KREDITURNYA
S K R I P S I
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi
Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
KWENDI
100200288
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
KEWENANGAN DEBITUR PAILIT UNTUK MENGAJUKAN GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP KREDITURNYA
*) Kwendi
**) Ramli Siregar ***) Windha
Para Kreditur yang mengetahui bahwa debitur tidak mampu lagi membayar utang-utangnya akan berlomba untuk terlebih dahulu mendapatkan pembayaran piutangnya dengan cara memaksa debitur untuk menyerahkan barang-barangnya, debitur melakukan perbuatan yang hanya menguntungkan satu orang atau beberapa orang krediturnya saja dan yang lainnya dirugikan. Tindakan kreditur atau perlakuan debitur akan memberikan ketidakpastian bagi kreditur lain yang beritikad baik yang tidak ikut mengambil barang debitur sebagai pelunasan piutangnya, sehingga piutang kreditur yang beritikad baik tidak terjamin pelunasannya. Landasan gugatannya dapat dibuktikan apakah perbuatan pelaku benar telah merugikan pihak lain.
Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana akibat putusan pailit, bagaimana kewenangan debitur pailit untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya, dan bagaimanapengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh kurator terkait adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur pailit.
Metode penelitian menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan analisis data menggunakan pendekatan dedukatif dan induktif kualitatif.
Akibat putusan pailit adalah dijatuhkannya putusan kepailitan, debitur pailit kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Segala perbuatan debitor yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara sadar dilakukan debitor untuk merugikan kreditor, maka dapat dibatalkan oleh kurator atau kreditor. Kewenangan debitur pailit bertindak sepenuhnya, akan tetapi tindakan-tindakan tidak dipengaruhi harta kekayaan yang telah disita. Debitur kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya tetapi debitur tidak kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum sepanjang perbuatan hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukum atas harta kekayaannya yang telah dikuasai kurator. Apabila debitur melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta pailit, maka perbuatan tersebut tidak mengikat harta pailit kecuali apabila perbuatan hukum tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. Terkait adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur pailit adalah selama proses kepailitan yang seluruh aset perusahaan sudah dalam budel pailit yang sedang dalam proses pengurusan dan pemberesan terhadap para kreditur.
Kata kunci: kewenangan debitur pailit, gugatan perbuatan melawan hukum *) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis
bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik dan benar.
Penulisan Skripsi yang berjudul: Kewenangan Debitur Pailit Untuk
Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Krediturnya
adalah guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH)
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karenanya, Penulis sangat mengharapkan adanya saran dan
kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik
tersebut, maka Penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan
berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.
Secara khusus, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua orang tua Penulis yang telah membesarkan, mendidik, dan
mendukung Penulis hingga bisa menyelesaikan pendidikan formal Strata Satu
(S1) ini. Terima kasih yang besar juga Penulis ucapkan kepada kakak Penulis
yang selama ini banyak mendukung dan membantu Penulis dalam proses
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K).,
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah mengelola dan
menyelenggarakan universitas sesuai dengan visi dan misi USU.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memimpin
penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta
membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara (USU).
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak
membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat.
4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM, selaku Pembantu Dekan
II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak
membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang
administrasi umum.
5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu
Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan
kesejahteraan mahasiswa.
6. Ibu Windha, S. H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan
saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi
ini.
7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Departemen
Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah
diberikan dalam perkuliahan.
8. Bapak Ramli Siregar, S.H., M. Hum., Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen
Pembimbing I. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan
dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi
ini.
9. Ibu Windha, S. H., M. Hum., selaku Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen
Pembimbing II. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan,
kritikan, saran, bimbingan, dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat
hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
10. Bapak Edy Yunara, S.H., M. Hum., selaku Dosen Wali. Ucapan terima kasih
sebesar-besarnya atas segala bantuan sejak baru menjadi mahasiswa sampai
sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.
11. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman Grup D Stambuk 2010 Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang juga telah bersama dengan Penulis selama hampir 4 (empat) tahun
13. Serta seluruh teman Penulis dari berbagai grup (kelas) dan berbagai stambuk
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah bersama dengan
Penulis selama ini.
Medan, 28 Maret 2014 Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ... 7
F. Metode Penelitian ... 13
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Penyebab Terjadinya Kepailitan ... 18
B. Prosedur Pernyataan Pailit ... 19
C. Upaya Hukum Terhadap Putusan Pailit ... 22
D. Akibat Hukum Terhadap Putusan Pailit ... 28
BAB III KEWENANGAN DEBITUR PAILIT UNTUK
A. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum ... 35
B. Bentuk-Bentuk Perbuatan Melawan Hukum ... 39
C. Kewenangan Debitur Pailit Untuk Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Krediturnya ... 42
D. Tanggung Jawab Kurator Terkait Adanya Pengajuan Gugatan Melawan Hukum Oleh Debitur Pailit ... 49
BAB IV PENGURUSAN DAN PEMBERESAN YANG
DILAKUKAN OLEH KURATOR TERKAIT ADANYA PENGAJUAN GUGATAN MELAWAN HUKUM OLEH DEBITUR PAILIT
A. Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit ... 56
B. Tugas Dan Wewenang Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit ... 61
C. Pengurusan Dan Pemberesan Yang Dilakukan Oleh Kurator Terkait Adanya Pengajuan Gugatan Melawan Hukum Oleh Debitur Pailit ... 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 85
B. Saran ... 86
ABSTRAK
KEWENANGAN DEBITUR PAILIT UNTUK MENGAJUKAN GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP KREDITURNYA
*) Kwendi
**) Ramli Siregar ***) Windha
Para Kreditur yang mengetahui bahwa debitur tidak mampu lagi membayar utang-utangnya akan berlomba untuk terlebih dahulu mendapatkan pembayaran piutangnya dengan cara memaksa debitur untuk menyerahkan barang-barangnya, debitur melakukan perbuatan yang hanya menguntungkan satu orang atau beberapa orang krediturnya saja dan yang lainnya dirugikan. Tindakan kreditur atau perlakuan debitur akan memberikan ketidakpastian bagi kreditur lain yang beritikad baik yang tidak ikut mengambil barang debitur sebagai pelunasan piutangnya, sehingga piutang kreditur yang beritikad baik tidak terjamin pelunasannya. Landasan gugatannya dapat dibuktikan apakah perbuatan pelaku benar telah merugikan pihak lain.
Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana akibat putusan pailit, bagaimana kewenangan debitur pailit untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya, dan bagaimanapengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh kurator terkait adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur pailit.
Metode penelitian menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan analisis data menggunakan pendekatan dedukatif dan induktif kualitatif.
Akibat putusan pailit adalah dijatuhkannya putusan kepailitan, debitur pailit kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Segala perbuatan debitor yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara sadar dilakukan debitor untuk merugikan kreditor, maka dapat dibatalkan oleh kurator atau kreditor. Kewenangan debitur pailit bertindak sepenuhnya, akan tetapi tindakan-tindakan tidak dipengaruhi harta kekayaan yang telah disita. Debitur kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya tetapi debitur tidak kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum sepanjang perbuatan hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukum atas harta kekayaannya yang telah dikuasai kurator. Apabila debitur melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta pailit, maka perbuatan tersebut tidak mengikat harta pailit kecuali apabila perbuatan hukum tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. Terkait adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur pailit adalah selama proses kepailitan yang seluruh aset perusahaan sudah dalam budel pailit yang sedang dalam proses pengurusan dan pemberesan terhadap para kreditur.
Kata kunci: kewenangan debitur pailit, gugatan perbuatan melawan hukum *) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepailitan dapat terjadi dengan makin pesatnya perkembangan
perekonomian dan perdagangan sehingga muncul berbagai macam permasalahan
utang piutang yang timbul dalam rangka meningkatkan modal ataupun kinerja
perusahaan. Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat
melakukan kewajibannya membayar utang-utangnya kepada pihak lain sehingga
mengakibatkan terjadi penyitaan atas harta (aset) perusahaan untuk melunasi
utang tersebut setelah adanya gugatan oleh pihak yang berpiutang (kreditur) ke
pengadilan dalam hal ini sering disebut dengan terjadi pailit terhadap perusahaan
(debitur).
Proses kepailitan dimulai dengan adanya suatu permohonan pailit terhadap
debitur yang memenuhi syarat, sesuai Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(selanjutnya disebut UUK dan PKPU) yang menyatakan bahwa ”Debitur yang
mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih dari krediturnya.”
Terpenuhinya syarat yang ditentukan di atas, maka permohonan pailit atas
Niaga, yang merupakan badan peradilan yang berwenang untuk memproses,
memeriksa dan mengadili perkara kepailitan. Apabila permohonan pailit tersebut
dikabulkan maka Pengadilan Niaga akan mengeluarkan putusan yang menyatakan
debitur tersebut dalam keadaan pailit.
Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat
pernyataan pailit itu dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama
kepailitan. Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak
untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan,
terhitung sejak kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak
tanggal kepailitan itu. Pasal 25 UUK dan PKPU menegaskan bahwa semua
perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak dapat
dibayar dari harta pailit kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan
keuntungan bagi harta kekayaan itu. Oleh karenanya gugatan-gugatan hukum
yang bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaan debitur pailit harus
diajukan terhadap atau oleh kurator. Begitu pula segala gugatan hukum dengan
tujuan untuk memenuhi perikatan dari harta pailit selama dalam kepailitan,
walaupun diajukan kepada debitur pailit sendiri, hanya dapat diajukan dengan
laporan atau pencocokannya.
Akibat hukum lain yang juga amat penting dari pernyataan pailit adalah
seperti yang ditegaskan dalam Pasal 41 UUK dan PKPUyaitu bahwa untuk
kepentingan harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan
hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditur,
hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan
hukum tersebut dilakukan debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu
dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum
tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur, kecuali perbuatan hukum
yang dilakukan debitur wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dan atau karena
undang-undang.
Akibat hukum lain adalah bila sudah ada putusan pernyataan pailit, maka
akan berakibat bahwa segala pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari
kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika
dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga
dengan menyandera debitur. Bahkan penyitaan yang telah dilakukan menjadi
hapus dan jika diperlukan hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya
dan debitur yang sedang dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah
putusan pernyataan pailit diucapkan (Pasal 31 UUK dan PKPU). Adanya hak
retensi yang diatur dalam Pasal 61 UUK dan PKPU yaitu hak kreditur untuk
menahan barang-barang kepunyaan debitur hingga bayarnya suatu utang tidak
kehilangan hak untuk menahan barang dengan diucapkannya pernyataan pailit.1
Perbuatan melawan hukum titik tolak dasar gugatannya adalah
kepentingan pihak tertentu yang sirugikan oleh perbuatan pihak lainnya, meskipun
diantara para pihak tidak terdapat suatu hubungan hukum keperdataaan yang
bersifat kontraktual (dalam arti kausalitas). Dalam hal ini landasan gugatannya
cukup dibuktikan apakah perbuatan pelaku benar telah merugikan pihak lain.
1
Dengan kata lain, pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum semata-mata
hanya terorientasi pada akibat yang ditimbulkan yang mengakibatkan pihak lain
mengalami kerugian.
Kepailitan berakibat hilangnya segala hak debitur untuk mengurus segala
harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit (boedel pailit). Perlu
diketahui bahwasanya putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitur
kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen
handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau
kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja.
Kewenangan debitur itu selanjutnya diambil alih oleh kurator. Ketentuan tersebut
berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan pailit.
Bila tuntutan-tuntutan hukum tersebut diajukan atau dilanjutkan oleh atau
terhadap debitur pailit dan bukan oleh kurator, maka jika tuntutan-tuntutan
tersebut mengakibatkan penghukuman kepada debitur pailit, penghukuman itu
tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap harta kekayaan yang telah dinyatakan
pailit tersebut.2 Bila gugatan terhadap debitur pailit yang menyebabkan
penghukuman terhadap debitur pailit, maka penghukuman tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum terhadap harta pailit. Disamping itu, setiap gugatan
hukum terhadap debitur pailit yang bertujuan memenuhi perikatan dari harta
pailit, hanya dapat diajukan dengan melaporkannya untuk dicocokannya
piutangnya.3
2
Gunawan Widjaja, Tanggungjawab Direksi atas Kepailitan Perseroan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 101.
3
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan mengenai kewenangan debitur
pailit untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya
perlu untuk diteliti guna mengetahui hal-hal yang terkait dengan itu.
B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana akibat putusan pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2. Bagaimanakah kewenangan debitur pailit untuk mengajukan gugatan perbuatan
melawan hukum terhadap krediturnya?
3. Bagaimanakah pengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh kurator terkait
adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur pailit?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai,
yaitu:
1. Tujuan penulisan
Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas
maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui akibat putusan pailit menurut Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
b. Untuk mengetahui kewenangan debitur pailit untuk mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya.
c. Untuk mengetahui pengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh
kurator terkait adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur
pailit.
2. Manfaat penulisan
a. Manfaat teoritis
1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kegiatan penelitian,
khususnya masalah kepailitan.
2) Untuk membandingkan kebenaran pengetahuan yang diperoleh di
bangku kuliah dengan pelaksanaan di lapangan sehingga mengetahui
perbedaan dan persamaan yang jelas antara teori dan praktek tentang
kepailitan, kurator dan peradilannya.
b. Manfaat praktis
1) Bagi penulis, selain untuk memenuhi syarat penyelesaian strata satu
(S1), juga untuk memperluas wawasan mengenai hukum kepailitan
secara umum, khususnya mengenai kewenangan debitur pailit untuk
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya.
2) Bagi masyarakat secara umum dapat memberikan masukan, khususnya
bagi para usahawan yang lebih berpeluang pada hukum kepailitan dalam
menyelesaikan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya.
3) Bagi kalangan akademis, yaitu untuk memberikan sumbangan
berprofesi sebagai kurator ataupun untuk sekedar mempelajari
masalah-masalah hukum di bidang kepailitan.
4) Bagi praktisi hukum, dapat memberikan sumbangan pemikiran maupun
sebagai tambahan referensi dalam mencari penyelesaian terhadap
permasalahan yang dihadapi dalam kewenangan debitur untuk
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat
Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai
“Kewenangan Debitur Pailit Untuk Mengajukan Gugatan Perbuatan
Melawan Hukum Terhadap Krediturnya”. Oleh karena itu, penulisan skripsi
ini merupakan ide asli penulis, adapun tambahan ataupun kutipan dalam penulisan
ini bersifat menambah penguraian penulis dalam skripsi ini. Dengan demikian
keaslian penulisan skripsi ini adalah ide penulis dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah dan akademik.
E. Tinjauan Pustaka
Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis,
Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan
atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet
Belanda dipergunakan istilah faillite yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai
kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to
fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure. Dinegara-negara yang
berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah
“bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap perusahaan-perusahaan debitur yang
berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan
“insolvency”.4
Di dalam praktik dunia bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Selama
masih mampu membayar, berutang tidak merupakan hal yang salah. Utang baru
menjadi masalah jika debitur tidak mampu lagi membayar utang tersebut. Istilah
kepailitan yang digunakan di Indonesia sekarang ini merupakan terjemahan dari
failissement (Belanda). Di dalam sistem hukum Inggris atau Amerika Serikat dan
beberapa negara yang mengikuti tradisi common law dikenal dengan istilah
bankruptcy. Kepailitan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
peristiwa pailit. Pailit sendiri adalah berhenti membayar (utang-utangnya).5
Pailit adalah suatu usaha bersama untuk mendapat pembayaran bagi semua
kreditur secara adil dan tertib, agar semua kreditur mendapat pembayaran menurut
imbangan besar kecilnya piutang masing-masing dengan tidak berebutan.6
Pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari
seorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan
4
Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi kedua, Cetakan pertama (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm 23.
5
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, Cetakan ke enam (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm 263.
6
tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang
dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak
ketiga (di luar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan.
Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk
pemenuhan azas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang
debitur. Tanpa adanya permohonan tersebut ke pengadilan, maka pihak ketiga
yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari
debitur. keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan
pailit oleh Hakim Pengadilan, baik itu yang merupakan putusan yang
mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan.7
Kepailitan berasal dari kata dasar pailit. Pailit adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan peristiwa keadaan berhenti membayar utang-utang debitur
yang telah jatuh tempo. Si pailit adalah debitur yang mempunyai dua orang atau
lebih kreditur yang tidak mampu membayar satu dan atau lebih uangnya yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih.8
Arti kepailitan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa
pailit. Pailit adalah keadaan berhenti membayar (utang-utangnya). Berhenti
membayar di sini bukan berarti bahwa si debitur berhenti sama sekali untuk
membayar utang-utangnya, melainkan debitur tersebut pada waktu diajukan
permohonan pailit, berada dalam keadaan tidak membayar utang tersebut.9
7
Gunawan Widjaja, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, Cetakan pertama, (Jakarta:Penerbit Forum Sahabat, 2009), hlm 15
8
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Edisi revisi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 229.
9
Secara umum kepailitan sering diartikan sebagai suatu sitaan umum atas
seluruh karyawan kekayaan debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur
dengan para krediturnya atau agar kekayaan debitur dapat dibagi-bagikan secara
adil di antara para krediturnya. Definisi yang menjadi tujuan utama dari kepailitan
adalah agar harta kekayaan debitur yang masih tertinggal oleh kurator dapat
dibagi-bagikan kepada para kreditur dengan memperhatikan hak mereka.10
Adapun tujuan pernyataan pailit sebenarnya adalah untuk mendapatkan
suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta benda
disita/dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang mengutangkannya
(krediturnya). Prinsip kepailitan itu adalah suatu usaha bersama untuk
mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil.11
Pihak debitur pailit adalah pihak yang memohon/dimohonkan pailit ke
pengadilan yang berwenang. Yang dapat menjadi debitur pailit adalah debitur
yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.12
Putusan pailit membawa akibat hukum terhadap seluruh harta kekayaan
debitur. Kekayaan tersebut akan dikuasai oleh kurator. Kuratorlah yang akan
mengurus dan membereskan seluruh harta pailit. Akibat dari putusan pailit
membawa konsekwensi bahwa gugatan-gugatan hukum yang bersumber pada hak
dan kewajiban harta kekayaan debitur pailit harus diajukan oleh atau terhadap
10
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dan Ekonomi, Edisi Revisi (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hlm 144.
11
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan :Teori dan Contoh kasus, Cetakan ketujuh (Jakarta: Penerbit Kencana, 2014), hlm 121.
12
kurator. Bila tuntuan diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit,
maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan penghukuman debitur pailit, maka
penghukuman itu tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap harta pailit.13
Gugatan dapat diajukan secara tertulis dan dapat diajukan secara lisan.
Namun, Pasal 144 ayat (2) RBg menentukan bahwa penerima kuasa tidak
diperkenankan untuk mengajukan gugatan secara lisan. Dengan demikian,
pengajuan gugatan secara lisan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
mengurus sendiri perkaranya, bukan juga penerima kuasa karena penerima kuasa
dianggap sudah mampu membuat gugatan secara tertulis, sehingga pengadilan
tidak perlu lagi melakukan pencatatan-pencatatan. Sebab, apabila gugatan
diajukan secara lisan, ketua pengadilan negeri yang bersangkutan akan membuat
catatan atau menyuruh membuat catatan kepada panitera/penitera pengganti
tentang gugatan yang diajukan secara lisan tersebut.14
Suatu perbuatan merupakan perbuatan hukum kalau perbuatan itu oleh
hukum diberi akibat (mempunyai akibat hukum) dan akibat itu dikehendaki oleh
yang bertindak. Apabila akibat hukum sesuatu perbuatan tidak dikehendaki oleh
yang melakukannya atau salah satu dari yang melakukannya, maka perbuatan itu
bukanlah suatu perbuatan hukum. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa
kehendak dari yang melakukan perbuatan itu menjadi unsur pokok dari perbuatan
tersebut.15
13
Sunarmi, Op.Cit, hlm 97. 14
Riduan Syahrani, Op.Cit, hlm 51. 15
Perbuatan melawan hukum adalah melanggar onrechtmatige daad yang
diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(selanjunta disebut
KUH Perdata). Pasal tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut: “tiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain
mewajibkan orang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian tersebut.”
Dari sudut teori perundang-undangan, cara perumusan Pasal 1365 KUH
Perdata ini merupakan norma hukum umum konkrit. Hal itu berarti bahwa norma
hukum tersebut ditentukan untuk umum, namun perbuatan yang dilakukan adalah
sesuatu yang sudah tertentu.16
Pengertian perbuatan melawan hukum dapat dipahami secara klasik
dengan mengetahui pengertian perbuatan hukum dalam “perbuatan melawan
hukum” yaitu:
1. Nonfeasance: apabila seseorang tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan
hukum
2. Misfeasance: apabila seseorang melakukan sesuatu yang wajib dilakukan,
namun apa yang dilakukan tersebut adalah salah
3. Malfeasance: apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan, padahal yang
bersangkutan tidak berhak untuk melakukannya.17
Selain itu, perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan
yang bertentangan dengan undang-undang, melainkan juga berbuat atau tidak
16
V. Harlen Sinaga, Batas-Batas Tanggung Jawab Perdata Direksi, Cetakan pertama (Jakarta: Adinatha Mulia, 2012), hlm175.
17
berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain atau kewajiban orang untuk
berbuat atau tidak berbuat, bertentangan dilakukan dalam lalu lintas
kemasyarakatan. Dengan demikian, cakupan perbuatan melawan hukum terakhir
ini lebih luas dan lebih lengkap daripada perbuatan melawan hukum di Inggris
dan Prancis.18
Seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang
menimbulkan kerugian pada orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat aktif
dari istilah melawan tersebut. Sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja tidak
melakukan sesuatu atau diam saja padahal mengetahui bahwa sesungguhnya harus
melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan lain
perkataan bersikap pasif saja, bahkan tidak mau melakukan kerugian pada orang
lain, maka telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya. Inilah sifat
pasif daripada istilah melawan.19
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten dengan
mengadakan analisa dan konstruksi.20
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang
digunakan antara lain:
18
V. Harlen Sinaga, Op.Cit, hlm 178. 19
Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, 1992), hlm. 13.
20
1. Spesifikasi penelitian
Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum
dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum
dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa
dikaitkan dengan masyarakat.21 Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan
hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan penulisan skripsi penulis.
Penelitian ini bersifat deskriptif. Maksud dari penelitian ini adalah untuk
memperolah gambaran yang lengkap dan secara jelas tentang permasalahan yang
terdapat pada masyarakat yang digunakan dapat dikaitan dengan
ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Adapun metode
pendekatan penelitian yang dipakai adalah pendekatan yuridis.
2. Data penelitian
Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data
sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.22
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan di bidang kepailitan, antara lain:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
21
Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm 54.
22
b. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum berupa
buku-buku, pendapat-pendapat sarjana, yang berhubungan dengan pembahasan skripsi
ini.
Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer
dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
3. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library
reaseacrh) yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan
membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan
pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan
perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan
penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan
secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari
teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,
pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian.23
4. Analisis data
Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan
dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan
menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya
melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar
sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan
bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna
mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan
saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang
dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.24
G. Sistematika penulisan
Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa
sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang
dapat digambarkan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG
NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
24
Dalam bab ini berisi tentang Penyebab Terjadinya Kepailitan,
Prosedur Pernyataan Pailit, Upaya Hukum Terhadap Putusan
Pailit dan Akibat Hukum Terhadap Putusan Pailit.
BAB III KEWENANGAN DEBITUR PAILIT UNTUK MENGAJUKAN
GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP
KREDITURNYA
Bab ini berisikan tentang Unsur – Unsur Perbuatan Melawan
Hukum, Kewenangan Debitur Pailit Dalam Kepailitan, Bentuk –
Bentuk Perbuatan Melawan Hukum, Tanggung Jawab Kurator
Terkait Adanya Pengajuan Gugatan Melawan Hukum Oleh
Debitur Pailit.
BAB IV PENGURUSAN DAN PEMBERESAN YANG DILAKUKAN
OLEH KURATOR TERKAIT ADANYA PENGAJUAN
GUGATAN MELAWAN HUKUM OLEH DEBITUR PAILIT
Bab ini berisi tentang Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit,
Tugas Dan Wewenang Kurator Dalam Pengurusan Dan
Pemberesan Harta Pailit dan Pengurusan Dan Pemberesan Yang
Dilakukan Oleh Kurator Terkait Adanya Pengajuan Gugatan
Melawan Hukum Oleh Debitur Pailit.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini,
dimana dalam bab V ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari
BAB II
AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
A. Penyebab Terjadinya Kepailitan
Pailit dapat diartikan debitur dalam keadaan berhenti membayar utang
karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata
Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud
memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan
demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitur
yang tidak dapat membayar utangnya kepada kreditur, karena marah sang kreditur
mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat
debitur. Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUK dan
PKPU adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Kartono sendiri
memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap
semua kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Ataupun masalah
dalam perusaahan yang mengalami pailit dikarenakan kurangnya kerjasama dalam
berorganisasi dalam perusahaan itu sendiri yang sering orang menyebutnya
Organisasi Pailit.25
25
Perusahaan Usaha Mikro Kecil Menengah yang Berkembang,
Kepailitan dapat terjadi karena makin pesatnya perkembangan
perekonomian dan perdagangan dimana muncul berbagai macam permasalahan
utang piutang yang timbul dalam masyarakat.26 Kepailitan ini terjadi karena
masalah utang piutang antara debitur dan kreditur. Debitur yang tidak
melaksanakan kewajibannya untuk membayar utang kepada kreditur, sedikitnya
dua orang kreditur dan utangnya telah jatuh tempo, maka debitur tersebut dapat di
pailitkan. Pailit adalah suatu keadaanyang telah debitur berhenti membayar utang,
menurut Man S. Sastrawidjaja palit adalah “keadaan berhenti membayar utang
dapat terjadi karena tidak mampu membayar dan tidak mau membayar.27
Masalah kepailitan tentunya tidak pernah lepas dengan masalah
utang-piutang. Dikatakan perusahaan pailit apabila perusahaan tidak mampu membayar
utangnya terhadap perusahaan (kreditur) yang telah memberikan pinjaman kepada
perusahaan pailit. Perusahaan yang pailit kita sebut sebagai debitur. Tentunya ada
syarat-syarat khusus dalam mengajukan kasus kepailitan di dalam suatu
perusahaan.28
Kepailitan dalam perusahaan tidak mudah untuk ditetukan secara pasti.
Sejauh ini terdapat dugaan bahwa sumber kegagalan disebabkan oleh
ketidakmampuan manajemen perusahaan. Ketidakmampuan manajemen dapat
diartikan dalam berbagai pengertian. Sebagian orang menafsirkan sebagai
pengalaman yang kurang dalam jenis usaha yang dikelola atau kegagalan
26
Kepailitan, https://agungfaris.wordpress.com/2012/10/23/kepailitan/ (diakses tgl 6 September 2014).
27
Man S Sastrawidjaja. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung : Penerbit Alumni, 2010), hlm 2.
28
Perusahaan Yang Pailit dan Penyebabnya,
https://dewaruci2.wordpress.com/2012/01/07/perusahaan-yang-pailit-dan-penyebabnya-utang-manajemen dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi dan industri yang tidak
menguntungkan.29 Secara garis besar faktor-faktor penyebab terjadinya
kebangkrutan dibagi menjadi tiga, yaitu:30
1. Sistem perekonomian
Dalam sistem perekonomian di mana roda perekonomian lebih banyak
dikendalikan oleh persaingan bebas, maka dunia usaha terbagi menjadi dua
golongan, yaitu perusahaan tradisional dan perusahaan yang memanfaatkan
teknologi. Ketidakmampuan bersaing merupakan faktor penyebab
kebangkrutan, sehingga efisiensi manajemen sangat diperlukan dan sangat
berperan untuk berkompetisi dengan perusahaan pesaing.
2. Faktor eksternal perusahaan
Kesulitan dan kegagalan yang mungkin dapat menyebabkan
kebangkrutan suatu perusahaan kadang-kadang berada di luar jangkauan
manajemen perusahaan. Berbagai faktor tersebut antara lain:
a. Persaingan bisnis yang ketat
b. Berkurangnya permintaan terhadap produk atau jasa yang dihasilkan
c. Turunnya harga jual terus-menerus
d. Kecelakaan atau bencana alam yang menimpa perusahaan.
3. Faktor internal perusahaan
Faktor internal yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan dapat
dicegah melalui berbagai tindakan dalam perusahaan itu sendiri. Faktor-faktor
29
Adi Nugroho Setiarso, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dalam Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kapilitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran), Jurnal tidak diterbitkan, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2012), hlm 4.
30
internal ini biasanya merupakan hasil dari keputusan dan kebijaksanaan yang
tidak tepat di masa lalu dan kegagalan manajemen untuk berbuat sesuatu pada saat
yang diperlukan. Faktor-faktor yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan
secara internal, yaitu:
a. Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada debitur atau pelanggan
b. Manajemen yang tidak efisien
c. Penyalahgunaan wewenang dan kecurangan-kecurangan.
Adnan dan Kurniasih menyatakan faktor-faktor penyebab kebangkrutan
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Faktor umum
a. Sektor ekonomi
Faktor-faktor kebangkrutan dari sektor ekonomi adalah gejala inflasi dan
deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan keuangan, dan suku bunga.
b. Sektor sosial
Faktor sosial yang sangat berpengaruh dalam perubahan gaya hidup
masyarakat yang mempengaruhi produk dan jasa yang dihasilkan oleh
perusahaan dan faktor lain yang juga berpengaruh adalah kerusuhan dan
kekacauan yang terjadi di masyarakat.
c. Sektor teknologi
Penggunaan teknologi informasi juga menyebabkan biaya yang
ditanggung perusahaan menjadi membengkak terutama untuk
teknologi informasi tersebut kurang terencana oleh pihak manajemen,
adanya sistemnya yang tidak terpadu dan para pengguna tidak profesional.
d. Sektor pemerintah
Kebijakan pemerintah juga dapat menjadi penyebab kepailitan, seperti
perubahan kebijakan subsidi pada perusahaan dan industri, perubahan
pengenaan tarif ekspor dan impor barang, dan kebijakan undang-undang
baru bagi perbankan atau tenaga kerja.
2. Faktor eksternal perusahaan
a. Sektor pelanggan
Perusahaan harus bisa mengidentifikasi sifat konsumen karena berguna
untuk menghindari kehilangan konsumen, juga untuk menciptakan
peluang-peluang menemukan konsumen baru dan menghindari menurunnya
hasil penjualan dan mencegah konsumen berpaling ke pesaing.
b. Sektor pemasok
Perusahaan pemasok harus tetap bekerjasama dengan baik karena kekuatan
pemasok untuk menaikkan harga dan mengurangi keuntungan pembelinya
tergantung seberapa jauh pemasok berhubungan dengan pedagang bebas.
c. Sektor pesaing
Perusahaan harus kompetitif karena jika pesaing lebih diterima masyarakat,
perusahaan tersebut akan kehilangan konsumen dan mengurangi
3. Faktor internal perusahaan
Faktor-faktor internal biasanya merupakan hasil dari keputusan dan kebijakan
yang tidak tepat di masa lalu serta kegagalan manajemen untuk berbuat
sesuatu pada saat yang diperlukan. Faktor-faktor yang menyebabkan
kebangkrutan secara internal yaitu:
a. Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada debitur atau pelanggan.
Kebangkrutan bisa terjadi karena terlalu besarnya jumlah kredit yang
diberikan kepada para debitur atau pelanggan yang pada akhirnya tidak
bisa dibayar oleh para pelanggan pada waktunya.
b. Manajemen yang tidak efisien
Banyaknya perusahaan gagal untuk mencapai tujuannya karena kurang
adanya kemampuan, ketrampilan, pengalaman, sikap adaptif dan inisiatif
dari manajemen. Ketidakefisienan manajemen tercermin pada
ketidakmampuan manajemen dalam menghadapi situasi yang terjadi
diantaranya:
1) Hasil penjualan yang tidak memadai
2) Kesalahan dalam penetapan harga jual
3) Struktur biaya yang tidak efisien
4) Tingkat investasi dalam aset tetap dan persediaan yang melampaui batas
5) Kekurangan modal kerja
6) Ketidakseimbangan dalam struktur permodalan
7) Sistem dan prosedur akuntansi kurang memadai
c. Penyalahgunaan wewenang banyak dilakukan oleh karyawan maupun manajer
puncak, hal ini akan sangat merugikan dan menimbulkan dampak pada kinerja
perusahaan.
B. Prosedur Pernyataan Pailit
Esensi kepailitan adalah debitur telah berhenti dan tidak mampu lagi
membayar utang utangnya. Artinya, debitur tidak melaksanakan kewajiban
membayar utang utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (due and
payable), lalu oleh pengadilan, debitur dinyatakan pailit. Seluruh harta debitur
palit berada dalam sitaan umum untuk dijual oleh kurator. Hasil penjualan itu
dibayarkan kepada krediturnya secara proposional.31
Prosedur permohonan pailit terdiri atas:
1. Administratif, menyangkut kelengkapan berkas permohonan pailit sebelum
berkas diterima dan diberi nomor oleh kepaniteraan pengadilan niaga.
2. Substantif, yang wajib dipenuhi dan dibuktikan dipersidangkan yaitu:
a. Ada utang
b. Utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
c. Ada dua atau lebih kreditur dan
d. Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
Prosedur substantif diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas
31
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan”.
Prosedur tersebut di atas bersifat kumulatif. Artinya seluruh prosedur itu
harus dapat dipenuhi dan dibuktikan oleh pemohon pailit di depan Majelis Hakim.
Apabila salah satu prosedur tidak dapat dibuktikan, maka permohonan ditolak dan
debitur tidak jadi pailit.32
Kerangka waktu prosedur permohonan pernyataan pailit secara terperinci
dijabarkan Pasal 8 UUK dan PKPU, yaitu:33
1. Pengadilan
a. Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit
diajukan oleh kurator, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar
Modal atau Menteri Keuangan.
b. Dapat memanggil kreditur, dalam permohonan pernyataan pailit yang
diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk
dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan
PKPUtelah terpenuhi.
2. Pemanggilan terhadap debitur dilakukan oleh jurusita dengan surat kilat
tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama
diselenggarakan
3. Pemanggilan adalah sah dan dianggap telah diterima oleh debitur, jika
dilakukan oleh jurusita sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2)
32
4. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa prosedur untuk dinyatakan
pailit telah terpenuhi.
5. Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus ditetapkan dalam jangka
waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan
pernyataan pailit didaftarkan.
6. Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5) wajib memuat pula:
a. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili
dan
b. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau
ketua Majelis.
7. Putusan atas permohonan pernyataan pailit yang memuat secara lengkap
pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun
terhadap putusan itu diajukan suatu upaya hukum.
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU membentuk suatu peradilan khusus
yang berwenang menangani perkara kepailitan, yaitu Pengadilan Niaga.
Kedudukan Pengadilan Niaga berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pembentukan peradilan khusus ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah
pailit diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UUK dan PKPU. Prosedurnya
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pendaftaran permohonan kepailitan
Permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan atas permintaan
seorang atau lebih para subjek pemohon yang berwenang sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 UUK dan PKPU. Permohonan ini ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan
hukum debitur.
Setelah menerima pendafaran tersebut panitera pengadilan kemudian
mendaftarkan permohonan pernyataan kepailitan pada tanggal permohonan dan
kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Hal yang
perlu diingat oleh pemohon ialah bahwa permohonan pernyataan pailit yang
diajukan sendiri oleh kreditur ataupun debitur sendiri wajib memakai advokat
yang memiliki izin praktik beracara. Namun, apabila permohonan pernyataan
pailit diajukan oleh Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri
Keuangan, tidak diperlukan advokat. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan
ketentuan tersebut adalah bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana
memerlukan pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak
yang bersengketa dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki
kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan wajar.
Berkas permohonan yang diterima oleh panitera muda perdata dapat
dibuatkan tanda terima sementara, berupa formulir yang diisi nomor permohonan,
tanggal penyerahan permohonan, nama penasehat hukum yang menyerahkan,
nama pemohon, tanggal kembali ke pengadilan, dalam hal berkas perkara belum
selesai diteliti. Pemeriksaan persyaratan serta kelengkapan permohonan dilakukan
dengan cara memberikan tanda pada formulir (check-list) sehingga apabila ada
kekurangan langsung dapat terlihat. Berkas permohonan yang belum lengkap
dikembalikan pada penasehat hukum, dengan dijelaskan supaya melengkapi
surat-surat sesuai dengan kekurangan yang tercantum dalam formulir kelengkapan
berkas permohonan (check-list).
Biaya perkara di pengadilan niaga besarnya ditentukan sesuai dengan
Surat Keputusan Ketua Pengadilan Niaga. Panjar biaya perkara dibayar kepada
kasir; Kasir setelah menerima pembayaran menandatangani, membubuhkan cap
stempel lunas pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan sekaligus
mencantumkan nomor perkara baik pada Surat Kuasa Uuntuk Membayar
maupun pada lembar pertama surat permohonan; Setelah proses pembayaran
panjar biaya perkara selesai, petugas mencatat data–data dan memberi nomor
perkara. Cara menentukan nomor perkara didasarkan pada tata urutan
penerimaan panjar biaya perkara. Untuk menentukan nomor perkara kasasi dan
perkara Peninjauankembali, digunakan nomor perkara awal (nomor pendaftaran
pada saat diajukan pada Pengadilan Niaga); Panitera selanjutnya paling lambat 2
permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 6
ayat (4) UUK dan PKPU.
3. Penetapan hari sidang
Berdasarkan Pasal 6 ayat (5) UUK dan PKPU, Pengadilan paling lambat 3
(tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan wajib
mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.
4. Sidang pemeriksaan
Sidang pertama pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit
diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah
tanggal permohonan didaftarkan. Menurut Pasal 6 ayat (7) UUK dan PKPU,
Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang tersebut sampai dengan paling
lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
Penundaan ini atas permohonan debitur dan harus disertai alasan yang cukup.
Pada sidang pemeriksaan tersebut pengadilan wajib memanggil debitur, dalam hal
permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur, Kejaksaan, Bank Indonesia,
Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan, sedangkan apabila
permohonan diajukan oleh debitur pengadilan dapat memanggil kreditur. Hal ini
dilakukan jika terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU telah terpenuhi
atau tidak. Pemanggilan oleh pengadilan ini dilakukan paling paling lambat 7
(tujuh) hari sebelum sidang pertama pemeriksaan dilaksanakan. Sidang ini
selanjutnya berjalan sebagaimana proses beracara perdata biasa, hanya saja proses
procedure). Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan perkara pada
pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah pihak mendapat
kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan. Dalam
persidangan ini pemohon harus hadir, Apabila dalam sidang pertama Pemohon
tidak hadir, padahal panggilan telah disampaikan secara sah (patut), maka perkara
dinyatakan gugur. Apabila Pemohon menghendaki, dapat mengajukan-nya lagi
sebagai perkara baru. Jika Termohon tidak datang dan tidak ada bukti bahwa
panggilan telah disampaikan kepada Termohon maka sidang harus diundur dan
Pengadilan harus melakukan panggilan lagi kepada Termohon.
Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan,
setiap kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan
dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk meletakkan sita jaminan
terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur atau menunjuk kurator sementara
untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur dan pembayaran kepada debitur,
pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan
wewenang kurator Pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan tersebut
apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditur.
Proses beracara di Pengadilan Niaga dalam permohonan kepailitan
menganut sistem pembuktian sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat
(4) UUK dan PKPU, Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga
berlangsung lebih cepat, hal ini dikarenakan UUK dan PKPU memberikan batasan
waktu proses kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di
yaitu bersifat sederhana atau pembuktian secara sumir, ini dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU. Permohonan pernyataan pailit harus
dikabulkan apabila terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa
pernyataan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi
syarat untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih, adanya kreditur yang lebih dari satu serta adanya fakta bahwa
debitur atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya. Sifat pembuktian
yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak
permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa
perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa.
5. Putusan hakim
Menurut Pasal 8 ayat (5) UUK dan PKPU, putusan pengadilan atas
permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh)
hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Inilah yang
membedakan antara Pengadilan Niaga dan Peradilan umum dimana Hakim diberi
batasan waktu untuk menyelesaikan perkara. Putusan atas permohonan pernyataan
pailit diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Majelis hakim dalam
menjatuhkan putusan harus memuat Pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili; dan pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari
hakim anggota atau ketua majelis (dissenting opinion).
Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 8 ayat (7) UUK dan PKPU, putusan
dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum atau
putusan tersebut bersifat serta merta. UUK dan PKPU mewajibkan kurator untuk
melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan atau
membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan.
Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan
yang secara hierarkhi lebih tinggi. Semua kegiatan pengurusan dan pemberesan
oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak putusan kepailitan dijatuhkan
hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap dinyatakan sah oleh undang-undang.
Salinan putusan Pengadilan selanjutnya wajib disampaikan oleh juru sita dengan
surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan
pernyataan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah
tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan.
C. Upaya Hukum Terhadap Putusan Pailit
Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk
memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap
putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran
secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekilafan,
bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapat
diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim
mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya
hukum.34
Demikian pula terhadap putusan dari Pengadilan Niaga dalam perkara
kepailitan. Namun, perbedaan dari Pengadilan Niaga ialah hanya tersedia upaya
hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Pengadilan Niaga disebut sebagai pengadilan
tingkat pertama dan tidak ada tingkat kedua atau sering disebut sebagai tingkat
banding. Terhadap putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, tersedia upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali.
1. Kasasi
Kasasi berasal dari bahasa Perancis : Cassation, dengan kata kerja casser,
yang berarti membatalkan atau memecahkan putusan pengadilan, karena dianggap
mengandung kesalahan dalam penerapan hukum, yang tunduk pada kasasi
hanyalah kesalahan-kesalahan di dalam penerapan hukum saja.35
Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa salah satu tugas dan wewenang Mahkamah
Agung adalah memeriksa dan memutus permohonan kasasi. Pasal 30 ayat (1)
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Mahkamah
Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
34
Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata, Class Action, Arbitrase dan Alternatif serta Mediasi (Bandung : PT. Grafitri Budi Utami, 2005), hlm 114-115.
35
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
Upaya hukum kasasi dalam kepailitan diatur dalam Pasal 11 sampai
dengan Pasal 13 UUK dan PKPU, prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut: 36
a. Pendaftaran kasasi
Dalam perkara kepailitan permohonan kasasi dapat diajukan oleh Debitur
dan Kreditur yang berkedudukan sebagai pihak pada persidangan tingkat
pertama maupun Kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada
persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas
permohonan pernyataan pailit. Permohonan kasasi dalam perkara kepalitan
tidak hanya terbatas pada putusan permohonan kepailitan tingkat pertama
saja. Permohonan kasasi juga dapat diajukan apabila rencana perdamaian
ditolak oleh Pengadilan Niaga atau dalam hal pencabutan kepailitan yang
menyebabkan kepailitan berakhir. Dalam hal demikian kreditur yang
menyetujui perdamaian serta debitur pailit dapat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. Pasal 11 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa
permohonan kasasi diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal
putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau, dengan mendaftarkan
kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan
pailit. Selanjutnya panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal
permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan
36
tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang
sama dengan tanggal penerimaan pendaftar.
b. Penyampaian memori kasasi
Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada panitera pengadilan memori
kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Paling lambat 2 (dua)
hari setelah permohonan kasasi didaftarkan, panitera wajib mengirimkan
permohonan kasasi dan memori kasasi kepada pihak termohon kasasi.
c. Pengajuan kontra memori kasasi
Terhadap kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi itu, termohon kasasi
dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera Pengadilan paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori
kasasi. Panitera Pengadilan selanjutnya wajib menyampaikan kontra
memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah
kontra memori kasasi diterima.
d. Pegiriman berkas ke Mahkamah Agung
Setelah semua berkas kasasi dari pihak pemohon maupun termohon kasasi
lengkap, panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori
kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang
bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas)
hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Mahkamah Agung
selanjutnya akan mempelajari permohonan itu sekaligus menetapkan hari
sidang paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi
e. Sidang Pemeriksaan
Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20
(dua puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh
Mahkamah Agung. Pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan oleh
sebuah majelis hakim Mahkamah Agung yang khusus dibentuk untuk
memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup kewenangan
Pengadilan Niaga.
f. Putusan Kasasi
Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enam
puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah
Agung. Putusan kasasi tersebut wajib memuat secara lengkap
pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut dan harus
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Setelah putusan kasasi
diucapkan Panitera pada Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan
putusan kasasi kepada Panitera pada Pengadilan Niaga paling lambat 3
(tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan.
Salinan atas putusan kasasi tersebut selanjutnya wajib disampaikan kepada
pemohon kasasi, termohon kasasi, Kurator, dan Hakim Pengawas paling
lambat 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima.
2. Peninjauan Kembali
Kewenangan lain yang diberikan undang-undang kepada Mahkamah
Agung ialah memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali yang telah
luar biasa, namun sebenarnya lembaga ini bertentangan dengan asas kepastian
hukum. Prinsip asas kepastian hukum menentukan bahwa putusan hakim yang
sudah berkekuatan hukum tetap, tidak bisa diubah lagi. Asas kepastian hukum ini
disebut nebis in idem, artinya tidak boleh terjadi dua kali putusan terhadap satu
kasus yang sama antara dua pihak dalam perkara yang sama.
Undang-Undang memberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali
dengan segala persyaratan yang ketat. Persyaratan yang ketat tersebut
dimaksudkan untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas
kepastian hukum, karena itu peninjauan kembali berorientasi pada tuntutan
keadilan. Fungsi Mahkamah Agung dalam Peninjauan kembali adalah
mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mengandung
ketidakadilan yang disebabkan kesalahan dan kekhilafan hakim.37
Rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 memberikan
hak untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan pailit yang telah
berkekuatan hukum tetap. Walau demikian permohonan peninjauan kembali
hanya dapat dilakukan pada dua macam alasan saja, yang masing-masing secara
khusus telah dibatasi jangka waktu tertentu. Pasal 295 ayat (2) UUK dan PKPU
menentukan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan dengan alasan sebagai
berikut :38
a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan
yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum
37
Henry P. Panggabean, Op.Cit, hlm 110. 38
ditemukan. Bukti baru tersebut apabila diketahui pada tahap persidangan
sebelumnya akan menghasilkan putusan yang berbeda. Permohonan
peninjauan kembali dengan alasan ini diajukan dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal
putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan
hukum tetap.
b. Terdapat kekeliruan yang nyata pada putusan hakim sebelumnya atau
hakim telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum.
Permohonan peninjauan kembali atas dasar alasan ini, dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan
yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.
Prosedur permohonan peninjauan kembali diatur tersendiri pada BAB IV,
Pasal 295 sampai dengan 298 UUK dan PKPU. Permohonan peninjauan kembali
disampaikan kepada Panitera Pengadilan. Panitera Pengadilan mendaftar
permohonan peninjauan kembali pada tanggal permohonan diajukan, dan kepada
pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani Panitera Pengadilan
dengan tanggal yang sama dengan tanggal permohonan didaftarkan. Panitera
Pengadilan menyampaikan permohonan peninjauan kembali kepada Panitera
Mahkamah Agung dalam jangka waktu 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan
didaftarkan. Pemohon peninjauan kembali wajib menyampaikan kepada Panitera
Pengadilan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan
peninjauan kembali dan untuk termohon salinan permohonan peninjauan kembali