• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Delik Penyertaan Menurut KUHP dan Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Delik Penyertaan Menurut KUHP dan Hukum Islam"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN DELIK PENYERTAAN MENURUT KUHP DAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Rezha Pratama Lubis

110200145

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERBANDINGAN DELIK PENYERTAAN MENURUT KUHP DAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Rezha Pratama Lubis

110200145

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

NIP: 195703261986011001 (Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum.)

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.)

NIP: 196104081986011002 NIP: 197110051998011001

(Dr. Mohammad Ekaputra, S.H.,

M.Hum.)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Begitu pula shalawat beriring salam Penulis ucapkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW (Allahumma Sholi Ala Sayyidina Muhammad Wa Ala Alihi Sayyidina Muhammad).

Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis telah banyak menerima bimbingan, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis mengucapakan penghormatan, pengahargaan dam terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:

Kedua orang tua Penulis, yaitu Bapak Rudi Hartono Lubis dan Ibu Wasiyah. Berkat kasih sayang, ketulusan, dan perjuangan mereka yang tak kenal lelah dalam mendidik anaknya sehinnga penulis tidak pernah putus asa dalam menjalani hidup. Semoga Bapak dan Ibu diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Ok. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hamdan, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan, dan bimbingan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak Mohammad Ekaputra, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan arahan, dan bimbingan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak Bachtiar Hamzah, S.H., M.H., selaku penasihat akademik yang telah banyak membantu penulis selama menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

12.Teman-teman seperjuangan yang banyak memberikan dukungan, kritik, saran dan motivasi, serta semua pihak lainnya yang telah membantu dengan tulus dan ikhlas hingga skripsi ini selesai.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Juni 2015 Penulis

(6)

ABSTRAKSI

Rezha Pratama Lubis* Madiasa Ablisar** Mohammad Ekaputra***

Dalam suatu tindak pidana, dimungkinkan adanya lebih dari satu orang pelaku kejahatan. Tidak adil kiranya jika hanya menghukum pembuat materiil dan tidak menghukum dalang atau otak dari pelaku kejahatan tersebut. Untuk itu perlu diketahui teori-teori mengenai penyertaan. Selain di dalam KUHP, hukum Islam juga mengenal penyertaan. Namun dari segi teori, ada persamaan dan perbedaan antara keduanya. Alasan inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menulis skripsi dengan permasalahan bagaimana peneyertaan diatur menurut KUHP, bagaimana penyertaan diatur menurut hukum Islam dan bagaimana perbandingan penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam.

Penulisan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyertaan diatur dalam KUHP, mengetahui penyertaan diatur di dalam hukum Islam dan mengetahui perbandingan penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam. Jenis penelitian yang digunakan adalah hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan dengan analisis data yang dilakukan secara kualitatif dengan

pendekatan statuta approach (pendekatan perundang-undangan) dan comparative approach (pendekatan perbandingan).

Hasil analisis menunjukkan bahwa penyertaan menurut berdasarkan KUHP terbagi menjadi dua yaitu pembuat dan pembantu. Pembuat diatur dalam Pasal 55 KUHP yaitu plegen (mereka yang melakukan), doenplegen (mereka yang menyuruh melakukan) medeplegen (mereka yang turut serta melakukan),

uitlokken (mereka yang menganjurkan). Sedangkan pembantu diatur di dalam Pasal 56 KUHP yaitu pembantuan pada saat kejahatan dilakukan dan pembantuan sebelum kejahatan dilakukan. Penyertaan dalam Hukum Islam didasarkan pada pendapat para fuqaha atau ahli fikih. Penyertaan dalam hukum Islam dibagi menjadi penyertaan langsung dan penyertaan tidak langsung. Penyertaan langsung dalam hukum Islam dibagi lagi menjadi penyertaan langsung yang terjadi secara kebetulan (tawafuq) dan yang direncanakan (tamalu). Perbedaan akan terlihat pada pertanggungjawaban pidana antara penganjuran dan penyertaan tidak langsung yang direncanakan. Meskipun memiliki unsur-unsur yang sama namun pertanggungjawaban orang yang menganjurkan pada hukum Islam tidak sama dengan orang yang dianjurkan sedangkan dalam KUHP pertanggungjawaban mereka adalah sama. Selain itu juga KUHP tidak mengenal penyertaan yang terjadi secara kebetulan sedangkan hukum Islam mengenalnya.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAKSI ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN

A... Latar Belakang ... 1 B. ... P

erumusan Masalah ... 7 C. ... T

ujuan dan Manfaat Penelitian ... 7 D... K

easlian Penulisan ... 8 E. ... T

injauan Kepustakaan ... 9 1. ... P

engertian Hukum Pidana ... 9 2. ... P

engertian Hukum Islam ... 11 3. ... P

engertian Penyertaan ... 12 4. ... P

engertian Delik ... 15 F. ... M

etode Penelitian ... 16 G... S

(8)

BAB II : PENYERTAAN MENURUT KUHP

A.... S ifat Penyertaan Menurut KUHP ... 23 B. ... D

asar Hukum Penyertaan Menurut KUHP ... 24 C. ... P

embagian Penyertaan Menurut KUHP ... 25 1. ... P

embuat ... 25 a. ... P

elaku (Pleger) ... 26 b. ... M

enyuruh Melakukan (Doenpleger) ... 27 c. ... T

urut Serta (Medepleger) ... 36 d. ... P

enganjur (Uitlokker) ... 38 2. ... P

embantu (Medeplichtigo) ... 44 a. ... P

embantu Pada Saat Kejahatan Dilakukan ... 46 b. ... P

embantu Sebelum Kejahatan Dilakukan ... 47

BAB III : PENYERTAAN MENURUT HUKUM ISLAM

A.... D asar Hukum Penyertaan Menurut Hukum Islam ... 48 B. ... P

embagian Penyertaan Menurut Hukum Islam ... 50 1) ... P

(9)

a. ... K ebetulan (Tawafuq) ... 53 b. ... D

irencanakan (Tamalu) ... 54 2) ... P

enyertaan Tidak Langsung ... 55 C. ... P

ertalian Perbuatan Langsung dengan Perbuatan Tidak Langsung (Mubasjarah dengan Sabab) ... 65

BAB IV : PERBANDINGAN PENYERTAAN MENURUT HUKUM

POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A... P ertanggungjawaban pada Turut Serta dan Penyertaan Langsung ... 69 B. ... P

ertanggungjawaban pada Menganjurkan dan Pelaku Tidak Langsung ... 81 C. ... P

erbandingan Unsur-Unsur Turut Serta dan Penyertaan Langsung ... 88 D.... P

erbandingan Unsur-Unsur Menganjurkan, dan Penyertaan Tidak Langsung ... 91 E. ... K

elebihan dan Kekurangan Penyertaan Menurut KUHP dan Hukum Islam ... 92

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A.... K esimpulan ... 95 B. ... S

(10)
(11)

ABSTRAKSI

Rezha Pratama Lubis* Madiasa Ablisar** Mohammad Ekaputra***

Dalam suatu tindak pidana, dimungkinkan adanya lebih dari satu orang pelaku kejahatan. Tidak adil kiranya jika hanya menghukum pembuat materiil dan tidak menghukum dalang atau otak dari pelaku kejahatan tersebut. Untuk itu perlu diketahui teori-teori mengenai penyertaan. Selain di dalam KUHP, hukum Islam juga mengenal penyertaan. Namun dari segi teori, ada persamaan dan perbedaan antara keduanya. Alasan inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menulis skripsi dengan permasalahan bagaimana peneyertaan diatur menurut KUHP, bagaimana penyertaan diatur menurut hukum Islam dan bagaimana perbandingan penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam.

Penulisan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyertaan diatur dalam KUHP, mengetahui penyertaan diatur di dalam hukum Islam dan mengetahui perbandingan penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam. Jenis penelitian yang digunakan adalah hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan dengan analisis data yang dilakukan secara kualitatif dengan

pendekatan statuta approach (pendekatan perundang-undangan) dan comparative approach (pendekatan perbandingan).

Hasil analisis menunjukkan bahwa penyertaan menurut berdasarkan KUHP terbagi menjadi dua yaitu pembuat dan pembantu. Pembuat diatur dalam Pasal 55 KUHP yaitu plegen (mereka yang melakukan), doenplegen (mereka yang menyuruh melakukan) medeplegen (mereka yang turut serta melakukan),

uitlokken (mereka yang menganjurkan). Sedangkan pembantu diatur di dalam Pasal 56 KUHP yaitu pembantuan pada saat kejahatan dilakukan dan pembantuan sebelum kejahatan dilakukan. Penyertaan dalam Hukum Islam didasarkan pada pendapat para fuqaha atau ahli fikih. Penyertaan dalam hukum Islam dibagi menjadi penyertaan langsung dan penyertaan tidak langsung. Penyertaan langsung dalam hukum Islam dibagi lagi menjadi penyertaan langsung yang terjadi secara kebetulan (tawafuq) dan yang direncanakan (tamalu). Perbedaan akan terlihat pada pertanggungjawaban pidana antara penganjuran dan penyertaan tidak langsung yang direncanakan. Meskipun memiliki unsur-unsur yang sama namun pertanggungjawaban orang yang menganjurkan pada hukum Islam tidak sama dengan orang yang dianjurkan sedangkan dalam KUHP pertanggungjawaban mereka adalah sama. Selain itu juga KUHP tidak mengenal penyertaan yang terjadi secara kebetulan sedangkan hukum Islam mengenalnya.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam suatu tindak pidana, dimungkinkan adanya lebih dari satu orang pelaku kejahatan. Baik itu yang direncanakan ataupun yang terjadi secara kebetulan. Dalam menentukan hukuman untuk mereka tentunya hakim memiliki berbagai pertimbangan untuk menetapkan hukuman bagi masing-masing pelaku. Tidak adil kiranya jika hanya menghukum pembuat materiil dan tidak menghukum dalang atau otak dari pelaku kejahatan tersebut. Untuk itu perlu diketahui teori-teori mengenai delik penyertaan.

Dalam bahasa Belanda penyertaan dikenal dengan istilah deelneming, dan dalam Bahasa Inggris dikenal dengan complicity. Dalam Black’s Law Dictionary 9th , yang dimaksud complicity ialah “Association or participation in a criminal act”1

Rumusan pembuat dalam KUHP berbahasa Belanda dalam Pasal 55 yang berbunyi:

atau berpartisipasi dalam suatu peristiwa tindak pidana.

2

(1) Als DADERS van een strafbaar feit worden gestraff:

1. Zij die het feit PLEGEN, DOENPLEGEN of MEDEPLEGEN.

2. Zij die door giften, beloften, misbruik van gezak of van aanzien,

geweld, bedreiging of misleiding of door het verschaffen van

1

Black’s Law Dictionary 9th, h. 324.

2

(13)

gelegenheid, middelen of inlichtingen het feit OPZETTELIJK

UITLOKKEN, benevens hare gevolgen.

(2) Tan aanzien der laatsten komen alleen die handelingen in aanmerking die zij OPZETTELIJK HEBBEN UITGELOKT.

Rumusan pembantu dalam bahasa Belanda pasal 56 KUHP berbunyi:3

1. Zij die opzettelijk BEHULPZAAM ZIJN bij het plegen van het misdrift. Als MEDEPLICHTIGEN aan een misdrijf worden gestraft:

2. Zij die opzettelijk gelegenheid, middelen, of inlichtingen verschaften

tot het plegen van het misdrift.

Dalam sistem hukum Pidana di Indonesia, selain mengacu pada Kitab Undang-undang hukum pidana, ada juga hukum Islam yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum positif di Indonesia. Ditambah lagi mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Tentunya hukum Islam memiliki kedudukan tersendiri bagi masyarakat Indonesia.

Islam sebagaimana dilukiskan oleh Muhammad Qub dalam bukunya “Islam The Miss Understood Religion”, adalah agama yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh. Para misionaris Islam seperti yang ia kemukakan mendefenisikan Islam dengan:4

Islam is not mere creed, not does it represent simpley an idenfication of souls, or refinement and training of human cirtues but is rather a harmonious

whole that also balanced a just economis system, a well balances sozial

organization, codesof civil, criminal as well as international law, a philosophical

3

Ibid., h. 584.

4

(14)

instruction, all of them following from the same fundamental creed of Islam and

its mortal and spiritual temprament.”5

Terjemahannya Islam bukan hanyalah sekedar doktrin keagamaan saja, bukan pula hanya sekedar bangunan jiwa dan kebajikan budi pekerti, seperti latihan untuk kebaikan manusia, tetapi suatu keseluruhan yang harmonis yang juga meliputi sistem ekonomi, hukum perdata, hukum pidana seperti pula hukum Internasional, kesemuanya itu berdasarkan atas satu dasar yang sama yaitu “doktrin Islam” dengan tempramennya baik moral maupun spiritual tempramen.6

Qur’an yang berasal dari Tuhan dan memuat wahyu-wahyu dari Tuhan (Allah) kepada Nabi Muhammad yang hidup dalam tahun 570-623M. Wahyu dikatakan terjadi secara bertahap selama periode kira-kira 23 tahun. Qur’an dibagi menjadi 30 juz. Keseluruhannya terdiri dari 114 surat, yang akhirnya dibedakan menjadi lebih dari 6200 ayat yang masing-masing terdiri dari beberapa baris. Hanya sebagian kecil, sekitar 3 persen, yang benar-benar membicarakan hal-hal yang di Barat dianggap berkenaan dengan hukum. Hubungan hukum kekeluargaan diatur dalam 70 ayat. Urusan hukum privat lainnya juga tercakup dalam 70 ayat, dan sekitar 30 ayat dapat dikatakan memiliki ciri berhubungan dengan urusan pidana.

Kitab Undang-Undang hukum pidana merupakan warisan Belanda yang sampai saat ini masih berlaku, sedangkan Hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari Qur’an dan Sunnah.

7

(15)

Dalil yang menyatakan Qur’an terpelihara dari segala macam perubahan dalam surat Al-Hijr ayat 9 yang artinya “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memliharanya.”

Sunnah merupakan penjelasan tentang ucapan, perbuatan, dan tingkah laku Nabi (termasuk sikap diam beliau terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu). Sunnah diartikan berfungsi sebagai teladan bagi umat yang beriman. Sunnah dikatakan berasal dari kesaksian para saksi mata di lingkungan sekitar Nabi Muhammad. Sunnah kerap dijadikan aturan untuk persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam Qur’an.8

Bila ketentuan hukum tidak ditemukan dalam Qur’an maupun sunnah. Maka sumber hukum Islam selanjutnya adalah ijma’. Ijma yaitu pendapat-pendapat yang diterima secara umum dikalangan orang beriman, terutama cendikiawan hukum dalam menafsirkan Qur’an dan sunnah.9

Menurut para ahli hukum Islam tujuan dibentuknya hukum yang sesuai syariat Islam, yaitu:10

Pertama, menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syariat. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan hal yang penting sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban dimana-mana. Kelima kebutuhan yang primer ini (dharuriyat), dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istliah al-maqasid al-khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran,

8

Loc. Cit.

9

Ibid., h. 292.

10

(16)

keturunan, dan hak milik. Syariat telah menetapkan pemenuhan, kemajuan dan perlindungan tiap kebutuhan itu, serta menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya sebagai ketentuan yang esensial.

Kedua, menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut

hajiya. Ini mencakup hal-hal penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan bagi masyarakat.

Ketiga, tujuan dari dipelarinya syariat Islam adalah membuat berbagai perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia dapat berbuat dan mengatur urusan hidup lebih baik (kebutuhan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup, juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual.

Berbicara mengenai penyertaan baik dalam hukum Islam maupun dalam KUHP tidak akan terlepas dari pertanggungjawaban. Lalu akan sangat perlu diketahui bagaimana peranan masing-masing peserta dalam mewujudkan delik penyertaan dalam suatu tindak pidana.

(17)

justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan pembuat yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana, masih juga mereka bertanggung jawab atas dilakukannya peristiwa pidana, karena tanpa turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi. Memang pada prakteknya tindak pidana dapat diselesaikan oleh bergabungnya beberapa atau banyak orang, yang setiap orang melakukan wujud-wujud tingkah laku mereka, dari tingkah laku mereka itulah melahirkan suatu tindak pidana. Pada peristiwa senyatanya, kadang sulit dan kadang juga mudah untuk menentukan siapa diantara mereka perbuatannya benar-benar telah memenuhi rumusan tindak pidana, artinya dari perbuatannya yang melahirkan tindakan pidana itu.11

Berdasarkan paparan Utrecht di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak hanya seseorang yang berbuat secara langsung (pembuat materiil) saja yang dapat diminta pertanggungjawabannya, tetapi juga mereka yang berbuat secara tidak langsung. Dalam KUHP ada berbagai banyak teori mengenai penyertaan ini yaitu

plegen, doenplegen, medeplegen, uitlokken dan medeplichtigo. Sedangkan dalam hukum Islam hanya dikenal penyertaan langsung dan penyertaan tidak langsung. Oleh karena itu sangat menarik membandingkan delik penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam. Akan terlihat perbedaan pertanggungjawaban dan kedudukan masing-masing pelaku berdasarkan teoritis KUHP dan Hukum Islam. KUHP

11

(18)

dengan teori penyertaannya yang kompleks, dan hukum Islam yang lebih menyederhanakannya. Dengan demikian diharapakan ius constituendum di Indonesia akan menjadi lebih baik lagi. Berdasarkan hal tersebut di atas saya tertarik untuk menyusun skripsi berjudul “PERBANDINGAN DELIK PENYERTAAN MENURUT KUHP DAN HUKUM ISLAM” .

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana penyertaan diatur menurut KUHP ? 2. Bagaimana penyertaan diatur menurut hukum Islam?

3. Bagaimana perbandingan penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui penyertaan diatur di dalam KUHP. b. Untuk mengetahui penyertaan diatur di dalam hukum Islam.

c. Untuk mengetahui perbandingan delik penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam.

2. Manfaat Penulisan

(19)

a. Manfaat Teoritis

1. Memberikan kontribusi pemikiran dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan hukum pidana Islam khususnya.

2. Memberikan kontribusi pemikiran dalam membandingkan teori, hukuman dan pertanggungjawaban dalam delik penyertaan menurut hukum positif dan Hukum Islam.

b. Manfaat Praktis

1. Membantu aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus tindak pidana yang terkait dengan penyertaan.

2. Hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis, pembaca dan untuk menanggulangi kejahatan dengan penyertaan. 3. Memberi informasi bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak

pidana baik secara langsung, maupun hanya membantu.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Perbandingan Delik Penyertaan menurut KUHP dan Hukum Islam” belum pernah ditulis atau diangkat menjadi karya ilmiah sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Karya ilmiah ini lebih menekankan pada pembahasan teori, pertanggungjawaban dan hukuman pidananya dan membandingkannya antara KUHP dan hukum Islam.

(20)

penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral ataupun secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Hukum Pidana

Hukum pidana menurut Pompe adalah semua perturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macam-macamnya pidana itu.12

Simon mendefenisikan hukum pidana adalah semua perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan hukuman pidana, barang siapa yang tidak menaatinya, kesemua aturan itu menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.13

Hukum Pidana menurut C.S.T. Kansil ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.14

12

Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 235.

13

Loc. Cit. 14

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 257.

(21)

Hukum pidana secara umum dapat artikan menjadi hukum pidana objektif (ius poenale) dan hukum pidana subjektif (ius puniendi). Hukum pidana dalam arti objektif ialah seperangkat peraturan yang mengandung larangan-larangan yang disertai dengan ancaman hukuman bagi pelanggarnya sedangkan hukum pidana dalam arti subjektif memiliki arti hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.

Hukum pidana dalam arti objektif dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil diartikan sebagai peraturan-peraturan yang mengandung perumusan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum, hukum apakah yang dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formil menurut C.S.T. Kansil adalah rangkaian peraturan hukum menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan, perkara-perkara kepidanaan dan bagaimana cara-cara menjatuhkan hukuman oleh hakim, jika ada orang yang disangka melanggar aturan hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum perbuatan melanggar hukum itu terjadi atau dapat juga disebut rangkaian kaedah-kadah hukum tentang cara memlihara atau mempertahankan hukum pidana materiil.15

Sumber utama hukum pidana materiil di Indonesia adalah KUHP yang terdiri dari tiga buku. Buku I mengatur tentang ketentuan umum, buku II tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran. Pelanggaran ancaman hukumannya lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan. Hukuman untuk pelanggaran

15

(22)

biasanya hanya berupa denda sedangkan hukuman pada kejahatan selain bisa berupa pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda dan tutupan.

KUHP yang berlaku saat ini bukan merupakan buatan bangsa Indonesia, melainkan buatan Belanda yang lahir sejak 1 Januari 1918. Tapi tidak berarti bahwa KUHP yang sekarang, masih dalam keadaan asli atau telah diambil langsung oleh negara kita, tetapi bahkan isinya dan jiwanya telah banyak diganti sehingga sesuai dengan keperluan bangsa Indonesia. Perubahan yang penting dari KUHP setelah keluarnya Undang-Undang no 1 tahun 1946 dimana KUHP berlaku untuk semua golongan penduduk Indonesia (unifikasi hukum pidana).16

Menurut Ahmad Rafiq hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama Islam.

2. Pengertian Hukum Islam

17

Menurut Wahyuni Retnowulandari hukum Islam adalah kumpulan norma-norma yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kehidupan manusia dalam hidupnya secara pribadi dalam hubungannya dengan orang lain dalam bermasyarakat, makhluk lain dan dengan Allah.18

Dapat disimpulkan hukum Islam ialah hukum yang bersumber pada Qur’an dan Sunnah. Yang membuat Qur’an adalah Allah SWT, sehingga sifatnya kekal dan abadi dan tidak akan berubah sampai kapanpun. Jika ada perbuatan baru

16

Ibid., h. 261.

17

Zainuddin Ali, PengantarIlmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 3.

18

(23)

yang belum diatur oleh Qur’an dan Sunnah maka dilakukan ijtihad oleh para mujtahid dengan berdasarkan Qur’an dan Sunnah.

Jika dibandingkan hukum Islam bidang muamalah dengan hukum barat maka yang membedakan antara hukum privat dan hukum publik, hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut sistem hukum Islam, pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan dalam hukum publik terdapat segi-segi perdatanya.19

Itulah sebabnya hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan adalah bagian-bagiannya saja, yaitu munakahat (perkawinan),

wirasah (warisan), muamalat dalam arti khusus (jual beli, sewa menyewa perserikatan, pinjam-meminjam dan lain-lain), jinayat (hukum pdana), al-ahkam as-sulthaniyah (berhubungan dengan pemerintahan), syiar (perang dan hubungan internasional) dan mukhasamat (hukum acara).20

Menurut Abu Ishaq al Shatibi ada lima tujuan hukum Islam, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima tujuan hukum Islam ini kemudian disepakati oleh ilmuan hukum Islam lainnya.21

Satochid Kartanegara mengatakan penyertaan ialah apabila dalam satu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. Sedangkan Leden Marpaung berpendapat jika hanya satu orang yang dapat bertanggungjawab maka tidak dapat dikatakan penyertaan. Lalu ia menyimpulkan penyertaan ialah

3. Pengertian Penyertaan

19

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 56. 20

Loc. Cit. 21

(24)

suatu delik yang dilakukan lebih dari satu orang yang dapat dipertanggung jawabkan. 22

Menurut Adami Chazawi penyertaan ialah semua bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.23

Menurut Wirjono Prodjodikoro penyertaan ialah turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu orang lain melakukan tindak pidana.24

1. Pertama, mengenai diri orangnya, ialah orang yang mewujudkan perbuatan yang bagaimakah dan atau yang bersikap batin bagaimana yang dapat dipertimbangkan dan ditentukan sebagai terlibat atau bersangkutpaut dengan tindak pidana yang diwujudkan oleh kerja sama lebih dari satu orang, sehingga dia patut dibebani tanggung jawab pidana dan dipidana? Mengenai pemahaman tentang pengertian, akan menimbulkan beberapa pertanyaan pokok.

25

2. Kedua, mengenai tanggung jawab pidana. Apakah mereka para peserta yang terlibat itu akan dipertanggungjawabkan yang sama ataukah akan dipertanggungjawabkan secara berbeda sesuai dengan kuat tidaknya keterlibatan atau andil dari perbuatan ysng mereka lakukan terhadap terwujudnya tindak pidana?26

22

Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 77.

23

Adami Chazawi, Percobaan dan Penyertaan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002), h.71.

24

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, ( Bandung: Refika Aditama, 2003) , h.117.

25

Adami Chazawi, Op. Cit., h. 72.

26

(25)

Dari dua permasalahan tersebut, dapat ditentukan berat ringannya tanggung jawab dari pembuat-pembuat peserta sesuai dengan andil dari apa yang telah diperbuat bagi terwujudnya tindak pidana. Untuk memahami dua jawaban di atas, maka muncullah dua ajaran dalam penyertaan.

a. Ajaran subjektif

Ajaran ini bertitik tolak dan memberatkan pandangannya pada sikap batin pembuat, memberikan ukuran bahwa orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (penyertaan) ialah apabila dia berkehendak, mempunyai tujuan dan kepentingan yang paling besar terhadap tindak pidana itu, dialah yang dibebani tanggung jawab lebih besar.27

1) Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana.

Ajaran objektif memiliki 2 syarat yaitu :

28

2) Adanya hubungan batin (kesengajaan) antara dirinya dengan peserta lainnya.29

b. Ajaran objektif

Ajaran ini menitikberatkan pada wujud perbuatan apa, serta sejauh mana peran dan andil serta pengaruh dari wujud perbuatan itu terhadap timbulnya tindak pidana yang dimaksudkan, yang menentukan seberapa berat tanggung jawab yang dibebankan terhadap terjadinya tindak pidana.30

(26)

4. Pengertian Delik

Simons mengatakan delik adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.31

Van Hammel mengatakan delik adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.32

Menurut A.Z. Abidin, dalam perumusan delik, harus dipisahakan antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana. Aliran ini disebut dualistis. Ia mencontohkan dalam satu kasus. Perempuan A berselisih dengan perempuan C. Lalu A menyuruh laki-laki bernama B untuk memperkosa C. B tidak mampu bertanggungjawab sesuai pasal 44 KUHP (sakit jiwa). Berarti ada salah satu unsur yang tidak terpenuhi yaitu kemampuan bertanggungjwab. Berdasarkan pemeriksaan saksi ahli B memang sakit jiwa. Maka B harus dibebaskan. Jika

Pendapat kedua sarjana di atas disebut aliran monistis. Menurut aliran ini delik tidak memisahkan antara perbuatan dan pertanggung jawaban pidana. Akibatnya, dalam delik penyertaan akan banyak terdakwa yang bebas dari hukuman karena tidak terpenuhinya semua unsur delik.

Leden Marpaung mengartikan delik seperti perumpaan kata delik yang terdiri dari beberapa huruf yaitu d, e, l, i dan k. Jika salah satu huruf dibuang tidak ada kata delik, tetapi delk, elik dan sebagainya. Begitu juga hakikat delik.

31

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), h. 96.

32

(27)

hakim menganut aliran monistis maka A pun harus dibebaskan karena tidak terpenuhi unsur delik yaitu perbuatan. 33

a. Lebih dari satu orang.

Dapat disimpulkan bahwa orang yang terlibat pada peristiwa tersebut adalah dua orang atau lebih. Jadi bisa saja hanya dilakukan dua orang. Maka jika dilakukan satu orang saja tidak dapat dikatakan sebagai delik penyertaan. Jadi dapat disimpulkan beberapa unsur penyertaan ialah:

b. Salah satu peserta atau keseluruhan peserta dapat diminta pertanggungjawabannya.

c. Memenuhi sebagian atau keseluruhan rumusan delik.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal menurut Ronny Hanitijo Semitro yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder.34 Sedangkan menurut Johnny Ibrahim penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.35

33

Ibid., h. 97-98.

34

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Semarang: Ghalia Indonesia, 1983), h. 24.

35

(28)

Penelitian hukum normatif terbagi menjadi penelitian inventarisasi hukum positif, penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian untuk menemukan hukum

in concreto, penelitian terhadap sistematik hukum, dan penelitian terhadap taraf sinkornisasi vertikal dan horizontal.

Dalam menetapkan inventarisasi hukum positif langkah-langkah yang harus dilakukan adalah pertama penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma-norma yang dimasukkan sebagai norma hukum positif dan norma-norma yang dianggap sebagai norma sosial yang bukan hukum. Selanjutnya adalah melakukan pengumpulan norma-norma yang sudah diidentifikasi sebagai norma hukum tersebut. Akhirnya dilakukan pengorganisasian norma-norma yang sudah diidentifikasi dan dikumpulkan itu ke dalam suatu sistem yang komprehensif (menyeluruh).36

Dalam penelitian hukum normatif, penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang merupakan patokan-patokan untuk bertingkah laku atau melakukan perbuatan yang pantas.37

Sebagai ilmu normatif, ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas dalam membantu memecahkan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini, ilmu hukum dipahami sebagai ilmu tentang kaidah (norma), merupakan ilmu yang menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem kaidah-kaidah dengan dogmatik hukum atau sistematik hukum sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dengan jelas hukum sebagai ilmu kaidah.38

36

Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., h. 13. 37

Ibid., h. 15. 38

(29)

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian adalah deksriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang terdiri atas satu variabel atau lebih dari satu variabel. Namun, variabel tidak saling bersinggungan sehingga disebut penelitian bersifat deskriptif. Analisis data tidak keluar dari lingkup sampel, bersifat deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum kemudian diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau mununjukkan komparasi atau hubungan seperangkat suatu data dengan seperangkat data yang lain.39

3. Sumber Data Penelitian

Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat sifat individu suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Hal yang digambarkan adalah berupa suatu peraturan hukum dan teori-teori yang ada.

Sumber data penelitian adalah data sekunder. Data sekunder tidak boleh diapahamkan sebagai mana kebutuhan dalam kehidupan. Data sekunder itu bukan data yang kurang atau lebih rendah kepentingan penelitiannya bila dibanding dengan data primer. Bahkan data sekunder itu dalam penelitian hukum merupakan ukuran-ukuran resmi tentang pengertian dari unsur-unsur yang diteliti.40

Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti semacam petunjuk ke arah mana peneliti melangkah. Apabila tulisan itu berupa tesis, disertasi atau artikel di jurnal hukum, boleh jadi tulisan itu memberi inspirasi bagi peneliti untuk menjadi titil anjak dalam memulai penelitian. Bagi kalangan praktisi bahan hukum sekunder ini bukan tidak mungkin sebagai

39

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 11-12.

40

(30)

panduan berpikir dalam menyusun argumentasi yang akan diajukan dalam persidangan atau memberikan pendapat hukum.41

Data sekunder yang digunakan dalam mengkaji adalah sebagai berikut.42

4. Teknik Pengumpulan Data

Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hirarki perundang-undangan. Seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (deherseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi yang berkaitan dengan topik penelitian.

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum ini adalah studi kepustakaan. Kepustakaan tidak boleh dipahamkan harus institusi resmi perpustakaan, tetapi dengan adanya bahan kepustakaan seperti buku berarti sudah terpenuhi sumbernya sebagai kepustakaan.43

Dalam kegiatan memilah, memilih dan menelaah bahan hukum harus diperhatikan bahan kepustakaan harus bersesuaian atau berkaitan dengan obyek penelitian, merupakan bahan kepustakaan yang baru, misalnya buku harus terbitan

41

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 155.

42

Johnny Ibrahim, Op. Cit., h. 241-242. 43

(31)

dan cetakan terakhir dan pendapat yang dikutip dari bahan kepustakaan itu haruslah dari orang yang mempunyai otoritas keilmuan dan kewenangan yang bersesuaian dengan bidang penelitian.44

5. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.45

Analisis dapat dilakukan dengan memahami norma, kaidah, azas, sistem hukum yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan sebagai pijakan dari objek yang diteliti. Dari analisis kualitatif itu akan sampai pada suatu kesimpulan yang tidak akan persis sama sebagaimana analisis kuantitatif, dan bisa beraneka ragam jika dilakukan oleh lebih dari satu orang peneliti. Hal itu terjadi tidak lain karena alat yang digunakan bukan rumusan statistik tetapi daya nalar setiap peneliti untuk memberi makna data tersebut.

46

6. Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan statuta approach

(pendekatan perundang-undangan) dan comparative approach (pendekatan perbandingan).

Dalam pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami hirarki, asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan

(32)

adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.47

Suatu penelitian normatif harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral.48

Pendekatan perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Di samping itu juga membandingkan suatu putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan lainnya untuk masalah yang sama. Kegiatan ini bermanfaat bagi penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang sama dari dua negara atau lebih. Penyingkapan ini dapat dijadikan rekomendasi bagi penyusunan atau perubahan perundang-undangan.49

G. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab I dibahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PENYERTAAN MENURUT KUHP

Dalam Bab II dibahas mengenai dasar hukum penyertaan menurut KUHP, sifat penyertaan menurut KUHP, pembagian penyertaan menurut

47

Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 96-97. 48

Johnny Ibrahim, Op. Cit., h. 248-249. 49

(33)

KUHP yang terbagi menjadi pembuat (dader), pelaku (pleger), menyuruh melakukan (doenpleger), turut serta (medepleger) dan penganjur (uitlokker). Pembantu (mendeplichtigo) yang terbagi menjadi pembantu pada saat kejahatan dilakukan dan pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

BAB III : PENYERTAAN MENURUT HUKUM ISLAM

Dalam Bab III dibahas mengenai dasar hukum penyertaan menurut hukum Islam, pembagian penyertaan menurut hukum Islam yang terbagi menjadi penyertaan langsung (mubasyir) dan kebetulan (tawafuq) direncanakan (tamalu), penyertaan tidak langsung (ghayr mubasyir), pertalian perbuatan langsung dengan perbuatan tidak langsung (mubasjarah dengan sabab).

BAB IV : PERBANDINGAN PENYERTAAN MENURUT KUHP DAN HUKUM ISLAM

Dalam Bab IV dibahas mengenai pertanggungjawaban pada turut serta dan penyertaan langsung, pertanggungjawaban pada menganjurkan dan pelaku tidak langsung, perbandingan unsur-unsur turut serta dan penyertaan langsung, perbandingan unsur-unsur menganjurkan dan penyertaan tidak langsung, kelebihan dan kekurangan delik penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam.

(34)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Penyertaan Menurut KUHP

Pengaturan mengenai pembagian penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Berikut bunyi pasal-pasal mengenai penyertaan dalam KUHP:

Pasal 55

1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

a. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56

Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

(35)

2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.

Berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP diatas maka penyertaan terbagi menjadi dua yaitu pembuat dan pembantu. Pembuat diatur dalam Pasal 55 KUHP yaitu plegen (mereka yang melakukan), doenplegen (mereka yang menyuruh melakukan) medeplegen (mereka yang turut serta melakukan), uitlokken (mereka yang menganjurkan). Sedangkan pembantu diatur di dalam Pasal 56 KUHP yaitu pembantuan pada saat kejahatan dilakukan dan pembantuan sebelum kejahatan dilakukan.

B. Sifat Penyertaan Menurut KUHP

Penyertaan merupakan suatu delik. Dikatakan sebagai suatu delik karena memiliki beberapa sifat tertentu. Ada beberapa pandangan tentang sifat-sifat penyertaan, yaitu:

1. Sebagai strafausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat di pidananya orang). Penganutnya antara lain Simons, Van Hattum, Hazewinkelsuringan. Ada beberapa alasan mengapa penyertaan dapat mengakibatkan dipidananya seseorang, yaitu:

a) Penyertaan di pandang sebagai persoalan pertanggung jawab pidana. b) Penyertaan bukan suatu delik sebab bentuknya tidak sempurna.

(36)

Roeslan Saleh. Ada beberapa alasan mengapa penyertaan dapat memperluas dipidananya perbuatan, yaitu:

a) Penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak pidana. b) Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa.

C. Pembagian Penyertaan Menurut KUHP

1. Pembuat

Pembuat dalam pengertian dader, ialah pembuat tunggal, ialah orang melakukan tindak pidana secara pribadi, artinya tidak ada orang lain yang terlibat baik secara fisik (objektif) maupun secara psikis (subjektif). Syaratnya ialah perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana yang dirumuskan undang-undang.

Sedangkan pembuat dalam arti yang disebut dalam rumusan pasal 55 ayat (1) tidak melakukan tindak pidana secara pribadi, melainkan bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu. Jika dilihat dari sudut perbuatan masing-masing maka perbuatan itu merupakan perbuatan yang berdiri sendiri, dimana perbuatan tersebut hanyalah memenuhi sebagian syarat dari unsur tindak pidana. Semua syarat tindak pidana terpenuhi tidak oleh perbuatan satu peserta, akan tetapi oleh rangkaian perbuatan semua peserta.50

Menurut hukum pidana yang berlaku di negara kita siapakah yang dapat dikatakan dader? 51

50

Ibid., h.84.

51

(37)

Dari rumusan-rumusan tindak pidana di dalam KUHP, yang sebagian besar dimulai dengan perkataan: “Barang siapa ...” dan dari sejumlah unsur subjektif yang harus terdapat pada pelakunya, seperti: opzet, oogmerk, culpa, dan

voormen.52

Beberapa orang penulis berpendapat bahwa badan-badan hukum itu dapat menjadi dader dari suatu tindak pidana, yaitu sesuai kenyataan bahwa hal tersebut telah diatur dalam Pasal 59 KUHP. Ketentuan pidana seperti yang telah diatur di dalam Pasal 59 KUHP tersebut sebenarnya hanya merupakan suatu pengecualian.

Dari jenis-jenis hukuman yang telah diancamkan oleh undang-undang kepada para pelakunya, seperti hukuman denda, hukuman penjara atau hukuman kurungan yang semuanya itu hanya dapat dilaksanakan oleh manusia.

Dari ketentuan-ketentuan di dalam hukum acara pidana, di mana orang tidak dapat menjumpai suatu ketentuan pun yang mengatur masalah penuntutan terhadap badan-badan hukum.

53

a. Pelaku ( Plager )

Jadi dapa disimpulkan bahwa pembuat dalam pengertian dader

mempunyai perbedaan dengan pleger dalam delik penyertaan. Berikut pemaparan pembuat menurut delik penyertaan.

Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud dengan pleger adalah setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa

52

Loc. Cit. 53

(38)

adanya ketentuan pidana yang mengatur masalah deelneming itu, orang-orang tersebut tetap dapat dihukum.54

b. Menyuruh (Doenplegen)

Dalam praktek sukar menentukannya, karena pembuat undang-undang tidak menentukan secara pasti siapa yang menjadi pleger. Kedudukan plager

dalam Pasal 55 sering dipermasalahkan. Terutama dalam penyertaan medeplegen.

Menyuruh yaitu dimana auctur intelectualis menyuruh auctor physicus

(dalam hal ini auctor physicus yang tidak dapat diminta pertanggung jawabannya) untuk melakukan tindak pidana. Auctur intelectualis tidak berbuat secara langsung, melainkan menggunakan orang lain sebagai alat untuk mengendalikan

auctor physicus tersebut. Dari pengertian di atas di dapat dipahami beberapa hal.

Pertama peserta yang ada pada doenplegen yaitu:

1) Auctur intelectualis sebagai pembuat tidak langsung 2) Auctor physicus sebagai pembuat langsung

Menurut keterangan MvT, auctor physicus berdasarkan perbuatannya dapat dibagi menjadi:

a. Tindak pidana terwujud adalah atas perbuatan auctur physicus

sepenuhnya. Artinya auctor intelektualis tidak berperan secara nyata dalam tindak pidana tersebut.

b. Auctur physicus murni sebagai alat.

Kedua yang menjadi ciri-ciri dari doenplegen yaitu: 1) Alat yang dipakai adalah manusia.

54

(39)

2) Alat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Simons, auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan karena:55

a) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.

b) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan (dwaling).

c) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai schuld, baik dolus maupun culpa ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut.

d) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur oogmerk padahal unsur tersebut tidak disyaratkan di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana.

e) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah pengaruh suatu overmacht atau di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan dimana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan.

f) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan padahal perintah

55

(40)

jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu.

g) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu itndak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undng-undang yaitu sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.

Sedangkan menurut VOS, auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan karena :56

a) Orang yang disuruh melakukan adalah tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya oleh karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya dan terganggu jiwanya karena penyakit, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”

b) Auctur physicus itu terpaksa melakukan perbuatan tindak pidana karena adanya pengaruh daya paksa (overmacht) sebagai mana yang dimaksud Pasal 48 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”

c) Manus ministra melakukan perbuatan yang pada kenyataannya tindak pidana oleh sebab karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah

56

(41)

dengan iktikad baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) KUHP.

d) Pada diri auctur physicus tidak terdapat kesalahan baik berupa kesengajaan atau kealpaan.

e) Auctur physicus dalam melakukan perbuatan yang tidak memenuhi salah satu dari unsur tindak pidana yang dirumuskan undang-undang. Misalnya tindak pidana itu membutuhkan kualitas pribadi tertentu pembuatnya, atau memerlukan unsur kesengajaan atau unsur melawan hukum, tetapi pada orang itu maupun pada perbuatannya tidak ada. Menurut Moeljatno auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan karena :57

a) Tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan, ataupun kemampuan bertanggungjawab.

b) Berdasarkan Pasal 44 KUHP yaitu karena cacat jiwa atau terganggu karena penyakit.

c) Dalam keadaan daya paksa seperti yang dimaksud Pasal 48 KUHP. d) Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) KUHP yaitu jika diperintah dengan itikad

baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkupan pekerjaannya.

e) Orang yang disuruh tidak punya sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik.

57

(42)

Menurut MvT WvS Belanda menyuruh melakukan adalah dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan.

Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk menyuruh, yaitu:58

a) Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya.

b) Orang lain itu berbuat: a. Tanpa kesengajaan. b. Tanpa kealpaan.

c. Tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan: 1. Yang tidak diketahuinya.

2. Karena disesatkan.

3. Karena tunduk pada kekerasan.

Sebagai hal yang juga penting, dari apa yang diterangkan oleh MvT ialah bahwa jelas orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebagai konsekuensi logis dari keadaan subjektif (batin: tanpa kesalahan, atau tersesatkan) dan atau tidak berdaya karena pembuat materiilnya tunduk pada kekerasan (objektif).59

58

Ibid., h. 85. 59

(43)

Berdasarkan keterangan MvT tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk pembuat penyuruh lebih ditekankan pada ukuran objektif, ialah kenyataannya tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekusaannya sebagai alat, yang dia berbuat tanpa kesalahan, dan tanpa tanggung jawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata subjektif, yakni dalam hal tidak dipidananya pembuat materiilnya (auctur phisycus) karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dapat dipertanggungjawabkan karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang subjektif. Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat objektif.60

Dari penjelasan di atas menurut Adami Chazawi ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan mengapa auctus physicus tidak dapat dipidana, yaitu:61

1. Tanpa Kesengajaan atau Tanpa Kealpaan

Perbuatan auctur physicus pada kenyataannya merupakan telah mewujudkan tindak pidana, namun tidak ada kesalahan di dalamnya, baik karena kesengajaan atau karena kealpaan.

Karena alasan tanpa kesengajaan, seorang pemilik uang palsu (actus intelectualis) menyuruh pembantunya berbelanja di pasar dengan menyerahkan 10 lembar uang yang diketahuinya palsu. Pembantu dalam kasus ini sebagai actus physicus dalam kejahatan mengedarkan uang palsu pasal 245 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata uang atau uang kertas asli

60

Ibid., h. 87.

61

(44)

dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Dalam kejahatan mengedarkan uang palsu, terkandung unsur kesengajaan. Dalam hal ini pembantu ini tidak mengetahui tentang palsunya uang yang dibelanjakannya. Keadaan tidak diketahuinya itu artinya pada dirinya tidak ada unsur kesalahan (dalam bentuk kesengajaan).

Karena kealpaan seorang ibu membenci pada seorang pemulung karena seringnya mencuri benda-benda yang diletakkan di pekarangan rumah. Pada suatu hari ia mengetahui pemulung yang dibencinya itu sedang mencari benda-benda bekas di bawah jendela rumahnya yang loteng. Untuk membuat penderitaan bagi pemulung itu, dia menyuruh pembantunya untuk menumpahkan air panas dari jendela, dan mengenai pemulung itu. Pada diri pembantu tidak ada kelalaian karena telah diketahuinya bahwa selama ini tidak ada orang di bawah jendela dan pembantu itu telah sering pula membuang air dari jendela.

2. Karena Tersesatkan

(45)

sebab kesengajaan oleh penyuruh. Sehingga apa yang diperbuat oleh orang yang tersesatkan oleh karenanya dipertanggungjawabkan pada orang yang sengaja menyebabkan keadaan tersesatkan tersebut.

Seorang berkehendak untuk mencuri sebuah koper milik seorang penumpang kereta api. Sejak semula di stasiun, sebelum orang itu naik kereta, orang jahat itu telah menguntitnya dan kemudian ikut pula menaiki kereta. Ketika pemilik koper itu sedang tertidur lelap, dimana kereta api sedang berhenti pada suatu stasiun, orang jahat tadi menyuruh seorang kuli angkut untuk menurunkan koper itu dan membawanya kesebuah taksi yang kemudian dipesan. Pada peristiwa ini, kuli tadi telah melakukan perbuatan mengambil koper milik orang lain oleh sebab tersesatkan. Disini telah terjadi pencurian koper, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada kuli, melainkan pada orang jahat yang menyuruh.

2. Karena Kekerasan

Apa yang dimaksud dengan kekerasan (geweld) itu adalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan fisik yang besar, yang ditujukan pada orang, mengakibatkan orang itu fisiknya tidak berdaya. Dalam hal bentuk penyuruh, kekerasan ini datangnya dari auctur intelectualis yang ditujukun pada auctur physicus, sehingga orang yang menerima kekerasan fisik ini tidak mampu berbuat lain atau tidak ada pilihan lain selain apa yang dikehendaki oleh pembuat penyuruh.

(46)

Misalnya saja seorang yang bukan pegawai negeri menyuruh seseorang yang pegawai negeri untuk melakukan kejahatan jabatan?

Untuk menjawab tersebut ada 2 jawaban para sarjana.

a. Mungkin karena bentuk doenplegen bukanlah pembuat tunggal (dader), tetapi tanggung jawabnya saja yang disamakan dengan pembuat tunggal, maka dia tidak harus memiliki kualitas itu. Orang yang berkualitas itu adalah dader saja, bukan termasuk doen pleger. Pendapat ini dianut Jonkers, Vos, dan Pompe.

b. Tidak mungkin karena tidak mungkin seorang yang bukan pegawai negeri menyuruh melakukan kejahatan jabatan pada seorang pegawai negeri, karena tidak mungkin dapat menyuruh lakukan sesuatu yang dia sendiri tidak dapat melakukan itu. Artinya yang dapat menjadi penyuruh adalah pegawai negeri sipil juga. Pendapat ini dianut oleh Van Hammel dan Simons.

(47)

bertanggung jawab atau yang tidak tahu) seakan-akan sebagai alat tak berkehendak di tangannya sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan jahat.

c. Turut Serta (Medeplegen)

Menurut R. Sugandi dalam bukunya KUHP dan Penjelasannya, turut serta diartikan melakukan bersama-sama. Dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang, yakni yang melakukan dan turut melakukan. Dan dalam tindakannya keduanya harus melakukan perbuatan pelaksanaan. Jadi keduanya melakukan tindak pidana itu. Tetapi apabila kedua pelaku itu hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya membantu, maka kedua pelaku itu tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang turut melakukan, akan tetapi hanya sebagai orang yang “membantu melakukan” sebagai mana dimaksud pasal 56.62

Menurut Mahrus Ali turut serta ialah orang yang melakukan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula ia turut beraksi dalam pelaksanaan perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula disepakati. Jadi, dalam penyertaan bentuk turut serta ini, dua orang atau lebih yang dikatakan sebagai medepleger tersebut semuanya harus terlibat aktif dalam suatu kerja sama pada suatu perbuatan pidana yang mereka lakukan.63

62

R.Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), h. 70.

63

(48)

Menurut Schaffmeister turut serta ialah seorang pembuat ikut serta mengambil prakarsa dengan berunding dengam orang lain dan sesuai dengan perundingan itu mereka itu bersama-sama melaksanakan delik.64

1. Bersepakat.

Dari defenisi diatas di dapatin beberapa unsur yaitu:

2. Bersama orang lain membuat rencana. 3. Melakukan perbuatan pelaksanaan. 4. Bersama-sama melaksanakannya.

Sedangkan syarat turut serta menurut Teguh Prasetyo yaitu sebagai berikut:65 1. Mereka memenuhi semua rumusan delik.

2. Salah satu memenuhi semua rumusan delik.

3. Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik.

4. Adanya kerja sama secara sadar, kerja sama yang dilakukan secara sengaja untuk bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang.

5. Adanya pelaksanaan secara fisik (kerja sama yang erat dan langsung atas suatu perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik

yang bersangkutan).

Dalam turut serta ditemui mengenai penentuan kualitas dari peserta. Penetuan tersebut yaitu pandangan secara sempit (objektif) dan pandangan secara luas (subjektif).

64

Schaffmeister, Keizer dan Sutorius, Hukum Pidana, Diterjemahkan oleh J.E. Shetapy, (Yogyakarta: Liberty, 1995), h. 255.

65

(49)

1. Pandangan secara sempit (objektif)

Menurut pandangan secara sempit, para peserta harus memenuhi semua rumusan unsur delik.

2. Pandangan secara luas (subjektif)

Menurut pandangan secara luas, para peserta memiliki peran tersendiri hingga terjadinya suatu perbuatan pidana. Ada yang menjadi pembuat pelaksana, dan ada yang menjadi pembuat peserta.

Sejalan dengan apa yang disampaikan Schaffmeister dan Teguh Prasetyo,

1. Antara para peserta ada kerja sama yang diinsyafi.

Hoge Raad dalam arrestnya menyatakan dua kriteria pembuat peserta.

2. Para peserta telah sama-sama melaksanakan tindak pidana yang dimaksudkan66

d. Penganjur (Uitlokker) .

Penganjur sudah dirumuskan dengan jelas secara limitatif pada Pasal 55 ayat (1) angka 2 yaitu mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Menurut Adami Chazawi rumusan undang-undang tersebut terdiri dari 2 (dua) unsur, yaitu :

66

(50)

1. Unsur objektif, terdiri dari :

a. Unsur perbuatan, ialah: menganjurkan orang lain melakukan perbuatan. Caranya :

3) Dengan memberikan sesuatu

Memberi sesuatu mempunyai arti sesuatu yang berharga bagi orang yang dianjurkan. Jika tidak berharga maka tidak akan mampu menggerakkan orang yang dianjurkan untuk mengikuti kehendak penganjur. Makna berharga bukan hanya benda, melainkan juga jasa bahkan suatu pekerjaan dan fasilitas lainnya.

4) Dengan menjanjikan sesuatu

Perbedaan antara menjanjikan dengan memberikan sesuatu adalah bahwa sesuatu yang dijnjikan diberikan setelah pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pada memberikan sesuatu, benda atau sesuatu yang digunakan untuk menggerakkan pembuat materiil telah diberikan terlebih dahulu.

5) Dengan menyalahgunakan kekuasaan

Menyalahgunakan kekuasaan adalah menggunakan kekuasaan yang dimiliki secara salah. Kekuasaan ini adalah kekuasaan yang dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan baik dalam lapangan hukum publik maupun dalam lapangan hukum privat.

Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam menyalahgunakan kekuasaan, yaitu:

(51)

b. Tindak pidana yang dilakukan tersebut, dialkukan selama masih ada hubungan pekerjaan atau kekuasaan antara penganjur dan orang yang dianjurkan.

6) Dengan menyalahgunakan martabat

Menyalahgunakan martabat ditujukan pada orang-orang yang memiliki kedudukan terhormat dan berwibawa. Misalnya saja tokoh masyarakat, pemuka agama, tokoh politik, atau pejabat publik tertentu.

Martabat menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah tingkat hargat manusia. Terhormat menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah mulia. Wibawa menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah

67

7) Dengan kekerasan

Penganjuran dengan kekerasan ialah penganjuran dengan menggunakan kekuatan fisik kepada orang yang dianjurkan agar mengikuti kehendak penganjur. Kekerasan dalam uitlokken berbeda dengan kekerasan dalam doenplegen. Perbedaannya adalah kekerasan pada uitlokken memungkinkan orang yang dianjurkan untuk memilih pilihan lain agar tidak mengikuti kehendak penganjur. Sedangkan pada doenplegen, tidak ada pilihan lain lagi selain mengikuti kemauan penyuruh. Namun tidak ada satuan pasti, tentang bagaimana keadaan yang dikatakan tidak ada pilhan lain atau ada pilihan lain. Semua tergantung kebiasaan.

8) Dengan ancaman

67

(52)

Penganjuran dengan ancaman dilakukan dengan menekan atau intervensi kepada psikis orang yang dianjurkan dengan memberi rasa takut, khawatir dan ketidakberdayaan. Syarat penganjur disertai ancaman bahwa orang yang dianjurkan berkeyakinan bahwa apa yang diancamkan penganjur benar-benar akan terjadi dan bukan sekedar bualan belaka.

9) Dengan penyesatan

Penganjuran dengan penyesatan ialah membuat kebohongan kepada orang yang dianjurkan sehingga orang dianjurkan menjadi keliru akan pendiriannya. Pada doenplegen orang yang disuruh, benar-benar tidak mempunyai daya upaya untuk memutuskan terhadap apa yang disuruh oleh penyuruh.

10) Dengan memberi kesempatan 11) Dengan memberi sarana 12)Dengan memberi keterangan 2. Unsur subjektif yaitu sengaja

Syarat menganjurkan menurut Adami Chazawi68

1. Kesengajaan si penganjur, yang harus ditujukan kepada 4 (empat) hal yaitu:

:

a. Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran.

b. Ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan berserta akibatnya.

c. Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan apa yang dianjurkan.

68

(53)

d. Ditujukan pada orang lain yang dapat dipertanggung jawabkan atau dapat dipidana.

2. Dalam melakukan perbuatan menganjurkan, harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2.

3. Terbentuknya kehendak yang dianjurkan (pelaksana) untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya-upaya penganjuran oleh si penganjur (adanya psychische causaliteit).

4. Orang yang dianjurkan (pelaksana) telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan (boleh pelaksaan itu selesai atau sebatas percobaan).

5. Orang yang dianjurkan adalah orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan syarat menganjurkan menurut Leden Marpaung69

1. Kesengajaan si penganjur ditujukan pada dilakukannya delik tertentu oleh yang dibujuk.

:

Artinya kesengajaan si penganjur sama dengan kesengajaan si pelaku atau orang yang dianjurkan, yakni dilakukannya delik tertentu. Dalam hal adanya kekeliruan, si penganjur tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Menganjurkan orang itu dilakukan dengan cara- cara yang ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2.

69

(54)

2. Orang yang dianjurkan itu telah terbujuk untuk melakukan delik tertentu. Hal ini merumuskan hubungan kasual antara:

a. Si pembujuk.

b. Orang yang dibujuk. c. Delik yang dilakukan.

d. Orang yang dianjurkan benar-benar telah melakukan delik setidaknya melakukan percobaan.

Orang yang dianjurkan tersebut memenuhi beberapa persyaratan sebagai pelaku (dader). Dengan demikian, terhadap percobaan (pogging), orang yang dianjurkan juga tidak terkecualikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hoge Raad

yang tercantum pada arrest tanggal 2 Januari 1933, No. 12582, yang berbunyi: “Suatu uitlokking itu juga dapat dihukum walaupun perbuatan pelaku materiilnya itu hanya menghasilkan suatu percobaan yang dapat dihukum”.

Selain yang dikemukanan Adami dan Leden ada juga bentuk penganjur menurut doktrin, yaitu:

1) Penganjuran sampai tahap percobaan (Uitlokking bij poging).

2) Penganjuran dimana perbuatan pelaku hanya sampai pada taraf percobaan saja.

3) Penganjuran yang gagal (mislucke uitlokking).

4) Pelaku tadinya tergerak untuk melakukan delik, namun kemudian mengurungkan niat tersebut.

(55)

2. Pembantuan (Medeplichtigo)

Pembantuan diatur dalam Pasal 56 KUHP yang berbunyi “Dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan:

a. Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.

b. Mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”

Berdasarkan dari bunyi Pasal 56 KUHP diatas dapat maka dapat disimpulkan dua bentuk pembantuan yaitu:

a. Sebelum dilaksanakannya kejahatan. b. Saat dilaksanakannya kejahatan.

Bantuan seseorang kepada orang lain tidak mungkin terjadi setelah tindak pidana itu sendiri dilakukan, karena kalau hal demikian yang terjadi setelah tindak pidana itu sendiri dilakukan, karena kalau hal demikian yang terjadi, maka orang itu tidak lagi disebut sebagai pembantu, tetapi sudah merupakan pelaku tindak pidana secara sendiri.70

Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang itu dipersalahkan melakukan perbuatan sekongkol atau tadah (heling) yang dapat dituntut menurut pasal 480 atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221. Elemen sengaja harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak

70

Referensi

Dokumen terkait

Menurut penulis, pasal 281 KUHP tidak dapat dikatakan sebagai Pasal yang mengatur delik pornografi secara langsung (khusus), sebab Pasal ini tidak

Skripsi ini adalah hasil penelitian tentang Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Dibawah Umur yang melakukan Pencurian (Analisis Perbandingan antara KUHP

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hukuman terhadap pelaku tindak pidana perjudian jenis togel dalam KUHP diatur pada Pasal 303 ayat (1) yang menyatakan

Ketentuan Pasal 284 KUHP menurut Keputusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 tidak dirubah, sehingga ketentuannya tetap yaitu kriteria pelaku zina hanya laki-laki atau perempuan

Dan syarat-syarat khusus, seperti kewajiban mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan tindak pidana (Pasal 14c ayat (1) KUHP), dan/atau syarat khusus lain

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan delik menimbulkan kegaduhan malam hari atau dekat tempat ibadah dan pengadilan menurut Pasal 503 KUHP dan

Pembujuk atau penganjur uitlokken Bentuk keempat dari penyertaan diatur dalam Pasal 55 ayat (1) sub ke-2 dan ayat (2) KUH Pidana, sebagaimana dengan doen plegen

Pelaku pidana pencurian akan dijatuhkan sanksi sesuai dengan putusan hakim dengan memperhatikan dan mempertimbangkan pasal tentang pencurian yaitu pasal 362-367 KUHP, berikut isi dari