• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak fluktuasi harga pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak fluktuasi harga pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di kabupaten Bogor"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK FLUKTUASI HARGA PANGAN HEWANI ASAL

TERNAK TERHADAP INFLASI DI KABUPATEN BOGOR

FIKRIYAN NURIYATUL HASANAH

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

▸ Baca selengkapnya: produk non pangan dari hewani

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Fluktuasi Harga Pangan Hewani Asal Ternak terhadap Inflasi di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Fikriyan Nuriyatul Hasanah

(4)

ABSTRAK

FIKRIYAN NURIYATUL HASANAH. Dampak Fluktuasi Harga Pangan Hewani Asal Ternak terhadap Inflasi di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh ADI HADIANTO.

Inflasi di Kabupaten Bogor berfluktuatif. Kelompok yang berkontribusi besar yaitu kelompok bahan makanan, salah satunya pangan hewani asal ternak. Oleh karena itu, harga pangan hewani asal ternak menjadi isu penting di Kabupaten Bogor. Penelitian ini menganalisis harga komoditas pangan hewani asal ternak, yaitu daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati sapi, daging kambing/domba, telur ayam ras, telur ayam buras, telur itik, dan susu segar. Data yang digunakan adalah data time series

bulanan periode Januari 2010 hingga Desember 2013. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Menjelaskan perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor menggunakan analisis deskriptif; 2) Menganalisis dampak fluktuasi harga komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor menggunakan model VAR (Vector Autoregression). Hasil dari analisis deskriptif menunjukkan bahwa selama 2010-2013, perkembangan harga komoditas daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati sapi, daging kambing/domba, dan telur ayam ras cenderung meningkat, sedangkan komoditas telur ayam buras, telur itik dan susu segar cenderung stabil. Hasil analisis VAR menunjukkan bahwa pada jangka panjang, fluktuasi harga berdampak terhadap inflasi terutama pada komoditas daging sapi murni dan telur ayam ras, diikuti oleh telur ayam buras, daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, susu segar, telur itik, dan daging kambing/domba. Adapun komoditas daging sapi bistik dan hati sapi tidak berdampak secara signifikan terhadap inflasi.

(5)

ABSTRACT

FIKRIYAN NURIYATUL HASANAH. Effects of Food from Livestock Price

Fluctuation to Inflation in Bogor District. Supervised by ADI HADIANTO.

Bogor District has a fluctuative inflation. The highest inflation is contributed by food category, especially food from livestock. Therefore, the price of the food from livestock became an important issue in Bogor District. This research analyze the prices of food from livestock, such as broiler meat (carcass), filet beef, beefsteak, beef, beef livers, mutton, layer egg, native chicken egg, duck egg, and fresh milk. The data used are monthly time series data from January 2010 to December 2013. The purpose of this research are: 1) to describe the development of food from livestock price in Bogor District using descriptive analysis, 2) to analyze the effects of food from livestock price fluctuations on inflation in Bogor District using VAR (Vector Autoregression) model. The result of descriptive analysis shows that in 2010-2013 the prices of broiler meat (carcass), filet beef, beefsteak, beef, beef livers, goat meat, and layer egg have an upward trend, while native chicken egg, duck egg, and fresh milk have a stable trend. The result of VAR (Vector Autoregression) analysis shows that in the long term, price fluctuation effected on inflation of Bogor District, especially beef and layer egg, followed by native chicken egg, broiler meat (carcass), filet beef, fresh milk, duck egg, and mutton. The beefsteak and beef livers are not significantly effect on inflation.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DAMPAK FLUKTUASI HARGA PANGAN HEWANI ASAL

TERNAK TERHADAP INFLASI DI KABUPATEN BOGOR

FIKRIYAN NURIYATUL HASANAH

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang

senantiasa melimpahkan ni’mah, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis

mampu menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Dampak Fluktuasi

Harga Pangan Hewani Asal Ternak Terhadap Inflasi di Kabupaten Bogor.”

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penyusunan skripsi ini bukan semata-mata untuk memenuhi syarat kelulusan, melainkan lebih dari itu penulis berharap skripsi ini dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan harga pangan hewani asal ternak dan pengaruhnya terhadap inflasi.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Orangtua tercinta, Drs. Suranto dan Dra. Sulasih, serta Ashri Istijabah

Azzahra dan Ni’mah Husnayya, adik-adik penulis, yang selalu berdo’a dan

mencurahkan kasih sayang kepada penulis.

2. Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, saran dan masukan selama penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Ir. Ujang Sehabudin selaku dosen penguji utama dan Bapak Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji dari perwakilan departemen yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini. 4. Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa

full study selama penulis belajar di IPB.

5. Bapak Isep (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor) serta staff BPS Kab. Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data.

6. Keluarga Besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM IPB, khususnya dosen-dosen ESL atas arahannya dan rekan-rekan Green Fighter ESL 47 atas kebersamaan dan semangatnya.

7. CSS MoRA IPB, khususnya CSS 47 Ciecie yang selalu memberikan bantuan dan semangat.

8. Sahabat dekat, Debbie, Ii, Putri, Halimah, Iin, Fera, Hidayah, rekan-rekan seperjuangan Minor (Melin, Ulan, Melly, Andreas, Shella, Miranti), serta rekan-rekan satu bimbingan X-Factor 2014 (Entin Febriana, Dwi Saputra, Esya Shadrina, Atika Dewi, Ayu Amalia, Shiraz Fayeza, Niki Nurul, Nurul Puspita, Rita Pajarwati) atas kerjasama dan semangatnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 5

II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Inflasi ... 7

2.2 Mekanisme Pembentukan Harga ... 9

2.3 Pangan Hewani Asal Ternak ... 10

2.4 Fluktuasi Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak ... 13

2.5 Keterkaitan Harga Komoditas Pangan dan Inflasi ... 15

2.6 Vector Autoregression (VAR) ... 16

2.7 Penelitian Terdahulu ... 20

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 27

3.1 Kerangka Pemikiran Operasional ... 27

IV METODE PENELITIAN ... 29

4.1 Jenis dan Sumber Data ... 29

4.2 Metode Analisis Data ... 29

4.2.1 Analisis Deskriptif ... 29

4.2.2 Vector Autoregression (VAR) ... 30

V PERKEMBANGAN HARGA PANGAN HEWANI ASAL TERNAK DI KABUPATEN BOGOR ... 33

5.1 Perkembangan Harga Daging Ayam Brioler (Karkas) ... 33

5.2 Perkembangan Harga Daging Sapi ... 35

5.2.1 Perkembangan Harga Daging Sapi Has ... 37

5.2.2 Perkembangan Harga Daging Sapi Bistik ... 38

(14)

5.2 Perkembangan Harga Hati Sapi ... 40

5.3 Perkembangan Harga Daging Kambing/Domba ... 41

5.4 Perkembangan Harga Telur Ayam Ras ... 43

5.5 Perkembangan Harga Telur Ayam Buras ... 45

5.6 Perkembangan Harga Telur Itik ... 46

5.7 Perkembangan Harga Susu Segar ... 47

VI DAMPAK FLUKTUASI HARGA PANGAN HEWANI ASAL TERNAK TERHADAP INFLASI DI KABUPATEN BOGOR ... 49

6.1 Uji Stasioner Data ... 49

6.2 Penentuan Lag Optimal ... 50

6.3 Uji Stabilitas Model VAR ... 51

6.4 Uji Kointegrasi ... 51

6.5 Estimasi Vector Error Corection Model (VECM) ... 52

6.6 Analisis Impuls Response Function (IRF) ... 54

6.7 Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) ... 56

VII SIMPULAN DAN SARAN ... 59

7.1 Simpulan ... 59

7.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

LAMPIRAN ... 66

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Inflasi Menurut Kelompok Barang dan Jasa di Kabupaten Bogor

Tahun 2009-2013 ... 3

2 Inflasi Tahunan Kelompok Bahan Makanan Kabupaten Bogor Tahun 2009-2013 ... 4

3 Matriks Penelitian Terdahulu ... 21

4 Matriks Analisis Data ... 29

5 Rata-rata Perubahan Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak di Kabupaten Bogor Periode 2010-2013 ... 33

6 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Daging Ayam Broiler di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ... 35

7 Kuota Impor Sapi dan Daging Sapi di Indonesia tahun 2009-2013 ... 36

8 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Daging Sapi di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ... 37

9 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Daging Kambing dan Domba di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ... 43

10 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Telur Ayam Ras di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ... 44

11 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Telur Ayam Buras di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ... 46

12 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Telur Itik di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ... 47

13 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Susu Segar di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ... 48

14 Hasil Uji Stasioner Data Pada Tingkat Level ... 49

15 Hasil Uji Stasioner Data Pada Tingkat First Difference ... 50

16 Hasil Penetapan Lag Optimal ... 50

17 Hasil Johansen Cointegration Test ... 51

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Perbandingan Perkembangan Inflasi Umum Kabupaten Bogor

dengan Inflasi Umum Indonesia Tahun 2009-2013 ... 2

2 Ilustrasi Inflasi Akibat Tarikan Permintaan (Demand Pull Inflation) ... 8

3 Ilustrasi Inflasi Akibat Desakan Biaya (Cost Push Inflation) ... 9

4 Kurva Keseimbangan dalam Mekanisme Pembentukan Harga ... 10

5 Ilustrasi Perubahan Harga Komoditas dari Sisi Penawaran ... 14

6 Ilustrasi Perubahan Harga Komoditas dari Sisi Permintaan ... 15

7 Skema Kerangka Pemikiran Operasional ... 28

8 Perkembangan Harga Daging Ayam Broiler (Karkas) di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ... 34

9 Perkembangan Harga Daging Sapi Has di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ... 38

10 Perkembangan Harga Daging Sapi Bistik di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ... 39

11 Perkembangan Harga Daging Sapi Murni di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ... 40

12 Perkembangan Harga Hati Sapi di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ... 41

13 Perkembangan Harga Daging Kambing/Domba di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ... 42

14 Perkembangan Harga Telur Ayam Ras di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ... 44

15 Perkembangan Harga Telur Ayam Buras di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ... 45

16 Perkembangan Harga Telur Itik di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ... 46

17 Perkembangan Harga Susu Segar di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013 ... 48

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Indeks Harga Konsumen (IHK) Umum dan Harga Komoditas

Pangan Hewani Asal Ternak di Kabupaten Bogor... 67

2 Uji Stasioner Data ... 69

3 Hasil Penetapan Lag Optimal ... 74

4 Uji Stabilitas Model VAR ... 75

5 Uji Kointegrasi ... 76

6 Hasil Estimasi VECM ... 90

7 Hasil Estimasi IRF ... 93

(18)
(19)

1

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan komoditas strategis dalam pembangunan sumberdaya manusia, yaitu untuk pemenuhan konsumsi utama. Undang-Undang No 18 tahun 2012 tentang Pangan menyatakan bahwa pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Menurut Anjarsari (2010), kandungan gizi dalam pangan sangat penting dalam membentuk suatu individu yang sehat dan produktif. Berdasarkan Direktorat Riset dan Kajian Strategis IPB (2009), konsumsi pangan masyarakat Indonesia pada umumnya masih belum seimbang. Proporsi konsumsi beras masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan proporsi konsumsi sayuran dan buah, kacang-kacangan serta pangan hewani asal ternak dan ikan dalam pola konsumsinya.

Kabupaten Bogor merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia (BPS, 2013a). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kabupaten Bogor tercatat 4 771 932 jiwa. Pendapatan perkapita masyarakat Kabupaten Bogor mengalami peningkatan yaitu Rp 6 816 201.42 pada tahun 2010 menjadi Rp 6 984 438.33 pada tahun 2011 (Bappeda Kabupaten Bogor, 2013). Menurut Tomek (2000), jumlah penduduk dan pendapatan berpengaruh positif terhadap permintaan pangan. Jumlah penduduk yang banyak serta meningkatnya pendapatan masyarakat menyebabkan permintaan pangan di Kabupaten Bogor terus meningkat. Berdasarkan Neraca Bahan Makanan Kabupaten Bogor, konsumsi perkapita protein hewani asal ternak masyarakat Kabupaten Bogor yaitu 5.25 Protein/hari atau setara dengan 12.659 Kg/tahun (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor, 2012).

(20)

ekonomi (economic shocks), seperti supply dan demand shocks, dan guncangan bukan ekonomi (non-economic shocks) seperti bencana alam.

Inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi yang digunakan untuk mengukur kestabilan ekonomi suatu wilayah. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum (Riyadh et al., 2009). Pengendalian inflasi dan stabilitas ekonomi masih menjadi salah satu tantangan di beberapa daerah di Indonesia, khususnya Kabupaten Bogor. Hal ini terbukti dari tingkat inflasi Kabupaten Bogor memiliki pola yang sama dengan inflasi Indonesia dengan tingkat perubahan yang tinggi setiap tahunnya. Perbandingan perkembangan inflasi umum Kabupaten Bogor dengan inflasi umum Indonesia selama lima tahun terakhir ditampilkan pada Gambar 1.

Sumber: BPS RI dan BPS Kabupaten Bogor, 2014

Gambar 1 Perbandingan Perkembangan Inflasi Umum Kabupaten Bogor dengan Inflasi Umum Indonesia Tahun 2009-2013

(21)

3 makanan merupakan kelompok yang menyumbang inflasi terbesar dalam inflasi umum Kabupaten Bogor yaitu sebesar 30.82% (BPS Kabupaten Bogor, 2014c). Tabel 1 Inflasi Menurut Kelompok Barang dan Jasa di Kabupaten Bogor Tahun

2009-2013

Kelompok Barang dan Jasa Inflasi Tahunan (%)

2009 2010 2011 2012 2013

Umum 2.77 6.99 3.57 2.99 8.57

1. Bahan Makanan 5.66 15.06 5.26 1.24 10.64

2. Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau

7.54 4.79 2.64 4.08 1.36

3. Perumahan, Air, Listrik, Gas, Bahan Bakar

0.92 3.04 3.41 3.74 3.88

4. Sandang 2.70 5.63 6.36 7.55 3.33

5. Kesehatan 3.21 1.93 3.88 2.39 3.50

6. Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga

3.26 8.12 1.48 5.12 4.43

7. Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan

-5.51 0.61 1.86 1.12 29.32

Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2013b

Pangan hewani asal ternak termasuk dalam kelompok bahan makanan. Berdasarkan BPS Kabupaten Bogor (2013c), selama tahun 2009-2013 komoditas pangan hewani asal ternak memiliki inflasi relatif stabil. Inflasi subkelompok daging dan hasilnya berkisar antara 5-10%, sedangkan telur, susu dan hasil-hasilnya berkisar antara (-1) -9% (Tabel 2). Hal ini membuktikan bahwa subsektor peternakan mempunyai peran terhadap inflasi di Kabupaten Bogor.

(22)

Tabel 2 Inflasi Tahunan Kelompok Bahan Makanan Kabupaten Bogor Tahun 2009-2013

Subkelompok Barang dan Jasa Inflasi Tahunan (%)

2009 2010 2011 2012 2013

Bahan Makanan 5.66 15.06 5.26 1.24 10.64

1. Padi-padian, umbi-umbian

dan hasilnya 3.12 15.03 11.00 2.31 2.07

2. Daging dan hasil-hasilnya 6.85 10.00 5.29 7.74 5.68

3. Ikan segar 6.70 10.55 5.10 0.65 3.42

4. Ikan awetan 0.92 8.47 5.21 4.43 4.71

5. Telur, susu dan

hasil-hasilnya -0.81 5.11 3.40 8.54 7.12

6. Sayur-sayuran 11.63 33.60 14.14 2.57 25.56

7. Kacang-kacangan 3.44 3.90 6.16 -3.06 12.48

8. Buah-buahan 17.76 7.67 4.86 2.50 52.24

9. Bumbu-bumbuan 17.08 46.09 -12.96 -17.45 18.57

10. Lemak dan minyak 1.41 7.89 4.04 2.14 3.96

11. Bahan makanan lainnya 2.80 2.38 8.12 -1.39 7.54

Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2013c

1.2 Perumusan Masalah

Pangan merupakan komoditas utama dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Fluktuasi harga pangan menjadi permasalahan dalam perekonomian suatu wilayah, termasuk di Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor merupakan kabupaten dengan tingkat populasi terbanyak di Indonesia (BPS, 2013a). Pendapatan perkapita masyarakat Kabupaten Bogor yaitu Rp 6 816 201.42 pada tahun 2010 menjadi Rp 6 984 438.33 pada tahun 2011 (Bappeda Kab. Bogor, 2013). Banyaknya populasi dan meningkatnya pendapatan menyebabkan permintaan konsumsi pangan masyarakat Kabupaten Bogor meningkat.

Selama kurun waktu 2009-2013, inflasi Kabupaten Bogor berdasarkan kelompok barang dan jasa yang paling berfluktuatif yaitu kelompok bahan makanan (BPS Kabupaten Bogor, 2013b). Subkelompok bahan makanan yang memiliki inflasi relatif stabil yaitu subkelompok daging dan hasil-hasilnya, dan telur, susu dan hasil-hasilnya (BPS Kabupaten Bogor, 2013c). Hal ini membuktikan bahwa subsektor peternakan mempunyai peran terhadap inflasi di Kabupaten Bogor.

(23)

5 komoditas pangan hewani asal ternak yang memberikan kontribusi terbesar. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana perkembangan harga pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor. Perkembangan harga tersebut dianalisis untuk menjelaskan perkembangan masing-masing komoditas pangan hewani asal ternak.

Setelah melakukan analisis perkembangan harga, selanjutnya perlu dianalisis pengaruh masing-masing fluktuasi harga komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui komoditas pangan hewani asal ternak yang memberikan pengaruh paling besar terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Hasil analisis ini dibutuhkan untuk pertimbangan dalam pengambilan kebijakan yag berkaitan dengan upaya pengendalian inflasi di Kabupaten Bogor.

Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan, maka pertanyaan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana dampak fluktuasi harga komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis dampak fluktuasi harga komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup pada penelitian ini adalah:

(24)

2. Data harga komoditas pangan hewani asal ternak yang diteliti merupakan data harga di tingkat konsumen.

(25)

7 II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Inflasi

Inflasi merupakan salah satu indikator dalam perekonomian yang digunakan untuk mengukur stabilitas ekonomi suatu wilayah. Menurut Santoso (2011), inflasi dapat diartikan naiknya harga barang secara umum dalam waktu yang lama. Dari definisi tersebut, jika kenaikan harga barang atau jasa terjadi hanya pada satu atau dua komoditas, kondisi ini tidak bisa disebut inflasi. Kenaikan harga barang dan jasa juga tidak bisa disebut inflasi jika terjadi pada satu periode waktu yang sesaat.

Tingkat inflasi dapat dilihat salah satunya dari Indeks Harga Konsumen (IHK), dimana perubahan IHK menunjukkan perubahan harga dari barang atau jasa. Barang dan jasa yang dihitung dalam IHK adalah 744 komoditas barang dan jasa yang termasuk dalam paket komoditas kebutuhan rumahtangga berdasarkan hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 2007. BPS Kabupaten Bogor juga mengelompokkan barang dan jasa menjadi tujuh kelompok, yaitu:

1. Kelompok Bahan Makanan, yang meliputi padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya, daging dan hasil-hasilnya, ikan segar, ikan diawetkan, telur, susu dan hasil-hasilnya, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, bumbu-bumbuan, lemak dan minyak, serta bahan makanan lainnya.

2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau, meliputi makanan jadi, minuman yang tidak beralkohol, serta tembakau dan minuman beralkohol.

3. Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar, meliputi biaya tempat tinggal, bahan bakar, penerangan dan air, perlengkapan rumahtangga, serta penyelenggaraan rumahtangga.

4. Kelompok Sandang, meliputi sandang laki-laki, sandang wanita, sandang anak-anak, serta barang pribadi dan sandang lainnya.

5. Kelompok Kesehatan, meliputi jasa kesehatan, obat-obatan, jasa perawatan jasmani, serta perawatan jasmani dan kosmetika.

(26)

7. Kelompok Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan, meliputi transportasi, komunikasi dan pengiriman, sarana dan penunjang transport serta jasa keuangan.

Komoditas pangan hewani asal ternak yang menjadi objek penelitian ini termasuk dalam kelompok bahan makanan.

Mankiw (2000), membedakan inflasi berdasarkan penyebabnya menjadi dua, yaitu:

1. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation), terjadi karena adanya peningkatan agregat permintaan barang dan jasa, sehingga akan menggeser kurva agregat demand ke kanan. Peningkatan permintaan tidak bisa diimbangi oleh produsen untuk meningkatkan penawaran atau kurva agregat supply tetap. Hal ini dikarenakan tenaga kerja dalam keadaan fullemployment atau hampir

fullemploymment. Akibatnya, titik keseimbangan yang mencerminkan tingkat

harga dan jumlah barang akan bergeser ke kanan mengikuti pergeseran kurva agregat demand dan membentuk keseimbangan baru. Jika kondisi ini berlangsung lama, akan berdampak pada terjadinya inflasi.

Harga AS

P1 E1

P0 E0 AD1

AD0

0 Y0 Y1 Jumlah

Sumber: Mankiw, 2000

Gambar 2 Ilustrasi Inflasi Akibat Tarikan Permintaan (Demand Pull Inflation) 2. Inflasi desakan biaya (cost push inflation), terjadi karena adanya penurunan

(27)

9 kurva agregat supply ke kiri. Terjadinya inflasi akibat desakan biaya akan berdampak lebih berbahaya daripada inflasi akibat tarikan permintaan. Hal ini dikarenakan terjadinya inflasi akibat desakan biaya mengakibatkan daya beli masyarakat menurun.

Harga AS1

P1 E1 AS0

P0 E0

AD

0 Y1 Y0 Jumlah

Sumber: Mankiw, 2000

Gambar 3 Ilustrasi Inflasi Akibat Desakan Biaya (Cost Push Inflation) Tingkat inflasi paling dirasakan bagi masyarakat yang berpenghasilan tetap. Masyarakat berpenghasilan tetap tidak memiliki penghasilan sampingan, sehingga memiliki ketergantungan yang besar terhadap penghasilannya. Pengendalian inflasi perlu dilakukan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Menurut Riyadh, et al.

(2009), inflasi yang tidak terkendali akan berakibat menurunnya daya beli masyarakat, serta menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam menentukan keputusan. Prastowo, et al. (2008) menyebutkan bahwa kunci pengendalian inflasi yaitu kemampuan memitigasi fluktuasi harga komoditas pangan.

2.2 Mekanisme Pembentukan Harga

(28)

suatu barang pada beberapa harga selama periode waktu tertentu. Hukum permintaan-penawaran dengan asumsi mengabaikan faktor lain (cateris paribus), pada umumnya menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat harga, maka permintaan akan barang tersebut semakin rendah.

Harga

P2 S

P1 E

P0 D

0 Q Jumlah

Sumber : Firdaus, 2009

Gambar 4 Kurva Keseimbangan dalam Mekanisme Pembentukan Harga

Titik keseimbangan pada kurva ditunjukkan oleh huruf E. Pada keseimbangan tersebut, tingkat harga sebesar P1 dengan jumlah permintaan dan penawaran yang sama yaitu sebesar Q. Jika dilihat dari sisi produsen, terdapat keuntungan yang diterima oleh produsen yaitu sebesar P2EP1. Keuntungan ini disebut surplus produsen. Konsumen juga mendapatkan surplus konsumen sebesar P0EP1, yaitu kelebihan dari kemampuan membayar.

2.3 Pangan Hewani Asal Ternak

(29)

11 yaitu bahan pangan nabati dan bahan pangan hewani. Pangan nabati merupakan bahan pangan yang berasal dari hasil tumbuhan dan turunannya, seperti padi, tempe, dan buah-buahan. Pangan hewani merupakan bahan pangan yang berasal dari hewan dan turunannya, seperti ikan, daging, dan nugget. Komoditas pangan yang dianalisis pada penelitian ini adalah komoditas pangan hewani yang berasal dari peternakan, yaitu daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati sapi, daging kambing/domba, telur ayam ras, telur ayam buras, telur itik, dan susu segar.

a. Daging Ayam Broiler (Karkas)

Daging ayam broiler (karkas) menurut SNI no 3924 tahun 2009 merupakan bagian daging ayam broiler setelah dilakukan penyembelihan, pencabutan bulu dan pengeluaran jeroan, tanpa kepala, leher, kaki, paru-paru, dan atau ginjal. Rata-rata ukuran berat karkas utuh daging ayam broiler di Kabupaten Bogor yaitu 0.807 kg (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor).

b. Daging Sapi

Menurut SNI no 3932 tahun 2008, daging sapi merupakan bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku. Berdasarkan karakteristiknya, daging sapi dibedakan menjadi tiga, yaitu daging sapi has, daging sapi bistik, dan daging sapi murni. Daging sapi has merupakan daging sapi yang berasal dari otot yang jarang digunakan yaitu bagian has dalam dan has luar, sehingga daging sapi has mempunyai tekstur lembut. Daging sapi bistik merupakan daging sapi dengan tekstur halus dan tidak liat, sedangkan daging sapi murni merupakan daging sapi dengan tekstur kasar dan liat.

c. Hati Sapi

Hati sapi merupakan produk ikutan dari pemotongan sapi berupa bagian jeroan yang dikeluarkan dari karkas.

d. Daging Kambing/Domba

(30)

e. Telur Ayam

Telur ayam dibagi menjadi dua yaitu telur ayam untuk pembibitan dan konsumsi. Telur ayam konsumsi menurut SNI no 3926 tahun 2008 merupakan telur ayam yang belum mengalami proses fortifikasi, pengawetan, dan proses pengeraman. Berdasarkan jenis induknya, telur ayam dibedakan menjadi dua yaitu telur ayam ras dan telur ayam buras (lokal).

f. Telur Itik

Telur itik merupakan telur yang belum mengalami fortifikasi, pengawetan, dan proses pengeraman, yang berasal dari induk itik.

g. Susu segar menurut SNI no 3141.1 tahun 2011 merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alamiahnya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan.

Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang berperan penting dalam pembangunan perekonomian (Bernadien, 2012, Rukmana, 2005), yaitu sebagai penyedia protein hewani, menyumbang ketahanan pangan, sumber pendapatan peternak, menyumbang pajak dan devisa negara, dan kontribusi dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain itu, pangan hewani asal ternak juga berperan dalam peningkatan derajat kesehatan dan kecerdasan melalui kandungan asam amino essensial dalam protein yang lebih lengkap dan seimbang bila dibandingkan dengan protein nabati (Presetyo et al., 2005).

Stabilisasi harga merupakan salah satu aspek dalam konsep ketahanan pangan. Stabilisasi harga pada sektor peternakan perlu dilakukan karena sektor peternakan memiliki hubungan dengan sektor-sektor lainnya. Menurut Arifin (2007), sektor peternakan mempunyai keterkaitan ke belakang (backward

linkages) dan ke depan (forward linkages). Dalam keterkaitan ke belakang, sektor

(31)

13 2.4 Fluktuasi Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak

Harga dapat berubah mengikuti perubahan faktor yang mempengaruhinya. Perubahan harga terkait dengan waktu, musiman (seasonality), dan kualitas produk. Perubahan harga pada umumnya menggambarkan tentang perubahan

supply dan demand, pendapatan petani, dan hubungan ekonomi lainnya (Hudson,

2007). Menurut Tomek dan Robinson (1990), produk pertanian mempunyai karakteristik yang berbeda dengan produk lainnya, diantaranya produk pertanian mengikuti proses produksi biologis, sifat produk pertanian yang mudah rusak, bersifat musiman, serta adanya distribusi lag. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan harga dibagi menjadi dua, yaitu perubahan pada sisi penawaran dan perubahan pada sisi permintaan.

1. Perubahan sisi penawaran

Perubahan pada sisi penawaran lebih ditekankan pada produksi dan penyimpanannya. Industri peternakan membutuhkan waktu dalam proses biologis yang cukup lama untuk memproduksi daging, telur, dan susu, sehingga jika terjadi peningkatan permintaan tidak bisa dipenuhi dalam jangka pendek. Produksi peternakan juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di luar kemampuan pengendalian petani, seperti cuaca, iklim, dan faktor alamiah lainnya (Hudson, 2007). Selain itu, peningkatan biaya produksi seperti meningkatnya harga BBM juga mengakibatkan adanya fluktuasi pada harga pangan hewani asal ternak.

(32)

Harga

S1 S0

P1 E1

P0 E0

D

Jumlah

0 Q1 Q0

Sumber : Firdaus, 2009

Gambar 5 Ilustrasi Perubahan Harga Komoditas dari Sisi Penawaran 2. Perubahan sisi permintaan

Permintaan komoditas pangan pada individu bersifat inelastis, dimana peningkatan tingkat harga, relatif tidak berpengaruh terhadap jumlah permintaan. Namun, peningkatan jumlah populasi akan menyebabkan peningkatan jumlah permintaan secara agregat, sehingga mempengaruhi perubahan harga dari sisi permintaan. Peningkatan permintaan ini tidak disertai dengan peningkatan penawaran, karena komoditas peternakan pada umunya membutuhkan time lag dalam produksinya. Kondisi ini mengakibatkan naiknya harga komoditas pangan hewani asal ternak.

(33)

15 Harga

D1 S

P1 D0 E1

P0 E0

0 Q0 Q1 Jumlah

Sumber : Firdaus, 2009

Gambar 6 Ilustrasi Perubahan Harga Komoditas dari Sisi Permintaan 2.5 Keterkaitan Harga Komoditas Pangan dan Inflasi

Penelitian yang dilakukan oleh Furlong dan Ingenito (1996) menyatakan bahwa harga komoditas mempunyai hubungan yang kuat dengan inflasi. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa fluktuasi harga komoditas pangan dapat dijadikan indikator dalam inflasi. Hal ini dikarenakan harga komoditas pangan dapat merespon dengan cepat guncangan (shock) yang terjadi dalam perekonomian, baik guncangan ekonomi (economic shock) seperti peningkatan permintaan, maupun guncangan bukan ekonomi (non economic shock) seperti bencana alam.

(34)

2.6 Vector Autoregression (VAR)

Menurut Hadi (2003), VAR merupakan metode non-struktural yang dapat digunakan dalam memahami adanya hubungan timbal balik (interrelationship) antara variabel-variabel ekonomi, seperti ketika kita mempunyai beberapa variabel di dalam data time series maka kita perlu menganalisis saling ketergantungan antarvariabel tersebut. Model VAR dibangun untuk memudahkan dalam menyelesaikan permasalahan yang terlalu kompleks jika dijelaskan dengan teori ekonomi, atau dalam simplifikasi dari teori yang terlalu kompleks. Oleh karena itu, model VAR merupakan model non-struktural atau tidak teoritis.

Pada umumnya, konsep VAR mirip dengan konsep persamaan simultan, dimana masing-masing variabelnya bisa saling mempengaruhi. Perbedaannya, dalam VAR, masing-masing variabel dijelaskan oleh lag-nya sendiri, nilai saat ini serta nilai masa lampaunya. Untuk menghindari kesalahan dalam penentuan variabel eksogen dan endogennya, semua variabel dalam model VAR diperlakukan sebagai variabel endogen, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan model dengan variabel eksogen dan endogen yang saling mempengaruhi (Mardiyanto, 2000).

Menurut Firdaus (2011) terdapat beberapa keunggulan dari metode VAR diantaranya:

1. Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks (multivariat) sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan itu.

2. Uji VAR yang multivariat bisa menghindarkan parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan.

3. Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antarvariabel di dalam sistem persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogen.

4. Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan palsu

(spurious variable) di dalam model ekonometrika konvensional terutama

(35)

17 Adapun kelemahan dari metode VAR diantaranya (Gujarati, 2003):

1. VAR dianggap ateoritis (tidak berdasarkan teori) karena menggunakan lebih sedikit informasi dan teori terdahulu.

2. VAR tidak sesuai jika digunakan untuk menganalisis implikasi kebijakan. Hal ini dikarenakan analisis pada VAR ditekankan pada peramalan

(forecasting).

3. Pemilihan panjang lag menjadi tantangan besar, khususnya ketika variabel banyak dan lag panjang.

4. Semua variabel dalam model VAR harus stasioner. Jika terdapat variabel yang tidak stasioner, perlu dilakukan uji lebih lanjut, salah satunya dengan diferensiasi derajat satu.

5. Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan, sehingga sebagian besar peneliti melakukan interpretasi pada estimasi IRF dan FEVD. Terdapat dua hal yang perlu dilakukan sebelum menggunakan model VAR, yaitu spesifikasi dan identifikasi model. Spesifikasi model berkaitan dengan penentuan variabel dan lag. Penentuan variabel harus berdasarkan teori ekonomi yang relevan. Identifikasi model berkaitan dengan identifikasi persamaan yang digunakan. Adapun model persamaan umum VAR dapat dituliskan sebagai berikut (Enders 2004):

Yt = Ao + A1Yt-1 + A2Yt-2 + … + ApYt-p + et ……… (1) dimana:

Yt = vektor variabel endogen (Y1.t, Y2.t, Yn.t) berukuran (n.1) Ao = vektor intersep berukuran (n.1)

Ai = matriks koefisien berukuran (n.n), i= 1,2,…p p = lag dalam persamaan

et = vektor error (e1t, e2t, … ent) berukuran (n.1)

Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan analisis VAR, yaitu: 1. Uji Stasioner Data

(36)

palsu (spurious regression). Data yang stasioner yaitu data yang variansnya tidak trelalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya (Enders, 2004). Uji stasioner data dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya akar unit (unit root) dalam model. Alat uji yang bisa digunakan yaitu

Augmented Dickey Fuller (ADF).

Hipotesis yang diuji yaitu H0 = terdapat unit root atau tidak stasioner, sedangkan H1 = tidak terdapat unit root atau data stasioner. Jika nilai ADFstatistik lebih kecil dari nilai kritis Mackinnon, data tersebut dapat dinyatakan stasioner karena tidak mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai ADFstatistik lebih besar dari nilai kritis Mackinnon, data tersebut dinyatakan tidak stasioner dan perlu dilakukan uji stasioner lanjutan yaitu dengan differensiasi derajat satu.

2. Penentuan Lag Optimal

Setelah seluruh data dipastikan stasioner, tahapan berikutnya adalah menentukan lag optimal. Menurut Firdaus (2011), penentuan lag optimal bisa dilakukan dengan memanfaatkan beberapa kriteria, diantaranya Akaike

Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC) dan

Hannan-Quinn Criterion (HQ), Likelihood Ratio (LR), dan Final Prediction

Error (FPE). Menurut Pindyck dan Rubinfield (1981), AIC merupakan cara

obyektif dalam penentuan jumlah lag dalam model.

Penentuan lag optimal penting dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel dalam model VAR yang digunakan. Penentuan lag yang terlalu panjang mengakibatkan lebih banyak jumlah parameter yang harus diduga dan derajat bebas yang lebih sedikit. Penentuan lag yang terlalu sedikit juga akan mengakibatkan standar kesalahan tidak bisa diestimasi dengan baik, sehingga menghasilkan spesifikasi model yang salah. Dari tingkat lag yang berbeda-beda tersebut, diambil lag yang paling optimal dan dipadukan dengan uji stabilitas model VAR.

3. Uji Stabilitas model VAR

(37)

19 absolutnya kurang dari satu, maka model VAR tersebut dianggap stabil. Dengan demikian, Impuls Response Function (IRF) dan Forecast Error

Variance Decomposition (FEVD) yang dihasilkan dianggap valid.

4. Uji Kointegrasi

Kointegrasi yaitu kombinasi linear dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner yang menghasilkan variabel yang stasioner. Uji kointegrasi dapat dilakukan dengan metode Johansen. Firdaus (2011) menyatakan bahwa pengujian ini dilakukan untuk mengetahui variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Hasil kointegrasi dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel, sehingga diketahui apakah metode Vector Error Corection Model (VECM) dapat digunakan atau tidak. Jika trace statistic lebih besar daripada critical value, maka model tersebut terkointegrasi.

5. Vector Error Corection Model (VECM)

Setelah melakukan uji kointegrasi, tahap terakhir dari analisis VAR yaitu menganalisis hubungan jangka pendek antarvariabel terhadap jangka panjangnya. Jika variabel-variabel tidak terkointegrasi dan stasioner pada ordo yang sama, maka dapat diterapkan VAR standar yang hasilnya identik dengan OLS. Namun, jika dalam uji kointegrasi menyatakan bahwa terdapat kointegrasi, dapat digunakan ECM untuk single equation atau VECM untuk

system equation.

VECM merupakan VAR terestriksi yang digunakan untuk variabel yang non-stasioner tapi memiliki potensi untuk terkointegrasi. Hal ini dikarenakan dalam estimasi VECM kesalahan yang ada akan dikoreksi secara bertahap melalui penyesuaian parsial jangka pendek. Data time series, umumnya memiliki tingkat stasioner pada diferensiasi derajat satu. Spesifikasi model VECM dilakukan dengan memasukkan informasi restriksi dari hasil uji kointegrasi yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun model persamaan VECM secara umum adalah sebagai berikut (Enders, 2004):

(38)

dimana:

ΔYt = vektor yang berisi variabel dalam penelitian µ0x = vektor intercept

µ1x = vektor koefisien regresi t = tren waktu

x = x’ dimana ’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang

Yt-1 = variabel in-level

 = matriks koefisien regresi k-1 = ordo VECM dari VAR t = error term

Menurut Besimi, et al. (2006) dalam Firdaus (2011), hasil estimasi VECM memberikan dua penafsiran, yaitu mengukur kointegrasi atau hubungan keseimbangan jangka panjang antarvariabel dan mengukur

error-correction atau kecepatan masing-masing variabel dalam bergerak menuju

keseimbangan jangka panjangnya. Hasil estimasi VAR sulit diinterpretasikan sehingga untuk menginterpretasikannya dilakukan analisis IRF (Impuls

Response Function) dan FEVD (Forecast Error Variance Decomposition).

6. Analisis Impuls Response Function (IRF)

Analisis IRF digunakan untuk melihat respon suatu variabel endogen pada nilai sekarang dan yang akan datang, akibat adanya shock pada variabel lainnya. Hal ini dikarenakan shock pada suatu variabel tidak hanya berpengaruh terhadap variabel itu sendiri, tetapi ditransmisikan ke variabel lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag dalam VAR.

7. Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

FEVD merupakan suatu metode yang digunakan untuk melihat perubahan error variance suatu variabel, sebelum dan sesudah terjadinya

shock. Hasil FEVD juga dapat menjelaskan kekuatan dan kelemahan

masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya. 2.7 Penelitian Terdahulu

(39)

21 (2013), dan Christanty (2013). Persamaan dengan penelitian ini adalah kesamaan topik penelitian, yaitu harga komoditas pangan dan dampaknya terhadap inflasi. Perbedaannya, pada penelitian ini komoditas yang diteliti lebih difokuskan pada pangan hewani asal ternak.

Penelitian mengenai pangan hewani asal ternak juga telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, diantaranya Prasetyo, et al. (2005), Mu’minah, et al. (2012), dan Burhani (2013). Penelitian yang telah dilakukan mempunyai kesamaan dengan penelitian ini yaitu pada komoditas yang diteliti. Namun, terdapat perbedaan yaitu pada penelitian ini bagian dari komoditas yang diteliti yaitu fluktuasi harga.

Adapun penelitian menggunakan metode Vector Autoregression (VAR) telah dilakukan salah satunya oleh Respati (2005). Persamaan dengan penelitian ini yaitu metode yang digunakan. Perbedaannya, metode VAR pada penelitian ini lebih difokuskan pada respon inflasi akibat fluktuasi harga. Tinjauan penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Matriks Penelitian Terdahulu

No Peneliti/Judul

Penelitian Tujuan Metode Hasil

(40)

No Peneliti/Judul

Penelitian Tujuan Metode Hasil

(41)

23

No Peneliti/Judul

Penelitian Tujuan Metode Hasil

(42)

No Peneliti/Judul

Penelitian Tujuan Metode Hasil

(43)

25

No Peneliti/Judul

Penelitian Tujuan Metode Hasil

ayam broiler di

1. Tingkat volatilitas harga tertinggi kedua komoditas tersebut terjadi di Giant

(44)

No Peneliti/Judul

Penelitian Tujuan Metode Hasil

pendekatan model ARCH/ GARCH

pengaruh

volatilitas harga komoditas beras dan kentang terhadap inflasi di Kota Malang

pendekatan model ARCH/ GARCH

mengindikasikan bahwa volatilitas harga, khususnya harga komoditas pangan beras dan kentang

(45)

27 III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Operasional

Fluktuasi harga pangan menjadi salah satu permasalahan dalam perekonomian makro di Kabupaten Bogor. Hal ini terbukti dari kelompok bahan makanan yang berkontribusi besar terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Diantara komoditas yang masuk dalam kelompok bahan makanan yaitu komoditas pangan hewani yang berasal dari peternakan. Perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak dianalisis menggunakan metode Analisis Deskriptif. Hasil analisis tersebut menghasilkan informasi fluktuasi harga pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor pada periode penelitian.

Informasi fluktuasi harga pangan hewani asal ternak tersebut selanjutnya digunakan untuk menganalisis pengaruh fluktuasi harga masing-masing komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Model yang digunakan dalam analisis ini yaitu model VAR (Vector Autoregression). Hasil analisis berupa IRF (Impulse Response Function) yang digunakan untuk mengetahui respon inflasi Kabupaten Bogor akibat adanya fluktuasi harga masing-masing komoditas pangan hewani asal ternak. Selain itu, analisis tersebut juga menghasilkan FEVD (Forecast Error Variance Decomposition) yang digunakan untuk mengetahui besarnya kontribusi dari fluktuasi harga masing-masing komoditas pangan hewani asal ternak dalam menjelaskan keragaman inflasi di Kabupaten Bogor. Skema kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 7.

(46)

Gambar 7 Skema Kerangka Pemikiran Operasional

Dampak Fluktuasi Harga Pangan Hewani Asal Ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor

Analisis Deskriptif Model VAR

Fluktuasi Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak di

Kabupaten Bogor

Inflasi

Analisis Perkembangan Harga Komoditas Pangan Hewani Asal

Ternak Sumber Inflasi

Pengaruh Fluktuasi Harga Komoditas Pangan Hewani Asal

(47)

29 IV METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series bulanan periode Januari 2010 hingga Desember 2013. Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan merupakan data sekunder berupa data fluktuasi harga pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor yang diperoleh dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, serta data IHK (Indeks Harga Konsumen) umum Kabupaten Bogor berdasarkan tahun dasar 2007 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor. Selain itu, berbagai data penunjang serta literatur-literatur yang relevan dan memuat berbagai konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku bacaan, jurnal ilmiah, dan internet.

4.2 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode dan alat analisis yang sesuai.

Tabel 4 Matriks Analisis Data

Tujuan Penelitian Data yang Dibutuhkan Metode Analisis Data

1. Menjelaskan komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor periode Januari 2010 hingga Desember 2013 inflasi di Kabupaten Bogor

1. Data time series bulanan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor periode Januari 2010 hingga Desember 2013

2. Data time series bulanan IHK umum Kabupaten Bogor periode Januari 2010 hingga Desember 2013

(48)

tersebut disusun, diolah dan dianalisis untuk dapat memberikan gambaran mengenai masalah yang ada (Sugiyono, 2008). Adapun keunggulan dari metode analisis deskriptif adalah metodenya sederhana dan memiliki daya menerangkan cukup kuat. Analisis Deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor selama periode penelitian. Analisis deskriptif dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft 2010 dan dijelaskan dengan bantuan tabel dan grafik. 4.2.2Vector Autoregression (VAR)

Analisis Vector Autoregression (VAR) dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis dampak fluktuasi harga komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Berdasarkan teori, yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah hubungan antara harga komoditas pangan hewani asal ternak yang menjadi objek penelitian, yaitu daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati sapi, daging kambing/domba, telur ayam ras, telur ayam buras, telur itik, dan susu segar, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) umum Kabupaten Bogor. Masing-masing variabel dihitung menggunakan logaritma natural. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam perhitungan.

Analisis VAR dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Eviews 6. Dengan mengasumsikan bahwa VAR tersebut mengandung panjang lag 1, model yang digunakan dapat ditulis sebagai berikut:

LnIHKt = A1 + A2LnIHKt-1 + A3LnDABt + A4LnDSHt + A5LnDSBt

+ A6LnDSMt + A7LnHSPt + A8LnDKDt + A9LnTARt + A10LnTABt + A11LnTITt + A12LnSSEt + e1t…………... (3)

LnDABt = B1 + B2LnDABt-1 + B3LnIHKt + B4LnDSHt + B5LnDSBt + B6LnDSMt + B7LnHSPt + B8LnDKDt + B9LnTARt + B10LnTABt

+ B11LnTITt + B12LnSSEt + e2t………... (4)

LnDSHt = C1 + C2LnDSHt-1 + C3LnDABt + C4LnIHKt + C5LnDSBt + C6LnDSMt + C7LnHSPt + C8LnDKDt + C9LnTARt + C10LnTABt

+ C11LnTITt + C12LnSSEt + e3t……….….... (5)

(49)

31

LnDSMt = E1 + E2LnDSMt-1 + E3LnDABt + E4LnDSHt + E5LnDSBt + E6LnIHKt + E7LnHSPt + E8LnDKDt + E9LnTARt + E10LnTABt

+ E11LnTITt + E12LnSSEt + e5t….……….….... (7)

LnHSPt = F1 + F2LnHSPt-1 + F3LnDABt + F4LnDSHt + F5LnDSBt + F6LnDSMt + F7LnIHKt + F8LnDKDt + F9LnTARt + F10LnTABt

+ F11LnTITt + F12LnSSEt + e6t….……….… (8) LnDKDt = G1 + G2LnDKDt-1 + G3LnDABt + G4LnDSHt + G5LnDSBt

+ G6LnDSMt + G7LnHSPt + G8LnIHKt + G9LnTARt + G10LnTABt + G11LnTITt + G12LnSSEt + e7t………...….. (9) LnTARt = H1 + H2LnTARt-1 + H3LnDABt + H4LnDSHt + H5LnDSBt

+ H6LnDSMt + H7LnHSPt + H8LnDKDt + H9LnIHKt + H10LnTABt + H11LnTITt + H12LnSSEt + e8t…….………... (10)

LnTABt = I1 + I2LnTABt-1 + I3LnDABt + I4LnDSHt + I5LnDSBt + I6LnDSMt + I7LnHSPt + I8LnDKDt + I9LnTARt + I10LnIHKt

+ I11LnTITt + I12LnSSEt + e9t……….……. (11) LnTITt = J1 + J2LnTITt-1 + J3LnDABt + J4LnDSHt + J5LnDSBt + J6LnDSMt

+ J7LnHSPt + J8LnDKDt + J9LnTARt + J10LnTABt + J11LnIHKt + J12LnSSEt + e10t………... (12)

LnSSEt = K1 + K2LnSSEt-1 + K3LnDABt + K4LnDSHt + K5LnDSBt + K6LnDSMt + K7LnHSPt + K8LnDKDt + K9LnTARt + K10LnTABt + K11LnTITt + K12LnIHKt + e11t………....….. (13)

dimana:

LnIHKt = Indeks Harga Konsumen (IHK) pada waktu t LnDABt = Harga daging ayam broiler (karkas) pada waktu t LnDSHt = Harga daging sapi has pada waktu t

LnDSBt = Harga daging sapi bistik pada waktu t LnDSMt = Harga daging sapi murni pada waktu t LnHSPt = Harga hati sapi pada waktu t

LnDKDt = Harga daging kambing/domba pada waktu t LnTARt = Harga telur ayam ras pada waktu t

LnTABt = Harga telur ayam buras pada waktu t LnTITt = Harga telur itik pada waktu t

LnSSEt = Harga susu segar pada waktu t An, Bn, ….. = Parameter estimasi

(50)

Adapun tahapan analisis VAR yaitu: 1. Uji Stasioner Data

Uji stasioner data dalam penelitian ini dilakukan pada seluruh variabel dalam model VAR, meliputi masing-masing harga komoditas pangan hewani asal ternak dan IHK.

2. Penentuan Lag Optimal

Penelitian ini menggunakan kriteria AIC (Akaike Information Criterion), SC

(Schwarz Information Criterion) dan HQ (Hannan-quinn Information

Criterion) dalam penentuan lag optimal.

3. Uji Stabilitas Model VAR

Uji stabilitas dilakukan dengan menguji apakah model VAR yang digunakan sudah stabil atau belum.

4. Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi dilakukan umtuk menguji variabel yang tidak stasioner di tingkat level terkointegrasi atau tidak.

5. Estimasi VECM (Vector Error Correction Model)

Estimasi VECM dilakukan untuk mengetahui dampak fluktuasi harga pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di Kabupaten Bogor dalam jangka pendek dan jangka panjang.

6. Analisis IRF

Dalam penelitian ini, analisis IRF dilakukan untuk mengetahui respon inflasi akibat adanya guncangan pada inflasi itu sendiri dan fluktuasi pada harga pangan hewani asal ternak yang menjadi objek penelitian.

7. Analisis FEVD

(51)

33

V PERKEMBANGAN HARGA PANGAN HEWANI ASAL TERNAK DI KABUPATEN BOGOR

Perkembangan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor dijelaskan dengan mendeskripsikan perubahan harga komoditas pangan hewani asal ternak selama periode penelitian, yaitu Januari 2010 hingga Desember 2013. Analisis deskriptif dilakukan dengan bantuan grafik yang merupakan plot harga masing-masing komoditas pangan hewani asal ternak terhadap periode waktu. Grafik tersebut akan ditambah dengan keterangan yang menerangkan kondisi serta hal-hal yang mempengaruhi atau relevan dengan yang terjadi pada data yang dianalisis.

Harga komoditas pangan hewani asal ternak selama tahun 2010-2013 cenderung mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Kenaikan harga BBM berpengaruh pada naiknya biaya transportasi, sehingga berdampak pada naiknya harga barang-barang pada umumnya, termasuk juga komoditas pangan hewani asal ternak. Rata-rata perubahan harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Rata-rata Perubahan Harga Komoditas Pangan Hewani Asal Ternak di Kabupaten Bogor Periode 2010-2013

Komoditas Perubahan Harga (%)

2010 2011 2012 2013 Rata-rata

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014 (diolah)

5.1 Perkembangan Harga Daging Ayam Brioler (Karkas)

(52)

terjadi pada bulan Februari 2010 yaitu sebesar Rp 21 875/kg. Selisih antara harga tertinggi dan terendah adalah Rp 13 014/kg. Adapun harga rata-rata daging ayam broiler (karkas) selama periode penelitian yaitu Rp 26 539.19/kg. Perkembangan harga daging ayam broiler (karkas) di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 8.

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014

Gambar 8 Perkembangan Harga Daging Ayam Broiler (Karkas) di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013

Perkembangan harga daging ayam broiler (karkas) selama periode Januari 2010 hingga Desember 2013 memiliki kecenderungan yang meningkat. Perubahan harga rata-rata terbesar terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 0.744%, sedangkan perubahan terkecil terjadi pada tahun 2011 sebesar -0.226%. Selain karena kenaikan harga BBM bersubsidi, peningkatan harga daging ayam broiler (karkas) hingga mencapai harga tertinggi terjadi karena kenaikan harga pada bibit ayam broiler (day old chick/DOC) dan harga pakan.1 Peningkatan harga DOC dan pakan ini diduga karena depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Depresiasi

nilai tukar rupiah berarti menurunnya nilai (daya beli) riil dari rupiah. Akibatnya, harga pakan dan DOC broiler yang mayoritas impor mengalami peningkatan.

1

Dalam 2 Minggu, Harga Ayam Potong Lompat Hampir 30%.

http://finance.detik.com/read/2013/09/27/103147/2371035/4/dalam-2-minggu-harga-ayam-potong-lompat-hampir-30. Diakses pada tanggal 8 Mei 2014.

(53)

35 DOC broiler dan pakan merupakan input utama dalam peternakan ayam broiler, sehingga kenaikan harga pada keduanya berdampak pada naiknya biaya produksi. Upaya yang dilakukan peternak untuk mengantisipasi kerugian karena naiknya biaya produksi yaitu dengan menaikkan harga output produksi yaitu daging ayam broiler (karkas). Adapun harga daging ayam broiler (karkas) terendah yang terjadi pada tahun 2010 diduga karena masih adanya dampak flu burung yang banyak ditemukan di Indonesia pada tahun 2003-2005 (Ilham dan Yusdja, 2010). Isu flu burung yang banyak terjadi pada tahun 2003-2005 membuat konsumen ketakutan akan bahaya mengkonsumsi produk unggas. Hal ini menyebabkan permintaan hasil peternakan unggas menurun. Akibatnya, harga hasil peternakan unggas juga menurun. Pendugaan produksi dan konsumsi daging ayam broiler di Kabupaten Bogor pada tahun 2008-2012 ditampilkan pada Tabel 6. Dari tabel diketahui bahwa produksi daging ayam broiler di Kabupaten Bogor setiap tahun mengalami surplus. Hal ini dikarenakan Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra produksi daging ayam broiler.

Tabel 6 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Daging Ayam Broiler di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012

Tahun Produksi (kg) Konsumsi (kg)* Selisih Produksi dan Konsumsi (kg)

2008 68 486 233 17 253 567.000 51 232 666.000

2009 71 540 084 18 589 732.992 52 950 351.008

2010 78 340 100 19 459 938.696 58 880 161.304

2011 85 090 822 21 214 703.550 63 876 118.450

2012 87 620 069 22 634 202.180 64 985 866.820

Sumber: BPS Kab. Bogor dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor 2013 (diolah)

Keterangan: * Konsumsi daging ayam broiler diperoleh dari rata-rata konsumsi daging ayam broiler per kapita per tahun dikali jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun berlaku

5.2 Perkembangan Harga Daging Sapi

(54)

hortikultura dan daging sapi (Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, 2013a). Hal ini dikarenakan pada tahun-tahun sebelumnya, harga-harga pangan relatif turun pada periode menjelang puasa, sehingga kenaikan harga pada periode puasa dianggap wajar. Namun, pada periode menjelang puasa tahun 2013, harga-harga pangan sudah relatif meningkat akibat kenaikan harga BBM, sehingga pada periode puasa kenaikan harga pangan dirasakan tinggi.

Kebutuhan daging sapi di Indonesia dipenuhi dari produksi dalam negeri dan impor (Riyanto, 2010). Mulai tahun 2012 pemerintah mengeluarkan kebijakan pemangkasan kuota impor dalam rangka menuju swasembada daging tahun 2014. Kebijakan pemangkasan kuota impor tersebut berdampak pada berkurangnya pasokan daging sapi di pasar (Permana, 2013). Pada Agustus 2013, produksi daging sapi di Indonesia mencapai 36 770 000 ton, lebih kecil dari kebutuhannya yaitu 45 300 000 ton (Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, 2013b). Dengan adanya kebijakan pemangkasan kuota impor, defisit daging sapi sebesar 8 530 000 ton pada bulan Agustus 2013 tidak dapat dipenuhi. Hal ini mengakibatkan harga daging sapi meningkat.

Faktor teknis juga mempengaruhi produksi daging sapi, salah satunya perlu kehati-hatian dalam proses distribusi. Menurut Priyanto dan Hafid (2005), penanganan yang tidak baik sebelum pemotongan menyebabkan stress yang berakibat menurunkan kualitas dan kuantitas karkas yang dihasilkan. Adapun kuota impor sapi dan daging sapi di Indonesia ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Kuota Impor Sapi dan Daging Sapi di Indonesia tahun 2009-2013

Tahun Sapi (ribu ekor) Daging sapi beku (ribu ton)

2009 765 110

2010 521 120

2011 560 100

2012 283 41

2013 276 32

Sumber: Kementerian Pertanian, 2013

(55)

37 daging sapi yang berbeda serta distribusi dalam bentuk hewan ternak sapi (bukan daging sapi) menimbulkan biaya transportasi yang lebih mahal (Ilham dan Yusdja, 2004, Prastowo et al., 2008). Naiknya biaya transportasi menyebabkan naiknya harga pada setiap periode. Periode Januari-Maret 2010 merupakan periode awal penelitian, sehingga memungkinkan biaya transportasi belum mengalami kenaikan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Burhani (2013) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi volatilitas harga daging sapi potong di Indonesia yaitu volatilitas satu periode sebelumnya dan varian harga satu periode sebelumnya. Pendugaan produksi dan konsumsi daging sapi di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 8 Pendugaan Produksi dan Konsumsi Daging Sapi di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012

Tahun Produksi (kg) Konsumsi (kg)* Selisih Produksi dan Konsumsi (kg)

2008 8 311 289 11 849 619.60 -3 538 330.60

2009 11 153 409 10 749 987.70 403 421.30

2010 10 790 992 11 734 180.79 -943 188.79

2011 9 299 322 9 780 421.34 -481 099.34

2012 8 477 289 7 712 281.99 765 007.01

Sumber: BPS Kab. Bogor dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor 2013 (diolah)

Keterangan: * Konsumsi daging sapi diperoleh dari rata-rata konsumsi daging sapi per kapita per tahun dikali jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun yang berlaku

Harga daging sapi sesuai bagiannya dibedakan menjadi tiga, yaitu daging sapi has, daging sapi bistik, dan daging sapi murni. Pembedaan harga didasarkan pada karakteristik daging sapi. Daging sapi yang mempunyai tekstur paling lembut yaitu daging sapi has, karena dihasilkan dari bagian otot-otot yang jarang digunakan untuk bekerja. Daging sapi bistik merupakan daging sapi dengan tekstur halus dan tidak liat. Sedangkan daging sapi murni yaitu daging sapi dengan tekstur kasar dan liat. Adapun perkembangan harga daging sapi dijelaskan masing-masing oleh grafik.

5.2.1 Perkembangan Harga Daging Sapi Has

(56)

mencapai Rp 107 083/kg pada Agustus 2013, sedangkan terendah terjadi pada Januari 2010 yaitu sebesar Rp 59 500/kg. Harga rata-rata dicapai pada tingkat Rp 77 511.31/kg. Perkembangan harga daging sapi has di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 9.

Perkembangan harga daging sapi has di Kabupaten Bogor selama tahun 2010-2013 memiliki tren naik dengan rata-rata perubahan sebesar 1.028%. Perubahan terbesar harga rata-rata daging sapi bistik terjadi pada tahun 2010 sebesar 2.488%, sedangkan perubahan harga terendah terjadi pada tahun 2013 sebesar 0.079%. Tingginya harga pada bulan Agustus 2013 disebabkan karena permintaan daging sapi has pada periode puasa hingga Hari Raya Idul Fitri meningkat, sementara produksi daging sapi has membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat memenuhi permintaan yang meningkat dalam waktu cepat.

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014

Gambar 9 Perkembangan Harga Daging Sapi Has di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013

5.2.2 Perkembangan Harga Daging Sapi Bistik

(57)

39 daging sapi bistik selama periode penelitian memiliki kecenderungan meningkat dengan laju perubahan rata-rata 0.863%. Perubahan terbesar terjadi pada tahun 2012 sebesar 2.121%, sedangkan terkecil terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 0.031%. Selisih antara harga tertinggi dan terendah yaitu sebesar Rp 45 000/kg. Harga tertinggi terjadi pada Agustus 2013 yaitu sebesar Rp 104 500/kg, sedangkan harga terendah terjadi pada Januari dan Februari 2010 sebesar Rp 59 500/kg. Adapun rata-rata harga daging sapi bistik selama periode penelitian yaitu mencapai Rp 74 812.5/kg. Perkembangan harga daging sapi bistik di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 10.

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014

Gambar 10 Perkembangan Harga Daging Sapi Bistik di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013

5.2.3 Perkembangan Harga Daging Sapi Murni

(58)

Perkembangan harga daging sapi murni selama periode penelitian mempunyai tren yang meningkat. Peningkatan rata-rata harga terbesar terjadi pada tahun 2012 sebesar 2.254%, sedangkan terkecil terjadi pada tahun 2011 sebesar 0.104%. Daging sapi murni merupakan daging sapi dengan tingkat harga terendah jika dibandingkan dengan daging sapi has dan bistik. Harga daging sapi murni yang relatif murah berdampak pada permintaannya yang banyak.

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014

Gambar 11 Perkembangan Harga Daging Sapi Murni di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013

5.2 Perkembangan Harga Hati Sapi

Hati sapi merupakan bagian jeroan (di luar karkas) dari tubuh sapi yang banyak dimanfaatkan untuk konsumsi. Perkembangan harga hati sapi selama periode penelitian cenderung mengalami peningkatan dengan selisih antara harga tertinggi dan terendah sebesar Rp 21 861/kg. Harga tertinggi terjadi pada September dan Oktober 2013 sebesar Rp 55 111/kg. Harga terendah terjadi pada Januari 2010 sebesar Rp 33 250/kg. Adapun rata-rata harga hati sapi selama periode penelitian yaitu Rp 40 978.85/kg. Perkembangan harga hati sapi di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 12.

Selama tahun 2010-2013 perkembangan harga hati sapi berfluktuasi dengan laju perubahan rata-rata sebesar 0.701%. Perubahan harga tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebesar 1.606% sedangkan terkecil pada tahun 2011 sebesar 0.346%.

(59)

41 Hati sapi merupakan hasil ikutan dari pemotongan sapi, sehingga produksinya kecil. Menurut Hafid (2005) dalam Hafid dan Rugayah (2009), presentase isi saluran pencernaan pada sapi maksimal hanya mencapai 30% dari bobot hidupnya. Harga hati sapi berfluktuasi mengikuti populasi penyembelihan sapi. Pada bulan September 2013 dimana daging sapi nasional banyak dipenuhi dari impor, sehingga stok hati sapi tidak mengalami peningkatan. Akibatnya, harga hati sapi meningkat.

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014

Gambar 12 Perkembangan Harga Hati Sapi di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013

5.3 Perkembangan Harga Daging Kambing/Domba

Selama tahun 2010-2013 harga daging kambing/domba mengalami fluktuasi dengan selisih antara harga tertinggi dan terendah sebesar Rp 24 450/kg. Pada Agustus 2013, harga daging kambing/domba mencapai harga tertinggi sebesar Rp 80 550/kg, sedangkan April dan Mei 2012 harga daging kambing/domba mencapai puncak terendah sebesar Rp 56 100/kg. Rata-rata harga daging kambing/domba selama periode penelitian yaitu Rp 62 332.81/kg. Perkembangan harga daging kambing/domba di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 13.

Laju perubahan rata-rata harga daging kambing/domba selama periode penelitian sebesar 0.281%. Perubahan terbesar terjadi pada tahun 2011 sebesar

(60)

0.971% sedangkan terkecil terjadi pada tahun 2012 sebesar -0.314%. Daging kambing/domba merupakan substitusi dari daging sapi. Sepanjang tahun 2010-2012, harga daging kambing/domba relatif stabil. Harga terendah dicapai pada April 2012 dengan perubahan yang tidak jauh berbeda dengan harga pada periode-periode sebelumnya. Namun, pada tahun 2013 harga mulai berfluktuasi. Hal ini dikarenakan adanya kenaikan harga BBM.2 Kenaikan harga BBM berdampak pada meningkatnya biaya produksi, sehingga harga daging kambing/domba juga meningkat. Selain itu, Agustus 2013 bertepatan dengan periode puasa, sehingga permintaan daging kambing/domba meningkat.

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2014

Gambar 13 Perkembangan Harga Daging Kambing/Domba di Kabupaten Bogor Periode Januari 2010-Desember 2013

Adapun pendugaan produksi dan konsumsi daging kambing dan domba di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 ditampilkan pada Tabel 9. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa konsumsi daging kambing/domba setiap tahun mengalami peningkatan. Peningkatan konsumsi daging kambing/domba di Kabupaten Bogor diduga karena tingginya jumlah penduduk dan meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat Kabupaten Bogor. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

2

Harga Daging Ayam Rp 35 Ribu per Kg, Pedagang Gulung Tikar.

http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/06/28/harga-daging-ayam-rp-35-per-kg-pedagang-gulung-tikar. Diakses 5 April 2014.

Gambar

Gambar 5 Ilustrasi Perubahan Harga Komoditas dari Sisi Penawaran
Gambar 6 Ilustrasi Perubahan Harga Komoditas dari Sisi Permintaan
Tabel 3 Matriks Penelitian Terdahulu
gambaran digunakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melalui pemahaman dinamika perkem- bangan harga komoditas pangan asal ternak, khususnya daging sapi, diperoleh implikasi bahwa kebijakan pemerintah untuk stabilisasi

Dampak lain dari pangan tercemar asal ternak adalah : (1) biaya perawatan korban yang ditanggung pemerintah maupun masyarakat ; (2) pihak industri atau pengusaha mengalami

Peranan Teknologi dalam Penyediaan Pangan yang Aman Menuju Ketahanan Pangan (Tinjauan pada Komoditas Pangan Asal Ternak). Prosiding Silahturahmi Internal , Fakultas

Tingginya alokasi pengeluaran pangan sumber protein hewani asal ternak pada penelitian dibandingkan dengan hasil penelitian Ariani (2000) memberikan indikasi bahwa, telah

Melalui pemahaman dinamika perkem- bangan harga komoditas pangan asal ternak, khususnya daging sapi, diperoleh implikasi bahwa kebijakan pemerintah untuk stabilisasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pangan hewani paling elastis terhadap perubahan harga adalah kelompok ikan dengan elastisitas permintaan sebesar 2.463%, diikuti daging sapi

No Kab/Kota Komoditas Pangan Unggulan Sumber Protein Hewani Berdasarkan Nilai LQ >1 1 Jembrana Daging Kambing, Daging Ayam Buras, Daging Ayam Ras Pedaging, Daging Itik, Ikan laut dan

Dari pengaplikasian model VECM diperoleh hasil bahwa dalam jangka pendek pada tabel 7 di bawah ini adalah sebagai berikut, pada selang kepercayaan 5%, fluktuasi harga komoditas pangan