• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Syarat Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014 (Analisis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.52/Puu-X/2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Syarat Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014 (Analisis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.52/Puu-X/2012)"

Copied!
198
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

ALDO PUTRA HARSA NIM. 109048000067

KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/ 2013 M. xii + 75 halaman. Penelitian ini menganalisis syarat-syarat partai politik peserta pemilu tahun 2014 yang ada dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 pasca putusan Mahkamah Konstitusi, serta akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap syarat partai politik terhadap partai politik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum, dan secara praktis maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk menganalisis syarat partai politik agar dapat menjadi peserta pemilu tahun 2014 pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library kepustakaan) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada konflik norma hukum yang terjadi pada peraturan perundang-undangan. Kemudian dibantu dari bahan-bahan hukum seperti buku, jurnal, tesis, dan artikel yang mendukung pembahasan penelitian. Dari hasil tinjauan dapat disimpulkan bahwa persyaratan partai politik peserta pemilu tahun 2014 pasca putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan hak konstitusional di dalam UUD 1945 dan mengakibatkan partai politik baru tidak bisa menjadi peserta pemilu tahun 2014

Kata Kunci : Partai Politik, Hak Konstitusional, Persyaratan Peserta Pemilu, Mahkamah Konstitusi

(6)

v Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SYARAT PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU TAHUN 2014 (Analisis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012).”. shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan serta nabi akhir zaman yakni Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN SYARIF HIDAYATULLAH Jakarta. Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

(7)

vi

3. Bapak Syafrudin Makmur, S.H., M.H., dan Bapak Fenny Arifiani S.Ag, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia memberikan saran, kritik, bantuan, dan masukan selama saya menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas waktu dan pikiran yang telah diberikan untuk membimbing saya

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum, dan yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu Hukum. semoga ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat bagi penulis baik di dalam kampus, maupun ketika telah lulus.

5. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Supangkat Hartawan dan Ibunda Dyah Susanti, yang selalu mengirimkan doa dan mencurahkan segala pikiran serta kasih sayangnya dalam mendidik penulis hingga ke perguruan tinggi. Semoga Allah selalu membahagiakan mereka dunia akhirat.

(8)

vii

8. Teman-temanku di Ilmu Hukum maul, saddam, gagat, zaki, roma, wa adul, jajank, ratno, dani, riri, imam machdi, pita, galih, dan teman2 lain khususnya angkatan tahun 2009, penulis mengucapkan terima kasih atas support, kritik, saran, dan bantuan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

9. Kawan-kawan di Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan (awe,uci,bani, torang,salboy) penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan.

10. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka

Akhirnya, penulis mengucapkan terimakasih dan maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekian dan terimakasih.

Wassalamu’alaikum,Wr.Wb

Jakarta, 10 Januari 2014

(9)

ix DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR LAMPIRAN.. ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 6

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D.Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 8

E. Kerangka Konseptual ... 9

F. Metode Penelitian ... 11

G.Sistematika Penelitian ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KONSTITUSIONAL DAN PARTAI POLITIK ... 17

A.Hak Konsitusional ... 17

1. Landasan Filosofis.. ... 20

(10)

xi

B.Hak Konstitusional di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945... .. 22 C.Partai Politik.. ... 29 D.Hak Konstitusional Partai Politik di Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945 ... 30 BAB III TINJAUAN TENTANG PEMILIHAN UMUM DAN

PERSYARATAN PARTAI POLITIK ... 36 A.Pemilihan Umum ... 36 B.Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik Sebagai

Badan Hukum Tahun 2004-2009 ... 40 C.Persyaratan Partai Politik Sebagai Peserta Pemilihan Umum

Tahun 2004-2009 ... 44 D.Persyaratan Pembentukan Partai Politik Dan Persyaratan Partai

Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014 ... 47 BAB IV PERSYARATAN PARTAI POLITIK PESERTA PEMILIHAN

UMUM TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... 51 A.Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

No.52/PUU-X/2012 Terhadap Partai Politik.. ... 51 B.Analisis Persyaratan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014

(11)

xi

(12)
(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945 adalah kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum.1 Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan: kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Hal ini menegaskan bahwa kedaulatan rakyat berada dalam kerangka negara hukum. Sebagai negara hukum, segala tindakan penyelenggara negara dan warga negara harus sesuai dengan aturan hukukm yang berlaku. Hukum dalam hal ini adalah hirarki tatanan norma yang berpuncak pada konstitusi yaitu UUD NRI 1945. Maka, pelaksanaan demokrasi juga harus berdasarkan pada aturan hukum yang berpuncak pada UUD 1945.

Di dalam praktik, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat yang disebut parlemen.2 Agar wakil-wakil rakyat benar-benar bertindak atas nama rakyat, wakil-wakil rakyat itu harus di tentukan sendiri oleh rakyat melalui pemiluhan umum (pemilu). Dengan demikian, pemilihan umum itu tidak lain merupakan cara yang diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis, karena cara ini memberikan

1

Janedri M Gaffar, Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h.7.

2

(14)

peluang yang sama kepada setiap orang untuk menjadi wakil rakyat di pemerintahan.3 Oleh karena itu, bagi negara yang menyebut sebagai negara demokrasi, pemilihan umum merupakan sarana pergantian pemimpin yang harus dilaksanakan secara berkala dalam waktu-waktu tertentu.

Pemilihan umum bagi negara demokrasi seperti Indonesia sangat penting artinya karena menyalurkan kehendak asasi politik bangsa, yaitu sebagai pendukung/pengubah anggota dalam lembaga negara, mendapatkan dukungan mayoritas masyarakat dalam menentukan pemegang kekuasaan negara terutama pemegang kekuasaan legislatif. Pemilihan umum atau pemilu di Indonesia sekarang bertujuan memilih : (i) Presiden dan Wakil Presiden, (ii) anggota DPR dan DPD, (iii) anggota DPRD Provinsi; (iv) anggota DPRD Kabupaten/kota.4

Pasca reformasi, Indonesia telah beberapa kali melaksanakan pemilihan umum anggota legislatif, yaitu pada tahun 1999, 2004, dan 2009. Pada pemilihan umum tahun 2004, pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD diatur dalam Undang-Undang nomor 12 Tahun 2003. Pada tanggal 1-27 september 2003 Departemen Kehakiman dan HAM melakukan verifikasi terakhir terhadap 66 partai politik.5 Selanjutnya partai politik yang lolos akan segera menjalani verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar dapat menjadi peserta pemilu

3

Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan Perwakilan, (Bandung: PT alumni, 2007), h. 7.

4

Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Buana Ilmu Komputer, 2007), h. 742.

5

(15)

tahun 2004. Memang menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak terdapat klausul yang menyebutkan secara langsung tentang perlunya pembatasan partai politik peserta pemilu. Dengan melihat tahapan dan mekanisme yang harus dilalui oleh partai politik pemilu 2004, maka dapat dipahami secara tersurat ini adalah pola pembatasan.6 Mengenai syarat partai politik dapat menjadi peserta pemilu diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Dari hasil verifikasi, partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu tahun 2004 berjumlah 24 (dua puluh empat) partai politik.7

Kemudian diatur pula untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya (pemilu 2009) partai politik peserta pemilu harus mencapai angka 3% jumlah kursi DPR dan 4 % jumlah kursi DPRD provinsi kabupaten/kota. Partai-partai besar cenderung dan menyetujui dan mendorong agar persentase electoral threshold dinaikan. Sementara partai-partai kecil menghendaki electoral threshold dikurangi bahkan ada yang meminta agar ketentuan ini tidak perlu dimuat.8 Pemerintah sendiri menyatakan bahwa pengusulan electoral threshold 3% adalah dalam rangka mendorong proses seleksi alamiah partai politik.9

6

Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu, (Yogyakarta: Lembaga Studi & Agama, 2007), h. 7.

7

Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 150.

8

Khairul Fahmi, Pemilihan Umum Kedaulatan Rakyat,(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 184.

9

(16)

Pada pemilu tahun 2009, pemilihan umum anggota legislatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Penambahan persyaratan yang cukup signifikan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 adalah syarat menyertakan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Satu catatan penting yang juga perlu disinggung, bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 sepanjang menyangkut persyaratan bagi partai politik yang sudah ikut pemilu sebelumnya, tidak lagi memperlakukan persyaratan tertentu seperti memiliki sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR dan seterusnya. Namun secara tegas dinyatakan bahwa partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya dapat menjadi peserta pemilu pada pemilu berikut.

(17)

menjadi peserta pemilu diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.

Kemunculan pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dirasakan tidak adil bagi partai politik pada pemilu sebelumnya yang tidak memenuhi ambang batas suara sah secara nasional, karena untuk mengikuti pemilu tahun 2014 harus memenuhi syarat-syarat verifikasi yang ditentukan pada pasal 8 ayat (2) Undang-Undang pemilu legislatif. Sedangkan bagi partai politik peserta pemilu sebelumnya yang memenuhi ambang batas suara sah secara nasional otomatis ditetapkan sebagai peserta pemilu tahun 2014 tanpa harus memenuhi syarat verifikasi pada pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Beberapa partai politik merasa dirugikan dengan adanya ketentuan pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tersebut, antara lain Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), dan Partai Republika Nusantara.10 Partai politik yang merasa dirugikan dengan adanya ketentuan pada pasal 8 tersebut kemudian melakukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi sehingga keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 menyatakan bahwa pasal 8 ayat 1 dan sebagian ayat (2) Undang-Uundang Nomor 8 Tahun 2012 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

10

(18)

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang membahas permasalahan syarat partai politik peserta pemilu tahun 2014. Hal tersebut penulis sajikan dalam bentuk penelitian Penulisan Hukum yang berjudul

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SYARAT PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU TAHUN 2014 (Analisis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan di lingkup pemilihan umum di Indonesia, maka ruang lingkup masalah dalam penelitian ini difokuskan hanya terhadap masalah syarat partai politik peserta pemilu tahun 2014 berdasarkan pasal 8 Undang-Undang No 8 Tahun 2012.

2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang akan dikaji penulis adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana akibat hukum pasca putusan Mahkamah Konstitusi terhadap partai politik ?

(19)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan meninjau secara yuridis syarat partai politik peserta pemilihan umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui perihal akibat hukum dibatalkanya pasal 8 ayat (1) terhadap partai politik serta meninjau sebagian ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. b. Untuk mengetahui perihal syarat partai politik peserta pemilu tahun 2014

pasca putusan Mahkamah konstitusi apakah masih bertentangan dengan hak konstitusional partai politik atau tidak.

2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai peninjauan terhadap aturan hukum yang mengatur partai politik peserta pemilihan umum pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.52/PUU-X/2012 dan memperkaya khazanah penelitian ilmiah dalam ilmu hukum tata negara dan hukum pemilu.

b. Manfaat Praktis

(20)

1) Bagi Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmu hukum khususnya di bidang ketatanegaraan yang berkaitan dengan undang-undang pemilihan umum.

2) Bagi Masyarakat Umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah tambahan informasi kepada masyarakat, khususnya masyarakat yang senang terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang berkaitan dengan partai politik dan pemilu di Indonesia.

3) Bagi Pemerintah

Dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal ini Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang pemilihan umum di Indonesia.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam kajian terdahulu, Pernah ada penelitian terdahulu dalam bentuk skripsi mengenai permasalahan peserta pemilu yang berjudul “ analisis penetapan partai

(21)

Umum terhadap partai politik tahun 2009, sedangkan penulis mengkaji aturan hukum (regeling) dalam hal ini undang-undang yang berkaitan dengan syarat partai politik peserta pemilu tahun 2014.

Selanjutnya penelitian oleh Rendy Rudagi yang berjudul “pelaksanaan

verifikasi partai politik peserta pemilu tingkat provinsi di Sumatra Barat dalam pemilihan umum periode 2009-2014”, Universitas Andalas, 2011. Perbandingan penelitian dengan penulis terletak pada fokus materi yang dikaji, dimana Rendy Rundagi membuat kajian empiris tentang pelaksanaan aturan KPU terhadap partai politik di wilayah Sumatra Barat.

E. Kerangka Konseptual

Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala terebut. Gejala biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.11. Penulisan skripsi ini menggunakan definisi operasional sebagai berikut:

1. Negara Hukum

Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaannya didasarkan atas hukum. Menurut Arif Sidharta, ciri negara hukum ada 5 yakni : perlindungan

11

(22)

terhadap hak asasi manusia, berlakunya asas kepastian hukum, adanya persamaan di depan hukum (equality before the law), penerapan asas demokrasi, pemerintah dan pejabat yang amanah dalam mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat.12

2. Persamaan di depan Hukum (equality before the law)

Persamaan di depan hukum berarti setiap orang diperlakukan sama di depan hukum, tanpa adanya diskirminasi. Sesuai dengan pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi : segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

3. Hak Asasi Manusia

Hak asasi adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

12

(23)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada konflik norma hukum pada persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu tahun 2014 dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang sebagian sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach) pendekatan analisis dan konseptual hukum (conceptual approach),.13

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meneliti berbagai peraturan hukum yang menjadi fokus dalam penelitian. Dalam hal ini pendekatan perundang-undangan beranjak pada peraturan yang berkaitan dengan pemilihan umum dan partai politik. Contohnya : Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu legislatif.

13

(24)

Pendekatan sejarah dilakukan dengan mengkaji dari sejarah penormaan syarat partai politik dari kurun waktu tertentu. Contohnya : peraturan mengenai persyaratan peserta pemilu tahun 2004-2009.

Pendekatan analisis dan konseptual hukum dilakukan dengan cara menelaah pandangan para ahli hukum tata negara yang berkaitan dengan pemilihan umum atau partai politik kemudian menghubungkan dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan sejarah.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu: a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) TAP MPR NO. III Tahun 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Perundang-Undangan

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(25)

5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu

6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai politik 8) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik

9) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

10) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 atas pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

11) Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 8 Tahun 2012 b. Bahan Hukum Sekunder

(26)

c. Bahan non-hukum

Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seprti Kamus Hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain-lain.

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara mengolahnya dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh dari pendekatan yang dilakukan oleh penulis yakni pendekatan perundang-undangan dan sejarah, kemudian dihubungkan dengan pendapat para ahli hukum. dari sini akan ditemukan jawaban yang berkaitan dengan permasalahan syarat partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014.

G. Sistematika Penulisan

(27)

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang memuat : latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Tentang Hak Konstitusional dan Partai Politik di Indonesia. Pada bab ini membahas tentang hak konstitusional, landasan filosofis, landasan sosiologis, hak konstitusional pasca amandemen UUD 1945, partai politik, hak konstitusional partai politik di Indonesia pasca amandemen UUD 1945.

BAB III Tinjauan Tentang Pemilihan Umum Dan Persyaratan Partai Politik. Bab ini membahas pemilihan umum, persyaratan pembentukan partai politik sebagai badan hukum tahun 2004-2009, persyaratan partai politik sebagai peserta pemilu tahun 2004-2009, persyaratan pembentukan partai politik dan persyaratan partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014.

(28)

yang tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap hak konstitusional partai politik

(29)

17

POLITIK

A. Hak Konstitusional

Hak konstitusional berasal dari dua kata yakni hak dan konstitusi. Pertama perlu dijelaskan terlebih dahulu terkait pengertian hak. Para ahli hukum berbeda pendapat mengenai pengertian hak, tetapi penulis lebih cenderung memilih pengertian hak sesuai dengan pasal (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan : hak asasi adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Kedua, terkait dengan pengertian konstitusi. Secara bahasa konstitusi berasal dari bahasa Prancis „constituer” yang berarti membentuk.15 Ada juga yang berpendapat bahwa konstitusi berasal dari bahasa inggris yakni „constitution” yang berarti undang-undang dasar. dalam konteks bahasa, penulis lebih memilih konstitusi yang bermakna undang-undang dasar baik tertulis maupun tidak tertulis. Kemudian jika melihat dari segi istilah, tentu para ahli hukum tata negara punya pandangan yang berbeda-beda.

15

(30)

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa konstitusi adalah segala peraturan permulaan mengenai suatu negara, yang memuat peraturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakan bangunan besar, yakni negara. Kemudian K.C.Wheare berpendapat bahwa istilah konstitusi dipakai untuk menyebut sekumpulan prinsip fundamental pemerintahan dari suatu negara.

Herman Heller, pakar yang lainnya mengenai konstitusi ke dalam tiga pengertian sebagai berikut :

1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan, dan ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum, atau dalam pengertian lain konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis.

2. Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan sebagai kesatuan kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut konstitusi dalam pengertian hukum 3. Kemudian orang mulai menulisnya dalam satu naskah sebagai

undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.16

Dalam hal pengertian konstitusi secara istilah, penulis menggunakan pendapat dari Prof Jimly Asshidiqie, yakni konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan

16

(31)

pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.17 Melihat kedua hal tersebut, penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak manusia yang dijamin oleh konstitusi atau undang-undang dasar. Tentu tidak semua hak-hak manusia keseluruhannya dijamin oleh undang-undang dasar. karena selain dijamin oleh undang-undang dasar yang kemudian disebut dengan hak konstitusional, ada pula hak-hak yang dijamin oleh hukum seperti undang-undang atau peraturan perundang-undang-undang-undangan yang lain di bawah undang-undang-undang-undang dasar. kedua hal tersebut dalam hukum dikenal dengan istilah hak konstitusional (constitutional rights) dan hak legal (legal rights).

Keberadaan konstitusi tersebut sebagai upaya untuk menjamin kepastian sistem hukum norma tertinggi. Di samping itu, keberadaannya sebagai dan upaya untuk melindungi rakyat terhadap penyalahgunaan kekuasaan negara, sehingga Kelsen yang menempatkan konstitusi menduduki tempat tertinggi dalam sistem hukum nasional yang disebut fundamental law.18

Berdasarkan hasil kerja Komisi Konstitusi MPR RI, secara konseptual ada tiga karakter utama dari suatu konstitusi, yaitu:

a) Konstitusi sebagai suatu hukum

b) Konstitusi sebagai kerangka kerja sistem pemerintahan

17

Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. (Jakarta; Konstitusi Press, 2005 ), h. 35.

18 Ni’matul Huda.

(32)

c) Konstitusi merupakan suatu instrument yang legitimate untuk membatasi kekuasaan pejabat pemerintah.19

1. Landasan Filosofis

Filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral dan etika bangsa tersebut. Di dalam nilai dan moral etika itu terpadat kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan nilai lainnya yang dianggap baik oleh suatu bangsa.20 Dalam hal ini, khususnya bangsa Indonesia memiliki pandangan hidup atau falsafah bangsa yang dikenal dengan pancasila.

Pancasila khususnya sila ke-2 : kemanusiaan yang adil dan beradab tentu menjadi nilai serta pandangan hidup bangsa bahwa secara hakiki manusia itu tidak boleh diperlakukan secara tidak manusiawi. Sila ke-2 pancasila ini tentu menjadi norma dasar bahwa masyarakat khususnya pemerintah harus menjamin hak-hak asasi manusia. Karena hak asasi manusia adalah bawaan kodrati Tuhan yang apabila dihalangi akan menghambat kemajuan masyarakat baik secara moral maupun secara sosial. Kemanusiaan yang beradab berarti menganggap setiap orang lain tanpa membedakan agama, kebangsaan, warna kulit, sebagai saudaranya tanpa memperlakukan secara diskriminasi.21

19

Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Ketentuan Konstitusional pemberlakuan Keadaan Darurat Dalam Suatu Negara,Jurnal Konstitusi. Volume 6 nomor 1. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009), h. 44.

20

Supardan Modeong, Teknik Perundang-Undangan di Indonesia. (Jakarta: Perca, 2005), h. 58.

21

(33)

2. Landasan Sosiologis

Setiap peraturan perundang-undangan termasuk konstitusi harus lahir dari kebutuhan masyarakat. Membuat konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, keyakinan, dan kesadaran masyarakat tidak akan ada artinya dan mungkin tidak dapat diterapkan karena tidak akan dipatuhi dan dihormati.22 Keadaan sosial masyarakat Indonesia yang telah mengalami penjajahan selama 3,5 abad menunjukan bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia. Mulai dari hak sosial, hak ekonomi, hak budaya, serta hak politik. Pada masa penjajahan, terlihat tidak adanya jaminan terhadap hak sipil serta hak politik kepada masyarakat Indonesia. orang-orang yang bisa bersekolah hanya dari kalangan keturunan raja atau orang-orang dari bangsa lain, seperti timur asing atau eropa. Bangsa pribumi selalu terpinggirkan dalam pengembangan diri. Begitu pula dengan hak politik, kaum-kaum pribumi yang ingin duduk di posisi pemerintahan, selalu di asingkan, dipenjara, bahkan tidak jarang diasingkan keluar negeri.

Mendasari semua itu, maka lahirlah UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia yang berangkat dari nilai dan norma masyarakat Indonesia yang secara hakiki menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia. Pasca kemerdekaan Indonesia, tidak ada lagi diskriminasi hak asasi manusia dalam hal politik. Setiap pribumi berhak untuk menjadi pemerintah dan penyelenggara negara di Indonesia.

22

(34)

B. Hak Konstitusional di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

Di Indonesia, seperti juga di negara-negara lain, di dalam konstitusi nya juga mencantumkan perihal hak asasi manusia mulai dari UUD 1945 sebelum amandemen hingga UUD 1945 amandemen tahun 2002. Hak asasi yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) tidak termuat dalam suatu piagam yang terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama pasal 27 hingga pasal 34. Pada masa awal orde baru, Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) telah berhasil merancang suatu dokumen yang di beri nama “ Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara ”. selain piagam hak asasi manusia yag telah di sebutkan di atas,

pengaturan hak asasi manusia hanya diatur dalam UUD 1945, itupun hanya beberapa pasal yang mengatur tentang HAM. Hal itu menyebabkan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa orde baru, baik yang dilakukan oleh negara maupun warga sipil. Dalam masa orde baru, terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara politik, yakni setiap orang hanya mempunyai dua pilihan partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan karya.

Proses transisi di Indonesia dengan dilakukannya perubahan UUD 1945, telah mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan di Indonesia yang diarahkan untuk mewujudkan negara hukum.23 Setelah perubahan kedua UUD 1945 pada

23

(35)

tahun 2000, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak-hak warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Secara kategoris, jaminan hak asasi manusia di dalam UUD 1945 pasca amandemen mencakup hak-hak sosial-politik, hak-hak kultural dan ekonomi, hak-hak kolektif, hak atas pembangunan dan lain-lain. Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tersebar dalam sejumlah pasal antara lain pasal 18 huruf b ayat (2), pasal 26, 27-28, pasal 28 huruf a-28 huruf j (Bab X), pasal 29 (Bab Agama), pasal 31-32 (Bab Pendidikan dan kebudayaan), pasal 33-34 (Bab Ekonomi dan Kesejahteraan sosial), pasal 30 (Bab Pertahanan dan Keamanan). Jadi, pengaturan konstitusional mengenai hak asasi manusia tidak terbatas pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia.24

Hak konstitusional yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen yang berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik contohnya adalah disebutkan dalam pasal 28 huruf c ayat (1) UUD 1945: setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Kemudian disebutkan dalam pasal 28 huruf g ayat (2) UUD 1945: setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Kemudian secara eksplisit

24

(36)

juga disebutkan bahwa negara Indonesia bertanggung jawab terhadap perlindungan dan penegakan hak manusia, dicantumkan dalam pasal 28 huruf I ayat (4) UUD 1945: perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Jika dicermati, maka setidaknya terdapat 12 jenis HAM dengan berbagai jenis profil yang ditegaskan dalam hasil perubahan kedua UUD 1945.25 Hak-hak tersebut ada yang yang termasuk kategori hak asasi manusia yang berlaku bagi semua orang yang tinggal dan berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia, dan ada pula yang merupakan hak warga negara yang berlaku hanya bagi warga negara Indonesia. Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara khususnya Indonesia. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Keseimbangan dan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban hak asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan

beradab.

25

(37)

Pasca reformasi juga telah membawa perubahan dalam hal penegakan hak konstitusional bagi warga negara Indonesia. Hak yang yang diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 kini ditegakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga baru era reformasi. Secara umum dapat dikatakan, bahwa keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi ini merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah konstitusi yang berdiri sendiri. Maksudnya ialah fungsi-fungsi yang dikenal oleh Mahkamah konstitusi seperti judicial review dalam rangka menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formil maupun materil, dkatikan langsung dengan kewenangan Mahkamah Agung (supreme court). Akan tetapi, hal ini berbeda di beberapa negara lain yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi, menyebabkan pembentukan Mahkamah Konstitusi itu dininai cukup populer.26 Contohnya seperti Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia.

Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam hal ini sesuai ketentuan yang diberikan oleh UUD 1945 berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Jika keberadaan undang-undang tersebut melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia. contohnya : Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Hal

26

(38)

ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan sebelum reformasi, dimana sistem ketatanegaraan Indonesia tidak memiliki lembaga tinggi negara yang menjamin tegaknya hak konstitusi jika ada kehadiran undang-undang yang betentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Indonesia sebelum reformasi. Negara Indonesia pada zaman orde baru secara kelembagaan belum ada Mahkamah Konstitusi, tetapi secara fungsi sudah mengenal konsep Judicial review pada Mahkamah Agung. hal ini di sebabkan karena secara

ekspilisit fungsi judicial review tidak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang sekarang, melainkan hanya disebutkan dalam undang-undang, tapi hal itu sebatas pada peraturan yang tingkatnya lebih rendah dari undang-undang dan tidak mengatur penilaian undang-undang-undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.27 Pada bulan November 1997, F-PDI mengusulkan untuk memberi Mahkamah Agung kewenangan melakukan judicial review terhadap undang-undang. Namun panitia adhoc II Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat menolak, dengan alasan Mahkamah Agung tidak berhak untuk melakukan judicial review terhadap ketentuan hasil lembaga tinggi negara. Fraksi yang lain

menyatakan bahwa yang berhak melakukan judicial review terhadap

27

(39)

undang adalah lembaga yang menghasilkan undang-undang tersebut, yaitu Presiden dan DPR.28

Dalam kesepakatan finalisasi panitia adhoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 22 Juli tahun 2000, panitia adhoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat menyepakati bahwa Mahkamah Konstitusi berada dalam lingkungan Mahkamah Agung. tapi pada bulan agustus tahun 2000 dalam sidang tahunan I Majelis Permusyawaratan Rakyat, hal ini tidak mencapai kesepakatan. Oleh karena itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menerbitkan TAP MPR No III/2000 yang menegaskan kembali bahwa judicial review atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 serta TAP MPR

berada di tangan MPR, sedang Mahkamah Agung hanya berwenang untuk menguji undang-undang.29

Tim ahli Majelis Permusyawaratan Rakyat menentangnya, dengan alasan kewenangan itu adalah milik lembaga peradilan dan Mahkamah Agung dapat membentuk departemen baru. Meskipun TAP MPR No III Tahun 2000 sudah ditetapkan dan berlaku, tetapi dalam penerapannya ketentuan mengenai judicial review yang dimaksudkan dalam pasal 5 ayat (1) tersebut sulit dilaksanakan,

karena memang isinya keliru total. Hal ini disebabkan karena fungsi pengujian undang-undang adalah fungsi yang bersifat permanen dan rutin dalam arti bisa

28

Rositawati Dian, Seri Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara, (Jakarta: Elsam, 2005), h. 5.

29

(40)

terjadi setiap saat. Sedangkan forum Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak bersifat rutin. Ketua Mahkamah Agung mendukung pendapat ini, ia berpendapat bahwa pertentangan aturan yakni undang-undang adalah persoalan hukum dan bukan persoalan politik sehingga yang memutus perkara adalah lembaga badan peradilan, bukan badan politik seperti Dewan Perwakilan Rakyat atau Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Pada bulan September tahun 2001, dalam pembahasan amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 , seluruh fraksi dalam panitia adhoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat setuju untuk memasukan aturan tentang Mahkamah Konstitusi dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Menurut fraksi tersebut, sebaiknya kewenangan pengujian materi perundang-undangan baik undang-undang maupun peraturan di bawahnya diintegrasikan kedalam wewenang Mahkamah Konstitusi. namun dalam perubahan terhadap rumusan pasal 24 UUD 1945 hasil perubahan ketiga yang disahkan pada bulan November 2001, kewenangan uji materil oleh Mahkamah Konstitusi hanya dibatasi sampai tingkat undang-undang,30 sedangkan peraturan dibawahnya tetap ditentukan sebagai kewenangan Mahkamah Agung.31

30

Republik Indonesia, Pasal 24 huruf c, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

31

(41)

C. Partai Politik

Secara etimologi, kata partai berasal dari bahasa latin, dari kata “partire”

yang berarti membagi. Kata partai baru di kenal di dalam istilah politik pada abad ke 17.32 Menurut Miriam Budiarjo, partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, biasanya dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.33

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, pengertian partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.34

32

Rika Anggraini, “Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia : Menuju Sistem Multipartai Sederhana dalam Era Pasca Reformasi,” (Tesis S2 Fakultas Hukum, Universitas

Indonesia, 2013), h. 23.

33

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, PT Gramedia, 1989), h. 159.

34

(42)

King sebagaimana dikemukakan oleh Alan Ware berpendapat bahwa partai politik terdiri dari tiga elemen yang terpisah, yaitu : partai dalam pemilihan umum, partai sebagai organisasi dan partai dalam pemerintahan.

(43)

kebebasan berserikat itu memang ditulis dalam undang-undang dasar, tetapi jaminan hukumnya baru lahir jika sudah ditetapkan dengan undang-undang. Dengan demikian, sebelum undang-undang mengaturnya, hak itu sendiri tidak dijamin ada atau tidak. Oleh karena itu, hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang dirumuskan dalam pasal 28 UUD 1945 itu sama sekali tidak dapat disebut sebagai hak asasi manusia sebagaimana seharusnya. Pasal 28 itu sama sekali tidak mengandung jaminan hak asasi manusia seperti yang seharusnya menjadi muatan konstitusi negara demokrasi.35

Rumusan ketentuan yang demikian itu sangat berbeda jika dibandingkan dengan ketentuan pasal 28 huruf e ayat (3) hasil perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000. Berdasarkan pasal 28 huruf e ayat (3) itu, hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat itu diakui secara tegas. Negara diharuskan menjamin perlindungan dan penghormatan serta pemajuan dalam rangka peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Karena itu, dapat dikatakan pasal 28 yang berasal dari rumusan asli UUD 1945 sebelum amandemen perubahan kedua memang tidak cocok dan bertentangan dengan materi yang terkandung dalam pasal 28 huruf e ayat (3).

Seharusnya, pada waktu diadakan perubahan dalam rangka perubahan kedua UUD 1945, ketentuan pasal 28 ini dihilangkan dan diganti dengan pasal 28 huruf e ayat (3) tersebut. Akan tetapi, karena rumusan pasal 28 yang asli tidak dicoret, kita

35

(44)

harus memahami pengertiannya dalam pasal 28E ayat (3). Hal yang perlu diingat adalah partai politik juga tidak serta merta memiliki kekebalan dan seenaknya melakukan aktifitasnya dengan menafikan berbagai ketentuan terutama yang menjadi materi muatan UUD 1945. Oleh karena itu, kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana yang diatur dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 memiliki kebebasan bukan tanpa batas, tetapi justru pembatasannya adalah UUD 1945 itu sendiri.

Hak partai politik yang tidak kalah pentingnya adalah hak yang diatur dalam pasal 28 huruf c ayat (2) UUD 1945. Di dalam pasal tersebut disebutkan: setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Hak ini berhubungan juga dengan hak warga negara untuk menduduki jabatan-jabatan yang diisi melalui prosedur pemilihan umum, seperti presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota.36 Semua jabatan yang dimaksud di atas hanya berlaku dan hanya dapat diduduki oleh warga negara Indonesia sendiri sesuai dengan maksud ketentuan pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Kedua hak tersebut juga dilindungi oleh pasal 28 huruf d ayat (1) yang menyatakan: setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

36

(45)

hadapan hukum. Agama Islam juga melarang tindakan diskriminatif, di dalam Alqur’an disebutkan:

                                                  

8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah; 8).

maka dari itu, perlakuan yang bersifat diskriminatif tidak dapat dibenarkan, meskipun perlakuan tersebut berasal dari aturan hukum. karena dalam pasal 28 huruf i ayat (2) UUD 1945 disebutkan: setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

(46)

erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal parpol, maupun kepemimpinan nasional.37

Saat ini Indonesia menganut sistem multipartai. Hal ini disebabkan oleh kondisi sosiologi masyarakat yang beranekaragam dari segi agama, budaya, dan suku bangsa. Hal ini menyebabkan keanekaragaman fikiran yang tidak mungkin diakomodir oleh satu atau dua partai politik. Karena keadaan yang demikian justru akan menimbulkan dinamika politik yang stagnan, serta tidak memberi peluang kepada masyarakat yang lain untuk bisa masuk ke dalam pemerintahan.

Keadaan seperti ini pernah terjadi di Indonesia ketika zaman orde baru tahun 1965-1998. Selama 32 tahun DPR hanya di isi oleh partai PDI,PPP, dan golongan karya. Setelah terkungkung oleh sistem kepartaian orde baru, Indonesia mengalami ledakan partai politik yang luar biasa. Antara akhir mei 1998 dan Februari 1999 kurang dari 10 bulan, telah lahir 160 partai baru. Ini berarti hampir setiap dua hari lahir partai politik baru. Ini disebabkan karena terjadinya amandemen UUD 1945 yang memasukan ketentuan hak konstitusional yang lebih banyak dari sebelumnya, karena terbatasnya hak konstitusional warga negara justru menyebabkan banyaknya terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Terutama dalam bidang hak sosial dan hak politik masyarakat. Hak politik masyarakat sengaja dibatasi agar pemerintahan saat itu dapat melanggengkan kekuasaannya. Hal itu tidak dapat dibenarkan dengan alasan dapat menciptakan pemerintahan

37

(47)

yang efektif dan efisien, karena pemerintahan yang efisien dan efektif tidak ditentukan oleh sedikitnya partai politik, tapi kinerja orang-orang yang ada di dalam pemerintahan tersebut. Selain itu, pembatasan partai politik pada masa orde baru juga menghambat kreativitas masyarakat dalam berpolitik. Masyarakat yang punya gagasan baru tentang partai politik tentu tidak dapat terealisasikan, karena mau tidak mau masyarakat harus tunduk dengan partai politik yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yakni Partai PDI-P, Partai Persatuan Pembangunan, dan Golongan Karya.

Corak masyarakat Indonesia yang beragam suku, budaya, agama tentu tidak mungkin secara politik hanya diakomodir oleh tiga partai politik. Apalagi saat itu ideologi masyarakat pun dibatasi harus berideologi asas tunggal yakni : pancasila. Pembatasan hak masyarakat dalam berpolitik juga yang menyebabkan masyarakat ingin melakukan reformasi terhadap pemerintahan. Karena tiga partai politik itu cenderung mengarah kepada korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah merusak kinerja pemerintah di Indonesia.

(48)

36

A. Pemilihan Umum

Arbi Sanit berpendapat bahwa pemilihan umum merupakan proses politik yang menggunakan hak politik sebagai bahan baku untuk ditransformasikan menjadi kedaulatan negara, maka rakyat berpeluang untuk memperjuangkan nilai dan kepentingannya dengan menggunakan hak politik dan hak lain yang tak diserahkan sebagai kekuatan bargain (menawar) dalam menghadapi penguasa atau pihak yang sedang berusaha menjadi penguasa.39 Menurut Nurman Diah, pemilihan umum adalah sarana pergantian atau kelanjutan suatu pemerintahan. Di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil pemilihan umum diartikan untuk memilih presiden. Untuk negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, Pemilu dimaksudkan untuk mengantarkan wakil-wakil partai tertentu sebanyak mungkin ke parlemen agar dapat membentuk pemerintahan.40

Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu, pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam

39

Arbi Sanit, Reformasi Politik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), h. 191.

40

Gouzali Saydam, Dari Bilik Suara Ke Masa Depan Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 9.

(49)

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.41

Dalam negara yang menerapkan demokrasi sebagai prinsip penyelenggaraan pemerintahan, pemilihan umum merupakan media bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya. Secara ideal, pemilihan umum atau general election bertujuan agar terselenggara perubahan kekuasaan pemerintahan secara teratur dan damai sesuai dengan mekanisme yang di jamin oleh konstitusi.42 Dengan demikian, pemilihan umum menjadi prasyarat dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara demokratis sehingga melalui pemilu sebenarnya rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan : pertama, memperbaharui kontrak sosial ; kedua, memilih pemerintahan baru ; ketiga menaruh harapan baru dengan adanya pemerintahan baru. Maka dari itu pemilihan umum juga ada yang menyebut sebagai alat untuk menyehatkan kehidupan yang demokratis. Dengan pemilihan umum, rakyat dapat memilih secara langsung para wakilnya.43

Peserta pemilihan umum terdiri dari partai politik dan perseorangan. khusus Pemilu legislatif baik Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah bisa dari dua hal yang disebutkan diatas. Kehadiran dan peran partai politik saat ini

41

Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu.

42

Dede Mariana dan Caroline Paskarina, Demokrasi dan Politik Desentralisasi. (Bandung : Graha Ilmu, 2007), h. 5.

43

Dahlan Thalib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. (Yogyakarta: Liberty, 1994), h. 19.

(50)

menjadi prasyarat penting bagi pratik demokrasi modern di Indonesia. demokrasi modern adalah demokrasi partai.

Pemahaman pemilihan umum dalam kerangka ilmu hukum adalah dengan melihat kedudukan pemilihan umum dalam sifatnya yang merupakan bagian dari dari ranah hukum publik. Hukum publik adalah hukum yang isinya mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau hubungan antara negara dengan perseorangan.44 Hukum pemilihan umum hadir secara formil dan materiil guna melindungi kepentingan umum, dalam hal ini hubungan hukum antara warga negara dengan negara yang menguasai tertib hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Secara umum, sistem pemilihan umum ada dua macam, yakni : 1. Pemilihan umum sistem distrik

2. Pemilihan umum sistem proporsional45

Pemilihan umum sistem distrik, daerah pemilihan di bagi atas distrik-distrik tertentu. Pada masing-masing distrik pemilihan, setiap parpol mengajukan satu calon. Contohnya : ada 3 atau 4 dalam satu distrik. Partai X mencalonkan si A untuk bersaing pada distrik tersebut. Kemudian ada partai lain mencalonkan si B pada distrik yang sama. A dan B mewakili partainya masing-masing, bersaing

44

CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 75.

45

(51)

untuk memperoleh suara terbanyak, pada distrik tersebut. Misalkan si A meraih suara terbanyak, maka untuk distrik itu A yang dipilih menjadi wakil rakyat.

Dalam hal ini tidak ada nomor urut berdasarkan tanda gambar parpol tertentu. Para calon dinilai secara perseorangan oleh para pemilih pada masing-masing distrik. Tidak pula ada penjumlahan atau penggabungan nilai suara antara distrik satu dengan distrik yang lain. Satu calon yang meraih suara terbantak pada suatu distrik itu yang terpilih menjadi wakil rakyat. Jumlah kursi masing-masing parpol, bergantung jumlah calon-calonnya yang di pilih. Kelebihan bagi pengguna sistem distrik ini antara lain :

1. Para pemilih benar-benar memilih calon yang disukainya. Karena jelas siapa calon-calon untuk distrik yang bersangkutan. Bukan memilih tanda gambar parpol, tetapi langsung merujuk pada nama sang calon untuk distrik itu.

2. Calon terpilih merasa terikat pada kewajibannya untuk memperjuangkan kepentingan warga distrik/daerah tersebut. Ia terpilih karena dukungan pemilih kepadanya. Bukan berdasar nomor urut dari hasil penjumlahan suara yang diperoleh parpolnya.

Sitem distrik juga mempunyai kelemahan, antara lain :

[image:51.612.133.531.297.560.2]
(52)

2. Cara pemilihan seperti ini kurang memberi kesempatan bagi para calon dan bagi parpol yang hanya di dukung oleh kelompok minoritas. Kemungkinan tidak ada kursi bagi parpol kecil dan untuk mewakili kelompok minoritas, karena tidak ada penjumlahan suara baik secara nasional mau pun daerah. Jumlah perolehan suara dihitung pada distrik yang bersangkutan saja.

Indonesia yang selalu melaksanakan pemilihan umum setiap lima tahun sekali, mulai dari pemilihan umum tahun 2004 hingga pemilihan umum tahun 2009 untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.46 Sedangkan untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem berwakil banyak. Kedua sistem ini baik sistem proporsional terbuka dan sistem berwakil banyak tetap digunakan meski undang-undang tentang pemilu legislatif telah diganti, dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 hingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.

B. Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik Sebagai Badan Hukum Tahun 2004-2009

Perubahan undang-undang tentang partai politik sudah di mulai sejak reformasi. Di mulai dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sampai dengan

46

(53)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Pada pemilu tahun 2004, ketentuan partai politik diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Pada undang-undang tersebut syarat mendirikan partai politik antara lain :

1. Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Repulik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris

2. Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga disertai kepengurusan tingkat nasional 3. Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan

kepada Departemen Kehakiman dengan syarat :

a. Memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh persen) dari jumlah provinsi, 50 % (lima puluh persen) dari jumlah Kabupaten/Kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan

c. Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain; dan, mempunyai kantor tetap.

Setelah memenuhi persyaratan di atas, partai politik harus melewati tahap selanjutnya yakni harus di daftarkan kepada Departemen Kehakiman, dengan prosedur sebagai berikut :

1. Departemen Kehakiman menerima pendaftaran pendirian partai politik yang telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.

2. Pengesahan partai politik sebagai badan hukum dilakukan oleh Menteri Kehakiman selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah penerimaan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

3. Pengesahan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.47

47

(54)

Setiap diadakan pemilihan umum, DPR bersama Presiden selalu memperbaharui pengaturan partai politik. Begitu pula hal nya dengan peraturan tentang partai politik yang di dalamnya mengatur tentang cara mendirikan partai politik. Perubahan undang-undang partai politik diikuti pula dengan perubahan persyaratan untuk mendirikan partai politik. Pada bagian ini penulis tidak memaparkan pendirian persyaratan partai politik dari tahun 1999 hingga tahun 2011, melainkan hanya memaparkan persyaratan pembentukan dan penetapan partai politik dari tahun 2009.

Untuk mengikuti pemilihan umum pada tahun 2009, persyaratan pendirian partai politik diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Pada undang-undang tersebut, syarat pembentukan partai politik antara lain :

1. Partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris

2. Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30 % (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan 3. Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan

ART serta kepengurusan partai politik tingkat pusat.

4. AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit a. Asas dan ciri partai politik

b. Visi dan misi partai politik

c. Nama, lambang dan tanda gambar partai politik ; d. Tujuan dan fungsi partai politik

e. Organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan f. Kepengurusan partai politik

g. Peraturan dan keputusan partai politik h. Pendidikan politik; dan

(55)

5. Kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30 % ( tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.48

Partai politik yang telah memenuhi persyaratan di atas, masih harus memenuhi persyaratan lain agar bisa ditetapkan sebagai badan hukum. meski partai politik telah memiliki akta notaris, partai politik harus di daftarkan ke departemen agar menjadi badan hukum. mekanisme penetapan partai politik untuk menjadi badan hukum antara lain :

1. Departemen menerima pendaftaran dan melakukan penelitan/ atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 ayat (2).

2. Penelitian dan/ atau verifikasi sebagaimana dimaksud apda ayat (1) dilakukan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap.

3. Pengesahan partai politik menjadi bahan hukum dilakukan dengan keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian dan verifikasi.

4. Keputusan Menteri mengenai pengesahan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Semua undang-undang partai politik dari yang pernah berlaku, mengatur tentang syarat akta notaris pendirian partai serta nama dan lambang partai sebagai prasyarat pendaftaran partai sebagai badan hukum. jumlah minimal pendaftar baru diatur dalamUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 yakni partai politik didaftarkan oleh minimal 50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik.

Undang-undang tentang partai politik juga mengatur tentang batasan ideologi/asas partai politik. Dari semua undang-undang tentang partai politik, asas

48

(56)

partai adalah berdasarkan pancasila dan UUD 1945, selain itu setiap partai politik dilarang untuk menganut dan menyebarkan aliran leninisme/komunisme dan Marxisme. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, tidak mensyaratkan partai politik untuk menyertakan keterwakilan perempuan sebanyak 30 % ( tiga puluh persen).

C. Persyaratan Partai Politik Sebagai Peserta Pemilihan Umum Tahun 2004- 2009

Partai politik yang telah berstatus badan hukum, tidak serta merta dapat menjadi peserta pemilihan umum. Partai politik diwajibkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang tentang pemilihan umum. Pada pemilihan umum tahun 2004, berlaku Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, partai politik dapat menjadi peserta pemilihan umum tahun 2004 setelah memenuhi beberapa persyaratan, antara lain :

Pasal 7

(1) Partai politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat : a. Diakui keberadaannya sesuia dengan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2002 tentang partai politik

b. Memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah provinsi;

c. Memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana di maksud dalam huruf b;

(57)

pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik;

e. Pengurus sabagai mana dimaksud dalam huruf b maupun huruf c harus mempunyai kantor tetap;

f. Mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU. (2) Partai politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menjadi peserta pemilu. (3). KPU menetapkan tata cara penelitian dan melaksanakan penelitian

keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU dan bersifat final.

Pasal 9

(1) Untuk mengikuti pemilu berikutnya, partai politik peserta pemilu harus; a. Memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi

DPR;

b. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia atau;

c. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota seluruh Indonesia.

(2) Partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti pemilu berikutnya apabila;

a. Bergabung dengan partai politik peserta pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

b. Bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi atau;

c. Bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan jumlah kursi.

(58)

undang-undang tersebut, agar dapat menjadi peserta pemilu, partai politik harus memenuhi syarat sebagai berikut;

Pasal 8

(1) Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan; a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang

partai politik.

b. Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi

c. Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan

d. Menyertakan sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

e. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau1/1000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

f. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan

g. Mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU. h. Partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya dapat

menjadi peserta pemilu pada pemilu berikutnya.

(2) Partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya dapat menjadi peserta pemilu pada pemilu berikutnya.49

Dalam penjelasan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, disebutkan bahwa yang dimaksud pemilu sebelumnya ternyata bukan pemilu tahun 2004, tapi pemilihan umum tahun 2009. Jumlah partai politik peserta pemilu pada tahun 2009 meningkat dari 24 partai menjadi 38 partai politik.

49

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum

(59)

D. Persyaratan Pembentukan Partai Politik Dan Persyaratan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014

Menjelang pemilu tahun 2014, DPR bersama Presiden telah menyiapkan aturan mengenai pemilihan umum anggota legislatif. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang sebelumnya mengatur tentang pemilihan umum tahun 2009, telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik. Untuk pembentukan partai politik diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Syarat pendirian partai politik antara lain:

Pasal 2

1. Partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi.

1.a. Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik dengan akta notaris.

1.b. Pendiri dan pengurus partai politik dilarang merangkap sebagai anggota partai politik lain.

2. Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

3. Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1.a.) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan partai politik tingkat pusat.

4. AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a) Asas dan cirri partai politik;

b) Visi dan misi partai politik;

c) Nama, lambang, dan tanda gambar partai politik; d

Gambar

gambar parpol, tetapi langsung merujuk pada nama sang calon untuk
gambar yang telah dipakai secara sah oleh partai politik lain sesuai dengan

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendapatkan kinerja struktur yang lebih baik dan lebih efektif dalam meningkatkan kapasitas pembebanan serta kekauan bangunan maka elemen struktur beton

Prosedur pengangkatan anak perempuan pada masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Medan termasuk oleh suku Hainan pada dasarnya dilakukan dengan upacara adat dengan

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa konsumsi pakan berbeda nyata (P<0,05), sedangkan untuk pertambahan bobot badan, pertambahan bobot badan harian dan

[r]

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang bagaimana kepemimpinan manajer yang dimiliki Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk- Cisanggarung,

Salah satu benda bergerak yang dapat dijadikan harta benda wakaf yaitu hak atas kekayaan intelektual sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (3) huruf e

Penelitian ini adalah merupakan bagian dari penelitian R n D yaitu pada tahap analisis kebutuhan, Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar

Printscreen gambar site, dan share gambar kepada rakan guru bagi subjek yang sama untuk Duplikasi. Guru edit nama site, share Public in School dan pilih can contribute.. CARTA