• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Plankton di Sungai Buaya Kabupaten Sergai dan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keanekaragaman Plankton di Sungai Buaya Kabupaten Sergai dan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI SUNGAI BUAYA KABUPATEN SERGAI DAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

SKRIPSI

RENCINA SITANGGANG 090805007

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI SUNGAI BUAYA KABUPATEN SERGAI DAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

SKRIPSI

RENCINA SITANGGANG 090805007

Skripsiinidiajukansebagaisalahsatusyaratuntukmendapatkan GelarSarjanaSainsFakultasMatematikadanIlmuPengetahuanAlam

Universitas Sumatera Utara Medan

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : Keanekaragaman Plankton Di Sungai Buaya Kabupaten Sergai Dan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

Kategori : Skripsi

Nama : Rencina Sitanggang

Nomor Induk Mahasiswa : 090805007

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Juli 2015

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Mayang Sari Yeanny,S.Si, M.Si Prof.Dr.Ing. Ternala A. Barus,M.Sc NIP. 19721126 199802 2 002 NIP.1958 1016 1987 031003

DisetujuiOleh

DepartemenBiologi FMIPA USU Ketua,

(4)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI SUNGAI BUAYA KABUPATEN SERGAI DAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2015

(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul Keanekaragaman Plankton Di Sungai Buaya Kabupaten Sergai Dan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada Bapak Prof.Dr.Ing. Ternala A. Barus,M.Sc selaku Dosen pembimbing I dan Ibu Mayang Sari Yeanny,S.Si, M.Si selaku Dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Terimakasih juga penulis tujukan kepada Ibu Dr. Hesty Wahyuningsih, M.Si selaku Dosen Penguji I dan Ibu Dr. Nursahara Pasaribu M.Sc selaku Dosen penguji II yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penyusunan skripsi ini. Selanjutnya terimakasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi dan Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU, Bapak Dr. Sutarman, M.Sc selaku Dekan FMIPA USU, Ibu Dr. Marpongahtun, M.Sc selaku Pembantu Dekan I, Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku Pembantu Dekan II dan Bapak Drs. Krista Sebayang, M.Si selaku Pembantu Dekan III. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada Ayah G. Sitanggang dan Ibuku tercinta R. Sihotang yang senantiasa selalu berdoa, berkorban, dan memberikan kasih sayang serta dukungan penuh, juga kepada saudara-saudariku tersayang Kak Eva Helenora Sitanggang, S.Pd, Kak Lusiana Sitanggang, Am.Keb, adik Lilis Sitanggang, S. Pd, adik Syahrabin Sitanggang, Anwar Dani Sitanggang, Lehondo Sitanggang dan adik Lindsay Ardana Sitanggang. Akhirnya kepada teman-teman tersayang Jesicca Gultom, Ima, Monaria Lase, Rissa, Fivin, Ubasori, Boy sandi Lubis, kak Denitia Simarmata, richard, Posma, kak Natalia, Bg pernandus Manalu, Andre Antonio Sihombing, Patra Panca Simanjuntak dan teman –teman seperjuangan angkatan 2009 yang tidak dapat disebutkan semuanya, kakak asuh Maria Situmeang, adik asuh Ribka Zebua serta teman-teman PKBKB yang selama ini memberikan bantuan dan dukungan yang diperlukan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa selalu memberikan berkat dan kasihNya kepada kita. Amin.

(6)

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI SUNGAI BUAYA KABUPATEN SERGAI DAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian dengan judul “Keanekaragaman Plankton di Sungai Buaya Kabupaten Sergai dan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara”.Penelitian ini dilakukan dengan metode Purposive Random Sampling yaitu menentukan 3 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas masyarakat yang berlangsung di daerah aliran sungai tersebut.Pengambilan sampel dengan 3 kali ulangan pada masing- masing stasiun penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keanekaragaman plankton dan hubungan antara faktor fisik kimia dengan keanekaragaman plankton. Berdasarkan hasil identifikasi yang diperoleh 5 kelas fitoplankton yang terdiri dari 12 famili dan 17 genus, serta 6 kelas zooplankton yang terdiri dari 7 famili dan 9 genus. Nilai total kelimpahan plankton tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebanyak 4734,69 ind/l dan terendah terdapat pada stasiun 2 sebanyak 2244,90 ind/l. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 2,39 dan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 1,66. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,80 dan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 0,61. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa BOD5, penetrasi Cahaya, nitrat dan

phosfat berkorelasi sangat kuat terhadap indeks keanekaragaman (H’) plankton.

(7)

DIVERSITY OF PLANKTON IN BUAYA RIVER SERGAI AND DELI SERDANG NORTH SUMATERA

ABSTRACT

Have been done research with the title “Diversity Of Plankton in Buaya River Regency Sergai And Regency Deli Serdang North Sumatera”. This research is done with the method of Purpossive Random Sampling that is determine 3 research stations of pursuant difference in community activities that take place in the area. Intake sampel by 3 restating times rill each research station. This research target is to see the diversity of plankton and the correlation between chemical physical factor with the plankton diversity. From the results obtained by the identification of 5 classes of phytoplankton are classified in 12 families and 17 genera and 6 classes of zooplankton that are categorized in 7 families and 9 genera. The total highest abudance pursuant to station obtained at station 1 that is 4734,69 ind/l while to the lowest there is at station 2 that is 2244,90 ind/l. The highest value of diversity index at station 3 that is2,39 and the lowest at station 2 that is 1,66. The highest value of equability index at station 3 that is 0.80 and the lowest at station 2 that is 0.61. Result of correlation analysis showed that BOD5, light penetration, nitrat and

phosphate correlated very strongly to the Diversity In deks (H’) plankton.

(8)

DAFTAR ISI

2.3.1 Definisi dan Pembagian Plankton 5 2.3.2 Ekologi Plankton 7 2.4 Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Perairan 8 Bab 3. Metode Penelitian 3.5 Pengambilan Sampel Plankton 15 3.6 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 15 3.7 Analisis Data 17 Bab 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Jenis-jenis Plankton 20

(9)

4.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) 25

4.1.3 Indeks Similaritas 26

4.2 Parameter Abiotik 27

4.3 Nilai Analisi korelasi 32

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 34

5.2 Saran 34

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel Judul Halaman

1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

17 2

3

Analisis Korelasi

Plankton yang Ditemukan Pada setiap Stasiun Penelitian

19 20 4 Nilai Kelimpahan (ind/L), Kelimpahan Relatif (%), dan

Frekuensi Kehadiran (%) Plankton pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

21

5 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

24 6 Nilai Indeks Similaritas Antar Stasiun Pengamatan 26 7 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing

Stasiun Penelitian

27 8 Nilai Analisi Korelasi yang Diperoleh Antara Parameter

Fisik Kimia Perairan dengan Keanekaragaman Plankton yang Diperoleh dari Setiap Stasiun Penelitian

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Gambar Judul Halaman

1 Stasiun 1 (Daerah Perkebunan) 13

2 Stasiun 2 (Daerah Pariwisata) 14

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Lampiran Judul Halaman

A Peta Lokasi 38

B Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO 39 C Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5 40

D Tabel Kelarutan O2 (Oksigen) 41

E Bagan kerja pengukuran Nitrat (NO3) 42

F Bagan kerja pengukuran Pospat (PO43-) 43

G Data Mentah Plankton 44

H I J

Foto Plankton Contoh Perhitungan

Data Hasil Korelasi Sisitem Komputerisasi SPSS Ver. 16.00

(13)

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI SUNGAI BUAYA KABUPATEN SERGAI DAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian dengan judul “Keanekaragaman Plankton di Sungai Buaya Kabupaten Sergai dan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara”.Penelitian ini dilakukan dengan metode Purposive Random Sampling yaitu menentukan 3 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas masyarakat yang berlangsung di daerah aliran sungai tersebut.Pengambilan sampel dengan 3 kali ulangan pada masing- masing stasiun penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keanekaragaman plankton dan hubungan antara faktor fisik kimia dengan keanekaragaman plankton. Berdasarkan hasil identifikasi yang diperoleh 5 kelas fitoplankton yang terdiri dari 12 famili dan 17 genus, serta 6 kelas zooplankton yang terdiri dari 7 famili dan 9 genus. Nilai total kelimpahan plankton tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebanyak 4734,69 ind/l dan terendah terdapat pada stasiun 2 sebanyak 2244,90 ind/l. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 2,39 dan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 1,66. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,80 dan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 0,61. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa BOD5, penetrasi Cahaya, nitrat dan

phosfat berkorelasi sangat kuat terhadap indeks keanekaragaman (H’) plankton.

(14)

DIVERSITY OF PLANKTON IN BUAYA RIVER SERGAI AND DELI SERDANG NORTH SUMATERA

ABSTRACT

Have been done research with the title “Diversity Of Plankton in Buaya River Regency Sergai And Regency Deli Serdang North Sumatera”. This research is done with the method of Purpossive Random Sampling that is determine 3 research stations of pursuant difference in community activities that take place in the area. Intake sampel by 3 restating times rill each research station. This research target is to see the diversity of plankton and the correlation between chemical physical factor with the plankton diversity. From the results obtained by the identification of 5 classes of phytoplankton are classified in 12 families and 17 genera and 6 classes of zooplankton that are categorized in 7 families and 9 genera. The total highest abudance pursuant to station obtained at station 1 that is 4734,69 ind/l while to the lowest there is at station 2 that is 2244,90 ind/l. The highest value of diversity index at station 3 that is2,39 and the lowest at station 2 that is 1,66. The highest value of equability index at station 3 that is 0.80 and the lowest at station 2 that is 0.61. Result of correlation analysis showed that BOD5, light penetration, nitrat and

phosphate correlated very strongly to the Diversity In deks (H’) plankton.

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sungai adalah salah satu perairan yang aktivitasnya dipengaruhi oleh banyak faktor, ekosistem sungai dipengaruhi oleh aktivitas alam dan aktivitas manusia yang terdapat disepanjang aliran sungai.Pada umumnya aktivitas yang paling banyak mempengaruhi ekosistem sungai adalah aktivitas manusia yang meliputi kegiatan pertanian, perkebunan, pemukiman dan industri.Secara langsung atau tidak langsung limbah dan sampah pertanian, perkebunan, pemukiman, serta industri yang dapat mempengaruhi kualitas perairan terhadap perubahan fisika kimia maupun sifat biologi sungai (Wargadinata, 1995).

Sungai Buaya merupakan salah satu anak sungai Ular di bagian hulu.Sungai ini menyatu dengan Bah Karai membentuk sungai Ular di Kabupaten Deli Serdang (Suroto, 2008).Bagian Hulu dari sungai Buaya terletak di kabupaten Simalungun dan melewati serta bermuara di Kabupaten Sergai dan Kabupaten Deli Serdang. Sungai Buaya memiliki lebar ± 10-50 m dan debit air berkisar antara 57,53 m3/det dan 22,42 m3/det (Dinas Pengairan Provinsi Sumut, 2004

dalam Suroto, 2008).

Sungai Buaya memiliki potensi yang besar sebagai daerah wisata, khususnya arung jeram. Menurut Tarigan (2013), sungai Buaya merupakan salah satu sungai di Sumatera Utara yang menjadi salah satu destinasi wisata arung jeram. Kondisi air sungai yang cukup jernih dengan debit yang cenderung stabil sehingga cukup aman bagi seorang awam.Pada beberapa bagian, aliran sungai seperti membentuk selokan besar berdinding bebatuan alami dilengkapi beberapa air terjun mini.Menurut Badan Pusat Statistik (2008), sungai Buaya memiliki potensi batuan dan keanekaragaman hayati yang cukup baik. Pasir dan batuan di Sungai Buaya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk penambangan.

(16)

peledakan jumlah populasi plankton tertentu yang bisa mengeluarkan zat toksin kedalam perairan.Hal tersebut sangat merugikan bagi organisme yang ada disekitarnya (Wibisono, 2005).

Berbagai aktivitas manusia yang berlangsung disekitar sungai Buaya antara lain: kegiatan domestik, kegiatan perkebunan, pariwisata, dan kegiatan penambangan batu yang dapat mengubah faktor fisik-kimia perairan secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan faktor fisik-kimia tersebut akan mempengaruhi keberadaan plankton di dalam ekosistem perairan yang selanjutnya juga akan mempengaruhi biota air lainnya. Namun sejauh ini belum diketahui keanekaragaman plankton di sungai Buaya dan bagaimana hubungan keanekaragaman tersebut dengan nilai faktor fisik-kimia perairan di sungai Buaya kabupaten Sergai dan kabupaten Deli serdang sumatera utara.

1.2 Permasalahan

Berbagai aktivitas yang berlangsung di sepanjang Sungai Buaya mengakibatkan perubahan faktor fisik-kimia perairan yang berdampak pada keanekaragaman plankton.Sejauh ini belum diketahui keanekaragaman plankton di perairan Sungai Buaya dan hubungan keanekaragaman dengan faktor fisik-kimia perairan.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragamanplankton dan hubungannya dengan faktor fisik-kimia perairan di Sungai Buaya Kabupaten Sergai dan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Sebagai sumber informasi mengenai keanekaragaman plankton di perairan Sungai Buaya

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai

Sungai berperan sebagai jalur transport terhadap aliran permukaan, yang mampu mengangkut berbagai jenis bahan dan zat bila dipandang dari sudut hidrologis. Bagi ilmu limnologi sungai merupakan habitat bagi berbagai jenis organisme air yang memberikan gambaran kualitas dan kuantitas dari hubungan ekologis yang terdapat di dalamnya termasuk perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Sungai merupakan suatu sistem yang dinamis dengan segala aktivitas yang berlangsung antara komponen-komponen lingkungan yang terdapat di dalamnya. Adanya dinamika tersebut akan menyebabkan suatu sungai berada dalam keseimbangan ekologis sejauh sungai itu tidak menerima bahan-bahan asing dari luar. Pada batas-batas kisaran tertentu pengaruh bahan asing ini masih dapat ditolerir dan kondisi keseimbangan masih tetap dapat dipertahankan (Barus, 2004).

Habitat air tawar menempati daerah yang relatif lebih kecil pada permukaan bumi dibandingkan habitat air laut, tetapi bagi manusia kepentingan jauh lebih berartidibandingkan dengan luas daerahnya. Hal ini disebabkan karena: 1) habitat air tawarmerupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik maupun industri. 2) ekosistem air tawar menawarkan sisitem pembuangan yangmemadai dan paling murah (Odum, 1996). Barus (2004) menyatakan bahwa perairan lentik umumnya mempunyai arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama. Sementara perairan lotik umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi disertai pemindahan massa air berlangsung dengan cepat.

(18)

kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi oleh ketiga variabel tersebut (Effendi, 2003).

Sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh berbagai aktivitas manusia disepanjang aliran sungai. Manfaatannya sebagai sumber air sangat penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Sunaryo et al., (2005) pengelolaan lingkungan sungai merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya perairan. Namun sayang sekali, asas tersebut sering diabaikan (baik dalam perencanaan danpelaksanaan) sehingga pelestarian aspek lingkungan sungai sering kali amat rendah. Pemanfaatan lahan di sekitar sungai untuk keperluan pemukiman, pertanian, dan usaha lain yang mengganggu kelancaran lingkungan sungai dapat menurunkan daya guna sungai akibat dari berbagai aktivitas melebihi daya dukung sungai atau tercemarnya air oleh zat-zat kimia yang akan mematikan kehidupan yang ada di sekitarnya dan merusak lingkungan.

2.2 Pencemaran Sungai

Sungai dapat tercemar pada daerah permukaan air, contohnya sungai yang besar dengan arus air yang deras. Sejumlah kecil bahan pencemar akan mengalami pengenceran sehingga tingkat pencemaran menjadi sangat rendah. Hal tersebut menyebabkan konsumsi oksigen terlarut yang diperlukan oleh kehidupan air dan biodegradasi akan cepat diperbaharui. Sebuah sungai terkadang mengalami pencemaran yang berat sehingga air mengandung bahan pencemar yang sangat besar. Hal ini mengakibatkan proses pengenceran dan biodegradasi akan sangat menurun jika arus air mengalir perlahan karena kekeringan atau penggunaan sejumlah air untuk irigasi. Hal ini juga mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut. Suhu yang tinggi dalam air menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai aerobik menjadi naik dan dapat menguapkan bahan kimia ke udara (Darmono, 2001).

(19)

sekitar aliran sungai. Selain itu, sungai dikenal sebagai media yang efektif untuk melakukan pembuangan limbah (padat dan cair) ataupun sampah. Hal ini menyebabkan sungai rentan terhadap pencemaran (Wahyudi, 2011 dalam Yuanda

et al., 2012).

Kombinasi komponen fisika, kimia dan biologi digunakan dalam memantau pencemaran air. Penggunaan salah satu komponen saja sering tidak dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya (Prianto et al., 2010). Chahaya (2003) menyatakan bahwa penggunaan komponen fisika dan kimia saja hanya akan memberikan gambaran kualitas lingkungan sesaat dan cenderung memberikan hasil dengan penafsiran dan kisaran yang luas, oleh sebab itu penggunaan komponen biologi juga sangat diperlukan karena fungsinya yang dapat mengantisipasi perubahan pada lingkungan kualitas perairan.

Menurut Sastrawijaya (1991), banyaknya bahan pencemar dapat memberikan dua pengaruh terhadap organisme perairan yaitu membunuh spesis tertentu dan sebaliknya dapat mendukung kehidupan spesies tertentu pula. Penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai suatu pencemaran. Sunaryo et al.,(2005), menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menetapkan limbah industri tidak boleh dilepaskan keperairan bila belum memenuhi suatu standar. Artinya, pihak industri harus membangun dan mengoperasikan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL). Namun dalam kenyataanya, hal ini sering dilanggar dan diacuhkan.

2.3. Plankton

2.3.1 Definisi Plankton dan Pembagiannya

(20)

Plankton merupakan organisme perairan tingkat tropik pertama dan berfungsi sebagai penyedia energi. Secara umum plankton dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni: fitoplankton yang merupakan golongan tumbuhan umumnya mempunyai klorofil (plankton nabati) dan zooplankton (golongan hewan) atau plankton hewani (Wibisono, 2005).

Berdasarkan daur hidupnya plankton dibedakan menjadi dua yakni plankton yang bersifat planktonik hanya pada sebagian daur hidupnya misalnya embrio disebut meroplankton, sedangkan organisme seluruh daur hidupnya bersifat plankton disebut holoplankton (Nyabakken, 1992).

Menurut Basmi (1995), pengelompokan plankton berdasarkan beberapa hal, yakni:

1. Nutrien pokok yang dibutuhkan, terdiri atas:

a. Fitoplankton, yakni plankton nabati (>90%) terdiri dari alga) yang mengandung klorofil yang mampu mensintesa nutrient-nutrient anorganik menjadi zat organik melalui proses fotosintesis dengan energi yang berasal dari sinar surya.

b. Saproplankton, yakni kelompok tumbuhan (bakteri dan jamur) yang tidak mempunyai pigmen fotosintesis , dan memperoleh nutrisi dan energi dari sisa-sisa organism lain yang telah mati.

c. Zooplankton , yakni pada plankton hewani yang makananya sepenuhnya tergantung pada organisme lain yang masih hidup maupun partikel-partikel sisa organisme seperti detritus, disamping itu juga mengkonsumsi fitoplankton.

2. Berdasarkan lingkungan hidupnya terdiri atas:

a. Limnoplankton, yakni plankton yang hidup di air tawar. b. Haliplankton, yakni plankton yang hidup di laut.

c. Hipalmyroplankton, yakni plankton yang hidupnya di air payau. d. Heleoplankton, yakni plankton yang hidupnya di kolam.

(21)

c. Bathiplankton, yakni plankton yang hidupnya dekat dasar perairan yang juga umumnya tanpa sinar.

4. Berdasarkan asal usul plankton, dimana ada plankton yang hidup dan berkembang dari perairan itu sendiri dan berasal dari luar, terdiri atas:

a. Autogenetik plankton, yakni plankton yang berasal dari perairan itu sendiri. b. Allogenetik plankton, yakni, plankton yang datang dari perairan lain

(hanyut terbawa oleh arus sungai).

2.3.2 Ekologi Plankton

Kehadiran plankton di suatu ekosistem perairan sangatlah penting, karena fungsinya sebagai produsen primer atau karena kemampuannya dalam mensintesa senyawa organik dari senyawa anorganik melalui proses fotosintesis (Heddy & Kurniati, 1996). Dalam ekosistem air hasil dari fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton bersama dengan tumbuhan air lainnya disebut sebagai produktivitas primer. Fitoplankton terutama pada lapisan perairan yang mendapat cahaya matahari yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis (Barus, 2004).

Fitoplankton ada yang dapat tertangkap dengan jarring plankton tetapi lebih banyak lagi yang sangat halus, lolos tidak tertangkap. Fitoplankton yang sangat halus ini disebut nanoplankton ukurannya kurang dari 20 um dan sangat rapuh hingga sulit diawetkan. Di perairan Indonesia diatom paling sering ditemukan dan dinoflagelata (Nontji, 1993).

(22)

2.4. Faktor – Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Perairan

Pengukuran faktor fisik kimia perairan yang dilakukan di lapangan diukur pada setiap titik dan dirata-ratakan, hasil rata-rata menjadi nilai akhir dari faktor fisik kimia.Sedangkan pengukuran faktor fisik kimia yang dilakukan di laboratorium dilakukan dengan membuat sampel air sungai menjadi sampel komposit. Faktor fisik kimia perairan yang diukur mencakup:

a. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam ekosistem akuatik, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme (Suin, 2002). Sumber oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan fotosintesis tumbuhan hijau. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung di permukaan air oleh angin dan arus. Jumlah oksigen yang terkandung dalam air tergantung pada daerah permukaan yang terkena suhu dan konsentrasi garam (Michael, 1984). Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) yaitu jumlah mg/l gas oksigen yang telarut dalam air. Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi,

tergantung pada suhu, turbulensi air, dan tekanan atmosfer (Jeffries dan Mills, 1996

dalam Gonawi, 2009). Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin

kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Kadar oksigen terlarut

di perairan tawar berkisar antara 15 mg/liter pada suhu 0º C dan 8 mg/liter pada suhu

25º C. Menurut Gonawi (2009), ada tiga sumber utama oksigen dalam air yaitu,

masukan oksigen lewat air tanah, limpasan air permukaan, fotosintesis, dan aerasi

fisik).

Menurut Barus (2004), nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar 6-8

mg/L. Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun

musiman. Fluktuasi ini selain dipengaruhi oleh perubahan temperatur juga

dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen.

b. (Biochemical Oxygen Demand) BOD

(23)

bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut yang dapat mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobik yang dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut (Nainggolan & Susilawati, 2011). Pengukuran BOD didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Produk-produk kimiawi seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme (Barus, 2004).

Nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oloeh mikroorganisme dalam penguraian senyawa organik dalam lingkungan air Barus (2004). Wardhana (1995), menyatakan peristiwa penguraian buangan bahan-bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alami yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.

c. pH air

Lewat aspek kimiawi, suasana air juga memengaruhi beberapa hal lain, misalnya kehidupan biologi dan mikrobiologi. Peranan ion hidrogen tidak penting kalau zat pelarut bukan air melainkan molekul organis seperti alkohol, bensin (hidrokarbon) dan lain-lain. Menurut SNI 06-6989.11-2004, cara uji derajat keasaman pH dalam air dan air limbah dengan menggunakan alat pH meter. Metode pengukuran pH berdasarkan pengukuran aktivitas ion hidrogen secara potensiometer/elektrometri dengan menggunakan pH meter (Nainggolan & Susilawati, 2011).

(24)

d. Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya plankton. Vegetasi yang ada di sepanjang aliran air dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air (Barus, 2004).

Menurut Romimohtarto & Juwana (2001), banyaknya cahaya yang menembus permukaan perairan dan menerangi lapisan perairan setiap hari dan perubahan intensitas memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Cahaya mempunyai pengaruh yang sangat besar yaitu sebagai sumber energi untuk membantu proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanannya.

e. Suhu

Kisaran suhu lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan lingkungan daratan, karena itulah maka kisaran toleransi organisme akuatik terhadap suhu relatif sempit dengan organisme daratan.Berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik.Naiknya suhu perairan dari yang biasa, karena pembuangan sisa pabrik, misalnya, dapat menyebabkan organisme akuatik

terganggu, sehingga dapat mengakibatkan struktur komunitasnya berubah (Suin, 2002).

(25)

Konsumsi oksigen meningkat akibat meningkatnya laju metabolisme, sementara itu kelarutan oksigen dalam air pun akan berkurang. Hal ini akan menyebabkan organisme air sulit untuk berespirasi. Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara, ketinggian geografis dan faktor kanopi dari pepohonan yang tumbuh di tepi dan dapat pula disebabkan adanya limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan Daerah Aliran Sungai yang menyebabkan hilangnya perlindungan, sehingga badan air akan terkena cahaya matahari secara langsung yang dapat meningkatkan temperatur suatu perairan (Barus, 2004).

f. Penetrasi Cahaya

Cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Menurut Odum (1996), menyatakan bahwa penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesis dimana habitat aquatik dibatasi oleh kedalaman, kekeruhan, terutama bila disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap, sering kali penting sebagai faktor pembatas. Dengan demikian kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada pada titik keseimbangan.

Kemampuan penetrasi cahaya yang sampai pada kedalaman tertentu akan mempengaruhi distribusi serta intensitas tumbuhan air pada perairan sungai. Koesbiono (1979), menyatakan bahwa pengaruh utama kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alaga, akibatnya akan menurunkan produktifitas perairan.

g. Kecepatan Arus Sungai

(26)

zooplankton, sangat ditentukan oleh aliran air. Selain itu, aliran air juga ikut berpengaruh terhadap kelarutan udara dalam air, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme air. Menurut kecepatan arus air permukaan tidak sama dengan air bagian bawah. Semakin ke bawah gerakan air biasanya semakin lambat dibanding dengan permukaan. Karena adanya perbedaan kecepatan arus antar kedalaman, maka tampak bentuk antara organisme air pada kedalaman yang berbeda tidak sama (Suin, 2002).

h. Nitrat dan Phosfat

Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, sedangkan nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan karena bersifat tidak stabil terhadap keberadaan oksigen. Nitrat juga merupakan zat hara penting bagi organisme autotrof dan diketahui sebagai faktor pembatas pertumbuhan Eaton et al. (1995) dalam Wijaya (2009).

Phosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan dan keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif sedikit dengan konsentrasi yang relatif kecil dibandingkan nitrogen. Sumber antropogenik fosfor di perairan adalah limbah industri dan domestik, yaitu fosfor yang berasal dari deterjen (Effendi, 2003).

i. Kejenuhan Oksigen

(27)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2013 di Sungai Buaya Kabupaten Sergai dan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Sampel yang diperoleh dibawa untuk diidentifikasi ke Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

3.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel plankton adalah “Purposive Random Sampling” pada 3 stasiun pengamatan. Pada masing-masing stasiun dilakukan 3 (tiga) kali ulangan pengambilan sampel.

3.3. Deskripsi Area 3.3.1. Stasiun 1

Stasiun 1 merupakan daerah Perkebunan. Vegetasi di daerah ini adalah kelapa sawit dan tanaman palawija lainnya di tepi sungai. Secara geografis terletak pada 03º 16’ 29,5” LU dan 0,98º 47’ 13,3” BT. Substrat pada lokasi ini berupa pasir dan batuan.

(28)

3.3.2. Stasiun 2

Stasiun ini merupakan wilayah tempat wisata yang banyak dikunjungi masyarakat setempat dan juga daerah bekas penambangan batuan. Masyarakat juga sering melakukan penangkapan ikan di daerah ini. Vegetasi berupa perkebunan kelapa sawit dan pepohonan. Secara geografis terletak pada 03º 18’ 27,8” LU dan 0,98º 48’ 46,1” BT. Substrat dasar pada lokasi ini adalah berupa pasir dan batuan.

Gambar 2. Stasiun 2 (Daerah Pariwisata) 3.3.3. Stasiun 3

Stasiun ini merupakan bagian hilir sungai dimana pada daerah ini tidak terdapat aktivitas masyarakat. Secara geografis terletak pada 03º 21’ 30,98” LU dan 0,98º 54’ 22,15” BT. Subtrat pada lokasi ini berupa pasir dan tanah liat.

(29)

3.4. Alat dan Bahan

Adapun alat - alat yang digunakan pada penelitian ini adalah plankton net, lakban, mikroskop, pH meter, termometer, bola ping pong, stopwatch, keping sechii, Spektrofotometer, camera digital, pipet tetes, erlenmeyer 150 ml, spit/jarum suntik 3 ml dan 5 ml, botol alkohol, lux meter, bagan kerja DO dan GPS serta buku identifikasi plankton Edmondson (1963), Bold & Wyne (1985), Krauter & Streble (1988). Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lugol, MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3 dan amilum.

3.5 Pengambilan Sampel Plankton

Pengambilan Sampel plankton pada setiap lokasi penelitian dengan mengambil sampel air dari permukaan dengan menggunakan ember kapasitas 5 liter sebanyak 25 liter, kemudian dituang kedalam plankton net (jaring plankton). Sampel plankton yang terjaring akan terkumpul dalam satu bucket yang selanjutnya dituang kedalam botol film dan diawetkan menggunakan lugol sebanyak 3 tetes dan diberi label.

Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.Sampel diamati dengan menggunakan mikroskop dan selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi Edmondson (1963), Bold & Wyne (1985), dan Pennak (1989).

3.6 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan Faktor Fisik dan Kimia Perairan yang diukur adalah: a. Kandungan Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen)

Kandungan oksigen terlarut diukur dengan menggunakan metode winkler. Sampel air yang diperoleh dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir (Lampiran b).

b. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

(30)

tersebut diinkubasi selama 5 hari kemudian dilakukan pengukuran kadar oksigennya. Bagan kerja terlampir (Lampiran c).

c. pH Air (Derajat Keasaman)

Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel. Pembacaan dilakukan pada saat angka yang tertera pada pH meter tersebut konstan.

d. Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan Lux meter yang diletakkan menghadap arah cahaya sinar matahari dibiarkan beberapa menit dan dicatat nilai intensitas cahaya yang muncul.

e. Suhu

Temperatur air diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan kedalam sampel air selama lebih kurang 3 menit. Temperatur dibaca pada skala termometer tersebut.

f. Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya diukur dengan menggunakan keping seechi yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping seechi tidak terlihat. Panjang tali yang masuk ke dalam air menunjukkan kedalaman penetrasi cahaya.

g. Kecepatan Arus Sungai

Kecepatan arus diukur dengan menggunakanpingpong dengan cara memasukkan pingpong ke dalam badan sungai dengan jarak 10 meter dan diukur kecepatannya dengan menggunakan stopwatch.

h. Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

(31)

Dimana:

DOu : Nilai oksigen terlarut hasil pengukuran

DOt : Nilai oksigen maksimum yang disesuaikan dengan suhu (Lampiran d).

i. Kadar Nitrat Dan Phosfat

Pengukuran Nitrat dan Phosfat diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Diambil sampel air sebanyak satu liter dan diukur di laboratorium, dicatat nilai spektrofotometer yang tertera (Lampiran e )

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. berikut ini.

Tabel 1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor

4. Intensitas Cahaya Candela Lux meter In-situ

5. Suhu 0C Termometer In-situ

6. Penetrasi Cahaya Meter Keping Seechi In-situ 7. Kecepatan Sungai m/s Pingpong dan Stop watch In-situ

8. Kadar N dan P Mg/l Gravimetri Laboratorium

9. Kejenuhan Oksigen % - Laboratorium

3.7 Analisis Data

a. Kelimpahan Plankton (K)

Jumlah plankton yang ditemukan dihitung jumlah individu per liter dengan menggunakan alat Haemocytometer dan menggunakan rumus modifikasi menurut Isnansetyo & Kurniastuty (1995), yaitu

Keterangan:

N = jumlah plankton per liter (L)

T = luas penampang permukaan objek gelas (mm2 ) L = luas satu lapang pandang (mm2 )

P = jumlah plankton yang dicacah p = jumlah lapang yang diamati

(32)

Karena sebagian besar dari unsur-unsur rumus ini telah diketahui pada Haemocytometer, yaitu T = 196 mm2 dan v = 0,0196 ml (19.6 mm3 ) dan luas penampang pada Haemocytometer sama dengan hasil kali antara luas satu lapang pandang (L) dengan jumlah lapang yang diamati (p). sehingga rumusnya menjadi:

Ind/L

Pi = ni / N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

(Krebs: 1985) e. Indeks Equitabilitas / Indeks Keseragaman (E)

Hmax H' E

dimana nilai E:

0,1 atau mendekati 1 = penyebaran merata dan keseragaman rendah ≤ 1 = penyebaran tidak merata dan keseragaman tinggi H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner

H max = keanekaragaman spesies maximum

(33)

f. Indeks Similaritas (IS)

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui keterkaitan hubungan antara indeks keanekaragaman dengan faktor fisik kimia perairan. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Versi 16.00. Menurut Sugiyono (2005) koefisien korelasi dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu:

(34)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis-jenis Plankton

Dari hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh plankton seperti pada Tabel 2. berikut:

Tabel 3. Plankton yang Ditemukan pada Setiap Stasiun Penelitian

Kelas No Famili No Genus

Fitoplankton Bacillariophyceae 1. Coscinodiscaceae 1. Coscinodiscus 2. Eunotiaceae 2. Eunotia 3. Fragillariacae 3. Asterionella

4. Diatoma 5. Fragillaria 4. Gomphonemaceae 6. Gomphonema 5. Naviculaceae 7. Navicula

8. Pinularia 6. Surirellaceae 9. Cymatopleura

10. Surirela Chlorophyceae 7. Zygnemataceae 11. Spyrogira

8. Oocystaceae 12. Ankistrodesmus 13 Tetraedron Cyanophyceae 9. Rivulariaceae 14. Calothrix

10. Stephanodiscaceae 15. Cyclotela Dinophyceae 11. Peridiniaceae 16. Peridinium Euglenophyceae 12. Euglenaceae 17. Phacus Zooplankton Centrohelea 13. Raphidiophryidae 18 Raphidiophrys

Ciliophora 14. Spathiidae 19. Spathiodides

Cladocera 15. Daphnidae 20. Daphnia

Copepoda 16. Calanoidae 21. Nauplius

Crustaceae 17. Cyclopidae 22. Diacyclops 23. Megacyclops 18. Diaptomidae 24. Diaptomus Monogonanta 19. Brachionidae 25. Brachionus

26. Keratella

(35)

mempunyai kecepatan arus yang rendah serta kekeruhan air yang sedikit. Komposisi jenis fitoplankton pada setiap stasiun pengamatan didominasi oleh kelas Bacillariophyceae hal ini disebabkan karena kelas Bacillariophyceae umumnya mendominasi fitoplankton yang terdapat pada perairan tawar dan didukung oleh keadaan unsur hara dalam hal ini nitrat dan fosfat. Menurut Barus (2004), menyatakan bahwa kelompok fitoplankton yang mendominasi perairan tawar umumnya terdiri dari kelas diatom dan ganggang hijau. Disamping itu juga didukung oleh sifat dari kelas Bacillariophyceae yang mempunyai kemampuan baik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berkembang biak dengan cepat. Wetzel (1975) menyebutkan bahwa kelas Bacillariophyceae merupakan kelas fitoplankton yang memiliki laju pertumbuhan cepat, toleransi yang tinggi serta mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan mampu memanfaatkan unsur hara lebih baik dibandingkan dengan kelas-kelas lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Raymont (1963) yang menyatakan bahwa jenis fitoplankton yang sering dijumpai di perairan dalam jumlah besar adalah dari kelas Bacillariophyceae (Diatom). Pernyataan ini didukung oleh Nybakken (1992), menyatakan bahwa fitoplankton yang berukuran besar dan biasanya tertangkap oleh jaring plankton adalah Diatom (Bacillariophyceae). Kelimpahan adalah jumlah individu dalam suatu kawasan tertentu. Kelimpahan fitoplankton dalam perairan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang meliputi faktor fisik, kimia dan biologi perairan.

4.1.1 Nilai Kelimpahan, Kelimpahan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran, Plankton pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

(36)
(37)

Raphidiophryidae

(38)

yang dimanfaatkan berbagai jenis alga dan fitoplankton lainnya. Demikian pula pada stasiun ini intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan cukup untuk aktivitas fotosintesis sehingga pertumbuhan fitoplankton lebih pesat dibandingkan dengan stasiun yang lain. Ketersediaan unsur hara dan cahaya yang cukup dapat digunakan oleh fitoplankton untuk perkembangannya.

Pada ketiga stasiun kelimpahan plankton tertinggi terdapat pada genus

Spyrogira. Pada stasiun I nilai kelimpahan, kelimpahan relatif, dan frekuensi kehadiran secara berurutan sebesar 2244,90 ind/L (K), 47,41% (KR), dan 100% (FK). Pada stasiun II nilai kelimpahan, kelimpahan relatif, dan frekuensi kehadiran secara berurutan sebesar 1387,76 ind/L (K), 61,28% (KR), dan 66,66% (FK). Pada stasiun III nilai kelimpahan plankton, kelimpahan relatif, dan frekuensi kehadiran secara berurutan sebesar 1102,04 ind/L (K), 36,99% (KR), dan 100% (FK). Tingginya nilai kelimpahan Spyrogira pada ketiga stasiun penelitian ini diakibatkan oleh penyebaran faktor fisik kimia perairan yang tidak jauh berbeda sehingga pertumbuhan Spyrogira lebih tinggi didalam suatu komunitas perairan. Genus Spyrogira merupakan genus plankton dari kelas

Chlorophyceae yang memiliki kelimpahan tertinggi. Hal ini disebabkan karena kondisi perairan yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya baik dari kondisi lingkungan maupun ketersediaan nutrisi seperti suhu, intensitas cahaya, pH, ketersediaan oksigen, nitrat dan phosfat. Menurut Bold dan Wynne (1985), menyatakan bahwa jenis Spirogyra lebih berlimpah dibandingkan jenis plankton lainnya, karena jenis ini lebih cepat menangkap nutrisi dari pada diatom lainnya dan mudah ditemukan di perairan air tawar dalam massa yang besar. Barus (2004), menyatakan bahwa kelompok fitoplankton yang mendominasi perairan tawar umumnya berasal dari kelas Chlorophyceae.

Dari Tabel 3 dapat dilihat nilai kelimpahan plankton terendah, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran pada setiap stasiun. Pada stasiun I terdapat genus

Tetraedron, Peridinium, Raphidiophrys, Daphnia, dan Megacyclops dengan nilai kelimpahan, kelimpahan relatif, dan frekuensi kehadiran secara berurutan sebesar 40,82 ind/L (K), 0.86% (KR), dan 33,33% (FK). Pada stasiun II terdapat genus

(39)

relatif, dan frekuensi kehadiran secara berurutan sebesar 40,82 ind/L (K), 1,82% (KR), dan 33,33% (FK). Pada stasiun III terdapat genus Eunotia, Surirela, Cyclotela, Phacus, Spathiodides, Nauplius, Diaptomus dan Brachionus, dengan nilai kelimpahan plankton, kelimpahan relatif, dan frekuensi kehadiran secara berurutan sebesar 40,82 ind/L (K), 1,37% (KR), dan 33,33% (FK). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan genus ini yang relatif memiliki kandungan nutrisi atau zat-zat organik yang lebih rendah sehingga genus tersebut tidak dapat beradaptasi dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuliana dan Tamrin (2006), bahwa ketersediaan unsur hara dan cahaya yang rendah dapat mempengaruhi fitoplankton dalam perkembangannya.

4.1.2. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

Nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh pada masing-masing stasiun seperti pada Tabel 5.

(40)

Menurut Krebs (1985), keanekaragaman rendah bila 0 <H’< 2,30, keanekaragaman sedang bila 2,302 <H’< 6,907, dan keanekaragaman tinggi bila H’> 6,907, dapat disimpulkan bahwa perairan Sungai Buaya mempunyai tingkat keanekaragaman plankton yang sedang. Menurut Begon et al., (1986), nilai diversitas berdasarkan indeks Shannon-Wiener dihubungkan dengan tingkat pencemaran yaitu apabila nilai H’< 1 tercemar berat, apabila nilai 1<H<3 tercemar sedang dan apabila nilai H’>3 tidak tercemar.

Indeks Keseragaman (E) pada masing- masing stasiun penelitian berkisar antara 0,61 hingga 0,80 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masing-masing stasiun penyebaran individu cukup merata. Apabila indeks keseragaman mendekati 0 maka makin kecil keseragaman suatu populasi dan penyebaran individu setiap genus tidak sama serta ada kecenderungan suatu genus mendominasi pada populasi tersebut. Sebaliknya semakin mendekati 1 maka populasi plankton menunjukkan keseragaman jumlah individunya merata, dari ketiga stasiun penelitian dikategorikan penyebaran merata dan keseragaman rendah. Hal ini diperkuat Pirzan dan Petrus (2008), yang menyatakan bahwa apabila keseragaman mendekati nol berarti keseragaman antar spesies di dalam komunitas tergolong rendah dan sebaliknya keseragaman yang mendekati satu dapat dikatakan keseragaman antar spesies tergolong merata.

4.1.3 Indeks Similaritas

Indeks Similaritas antara stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut:

Tabel 6. Nilai IS (Indeks Similaritas) pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

(41)

Menurut Krebs (1985), Indeks Similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan plankton yang hidup di beberapa tempat yang berbeda. Apabila semakin besar Indeks Similaritasnya, maka jenis plankton yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan plankton antara dua lokasi dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut.

Barus (2004), menyatakan bahwa suatu perairan yang belum tercemar akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dan hampir semua spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan yang tercemar akan menyebabkan penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies tertentu yang bersifat dominan.

4.2 Parameter Abiotik

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh rata-rata nilai faktor fisik-kimia pada setiap stasiun seperti pada tabel berikut:

Tabel 7. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

Stasiun 1 : Daerah perkebunan Stasiun 2 : Daerah Pariwisata Stasiun 3 : Daerah Hilir Sungai

(42)

yang digunakan untuk penguraian secara aerob hanya sedikit. Nilai oksigen terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 6,8 mg/l. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa organik dan anorganik yang membutuhkan oksigen untuk menguraikan senyawa ini dan tingginya suhu serta rendahnya intensitas cahaya. Menurut Sastrawijaya (1991), menyatakan bahwa oksigen terlarut bergantung pada suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri. Jika tingkat oksigen terlarut rendah maka organisme aerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hydrogen sulfida dan zat-zat yang menyebabkan air berbau busuk. Menurut Barus (1996), bila intensitas cahaya matahari berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga oksigen dalam air juga akan berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme akuatik untuk metabolisme. Menurut Poppo et al., (2008) dalam Gultom (2010), penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut dalam air adalah adanya buangan bahan-bahan yang mudah membusuk.

(43)

Derajat keasaman (pH) di setiap stasiun berkisar antara 7,75-7,85. Nilai tertinggi pada stasiun 3 sebesar 7,85 dan terendah pada stasiun 1dan 2 sebesar 7,75. Namun demikian secara keseluruhan nilai pH pada lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan plankton. Menurut Barus (2004), bahwa nilai pH yang ideal bagi organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat asam maupun basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.

Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui berada pada kisaran 645-752 candela. Intensitas cahaya tertinggi ditempati stasiun 3 sebesar 752 dan terendah ditempati stasiun 1 sebesar 645. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan kanopi atau naungan di setiap stasiun. Intensitas cahaya juga dapat menentukan produktivitas primer suatu perairan. Menurut Barus (1996), bila intensitas cahaya matahari berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga oksigen dalam air juga akan berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme akuatik untuk metabolisme.

Suhu yang diperoleh dari hasil penelitian berkisar antara 25,5-270C. Suhu tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 270C dan terendah pada stasiun 1 sebesar 25,50C. Hal ini mungkin disebabkan stasiun 2 merupakan daerah pariwisata sehingga banyak aktivitas masyarakat yang menyebabkan adanya limbah domestik seperti sisa makanan dan lainnya. Hal ini juga dapat disebabkan tidak adanya naungan tanaman yang menutupi perairan di stasiun tersebut sehingga cahaya matahari dapat dengan mudah mencapai badan air.Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara disekelilingnya, ketinggian geografis dan faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi. Di samping itu pola temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor anthoropogen (faktor yang diakibatkan oleh manusia).

(44)

minim atau tingginya bahan tersuspensi maupun yang terlarut pada badan sungai sehingga mempengaruhi cahaya yang masuk.

Menurut Sastrawijaya (1991), padatan terlarut dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, lumpur, sisa tanaman dan hewan serta limbah industri. Partikel yang tersuspensi akan menurunkan cahaya yang masuk, sehingga akan mempengaruhi ketransparan dan warna air. Dengan minimnya penetrasi cahaya yang masuk kedalam air akan mempengaruhi regenari oksigen serta fotosintesis tumbuhan air. Selanjutnya Cholik (1988) dalam

Aprisanti et al., (2013), menyatakan bahwa kecerahan yang produktif adalah apabila keping secchi mencapai kedalaman 20 – 40 cm dari permukaan.

Kecepatan arus pada setiap stasiun penelitian yang diukur berada pada kisaran 0,0675-1,545 m/s terendah pada stasiun 1 dan tertinggi pada stasiun 3. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh kondisi fisik sungai. Stasiun 1 tidak banyak lekukan sedangkan stasiun 2 banyak lekukan sungai. Menurut Suin (2002), kecepatan arus air dari suatu badan air ikut menentukan penyebaran organisme yang hidup di badan air tersebut. Penyebaran fitoplankton maupun zooplankton paling ditentukan oleh aliran air. Selain itu aliran air juga ikut berpengaruh terhadap kelarutan udara dan garam-garam dalam air sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme air.

Nitrat memiliki peranan yang cukup penting juga bagi kehidupan plankton. Nitrat yang diukur di setiap stasiun berada pada kisaran 0,193-0,252 mg/L. Nilai tertinggi pada stasiun 2 dan terendah pada stasiun 3. Nitrat sendiri merupakan bentuk utama dari nitrogen diperairan alami dan merupakan sumber nutrien bagi pertumbuhan tanaman dan plankton.Namun jumlah nitrat ini masih kurang mendukung kehidupan organisme. Menurut Efendi (2003),kondisi perairan tersebut dapat dikatakan tidak alami (> 0,1 mg/l). Namun nilai tersebut tidak menggambarkan kondisi pencemaran antropogenik (> 5 mg/l), sedangkan kandungan optimum NO3-N yang dibutuhkan Mahida (1993) dalam Ali (1994), menyatakan bahwa kandungan NO3-N yang dibutuhkan fitoplankton berkisar 0,3-17,0 mg/l.

(45)

stasiun 3.Phosfat sendiri merupakan unsur yang sangat penting dalam suatu ekosistem perairan dan termasuk sebagai limitting factors yang digunakan untuk mendukung pertumbuhan biota air. Menurut Chu dalam Mackmentum (1969), Kandungan phosphat dalam air merupakan karakteristik kesuburan perairan yang bersangkutan. Pada umumnya perairan yang mengandung phosphat antara 0,003-0,010 mg/l digolongkan pada perairan oligotrofik; 0,011-0,030 mg/l adalah perairan mesotrofik; dan 0,031-0,100 mg/l adalah perairan eutrofik. Sedangkan untuk pertumbuhan optimal organisme nabati akuatik diperlukan fosfat antara 0,090-1,800 mg/l.

(46)

4.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi SPSS Ver. 16.00 Nilai uji analisis korelasi keanekaragaman plankton dengan faktor fisik kimia perairan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini:

Tabel 8. Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Plankton dengan Faktor Fisik Kimia Perairan

Keterangan: - = Korelasi negatif (berlawanan) + = Korelasi positif (searah)

Dari Tabel 8 menunjukkan bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara beberapa faktor fisik kimia perairan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya dengan indeks diversitas (H’). Nilai (+) menunjukkan hubungan yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H’), artinya semakin besar nilai faktor fisik-kimia maka nilai indeks keanekaragaman akan semakin besar pula, sedangkan nilai (-) menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H’), artinya semakin besar nilai faktor fisik-kimia maka nilai indeks keanekaragaman akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya jika semakin kecil nilai faktor fisik-kimia maka H’ akan semakin besar.

(47)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

a. Plankton yang didapat pada seluruh stasiun penelitian adalah 5 kelas fitoplankton yang tergolong dalam 12 famili dan 17 genus, serta 6 kelas zooplankton yang tergolong dalam 7 famili dan 9 genus.

b. Nilai total kelimpahan plankton tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 4734,69 ind/l dan yang terendah pada stasiun 2 sebesar 2244,90 ind/l.

c. Indeks keanekaragaman berkisar 1,66-2,39. Indeks Keseragaman berkisar 0,61-0,80.

d. Indeks Similaritas yang diperoleh diketahui antara stasiun 1 dan 2, stasiun 1 dan 3 tergolong sangat mirip. Sedangkan stasiun 2 dan 3 tergolong mirip. e. BOD5, penetrasi cahaya, nitrat dan phosfat berkolerasi sangat kuat terhadap

indeks keanekaragaman plankton.

4.2 Saran

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, I.M.1994. Struktur Komunitas Ikan dan Aspek Biologi Ikan-Ikan Dominan di Danau Sindenreng Sulawesi Selatan. Karya Ilmiah. IPB Press: Bogor.

Aprisanti, R., Mulyadi, A., dan Siregar, SH. 2013. Struktur Komunitas Diatom Epilitik Perairan Sungai Senapelan Dan Sungai Sail, Kota Pekanbaru. Jurnal Lingkungan 2013:7 (2)

Barus, T.A. 1996. Metode Ekologis untuk Menilai Kualitas Perairan Lotik. USU Press: Medan.

Barus, T.A.2004. Pengantar Limnologi. USU Press: Medan.

Basmi, J. 1995. Planktonologi: Plankton sebagai Bioindikator Kualitas Perairan.

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Begon, M. John, L, H. & Colin, R, T. 1986. Ecology. London: Blackwall

Scientific Publication.

Bold, C & Wynne, J. 1985. Introduction To The Algae, Second Edition. New Jersey: Prentice-Hall.

BPS. 2008. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Silinda 2004 – 2007. Katalog BPS: 9205.12.18.011. Badan Pusat Statistik Serdang Bedagai.

Chahaya, I. 2003. Ikan Sebagai Alat Monitor Pencemaran. USU Press: Medan. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungannya dengan

Toksikologi Senyawa Logam. UI Press: Jakarta.

Edmonson, W. T. 1963. Fresh Water Biology. New York: John Wley and Sons. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan

Lingkungan Perairan. Kanisius: Yogyakarta.

Gonawi, G. R. 2009. Habitat dan Struktur Komunitas Nekton di Sungai Cihideung – Bogor, Jawa Barat. Skripsi. IPB Press: Bogor.

Gultom, L. 2010. Keanekaragaman dan Distribusi Ikan Dikaitkan dengan Faktor Fisik dan Kimia Air di Muara Sungai Asahan. Tesis. USU Press: Medan. Handayani, S. & Mufti, P. 2005. Komunitas Zooplankton Di Perairan Waduk

(49)

Heddy, S. & M. Kurniati. 1996. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Isnansetyo, A & Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Yogyakarta: Kanisius.

Juwana, S & Romimohtarto, K. 2001. Biologi Laut. Jakarta: Djambatan.

Koesbiono. 1979. Dasar Dasar Ekologi Umum. Bagian IV (Ekologi Perairan). Bogor: Pasca Sarjana Program Studi Lingkungan IPB.

Krauter, D & Streble, H. 1988. Dasbelen im Wassertopfen. Germany: Imprime en Allemagne.

Krebs. C. J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance.Hal 462.Harper & Row Publishers New York.

Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Andi: Yogyakarta.

Landau, M. 1992. Introduction to Aquaculture. Jhon Wiley & Sons, Inc: New York.

Mackentum, K.M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. University State Department of the Interior. Federal Water Control Pollution. Melati. F., Herman H. & Listari C. S. 2005. Komunitas Fitoplankton Sebagai

Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta. Jurnal Penelitian (J2B-17). Jakarta: Universitas Trisakti.

Nainggolan, H., Susilawati. 2011. Pengolahan Limbah Cair Industri Perkebunan & Air Gambut menjadi Air Bersih. USU Press: Medan.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Cetakan ke-2. Jakarta: Penerbit Djambatan. Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: PT

Gramedia.

(50)

Pirzan, A. M & Petrus. R. P. M. 2008. Hubungan Keragaman Fitoplankton dengan Kualitas Air di Pulau Bauluang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Jurnal Biodiversitas 9(3). Balai Riset Perikanan Air Payau Maros 90512.

Prianto, E., Husnah., Makri., Danu, W. 2010. Distribusi Longitudinal Ikan Berdasarkan Sumber Polutan di Sungai Musi. Prosiding Seminar Nasional Limnologi V. Balai Riset Perikanan Perairan Umum (BRPPU): Jakarta.

Raymont JEG. 1963. Plankton and Productivity in the Ocean. New York: Mc. Milland Co.

Sarwono. 2006. Diakses 09 Agustus 2014. Teori Analisis Korelasi Mengenal Analisis Korelasi. www. Jonathansarwono.info/korelasi/korelasi.htm -94k -.

Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran lingkungan. Jakarta. Rineka Cipta.

Stickney, R.R.1979. Principles Warm Water Aquaculture. A Wiley-Interscience Publication. John Wiley and Sons, Inc: New York.

Sugiyono. 2005. Analisis Statistik-Korelasi Linier Sederhana. Diakses Tanggal 10 Agustus 2014.

Suin, N. M. 2002.Metoda Ekologi.Universitas Andalas: Padang.

Sunaryo. T. M, Walujo, T. Harnanto, A. 2005. Pengelolaan sumbar daya air, Konsep dan penerapannya. Bayumedia Publishing. Jawa Timur.

Suroto, I. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sungai Ular di Kabupaten Deli Serdang. Thesis. USU Press: Medan.

Tarigan, R. 2013. “Sungai Buaya, Pendatang Baru di Dunia Arung Jeram”.

Kompasiana Selasa, 12 Februari 2013.

Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi offset: Yogyakarta.

Wargadinata, E. L. 1995. Makrozoobenthos Sebagai Indikator Ekologi di Sungai Percut. Tesis. Medan: Program Pasca Sarjana Ilmu Pengetahuan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan USU.

(51)

Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Yuanda, M.A., Yayat, D., Titin, H. 2012. Struktur Komunitas Ikan di Hulu Sungai Cimanuk Kabupaten Garut. Jurnal Perikanan dan Kelautan (iii)3.

(52)

Lampiran A. Peta Lokasi

Keterangan:

(53)

Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO Sampel Air

1 ml MnSO4 1 ml KOHKI Dikocok Didiamkan Sampel Endapan

Puith/Cokelat

1 ml H2SO4 Dikocok Didiamkan Larutan Sampel

Berwarna Cokelat

Diambil 100 ml

Dititrasi Na2S2O3 0,00125 N Sampel Berwarna

Kuning Pucat

Ditambah 5 tetes Amilum Sampel

Berwarna Biru

Sampel Bening

Dihitung volume Na2S2O3 Yang terpakai

Hasil

(54)

Lampiran C. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5

(Suin, 2002) diinkubasi selama 5 hari pada

temperatur 20°C

diinkubasi selama 5 hari pada

temperatur 20°C dihitung nilai DO awal

Sampel Air

Sampel Air

DO Akhir DO Awal

Keterangan :

Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan Nilai DO

(55)
(56)

Lampiran E. Bagan Kerja Pengukuran Nitrat (NO3) 5 ml sampel air

1 ml NaCl (pipet volum) 5 ml H2SO4

4 tetes Brucine Sulfat Sulfanic Acid

Larutan

Dipanaskan selama 25 menit

Larutan

Didinginkan Diukur dengan

Hasil

(57)

Lampiran F. Bagan Kerja Pengukuran Posfat (PO43-) 5 ml sampel air

1 ml Amstrong Reagent 1 ml Ascorbic Acid

Larutan

Dibiarkan selama 20 menit Diukur dengan

Hasil

(58)
(59)

ZOOPLANKTON VI Centrohelea

N Raphidiophryidae

18. Raphidiophrys - 1 - - - -

VII Ciliophora O Spathiidae

19. Spathiodides 2 - - - 1 - -

VIII Copepoda P Calanoida

20.Nauplius 2 - - 1 - - - - 1

IX Cladocera Q Daphnidae

21.Daphnia 1 - - - -

X Crustaceae R Cyclopidae

22. Diacyclops - 2 - - - 1 - - -

23. Megacyclops - 1 - - - 1 - - -

S Diaptomidae

24. Diaptomus - - - 1 - -

XI Monogonanta T Brachionidae

25. Brachionus - - - 1 - -

(60)

Fragilaria Spirogyra

Surirella

Lampiran H. Foto Beberapa Plankton yang Diperoleh Pada Stasiun Penelitian

I. Beberapa Jenis Fitoplankton

Navicula Asterionella

(61)

Diatoma Peridinium

Coscinodiscus Gomphonema.

(62)

Keratella

Diacyclops

Beberapa Jenis Zooplankton

(63)

Lampiran I. Contoh Perhitungan Plankton Plankton Coscinodiscus pada stasiun 1

1. Kelimpahan Plankton (K)

Ind/L W 0,0196

P/V K

=

ind/L

KCoscinodiscus

=

122,45 Ind/L

2. Kelimpahan Relatif (KR)

KR = x 100%

KRCoscinodiscus = x 100%

KRCoscinodiscus = 2,59% 3. Frekuensi Kumulatif (FK)

FK =

x

100%

FK

Coscinodiscus=

x

100%

FK

Coscinodiscus= 66,66%

(64)

H’ = - {(3/102 ln 3/102) + ( 10/102 ln 10/102) + (3/102 ln 3/102) + (5/102 ln 5/102) + ((3/102 ln 3/102) + ( 3/102 ln 3/102) + (2/102 ln 2/102) + (12/102 ln 12/102) + (2/102 ln 2/102) + (3/102 ln 3/102) + (1/102 ln 1/102) + (55/102 ln 55/102) + ( 2/102 ln 2/102) + ( 2/102 ln 2/102) + (1/102 ln 1/102) + (1/102 ln 1/102) + ( 2/102 ln 2/102) + ( 2/102 ln 2/102) + (1/102 ln 1/102) + ( 2/102 ln 2/102) + (1/102 ln 1/102)

H’ = -(-2,25) H’ = 2,25

5. Indeks Keseragaman

E =

max '

H H

E =

E =

E = 0,74

6. Indeks Similaritas

IS = X100%

b a

2c

IS = X 100%

(65)

Correlations

DO BOD PH_air Intensitas_cahaya suhu penetrasi_cahaya kecepatan_arus kadar_nitrat kadar_phosfat kejenuhan_oksigen H

Gambar

Gambar 1. Stasiun 1 (Daerah Perkebunan)
Gambar 2. Stasiun 2 (Daerah Pariwisata)
Tabel 1.  Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan
Tabel 2. Analisis Korelasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nama Penyedia barang/Jasa Harga Penawaran Harga Terkoreksi Keterangan.

Dengan membawa semua dokumen asli yang di Upload pada tahap pemasukan dokumen penawaran, serta dokumen-dokumen lain yang dipersyaratkan dalam Dokumen Pengadaan, serta

[r]

Dengan membawa semua dokumen asli yang di Upload pada tahap pemasukan dokumen penawaran, serta dokumen-dokumen lain yang dipersyaratkan dalam Dokumen Pengadaan, serta

[r]

Berdasarkan Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran yang tertuang dalam Berita Acara Hasil Pelelangan Nomor : 11/PBJ-MTSN-KATINGAN/VIII/2012 tanggal 1 Agustus 2012 dan Surat

[r]

Panitia Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Presiden. Bidang Pers Media