• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Transportasi Ikan Maskoki (Carassius auratus Linnaeus) Hidup Sistem Kering dengan Perlakuan Suhu dan Penurunan Konsentrasi Oksigen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Transportasi Ikan Maskoki (Carassius auratus Linnaeus) Hidup Sistem Kering dengan Perlakuan Suhu dan Penurunan Konsentrasi Oksigen"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: " #

$ %&$' ( (&( ) % ' *

$ + ) + $, ( - ) $ & '$ ( + .adalah

karya saya sendiri dengan pengarahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Hasil penelitian atau gambar boleh dikutip untuk kepentingan non komersial dengan menyebutkan sumbernya.

Bogor, Mei 2008

(3)

BHAYU SUFIANTO. Uji Transportasi Ikan Maskoki (

Linnaeus) Hidup Sistem Kering dengan Perlakuan Suhu dan Penurunan Konsentrasi Oksigen. Dibimbing oleh SAM HERODIAN dan RIDWAN AFFANDI.

Ikan hias merupakan komoditas perikanan yang juga ikut menyumbang banyak devisa, nilai ekspornya sangat besar dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Ikan maskoki ( ) termasuk salah satu jenis ikan hias yang non8temporer, peluang pasarnya selalu stabil bahkan menunjukkan peningkatan. Pada pengangkutan ikan hias dengan media air untuk tujuan ekspor dinilai kurang effisien, karena berat air yang yang digunakan sebagai media juga ikut membebani biaya pengangkutan. Sistem pengangkutan ikan hidup tanpa media air dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi biaya angkut dan memungkinkan jumlah ikan yang diangkut lebih besar.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan berbagai faktor (waktu pemingsanan, suhu pemingsanan, suhu penyimpanan, penurunan konsentrasi O2, dan lama transportasi) yang optimum terhadap kelulusan hidup ( ) ikan selama transportasi (statis) sistem kering. Pada penelitian ini juga dilakukan uji toksisitas, pengukuran densitas kamba dan daya serap air terhadap media pengisi; pengukuran efisiensi kemasan; serta pengamatan terhadap kondisi ikan maskoki selama proses pemingsanan, pengemasan, pembongkaran, dan penyadaran.

Setelah dilakukan uji toksisitas selama 24 jam, dinyatakan bahwa busa yang digunakan sebagai media pengisi pada penelitian ini aman bagi ikan maskoki. Busa tersebut mempunyai daya serap air yang baik, yaitu sebesar 57.32% berat basah atau 135.23% berat kering. Busa tersebut juga mempunyai densitas kamba yang rendah, yaitu 0.074 gram/cm3, sehingga busa lebih ringan jika digunakan sebagai media pengisi, kapasitas angkutnya lebih besar, dan kandungan udara di dalam rongga busa tersebut lebih besar. Jenis kemasan rak biasa yang dapat memuat 30 ekor ikan dengan busa lembab sebagai media pengisi mempunyai efisiensi kemasan sebesar 56%. Sedangkan pada jenis kemasan rak berisi udara yang dapat memuat 60 ekor ikan dengan busa lembab sebagai media pengisi, mempunyai efisiensi kemasan sebesar 46%.

(4)

/ Examination of Dry System Transportation of Live Goldfish ( Linnaeus) with temperature and reduced oxygen

concentration Treatments. Under Supervision of and

0 /

This research aimed to discover the optimum factors (sedation rate, sedation temperature, storage temperature, reduced O2 concentration, and period of transportation) influenced to survival rate during dry system transportation (static) of live goldfish. Observation on fish condition during sedation, packaging, unpacking, and refreshing process; toxicity test on filler; bulk density measurement on filler; water absorption of filler; and container efficiency were also performed. The results showed that the optimum sedation temperature is at 60C, the optimum storage temperature is at 180C, the best sedation rate is eight hours from normal temperature (± 270C) down to 60C, the best reduced O2 concentration is 0 % reduction in O2concentration (package which was contained ±21% O2 concentration), and the longest period of transportation (static) is 24 hours by normal atmosphere packaging. The filler was known harmless for live goldfish after 24 hours of toxicity test. The bulk density of filler is 0.074 gram/cm3and the capacity of water absorption of filler is 57.32% wet weight or 135.23% dry weight.

(5)

1 ( %' * , ( 2 ' - !

(6)

Testis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

(7)
(8)

Judul Tesis : Uji Transportasi Ikan Maskoki (

Linnaeus) Hidup Sistem Kering dengan Perlakuan Suhu dan Penurunan Konsentrasi Oksigen

Nama : Bhayu Sufianto

NRP : F051040121

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sam Herodian, MS. Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA.

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pascapanen

Dr. Ir. Wayan Budiastra, MAgr. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(9)

Puji sukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan

hidayah8Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan karya ilimiah ini.

Karya ilmiah ini merupakan sebagian kecil dari nikmat dan kasih sayang8Nya

yang diberikan kepada penulis. Judul yang dipilih pada karya ilimiah ini adalah

“Uji Transportasi Ikan Maskoki ( Linnaeus) Hidup Sistem

Kering dengan Perlakuan Suhu dan Penurunan Konsentrasi Oksigen”.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda R. A Sofyan, MPH.

Mkes yang telah banyak berkorban dan bersabar dalam mendukung kemajuan

studi penulis, Ibunda Dra. Suwarni (Alm.), Utari, dan Dhanu yang selalu

memberikan kasih sayang, dukungan, dan do’a yang membuat penulis ter8

untuk menyelesaikan kuliah dan karya ilmiah ini dengan sebaik8baiknya.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sam Herodian, MS dan

Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA yang telah bersedia memberikan bimbingan dan

arahan yang sangat bermanfaat untuk pengembangan wawasan penulis, juga

kepada Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr selaku dosen penguji yang telah memberikan

masukkan demi kesempurnaan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan

kepada Pak Suyaden dan Udin Reza, Spi yang telah banyak memberi bantuan dan

berkenan meminjamkan kepada penulis peralatan – peralatan yang sangat

dibutuhkan, Pak Parma dan Mas Andri atas segala bantuannya. Terima kasih

kepada teman – teman: Riksan THH’36 dan Fajar BDP’37 atas pinjaman

motornya, Yandra dan Cha2 TEP’40 atas bantuan serta ide – idenya, Agung

‘Jagung’ BDP’38 atas resep ! ! , Asep Horti’40

atas pinjaman printernya, Ubay TPP’05, Rahman STP’38, Hendro MSP’38, teman

– teman TPP’04 atas segala dukungan dan bantuannya.

Dengan kerendahan hati, semoga karya ilmiah ini memberi manfaat bagi

yang membutuhkan.

Bogor, Mei 2008

(10)

0

Penulis dilahirkan di Jakarta pada Tanggal

14 Februari 1981. Anak pertama dari tiga bersudara dari

Ayahanda R. A. Sofyan MPH. Mkes dan ibunda

Dra. Suwarni (Alm.). Penulis menamatkan pendidikan

S1 pada Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor

pada Tahun 2004. Pada Tahun yang sama, penulis

melanjutkan studinya pada Program Studi Teknologi Pascapanen, Sekolah

(11)

, *

... iii

... iv

... vii

0 ... viii

... ix

... xi

... xii

... xiii

/ ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Tujuan ... 3

/ ... 4

2.1. Ikan Maskoki ( Linnaeus)... 4

2.1.1. Biologi ikan maskoki ... 4

2.1.2. Morfologi ikan maskoki ... 6

22. Metabolisme Ikan ... 9

23. Respirasi Ikan ... 10

2.4. Transportasi Ikan Hidup ... 23

2.4.1. Sistem basah ... 24

2.4.2. Sistem kering ... 27

2.5. Kemasan Transportasi ... 33

(12)

/ ... 37

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

3.2. Bahan dan Alat ... 37

3.2.1. Bahan ... 37

3.2.2. Alat ... 43

3.3. Tahapan dan Prosedur Penelitian ... 47

3.3.1. Pengujian toksisitas media pengisi ... 50

3.3.2. Daya serap air media pengisi ... 50

3.3.3. Densitas kamba media pengisi ... 51

3.3.4. Efisiensi kemasan ... 51

3.3.5. Pemingsanan ikan ... 52

3.3.6. Menentukan suhu pemingsanan optimum ... 54

3.3.7. Menentukan suhu penyimpanan optimum ... 54

3.3.8. Pengaruh waktu pemingsanan terhadap SR ... 55

3.3.9. Pengaruh penurunan konsentrasi O2terhadap SR ... 56

3.3.10. Menentukan waktu transportas (statis) optimum ... 58

4/ ... 59

4.1. Pengujian Toksisitas Media Pengisi ... 59

4.2. Daya Serap Air Media Pengisi ... 60

4.3. Densitas Kamba Media Pengis ... 66

4.4. Efisiensi Kemasan ... 68

4.5. Pemingsanan Ikan Maskoki ... 70

4.6. Suhu Pemingsanan Optimum ... 73

4.7. Suhu Penyimpanan Optimum ... 77

4.8. Pengaruh Waktu Pemingsanan terhadap SR ... 79

4.9. Pengaruh Penurunan Konsentrasi O2terhadap SR ... 82

4/ ... 87

5. 1. Kesimpulan ... 87

5. 2. Saran ... 88

... 89

(13)

&/ , *

1. Sifat – sifat ! sebagai bahan insulasi ... 34

2. Kondisi ikan maskoki pada pengujian toksisitas media pengisi ... 59

3. Daya serap air media pengisi busa ... 60

4. Daya serap air beberapa media pengisi (Prasetyo, 1993) ... 61

5. Daya serap air beberapa media pengisi (Muslih, 1996) ... 62

6. Daya serap air media pengisi rumput laut (Muslih, 1996) ... 62

7. Hasil pengamatan terhadap bau media pengisi (Prsetyo, 1993) ... 64

8. Hasil pengamatan terhadap bau media pengisi (Muslih, 1996) ... 65

9. Densitas kamba media pengisi busa ... 66

10. Kondisi ikan maskoki selama proses pemingsanan ... 72

11. Kondisi ikan maskoki pada proses penyadaran ... 73

12. Penentuan suhu pemingsanan optimum ... 74

13. Penentuan suhu penyimpanan optimum ... 77

14. Hasil pengaturan volume air terhadap waktu pemingsanan ... 80

15. Pengaruh lama waktu pemingsanan terhadap SR ... 80

(14)

&/ , *

1. Morfologi ikan maskoki (Liviawaty dan Afrianto, 1999) ... 8

2. Proses pertukaran gas (Affandi dan Tang, 2002) ... 12

3. Hubungan antara temperatur dengan laju konsumsi O2 aktif dan standar pada ikan maskoki (Fry dan Hart, 1948) ... 16

4. Kecepatan renang ikan ! yang berhubungan dengan temperatur dan kandungan O2di dalam air (Fry, 1957) ... 17

5. Efek dari kandungan O2dan temperatur terhadap tingkat konsumsi O2pada ikan ! (Fry, 1957) ... 18

6. Perbedaan tipe kecepatan konsumsi O2pada tiga spesies ikan yang berbeda pada suhu 200C (Fry, 1957) ... 20

7. Pengaruh kandungan O2terlarut di media terhadap tingkat konsumsi O2oleh ikan (Affandi dan Tang, 2002) ... 21

8. Kurva hubungan antara kadar CO2dan tingkat konsumsi O2oleh ikan (Affandi dan Tang, 2002) ... 23

9. Ikan maskoki ( Linnaeus) ... 37

10. Rak pada jenis kemasan rak biasa ... 38

11. Rak pada jenis kemasan rak berisi udara... 39

12. Kemasan rak biasa ... 40

13. Kemasan rak berisi udara... 40

14. Busa tempat diletakkannya ikan ... 41

15. Busa untuk menutupi ikan ... 42

16. Tabung – tabung gas O2, CO2, dan N2... 42

17. " ... 43

18. Bak pemingsanan ikan ... 44

19. Peti kemas ... 44

20. # $ ... 45

21. ... 46

22. Akuarium, aerator 180 Watt, dan aerator 60 Watt ... 46

(15)

&/ , *

1. Bagan alir tahapan – tahapan penelitian ... 94

2. Proses pengujian toksisitas media pengisi ... 95

3. Sketsa jenis kemasan rak biasa ... 96

4. Sketsa jenis kemasan rak berisi udara ... 98

5. Pola lapisan busa8ikan8busa pada setiap rak di dalam kemasan rak biasa ... 100

6. Pengemasan ikan di dalam kemasan rak biasa ... 101

7. Pola lapisan busa8ikan8busa pada setiap rak di dalam kemasan rak berisi udara ... 103

8. Pengemasan ikan di dalam kemasan rak berisi udara ... 104

9. Ikan yang mati dengan insang berdarah dan bercak darah pada busa ... 108

10. Ikan yang mati dalam keadaan kaku dengan mulut terbuka ... 109

11. Pola kenaikan suhu media pengisi dari suhu 30C, 40C, 50C, dan 60C mencapai suhu simpan (salah satu contoh: 100C) ... 110

12. Data hasil pada tahap menentukan suhu pemingsanan optimum ... 111

13. Data hasil pada tahap menentukan suhu penyimpanan optimum ... 113

14. Data hasil pengaruh waktu pemingsanan terhadap SR ... 115

(16)
(17)

/

5/ 5/ ' $ , ( +

Ikan hias merupakan komoditas perikanan air tawar yang juga ikut

menyumbangkan banyak devisa, nilai ekspornya sangat besar dan cenderung

meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, jumlah ikan hias yang diekspor

dari Bogor pada tahun 2003 mencapai 6.4 juta ekor dengan nilai nominal kira –

kira Rp. 3 milyar lebih. Sedangkan pada tahun 2004, tercatat sebanyak 6.8 juta

ekor ikan hias yang diekspor dari Bogor, dengan nilai nominal Rp. 4.25 milyar

(Pikiran Rakyat, 2004). Pada tahun 2000, 2001, dan 2003 nilai ekspor ikan hias

nasional masing – masing adalah US$ 3.917; 4.623; dan 5.835 juta atau setara

dengan Rp. 35.253; 41.607; dan 52.515 milyar (Kompas, 2003). Sedangkan

menurut Sekda Jabar, Lex Laksamana, pada tahun 2004 nilai ekspor ikan hias

nasional mencapai US$ 7,3 juta dan 60% dari jumlah tersebut dikontribusi oleh

Jawa Barat (Pemda Jabar, 2006). Ikan maskoki ( ) termasuk

salah satu jenis ikan hias yang non8temporer, peluang pasarnya selalu stabil

bahkan menunjukkan peningkatan. Sebagai contoh, produksi ikan maskoki di

Jakarta Selatan mengalami peningkatan dari tahun 2000 sampai 2004, yaitu dari

512.365 ekor meningkat hingga 798.428 ekor (Pemkot Jaksel, 2005).

Ikan hias yang siap untuk dijual biasanya diangkut dengan wadah yang

berisikan air. Ada dua model pengangkutan ikan hias yang biasanya dilakukan,

yaitu pengangkutan sistem terbuka dan sistem tertutup. Pada sistem terbuka

memungkinkan tetap terjadinya kontak antara udara luar dan media pengangkut

(air). Pada sistem tertutup tidak memungkinkan terjadinya kontak antara udara

luar dan media pengangkut (air), sehingga perlu diberi tambahan gas O2. Sistem

pengangkutan terbuka biasanya dilakukan jika jumlah ikan yang diangkut relatif

sedikit, jarak tempuhnya dekat, serta dalam waktu yang relatif singkat. Sistem

pengangkutan tertutup biasa dilakukan untuk mengirim ikan dalam jumlah yang

relatif banyak, pada jarak yang jauh, dan waktu yang relatif lama, misalnya pada

(18)

Ikan yang diangkut dengan media air sistem tertutup biasanya menggunakan

kantung plastik sebagai alat angkut. Menurut Liviawaty dan Afrianto (1999),

kantung plastik yang baik untuk digunakan dalam pengangkutan ikan mempunyai

ukuran lebar 50 cm dan ketebalan 0.03 mm. Kantung plastik yang biasa

digunakan untuk pengangkutan ikan maskoki mempunyai panjang 1 meter. Pada

1/3 bagian dari volume kantung plastik tersebut diisi dengan air bersih, kemudian

ikan – ikan yang akan diangkut dimasukkan ke dalamnya. Sisa volume yang kira

– kira 2/3 bagian dari volume kantung plastik tersebut, kemudian diisi dengan gas

O2. Jumlah ikan maskoki, dengan ukuran panjang baku (kepala sampai pangkal

ekor) ± 5 cm, yang diangkut dengan cara ini dapat mencapai 100 ekor.

Sistem pengangkutan ikan hias dengan media air untuk tujuan ekspor dinilai

kurang effisien, karena berat air yang digunakan sebagai media juga ikut

membebani biaya pengangkutan. Katung plastik dengan panjang 1 meter dan

lebar 50 cm, yang kemudian diisi dengan air hingga 1/3 bagian dari volume

kantung plastik tersebut, maka jika ditimbang bobotnya akan mencapai berat ± 5

kg (berat ikan 100 ekor dan udara 2/3 bagian dari volume kantung diabaikan).

Ikan maskoki dengan ukuran panjang baku ± 5 cm yang berjumlah 100 ekor,

mempunyai bobot total ± 1150 gram. Sehingga Ikan maskoki dengan jumlah 100

ekor (bobot total ± 1150 gram) yang dikemas di dalam kantung plasik yang berisi

air hingga 1/3 bagian dari volume kantung plastik tersebut, jika diukur hanya

mempunyai efisiensi kemasan sebesar 23%.

Sistem pengangkutan ikan hias tanpa media air dapat menjadi salah satu

alternatif untuk mengurangi biaya pengangkutan dan memungkinkan jumlah ikan

yang dapat diangkut lebih besar. Pada sistem pengangkutan ini, ikan diangkut

pada media pengangkut yang bukan air. Ikan yang diangkut dengan sistem ini

harus dalam keadaan pingsan atau imotil. Ikan dapat dipingsankan dengan

senyawa – senyawa kimia, suhu rendah, dan arus listrik. Media pengangkut ikan

harus lembab dan dapat mempertahankan dingin sesuai suhu penyimpanan masing

(19)

Media pengangkut yang biasa digunakan pada sistem pengangkutan ini

adalah serbuk gergaji, serutan kayu, kertas koran, atau bahan karung goni

(Wibowo, 1993). Udang windu tambak ( Fab.) dengan bobot

2000 gram (2 kg), setelah dipingsankan dan dikemas ke dalam boks !

bermedia pengisi/pengangkut serbuk gergaji lembab (sistem pengangkutan tanpa

media air/sistem kering), mempunyai efisiensi kemasan sebesar 50% (Karnila,

1998).

5/ / # , '

Penelitan ini bertujuan untuk menentukan berbagai faktor (waktu

pemingsanan, suhu pemingsanan, suhu penyimpanan, penurunan konsentrasi O2,

dan lama waktu transportasi) yang optimum terhadap kelulusan hidup (

) ikan maskoki selama transportasi (statis) sistem kering. Pada penelitian ini

juga dilakukan uji toksisitas terhadap media pengisi; pengukuran densitas kamba

dan daya serap air media pengisi; serta pengamatan terhadap kondisi ikan

maskoki selama proses pemingsanan, pengemasan, pembongkaran, dan

(20)

/

</ 5/ *% ' ) 0 (' , '

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ergonomika dan Elektronik,

Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Darmaga Bogor.

Penelitian ini dilaksanakan mulai pada bulan Januari 2007 sampai pada bulan

Januari 2008.

</ / - ) , '

</ / 5/

-</ / 5/ 5/ ( * (&(

Pada penelitian ini digunakan ikan maskoki yang merupakan varietas Tosa

atau Kokitosa ( ). Ikan maskoki ini diperoleh dari pedagang ikan hias di

kawasan pasar Parung, Kabupaten Bogor. Ikan yang digunakan dipilih yang

kondisinya sehat dan tidak cacat. Ukuran ikan yang digunakan mempunyai pajang

baku ± 5 cm (panjang dari kepala hingga pangkal ekor) dengan berat 11 – 12

gram per ekornya.

(21)

4/

=/ 5/ + # &( ' ) +

Hasil pengamatan terhadap kondisi ikan pada pengujian toksisitas media

pengisi selama 1 x 24 jam disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.

7 , / & ) ( * (&( % ) % + # '&( ' * ) % +

Jam ke8 Kondisi ikan

0 Lincah, berenang aktif, responsif, dan tubuh tidak berlendir

8 Lincah, berenang aktif, responsif, dan tubuh tidak berlendir

16 Lincah, berenang aktif, responsif, dan tubuh tidak berlendir

24 Lincah, berenang aktif, responsif, dan tubuh tidak berlendir

Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel 2, menunjukkan

bahwa tidak ada ikan yang berlendir, sekarat, atau mati selama waktu

pengamatan. Hal tersebut menunjukkan pula bahwa busa tersebut tidak bersifat

toksik bagi ikan ketika digunakan sebagai media pengisi. Menurut Berka (1986),

ikan yang dalam keadaan sehat dan baik mempunyai tanda – tanda diantaranya

yaitu ikan dapat berenang normal, bergerak aktif terhadap ransangan fisik dari

luar, dan tidak terdapat luka pada tubuhnya.

Menurut Affandi dan Tang (2002), ketika suatu bahan pencemar (polutan)

baik yang berupa senyawa organik atau pun senyawa anorganik dalam bentuk

padat atau cair, yang masuk ke dalam suatu perairan dalam jumlah tertentu, maka

akan mempengaruhi kondisi kualitas air. Kondisi kualitas air tersebut akan

mempengaruhi kehidupan biota yang hidup di perairan tersebut, yang

direfleksikan oleh adanya perubahan baik pada tingkat sel maupun pada tingkat

organisme. Jika suatu bahan pencemar terdeteksi oleh sistem sensori (reseptor)

dari ikan yang berada pada perairan yang tercemar, dan bahan pencemar tersebut

dikenal ikan sebagai hal yang berbahaya, maka ikan tersebut akan segera keluar

dari kawasan tersebut dan melarikan diri menuju perairan yang bebas dari bahan

pencemar tersebut. Namun apabila ikan tersebut tidak memungkinkan untuk

(22)

kontak permukaan luar tubuhnya dengan cara memproduksi mukus (lendir) yang

banyak dan berusaha menyelimuti tubuhnya termasuk bagian insangnya.

Adanya bahan toksik di media hidup ikan dalam waktu yang singkat (dalam

hitungan menit hingga beberapa hari) dapat menyebabkan terjadinya perubahan –

perubahan biokimia di dalam tubuhnya (misalnya: aktivitas enzim, sintesis

protein, sistem lemak, dan lain – lain). Jika penurunan kualitas air tersebut

berjalan terus dan berada pada kondisi kronis, maka akan menyebabkan gangguan

fisiologis yang berujung pada penurunan laju pertumbuhan dan keberhasilan

reproduksi pada tingkat individu. Penurunan kualitas air yang berujung pada

perubahan kondisi ekologis dapat menyebabkan penurunan populasi, komposisi

komunitas, dan bahkan mungkin dapat menyebabkan perubahan fungsi ekosistem

perairan.

=/ / : $ % $ ) +

Hasil pengukuran terhadap daya serap oleh air busa sebagai media pengisi,

dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

7 , </ : $ % $ * ) % + 7

Daya serap air Ulangan ke8 Berat kering

(gram)

Berat basah

(gram) % Berat kering (Bk)

% Berat basah (Bb)

1 12.46 25.7 106.3 51.5

2 12.55 32.6 159.8 61.5

3 12.52 30.5 139.6 58.95

Rata 8 rata 135.23 57.32

Berdasarkan hasil pengukuran yang disajikan pada Tabel 3 di atas, diketahui

daya serap air oleh busa sebagai media pengisi adalah rata – rata 135.23% berat

kering dan 57.32% berat basah. Dari hasil pengukuran Prasetiyo (1993) diketahui

bahwa daya serap air oleh sekam padi adalah 75% berat kering dan 42.9% berat

(23)

serutan kayu adalah 75% berat kering dan 42.9% berat basah, sedangkan

# laut adalah 290% berat kering dan 74.4% berat basah.

Untuk lebih jelasnya, hasil pengukuran Prasetiyo (1993) terhadap daya serap

air pada beberapa media pengisi tersebut, dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

7 , =/ : $ % $ 7 7 $ % * ) % + $ ' :&2 5;;<

Daya serap air No. Jenis bahan pengisi

% Bk % Bb

1 Sekam padi 75 42.9

2 Serbuk gergaji 113 53.1

3 Serutan kayu 75 42.9

4 # laut 290 74.4

Pada penelitian yang dilakukan oleh Muslih (1996), pengukuran daya serap

air terhadap sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu sebagai bahan pengisi,

dilakukan dengan cara menambahkan/memberikan air laut sebanyak 100% dari

bobot kering sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu tersebut. Dari hasil

pengukuran tersebut diketahui bahwa daya serap air oleh sekam padi sebesar

49.44% berat basah, serbuk gergaji sebesar 50.60% berat basah, dan serutan kayu

sebesar 42.22% berat basah.

Sedangkan pengukuran daya serap air terhadap rumput laut # sp. dan # sp. dilakukan dengan cara merendam rumput laut tersebut hingga beberapa jam. Dari hasil pengukuran tersebut didapatkan bahwa rumput laut

# sp yang direndam selama 12 jam dan kemudian dilakukan penirisan selama 1 jam, memiliki kadar air yang paling tinggi dari pada perlakuan waktu

perendaman dan waktu penirisan yang lainnya. Sedangkan rumput laut #

sp yang direndam selama 4 jam dan kemudian dilakukan penirisan selama 1 jam,

memiliki kadar air yang paling tinggi dari pada perlakuan waktu perendaman dan

waktu penirisan yang lainnya. Kadar air paling tinggi pada rumput laut#

sp. adalah sebesar 85.06% berat basah, sedangkan kadar air paling tinggi pada

(24)

Untuk lebih jelasnya, hasil pengkuran Muslih (1996) terhadap daya serap

air sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu dapat dilihat pada Tabel 5.

Sedangkan hasil pengukuran terhadap daya serap air rumput laut # sp. dan# sp. dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.

7 , ?/ : $ % $ 7 7 $ % * ) % + , -2 5;;A

Kadar air media pengisi (% Bb) Penambahan

air laut (%)* Sekam padi Serbuk gergaji Serutan kayu

100 49.44 50.60 42.22

* Persentase dari bobot kering

(25)

Dari data – data yang diperoleh pada Tabel 5 dan 6 di atas, ditunjukkan

bahwa busa yang merupakan media pengisi yang digunakan pada penelitian ini,

memiliki daya serap air yang lebih tinggi dari pada sekam padi, serbuk gergaji,

dan serutan kayu seperti yang terlihat pada data – data hasil pengukuran oleh

Prasetiyo (1993) dan Muslih (1996). Sehingga berdasarkan daya serap airnya,

busa memiliki kapasitas panas yang lebih besar dari pada sekam padi, serbuk

gergaji, dan serutan kayu. Busa yang telah dilembabkan dan didinginkan tersebut

akan mampu mempertahankan suasana lembab dan dingin lebih lama dari pada

bahan pengisi sekam padi, serbuk gergaji, dan serutan kayu yang telah

dilembabkan dan didinginkan.

Daya serap air oleh media pengisi berhubungan erat dengan karakteristik

fisik media pengisi tersebut. Karakteristik fisik busa yang memiliki pori – pori

kecil yang sangat banyak, sangat halus, dan homogen di seluruh lapisan pada

setiap satuan dimensinya, memungkinkan menyerap air lebih banyak dan

menahannya lebih baik. Air yang terserap pada busa dapat tertahan di dalam busa

tersebut karena adanya tegangan permukaan dari setiap butiran – butiran air yang

terperangkap pada setiap pori – pori kecil yang terdapat pada busa tersebut.

Serbuk gergaji juga mempunyai daya serap air yang baik karena bentuknya yang

berupa partikel – partikel kecil yang relatif halus sehingga memiliki permukaan

yang luas untuk menyerap dan menahan air. Serutan kayu memiliki karakteristik

fisik berupa lembaran – lembaran yang menyebabkan penyerapan dan pengikatan

air kurang sempurna.

Luas permukaan serutan kayu lebih kecil dibandingkan dengan serbuk

gergaji, sehingga menyebabkan kemampuannya untuk menyerap dan menahan air

lebih kecil dari pada serbuk gergaji. Sedangkan karakteristik fisik pada sekam

padi yang berbentuk menyerupai kantong dapat berfungsi untuk menyimpan air,

meski pun hanya sementara. Sekam padi mempunyai luas permukaan yang lebih

besar dibandingkan dengan serutan kayu, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan

serbuk gergaji, sehingga air yang dapat diserap dan ditahan oleh sekap padi

tersebut lebih besar dari pada serutan kayu dan lebih kecil dari pada serbuk

(26)

Akan tetapi data – data di atas juga menunjukkan bahwa daya serap air oleh

rumput lebih besar dari pada daya serap air oleh busa. Sehingga rumput laut yang

telah dilembabkan dan didinginkan tersebut memiliki kapasitas panas yang lebih

besar dan mampu mempertahankan suasana lembab dan dingin lebih lama dari

pada bahan pengisi busa. Daya serap air rumput laut yang besar tersebut

dipengaruhi oleh komponen kimiawi penyusunnya. Komponen penyusun utama

rumput laut adalah polisakarida yang mempunyai banyak sekali gugus hidroksil

yang bertanggung jawab atas afinitas air dan berpotensi tinggi membentuk ikatan

hidrogen (Angka dan Suhartono, 2000). Hal tersebut yang menyebabkan rumput

laut dapat bersifat higrokopis, sehingga dapat menyerap dan menahan air lebih

banyak dari pada busa.

Pada penelitian yang dilakukan Prasetiyo (1993), pengamatan terhadap

media pengisi menunjukkan bahwa setelah pengemasan, # sp. mulai menimbulkan bau basi dan berlendir setelah 48 jam digunakan. Sedangkan bau

khas ketiga media pengisi lainnya telah berkurang setelah dilakukan pengemasan.

Seperti pada sekam padi, bau khas sekam berkurang setelah dilakukan

pengemasan. Begitu pula pada serbuk gergaji dan serutan kayu, bau khas

damarnya telah berkurang setelah dilakukan pengemasan. Hasil pengamatan

Prasetiyo (1993) terhadap bau yang ditimbulkan oleh media pengisi setelah

pengemasan, lebih jelas dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.

7 , @/ , % + * ' ' $- ) % 7 * ) % + $ ' :&2 5;;<

1. Sekam padi Bau khas

sekam

Bau sekam kurang

Bau sekam

kurang 8

2. Serbuk gergaji Bau khas damar

Bau damar kurang

Bau damar

kurang 8

3. Serutan kayu Bau khas damar

(27)

Pada penelitian yang dilakukan Muslih (1996), pengamatan terhadap media

pengisi menunjukkan bahwa setelah pengemasan selama 15 jam, media pengisi

# sp. mengeluarkan/tercium bau asam (basi) dan pada media pengisi

# sp. mengeluarkan/tercium aroma golongan senyawa alkohol. Sedangkan pada media pengisi sekam padi, setelah pengemasan selama 15 jam, masih

terdapat bau khas sekam dengan intensitas yang sama seperti sebelum dilakukan

pengemasan. Begitu pula dengan media pengisi serbuk gergaji dan serutan kayu,

masih terdapat bau khas terpentin dengan intensitas yang sama seperti sebelum

dilakukan pengemasan. Hasil pengamatan Muslih (1996) terhadap bau yang

ditimbulkan oleh media pengisi, lebih jelas dilihat pada Tabel 8 di bawah ini.

7 , !/ , % + * ' ' $- ) % 7 * ) % + , -2 5;;A

Bau media pengisi Jenis media pengisi

Sebelum dikemas Setelah dikemas (15 jam)

Sekam padi Bau khas sekam Bau khas sekam

Serbuk gergaji Bau khas terpentin Bau khas terpentin Serutan kayu Bau khas terpentin Bau khas terpentin

# sp. Bau khas rumput laut Bau asam/basi

# sp. Bau khas rumput laut Aroma alkohol

Menurut pengamatan Prsetiyo (1993), timbulnya bau basi dan lendir pada

media pengisi # sp. setelah pengemasan disebabkan karena kondisi lingkungan dalam kemasan yang lembab (basah) dan suhu yang terus meningkat

sehingga mikroorganisme yang semula inaktif menjadi aktif kembali dan

menyebabkan # sp. menjadi basi. Selain itu komponen terbesar dari

# sp. adalah karbohidrat seperti agar – agar, alginat, dan karagenan yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Sedangkan menurut

pengamatan Muslih (1996), timbulnya aroma golongan senyawa alkohol pada

media pengisi # sp. setelah pengemasan, diakibatkan karena terjadinya proses fermentasi selama media pengisi # sp. tersebut dikemas. Asam – asam organik dan senyawaan alkohol umunya merupakan produk – produk

(28)

Media pengisi busa yang digunakan pada penelitian ini, setelah dicuci,

direndam, dan ditiriskan, tidak mempunyai bau seperti apa pun (bau netral).

Begitu pula setelah media pengisi busa lembab tersebut dikemas dan disimpan

selama 8 jam, tidak terdapat bau apa pun yang muncul dari busa tersebut. Hal

tersebut mungkin disebabkan karena busa yang digunakan sebagai media pengisi

tersebut terbuat dari serat sintetis yang merupakan senyawa anorganik. Sehingga

bahan pada busa tersebut tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang

menghasilkan senyawa volatil penyebab timbulnya bau, sekali pun bahan busa

tersebut dalam keadaan lembab dan berada pada suhu ruang. Meski pun rumput

laut memiliki daya serap air yang lebih baik dari pada busa, tetapi jika digunakan

sebagai media pengisi, lendir yang dihasilkan oleh rumput laut tersebut dapat

menghalangi difusi O2 dari lingkungan dalam kemasan ke dalam insang ikan,

sehingga daya tahan ikan selama dilakukannya transportasi sistem kering akan

menurun.

=/ </ ' *7 ) +

Hasil pengukuran terhadap densitas kamba media pengisi (busa) lembab,

disajikan pada Tabel 9 di bawah ini.

7 , ;/ ' ( *7 * ) % + 7

1 399.6 25.7 0.064

2 399.6 32.6 0.082

3 399.6 30.5 0.076

(29)

Berdasarkan hasil pengukuran yang disajikan pada Tabel 9 di atas, dapat

diketahui bahwa media pengisi busa lembab memiliki nilai rata – rata densitas

kamba sebesar 0.074 gram/cm3. Pada penelitian yang dilakukan oleh Prasetiyo

(1993), hasil pengukuran terhadap densitas kamba media pengisi sekam padi

lembab adalah sebesar 0.19 gram/cm3, serbuk gergaji lembab sebesar 0.44

gram/cm3, serutan kayu lembab sebesar 0.12 gram/cm3, dan# sp. lembab sebesar 0.32 gram/cm3. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Muslih

(1996), hasil pengukuran terhadap densitas kamba media pengisi sekam padi

lembab adalah sebesar 178.23 Kg/m3 (0.18 gram/cm3), serbuk gergaji lembab

sebesar 346.75 Kg/m3(0.35 gram/cm3), serutan kayu lembab sebesar 85 Kg/m3

(0.085 gram/cm3),# sp. lembab sebesar 444.64 Kg/m3(0.44 gram/cm3), dan# sp. lembab sebesar 217.29 Kg/m3(0.22 gram/cm3).

Dari data – data tersebut di atas dapat diketahui bahwa media pengisi busa

memiliki densitas kamba paling kecil dibandingkan dengan media pengisi lainnya

yang telah diukur oleh Prasetiyo (1993) dan Muslih (1996). Berdasarkan data –

data yang diperoleh dari hasil pengukuran Prasetiyo (1993), densitas kamba media

pengisi yang lebih besar dari densitas kamba busa lembab adalah serutan kayu

lembab, kemudian diikuti dengan sekam padi lembab, # sp. lembab, dan serbuk gergaji lembab. Sedangkan berdasarkan data – data yang diperoleh dari

hasil pengukuran Muslih (1996), densitas kamba media pengisi yang lebih besar

dari densitas kamba busa adalah serutan kayu lembab, kemudian diikuti dengan

sekam padi lembab,# sp. lembab, serbuk gergaji lembab, dan #

sp. lembab.

Menurut Soekarto dan Wibowo (1993), densitas kamba menunjukkan sifat

berongga dari suatu bahan (media pengisi). Semakin kecil densitas kamba suatu

media pengisi, maka akan semakin besar rongga atau ruang kosong yang terdapat

pada media pengisi tersebut, sehingga kemampuan media pengisi tersebut untuk

memasok udara (O2) bebas juga akan semakin besar. Utomo . (1998) juga

menyatakan bahwa jika densitas kamba suatu bahan rendah, bahan tersebut

bersifat sehingga jika digunakan sebagai media transportasi akan

lebih ringan, kapasitas angkut lebih besar, dan kandungan udara di dalam rongga

(30)

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa media pengisi busa lembab

memiliki rongga udara atau ruang kosong yang lebih banyak, sehingga

kemampuan media pengisi tersebut untuk memasok udara (O2) bebas juga lebih

besar dibandingkan dengan media pengisi lembab lainnya yang telah diukur oleh

Prasetiyo (1993) dan Muslih (1996). Berdasarkan pernyataan Utomo . (1998),

media pengisi busa lembab tersebut bersifat sehingga jika digunakan

sebagai media transportasi akan lebih ringan dan kapasitas angkutnya lebih besar.

Sedangkan media pengisi yang memiliki rongga udara paling buruk (paling

sedikit) adalah media pengisi yang memiliki densitas kamba paling besar.

Berdasarkan hasil pengukuran Prasetiyo (1993), media pengisi yang memiliki

rongga udara paling baik adalah serutan kayu dan yang paling buruk adalah

serbuk gergaji. Sedangkan hasil pengukuran Muslih (1996), media pengisi yang

memiliki rongga udara paling baik adalah serutan kayu dan yang paling buruk

adalah# sp.

=/ =/ 6 *

Efisiensi kemasan dapat diketahui dari rasio antara bobot total ikan yang

dapat dimuat di dalam kemasan dengan bobot total kemasan yang telah berisikan

ikan. Semakin besar nilai rasio yang dihasilkan, maka semakin tinggi efisiensi

kemasan tersebut. Semakin tingginya efisiensi suatu kemasan, maka jumlah ikan

yang dapat dimuat di dalam kemasan juga semakin banyak. Semakin banyaknya

ikan yang dapat dimuat di dalam suatu kemasan, maka akan semakin ekonomis

nilai kemasan tersebut, sehingga jika digunakan dalam pengangkutan ikan akan

sangat menguntungkan.

Pada kemasan rak biasa, bobot total ikan (20 ekor) yang dapat dimuat di

dalam kemasan tesebut adalah sebesar 234 gram. Sedangkan bobot total kemasan

rak biasa yang telah berisi 20 ekor ikan adalah sebesar 415 gram. Sehingga

efisiensi kemasannya adalah:

Efisiensi kemasan = 234 gram

(31)

Pada kemasan rak berisi udara, bobot total ikan (60 ekor) yang dapat dimuat

di dalam kemasan tesebut adalah sebesar 690 gram. Sedangkan bobot total

kemasan rak berisi udarayang telah berisi 60 ekor ikan adalah sebesar 1500 gram.

Sehingga efisiensi kemasannya adalah:

Pada penelitian Prasetiyo (1993), dilakukan pengukuran nilai efisiensi

terhadap beberapa jenis rancangan kemasan yang digunakan untuk pengangkutan

ikan lele. Pada jenis rancangan kemasan bertingkat memiliki nilai efisiesi sebesar

31.19%, jenis rancangan berlapis memiliki nilai efisiesi sebesar 50%, dan jenis

rancangan kemasan berrak memiliki nilai efisiesi sebesar 44.25%. Sedangkan

pada penelitian Karnila (1998), hanya dilakukan pengukuran nilai efisiensi

terhadap jenis rancangan kemasan berrak dan tanpa rak yang digunakan untuk

pengangkutan udang windu. Jenis rancangan kemasan tanpa rak merupakan

kemasan di mana udang disusun berlapis dengan media pengisi (serbuk gergaji)

tanpa menggunakan sekat – sekat penyangga/rak. Hasil pengukuran terhadap dua

jenis kemasan tersebut menunjukkan nilai efisiensi pada kemasan berrak adalah

sebesar 50%, sedangkan nilai efisiensi pada kemasan tanpa rak adalah sebesar

21.05%.

Berdasarkan dari data – data yang tertera di atas, kemasan yang digunakan

dalam penelitian ini, yaitu kemasan rak biasa dan kemasan rak berisi udara,

termasuk memiliki nilai efisiensi yang tinggi, yaitu kurang – lebih sekitar 50%.

Oleh karena itu, kedua jenis kemasan rak yang digunakan dalam penelitian ini

tergolong ekonomis untuk digunakan sebagai kemasan pengangkut ikan hidup

sistem kering, jika dilihat dari segi efisiensi kemasan. Efisiensi kemasan = 690 gram

(32)

=/ ?/ * + ( (&(

Ketika dalam proses pemingsanan, ikan maskoki menunjukkan pola tingkah

laku yang berbeda – beda secara jelas seiring dengan semakin turunnya suhu. Pola

tingkah laku ikan maskoki selama proses pemingsanan tesebut dapat dibagi ke

dalam beberapa kelompok, yaitu kelompok yang berada dalam kisaran suhu

27 – 210C, 20 – 180C, 17 – 140C, 13 – 100C, 9 8 70C, 60C, 5 – 40C, dan 30C.

Pada kisaran suhu 27 8 210C, akitifitas dan kondisi ikan relatif tidak berubah.

Ikan masih berenang normal dan sangat lincah, sangat responsif terhadap

rangsangan dari luar, terutama bila didekatkan dengan suatu benda. Gerakan –

gerakan anggota badan (insang, sirip dorsal, ventral, dan sirip ekor) bergerak

dengan aktif. Bila diangkat dari dalam air, ikan meronta dengan kuat dan

operkulumnya bergerak dengan cepat. Bila dilepaskan kembali ke dalam air, ikan

langsung berenang dengan gesit.

Pada kisaran suhu 20 – 180C, aktivitas ikan mulai menurun. Hal ini

ditunjukkan dengan sebagian besar ikan sudah mulai tenang, kurang aktif

berenang, tetapi masih responsif terhadap rangsangan fisik dari luar. Bila diangkat

dari dalam air, ikan meronta dengan kuat dan operkulumnya bergerak dengan

cepat. Bila dilepaskan kembali ke dalam air, ikan langsung berenang dengan gesit

dan tidak lama kemudian ikan kembali berenang dengan tenang.

Pada kisaran suhu 17 – 140C, ikan mulai berenang dengan lemah (lamban),

kurang aktif berenang, dan kurang responsif terhadap rangsangan fisik dari luar.

Beberapa ikan diam dan kurang aktif berenang di dasar bak pemingsanan. Pada

kisaran suhu ini, ikan mulai mudah ditangkap Bila diangkat dari dalam air, ikan

masih meronta dan operkulumnya bergerak agak cepat. Bila dilepaskan kembali

ke dalam air, ikan langsung berenang, tetapi tidak segesit pada kisaran suhu

sebelumnya, dan tidak lama kemudian ikan kembali berenang dengan tenang.

Pada kisaran suhu 13 – 100C, ikan berenang dengan sangat lamban, tidak

aktif berenang, dan kurang responsif terhadap rangsangan fisik dari luar. Sebagian

ikan diam dan kurang aktif berenang di dasar bak pemingsanan. Pada kisaran suhu

ini, ikan mudah ditangkap. Bila diangkat, ikan meronta dengan lemah dan

operkulumnya bergerak dengan lambat. Bila dilepaskan kembali ke dalam air,

(33)

Pada kisaran suhu 9 8 70C, ikan mulai terlihat berenang dengan limbung,

hilang keseimbangan, dan beberapa saat bergerak panik. Ikan yang terlihat

limbung dan hilang keseimbangan mulai sulit untuk mempertahankan posisi tegak

dan berenang dengan posisi miring dan terbalik – balik. Pada kisaran suhu ini,

ikan sangat lemah untuk berenang, sehingga ikan terombang – ambing oleh arus

dari pompa . Sesekali ikan terlihat panik, kondisi ini ditandai dengan

gerakan ikan yang terkejut 8 kejut dengan tiba – tiba untuk beberapa saat.

Sebagian ikan juga terlihat diam dengan posisi tegak dan tidak aktif berenang di

bagian dasar bak pemingsanan. Respon ikan sangat lemah terhadap rangsangan

fisik dari luar, hal tersebut ditunjukkan pula dengan sangat mudahnya ikan untuk

ditangkap. Bila diangkat dari dalam air, ikan meronta dengan lemah dan

operkulumnya bergerak dengan lambat. Bila dilepaskan kembali ke dalam air,

ikan berenang dengan limbung dan terlihat sangat lemah. Pada kisaran suhu ini,

ikan maskoki diperkirakan telah memasuki fase panik.

Pada suhu 60C, hampir semua ikan mulai berada dalam keadaan diam

dengan posisi tegak dan bergerombol di dasar bak. Beberapa ikan masih terlihat

limbung dan terbawa arus. Pada suhu ini, ikan tidak merespon terhadap

rangsangan fisik dari luar, sehingga pada kondisi ini ikan dapat dengan mudah

diambil dari dalam air. Bila diangkat dari dalam air, ikan hanya sedikit bergerak

dengan lemah dan operkulumnya pun bergerak dengan lambat. Bila dilepaskan

kembali ke dalam air, ikan berenang dengan limbung, lalu kembali diam di dasar

bak atau berenang terbawa arus. Pada suhu ini, ikan maskoki diperkirakan telah

berada dalam fase pingsan ringan ( ).

Pada suhu 5 – 40C, sebagian besar ikan dalam keadaan diam dengan posisi

tegak dan bergerombol di dasar bak. Beberapa ikan mulai berada dalam kondisi

tergeletak miring di dasar bak. Respon ikan terhadap rangsangan fisik dari luar

pada kisaran suhu ini juga tidak ada, sehingga ikan dapat dengan mudah diambil

dari dalam air. Bila diangkat dari dalam air, ikan juga sedikit bergerak dengan

lemah dan operkulumnya pun bergerak dengan lambat. Bila dilepaskan kembali

ke dalam air, ikan berenang dengan limbung lalu diam atau tergeletak kembali di

(34)

Pada suhu 30C, hampir semua ikan berada dalam keadaan tegeletak miring

dan bergerombol di dasar bak. Pada suhu ini, ikan tidak merespon terhadap

rangsangan fisik dari luar, sehingga ikan juga dapat dengan mudah diambil dari

dalam air. Bila diangkat dari dalam air, tubuh ikan tidak bergerak sama sekali dan

operkulumnya pun tidak terlihat bergerak. Bila dilepaskan kembali ke dalam air,

ikan langsung jatuh ke dasar bak lalu berada dalam posisi tergeletak. Pada suhu

ini, ikan maskoki diperkirakan telah berada dalam fase pingsan berat (

sedation). Ikan maskoki yang berada dalam fase pingsan berat ini, telah siap untuk

dikemas.Untuk lebih jelasnya, kondisi ikan maskoki selama proses pemingsanan

yang terbagi dalam beberapa kelompok kisaran suhu, dapat dilihat pada Tabel 10

di bawah ini.

7 , 5 / & ) ( * (&( , * %$& % * +

Suhu

(0C) Kondisi Ikan Maskoki

27 8 21 Ikan aktif berenang (normal) dan responsif 20 – 18 Ikan mulai tenang (kurang aktif) dan masih responsif 17 – 14 Ikan lamban, kurang aktif, dan kurang responsif

13 – 10 Ikan sangat lamban, tidak aktif berenang, dan kurang responsif. Diangkat meronta lemah

9 8 7 Ikan mulai limbung, hilang keseinbangan, dan panik. Respon lemah.

6 Ikan diam dan bergerombol di dasar. Beberapa limbung dan terbawa arus. Diangkat hampir tidak meronta

5 – 4 Ikan diam dan bergerombol di dasar. Beberapa dalam posisi tergeletak miring. Diangkat bergerak dengan sangat lemah.

3 Hampir semua ikan dalam posisi tegeletak miring dan bergerombol di dasar. Diangkat tidak bergerak sama sekali.

Dari data – data pada proses pemingsanan di atas, ikan maskoki

diperkirakan telah berada dalam keadaan pingsan berat pada suhu 30C. Untuk

mengetahui pada suhu 30C ikan tersebut masih dalam keadaan pingsan dan tidak

mati, maka dilakukan proses penyadaran. Proses penyadaran dilakukan dengan

(35)

dalam air yang bersuhu normal (± 270C) dengan aerasi yang cukup. Kondisi ikan

selama proses penyadaran tersebut dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini.

7 , 55/ & ) ( * (&( % ) %$& % : ) $

Menit ke8 Kondisi Ikan

1 Beberapa ikan langsung panik dan limbung, lainnya masih tergeletak di dasar

3 Beberapa ikan baru mulai panik dan limbung, sebagian besar baru menggerakkan operkulum, sedikit sudah tenang

5 Sebagian besar ikan masih berenang limbung, beberapa panik

8 Semua ikan sudah tenang, tetapi belum aktif berenang

10 Beberapa ikan mulai aktif berenang

15 Semua ikan sudah aktif berenang (normal)

Dari Tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa ikan maskoki yang telah berada

dalam keadaan pingsan berat dapat kembali berenang dengan normal setelah

proses penyadaran selama 15 menit. Ikan yang telah disadarkan tersebut dapat

berenang dengan lincah dan sangat responsif terhadap rangsangan fisik dari luar.

Gerakan – gerakan anggota badan (insang, sirip dorsal, sirip ventral, dan sirip

ekor) ikan juga sudah kembali bergerak dengan aktif. Hal tersebut ditunjukkan

pula dengan sulitnya menangkap kembali ikan – ikan yang telah disadarkan

tersebut.

=/ A/ - * + %' * *

Dari hasil pengamatan selama proses pemingsanan telah diketahui bahwa

ikan maskoki berada dalam keadaan pingsan berat setelah tercapai suhu 30C. Ikan

maskoki yang berada dalam keadaan pingsan berat tersebut telah siap untuk

dikemas. Untuk mengetahui apakah suhu 30C merupakan suhu pemingsanan

optimum, maka dilakukan percobaan dengan hasil seperti yang disajikan pada

(36)

7 , 5 / ' - % * + &%' * *

* Rataan dari 3 kali ulangan

** Persentase dari total ikan yang mati

Keterangan :

Tp = Suhu pingsan

Ts = Suhu simpan

Ots = Lama waktu penyimpanan/waktu tranportasi

Otp = Lama waktu pemingsanan/waktu pemingsanan

DC = (Kondisi ikan yang mati)

SR = ( . (Tingkat kelulusan hidup/ikan yang dapat bertahan hidup setelah diberikan perlakuan)

Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Tabel 12 di atas, dapat

diketahui bahwa ikan yang dipingsankan hingga tercapai suhu pingsan 30C atau

yang dikemas dalam keadaan pingsan berat, hanya mempunyai nilai SR 14.5%

setelah dilakukan transportasi (statis). Dari jumlah total ikan yang mati, 68% di

antaranya mengalami pendarahan pada insang. Hal tesebut dapat diketahui dari

keluarnya darah ketika bagian luar operkulum sedikit ditekan dan terdapatnya

bercak darah pada busa media pengisi yang berasal dari insang yang berdarah. Hal

tersebut menunjukkan bahwa suhu pingsan 30C bukan merupakan suhu

pemingsanan optimum, karena menyebabkan kematian selama dilakukannya

transportasi. Sehingga ikan tidak ideal atau tidak tepat untuk dikemas ketika

(37)

Pendarahan pada insang tersebut terjadi karena pecahnya pembuluh darah

kapiler pada insang. Di dalam operkulum insang terdapat beberapa filamen, yang

mana tiap – tiap filamen tersebut terdiri atas banyak lamela. Lamela tersebut

merupakan tempat pertukaran gas, tugas ini ditunjang oleh struktur lamela yang

tersusun atas sel – sel epitel yang tipis pada bagian luar, membran dasar, dan sel –

sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggiran lamela yang tidak

menempel pada lengkung insang sangat tipis, ditutupi oleh epitelium. Pada lamela

tersebut banyak mengandung jaringan pembuluh darah kapiler. Pada proses

respirasi, air akan dilewatkan melalui permukaan yang tipis dari lamela tersebut

untuk memungkinkan terjadinya pertukaran gas secara difusi. (Fujaya, 2004).

Pada saat dilakukannya proses pemingsanan ikan dengan suhu rendah, suhu

air yang melewati permukaan lamela juga ikut mempengaruhi suhu cairan yang

ada di dalam sel – sel epitel lamela dan pembuluh darah kapiler. Semakin rendah

suhu air akan mengakibatkan densitas cairan pada sel – sel epitel lamela dan

pembuluh darah kapiler insang semakin rendah, sehingga akan mengakibatkan

volume cairan pada sel – sel epitel lamela dan pembuluh darah kapiler insang

tersebut akan semakin besar. Bertambah besarnya volume cairan tersebut hingga

dapat melampaui batas daya elastisitas dari sel – sel epitel lamela dan pembuluh

darah kapiler insang, akan menyebabkan pecahnya struktur lamela hingga

merusak filamen – filamen pada insang. Rusaknya filamen – filamen pada insang

tersebut dapat memungkinkan darah keluar dari insang.

Ikan mas koki yang dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap

hingga mengalami pingsan berat pada suhu 30C dan dipertahankan pada suhu

tersebut selama 5 menit, ketika langsung disadarkan di dalam air yang bersuhu

normal (± 270C) dengan aerasi yang cukup, tidak ada satu pun ikan yang

mengalami pendarahan pada insangnya. Pendarahan pada insang terjadi setelah

ikan disimpan di dalam kemasan pada suhu yang dipertahankan 100C selama 1

jam. Ketika ikan langsung disadarkan di dalam air yang bersuhu normal (± 270C)

setelah mengalami pingsan berat pada suhu 30C dan dipertahankan pada suhu

tersebut selama 5 menit, air yang bersuhu normal (± 270C) tersebut dapat dengan

(38)

pembuluh darah kapiler, sehingga volume cairan tersebut tidak mengakibatkan

pecahnya struktur lamela yang mengakibatkan pendarahan pada insang.

Suhu awal media pengisi (busa) sama dengan suhu pemingsanan ikan.

Ketika ikan maskoki dipingsankan hingga suhu 30C, maka suhu awal dari media

pengisi tersebut juga 30C. Pola kenaikan suhu media pengisi di dalam kemasan

ketika suhu penyimpanan dipertahankan 100C selama waktu transportasi, dapat

dilihat pada Lampiran 11. Dari Lampiran 11 dapat diketahui bahwa kenaikan suhu

media pengisi hingga stabil pada 100C membutuhkan waktu hampir 11 menit.

Suhu pemingsanan dan suhu awal media pengisi pada 30C, serta kenaikan hingga

suhu 100C selama 11 menit, kemudian dipertahankan pada suhu 100C hingga

1 jam dari awal penyimpanan (transportasi), mungkin masih menyebabkan cairan

yang ada di dalam sel – sel epitel lamela dan pembuluh darah kapiler mempunyai

densitas yang rendah, sehingga volume cairan tersebut mengakibatkan pecahnya

struktur lamela dan menyebabkan pendarahan pada insang pada saat ikan

ditransportasi (statis).

Pada Tabel 12 di atas dapat terlihat bahwa ketika ikan dikemas pada suhu

pingsan yang lebih tinggi, maka jumlah ikan yang mengalami pendarahan

semakin berkurang. Hingga pada ikan dikemas pada suhu pingsan 60C, tidak

terdapat lagi ikan yang mati (SR 100%) dan mengalami pendarahan pada insang,

setelah dilakukan transportasi pada suhu penyimpanan dan dengan lama waktu

transportasi yang sama. Kondisi ikan tersebut kembali normal setelah dilakukan

proses penyadaran selama 15 menit. Hal tersebut menunjukkan bahwa setelah

tercapainya suhu pingsan 60C merupakan saat yang ideal atau tepat bagi ikan

untuk dilakukan pengemasan setelah proses pemingsanan. Suhu 60C merupakan

suhu di mana ikan mengalami pingsan ringan pada proses pemingsanan dengan

penurunan suhu secara bertahap. Sehingga saat yang ideal atau tepat bagi ikan

untuk dilakukan pengemasan setelah proses pemingsanan adalah pada saat ikan

berada dalam keadaan pingsan ringan.

Untuk mengetahui apakah dengan suhu pingsan 60C dapat mempertahankan

nilai SR 100% lebih dari 1 jam waktu transportasi, maka lama waktu

transportasinya diperpanjang hingga 3 jam. Dari hasil percobaan pada Tabel 12 di

(39)

3 jam menyebabkan nilai SR ikan turun menjadi 86.7% dan terdapat kembali 46%

ikan yang berdarah insangnya dari jumlah total ikan yang mati. Persentasi ikan

yang berdarah ini bahkan lebih besar dari ikan yang dikemas pada suhu pingsan

50C. Hal tersebut diperkirakan terjadi karena volume cairan yang ada di dalam sel

– sel epitel lamela dan pembuluh darah kapiler mengembang hingga merusak

struktur lamela yang mengakibatkan pendarahan pada insang selama waktu

penyimpanan 3 jam pada suhu simpan 100C. Dari hal tersebut dapat diketahui

bahwa suhu simpan 100C masih terlalu dingin untuk penyimpanan ikan maskoki

selama 3 jam. Oleh kerena itu pada tahap selanjutnya, dilakukan percobaan untuk

menetapkan suhu penyimpanan optimum. Ikan yang mengalami pendarahan pada

insang serta bercak darah yang terdapat pada busa media pengisi, dapat dilihat

pada Lampiran 9.

=/ @/ - : *% %' * *

Dari tahap sebelumnya diketahui bahwa suhu simpan 100C diperkirakan

masih terlalu rendah untuk waktu transportasi selama 3 jam. Oleh kerena itu pada

tahap ini digunakan suhu simpan yang lebih tinggi. Hasil percobaan pada tahap ini

yang dilakukan untuk memperoleh suhu penyimpanan optimum, disajikan pada

Tabel 13 di bawah ini.

7 , 5</ ' - % : *% &%' * *

4 6 16 1 6 82.8 Insang tidak berdarah, tidak kaku

5 6 18 1 6 82.8 Insang tidak berdarah, tidak kaku

6 6 20 1 6 76.1 Insang tidak berdarah, 40%

kaku** * Rataan dari 3 kali ulangan

(40)

Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Tabel 13 di atas dapat

diketahui bahwa suhu simpan yang dinaikkan menjadi 120C dapat meningkatkan

nilai SR hingga menjadi 100% untuk waktu transportasi selama 3 jam. Untuk

mengetahui apakah dengan naiknya suhu simpan menjadi 120C dapat

mempertahankan nilai SR 100% lebih dari 3 jam waktu transportasi, maka lama

waktu transportasinya diperpanjang hingga menjadi 6 jam.

Dari hasil percobaan yang disajikan pada Tabel 13 di atas, terlihat bahwa

dengan diperpanjangnya waktu transportasi menjadi 6 jam, menyebabkan

turunnya nilai SR hingga menjadi 28.9% pada ikan yang ditranportasi dengan

suhu simpan 120C. Waktu transportasi selama 6 jam juga menyebabkan 67% dari

jumlah total ikan yang mati mengalami pendarahan pada insangnya. Hal tersebut

diduga karena suhu simpan 120C masih terlalu rendah untuk waktu transportasi

selama 6 jam, oleh kerena itu pada proses transportasi selanjutnya dicobakan

dengan mengunakan suhu simpan yang lebih tinggi.

Dari hasil pada Tabel 13 di atas ditunjukkan bahwa kenaikan suhu simpan

hingga 200C tidak dapat meningkatkan nilai SR hingga menjadi 100% pada waktu

transportasi selama 6 jam. Pada suhu simpan 160C dan 180C terjadi kenaikan nilai

SR hingga 82.8%, akan tetapi nilai SR menurun hingga menjadi 76.1% pada suhu

simpan 200C. Terlihat pula pada Tabel 13 di atas, masih terdapat insang yang

berdarah sebanyak 75% dari jumlah total ikan yang mati pada suhu simpan 140C.

Hal tersebut diduga karena suhu simpan 140C juga masih terlalu rendah untuk

waktu transportasi selama 6 jam. Pada suhu simpan 160C dan 180C, kondisi ikan

yang mati tidak menunjukkan perubahan apa pun (tidak berdarah dengan kondisi

tubuh yang lentur) setelah dilakukannya transportasi. Sedangkan pada suhu

simpan 200C, 40 % dari jumlah total ikan yang mati menunjukkan kondisi tubuh

yang kaku, seperti mulut terbuka dan tubuh mengeras. Hal tersebut diperkirakan

karena suhu simpan 200C dapat menaikkan metabolisme basal dari ikan yang

berada dalam keadaan pingsan, sehingga ikan yang terdapat di dalam kemasan

tersebut terbangun/tersadar. Ikan yang tersadarkan tersebut dapat menyebabkan

kandungan O2 di dalam kemasan habis dengan cepat, sehingga dapat

menyebabkan ikan mati dalam keadaan kaku.Ikan yang mati dalam keadaan kaku

(41)

Dari hasil percobaan pada tahap ini, tidak tercapainya nilai SR 100% (nilai

SR optimum) pada waktu transportasi selama 6 jam diperkirakan disebabkan oleh

terlalu singkatnya lama waktu pemingsanan yang dilakukan sebelum ikan

ditransportasi, yang pada tahap ini hanya dilakukan selama 1 jam. Dari hal

tersebut dapat disimpulkan bahwa waktu pemingsanan selama 1 jam dapat

menghasilkan nilai SR 100% hanya dalam waktu transportasi selama 3 jam,

dengan suhu simpan 120C. Sehingga pada tahap selanjutnya, sebelum dilakukan

transportasi, terlebih dulu dilakukan pemingsanan ikan dengan waktu

pemingsanan yang lebih lama (lebih dari 1 jam).

=/ !/ + $ - 0 (' * + ' $- ) %

Dari tahap sebelumnya diketahui bahwa untuk waktu transportasi selama

6 jam, peningkatan suhu simpan sampai dengan pada suhu 200C, tidak dapat

mencapai nilai SR 100% (nilai SR optimum). Bahkan pada suhu simpan 200C

tersebut, nilai SR yang dihasilkan lebih kecil dari pada nilai SR yang dihasilkan

pada suhu simpan 160C dan 180C. Hal tersebut diperkirakan disebabkan karena

waktu pemingsanan yang hanya selama 1 jam. Pada tahap ini dilakukan percobaan

untuk mengetahui pengaruh lama waktu pemingsanan terhadap nilai SR yang

dihasilkan setelah ikan ditransportasi.

Sebelum dipaparkannya hasil dari percobaan yang menunjukkan pengaruh

lama waktu pemingsanan terhadap nilai SR, maka pada tabel 14 di bawah ini

ditunjukkan hasil dari pengaturan berbagai volume air yang terdapat di dalam bak

pemingsanan ikan untuk mendapatkan lama waktu pemingsanan yang telah

ditetapkan sebagai perlakuan, yaitu: 2, 4, 6, dan 8 jam. Debit air yang masuk dan

keluar (bersirkulasi) dari mesin ke bak pemingsanan ikan adalah

(42)

7 , 5=/ , % + ' $ 8&, * $ ' $- ) % 9 (' % * +

Q = 0.038 liter/detik

Volume air (liter) Waktu pemingsanan (jam)

100 2

200 4

300 6

400 8

Pada tabel 14 di atas ditunjukkan bahwa dengan debit air 0.038 liter/detik

yang bersirkulasi dari bak pemingsanan masuk ke , perbedaan

volume air yang terdapat di dalam bak pemingsanan dapat menghasilkan waktu

pemingsanan yang berbeda pula. Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa setiap

kenaikan 100 liter air yang terdapat di dalam bak pemingsanan mengakibatkan

waktu pemingsanan yang dihasilkan lebih lama 2 jam dari pada volume air

sebelumnya. Hasil percobaan yang menunjukkan pengaruh lama waktu

pemingsanan terhadap nilai SR yang dihasilkan setelah ikan ditransportasi,

disajikan pada Tabel 15 di bawah ini.

7 , 5?/ + $ - , * 9 (' % * + ' $- ) %

3 6 12 6 6 84.4 Insang tidak berdarah, tidak kaku

4 6 12 8 6 100 8

5 6 12 8 12 76.7 33% Insang berdarah**

6 6 14 8 12 76.1 Insang tidak berdarah, tidak kaku

7 6 16 8 12 83.9 Insang tidak berdarah, tidak kaku

8 6 18 8 12 88.3 Insang tidak berdarah, tidak kaku

9 6 20 8 12 83,9 Insang tidak berdarah, 52% kaku**

* Rataan dari 3 kali ulangan

(43)

Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Tabel 15 di atas dapat

diketahui bahwa dengan lama waktu pemingsanan yang semakin panjang dapat

meningkatkan nilai SR dalam waktu transportasi selama 6 jam. Pada Tabel 15 di

atas terlihat bahwa waktu pemingsanan selama 8 jam dengan suhu simpan 120C

dapat menghasilkan nilai SR 100% dalam waktu transportasi selama 6 jam. Pada

waktu pemingsanan selama 2 jam dan 4 jam, terdapat ikan mati yang insangnya

berdarah. Sedangkan pada waktu pemingsanan selama 6 jam tidak terdapat insang

yang berdarah pada ikan yang mati, padahal masing – masing dari perlakuan

tersebut ikan ditransportasi pada suhu simpan yang sama, yaitu pada suhu 120C.

Hal tersebut diperkirakan karena ikan yang dipingsankan dengan waktu

pemingsanan selama 2 jam dan 4 jam, secara fisiologi, masih terlalu cepat untuk

teradaptasi dengan suhu simpan 120C selama 6 jam waktu transportasi, sehingga

masih terjadi pendarahan pada insang. Sedangkan ikan yang dipingsankan dengan

waktu pemingsanan selama 6 jam, secara fisiologi masih belum teradaptasi

dengan benar dan masih lemah untuk ditransportasi selama 6 jam, sehingga tidak

tercapai nilai SR 100%.

Untuk mengetahui apakah waktu pemingsanan selama 8 jam dengan suhu

simpan 120C dapat mempertahankan nilai SR 100% lebih dari 6 jam waktu

transportasi, maka lama waktu transportasinya diperpanjang hingga menjadi 12

jam. Dari hasil percobaan yang disajikan pada Tabel 15 di atas, terlihat bahwa

dengan diperpanjangnya waktu transportasi menjadi selama 12 jam, menyebabkan

turunnya nilai SR hingga menjadi 76.7% pada ikan yang ditranportasi dengan

suhu simpan 120C. Perpanjangan waktu transportasi tersebut menyebabkan pula

33% dari ikan yang mati mengalami pendarahan. Hal tersebut diperkirakan karena

suhu 120C masih terlalu rendah untuk waktu transportasi selama 12 jam.

Pada Tabel 8 di atas juga ditunjukkan bahwa dengan ditingkatkannya suhu

simpan hingga 200C tidak dapat meningkatkan nilai SR hingga menjadi 100%

pada waktu transportasi selama 12 jam. Hal ini diperkirakan karena pada waktu

pemingsanan selama 8 jam, secara fisiologi, ikan masih belum teradaptasi dengan

benar, sehingga kondisinya masih lemah untuk ditransportasi selama 12 jam.

Bahkan pada suhu simpan 200C terdapat ikan yang mati kaku sebanyak 52% dari

(44)

simpan 200C dapat menyababkan ikan yang terdapat di dalam kemasan

terbangun/tersadar, sehingga dapat menyebabkan ikan mati dalam keadaan kaku

karena kekurangan O2.

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kenaikan waktu pemingsanan

menjadi selama 8 jam dapat menghasilkan nilai SR 100% hanya dalam waktu

transportasi selama 6 jam, dengan suhu simpan 120C. Sehingga untuk

mendapatkan nilai SR 100% pada waktu transportasi selama 12 jam, maka

diperkirakan lama waktu pemingsanan ikan harus lebih dari 8 jam. Akan tetapi

pada penelitian ini, variabel waktu pemingsanan yang diujikan untuk mengetahui

pengaruh lama waktu pemingsanan terhadap nilai SR yang dihasilkan setelah ikan

ditransportasi, adalah selama 2, 4, 6, dan 8 jam.

Pada waktu transportasi selama 12 jam, nilai SR yang dihasilkan pada suhu

simpan 140C lebih rendah dari pada nilai SR yang dihasilkan pada suhu simpan

120C. Akan tetapi nilai SR yang dihasilkan pada suhu simpan 160C dan 180C lebih

tinggi dari pada nilai SR yang dihasilkan pada suhu simpan 120C, dan nilai SR

yang dihasilkan pada suhu simpan 180C lebih tinggi dari pada nilai SR yang

dihasilkan pada suhu simpan 160C. Pada suhu simpan 200C nilai SR kembali

menurun dan nilainya sama dengan nilai SR yang dihasilkan pada suhu simpan

120C.

=/ ;/ + $ - $ & '$ ' $- ) %

Percobaan pada tahap ini didasarkan pada hasil penelitian yang

menyimpulkan bahwa laju konsumsi O2 oleh ikan menurun seiring dengan

menurunnya kandungan O2terlarut di dalam air, sehingga akan menurunkan laju

metabolismenya (Fry, 1957). Penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan

diharapkan dapat mengurangi laju metabolisme ikan yang dikemas di dalamnya,

sehingga ikan dapat ditransportasikan lebih lama. Hasil percobaan untuk

mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi O2 terhadap tingkat SR selama

(45)

7 , 5A/ + $ - % $ (& '$ ' $- ) %

4 6 12 8 12 15 96.1 Insang tidak berdarah,

tidak kaku

5 6 14 8 12 15 100 8

6 6 14 8 18 15 94.4 Insang tidak berdarah,

tidak kaku

7 6 16 8 18 15 100 8

8 6 16 8 24 15 90 Insang tidak berdarah,

tidak kaku

9 6 18 8 24 15 93.3 Insang tidak berdarah,

tidak kaku

10 6 20 8 24 15 80 Insang tidak berdarah,

42% kaku**

11 6 18 8 20 15 100 8

12 6 18 8 20 10 90 Insang tidak berdarah,

tidak kaku

13 6 18 8 20 5 75.6 Insang tidak berdarah,

43% kaku**

14 6 18 8 24 21 100 8

15 6 18 8 28 21 88.9 Insang tidak berdarah,

tidak kaku

16 6 20 8 28 21 73.3 Insang tidak berdarah,

52% kaku** * Rataan dari 3 kali ulangan

(46)

Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Tabel 16 di atas dapat

diketahui bahwa ketiga konsentrasi O2yang berbeda yaitu sebesar 15%, 10%, dan

5% yang terdapat di dalam kemasan, dapat menghasilkan nilai SR 100% pada

waktu transportasi selama 6 jam dengan suhu simpan 120C. Waktu transportasi

selama 6 jam dengan suhu simpan 120C ini digunakan karena pada tahap

sebelumnya dapat menghasilkan nilai SR 100% untuk lama waktu pemingsanan

ikan 8 jam. Untuk mengetahui apakah ketiga konsentrasi O2 tersebut dapat

mempertahankan nilai SR 100% lebih dari 6 jam waktu transportasi, maka lama

waktu transportasinya diperpanjang lebih dari 6 jam.

Pada Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa, pada kemasan yang

mengandung konsentrasi O2 15% mengalami penurunan nilai SR ketika lama

waktu transportasinya terus diperpanjang. Akan tetapi ketika suhu simpannya ikut

dinaikkan, maka nilai SRnya kembali meningkat. Kondisi tersebut berlanjut

sampai pada suhu simpan 160C dengan waktu transportasi selama 18 jam. Waktu

transportasi selama 24 jam tidak dapat menghasilkan nilai SR hingga menjadi

100%, meski pun suhu simpannya terus dinaikkan. Bahkan ketika suhu simpannya

dinaikkan menjadi 200C, nilai SRnya lebih kecil dari pada nilai SR yang

dihasilkan pada suhu simpan 180C.

Oleh karena pada kemasan dengan konsentrasi O2 15% tidak dapat

menghasilkan nilai SR 100% pada waktu transportasi selama 24 jam, meski pun

suhu simpannya telah terus dinaikkan, maka waktu transportasinya diperpendek

hingga menjadi 20 jam. Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa kemasan dengan

konsentrasi O2 15% pada suhu simpan 180C dapat menghasilkan nilai SR 100%

setelah ditransportasi selama 20 jam. Suhu simpan 180C yang digunakan tersebut

diacukan dari suhu simpan yang menghasilkan nilai SR tertinggi pada waktu

transportasi selama 24 jam.

Setelah kemasan dengan konsentrasi O215% pada suhu simpan 180C dapat

menghasilkan nilai SR 100% setelah ditransportasi selama 20 jam, maka

selanjutnya kemasan dengan konsentrasi O210% dan 5% pada suhu simpan 180C,

juga ditransportasi selama 20 jam untuk membandingkan nilai SR yang

(47)

konsentrasi O2 10% dan 5% pada suhu simpan 180C, masing – masing hanya

menghasilkan nilai SR 90% dan 75.6% setelah ditransportasi selama 20 jam.

Kemasan dengan konsentrasi O2 normal yaitu sebesar ± 21%, diujikan

sebagai kontrol untuk membandingkan nilai SR yang dihasilkannya dengan nilai

SR kemasan dengan konsentrasi O215%, 10%, dan 5%. Hasil pada Tabel 16 di

atas menunjukkan bahwa kemasan dengan konsentrasi O2 normal (21%) pada

suhu simpan 180C dapat menghasilkan nilai SR 100% setelah ditransportasi

selama 24 jam. Akan tetapi ketika waktu transportasinya diperpanjang hingga

menjadi 28 jam, nilai SRnya mengalami penurunan, meski pun suhu simpannya

telah ikut dinaikkan. Bahkan ketika suhu simpannya dinaikkan menjadi 200C,

nilai SRnya lebih kecil dari pada nilai SR yang dihasilkan pada suhu simpan 180C.

Sehingga untuk kemasan dengan konsentrasi normal, ikan tidak dapat

ditransportasi lebih dari 24 jam, karena nilai SRnya akan terus menurun.

Dari data – data tersebut di atas menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi

O2 yang terdapat di dalam kemasan dapat mengakibatkan penurunan nilai SR

setelah ikan ditransportasi dalam jangka waktu yang sama. Sebaliknya, jika

konsentrasi O2 yang terdapat di dalam kemasan berada pada konsentrasi normal

(±21%), maka dapat menghasilkan kenaikkan nilai SR setelah ikan ditransportasi

dalam jangka waktu sama pula. Hal tersebut diperkirakan disebabkan karena pada

keadaan pingsan, laju metabolisme ikan berada pada keadaan basal, sehingga laju

konsumsi O2 oleh ikan tersebut telah berada pada tingkat yang paling rendah.

Oleh karena ikan yang pingsan tersebut telah berada pada tingkat laju konsumsi

O2 yang paling rendah, penurunan konsentrasi O2 di dalam kemasan tidak akan

berpengaruh untuk menurunkan lagi laju konsumsi O2 seperti yang terjadi pada

ikan yang masih sadar/tidak pingsan. Oleh karena ikan yang pingsan laju

konsumsi O28nya berada pada kecepatan yang stabil, yaitu pada tingkat kecepatan

yang paling rendah, maka ikan (dalam keadaan pingsan) yang berada di dalam

kemasan yang mengandung konsentrasi O2paling tinggi (yang pada penelitian ini

(48)

Pada awal dari hasil tahap ini telah diketahui bahwa pada ketiga konsentrasi

O2 yang berbeda yaitu sebesar 15%, 10%, dan 5% yang terdapat di dalam

kemasan, dapat menghasilkan nilai SR 100% pada waktu transportasi selama 6

jam dengan suhu simpan 120C. Hal tersebut diperkirakan dapat terjadi karena

kebutuhan konsumsi O2 oleh ikan mas koki yang berada pada tingkat laju

konsumsi O2 paling rendah tersebut (dalam keadaan pingsan), masih dapat

dipenuhi di dalam kemasan yang mengandung konsentrasi O2 5% selama 6 jam

waktu transportasi pada suhu simpan 120C, hingga menghasilkan nilai SR 100%.

Oleh karena itu, sudah pasti bahwa kemasan yang mengandung konsentrasi O2

15% dan 10% juga dapat mempertahankan kehidupan ikan maskoki hingga

menghasilkan nilai SR 100% dalam waktu transportasi selama 6 jam dengan suhu

simpan 120C.

Pada waktu transportasi selama 20 jam dengan suhu simpan 180C, telah

diketahui bahwa hanya kemasan yang mengandung konsentrasi O215% saja yang

dapat mempertahankan kehidupan ikan hingga menghasilkan nilai SR 100%.

Sedangkan kemasan yang mengandung konsentrasi O2 10% dan 5% masing –

masing hanya menghasilkan nilai SR 90% dan 75.6%. Hal tersebut diperkirakan

dapat terjadi karena kebutuhan konsumsi O2oleh ikan mas koki yang berada pada

tingkat laju konsumsi O2paling rendah tersebut (dalam keadaan pingsan), sudah

tidak dapat dipenuhi di dalam kemasan yang mengandung konsentrasi O2 10%

dan 5% selama 20 jam waktu transportasi pada suhu simpan 180C, sehingga tidak

lagi dapat mempertahankan kehidupan ikan maskoki hingga menghasilkan nilai

SR 100%. Ketika konsentrasi O2 di dalam kemasan tersebut tidak dikurangi

sedikit pun (berada pada konsentrasi normal), ternyata dapat memepertahankan

kehidupan ikan maskoki hingga menghasilkan nilai SR 100% selama 24 jam

(49)

4/

?/ 5/ *% ,

a. Busa yang digunakan sebagai media pengisi dalam pengemasan ikan maskoki

hidup, terbukti tidak berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan maskoki. Busa

tersebut diketahui memiliki daya serap air yang baik dan juga memiliki

densitas kamba yang kecil. Selain itu busa yang lembab tidak mengeluarkan

bau apa pun.

b. Efisiensi kemasan pada jenis kemasan rak biasa dan jenis kemasan rak berisi

udara, termasuk memiliki nilai efisiensi yang tinggi, yaitu kurang – lebih

sekitar 50%.

c. Suhu pingsan optimum untuk pemingsanan ikan maskoki dengan penurunan

suhu secara bertahap adalah pada suhu 60C.

d. Waktu pemingsanan optimum untuk pemingsanan ikan maskoki dengan

penurunan suhu secara bertahap adalah selama 8 jam.

e. Suhu penyimpanan optimum dalam transportasi ikan maskoki hidup sistem

kering adalah pada suhu 180C.

f. Penurunan konsentrasi O2optimum di dalam kemasan adalah konsentrasi O2

yang diturunkan 0% (kemasan dengan konsentrasi O221% (kontrol)).

g. Waktu transportasi (statis) optimum pada transportasi ikan maskoki hidup

sistem kering adalah selama 24 jam dengan kondisi sebagai berikut: suhu

pingsan ikan 60C, waktu pemingsanan secara bertahap selama 8 jam, suhu

penyimpanan 180C, dan konsentrasi O2di dalam kemasan 21%.

?/ / $

a. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut tetang rancangan kemasan yang murah

dan dapat mempertahankan sendiri suhu di dalamnya, sehingga tidak

Gambar

Tabel�12�di�bawah�ini.�

Referensi

Dokumen terkait

Adapun untuk topologi yang menggunakan Mikrotik , data yang didapatkan pada C lient ini lebih baik daripada kondisi tanpa Mikrotik. Dari data tersebut dapat diketahui

Untuk aspek fungsi informasi, maka Soal Matematika Ujian Sekolah Kelas XII IPA SMA Negeri di Watansoppeng memberi informasi yang maksimal jika dikenakan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan tentang “Pengaruh pendidikan kesehatan gosok gigi dengan metode bermain terhadap perilaku gosok gigi anak usia pra sekolah di TK

penguasaan (pemahaman, penghayatan, dan pengamalan) individu terhadap suatu nilai sebagai bagian yang melekat dari karakter pribadinya. Ukuran kualitas penguasaan

Melalui model Small Group Discussion siswa dapat mengidentifikasi alat pernafasan pada manusia, menjelaskan keguanaan alat pernafasan pada manusia dan penyakit

Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Triana Megawati Supomo (2014) hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara shift

DAN salah satu perkara yang paling saya tekankan di sini ialah mempelajari dengan mereka yang telah berjaya dan mampu tunjuk ajar anda ke arah yang lebih sukses dalam bidang

Pembinaan disiplin kerja mempunyai fungsi untuk membantu tenaga pendidik dan kependidikan di Pondok pesantren di kecamatan Bengkalis yang terdiri dari Pondok