran wilayah tergabung ke dalam satu cluster yang sama dimana rata-rata semua faktornya berada di bawah rata-rata kabupaten. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan. pembangunan ekonomi dan pembangunan sarana sosial ekonomi hendaknya diprioritaskan pada kecamatan yang termasuk pada Wilayah IV. Untuk wilayah yang berpotensi dalam produksi padi diharapkan dapat dikembangkan industri yang mengolah hasil pertanian baik itu industri besar sedang maupun industri kecil dan kerajinan rumah tangga.

(14)

Oleh

RA. LEISA TRIANA H14094003

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(15)

Judul Skripsi : Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pengelompokkan Kecamatan Berdasarkan Beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008 Nama Mahasiswa : RA. Leisa Triana

Nomor Registrasi Pokok : H14094003 Program Studi : Ilmu Ekonomi

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si NIP. 19730424 200604 2 006

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003

(16)

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Oktober 2009

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama RA. Leisa Triana lahir pada tanggal 16 April 1976 di Jakarta. Penulis anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan H.RM. Inuni Pasha Ayub Bachtiar (Alm) dan Hj. F. Hanidah. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar pada SDN Curug I pada Tahun 1988, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Cimanggis dan lulus pada tahun 1991. Tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1994 penulis menamatkan pendidikan menengah di SMA Negeri 39 Jakarta.

(18)

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul ”Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pengelompokkan Kecamatan Berdasarkan Beberapa Peubah Sosial Ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Fifi Diana Thamrin yang telah memberikan segenap waktu, ilmu dan perhatiannya dalam membimbing penulis baik teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Wiwiek Rindayanti yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kuliah seperjuangan yang telah sangat membantu memberikan kritik dan saran pada saat Seminar Hasil Penelitian skripsi ini. Penulis juga berterimakasih kepada Bapak Annazri yang telah memberi kesempatan, perhatian dan dorongan, Bapak Dedi Supriadi yang terus memberikan motivasi agar pantang menyerah, rekan-rekan BPS Kabupaten Bogor, rekan-rekan BPS Propinsi Jawa Barat dan semua pihak atas segala penyediaan dan pengolahan data yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini.

(19)

artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2009

(20)

i

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 9

2.1. Tinjauan Teori-teori ... 9

2.1.1. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 9

2.1.2. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah .. 10

2.2. Ketimpangan Pembangunan ... 14

3.3. Definisi Operasional Variabel ... 32

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN BOGOR... 34

4.1. Kondisi Kependudukan Kabupaten Bogor ... 34

4.2. Kondisi Ketenagakerjaan Kabupaten Bogor ... 34

(21)

ii

4.4. Kondisi Ekonomi Kabupaten Bogor ... 37

4.4.1. Struktur Ekonomi ... 37

4.4.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 38

4.4.3. Pendapatan per Kapita ... 39

V.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

5.1. Analisis Deskriptif ... 41

5.1.1. Potensi Wilayah ……….. 41

5.1.2. Sarana Pendidikan dan Kesehatan………... 42

5.2. Hasil Analisis Faktor ... 44

5.3. Hasil Analisis Cluster ... 47

5.4. Analisis Wilayah Pembangunan ... 58

5.5. Analisis Dampak Pengelompokkan Wilayah Kecamatan Sebelum dan Setelah Pemekaran Wilayah ... 66

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 76

6.1. Kesimpulan ... 76

6.2. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(22)

iii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

4.1. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama dan Jenis Kelamin

Tahun 2007 ... 35 4.2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bogor dan

Komponennya Tahun 2005-2008 ... 36 4.3. Struktur Ekonomi Kabupaten Bogor Menurut Kelompok Sektor

Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2008 ... 37 4.4. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Menurut Kelompok

Sektor Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2008 ... 39 4.5. Perkembangan Pendapatan per Kapita Penduduk Kabupaten

Bogor Tahun 2005-2008 ... 40 5.1. Nilai Akar Ciri, Persentase Keragaman Data dan Persentase

Kumulatif Keragaman Data ... 44 5.2. Rotasi Faktor ... 45 5.3. Rata-rata Skor Faktor Tiap Cluster ... 48 5.4. Cluster Kecamatan Menurut Wilayahnya

Di Kabupaten Bogor ... 55 5.5. Rata-rata Skor Faktor Tiap Wilayah Pembangunan ... 59 5.6. Jumlah Peubah dan Hasil Penelitian Pengelompokan

Kecamatan Sebelum dan Sesudah Pemekaran Wilayah

di Kabupaten Bogor ... 67 5.7. Daftar Kecamatan Menurut Cluster Sebelum dan Sesudah

Pemekaran Wilayah di Kabupaten Bogor ... 71 5.8. Daftar Kecamatan Menurut Potensi Wilayah Tahun 1999

(23)

iv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1. Model Interaksi Kependudukan , Lingkungan

(24)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Bogor

Tahun 2008 ... 81 2. Produksi Padi Sawah, Jumlah Sarana Perdagangan

Jumlah Industri Besar Sedang, Jumlah IKKR, Jumlah Hotel dan Jumlah Objek Wisata di Kabupaten Bogor

Tahun 2008 ... 82 3. Jumlah SLTP dan Jumlah Puskesmas di Kabupaten Bogor

Tahun 2008 ... 83 4. Daftar Skor Faktor Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor ... 84 5. Data Peubah yang Mewakili Sumber Daya dan Sarana Prasarana

Sosial Ekonomi per Kecamatan di Kabupaten Bogor

Tahun 2008 ... 85 6. Data Peubah yang Mewakili Sumber Daya dan Sarana Prasarana

Sosial Ekonomi per Cluster Kecamatan di Kabupaten Bogor

Tahun 2008 ... 87 7. Data Peubah yang Mewakili Sumber Daya dan Sarana Prasarana

Sosial Ekonomi per Wilayah di Kabupaten Bogor

Tahun 2008 ... 91 8. Data Peubah yang Mewakili Sumber Daya dan Sarana Prasarana

Sosial Ekonomi per Wilayah Pembangunan di Kabupaten Bogor

Tahun 2008 ... 93 9. Data Z Score Peubah yang Mewakili Sumber Daya dan Sarana

Prasarana Sosial Ekonomi per Kecamatan di Kabupaten Bogor

Tahun 2008 ... 95

(25)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang

bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan

kerja, memeratakan distribusi pendapatan, meningkatkan hubungan ekonomi

regional dan mengusahakan pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke

sektor sekunder dan tersier. Pembangunan dilakukan untuk mencapai kehidupan

yang lebih baik melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi, dan

institusional dimana terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar manusia,

meningkatnya standar hidup dan tersedianya pilihan pilihan ekonomis dan sosial

bagi setiap individu.

Pembangunan ekonomi dalam kerangka perekonomian daerah, Arsyad

(1999) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah proses dimana

pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan

membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta untuk

menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

ekonomi daerah. Untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah

tersebut dibutuhkan kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan

daerah (endogenous development), dengan menggunakan potensi sumberdaya lokal.

Untuk itu pemerintah mengeluarkan kebijakan Otonomi Daerah melalui

(26)

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, didalamnya daerah diberikan hak dan kewenangan sesuai

dengan prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab serta berhak

mengatur seluruh kewenangannya, baik berupa urusan wajib maupun urusan

pilihan, mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku.

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 juga mengatur penyelenggaraan

pemerintahan daerah dan pelaksanaan desentralisasi.

Konsep pembangunan yang dicantumkan dalam Program Pembangunan

Nasional (Propenas 2000-2004) untuk meningkatkan dan mempercepat

pembangunan daerah dilakukan dengan konsep pembangunan lintas wilayah.

Pembangunan lintas wilayah mencakup upaya pengembangan wilayah untuk

mendayagunakan potensi dan kemampuan daerah dengan berbagai alat kebijakan

yang mendukung perkembangan perekonomian daerah, berkembangnya

pemukiman, perkotaan, pedesaan, wilayah cepat tumbuh, perbatasan dan wilayah

tertinggal, serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas

masyarakat, meningkatkan hidup dan kehidupannya. Secara khusus

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pembentukan

daerah dan kawasan khusus yang dapat berupa penggabungan beberapa daerah

atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih dengan syarat

(27)

3

telah mengakomodir keinginan pemerintah dan masyarakat daerah melalui

pemekaran wilayah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Sebelum otonomi daerah diberlakukan, wilayah di Kabupaten Bogor terdiri

dari 30 kecamatan kemudian setelah otonomi daerah diberlakukan maka dengan

Perda No. 3 Tahun 2003 tentang pembentukan dan Perda No. 40 Tahun 2004

tentang Organisasi dan Tata Kerja (OTK) Kecamatan, telah terbentuk 10

kecamatan baru hasil pemekaran wilayah yaitu Kecamatan Sukajaya, Tanjungsari,

Tajurhalang, Leuwisadeng, Rancabungur, Tamansari, Cigombong, Tenjolaya,

Klapanunggal dan Ciseeng, sehingga saat ini Kabupaten Bogor terdiri atas 40

kecamatan. Adanya pemekaran wilayah kecamatan di Kabupaten Bogor ini

diharapkan perekonomian Kabupaten Bogor dapat berkembang pesat yang pada

akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Untuk membangun suatu daerah sebaiknya kebijakan yang diambil harus

sesuai dengan masalah, kebutuhan dan potensi daerah yang bersangkutan. Hal ini

ditekankan karena setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda baik dari sisi

potensi sosial ekonomi, kandungan sumber daya alam, kondisi geografis maupun

potensi khas daerah lainnya.

Terkait dengan pentingnya identifikasi kebutuhan dan potensi dalam

proses perencanaan pembangunan daerah, maka berbagai pendekatan model

perencanaan pembangunan daerah dapat dilakukan untuk menentukan arah dan

bentuk kebijakan yang diambil. Sebelum merumuskan kebijakan pembangunan

wilayah hendaknya terlebih dahulu perlu ditetapkan pengelompokkan wilayah

(28)

Maka perumusan kebijakan akan lebih tepat, sesuai dengan kondisi, permasalahan

dan potensi wilayah. Salah satunya adalah pengelompokkan wilayah yang

memiliki karakteristik sosial ekonomi yang sama (homogenous region).

Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun

2003-2008 yang tertuang pada Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 2 Tahun

2004 berisi tentang ditetapkannya visi, misi, tujuan dan sasaran serta strategi

pembangunan. Strategi pembangunan yang dirumuskan berupa serangkaian

kebijakan dan program yang memfokuskan pada penyusunan kegiatan dan

pengalokasian sumberdaya, terdiri dari strategi pembangunan perwilayahan

pembangunan dan strategi urusan pemerintahan. Strategi perwilayahan pembangunan

dikelompokkan ke dalam strategi percepatan pembangunan di wilayah Bogor Barat,

pengendalian pembangunan di Bogor Tengah dan strategi pemantapan pembangunan

di wilayah Bogor Timur.

Pembangunan berdasarkan wilayah pembangunan ini diharapkan dapat

mencapai tujuan yang diinginkan tiap wilayah pembangunan secara lebih terarah.

Namun saat ini masih dirasakan adanya ketimpangan pembangunan pada

beberapa wilayah kecamatan yang dapat dilihat dari perbedaan tingkat

kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Berdasarkan indeks

Williamson dengan data tahun 2005 didapatkan indeks ketimpangan wilayah

pembangunan Bogor Barat 0,27, Bogor Tengah 0,23 dan Bogor Timur 0,06. Hal

ini menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi pada tiap wilayah

pembangunan cukup rendah berarti cukup merata pada tiap wilayah

(29)

5

ketimpangan pembangunan ekonomi di wilayah Bogor Barat lebih tinggi

dibandingkan wilayah pembangunan yang lainnya. Jumlah rumah tangga miskin

hasil pendataan BPS tahun 2008 menunjukkan bahwa di Kecamatan Gunung Putri

berjumlah 2.773 rumah tangga miskin sedangkan di Kecamatan Leuwiliang

mencapai 11.429 rumah tangga miskin (lampiran 1). Ketimpangan pelayanan

sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan dan kesehatan juga terjadi antar

wilayah, dari data terlihat jumlah SLTP di Kecamatan Cibinong berjumlah 39

SLTP sementara di Kecamatan Sukajaya hanya ada 3 SLTP. Kondisi yang sama

juga terlihat pada jumlah puskesmas dimana di Kecamatan Cibinong ada 10

puskesmas sementara di Kecamatan Parung dan Tajurhalang hanya ada 2

puskesmas (lampiran 3).

Bila dilihat dari wilayah pembangunan yang ada terdapat perbedaan

potensi kecamatan dalam satu wilayah pembangunan. Wilayah pembangunan

Bogor Barat terdiri dari kecamatan-kecamatan yang berpotensi dalam sektor

pertanian. Sementara untuk wilayah pembangunan Bogor Timur terdiri dari

kecamatan kecamatan yang sebagian berpotensi di sektor pertanian dan sebagian

lagi berpotensi pada sektor industri dan untuk Bogor Tengah terdiri dari

kecamatan-kecamatan yang sebagian berpotensi pada sektor perdagangan dan

jasa, sebagian lagi berpotensi pada sektor industri.

Sumber daya manusia di Kabupaten Bogor persebarannya juga yang tidak

merata antar kecamatan. Hal ini ditandai dengan kepadatan penduduk yang

berbeda cukup tinggi yaitu di atas 5.000 jiwa per kilometer persegi di Kecamatan

(30)

Jasinga yang kepadatannya kurang dari 500 jiwa per kilometer persegi. Banyak

faktor yang menyebabkan persebaran penduduk ini tidak merata. Salah satunya

adalah keterkaitan manusia dengan lingkungan hidup yang ditempatinya, baik

lingkungan fisik, sosial dan komponen keluarga, tetangga, organisasi sosial, serta

lingkungan budaya. Semua komponen ini amat berpengaruh dalam penyebaran

penduduk dan pergerakan manusia untuk mencapai tujuan hidup yang

diidealkannya. Pengaruh potensi sosial ekonomi pada setiap kecamatan juga

sangat berperan dalam mewujudkan terjadinya ketidakmerataan persebaran

penduduk.

Bila ditelaah lebih lanjut kecamatan yang kepadatannya kurang dari 500

jiwa per kilometer persegi adalah kecamatan yang sebagian besar wilayahnya

adalah daerah pertanian dan perkebunan. Pembangunan sarana dan prasarana

sosial ekonomi di daerah yang berpotensi pertanian ini masih dirasakan kurang

memadai. Sementara di kecamatan yang padat penduduknya sarana dan prasarana

sosial ekonomi yang sebenarnya sudah memadai masih terus bertambah

jumlahnya misalnya jumlah sarana kesehatan dan jumlah sarana perdagangan.

Tentunya akan sangat berarti bila dalam merencanakan pembangunan terlebih

dahulu mengetahui potensi wilayah dan sarana prasarana sosial ekonomi antar

kecamatan. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan lebih terarah sehingga

merangsang terciptanya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable

development). Untuk itu perlu dibuat suatu pengelompokkan wilayah kecamatan

(31)

7

sebagai suatu alternatif bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan

pembangunan.

1.2. Perumusan Masalah

Sejalan dengan latar belakang dan uraian sebelumnya, maka penulis

mencoba melakukan pengelompokkan wilayah baru yang berdasarkan potensi

wilayah dan kondisi sarana-prasarana sosial ekonomi. Permasalahan yang akan

dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. faktor-faktor apa saja yang mewakili kesamaan karakteristik dari potensi

wilayah dan kondisi sarana prasarana sosial ekonomi;

2. pengelompokkan baru wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan faktor tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mewakili kesamaan

karakteristik dari potensi wilayah yang dilihat dari sarana prasarana sosial

ekonomi yang telah dibangun di wilayah Kabupaten Bogor;

2. menganalisis hasil pengelompokkan wilayah di Kabupaten Bogor yang

memiliki kesamaaan karakteristik sosial ekonominya.

1.4. Kegunaan Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu:

(32)

2. pengelompokkan wilayah kecamatan dapat menjadi masukan dan bahan

evaluasi bagi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam rangka penyusunan

perencanaan pembangunan;

3. hasil penelitian ini dapat pula digunakan sebagai bahan acuan untuk

penelitian-penelitian serupa selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor. Objek penelitian

adalah 40 kecamatan di Kabupaten Bogor dengan menggunakan data agregat 12

peubah untuk mewakili variabel kependudukan, kondisi lingkungan, sarana

(33)

II.

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teori-teori

2.1.1. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf

hidup suatu bangsa yang seringkali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan

riil perkapita. Tujuan pembangunan ekonomi adalah meningkatkan pendapatan

nasional riil dan meningkatkan produktivitas. Todaro (2000) mendefinisikan

pembangunan ekonomi sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup

perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan, selain mencakup peningkatan

pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan

pemberantasan kemiskinan.

Menurut Jhingan (1988), beberapa ahli ekonomi seperti Schumpeter dan

Ursula Hicks, telah membuat perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dan

pembangunan ekonomi. Pertumbuhan menurut Schumpeter merupakan perubahan

secara spontan dan terputus dalam keadaan stasioner yang senantiasa mengubah

dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya.

Namun pembangunan yang lebih menekankan pertumbuhan ekonomi telah

membuat kekhawatiran akan rusaknya lingkungan hidup, khususnya lingkungan

alam yang dapat mendukung pembangunan secara berkelanjutan. Untuk itu

konsep pembangunan berkelanjutan merupakan jawaban terhadap kritik konsep

(34)

Komisi Brundtland PBB (1987) mendefinisikan bahwa pembangunan

berkelanjutan adalah model pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dan

aspirasi generasi masa kini maupun masa depan secara harmonis. Definisi ini

membawa beberapa konsekuensi yang antara lain menuntut adanya kesadaran dan

kemauan nasional untuk melaksanakan proses pembangunan agar berjalan

seimbang dengan proses pelestarian kualitas lingkungan dan pembaharuan sumber

daya agar dapat menjamin tercapainya pemerataan antar generasi dan tidak hanya

sekedar mencapai sasaran material semata-mata atau pertumbuhan ekonomi saja,

tetapi juga terpenuhinya aspirasi berbagai masyarakat.

Sumber daya manusia, sumber daya alam, dan teknologi adalah tiga faktor

pembangunan yang pokok. Sumber daya manusia adalah jumlah, komposisi,

karakteristik dan persebaran penduduk. Sumber daya alam adalah semua sumber

daya yang disediakan oleh alam meliputi sumber daya yang dapat diperbaharui

dan yang tidak dapat diperbaharui.

2.1.2. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Arsyad (1999) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah

proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang

ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta

untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan

kegiatan ekonomi daerah. Untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi

(35)

11

kekhasan daerah (endogenous development), dengan menggunakan potensi sumberdaya lokal.

Untuk mencapai tujuan pembangunan daerah, kebijaksanaan utama yang

perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas

pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini perlu

diusahakan karena potensi pembangunan yang dihadapi oleh masing-masing

daerah sangat bervariasi. Karena itu, bila prioritas pembangunan daerah kurang

sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, maka sumber

daya yang ada kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Keadaan tersebut

mengakibatkan relatif lambatnya proses pertumbuhan ekonomi daerah

bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dikatakan

berjalan jika ditandai dengan adanya pertumbuhan ekonomi.

Menurut Sjafrizal (2008) dalam konteks pembangunan ekonomi daerah

maka konsep wilayah (region) digunakan sebagai representasi dari unsur ruang

(space) yang diartikan sebagai suatu kesatuan ruang yang dikelompokkan

berdasarkan unsur tertentu (berupa kondisi sosial ekonomi maupun keterkaitan

antar wilayah) tergantung dari tujuan analisa. Berdasarkan beberapa unsur utama

tersebut secara umum terdapat 4 bentuk wilayah, yaitu:

a. homogeneous region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk dengan memperhatikan kesamaan karakteristik sosial ekonomi dalam wilayah yang

bersangkutan;

(36)

c. planning region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk untuk tujuan perencanaan pembangunan;

d. administrative region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan dan kebutuhan administrasi pemerintahan.

Sasaran pembangunan ekonomi daerah adalah mewujudkan kemakmuran

wilayah dan kemakmuran masyarakatnya. Kemakmuran wilayah adalah

terwujudnya kondisi fisik daerah yang maju meliputi sarana dan prasarana

perumahan dan lingkungan pemukiman, kegiatan ekonomi masyarakat, fasilitas

pelayanan sosial dibidang pendidikan dan kesehatan, kualitas lingkungan hidup

dan lain-lainnya. Kemakmuran masyarakat adalah terwujudnya sumberdaya

manusia yang berkualitas baik dari sisi pendidikan maupun kesehatan. Guna

tercapainya tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus

bersama-sama mengambil inisiatif memanfaatkan seluruh potensi yang ada secara

optimal dalam membangun daerah untuk kesejahteraan masyarakat.

Teori-teori pembangunan daerah banyak membahas penggunaan alat

analisis dan metode statistik dalam menganalisis perekonomian suatu daerah serta

teori tentang berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah.

Todaro (2000) mengatakan bahwa ada tiga faktor atau komponen utama dalam

pertumbuhan ekonomi. Pertama, akumulasi modal yang meliputi semua bentuk

dan jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan sumber

daya manusia. Kedua, pertumbuhan penduduk yang beberapa tahun selanjutnya

dengan sendirinya membawa pertumbuhan angkatan kerja dan ketiga adalah

(37)

13

Kemudian Jhingan (1999) mengatakan bahwa suatu perekonomian

dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan

ekonomi lebih tinggi daripada yang telah dicapai pada masa sebelumnya. Artinya

perkembangan baru tercipta apabila jumlah barang dan jasa yang dihasilkan

(tingkat output) dalam perekonomian tersebut menjadi bertambah besar pada

tahun-tahun berikutnya.

Menurut Syafrizal (2008), teori pertumbuhan ekonomi daerah digunakan

untuk menjelaskan cepat-lambatnya suatu daerah mengalami pertumbuhan dan

terjadinya ketimpangan antar wilayah. Ada empat model yang dihasilkan dari

teori yang berkembang selama ini. Pertama, model basis ekspor (ekspor base

models) yang dipelopori oleh Douglas C. North pada tahun 1956. Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan

kompetitif yang dimiliki oleh daerah bersangkutan. Bila daerah yang

bersangkutan dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai

keuntungan kompetitif sebagai basis untuk ekspor, maka pertumbuhan daerah

yang bersangkutan akan dapat ditingkatkan.

Kedua, model interregional income, dikembangkan oleh Harry W. Richardson menggunakan alur pemikiran ala Keynes. Ekspor diasumsikan sebagai

faktor yang berada dalam sistem yang ditentukan oleh perkembangan kegiatan

perdagangan antar wilayah yang terdiri atas barang konsumsi dan barang modal

serta dimasukkan pula unsur pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah dan

kegiatan investasi.

(38)

Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan

oleh kemampuan daerah tersebut utuk meningkatkan kegiatan produksinya.

Sedangkan kegiatan produksi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi

daerahnya, tetapi juga ditentukan oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas

modal antar daerah.

Keempat, model penyebab berkumulatif (cumulative causation models).

Teori ini dipelopori oleh Nikolas Kaldor pada tahun 1970. Menurut model ini,

ketimpangan pembangunan regional hanya akan dapat dikurangi melalui

program pemerintah. Bagaimanapun pemerintah perlu melakukan campur tangan

secara aktif dalam bentuk program pembangunan wilayah, terutama untuk daerah

yang tergolong masih terbelakang.

2.2 Ketimpangan Pembangunan

Menurut Sjafrijal (2008) ketimpangan pembangunan antar wilayah

merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah.

Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan sumberdaya

alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing masing

wilayah.

Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan

berwujud dalam bentuk, aspek, atau dimensi. Ketimpangan antar daerah dapat

diungkap melalui berbagai variabel selain pendapatan yaitu variabel non ekonomi.

Diawali dengan mengenali berbagai ketimpangan dalam variabel-variabel non

(39)

15

pembangunan dan hasil-hasilnya disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor

ketidaksetaraan anugrah awal diantara pelaku-pelaku ekonomi. Kondisi ini

disebabkan adanya ketidaksamaan sumber daya alam, kapital, keahlian, bakat atau

potensi atau sarana dan prasarana antar daerah. Kedua, strategi pembangunan

yang lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan tanpa pernah menetapkan target

mengenai tingkat kemerataan.

Ketimpangan pembangunan juga dijelaskan dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Ketimpangan pembangunan

antar wilayah ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan

prasarana ekonomi dan sosial terutama masyarakat di perdesaan, wilayah

terpencil, perbatasan serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan

perkotaan dan perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan

masyarakat desa, tertinggalnya pembangunan kawasan perdesaan dibanding

dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap

kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada permodalan,

lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, dan pemasaran hasil-hasil

produksi di perdesaan.

2.3. Pembangunan Wilayah

Sebelum menentukan kebijakan pembangunan wilayah terlebih dahulu

perlu ditetapkan pengelompokkan wilayah pembangunan dengan memperhatikan

kondisi dan potensi wilayah tersebut agar penetapan kebijakan pembangunan

(40)

kebijaksanaan pembangunan dengan pendekatan perwilayahan akan mempunyai

beberapa amanat salah satu diantaranya adalah untuk mengetahui potensi dan

faktor-faktor pembatas yang ada pada setiap wilayah. Pengembangan wilayah

merupakan suatu cara pendekatan dalam meratakan segala aspek sosial ekonomi

dalam kaitannya dengan perataan ruang wilayah sebagai wadah keterpaduan

program-program pembangunan yang sangat diperlukan baik dalam skala makro

maupun mikro.

Menurut Sjafrizal (2008) penetapan wilayah pembangunan dapat

dilakukan dengan memperhatikan 4 aspek utama yaitu :

1. kesamaan kondisi, permasalahan dan potensi umum wilayah, sosial dan

geografi. Bila aspek ini dijadikan pertimbangan utama dalam pembentukan

wilayah pembangunan maka wilayah tersebut dikategorikan sebagai

homogenous region. Aspek ini sangat penting agar kebijakan dapat ditetapkan sesuai dengan kondisi dan potensi utama wilayah yang

bersangkutan;

2. keterkaitan yang erat antara daerah-daerah yang tergabung dalam wilayah

pembangunan yang bersangkutan. Hal ini diketahui melalui data tentang

kegiatan perdagangan antar daerah dan mobilitas penduduk. Bila aspek ini

dijadikan pertimbangan utama dalam pembentukan wilayah pembangunan

maka wilayah tersebut dikategorikan sebagai nodal region. Aspek ini sangat penting agar kebijakan yang ditetapkan dapat mendorong keterpaduan dan

(41)

17

3. kesamaan karakteristik geografis antar daerah-daerah yang tergabung dalam

wilayah pembangunan tersebut. Meliputi jenis daerah, kesuburan,

kesesuaian lahan dan potensi sumber daya alam. Bila aspek ini dijadikan

pertimbangan utama dalam pembentukan wilayah pembangunan maka

wilayah tersebut dikategorikan sebagai Wilayah Fungsional. Aspek ini

sangat penting agar kebijakan yang ditetapkan akan dapat didukung oleh

kondisi geografis dan potensi sumber daya alam;

4. kesatuan wilayah administrasi pemerintahan yang tergabung dalam wilayah

pembangunan yang bersangkutan. Bila aspek ini dijadikan pertimbangan

utama dalam pembentukan wilayah pembangunan maka wilayah tersebut

dikategorikan sebagai Wilayah Perencanaan (Planning Region). Aspek ini

sangat penting agar kebijakan yang ditetapkan dapat terjamin

pelaksanaannya karena sesuai dengan kewenangan yang dimiliki sehingga

dapat dilakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan.

John Glasson dalam bukunya Pengantar Perencanaan Regional yang

diterbitkan pada tahun 1977 menyatakan pemecahan persoalan kemerosotan

ekonomi dapat mencakup penentuan batas-batas formal dengan menggunakan

kriteria tertentu yang relevan dan pemecahan persoalan yang terlampau banyak

dapat mencakup penentuan batas-batas daerah fungsional. Pada saat data yang

memadai tidak tersedia dapat digunakan cara pendekatan intuitif yang bersifat

kualitatif tetapi pendekatan ini cenderung membuat batas-batas daerah menjadi

sangat kabur. Hal ini membuat orang beralih pada pendekatan yang lebih

(42)

batas-batas daerah formal berarti mengelompok dan unit-unit lokal yang

mempunyai ciri-ciri serupa menurut kriteria tertentu dengan definisi yang jelas.

Namun berbeda secara nyata dengan unit-unit yang ada dikelompok lain sesuai

dengan kriteria yang dipilih. Daerah formal yang didefinisikan seperti itu memang

tidak pernah homogen secara sempurna, tetapi haruslah homogen di dalam

batas-batas tertentu yang didefinisikan secara jelas (Vincentius, 1985).

Menurut Sjafrizal (2008), bila upaya pembangunan wilayah diarahkan

untuk peningkatan kemakmuran masyarakatnya yang berarti meningkatkan

kualitas sumberdaya manusia biasanya laju pertumbuhan ekonomi dan penyediaan

lapangan kerja cenderung akan bertumbuh lebih lambat dibandingkan bila

upayanya diarahkan untuk peningkatan kemakmuran wilayah. Hal ini terjadi

karena upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat lebih

ditekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemberdayaan

manusia yang biasanya memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan

upaya pembangunan fisik wilayah. Sehingga pertumbuhan ekonomi dan

penyediaan lapangan kerja daerah cenderung menjadi lebih rendah yang

berimplikasi pada kinerja pembangunan daerah akan cenderung lebih lambat pula.

2.4. Penelitian Sebelumnya

Hasil penelitian Vincentius (1985) memperlihatkan bahwa dalam

mengelompokkan wilayah Indonesia berdasarkan beberapa peubah sosial

ekonomi, telah terjadi keragamaan antar propinsi yang disebabkan oleh dua

(43)

19

protein serta fasilitas pelayanan kesehatan. Kemudian dengan menggunakan

teknik pengelompokkan sidik jarak minimum D2 Mahalanobis didapatkan tiga

kelompok propinsi di Indonesia yang masing-masing mempunya ciri umum.

Kelompok pertama terdiri dari 14 propinsi, kelompok kedua tujuh propinsi dan

kelompok ketiga lima propinsi. Berdasarkan adanya keragaman tersebut

dibutuhkan suatu perencanaan pembangunan yang berbeda untuk tiap kelompok.

Penulis pun telah melakukan penelitian pengelompokkan wilayah di

Kabupaten Bogor pada tahun 1999 berdasarkan peubah sarana-prasarana sosial

ekonomi dan sumber daya manusia, sebelum diberlakukannya otonomi daerah.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis faktor dan analisis cluster. Hasil dari penelitian tersebut adalah ada lima faktor yang digunakan untuk

pengelompokkan kecamatan di Kabupaten Bogor. Adapun kelima faktor tersebut

adalah faktor sarana pendidikan dan industri, faktor sarana sektor perdagangan,

faktor sarana dan prasarana transportasi, faktor sumber daya manusia dan

prasarana kesehatan dan faktor produktivitas dan tenaga pelayanan kesehatan.

Berdasarkan kelima faktor tersebut terbentuk sepuluh cluster kecamatan, dengan melihat persamaan ciri yang ada antar cluster maka potensi wilayah Kabupaten Bogor dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu kelompok pertama

adalah kecamatan berpotensi bagus terdiri empat kecamatan, kelompok kedua

adalah kecamatan yang berpotensi sedang (non ekonomi) terdiri dari 10

kecamatan, kelompok ketiga adalah kecamatan yang berpotensi sedang (ekonomi)

(44)

kelompok keempat adalah kecamatan yang berpotensi rendah terdiri dari 10

kecamatan.

Selanjutnya dalam penelitian kali ini dilakukan pengelompokkan wilayah

di Kabupaten Bogor setelah adanya pemekaran wilayah sebagai bagian dari

dijalankannya otonomi daerah. Metode analisis yang digunakan masih sama

dengan penelitian sebelumnya yaitu analisis faktor dan analisis cluster. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan Statistical Package for Social Sience (SPSS) 12 for Windows. Peubah yang mewakili sarana prasarana sosial ekonomi yang digunakan kali ini dalam bentuk agregat dan sedikit berbeda

dengan penelitian sebelumnya karena ada beberapa peubah yang sudah tidak lagi

berkorelasi, sehingga peubah tersebut diganti dengan peubah baru yang dianggap

mewakili sarana prasarana sosial ekonomi dan berkorelasi cukup tinggi dengan

peubah yang lain.

2.5. Kerangka Pemikiran

Menurut Emil Salim (1991) dalam melaksanakan pembangunan harus ada

perhatian atas interaksi yang dinamis antara variabel-variabel kependudukan,

lingkungan dengan model atau strategi pembangunan. Tim Peneliti pada Pusat

Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada memformulasikan model

interaksi Kependudukan (K) – Lingkungan (L) – Pembangunan Ekonomi (PE)

yang mengonseptualisasikan kualitas hidup (physical quality of life) dan daya

dukung wilayah sebagai pencerminan dari kondisi keberlanjutan pembangunan

(45)

21

berubah sesuai kondisi lingkungan alam dan kualitas penduduk yang dapat

berubah karena pengaruh kebijaksanaan dan strategi pembangunan ekonomi serta

teknologi. Model interaksi antara K, L, dan PE dapat dilihat pada gambar 2.1.

Kebijaksanaan pembangunan dapat pula diarahkan pada peningkatan kualitas

penduduk.

Gambar 2.1. Model Interaksi Kependudukan, Lingkungan, Dan Pembangunan

Peningkatan kualitas penduduk dapat dilakukan melalui penerapan

teknologi kesehatan dan pendidikan dengan demikian kemampuan untuk

Sumber : Universitas Gajah Mada, Pusat Penelitian Kependudukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi Kependudukan, Sumber Daya dan Pembangunan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian 1991

Lingkungan -Kondisi Lingkungan

Pembangunan

Strategi Pembangunan dan Teknologi

Tingkat Keberlanjutan

Interaksi

Daya dukung wilayah

Kualitas hidup

(46)

memanfaatkan lingkungan alam menjadi meningkat dan menyebabkan daya

dukung wilayah meningkat. Suatu tipologi daya dukung wilayah yang dirumuskan

dengan menggunakan variabel kualitas penduduk dan variabel kondisi lingkungan

hidup dapat menjadi alat analisis yang cukup baik dan bermanfaat bagi perumus

kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan. (Laporan Penelitian : Sofian

Effendi).

Rencana dan strategi pembangunan yang menerapkan konsep

pembangunan wilayah salah satu aspek utamanya dalam penetapan wilayah

pembangunan adalah kesamaan kondisi (homogenous region) dan karakteristik

wilayah agar kebijakan yang ditetapkan sesuai dengan kondisi dan potensi utama

wilayah yang bersangkutan. Berdasarkan Laporan Pertanggungjawaban Bupati

Kabupaten Bogor Tahun 2007 pembangunan yang dilakukan sudah disesuaikan

dengan potensi wilayah di kecamatan yang bersangkutan. Namun hasilnya

dirasakan masih kurang optimal.

Penelitian ini mencoba mengelompokkan wilayah berdasarkan variabel

kependudukan, variabel kondisi lingkungan (potensi wilayah) dan sarana

prasarana ekonomi dan sosial. Beberapa peubah yang digunakan ditransformasi

menjadi beberapa faktor dengan tidak kehilangan informasi yang ada sebelumnya

(analisis faktor) dilakukan pengelompokkan secara hierarki (analisis cluster). Hasil yang diperoleh mampu menerangkan keragaman antar kecamatan

semaksimal mungkin dan kelompok yang terbentuk terdiri dari kecamatan yang

mempunyai potensi yang sama dan sangat berbeda secara signifikan dengan

(47)

23

Berdasarkan keadaan dan kondisi Kabupaten Bogor serta untuk

mempermudah pengembangan wilayah maka perlu dilakukan pembagian wilayah

pembangunan, dengan pertimbangan sebagai berikut :

a. terkonsentrasinya pembangunan di wilayah tengah Kabupaten Bogor;

b. menyadari bahwa fungsi wilayah Kabupaten Bogor dalam konteks regional

Jabotabek sebagai daerah penyangga ibukota, namun perlu diperhatikan juga

aspek kebutuhan dan kemampuan daerah Kabupaten Bogor untuk

meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan pengembangan ekonomi

masyarakatnya;

Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian

Ketimpangan Pembangunan

Wilayah Pembangunan Berdasarkan Daya Dukung Wilayah (Potensi Sumber Daya dan Kondisi Lingkungan) Sebelum dan Sesudah Pemekaran Wilayah

Identifikasi Faktor Pengelompokkan Wilayah

Analisis Faktor

Analisis Cluster

(48)

c. adanya persamaan dan perbedaan yang relatif kondisi dan potensi antara

wilayah yang satu dengan lainnya;

d. pengerahan semua sumber daya publik dan sumber daya privat untuk

(49)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

diolah dari Potensi Desa/Kelurahan 2008 dan Publikasi Kabupaten Bogor dalam

Angka (KBDA) 2009. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS) 12 for windows.

3.2. Metode Analisis

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang telah dirumuskan dalam

penelitian ini maka metode analisis yang digunakan adalah analisis faktor dan

analisis cluster. Analisis secara deskriptif juga dilakukan untuk melihat potensi wilayah dan sarana prasarana sosial ekonomi yang ada di Kabupaten Bogor dan

membandingkan hasil pengelompokkan dengan pengelompokkan wilayah di

Kabupaten Bogor yang terbagi dalam wilayah pembangunan.

3.2.1. Analisis Faktor

Analisis faktor merupakan salah satu teknik statistik untuk

menyederhanakan deskripsi dari suatu set data (peubah) yang banyak dan saling

berkorelasi menjadi set data yang ringkas dan tidak lagi berkorelasi. Analisis

(50)

Analisis faktor pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan sejumlah kecil

faktor (komponen utama) yang memiliki sifat berikut (Jhonson & Winchern,

1982) :

1. mampu menerangkan semaksimum mungkin keragaman data;

2. terdapat kebebasan antar factor;

3. tiap faktor dapat diinterprestasikan sejelas-jelasnya.

Model analisis faktor :

X1 - µ1 = I11F1 + I12F2 + …+ I1mFm + ε1 (1)

X1 - µ2 = I21F1 + I22F2 + …+ I2mFm + ε2 (2)

Xp - µp = Ip1F1 + Ip2F2 + …+ IpmFm + εp (3)

atau dalam notasi matriks :

X - µ = L F + ε (4)

(p x 1) (p x m) (m x 1) (p x 1)

dimana :

X = vektor peubah asal

µ = vektor rata-rata peubah asal

L = matrik loading faktor

F = vektor faktor umum ε = vektor faktor spesifik

Model faktor dapat menjelaskan peubah-peubah Xi dipengaruhi secara linier oleh

faktor-faktor umum dan faktor spesifik.

Asumsi yang dipakai adalah :

(51)

27

2. Cov (F) = E (FF’) = I (mxm) 3. E(ε) = 0,

(px1)

4. Cov (ε) = E (εε’) = ψ (pxp)

5. Cov (ε,F’) = E (εF’) = 0, sehingga F dan E independen.

dimana,

Struktur covarians untuk model faktor orthogonal :

1. Cov (X) = LL’ + atau

Var ( ) = = (5)

Cov ( , ) = (6)

2. Cov (X,F) = L atau

Cov ( , ) = (7)

dimana :

= komunalitas ke-i (bagian dari total varian yang disebabkan oleh

faktor-faktor umum)

= spesifitas yaitu bagian dari total varian yang disebabkan oleh

faktor-faktor spesifik

Langkah-langkah dalam analisis faktor adalah sebagai berikut :

1. menghitung matrik korelasi ρ antara semua peubah yang digunakan dan

(52)

rumus dugaan koefisien korelasi :

dalam bentuk matriks R :

R =

2. melakukan uji KMO (Kaiser Meyer Olkin);

sebelum menganalisis faktor lebih lanjut terlebih dahulu data yang

digunakan diuji KMO untuk mendapatkan suatu nilai yang menunjukkan

keeratan hubungan antar semua peubah dalam set data.

Rumus koefisien korelasi KMO :

dimana

: koefisien korelasi sederhana antara peubah i dan j

: koefisien korelasi parsial antara peubah i dan j

Adapun penilaian uji KMO dari matrik antar peubah adalah sebagai

berikut :

0,9 ≤ KMO ≤ 1,0 = data sangat baik untuk dianalisis faktor

0,8 ≤ KMO ≤ 0,9 = data dinyatakan baik untuk dianalisis faktor

0,7 ≤ KMO ≤ 0,8 = data dinyatakan agak baik untuk dianalisis faktor

0,6 ≤ KMO ≤ 0,7 = data dinyatakan lebih dari cukup dianalisis faktor (8)

(53)

29

0,5 ≤ KMO ≤ 0,6 = data dinyatakan cukup layak untuk dianalisis

faktor

KMO ≤ 0,5 = data dinyatakan tidak layak untuk diuji lebih

lanjut dengan analisis faktor (Joseph F. Hair. Jr.,

et al, 1987);

3. menduga koefisien faktor umum (loading factor) dengan menggunakan

analisis komponen utama. Tujuan utama dari analisis komponen utama

adalah untuk memilih sejumlah peubah baru (yang disebut komponen

utama) yang menjelaskan total variasi dalam set data sebesar-besarnya

(maksimum). Walaupun jumlah peubah baru berkurang dari peubah

asalnya, tetapi informasi mengenai permasalahan yang diteliti tidak terlalu

banyak yang hilang. Secara umum, komponen utama ke-i adalah

kombinasi linier terbobot peubah asal yang mampu menerangkan keragaan

data ke-i, bisa ditulis sebagai berikut :

Apabila komponen utama yang diambil adalah q buah, dimana q p, maka

proporsi keragaman data yang bisa diterangkan adalah :

Nilai ini diharapkan semaksimum mungkin.

(10)

(11)

(12)

(54)

Banyaknya komponen utama yang digunakan sebagai analisis dapat

ditentukan dengan cara memilih akar ciri yang nilainya lebih besar dari

satu ( ) atau dapat juga dengan memilih Var . (Joseph

F. Hair, Jr., et al, 1987). Hasil dari analisis komponen utama, faktor-faktor

(komponen utama) yang diperoleh masih belum tepat apabila langsung

diinterprestasikan karena dikhawatirkan masih adanya korelasi yang tinggi

antara satu faktor dengan faktor lainnya. Maka harus dilakukan

transformasi pada matriks loading. Dari faktor awal sebanyak m, maka

diberi bobot sehingga membangkitkan peubah baru (loading factor) yang

memiliki peubah bersama, agar diperoleh daya interpretasi yang tinggi di

mana suatu faktor hanya berkorelasi dengan peubah tertentu saja.

Transformasi ini menggunakan metode rotasi tegak lurus varimaks dimana

matriks L ditransformasikan menjadi L*.

Dimana T adalah matriks transformasi yag dipilih sehingga :

Adalah matriks faktor penimbang yang telah dirotasikan.

Berdasarkan perumusan di atas terlihat jelas bahwa rotasi merupakan suatu

upaya untuk menghasilkan faktor penimbang baru yang lebih mudah untuk

diinterpretasikan dengan cara mengalikan faktor penimbang awal dengan

suatu matrik transformasi yag bersifat orthogonal. Meskipun telah

(55)

31

Selanjutnya, varian spesifik , dan tentunya communality , juga tidak

berubah. Rotasi faktor yang sering digunakan adalah rotasi yang

orthogonal yaitu rotasi varimax. Rotasi varimax merupakan rotasi yang

membuat jumlah varian faktor loading dalam masing-masing faktor akan

menjadi maksimum. Dimana nantinya setiap peubah asal hanya akan

mempunyai korelasi yang tinggi kuat dengan faktor tertentu saja

(korelasinya mendekati 1) dan tentunya memiliki korelasi yang lemah

dengan faktor lainnya (korelasi mendekati 0).

3.2.2. Analisis Cluster

Analisis cluster merupakan salah satu teknik statistik untuk mengelompokkan individu-individu atau objek menjadi beberapa kelompok yang

mempunyai sifat berbeda antar kelompok. Individu-individu dalam satu kelompok

lebih homogen dibandingkan dengan individu yang ada dalam kelompok lain.

Sebelum melakukan pengelompokkan terlebih dahulu harus ditentukan

jarak kedekatan antar peubah dengan menggunakan jarak euclidian. Jarak euclidian dinyatakan dengan :

d(x,y) =

dimana x adalah amatan pertama dan y adalah amatan kedua.

Metode pengelompokan yang digunakan dalam penulisan ini adalah

metode pengelompokan hierarki karena banyaknya kelompok yang dibentuk

belum diketahui sebelumnya. Metode yang digunakan untuk menentukan jarak

(56)

karena metode ini bertujuan untuk meminimumkan rataan jarak semua pasangan

dari dua kelompok yang digabungkan. Jarak ini dinyatakan dengan :

dimana

= jarak antara objek ke-i dalam kelompok (uv) dan objek ke-k dalam

kelompok w

dan = jumlah amatan dalam kelompok uv dan w

3.3. Definisi Operasional Variabel

Peubah-peubah yang digunakan dalam skripsi ini berasal dari beberapa

indikator dan agregat tentang kondisi, sarana dan prasarana serta potensi wilayah

yang dianggap cukup mewakili dalam menggambarkan keadaan dan potensi

Kabupaten Bogor. Adapun peubah-peubah tersebut adalah sebagai berikut :

1. jumlah penduduk adalah banyaknya penduduk laki-laki dan perempuan yang

tinggal di suatu wilayah;

2. jumlah dokter adalah banyaknya dokter praktek umum, spesialis dan gigi;

3. jumlah petugas kesehatan adalah banyaknya petugas kesehatan yang terdiri

dari dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan dan bidan praktek swasta;

4. jumlah puskesmas dan pustu adalah banyaknya sarana kesehatan puskesmas

dan puskesmas pembantu;

5. jumlah sekolah SLTP adalah banyaknya sekolah lanjutan tingkat pertama

(57)

33

6. jumlah sekolah SLTA adalah banyaknya sekolah lanjutan tingkat atas baik

berstatus negeri dan swasta;

7. jumlah KUD adalah banyaknya koperasi unit desa;

8. jumlah toko dan mini market adalah banyaknya toko dan mini market;

9. jumlah restoran adalah banyaknya restoran. Restoran adalah

perusahaan/usaha yang menyajikan dan menjual makanan dan minuman bagi

umum ditempat usahanya yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan

permanen, dilengkapi peralatan dan perlengkapan proses pemuatan

penyimpanan dan penyajian. Proses pembuatan dari bahan baku menjadi

bahan jadi dilakukan ditempat usahanya;

10. jumlah industri besar dan sedang adalah banyaknya perusahaan industri yang

memiliki tenaga kerja lebih dari 20 orang;

11. luas wilayah adalah besarnya areal wilayah yang biasanya diukur dalam

satuan hektar atau kilometer persegi;

12. produksi padi adalah banyaknya produksi padi yang dihasilkan baik padi

(58)

Jumlah penduduk Kabupaten Bogor menurut hasil Sensus Penduduk 2000

adalah 3.508.826 jiwa dan kini di tahun 2008 telah meningkat menjadi 4.340.520

jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,69 persen per tahunnya. Bila

diperhatikan berdasarkan kecamatannya terlihat adanya persebaran penduduk

yang tidak merata (lampiran 1). Kecamatan Cibinong memiliki jumlah penduduk

terbesar, mencapai 251.562 jiwa sementara Kecamatan Cariu berpenduduk paling

sedikit yaitu 47.234 jiwa. Kepadatan penduduk pun berbeda cukup tinggi yaitu

diatas 5.000 jiwa per kilometer persegi di Kecamatan Ciomas, Bojonggede dan

Cibinong serta terendah di Kecamatan Tanjungsari dan Jasinga yang

kepadatannya kurang dari 500 jiwa per kilometer persegi.

4.2. Kondisi Ketenagakerjaan Kabupaten Bogor

Partisipasi Angkatan Kerja merupakan perbandingan antara jumlah

angkatan kerja dengan penduduk 15 tahun lebih. Tahun 2007 Tingkat Partisipasi

Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Bogor untuk laki-laki 84,39 persen dan

perempuan 35,75 persen dan secara total TPAK Kabupaten Bogor sebesar 60,87

persen. Jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor sebanyak 231.696 orang terdiri

dari 138.753 laki-laki dan 92.943 perempuan.

Dari sisi sektoral tampak bahwa tenaga kerja di Kabupaten Bogor terserap

Gambar

Gambar 2.1. Model Interaksi Kependudukan, Lingkungan, Dan Pembangunan
Gambar 2.2.  Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 4.1.
Tabel 4.2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bogor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Evaluasi Mutu Organoleptik Mayonnaise dengan Bahan Dasar Minyak Nabati dan Kuning Telur Ayam Buras.. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil

Sebaran dan habitat kukang jawa (Nycticebus javanicus) di lahan pertanian (hutan rakyat) wilayah Kabupaten Lebak (Banten) dan Gunung Salak (Jawa Barat).. Survei keberadaan

Askes (KCU Semarang) per 31 Desember 2011 menunjukkan jumlah peserta Askes di Kota Semarang yang memilih Puskesmas sebesar 69.578 jiwa, dan yang memilih dokter keluarga

Tahapan selanjutnya, dalam rangka mengajukan proses izin operasional tetap, sesuai dengan alur dan standar kebijakan yang berlaku, pada hari Selasa, 6 Desember 2014 RS

Kesimpulan: Ada hubungan yang sangat signi fi kan antara perilaku makan dengan obesitas anak, dengan kekuatan hubungan dan rasio prevalensi yang bersifat protektif yaitu subjek

P er kataan “M ana -m an a orang yang, sebaik sebelum permulaan kuat kuasa Akta ini, menjadi ahli Persekutuan dan semua Pengakap yang selepas ini menjadi ahli Perbadanan

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kekuatan tarik, modulus elastisitas dan kekuatan bending dari komposit berpenguat serat daun nanas belum dapat memenuhi standar

PROGRAM GRAM STUD STUDI I S1 KEPERAW S1 KEPERAWA AT TAN AN STIKES MAJAPAHIT STIKES MAJAPAHIT MOJOKERTO MOJOKERTO 2014 2014.. 1.2