• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Tipe Kepribadian Big Five Personality Dengan Coping Stress Pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Tipe Kepribadian Big Five Personality Dengan Coping Stress Pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN COPING STRESS

PADA POLISI RESERSE KRIMINAL

POLTABES MEDAN

Skripsi

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Disusun oleh:

Bima Sandro Sumbayak

041301114

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Bima Sandro Sumbayak dan Rika Eliana, M.Si

ABSTRAK

Polisi merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk menjaga keamanan yang terdapat pada setiap negara. Salah satu bagian polisi yang tergolong unik adalah polisi Reserse Kriminal. Polisi Reserse Kriminal mengalami stres yang berbeda jika dibandingkan dengan bagian kepolisian yang lain.

Untuk mengatasi stres ini, maka setiap individu perlu melakukan coping

stress. Salah satu faktor yang mempengaruhi coping stress adalah kepribadian.

Kepribadian yang dilihat dalam penelitian ini adalah tipe kepribadian Big Five

Personality.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian Big Five Personality dengan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan. Dari penelitian ini juga dapat diperoleh gambaran

coping stress dan apakah ada perbedaan coping stress ditinjau dari ciri demografis

pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Sampel diperoleh dengan tehnik incidental sampling. Data diperoleh dengan tehnik

multiple regression. Hasil penelitian ini adalah adanya hubungan tipe kepribadian neuroticism, agreeableness, dan conscientiousness dengan problem-focused coping, dan adanya hubungan tipe kepribadian extraversion dengan emotion-focused coping.

Hasil tambahan penelitian ini adalah terdapat 55 orang sampel yang telah melakukan coping stress dengan baik, dan tidak ada perbedaan coping stress bila ditinjau dari ciri demografis.

(3)

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Yesus Kristus yang telah memberikan kekuatan fisik dan pikiran kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian ini.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan proposal penelitian ini:

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) selaku dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Rika Eliana, M.Si selaku dosen pembimbing seminar yang dengan sabar, telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan memberikan petunjuk, saran serta semangat untuk dapat menyelesaikan seminar.

3. Para dosen penguji seminar, kak Ridhoi E., M.Si dan ibu Ika sari devi S.Psi yang bersedia memberikan waktu untuk menguji, memberi kritik dan saran kepada peneliti.

4. Mamaku yang telah memberikan dukungan moril dan materil sampai saat ini. Juga kepada adek-adekku Ivan dan Ica yang selalu memberikan hiburan dan pengertian selama waktu pengerjaan.

5. Yolanda yang selalu membantu, memberi dukungan , kritik, dan saran selama waktu pengerjaan seminar.

(4)

refreshing dan penguasaan motorik halus selama ini.

9. Para senior dan juniorku di Fakultas Psikologi USU.

10. Semua fansku yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam proposal ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan seminar ini. Semoga, seminar ini memiliki manfaat bagi banyak pihak.

Medan, Mei 2008

Peneliti,

(5)

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Pertanyaan Penelitian... 12

C. Tujuan Penelitian... 12

D. Manfaat Penelitian... 13

E. Sistematika Penulisan... 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Big Five Personality... 15

1. Definisi Big Five Personality….……….…………. 15

2. Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality….……….. 16

B. Coping Stress... 20

1. Definisi Coping Stress... 20

2. Faktor-Faktor Coping Stress... 21

3. Fungsi Coping Stress... 23

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stress... 25

(6)

D. Kaitan Antara Tipe Kepribadian Big Five Personality dan Coping

Stress Pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes

Medan... 30

E. Hipotesa Penelitian... 31

BAB III METODE PENELITIAN... 34

A. Variabel Penelitian... 34

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 35

C. Prosedur Pengambilan Sampel... 38

1. Populasi dan Sampel... 38

2. Metode Pengambilan Sampel... 38

3. Jumlah Sampel Penelitian... 38

D. Metode Pengumpulan Data... 39

1. Alat Ukur yang Digunakan... 39

2. Validitas... 41

3. Uji Daya Beda Item dan Reliabilitas... 43

a. Uji Daya Beda Item... 43

b. Reliabilitas... 44

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 48

1. Persiapan Penelitian... 48

2. Pelaksanaan Penelitian... 49

(7)

1. Usia Subjek Penelitian... 52

2. Jenis Kelamin Subjek Penelitian... 53

3. Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian... 53

4. Suku Subjek Penelitian... 54

B. Hasil Penelitian... 54

1. Hasil Uji Asumsi Penelitian... 54

a. Uji Normalitas... 55

b. Uji Linieritas... 55

c. Autokorelasi... 57

2. Hasil Utama Penelitian... 57

3. Hasil Tambahan Penelitian... 61

a. Gambaran Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan... 61

b. Gambaran Kepribadian Big Five Personality pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan... 63

c. Perbedaan Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan ditinjau dari Faktor Demografis... 70

(8)

3) Perbedaan Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal

Poltabes Medan ditinjau dari Tingkat Pendidikan... 73

4) Perbedaan Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan ditinjau dari Suku... 74

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN... 76

A. Kesimpulan... 76

1. Hasil Utama... 76

2. Hasil Tambahan... 78

B. Diskusi... 79

C. Saran... 82

1. Saran Metodologis... 82

2. Saran Praktis... 83

(9)

Bima Sandro Sumbayak dan Rika Eliana, M.Si

ABSTRAK

Polisi merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk menjaga keamanan yang terdapat pada setiap negara. Salah satu bagian polisi yang tergolong unik adalah polisi Reserse Kriminal. Polisi Reserse Kriminal mengalami stres yang berbeda jika dibandingkan dengan bagian kepolisian yang lain.

Untuk mengatasi stres ini, maka setiap individu perlu melakukan coping

stress. Salah satu faktor yang mempengaruhi coping stress adalah kepribadian.

Kepribadian yang dilihat dalam penelitian ini adalah tipe kepribadian Big Five

Personality.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian Big Five Personality dengan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan. Dari penelitian ini juga dapat diperoleh gambaran

coping stress dan apakah ada perbedaan coping stress ditinjau dari ciri demografis

pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Sampel diperoleh dengan tehnik incidental sampling. Data diperoleh dengan tehnik

multiple regression. Hasil penelitian ini adalah adanya hubungan tipe kepribadian neuroticism, agreeableness, dan conscientiousness dengan problem-focused coping, dan adanya hubungan tipe kepribadian extraversion dengan emotion-focused coping.

Hasil tambahan penelitian ini adalah terdapat 55 orang sampel yang telah melakukan coping stress dengan baik, dan tidak ada perbedaan coping stress bila ditinjau dari ciri demografis.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Semua negara di dunia membutuhkan lembaga yang bertugas untuk

menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum. Indonesia memiliki lembaga

yang bertugas untuk menjalankan fungsi tersebut yaitu Kepolisian Negara

Republik Indonesia (Polri). Polri merupakan suatu lembaga yang mendapatkan

tugas dan wewenangnya berdasarkan sistem ketatanegaraan Indonesia untuk

menjaga keamanan negara dan menegakkan hukum yang berlaku dalam wilayah

Negara Republik Indonesia (Syafrika & Suyasa, 2004).

Polri sebagai institusi, pengayom dan penegak hukum harus mampu

berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungan sosialnya. Kleden (2001)

menganggap polisi sebagai the strong hand of the society dan the soft hand of

society. Polisi menghadapi dilema dalam menerapkan kedua peran tersebut.

Sebagai penegak hukum, polisi harus selalu teratur dalam berbagai situasi

dan dalam mengendalikan berbagai tingkah laku manusia. Meskipun polisi

melaksanakan tugasnya dengan adil, baik, dan diplomatis pekerjaan mereka

tetaplah bukan tugas yang mudah (Sullivan, 1977).

Direktur utama ACLU, Ira Glasser (dalam Amaranto, 2003) menyatakan

bahwa polisi adalah pekerjaan yang mencakup banyak aspek, sulit, berbahaya, dan

stressfull. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hans Seyle (dalam Haines, 2003)

yang menyatakan bahwa polisi adalah pekerjaan yang paling menyebabkan stres

(11)

Pernyataan-pernyataan di atas sesuai dengan hasil penelitian McShane

dan Glinow (2003) yang menyatakan bahwa polisi adalah salah satu dari beberapa

pekerjaan yang digolongkan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada

pekerjaan-pekerjaan lainnya, seperti: akuntan, artis, manajer rumah sakit, kepala

sekolah, dan lain-lain. Hal ini tampak dari gambar berikut:

Sumber: McShane & Glinow (2003)

Gambar 1.

Stressors In Occupations

Menurut Berg dkk (dalam Nuzulia, 2005), pekerjaan polisi tidak saja

merupakan pekerjaan yang membuat stres, tetapi juga, karakteristik pada stres

yang dialami oleh polisi berbeda dengan pekerjaan lain. Beberapa hal yang

menyebabkan stres pada polisi adalah pimpinannya, waktu kerja yang padat yang

menyebabkan kurangnya waktu dengan keluarga, teman sekerja, dan warga

masyarakat. Haines (2003) menyatakan beberapa faktor lain yang turut berperan

sebagai penyebab stres pada polisi yaitu gaji yang rendah, waktu tidur yang tidak

(12)

Demikian pula Kunarto (2001), seorang punawirawan Polri dalam

bukunya Perilaku Organisasi POLRI, menyatakan bahwa terdapat 9 (sembilan)

penyebab stres pada polisi, yaitu:

1. Beban kerja berlebihan.

2. Tekanan/desakan waktu.

3. Kualitas pelaksana yang buruk.

4. Iklim politik yang tidak baik.

5. Wewenang yang tidak memadai.

6. Konflik berkepanjangan.

7. Perbedaan nilai tugas antara pimpinan dan bawahan.

8. Perubahan-perubahan organisasi yang tak lazim seperti PHK.

9. Frustrasi.

Selain hal-hal tersebut di atas, Meliala (2001) menyatakan bahwa polisi

juga mendapat tekanan dari masyarakat sipil. Kegusaran masyarakat, konon

semakin dirasakan oleh polisi di banyak negara Barat maupun di Indonesia

sebagai momok yang menghantui polisi. Para polisi mendapat kritikan ketika ingin

menetapkan proses peradilan yang cepat. Sebaliknya, ketika ingin menerapkan

peradilan yang tuntas dan optimal (lambat), mereka juga akan mendapat kritikan.

Menurut Meliala (2001), hal ini ada kaitannya dengan sikap tanggung gugat

(accountability) yang cenderung meningkat di kalangan polisi. Tanggung gugat

merujuk pada kesediaan bertanggung jawab atas sesuatu yang secara tidak

(13)

Polisi dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum dan

keadilan memiliki beberapa tugas, yaitu sebagai petugas patroli, detektif, polisi

remaja, polisi lalu lintas, petugas training, petugas identifikasi, dan petugas

laboratorium (kriminal)(Sullivan, 1977).

Adapun di Indonesia, berdasarkan website resmi Polda DIY (2008),

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) diklasifikasikan menjadi 9 (sembilan)

bagian, atau yang disebut dengan direktorat, yaitu:

1. Direktorat Intelkam

2. Direktorat Polair

3. Direktorat Narkoba

4. Detasemen 88

5. Direktorat Lantas

6. Direktorat Samapta

7. Satuan Brimob

8. Direktorat Pampar

9. Direktorat Reskrim

Menurut Sullivan (1977), apabila dibandingkan dari kedelapan bidang

kepolisian lainnya, polisi kriminal atau yang dikenal dengan Direktorat Reserse

Kriminal (Dit. Reskrim) di Indonesia dianggap sebagai ”urat nadi” kepolisian.

Berdasarkan website resmi Polda DIY (2008), Dit. Reskrim merupakan unsur

pelaksana utama Kepolisian Daerah (Polda) yang bertugas membina fungsi dan

menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

(14)

rangka penegakan hukum, koordinasi dan pengawasan operasional dan

administrasi penyidikan sesuai ketentuan ketentuan hukum dan peraturan yang

berlaku.pe

Dit. Reskrim bertugas untuk menindak segala jenis perilaku kriminal.

Kriminal adalah suatu bentuk perilaku yang melanggar hukum. Kriminalitas

adalah suatu tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum yang

berlaku di masyarakat (’Lectric Law Library, 2008).

Setiap anggota polisi kriminal dituntut untuk menguasai berbagai cabang

ilmu untuk memberi solusi terhadap kasus yang belum terpecahkan. Kesaksian

mereka juga dibutuhkan di persidangan (Sullivan, 1977). Bersaksi di persidangan

menimbulkan tekanan tersendiri. Tekanan tersebut berasal dari kehadiran keluarga

tersangka dan pihak pers yang menghadiri persidangan tersebut (Schmalleger,

1997). Tekanan lain yang dirasakan polisi, khususnya polisi kriminal adalah

waktu. Mereka dituntut untuk selalu siaga selama 24 jam (Sullivan, 1977).

Menurut Meliala (2001), polisi kriminal sering menghadapi jenis bahaya

yang berbeda, yaitu harus senantiasa mewaspadai perlawanan pelaku kejahatan

yang dapat mengancam keselamatan jiwa polisi yang hendak menangkapnya

ataupun keselamatan masyarakat lainnya. Sarwono (dalam Pratama, 2008)

menyatakan bahwa polisi kriminal terkadang harus menghadapi situasi

hidup-mati, menembak atau ditembak, dan melihat rekan kerja mereka tewas.

Akibatnya, polisi kriminal lebih rentan mengalami Post-Traumatic Syndrome

Disorder, yaitu mengalami gejala stres yang sangat berat setelah mengalami suatu

(15)

Nuzulia (2005) juga menemukan bahwa bekerja pada komunitas yang

besar dilaporkan lebih stres daripada yang berada pada komunitas kecil. Hal ini

berhubungan dengan aspek-aspek pekerjaan polisi kota, termasuk tindak kriminal

yang lebih tinggi.

Fisher (dalam Bell, 1996) menyatakan bahwa tingkat kriminalitas lebih

tinggi di daerah perkotaan dibanding dengan pedesaan. Tingkat kekerasan

mencapai hampir 8 (delapan) kali lebih besar dan tingkat pembunuhan 3 (tiga)

kali lebih besar di kota besar dibandingkan dengan daerah pedesaan (Bell, 1996).

Salah satu kota terbesar di Indonesia adalah Medan. Kota Medan

memiliki populasi penduduk yang berjumlah 4 juta orang, Medan merupakan

salah satu kota terpenting bagi industri dan perdagangan Indonesia (PT. Medan

Mas Karimun, 2008).polda.

Kota Medan saat ini telah menjadi Kota Koboi. Pasalnya, dalam beberapa

waktu belakangan ini, aksi tindak kriminal baik perampokan dan penembak

misterius semakin bergentayangan dan ironisnya tidak satupun terungkap

(Samosir, 2006). Misalnya saja perampokan Rp. 500 juta gaji karyawan PTP II

dan tewasnya anggota Polsek jajaran Poltabes Medan. Lebih uniknya lagi

kawanan penjahat ini menggunakan senjata api dalam aksinya. Sementara itu,

pelajar SD tewas terapung di dalam goni plastik di sungai Deli Medan baru-baru

ini (Badan Informasi dan Komunikasi, 2005).

Media massa dapat bertindak sebagai pengawas terhadap kasus-kasus yang

belum terungkap, yang mengingatkan polisi untuk menyelesaikan kasus-kasus

tersebut. Ketika hukum tidak memungkinkan polisi meneruskan kasus, maka pada

(16)

berkolusi dengan tersangka. Di mata polisi, pengawasan oleh media massa

tersebut dirasakan sebagai campur tangan dan tekanan (Meliala, 2001).

Menurut Rice (1992), kondisi tertekan ini disebut dengan stres. Lazarus

dan Folkman (1980) berpendapat bahwa kondisi ketertekanan individu dapat

disebabkan oleh stimulus internal dan eksternal. Menurut Sarafino (2006), stres

adalah suatu kondisi yang diakibatkan adanya transaksi antara individu dengan

lingkungan yang menyebabkan individu mempersepsikan bahwa terdapat

ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan kemampuan dirinya. Stres

memiliki pengaruh positif dan pengaruh negatif.

Pengaruh positif dari stres adalah dapat mengaktifkan dan memotivasi

individu sehingga dia dapat mencapai tujuannya, merubah lingkungannya, dan

meraih kesuksesan dalam hidupnya. Pengaruh negatif dari stres disebabkan oleh

tingkat stres yang terlalu tinggi dan individu merasa tidak sanggup untuk

menghadapinya (Nuzulia, 2005). Pengalaman ini mengakibatkan gangguan

fisiologis, psikologis dan tingkah laku. Menurut McShane dan Glinow (2003),

gangguan-gangguan tersebut antara lain: sakit jantung, tekanan darah tinggi, sakit

kepala, dan penyakit-penyakit lainnya, ketidakpuasan kerja, depresi, burnout,

penurunan performance kerja, tingginya absensi, agresi, dan lain-lain.

Setiap individu diharuskan memiliki kemampuan coping yang baik untuk

menghindari konsekuensi negatif ini, tidak perduli apakah individu tersebut

mampu atau tidak (Duffy & Wong, 2003). Menurut Nuzulia (2005), coping adalah

cara individu untuk mengatasi masalahnya.

Folkman dan Lazarus (1980) memberikan definisi yang cukup jelas

(17)

mengurangi, dan bersikap sabar dalam menghadapi tuntutan terhadap dirinya.

Tuntutan tersebut dapat berupa eksternal dan internal. Berdasarkan definisi ini,

Matheny (1986) memberikan definisi coping sebagai segala usaha secara sehat

maupun tidak sehat, sadar ataupun tidak, untuk mencegah, menghilangkan, atau

mengurangi efek stressor, atau untuk sabar menghadapi dampak negatif yang

ditimbulkan oleh stressor tersebut (dalam Rice, 1992).

Menurut Lazarus, Folkman, dkk (1986), ada 8 (delapan) cara dalam

mengatasi stres, atau yang disebut dengan faktor-faktor coping, yaitu: confrontive

coping, distancing, self-controlling, seeking social support, accepting

responsibility, escape-avoidance, planful problem-solving, dan positive

reappraisal.

Menurut Lazarus, Folkman, dkk (1986) faktor-faktor coping tersebut dapat

dikelompokkan menjadi dua macam fungsi, yaitu:

a. Problem-Focused Coping

Strategi yang dibuat individu untuk mengembangkan perencanaan tindakan

yang jelas terhadap stressor dan mengontrolnya sebisa mungkin.

b. Emotion-Focused Coping

Usaha yang dilakukan individu untuk mengontrol dan membebaskan

perasaan-perasaan negatif (seperti amarah, frustrasi, rasa takut) yang

disebabkan oleh tekanan yang diterimanya.

Menurut Smet (1994), salah satu faktor yang mempengaruhi coping stress

(18)

yang bersifat terbuka, aktif dalam hubungan sosial, dan sering mengekspresikan

emosi akan merespon situasi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan

orang-orang yang tertutup, menarik diri, dan jarang mengekspresikan emosinya. Orang

yang tertutup atau introvert biasanya akan menyelesaikan masalahnya sendiri,

tanpa meminta bantuan orang lain.

Sarafino (2006) juga menambahkan bahwa semakin besar jaringan sosial

dan intensitas hubungan interpersonal seseorang, maka semakin sering ia memberi

dukungan dan mencari dukungan sosial ketika menghadapi masalah. Orang-orang

yang bersifat terbuka akan lebih mau menerima saran dan informasi dari orang

lain untuk menyelesaikan masalahnya. Menurut Costa dan McRae (dalam Pervin,

2005), orang-orang dengan kepribadian Neuroticism lebih sering merespon situasi

stres dengan cara yang tidak tepat.

Gordon Allport dan Raymond Cattell adalah orang-orang yang memulai

meneliti tentang kepribadian dan mereka yakin bahwa faktor bawaan sangat

berperan dalam membentuk kepribadian, sama halnya dengan faktor lingkungan

(dalam Shultz & Schultz, 1994). Menurut Allport (dalam Suryabrata, 2002),

kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis di dalam individu, sebagai

sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri

terhadap lingkungan.

Kepribadian telah dikonsepkan dari bermacam-macam perspektif teoritis

yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya (McAdams dalam John &

Srivastava, 1999). Masing-masing tingkatan ini memiliki keunikan dalam

(19)

jumlah sifat kepribadian dan skala kepribadian tetap dirancang tanpa

henti-hentinya (Goldberg dalam John & Srivastava, 1999).

Eysenck (1981) setuju dengan pendapat Cattell (1977) yang menyatakan

bahwa kepribadian merupakan kumpulan dari sifat-sifat yang saling berkombinasi

yang disebut dengan superfactors (dalam Schultz & Schultz, 1994). Eysenck

(1985) membagi kepribadian menjadi 3 (tiga) dimensi, yaitu:

1. Extraversion vs Introversion (E).

2. Neuroticism vs EmotionalStability (N).

3. Psychoticism vs ImpulseControl (P).

Namun peneliti-peneliti selanjutnya merasa tidak puas dengan teori

tersebut. Menurut mereka teori-teori sebelumnya terlalu sederhana, hanya

mencakup sedikit aspek dan rumit (dalam Schultz & Schultz, 1994). Setelah

beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu pendekatan

taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu The Big Five

Personality (John & Srivastava, 1999).

Kerangka berpikir Big Five merupakan suatu model hirarki kepribadian

dengan lima faktor yang setiap faktornya menjelaskan kepribadian dengan jelas

dan sangat luas. Pandangan Big Five menyatakan bahwa setiap perbedaan

individu dalam kepribadiannya dapat dikelompokkan ke dalam 5 (lima) bagian

secara empiris (Gosling, Rentfrow, & Swann Jr, 2003). Istilah Big Five pertama

kali dicetuskan oleh Lew Goldberg (1981).

Menurut Srivastava (2008), Big Five merupakan 5 (lima) faktor atau

(20)

Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Extraversion (Surgency). Dimensi ini terdiri dari sifat-sifat seperti:

talkative, berenergi, dan asertif.

2. Agreeableness. Dimensi ini mencakup sifat-sifat, seperti simpati, baik hati,

dan berperasaan.

3. Conscientiousness. Orang dengan dimensi ini cenderung teratur, teliti, dan

terencana.

4. Neuroticism (terkadang terbalik dan disebut dengan Emotional Stability).

Dikarakteristikkan dengan sifat tegang, moody, dan cemas.

5. Openness to Experience (terkadang disebut dengan Intelect atau Intelect/

Imagination). Dimensi ini mencakup sifat-sifat seperti rasa ketertarikan

yang luas, imaginatif, dan berwawasan luas.

Beberapa peneliti lain, seperti Paul Costa dan Robert (Jeff) McRae

menyebut pendekatan Big Five dengan istilah Five Factor Model atau Five Factor

Theory. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada faktor biologis yang

menganggap bahwa faktor belajar dan pengalaman hanya memberikan pengaruh

yang kecil dalam membentuk kepribadian (Srivastava, 2008).

Faktor kepribadian Big Five atau Five Factor Model merupakan salah satu

pendekatan yang lebih sederhana dan deskriptif dalam menggambarkan

kepribadian manusia (Pervin, 2005). Hasil yang konsisten mengenai teori ini juga

telah diperoleh dari berbagai teknik pengukuran. Kelima faktor ini telah

(21)

selama 6 (enam) tahun diperoleh kestabilan sifat pada subjek yang sama (dalam

Schultz & Schultz, 1994).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dinyatakan sebelumnya,

peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian big five

personality dengan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Dari penjelasan di atas maka pertanyaan yang diajukan peneliti adalah

”bagaimana hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan coping

stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan?” Pertanyaan tambahan

dalam penelitian ini adalah ”bagaimana gambaran coping stress dan kepribadian

big five personality pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan?” dan ”apakah

ada perbedaan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan bila

ditinjau dari faktor usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan suku subjek

penelitian?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

tipe kepribadian big five personality dengan coping stress pada polisi Reserse

(22)

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat pada ilmu Psikologi Sosial

terutama mengenai hubungan tipe kepribadian big five personality dengan

copingstress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

b. Penelitian ini diharapkan agar menjadi pemicu munculnya

penelitian-penelitian lain terhadap polisi yang memang masih jarang dijumpai saat

ini.

2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk

mengambil kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi

Direktorat Reserse Kriminal Poltabes Medan, seperti seleksi, penempatan,

dan lain-lain.

b. Memberi informasi mengenai hubungan antara tipe kepribadian big five

personality dengan coping stress pada polisi reserse kriminal Poltabes

Medan.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I : Pendahuluan berisikan uraian latar belakang masalah, perumusan

(23)

Bab II : Landasan teori berisikan teori-teori yang berkaitan dengan big five

personality, coping stress, dan direktorat reserse kriminal. Pada

bab ini juga dijelaskan hubungan antar variabel dan hipotesa.

Bab III : Metode penelitian, berisi uraian mengenai metode yang digunakan

untuk penelitian ini, seperti pendekatan yang digunakan, sampel,

cara pengambilan sampel, dan alat ukur penelitian.

Bab IV : Analisa data berisi uraian hasil penelitian dan interpretasi data.

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. BIG FIVE PERSONALITY 1. Definisi Big Five Personality

Kepribadian telah dikonsepkan dari bermacam-macam perspektif teoritis

yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya (McAdams dalam John &

Srivastava, 1999). Masing-masing tingkatan ini memiliki keunikan dalam

memahami perbedaan individu dalam perilaku dan pengalamannya. Namun,

jumlah sifat kepribadian dan skala kepribadian tetap dirancang tanpa

henti-hentinya (Goldberg dalam John & Srivastava, 1999).

Psikologi kepribadian memerlukan model deskriptif atau taksonomi

mengenai kepribadian itu sendiri. Salah satu tujuan utama taksonomi dalam ilmu

pengetahuan adalah untuk menyederhanakan defenisi yang saling tumpang-tindih.

Oleh karena itu, dalam psikologi kepribadian, suatu taksonomi akan

mempermudah para peneliti untuk meneliti sumber utama karakteristik

kepribadian daripada hanya memeriksa ribuan atribut yang berbeda-beda yang

membuat setiap individu berbeda dan unik (John & Srivastava, 1999).

Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu

pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu

dimensi “Big Five Personality”. Dimensi Big Five pertama kali diperkenalkan

oleh Goldberg pada tahun 1981. Dimensi ini tidak mencerminkan perspektif

teoritis tertentu, tetapi merupakan hasil dari analisis bahasa alami manusia dalam

menjelaskan dirinya sendiri dan orang lain. Taksonomi Big Five bukan bertujuan

(25)

memberikan penjelasan sistem kepribadian secara umum (John & Srivastava,

1999).

Big Five disusun bukan untuk menggolongkan individu ke dalam satu

kepribadian tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian

yang disadari oleh individu itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari.

Pendekatan ini disebut Goldberg sebagai Fundamental Lexical (Language)

Hypothesis; perbedaan individu yang paling mendasar digambarkan hanya dengan

satu istilah yang terdapat pada setiap bahasa (dalam Pervin, 2005).

Big Five Personality atau yang juga disebut dengan Five Factor Model

oleh Costa & McRae dibuat berdasarkan pendekatan yang lebih sederhana. Di

sini, peneliti berusaha menemukan unit dasar kepribadian dengan menganalisa

kata-kata yang digunakan orang pada umumnya, yang tidak hanya dimengerti oleh

para psikolog, namun juga orang biasa (Pervin, 2005).

2. Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality

Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa big five

personality terdiri dari lima tipe atau faktor. Terdapat beberapa istilah untuk

menjelaskan kelima faktor tersebut. Namun, di sini kita akan menyebutnya

dengan istilah-istilah berikut:

1. Neuroticism (N)

2. Extraversion (E)

3. Openness to New Experience (O)

4. Agreeableness (A)

(26)

Untuk lebih mudah mengingatnya, istilah-istilah tersebut di atas disingkat menjadi

OCEAN (Pervin, 2005).

Untuk lebih jelasnya, kelima faktor di atas akan dipaparkan pada Tabel 1.

yang didapat dari hasil penelitian Costa dan McRae (1985;1992). Neuroticism

berlawanan dengan Emotionalstability yang mencakup perasaan-perasaan negatif,

seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah, dan tegang. Openness to Experience

menjelaskan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas dari aspek mental dan

pengalaman hidup. Extraversion dan Agreeableness merangkum sifat-sifat

interpersonal, yaitu apa yang dilakukan seseorang dengan dan kepada orang lain.

Yang terakhir Conscientiousness menjelaskan perilaku pencapaian tujuan dan

kemampuan mengendalikan dorogan yang diperlukan dalam kehidupan sosial

(Pervin, 2005).

Tabel 1.

Karakteristik sifat-sifat Five Factor Model dengan skor tinggi dan rendah

Karakteristik dengan skor tinggi

Sifat Karakteristik dengan skor rendah

distress psikologi, ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan/keinginan yang berlebihan, dan respon

coping yang tidak sesuai.

Tenang , santai, tidak emosional, tabah, nyaman, puas terhadap diri sendiri.

Mudah bergaul, aktif,

Tidak ramah, tenang, tidak periang, menyendiri, task –oriented, pemalu, pendiam.

Rasa ingin tahu tinggi, ketertarikan luas, kreatif,

original, imajinatif, tidak

ketinggalan jaman.

Openness (O)

Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai pengalaman baru, Senang

Mengikuti apa yang sudah ada, down to earth,

(27)

mengetahui sesuatu yang tidak familiar.

seni, kurang analitis.

Berhati lembut, baik, suka menolong, dapat mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap

permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan.

Sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama, pendendam, kejam, mudah marah, manipulatif.

Teratur, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, tekun. menjadi malas dan lemah.

Tidak bertujuan, tidak

Menurut Costa & McRae (dalam Pervin, 2005), setiap dimensi dari Big

Five terdiri dari 6 (enam) faset atau subfaktor. Faset-faset tersebut adalah:

1. Extraversion terdiri dari:

1. Gregariousness (suka berkumpul).

2. Activity level (level aktivitas).

3. Assertiveness (asertif).

4. Excitement Seeking (mencari kesenangan).

5. Positive Emotions (emosi yang positif).

6. Warmth (kehangatan).

2. Agreeableness terdiri dari:

1. Straightforwardness (berterusterang).

2. Trust (kepercayaan).

3. Altruism (mendahulukan kepentingan orang lain).

(28)

5. Tendermindedness (berhati lembut).

6. Compliance (kerelaan).

3. Conscientiousness terdiri dari:

1. Self-discipline (disiplin).

2. Dutifulness (patuh).

3. Competence (kompetensi).

4. Order (teratur).

5. Deliberation (pertimbangan).

6. Achievement striving (pencapaian prestasi).

4. Neuroticism terdiri dari:

1. Anxiety (kecemasan).

2. Self-consciousness (kesadaran diri).

3. Depression (depresi).

4. Vulnerability (mudah tersinggung).

5. Impulsiveness (menuruti kata hati).

6. Angry hostility (amarah).

5. Openness to new experience terdiri dari:

1. Fantasy (khayalan).

2. Aesthetics (keindahan).

3. Feelings (perasaan).

(29)

5. Actions (tindakan).

6. Values (nilai-nilai).

B. COPING STRESS 1. Definisi Coping Stress

Folkman dan Lazarus (dalam Rice, 1992) mendefinisikan coping sebagai

segala upaya kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan bersikap

sabar dalam menghadapi tuntutan terhadap dirinya. Tuntutan tersebut dapat

berupa eksternal dan internal.

Menurut Taylor (dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa coping adalah

suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola perbedaan yang ada

antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun

tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang dimiliki

individu tersebut dalam menghadapi situasi stressfull.

Menurut Harowitz (dalam Rice, 1992), coping merupakan tindakan yang

mencakup tindakan mental dan fisik yang digunakan untuk mengendalikan,

mengatur, mengurangi, atau mentolerir efek tekanan yang ada, baik eksternal

maupun internal. Secara umum, coping diarahkan pada dua hasil. Yang pertama

bahwa coping diharapkan untuk mengubah hubungan antara diri dan lingkungan.

Yang kedua, coping diarahkan untuk mengatur emosi yang tidak menyenangkan.

Situasi yang stressfull sendiri merupakan suatu kondisi yang penuh dengan

stres. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992), mendefinisikan stres dengan

(30)

a. Stres mengarah pada setiap kejadian atau stimulus lingkungan yang

menyebabkan seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini,

stres berasal dari eksternal seseorang. Kondisi yang dapat menimbulkan stres

disebut dengn stressor. Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang

memaksa tubuh dan menyebabkan timbulnya ”physiological reaction” adalah

stressor.

b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian

internal dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri,

interpretasi dan proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.

c. Stres mengarah pada physical reaction dalam mengatasi ataupun

menghilangkan gangguan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa coping

stress adalah segala usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi, mengatur,

dan besikap sabar terhadap tuntutan-tuntutan baik internal maupun eksternal yang

tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya secara fisik dan mental atau

emosional.

2. Faktor-Faktor Coping Stress

Para peneliti telah menemukan sekitar 400 (empat ratus) cara yang biasa

dilakukan orang dalam menghadapi situasi yang stressfull dan

mengelompokkannya dalam berbagai kategori (dalam Sarafino, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian Lazarus, Folkman, dkk (1986), coping dapat

(31)

1. Confrontive coping; mencakup usaha agresif untuk menghadapi situasi yang

menekan, menggambarkan kekerasan terhadap orang lain, dan mengambil

tindakan yang memiliki resiko tinggi.

2. Distancing; usaha untuk melupakan masalah yang terjadi, dan melihat sisi

positif dari suatu masalah yang dihadapi.

3. Self-control; menjelaskan usaha untuk mengatur perasaan dan perilaku agar

tetap tenang.

4. Seeking social support; usaha untuk mencari dukungan informasi, dukungan

penyelesaian masalah, dan dukungan emosional dari orang-orang yang

dianggap penting.

5. Accepting responsibility; menyadari permasalahan yang sedang dihadapi dan

bertekad untuk menyelesaikannya.

6. Escape-Avoidance; menganggap masalah akan segera berakhir dan mencari

tindakan untuk menghindari masalah yang sedang dihadapi.

7. Planful problem-solving; usaha untuk memahami masalah dan melakukan

perencanaan untuk menyelesaikannya.

8. Positive reappraisal; menjelaskan usaha untuk mencari makna positif dari

suatu masalah yang berguna untuk perkembangan diri sendiri.

Berdasarkan hasil perhitungan statistik oleh Lazarus, Folkman, et al

(1986), hasil yang memuaskan diperoleh dari penggunaan planful

problem-solving dan positive reappraisal. Sedangkan hasil yang tidak memuaskan

(32)

Namun demikian, perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun metode yang

dapat digunakan untuk semua situasi stres. Menurut Ruther (Smet, 1994) tidak

ada strategi coping yang paling berhasil. Lazarus & Folkman (1984) menyatakan

bahwa efektivitas strategi coping bervariasi tergantung pada situasinya (dalam

Powers, dkk, 2002). Menurut Taylor, keberhasilan coping lebih tergantung pada

penggabungan strategi coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian

yang penuh stres, daripada mencoba menemukan satu strategi coping yang paling

berhasil (dalam Smet, 1994).

Menurut Skinner (dalam Sarafino, 2006), confrontive coping, seeking

social support, accepting responsibility, dan planful problem-solving memiliki

fungsi problem focused-coping. Sedangkan distancing, self-control,

escape-avoidance, dan positive reappraisal memiliki fungsi emotion-focused coping.

3. Fungsi Coping Stress

Secara umum Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1992) membedakan 2

(dua) fungsi copingstress, yaitu:

a. Emotion-focused coping

Usaha yang dilakukan individu untuk mengontrol dan membebaskan

perasaan-perasaan negatif (seperti amarah, frustrasi, rasa takut) yang

disebabkan oleh tekanan yang diterimanya.

Menurut Powers (2002), pengaturan ini dapat terlihat dari perilaku individu,

seperti penggunaan alkohol, bagaimana mengabaikan fakta-fakta yang tidak

menyenangkan dengan strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah

(33)

satu contoh strategi ini disebutkan oleh Freud (dalam Smet, 1994) yaitu

mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Strategi ini tidak mengubah

situasi stres, hanya mengubah cara orang memikirkan situasi dan melibatkan

elemen penipuan diri.

b. Problem-focused coping

Strategi yang dibuat individu untuk mengembangkan perencanaan tindakan

yang jelas terhadap stressor dan mengontrolnya sebisa mungkin.

Menurut Powers (2002), individu akan mengatasi masalah dengan

mempelajari cara atau ketrampilan baru untuk mengurangi stressor tersebut.

Individu akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan

dapat mengubah situasi. Metode ini sering digunakan oleh orang dewasa.

Menurut Sarafino (2006), individu dapat menggunakan problem focused

coping dan emotion focused coping secara bersamaan ketika sedang menghadapi

masalah. Beberapa studi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh psikologi terkemuka

menunjukkan hasil penemuan mengenai penggunaan problem focused dan

emotion focused coping, seperti Folkman (dalam Sarafino, 2006) yang

menyatakan bahwa individu dewasa madya lebih sering menggunakan

problem-focused coping sedangkan individu yang lebih tua lebih sering menggunakan

emotion-focused coping.

Selain itu, Greenglass & Noguchi juga menyatakan bahwa pria cenderung

lebih sering menggunakan problem-focused coping dibandingkan wanita yang

(34)

Moos juga ditemukan bahwa orang dengan tingkat pendidikan dan pendapatan

yang lebih tinggi lebih sering menggunakan problem-focused coping

dibandingkan dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan

yang lebih rendah. (dalam Sarafino, 2006).

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stress

Reaksi terhadap stres bervariasi antara orang yang satu dengan yang

lainnya, dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini disebabkan

oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat merubah stressor bagi

individu.

Menurut Smet (1994) faktor-faktor tersebut adalah:

a. Variabel dalam kondisi individu; mencakup umur, tahap kehidupan, jenis

kelamin, tempramen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku,

kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.

b. Karakteristik kepribadian, mencakup introvert-ekstrovert, stabilitas emosi

secara umum, kepribadian ”ketabahan” (hardiness), locus of control,

kekebalan, ketahanan.

c. Variabel sosial-kognitif, mencakup: dukungan sosial yang dirasakan, jaringan

sosial, kontrol pribadi yang dirasakan.

d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi

dalam jaringan sosial.

e. Strategi coping stress, merupakan cara yang dilakukan individu dalam

menyelesaikan masalah dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam

(35)

C. DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL 1. Pengertian dan Fungsi Reserse Kriminal

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terdiri dari beberapa bagian atau

yang disebut direktorat, antara lain adalah direktorat reserse kriminal (Dit.

Reskrim). Dit Reskrim adalah unsur pelaksana utama Polda yang berada dibawah

Kapolda. Dit Reskrim bertugas membina fungsi dan menyelenggarakan

kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk fungsi Identifikasi

dan fungsi Laboratorium Forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum ,

koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidikan sesuai

ketentuan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku (Website POLRI DIY,

2008).

Dalam menyelenggarakan tugas yang dimaksud, Dit. Reskrim

menyelenggarakan fungsi sbb :

1. Pembinaan fungsi / penyelidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi

dan fungsi laboratorium forensik lapangan serta kegiatan-kegiatan lain yang

menjadi tugas Dit Reskrim dalam lingkungan Polda.

2. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penyelidikan / penyidikan tindak pidana

umum dan tertentu , dengan memberikan pelayanan / perlindungan khusus

kepada korban / pelaku remaja , anak dan wanita, dalam rangka penegakan

hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

3. Penyelenggaraan fungsi Identifikasi baik untuk kepentingan penyidikan

maupun pelayan umum.

4. Penyelenggaraan pembinaan teknis dan koordinasi dan pengawasan

(36)

5. Pelaksanaan analisis setiap kasus dan isu-isu menonjol beserta penanganannya

dan mempelajari / mengkaji efektifitas pelaksanaan tugas satuan-satuan fungsi

Reskrim.

Dit. Reskrim dipimpin oleh Direktur Reskrim , disingkat Dir. Reskrim ,

yang bertanggung jawab kepada Kapolda dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari

berada dibawah kendali Wakapolda. Dir Reskrim dibantu oleh Wakil Direktur

Reskrim , disingkat Wadir Reskrim , yang bertanggung jawab kepada Dir.

Reskrim.

2. Struktur Organisasi Direktorat Reserse Kriminal Dit. Reskrim terbagi menjadi 6 (enam) bagian, yaitu:

1. Sub bagian perencanaan dan Administrasi (Subbagrenmin)

Subbagrenmin adalah unsur pelaksana dan pelayanan staf pada Dit.

Reskrim yang berada dibawah Dir. Reskrim. Subbagrenmin bertugas merumuskan

/ menyiapkan rencana / program kerja & anggaran termasuk rencana dan

administrasi operasional & pelatihan dan menyelenggarakan pelayanan urusan

administrasi personel & logistik urusan ketatausahaan & urusan dalam dan

pelayan keuangan Dit. Reskrim.

Subbagrenmin dipimpin oleh Kepala Subbagrenmin disingkat

Kasubbagrenmin yang bertanggung jawab kepada Dir. Reskrim dan dalam

pelaksanaan tugas sehari-hari dibawah kendali Wadir Reskrim. Untuk menjamin

dinamika dan keterpaduan operasional dalam pelaksanaan tugas semua satuan

(37)

piket siaga yang juga berperan dalam pelayanan penerimaan dan penanganan

pertama laporan/pengaduan warga masyarakat yang membutuhkan.

2. Bagian Analisis Direktorat Reserse dan Kriminal

Bag Analisis adalah unsur pembantu pimpinan dan staf pada Dit Reskrim

yang berada dibawah Dir. Reskrim. Bag. Analisis bertugas melakukan analisa dan

gelar perkara setiap kasus dan isu-isu yang berkaitan dgn rangkaian kasus-kasus

menonjol beserta penanganannya dan mempelajari / mengkaji efektifitas

pelaksanaan tugas penyelidikan / penyidikan tindak pidana oleh satuan-satuan

fungsi Reskrim dalam lingkungan Polda , termasuk penghimpunan dan

pemeliharaan berkas perkara yang telah selesai diproses dan bahan literatur yang

terkait

Bag Analisis dipimpin oleh Kepala Bagian Analisis , disingkat Kabag

Analisis yang bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan

tugas sehari-hari dibawah kendali Wadir Reskrim.

Kabag Analisis dalam melaksanakan tugas keawajibannya dibantu oleh :

a. Kepala Sub Bagian Produksi disingkat Kasubbag Produk

b. Kepala Sub Bagian Dokumentasi & Literatur disingkat Kasubbag Doklit

3. Siskorwas PPNS Direktorat Reserse dan Kriminal

Sikorwas PPNS adalah unsur pelaksana teknis pada Dit Reskrim yang

berada dibawah Dir Reskrim. Sikorwas bertugas melaksanakan koordinasi dan

pengawasan operasional termasuk pembinaan / bimbingan teknis penyidikan dan

(38)

Sikorwas PPNS dipimpin oleh Kepala Sikorwas PPNS , disingkat Kasi

Korwas PPNS yang bertabggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam

pelaksanaan tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wadir Reskrim.

4. Seksi Identifikasi Direktorat Reserse Kriminal

Si Ident adalah unsur pelaksana teknis pada Dit Reskrim yang berada

dibawah Dir Reskrim. Si Ident bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi

Identifikasi yang meliputi kegiatan Daktiloskopi kriminal, Daktiloskopi umum

dan fotografi Kepolisian.

Si Ident dipimpin oleh Kepala Bid / Si Ident , disingkat Si Ident yang

bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari

berada dibawah kendali Wadir Reskrim.

5. Satuan Operasional Direktorat Reserse Kriminal

Sat Opsnal adalah unsur pelaksana pada Dit Reskrim yang berada dibawah

Dir Reskrim. Sat Opsnal bertugas melakukan penyedikan dan penyidikan tindak

pidana yang terjadi di wilayah Polda.

Sat Opsnal dipimpin oleh Kepala Sat Opsnal , disingkat Kasat Opsnal,

yang bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas

sehari-hari berada dibawah kendali Wadir Reskrim.

Sat Opsnal terdiri dari sejumlah unit yang masing-masing dipimpin oleh

kepala Unit disingkat Kanit. Jumlah Sat Opsnal pada Dit Reskrim dalam jumlah

(39)

Polda dan pembagian tugasnya diatur lebih lanjut oleh Dir Reskrim sesuai arahan

Kapolda.

6. Detasemen 88 Anti Teror (Den 88 AT)

Adalah unsur pelaksana pada Dit Reskrim yang berada dibawah Kapolda.

Bertugas menyelenggarakan penyelidikan tindak pidana serta tugas lain di bidang

tindak pidana terorisme. Den 88 AT dipimpin oleh Kepala Den 88 AT, disingkat

Kaden 88 AT yang sehari-hari bertanggung jawab kepada Kapolda.

Den 88 AT terdiri dari:

1). Urusan Administrasi dan Tata Usaha disingkat Urmintu

2). Unit Intelejen, disingkat Unitintel

3). Unit Penindak, disingkat Unittindak

4). Unit Investigasi, disingkat Unitinvest

5). Unit Bantuan, disingkat Unitban

Pembentukan Den 88 AT yang berkedudukan langsung dibawah Kapolda

dan atau berkedudukan langsung dibawah Dir. Reskrim, diatur dengan keputusan

sendiri.

D. KAITAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN BIG FIVE PERSONALITY DAN COPING STRESS PADA POLISI RESERSE KRIMINAL POLTABES MEDAN

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan lembaga yang

bertugas untuk menjalankan fungsi keamanan dan ketertiban umum di Indonesia

(Syafrika & Suyasa, 2004). Ira Glasser (dalam Amaranto dkk, 2003)

(40)

aspek, sulit, berbahaya, dan stressfull. Kepolisian Negara Republik Indonesia

dibagi menjadi 9 (sembilan) direktorat, salah satunya adalah Direktorat Reserse

Kriminal.

Menurut Sullivan (1977), polisi kriminal adalah ”urat nadi” kepolisian.

Meliala (2001) berpendapat bahwa polisi kriminal mengalami stres tersendiri,

dimana mereka sering berhadapan langsung dengan pelaku kejahatan. Khusus

untuk polisi kriminal yang bertugas di kota besar seperti Medan, stres yang

dialami lebih besar karena tingkat kriminal yang lebih tinggi juga (Nuzulia, 2005).

Stres memiliki dampak positif dan negatif. Untuk mengatasi dampak

negatif ini, individu perlu melakukan coping. Lazarus dan Folkman (1986)

membagi coping stress menjadi dua bagian, yaitu problem-focused coping dan

emotion-focused coping.

Smet (1994) beranggapan bahwa kepribadian adalah salah satu faktor yang

mempengaruhi coping stress. Salah satu taksonomi kepribadian yang dapat

diterima secara umum saat ini adalah Big Five Personality (John & Srivastava,

1999). Big Five merupakan suatu model hirarki kepribadian yang membagi

kepribadian menjadi lima faktor yang setiap faktornya menjelaskan kepribadian

dengan jelas dan sangat luas (Gosling, Rentfrow, & Swann Jr, 2003). Kelima tipe

kepribadian tersebut adalah neuroticism, extraversion, openness to new

experience, agreeableness, dan conscientiousness.

E. HIPOTESA PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasional yang bertujuan untuk

menguji hipotesa. Hipotesa dalam penelitian ini adalah:

(41)

a. Ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan

problem-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

b. Ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan

emotion-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

2. Ho (Hipotesa Nihil) : p > 0,05, artinya:

a. Tidak ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan

problem-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

b. Tidak ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan

(42)

Gambar 2. Paradigma Penelitian Five Factor Model

McRae & Costa:

- Neuroticism - Extraversion - Openness - Agreeableness - Conscientiousness

Coping

Stress

Direktorat Reserse Kriminal

Poltabes Medan POLRI Polisi : lembaga keamanan dan

ketertiban umum Stressfulljob

Emotion- Focused Problem- Focused

Stress

Kepribadian

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif

korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara satu variabel

terikat dengan beberapa variabel bebas yang lain .

Jadi, penelitian ini bertujuan untuk melihat secara sistematik dan akurat

mengenai hubungan antara tipe kepribadian Big Five Personality dengan coping

stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan berdasarkan perhitungan

statistik.

A. VARIABEL PENELITIAN

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah

1. Variabel X: Tipe kepribadian Big Five Personality, yang terdiri dari

Neuroticism, Extraversion, Openness to new experience, Agreeableness, dan

Conscientiousness.

2. Variabel Y: Coping stress, yang terdiri dari:

a) Problem-focused coping (Confrontive coping, Seeking social support,

Accepting responsibility, dan Planful problem-solving,)

b) Emotion-focused coping (Distancing, Self-control, Escape-Avoidance, dan

(44)

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Big Five Personality diukur dengan menggunakan inventori kepribadian.

Big Five Personality merupakan model yang mengelompokkan kepribadian

menjadi 5 klasifikasi, yaitu:

1. Neuroticism. Individu yang tergolong pada tipe ini sering cemas dan tegang

dalam menghadapi situasi yang berbeda atau yang membuat dirinya tertekan.

2. Extraversion. Individu yang tergolong pada dimensi ini cenderung suka

berkelompok, banyak berbicara, dan mampu mengemukakan pendapatnya

dengan baik.

3. Openness to new experience. Terkadang disebut Intellect atau

Intellect/Imagination (terbuka terhadap pengalaman atau intelektual).

Individu yang tergolong pada dimensi ini biasanya merupakan orang yang

pintar, memiliki ide-ide yang kreatif, dan berwawasan luas.

4. Agreeableness. Individu yang tergolong pada dimensi ini cenderung

menyetujui dan mengiyakan pendapat orang lain dan mudah untuk

mempercayai orang lain.

5. Conscientiousness. Individu yang tergolong pada dimensi ini cenderung

teratur, merencanakan sesuatu yang akan dilakukannya untuk waktu yang

akan datang dan berusaha mencapai apa yang direncanakannya tersebut.

Skor tinggi pada salah satu dimensi kepribadian menunjukkan bahwa

individu cenderung tergolong dalam salah satu dimensi kepribadian tersebut dan

(45)

Coping stress diukur oleh peneliti dengan skala coping stress. Skala

coping stress dibagi menjadi dua bagianberdasarkan fungsinya, yaitu:

1. Problem-focused coping:

Usaha individu dalam menghadapi masalahnya dan berusaha untuk

menyelesaikannya. Problem focused coping ini diukur melalui subskala

problem-focused coping yang terdiri dari 4 (empat) faktor, yaitu:

a) Confrontive coping; dapat dilakukan dengan menyalahkan orang lain,

mengekspresikan kemarahan, dan melakukan tindakan yang beresiko.

b) Seeking social support; dapat dilakukan dengan bertanya pada orang lain,

meminta bantuan orang lain, bercerita kepada teman atau saudara, dan

meminta saran dari orang-orang yang memahami masalah tersebut.

c) Accepting responsibility; dapat dilakukan dengan mengkritik diri,

menyadari bahwa sumber masalah adalah diri sendiri, dan membuat

komitmen untuk menyelesaikan masalah tersebut.

d) Planful problem-solving; dapat dilakukan dengan membuat jadwal harian

dan melakukannya, merubah sesuatu yang menjadi sumber masalah,

mencari tahu sumber masalah di masa lalu dan membuat solusi masalah

yang berbeda.

Subjek penelitian yang cenderung menggunakan problem focused coping

merupakan kategori individu yang memiliki skor tinggi dalam pengisian subskala

(46)

2. Emotion-focused coping:

Usaha individu untuk mengatur respon emosional terhadap stres dengan

mengabaikan fakta-fakta yang tidak menyenangkan dengan menggunakan

strategi kognitif, ataupun dengan menghindari masalah tersebut. Emotion

focused coping diukur melalui subskala emotion focused coping yang terdiri

dari 4 (empat) faktor, yaitu:

a) Distancing; dapat dilakukan dengan menganggap masalah tidak serius,

berperilaku seolah-olah tidak ada masalah, dan melupakan seluruh

masalah yang ada.

b) Self-control; dapat dilakukan dengan memendam perasaan, tidak

men-sharing-kan masalah dengan orang lain, dan membiarkan masalah tanpa

ada penyelesaian.

c) Escape-Avoidance; dapat dilakukan dengan berpikiran bahwa masalah

akan segera berakhir, berandai-andai bahwa akan ada keajaiban, dan

melakukan aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan masalah, seperti

makan, minum, merokok, tidur, dan sebagainya untuk menghindari

masalah yang sedang dihadapi.

d) Positive reappraisal; dapat dilakukan dengan mengubah cara hidup,

mencari pengalaman baru, mencari keyakinan baru, berdoa, dan

melakukan sesuatu yang kreatif.

Subjek penelitian yang cenderung menggunakan emotion focused coping

merupakan kategori individu yang memiliki skor tinggi dalam pengisian subskala

(47)

C. PROSEDUR PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh subyek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi

dibatasi sebagai sejumlah subyek atau individu yang paling sedikit memiliki satu

sifat yang sama. Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk

yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit

satu sifat yang sama (Hadi, 2000).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh polisi Reserse Kriminal yang

bertugas di Poltabes Medan. Berdasarkan data terbaru Reserse Kriminal Poltabes

Medan, yaitu tahun 2008, jumlah personil polisi reserse kriminal Poltabes Medan

adalah 204 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah polisi Reserse

Kriminal Poltabes Medan yang dikenakan alat ukur penelitian.

2. Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel atau sampling menurut Kerlinger (1990) berarti

mengambil suatu bagian dari populasi sebagai wakil (representasi) dari populasi

ini. Pada penelitian ini, sampel diperoleh melalui teknik non probability secara

incidental sampling yang berarti setiap anggota populasi tidak mendapat

kesempatan yang sama untuk dapat terpilih menjadi anggota sampel, dimana

pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada sistem kebetulan sampai

diperoleh jumlah sampel yang dibutuhkan.

3. Jumlah Sampel Penelitian

Dari seluruh Polisi Reserse Kriminal yang bertugas di Poltabes Medan

(48)

D. METODE PENGUMPULAN DATA 1. Alat Ukur yang Digunakan

Data penelitian diperoleh dari alat ukur. Alat ukur yang diberikan kepada

sampel dalam penelitian ini adalah inventori kepribadian dan skala copingstress.

Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan inventori dan

skala yang dibuat berdasarkan model skala Likert. Kelebihan skala Likert yaitu

lebih reliabel secara statistik dan waktu yang lebih singkat dalam pembuatan skala

(Hogg, 2002).

Inventori kepribadian terbagi menjadi 5 (lima) bagian besar subskala yang

diadaptasi dari Big Five Inventory Personality Test (BFI) yang disusun oleh John

dan Srivastava. Big Five Inventory Personality Test (BFI) merupakan inventori

yang dianggap lebih efisien karena memiliki nilai koefisien validitas yang paling

baik (0,92) dengan koefisien reliabilitas 0,83 jika dibandingkan dengan inventori

kepribadian lainnya yang sering digunakan dalam setting penelitian mengenai big

five personality, seperti NEO-Five Factor Inventory (NEO-FFI) dan Trait

Descriptive Adjective (TDA) (John & Srivastava, 1999). Skala coping stress

disusun berdasarkan 8 (delapan) faktor coping stress yang dibagi menjadi 2 (dua)

bagian berdasarkan fungsinya, diadaptasi dari coping scales hasil penelitian

Lazarus, Folkman, dkk. Item-item pada alat ukur tersebut disusun secara acak

(random).

Item-item disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable)

dan tidak mendukung (unfavorable). Setiap item pada skala terdiri dari pernyataan

dengan empat pilihan jawaban, yaitu Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju dan

(49)

untuk pernyataan favorable yaitu: Sangat setuju = 4, Setuju = 3, Tidak Setuju =

2, Sangat Tidak Setuju = 1. Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan

unfavorable yaitu: Sangat setuju = 1, Setuju= 2, Tidak Setuju = 3, Sangat

Tidak Setuju = 4.

Untuk lebih jelasnya, cara penilaian inventori kepribadian dan skala

coping stress yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1

sebagai berikut:

Tabel 1.

Cara Penilaian Inventori Kepribadian dan Skala Coping Stress

Bentuk Pernyataan

Skor

1 2 3 4

Favorable Sangat tidak setuju Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju

Unfavorable Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat tidak setuju

Tabel 2.

Blue-print Inventori Kepribadian dan Skala Coping Stress

Sebelum Uji Coba

Inventori kepribadian uji coba yang diberikan kepada sampel terdiri dari

44 (empat puluh empat) item dengan perincian seperti yang tampak pada Tabel

2.1. berikut:

Tabel 2.1. Blue-print Inventori Kepribadian Sebelum Uji Coba

No. Tipe kepribadian Favorable Unfavorable Jumlah 1 Neuroticism 1,11,16,26,36,42 = 6 6,21,27,31 = 4 10 2 Extraversion 4,14,19,29,39,43 = 6 9,24,34 = 3 9

3 Openness 7,17,22,32 = 4 2,12,37 =3 7

4 Agreeableness 5,10,15,20,25,30,40,44 = 8

41 =1 9

5 Conscientiousness 3,13,23,28,33,35,38 = 7 8,18 =2 9

(50)

Skala coping stress uji coba yang diberikan kepada sampel terdiri dari 72

(tujuh puluh dua) item dengan perincian seperti yang tampak pada Tabel 2.2. dan

Tabel 2.3. berikut:

Tabel 2.2. Blue-print Subskala Problem-FocusedCoping Sebelum Ui Coba

No Faktor Favorable Unfavorable Jumlah

1 Confrontive coping 1,2,4,70,71,72 = 6 3,6 = 2 8 2 Seeking social support 52,53,55,56,58,59 = 6 21,24,27,30 = 4 10 3 Accepting responsibility 14,16,17,19 = 4 33,36,39,42 = 4 8 4 Planful problem-solving 28,29,31,32,34,35 = 6 51,54,57 = 3 9

Jumlah Total Item 22 13 35

Tabel 2.3. Blue-print Subskala Emotion-FocusedCoping Sebelum Ui Coba

No Faktor Favorable Unfavorable Jumlah

1 Distancing 5,7,8,67,68,69 = 6 9,12 = 2 8 2 Self-controlling 10,11,13,61,62,64,65 =

7

15,18 = 2 9

3 Escape-Avoidance 20,22,23,25,26,47,49,50 = 8

45,48 = 2 10

4 Positive reappraisal 37,38,40,41,43,44,46 = 7

60,63,66 = 3 10

Jumlah Total Item 28 9 37

2. Validitas

Skala tersebut akan diujicobakan dahulu sebelum digunakan. Uji coba

digunakan untuk menguji reliabilitas dan validitas alat ukur.

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana

ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya.

Suatu alat ukur yang valid tidak sekedar mampu mengungkapkan data dengan

tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data

(51)

Pendekatan terhadap validitas alat ukur dilakukan dengan menyusun

terlebih dahulu operasional aspek-aspek pengukuran yang tepat dalam blue-print

(criterion-related validity).

Dalam penelitian ini, validitas yang digunakan adalah face validity. Face

validity adalah tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya

didasarkan pada penilaian terhadap format penampilan (appearance) tes. Apabila

penampilan tes telah meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap

apa yang hendak diukur, maka dapat dikatakan bahwa face validity telah

terpenuhi. (Azwar, 2004).

Penilaian face validity item dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa

tahap, antara lain:

1. Setelah Big Five Inventory Personality Test (BFI) dan Coping Scales yang

sebenarnya diterjemahkan oleh peneliti, hasil terjemahan diperlihatkan kepada

seorang dosen Bahasa Inggris untuk diperiksa tata bahasanya.

2. Item-item yang telah dibuat diberikan kepada teman-teman yang lain untuk

memperoleh penilaian dan saran untuk memperbaiki item yang dirasa tidak

jelas atau ambigu.

3. Item-item yang telah diperbaiki sebelumnya diberikan kepada para ahli, dalam

hal ini kepada dosen yang menguasai teknik pembuatan skala psikologi.

4. Item-item kemudian disusun ulang berdasarkan feedback dari teman-teman

(52)

3. Uji Daya Beda Item dan Reliabilitas a. Uji Daya Beda Item

Uji daya beda butir pernyataan untuk melihat sejauh mana butir

pernyataan mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang

memiliki atau tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan

dalam analisis butir pernyataan ini adalah dengan memilih butir-butir pernyataan

yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Atau dengan kata

lain, memilih butir pernyataan yang mengukur hal yang sama dengan apa yang

diukur oleh tes sebagai keseluruhan (Azwar, 1999).

Pengujian daya beda butir pernyataan ini dilakukan dengan komputasi

koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap butir pernyataan dengan suatu

kriteria yang relevan, yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan

koefisien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengujian ini akan

menghasilkan koefisien korelasi item total yang dikenal dengan indeks daya beda

butir pernyataan (Azwar, 2000). Uji daya beda butir pernyataan ini akan dilakukan

pada alat ukur dalam penelitian ini, yaitu inventori kepribadian dan skala coping

stress. Setiap butir pernyataan pada alat ukur ini akan dikorelasikan dengan skor

total alat ukur. Prosedur pengujian ini menggunakan taraf signifikansi 5%

(p<0,05).

Besarnya koefisien korelasi item total bergerak dari 0 sampai dengan 1,00

dengan nilai positif dan negatif. Semakin baik daya diskriminasi item maka

koefisien korelasinya semakin mendekati angka 1,00 (Azwar, 2005). Batasan nilai

(53)

item yang memiliki nilai

r

iX ≥ 0,275 sajalah yang akan digunakan dalam

pengambilan data yang sebenarnya.

b. Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau

dapat diandalkan. Menurut Hadi (2000) reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat

keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa

kali pada kesempatan yang berbeda. Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari

koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi item-item yang dalam

menjalankan fungsi ukurnya secara bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini

sebenarnya mengacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang

mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2002).

Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal

dimana prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes kepada

sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis,

dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2002). Teknik yang digunakan untuk pengukuran

reliabilitas alat ukur penelitian ini adalah teknik koefisien Alpha Cronbach dengan

koefisien > 0,05. Untuk menguji reliabilitas ini menggunakan bantuan program

SPSS versi 15.0 for Windows.

4. Hasil Uji Coba

Sebelum melakukan pengambilan data yang sebenarnya, terlebih dahulu

dilakukan uji coba alat ukur penelitian untuk mengetahui kualitas dari

masing-masing item. Uji coba skala coping stress dan inventori kepribadian dilakukan

Gambar

Paradigma Penelitian Gambar 2.
Tabel 2.1. Blue-print Inventori Kepribadian Sebelum Uji Coba FavorableUnfavorable
Tabel 3.1. Item-item Inventori Kepribadian yang Gugur pada Uji Coba
Tabel 3.3. Item-item Subskala Emotion-Focused Coping yang Gugur pada Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Nevid, 2003) coping stress mempunyai dua tipe, yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. Wawancara yang dilakukan dengan salah

Secara umum tipe kepribadian big five, self control memiliki pengaruh yang signifikan terhadap agresivitas satpol pp Kota Tangerang.. Berdasarkan koefisien regresi

Hipotesis pertama ditolak, tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan strategi problem focused coping dengan kepribadian ambang sementara hipotesis kedua

Analisa tambahan pada penelitian ini yaitu gambaran sumber stres kerja yang dirasakan karyawan, hubungan antara problem-focused coping dengan religious-focused coping, perbedaan

Sedangkan hasil pengujian setelah menambahkan peran pemoderasi berupa persepsi terhadap lingkungan pendidikan, hanya tipe kepribadian agreeableness yang memiliki

Agreebleness mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik, dan yang terakhir tipe Neuroticism menggambarkan

Analisa tambahan pada penelitian ini yaitu gambaran sumber stres kerja yang dirasakan karyawan, hubungan antara problem-focused coping dengan religious-focused coping, perbedaan

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara tipe kepribadian dengan coping strategy pada santri di Pondok Pesantren Minhajut Tholabah