• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Pengadilan Perikanan Medan Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Illegal Fishing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Pengadilan Perikanan Medan Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Illegal Fishing"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Achmad., Perundang-undangan Lengkap Tentang Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Ke-2, Prenada Media, Jakarta, 2005

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Penggantian dan Pembaharuan Perundang-Undangan Kolonial Menjadi Nasional (Stb. 1939 No.442 Territoriale Zee En Maritieme Kringen Ordonantie), (Jakarta, 1996/1997)

Departemen Kehutanan dan Perikanan Indonesia, Nasional Plan of Action of Indonesia To Prevent, Deter and Elininate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, ( Jakarta, 2004).

Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jendral Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Standar Operasional dan Prosedur Pengawasan Penangkapan Ikan, (Jakarta, 2004)

Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP), Kebijakan Pengawasan Dalam Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, (Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006).

Divera Wicaksono, Menutup Celah Pencuri Ikan, (Jakarta, Majalah Mingguan Pilars, Edisi 16-22 Februari 2004).

Eddy Afrianto, Syamsuddin Adang Rivai, Dkk, Kamus Istilah Perikanan, (Bandung : Penerit Kanisius, 1996).

Leden Marpaung, Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 1993).

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta, PT. Pradyna Paramita, 1996).

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993).

Slamet Subiyanto, Tidak Ada Toleransi Bagi Pelaku Illegal Fishing, Baraccuda, Agustus 2005.

(2)

ci Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung,

Penerbit PT Refika Aditama, 2003).

B. Website/Internet

Departemen Kelautan dan Perikanan Tangani Illegal Fishing, (Info Aktual IUU Fishing, 22 Febuari 2010)

C. Peraturan Perundang-Undangan

Penegakan Hukum Terhadap Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Info Aktual IUU Fishing, 28 Febuari 2010)

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

(3)

BAB III

PERANAN PENGADILAN PERIKANAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADA TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING)

DIPERAIRAN INDONESIA

A. Peranan Pengadilan Perikanan Medan Dalam menyelesaikan Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing)

Pengadilan Perikanan merupakan Pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan dan berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan UU No. 45 tahun 2009, pasal 71 ayat 3, disebutkan bahwa pengadilan perikanan pertama kalinya dibentuk di Pengadilan Negeri Jakrata Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.

Sejak tahun 2005 hingga akhir tahun 2009 sudah lebih dari 800 kasus kapal ikan liar yang diproses secara hukum. Sebagian besar pelaku kasus illegal fishing yang terungkap adalah kapal ikan asing seperti dari Vietnam, Thailand, China, Myanmar dan Malaysia. 20

20

Wawancara dengan DR. Ir. M. Indah Ginting, MM, Hakim Ad Hoc Peradilan Perikanan Medan, Tanggal 10 Febuari 2010.

(4)

lxxiii Untuk memberikan landasan hukum bidang perikanan, telah disahkan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari undang No. 9 Tahun 1985 dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang dipandang belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi.

Sudah beberapa kali Undang-Undang mengenai perikanan direvisi tetapi implementasi di lapangan masih memprihatinkan. Amanat agar perkara-perkara perikanan dibawa ke pengadilan perikanan dan menjerat pelaku dengan UU Perikanan itu ternyata belum efektif. Setelah lebih dari empat tahun Pengadilan Perikanan beroperasi, penyelesaian kasus-kasus perikanan ternyata kurang memadai. Lebih dari 800 kasus perikanan selama empat tahun terakhir, kebanyakan kasus penangkapan kapal nelayan asing walaupun ada juga kasus penangkapan kapal nelayan Indonesia. Namun, dari 800 kasus tersebut, belum ada tindak lanjut yang efektif. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja atau peran pengadilan perikanan Medan khususnya dalam menangani kasus-kasus tindak pidana illegal fishing perlu adannya transparansi dalam menindaklanjuti setiap kasus yang masuk kepengadilan perikanan. Bukan hanya itu, di lapangan para instansi yang bertugas untuk mengawasi perairan Indonesia khususnya perairan Sumatera Utara perlu meningkatkan kinerjanya dengan melakukan operasi

(5)

penyisiran wilayah rutin agar dapat mempersempit bahkan menutup ruang gerak dari pelaku tindak pidana illegal fishing itu sendiri. 21

21

Wawancara dengan DR. Ir. M. Indah Ginting, MM, Hakim Ad Hoc Peradilan Perikanan Medan, Tanggal 10 Febuari 2010.

Dengan peningkatan kinerja para instansi pengawas dilapangan, nantinya akan dapat meningkatkan pula peranan pengadilan perikanan. Ini di karenakan semakin rajinnya para instansi pengawas di lapangan melakukan penyisiran , semakin banyak pula para pelaku tindak pidana illegal fishing tertangkap. Dengan demikian kasus-kasus yang masuk ke Pengadilan perikanan akan meningkat sehingga kinerja dari pengadilan perikanan itu sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana illegal fishing dapat berjalan efektif.

B. Peranan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Perikanan

Hakim pada Pengadilan Perikanan terdiri dari Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc yang diangkat dan ditugaskan pada Pengadilan Perikanan, untuk mengadili tindak pidana perikanan. Disamping itu, ada Majelis Kehormatan Hakim Majelis yang memeriksa dan menerima pengajuan pembelaan diri dari Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri, serta memberikan pertimbangan, pendapat dan saran atas pembelaan diri tersebut.

(6)

lxxv Hakim Ad Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Untuk dapat menjadi calon Hakim Ad Hoc, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. berumur paling rendah 40 tahun; e. sehat jasmani dan rohani;

f. berwibawa, cakap, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela;

g. berpendidikan paling rendah strata satu bidang hukum dan/atau strata satu lainnya yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan;

h. berpengalaman di bidang perikanan paling kurang 5 (lima) tahun; i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

j. tidak menjadi anggota salah satu partai politik; dan

k. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya selama menjadi Hakim Ad Hoc.

(7)

Mahkamah Agung dan Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan seleksi administratif dan tes tertulis untuk menetapkan daftar nominasi calon Hakim Ad Hoc. Mahkamah Agung juga melakukan seleksi kompetensi calon Hakim Ad Hoc.

Terhadap Calon Hakim Ad Hoc yang telah dinyatakan lulus seleksi kompetensi diwajibkan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung. Calon Hakim Ad Hoc yang dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden untuk diangkat sebagai Hakim Ad Hoc.

Masa tugas Hakim Ad Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa tugas. Penempatan Hakim Ad Hoc ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

Sebelum memangku jabatan, Hakim Ad Hoc wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya sebagai berikut :

Sumpah :

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim Ad Hoc dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

(8)

lxxvii “Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Hakim Ad Hoc dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

Hakim Ad Hoc dilarang merangkap sebagai: a. pejabat negara

b. anggota partai politik c. advokat

d. pengurus organisasi perikanan, pengurus asosiasi perusahaan perikanan, dan pengusaha di bidang perikanan atau

e. konsultan perikanan.

Hakim Ad Hoc dapat diberhentikan dengan hormat maupun dengan tidak hormat dari jabatannya. Hakim Ad Hoc diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, karena :

a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri;

c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 6 (enam) bulan berdasarkan surat keterangan dokter yang dibuat oleh dokter yang berwenang;

d. tidak cakap dalam menjalankan tugas; atau e. telah selesai masa tugasnya.

(9)

Pemberhentian dengan hormat ditetapkan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Hakim Ad Hoc diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, dengan alasan:

a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya tanpa alasan yang sah;

c. melanggar sumpah atau janji jabatan; d. melakukan perbuatan tercela; atau e. melanggar larangan jabatan rangkap.

Sebelum Hakim Ad Hoc diberhentikan tidak dengan hormat, Pengadilan Negeri membentuk Majelis Kehormatan Hakim untuk memeriksa Hakim Ad Hoc yang bersangkutan. Majelis Kehormatan melaksanakan pemeriksaan dalam tenggang waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Hasil pemeriksaan tersebut disampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Hakim Ad Hoc yang bersangkutan dalam tenggang waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesai pemeriksaan.

Hakim Ad Hoc diberi kesempatan untuk membela diri dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya pemberitahuan hasil pemeriksaan. Pembelaan diri dilakukan dihadapan Majelis Kehormatan Hakim.

(10)

lxxix untuk kelancaran pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan Hakim atau karena perintah penangkapan yang tidak diikuti dengan penahanan. Pemberhentian sementara Hakim Ad Hoc ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ketua Mahkamah Agung memutuskan untuk mengabulkan atau menolak usulan tersebut dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak usul Ketua Pengadilan Negeri diterima.

Apabila alasan pemberhentian tidak dengan hormat tidak terbukti, pemberhentian sementara tersebut harus dicabut. Apabila alasan pemberhentian tidak dengan hormat terbukti, maka pemberhentian tidak dengan hormat ditetapkan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

Pegawai Negeri Sipil yang diangkat menjadi Hakim Ad Hoc diberhentikan dari jabatan organiknya selama menjadi Hakim Ad Hoc tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat lebih tinggi tanpa terikat jenjang pangkat sesuai peraturan perundang-undangan.

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila telah mencapai batas usia pensiun, dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hakim Ad Hoc juga berhak mendapat uang kehormatan dan hak-hak lainnya.

(11)

C. Pengawasan dan Instansi Penanganan Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing)

Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan amanat dari Pasal 66 UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang menyatakan : Pengawas perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan yang bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang perikanan dan terdiri atas penyidik pegawai negeri sipil perikanan dan non penyidik pegawai negeri sipil perikanan.

Langkah-langkah dalam pelaksanaan pengawasan di lapangan, telah dilakukan secara bertahap sesuai dengan sistem yang dikembangkan dalam pengawasan sumberdaya ikan. Monitoring, Controll dan Surveillance (MCS) dan ditindaklanjuti dengan Investigasi, merupakan sistem pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan yang diterapkan dan dikembangkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.

(12)

lxxxi Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pengawasan, para petugas Pengawas Perikanan sebagian telah dididik menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), sehingga petugas pengawas yang terkualifikasi PPNS tidak saja dibekali pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan dibidang perikanan tetapi juga diberikan keterampilan dan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran tindak pidana di bidang perikanan.

Pelaksana pengawasan :22

1. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.05/MEN/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan, maka pelaksanaan pengawasan dilakukan secara fungsional.

2. Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 35/KEP/M.PAN/5/2001 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Perikanan dan Angka Kreditnya, dan Keputusan Bersama Menteri Kelautan dan Perikanan dan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. SKB.53/MEN/2001 dan No. 40 Tahun 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawasan Perikanan dan Angka Kreditnya, maka Pengawas Perikanan yang melaksanakan pengawasan penangkapan ikan adalah Pejabat Fungsional yaitu Pengawas Perikanan Bidang Penangkapan Ikan.

22

Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jendral Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Standar Operasional dan Prosedur Pengawasan Penangkapan Ikan, (Jakarta,

2004),hal 6-7

(13)

3. Dengan adanya otonomi daerah, kewenangan pengawasan penangkapan ikan dilaksanakan oleh Pengawas Perikanan Bidang Penangkapan Ikan yang dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu :

a. Tingkat Kabupaten/Kota

Pengawas Perikanan tingkat kabupaten berwenang untuk mengawasi kapal perikanan yang berukuran kurang dari 10 GT dengan daerah operasi (Fishing Ground) kurang dari 4 mil. Petugas Pengawas Perikatnan dikukuhkan oleh Surat Keputusan Bupati/Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.

b. Tingkat Provinsi

Pengawas Perikanan tingkat provinsi berwenang mengawasi kapal yang berukuran > 10 GT sampai dengan 30 GT, dengan daerah operasi (fishing ground) antara 4-12 mil. Petugas Pengawas Perikanan dikukuhkan oleh Surat Keputusan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan masukan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota.

c. Tingkat Pusat

(14)

lxxxiii d. Mengingat kapal-kapal perikanan dalam operasionalnya saling

berinteraksi satu dengan yang lain, maka Pengawas Perikanan tingkat Kabupaten dan Provinsi bisa mengawasi kapal-kapal yang berukuran > 30 GT dan atau 90 HP, tetapi harus dikuatkan dengan keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan atau pejabat yang ditunjuk.

Selain pengawas perikanan, masyarakat juga ikut serta dalam membantu pengawasan perikanan (pasal 67 UU No. 45 Tahun 2009). Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 58 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, peranan masyarakat juga dibutuhkan dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing). Pengawasan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan atas sumber daya kelautan dan perikanan disebut dengan Siswasmas (sistem pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat).

Siswasmas adalah sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab, agar dapat diperoleh manfaat secara berkelanjutan. Tujuan dibentuknya siswasmas adalah untuk memberikan pedoman bagi pihak yang berkepentingan (stakesholder) yaitu pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam pelaksanaan pengawasan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berbasis masyarakat.

Sasaran dibentuknya siswasmas adalah :

(15)

1. Terbentuknya mekanisme pengawasan berbasis masyarakat, yang secara integratif dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan organisasi non pemerintah serta dunia usaha dengan tetap mengacu kepada peraturan dan perundangan yang ada/berlaku.

2. Meningkatkan partisipas masyarakat dalam pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan.

3. Terlaksananya kerja sama pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan oleh aparat keamanan dan penegak hukum, serta masyarakat. Jaringan dan mekanisme operasional siswasmas adalah sebagai berikut :

1. Masyarakat atau anggota Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) melaporkan informasi adanya dugaan pelanggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan kepada aparat pengawas terdekat (Seperti : koordinator PPNS, Kepala Pelabuhan Perikanan, Kepala Dinas Kelautan dan perikanan, Satpol-Airud (atau polisi terdekat), TNI-AL terdekat, atau petugas karantina dipelabuhan dan PPNS).

2. Masyarakat pengawas juga dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana perikanan oleh kapal ikan Indonesia atau kapal ikan asing serta tindakan Illegal lainnya dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan.

(16)

lxxxv 4. Koordinator pengawas perikanan atau Kepala Pelabuhan Perikanan yang menerima data dan informasi dari nelayan atau masyarakat maritim anggota Pokmaswas, melanjutkan informasi ke petugas pengawas seperti TNI-AL dan Satpol-Airud atau Kapal Inspeksi Perikanan.

5. Berdasarkan laporan tersebut PPNS, TNI-AL, Pol-Airud dan instansi terkait lainnya melaksanakan tindakan (penghentian dan pemeriksaan) pengejaran dan penangkapan pada kapal Indonesia dan kapal ikan asing sebagai tersangka pelanggaran tindak pidana perikanan dan sumberdaya kelautan lainnya, selanjutnya dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan.

6. Pada waktu yang bersamaan PPNS, Pengawas Perikanan dan/atau (Koordinator PPNS dan/atau Kepala Pelabuhan Perikanan) meneruskan informasi yang sama kepada Dinas Kabupaten/ Kota dan Instansi terkait provinsi dengan tembusan Direktorat Jenderal Pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan.

7. Dinas perikanan kabupaten dan/atau provinsi melakukan koordinasi dengan petugas pengawas dalam melakukan operasi tindak lanjut atas pelanggaran yang dilakukan.

Sedangkan instansi penanganan tindak pidana perikanan diatur dalam pasal 73 Ayat 1 UU No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan yang mengatur: “Penyidikan Tindak Pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TN-AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.”

(17)

1. Penyidik Pegawai Sipil Perikanan (PPNS)

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983, pengertian PPNS Perikanan adalah :

a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II B) atau yang disamakan dengan itu.

b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul dari Departemen yang membawahi Pegawai Negeri Sipil tersebut. Menteri Kehakiman sebelum melaksanakan pengangkatan, terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jakusa Agung dan Kepala Kepolisian Repoublik Indonesia.

c. Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam butir b dapat dilimpahkan kepada Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mempunyai kewenangan sebagai berikut :

Berdasarkan Pasal 73 UU No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang :

1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan.

2. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi.

(18)

lxxxvii 4. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga

dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan.

5. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan.

6. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan 7. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang

perikanan.

8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan.

9. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan.

10.melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana.

11.melakukan penghentian penyidikan.

12.mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL)

a. Peranan TNI AL dalam pengawasan dan penegakan hukum di laut

Secara universal TNI AL mengemban tiga peran yaitu peran militer, peran polisionil dan peran diplomasi yang dilandasi oleh kenyataan bahwa laut merupakan wahana kegiatan laut. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum di laut, melindungi sumber daya dan kekayaan laut

(19)

nasional, memelihara keamanan dan ketertiban di laut serta mendukung pembangunan bangsa.

Konvensi Huku m Laut Internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui perundang-undangan nasional secara yuridis formal memberikan kewenangan penegak hukum bagi kapal perang terhadap setiap bentuk kejahatan yang dilakukan di/dari lewat laut, terutama kejahatan yang bersifat internasional. Disamping itu dalam peraturan perundangan nasional juga memberikan kewenangan kepada perwira TNI AL untuk melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut.

Salah satu tugas TNI AL adalah menegakkan hukum dan ketertiban di laut sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang mengaturnya serta kebiasaan internasional, agar tugas tersebut dapat dilaksanakan secara profesional dan proporsional untuk itu diperlukan suatu prosedur tetap (protap) tentang langkah-langkah penanganan terhadap tindak pidana di laut oleh unsur operasional TNI AL.

b. Dasar Kewenangan Penyidikan oleh TNI AL23

1. Pasal 13 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie) 1939 Stbl. 1 939 Nomor 442 menyatakan bahwa : “ Untuk memelihara dan mengawasi pentaatan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini ditugaskan kepada komandan Angkatan Laut Surabaya, Komandan-komandan Kapal Perang Negara dan kamp-kamp penerbangan dari angkatan laut”.

(20)

lxxxix 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia dalam pasal 14 ayat (1) undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Pangab sebagai aparat penegak hukum di bidang penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983.

3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Pasal 31 ayat (1) undang-undang ini menyatakan : “Aparat penegak hukum yang berwenang melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang ini diperairan Indonesia adalah pejabat penyidik sebagaimana ditetapkan dalam pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia”. 4. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS

1982 memberikan kewenangan kepada pejabat-pejabat, kapal perang dan kapal pemerintah untuk melakukan penegakan hukum di laut. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa pasal antara lain Pasal 107, 110, 111, dan Pasal 224 UNCLOS 1982.

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 39 ayat (2) kewenangan penyidik Kepolisian Negara RI, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana

(21)

diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI dan UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan.

6. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran ditetapkan dalam pasal 99 ayat (1) : “selain penyidik pejabat Polisi Negara RI, Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang pelayaran dan perwira Tantara Nasional Indonesia Angkatan Laut tertentu diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran yang dimaksud dalam undang-undang ini”.

7. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP Pasal 17 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa : “bagi penyidik dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan ZEEI penyidikan dilakukan oleh perwira TNI AL dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh undang-undang yang megaturnya”.

8. Udang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia Pasal 24 ayat (3) : “Penegakan hukum dilakukan oleh instansi terkait antara lain TNI AL, Polri, Departemen Keuangan dan Departemen Kehakiman sesuai dengan wewenang masing-masing instansi terkait tersebut dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum internasional.

(22)

xci perairan Indonesia dan zona ekonomi eksklusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.(lihat pasal 14 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1983.

10.Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 14 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa TNI berperan sebagai alat pertahanan negara termasuk didalamnya mempertahankan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan bangsa dan negara, melaksanakan operasi militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Dimaksudkan melaksanakan Operasi Militer selain perang antara lain bantuan kemanusiaan, bantuan kepada pemerintahan sipil, pengawasan pelayaran dan/atau penerbangan, bantuan pencarian dan pertolongan, bantuan pengungsian dan korban bencana alam berdasarkan permintaan dan atau peraturan perundang-undangan.

c. Kewenangan TNI AL di perairan Indonesia24

1. Mempertahankan eksistensi/keberadaan Negara Kesatuan RI dari segala bentuk ancaman dan gangguan.

2. Memelihara stabilitas nasional dan turut serta memelihara stabilitas regional dan internasional.

3. Menegakkan hukum terhadap tindak pidana di wilayah perairan Indonesia, meliputi :

a. Illegal entry/pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal asing

24 I

bid, hal 8-9

(23)

b. Imigran gelap

c. Pelanggaran Hak Lintas Damai d. Pelanggaran Hak Lintas Kepulauan e. Pelanggaran Hak Lintas transit f. Pelanggaran Hak akses komunikasi

g. Tindakan provokasi oleh kapal-kapal asing di sekitar wilayah perairan Indonesia

h. Sabotase obyek vital dan tindakan terorisme lainnya. 4. Melindungi sumber daya alam dan buatan, meliputi :

a. Pengamanan sumber daya alam hayati dari kegiatan penangkapan/eksploitasi tanpa izin, antara lain :

1. Perikanan 2. Kehutanan

3. Benda Cagar Budaya 4. Pasir Laut

5. Pencemaran Laut

b. Pengamanan sumber-sumber mineral dan sumber daya alam non hayati lainnya dari kegiatan eksplorasi atau eksploitasi tanpa izin c. Perlindungan terhadap pulau buatan atau instansi buatan maupun

industri lainnya di laut.

5. Mengamankan pelayaran, meliputi :

(24)

xciii b. Mencegah dan menindak penggunaan bendera negara yang tidak

sesuai dengan ketentuan penggunaan oleh kapal dilaut

c. Mencegah dan menindak perbuatan yang dapat membahayakan keselamatan pelayaran dan keselamatan jiwa di laut

d. Memberi bantuan dan pengamanan kegiatan SAR di laut

6. Mengamankan pipa-pipa dan kabel-kabel bawah/dasar laut dan sarana komunikasi lainnya.

7. Mencegah dan menindak kegiatan dan penelitian kelautan tanpa izin 8. Mencegah dan menindak kegiatan pemetaan atau survey

hidrooseanografi tanpa izin

9. Mencegah dan menindak perampokan/pembajakan di laut 10.Mencegah dan menindak penyelundupan di laut

11.Mencegah dan menindak pengangkutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Illegal lewat laut

12.Mencegah dan menindak pengangkutan obat-obat terlarang dan senjata api gelap.

3. Polisi Negara Republik Indonesia

Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara RI adalah sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo Pasal 73 ayat (4) UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan jo Pasal 73 UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.

Walaupun secara yuridis formil kewenangan penyidikan dibidang tindak pidana perikanan dilakukan oleh PPNS, Perwira TNI AL dan Polri, namun dalam

(25)

pelaksanaan tugas-tugas penyidikan PPNS perikanan masih memerlukan bantuan/bimbingan teknis penyidikan baik dari TNI AL maupun Penyidik Polri, Sebelum berlakunya Undang-undang Perikanan, di kenal adanya hubungan tata cara kerja antara Polri dan PPNS.

Berdasarkan Pasal 107 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Polri dengan PPNS mempunyai hubungan kerja, dimana untuk kepentingan penyidikan, Penyidik Polri memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan yang diperlukan oleh PPNS.

Hubungan tata cara kerja Polri dan PPNS dibidang operasional penyidikan dilapangan dilaksanakan secara timbal balik dengan mekanismenya adalah sebagai berikut :25

1. Dalam hal penyidik PPNS melaksanakan penyidikan maka PPNS sejak awal menerima laporan/pengaduan wajib memberitahukan hal ini kepada penyidik Polri untuk kemudian diteruskan kepada Penuntut Umum (laporan dimulainya penyidikan).

2. Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik Polri memberikan petunjuk-petunjuk baik diminta maupun tidak diminta, berdasarkan tanggung jawabnya wajib memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. 3. Petunjuk yang diberikan meliputi petunjuk teknis, petunjuk taktis dan

petunjuk yuridis. Sedangkan bantuan penyidikan meliputi bantuan teknis, bantuan taktis dan bantuan upaya paksa.

(26)

xcv Bantuan upaya paksa adalah bantuan penindakan apabila wewenangnya tidak dimiliki oleh PPNS.

4. Dalam hal tindak pidana yang sedang dilakukan penyidikan oleh PPNS, ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada Penuntut Umum, maka PPNS wajib melaporkan hal ini kepada Penyidik Polri (laporan perkembangan penyidikan).

5. Dalam hal penyidikan PPNS membutuhkan bantuan untuk melakukan upaya paksa/penindakan yang wewenangnya dimiliki oleh PPNS yang bersangkutan, maka untuk kegiatan tersebut dimintakan bantuan penyidik Polri.

Pengaturan tata cara kerja antara Polri dengan PPNS ini terutama disebabkan karena sebelum diberlakukannya ketentuan UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan, Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) adalah sangat terbatas dan tidak mempunyai kewenangan untuk menangkap serta menahan tersangka. Demikian juga dalam hal pengajuan berkas penyidikan ke Penuntut Umum, tetap harus melalui Kepala Kepolisian setempat, apakah itu Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) maupun Kepala Kepolisian Resort (Polres)

(27)

D. Kendala-kendala yang dialami dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan (Illegal Fishing)

Secara garis besar, beberapa faktor yang menjadi kendala dalam penanganan IUU Fishing di perairan Indonesia, antara lain :26

1. Masih lemahnya pengawasan yang antara lain disebabkan oleh : a. Masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan

b. SDM pengawasan yang masih belum memadai terutama dari sisi kuantitas

c. Belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan

d. Masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah.

e. Belum berkembangnya lembaga pengawasan f. Penerapan sistem MCS yang belum optimal

2. Belum tertibnya perizinan yang memberikan peluang terjadinya pemalsuan izin.

3. Masih lemahnya “Law Enforcement” yang menyebabkan menurunnya kewibawaan hukum, kurangnya rasa keadilan bagi masyarakat dan maraknya pelanggaran.

26

(28)

xcvii BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ketentuan Hukum terhadap Tindak Pidana Illegal fishing Menurut UU 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Secara umum berdasarkan Pasal 103 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,tindak pidana perikanan di bagi atas 2 jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana kejahatan di bidang perikanan dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan.

a. Tindak Pidana Kejahatan di bidang perikanan di atur dalam Pasal 84, 85, 86, 89, 91, 92, 93 dan Pasal 94 UU Perikanan.

b. Tindak Pidana Pelanggaran di bidang perikanan di atur dalam Pasal 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98,99 dan Pasal 100 UU Perikanan.

2. Peranan Pengadilan Perikanan dalam menyelesaikan tindak pidana illegal fishing.

Setelah lebih dari empat tahun Pengadilan Perikanan beroperasi, penyelesaian kasus-kasus perikanan ternyata kurang memadai. Lebih dari 800 kasus perikanan selama empat tahun terakhir, kebanyakan kasus penangkapan kapal nelayan asing walaupun ada juga kasus penangkapan kapal nelayan Indonesia. Namun, dari 800 kasus tersebut, belum ada tindak lanjut yang efektif. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja atau peran pengadilan perikanan Medan khususnya dalam menangani kasus-kasus tindak pidana illegal fishing

(29)

perlu adannya transparansi dalam menindaklanjuti setiap kasus yang masuk kepengadilan perikanan. Bukan hanya itu, di lapangan para instansi yang bertugas untuk mengawasi perairan Indonesia khususnya perairan Sumatera Utara perlu meningkatkan kinerjanya dengan melakukan operasi penyisiran wilayah rutin agar dapat mempersempit bahkan menutup ruang gerak dari para pelaku tindak pidana illegal fishing itu sendiri.

Dengan meningkatnya kinerja dari para instansi pengawas dilapangan, nantinya akan dapat meningkatkan pula peranan pengadilan perikanan. Ini di karenakan semakin rajin para instansi pengawas di lapangan melakukan penyisiran, semakin banyak pula para pelaku tindak pidana illegal fishing tertangkap. Dengan demikian kasus-kasus yang masuk ke Pengadilan perikanan akan meningkat sehingga kinerja dari pengadilan perikanan itu sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana illegal fishing dapat berjalan efektif.

B. Saran

1. Dilakukannya razia rutin di perairan Indonesia guna meminimalisir terjadinya tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing)

(30)

xcix selain itu juga melibatkan masyarakat khususnya masyarakat nelayan melalui Siswasmas

3. Tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) yang sering terjadi di perairan Indonesia adalah karena penangkapan yang dilakukan tidak di sertai oleh SIUP dan SIPI, untuk itu diharapkan kepada pemerintah khususnya institusinya yang terkait (yang memberikan izin dalam melakukan penangkapan ikan), agar benar-benar menertibkan mekanisme penertiban izin bagi kapal-kapal ikan lokal ataupun kapal asing dengan cara memeriksa dan mengevaluasi kapal-kapal yang akan di berikan izin dan merevisi kembali kapal-kapal yang telah di beri izin serta bekerja sama dengan penyidik dilapangan untuk memeriksa kembali izin setiap kapal yang akan melakukan dan atau yang sedang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia.

(31)

BAB II

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING)

A. Kriteria yang dapat dikatakan sebagai suatu Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing)

Sebelum merumuskan tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) menurut UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, maka akan di bahas lebih dahulu pengertian tindak pidana itu.

Istilah tindak pidana dalam Bahasa Belanda di pakai istilah strafbaar feit dan delict.

Moeljatno dan Roeslan Saleh menggunakan terjemahan perbuatan pidana; Konstitusi RIS,UUDS 1950,Tresna dan Utrecht menggunakan peristiwa pidana; Wiryono Prodjodikoro (tindak pidana), Satochid Kartanegara, AZ. Abidin dan Andi Hamzah (delik), Karni dan Van Schravendijk (perbuatan yang boleh dihukum), Tirtamidjaja (pelanggaran pidana).13

1. Simons menyatakan “starfbaar feit” adalah kelakuan yang di ancam pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Beberapa pakar memberikan defenisi starfbaar feit antara lain:

14

2. Vos merumuskan, “Starfbaar feit” adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Vos

13

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta, PT. Pradyna Paramita, 1996), hal. 15

14

(32)

xxviii mengartikan delict sebagai kelakuan yang mencocoki rumusan ketentuan dalam undang undang.15

Belum tentu semua perbuatan yang mencocoki rumusan undang-undang bersifat melawan hukum. Jadi selain perbuatan itu dilarang oleh aturan undang undang, perbuatan tersebut harus betul betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut.

3. Moeljatno mengatakan, “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan ”

hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Lebih lanjut mengatakan perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang melawan hukum, dalam arti yang merugikan masyarakat, bertentangan dengan tatanan pergaulan dalam masyarakat.16

Menurutnya, perbutan pidana itu dapat di samakan dengan criminal act, Jadi berbeda dengan strafbaar feit, yang meliputi pula pertanggungjawaban pidana.Suatu perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) belumlah cukup untuk menjatuhkan pidana. Di samping itu harus ada seorang pembuat yang bertanggung jawab atas perbuatanya, yaitu unsur kesalahan dalam arti kata bertanggung jawab (Strafbaarheid van de dader). Di mana menurut Moeljatno orang tidak mungkin di pertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana.Tapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu dapat dipidana (Geen starf zondetr schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea).

Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993), hal.155

(33)

Dari uraian di atas suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai peristiwa pidana harus memenuhi :

1. Adanya suatu perbuatan.

2. Perbuatan itu sesuai dengan rumusan undang-undang sehingga merupakan suatu kesalahan.

3. Perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan. 4. Perbuatan itu diancam dengan hukuman/sanksi.

Perkataan ilegal dapat diartiakan tidak sah, yang merupakan lawan dari kata legal. Ilegal dapat juga diartikan bertentangan atau melawan hukum.

Dalam KUHPidana pencurian ikan adalah pencurian yang dilakukan dengan pancing,jala dan lainnya dimana tidak mungkin terjadi kerusakan bahkan kepunahan sumber daya ikan. Berbeda dengan yang diatur dalam KUHPidana, pencurian ikan dalam Undang-Undang Perikanan adalah pencurian yang dilakukan karena menangkap ikan tanpa Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan SIPI (S urat Izin Penangkapan Ikan), menggunakan bahan peledak, bahan beracun, bahan berbahaya dan lainya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya ikan. Menurut Divera Wicaksono

“tindak pidana penangkapan ikan secara illegal atau yang dikenal dengan illegal Fishing adalah memakai Surat Pengkapan Ikan (SPI) palsu, tidak dilengkapi dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), isi dokumen tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap jenis dan ukuran ikan yang dilarang.”18

18 Divera Wicaksono

(34)

xxx Tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) ialah melakukan penangkapan ikan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan rumusan undang-undang (dalam hal ini Undang-Undang Perikanan No. 9 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 31 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lainya).

Berdasarkan pada dokumen IPAO mengenai IUU Fishing (Ilegal Unreported and Unregulated Fishing), maka yang dimaksud kegiatan perikanan yang dianggap melanggar hukum adalah :19

1. Kegiatan yang dilakukan oleh kapal nasional ataupun asing di perairan yang berada dalam pengaturan negara tanpa memperoleh izin ataupun bertentangan dengan hukum negara yang bersangkutan.

2. Kegiatan yang dilakukan oleh kapal ikan anggota suatu organisasi pengolahan perikanan regional yang melakukan pengolahan/ pemanfaatan sumber daya yang bertentangan dengan aturan pengolahan dan konservasi bagi negara-negara yang menjadi anggotanya, ataupun bertentangan dengan aturan dalam hukum internasional lainnya yang relevan.

3. Kegiatan yang bertentangan dengan hukum nasional dan kewajiban internasional termasuk kewajiban negara negara anggota organisai manajemen perikanan regional.

19

Departemen Kehutanan dan Perikanan Indonesia, Nasional Plan of Action of Indonesia To Prevent, Deter and Elininate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, ( Jakarta, 2004), hal. 6-7.

(35)

Kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum yang paling umum terjadi di wilayah pengelolaan perikanan indonesia adalah pencurianikan oleh kapal- kapal ikan asing, mulai dari perairan ZEE Indonesia hingga masuk ke perairan kepulauan. Jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh kapal kapal ikan tersebut adalah purse seine dan trawl.

Selain kasus-kasus pencurian ikan oleh kapal kapal asing, hal yang sama juga dilakukan oleh kapal kapal ikan Indonesia sendiri. Pencurian di lakukan oleh kapal kapal yang dalam pengoperasianya belum dilengkapi dengan SIUP dan SIPI. Kapal-kapal tersbut tidak akan melaporkan hasil tangkapannya ke pemerintah, apalagi untuk membayar pajak/retribusi.

Batas maritim antar negara kedaulatan indonesia dengan negara tetanggapun kerap menjadi pemicu Illegal Fishing. Hal ini disebabkan belum terjadinya kesepakatan batas maritim antar kedua negara yang bertetangga. Indonesia hingga kini belum memiliki batas maritim yang jelas dengan negara Thailand, Filipina,Timor Leste,dan Papua New Guinea. Hal ini mendorong nelayan nelayan asing untuk menangkap ikan di daerah yang berdekatan dengan perairan Indonesia.

(36)

xxxii Selain kasus-kasus di atas, praktek-praktek illegal fishing lainya antara lain: pengkapan ikan dengan menggunakan bahan atau alat berbahaya atau menggunakan alat tangkap yang tidak pada jalur yang diperbolehkandan penggunaan alat tangkap yang desain dan kotruksinya tidak sesuai dengan izin penggunaan dan kegiatan at-sea transhipment yang langsung dibawa ke luar negeri.

Secara umum berdasarkan Pasal 103 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, tindak pidana perikanan di bagi atas 2 jenis tindak pidana, yaitu : tindak pidana kejahatan di bidang perikanan dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan.

1. Tindak Pidana Kejahatan di bidang perikanan di atur dalam Pasal 84 ,85 ,86, 89 ,91 ,92 ,93 dan Pasal 94 UU Perikanan.

a. Setiap orang (Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan,dan anak buah kapal; Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan /atau operator kapal perikanan, pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, da/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan) dengan sengaja melakukan penangkapan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, dan/ atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau lingkunganya sebagai dimaksud dalam Pasal 8 (Pasal 84).

b. Memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal

(37)

penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan/yang dipersyaratkan/standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 (Pasal 85).

c. Pasal 86

1) Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

2) Membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).

3) Membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagai man dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).

4) Menggunakan obat obatan dalam pembudi dayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana di maksud dalam Pasal 12 ayat (4).

(38)

xxxiv dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaImana di maksud dalam Pasal 16 ayat (1) (Pasal 88)

e. Menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) (Pasal 91)

f. Melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1). (Pasal 92)

g. Pasal 93

1) Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang tidak memiliki SIPI sebagai mana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)

2) Memiliki da/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana di maksud dalam Pasal 27 ayat (2)

h. Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang itdak memiliki SIKPI sebagai mana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1). (Pasal 94)

(39)

2. Tindak Pidana Pelanggaran di bidang perikanan di atur dalam Pasal 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, dan Pasal 100 UU Perikanan.

a. Dengan sengaja atau dengan kelalaiannya merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4). (Pasal 87).

b. Melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang itdak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan haisl perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3). (Pasal 89)

c. Melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagai mana di maksud dalam Pasal 21. (Pasal 90)

d. Membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapatkan persetujuan terlebih dahulu sebagai mana di maksud dalam Pasal 35 ayat (1). (Pasal 95)

e. Mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1). (Pasal 96)

f. Pasal 97

(40)

xxxvi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam kapal sebagai mana dimaksud dalam Pasal 38.

2) Nakhoda yang mengoperasiakan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainya sebagai mana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2).

3) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang di izinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3).

g. Nakhoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang di keluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2). (Pasal 98)

h. Orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). (Pasal 99).

i. Melanggar ketentuan yang di tetapkan sebagaimana di maksud dalam Pasal 7 ayat (2) (Pasal 100)

Pasal 7 ayat (2), mengatur :

(41)

1) Jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan ;

2) Jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; 3) daerah , jalur dan waktu atau musim penagkapan ikan;

4) persyratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; 5) sistem pemantauan kapal perikanan;

6) jenis ikan baru yang Akan di budi dayakan;

7) jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya;

8) pembudi daya ikan dan perlindunganya;

9) penceahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkunganya;

10)ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; 11)suaka perikanan;

12)wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;

13)jenis ikan yang dilarang untuk di perdagangkan, dimasukkan, dan di keluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia, dan

14)jenis ikan yang di lindungi.

B. Beberapa Perubahan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan dari Undang-Undang sebelumnya yaitu UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

(42)

xxxviii Undang-undang No. 31 Tahun 2004. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) diubah, adapun beberapa perubahannya adalah sebagai berikut:

1. Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 24 diubah, sehingga Pasal 1 angka 11 dan angka 24 berbunyi sebagai berikut:

11. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT).

12. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan perikanan.

2. Di dalam Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2 : Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas: a. manfaat;

b. keadilan; c. kebersamaan; d. kemitraan; e. kemandirian; f. pemerataan; g. keterpaduan; h. keterbukaan; i. efisiensi;

(43)

j. kelestarian; dan

k. pembangunan yang berkelanjutan.

3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 :

(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan:

a. rencana pengelolaan perikanan;

b. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;

c. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;

d. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;

e. potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;

f. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;

g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; h. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;

i. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; j. pelabuhan perikanan;

(44)

xl m. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis

budi daya;

n. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;

o. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya;

p. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; q. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;

r. kawasan konservasi perairan;

s. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;

t. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan

u. jenis ikan yang dilindungi.

(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai: a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;

b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; c. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;

d. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; e. sistem pemantauan kapal perikanan;

f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;

g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya;

h. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;

(45)

i. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya;

j. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; k. kawasan konservasi perairan;

l. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;

m. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan

n. jenis ikan yang dilindungi.

(3) Kewajiban mematuhi ketentuan mengenai sistem pemantauan kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.

(4) Menteri menetapkan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c setelah mempertimbangkan rekomendasi dari komisi nasional yang mengkaji sumber daya ikan.

(5) Komisi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibentuk oleh Menteri dan beranggotakan para ahli di bidangnya yang berasal dari lembaga terkait. (6) Menteri menetapkan jenis ikan yang dilindungi dan kawasan konservasi

perairan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.

(46)

xlii (1) Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.

(2) Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

5. Ketentuan Pasal 14 ayat (3) diubah, sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14 :

(1) Pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan.

(2) Setiap orang wajib melestarikan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.

(3) Pemerintah mengendalikan pemasukan dan/atau pengeluaran ikan jenis baru dari dan ke luar negeri dan/atau lalu lintas antarpulau untuk menjamin kelestarian plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.

(4) Setiap orang dilarang merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan dan pelestarian plasma nutfah sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(47)

6. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 15A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15 A :

Pemerintah mengatur pengendalian mutu induk dan benih ikan yang dibudidayakan.

7. Ketentuan Pasal 18 ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18 :

(1) Pemerintah mengatur dan membina tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan.

(2) Pengaturan dan pembinaan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka menjamin kuantitas dan kualitas air untuk kepentingan pembudidayaan ikan.

(3) Pelaksanaan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan dilakukan oleh pemerintah daerah.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan pembinaan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan PeraturanPemerintah.

8. Ketentuan Pasal 23 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:

(48)

xliv (1) Setiap orang dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan,

bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan. (2) Pemerintah menetapkan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan

penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pemerintah melakukan sosialisasi bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan.

9. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 :

(1) Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan, meliput i praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

10. Di antara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 25A, Pasal 25B, dan Pasal 25C, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25 A :

(1) Pelaku usaha perikanan dalam melaksanakan bisnis perikanan harus memperhatikan standar mutu hasil perikanan.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan.

(49)

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu hasil perikanan diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 25 B :

(1) Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan pemasaran usaha perikanan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

(2) Pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luar negeri dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.

(3) Pemerintah berkewajiban menciptakan iklim usaha perikanan yang sehat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 25 C :

(1) Pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri perikanan nasional dengan mengutamakan penggunaan bahan baku dan sumber daya manusia dalam negeri.

(2) Pemerintah membina terselenggaranya kebersamaan dan kemitraan yang sehat antara industri perikanan, nelayan dan/atau koperasi perikanan.

(3) Ketentuan mengenai pembinaan, pemberian fasilitas, kebersamaan, dan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(50)

xlvi Pasal 27 :

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memiliki SIPI.

(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI.

(3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli.

(4) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah.

(5) Kewajiban memiliki SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil.

12. Ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:

(51)

Pasal 28 :

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI.

(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI.

(3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib membawa SIKPI asli.

(4) Kewajiban memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa SIKPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.

13. Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 28A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28 A :

Setiap orang dilarang:

a. memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI; dan/atau b. menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu.

(52)

xlviii Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan, tata cara, dan syarat-syarat pemberian SIUP, SIPI, dan SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri.

15. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 35A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35 A :

(1) Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia. (2) Kapal perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI

wajib menggunakan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah anak buah kapal.

(3) Pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan anak buah kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

16. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga Pasal 36 berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 :

(1) Kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan laut lepas wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia.

(2) Pendaftaran kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang berupa:

(53)

a. bukti kepemilikan; b. identitas pemilik; dan c. surat ukur.

(3) Pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri dan sudah terdaftar di negara asal untuk di daftar sebagai kapal perikanan Indonesia, selain di lengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi pula dengan surat keterangan penghapusan dari daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal.

(4) Kapal perikanan yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan surat tanda kebangsaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

17. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 :

(1) Pemerintah menyelenggarakan dan melakukan pembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan.

(2) Penyelenggaraan dan pembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan:

a. rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional; b. klasifikasi pelabuhan perikanan;

(54)

l d. persyaratan dan/atau standar teknis dalam perencanaan, pembangunan,

operasional, pembinaan, dan pengawasan pelabuhan perikanan;

e. wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan yang meliputi bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan

f. pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah.

(4) Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang di tetapkan atau pelabuhan lainnya yang di tunjuk.

(5) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang di tetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.

18. Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 41A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41 A :

(1) Pelabuhan perikanan mempunyai fungsi pemerintahan dan pengusahaan guna mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran.

(55)

(2) Fungsi pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan; b. pelayanan bongkar muat;

c. pelayanan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan; d. pemasaran dan distribusi ikan;

e. pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan;

f. tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; g. pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan;

h. tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan; i. pelaksanaan kesyahbandaran;

j. tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan;

k. publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas kapal perikanan;

l. tempat publikasi hasil riset kelautan dan perikanan; m. pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari; dan/atau n. pengendalian lingkungan.

19. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 :

(1) Dalam rangka keselamatan operasional kapal perikanan, ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan.

(56)

lii a. menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;

b. mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan; c. memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan;

d. memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan dan memeriksa alat penangkapan ikan, danalat bantu penangkapan ikan;

e. memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut;

f. memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan ikan;

g. mengatur olah gerak dan lalulintas kapal perikanan di pelabuhan perikanan;

h. mengawasi pemanduan;

i. mengawasi pengisian bahan bakar

j. mengawasi kegiatan pembangunaan fasilitas pelabuhan perikanan; k. melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;

l. memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman kebakaran di pelabuhan perikanan;

m. mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim; n. memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan kapal perikanan;

o. menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan dan Keberangkatan Kapal Perikanan; dan

p. memeriksa sertifikat ikan hasil tangkapan.

(3) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan dari pelabuhan perikanan wajib memiliki Surat

(57)

Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan.

(4) Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh menteri yang membidangi urusan pelayaran.

(5) Dalam melaksanakan tugasnya, syahbandar di pelabuhan perikanan dikoordinasikan oleh pejabat yang bertanggung jawab di pelabuhan perikanan setempat.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesyahbandaran di pelabuhan perikanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

20. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 :

Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya.

21. Ketentuan Pasal 44 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44 :

(1) Surat Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf a dikeluarkan oleh syahbandar setelah kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi.

(58)

liv (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan kelayakan

teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

22. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga Pasal 46 berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 :

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyusun dan mengembangkan sistem informasi dan data statistik perikanan serta menyelenggarakan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, dan penyebaran data potensi, pemutakhiran data pergerakan ikan, sarana dan prasarana, produksi, penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mengadakan pusat data dan informasi perikanan untuk menyelenggarakan sistem informasi dan data statistik perikanan.

23. Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 46A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46A :

Pemerintah menjamin kerahasiaan data dan informasi perikanan yang berkaitan dengan data log book penangkapan dan pengangkutan ikan, data yang diperoleh pengamat, dan data perusahaan dalam proses perizinan usaha perikanan.

24. Ketentuan Pasal 48 ayat (1) diubah, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), sehingga Pasal 48 berbunyi sebagai berikut:

Referensi

Dokumen terkait

sudah dapat membentuk perubahan sikap yang positif dari peserta terhadap vendor wedding Lintas Warna dillihat dari hubungan valensi informasi pada sikap yang

Berdasarkan pengolahan dan analisis nilai resistivitas rendah ( ρ < 20,9 Ωm ) pada lintasan 1, 2, dan 3 yang memotong perlapisan antara batuan yang memiliki nilai resistivitas

Dalam pandangan Phytagoras dua bilangan misalkan bilangan A dan bilangan B dikatakan bersahabat jika jumlah bagi bilangan A sama dengan bilangan B dan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel pengabdian pada profesi, keyakinan terhadap peraturan profesi, kemandirian, dan hubungan dengan sesama

Both of these metrics help us understand how well each department writes code: the average number of defects per application, and a relative measure (BAR) of the mean aggregate

Ruang lingkup penelitian dibatasi pada analisis struktur support pemegang sumber dan karakterisasi yang meliputi pengujian kinerja sistem kendali dan kinerja

1387 yılında Ak Koyunlu Türk kabilesi beyi Kutluk beyin oğlu Ahmet Sivas üzerine yürüdü.. Kadı Burhaneddin, Yusuf Çelebi komutasında bir orduyu karşı yolladı ise de