• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Pasca Pemutihan Karang Studi Kasus Pemutihan Karang Pada 2010 Di Perairan Utara Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Pasca Pemutihan Karang Studi Kasus Pemutihan Karang Pada 2010 Di Perairan Utara Aceh"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG PASCA

PEMUTIHAN KARANG: STUDI KASUS PEMUTIHAN

KARANG PADA 2010 DI PERAIRAN UTARA ACEH

EFIN MUTTAQIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Pasca Pemutihan Karang: Studi Kasus Pemutihan Karang Pada

2010 Di Perairan Utara Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

(4)

RINGKASAN

EFIN MUTTAQIN. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Pasca Pemutihan Karang: Studi Kasus Pemutihan Karang Pada 2010 Di Perairan Utara Aceh.

Dibimbing oleh MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL dan SIGID HARYADI.

Pada Bulan April tahun 2010 terjadi kenaikan suhu permukaan laut secara drastis yang mengakibatkan pemutihan karang di Perairan Utara Aceh. Strategi yang efektif dalam mengelola terumbu karang pasca pemutihan karang sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan, yaitu: mengetahui dampak pemutihan karang pada tahun 2010 di Perairan Utara Aceh dan membuat strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang untuk meningkatkan kemampuan adaptasi ekosistem terhadap ancaman perubahan iklim.

Lokasi penelitian berada di Perairan Utara Aceh yang terdiri dari Pulau Weh Sabang, Pulau Beras dan Pulau Nasi yang Kabupaten Aceh Besar. Titik-titik pengamatan tersebut mewakili tipe pengelolaan yang berbeda dengan pendekatan wilayah berdasarkan hukum adat laut yang berlaku. Tipe pengelolaan tersebut adalah: Pulau Aceh, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Pantai Timur, Taman Wisata Air Laut (TWAL) Iboih dan Weh Open access. Data pada penelitian dikelompokkan berdasarkan beberapa parameter ekologi, parameter tekanan anthopogenic, parameter sosial ekonomi dan sistem pengelolaan.

Pemutihan karang pada tahun 2010 memberikan dampak ekologi yang sangat besar terhadap terumbu karang di wilayah Utara Aceh terutama di Pulau Weh. Sementara di wilayah Pulau Aceh dampak tersebut relatif lebih kecil. Status pengelolaan terumbu karang di Wilayah Pulau Aceh memiliki nilai terendah jika dibandingkan dengan status pengelolaan terumbu karang yang berada di wilayah KKP Pantai Timur maupun TWAL Iboih. Perlindungan kawasan, penegakan aturan di dalam kawasan dan persepsi terhadap sumberdaya merupakan parameter yang membedakan status pengelolaan yang ada di Perairan Utara Aceh. Strategi pengelolaan di Pulau Aceh adalah mempertahankan kondisi ekologi dari penurunan dan meningkatkan indikator sosial ekonomi serta sistem pengelolaan kawasan yang lebih baik. Hal tersebut diimplementasikan dalam bentuk pengaturan alat tangkap dan perlindungan kawasan yang memiliki nilai ekologis yang paling penting.

TWAL Iboih dan KKP Pantai Timur merupakan kawasan yang memiliki nilai pengelolaan yang paling baik. Strategi pengelolaan di kedua kawasan tersebut memperkuat penegakan aturan di dalam kawasan dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Selain itu peningkatan dampak kawasan konservasi terhadap perekonomian masyarakat adalah strategi meningkatkan indikator sosial ekonomi. Strategi pengelolaan yang dilakukan di Weh open access adalah meningkatkan sistem pengelolaan kawasn yang lebih baik. Hal ini dilakukan dengan pengaturan alat tangkap jaring dan panah dengan pendekatan hukum adat panglima laut.

(5)

SUMMARY

EFIN MUTTAQIN. Coral reef ecosystem post bleaching management: Case

study of coral bleaching in 2010 in Northern Aceh. Supervised by MOHAMMAD

MUKHLIS KAMAL and SIGID HARYADI.

A drastic increase in Sea Surface Temperature (SST) was occurred in Northern Aceh, Indonesia from April until the end of May 2010. Prolonged temperature increase in coral reef ecosystem is the ultimate cause for mass bleaching phenomenon, including in Northern Aceh. Bleached corals were

noticed in very vast area in particular at shallow reefs dominated by Acropora in

TWAL Iboih. This study aimed to assess the impact of 2010 coral bleaching event in Northern Aceh and provide post bleaching management tools to increase adaptive capacity of coral reef ecosystem due to global climate change.

Coral reef surveys were conducted in 24 sites within Weh Island, Beras Island, and Nasi Island. Study sites were representing 4 different types of management based on customary law in Aceh; East Coast Conservation Areas (KKP Pantai Timur), Iboih Marine Recreational Park (TWAL Iboih), and open access areas in both Weh Island and Aceh Islands. In addition to the ecological data on coral reefs, assessment were also conducted on anthropogenic, socio-economic and management system.

Coral bleaching event in 2010 causing the most severe impact on coral reef ecosystem in Northern Aceh. Compared to those in Weh Island, coral reefs in Aceh Islands were less affected. Results from all parameters related to management, showed that Aceh Islands performed the weakest management implementation. Meanwhile, East Coast Conservation Areas (KKP Pantai Timur) and Iboih Marine Recreational Park (TWAL Iboih) have better management with good protection areas, law enforcement, and better community perception to marine resources. Aceh Islands need specific post bleaching strategies in order to maintain ecological condition and increase socio-economic situation. Thus, implementing management system with fishing gear restriction and protecting areas from destructive activities are the key strategies in improving coral reefs in Aceh Islands.

East Coast Conservation Areas (KKP Pantai Timur) and Iboih Marine Recreational Park (TWAL Iboih) are areas with more effective management system. Strategies in managing coral reef ecosystem should focus on strengthening law enforcement in conservation areas, community involvement in management areas, and increasing socio-economic impact in conservation areas. Post bleaching management strategy in Weh Open Access is focusing on improving management system within Weh protected areas which incorporate strengthening fisheries regulation on limiting nets and spear guns.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG PASCA

PEMUTIHAN KARANG: STUDI KASUS PEMUTIHAN

KARANG PADA 2010 DI PERAIRAN UTARA ACEH

EFIN MUTTAQIN

C252110171

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Penelitian : Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Pasca Pemutihan Karang: Studi Kasus Pemutihan Karang Pada 2010 Di Perairan Utara Aceh

Nama : Efin Muttaqin

NRP : C252110171

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir M Mukhlis Kamal M.Sc Ketua

Dr Ir Sigid Haryadi M.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr Ir Luky Adrianto M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam tesis ini adalah Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Pasca Pemutihan Karang: Studi Kasus Pemutihan Karang pada Tahun 2010 di Perairan Utara Aceh. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir M Mukhlis Kamal, M.Sc dan Bapak Dr Ir Sigid Haryadi M.Sc selaku pembimbing. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff Wildlife Conservation Society

Indonesia Program Marine atas semua dukungan dan saran demi kesempurnaan tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua Orang Tua, Bapak Uwon Susila dan Ibu Kurnaeni atas doa dan kesabarannya, serta kepada semua kakak yang telah memberikan dorongan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan SPL 2011 atas kebersamaannya. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini bisa bermanfaat bagi semua pihak.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Perumusan masalah 2

Tujuan penelitian 5

Manfaat penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Terumbu karang 5

Parameter Pembatas 8

Fungsi ekosistem terumbu karang 9

Pemutihan karang 9

Pemulihan karang 11

3 METODE 13

Lokasi penelitian 13

Metode pengambilan data 15

Analisis data 18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Dampak pemutihan karang 26

Komposisi substrat dasar 29

Kelimpahan ikan karang 31

Rekrutmen karang keras 35

Kondisi sosial ekonomi 35

Persepsi masyarakat 37

Strategi adaptasi masyarakat 38

Kondisi pengelolaan ekosistem terumbu karang di

Wilayah Perairan Utara Aceh 39

Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang pasca pemutihan 49

5 KESIMPULAN 54

DAFTAR PUSTAKA 55

(12)

DAFTAR TABEL

1 Keutungan dan konsekuensi dari simbiosis hewan karang 6

dengan zooxanthellae (Birkeland 1997)

2 Kategori pemutihan karang berdasarkan McClanahan et al. (2001) 15

3 Faktor-faktor kunci yang menjadi penilaian (modifikasi dari

Obura dan Grimsdith 2009) 20

4 Strategi adaptasi nelayan terhadap penurunan hasil tangkapan ikan 39

DAFTAR GAMBAR

1 Alur kerja penelitian 4

2 Anatomi hewan karang 6

3 Tahap pembentukan formasi terumbu karang dari yang termuda

(a) fringing reef (b) barrier reef (c) Atol 8

4 Lokasi penelitian 14

5 Metode pengambilan data substrat dasar dengan metode

Point Intercept Transect(Hill dan Wilkinson, 2004) 16

6 Metode Underwater Visual Census (Hill dan Wilkinson, 2004 17

7 Metode transek kuadrat Hill dan Wilkinson, 2004) 17

8 Suhu permukaan air laut pada bulan April – Juni 2010 ( NOAA/NESDIS) 27

9 Tanda peringatan pemutihan karang berdasarkan titik panas pada

bulan April – Juni 2010 (NOAA/NESDIS) 27

10 Kondisi karang keras berdasarkan kategori pemutihan 28

11 Penutupan karang keras pada kedalaman dangkal tahun 2009, 2011, 2013 30

12 Penutupan alga pada kedalaman dangkal tahun 2009, 2011 dan 2013 31

13 Rata-rata kelimpahan ikan karang berdasarkan tipe pengelolaan

pada tahun 2009, 2011 dan 2013 32

14 Kelimpahan ikan karang pemakan polip karang berdasarkan

tipe pengelolaan pada tahun 2009, 2011 dan tahun 2013 33

15 Komposisi ikan karang berdasarkan kelompok tropik pada tahun

2009, 2011 dan 2013 berdasarkan tipe pengelolaan 34

16 Rata-rata rekrut karang baru berdasarkan tipe pengelolaan pada tahun 2013 35

17 Jumlah responden berdasarkan tipe pengelolaan 36

18 Komposisi responden berdasarkan jenis pekerjaan dan

latar belakang pendidikan 36

19 Komposisi responden berdasarkan selang umur 37

20 Pemetaan jarak antara parameter ekologi dan wilayah pengelolaan 40

21 Diagram radar untuk parameter kkologi di Perairan Utara Aceh 41

22 Pemetaan kemiripan antara wilayah berdasarkan parameter

tekanan anthropogenic 43

23 Diagram radar untuk parameter tekanan anthropogenic di Perairan

Utara Aceh 44

24 Pemetaan kemiripan wilayah pengelolaan berdasarkan

indikator sosial ekonomi 45

25 Diagram radar untuk indikator sosial ekonomi di Perairan Utara Aceh 46

26 Pemetaan kemiripan wilayah berdasarkan indikator sistem

(13)

27 Sebaran nilai parameter sistem pengelolaan di wilayah perairan Utara Aceh 48

28 Pemetaan kemiripan wilayah berdasarkan semua indikator 49

29 Sebaran indikator pengelolaan di wilayah Perairan Utara Aceh 50

DAFTAR LAMPIRAN

1 Proporsi pemutihan karang berdasarkan lokasi pengamatan di Perairan

Utara Aceh pada kedalaman dangkal dan dalam 59

2 Proporsi karang berdasarkan genera karang di Perairan Utara Aceh 61

3 Form interview untuk keluarga nelayan 63

4 Form interview untuk keluarga wisata 66

5 Form interview untuk tokoh masyarakat 70

(14)
(15)

Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat vital, karena memiliki fungsi ekologis yang penting diantaranya sebagai tempat mencari makan biota-biota, tempat memijah, dan tempat mengasuh. Selain itu juga ekosistem terumbu karang juga merupakan sumber pendapatan bagi manusia dan menyediakan sumber makanan serta memberikan perlindungan terhadap pantai. Beberapa studi menunjukkan bahwa 500 juta orang di seluruh dunia sangat tergantung terhadap terumbu karang, dan secara ekonomi, sumberdaya dan pelayanan yang diberikan oleh terumbu karang diperkirakan mencapai $375 milliar per tahun (Obura dan Grimsdith 2009).

Terumbu karang adalah endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh karang. Hewan karang tersebut hidup dan bersimbiosis

dengan alga uniselular (zooxanthellae) yang hidup di jaringan karang tersebut dan

hasil simbosis tersebut adalah energi dan sekresi dalam bentuk kalsium karbonat (CaCO3). Terumbu karang merupakan ekosistem khas tropis yang hidup di perairan yang hangat, dangkal dan rendah nutrien. Terumbu karang pada

umumnya ditemukan pada perairan dengan kisaran suhu 18 – 36 °C, dengan suhu

optimum 26-28 °C (Birkeland 1997). Walaupun demikian terumbu karang masih dapat ditemukan di perairan dengan suhu 18ºC (Florida) sampai 33ºC (Persian Gulf) (Buddemeier dan Wilkinson 1994). Keberadaan terumbu karang di lautan hanya menutupi 0.2% dari seluruh dasar laut dan 25% dari seluruh spesies yang ada di lautan. Walaupun demikian terumbu karang memiliki produktivitas primer

yang sangat tinggi sehingga terkadang disebut sebagai “hutan hujan tropisnya

lautan” (Roberts 2003).

Kawasan perairan Aceh bagian utara merupakan bagian dari Bioregion Sumatera Bagian Utara, karena merupakan bioregion yang merepresentasikan kondisi ekologis Samudera Hindia. Ekosistem yang penting di kawasan Aceh bagian utara adalah ekosistem terumbu karang yang hampir 1/3 penduduk di wilayah Aceh bagian utara sangat tergantung terhadap ekosistem terumbu karang. Terumbu karang di perairan Aceh tersebar di wilayah utara Aceh seperti Pulau Weh, dan Pulau Aceh, sedangkan di wilayah barat tersebar di Pulau Simeulue dan Pulau Banyak. Terumbu karang di wilayah tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan terumbu karang di wilayah Aceh lainnya.

Latar Belakang

Pada saat ini terumbu karang menghadapi ancaman yang semakin besar dengan adanya dampak perubahan iklim global. Suhu laut global diperkirakan

telah meningkat 0,6 °C antara pertengahan tahun 1950an – 1990 an. Beberapa

penelitian memprediksi peningkatan suhu laut di masa yang akan datang

mencapai 1,4 – 5,8 °C pada tahun 2100 (IPCC 2001). Peningkatan suhu tersebut

(16)

yang kerap terjadi dengan frekuensi yang lebih sering di masa yang akan datang (Hoegh-Guldberg 1999).

Pemutihan karang adalah hilangnya warna karang sehingga karang menjadi transparan atau putih. Putihnya warna karang terjadi karena hilangnya atau

keluarnya zooxanthellae dari jaringan karang sebagai respon dari tekanan

lingkungan terhadap hewan karang. Hilangnya zooxanthellae dari jaringan karang

menyebabkan turunnya produktivitas hewan karang untuk memproduksi energi.

Hal ini terjadi karena hewan karang sangat tergantung kepada alga zooxanthella

dalam menyediakan energi melalui fotosintesis. Beberapa kajian menunjukkan bahwa kenaikan suhu air laut yang tinggi dan radiasi ultra violet adalah dua

penyebab utama kejadian pemutihan karang (Fitt et al. 2001). Peningkatan suhu

yang drastis yang berinteraksi dengan radiasi sinar Ultra violet yang tinggi

tersebut mengakibatkan zooxanthellae keluar dari jaringan hewan karang sehingga

densitas zooxanthellae di dalam jaringan menjadi menurun bahkan hilang, dan hal

ini mengakibatkan hewan karang kehilangan zat warna dan menjadi berwarna

transparan (Lesser et al. 1990)

Dampak pemutihan karang terhadap ekosistem terumbu karang sangat besar, selain mengakibatkan kematian karang dalam skala yang luas, pemutihan karang juga berdampak pada berkurangnya tingkat keanekaragaman sumberdaya alam. Selain berdampak terhadap ekologi, pemutihan terumbu karang juga berdampak langsung terhadap perekonomian khususnya di daerah pesisir. Beberapa studi memprediksi kerugian secara ekonomi akibat pemutihan karang pada tahun 1998 diperkirakan mencapai $700-8200 Juta dollar khusus di wilayah Laut India (Marshall dan Schuttenberg 2006).

Pada Bulan April tahun 2010 terjadi kenaikan suhu permukaan laut secara drastis. Hal tersebut menyebabkan terjadi fenomena pemutihan karang di wilayah Asia tenggara termasuk Indonesia. Beberapa tempat di dunia yang mengalami pemutihan karang pada tahun 2010 adalah Singapura, Malaysia, Thailand dan

beberapa negara di Asia Selatan (Tun et al. 2010); (Krishnan et al. 2011). Perairan

di Indonesia yang mengalami pemutihan karang adalah Aceh, Padang, Teluk Tomini, Wakatobi dan Bali. Dampak pemutihan karang tersebut juga terlihat di wilayah Aceh khusunya Pulau Beras dan Pulau Nasi Kepulauan Aceh, dimana

35% karang di wilayah tersebut mengalami kematian (Muttaqin et al. 2011).

Beberapa ahli menyatakan bahwa pemutihan karang pada tahun 2010 mempunyai dampak yang lebih parah dibandingkan dengan fenomena pemutihan karang pada tahun 1998.

Perumusan Masalah

Pemutihan karang pada tahun 2010 mengakibatkan kematian karang mencapai 35%. Tingginya tingkat kematian karang yang terjadi akibat pemutihan karang telah menurunkan penutupan karang secara signifikan di Pulau Weh

(Muttaqin et al. 2011). Selain penurunan penutupan karang, pemutihan karang

(17)

Peningkatan alga dalam waktu yang panjang bisa mengakibatkan proses pemulihan terumbu karang berjalan lambat atau bahkan gagal akibat kompetisi dengan alga terutama kompetisi ruang. Sehingga kompetisi antara alga dan karang baru merupakan fase yang sangat krusial dalam menentukan keberhasilan proses pemulihan karang.

Beberapa faktor yang memegang peranan penting dalam meningkatkan kemampuan pemulihan karang adalah: keberadaaan ikan herbivora yang berfungsi mengontrol keberadaan alga sehingga memberikan ruang bagi karang baru. Selain itu juga keberadaan sumber larva karang, rendahnya tekanan terhadap ekosistem baik dari tekanan perikanan maupun aktivitas industri.

Strategi yang efektif dalam mengelola terumbu karang pasca pemutihan karang sangat diperlukan, karena terumbu karang merupakan sebuah sistem yang tidak bisa berdiri sendiri dan merupakan sistem yang saling terkait satu sama lainnya. Sebagai konsekuensinya para pengelola harus mempunyai pendekatan dan pengelolaan yang terpadu untuk menjamin pulihnya terumbu karang beserta fungsi-fungsinya.

(18)

Gambar 1 Alur penelitian Status kawasan berdasarkan

semua faktor

Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Utara Aceh Status kawasan di Perairan Utara Aceh 2010

(19)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan, yaitu:

1. Mengidentifikasi dampak pemutihan karang pada tahun 2010 di Perairan

Utara Aceh

2. Menyusun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Utara

Aceh untuk meningkatkan kemampuan adaptasi ekosistem terhadap ancaman perubahan iklim.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi dampak pemutihan karang secara ekologi di Perairan Utara Aceh. Selain itu juga penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai pengelolaan terumbu karang pasca pemutihan karang di Perairan Utara agar proses pemulihan karang yang mati berlangsung secara optimal.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Terumbu Karang

Terumbu karang adalah endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh karang (Filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria/Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (CaCO3) (Nybakken 1992).

Karang merupakan binatang sederhana, berbentuk tabung dengan mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus. Di sekitar mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Mulut dilanjutkan dengan tenggorokan yang pendek yang langsung menghubungkan dengan rongga perut. Di dalam rongga perut berisi semacam usus yang disebut dengan mesentri filamen yang berfungsi sebagai alat pencerna (Suharsono 1996).

Polip karang terdiri dari dua lapisan sel yang sederhana yaitu ektodermis (epidermis) dan lapisan endodermis (gastrodermis), dan kedua lapisan ini

dipisahkan oleh jaringan penghubung yang tipis disebut mesoglea (Bikerland

1997). Ektodermis merupakan jaringan terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel

antara lain sel mucus dan nematocist. Mesoglea merupakan jaringan tengah

berupa lapisan seperti jelly (Suharsono 1996). Lapisan endodermis merupakan jaringan terdalam pada polip karang tempat hidup ribuan alga mikroskopik yang

disebut zooxanthellae yang secara alami hidup bersimbiosis dengan hewan karang

(20)

Gambar 2 Anatomi hewan karang (Birkeland 1997)

Hewan karang hidup bersimbiosis dengan alga bersel satu yang disebut zooxanthellae. Zooxanthellae merupakan jenis alga dinoflagelata berwana coklat

dan kuning, yang dinyatakan sebagai Symbiodinium microadriaticum. Alga ini

juga hidup bersimbiosis dengan hewan-hewan lain di terumbu karang, seperti,

kima raksasa (Tridacna spp), anemon laut dan Coelenterata lainnya. Simbiosis

yang terjadi pada hewan karang dengan alga tersebut bersifat mutualisme dan memberikan keuntungan bagi hewan karang maupun alga itu sendiri. Akan tetapi

selain memberikan keuntungan bagi hewan karang maupun zooxanthellae,

simbiosis tersebut memberikan konsekuensi. Keuntungan dan konsekuansi dari simbiosis tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Keutungan dan konsekuensi dari simbiosis hewan karang dengan zooxanthellae

Keuntungan Konsekuensi Pengaruh tidak

langsung Hewan karang

Mengurangi karbon, menyediakan oksigen untuk bernapas dan metabolisme

Tergantung kepada

pertumbuhan produksi alga

Meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi

Peka terhadap tingkat oksigen yang tinggi, sinar matahari dan UV

Tidak bisa hidup

di daerah photic

Meningkatkan proses kalsifikasi

Tidak dapat menerima alga lainnya

Memberikan nutrisi Peka terhadap tekanan

(21)

Tabel 1 Keutungan dan konsekuensi dari simbiosis hewan karang dengan zooxanthellae (Lanjutan)

Keuntungan Konsekuensi Pengaruh tidak

langsung

Zooxanthellae

Mendapatkan suplai CO2

dan nutrien dari hewan karang

Perpindahan dari fraksi karbon fotosintesis pada hewan

Nybakken (1992) mengelompokkan formasi terumbu karang menjadi tiga kategori (Gambar 2), yaitu :

1. Terumbu karang tepi (Fringing Reef), yaitu terumbu karang yang terdapat di

sepanjang pantai dan dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka.

2. Terumbu karang penghalang (Barrier Reef), berada jauh dari pantai yang

dipisahkan oleh gobah (lagoon) dengan kedalaman 40 -70 meter. Umumnya

terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai.

3. Atol, merupakan karang berbentuk melingkar seperti cincin yang muncul dari

(22)

Gambar 3 Tahap pembentukan formasi terumbu karang dari yang termuda (a) fringing reef (b) barrier reef (c) Atol ( Veron, 1986)

Parameter pembatas

Kelangsungan hidup dan pertumbuhan terumbu karang ditentukan oleh

beberapa faktor lingkungan. Soekarno et al. (1983) mengelompokkan

parameter-parameter tersebut yaitu: suhu, salinitas, cahaya, arus permukaan, sedimentasi dan substrat. Terumbu karang pada umumnya ditemukan pada perairan dengan suhu

18 – 36° C, dengan suhu optimum 26 - 28 °C (Birkeland 1997), tetapi menurut

Nybakken (1992) terumbu karang dapat mentolelir suhu sampai 36 – 40 °C.

Menurut Sukarno et al, (1983), pada daerah tropis suhu rata-rata tahunan

perkembangan optimal terumbu karang adalah 25 - 30 °C. Karang hermatifik adalah organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang

menyimpang dari salinitas air laut yang normal yaitu 32 – 35 ‰ (Nybakken

1992), meskipun pada salinitas ekstrem terumbu karang masih hidup, seperti di

Teluk Persia 46 ‰ dan di Laut Hindia Selatan 26 ‰ (Suharsono 1996).

Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan terumbu karang dan membantu proses fotosintesis. Penetrasi cahaya di perairan sangat bergantung kedalaman dan tingkat sedimentasi. Tingkat kompensasi karang terhadap kedalaman terjadi sampai kedalaman dimana intensitas cahaya kurang sampai 15 - 20 % dari intensitas permukaan (Nybakken 1992).

(23)

Tomascik et al. (1997), arus bermanfaat untuk pemindahan nutrien, larva dan sedimen. Endapan dalam air dapat mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk

fotosintesis oleh zooxantellae dalam jaringan karang (Nybakken 1992).

Fungsi ekosistem terumbu karang

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang memiliki produktivitas primer tinggi walaupun berada di habitat yang miskin nutrien. Tingginya produktivitas primer tersebut membuat biota-biota yang ada didaerah pesisir mulai dari plankton hingga ikan karang. Biota-biota tersebut menjadikan

ekosistem terumbu karang sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground).

Selain itu, kompleksitas morfologi susunan terumbu karang mampu memberikan

perlindungan bagi biota-biota untuk mengasuh juvenilenya pada masa mudanya

(nursery ground), serta sebagai tempat untuk memijah dan meletakkan telurnya (spawning ground).

Selain fungsi ekologis, ekosistem terumbu karang juga memiliki fungsi fisik. Struktur kapur yang keras dan stabil mammpu memberikan perlindungan bagi pantai dari abrasi. Formasi karang yang terbentuk di perairan dangkal mampu meredam hempasan gelombang yang masuk ke daerah pantai sehingga, energi gelombang yang masuk menjadi lebih kecil.

Secara sosial, ekosistem terumbu karang memberikan dampak yang sangat penting. Lebih dari 1 milyar orang hidup di dalam radius 60 km dari terumbu karang di daerah tropis termasuk indonesia. Selain itu juga separuh dari jumlah tersebut sangat tergantung kepada terumbu karang sebagai sumber pangan dan pendapatan. Sekitar 400 juta orang miskin di dunia bertumpu pada ekosistem terumbu karang sebagai sumber utama protein mereka. Ikatan budaya dan spiritual dengan terumbu karang juga dimiliki oleh manusia terutama penduduk

pulau-pulau di Indo-pasifik (Reid et al. 2011).

Potensi manfaat terumbu karang bagi indonesia secara umum diperkirakan mencapai US$ 1,6 milyar dolar per tahun dari perikanan berkelanjutan, perlindungan pantai dan pariwisata dengan manfaat ekonomi bersih untuk

terumbu karang berkisar US$270.000 per kilometer persegi (Reid et al. 2011).

Selain itu peluang-peluang pendidikan dan potensi manfaat farmasi dari senyawa aktif produk-produk-produk hayati adalah beberapa diantaranya manfaat ekosistem yang nilainya belum diketahui.

Pemutihan karang

Pemutihan karang adalah hilangnya warna terumbu karang sebagai dampak

dari berkurangnya densitas dan atau hilangnya zooxathellae yang merupakan alga

uniseluler dari genus Symbiodinium dari tubuh hewan karang. Alga Symbiodinium

terletak di jaringan endodermis hewan karang. Selain memberikan pigmen warna alga tersebut menyediakan energi hewan karang sampai 90%. Pada umumnya

hewan-hewan pembentuk terumbu mengandung 1-5 x 106 zooxanthellae dari

setiap 1 cm2 jaringan hewan karang tersebut dan dalam setiap zooxanthellae

(24)

tersebut kehilangan 60-90% dari densitas zooxanthellae yang ada dalam hewan

karang serta setiap zooxanthellae kehilangan 50-80% pigmen fotosintesisnya

(Glynn 1996). Hilangnya zooxanthellae dari tubuh hewan karang sehingga hewan

karang menjadi transparan dan terlihat putih.

Peningkatan suhu dan radiasi ultraviolet mengakibatkan produksi berlebih oksigen radikal. Kondisi tersebut akhirnya mendorong kerusakan sel pada jaringan hewan karang sehingga hewan karang melakukan mekanisme pemutusan simbiosis dengan alga untuk mengurangi kerusakan jaringan tersebut. Pemutusan

hubungan simbiosis tersebut berdampak pada keluarnya zooxanthellae dari

jaringan hewan karang (Lesser 2006). Kehilangan zooxanthellae mengakibatkan

juga hilangnya pigmen warna dalam hewan karang. Pada kondisi yang ekstrim jaringan hewan karang akan terlihat transparan sehingga yang terlihat adalah

warna putih dari kerangka kapur terumbu (Fitt et al. 2000)

Karang yang sedang memutih masih berada dalam kondisi hidup, jika

kondisi tersebut berangsur pulih, dimana jumlah zooxanthellae kembali

meningkat maka karang dapat bertahan dari proses pemutihan tersebut. Walaupun demikian karang putih yang masih hidup memiliki kemampuan tumbuh yang menurun karena proses kalsifikasi yang menurun pula. Jika pemutihan karang

terus berlanjut dan zooxanthellae hilang dari hewan karang, pemutihan tersebut

bisa mengakibatkan kematian karang.

Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya pemutihan karang. Pada skala lokal pemutihan karang dapat di akibatkan oleh badai, penyakit karang,

sedimentasi, potassium, perubahan salinitas dan suhu. Peningkatan suhu laut 1-2º

C diatas suhu rata-rata maksimum dapat memicu terjadinya pemutihan karang. Selain kenaikan suhu, ekspose cahaya yang berlebihan juga dapat mengakibatkan pemutihan karang. Wilkinson (2000) menyatakan bahwa anomali peningkatan suhu laut yang berkaitan dengan iklim yang biasanya berasosiasi dengan El Niño Southern Oscillation (ENSO) telah mengakibatkan pemutihan karang dalam skala yang luas dan dampak yang parah, seperti yang tercatat pada awal tahun 1980.

Selain berdampak terhadap ekologi, pemutihan karang juga berdampak pada sektor-sektor lainnya, diantaranya:

1. Sektor ekonomi

Pemutihan karang dapat berdampak pada pariwisata dan perikanan dalam waktu yang dekat, dan hilangnya fungsi perlindungan terhadap pantai serta fungsi-fungsi

lainnya (Wilkinson et al. 1999). Beberapa studi memprediksi kerugian secara

ekonomi akibat pemutihan karang pada tahun 1998 diperkirakan mencapai $700-8200 Juta dollar khusus di wilayah Laut Hindia (Marshall dan Schuttenberg 2006)

2. Sektor perikanan

Ketergantungan nelayan tradisional terhadap ikan karang di seluruh negara tropis semakin menguatkan potensi dari dampak pemutihan karang secara ekonomi. Komposisi dan kesehatan ekosistem terumbu karang merupakan faktor yang sangat penting terhadap struktur perikanan ikan karang melalui makanan dan pelayanan yang disediakan oleh terumbu karang. Degradasi karang akibat pemutihan karang dapat mengakibatkan penurunan kelimpahan, komposisi dan distribusi ikan karang.

(25)

Dampak dari degradasi terumbu karang akibat pemutihan karang, menyebabkan hilangnya fungsi estetika dari terumbu karang. Hal ini berakibat secara langsung terhadap nilai kepuasan terhadap para pelaku pariwisata. Dan pada akhirnya akan berdampak pada penurunan aktivitas pariwisata lainnya seperti industri selam.

Pemulihan karang

Terumbu karang dapat pulih dari gangguan dengan dua mekanisme yaitu rekruitmen dan regenerasi. Rekruitmen merupakan pemulihan karang setelah terjadinya kerusakan dan kembali ke kondisi sebelum terjadinya kerusakan tersebut. Rekolonisasi adalah proses penempelan dari larva planula karang pada substrat yang tersedia. Regenerasi karang adalah pertumbuhan kembali dari individu atau koloni karang setelah terjadinya kerusakan sebagian yang termasuk di dalamnya pembentukan kembali potongan-potongan karang dari koloni induknya (Pearson 1981).

Rekrutmen menjadi bagian penting dalam proses pembentukan dan perkembangan komunitas dalam suatu ekosistem terumbu karang di alam. Rekrutmen memberikan jaminan terhadap pembentuk komunitas serta memberikan jaminan bahwa populasi itu akan selalu bertahan. Proses rekrutmen berperan dalam penambahan individu-individu baru kedalam populasi dewasa sehingga eksistensi dan keberlanjutan populasi dapat dipertahankan dan

berlangsung secara terus menerus (Erwin et al. 2008).

Proses rekrutmen diawali dengan perubahan planula karang dari fase planktonik menjadi bentik dan siap untuk melakukan penempelan pada substrat di dasar perairan. Menurut Richmond (1997), reproduksi dan rekrutmen adalah dua proses penting yang menentukan keberadaan dan keberlangsungan suatu terumbu karang. Proses reproduksi menjamin terbentuk calon koloni baru, sedangkan rekrutmen adalah proses bagaimana calon koloni baru hasil reproduksi sukses menjadi anggota baru dalam populasi. Proses rekrutmen ditandai dengan

kemunculan calon koloni baru dalam ukuran relatif kecil (juvenile) pada habitat

baru dan beradaptasi baik dengan relung ekologisnya. Peristiwa ini dikenal juga dengan proses kolonisasi yang sangat tergantung dengan ketersedian larva dan substrat untuk penempelan.

Kolonisasi terjadi melalui beberapa tahapan. Tahapan awal adalah keberhasilan dalam proses reproduksi yang menjamin tersedianya larva dalam bentuk plantonik. Tahapan selanjutnya adalah kemampuan larva untuk melakukan orientasi, pengenalan dan identifikasi terhadap substrat yang akan ditempeli. Keberhasilan kolonisasi didukung oleh beberapa persyaratan termasuk tipe substrat, arus, salinitas, cukup cahaya, sedimentasi dan faktor biologis seperti ketersedian lapisan tipis mikroalgae (biofilm) di atas permukaan substrat bisanya dari kelompok diatom dan bakteri (Sorokin 1991) ; (Richmon 1997). Penempelan larva planula dalam proses kolonisasi dengan segera diikuti oleh perisiwa metamorfosis. Metamorfosis merupakan serangkaian proses yang diindikasikan oleh perubahan secara morfologis dan perangsangan bio-kimia larva planula

menjadi koloni karang muda (juvenile).

(26)

proses kalsifikasi yang mengsekresikan kapur sebagai lempengan dasar berbentuk mangkuk sebagai rangka awal. Selanjut proses awali ini diikuti dengan pembentukan tentakel yang dilengkapi dengan sel-sel penyengat mengelilingi mulut. Proses akhir metamorfosis ini menghasilkan polip awal yang selanjutnya mengalami pertunasan untuk menbentuk polip-polip baru, masing-masing juga mengsekresikan kapur sebagai rangkanya. Polip pertama hasil metamorfosis ini dapat keluar dari rangka yang telah dibentuk kemudian menjadi plantonik lagi sampai ditemukan substrat baru untuk menempel lagi (Moorsel 1989) ; (Sorokin 1991) ; (Richmond 1997).

Proses penempelan karang terkait erat dengan kondisi lingkungan di sekitarnya seperti tingkat sedimentasi, masukan nutrien, kedalaman, orientasi substrat, pergerakan air dan temperatur (Wallace 1985); (Harriott 1992); (Maida et al. 1994); (Mundy dan Babcock 1998); (Gilmour 1999); (Putnam et al. 2008). Faktor biologi yang mempengaruhi proses rekruitmen adalah keberadaan makro

alga, Crustose Coralline Algae dan keberadaan karang lunak juga berpengaruh

terhadap pemilihan lokasi yang permanen bagi planula karang untuk menempel sebelum proses metamorfosis terjadi metamorphosis (Morse dan Morse 1991);

Maida et al. 1995); (Harrington et al. 2004);(Birrell et al. 2008).

Lamanya komunitas karang dapat pulih setelah kematian akibat fenomena pemutihan karang tergantung beberapa faktor, diantaranya: sumber larva karang, kondisi rekruitmen karang di wilayah tersebut, adanya pengendaliaan terhadap daya tahan karang setelah proses rekruitmen, dan rata-rata pertumbuhan karang. Beberapa faktor lainnya yang berpengaruh terhadap pemulihan karang adalah:

- Kondisi yang sesuai untuk proses rekruitmen. Hal ini meliputi kondisi

perairan yang bagus, adanya Crustose Coralline Algae sebagai penyedia

substrat yang sesuai. Substrat dasar seperti karang hidup, sediment, dan fleshy

alga merupakan salah satu substrat yang tidak cocok untuk rekruitmen karang. Selain dapat mengurangi tingkat kelangsungan hidup karang baru, keberadaan alga juga dapat secara jangka panjang dapat menurunkan tingkat rekruitmen karang.

- Konektivitas. Terumbu karang yang mengalami kematian karang yang tinggi

sangat tergantung pada konektivitas terhadap sumber karang hidup lainnya

sebagai sumber larva (Cowen et al. 2000). Sumber larva tersebut dapat

berasal dari luar daerah tersebut atau berasal dari lokal. Jika sumber larva masih berada dekat, maka konektivitas wilayah tersebut dengan wilayah luar tidak menjadi tergantung. Akan tetapi jika sumber larva berasal dari wilayah luar wilayah yang mengalami kerusakan akan sangat tergantung pada suplai larva yang berada di sekitarnya. Dalam konteks pemulihan karang akibat pemutihan karang, proses pemulihan karang akan berjalan dengan optimal jika terjadi kombinasi antara rekruitmen secara lokal maupun rekruitmen yang berasal dari sumber luar.

(27)

3

METODE

Lokasi penelitian

Lokasi penelitian berada di Perairan Utara Aceh. Pengumpalan data ekologi dilakukan di 24 titik pengamatan. Titik-titik pengamatan tersebut mewakili wilayah berdasarkan hukum adat laut yang berlaku di Aceh (Gambar 4).

1. Pulau Aceh. Pengamatan di Pulau Aceh dilakukan di Pulau Nasi dan Pulau

Beras yang terletak di Kecamatan Pulo Aceh. Titik pengamatan ekologi dilakukan pada 6 titik yaitu; Leun Balee 1, Deudap, Lamteng, Paloh, Lhoh, Pasi Janeng 2. Berdasarkan pembagian wilayah panglima laut di Aceh, Pulau Beras dan Pulau Nasi masuk dalam pengelolaan Panglima Laut Pulo Aceh. Pada wilayah tersebut belum ada pengaturan alat tangkap yang spesifik, sehingga di wilayah tersebut semua alat tangkap bisa beroperasi.

2. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Pesisir Timur Pulau Weh (6 titik).

Pengamatan di lokasi Kawasan konservasi dilakukukan di Desa/Gampong Anoi itam, Ie Meulee, Ujung Kareung, dan Kota Atas. Gampong Kota Atas, Ie Meulee, dan Ujung Kareugn masuk kedalam pengelolaan Panglima Laut Ie Meule. Sedangkan Gampong Anoi Itam masuk ke dalam pengelolaan Panglima Laut Anoi Itam. Pengamatan ekologi di KKP Pantai Timur dilakukan sebanyak 6 titik, diantaranta Itam, Benteng, Sumur tiga, Ujung Kareung, Reuteuk and Ujung Seuke. KKP Pantai Timur merupakan kawasan konservasi daerah yang ditetapkan oleh Kementrian Kelautan Perikanan. Pada kawasan konservasi tersebut terdapat pengaturan alat tangkap, dimana alat tangkap seperti jaring, alat bantu pernapasan (kompresor) dan alat tangkap yang merusak lainnya tidak bisa beroperasi di wilayah ini. Wilayah ini terletak di pesisir timur Pulau Weh Kota Sabang.

3. Taman Wisata Air Laut (TWAL) Iboih. Kawasan tersebut terletak di

Gampong Iboih Pulau Weh Kota Sabang. Berdasarkan pengelolaan panglima laut di Aceh, TWAL Iboih masuk kedalam wilayah pengelolaan Panglima Laut Iboih. Pada pengamatan ekologi dilakukan pada 6 titik diantaranya: Batee Merunron, Lhok Weng, Rubiah Channel, Sea Garden, Ujung seurawan, dan Canyon. Wilayah ini merupakan kawasan konservasi yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Aceh. Pada wilayah ini terdapat pengaturan alat tangkap, dimana semua alat tangkap jaring, kompresor dan spear gun serta alat tangkap yang merusak lainnya tidak bisa beroperasi di wilayah ini. Wilayah ini terletak di wilayah utara Pulau Weh Kota Sabang.

4. Weh Open access. Kawasan merupakan kawasan yang tidak termasuk ke

(28)

Gambar 4 Lokasi penelitian

(29)

Metode pengambilan data

Data pada penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data-data primer tersebut adalah: tingkat pemutihan karang, komposisi penutupan substrat, kelimpahan ikan herbivora, rekruitmen karang baru, dan ukuran karang. Sedangkan data sekunder meliputi: data demografi, tingkat ketergantungan masyarakat dan persepsi masyarakat.

Tingkat pemutihan karang keras

Tingkat pemutihan karang diukur berdasarkan metode “rapid assessment”

yang dikembangkan oleh Mcclanahan et al., 2001. Pengambil data menghitung

jumlah koloni karang dengan keterangan genera pada radius 2 m pada karang dangkal seperti hamparan karang 1- 2 m maupun di bagian tubir 3-4 m. genera karang tersebut kemudian di kategorikan berdasarkan tingkat pemutihan karang (Tabel 2). Pada saat pengambilan data, pengambil data melakukan renang di permukaan air dengan arah yang acak dengan ulangan minimal 30 kali. Jarak dari

tiap ulangan adalah 3 – 10 kayuhan renang.

Tabel 2 kategori pemutihan karang berdasarkan McClanahan et al. (2001)

Kondisi karang Keterangan

Normal (C1) - 100% jaringan karang sehat dan tidak ada tanda putih

- > 50% jaringan sehat dengan beberapa jaringan pucat dan

atau mati

- Putih tingkat 4 (80%- 100% koloni putih)

Mati (C7) - > 50% jaringan karang mati dengan beberapa tanda

pemutihan sebelumnya dan atau sebagian masih putih.

Survey tingkat pemutihan karang dilakukan pada 3 tahap, yaitu Bulan Mei 2010, Juli 2010 dan Februari 2011. Pada pengamatan bulan Mei dan Juli 2010 pengamatan hanya dilakukan pada kedalaman dangkal karena persiapan yang sangat cepat dan survey harus segera dilaksanakan sehingga hanya mampu melakukan survey pada kedalaman dangkal (< 4m). Sedangkan pada survey bulan Februari 2011, pengamatan dilakukan pada dua kedalaman yaitu kedalaman dangkal (< 4 m ) dan kedalaman dalam (7-8 m).

Komposisi penutupan substrat dasar

Metode yang digunakan adalah Point intercept Transect. Metode ini

bertujuan untuk melihat kondisi karang dan bentik substrat lainnya seperti

penutupan alga dan karang lunak (Hill dan Wilkinson 2004). Panjang transek

(30)

alga dicatat setiap 50 cm. Perhitungan karang keras dicatat berdasarkan bentuk pertumbuhan dan genus. Substrat diklasifikasikan dalam beberapa kategori:

karang lunak, fleshy algae, turf algae, red coralline algae, calcareous algae

(Halimeda), sponge dan pasir. Pengamatan substrat dasar dilakukan pada tahun 2009, 2011 dan 2013 pada titik, arah, kedalaman dan ulangan yyang sama dengan referensi titik menggunakan posisi GPS dan tanda alam. Sehingga bisa bahwa pengamatan yang dilakukan berada pada posisi yang relatif sama pada setiap tahunnya.

Gambar 5 Metode pengambilan data substrat dasar dengan metode Point

Intercept Transect(Hill dan Wilkinson, 2004).

Kelimpahanikan herbivora

Dalam memonitoring kondisi ikan karang khususnya ikan herbivora,

digunakan metode Underwater Visual Census (UVC) (Hill dan Wilkinson 2004).

(31)

Gambar 6 Metode Underwater Visual Census (Hill dan Wilkinson 2004)

Rekruitment karang baru

Data rekruitmen karang baru dikumpulkan dengan menggunakan metode transek kuadrat 50 x 50 cm setiap 10 m sepanjang transect 3 x 50 m (Hill dan Wilkinson 2004). Karang dengan ukuran < 4 cm dihitung dalam setiap transek dan dilakukan pada kedalaman dangkal (3m) dan dalam (7-8m) (Hill dan Wilkinson 2004) (Gambar 7). Peletakan transek kuadrat dilakukan pada titik 0, 10, 20 dan seterusnya dengan patokan transek substrat dasar.

(32)

Data Sosial ekonomi Perikanan

Informasi-informasi yang terkait dengan sosial ekonomi dan pengelolaan wilayah pesisir di Perairan Aceh utara yang meliputi Pulau Weh, Pulau Beras dan Pulau Nasi dikumpulkan dengan data sekunder, dan interview langsung. Interview dilakukan kepada masyarakat/nelayan, pelaku wisata, kepala desa dan tokoh masyarakat seperti panglima laut yang ada di Pulau Weh Kota Sabang dan Pulau Aceh.

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung (observasi) dan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Informasi dari responden diperoleh melalui wawancara mendalam secara individual dan berkelompok, yaitu dengan menggunakan

metode in-depth interview dan FGD (Focus Group Disscusion) disertai dengan

pengisian kuesioner. Informasi yang dibutuhkan juga diperoleh melalui metode triangulasi,yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan ulang data dengan para tokoh kunci yang ada di lapangan.

Penentuan responden dilakukan dalam dua tahap, yaitu menggunakan

metode purposive sampling dan metode simple random sampling. Metode

Purposive sampling adalah penentuan responden yang dilakukan secara sengaja dengan menggunakan kriteria tertentu. Responden pada studi ini adalah nelayan di Pulau Weh dan Pulau Aceh yang telah melaut selama 5 tahun atau lebih. Selian itu juga target responden adalah pelaku wisata seperti operator selam, pemilik atau pengurus operator selama yang telah bekerja di Pulau Weh lebih selama 5 atau

lebih. Tahap kedua, yaitu metode simple random sampling, menentukan

responden secara acak sekitar 10-15% yang mewakili tiap desa.

Analisis Data Tingkat pemutihan karang

Data dianalis dengan menggunakan proporsi genera karang sampai dengan tingkat genera berdasarkan kategori dan titik pengamatan.

Tingkat pemutihan = ((0xC1)+(1 xC2)+(2xC3)+(3xC4)+(4xC5)+(5xC6)+(6xC7))/6

Keterangan:

C1 = Normal (tidak putih) C2 = Pucat

C3 = 0 – 20 % putih

C4 = 20 – 50% putih

C5 = 50 – 80% putih

C6 = 80 – 100% putih

(33)

Komposisi Substrat dasar

Data yang dihasilkan dari komposisi substrat dasar adalah penutupan karang keras, alga dan komponen lainnya. Perhitungan dilakukan dengan menjumlahkan setiap titik dari tiap 50 m transek. Perhitungan dilakukan dengan 3 (tiga) transek yang berbeda, sehingga akan didapatkan nilai rata-rata. Pada proses perhitungan dilakukan dengan menggunakan excell dan pivot table.

Keterangan:

Penutupan substrat = persen penutupan komponen i

n = jumlah ulangan

Kelimpahan ikan herbivora

Nilai kelimpahan ikan herbivora dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Jumlah spesies ikan = individu

Luas area = Ha (10.000 m2)

Nilai kelimpahan, data jumlah ikan tiap spesies dikonversi dari luasan transek menjadi luasan dalam satuan hektar (ha). Konversi nilai kelimpahan untuk ikan berukuran <10 cm adalah:

Luas transek (2 x 50 m) = 100m2

luas unit area dalam hektar = 100 m2 x 100

Jumlah ikan tiap spesies/ha = jumlah ikan tiap spesies x 100

Konversi nilai kelimpahan untuk ikan berukuran >10 cm adalah:

Luas transek (5 x 50 m) = 250 m2

luas unit area dalam hektar = 250 m2 x 40

Jumlah ikan tiap spesies/ha = jumlah ikan tiap spesies x 40

(34)

Rekruitmen karang

Perhitungan rekruitmen karang baru menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

Rekruitmen karang = jumlah koloni dalam 1 m2

n = jumlah ulangan

Sosial ekonomi dan pengelolaan sumberdaya

Analisis deskriptif pada parameter sosial ekonomi dan indikator pengelolaan sumberdaya bertujuan untuk mengkaji karakteristik reponden berupa: Kondisi sosial ekonomi responden, tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya, tingkat adaptasi responden, persepsi responde terhadap sumberdaya dan dampak pemutihan serta penilaian terhadap pengelolaan kawasan.

Pemberian nilai parameter kunci pemulihan dan pengelolaan ekosistem karang

Untuk menentukan strategi pengelolaan terumbu karang di Perairan Utara Aceh, dilakukan penilaian di setiap lokasi wilayah terumbu karang dari 18 faktor kunci (Tabel 3). Total terdapat 4 indikator kunci, dimana setiap indikator tersebut terdiri dari parameter-parameter yang mempunyai nilai kuantitatif yang kemudian nilai tersebut dikelompokkan menjadi 5 kriteria berdasarkan sebaran normal.

Tabel 3 Faktor-faktor kunci yang menjadi penilaian (modifikasi dari Obura dan Grimsdith 2009)

No Faktor-faktor kunci Penjelasan Kriteria

Indikator ekologi normal dan nilai tertinggi dan terendah. 2 Penutupan alga Tutupan alga diwakili oleh

(35)

Tabel 3 Faktor-faktor kunci yang menjadi penilaian (modifikasi dari Obura dan Grimsdith, 2009) (Lanjutan).

No Faktor-faktor kunci Penjelasan Kriteria 3 Rekruitmen karang Rekruitmen karang dilihat

dari rata-rata jumlah koloni karang baru yang berukuran kurang dari 4 cm. Semakin banyak koloni karang baru,

(36)

Tabel 3 Faktor-faktor kunci yang menjadi penilaian (modifikasi dari Obura dan Grimsdith 2009) (Lanjutan)

No Faktor-faktor kunci Penjelasan Kriteria 7 Komposisi genera Komposisi genera karang

dilihat dari persentasi genera

1= dominasi karang rentan, ≠

ada karang resisten

2 = dominasi karang rentan,

beberapa moderat, ≠ karang

8 Masukan nutrien Adanya masukan nitrat atau buangan dari lahan pertanian

9 Polusi Adanya polusi dari industri melalui sungai, pelabuhan

10 Tingkat sedimentasi Tingkat kekeruhan perairan. Dilihat dari laju sedimentasi

11 Kerusakan fisik pada karang

1 = tidak ada kerusakan

2 = kerusakan rendah

3 = kerusakan sedang

4 = kerusakan tinggi

5 = kerusakan sangat tinggi

12 Aktivitas perikanan karang seperti bom, potas, dan jaring. Semakin banyak

4 = jaring sangat jarang

(37)

Tabel 3 Faktor-faktor kunci yang menjadi penilaian (modifikasi dari Obura and Grimsdith 2009) (Lanjutan)

No Faktor-faktor kunci Penjelasan Kriteria

karang. Dilihat dari ikan yang dimakan dan mata pencaharian

14 Komposisi nelayan Komposisi mata pencaharian di keluarga menjadi dasar

15 Alternatif pekerjaan Adanya sumber pekerjaan alternatif selain nelayan yang 16 Pendidikan Tinggi rendahnya tingkat

pendidikan di suatu wilayah. Dilihat dari komposisi lulusan masyarakat.

1 = Sebagian tidak lulus

2 = sebagian besar lulusan SD

3 = sebagian besar lulus SMP

4 = sebagian besar lulus SMP dan SMA

5 = sebagian besar lulus SMA dan ada beberapa perguruan tinggi 17 Keterampilan Keterampilan yang dimiliki

(38)

Tabel 3 Faktor-faktor kunci yang menjadi penilaian (modifikasi dari Obura dan Grimsdith 2009) (Lanjutan)

No Faktor-faktor kunci Penjelasan Kriteria 18 Persepsi masyarakat

5 = persepsi sangat tinggi

Indikator Pengelolaan

sumberdaya

19 Kawasan konservasi Ada atau tidaknya kawasan yang dikonservasi, dan ada

1 = tidak ada pengaturan alat tangkap

5 = ada pengaturan alat tangkap.

21 Penegakan aturan Ada aturan di kawasan, ada sosialisasi dan ada penegakan.

1 = tidak ada aturan

2 = ada aturan tapi tidak tersosialisasi, tidak ada penegakan

3 = ada aturan, tersosialiasi, kurang/lemah penegakan 4 = ada aturan, tersosialisasi, ada penegakan tapi lemah, 5 = ada aturan, tersosialiasi, penegakan kuat

5 = tidak ada pelanggaran

23 Lembaga pengelola Ada tidaknya lembaga pengelola kawasan dan

2 = ada lembaga pengelola tapi tidak ada sdm

(39)

Tabel 3 Faktor-faktor kunci yang menjadi penilaian (modifikasi dari Obura dan Grimsdith 2009) (Lanjutan)

No Faktor-faktor kunci Penjelasan Kriteria 24 Kearifan lokal Ada atau tidaknya lembaga

adat beserta aturannya. ada dan berfungsi, dihargai dan di patuhi masyarakat. Semakin

2 = lembaga adat ada, aturan kurang jelas

5 = Lembaga adat dan aturan adat ada, berfungi, dihargai 2 = sangat sedikit masyarakat yang dilibatkan, dan sebagian 5 = masyarakat terlibat dalam pengelolaan secara langsung mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan

26 Peran pemerintah Peran pemerintah dalam membuat perencaaan pengelolaan kawasan dan sumberberdayanya. Dilihat dari ada atau tidaknya visi dan program secara spesifik.

(40)

Ordinasi multidimensional scaling

Proses ordinasi dilakukan setelah pemberian skor pada setiap atribut dan

dimensi, serta penentuan titik acuan utama (“baik” dan “buruk”). Selain itu juga

posisi titik keefektifan dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu vertikal dan horisontal). Posisi efektivitas pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Utara Aceh yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrim dan dapat dianalisis indeks keefektifannya dengan melihat nilai persentase keefektifan pengelolaan pada garis horisontal tersebut. Pada hasil ordinasi akan dikelompokkan wilayah-wilayah di Perairan Utara Aceh berdasarkan ciri dari parameter-parameter tersebut. Jarak wilayah pengelolaan dengan tiap parameter dan antara wilayah yang paling dekat mengindikasikan bahwa kelompok tersebut memiliki kemiripan yang sangat tinggi.

Menghitung nilai “stress (standardized residual sum of square)” dengan menggunakan nilai jarak pada saat dua dimensi dan hasil analisis regresi antara jarak dua dimensi dengan nilai jarak pada saat p dimensi (nilai harapan jarak pada

saat dua dimensi). Analisis MDS berhenti jika nilai “stress” telah memenuhi

persyaratan yang dikehendaki, dalam hal ini <0.25 atau jika “stress” tidak turun

lagi didalam interasi (Supranto 2010).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Dampak pemutihan karang

Pada bulan april 2010 NOAA mengeluarkan data yang menunjukkan suhu permukaan air pada bulan April merupakan suhu yang paling panas dibanding dengan suhu April pada tahun-tahun sebelumnya, Selain itu juga pada bulan April 2010 NOAA telah mengeluarkan peringatan pada tingkat 2 di beberapa tempat dimana suhu permukaan air laut di Samuadera Hindia dan Samudera Pasifik mencapai suhu tertinggi yaitu mencapai 33ºC (Gambar 8). Peningkatan suhu

tersebut diikuti oleh peningkatan derajat pemanasan mingguan (Degree Heating

Weeks).

Pada awal bulan Mei 2010 NOAA kembali mengeluarkan data yang menunjukkan bahwa peningkatan suhu permukaan air laut dalam waktu yang panjang memberikan dampak yang langsung terhadap terumbu karang. NOAA/NESDSIS mengeluarkan data bahwa terdapat titik-tik pemutihan karang di beberapa tempat di dunia diantaranya di Indonesia, khususnya di wilayah utara

Sumatera (Gambar 9). Pada bulan Mei – Juni 2010 data suhu permukaan laut dan

(41)

Gambar 8 Suhu permukaan air laut pada bulan April–Juni 2010 ( NOAA/NESDIS).

Peningkatan suhu yang drastis dalam waktu yang lama mengakibatkan

pemutihan karang yang parah. Muttaqin et al. (2011) menunjukkan bahwa pada

bulan Mei 2010 67% koloni karang dalam memutih, 21% koloni karang dalam kondisi pucat, dan 10% karang yang masih dalam kondisi sehat. 2 bulan setelah meningkatnya suhu permukaan air laut, terumbu karang di wilayah utara Aceh mengalami perubahan yang sangat drastis. Pada bulan Juli 2010 sebanyak 44% karang yang memutih sebelumnya telah mati, sedangkan 33% karang masih dalam kondisi memutih. Pada bulan Februari 2011, kondisi suhu permukaan air laut kembali normal, komposisi karang yang memutih dan pucat mengalami penurunan dan beberapa koloni karang telah pulih dan kembali sehat (Gambar 10).

Gambar 9 Tanda peringatan pemutihan karang berdasarkan titik panas pada

(42)

Pada survey yang dilakukan pada bulan Mei, Juli 2010 dan Februari 2011 juga dilakukan pengamatan kondisi perairan secara visual. Parameter yang dilihat adalah tingkat kecerahan, sedimentasi, masukan nutrien dan polusi. Selain itu juga

dikumpukan data invertebrata terutama Acanthaster plancii (COT), penyakit

karang dan aktivitas perikanan yang berdampak pada kematian karang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara fisika dan kimia perairan di Utara Aceh berada pada kondisi yang baik untuk ekosistem terumbu karang. Dimana perairan di Utara Aceh memiliki tingkat kecerahan yang tinggi, dengan jarak pandang di kolom perairan mencapai 20 m. selain itu juga tidak ditemukan sedimentasi yang tinggi karena di Utara Aceh sangat jauh dari sungai besar. Pada hasil pengamatan invertebrata dan penyakit karang tidak ditemukan pemakan karang seperti COT, dan coralivora lainnya. Selain itu juga tidak ditemukan bukti-bukti adanya serangan penyakit karang. Hal ini menunjukkan bahwa pemutihan karang yang terjadi di Utara Aceh terjadi karena kenaikan suhu permukaan air laut.

Gambar 10 Kondisi karang keras berdasarkan kategori pemutihan

Pada survey yang dilakukan pada bulan Mei – Juli 2010 tercatat 56 genera

karang keras di perairan Utara Aceh pada kedalaman dangkal maupun pada kedalaman yang lebih dalam. Komposisi Genera karang keras didominasi oleh

genera karang Porites sebesar 35-40%, Acropora 20-30% dan genera karang

keras lainnya seperti Favites, Pocillopora dan Montipora. Tingkat keparahan

pemutihan karang yang terjadi di perairan utara Aceh dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya variabilitas suhu permukaan air laut, radiasi ultra violet, kondisi oseanografi fisika dan komposisi karang di suatu wilayah. Karang yang memiliki karakter perairan dengan variabilitas suhu harian cukup tinggi cenderung lebih kuat menghadapi kenaikan suhu yang drastis. Daerah tersebut bisanya terjadi pada daerah dengan tunggang pasang surut yang tinggi dan

May-10 Jul-10 Feb-11 May-10 Jul-10 Feb-11

(43)

terekspose ketika surut. Selain itu juga karakter perairan dengan pergerakan air yang cukup tinggi seperti daerah selat merupakan daerah dimana dampak pemutihan karang biasanya rendah.

Tingkat pemutihan karang pada perairan dangkal di perairan Utara Aceh lebih parah jika dibandingkan dengan karang yang berada di perairan dalam. Hal ini tidak terlepas dari penetrasi sinar ultra violet pada perairan dangkal sangat tinggi dibanding perairan dalam. Radiasi UV menurun seiring kenaikan kedalaman dan suhu lingkungan sering lebih rendah di perairan yang lebih dalam, karena itu kejadian pemutihan dan atau kematian karang akan lebih rendah pada kedalaman air yang lebih besar. Gambar 8 menunjukkan bahwa dampak kematian karang akibat pemutihan karang di perairan dangkal lebih tinggi dibandingkan di

perairan dangkal. Pada kedalaman 0 – 2 m total 75% dengan genera Acropora

mengalami kematian, dan hanya 20% karang Acropora yang mengalami

kematian. Sementara pada kedalaman 6-8 m karang Acropora tidak mengalami

kematian karang yang signifikan (Bridge et al. 2013).

Di perairan Utara Aceh komposisi karang keras merupakan faktor yang cukup dominan sehingga dampak pemutihan karang sangat tinggi. Komposisi karang lebih banyak didominasi oleh karang bercabang yang memiliki

kemampuan tumbuh lebih cepat seperti Acropora, Seriatopora, Stylophora,

Montipora dan Pocillopora. Karang – karang tersebut menderita pemutihan

karang yang lebih parah jika dibandingkan dengan karang massive yang memiliki

pertumbuhan relatif lambat seperti Favites, Favia, Goniastrea, Astreopora dan

Turbinaria. Kenaikan suhu sebesar 1 ˚C di atas rata-rata suhu tertinggi membuat karang yang rentan mengalami stress dan pucat.

Komposisi substrat dasar

Kondisi tutupan karang di daerah Utara Aceh di kedalaman dangkal mengalami penurunan yang dratis pasca pemutihan karang tahun 2010. Penurunan tutupan karang tersebut hampir terjadi di semua titik pengamatan dan di semua tipe pengelolaan yang ada. Satu tahun sebelum terjadinya pemutihan karang (2009), rata-rata tutupan karang di wilayah Utara Aceh sebesar 51.34±3.25 %. Pada tahun 2011 atau satu tahun setelah pemutihan karang, rata-rata tutupan karang keras mengalami penurunan menjadi 44.17±2.6 %. 3 Tahun setelah pemutihan karang, rata-rata tutupan karang keras menjadi 31.10±3.82%. (Gambar 11). Berdasarkan uji T satu arah terjadi perbedaan rata-rata tutupan karang keras yang signifikan antara rata-rata tutupan karang keras pada tahun 2009

dibandingkan dengan 2013 (T α= 0.05 = 4.610; P < 0.05) dan rata-rata tutupan

karang pada tahun 2011 dengan tahun 2013 (T α= 0.05= 4.638; P < 0.05).

(44)

Gambar 11 Penutupan karang keras pada kedalaman dangkal tahun 2009, 2011, 2013

Penurunan rata-rata tutupan karang keras tertinggi terjadi di dua tipe pengelolaan, yaitu TWAL Iboih dan kawasan Weh open access. Rata-rata tutupan karang keras pada tahun 2013 di dua tipe pengelolaan tersebut mengalami penuruan lebih dari 50% dibandingan tutupan karang keras pada tahun 2009. Sementara di tipe pengelolaan Pulau Aceh tidak terlihat dampak pemutihan karang tahun 2010 terhadap rata-rata tutupan karang keras pada tahun 2011 dan 2013. Rata-rata tutupan karang justu mengalami kenaikan pada tahun 2011 dan 2013. Berdasarkan Uji Anova dua arah terdapat perbedaan tutupan karang yang

signifikan dalam setiap tahunnya (F2,57 = 12.818; P < 0.05), tetapi tidak ada

perbedaan tutupan karang yang signifikan antara tipe pengelolaan yang ada di

Utara Aceh (F3, 57 = 4.428 ; P < 0.05). Hal ini menyatakan bahwa tipe pengelolaan

tidak memberikan pengaruh terhadap dampak pemutihan karang.

Dampak penurunan tutupan karang akibat pemutihan karang bersifat luas dan besar. Hal tersebut karena wilayah dalam satu region yang sama cenderung memiliki karakteristik ekosistem yang sama seperti karakter perairan, komposisi genera karang dan suhu permukaan air laut. Hal ini terlihat pada penurunan tutupan karang keras di Utara Aceh, dimana perbedaan tipe pengelolaan tidak mampu mengurangi dampak pemutihan dan kematian karang. Faktor oseanografi dan internal karang keras dalam merespon kenaikan suhu menjadi faktor utama yang membedakan tingkat pemutihan, kematian karang dan penurunan tutupan karang keras.

Pulau Aceh KKP Pantai Timur TWAL Iboih Weh Open Access Total

(45)

Gambar 12 Penutupan alga pada kedalaman dangkal tahun 2009, 2011 dan 2013

Tingginya tingkat kematian karang keras akibat pemutihan karang telah merubah komposisi substrat dasar. Setelah kematian karang keras dalam skala yang luas, komposisi substrat dasar didominasi oleh tutupan alga. Tingginya kematian karang pada kedalaman dangkal tidak terlepas dari tingginya kematian

genera Acropora dan Pocillopora yang merupakan karang dengan kategori

rentan. 2 bulan setelah kenaikan suhu yang ekstrim kedua genera tersebut merupakan genera yang pertama kali mengalami kematian dan langsung ditutupi oleh alga. Seiring dengan bertambahnya kematian karang berdasarkan waktu, tutupan alga di semua wilayah pengamatan semakin tinggi dan dalam waktu 2 tahun telah merubah komposisi substrat menjadi dominan alga dan hilangnya bangunan karang.

Sebagai konsekuensinya terjadi peningkatan rata-rata tutupan alga yang di hampir setiap titik pengamatan. Secara umum rata-rata tutupan alga di perairan dangkal pada tahun 2013 meningkat 200% jika dibandingkan dengan rata-rata tutupan alga pada tahun 2009 (Gambar 12). Pada tahun 2013 telah terjadi kenaikan rata-rata tutupan alga secara signifikan dibandingkan dengan rata-rata

tutupan alga tahun 2009 (Tα= 0.05 = 7.783 ; P< 0.05) dan 2011 ( T α = 0.05 = 4.851; P

< 0.05). Hubungan tutupan karang dengan alga di Utara Aceh pasca pemutihan karang adalah berkorelasi positif dengan kematian karang, semakin tinggi tingkat kematian karang semakin tinggi penutupan alga di wilayah tersebut.

Kelimpahan ikan karang

Ikan karang dan teumbu karang memiliki hubungan dan keterkaitan yang erat. Dalam proses ko-evolusi, ikan karang tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya terumbu karang sebagai habitatnya. Ikan karang selalu

0

Pulau Aceh Weh Open Access KKP Pantai Timur TWAL Iboih Total

(46)

merespon terhadap perubahan dalam ekosistem terumbu karang demikian juga sebabaliknya, dimana terumbu karang dipengaruhi oleh perkembangan populasi

ikan karang, terutama peranan ikan herbivora (frizt et al. 2002); (Steneck 2010 in

Edrus dan Setyawan 2013).

Pada saat ini terumbu karang terancam oleh beberapa faktor seperti tekanan antrophogenik, polusi, sedimentasi dan perubahan iklim global. Perubahan iklim yang memicu terjadinya pemutihan karang merupakan salah satu ancaman paling

besar terhadap terumbu karang (Hughes et al. 2003); (Bellwood et al.

2004);(Wilson et al. 2006 in Graham et al. 2007). Dampak jangka pendek dari

pemutihan karang terhadap komunitas ikan karang yang memiliki khususan hewan karang sebagai makanan, tempat tinggal dan rektrutmen ikan baru seperti ikan dengan yang memakan polip karang. Pada jangka medium, pemutihan karang

akan berdampak pada penurunan populasi ikan pemakan karang (Pratchett et al.

2006 in Graham et al. 2007). Dampak yang lebih besar terjadi jika susuan struktur

terumbu karang secara fisik hancur akan berakibat pada penurunan

keanekaragaman spesies ikan karang (Garpe et al. 2006);(Glynn 2006);( Graham

et al. 2006 in Graham et al. 2007).

Rata-rata kelimpahan ikan karang di wilayah Utara Aceh mengalami penurunan pasca pemutihan karang pada tahun 2010. Data pada tahun 2009 dan tahun 2013 memperlihatkan bahwa penurunan tersebut terjadi hampir di setiap lokasi pengamatan di Utara Aceh terutama di Pulau Weh. Pada tahun 2009 kelimpahan ikan karang mencapai 42.575±6368 individu/Ha, mengalami penurunan pada tahun 2011 atau satu tahun setelah pemutihan karang menjadi 16.966±1435 individu/Ha dan 3 tahun setelah pemutihan karang, rata-rata kelimpahan ikan karang menjadi 8724 ±1128 individu/ha (Gambar 13).

Gambar 13 Rata-rata kelimpahan ikan karang berdasarkan tipe pengelolaan pada tahun 2009, 2011 dan 2013.

Berdasarkan Uji T satu arah terjadi penurunan kelimpahan ikan karang secara signifikan antara rata-rata kelimpahan ikan karang pada tahun 2009 dengan

0

Pulau Aceh KKP Pantai Timur TWAL Iboih Weh Open Access Total

Gambar

Gambar 1   Alur penelitian
Tabel 1  Keutungan dan konsekuensi dari simbiosis hewan karang dengan
Tabel 1  Keutungan dan konsekuensi dari simbiosis hewan karang dengan
Gambar 4   Lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

2 Lokasi penelitian 4 3 Metode point intercept transect untuk substrat dasar 6 4 Metode transek kuadran untuk rekruitmen karang 6 5 Metode sensus visual untuk ikan herbivora

Rekomendasi pengelolaan yang perlu dilakukan yaitu rehabilitasi terumbu karang diwilayah-wilayah yang memiliki penutupan yang rendah atau terdapat kerusakan terumbu karang

Sebagai salah satu dasar pengelolaan, maka pengelolaan secara ekologi-ekonomi di kawasan ini menjadi sangat penting untuk memahami sejauh mana pemanfaatan Kawasan Konservasi

[r]

Permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pada ekosistem terumbu karang yang disebabkan oleh (1) rendahnya pemahaman masyarakat tentang nilai sumberdaya

Secara umum tujuan penelitian ini adalah membangun desain optimasi pengelolaan untuk meningkatkan kondisi ekologi dan ekonomi terumbu karang yang berorientasi pada

Penurunan persentase tutupan karang di perairan Pulau Unggeh juga dapat disebabkan karena karang mengalami stres hal ini dibuktikan bahwa dilokasi penelitian ditemukan

Dampak pemutihan karang tahun 2016 terhadap ekosistem terumbu karang: studi kasus di TWP Gili Matra (Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan) Provinsi NTB Coral bleaching impact