DENGAN COPING STRESS
PADA POLISI RESERSE KRIMINAL
POLTABES MEDAN
Skripsi
Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Disusun oleh:
Bima Sandro Sumbayak
041301114
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Bima Sandro Sumbayak dan Rika Eliana, M.Si
ABSTRAK
Polisi merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk menjaga keamanan yang terdapat pada setiap negara. Salah satu bagian polisi yang tergolong unik adalah polisi Reserse Kriminal. Polisi Reserse Kriminal mengalami stres yang berbeda jika dibandingkan dengan bagian kepolisian yang lain.
Untuk mengatasi stres ini, maka setiap individu perlu melakukan coping
stress. Salah satu faktor yang mempengaruhi coping stress adalah kepribadian.
Kepribadian yang dilihat dalam penelitian ini adalah tipe kepribadian Big Five
Personality.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian Big Five Personality dengan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan. Dari penelitian ini juga dapat diperoleh gambaran
coping stress dan apakah ada perbedaan coping stress ditinjau dari ciri demografis
pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Sampel diperoleh dengan tehnik incidental sampling. Data diperoleh dengan tehnik
multiple regression. Hasil penelitian ini adalah adanya hubungan tipe kepribadian neuroticism, agreeableness, dan conscientiousness dengan problem-focused coping, dan adanya hubungan tipe kepribadian extraversion dengan emotion-focused coping.
Hasil tambahan penelitian ini adalah terdapat 55 orang sampel yang telah melakukan coping stress dengan baik, dan tidak ada perbedaan coping stress bila ditinjau dari ciri demografis.
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Yesus Kristus yang telah memberikan kekuatan fisik dan pikiran kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian ini.
Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan proposal penelitian ini:
1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) selaku dekan Fakultas Psikologi USU.
2. Ibu Rika Eliana, M.Si selaku dosen pembimbing seminar yang dengan sabar, telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan memberikan petunjuk, saran serta semangat untuk dapat menyelesaikan seminar.
3. Para dosen penguji seminar, kak Ridhoi E., M.Si dan ibu Ika sari devi S.Psi yang bersedia memberikan waktu untuk menguji, memberi kritik dan saran kepada peneliti.
4. Mamaku yang telah memberikan dukungan moril dan materil sampai saat ini. Juga kepada adek-adekku Ivan dan Ica yang selalu memberikan hiburan dan pengertian selama waktu pengerjaan.
5. Yolanda yang selalu membantu, memberi dukungan , kritik, dan saran selama waktu pengerjaan seminar.
refreshing dan penguasaan motorik halus selama ini.
9. Para senior dan juniorku di Fakultas Psikologi USU.
10. Semua fansku yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam proposal ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan seminar ini. Semoga, seminar ini memiliki manfaat bagi banyak pihak.
Medan, Mei 2008
Peneliti,
KATA PENGANTAR... ii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Pertanyaan Penelitian... 12
C. Tujuan Penelitian... 12
D. Manfaat Penelitian... 13
E. Sistematika Penulisan... 13
BAB II LANDASAN TEORI A. Big Five Personality... 15
1. Definisi Big Five Personality….……….…………. 15
2. Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality….……….. 16
B. Coping Stress... 20
1. Definisi Coping Stress... 20
2. Faktor-Faktor Coping Stress... 21
3. Fungsi Coping Stress... 23
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stress... 25
D. Kaitan Antara Tipe Kepribadian Big Five Personality dan Coping
Stress Pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes
Medan... 30
E. Hipotesa Penelitian... 31
BAB III METODE PENELITIAN... 34
A. Variabel Penelitian... 34
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 35
C. Prosedur Pengambilan Sampel... 38
1. Populasi dan Sampel... 38
2. Metode Pengambilan Sampel... 38
3. Jumlah Sampel Penelitian... 38
D. Metode Pengumpulan Data... 39
1. Alat Ukur yang Digunakan... 39
2. Validitas... 41
3. Uji Daya Beda Item dan Reliabilitas... 43
a. Uji Daya Beda Item... 43
b. Reliabilitas... 44
E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 48
1. Persiapan Penelitian... 48
2. Pelaksanaan Penelitian... 49
1. Usia Subjek Penelitian... 52
2. Jenis Kelamin Subjek Penelitian... 53
3. Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian... 53
4. Suku Subjek Penelitian... 54
B. Hasil Penelitian... 54
1. Hasil Uji Asumsi Penelitian... 54
a. Uji Normalitas... 55
b. Uji Linieritas... 55
c. Autokorelasi... 57
2. Hasil Utama Penelitian... 57
3. Hasil Tambahan Penelitian... 61
a. Gambaran Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan... 61
b. Gambaran Kepribadian Big Five Personality pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan... 63
c. Perbedaan Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan ditinjau dari Faktor Demografis... 70
3) Perbedaan Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal
Poltabes Medan ditinjau dari Tingkat Pendidikan... 73
4) Perbedaan Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan ditinjau dari Suku... 74
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN... 76
A. Kesimpulan... 76
1. Hasil Utama... 76
2. Hasil Tambahan... 78
B. Diskusi... 79
C. Saran... 82
1. Saran Metodologis... 82
2. Saran Praktis... 83
Bima Sandro Sumbayak dan Rika Eliana, M.Si
ABSTRAK
Polisi merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk menjaga keamanan yang terdapat pada setiap negara. Salah satu bagian polisi yang tergolong unik adalah polisi Reserse Kriminal. Polisi Reserse Kriminal mengalami stres yang berbeda jika dibandingkan dengan bagian kepolisian yang lain.
Untuk mengatasi stres ini, maka setiap individu perlu melakukan coping
stress. Salah satu faktor yang mempengaruhi coping stress adalah kepribadian.
Kepribadian yang dilihat dalam penelitian ini adalah tipe kepribadian Big Five
Personality.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian Big Five Personality dengan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan. Dari penelitian ini juga dapat diperoleh gambaran
coping stress dan apakah ada perbedaan coping stress ditinjau dari ciri demografis
pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Sampel diperoleh dengan tehnik incidental sampling. Data diperoleh dengan tehnik
multiple regression. Hasil penelitian ini adalah adanya hubungan tipe kepribadian neuroticism, agreeableness, dan conscientiousness dengan problem-focused coping, dan adanya hubungan tipe kepribadian extraversion dengan emotion-focused coping.
Hasil tambahan penelitian ini adalah terdapat 55 orang sampel yang telah melakukan coping stress dengan baik, dan tidak ada perbedaan coping stress bila ditinjau dari ciri demografis.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Semua negara di dunia membutuhkan lembaga yang bertugas untuk
menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum. Indonesia memiliki lembaga
yang bertugas untuk menjalankan fungsi tersebut yaitu Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Polri). Polri merupakan suatu lembaga yang mendapatkan
tugas dan wewenangnya berdasarkan sistem ketatanegaraan Indonesia untuk
menjaga keamanan negara dan menegakkan hukum yang berlaku dalam wilayah
Negara Republik Indonesia (Syafrika & Suyasa, 2004).
Polri sebagai institusi, pengayom dan penegak hukum harus mampu
berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungan sosialnya. Kleden (2001)
menganggap polisi sebagai the strong hand of the society dan the soft hand of
society. Polisi menghadapi dilema dalam menerapkan kedua peran tersebut.
Sebagai penegak hukum, polisi harus selalu teratur dalam berbagai situasi
dan dalam mengendalikan berbagai tingkah laku manusia. Meskipun polisi
melaksanakan tugasnya dengan adil, baik, dan diplomatis pekerjaan mereka
tetaplah bukan tugas yang mudah (Sullivan, 1977).
Direktur utama ACLU, Ira Glasser (dalam Amaranto, 2003) menyatakan
bahwa polisi adalah pekerjaan yang mencakup banyak aspek, sulit, berbahaya, dan
stressfull. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hans Seyle (dalam Haines, 2003)
yang menyatakan bahwa polisi adalah pekerjaan yang paling menyebabkan stres
Pernyataan-pernyataan di atas sesuai dengan hasil penelitian McShane
dan Glinow (2003) yang menyatakan bahwa polisi adalah salah satu dari beberapa
pekerjaan yang digolongkan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada
pekerjaan-pekerjaan lainnya, seperti: akuntan, artis, manajer rumah sakit, kepala
sekolah, dan lain-lain. Hal ini tampak dari gambar berikut:
Sumber: McShane & Glinow (2003)
Gambar 1.
Stressors In Occupations
Menurut Berg dkk (dalam Nuzulia, 2005), pekerjaan polisi tidak saja
merupakan pekerjaan yang membuat stres, tetapi juga, karakteristik pada stres
yang dialami oleh polisi berbeda dengan pekerjaan lain. Beberapa hal yang
menyebabkan stres pada polisi adalah pimpinannya, waktu kerja yang padat yang
menyebabkan kurangnya waktu dengan keluarga, teman sekerja, dan warga
masyarakat. Haines (2003) menyatakan beberapa faktor lain yang turut berperan
sebagai penyebab stres pada polisi yaitu gaji yang rendah, waktu tidur yang tidak
Demikian pula Kunarto (2001), seorang punawirawan Polri dalam
bukunya Perilaku Organisasi POLRI, menyatakan bahwa terdapat 9 (sembilan)
penyebab stres pada polisi, yaitu:
1. Beban kerja berlebihan.
2. Tekanan/desakan waktu.
3. Kualitas pelaksana yang buruk.
4. Iklim politik yang tidak baik.
5. Wewenang yang tidak memadai.
6. Konflik berkepanjangan.
7. Perbedaan nilai tugas antara pimpinan dan bawahan.
8. Perubahan-perubahan organisasi yang tak lazim seperti PHK.
9. Frustrasi.
Selain hal-hal tersebut di atas, Meliala (2001) menyatakan bahwa polisi
juga mendapat tekanan dari masyarakat sipil. Kegusaran masyarakat, konon
semakin dirasakan oleh polisi di banyak negara Barat maupun di Indonesia
sebagai momok yang menghantui polisi. Para polisi mendapat kritikan ketika ingin
menetapkan proses peradilan yang cepat. Sebaliknya, ketika ingin menerapkan
peradilan yang tuntas dan optimal (lambat), mereka juga akan mendapat kritikan.
Menurut Meliala (2001), hal ini ada kaitannya dengan sikap tanggung gugat
(accountability) yang cenderung meningkat di kalangan polisi. Tanggung gugat
merujuk pada kesediaan bertanggung jawab atas sesuatu yang secara tidak
Polisi dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum dan
keadilan memiliki beberapa tugas, yaitu sebagai petugas patroli, detektif, polisi
remaja, polisi lalu lintas, petugas training, petugas identifikasi, dan petugas
laboratorium (kriminal)(Sullivan, 1977).
Adapun di Indonesia, berdasarkan website resmi Polda DIY (2008),
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) diklasifikasikan menjadi 9 (sembilan)
bagian, atau yang disebut dengan direktorat, yaitu:
1. Direktorat Intelkam
2. Direktorat Polair
3. Direktorat Narkoba
4. Detasemen 88
5. Direktorat Lantas
6. Direktorat Samapta
7. Satuan Brimob
8. Direktorat Pampar
9. Direktorat Reskrim
Menurut Sullivan (1977), apabila dibandingkan dari kedelapan bidang
kepolisian lainnya, polisi kriminal atau yang dikenal dengan Direktorat Reserse
Kriminal (Dit. Reskrim) di Indonesia dianggap sebagai ”urat nadi” kepolisian.
Berdasarkan website resmi Polda DIY (2008), Dit. Reskrim merupakan unsur
pelaksana utama Kepolisian Daerah (Polda) yang bertugas membina fungsi dan
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
rangka penegakan hukum, koordinasi dan pengawasan operasional dan
administrasi penyidikan sesuai ketentuan ketentuan hukum dan peraturan yang
berlaku.pe
Dit. Reskrim bertugas untuk menindak segala jenis perilaku kriminal.
Kriminal adalah suatu bentuk perilaku yang melanggar hukum. Kriminalitas
adalah suatu tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum yang
berlaku di masyarakat (’Lectric Law Library, 2008).
Setiap anggota polisi kriminal dituntut untuk menguasai berbagai cabang
ilmu untuk memberi solusi terhadap kasus yang belum terpecahkan. Kesaksian
mereka juga dibutuhkan di persidangan (Sullivan, 1977). Bersaksi di persidangan
menimbulkan tekanan tersendiri. Tekanan tersebut berasal dari kehadiran keluarga
tersangka dan pihak pers yang menghadiri persidangan tersebut (Schmalleger,
1997). Tekanan lain yang dirasakan polisi, khususnya polisi kriminal adalah
waktu. Mereka dituntut untuk selalu siaga selama 24 jam (Sullivan, 1977).
Menurut Meliala (2001), polisi kriminal sering menghadapi jenis bahaya
yang berbeda, yaitu harus senantiasa mewaspadai perlawanan pelaku kejahatan
yang dapat mengancam keselamatan jiwa polisi yang hendak menangkapnya
ataupun keselamatan masyarakat lainnya. Sarwono (dalam Pratama, 2008)
menyatakan bahwa polisi kriminal terkadang harus menghadapi situasi
hidup-mati, menembak atau ditembak, dan melihat rekan kerja mereka tewas.
Akibatnya, polisi kriminal lebih rentan mengalami Post-Traumatic Syndrome
Disorder, yaitu mengalami gejala stres yang sangat berat setelah mengalami suatu
Nuzulia (2005) juga menemukan bahwa bekerja pada komunitas yang
besar dilaporkan lebih stres daripada yang berada pada komunitas kecil. Hal ini
berhubungan dengan aspek-aspek pekerjaan polisi kota, termasuk tindak kriminal
yang lebih tinggi.
Fisher (dalam Bell, 1996) menyatakan bahwa tingkat kriminalitas lebih
tinggi di daerah perkotaan dibanding dengan pedesaan. Tingkat kekerasan
mencapai hampir 8 (delapan) kali lebih besar dan tingkat pembunuhan 3 (tiga)
kali lebih besar di kota besar dibandingkan dengan daerah pedesaan (Bell, 1996).
Salah satu kota terbesar di Indonesia adalah Medan. Kota Medan
memiliki populasi penduduk yang berjumlah 4 juta orang, Medan merupakan
salah satu kota terpenting bagi industri dan perdagangan Indonesia (PT. Medan
Mas Karimun, 2008).polda.
Kota Medan saat ini telah menjadi Kota Koboi. Pasalnya, dalam beberapa
waktu belakangan ini, aksi tindak kriminal baik perampokan dan penembak
misterius semakin bergentayangan dan ironisnya tidak satupun terungkap
(Samosir, 2006). Misalnya saja perampokan Rp. 500 juta gaji karyawan PTP II
dan tewasnya anggota Polsek jajaran Poltabes Medan. Lebih uniknya lagi
kawanan penjahat ini menggunakan senjata api dalam aksinya. Sementara itu,
pelajar SD tewas terapung di dalam goni plastik di sungai Deli Medan baru-baru
ini (Badan Informasi dan Komunikasi, 2005).
Media massa dapat bertindak sebagai pengawas terhadap kasus-kasus yang
belum terungkap, yang mengingatkan polisi untuk menyelesaikan kasus-kasus
tersebut. Ketika hukum tidak memungkinkan polisi meneruskan kasus, maka pada
berkolusi dengan tersangka. Di mata polisi, pengawasan oleh media massa
tersebut dirasakan sebagai campur tangan dan tekanan (Meliala, 2001).
Menurut Rice (1992), kondisi tertekan ini disebut dengan stres. Lazarus
dan Folkman (1980) berpendapat bahwa kondisi ketertekanan individu dapat
disebabkan oleh stimulus internal dan eksternal. Menurut Sarafino (2006), stres
adalah suatu kondisi yang diakibatkan adanya transaksi antara individu dengan
lingkungan yang menyebabkan individu mempersepsikan bahwa terdapat
ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan kemampuan dirinya. Stres
memiliki pengaruh positif dan pengaruh negatif.
Pengaruh positif dari stres adalah dapat mengaktifkan dan memotivasi
individu sehingga dia dapat mencapai tujuannya, merubah lingkungannya, dan
meraih kesuksesan dalam hidupnya. Pengaruh negatif dari stres disebabkan oleh
tingkat stres yang terlalu tinggi dan individu merasa tidak sanggup untuk
menghadapinya (Nuzulia, 2005). Pengalaman ini mengakibatkan gangguan
fisiologis, psikologis dan tingkah laku. Menurut McShane dan Glinow (2003),
gangguan-gangguan tersebut antara lain: sakit jantung, tekanan darah tinggi, sakit
kepala, dan penyakit-penyakit lainnya, ketidakpuasan kerja, depresi, burnout,
penurunan performance kerja, tingginya absensi, agresi, dan lain-lain.
Setiap individu diharuskan memiliki kemampuan coping yang baik untuk
menghindari konsekuensi negatif ini, tidak perduli apakah individu tersebut
mampu atau tidak (Duffy & Wong, 2003). Menurut Nuzulia (2005), coping adalah
cara individu untuk mengatasi masalahnya.
Folkman dan Lazarus (1980) memberikan definisi yang cukup jelas
mengurangi, dan bersikap sabar dalam menghadapi tuntutan terhadap dirinya.
Tuntutan tersebut dapat berupa eksternal dan internal. Berdasarkan definisi ini,
Matheny (1986) memberikan definisi coping sebagai segala usaha secara sehat
maupun tidak sehat, sadar ataupun tidak, untuk mencegah, menghilangkan, atau
mengurangi efek stressor, atau untuk sabar menghadapi dampak negatif yang
ditimbulkan oleh stressor tersebut (dalam Rice, 1992).
Menurut Lazarus, Folkman, dkk (1986), ada 8 (delapan) cara dalam
mengatasi stres, atau yang disebut dengan faktor-faktor coping, yaitu: confrontive
coping, distancing, self-controlling, seeking social support, accepting
responsibility, escape-avoidance, planful problem-solving, dan positive
reappraisal.
Menurut Lazarus, Folkman, dkk (1986) faktor-faktor coping tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua macam fungsi, yaitu:
a. Problem-Focused Coping
Strategi yang dibuat individu untuk mengembangkan perencanaan tindakan
yang jelas terhadap stressor dan mengontrolnya sebisa mungkin.
b. Emotion-Focused Coping
Usaha yang dilakukan individu untuk mengontrol dan membebaskan
perasaan-perasaan negatif (seperti amarah, frustrasi, rasa takut) yang
disebabkan oleh tekanan yang diterimanya.
Menurut Smet (1994), salah satu faktor yang mempengaruhi coping stress
yang bersifat terbuka, aktif dalam hubungan sosial, dan sering mengekspresikan
emosi akan merespon situasi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan
orang-orang yang tertutup, menarik diri, dan jarang mengekspresikan emosinya. Orang
yang tertutup atau introvert biasanya akan menyelesaikan masalahnya sendiri,
tanpa meminta bantuan orang lain.
Sarafino (2006) juga menambahkan bahwa semakin besar jaringan sosial
dan intensitas hubungan interpersonal seseorang, maka semakin sering ia memberi
dukungan dan mencari dukungan sosial ketika menghadapi masalah. Orang-orang
yang bersifat terbuka akan lebih mau menerima saran dan informasi dari orang
lain untuk menyelesaikan masalahnya. Menurut Costa dan McRae (dalam Pervin,
2005), orang-orang dengan kepribadian Neuroticism lebih sering merespon situasi
stres dengan cara yang tidak tepat.
Gordon Allport dan Raymond Cattell adalah orang-orang yang memulai
meneliti tentang kepribadian dan mereka yakin bahwa faktor bawaan sangat
berperan dalam membentuk kepribadian, sama halnya dengan faktor lingkungan
(dalam Shultz & Schultz, 1994). Menurut Allport (dalam Suryabrata, 2002),
kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis di dalam individu, sebagai
sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri
terhadap lingkungan.
Kepribadian telah dikonsepkan dari bermacam-macam perspektif teoritis
yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya (McAdams dalam John &
Srivastava, 1999). Masing-masing tingkatan ini memiliki keunikan dalam
jumlah sifat kepribadian dan skala kepribadian tetap dirancang tanpa
henti-hentinya (Goldberg dalam John & Srivastava, 1999).
Eysenck (1981) setuju dengan pendapat Cattell (1977) yang menyatakan
bahwa kepribadian merupakan kumpulan dari sifat-sifat yang saling berkombinasi
yang disebut dengan superfactors (dalam Schultz & Schultz, 1994). Eysenck
(1985) membagi kepribadian menjadi 3 (tiga) dimensi, yaitu:
1. Extraversion vs Introversion (E).
2. Neuroticism vs EmotionalStability (N).
3. Psychoticism vs ImpulseControl (P).
Namun peneliti-peneliti selanjutnya merasa tidak puas dengan teori
tersebut. Menurut mereka teori-teori sebelumnya terlalu sederhana, hanya
mencakup sedikit aspek dan rumit (dalam Schultz & Schultz, 1994). Setelah
beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu pendekatan
taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu The Big Five
Personality (John & Srivastava, 1999).
Kerangka berpikir Big Five merupakan suatu model hirarki kepribadian
dengan lima faktor yang setiap faktornya menjelaskan kepribadian dengan jelas
dan sangat luas. Pandangan Big Five menyatakan bahwa setiap perbedaan
individu dalam kepribadiannya dapat dikelompokkan ke dalam 5 (lima) bagian
secara empiris (Gosling, Rentfrow, & Swann Jr, 2003). Istilah Big Five pertama
kali dicetuskan oleh Lew Goldberg (1981).
Menurut Srivastava (2008), Big Five merupakan 5 (lima) faktor atau
Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Extraversion (Surgency). Dimensi ini terdiri dari sifat-sifat seperti:
talkative, berenergi, dan asertif.
2. Agreeableness. Dimensi ini mencakup sifat-sifat, seperti simpati, baik hati,
dan berperasaan.
3. Conscientiousness. Orang dengan dimensi ini cenderung teratur, teliti, dan
terencana.
4. Neuroticism (terkadang terbalik dan disebut dengan Emotional Stability).
Dikarakteristikkan dengan sifat tegang, moody, dan cemas.
5. Openness to Experience (terkadang disebut dengan Intelect atau Intelect/
Imagination). Dimensi ini mencakup sifat-sifat seperti rasa ketertarikan
yang luas, imaginatif, dan berwawasan luas.
Beberapa peneliti lain, seperti Paul Costa dan Robert (Jeff) McRae
menyebut pendekatan Big Five dengan istilah Five Factor Model atau Five Factor
Theory. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada faktor biologis yang
menganggap bahwa faktor belajar dan pengalaman hanya memberikan pengaruh
yang kecil dalam membentuk kepribadian (Srivastava, 2008).
Faktor kepribadian Big Five atau Five Factor Model merupakan salah satu
pendekatan yang lebih sederhana dan deskriptif dalam menggambarkan
kepribadian manusia (Pervin, 2005). Hasil yang konsisten mengenai teori ini juga
telah diperoleh dari berbagai teknik pengukuran. Kelima faktor ini telah
selama 6 (enam) tahun diperoleh kestabilan sifat pada subjek yang sama (dalam
Schultz & Schultz, 1994).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dinyatakan sebelumnya,
peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian big five
personality dengan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Dari penjelasan di atas maka pertanyaan yang diajukan peneliti adalah
”bagaimana hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan coping
stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan?” Pertanyaan tambahan
dalam penelitian ini adalah ”bagaimana gambaran coping stress dan kepribadian
big five personality pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan?” dan ”apakah
ada perbedaan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan bila
ditinjau dari faktor usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan suku subjek
penelitian?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
tipe kepribadian big five personality dengan coping stress pada polisi Reserse
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis
a. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat pada ilmu Psikologi Sosial
terutama mengenai hubungan tipe kepribadian big five personality dengan
copingstress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.
b. Penelitian ini diharapkan agar menjadi pemicu munculnya
penelitian-penelitian lain terhadap polisi yang memang masih jarang dijumpai saat
ini.
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk
mengambil kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi
Direktorat Reserse Kriminal Poltabes Medan, seperti seleksi, penempatan,
dan lain-lain.
b. Memberi informasi mengenai hubungan antara tipe kepribadian big five
personality dengan coping stress pada polisi reserse kriminal Poltabes
Medan.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I : Pendahuluan berisikan uraian latar belakang masalah, perumusan
Bab II : Landasan teori berisikan teori-teori yang berkaitan dengan big five
personality, coping stress, dan direktorat reserse kriminal. Pada
bab ini juga dijelaskan hubungan antar variabel dan hipotesa.
Bab III : Metode penelitian, berisi uraian mengenai metode yang digunakan
untuk penelitian ini, seperti pendekatan yang digunakan, sampel,
cara pengambilan sampel, dan alat ukur penelitian.
Bab IV : Analisa data berisi uraian hasil penelitian dan interpretasi data.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. BIG FIVE PERSONALITY 1. Definisi Big Five Personality
Kepribadian telah dikonsepkan dari bermacam-macam perspektif teoritis
yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya (McAdams dalam John &
Srivastava, 1999). Masing-masing tingkatan ini memiliki keunikan dalam
memahami perbedaan individu dalam perilaku dan pengalamannya. Namun,
jumlah sifat kepribadian dan skala kepribadian tetap dirancang tanpa
henti-hentinya (Goldberg dalam John & Srivastava, 1999).
Psikologi kepribadian memerlukan model deskriptif atau taksonomi
mengenai kepribadian itu sendiri. Salah satu tujuan utama taksonomi dalam ilmu
pengetahuan adalah untuk menyederhanakan defenisi yang saling tumpang-tindih.
Oleh karena itu, dalam psikologi kepribadian, suatu taksonomi akan
mempermudah para peneliti untuk meneliti sumber utama karakteristik
kepribadian daripada hanya memeriksa ribuan atribut yang berbeda-beda yang
membuat setiap individu berbeda dan unik (John & Srivastava, 1999).
Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu
pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu
dimensi “Big Five Personality”. Dimensi Big Five pertama kali diperkenalkan
oleh Goldberg pada tahun 1981. Dimensi ini tidak mencerminkan perspektif
teoritis tertentu, tetapi merupakan hasil dari analisis bahasa alami manusia dalam
menjelaskan dirinya sendiri dan orang lain. Taksonomi Big Five bukan bertujuan
memberikan penjelasan sistem kepribadian secara umum (John & Srivastava,
1999).
Big Five disusun bukan untuk menggolongkan individu ke dalam satu
kepribadian tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian
yang disadari oleh individu itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari.
Pendekatan ini disebut Goldberg sebagai Fundamental Lexical (Language)
Hypothesis; perbedaan individu yang paling mendasar digambarkan hanya dengan
satu istilah yang terdapat pada setiap bahasa (dalam Pervin, 2005).
Big Five Personality atau yang juga disebut dengan Five Factor Model
oleh Costa & McRae dibuat berdasarkan pendekatan yang lebih sederhana. Di
sini, peneliti berusaha menemukan unit dasar kepribadian dengan menganalisa
kata-kata yang digunakan orang pada umumnya, yang tidak hanya dimengerti oleh
para psikolog, namun juga orang biasa (Pervin, 2005).
2. Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa big five
personality terdiri dari lima tipe atau faktor. Terdapat beberapa istilah untuk
menjelaskan kelima faktor tersebut. Namun, di sini kita akan menyebutnya
dengan istilah-istilah berikut:
1. Neuroticism (N)
2. Extraversion (E)
3. Openness to New Experience (O)
4. Agreeableness (A)
Untuk lebih mudah mengingatnya, istilah-istilah tersebut di atas disingkat menjadi
OCEAN (Pervin, 2005).
Untuk lebih jelasnya, kelima faktor di atas akan dipaparkan pada Tabel 1.
yang didapat dari hasil penelitian Costa dan McRae (1985;1992). Neuroticism
berlawanan dengan Emotionalstability yang mencakup perasaan-perasaan negatif,
seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah, dan tegang. Openness to Experience
menjelaskan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas dari aspek mental dan
pengalaman hidup. Extraversion dan Agreeableness merangkum sifat-sifat
interpersonal, yaitu apa yang dilakukan seseorang dengan dan kepada orang lain.
Yang terakhir Conscientiousness menjelaskan perilaku pencapaian tujuan dan
kemampuan mengendalikan dorogan yang diperlukan dalam kehidupan sosial
(Pervin, 2005).
Tabel 1.
Karakteristik sifat-sifat Five Factor Model dengan skor tinggi dan rendah
Karakteristik dengan skor tinggi
Sifat Karakteristik dengan skor rendah
distress psikologi, ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan/keinginan yang berlebihan, dan respon
coping yang tidak sesuai.
Tenang , santai, tidak emosional, tabah, nyaman, puas terhadap diri sendiri.
Mudah bergaul, aktif,
Tidak ramah, tenang, tidak periang, menyendiri, task –oriented, pemalu, pendiam.
Rasa ingin tahu tinggi, ketertarikan luas, kreatif,
original, imajinatif, tidak
ketinggalan jaman.
Openness (O)
Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai pengalaman baru, Senang
Mengikuti apa yang sudah ada, down to earth,
mengetahui sesuatu yang tidak familiar.
seni, kurang analitis.
Berhati lembut, baik, suka menolong, dapat mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap
permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan.
Sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama, pendendam, kejam, mudah marah, manipulatif.
Teratur, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, tekun. menjadi malas dan lemah.
Tidak bertujuan, tidak
Menurut Costa & McRae (dalam Pervin, 2005), setiap dimensi dari Big
Five terdiri dari 6 (enam) faset atau subfaktor. Faset-faset tersebut adalah:
1. Extraversion terdiri dari:
1. Gregariousness (suka berkumpul).
2. Activity level (level aktivitas).
3. Assertiveness (asertif).
4. Excitement Seeking (mencari kesenangan).
5. Positive Emotions (emosi yang positif).
6. Warmth (kehangatan).
2. Agreeableness terdiri dari:
1. Straightforwardness (berterusterang).
2. Trust (kepercayaan).
3. Altruism (mendahulukan kepentingan orang lain).
5. Tendermindedness (berhati lembut).
6. Compliance (kerelaan).
3. Conscientiousness terdiri dari:
1. Self-discipline (disiplin).
2. Dutifulness (patuh).
3. Competence (kompetensi).
4. Order (teratur).
5. Deliberation (pertimbangan).
6. Achievement striving (pencapaian prestasi).
4. Neuroticism terdiri dari:
1. Anxiety (kecemasan).
2. Self-consciousness (kesadaran diri).
3. Depression (depresi).
4. Vulnerability (mudah tersinggung).
5. Impulsiveness (menuruti kata hati).
6. Angry hostility (amarah).
5. Openness to new experience terdiri dari:
1. Fantasy (khayalan).
2. Aesthetics (keindahan).
3. Feelings (perasaan).
5. Actions (tindakan).
6. Values (nilai-nilai).
B. COPING STRESS 1. Definisi Coping Stress
Folkman dan Lazarus (dalam Rice, 1992) mendefinisikan coping sebagai
segala upaya kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan bersikap
sabar dalam menghadapi tuntutan terhadap dirinya. Tuntutan tersebut dapat
berupa eksternal dan internal.
Menurut Taylor (dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa coping adalah
suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola perbedaan yang ada
antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun
tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang dimiliki
individu tersebut dalam menghadapi situasi stressfull.
Menurut Harowitz (dalam Rice, 1992), coping merupakan tindakan yang
mencakup tindakan mental dan fisik yang digunakan untuk mengendalikan,
mengatur, mengurangi, atau mentolerir efek tekanan yang ada, baik eksternal
maupun internal. Secara umum, coping diarahkan pada dua hasil. Yang pertama
bahwa coping diharapkan untuk mengubah hubungan antara diri dan lingkungan.
Yang kedua, coping diarahkan untuk mengatur emosi yang tidak menyenangkan.
Situasi yang stressfull sendiri merupakan suatu kondisi yang penuh dengan
stres. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992), mendefinisikan stres dengan
a. Stres mengarah pada setiap kejadian atau stimulus lingkungan yang
menyebabkan seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini,
stres berasal dari eksternal seseorang. Kondisi yang dapat menimbulkan stres
disebut dengn stressor. Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang
memaksa tubuh dan menyebabkan timbulnya ”physiological reaction” adalah
stressor.
b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian
internal dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri,
interpretasi dan proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.
c. Stres mengarah pada physical reaction dalam mengatasi ataupun
menghilangkan gangguan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa coping
stress adalah segala usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi, mengatur,
dan besikap sabar terhadap tuntutan-tuntutan baik internal maupun eksternal yang
tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya secara fisik dan mental atau
emosional.
2. Faktor-Faktor Coping Stress
Para peneliti telah menemukan sekitar 400 (empat ratus) cara yang biasa
dilakukan orang dalam menghadapi situasi yang stressfull dan
mengelompokkannya dalam berbagai kategori (dalam Sarafino, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian Lazarus, Folkman, dkk (1986), coping dapat
1. Confrontive coping; mencakup usaha agresif untuk menghadapi situasi yang
menekan, menggambarkan kekerasan terhadap orang lain, dan mengambil
tindakan yang memiliki resiko tinggi.
2. Distancing; usaha untuk melupakan masalah yang terjadi, dan melihat sisi
positif dari suatu masalah yang dihadapi.
3. Self-control; menjelaskan usaha untuk mengatur perasaan dan perilaku agar
tetap tenang.
4. Seeking social support; usaha untuk mencari dukungan informasi, dukungan
penyelesaian masalah, dan dukungan emosional dari orang-orang yang
dianggap penting.
5. Accepting responsibility; menyadari permasalahan yang sedang dihadapi dan
bertekad untuk menyelesaikannya.
6. Escape-Avoidance; menganggap masalah akan segera berakhir dan mencari
tindakan untuk menghindari masalah yang sedang dihadapi.
7. Planful problem-solving; usaha untuk memahami masalah dan melakukan
perencanaan untuk menyelesaikannya.
8. Positive reappraisal; menjelaskan usaha untuk mencari makna positif dari
suatu masalah yang berguna untuk perkembangan diri sendiri.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik oleh Lazarus, Folkman, et al
(1986), hasil yang memuaskan diperoleh dari penggunaan planful
problem-solving dan positive reappraisal. Sedangkan hasil yang tidak memuaskan
Namun demikian, perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun metode yang
dapat digunakan untuk semua situasi stres. Menurut Ruther (Smet, 1994) tidak
ada strategi coping yang paling berhasil. Lazarus & Folkman (1984) menyatakan
bahwa efektivitas strategi coping bervariasi tergantung pada situasinya (dalam
Powers, dkk, 2002). Menurut Taylor, keberhasilan coping lebih tergantung pada
penggabungan strategi coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian
yang penuh stres, daripada mencoba menemukan satu strategi coping yang paling
berhasil (dalam Smet, 1994).
Menurut Skinner (dalam Sarafino, 2006), confrontive coping, seeking
social support, accepting responsibility, dan planful problem-solving memiliki
fungsi problem focused-coping. Sedangkan distancing, self-control,
escape-avoidance, dan positive reappraisal memiliki fungsi emotion-focused coping.
3. Fungsi Coping Stress
Secara umum Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1992) membedakan 2
(dua) fungsi copingstress, yaitu:
a. Emotion-focused coping
Usaha yang dilakukan individu untuk mengontrol dan membebaskan
perasaan-perasaan negatif (seperti amarah, frustrasi, rasa takut) yang
disebabkan oleh tekanan yang diterimanya.
Menurut Powers (2002), pengaturan ini dapat terlihat dari perilaku individu,
seperti penggunaan alkohol, bagaimana mengabaikan fakta-fakta yang tidak
menyenangkan dengan strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah
satu contoh strategi ini disebutkan oleh Freud (dalam Smet, 1994) yaitu
mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Strategi ini tidak mengubah
situasi stres, hanya mengubah cara orang memikirkan situasi dan melibatkan
elemen penipuan diri.
b. Problem-focused coping
Strategi yang dibuat individu untuk mengembangkan perencanaan tindakan
yang jelas terhadap stressor dan mengontrolnya sebisa mungkin.
Menurut Powers (2002), individu akan mengatasi masalah dengan
mempelajari cara atau ketrampilan baru untuk mengurangi stressor tersebut.
Individu akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan
dapat mengubah situasi. Metode ini sering digunakan oleh orang dewasa.
Menurut Sarafino (2006), individu dapat menggunakan problem focused
coping dan emotion focused coping secara bersamaan ketika sedang menghadapi
masalah. Beberapa studi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh psikologi terkemuka
menunjukkan hasil penemuan mengenai penggunaan problem focused dan
emotion focused coping, seperti Folkman (dalam Sarafino, 2006) yang
menyatakan bahwa individu dewasa madya lebih sering menggunakan
problem-focused coping sedangkan individu yang lebih tua lebih sering menggunakan
emotion-focused coping.
Selain itu, Greenglass & Noguchi juga menyatakan bahwa pria cenderung
lebih sering menggunakan problem-focused coping dibandingkan wanita yang
Moos juga ditemukan bahwa orang dengan tingkat pendidikan dan pendapatan
yang lebih tinggi lebih sering menggunakan problem-focused coping
dibandingkan dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan
yang lebih rendah. (dalam Sarafino, 2006).
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stress
Reaksi terhadap stres bervariasi antara orang yang satu dengan yang
lainnya, dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini disebabkan
oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat merubah stressor bagi
individu.
Menurut Smet (1994) faktor-faktor tersebut adalah:
a. Variabel dalam kondisi individu; mencakup umur, tahap kehidupan, jenis
kelamin, tempramen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku,
kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.
b. Karakteristik kepribadian, mencakup introvert-ekstrovert, stabilitas emosi
secara umum, kepribadian ”ketabahan” (hardiness), locus of control,
kekebalan, ketahanan.
c. Variabel sosial-kognitif, mencakup: dukungan sosial yang dirasakan, jaringan
sosial, kontrol pribadi yang dirasakan.
d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi
dalam jaringan sosial.
e. Strategi coping stress, merupakan cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam
C. DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL 1. Pengertian dan Fungsi Reserse Kriminal
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terdiri dari beberapa bagian atau
yang disebut direktorat, antara lain adalah direktorat reserse kriminal (Dit.
Reskrim). Dit Reskrim adalah unsur pelaksana utama Polda yang berada dibawah
Kapolda. Dit Reskrim bertugas membina fungsi dan menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk fungsi Identifikasi
dan fungsi Laboratorium Forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum ,
koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidikan sesuai
ketentuan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku (Website POLRI DIY,
2008).
Dalam menyelenggarakan tugas yang dimaksud, Dit. Reskrim
menyelenggarakan fungsi sbb :
1. Pembinaan fungsi / penyelidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi
dan fungsi laboratorium forensik lapangan serta kegiatan-kegiatan lain yang
menjadi tugas Dit Reskrim dalam lingkungan Polda.
2. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penyelidikan / penyidikan tindak pidana
umum dan tertentu , dengan memberikan pelayanan / perlindungan khusus
kepada korban / pelaku remaja , anak dan wanita, dalam rangka penegakan
hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
3. Penyelenggaraan fungsi Identifikasi baik untuk kepentingan penyidikan
maupun pelayan umum.
4. Penyelenggaraan pembinaan teknis dan koordinasi dan pengawasan
5. Pelaksanaan analisis setiap kasus dan isu-isu menonjol beserta penanganannya
dan mempelajari / mengkaji efektifitas pelaksanaan tugas satuan-satuan fungsi
Reskrim.
Dit. Reskrim dipimpin oleh Direktur Reskrim , disingkat Dir. Reskrim ,
yang bertanggung jawab kepada Kapolda dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari
berada dibawah kendali Wakapolda. Dir Reskrim dibantu oleh Wakil Direktur
Reskrim , disingkat Wadir Reskrim , yang bertanggung jawab kepada Dir.
Reskrim.
2. Struktur Organisasi Direktorat Reserse Kriminal Dit. Reskrim terbagi menjadi 6 (enam) bagian, yaitu:
1. Sub bagian perencanaan dan Administrasi (Subbagrenmin)
Subbagrenmin adalah unsur pelaksana dan pelayanan staf pada Dit.
Reskrim yang berada dibawah Dir. Reskrim. Subbagrenmin bertugas merumuskan
/ menyiapkan rencana / program kerja & anggaran termasuk rencana dan
administrasi operasional & pelatihan dan menyelenggarakan pelayanan urusan
administrasi personel & logistik urusan ketatausahaan & urusan dalam dan
pelayan keuangan Dit. Reskrim.
Subbagrenmin dipimpin oleh Kepala Subbagrenmin disingkat
Kasubbagrenmin yang bertanggung jawab kepada Dir. Reskrim dan dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari dibawah kendali Wadir Reskrim. Untuk menjamin
dinamika dan keterpaduan operasional dalam pelaksanaan tugas semua satuan
piket siaga yang juga berperan dalam pelayanan penerimaan dan penanganan
pertama laporan/pengaduan warga masyarakat yang membutuhkan.
2. Bagian Analisis Direktorat Reserse dan Kriminal
Bag Analisis adalah unsur pembantu pimpinan dan staf pada Dit Reskrim
yang berada dibawah Dir. Reskrim. Bag. Analisis bertugas melakukan analisa dan
gelar perkara setiap kasus dan isu-isu yang berkaitan dgn rangkaian kasus-kasus
menonjol beserta penanganannya dan mempelajari / mengkaji efektifitas
pelaksanaan tugas penyelidikan / penyidikan tindak pidana oleh satuan-satuan
fungsi Reskrim dalam lingkungan Polda , termasuk penghimpunan dan
pemeliharaan berkas perkara yang telah selesai diproses dan bahan literatur yang
terkait
Bag Analisis dipimpin oleh Kepala Bagian Analisis , disingkat Kabag
Analisis yang bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan
tugas sehari-hari dibawah kendali Wadir Reskrim.
Kabag Analisis dalam melaksanakan tugas keawajibannya dibantu oleh :
a. Kepala Sub Bagian Produksi disingkat Kasubbag Produk
b. Kepala Sub Bagian Dokumentasi & Literatur disingkat Kasubbag Doklit
3. Siskorwas PPNS Direktorat Reserse dan Kriminal
Sikorwas PPNS adalah unsur pelaksana teknis pada Dit Reskrim yang
berada dibawah Dir Reskrim. Sikorwas bertugas melaksanakan koordinasi dan
pengawasan operasional termasuk pembinaan / bimbingan teknis penyidikan dan
Sikorwas PPNS dipimpin oleh Kepala Sikorwas PPNS , disingkat Kasi
Korwas PPNS yang bertabggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wadir Reskrim.
4. Seksi Identifikasi Direktorat Reserse Kriminal
Si Ident adalah unsur pelaksana teknis pada Dit Reskrim yang berada
dibawah Dir Reskrim. Si Ident bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi
Identifikasi yang meliputi kegiatan Daktiloskopi kriminal, Daktiloskopi umum
dan fotografi Kepolisian.
Si Ident dipimpin oleh Kepala Bid / Si Ident , disingkat Si Ident yang
bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari
berada dibawah kendali Wadir Reskrim.
5. Satuan Operasional Direktorat Reserse Kriminal
Sat Opsnal adalah unsur pelaksana pada Dit Reskrim yang berada dibawah
Dir Reskrim. Sat Opsnal bertugas melakukan penyedikan dan penyidikan tindak
pidana yang terjadi di wilayah Polda.
Sat Opsnal dipimpin oleh Kepala Sat Opsnal , disingkat Kasat Opsnal,
yang bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas
sehari-hari berada dibawah kendali Wadir Reskrim.
Sat Opsnal terdiri dari sejumlah unit yang masing-masing dipimpin oleh
kepala Unit disingkat Kanit. Jumlah Sat Opsnal pada Dit Reskrim dalam jumlah
Polda dan pembagian tugasnya diatur lebih lanjut oleh Dir Reskrim sesuai arahan
Kapolda.
6. Detasemen 88 Anti Teror (Den 88 AT)
Adalah unsur pelaksana pada Dit Reskrim yang berada dibawah Kapolda.
Bertugas menyelenggarakan penyelidikan tindak pidana serta tugas lain di bidang
tindak pidana terorisme. Den 88 AT dipimpin oleh Kepala Den 88 AT, disingkat
Kaden 88 AT yang sehari-hari bertanggung jawab kepada Kapolda.
Den 88 AT terdiri dari:
1). Urusan Administrasi dan Tata Usaha disingkat Urmintu
2). Unit Intelejen, disingkat Unitintel
3). Unit Penindak, disingkat Unittindak
4). Unit Investigasi, disingkat Unitinvest
5). Unit Bantuan, disingkat Unitban
Pembentukan Den 88 AT yang berkedudukan langsung dibawah Kapolda
dan atau berkedudukan langsung dibawah Dir. Reskrim, diatur dengan keputusan
sendiri.
D. KAITAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN BIG FIVE PERSONALITY DAN COPING STRESS PADA POLISI RESERSE KRIMINAL POLTABES MEDAN
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan lembaga yang
bertugas untuk menjalankan fungsi keamanan dan ketertiban umum di Indonesia
(Syafrika & Suyasa, 2004). Ira Glasser (dalam Amaranto dkk, 2003)
aspek, sulit, berbahaya, dan stressfull. Kepolisian Negara Republik Indonesia
dibagi menjadi 9 (sembilan) direktorat, salah satunya adalah Direktorat Reserse
Kriminal.
Menurut Sullivan (1977), polisi kriminal adalah ”urat nadi” kepolisian.
Meliala (2001) berpendapat bahwa polisi kriminal mengalami stres tersendiri,
dimana mereka sering berhadapan langsung dengan pelaku kejahatan. Khusus
untuk polisi kriminal yang bertugas di kota besar seperti Medan, stres yang
dialami lebih besar karena tingkat kriminal yang lebih tinggi juga (Nuzulia, 2005).
Stres memiliki dampak positif dan negatif. Untuk mengatasi dampak
negatif ini, individu perlu melakukan coping. Lazarus dan Folkman (1986)
membagi coping stress menjadi dua bagian, yaitu problem-focused coping dan
emotion-focused coping.
Smet (1994) beranggapan bahwa kepribadian adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi coping stress. Salah satu taksonomi kepribadian yang dapat
diterima secara umum saat ini adalah Big Five Personality (John & Srivastava,
1999). Big Five merupakan suatu model hirarki kepribadian yang membagi
kepribadian menjadi lima faktor yang setiap faktornya menjelaskan kepribadian
dengan jelas dan sangat luas (Gosling, Rentfrow, & Swann Jr, 2003). Kelima tipe
kepribadian tersebut adalah neuroticism, extraversion, openness to new
experience, agreeableness, dan conscientiousness.
E. HIPOTESA PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasional yang bertujuan untuk
menguji hipotesa. Hipotesa dalam penelitian ini adalah:
a. Ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan
problem-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.
b. Ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan
emotion-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.
2. Ho (Hipotesa Nihil) : p > 0,05, artinya:
a. Tidak ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan
problem-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.
b. Tidak ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan
Gambar 2. Paradigma Penelitian Five Factor Model
McRae & Costa:
- Neuroticism - Extraversion - Openness - Agreeableness - Conscientiousness
Coping
Stress
Direktorat Reserse Kriminal
Poltabes Medan POLRI Polisi : lembaga keamanan dan
ketertiban umum Stressfulljob
Emotion- Focused Problem- Focused
Stress
Kepribadian
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif
korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara satu variabel
terikat dengan beberapa variabel bebas yang lain .
Jadi, penelitian ini bertujuan untuk melihat secara sistematik dan akurat
mengenai hubungan antara tipe kepribadian Big Five Personality dengan coping
stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan berdasarkan perhitungan
statistik.
A. VARIABEL PENELITIAN
Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah
1. Variabel X: Tipe kepribadian Big Five Personality, yang terdiri dari
Neuroticism, Extraversion, Openness to new experience, Agreeableness, dan
Conscientiousness.
2. Variabel Y: Coping stress, yang terdiri dari:
a) Problem-focused coping (Confrontive coping, Seeking social support,
Accepting responsibility, dan Planful problem-solving,)
b) Emotion-focused coping (Distancing, Self-control, Escape-Avoidance, dan
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
Big Five Personality diukur dengan menggunakan inventori kepribadian.
Big Five Personality merupakan model yang mengelompokkan kepribadian
menjadi 5 klasifikasi, yaitu:
1. Neuroticism. Individu yang tergolong pada tipe ini sering cemas dan tegang
dalam menghadapi situasi yang berbeda atau yang membuat dirinya tertekan.
2. Extraversion. Individu yang tergolong pada dimensi ini cenderung suka
berkelompok, banyak berbicara, dan mampu mengemukakan pendapatnya
dengan baik.
3. Openness to new experience. Terkadang disebut Intellect atau
Intellect/Imagination (terbuka terhadap pengalaman atau intelektual).
Individu yang tergolong pada dimensi ini biasanya merupakan orang yang
pintar, memiliki ide-ide yang kreatif, dan berwawasan luas.
4. Agreeableness. Individu yang tergolong pada dimensi ini cenderung
menyetujui dan mengiyakan pendapat orang lain dan mudah untuk
mempercayai orang lain.
5. Conscientiousness. Individu yang tergolong pada dimensi ini cenderung
teratur, merencanakan sesuatu yang akan dilakukannya untuk waktu yang
akan datang dan berusaha mencapai apa yang direncanakannya tersebut.
Skor tinggi pada salah satu dimensi kepribadian menunjukkan bahwa
individu cenderung tergolong dalam salah satu dimensi kepribadian tersebut dan
Coping stress diukur oleh peneliti dengan skala coping stress. Skala
coping stress dibagi menjadi dua bagianberdasarkan fungsinya, yaitu:
1. Problem-focused coping:
Usaha individu dalam menghadapi masalahnya dan berusaha untuk
menyelesaikannya. Problem focused coping ini diukur melalui subskala
problem-focused coping yang terdiri dari 4 (empat) faktor, yaitu:
a) Confrontive coping; dapat dilakukan dengan menyalahkan orang lain,
mengekspresikan kemarahan, dan melakukan tindakan yang beresiko.
b) Seeking social support; dapat dilakukan dengan bertanya pada orang lain,
meminta bantuan orang lain, bercerita kepada teman atau saudara, dan
meminta saran dari orang-orang yang memahami masalah tersebut.
c) Accepting responsibility; dapat dilakukan dengan mengkritik diri,
menyadari bahwa sumber masalah adalah diri sendiri, dan membuat
komitmen untuk menyelesaikan masalah tersebut.
d) Planful problem-solving; dapat dilakukan dengan membuat jadwal harian
dan melakukannya, merubah sesuatu yang menjadi sumber masalah,
mencari tahu sumber masalah di masa lalu dan membuat solusi masalah
yang berbeda.
Subjek penelitian yang cenderung menggunakan problem focused coping
merupakan kategori individu yang memiliki skor tinggi dalam pengisian subskala
2. Emotion-focused coping:
Usaha individu untuk mengatur respon emosional terhadap stres dengan
mengabaikan fakta-fakta yang tidak menyenangkan dengan menggunakan
strategi kognitif, ataupun dengan menghindari masalah tersebut. Emotion
focused coping diukur melalui subskala emotion focused coping yang terdiri
dari 4 (empat) faktor, yaitu:
a) Distancing; dapat dilakukan dengan menganggap masalah tidak serius,
berperilaku seolah-olah tidak ada masalah, dan melupakan seluruh
masalah yang ada.
b) Self-control; dapat dilakukan dengan memendam perasaan, tidak
men-sharing-kan masalah dengan orang lain, dan membiarkan masalah tanpa
ada penyelesaian.
c) Escape-Avoidance; dapat dilakukan dengan berpikiran bahwa masalah
akan segera berakhir, berandai-andai bahwa akan ada keajaiban, dan
melakukan aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan masalah, seperti
makan, minum, merokok, tidur, dan sebagainya untuk menghindari
masalah yang sedang dihadapi.
d) Positive reappraisal; dapat dilakukan dengan mengubah cara hidup,
mencari pengalaman baru, mencari keyakinan baru, berdoa, dan
melakukan sesuatu yang kreatif.
Subjek penelitian yang cenderung menggunakan emotion focused coping
merupakan kategori individu yang memiliki skor tinggi dalam pengisian subskala
C. PROSEDUR PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh subyek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi
dibatasi sebagai sejumlah subyek atau individu yang paling sedikit memiliki satu
sifat yang sama. Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk
yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit
satu sifat yang sama (Hadi, 2000).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh polisi Reserse Kriminal yang
bertugas di Poltabes Medan. Berdasarkan data terbaru Reserse Kriminal Poltabes
Medan, yaitu tahun 2008, jumlah personil polisi reserse kriminal Poltabes Medan
adalah 204 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah polisi Reserse
Kriminal Poltabes Medan yang dikenakan alat ukur penelitian.
2. Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel atau sampling menurut Kerlinger (1990) berarti
mengambil suatu bagian dari populasi sebagai wakil (representasi) dari populasi
ini. Pada penelitian ini, sampel diperoleh melalui teknik non probability secara
incidental sampling yang berarti setiap anggota populasi tidak mendapat
kesempatan yang sama untuk dapat terpilih menjadi anggota sampel, dimana
pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada sistem kebetulan sampai
diperoleh jumlah sampel yang dibutuhkan.
3. Jumlah Sampel Penelitian
Dari seluruh Polisi Reserse Kriminal yang bertugas di Poltabes Medan
D. METODE PENGUMPULAN DATA 1. Alat Ukur yang Digunakan
Data penelitian diperoleh dari alat ukur. Alat ukur yang diberikan kepada
sampel dalam penelitian ini adalah inventori kepribadian dan skala copingstress.
Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan inventori dan
skala yang dibuat berdasarkan model skala Likert. Kelebihan skala Likert yaitu
lebih reliabel secara statistik dan waktu yang lebih singkat dalam pembuatan skala
(Hogg, 2002).
Inventori kepribadian terbagi menjadi 5 (lima) bagian besar subskala yang
diadaptasi dari Big Five Inventory Personality Test (BFI) yang disusun oleh John
dan Srivastava. Big Five Inventory Personality Test (BFI) merupakan inventori
yang dianggap lebih efisien karena memiliki nilai koefisien validitas yang paling
baik (0,92) dengan koefisien reliabilitas 0,83 jika dibandingkan dengan inventori
kepribadian lainnya yang sering digunakan dalam setting penelitian mengenai big
five personality, seperti NEO-Five Factor Inventory (NEO-FFI) dan Trait
Descriptive Adjective (TDA) (John & Srivastava, 1999). Skala coping stress
disusun berdasarkan 8 (delapan) faktor coping stress yang dibagi menjadi 2 (dua)
bagian berdasarkan fungsinya, diadaptasi dari coping scales hasil penelitian
Lazarus, Folkman, dkk. Item-item pada alat ukur tersebut disusun secara acak
(random).
Item-item disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable)
dan tidak mendukung (unfavorable). Setiap item pada skala terdiri dari pernyataan
dengan empat pilihan jawaban, yaitu Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju dan
untuk pernyataan favorable yaitu: Sangat setuju = 4, Setuju = 3, Tidak Setuju =
2, Sangat Tidak Setuju = 1. Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan
unfavorable yaitu: Sangat setuju = 1, Setuju= 2, Tidak Setuju = 3, Sangat
Tidak Setuju = 4.
Untuk lebih jelasnya, cara penilaian inventori kepribadian dan skala
coping stress yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1
sebagai berikut:
Tabel 1.
Cara Penilaian Inventori Kepribadian dan Skala Coping Stress
Bentuk Pernyataan
Skor
1 2 3 4
Favorable Sangat tidak setuju Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju
Unfavorable Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat tidak setuju
Tabel 2.
Blue-print Inventori Kepribadian dan Skala Coping Stress
Sebelum Uji Coba
Inventori kepribadian uji coba yang diberikan kepada sampel terdiri dari
44 (empat puluh empat) item dengan perincian seperti yang tampak pada Tabel
2.1. berikut:
Tabel 2.1. Blue-print Inventori Kepribadian Sebelum Uji Coba
No. Tipe kepribadian Favorable Unfavorable Jumlah 1 Neuroticism 1,11,16,26,36,42 = 6 6,21,27,31 = 4 10 2 Extraversion 4,14,19,29,39,43 = 6 9,24,34 = 3 9
3 Openness 7,17,22,32 = 4 2,12,37 =3 7
4 Agreeableness 5,10,15,20,25,30,40,44 = 8
41 =1 9
5 Conscientiousness 3,13,23,28,33,35,38 = 7 8,18 =2 9
Skala coping stress uji coba yang diberikan kepada sampel terdiri dari 72
(tujuh puluh dua) item dengan perincian seperti yang tampak pada Tabel 2.2. dan
Tabel 2.3. berikut:
Tabel 2.2. Blue-print Subskala Problem-FocusedCoping Sebelum Ui Coba
No Faktor Favorable Unfavorable Jumlah
1 Confrontive coping 1,2,4,70,71,72 = 6 3,6 = 2 8 2 Seeking social support 52,53,55,56,58,59 = 6 21,24,27,30 = 4 10 3 Accepting responsibility 14,16,17,19 = 4 33,36,39,42 = 4 8 4 Planful problem-solving 28,29,31,32,34,35 = 6 51,54,57 = 3 9
Jumlah Total Item 22 13 35
Tabel 2.3. Blue-print Subskala Emotion-FocusedCoping Sebelum Ui Coba
No Faktor Favorable Unfavorable Jumlah
1 Distancing 5,7,8,67,68,69 = 6 9,12 = 2 8 2 Self-controlling 10,11,13,61,62,64,65 =
7
15,18 = 2 9
3 Escape-Avoidance 20,22,23,25,26,47,49,50 = 8
45,48 = 2 10
4 Positive reappraisal 37,38,40,41,43,44,46 = 7
60,63,66 = 3 10
Jumlah Total Item 28 9 37
2. Validitas
Skala tersebut akan diujicobakan dahulu sebelum digunakan. Uji coba
digunakan untuk menguji reliabilitas dan validitas alat ukur.
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana
ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya.
Suatu alat ukur yang valid tidak sekedar mampu mengungkapkan data dengan
tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data
Pendekatan terhadap validitas alat ukur dilakukan dengan menyusun
terlebih dahulu operasional aspek-aspek pengukuran yang tepat dalam blue-print
(criterion-related validity).
Dalam penelitian ini, validitas yang digunakan adalah face validity. Face
validity adalah tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya
didasarkan pada penilaian terhadap format penampilan (appearance) tes. Apabila
penampilan tes telah meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap
apa yang hendak diukur, maka dapat dikatakan bahwa face validity telah
terpenuhi. (Azwar, 2004).
Penilaian face validity item dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa
tahap, antara lain:
1. Setelah Big Five Inventory Personality Test (BFI) dan Coping Scales yang
sebenarnya diterjemahkan oleh peneliti, hasil terjemahan diperlihatkan kepada
seorang dosen Bahasa Inggris untuk diperiksa tata bahasanya.
2. Item-item yang telah dibuat diberikan kepada teman-teman yang lain untuk
memperoleh penilaian dan saran untuk memperbaiki item yang dirasa tidak
jelas atau ambigu.
3. Item-item yang telah diperbaiki sebelumnya diberikan kepada para ahli, dalam
hal ini kepada dosen yang menguasai teknik pembuatan skala psikologi.
4. Item-item kemudian disusun ulang berdasarkan feedback dari teman-teman
3. Uji Daya Beda Item dan Reliabilitas a. Uji Daya Beda Item
Uji daya beda butir pernyataan untuk melihat sejauh mana butir
pernyataan mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang
memiliki atau tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan
dalam analisis butir pernyataan ini adalah dengan memilih butir-butir pernyataan
yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Atau dengan kata
lain, memilih butir pernyataan yang mengukur hal yang sama dengan apa yang
diukur oleh tes sebagai keseluruhan (Azwar, 1999).
Pengujian daya beda butir pernyataan ini dilakukan dengan komputasi
koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap butir pernyataan dengan suatu
kriteria yang relevan, yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan
koefisien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengujian ini akan
menghasilkan koefisien korelasi item total yang dikenal dengan indeks daya beda
butir pernyataan (Azwar, 2000). Uji daya beda butir pernyataan ini akan dilakukan
pada alat ukur dalam penelitian ini, yaitu inventori kepribadian dan skala coping
stress. Setiap butir pernyataan pada alat ukur ini akan dikorelasikan dengan skor
total alat ukur. Prosedur pengujian ini menggunakan taraf signifikansi 5%
(p<0,05).
Besarnya koefisien korelasi item total bergerak dari 0 sampai dengan 1,00
dengan nilai positif dan negatif. Semakin baik daya diskriminasi item maka
koefisien korelasinya semakin mendekati angka 1,00 (Azwar, 2005). Batasan nilai
item yang memiliki nilai
r
iX ≥ 0,275 sajalah yang akan digunakan dalampengambilan data yang sebenarnya.
b. Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau
dapat diandalkan. Menurut Hadi (2000) reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat
keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa
kali pada kesempatan yang berbeda. Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari
koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi item-item yang dalam
menjalankan fungsi ukurnya secara bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini
sebenarnya mengacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang
mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2002).
Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal
dimana prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes kepada
sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis,
dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2002). Teknik yang digunakan untuk pengukuran
reliabilitas alat ukur penelitian ini adalah teknik koefisien Alpha Cronbach dengan
koefisien > 0,05. Untuk menguji reliabilitas ini menggunakan bantuan program
SPSS versi 15.0 for Windows.
4. Hasil Uji Coba
Sebelum melakukan pengambilan data yang sebenarnya, terlebih dahulu
dilakukan uji coba alat ukur penelitian untuk mengetahui kualitas dari
masing-masing item. Uji coba skala coping stress dan inventori kepribadian dilakukan