PENGARUH PENGETAHUAN PETUGAS KESEHATAN TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI
KESEHATAN DI PUSKESMAS DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
T E S I S
Oleh
ADELIMA CR SIMAMORA 087033014/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH PENGETAHUAN PETUGAS KESEHATAN TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI
KESEHATAN DI PUSKESMAS DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ADELIMA CR SIMAMORA 087033014/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH PENGETAHUAN PETUGAS KESEHATAN TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN DI PUSKESMAS DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
Nama Mahasiswa : Adelima CR Simamora Nomor Induk Mahasiswa : 087033014
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Yeni Absah, S.E, M.Si) Ketua
(drs. Eddy Syahrial, M.Si) Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 30 Agustus 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Yeni Absah, S.E, M.Si Anggota : 1. Drs. Eddy Syahrial, M.Si
PERNYATAAN
PENGARUH PENGETAHUAN PETUGAS KESEHATAN
TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN DI PUSKESMAS DI KABUPATEN
HUMBANG HASUNDUTAN
T E S I S
Oleh
ADELIMA CR SIMAMORA 087033014/IKM
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, September 2010
ABSTRAK
Keberhasilan pelaksanaan program promosi kesehatan di masyarakat tidak terlepas dari upaya petugas kesehatan dalam melaksanakan fungsi tugasnya. Studi pendahuluan di Puskesmas Kabupaten Humbang Hasundutan pada Februari-Maret 2010, menunjukkan masih terbatasnya pengetahuan petugas puskesmas terhadap berbagai program promosi kesehatan di setiap wilayah cakupannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan yang berupa pengetahuan kesadaran, pengetahuan pemahaman dan pengetahuan prinsip dasar petugas kesehatan terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan di puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (kroseksional) dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan di Puskesmas di bagian pelaksanaan promosi kesehatan yang berjumlah 31 orang. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan Uji Chi Square dan Uji Regresi Logistik pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variable yang berpengaruh terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan adalah pengetahuan kesadaran (p=0,004, Pengetahuan pemahaman (p=0,021) dan Pengetahuan prinsip dasar (p=0,013). Variabel yang paling dominan pengaruhnya adalah pengetahuan prinsip dasar terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan, yaitu sebesar 49,93.
Diharapkan bahwa petugas promosi kesehatan sebaiknya melakukan skala prioritas untuk memilih kegiatan peningkatan pengetahuan pemahaman, yang akan diikuti. Hal ini untuk meminimalkan agar kegiatan yang diikuti tidak menjadi sia-sia. Kepada Dinas kesehatan Kabupaten/Kota, untuk meningkatkan keefektifan promosi kesehatan sebaiknya petugas pelaksana promosi kesehatan adalah staf yang memiliki latar belakang pendidikan promosi kesehatan.
ABSTRACT
Observation done in the field during the period of February and March 2010, indicate that most society health problems due to the minimum effort done by health promotion staffs of the Puskesmas (Community Health Center). When interviewed, some health promotion staffs said that their understanding of health promotion is so limited. This is due to some factors namely minimum training and limited health promotion support they have.
This study was intended to describe the influence of the knowledge of health workers on the implementation of health promotion program at all of the Puskesmas (Community Health Center) in Humbang Hasundutan District. This survey research was designed crossectional. The population of this study were all of the 31 health workers who were serving in the health promotion implementation section of the Puskesmas (Community Health Center) and all of them were selected to be the samples for this study through total sampling technique. The primary data for this study were obtained through interview using structural questionnaire. Data was analyzed by logistic regression test at confidence level of 95 %.
The result of this study showed that Odds Ratio = 49,93 means that respondent who are good at basic principle knowledge of health promotion has probability of 49,932 times in doing good health promotion (95% CL: 1,353-1843). The finding also shows that basic principle knowledge of health promotion is the most significant influence on the health promotion program.
It is suggested to selectively done the program of knowledge improvement. This is to minimize the inefficiency of the program. The management of Humbang Hasundutan District Health Service is suggested to improve the effectiveness of health promotion programs by employing qualified health promotion staffs who possess health promotion education background.
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas Berkat dan Karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara dengan judul “Pengaruh Pengetahuan Petugas Kesehatan terhadap Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan di Puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan”.
Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk
menyelesaikan pendidikan dengan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Sumatera Utara.
Selama melaksanakan penulisan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan kerendahan hati yang
tulus menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang
terhormat:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,MSc(CTM). Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat dan
juga Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM di Universitas
Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
4. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M selaku Sekretaris Minat Studi Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku serta seluruh jajarannya yang telah memberikan
bimbingan dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan.
5. Dr. Yeni Absah, S.E,M.Si, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak
membimbing dan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan
bimbingan dan penuh perhatian dan kesabaran kepada penulis mulai dari proposal
hingga penulisan tesis ini selesai.
6. Drs. Eddy Syahrial, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini.
7. Dr. Drs. A. Ridwan Siregar, M.Lib selaku Ketua Komisi Penguji yang telah
banyak memberikan masukan, kritik dan saran kepada penulis demi
kesempurnaan tesis ini.
8. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si selaku Dosen Penguji yang telah banyak
memberikan masukan, kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
9. Ir. Zuraidah Nasution, M.Kes sebagai Direktur Poltekkes Kementerian Kesehatan
Medan yang telah memberikan kesempatan dan dukungan moril kepada penulis
untuk mengikuti pendidikan di S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU
Medan.
10. Bapak dan Ibu sebagai Kepala Puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan
11. Seluruh staf secara khusus petugas Promosi Kesehatan Puskesmas di Kabupaten
Humbang Hasundutan yang telah banyak menbantu penulis dalam melakukan
penelitian ini.
12. Seluruh Staf Dosen dan Staf Pegawai PS S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM
USU yang telah memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis
dalam menyelesaikan tesis ini.
13. Seluruh teman-teman mahasiswa di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM USU.
14. Seluruh teman-teman Dosen dan Pegawai di Poltekkes Kementerian Kesehatan
Jurusan Keperawatan Medan yang telah memberikan bantuan dan dukungan
kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
15. Teristimewa buat suami tercinta, Drs.Pantas H. Silaban, M.B.A dan anak saya
Pharel Jonathan J. Silaban yang tidak henti-hentinya memberikan semangat,
dukungan serta doa dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari penulisan tesis ini masih banyak kekurangan dan masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis mengucapkan
terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, September 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Adelima Christina Rosetti Simamora, lahir pada tanggal 19
Nopember 1959 di Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan, anak kesepuluh
dari empat belas bersaudara dari pasangan bapak D.Simamora (Alm) dan ibu Bidan
F.Nababan (Alm).
Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri
(SDN) 5 Doloksanggul tamat tahun 1971, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP)
Seminari Sipaholon tamat tahun 1974. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri
Doloksanggul tamat tahun 1977. Pada Tahun 1983 menamatkan kuliah dari D-III
Keperawatan Sint Carolus Jakarta. Pada tahun 1999 menamatkan kuliah dari D-IV
Perawat Pendidik dari Universitas Sumatera Utara (USU). Pada tahun 2005
menamatkan kulah dari S1 Keperawatan STIKesSU, dan Strata Dua (S-2) di
Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara dengan minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu
Perilaku pada tahun 2008 dn diselesaikan pada tahun 2010.
Pada tahun 1983 sampai dengan 1985 bekerja di bagian penyakit dalam
Rumah Sakit Sint Carolus Jakarta. Pada tahun 1986 sampai dengan 1991 bekerja di
Rumah Sakit Elisabet sebagai Ka.sie. Keperawatan, tahun 1993 sampai dengan 1997
guru perawat di SPK Depkes Medan, tahun 1998 sampai dengan 2003 dosen di Akper
Depkes Medan, tahun 2004 sampai sekarang dosen di Kementerian Kesehatan
Politeknik kesehatan Medan. Penulis menikah pada tahun 1987, dan dikarunia 1
BAB 5. PEMBAHASAN. ... 50
5.1 Pengaruh Pengetahuan Kesadaran Terhadap Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan ... 50
5.2 Pengaruh Pengetahuan Pemahaman Terhadap Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan. ... 52
5.3 Pengaruh Pengetahuan Pinsip Dasar Terhadap Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan ... 53
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN. ... 55
6.1 Kesimpulan... 55
6.2 Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA . ... 58
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 33
4.1 Distribusi Frekwensi Jenis kelamin Responden ... 44
4.2 Distribusi Frekwensi Kelompok umur responden ... 44
4.3 Distribusi Frekwensi Menurut Fasilitas Pengetahuan Kesadaran responden Terhadap pelaksanaan program Promkes di Puskesmas di
Kabupaten Humbang Hasundutan …………... 45
4.4 Distribusi Frekwensi Menurut Fasilitas Pengetahuan Pemahaman Responden Terhadap pelaksanaan Program Promkes di Puskesmas
di Kabupaten Humbang Hasundutan …………. ... 45
4.5 Distribusi Frekwensi Menurut Fasilitas Pengetahuan Prinsip Dasar responden terhadap Pelaksanaan Program Promkes di puskesmas di
Kabupaten Humbang Hasundutan ………... 45
4.6 Distribusi Frekwensi Menurut Pelaksanaan Program Promkes pada
Responden di Puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan ... 46
4.7 Korelasi Pengetahuan Kesadaran dengan Pelaksanaan Program Promkes pada Responden di Puskesmas Kabupaten Humbang
Hasundutan ………...………... 46
4.8 Korelasi Pengetahuan Pemahaman dengan Pelaksanaan Program
Promkes pada Responden di Puskesmas Humbang Hasundutan... 47
4.9 Korelasi Pengetahuan Prinsip Dasar dengan pelaksanaan Program Promkes pada Responden di Puskesmas di Kabupaten Humbang
Hasundutan ... 48
4.10 Regresi Logistik pengaruh Fasilitas Akses Pengetahuan Dengan Pelaksanaan Program Promkes pada Responden di puskesmas di
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
I Kuesioner Penelitian ... 62
II Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 65
ABSTRAK
Keberhasilan pelaksanaan program promosi kesehatan di masyarakat tidak terlepas dari upaya petugas kesehatan dalam melaksanakan fungsi tugasnya. Studi pendahuluan di Puskesmas Kabupaten Humbang Hasundutan pada Februari-Maret 2010, menunjukkan masih terbatasnya pengetahuan petugas puskesmas terhadap berbagai program promosi kesehatan di setiap wilayah cakupannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan yang berupa pengetahuan kesadaran, pengetahuan pemahaman dan pengetahuan prinsip dasar petugas kesehatan terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan di puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (kroseksional) dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan di Puskesmas di bagian pelaksanaan promosi kesehatan yang berjumlah 31 orang. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan Uji Chi Square dan Uji Regresi Logistik pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variable yang berpengaruh terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan adalah pengetahuan kesadaran (p=0,004, Pengetahuan pemahaman (p=0,021) dan Pengetahuan prinsip dasar (p=0,013). Variabel yang paling dominan pengaruhnya adalah pengetahuan prinsip dasar terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan, yaitu sebesar 49,93.
Diharapkan bahwa petugas promosi kesehatan sebaiknya melakukan skala prioritas untuk memilih kegiatan peningkatan pengetahuan pemahaman, yang akan diikuti. Hal ini untuk meminimalkan agar kegiatan yang diikuti tidak menjadi sia-sia. Kepada Dinas kesehatan Kabupaten/Kota, untuk meningkatkan keefektifan promosi kesehatan sebaiknya petugas pelaksana promosi kesehatan adalah staf yang memiliki latar belakang pendidikan promosi kesehatan.
ABSTRACT
Observation done in the field during the period of February and March 2010, indicate that most society health problems due to the minimum effort done by health promotion staffs of the Puskesmas (Community Health Center). When interviewed, some health promotion staffs said that their understanding of health promotion is so limited. This is due to some factors namely minimum training and limited health promotion support they have.
This study was intended to describe the influence of the knowledge of health workers on the implementation of health promotion program at all of the Puskesmas (Community Health Center) in Humbang Hasundutan District. This survey research was designed crossectional. The population of this study were all of the 31 health workers who were serving in the health promotion implementation section of the Puskesmas (Community Health Center) and all of them were selected to be the samples for this study through total sampling technique. The primary data for this study were obtained through interview using structural questionnaire. Data was analyzed by logistic regression test at confidence level of 95 %.
The result of this study showed that Odds Ratio = 49,93 means that respondent who are good at basic principle knowledge of health promotion has probability of 49,932 times in doing good health promotion (95% CL: 1,353-1843). The finding also shows that basic principle knowledge of health promotion is the most significant influence on the health promotion program.
It is suggested to selectively done the program of knowledge improvement. This is to minimize the inefficiency of the program. The management of Humbang Hasundutan District Health Service is suggested to improve the effectiveness of health promotion programs by employing qualified health promotion staffs who possess health promotion education background.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan
sumber daya manusia dalam mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta
sejahtera lahir dan batin (Adisasmito, 2008). Pada akhirnya, pembangunan kesehatan
ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas dan produktif (Sujudi,
1997).
Sehat menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) didefinisikan sebagai suatu
keadaan sejahtera sempurna dari fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya terbatas
pada bebas dari penyakit dan kecacatan. (WHO, 2000). Sejalan dengan
perkembangan, maka definisi tersebut sudah dirasakan perlu direvisi kembali, karena
belum mengakomodasikan berbagai komponen produktivitas. Dalam Piagam Ottawa
pada tahun 1986 disebutkan bahwa sehat itu bukan hanya sekedar tujuan hidup, tetapi
merupakan alat untuk hidup secara produktif (Ahmad, 2009).
Secara implementasi, sistem kesehatan bersifat dinamis dan sangat
dipengaruhi berbagai kondisi ekonomi, politik dan budaya suatu negara (Adisasmito,
2008). Dengan kata lain, sistem kesehatan merupakan kombinasi antara institusi
kesehatan, sumber daya manusia pendukung, mekanisme finansial, sistem informasi,
mekanisme jaringan organisasi dan manajemen struktur yang di dalamnya termasuk
Dalam Rencana Strategi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Renstra
Depkes RI) tahun 2005-2009 disebutkan bahwa pembangunan kesehatan di Indonesia
telah cukup berhasil meningkatkan derajat kesehatan. Ironisnya, derajat kesehatan di
Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara tetangga (Depkes RI,
2005). Hal ini disebabkan adanya berbagai masalah diantara adalah kinerja
pelayanan kesehatan yang rendah, terbatas dan tidak meratanya tenaga kesehatan
(Adisasmito, 2008).
Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah membawa suasana
baru dalam dunia pemerintahan di Indonesia yang sebelumnya sentralistik menjadi
desentralisasi. Menurut Rondinelli (1981), desentralisasi adalah pemindahan
kewenangan atau pembagian kekuasaan dan pengambilan keputusan dari tingkat
nasional ke tingkat daerah, khususnya daerah tingkat II. Dari definisi tersebut, maka
sektor kesehatan juga merupakan wewenang dari pemerintahan daerah untuk
mengaturnya.
Gani (1999) mengungkapkan, desentralisasi mengalami berbagai hambatan
terutama di daerah tingkat II antara lain adalah lemahnya profesionalisme sumber
daya manusia (SDM). Lemahnya profesionalisme itu ditandai dengan masih
terbatasnya pengetahuan dan berbagai informasi pelaksana lapangan di bidang
kesehatan yang diharapkan dapat menjadi agen perubahan dalam bidang kesehatan
kepada masyarakat. Keberhasilan pembangunan di daerah, khususnya di kabupaten
dan kota salah satunya adalah ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya,
Hambatan lain dalam upaya desentralisasi menurut Gani (1999) adalah
ketidak berkesinambungan antara pelayanan kesehatan primer dan sekunder.
Muninjaya (2004) mengemukakan sebelum era 70-an, kebijakan sarana pelayanan
kesehatan lebih difokuskan kepada pembangunan rumah sakit yang tidak mudah
diakses oleh sebagian penduduk yang tinggal di pedesaan. Mengatasi masalah
tersebut, maka pemerintah mendirikan Pusat Pelayanan Kesehatan (Puskesmas) yang
merupakan upaya pemerintah untuk melindungi penduduknya, termasuk
mengembangkan program khusus untuk penduduk miskin (Muninjaya, 2004).
Adanya semangat reformasi menghendaki adanya perubahan dalam manajemen
Puskesmas yang tertuang dalam UU No. 22 dan 25 Desentralisasi dan Otonomi
Daerah.
Depkes RI (2002) menjelaskan Puskesmas di era desentralisasi mempunyai 3
fungsi, yaitu:
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan
2. Memberdayakan masyarakat dan memberdayakan keluarga
3. Memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Salah satu upaya kesehatan dasar yang merupakan program minimal dan
harus dilaksanakan setiap Puskesmas adalah Program Promosi Kesehatan dengan
melaksanakan berbagai kegiatan promosi hidup bersih dan sehat dengan indikator
keberhasilan adalah perbaikan perilaku sehat masyarakat (Depkes RI, 2002). Promosi
memungkinkan seseorang untuk meningkatkan dan mengontrol derajat kesehatannya,
baik secara individu, kelompok maupun masyarakat (Siregar, 2009).
Dalam mengimplementasikan program promosi kesehatan di puskesmas
dibutuhkan sumber daya yang andal dalam melaksanakannya. Kajian Muninjaya
(2004) menjelaskan bahwa visi dan misi baru puskesmas di era desentralisasi kurang
dihayati baik oleh pimpinan maupun staf puskesmas. Hal itu mengakibatkan upaya
advokasi dan juga pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan menjadi kurang
mendapat sambutan di masyarakat. Masalah lain adalah Sistem Informasi
Manajemen Puskesmas (SIMPUS) yang bertujuan untuk proses penyusunan rencana
strategis puskesmas belum mampu dikembangkan (Muninjaya, 2004).
Berbagai kendala dalam upaya implementasikan berbagai program promosi
kesehatan di puskesmas, khususnya puskesmas di daerah terpencil antara lain adalah
kurangnya pengetahuan mengenai promosi kesehatan yang dimiliki oleh petugas
puskesmas. Pada Konferensi Nasional Promosi Kesehatan ke-5 di Bandung pada
tanggal 22-25 November 2009, Siregar (2009) memaparkan keterbatasan
pengetahuan petugas kesehatan dalam melaksanakan upaya promosi kesehatan
utamanya di daerah terpencil antara lain disebabkan keterbatasan pendukung dalam
memahami berbagai program promosi kesehatan. Keterbatasan ini menjadi kendala
dalam pelaksanaan berbagai upaya promosi kesehatan di institusi termasuk juga di
puskesmas. Hal ini disebabkan petugas kesehatan di puskesmas merupakan agen
perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di wilayah
Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten yang baru
dibentuk pada tanggal dengan berbagai masalah kesehatan. Data dari
Riset kesehatan daerah Sumatera Utara tahun 2007 menyebutkan, Kabupaten
Humbang Hasundutan merupakan salah satu daerah yang berada di bawah standar
kesehatan nasional, seperti masalah gizi buruk, kesehatan ibu dan anak serta
kesehatan lingkungan (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan yang dilakukan pada bulan
Februari-Maret 2010, menunjukkan bahwa berbagai masalah kesehatan di
masyarakat disebabkan masih kurang berperannya puskesmas dalam melaksanakan
kegiatan promosi kesehatan di setiap wilayah cakupannya. Saat peneliti menanyakan
kepada beberapa petugas puskesmas yang diberi wewenang menangani program
promosi kesehatan, mereka mengatakan pemahaman mereka terhadap apa dan
bagaimana program promosi kesehatan itu masih sangat kurang. Hal ini disebabkan
berbagai faktor, seperti pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan mereka masih
sangat minim mereka dapatkan, materi penunjang kegiatan promosi kesehatan juga
masih jarang mereka peroleh.
Rogers (1983) berpendapat, pengetahuan terdiri dari tiga komponen, yaitu:
kesadaran, pemahaman dan prinsip dasar. Untuk dapat menganalisis pengetahuan
maka ketiga komponen tersebut dia atas menjadi suatu keharusan untuk diamati dan
dianalisis. Dari uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti berbagai hal
yang terkait dengan pengaruh pengetahuan petugas kesehatan terhadap pelaksanaan
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan pada
penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pengetahuan (kesadaran, pemahaman dan
prinsip dasar) petugas kesehatan terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan di
Puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan pada tahun 2010.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana pengaruh
pengetahuan (kesadaran, pemahaman dan prinsip dasar) petugas kesehatan terhadap
pelaksanaan program promosi kesehatan di Puskesmas di kabupaten Humbang
Hasundutan pada tahun 2010.
1.4. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat pengaruh pengetahuan
(kesadaran, pemahaman dan prinsip dasar) petugas kesehatan terhadap pelaksanaan
program promosi kesehatan di Puskesmas di kabupaten Humbang Hasundutan pada
tahun 2010.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Humbang Hasundutan adalah sebagai
masukan dalam merencanakan program promosi kesehatan di institusi
2. Bagi pengembangan ilmu adalah untuk menambah khazanah di bidang
pengembangan sumber daya manusia bidang promosi kesehehatan khususnya
sumber daya kesehatan di puskesmas.
3. Bagi peneliti lain adalah sebagai tambahan referensi yang berkaitan dengan
pengembangan sumber daya manusia bidang promosi kesehatan khususnya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Promosi Kesehatan di Puskesmas
Dalam Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan dijelaskan bahwa promosi
kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
proses pembelajaran diri dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka
dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumberdaya
masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang
berwawasan kesehatan (Depkes RI, 2008). Saat ini, perilaku masyarakat merupakan
faktor utama yang menyebabkan masalah kesehatan. Dalam mengantisipasi perilaku
masyarakat yang belum menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), peran
promosi kesehatan sangatlah penting.
Ruang lingkup penyelenggaraan promosi kesehatan tidak hanya berfokus pada
perubahan perilaku masyarakat saja, tetapi juga merupakan upaya membangun
komitmen dan dukungan kongkrit para pengambil kebijakan dan berbagai kelompok
di masyarakat yang peduli terhadap masalah promosi kesehatan. Promosi kesehatan
juga berperan dalam proses peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, melalui
peningkatan kapasitas petugas kesehatan agar mampu dan responsif dalam
memberdayakan kliennya dengan kata lain sebagai agen perubahan yang bertugas
menjaga dan meningkatkan kesehatan klien untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat
kesehatan masyarakat. Untuk itu, peranan Puskesmas hendaknya tidak lagi menjadi
sarana pelayanan pengobatan dan rehabilitatif saja, tetapi juga lebih ditingkatkan pada
upaya promotif dan preventif. Oleh karena itu promosi kesehatan menjadi salah satu
upaya wajib di Puskesmas (Masulili, 2007).
Menurut Depkes RI (2007), promosi kesehatan di Puskesmas adalah upaya
Puskesmas melaksanakan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mencegah
penyakit dan meningkatkan kesehatan setiap individu, keluarga serta lingkungannya
secara mandiri dan mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat. Secara
operasional, upaya promosi kesehatan di Puskesmas dilakukan agar masyarakat
mampu ber Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai bentuk pemecahan
masalah-masalah kesehatan yang diderita maupun yang berpotensi mengancam
secara mandiri. Oleh karena itu, keberadaan Puskesmas dapat diumpamakan sebagai
agen perubahan di masyarakat sehingga masyarakat lebih berdaya dan timbul
gerakan-gerakan upaya kesehatan yang bersumber dari masyarakat (Depkes, 2007).
Disamping itu, petugas kesehatan Puskesmas sebagai pelaksana program diharapkan
mampu menjadi teladan bagi pasien, keluarga dan masyarakat untuk melakukan
PHBS.
Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan petugas Puskesmas merupakan
upaya penggerakakan atau pengorganisasian masyarakat. Penggerakan atau
pengorganisasian masyarakat diawali dengan membantu kelompok masyarakat
mereka sadar bahwa masalah tersebut adalah masalah bersama. Kemudian, masalah
tersebut dimusyawarahkan untuk dipecahkan secara bersama.
Depkes RI (2007) menjelaskan beberapa hal yang harus dilakukan oleh
Puskesmas dalam upaya pemberdayaan masyarakat berwujud:
1. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak, yaitu melalui Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu), Poliklinik Desa (Polindes), dan Bina Keluarga Balita.
2. Upaya Pengobatan, melalui posyandu, Panti Pemulihan Gizi, Pembentukan
Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi).
3. Upaya Kesehatan Sekolah melalui dokter kecil, penyertaan guru dan orang
tua/wali murid, Saka Bakti Husada, Pos Kesehatan Pesantren atau yang
bernuansa keagamaan.
4. Upaya Kesehatan Lingkungan, melalui kelompok Pemakai Air (Pokmair), Desa
Percontohan Kesehatan Lingkungan.
Disamping itu, Puskesmas juga berfungsi sebagai pusat penggerak
pembangunan berwawasan kesehatan, yaitu:
1. Menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah kerjanya agar
menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan kesehatan.
2. Memantau dan melaporkan secara aktif dampak kesehatan dan penyelenggaraan
setiap program pembangunan di wilayah kerjanya.
3. Mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa
Berbagai kegiatan promosi kesehatan di Puskesmas meliputi kunjungan
rumah dan pemberdayaan berjenjang. Kunjungan rumah dilakukan petugas sebagai
tindak lanjut upaya promosi kesehatan di dalam Puskesmas, yaitu saat mereka
berkunjung ke Puskesmas. Untuk keluarga yang memiliki masalah kesehatan cukup
berat, kunjungan rumah dilakukan untuk membantu pemecahan masalah tersebut
melalui konseling di tingkat keluarga. Tidak jarang, kunjungan rumah yang semula
dimaksud untuk menyelenggarakan konseling keluarga berkembang menjadi
konseling yang lebih luas lagi, seperti tingkat dasa wisma atau bahkan lebih luas lagi.
Hal ini disebabkan masalah tersebut sudah menjadi masalah berbagai keluarga di
wilayah tersebut.
Promosi kesehatan di masyarakat yang dilakukan petugas Puskesmas
sebaiknya tidak ditangani sendiri oleh petugas kesehatan Puskesmas. Masyarakat
yang begitu beragam dan luas terdiri dari berbagai tatanan seperti tatanan: (1) rumah
tangga, (2) sarana pendidikan, dan (3) tempat kerja. Depkes RI (2007) menyebutkan,
proses pemberdayaan berjenjang ini umumnya diselenggarakan melalui pendekatan
yang dikenal dengan sebutan pengorganisasian masyarakat. Proses pengorganisasian
masyarakat agar dapat menyerap berbagai upaya perubahan menuju perilaku sehat ini
sering disebut dengan proses difusi inovasi.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi program-program di Puskesmas di
kelompokkan dalam 3 bagian yaitu :
Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan
komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya ungkit
tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan
wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah
Indonesia.
Upaya Kesehatan wajib tersebut adalah :
a. Upaya Promosi Kesehatan
b. Upaya Kesehatan Lingkungan
c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak
d. Upaya Perbaikan Gizi
e. Upaya Pemberantasan Penyakit Menular
f. Upaya Pengobatan
2. Upaya Kesehatan Pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan
permasalahan yang ditemukan di masyarakat serta disesuaikan dengan
kemampuan puskesmas.
3. Upaya Penunjang
Upaya penunjang ini meliputi sistem pencatatan dan pelaporan terpadu dan
upaya laboratorium medis/kesehatan
2.2. Difusi Inovasi
Bryan dan Thompson (2002), mengatakan, munculnya Teori Difusi Inovasi
dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis,
Gabriel Tarde dalam bukunya “The Laws of Imitation”, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang
dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu
menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi
waktu.
Pemikiran tadi menjadi penting karena secara sederhana bisa menggambarkan
kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Sejak saat itu tingkat adopsi
atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross,
mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di
Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan
tentang difusi inovasi model kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan
Gross menyatakan bahwa tingkat adopsi inovasi pertanian mengikuti suatu kurva
normal berbentuk S ketika diamati secara kumulatif dari waktu ke waktu (Brown,
1981).
Pada tahun 1950-an pemerintah Amerika Serikat ingin mengetahui bagaimana
dan mengapa sebagian petani di sana mengadopsi teknik-teknik baru dalam pertanian
memahami difusi dari teknik-teknik pertanian tapi pada perkembangan selanjutnya
teori difusi ini digunakan pada bidang-bidang lainnya.
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di
mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih
kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Pada tahun
1962, Everett M. Rogers menulis sebuah buku yang berjudul “ Diffusion of Innovations “ yang selanjutnya buku ini menjadi landasan pemahaman tentang inovasi, mengapa orang mengadopsi inovasi, faktor-faktor sosial apa yang
mendukung adopsi inovasi, dan bagaimana inovasi tersebut berproses di antara
masyarakat.
2.2.2. Pengertian Dasar Difusi Inovasi
Difusi Inovasi terdiri dari padanan 2 kata yaitu difusi dan inovasi. Rogers
(2003) menjelaskan difusi didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu inovasi
dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap
anggota suatu sistem sosial. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe
komunikasi khusus dimana pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga
dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan
yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial.
Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru
oleh individu atau kelompok masyarakat. Ungkapan dianggap/dirasa baru terhadap
yang lain. Kesemuanya tergantung apa yang dirasakan oleh individu atau kelompok
terhadap ide, praktek atau benda tersebut.
Dari kedua padanan kata di atas, maka difusi inovasi adalah suatu proses
penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk merubah suatu
masyarakat yang terjadi secara terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain,
dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke
bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari sistem sosial (Rogers, 2003).
2.2.3. Unsur-Unsur Difusi Inovasi
Menurut Rogers (2003), dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat)
elemen pokok, yaitu:
1. Inovasi, yaitu gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan
individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia
adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak
harus baru sama sekali.
2. Saluran komunikasi, yaitu seperangkat alat untuk menyampaikan pesan-pesan
inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi,
sumber paling tidak perlu memperhatikan: (a) tujuan diadakannya komunikasi
dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk
memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas,
maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media
penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah
saluran interpersonal.
3. Jangka waktu, yaitu proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui
sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan
terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak
dimensi waktu terlihat dalam: (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b)
keinovatifan seseorang yang relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima
inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
4. Sistem sosial, yaitu kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat
dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan
bersama.
Pada tahun berikutnya, Rogers (2003) menjelaskan lebih terinci berbagai
variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari
proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan
difusi inovasi tersebut mencakup: (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents).
2.2.4. Proses Putusan Inovasi
Rogers (2003) menjelaskan dalam penerimaan suatu inovasi, biasanya
seseorang melalui beberapa tahapan yang disebut Proses Putusan Inovasi. Proses
melewati dari pengetahuan awal tentang suatu inovasi sampai membentuk sebuah
sikap terhadap inovasi tersebut, membuat keputusan apakah menerima atau menolak
inovasi tersebut, mengimplementasikan gagasan baru tersebut, dan mengkonfirmasi
keputusan ini. Seseorang akan mencari informasi pada berbagai tahap dalam proses
keputusan inovasi untuk mengurangi ketidak yakinan tentang akibat atau hasil dari
inovasi tersebut.
Proses keputusan inovasi ini adalah sebuah model teoritis dari tahapan
pembuatan keputusan tentang pengadopsian suatu inovasi teknologi baru. Proses ini
merupakan sebuah contoh aksioma yang mendasari pendekatan psikologi sosial yang
menjelaskan perubahan sikap dan perilaku yang dinamakan tahapan efek dasar.
Proses keputusan inovasi dibuat melalui sebuah cost-benefit analysis yang mana rintangan terbesarnya adalah ketidakpastian (uncertainty). Orang akan mengadopsi suatu inovasi jika mereka merasa percaya bahwa inovasi tersebut akan
memenuhi kebutuhan . Jadi mereka harus percaya bahwa inovasi tersebut akan
memberikan keuntungan relatif pada hal apa yang digantikannya. Lalu bagaimana
mereka merasa yakin bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan dari
berbagai segi, seperti :
1. Dari segi biaya, apakah inovasi tersebut membutuhkan biaya yang besar tetapi
dengan tingkat ketidak pastian yang besar?
2. Apakah inovasi tersebut akan mengganggu segi kehidupan sehari-hari?
3. Apakah sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada?
Pada awalnya Rogers (2003) menerangkan bahwa dalam upaya perubahan
seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai tahapan pada
seseorang tersebut, yaitu :
1. Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut.
2. Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut
sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut.
3. Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai
mengevaluasi.
4. Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru.
5. Tahap Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi
perilaku baru tersebut.
Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak berhenti segera
setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai
akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (2003)
merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang inovasi yaitu :
Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan
mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa?, bagaimana?, dan mengapa?
merupakan pertanyaan yang sangat penting pada tahap ini. Tahap ini individu
akan menetapkan “ Apa inovasi itu? bagaimana dan mengapa ia bekerja?.
Pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan, yaitu:
a. Awareness knowledge (pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk
belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada
tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada
informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi
tersebut maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut.
Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih
efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran, atau
majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan
suatu inovasi.
b. How-to-knowledge (pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang
pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk
lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus
memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan
c. Principles-knowledge (prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat
bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang mendasari
penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan kampanye
kesehatan.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut NCDDR (National Center for the Dissemination of Disability Research, 1996), menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu:
1. Dimensi Sumber Diseminasi, yaitu institusi, organisasi, atau individu yang
bertanggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.
2. Dimensi Isi Diseminasi, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga
termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.
3. Dimensi Media Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk
tersebut dikemas dan disalurkan.
4. Dimensi Pengguna Diseminasi, yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk
dimaksud.
2. Persuasion (Bujukan)
Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif
terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan
individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap
ini berlangsung setelah tahap pengetahuan dalam proses keputusan inovasi.
Tahap pengetahuan lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan
tahap kepercayaan bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena
itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidak yakinan
pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi pendapat
dan kepercayaan individu terhadap inovasi.
3. Decision (Keputusan)
Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak
suatu inovasi. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada
keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena
biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut
pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut.
Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses
keputusan inovasi ini. Terdapat dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan
passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak
inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi.
Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi
sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidak pastiannya
akan terlibat dalam difusi. Ketidak pastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan
menjadi masalah pada tahapan ini. Klien dalam hal ini adalah masyarakat, akan
memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat
ketidak pastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan
berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang
mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi
jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih
banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.
5. Confirmation (Penegasan/Pengesahan)
Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka klien akan mencari dukungan atas
keputusannya ini . Menurut Rogers (2003) keputusan ini dapat menjadi terbalik
apabila si pengguna ini menyatakan ketidak setujuan atas pesan-pesan tentang
inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari
hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang
memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih
krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan
2.2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Difusi Inovasi
Rogers (2003), ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses difusi inovasi,
seperti: (1) faktor personal, (2) faktor sosial, dan (3) faktor situasional. Faktor
personal yang mempengaruhi difusi inovasi adalah:
1. Umur
Difusi inovasi yang tertinggi terdapat pada sekelompok orang yang berusia relatif
tua. Walaupun terdapat beberapa bukti bahwa orang-orang yang berusia relatif tua
kurang dapat menerima perubahan, tetapi bukan berarti mereka tidak mau
menerima perubahan untuk orang lain.
2. Pendidikan
Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan suatu tambahan pemahaman
tentang hal-hal baru. Disamping itu pendidikan juga merupakan sesuatu yang
dapat menciptakan dorongan kepada seseorang untuk menerima suatu inovasi.
3. Karakteristik Psikologi
Seseorang yang fleksibel secara mental, mampu memandang elemen-elemen yang
nyata dalam situasi yang baru apabila melakukan penyesuaian diri terhadap
situasi tersebut. Dengan perkataan lain, kemampuan mengakses informasi dengan
cepat dapat menciptakan suatu keadaan rasional, dimana hal tersebut akan
mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi.
Faktor sosial yang mempengaruhi difusi inovasi terdiri dari:
Keluarga sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil
keputusan untuk menerima suatu inovasi. Hal ini disebabkan adanya anggapan
bahwa penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem
keluarga.
2. Tetangga dan Lingkungan Sosial
Tetangga adalah orang-orang yang tinggal pada suatu geografis tertentu yang
telah mengembangkan suatu perasaan memiliki atau kebersamaan dan cenderung
berasosiasi dengan sesamanya daripada dengan pihak luar. Pada umumnya belajar
dengan tetangga biasanya lebih berhasil dari pada belajar dengan pihak lain yang
tinggal berjauhan sehingga tetangga banyak berperan dalam proses difusi inovasi.
3. Kelompok Referensi
Kelompok referensi adalah sekelompok orang yang dijadikan contoh oleh orang
lain atau kelompok lain dalam pembentukan pikiran, penilaian, dan keputusan
dalam bertindak. Oleh sebab itu kelompok referensi berperan dalam menyadarkan
masyarakat yang relatif lambat dalam mengadopsi sesuatu.
4. Budaya
Suatu unsur budaya seperti tata nilai dan sikap sangat berpengaruh dalam proses
difusi inovasi. Tata nilai berhubungan dengan tingkat kepentingan seseorang
sehingga menjadi penting dalam mempengaruhi perilaku individu sedangkan
sikap merupakan suatu proses dalam bertindak yang berdasarkan pada tata nilai
Faktor situasional yang mempengaruhi difusi inovasi adalah:
1. Status Sosial
Kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat berhubungan positif dengan proses
difusi inovasi. Seseorang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dalam
masyarakat cenderung lebih mudah menerima berbagai perubahan yang
ditawarkan disebabkan ia lebih mudah untuk mendapatkan berbagai informasi
tentang perkembangan baru yang sedang dan akan terjadi.
2. Sumber Informasi
Orang-orang yang memanfaatkan berbagai sumber informasi yang didapatkannya
berkorelasi positif dengan proses difusi inovasi. Sebaliknya, orang-orang yang
enggan untuk mencari dan mendapatkan informasi dan hanya bergantung dengan
informasi yang apa adanya akan berkorelasi negatif dengan proses difusi inovasi.
2.2.6. Agen Perubahan dalam Proses Difusi Inovasi
Dalam suatu proses difusi inovasi, dibutuhkan langkah-langkah dalam
penerapannya. Oleh karena itu, dibutuhkan tenaga-tenaga trampil, baik perseorangan
maupun kelompok yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Para
tenaga-tenaga trampil itu mempunyai kualifikasi dan kemampuan sehingga disebut dengan
agen perubahan (Dilla, 2007).
Nasution (2007) menjelaskan, agen perubahan adalah seseorang yang yang
perubahan merupakan petugas profesional yang mempengaruhi putusan inovasi klien
menurut arah yang diinginkan oleh lembaga perubahan. Pada kenyataan sehari-hari,
agen perubahan dapat dilihat dari berbagai macam bidang pekerjaan seperti,
perencana pembangunan, petugas lapangan, pamong, guru, penyuluh kesehatan, dll.
Dalam konteks sosial, termasuk di bidang kesehatan, agen-agen perubahan berfungsi
sebagai mata rantai komunikasi antar dua atau lebih suatu sistem sosial. Hal ini
disebabkan agen perubahan menghubungkan antara dua sistem sosial yang
mempelopori perubahan dengan sistem sosial yang menjadi klien dalam usaha
pembaharuan tersebut.
Rogers (2003), mengemukakan ada tujuh langkah kegiatan agen perubahan
dalam pelaksanaan proses difusi inovasi pada masyarakat, yaitu:
1. Membangkitkan kebutuhan untuk berubah. Biasanya agen pembaharu pada awal
tugasnya diminta untuk membantu kliennya agar mereka sadar akan perlunya
perubahan. Agen pembaharu mulai dengan mengemukakan berbagai masalah yang
ada, membantu menemukan masalah yang penting dan mendesak, serta
meyakinkan klien bahwa mereka mampu memecahkan masalah tersebut. Pada
tahap ini agen pembaharu menentukan kebutuhan klien dan juga membantu
caranya menemukan masalah atau kebutuhan dengan cara konsultatif.
2. Memantapkan hubungan pertukaran informasi. Sesudah ditentukannya kebutuhan
untuk berubah, agen pembaharu harus segera membina hubungan yang lebih akrab
dengan klien. Agen pembaharu dapat meningkatkan hubungan yang lebih baik
saling mempercayai dan juga agen pembaharu harus menunjukan empati pada
masalah dan kebutuhan klien
3. Mendiagnosa masalah yang dihadapi. Agen pembaharu bertanggung jawab untuk
menganalisa situasi masalah yang dihadapi klien, agar dapat menentukan berbagai
alternatif jika tidak sesuai kebutuhan klien. Untuk sampai pada kesimpulan
diagnosa agen pembaharu harus meninjau situasi dengan penuh emphati. Agen
pembaharu melihat masalah dengan kacamata klien, artinya kesimpulan diagnosa
harus berdasarkan analisa situasi dan psikologi klien, bukan berdasarkan
pandangan pribadi agen pembaharu.
4. Membangkitkan kemauan klien untuk berubah. Setelah agen pembaharu menggali
berbagai macam cara yang mungkin dapat dicapai oleh klien untuk mencapai
tujuan, maka agen pembaharu bertugas untuk mencari cara memotivasi dan
menarik perhatian agar klien timbul kemauannya untuk berubah atau membuka
dirinya untuk menerima inovasi. Namun demikian cara yang digunakan harus
tetap berorientasi pada klien, artinya berpusat pada kebutuhan klien jangan terlalu
menonjolkan inovasi.
5. Mewujudkan kemauan dalam perbuatan. Agen pembaharu berusaha untuk
mempengaruhi tingkah laku klien dengan persetujuan dan berdasarkan kebutuhan
klien jadi jangan memaksa. Dimana komunikasi interpersonal akan lebih efektif
kalau dilakukan antar teman yang dekat dan sangat bermanfaat kalau dimanfaatkan
pada tahap persuasi dan tahap keputusan inovasi. Oleh kerena itu dalam hal
langsung, yaitu dapat menggunakan pemuka masyarakat agar mengaktifkan
kegiatan kelompok lain.
6. Menjaga kestabilan penerimaan inovasi dan mencegah tidak berkelanjutannya
inovasi. Agen pembaharu harus menjaga kestabilan penerimaan inovasi dengan
cara penguatan kepada klien yang telah menerapkan inovasi. Perubahan tingkah
laku yang sudah sesuai dengan inovasi dijaga jangan sampai berubah kembali pada
keadaan sebelum adanya inovasi.
7. Mengakhiri hubungan ketergantungan. Tujuan akhir tugas agen pembaharu adalah
dapat menumbuhkan kesadaran untuk berubah dan kemampuan untuk merubah
dirinya, sebagai anggota sistem sosial yang selalu mendapat tantangan kemajuan
jaman. Agen pembaharu harus berusaha mengubah posisi klien dari ikatan percaya
pada kemampuan agen pembaharu menjadi bebas dan percaya kepada kemampuan
sendiri.
Seorang agen perubahan mampu untuk melakukan perubahan pendapat, sikap,
dan tindakan kliennya apabila dalam dirinya terdapat faktor-faktor kredibilitas dan
daya tarik (Dilla, 2007). Krech. et all (1982) menyatakan pesan yang disampaikan
oleh komunikator, dalam hal ini adalah agen perubahan yang memiliki kredibilitas
tinggi akan lebih memberikan pengaruh pada perubahan sikap dalam penerimaan
pesan yang disampaikan dibandingkan agen perubahan yang berkredibilitas rendah.
Menurut Tan (1981), kredibilitas sumber atau agen perubahan terdiri dari dua
unsur, yaitu keahlian dan kepercayaan. Keahlian diukur dari sejauhmana klien
masalah, dan kepercayaan dioperasionalisasikan sebagai persepsi klien tentang sejauh
mana agen perubahan bersikap netral atau tidak memihak dalam penyampaian pesan.
Dimensi kredibilitas meliputi kemampuan, kecerdasan, pengalaman, pengetahuan dan
dimensi daya tarik meliputi kesamaan, familier dan kesukaan. Kesamaan meliputi
pandangan, wawasan, ide atau gagasan. Familier meliputi empati, simpati, dan
maturiti atau kedewasaan. Kesukaan meliputi frekuensi, ketepatan, keteladanan dan
kesopanan.
2.3. Landasan Teori
Pelaksanaan program promosi kesehatan merupakan salah satu program
yang ada di setiap Puskesmas, namun terkadang dalam pelaksanaannya petugas
kesehatan masih ditemukan tidak menjalankannya dikarenakan berbagai faktor.
Berdasarkan kajian teoritis diketahui bahwa keterbatasan pengetahuan petugas
kesehatan dalam melaksanakan upaya promosi kesehatan utamanya di daerah
terpencil antara lain disebabkan keterbatasan pendukung dalam memahami berbagai
program promosi kesehatan.
Rogers (2003) berpendapat, pengetahuan terdiri dari tiga komponen, yaitu:
kesadaran, pemahaman dan prinsip dasar. Berkaitan dengan proses difusi inovasi
Kerangka Konsep
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian.
Pada Gambar 2.1. terlihat bahwa pengetahuan kepada petugas kesehatan
sebagai agen perubahan meliputi berbagai sarana penunjang kepada petugas
kesehatan untuk dapat memperoleh pengetahuan kesadaran, pengetahuan pemahaman
dan pengetahuan prinsip dasar suatu program promosi kesehatan. Pengetahuan
kesadaran program promosi kesehatan terdiri dari pengetahuan tentang berbagai
kebijakan promosi kesehatan nasional dan daerah, kebijakan pelaksanaan promosi
kesehatan di Puskesmas, tata cara pelaksanaan program promosi kesehatan di
Puskesmas. Pada proses ini pengetahuan dilihat dari sejauhmana fasilitas pendukung
seperti buku pedoman program promosi kesehatan, alat peraga promosi kesehatan,
berbagai kelengkapan lain diperoleh oleh petugas kesehatan di Puskesmas.
Pengetahuan pemahaman program promosi kesehatan adalah kemampuan
untuk memahami terdiri dari berbagai strategi pelaksanaan program promosi
kesehatan yang terdiri dari strategi advokasi, bina suasana dan pemberdayaan
masyarakat di wilayah cakupan Puskesmas. Pada proses ini pengetahuan dilihat dari
Pengetahuan :
• Kesadaran
• Pemahaman
• Prinsip Dasar
Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan di
bagaimana kemudahan petugas kesehatan Puskesmas memperoleh pengetahuan
tentang strategi promosi kesehatan tersebut.
Pengetahuan prinsip dasar adalah kemampuan memahami bagaimana program
promosi kesehatan itu dilaksanakan dan bagaimana strategi pelaksanaanya dilakukan.
Pada tahap ini, pengetahuan dilihat dari seberapa besar frekuensi mendapatkan
pengetahuan dan dari siapa petugas mendapatkan pengetahuan tersebut.
Pelaksanaan program promosi kesehatan di Puskesmas adalah suatu
bentuk/upaya perubahan perilaku masyarakat guna meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat di wilayah cakupan Puskesmas yang diteliti. Pada proses ini akan dilihat
bagaimana kemampuan petugas dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang terdiri
dari:
1. Cakupan kunjungan Kehamilan K4
2. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi kebidanan
3. Cakupan kunjungan bayi
4. Cakupan desa/kelurahan dengan universal child immunization (UCI) 5. Cakupan pelayanan anak balita
6. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak balita
7. Cakupan penjaringan kesehatan anak SD
8. Cakupan KB aktif
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian survei dengan desain crossectional untuk menjelaskan bagaimana pengaruh pengetahuan petugas kesehatan terhadap
pelaksanaan program promosi kesehatan di seluruh Puskesmas Kabupaten Humbang
Hasundutan Tahun 2010.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di seluruh Puskesmas di Kabupaten Humbang
Hasudutan. Adapun alasan peneliti memilih lokasi penelitian ini adalah belum pernah
dilakukan penelitian tentang pengaruh pengetahuan petugas kesehatan terhadap
pelaksanaan program promosi kesehatan di seluruh Puskesmas di Kabupaten
Humbang Hasundutan. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 9 (sembilan) bulan
terhitung bulan Desember 2009 sampai dengan Agustus 2010.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan di Puskesmas
di bagian pelaksanaan promosi kesehatan berjumlah 31 orang. Adapun yang menjadi
No. Puskesmas Jumlah Tenaga Pelaksana Promosi Kesehatan/orang
1. Matiti 3
2. Hutapaung 3
3. Onanganjang 3
4. Bonandolok 2
5. Paranginan 3
6. Sogompul 3
7. Pakkat 3
8. Parlilitan 3
9. Tarabintang 2
10. Baktiraja 2
11. Saitnihuta 2
12. Hutagalung 2
Jumlah 31 orang
3.4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) kategori:
1. Data Primer
Data Primer diperoleh dari wawancara peneliti dengan responden dengan
menggunakan alat berupa kuesioner yang telah disiapkan.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari dokumen atau catatan masing-masing Puskesmas
3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel
Uji validitas bertujuan untuk mengetahui sejauhmana suatu ukuran atau nilai
yang menunjukkan tingkat kehandalan atau kesahihan suatu alat ukur dengan cara
mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel pada analisis
reability dengan melihat nilai correlation corrected item, dengan ketentuan jika nilai r hitung > r tabel, maka dinyatakan valid dan sebaliknya.
Reliabilitas data merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya dengan menggunakan
metode Cronbach’s Alpha, yaitu menganalisis reliabilitas alat ukur dari satu kali pengukuran, dengan ketentuan, jika nilai r Alpha > r tabel, maka dinyatakan reliabel
(Sugiyono, 2004).
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas No Pertanyaan Corrected
item-Total correlation
Nilai Alpha Cronbach .738
1 paham1 .541 .754 valid
2 paham2 .542 .753 valid
3 paham3 .541 .754 valid
5 paham5 .541 .754 valid
Tabel 3.1. (Lanjutan) No Pertanyaan Corrected
item-Total correlation
Nilai Alpha Cronbach .838
1 promkes1 .745 .795 valid
Nilai Alpha Cronbach .832
Dari Tabel 3.1 terlihat bahwa pertanyaan pengetahuan nomor 1 variabel
pengetahuan kesadaran tidak valid sehingga harus dikeluarkan dari pertanyaan
kuesioner, sehingga pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner penelitian hanya 5
pertanyaan. Untuk pertanyaan variabel pengetahuan pemahaman, semua pertanyaan
valid sehingga seluruh pertanyaan kuesioner dipakai dalam penelitian. Pada
pertanyaan variabel pengetahuan tentang prinsip dasar ada 2 pertanyaan yang tidak
valid yaitu pertanyaan nomor 3 dan 6, sehingga dari 7 pertanyaan menjadi 5
hanya satu pertanyaan yang tidak valid yaitu pertanyaan nomor 5, sehingga dari 10
pertanyaan menjadi 9 pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner penelitian.
3.5.2. Definisi Operasional
1. Variabel: Pengetahuan
Definisi Operasional: Merupakan hasil dari tahu bagi petugas kesehatan untuk
dapat memperoleh pengetahuan kesadaran, pengetahuan
pemahaman dan pengetahuan prinsip dasar suatu program
promosi kesehatan.
2. Variabel: Pengetahuan Kesadaran
Definisi Operasional : Pengetahuan program promosi kesehatan terdiri dari
pengetahuan tentang berbagai kebijakan promosi
kesehatan nasional dan daerah, kebijakan pelaksanaan
promosi kesehatan di Puskesmas, tata cara pelaksanaan
program promosi kesehatan di Puskesmas.
3. Variabel: Pengetahuan Pemahaman
Definisi Operasional : Kemampuan untuk memahami terdiri dari berbagai
strategi pelaksanaan program promosi kesehatan yang
terdiri dari strategi advokasi, bina suasana dan
pemberdayaan masyarakat di wilayah cakupan
Puskesmas.
Definisi Operasional : Kemampuan memahami bagaimana program promosi
kesehatan itu dilaksanakan dan bagaimana strategi
5. Variabel: Pelaksanaan Program promosi kesehatan di Puskesmas
Definisi Operasioanal: Suatu bentuk/upaya perubahan perilaku masyarakat guna
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah
cakupan Puskesmas yang diteliti.
3.6.Metode Pengukuran
1. Pengukuran Variabel Dependen
Pengukuran variabel dependen (pelaksanaan program promosi kesehatan di
Puskesmas) didasarkan pada skala nominal dari 9 item pengamatan (observasi)
dengan alternatif jawaban :
1. Ya (skor 1)
2. Tidak (skor 0)
Selanjutnya dikategorikan menjadi:
1. Baik, jika responden memperoleh skor ≥ median (skor 5)
2. Tidak baik, jika responden memperoleh skor < median (skor 5)
2. Pengukuran Variabel Independen
Pengukuran variabel independen (pengetahuan) terdiri dari:
a. Pengetahuan kesadaran
Didasarkan pada skala nominal dari 6 item pertanyaan dengan alternatif
jawaban :
1. Ya (skor 1)
2. Tidak (skor 0)
Baik, jika responden memperoleh skor ≥ median (skor 3,5) Tidak baik, jika responden memperoleh skor < median (skor 3,5) b. Pengetahuan pemahaman
Didasarkan pada skala nominal dari 5 item pertanyaan dengan alternatif jawaban :
1. Ya (skor 1) 2. Tidak (skor 0)
Selanjutnya dikategorikan menjadi:
Baik, jika responden memperoleh skor ≥ median (skor 3) Tidak baik, jika responden memperoleh skor < median (skor 3) c. Pengetahuan prinsip dasar
Didasarkan pada skala nominal dari 5 item pertanyaan dengan alternatif jawaban :
1. Ya (skor 1) 2. Tidak (skor 0)
Selanjutnya dikategorikan menjadi:
Baik, jika responden memperoleh skor ≥ median (skor 3) Tidak baik, jika responden memperoleh skor < median (skor 3)
3.7. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini mencakup:
b. Analisis bivariat, yaitu analisis untuk melihat ada tidaknya hubungan antara
variable independent dan dependen , kemudian dilihat hubungan antara
kedua variabel dengan uji statistik menggunakan uji chi square pada taraf kepercayaan 95%.
c. Analisis multivariat, yaitu analisis lanjutan dari analisis bivariat untuk
melihat hubungan beberapa variabel independen dengan variabel dependen