• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Debitur Pailit Untuk Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Krediturnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kewenangan Debitur Pailit Untuk Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Krediturnya"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

KREDITURNYA

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi

Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

KWENDI

100200288

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

KEWENANGAN DEBITUR PAILIT UNTUK MENGAJUKAN GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP KREDITURNYA

*) Kwendi

**) Ramli Siregar ***) Windha

Para Kreditur yang mengetahui bahwa debitur tidak mampu lagi membayar utang-utangnya akan berlomba untuk terlebih dahulu mendapatkan pembayaran piutangnya dengan cara memaksa debitur untuk menyerahkan barang-barangnya, debitur melakukan perbuatan yang hanya menguntungkan satu orang atau beberapa orang krediturnya saja dan yang lainnya dirugikan. Tindakan kreditur atau perlakuan debitur akan memberikan ketidakpastian bagi kreditur lain yang beritikad baik yang tidak ikut mengambil barang debitur sebagai pelunasan piutangnya, sehingga piutang kreditur yang beritikad baik tidak terjamin pelunasannya. Landasan gugatannya dapat dibuktikan apakah perbuatan pelaku benar telah merugikan pihak lain.

Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana akibat putusan pailit, bagaimana kewenangan debitur pailit untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya, dan bagaimanapengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh kurator terkait adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur pailit.

Metode penelitian menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan analisis data menggunakan pendekatan dedukatif dan induktif kualitatif.

Akibat putusan pailit adalah dijatuhkannya putusan kepailitan, debitur pailit kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Segala perbuatan debitor yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara sadar dilakukan debitor untuk merugikan kreditor, maka dapat dibatalkan oleh kurator atau kreditor. Kewenangan debitur pailit bertindak sepenuhnya, akan tetapi tindakan-tindakan tidak dipengaruhi harta kekayaan yang telah disita. Debitur kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya tetapi debitur tidak kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum sepanjang perbuatan hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukum atas harta kekayaannya yang telah dikuasai kurator. Apabila debitur melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta pailit, maka perbuatan tersebut tidak mengikat harta pailit kecuali apabila perbuatan hukum tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. Terkait adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur pailit adalah selama proses kepailitan yang seluruh aset perusahaan sudah dalam budel pailit yang sedang dalam proses pengurusan dan pemberesan terhadap para kreditur.

Kata kunci: kewenangan debitur pailit, gugatan perbuatan melawan hukum *) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis

bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik dan benar.

Penulisan Skripsi yang berjudul: Kewenangan Debitur Pailit Untuk

Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Krediturnya

adalah guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH)

di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karenanya, Penulis sangat mengharapkan adanya saran dan

kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik

tersebut, maka Penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan

berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Secara khusus, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada kedua orang tua Penulis yang telah membesarkan, mendidik, dan

mendukung Penulis hingga bisa menyelesaikan pendidikan formal Strata Satu

(S1) ini. Terima kasih yang besar juga Penulis ucapkan kepada kakak Penulis

yang selama ini banyak mendukung dan membantu Penulis dalam proses

perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya

(4)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K).,

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah mengelola dan

menyelenggarakan universitas sesuai dengan visi dan misi USU.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memimpin

penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta

membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak

membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan

pengabdian kepada masyarakat.

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM, selaku Pembantu Dekan

II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak

membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang

administrasi umum.

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu

Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan

kesejahteraan mahasiswa.

6. Ibu Windha, S. H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan

(5)

saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi

ini.

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Departemen

Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah

diberikan dalam perkuliahan.

8. Bapak Ramli Siregar, S.H., M. Hum., Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen

Pembimbing I. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan

dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi

ini.

9. Ibu Windha, S. H., M. Hum., selaku Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen

Pembimbing II. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan,

kritikan, saran, bimbingan, dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat

hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

10. Bapak Edy Yunara, S.H., M. Hum., selaku Dosen Wali. Ucapan terima kasih

sebesar-besarnya atas segala bantuan sejak baru menjadi mahasiswa sampai

sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.

11. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu

Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman Grup D Stambuk 2010 Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang juga telah bersama dengan Penulis selama hampir 4 (empat) tahun

(6)

13. Serta seluruh teman Penulis dari berbagai grup (kelas) dan berbagai stambuk

di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah bersama dengan

Penulis selama ini.

Medan, 28 Maret 2014 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Penyebab Terjadinya Kepailitan ... 18

B. Prosedur Pernyataan Pailit ... 19

C. Upaya Hukum Terhadap Putusan Pailit ... 22

D. Akibat Hukum Terhadap Putusan Pailit ... 28

BAB III KEWENANGAN DEBITUR PAILIT UNTUK

(8)

A. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum ... 35

B. Bentuk-Bentuk Perbuatan Melawan Hukum ... 39

C. Kewenangan Debitur Pailit Untuk Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Krediturnya ... 42

D. Tanggung Jawab Kurator Terkait Adanya Pengajuan Gugatan Melawan Hukum Oleh Debitur Pailit ... 49

BAB IV PENGURUSAN DAN PEMBERESAN YANG

DILAKUKAN OLEH KURATOR TERKAIT ADANYA PENGAJUAN GUGATAN MELAWAN HUKUM OLEH DEBITUR PAILIT

A. Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit ... 56

B. Tugas Dan Wewenang Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit ... 61

C. Pengurusan Dan Pemberesan Yang Dilakukan Oleh Kurator Terkait Adanya Pengajuan Gugatan Melawan Hukum Oleh Debitur Pailit ... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 86

(9)

ABSTRAK

KEWENANGAN DEBITUR PAILIT UNTUK MENGAJUKAN GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP KREDITURNYA

*) Kwendi

**) Ramli Siregar ***) Windha

Para Kreditur yang mengetahui bahwa debitur tidak mampu lagi membayar utang-utangnya akan berlomba untuk terlebih dahulu mendapatkan pembayaran piutangnya dengan cara memaksa debitur untuk menyerahkan barang-barangnya, debitur melakukan perbuatan yang hanya menguntungkan satu orang atau beberapa orang krediturnya saja dan yang lainnya dirugikan. Tindakan kreditur atau perlakuan debitur akan memberikan ketidakpastian bagi kreditur lain yang beritikad baik yang tidak ikut mengambil barang debitur sebagai pelunasan piutangnya, sehingga piutang kreditur yang beritikad baik tidak terjamin pelunasannya. Landasan gugatannya dapat dibuktikan apakah perbuatan pelaku benar telah merugikan pihak lain.

Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana akibat putusan pailit, bagaimana kewenangan debitur pailit untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya, dan bagaimanapengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh kurator terkait adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur pailit.

Metode penelitian menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan analisis data menggunakan pendekatan dedukatif dan induktif kualitatif.

Akibat putusan pailit adalah dijatuhkannya putusan kepailitan, debitur pailit kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Segala perbuatan debitor yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara sadar dilakukan debitor untuk merugikan kreditor, maka dapat dibatalkan oleh kurator atau kreditor. Kewenangan debitur pailit bertindak sepenuhnya, akan tetapi tindakan-tindakan tidak dipengaruhi harta kekayaan yang telah disita. Debitur kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya tetapi debitur tidak kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum sepanjang perbuatan hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukum atas harta kekayaannya yang telah dikuasai kurator. Apabila debitur melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta pailit, maka perbuatan tersebut tidak mengikat harta pailit kecuali apabila perbuatan hukum tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. Terkait adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur pailit adalah selama proses kepailitan yang seluruh aset perusahaan sudah dalam budel pailit yang sedang dalam proses pengurusan dan pemberesan terhadap para kreditur.

Kata kunci: kewenangan debitur pailit, gugatan perbuatan melawan hukum *) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepailitan dapat terjadi dengan makin pesatnya perkembangan

perekonomian dan perdagangan sehingga muncul berbagai macam permasalahan

utang piutang yang timbul dalam rangka meningkatkan modal ataupun kinerja

perusahaan. Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat

melakukan kewajibannya membayar utang-utangnya kepada pihak lain sehingga

mengakibatkan terjadi penyitaan atas harta (aset) perusahaan untuk melunasi

utang tersebut setelah adanya gugatan oleh pihak yang berpiutang (kreditur) ke

pengadilan dalam hal ini sering disebut dengan terjadi pailit terhadap perusahaan

(debitur).

Proses kepailitan dimulai dengan adanya suatu permohonan pailit terhadap

debitur yang memenuhi syarat, sesuai Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(selanjutnya disebut UUK dan PKPU) yang menyatakan bahwa ”Debitur yang

mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu

utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau

lebih dari krediturnya.”

Terpenuhinya syarat yang ditentukan di atas, maka permohonan pailit atas

(11)

Niaga, yang merupakan badan peradilan yang berwenang untuk memproses,

memeriksa dan mengadili perkara kepailitan. Apabila permohonan pailit tersebut

dikabulkan maka Pengadilan Niaga akan mengeluarkan putusan yang menyatakan

debitur tersebut dalam keadaan pailit.

Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat

pernyataan pailit itu dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama

kepailitan. Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak

untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan,

terhitung sejak kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak

tanggal kepailitan itu. Pasal 25 UUK dan PKPU menegaskan bahwa semua

perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak dapat

dibayar dari harta pailit kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan

keuntungan bagi harta kekayaan itu. Oleh karenanya gugatan-gugatan hukum

yang bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaan debitur pailit harus

diajukan terhadap atau oleh kurator. Begitu pula segala gugatan hukum dengan

tujuan untuk memenuhi perikatan dari harta pailit selama dalam kepailitan,

walaupun diajukan kepada debitur pailit sendiri, hanya dapat diajukan dengan

laporan atau pencocokannya.

Akibat hukum lain yang juga amat penting dari pernyataan pailit adalah

seperti yang ditegaskan dalam Pasal 41 UUK dan PKPUyaitu bahwa untuk

kepentingan harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan

hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditur,

(12)

hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan

hukum tersebut dilakukan debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu

dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum

tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur, kecuali perbuatan hukum

yang dilakukan debitur wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dan atau karena

undang-undang.

Akibat hukum lain adalah bila sudah ada putusan pernyataan pailit, maka

akan berakibat bahwa segala pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari

kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika

dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga

dengan menyandera debitur. Bahkan penyitaan yang telah dilakukan menjadi

hapus dan jika diperlukan hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya

dan debitur yang sedang dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah

putusan pernyataan pailit diucapkan (Pasal 31 UUK dan PKPU). Adanya hak

retensi yang diatur dalam Pasal 61 UUK dan PKPU yaitu hak kreditur untuk

menahan barang-barang kepunyaan debitur hingga bayarnya suatu utang tidak

kehilangan hak untuk menahan barang dengan diucapkannya pernyataan pailit.1

Perbuatan melawan hukum titik tolak dasar gugatannya adalah

kepentingan pihak tertentu yang sirugikan oleh perbuatan pihak lainnya, meskipun

diantara para pihak tidak terdapat suatu hubungan hukum keperdataaan yang

bersifat kontraktual (dalam arti kausalitas). Dalam hal ini landasan gugatannya

cukup dibuktikan apakah perbuatan pelaku benar telah merugikan pihak lain.

1

(13)

Dengan kata lain, pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum semata-mata

hanya terorientasi pada akibat yang ditimbulkan yang mengakibatkan pihak lain

mengalami kerugian.

Kepailitan berakibat hilangnya segala hak debitur untuk mengurus segala

harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit (boedel pailit). Perlu

diketahui bahwasanya putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitur

kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen

handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau

kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja.

Kewenangan debitur itu selanjutnya diambil alih oleh kurator. Ketentuan tersebut

berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan pailit.

Bila tuntutan-tuntutan hukum tersebut diajukan atau dilanjutkan oleh atau

terhadap debitur pailit dan bukan oleh kurator, maka jika tuntutan-tuntutan

tersebut mengakibatkan penghukuman kepada debitur pailit, penghukuman itu

tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap harta kekayaan yang telah dinyatakan

pailit tersebut.2 Bila gugatan terhadap debitur pailit yang menyebabkan

penghukuman terhadap debitur pailit, maka penghukuman tersebut tidak

mempunyai kekuatan hukum terhadap harta pailit. Disamping itu, setiap gugatan

hukum terhadap debitur pailit yang bertujuan memenuhi perikatan dari harta

pailit, hanya dapat diajukan dengan melaporkannya untuk dicocokannya

piutangnya.3

2

Gunawan Widjaja, Tanggungjawab Direksi atas Kepailitan Perseroan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 101.

3

(14)

Berdasarkan uraian diatas, permasalahan mengenai kewenangan debitur

pailit untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya

perlu untuk diteliti guna mengetahui hal-hal yang terkait dengan itu.

B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana akibat putusan pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

2. Bagaimanakah kewenangan debitur pailit untuk mengajukan gugatan perbuatan

melawan hukum terhadap krediturnya?

3. Bagaimanakah pengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh kurator terkait

adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur pailit?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai,

yaitu:

1. Tujuan penulisan

Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas

maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui akibat putusan pailit menurut Undang-Undang Nomor

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

(15)

b. Untuk mengetahui kewenangan debitur pailit untuk mengajukan gugatan

perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya.

c. Untuk mengetahui pengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh

kurator terkait adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur

pailit.

2. Manfaat penulisan

a. Manfaat teoritis

1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kegiatan penelitian,

khususnya masalah kepailitan.

2) Untuk membandingkan kebenaran pengetahuan yang diperoleh di

bangku kuliah dengan pelaksanaan di lapangan sehingga mengetahui

perbedaan dan persamaan yang jelas antara teori dan praktek tentang

kepailitan, kurator dan peradilannya.

b. Manfaat praktis

1) Bagi penulis, selain untuk memenuhi syarat penyelesaian strata satu

(S1), juga untuk memperluas wawasan mengenai hukum kepailitan

secara umum, khususnya mengenai kewenangan debitur pailit untuk

mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya.

2) Bagi masyarakat secara umum dapat memberikan masukan, khususnya

bagi para usahawan yang lebih berpeluang pada hukum kepailitan dalam

menyelesaikan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya.

3) Bagi kalangan akademis, yaitu untuk memberikan sumbangan

(16)

berprofesi sebagai kurator ataupun untuk sekedar mempelajari

masalah-masalah hukum di bidang kepailitan.

4) Bagi praktisi hukum, dapat memberikan sumbangan pemikiran maupun

sebagai tambahan referensi dalam mencari penyelesaian terhadap

permasalahan yang dihadapi dalam kewenangan debitur untuk

mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat

Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai

“Kewenangan Debitur Pailit Untuk Mengajukan Gugatan Perbuatan

Melawan Hukum Terhadap Krediturnya”. Oleh karena itu, penulisan skripsi

ini merupakan ide asli penulis, adapun tambahan ataupun kutipan dalam penulisan

ini bersifat menambah penguraian penulis dalam skripsi ini. Dengan demikian

keaslian penulisan skripsi ini adalah ide penulis dan dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah dan akademik.

E. Tinjauan Pustaka

Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis,

Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan

atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet

(17)

Belanda dipergunakan istilah faillite yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai

kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to

fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure. Dinegara-negara yang

berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah

“bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap perusahaan-perusahaan debitur yang

berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan

“insolvency”.4

Di dalam praktik dunia bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Selama

masih mampu membayar, berutang tidak merupakan hal yang salah. Utang baru

menjadi masalah jika debitur tidak mampu lagi membayar utang tersebut. Istilah

kepailitan yang digunakan di Indonesia sekarang ini merupakan terjemahan dari

failissement (Belanda). Di dalam sistem hukum Inggris atau Amerika Serikat dan

beberapa negara yang mengikuti tradisi common law dikenal dengan istilah

bankruptcy. Kepailitan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan

peristiwa pailit. Pailit sendiri adalah berhenti membayar (utang-utangnya).5

Pailit adalah suatu usaha bersama untuk mendapat pembayaran bagi semua

kreditur secara adil dan tertib, agar semua kreditur mendapat pembayaran menurut

imbangan besar kecilnya piutang masing-masing dengan tidak berebutan.6

Pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari

seorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan

4

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi kedua, Cetakan pertama (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm 23.

5

Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, Cetakan ke enam (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm 263.

6

(18)

tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang

dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak

ketiga (di luar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan.

Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk

pemenuhan azas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang

debitur. Tanpa adanya permohonan tersebut ke pengadilan, maka pihak ketiga

yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari

debitur. keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan

pailit oleh Hakim Pengadilan, baik itu yang merupakan putusan yang

mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan.7

Kepailitan berasal dari kata dasar pailit. Pailit adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan peristiwa keadaan berhenti membayar utang-utang debitur

yang telah jatuh tempo. Si pailit adalah debitur yang mempunyai dua orang atau

lebih kreditur yang tidak mampu membayar satu dan atau lebih uangnya yang

telah jatuh tempo dan dapat ditagih.8

Arti kepailitan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa

pailit. Pailit adalah keadaan berhenti membayar (utang-utangnya). Berhenti

membayar di sini bukan berarti bahwa si debitur berhenti sama sekali untuk

membayar utang-utangnya, melainkan debitur tersebut pada waktu diajukan

permohonan pailit, berada dalam keadaan tidak membayar utang tersebut.9

7

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, Cetakan pertama, (Jakarta:Penerbit Forum Sahabat, 2009), hlm 15

8

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Edisi revisi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 229.

9

(19)

Secara umum kepailitan sering diartikan sebagai suatu sitaan umum atas

seluruh karyawan kekayaan debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur

dengan para krediturnya atau agar kekayaan debitur dapat dibagi-bagikan secara

adil di antara para krediturnya. Definisi yang menjadi tujuan utama dari kepailitan

adalah agar harta kekayaan debitur yang masih tertinggal oleh kurator dapat

dibagi-bagikan kepada para kreditur dengan memperhatikan hak mereka.10

Adapun tujuan pernyataan pailit sebenarnya adalah untuk mendapatkan

suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta benda

disita/dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang mengutangkannya

(krediturnya). Prinsip kepailitan itu adalah suatu usaha bersama untuk

mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil.11

Pihak debitur pailit adalah pihak yang memohon/dimohonkan pailit ke

pengadilan yang berwenang. Yang dapat menjadi debitur pailit adalah debitur

yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu

utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.12

Putusan pailit membawa akibat hukum terhadap seluruh harta kekayaan

debitur. Kekayaan tersebut akan dikuasai oleh kurator. Kuratorlah yang akan

mengurus dan membereskan seluruh harta pailit. Akibat dari putusan pailit

membawa konsekwensi bahwa gugatan-gugatan hukum yang bersumber pada hak

dan kewajiban harta kekayaan debitur pailit harus diajukan oleh atau terhadap

10

Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dan Ekonomi, Edisi Revisi (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hlm 144.

11

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan :Teori dan Contoh kasus, Cetakan ketujuh (Jakarta: Penerbit Kencana, 2014), hlm 121.

12

(20)

kurator. Bila tuntuan diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit,

maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan penghukuman debitur pailit, maka

penghukuman itu tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap harta pailit.13

Gugatan dapat diajukan secara tertulis dan dapat diajukan secara lisan.

Namun, Pasal 144 ayat (2) RBg menentukan bahwa penerima kuasa tidak

diperkenankan untuk mengajukan gugatan secara lisan. Dengan demikian,

pengajuan gugatan secara lisan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang

mengurus sendiri perkaranya, bukan juga penerima kuasa karena penerima kuasa

dianggap sudah mampu membuat gugatan secara tertulis, sehingga pengadilan

tidak perlu lagi melakukan pencatatan-pencatatan. Sebab, apabila gugatan

diajukan secara lisan, ketua pengadilan negeri yang bersangkutan akan membuat

catatan atau menyuruh membuat catatan kepada panitera/penitera pengganti

tentang gugatan yang diajukan secara lisan tersebut.14

Suatu perbuatan merupakan perbuatan hukum kalau perbuatan itu oleh

hukum diberi akibat (mempunyai akibat hukum) dan akibat itu dikehendaki oleh

yang bertindak. Apabila akibat hukum sesuatu perbuatan tidak dikehendaki oleh

yang melakukannya atau salah satu dari yang melakukannya, maka perbuatan itu

bukanlah suatu perbuatan hukum. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa

kehendak dari yang melakukan perbuatan itu menjadi unsur pokok dari perbuatan

tersebut.15

13

Sunarmi, Op.Cit, hlm 97. 14

Riduan Syahrani, Op.Cit, hlm 51. 15

(21)

Perbuatan melawan hukum adalah melanggar onrechtmatige daad yang

diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(selanjunta disebut

KUH Perdata). Pasal tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut: “tiap

perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain

mewajibkan orang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu mengganti

kerugian tersebut.”

Dari sudut teori perundang-undangan, cara perumusan Pasal 1365 KUH

Perdata ini merupakan norma hukum umum konkrit. Hal itu berarti bahwa norma

hukum tersebut ditentukan untuk umum, namun perbuatan yang dilakukan adalah

sesuatu yang sudah tertentu.16

Pengertian perbuatan melawan hukum dapat dipahami secara klasik

dengan mengetahui pengertian perbuatan hukum dalam “perbuatan melawan

hukum” yaitu:

1. Nonfeasance: apabila seseorang tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan

hukum

2. Misfeasance: apabila seseorang melakukan sesuatu yang wajib dilakukan,

namun apa yang dilakukan tersebut adalah salah

3. Malfeasance: apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan, padahal yang

bersangkutan tidak berhak untuk melakukannya.17

Selain itu, perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan

yang bertentangan dengan undang-undang, melainkan juga berbuat atau tidak

16

V. Harlen Sinaga, Batas-Batas Tanggung Jawab Perdata Direksi, Cetakan pertama (Jakarta: Adinatha Mulia, 2012), hlm175.

17

(22)

berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain atau kewajiban orang untuk

berbuat atau tidak berbuat, bertentangan dilakukan dalam lalu lintas

kemasyarakatan. Dengan demikian, cakupan perbuatan melawan hukum terakhir

ini lebih luas dan lebih lengkap daripada perbuatan melawan hukum di Inggris

dan Prancis.18

Seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang

menimbulkan kerugian pada orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat aktif

dari istilah melawan tersebut. Sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja tidak

melakukan sesuatu atau diam saja padahal mengetahui bahwa sesungguhnya harus

melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan lain

perkataan bersikap pasif saja, bahkan tidak mau melakukan kerugian pada orang

lain, maka telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya. Inilah sifat

pasif daripada istilah melawan.19

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk

mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten dengan

mengadakan analisa dan konstruksi.20

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang

digunakan antara lain:

18

V. Harlen Sinaga, Op.Cit, hlm 178. 19

Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, 1992), hlm. 13.

20

(23)

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum

dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum

dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa

dikaitkan dengan masyarakat.21 Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan

hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang

berkaitan dengan penulisan skripsi penulis.

Penelitian ini bersifat deskriptif. Maksud dari penelitian ini adalah untuk

memperolah gambaran yang lengkap dan secara jelas tentang permasalahan yang

terdapat pada masyarakat yang digunakan dapat dikaitan dengan

ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Adapun metode

pendekatan penelitian yang dipakai adalah pendekatan yuridis.

2. Data penelitian

Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data

sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data

sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil

penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.22

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan

perundang-undangan di bidang kepailitan, antara lain:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

21

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm 54.

22

(24)

b. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum berupa

buku-buku, pendapat-pendapat sarjana, yang berhubungan dengan pembahasan skripsi

ini.

Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer

dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa

Indonesia.

3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

reaseacrh) yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan

membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan

pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan

perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan

penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan

secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari

teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,

pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan

permasalahan penelitian.23

(25)

4. Analisis data

Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan

dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan

menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya

melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar

sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan

bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna

mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan

saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang

dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.24

G. Sistematika penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa

sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang

dapat digambarkan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar

belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG

NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

24

(26)

Dalam bab ini berisi tentang Penyebab Terjadinya Kepailitan,

Prosedur Pernyataan Pailit, Upaya Hukum Terhadap Putusan

Pailit dan Akibat Hukum Terhadap Putusan Pailit.

BAB III KEWENANGAN DEBITUR PAILIT UNTUK MENGAJUKAN

GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP

KREDITURNYA

Bab ini berisikan tentang Unsur – Unsur Perbuatan Melawan

Hukum, Kewenangan Debitur Pailit Dalam Kepailitan, Bentuk –

Bentuk Perbuatan Melawan Hukum, Tanggung Jawab Kurator

Terkait Adanya Pengajuan Gugatan Melawan Hukum Oleh

Debitur Pailit.

BAB IV PENGURUSAN DAN PEMBERESAN YANG DILAKUKAN

OLEH KURATOR TERKAIT ADANYA PENGAJUAN

GUGATAN MELAWAN HUKUM OLEH DEBITUR PAILIT

Bab ini berisi tentang Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit,

Tugas Dan Wewenang Kurator Dalam Pengurusan Dan

Pemberesan Harta Pailit dan Pengurusan Dan Pemberesan Yang

Dilakukan Oleh Kurator Terkait Adanya Pengajuan Gugatan

Melawan Hukum Oleh Debitur Pailit.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini,

dimana dalam bab V ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari

(27)

BAB II

AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN

KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

A. Penyebab Terjadinya Kepailitan

Pailit dapat diartikan debitur dalam keadaan berhenti membayar utang

karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata

Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud

memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan

demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitur

yang tidak dapat membayar utangnya kepada kreditur, karena marah sang kreditur

mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat

debitur. Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUK dan

PKPU adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan

dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim

pengawas sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Kartono sendiri

memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap

semua kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Ataupun masalah

dalam perusaahan yang mengalami pailit dikarenakan kurangnya kerjasama dalam

berorganisasi dalam perusahaan itu sendiri yang sering orang menyebutnya

Organisasi Pailit.25

25

Perusahaan Usaha Mikro Kecil Menengah yang Berkembang,

(28)

Kepailitan dapat terjadi karena makin pesatnya perkembangan

perekonomian dan perdagangan dimana muncul berbagai macam permasalahan

utang piutang yang timbul dalam masyarakat.26 Kepailitan ini terjadi karena

masalah utang piutang antara debitur dan kreditur. Debitur yang tidak

melaksanakan kewajibannya untuk membayar utang kepada kreditur, sedikitnya

dua orang kreditur dan utangnya telah jatuh tempo, maka debitur tersebut dapat di

pailitkan. Pailit adalah suatu keadaanyang telah debitur berhenti membayar utang,

menurut Man S. Sastrawidjaja palit adalah “keadaan berhenti membayar utang

dapat terjadi karena tidak mampu membayar dan tidak mau membayar.27

Masalah kepailitan tentunya tidak pernah lepas dengan masalah

utang-piutang. Dikatakan perusahaan pailit apabila perusahaan tidak mampu membayar

utangnya terhadap perusahaan (kreditur) yang telah memberikan pinjaman kepada

perusahaan pailit. Perusahaan yang pailit kita sebut sebagai debitur. Tentunya ada

syarat-syarat khusus dalam mengajukan kasus kepailitan di dalam suatu

perusahaan.28

Kepailitan dalam perusahaan tidak mudah untuk ditetukan secara pasti.

Sejauh ini terdapat dugaan bahwa sumber kegagalan disebabkan oleh

ketidakmampuan manajemen perusahaan. Ketidakmampuan manajemen dapat

diartikan dalam berbagai pengertian. Sebagian orang menafsirkan sebagai

pengalaman yang kurang dalam jenis usaha yang dikelola atau kegagalan

26

Kepailitan, https://agungfaris.wordpress.com/2012/10/23/kepailitan/ (diakses tgl 6 September 2014).

27

Man S Sastrawidjaja. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung : Penerbit Alumni, 2010), hlm 2.

28

Perusahaan Yang Pailit dan Penyebabnya,

(29)

https://dewaruci2.wordpress.com/2012/01/07/perusahaan-yang-pailit-dan-penyebabnya-utang-manajemen dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi dan industri yang tidak

menguntungkan.29 Secara garis besar faktor-faktor penyebab terjadinya

kebangkrutan dibagi menjadi tiga, yaitu:30

1. Sistem perekonomian

Dalam sistem perekonomian di mana roda perekonomian lebih banyak

dikendalikan oleh persaingan bebas, maka dunia usaha terbagi menjadi dua

golongan, yaitu perusahaan tradisional dan perusahaan yang memanfaatkan

teknologi. Ketidakmampuan bersaing merupakan faktor penyebab

kebangkrutan, sehingga efisiensi manajemen sangat diperlukan dan sangat

berperan untuk berkompetisi dengan perusahaan pesaing.

2. Faktor eksternal perusahaan

Kesulitan dan kegagalan yang mungkin dapat menyebabkan

kebangkrutan suatu perusahaan kadang-kadang berada di luar jangkauan

manajemen perusahaan. Berbagai faktor tersebut antara lain:

a. Persaingan bisnis yang ketat

b. Berkurangnya permintaan terhadap produk atau jasa yang dihasilkan

c. Turunnya harga jual terus-menerus

d. Kecelakaan atau bencana alam yang menimpa perusahaan.

3. Faktor internal perusahaan

Faktor internal yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan dapat

dicegah melalui berbagai tindakan dalam perusahaan itu sendiri. Faktor-faktor

29

Adi Nugroho Setiarso, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dalam Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kapilitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran), Jurnal tidak diterbitkan, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2012), hlm 4.

30

(30)

internal ini biasanya merupakan hasil dari keputusan dan kebijaksanaan yang

tidak tepat di masa lalu dan kegagalan manajemen untuk berbuat sesuatu pada saat

yang diperlukan. Faktor-faktor yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan

secara internal, yaitu:

a. Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada debitur atau pelanggan

b. Manajemen yang tidak efisien

c. Penyalahgunaan wewenang dan kecurangan-kecurangan.

Adnan dan Kurniasih menyatakan faktor-faktor penyebab kebangkrutan

dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Faktor umum

a. Sektor ekonomi

Faktor-faktor kebangkrutan dari sektor ekonomi adalah gejala inflasi dan

deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan keuangan, dan suku bunga.

b. Sektor sosial

Faktor sosial yang sangat berpengaruh dalam perubahan gaya hidup

masyarakat yang mempengaruhi produk dan jasa yang dihasilkan oleh

perusahaan dan faktor lain yang juga berpengaruh adalah kerusuhan dan

kekacauan yang terjadi di masyarakat.

c. Sektor teknologi

Penggunaan teknologi informasi juga menyebabkan biaya yang

ditanggung perusahaan menjadi membengkak terutama untuk

(31)

teknologi informasi tersebut kurang terencana oleh pihak manajemen,

adanya sistemnya yang tidak terpadu dan para pengguna tidak profesional.

d. Sektor pemerintah

Kebijakan pemerintah juga dapat menjadi penyebab kepailitan, seperti

perubahan kebijakan subsidi pada perusahaan dan industri, perubahan

pengenaan tarif ekspor dan impor barang, dan kebijakan undang-undang

baru bagi perbankan atau tenaga kerja.

2. Faktor eksternal perusahaan

a. Sektor pelanggan

Perusahaan harus bisa mengidentifikasi sifat konsumen karena berguna

untuk menghindari kehilangan konsumen, juga untuk menciptakan

peluang-peluang menemukan konsumen baru dan menghindari menurunnya

hasil penjualan dan mencegah konsumen berpaling ke pesaing.

b. Sektor pemasok

Perusahaan pemasok harus tetap bekerjasama dengan baik karena kekuatan

pemasok untuk menaikkan harga dan mengurangi keuntungan pembelinya

tergantung seberapa jauh pemasok berhubungan dengan pedagang bebas.

c. Sektor pesaing

Perusahaan harus kompetitif karena jika pesaing lebih diterima masyarakat,

perusahaan tersebut akan kehilangan konsumen dan mengurangi

(32)

3. Faktor internal perusahaan

Faktor-faktor internal biasanya merupakan hasil dari keputusan dan kebijakan

yang tidak tepat di masa lalu serta kegagalan manajemen untuk berbuat

sesuatu pada saat yang diperlukan. Faktor-faktor yang menyebabkan

kebangkrutan secara internal yaitu:

a. Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada debitur atau pelanggan.

Kebangkrutan bisa terjadi karena terlalu besarnya jumlah kredit yang

diberikan kepada para debitur atau pelanggan yang pada akhirnya tidak

bisa dibayar oleh para pelanggan pada waktunya.

b. Manajemen yang tidak efisien

Banyaknya perusahaan gagal untuk mencapai tujuannya karena kurang

adanya kemampuan, ketrampilan, pengalaman, sikap adaptif dan inisiatif

dari manajemen. Ketidakefisienan manajemen tercermin pada

ketidakmampuan manajemen dalam menghadapi situasi yang terjadi

diantaranya:

1) Hasil penjualan yang tidak memadai

2) Kesalahan dalam penetapan harga jual

3) Struktur biaya yang tidak efisien

4) Tingkat investasi dalam aset tetap dan persediaan yang melampaui batas

5) Kekurangan modal kerja

6) Ketidakseimbangan dalam struktur permodalan

7) Sistem dan prosedur akuntansi kurang memadai

(33)

c. Penyalahgunaan wewenang banyak dilakukan oleh karyawan maupun manajer

puncak, hal ini akan sangat merugikan dan menimbulkan dampak pada kinerja

perusahaan.

B. Prosedur Pernyataan Pailit

Esensi kepailitan adalah debitur telah berhenti dan tidak mampu lagi

membayar utang utangnya. Artinya, debitur tidak melaksanakan kewajiban

membayar utang utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (due and

payable), lalu oleh pengadilan, debitur dinyatakan pailit. Seluruh harta debitur

palit berada dalam sitaan umum untuk dijual oleh kurator. Hasil penjualan itu

dibayarkan kepada krediturnya secara proposional.31

Prosedur permohonan pailit terdiri atas:

1. Administratif, menyangkut kelengkapan berkas permohonan pailit sebelum

berkas diterima dan diberi nomor oleh kepaniteraan pengadilan niaga.

2. Substantif, yang wajib dipenuhi dan dibuktikan dipersidangkan yaitu:

a. Ada utang

b. Utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih

c. Ada dua atau lebih kreditur dan

d. Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang

Prosedur substantif diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU:

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas

31

(34)

sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit

dengan putusan pengadilan”.

Prosedur tersebut di atas bersifat kumulatif. Artinya seluruh prosedur itu

harus dapat dipenuhi dan dibuktikan oleh pemohon pailit di depan Majelis Hakim.

Apabila salah satu prosedur tidak dapat dibuktikan, maka permohonan ditolak dan

debitur tidak jadi pailit.32

Kerangka waktu prosedur permohonan pernyataan pailit secara terperinci

dijabarkan Pasal 8 UUK dan PKPU, yaitu:33

1. Pengadilan

a. Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit

diajukan oleh kurator, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar

Modal atau Menteri Keuangan.

b. Dapat memanggil kreditur, dalam permohonan pernyataan pailit yang

diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk

dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan

PKPUtelah terpenuhi.

2. Pemanggilan terhadap debitur dilakukan oleh jurusita dengan surat kilat

tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama

diselenggarakan

3. Pemanggilan adalah sah dan dianggap telah diterima oleh debitur, jika

dilakukan oleh jurusita sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2)

32

(35)

4. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau

keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa prosedur untuk dinyatakan

pailit telah terpenuhi.

5. Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus ditetapkan dalam jangka

waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan

pernyataan pailit didaftarkan.

6. Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud dalam ayat

(5) wajib memuat pula:

a. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan

dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili

dan

b. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau

ketua Majelis.

7. Putusan atas permohonan pernyataan pailit yang memuat secara lengkap

pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam

sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun

terhadap putusan itu diajukan suatu upaya hukum.

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU membentuk suatu peradilan khusus

yang berwenang menangani perkara kepailitan, yaitu Pengadilan Niaga.

Kedudukan Pengadilan Niaga berada di lingkungan Peradilan Umum.

Pembentukan peradilan khusus ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah

(36)

pailit diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UUK dan PKPU. Prosedurnya

dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pendaftaran permohonan kepailitan

Permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan atas permintaan

seorang atau lebih para subjek pemohon yang berwenang sebagaimana diatur

dalam Pasal 2 UUK dan PKPU. Permohonan ini ditujukan kepada Ketua

Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan

hukum debitur.

Setelah menerima pendafaran tersebut panitera pengadilan kemudian

mendaftarkan permohonan pernyataan kepailitan pada tanggal permohonan dan

kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat

yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Hal yang

perlu diingat oleh pemohon ialah bahwa permohonan pernyataan pailit yang

diajukan sendiri oleh kreditur ataupun debitur sendiri wajib memakai advokat

yang memiliki izin praktik beracara. Namun, apabila permohonan pernyataan

pailit diajukan oleh Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri

Keuangan, tidak diperlukan advokat. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan

ketentuan tersebut adalah bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana

memerlukan pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak

yang bersengketa dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki

kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan wajar.

(37)

Berkas permohonan yang diterima oleh panitera muda perdata dapat

dibuatkan tanda terima sementara, berupa formulir yang diisi nomor permohonan,

tanggal penyerahan permohonan, nama penasehat hukum yang menyerahkan,

nama pemohon, tanggal kembali ke pengadilan, dalam hal berkas perkara belum

selesai diteliti. Pemeriksaan persyaratan serta kelengkapan permohonan dilakukan

dengan cara memberikan tanda pada formulir (check-list) sehingga apabila ada

kekurangan langsung dapat terlihat. Berkas permohonan yang belum lengkap

dikembalikan pada penasehat hukum, dengan dijelaskan supaya melengkapi

surat-surat sesuai dengan kekurangan yang tercantum dalam formulir kelengkapan

berkas permohonan (check-list).

Biaya perkara di pengadilan niaga besarnya ditentukan sesuai dengan

Surat Keputusan Ketua Pengadilan Niaga. Panjar biaya perkara dibayar kepada

kasir; Kasir setelah menerima pembayaran menandatangani, membubuhkan cap

stempel lunas pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan sekaligus

mencantumkan nomor perkara baik pada Surat Kuasa Uuntuk Membayar

maupun pada lembar pertama surat permohonan; Setelah proses pembayaran

panjar biaya perkara selesai, petugas mencatat data–data dan memberi nomor

perkara. Cara menentukan nomor perkara didasarkan pada tata urutan

penerimaan panjar biaya perkara. Untuk menentukan nomor perkara kasasi dan

perkara Peninjauankembali, digunakan nomor perkara awal (nomor pendaftaran

pada saat diajukan pada Pengadilan Niaga); Panitera selanjutnya paling lambat 2

(38)

permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 6

ayat (4) UUK dan PKPU.

3. Penetapan hari sidang

Berdasarkan Pasal 6 ayat (5) UUK dan PKPU, Pengadilan paling lambat 3

(tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan wajib

mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.

4. Sidang pemeriksaan

Sidang pertama pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit

diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah

tanggal permohonan didaftarkan. Menurut Pasal 6 ayat (7) UUK dan PKPU,

Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang tersebut sampai dengan paling

lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

Penundaan ini atas permohonan debitur dan harus disertai alasan yang cukup.

Pada sidang pemeriksaan tersebut pengadilan wajib memanggil debitur, dalam hal

permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur, Kejaksaan, Bank Indonesia,

Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan, sedangkan apabila

permohonan diajukan oleh debitur pengadilan dapat memanggil kreditur. Hal ini

dilakukan jika terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU telah terpenuhi

atau tidak. Pemanggilan oleh pengadilan ini dilakukan paling paling lambat 7

(tujuh) hari sebelum sidang pertama pemeriksaan dilaksanakan. Sidang ini

selanjutnya berjalan sebagaimana proses beracara perdata biasa, hanya saja proses

(39)

procedure). Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan perkara pada

pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah pihak mendapat

kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan. Dalam

persidangan ini pemohon harus hadir, Apabila dalam sidang pertama Pemohon

tidak hadir, padahal panggilan telah disampaikan secara sah (patut), maka perkara

dinyatakan gugur. Apabila Pemohon menghendaki, dapat mengajukan-nya lagi

sebagai perkara baru. Jika Termohon tidak datang dan tidak ada bukti bahwa

panggilan telah disampaikan kepada Termohon maka sidang harus diundur dan

Pengadilan harus melakukan panggilan lagi kepada Termohon.

Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan,

setiap kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan

dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk meletakkan sita jaminan

terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur atau menunjuk kurator sementara

untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur dan pembayaran kepada debitur,

pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan

wewenang kurator Pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan tersebut

apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditur.

Proses beracara di Pengadilan Niaga dalam permohonan kepailitan

menganut sistem pembuktian sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat

(4) UUK dan PKPU, Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga

berlangsung lebih cepat, hal ini dikarenakan UUK dan PKPU memberikan batasan

waktu proses kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di

(40)

yaitu bersifat sederhana atau pembuktian secara sumir, ini dapat dilihat dalam

ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU. Permohonan pernyataan pailit harus

dikabulkan apabila terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa

pernyataan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi

syarat untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan

dapat ditagih, adanya kreditur yang lebih dari satu serta adanya fakta bahwa

debitur atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya. Sifat pembuktian

yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak

permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa

perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa.

5. Putusan hakim

Menurut Pasal 8 ayat (5) UUK dan PKPU, putusan pengadilan atas

permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh)

hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Inilah yang

membedakan antara Pengadilan Niaga dan Peradilan umum dimana Hakim diberi

batasan waktu untuk menyelesaikan perkara. Putusan atas permohonan pernyataan

pailit diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Majelis hakim dalam

menjatuhkan putusan harus memuat Pasal tertentu dari peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan

dasar untuk mengadili; dan pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari

hakim anggota atau ketua majelis (dissenting opinion).

Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 8 ayat (7) UUK dan PKPU, putusan

(41)

dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum atau

putusan tersebut bersifat serta merta. UUK dan PKPU mewajibkan kurator untuk

melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan atau

membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan.

Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan

yang secara hierarkhi lebih tinggi. Semua kegiatan pengurusan dan pemberesan

oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak putusan kepailitan dijatuhkan

hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap dinyatakan sah oleh undang-undang.

Salinan putusan Pengadilan selanjutnya wajib disampaikan oleh juru sita dengan

surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan

pernyataan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah

tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan.

C. Upaya Hukum Terhadap Putusan Pailit

Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk

memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap

putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran

secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekilafan,

bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapat

diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim

(42)

mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya

hukum.34

Demikian pula terhadap putusan dari Pengadilan Niaga dalam perkara

kepailitan. Namun, perbedaan dari Pengadilan Niaga ialah hanya tersedia upaya

hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Pengadilan Niaga disebut sebagai pengadilan

tingkat pertama dan tidak ada tingkat kedua atau sering disebut sebagai tingkat

banding. Terhadap putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, tersedia upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali.

1. Kasasi

Kasasi berasal dari bahasa Perancis : Cassation, dengan kata kerja casser,

yang berarti membatalkan atau memecahkan putusan pengadilan, karena dianggap

mengandung kesalahan dalam penerapan hukum, yang tunduk pada kasasi

hanyalah kesalahan-kesalahan di dalam penerapan hukum saja.35

Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa salah satu tugas dan wewenang Mahkamah

Agung adalah memeriksa dan memutus permohonan kasasi. Pasal 30 ayat (1)

Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Mahkamah

Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan

pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:

a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

34

Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata, Class Action, Arbitrase dan Alternatif serta Mediasi (Bandung : PT. Grafitri Budi Utami, 2005), hlm 114-115.

35

(43)

c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang

bersangkutan.

Upaya hukum kasasi dalam kepailitan diatur dalam Pasal 11 sampai

dengan Pasal 13 UUK dan PKPU, prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut: 36

a. Pendaftaran kasasi

Dalam perkara kepailitan permohonan kasasi dapat diajukan oleh Debitur

dan Kreditur yang berkedudukan sebagai pihak pada persidangan tingkat

pertama maupun Kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada

persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas

permohonan pernyataan pailit. Permohonan kasasi dalam perkara kepalitan

tidak hanya terbatas pada putusan permohonan kepailitan tingkat pertama

saja. Permohonan kasasi juga dapat diajukan apabila rencana perdamaian

ditolak oleh Pengadilan Niaga atau dalam hal pencabutan kepailitan yang

menyebabkan kepailitan berakhir. Dalam hal demikian kreditur yang

menyetujui perdamaian serta debitur pailit dapat mengajukan kasasi ke

Mahkamah Agung. Pasal 11 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa

permohonan kasasi diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal

putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau, dengan mendaftarkan

kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan

pailit. Selanjutnya panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal

permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan

36

(44)

tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang

sama dengan tanggal penerimaan pendaftar.

b. Penyampaian memori kasasi

Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada panitera pengadilan memori

kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Paling lambat 2 (dua)

hari setelah permohonan kasasi didaftarkan, panitera wajib mengirimkan

permohonan kasasi dan memori kasasi kepada pihak termohon kasasi.

c. Pengajuan kontra memori kasasi

Terhadap kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi itu, termohon kasasi

dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera Pengadilan paling

lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori

kasasi. Panitera Pengadilan selanjutnya wajib menyampaikan kontra

memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah

kontra memori kasasi diterima.

d. Pegiriman berkas ke Mahkamah Agung

Setelah semua berkas kasasi dari pihak pemohon maupun termohon kasasi

lengkap, panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori

kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang

bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas)

hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Mahkamah Agung

selanjutnya akan mempelajari permohonan itu sekaligus menetapkan hari

sidang paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi

(45)

e. Sidang Pemeriksaan

Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20

(dua puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh

Mahkamah Agung. Pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan oleh

sebuah majelis hakim Mahkamah Agung yang khusus dibentuk untuk

memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup kewenangan

Pengadilan Niaga.

f. Putusan Kasasi

Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enam

puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah

Agung. Putusan kasasi tersebut wajib memuat secara lengkap

pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut dan harus

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Setelah putusan kasasi

diucapkan Panitera pada Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan

putusan kasasi kepada Panitera pada Pengadilan Niaga paling lambat 3

(tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan.

Salinan atas putusan kasasi tersebut selanjutnya wajib disampaikan kepada

pemohon kasasi, termohon kasasi, Kurator, dan Hakim Pengawas paling

lambat 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima.

2. Peninjauan Kembali

Kewenangan lain yang diberikan undang-undang kepada Mahkamah

Agung ialah memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali yang telah

(46)

luar biasa, namun sebenarnya lembaga ini bertentangan dengan asas kepastian

hukum. Prinsip asas kepastian hukum menentukan bahwa putusan hakim yang

sudah berkekuatan hukum tetap, tidak bisa diubah lagi. Asas kepastian hukum ini

disebut nebis in idem, artinya tidak boleh terjadi dua kali putusan terhadap satu

kasus yang sama antara dua pihak dalam perkara yang sama.

Undang-Undang memberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali

dengan segala persyaratan yang ketat. Persyaratan yang ketat tersebut

dimaksudkan untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas

kepastian hukum, karena itu peninjauan kembali berorientasi pada tuntutan

keadilan. Fungsi Mahkamah Agung dalam Peninjauan kembali adalah

mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mengandung

ketidakadilan yang disebabkan kesalahan dan kekhilafan hakim.37

Rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 memberikan

hak untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan pailit yang telah

berkekuatan hukum tetap. Walau demikian permohonan peninjauan kembali

hanya dapat dilakukan pada dua macam alasan saja, yang masing-masing secara

khusus telah dibatasi jangka waktu tertentu. Pasal 295 ayat (2) UUK dan PKPU

menentukan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan dengan alasan sebagai

berikut :38

a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan

yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum

37

Henry P. Panggabean, Op.Cit, hlm 110. 38

(47)

ditemukan. Bukti baru tersebut apabila diketahui pada tahap persidangan

sebelumnya akan menghasilkan putusan yang berbeda. Permohonan

peninjauan kembali dengan alasan ini diajukan dilakukan dalam jangka

waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal

putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan

hukum tetap.

b. Terdapat kekeliruan yang nyata pada putusan hakim sebelumnya atau

hakim telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum.

Permohonan peninjauan kembali atas dasar alasan ini, dilakukan dalam

jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan

yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.

Prosedur permohonan peninjauan kembali diatur tersendiri pada BAB IV,

Pasal 295 sampai dengan 298 UUK dan PKPU. Permohonan peninjauan kembali

disampaikan kepada Panitera Pengadilan. Panitera Pengadilan mendaftar

permohonan peninjauan kembali pada tanggal permohonan diajukan, dan kepada

pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani Panitera Pengadilan

dengan tanggal yang sama dengan tanggal permohonan didaftarkan. Panitera

Pengadilan menyampaikan permohonan peninjauan kembali kepada Panitera

Mahkamah Agung dalam jangka waktu 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan

didaftarkan. Pemohon peninjauan kembali wajib menyampaikan kepada Panitera

Pengadilan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan

peninjauan kembali dan untuk termohon salinan permohonan peninjauan kembali

Referensi

Dokumen terkait

Setiap buidaya tanaman yang dilakukan disamping dapat meningkatkan produktivitas, juga harus dapat menekan/ mencegah penurunan kualitas lingkungan (environmental

Penelitian ini bertujuan mengetahui peningkatan hasil belajar matematika pada materi pecahan siswa kelas V SDN Mintomulyo setelah diterapkannya pendekatan

The successful principals: have a strong vision and encourage the whole school; have high expectations of student achievement and staff performance; observe teachers in the

untuk merepresentasikan pola reproduksi, namun ketika digabungkan dengan hasil pengamatan histologi ternyata juga tidak cocok karena pada histologi gonad terjadi tahap

Segala kegiatan dalam proses pembelajaran didiskusika antara guru kelas (observer) dan peneliti. Dalam diskusi berisi tentang evaluasi penerapan model pembelajaran

cooperative learning tipe STAD dapat meningkatkan keaktifan dalam berdiskusi, keberanian dalam berpendapat, kreativitas dalam pembuatan produk, sehingga rata – rata post

Gambaran skala kepercayaan diri per sub indikator memiliki skor terbesar dari kategori Sangat Tinggi ialah pada sub indikator Keyakinan dengan skor 100% yang berarti

Maksud dari penlitian ini adalah untuk menggali, mencari serta memperoleh data dan informasi mengenai apa saja faktor – faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen