HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN
KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA
MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
ASTRID INDI DWISTY ANWAR
051301007
FAKULTAS PSIKOLOGI
Hubungan antara Self-efficacy dengan Kecemasan Berbicara Di depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Univeristas Sumatera Utara
Astrid Indi Dwisty Anwar dan Rr. Lita Hadiati W. ABSTRAK
Kecemasan berbicara di depan umum merupakan salah satu ketakutan terbesar yang dialami oleh manusia. Kecemasan ini menghasilkan pengaruh yang negatif terhadap berbagai aspek kehidupan, salah satunya aspek akademis. Penanganan kecemasan antara satu individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi individu terhadap kemampuannya yang disebut self-efficacy (Sarafino, 1994). Self-efficacy akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan (Bandura, 1997)
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa.
Sampel penelitian ini adalah 184 orang mahasiswa Fakultas Psikologi USU. Penelitian ini menggunakan dua buah skala sebagai alat ukur, yaitu Skala Self-efficacy dan Skala Kecemasan berbicara di depan umum yang disusun sendiri oleh peneliti dalam bentuk Skala Likert berdasarkan aspek-aspek self-efficacy (Bandura, 1997) dan komponen kecemasan berbicara di depan umum (Rogers, 2004). Skala Self-efficacy nilai reliabilitas (rxx)=0.907 dan terdiri dari 39 aitem,
sedangkan Skala Kecemasan Berbicara Di Depan Umum nilai reliabilitas (rxx)=0.948 dan terdiri dari 52 aitem.
Analisa penelitian menggunakan korelasi Pearson Product Moment. Berdasarkan hasil analisa ditemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum dengan nilai r = -0,670, (0,01). Artinya semakin tinggi self-efficacy mahasiswa maka akan semakin rendah tingkat kecemasannya berbicara di depan umum, dan sebaliknya, semakin rendah self-efficacy mahasiswa maka tingkat kecemasan berbicara di depan umum akan semakin tinggi.
Relationship between self-efficacy and public speaking anxiety among students in Psychology Faculty of North Sumatera University
Astrid Indi Dwisty Anwar dan Rr. Lita Hadiati W. ABSTRACT
Public speaking anxiety is one of greater fear that human faced. This anxiety causes the negative influence for some aspects of life, one of them is academic aspect. The handling of the anxiety is different between one person to others depends on their individual assessment of their ability called self-efficacy (Sarafino, 1994). Self-efficacy will affect their way reacting to pressured situation (Bandura, 1997).
This research is a correlational research that aims to understand the correlation between self-efficacy and public speaking anxiety among student in Faculty of Psychology of Norh Sumatera University.
The subjects of this research were 184 students in Psychology Faculty of North Sumatera University. This research using two scale as a measuring tools, namely Self-efficacy Scale and Public Speaking Anxiety Scale organized by researcher based on the aspects that formed Self-efficacy (Bandura, 1997) and Public Speaking Anxiety (Rogers, 2004). The Self-efficacy Scale has a value of reliability (rxx)=0.907 and consist of 39 items, whereas the Public Speaking
Anxiety Scale reliability value is (rxx)=0.948 and consist of 52 items.
The analysed of research data using Pearson Product Moment correlation method. The result showed that there was a negative correlational between self-efficacy and public speaking anxiety with correlation coefficient r = -0,670, (0,01). It means the higher student’s self-efficacy then their public speaking anxiety level becomes lower, and on the contrary, lower student’s self-efficacy then they public speaking anxiety level becomes higher.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas ridha-Nya
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini
adalah ”Hubungan Antara Self-efficacy dengan KecemasanBerbicara di depan umum PadaMahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara”.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah Skripsi
di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Tidak dapat disangkal butuh
usaha yang keras, kegigihan dan kesabaran untuk menyelesaikannya. Namun
disadari, karya ini tidak akan selesai tanpa orang-orang tercinta di sekeliling
penulis yang telah mendukung dan membantu.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :
Keluarga penulis (Ayah, Mama, Bang Andrie, Ananda) yang telah
memberikan dukungan moril dan materil selama penulis menyelesaikan
skripsi ini.
Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi
Ibu Rr. Lita H. Wulandari, S.Psi., Psi, selaku dosen pembimbing skripsi.
Terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan bimbingan yang
telah diberikan kepada penulis
Ibu Dra. Josetta M. R. T., M.Si, selaku dosen pembimbing akademik.
Terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas kesabaran dan bimbingan,
serta dukungannya selama ini.
Ibu Desvi Yanti Mukhtar, M.Si., Psi, Ibu Filia Dina Anggaraeni, M.Pd.,
M.Psi, Psi, dan Kak Dian Ulfa Sari, M.Psi, Psi, selaku dosen Departemen
Psikologi Pendidikan.
Untuk dosen-dosen Psikologi USU atas semua ilmu yang telah diberikan,
mudah-mudahan ilmu ini dapat berguna dan dapat diterapkan dengan baik.
Untuk Sevi, Kinan, Roro, Raisa, Enni, Vicky, Mirna, Desti, dan Mitha,
yang selalu menemani, memberikan support, masukan, dan memberikan
semangat.
Untuk Teman-teman angkatan 2005 yang selalu memberikan dukungan
dan semangat.
Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah
dari Allah SWT. Akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih
jauh dari sempurna, karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Untuk itu
penulis dengan segala kerendahan hati mengharapkan saran dan kritik yang
sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan laporan penelitian ini.
Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang
terkait, lingkungan akademik Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Medan, serta para pembaca pada umumnya.
Medan, Desember 2009
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ... 1
B. Perumusan masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Sistematika Penelitian ... 9
BAB II LANDASAN TEORI A. Kecemasan Berbicara Di Depan Umum ... 11
1. Pengertian kecemasan berbicara di depan umum ... 11
2. Komponen kecemasan berbicara di depan umum ... 14
3. Faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum ... 15
B. Self-efficacy ... 18
3. Tahap perkembangan self-efficacy ... 21
4. Faktor yang mempengaruhi self-efficacy ... 22
5. Aspek-aspek self-efficacy ... 24
C. Mahasiswa ... 25
1. Pengertian mahasiswa ... 25
2. Mahasiswa Fakultas Psikologi USU ... 26
D. Hubungan Self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa fakultas psikologi USU ... 27
E. Hipotesa ... 29
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi variabel ... 30
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 30
C. Populasi dan Sampel ... 32
D. Metode pengambilan data ... 35
E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 39
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 45
1. Tahap Persiapan ... 45
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 46
G. Metoda Analisis Data ... 46
1. Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 48
2. Usia Subjek Penelitian ... 49
3. Stambuk Subjek Penelitian... 49
B. Hasil Penelitian ... 50
1. Uji Asumsi... 50
2. Hasil Analisa Data ... 53
C. Hasil Tambahan ... 58
1. Gambaran Skor self-efficacy berdasarkan jenis kelamin ... 58
2. Gambaran Skor Kecemasan berbicara di depan umum Berdasarkan jenis kelamin ... 59
3. Gambaran Skor Kecemasan berbicara di depan umum berdasarkan stambuk ... 60
D. Pembahasan ... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 67
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Jumlah Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara 27
Tabel 2 Blueprint Skala Kecemasan Berbicara di Depan Umum 37
Tabel 3 Blueprint Skala Self-efficacy 38
Tabel 4 Distribusi Aitem-aitem Skala Self-efficacy setelah
uji coba 41
Tabel 5 Distribusi Aitem-aitem Skala Self-efficacy pada
saat penelitian 42
Tabel 6 Distribusi Aitem-aitem Skala Kecemasan Berbicara
di Depan Umum setelah uji coba 43
Tabel 7 Distribusi Aitem-aitem Skala Kecemasan Berbicara
di Depan Umum pada saat penelitian 44
Tabel 8 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin 48
Tabel 9 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia 49
Tabel 10 Gambaran Subjek Berdasarkan Stambuk 50
Tabel 11 Normalitas Sebaran Variabel Self-efficacy dan
Kecemasan berbicara di depan umum 51
Tabel 12 Linearitas Hubungan Kedua Variabel 52
Tabel 13 Korelasi Pearson 54
Tabel 14 Gambaran Skor Empirik dan Hipotetik Self-efficacy 55
Tabel 16 Gambaran Skor Empirik dan Hipotetik Kecemsan
Berbicara di Depan Umum 57
Tabel 17 Kategorisasi Data Empirik Kecemasan Berbicara di
Depan Umum 57
Tabel 18 Gambaran Skor Self-efficacy Berdasarkan Jenis Kelamin 58
Tabel 19 Perbedaan Self-efficacy berdasarkan jenis kelamin 58
Tabel 20 Gambaran Skor Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Berdasarkan Jenis Kelamin 59
Tabel 21 Perbedaan Kecemasan Berbicara di depan umum
berdasarkan Jenis Kelamin 59
Tabel 22 Gambaran Skor Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Berdasarkan Stambuk 60
Tabel 23 Perbedaan Kecemasan Berbicara di Depan Umum
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Scatter Plot Self-efficacy dan Kecemasan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia pendidikan sangat erat kaitannya dengan komunikasi. Tidak ada
perilaku pendidikan yang tidak dilahirkan oleh proses komunikasi, baik komunikasi
verbal, nonverbal, maupun komunikasi melalui media pembelajaran. Bidang
pendidikan tidak akan bisa berjalan tanpa dukungan komunikasi (Jourdan dalam
Yusuf, 1990). Komunikasi menggambarkan bagaimana seseorang memahami,
melihat, mendengar, dan merasakan tentang dirinya (sense of self) serta
bagaimana cara individu tersebut berinteraksi dengan lingkungan, dari
mengumpulkan dan mempresentasikan informasi, hingga menyelesaikan konflik.
Berbicara, mendengar, dan kemampuan memahami media (media literacy)
merupakan tiga elemen dari komunikasi. Seorang mahasiswa diharapkan dapat
menjadi pembicara, pendengar, dan pelaku media (media participant) yang
kompeten dalam berbagai setting lingkungan, seperti dalam situasi personal dan
sosial, di dalam kelas, di tempat kerja, maupun sebagai anggota masyarakat. Di
dalam setting kelas pada khususnya, esensi dari proses belajar mengajar adalah
komunikasi, yang terdiri dari transaksi verbal dan nonverbal antara dosen dan
mahasiswa maupun antar mahasiswa (Connor, 1996).
Elliot, Kratochwill, Littlefield Cook & Travers, (2000) menyatakan bahwa
komunikasi memegang peranan dalam pemantapan pembelajaran dan perilaku
penyampaian instruksi, termasuk di dalamnya bertanya, memuji, dan umpan balik
individu. Selanjutnya, Arismunandar (2003) mengemukakan bahwa komunikasi
dan interaksi di dalam kelas sangat menentukan efektivitas dan mutu pendidikan.
Dosen yang menjelaskan, mahasiswa yang bertanya; berbicara dan mendengarkan
yang terjadi silih berganti, semuanya itu merupakan bagian penting dari
pendidikan.
Bertanya kepada dosen, mempresentasikan tugas, melakukan diskusi
kelompok, merupakan beberapa bentuk komunikasi yang dilakukan oleh
mahasiswa di dalam kelas, dimana mahasiswa tidak hanya berinteraksi dengan
dosen, tetapi juga dituntut untuk berbicara, mengemukakan pendapat dan
ide-idenya secara lisan di depan orang banyak. Demikian halnya pada mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU), dimana sebagai calon
psikolog, mahasiswa dituntut untuk memiliki kemampuan berbicara baik dalam
situasi personal maupun di depan umum, di samping keahlian mengungkapkan
pikirannya secara tertulis. Pada buku Panduan Perkuliahan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara (2008) juga disebutkan bahwa salah satu kompetensi
lulusan Sarjana Psikologi USU yang diharapkan adalah mampu berpikir kritis,
berkomunikasi lisan dan tulis, kepemimpinan, percaya diri, penelurusan informasi
berdasarkan perubahan yg terjadi serta mengembangkan diri sebagai penyelesai
masalah. Oleh karena itu, seorang mahasiswa jurusan psikologi seharusnya
memiliki kemampuan berbicara di depan umum yang baik.
Demi memenuhi tuntutan tersebut, metode pembelajaran di Fakultas
guna membiasakan mahasiswa berbicara di depan umum. Namun, tidak jarang
mahasiswa merasa cemas untuk mengungkapkan pikirannya secara lisan, baik
pada saat diskusi kelompok, bertanya pada dosen, maupun ketika harus berbicara
di depan kelas saat mempresentasikan tugas. Ketiga kegiatan tersebut menuntut
mahasiswa untuk berbicara di depan umum, dan ketika mahasiswa merasa cemas
saat melakukannya dapat dikatakan mahasiswa tersebut mengalami kecemasan
berbicara di depan umum yang merupakan salah satu bentuk dari hambatan
komunikasi (communication apprehension).
Burgoon dan Ruffner (dalam Dewi & Andrianto, 2003) menyatakan
communication apprehension sebagai suatu reaksi negatif dari individu berupa
kecemasan yang dialami individu ketika berkomunikasi, baik komunikasi antar
pribadi, komunikasi di depan umum maupun komunikasi masa. McCroskey
(dalam Byers dan Weber, 1995) mendefinisikan communication apprehension
sebagai tingkat kecemasan individu yang diasosiasikan dengan salah satu
komunikasi, baik komunikasi yang nyata ataupun komunikasi yang diharapkan
dengan individu lain maupun dengan orang banyak.
Motley (dalam Byers dan Weber, 1995) menegaskan bahwa ketakutan atau
kecemasan berbicara di depan umum, mungkin adalah bentuk communication
apprehension yang paling umum. Kecemasan berbicara di depan umum dikatakan
sebagai salah satu ketakutan terbesar yang dialami oleh warga Amerika. Motley
juga menyatakan bahwa sekitar 85 % dari kita mengalami kecemasan yang tidak
sampai 20 % mahasiswa Amerika, ketakutan ini melemahkan, dan sangat
mengganggu pekerjaan individu.
Selain itu, Flax (dalam Tilton, 2002) menegaskan bahwa berdasarkan
penelitian terakhir, masyarakat Amerika menggolongkan berbicara di depan
umum sebagai ketakutan terbesar mereka. Tilton (2002) menambahkan, dalam
kenyataannya, banyak individu yang menyatakan lebih takut untuk berbicara di
depan umum dibanding ketakutan lainnya seperti kesulitan ekonomi, menderita
suatu penyakit, bahkan ketakutan terhadap kematian.
Penelitian mengindikasikan bahwa seseorang yang memiliki tingkat
kecemasan berbicara yang tinggi biasanya tidak dianggap secara positif oleh
orang lain (McCroskey dalam Byers & Weber, 1995). Mereka dianggap tidak
responsif, tidak komunikatif, sulit untuk mengerti, tidak memiliki ketertarikan
sosial dan seksual, tidak kompeten, tidak dapat dipercaya, tidak berorientasi pada
tugas, tidak suka bergaul, tidak suka menjadi pemimpin dan tidak produktif dalam
kehidupan profesionalnya (Merrill; Mulac & Sherman; McCroskey & Richmond,
dalam Byers & Weber, 1995). Intinya adalah bahwa kecemasan berbicara
menghasilkan pengaruh yang negatif terhadap kehidupan ekonomi, akademis,
politik, dan sosial individu (McCroskey dalam Byers & Weber, 1995).
Hal senada juga disampaikan oleh Bandura (1997) bahwa individu yang
mengalami kecemasan menunjukkan ketakutan dan perilaku menghindar yang
sering mengganggu performansi dalam kehidupan mereka, begitu pula dalam
situasi akademis. Lebih lanjut, Elliot, dkk (2000) menyatakan bahwa mahasiswa
berbicara di depan orang banyak, dan kecemasan tersebut akan mempengaruhi
perfomansinya. Ericson dan Gardner (dalam Tussey, 2002) menambahkan bahwa
kecemasan terbukti menimbulkan banyak efek yang merugikan terhadap
mahasiswa di dalam kelas.
Kecemasan berbicara di depan umum yang terjadi pada diri individu bisa
disebabkan oleh berbagai macam hal. Menurut Geist (dalam Gunarsa, 2000)
kecemasan tersebut dapat bersumber dari berbagai hal seperti tuntutan sosial yang
berlebihan dan tidak mau atau tidak mampu dipenuhi oleh individu yang
bersangkutan, standar prestasi individu yang terlalu tinggi dengan kemampuan
yang dimilikinya seperti kekurangsiapan untuk menghadapi situasi yang ada, pola
berpikir, dan persepsi negatif terhadap situasi atau diri sendiri. Beberapa
penelitian bahkan menghubungkan kecemasan berbicara dengan karakteristik
individu. MacIntyre dan Thivierge misalnya, mereka menemukan bahwa ciri
umum ekstraversi, kestabilan emosi, dan intelektulitas secara signifikan
berhubungan dengan kecemasan berbicara di depan umum (dalam Roach, 1999).
Ketika merasa cemas ataupun ketika dihadapkan dengan situasi-situasi yang
menekan, individu akan mengalami gejala-gejala fisik maupun psikologis. Nevid,
dkk. (1997) menyatakan bahwa kecemasan berbicara di depan umum biasanya
ditandai dengan gejala fisik seperti tangan berkeringat, jantung berdetak lebih
cepat, dan kaki gemetaran. Gitomer dan Plourde (dalam Boyce, dkk. 2007)
menambahkan bahwa mual, berkeringat, lutut lemas, dan mulut kering adalah
simptom-simptom yang diasosiasikan dengan ketakutan saat berdiri di hadapan
Di samping itu, kecemasan berbicara di depan umum juga ditandai dengan
adanya gejala-gejala psikologis, seperti takut akan melakukan kesalahan, tingkah
laku yang tidak tenang, dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik (Matindas,
2003). Individu yang merasa cemas baik secara psikis maupun biologis, dalam
dirinya akan terjadi gangguan antisipasi atau harapan pada masa yang akan
datang. Keadaan ini ditandai dengan adanya rasa khawatir, gelisah, dan perasaan
akan terjadi sesuatu hal yang tidak menyenangkan dan individu menjadi tidak
mampu menemukan penyelesaian terhadap masalahnya (Hurlock, 1997).
Penanganan kecemasan antara satu individu dengan individu lainnya dapat
berbeda tergantung pada penilaian pribadi individu terhadap kemampuan yang
dimilikinya yang disebut dengan self-efficacy (Sarafino, 1994). Bandura (1997)
mendefiniskan self-efficacy sebagai keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai
situasi dan memperoleh hasil yang positif. Penilaian seseorang terhadap
self-efficacy memainkan peranan besar dalam hal bagaimana seseorang melakukan
pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas, dan tantangan.
Ketika menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini berbicara di depan
umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka (self-efficacy) akan
mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan
(Bandura, 1997). Menurut Prakosa (1996) keyakinan terhadap diri sendiri sangat
diperlukan oleh pelajar ataupun mahasiswa. Keyakinan ini akan mengarahkan
kepada pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta keuletan individu. Keyakinan
yang didasari oleh batas-batas kemampuan yang dirasakan akan menuntut kita
Tingginya self-efficacy yang dimiliki akan memotivasi individu secara
kognitif untuk bertindak lebih bertahan dan terarah terutama apabila tujuan yang
hendak dicapai merupakan tujuan yang jelas. Tidak mengherankan apabila
ditemukan hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan prestasi dan
perfomansi individu tersebut (Bandura, 1997).
Lebih lanjut, Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy berguna untuk
melatih kontrol terhadap stressor, yang berperan penting dalam keterbangkitan
kecemasan. Individu yang percaya bahwa mereka mampu mengadakan kontrol
terhadap ancaman tidak mengalami keterbangkitan kecemasan yang tinggi.
Sebaliknya mereka yang percaya bahwa bahwa mereka tidak dapat mengatur
ancaman, mengalami keterbangkitan kecemasan yang tinggi.
Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Feist & Feist (2002), bahwa
ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau
tingkat stress yang tinggi, maka biasanya mereka mempunyai self-efficacy yang
rendah. Sementara mereka yang memiliki self-efficacy yang tinggi merasa mampu
dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menganggap
ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan
berbicara di depan umum pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
B. Identifikasi Permasalahan
Rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
Apakah terdapat hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di
depan umum pada mahasiswa Fakultas Psikologi USU.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan
kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa Fakultas Psikologi USU.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu, khususnya
dalam bidang psikologi pendidikan mengenai hubungan antara sef-efficacy
dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa.
2. Manfaat praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:
a. Pihak fakultas dapat mengetahui tingkat self-efficacy dan tingkat kecemasan
berbicara di depan umum pada mahasiswa di Fakultas Psikologi USU. Hal
ini berguna dalam memberikan pembinaan pada mahasiswa dalam
mengembangkan self-efficacy dan mengurangi kecemasan berbicara di depan
b. Penelitian ini berguna sebagai input bagi mahasiswa tentang self-efficacy dan
kecemasan berbicara di depan umum, sehingga diharapkan dapat
dimanfaatkan dalam pengembangan diri mahasiswa terutama dalam
meningkatkan self-efficacy dan mengurangi kecemasan berbicara di depan
umum.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab I terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II : Landasan Teori
Bagian II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam
pembahasan masalah serta hipotesa. Teori-teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori kecemasan dalam berbicara di
depan umum dan teori self-efficacy.
BAB III : Metode Penelitian
Bab III berisi uraian yang menjelaskan tentang identifikasi variabel
penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan
sampel, instrumen/alat ukur yang digunakan, validitas dan
analisis data untuk melakukan pengujian hipotesis yang digunakan
oleh peneliti dalam penelitian.
BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data
Bab IV berisi uraian gambaran subjek penelitian, hasil penelitian,
dan deskripsi data penelitian.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab V berisi uraian mengenai kesimpulan hasil penelitian, serta
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kecemasan Berbicara Di Depan Umum
1. Pengertian kecemasan berbicara di depan umum
Dalam kamus istilah psikologi, Chaplin (2000) mendefinisikan kecemasan
sebagai perasaan campuran berisi ketakutan dan keprihatinan mengenai rasa-rasa
mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Daradjat (1969)
menjelaskan kecemasan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi yang
bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan
(frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Ada beberapa jenis rasa cemas, yaitu
cemas akibat mengetahui ada bahaya yang mengancam dirinya, rasa cemas berupa
penyakit yang dapat mempengaruhi keseluruhan diri pribadi. Selanjutnya, rasa
cemas karena perasaan berdosa atau bersalah yang nantinya dapat menyertai
gangguan jiwa.
Sementara itu, menurut Lazarus (1976) kecemasan mempunyai dua arti,
yaitu:
a. Kecemasan sebagai respon, digambarkan sebagai suatu pengalaman yang
dirasakan tidak menyenangakan serta diikuti dengan suasana gelisah,
bingung, khawatir dan takut. Bentuk kecemasan ini dibedakan menjadi dua,
(1) State anxiety, merupakan gejala kecemasan yang sifatnya tidak menetap pada
diri individu ketika dihadapkan pada situasi tertentu, gejala ini akan tampak
selama situasi tersebut masih ada.
(2) Trait anxiety, kecemasan yang tidak tampak langsung dalam tingkah laku
tetapi dapat dilihat frekuensi dan intensitas keadaan kecemasan individu
sepanjang waktu, merupakan kecemasan yang sifatnya menetap pada diri
individu dan timbul dari pengalaman yang tidak menyenangkan pada awal
kehidupan. Kecemasan tersebut berhubungan dengan kepribadian individu
yang merupakan disposisi pada individu untuk menjadi cemas.
b. Kecemasan sebagai intervening variable, disini kecemasan lebih mempunyai
arti sebagai motivating solution, artinya situasi kecemasan tersebut dapat
mendorong individu agar dapat mengatasi masalah.
Sementara itu, Nevid, dkk. (1997) menganggap kecemasan sebagai suatu
keadaan takut atau perasaan tidak enak yang disebabkan oleh banyak hal seperti
kesehatan individu, hubungan sosial, ketika hendak menjalankan ujian sekolah,
masalah pekerjaan, hubungan internal dan lingkungan sekitar. Lebih lanjut,
Hudaniah dan Dayakisni (2003) menyatakan bahwa pada umumnya kecemasan
berwujud ketakutan kognitif, keterbangkitan syaraf fisiologis dan suatu
pengalaman subjektif dari ketegangan atau kegugupan. Beberapa individu juga
mengalami perasaan tidak nyaman dengan kehadiran orang lain, biasanya disertai
dengan perasaan malu yang ditandai dengan kekakuan, hambatan dan
kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial. Keadaan individu yang seperti
Salah satu bentuk kecemasan yang sering terjadi adalah kecemasan dalam hal
berkomunikasi. Burgoon dan Ruffner (dalam Dewi & Andrianto, 2003)
mendefinisikan communication apprehension sebagai suatu reaksi negatif dari
individu berupa kecemasan yang dialami individu ketika berkomunikasi, baik
komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum maupun komunikasi masa.
Pada penelitian kali ini penulis akan menekankan pada kecemasan berbicara di
depan umum.
Selanjutnya, McCroskey (1984) menyebutkan ada empat jenis
Communication Apprehension (CA), yaitu CA as a trait, CA in generalized
context, CA with generalized people, CA as a state. Kecemasan berbicara di depan
umum termasuk dalam jenis CA in generalized context, dimana individu
mengalami kecemasan berbicara saat berada pada satu situasi tertentu, tapi tidak
pada situasi lainnya.
McCroskey menambahkan, beberapa individu mengalami kecemasan hanya
pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari kondisi komunikasi yang
menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator. Penekanannya adalah bahwa
fenomena kecemasan berbicara di depan umum berpusat pada pembicara. Konteks
yang paling banyak ditemui adalah berbicara di depan umum (Public Speaking),
misalnya memberikan pidato, presentasi di depan kelas, pada saat pertemuan atau
meeting. Individu akan mengalami kecemasan ketika mulai membayangkan
sampai berlangsungnya pengalaman berbicara di depan umum.
Sejalan dengan itu, Beaty (Opt & Loffredo, 2000) juga menyebut kecemasan
menjelaskan bahwa kecemasan berbicara di depan umum merupakan bentuk dari
perasaan takut atau cemas secara nyata ketika berbicara di depan orang-orang
sebagai hasil dari proses belajar sosial.
Terdapat perbedaan antara berbicara di depan umum dengan pembicaraan
biasa, pada konteks pembicaraan biasa individu merasa aman untuk
menyampaikan pikiran-pikirannya. Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
pembicaraan biasa adalah adanya proses memberi dan menerima, proses
komunikasi dua arah (dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum, begitu
individu mulai berbicara di depan umum, secara otomatis individu tersebut
menjadi pemimpin dan memegang kendali penuh dari banyak orang. Proses
komunikasi berubah menjadi satu arah (monolog). Ketakutan dan kecemasan
berbicara di depan umum ditandai dengan perasaan gelisah dan perasaan tertekan
(Rogers, 2004).
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara
di depan umum adalah suatu keadaaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap
pada diri individu, baik ketika membayangkan maupun pada saat berbicara di
depan orang banyak. Hal ini akan ditandai dengan reaksi fisik dan psikologis.
2. Komponen kecemasan berbicara di depan umum
Rogers (2004) membagi komponen kecemasan berbicara di depan umum
menjadi tiga, yaitu :
a. Komponen fisik yang biasanya dirasakan jauh sebelum memulai
contoh gejala fisik yang dimaksud adalah detak jantung yang semakin cepat,
suara yang bergetar, kaki gemetar, kejang perut, sulit untuk bernafas dan
hidung berlendir.
b. Komponen proses mental, misalnya : sering mengulang kata atau kalimat,
hilang ingatan secara tiba-tiba sehingga sulit untuk mengingat fakta secara
tepat dan melupakan hal-hal yang sangat penting. Selain itu juga
tersumbatnya pikiran sehingga membuat individu yang sedang berbicara tidak
tahu apa yang harus diucapkan selanjutnya.
c. Komponen emosional, yang termasuk dalam komponen emosional adalah
adanya rasa tidak mampu, rasa takut yang biasa muncul sebelum individu
tampil dan rasa kehilangan kendali. Biasanya secara mendadak muncul rasa
tidak berdaya seperti anak yang tidak mampu mengatasi masalah, munculnya
rasa panik dan rasa malu setelah berakhirnya pembicaraan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bawah komponen
kecemasan berbicara di depan umum terdiri dari komponen fisik, komponen
proses mental, dan komponen emosional.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum
Kecemasan berbicara di depan umum dipengaruhi oleh berbagai macam hal.
Beberapa penelitian menghubungkan kecemasan berbicara dengan karakteristik
kepribadian individu. MacIntyre dan Thivierge (dalam Roach, 1999) misalnya,
secara signifikan berhubungan dengan kecemasan berbicara di depan umum.
Weaver, Sarget, dan Kiewitz juga menemukan hubungan antara tipe kepribadian
(Tipe A dan Tipe B) dengan kecemasan berbicara, dimana dilaporkan bahwa
individu Tipe A memiliki tingkat kecemasan berbicara yang lebih rendah
dibandingkan dengan individu Tipe B (dalam Roach, 1999).
Rogers (2004) meyakini bahwa yang sangat berpengaruh terhadap kecemasan
berbicara di depan umum adalah pola pikir yang keliru. Seseorang yang hendak
berbicara di depan umum berpikir bahwa dirinya sedang “diadili”, merasa bahwa
penampilan dan gerak-gerik dan ucapannya sedang menjadi perhatian banyak
orang. Sama halnya dengan pendapat Rahayu, dkk (2004) yang menyatakan
bahwa kecemasan berbicara di depan umum bukan disebabkan oleh
ketidakmampuan individu, tetapi disebabkan pada pikiran-pikirannya yang negatif
dan tidak rasional. Hasil penelitiannya yang dilakukan pada mahasiswa
Universitas Islam Negeri Malang juga menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara pola pikir positif dengan kecemasan berbicara di depan umum.
Maksudnya semakin tinggi pola pikir positif seseorang maka semakin rendah
kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin rendah pola pikir
positifnya maka semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum.
Pada bukunya yang berjudul “Human Communication”, Burgoon dan Ruffner
(dalam Dewi & Andrianto, 2003) menyebutkan adanya satu faktor yang
menyebabkan kecemasan berbicara di depan umum, yaitu kurangnya pengalaman
atau adanya pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan individu. Hal
negatif terhadap dirinya dan kemudian menghindari bicara di depan umum.
Individu meyakini bahwa kejadian yang buruk akan terjadi. Meskipun pada
kenyataannya tidak semua pikirannya akan menjadi kenyataan (McCroskey,
1984).
Faktor lain yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum adalah
citra raga individu (Triana, 2005). Hasil penelitian yang dilakukan pada
mahasisiwa Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa semakin positif citra
raga individu maka semakin rendah kecemasannya dalam berbicara di depan
umum. Sebaliknya semakin negatif citra raga individu, maka kecemasan berbicara
di depan umum semakin tinggi.
Sejalan dengan penelitian Triana (2005), Matindas (2003) memandang
keyakinan atau kepercayaan diri seseorang sangat berpengaruh terhadap
kecemasannya berbicara di depan umum. Ketidakyakinan yang muncul dalam
bentuk rasa takut atau cemas menandakan adanya ketegangan yang sangat besar
dalam dirinya. Ketegangan inilah yang menyebabkan tersumbatnya memori atau
terganggunya kemampuan mengingat, keluar keringat dingin, dan jantung
berdebar.
Menurut Geist (dalam Gunarsa, 2000) kecemasan tersebut dapat bersumber
dari berbagai hal seperti tuntutan sosial yang berlebihan dan tidak mau atau tidak
mampu dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, standar prestasi individu yang
terlalu tinggi dengan kemampuan yang dimilikinya seperti kekurangsiapan untuk
menghadapi situasi yang ada, pola berpikir, dan persepsi negatif terhadap situasi
Selain faktor-faktor di atas, perbedaan jenis kelamin juga telah menjadi fokus
dalam beberapa penelitian mengenai kecemasan berbicara di depan umum. Elliot
dan Chong (2004) menyebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum
dimana wanita memiliki tingkat kecemasan berbicara yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pria.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum antara lain adalah pola pikir
yang keliru, pengalaman individu, citra diri individu, jenis kelamin, dan
keyakinan atau kepercayaan diri seseorang.
B. Self-Efficacy
1. Pengertian self-efficacy
Self-efficacy adalah keyakinan yang dipegang seseorang tentang
kemampuannya dan juga hasil yang akan ia peroleh dari kerja kerasnya
mempengaruhi cara mereka berperilaku (Bandura, 1977). Dalam teori sosial
kognitif, Bandura (1986) menyatakan bahwa self-efficacy ini membantu seseorang
dalam menentukan pilihan, usaha mereka untuk maju, kegigihan dan ketekunan
yang mereka tunjukkan dalam menghadapi kesulitan, dan derajat kecemasan atau
ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas yang
mencakupi kehidupan mereka. Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa
self-efficacy merupakan keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan
self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan
kita dalam mengatasi kehidupan.
Baron dan Byrne (2000) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan
penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan
suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Sedangkan, Feist
& Feist (2002) menyatakan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa
mereka memiliki kemampuan dalam mengadakan kontrol terhadapa pekerjaan
mereka terhadap peristiwa lingkungan mereka sendiri.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy
merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang
dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang ia hadapi,
sehingga mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya.
2. Klasifikasi self-efficacy
Secara garis besar, self-efficacy terbagi atas dua bentuk yaitu self-efficacy
yang tinggi dan self-efficacy yang rendah. Dalam mengerjakan suatu tugas,
individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan cenderung memilih terlibat
langsung, sementara individu yang memiliki self-efficacy rendah cenderung
menghindari tugas tersebut.
Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung mengerjakan
suatu tugas tertentu, sekalipun tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang sulit.
Mereka tidak memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka
mendalam terhadap suatu aktivitas, mengembangkan tujuan, dan berkomitmen
dalam mencapai tujuan tersebut. Mereka juga meningkatkan usaha mereka dalam
mencegah kegagalan yang mungkin timbul. Mereka yang gagal dalam
melaksanakan sesuatu, biasanya cepat mendapatkan kembali self-efficacy mereka
setelah mengalami kegagalan tersebut (Bandura, 1997).
Individu yang memiliki self-efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai
akibat dari kurangnya usaha yang keras, pengetahuan, dan keterampilan. Individu
yang ragu akan kemampuan mereka (self-efficacy yang rendah) akan menjauhi
tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut dipandang sebagai ancaman bagi
mereka. Individu seperti ini memiliki aspirasi yang rendah serta komitmen yang
rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau mereka tetapkan. Ketika
menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka sibuk memikirkan
kekurangan-kekurangan diri mereka, gangguan-gangguan yang mereka hadapi, dan semua
hasil yang dapat merugikan mereka. Individu yang memiliki self-efficacy yang
rendah tidak berpikir tentang bagaimana cara yang baik dalam menghadapi
tugas-tugas yang sulit. Saat menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka mengurangi
usaha-usaha mereka dan cepat menyerah. Mereka juga lamban dalam membenahi
ataupun mendapatkan kembali self-efficacy mereka ketika menghadapi kegagalan
(Bandura, 1997).
Dari hal-hal di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa individu yang memiliki
self-efficacy tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Dapat menangani secara efektif situasi yang mereka hadapi.
c. Ancaman dipandang sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.
d. Gigih dalam berusaha.
e. Percaya pada kemampuan diri yang dimiliki.
f. Hanya sedikit menampakkan keragu-raguan.
g. Suka mencari situasi baru.
Individu yang memiliki self-efficacy rendah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Lamban dalam membenahi atau mendapatkan kembali self-efficacy ketika
menghadapi kegagalan.
b. Tidak yakin dapat menghadapi rintangan.
c. Ancaman dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari.
d. Mengurangi usaha dan cepat menyerah.
e. Ragu pada kemampuan diri yang dimiliki.
f. Tidak suka mencari situasi baru.
g. Aspirasi dan komitmen pada tugas lemah.
3. Tahap perkembangan self-efficacy
Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy berkembang secara teratur.
Bayi mulai mengembangkan self-efficacy sebagai usaha untuk melatih pengaruh
lingkungan fisik dan sosial. Mereka mulai mengerti dan belajar mengenai
kemampuan dirinya, kecakapan fisik, kemampuan sosial, dan kecakapan
berbahasa yang hampir secara konstan digunakan dan ditujukan pada lingkungan.
Awal dari pertumbuhan self-efficacy dipusatkan pada orang tua kemudian
Self-efficacy pada masa dewasa meliputi penyesuaian pada masalah
perkawinan dan peningkatan karir. Sedangkan self-efficacy pada masa lanjut usia,
sulit terbentuk sebab pada masa ini terjadi penurunan mental dan fisik, pensiun
kerja, dan penarikan diri dari lingkungan sosial.
Berdasarkan hal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tahap perkembangan
self-efficacy dimulai dari masa bayi, kemudian berkembang hingga masa dewasa
sampai pada masa lanjut usia.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy
Bandura (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
self-efficacy pada diri individu antara lain :
a. Budaya
Budaya mempengaruhi self-efficacy melalui nilai (values), kepercayaan
(beliefs), dan proses pengaturan diri (self-regulatory process) yang berfungsi
sebagai sumber penilaian self-efficacy dan juga sebagai konsekuensi dari
keyakinan akan self-efficacy.
b. Gender
Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap self-efficacy. Hal ini dapat
dilihat dari penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa wanita lebih
efikasinya yang tinggi dalam mengelola perannya. Wanita yang memiliki
peran selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai wanita karir akan
memiliki self-efficacy yang tinggi dibandingkan dengan pria yang bekerja.
Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan
mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan dirinya
sendiri. Semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka
akan semakin rendah individu tersebut menilai kemampuannya. Sebaliknya,
jika individu dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan
semakin tinggi individu tersebut menilai kemampuannya.
d. Insentif eksternal
Faktor lain yang dapat mempengaruhi self-efficacy individu adalah insentif
yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat
meningkatkan self-efficacy adalah competent contingens incentive, yaitu
insentif yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan
seseorang.
e. Status atau peran individu dalam lingkungan
Individu yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat
kontrol yang lebih besar sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga tinggi.
Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah akan memiliki
kontrol yang lebih kecil sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga rendah.
f. Informasi tentang kemampuan diri
Individu akan memiliki self-efficacy tinggi, jika ia memperoleh informasi
positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki self-efficacy
yang rendah, jika ia memperoleh informasi negatif mengenai dirinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
dihadapi, insentif eksternal, status dan peran individu dalam lingkungan, serta
informasi tentang kemampuan dirinya.
5. Aspek-aspek self-efficacy
Menurut Bandura (1997) terdapat tiga aspek dari self-efficacy pada diri
manusia, yaitu :
a. Tingkatan (Level)
Adanya perbedaan self-efficacy yang dihayati oleh masing-masing individu
mungkin dikarenakan perbedaan tuntutan yang dihadapi. Tuntutan tugas
merepresentasikan bermacam-macam tingkat kesulitan atau kesukaran untuk
mencapai perfomansi optimal. Jika halangan untuk mencapai tuntutan itu
sedikit, maka aktivitas lebih mudah untuk dilakukan, sehingga kemudian
individu akan memiliki self-efficacy yang tinggi.
b. Keadaan Umum ( Generality)
Individu mungkin akan menilai diri merasa yakin melalui bermacam-macam
aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi tertentu. Keadaan umum bervariasi
dalam jumlah dari dimensi yang berbeda-beda, diantaranya tingkat kesamaan
aktivitas, perasaan dimana kemampuan ditunjukkan (tingkah laku, kognitif,
afektif), ciri kualitatif situasi, dan karakteristik individu menuju kepada siapa
perilaku itu ditujukan. Pengukuran berhubungan dengan daerah aktivitas dan
konteks situasi yang menampakkan pola dan tingkat generality yang paling
c. Kekuatan (Strength)
Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini
seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinannya pula.
Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan mereka akan
teguh dalam berusaha untuk mengenyampingkan kesulitan yang dihadapi.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tiga aspek
self-efficacy yaitu level (tingkat kesulitan tugas), generality (keadaan umum suatu
tugas), dan strength (kekuatan atau keyakinan seseorang dalam menyelesaikan
tugas) .
C. Mahasiswa
1. Pengertian mahasiswa
Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan
tinggi tertentu (Basir, 1992). Menurut Winkel (1997) masa mahasiswa meliputi
rentang umur 18/19 tahun sampai 24/25 tahun. Rentang umur mahasiswa ini
masih dapat dibagi atas periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa
dari semester 1 sampai dengan semester IV, dan periode 21/22 tahun sampai
24/25 tahun, yaitu mahasiswa semester V sampai dengan semester VIII.
2. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara adalah mereka
yang terdaftar dan belajar di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara (2008) ditegaskan bahwa kompetensi lulusan Sarjana
Psikologi Universitas Sumatera Utara yang diharapkan adalah :
a. Mampu menguasai konsep-konsep umum, perspektif umum, hasil-hasil
penelitian empiris, dan sebagainya dalam bidang psikologi
b. Mampu menguasai penelitian dasar, memiliki keterampilan wawancara,
observasi, desain penelitian mengenai skala, alat ukut psikologi dan
sejenisnya, dan mampu melakukan analisis baik dalam bentuk metode
kuantitatif maupun kualitatif
c. Mampu menguasai prinsip psikodiagnostik dasar serta mampu melakukan
pengamatan secara obyektif dan sistematis mengenai bakat, minat, dan
kepribadian
d. Mampu melakukan intervensi dalam bidang non klinis dan pelatihan
e. Mampu membangun hubungan yang konstruktif supaya memiliki
keterampilan dan menjaga hubungan interpersonal dan mengkomunikaskan
apa yang dimiliki
f. Mampu beretika dalam memberikan pelayanan kepada individu dan
kelompok, memahami perbedaan dan tidak membeda-bedakan
g. Mampu berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan tulis, kepemimpinan, percaya
diri, penelusuran informasi berdasarkan perubahan yang terjadi serta
mengembangkan diri sebagai penyelesai masalah.
Jumlah mahasiswa Fakultas Psikologi USU saat ini mencapai 515 orang yang
terdiri dari dari angkatan 2003 sampai dengan 2009. Perincian jumlah mahasiswa
Tabel 1. Jumlah Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Angkatan Jumlah
2003 1
2004 20
2005 76
2006 102
2007 116
2008 102
2009 98
TOTAL : 515
Dari pemaparan di atas disebutkan bahwa seorang lulusan Sarjana Psikologi
Universitas Sumatera Utara yang diharapkan salah satunya adalah yang mampu
berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan tulis, kepemimpinan, percaya diri,
penelusuran informasi berdasarkan perubahan yang terjadi serta mengembangkan
diri sebagai penyelesai masalah. Oleh karena itu, seorang mahasiswa jurusan
psikologi diharapkan memiliki kemampuan berbicara di depan umum yang baik.
D. Hubungan Antara Self-Efficacy Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Sebagai calon lulusan Sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara dan
sebagai calon psikolog, setiap mahasiswa diharapkan mampu berkomunikasi
metode pembelajaran di Fakultas Psikologi USU kebanyakan menggunakan
sistem diskusi kelompok dan presentasi guna membiasakan mahasiswa berbicara
di depan umum. Namun, tidak jarang mahasiswa merasa cemas untuk
mengungkapkan pikirannya secara lisan, baik pada saat diskusi kelompok,
bertanya pada dosen, maupun ketika harus berbicara di depan kelas saat
mempresentasikan tugas. Dalam hal penanganan kecemasan ini, antara satu
individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi
individu terhadap kemampuan yang dimilikinya yang disebut dengan self-efficacy
(Sarafino, 1994)
Ketika menghadapi situasi yang menekan, dalam hal ini berbicara di depan
umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka (self-efficacy) akan
mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi tersebut (Bandura,
1997). Menurut Bandura, self-efficacy berguna untuk melatih kontrol terhadap
stressor yang berperan penting dalam keterbangkitan kecemasan. Individu yang
percaya bahwa mereka mampu mengadakan kontrol terhadap ancaman tidak
mengalami keterbangkitan kecemasan yang tinggi. Sebaliknya mereka yang
percaya bahwa bahwa mereka tidak dapat mengatur ancaman, mengalami
keterbangkitan kecemasan yang tinggi. Pendapat yang sama dikemukakan juga
oleh Feist & Feist (2002), bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang
tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stress yang tinggi, maka biasanya
mereka mempunyai self-efficacy yang rendah. Sementara mereka yang memiliki
self-efficacy yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam
tidak perlu dihindari. Dengan kata lain, semakin tinggi self-efficacy seseorang,
maka tingkat kecemasannya ketika berbicara di depan umum semakin rendah,
begitu pula sebaliknya.
Bandura (1997) berasumsi bahwa harapan mengenai kemampuan untuk
melakukan tindakan yang diperlukan itu menentukan apakah orang yang
bersangkutan akan berusaha untuk melakukannya, seberapa tekun ia
melakukannya, dan pada akhirnya akan menentukan seberapa keberhasilan yang
akan diperolehnya, jika ia memang memiliki kemampuan insentif yang layak. Hal
ini juga sesuai dengan pendapat Lent (1991) bahwa keyakinan yang kuat dalam
diri untuk mencapai performansi yang diharapkan akan memberi dorongan dan
kekuatan pada diri individu itu sendiri. Selain itu, Myers (1996) menambahkan
bahwa individu dengan self-efficacy yang tinggi tidak mudah mengalami depresi
dan kecemasan serta memiliki pola hidup yang terfokus, sehingga dapat hidup
lebih sehat dan sukses dalam bidang akademis.
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini yaitu ada hubungan antara negatif antara
self-efficacy dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa Fakultas
Psikologi USU. Semakin tinggi self-efficacy maka tingkat kecemasan berbicara di
depan umum semakin rendah. Sebaliknya, semakin rendah self-efficacy maka
BAB III
METODE PENELITIAN
Unsur yang paling penting di dalam suatu penelitian adalah metode
penelitian, karena melalui proses tersebut dapat ditentukan apakah hasil dari suatu
penelitian dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2000). Penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif yang bersifat korelasional, yang bertujuan untuk
untuk melihat hubungan antara satu varibel dengan variabel lain. Pembahasan
dalam penelitian ini meliputi identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional
variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, metode
pengambilan data, validitas dan reliabilitas, dan metode analisis data.
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Identifikasi variabel penelitian digunakan untuk menguji hipotesa penelitian.
Dalam penelitian ini, variabel-variabel yang digunakan yaitu :
1. Variabel terikat : Kecemasan berbicara di depan umum
2. Variabel bebas : Self-efficacy
B. Definisi Operasional
1. Kecemasan berbicara di depan umum
Kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman
yang sifatnya tidak menetap pada diri individu, baik ketika membayangkan
depan yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini adalah kecemasan yang terjadi
pada individu ketika melakukan presentasi di depan kelas.
Kecemasan berbicara di depan umum diukur dengan menggunakan skala
kecemasan berbicara di depan umum yang disusun berdasarkan
komponen-komponen kecemasan berbicara di depan umum yang dikemukakan oleh Rogers
(2004), yaitu komponen fisik, komponen proses mental, dan komponen
emosional. Semakin tinggi nilai yang diperoleh dari skala kecemasan berbicara di
depan umum berarti semakin tinggi pula kecemasan berbicara yang dimiliki dan
sebaliknya semakin rendah nilai yang diperoleh dari skala kecemasan berbicara di
depan umum menunjukkan semakin rendah pula kecemasan berbicara yang
dimiliki.
2. Self-efficacy
Self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap
kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang
dihadapinya sehingga dapat mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang
diharapkannya.
Self-efficacy diukur dengan menggunakan skala self-efficacy yang disusun
berdasarkan aspek-aspek self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997),
yaitu tingkat (Level/Magnitude), keadaan umum (generality), dan kekuatan
(strength). Semakin tinggi nilai yang diperoleh dari skala self-efficacy berarti
nilai yang diperoleh dari skala self-efficacy menunjukkan semakin rendah pula
self-efficacy yang dimiliki.
C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan sampel
Dalam penelitian masalah populasi dan sampel yang dipakai merupakan
salah satu faktor yang harus diperhatikan. Populasi adalah sejumlah individu yang
paling sedikit memiliki sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian
ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki
penulis maka subjek penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan
populasi yang dinamakan sampel. Sampel merupakan sebagian dari populasi atau
sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi. Sampel
sedikitnya harus memiliki satu sifat yang sama dengan populasi (Hadi, 2000).
Selain itu, Hadi juga menambahkan bahwa syarat utama agar hasil penelitian
dapat digeneralisasikan maka sebaiknya sampel penelitian harus benar-benar
mencerminkan keadaan populasinya atau dengan kata lain harus benar-benar
representatif.
Adapun karakteristik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Mahasiswa Fakultas Psikologi USU angkatan 2005 s/d 2008
Burgoon dan Ruffner (dalam Dew i & Andrianto, 2003) menyebutkan bahwa
pengalaman individu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
tingkat perkuliahan seorang mahasiswa Fakultas Psikologi USU maka
pengalaman berbicara di depan umum (dalam hal ini melakukan presentasi di
depan kelas) akan semakin banyak. Dengan kata lain angkatan atau stambuk
dapat mewakili pengalaman individu dalam melakukan presentasi. Mengingat
mahasiswa angkatan 2009 baru mengikuti kegiatan perkuliahan selama satu
semester dimana pengalaman melakukan presentasi di depan kelas belum
terlalu banyak, dan untuk menghindari kesenjangan yang terlalu tinggi
dengan angkatan-angkatan di atasnya, maka peneliti membatasi subjek
penelitiannya hanya dari mahasiswa angkatan 2005 sampai dengan 2008 saja.
b. Masih aktif dalam perkuliahan/tidak sedang dalam masa Penundaan Kegiatan
Akademik (PKA)
2. Metode pengambilan sampel
Metode pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil
sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang
sesuai dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh
sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Hadi, 2000).
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
nonprobability sampling, yaitu teknik pengembilan sampel yang tidak memberi
peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk
dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2007). Teknik nonprobability sampling yang
digunakan adalah teknik sampling purposive, yaitu teknik penentuan sampel
peneliti tidak mengambil sampel dari setiap angkatan mahasiswa Fakultas
Psikologi USU yang masih aktif yaitu dari angkatan 2003 sampai dengan 2009,
namun peneliti hanya mengambil sampel dari angkatan 2005, 2006, 2007, dan
2008 saja. Peneliti mempertimbangkan beberapa hal dalam pengambilan sampel
ini. Sampel dari angkatan 2003 dan 2004 tidak diambil karena alasan terlalu
sedikitnya jumlah mahasiswa dan kesulitan untuk menemui mahasiswa dari
angkatan tersebut. Angkatan 2009 tidak diikutsertakan karena mengingat
mahasiswa angkatan 2009 baru mengikuti kegiatan perkuliahan selama satu
semester dimana pengalaman melakukan presentasi di depan kelas belum terlalu
banyak, dan untuk menghindari kesenjangan yang terlalu tinggi dengan
angkatan-angkatan di atasnya, maka peneliti membatasi subjek penelitiannya hanya dari
mahasiswa angkatan 2005 sampai dengan 2008 saja.
3. Jumlah sampel penelitian
Azwar (2007) menyatakan bahwa secara tradisional, statistik menganggap
jumlah sampel yang lebih dari 60 orang sudah cukup banyak. Sampel dalam
penelitian ini adalah 184 orang. Pengambilan jumlah sampel mengacu pada tabel
Nomogram Herry King dengan taraf kesalahan 5%. Jumlah mahasiswa dari
angkatan 2005 sampai dengan 2008 adalah 416 orang. Taraf kesalahan 5% berarti
interval kepercayaannya adalah 95%, sehingga faktor pengalinya adalah 1,195.
Dengan melihat nomogram Herry King tersebut, maka dari angka 416 ditarik
kurang lebih ada di titik 37. Maka jumlah sampel yang diambil adalah 0,37 x 416
x 1,195 = 183,9 dibulatkan menjadi 184 orang.
D. Metode Pengambilan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah melalui
metode skala. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa
konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui
indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan
(Azwar, 2000).
Menurut Hadi (2002), skala psikologis mendasarkan diri pada laporan–
laporan pribadi (self report). Selain itu skala psikologis memiliki kelebihan
dengan asumsi sebagai berikut :
1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.
2. Apa yang dikatakan oleh subjek tentang kepada peneliti adalah benar dan
dapat dipercaya.
3. Interpretasi subjek tentang pernyataan–pernyataan yang diajukan sama
dengan apa yang dimaksud oleh peneliti.
Selain itu metode skala psikologis digunakan dalam penelitian atas dasar
pertimbangan:
1. Metode skala psikologis merupakan metode yang praktis.
2. Dalam waktu yang relatif singkat dapat dikumpulkan data yang banyak.
Penelitian ini menggunakan penskalaan model Likert. Penskalaan ini
merupakan model penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi
respons sebagai dasar penentuan nilai sikap (Azwar, 2000). Prosedur penskalaan
dengan metode Likert didasari oleh dua asumsi yaitu :
1. Setiap pernyataan sikap yang disepakati sebagai pernyataan yang favorable
(mendukung) atau yang unfavorable (tidak mendukung).
2. Jawaban dari individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot yang
lebih tinggi daripada jawaban yang diberikan oleh responden yang
mempunyai sikap negatif.
Dalam penelitian ini, akan digunakan dua buah skala, yaitu skala kecemasan
berbicara di depan umum dan skala self-efficacy.
1. Skala kecemasan berbicara di depan umum
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kecemasan berbicara di depan
umum adalah skala kecemasan berbicara di depan umum yang dirancang sendiri
oleh peneliti dengan berdasarkan pada komponen-komponen kecemasan berbicara
di depan umum yang dikemukakan oleh Rogers (2004), yaitu komponen fisik,
komponen proses mental, dan komponen emosional.
Model skala ini menggunakan model skala Likert. Aitem-aitem dalam skala
ini merupakan pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu SL (selalu), SR
(sering), KD (kadang), dan TP (tidak pernah). Skala disajikan dalam bentuk
pernyataan favorable dan unfavorable. Skor yang diberikan bergerak dari 1
= 2, TP = 1, sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu : SL =
1, SR = 2, KD = 3, TP = 4.
Semakin tinggi skor yang dicapai seseorang berarti semakin tinggi kecemasan
yang dimilikinya ketika harus berbicara di depan umum. Sebaliknya, semakin
rendah skor yang dicapai seseorang maka semakin rendah pula tingkat kecemasan
yang dimilikinya dalam berbicara di depan umum.
Penyusunan alat ukur ini untuk lebih jelasnya dijabarkan dalam bentuk Blue
Print pada tabel berikut ini :
Tabel 2. Blue Print Skala Kecemasan Berbicara di Depan Umum
No Aspek Indikator perilaku Jumlah aitem F
Fav Unfav
2. Skala self-efficacy
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur efficacy adalah skala
self-efficacy yang dirancang sendiri oleh peneliti dengan berdasarkan pada
aspek-aspek self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu level,
generality, dan strength.
Model skala ini menggunakan model skala Likert. Aitem-aitem dalam skala
ini merupakan pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu SS (sangat
sesuai), S (sesuai), TS (tidak sesuai), STS (sangat tidak sesuai). Skala disajikan
dalam bentuk pernyataan favorable dan unfavorable. Skor yang diberikan
bergerak dari 1 sampai 4. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu : SS =
4, S = 3, TS = 2, STS = 1, sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan
unfavorable yaitu : SS = 1, S = 2, TS = 3, STS = 4.
Semakin tinggi skor yang dicapai seseorang berarti semakin tinggi
self-efficacy yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin rendah skor yang dicapai
seseorang berarti semakin rendah self-efficacy yang dimilikinya.
Penyusunan alat ukur ini untuk lebih jelasnya dijabarkan dalam bentuk Blue
Print pada tabel berikut ini :
Tabel 3. Blue Print Skala Self-Efficacy
No Aspek Jumlah Item Total
Fav Unfav
1. Level 10 10 20
2. Generality 10 10 20
3. Strength 10 10 20
E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas
Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada
mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki
dengan tepat (Azwar, 2000). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah
validitas isi (content validity). Validitas ini merupakan validitas yang diestimasi
lewat pengujian terhadap isi tes dengan analis rasional atau lewat professional
judgment (Azwar, 2000). Professional jugement di dalam penelitian ini adalah
dosen pembimbing penelitian ini.
2. Reliabilitas
Reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat yang
bersangkutan, bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi,
2000). Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas
merupakan indikator konsistensi atau alat kepercayaan hasil ukur, yang
mengandung makna kecermatan pengukur (Azwar, 2000).
Uji reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
internal consistency (Cronbach’s alpha coefficient) yang hanya memerlukan satu
kali pengenaan tes tunggal pada sekelompok individu sebagai subjek dengan
tujuan untuk melihat konsistensi di dalam tes itu sendiri. Teknik ini dipandang
ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi, sehingga hasil penelitian dapat