Disusun Oleh: Nama : Robby Alfa NIM : 20070610094
FAKULTAS HUKUM
V
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,...”
(QS. Al-Baqarah: 153)
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama
kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu
urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada
Tuhanmulah engkau berharap.”
(QS. Al-Insyirah,6-8)
"Pendidikan merupakan senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk
merubah dunia"
(Nelson Mandela)
“Ketika anda tidak pernah melakukan kesalahan, itu artinya anda tidak pernah
berani untuk mencoba”
VI
- Kedua orang tuaku Ayahandaku Ersan dan Ibundaku tersayang Taty.
Ucapan tiada terhingga tidak dapat ternilai kuucapkan dengan segala
takdim dan hormatku, atas semua dukungan, bimbingan, doa, serta kasih
sayang, dan jerih payah tanpa lelah membanting tulang untuk membiayai
kuliah penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
- Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada kakakku tercinta Eka
Yulyana Sari, S.S.
- Adikku tercinta Ahmad Halim Bernando, dan Keponakanku Arifatunnisa
Karunia Irsyat/Putry yang sedang menempuh studinya, semoga Allah SWT
memberikan kemudahan kepada keduanya dan smua asa kalian dapat
tercapai. Amin.
- Fitria Andriani, S.E., MBA
- Skripsi ini juga penulis persembahkan untuk Almamaterku tercinta
VII
Alhamdulillahirobbil’alamin, dengan rasa syukur yang amat besar kepada
Allah SWT, karena dengan rahmat dan inayahnyalah penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Dampak Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XIII/2015 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
Terhadap Pilkada Serenntak Di Indonesia”.
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam penyelesaian Program Strata satu (S1) Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini penulis
tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus
kepada:
1. Ayahandaku Ersan dan ibundaku tersayang taty.
2. Bapak Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Bapak Dr. Leli Joko Suryono, S.H., M.Hum, selaku Kaprodi Ilmu Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
4. Ibu Nanik Prasetyoningsih, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing I yang telah
membimbing, mengarahkan dan memberi masukan, pandangan kepada
VIII
6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen, yang telah memberikan wawasan dan ilmu
bermanfaat kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum, tak lupa
juga staf TU dan karyawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini di Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berkat dukungan orang-orang
terdekat penulis:
7. My sister tersayang Eka Yulyana Sari, S.S., yang tidak henti-hentinya
memberikan semangat dan dukungan.
8. Adikku tersayang Ahmad Halim Bernando, belajar yang rajin ya tot, capailah
cita-citamu, buat Orangtua bangga, Bantu mamah dirumah, jangan sering
ngelawan sama ayuk.
9. Keponakanku tersayang Arifatunnisa Karunia Irsyat/Putry, jangan nakal ya
monak, inget kata Abi rajin belajar, jangan maen terus bantu nenek sama
kakek dirumah.
10. Fitria Andrian, S.E., MBA, jelek, terimakasih untuk selalu setia dan tetap
yakin mendampingi penulis dalam keadaan apapun, terimakasih untuk
semuanya, semangat ya lek belajar memasaknya hehe.
11. Eko Hadi Nurwahid, S.H.,M.H, mang cik, terimakasih atas celotehan dan
dukungan yang semakin membuat penulis ingin terus maju untuk tetap
IX
mengingatkan.
13. Kawan-kawan dari Ikatan Mahasiswa Pelajar Mesuji Yogyakarta, mang cik,
tofa, yrawanto,S.H, supri, mira, fatul dan adek-adek baru dan lain sebagainya.
Banyaklah belajar untuk menjadi pemimpin karena kedepan kalianlah giliran
yang harus memimpin.
14. Kawan-kawan kosan angker, ( andi nursidik: ingin menjadi hacker sejati,
semoga tercapai cuy hehe, tofa alias afot: ingin menjadi manager afot gadget
di usia muda,lanjutkan fa hehe, Guspry alias agus: ingin menjadi pilot,
lanjutkan gos, bram, franstyo, jhon q, umbu: cahaya dari timur, dan dedi.
Terimaksih untuk semuanya, tetep akur dab).
15. Kepada seluruh orang yang sudah membantu secara langsung maupun tidak
langsung dalam pengerjaan skripsi ini. Terima kasih banyak.
Akhirnya penulis senantiasa berdo’a semoga amal baik tersebut mendapatkan
balasan dari Allah SWT. (Amin) Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
khalayak umum yang membaca hari ini maupun dikemudian hari.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Yogyakarta, 18 Maret 2016
Robby Alfa
X
perubahan yang signifikan dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya.
Dimana dalam pilkada tahun 2015 ini yang digunakan adalah sistem pilkada
serentak. Sistem pilkada serentak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sistem pilkada
serentak ini secara empiris menimbulkan banyak persoalan salah satunya adalah
mengenai calon tunggal. Terhadap persoalan ini Mahkamah Konstitusi
memberikan Putusan dan norma baru, norma baru tersebut memperbolehkan calon
tunggal untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dengan mekanisme
“setuju dan tidak setuju”. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode
hukum normatif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa
aturan-aturan hukum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Peraturan
Komisi Pemilihan Umum dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XIII/2015, guna menjawab persoalan calon tunggal. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015
sudah tepat karena menjawab persoalan konstitusional hak warga Negara dalam
pilkada, adapun dampak yuridisnya adalah Komisi Pemilihan Umum merespon
putusan mahkamah konstitusi ini dengan membuat aturan teknis berupa Peraturan
KPU Nomor 14 Tahun 2015. Terhadap aturan dan norma baru ini KPU harus
segera mensosialisasikan sesegera mungkin kepada seluruh rakyat Indonesia.
Kata-Kata Kunci : Dampak Yuridis, Putusan, Mahkamah Konstitusi,
XI
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI... xi
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 11
A. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi ... 11
1. Sejarah Mahkamah Konstitusi... 11
2. Pengertian Mahkamah Konstitusi... 13
3. Fungsi Dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi ... 16
4. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Negara Hukum ... 22
XII
Daerah (Pemilukada) Secara Langsung ... 29
3. Sengketa Hasil Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) ... 32
C. Tinjuan Umum Tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU) ... 37
1. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU) ... 37
2. Visi Dan Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU)... 39
BAB III METODE PENELITIAN... 41
A. Jenis Penelitian ... 41
B. Metode Pendekatan... 41
C.Sumber Data ... 42
D.Teknik Pengumpulan Data ... 44
E. Metode Analisis Data... 45
BAB IV HASIL DATA PENELITIAN DAN ANALISIS DATA... 46
A. Pengaturan Pemilihan Kepala Daerah sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015. ... 46
B. Posisi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015. ... 64
1. Alasan Hukum Pemohon ... 64
2. Pertimbangan Hukum Majelis Hukum Mahkamah ... 77
XIII
D. Tata Cara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Indonesia Sesudah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 Tentang
Pasangan Calon Tunggal Dalam Pemilukada Serentak
di Indonesia ... 125
BAB V PENUTUP... 131
A. Kesimpulan... 131
B. Saran ... 133
1
Produk hukum biasanya dilahirkan oleh suatu kebijakan politik atau
penguasa, sehingga kepentingan elit politik atau penguasa lebih dominan dalam
hukum tersebut. Sehingga dapat diasumsikan bahwa hukum merupakan produk
politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaing.
Pandangan di atas sebenarnya lumrah terjadi di berbagai belahan dunia, karena
memang apapun yang dibuat oleh manusia tidak akan dapat terlepas dari
kepentingan atau kebutuhan pembuat hukum atau masyarakat ketika itu. Dapat
juga dikemukakan bahwa kualifikasi tentang konfigurasi politik dan karakter
produk hukum tidak bisa diidentifikasi secara mutlak, sebab dalam kenyataannya
tidak ada satu negarapun yang sepenuhnya demokratis atau sepenuhnya otoriter.1
Dari sudut pandang etimologi demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan
cratein (memerintah). Jadi secara harafiah kata demokrasi dapat diartikan
sebagai rakyat memerintah.2
Demokrasi dalam dekade-dekade belakangan baik sebagai sistem maupun
proses, dianggap sebagai yang terbaik apabila dibandingkan
1
Lance Castles, 2004, Pemilu 2004, Dalam Konteks Komparatif & Historis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 12.
2
dengan sistem dan proses politik yang lain. Ini karena demokrasi
mengedepankan aspek manusia dan kemanusiaan. Demokrasi juga dapat
menghindari adanya penyalahgunaan dari kesewenang-wenangan terhadap
kekuasaan.
Menurut Melvin I. Urofsky, terdapat prinsip-prinsip dasar yang harus ada
dalam setiap bentuk demokrasi. Prinsip-prinsip yang telah dikenali dan diyakini
sebagai kunci untuk memahami bagaimana demokrasi bertumbuh kembang
antara lain adalah:3
1. Prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi 2. Pemilihan umum yang demokratis
3. Federalisme, pemerintahan negara bagian dan lokal 4. Pembuatan undang-undang
dari desentralisasi atau otonomi daerah adalah fungsi pendidikan politik. Dengan
dibentuknya pemerintahan di daerah maka sejumlah lembaga demokrasi akan
terbentuk pula, terutama partai-partai politik, kelompok kepentingan, kelompok
penekan, media massa lokal, dan lembaga perwakilan rakyat. Lembaga-lembaga
tersebut akan memainkan peranan yang strategis dalam rangka pendidikan politik
3
warga masyarakat, tentu saja, menanaMahkamah Konstitusian nilai-nilai dan
norma-norma yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai tersebut mencakup Nilai-nilai yang bersifat kognitif, afektif, ataupun evaluatif.
Ketiga nilai tersebut menyangkut pemahaman, dan kecintaan serta penghormatan
terhadap kehidupan bernegara, yang kemudian diikuti oleh kehendak untuk ikut
mengambil bagian dalam proses penyelenggaraan negara atau proses politik.
Demokrasi menurut teorisasi masa kini yang dilontarkan oleh Joseph
Schumpeter yaitu demokrasi sebagai metode politik. Artinya pengaturan
kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana
individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih,
memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan. Ini mensyaratkan adanya
pemilu sebagai metode penyerapan aspirasi rakyat. Pemilihan Umum (Pemilu)
merupakan sarana tak terpisahkan dari kehidupan politik negara demokratis
modern. Di bangsa yang matang demokrasinya pun pemilu mutlak perlu. Tetapi,
karena cenderung rutin, banyak warga yang tidak hadir, bahkan tidak mendaftar.
Tetapi bangsa yang dulu dijajah, yang telah mengalami kekecewaan dalam
usahanya melembagakan kekuasaan rakyat (semua paham itu makna dari akar
yunani kata “demokrasi”), masih menghayati pemilihan umum sebagai suatu
tetapi berpotensi juga menjadi langkah maju dalam melembagakan kedaulatan
rakyat secara efektif dan lestari.4
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (selanjutnya disebut UU Pemilukada)
yang dimohonkan oleh Akademisi Effendi Gazali. Dalam putusan tersebut,
Mahkamah Konstitusi menyatakan Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya
disebut Pemilukada) yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah dapat dilaksanakan apabila telah diusahakan dengan
sungguh-sungguh terpenuhinya syarat paling sedikit dua pasangan calon. Untuk
itu, Pemilukada tidak lagi semata-mata digantungkan pada keharusan paling
sedikit adanya dua pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Menurut Mahkamah, dalam Undang-Undang Pemilukada, tampak bahwa
pembentuk Undang-Undang ingin kontestasi Pemilukada setidaknya diikuti dua
pasangan calon. Namun, pembentuk Undang-Undang tidak memberikan jalan
keluar apabila syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi.
“Dengan demikian, akan ada kekosongan hukum manakala syarat paling kurang
dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi. Kekosongan hukum itu akan
berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah.
Mahkamah mengimbuhkan, adanya kekosongan hukum tersebut telah
mengancam tidak terlaksananya hak hak rakyat untuk dipilih dan memilih karena
dua alasan.Pertama, penundaan ke Pemilihan serentak berikutnya sesungguhnya
4
telah menghilangkan hak rakyat untuk dipilih dan memilih pada Pemilihan
serentak saat itu.Kedua, apabila penundaan demikian dapat dibenarkan, tetap
tidak ada jaminan bahwa pada Pemilihan serentak berikutnya itu, hak rakyat
untuk dipilih dan memilih akan dapat dipenuhi. Pasalnya, penyebab tidak dapat
dipenuhinya hak rakyat untuk dipilih dan memilih itu tetap ada, yaitu ketentuan
yang mempersyaratkan paling sedikit adanya dua pasangan calon dalam
kontestasi Pemilukada, oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pemilukada yang
ditunda sampai pemilihan berikutnya hanya karena tak terpenuhinya syarat
paling sedikit dua pasangan calon bertentangan dengan UUD 1945. “Demi
menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara, pemilihan Kepala
Daerah harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan calon
kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, setelah sebelumnya diusahakan
dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan paling sedikit dua pasangan calon.
Mahkamah memutuskan, keikutsertaan calon tunggal dalam Pemilukada
dapat dilakukan jika telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk terpenuhi
syarat paling sedikit dua pasangan calon. Hal ini berarti penyelenggara telah
melaksanakan ketentuan yang terdapat pasa Pasal 49 ayat (1) sampai dengan ayat
(9) UU Pemilukada (untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur) dan ketentuan
Pasal 50 ayat (1) sampai dengan ayat (9) UU Pemilukada (untuk pemilihan
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota).
Setelah itu, dilakukan proses seperti referendum, yakni jika hanya ada
(pemilih) untuk menyatakan “Setuju” atau “Tidak Setuju” dalam surat suara,
terhadap calon tunggal tersebut. Apabila pilihan “Setuju” memperoleh suara
terbanyak maka pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksud
ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, sedangkan
apabila pilihan “Tidak Setuju” memperoleh suara terbanyak maka pemilihan
ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya.
“Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada
dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian
suara “Tidak Setuju” tersebut.
Agar proses tersebut dapat dijalankan, maka ketentuan Pasal 49 ayat (9)
UU Pemilukada yang menyatakan,“KPU Provinsi membuka kembali
pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama
3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(8)”harus dimaknai “termasuk menetapkan satu pasangan Calon Gubernur dan
Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3
(tiga) hari dimaksud telah terlampaui namun tetap hanya ada satu pasangan
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”. Pemaknaan yang sama juga
berlaku untuk ketentuan Pasal 50 ayat (9) yang mengatur pembukaan kembali
pendaftaran calon Bupatidan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota.Demikian juga dengan pasal terkait lainnya,
yakni Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2) UU Pemilukada. Namun, Putusan
pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Menurutnya,
keberadaan Calon tunggal pada dasarnya meniadakan kontestasi. Sedangkan
Pemilu tanpa kontestasi hakikatnya bukan Pemilu yang senafas dengan asas
Luber dan Jurdil. Hak-hak untuk memilih dan hak untuk dipilih akan terkurangi
dengan adanya calon tunggal karena pemilih dihadapkan pada pilihan artifisial
(semu).
Sedangkan terhadap pengujian norma yang sama dengan nomor perkara
yang berbeda, yakni perkara nomor 95/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan warga
Surabaya dan perkara nomor 96/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Calon Wakil
Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana, Mahkamah menyatakan kedua
permohonan tersebut tidak dapat diterima. Dalam pertimbangannya, Mahkamah
menilai argumentasi tentang kerugian hak konstitusional para Pemohon
didasarkan pada keadaan aktual pada saat permohonan diajukan, yaitu tidak
adanya paling sedikit 2 (dua) pasangan calon Walikota dan calon Wakil Walikota
Surabaya. Namun, saat permohonana quodiputus, keadaan sebagaimana
didalilkan para Pemohon telah berubah. Syarat paling sedikit 2 (dua) pasangan
calon tersebut telah terpenuhi, sebagaimana tertuang dalam Keputusan KPU Kota
Surabaya Nomor 36/Kpts/KPU-Kota-014.329945/2015 tentang Penetapan
Pasangan Calon Dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya Tahun
2015, tanggal 24 September 2015. Oleh karena itu, Mahkamah memandang dalil
para Pemohon kehilangan kedudukan hukum (legal standing)-nya sebagai
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Dampak Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XIII/2015 Tentang Pasangan Calon Tunggal Dalam Pemilukada
Serentak Di Indonesia?
2. Bagaimanakah Tata Cara Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Di Indonesia
Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 Tentang
Pasangan Calon Tunggal Dalam Pemilukada Serentak Di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan mengkaji dampak yuridis putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang pasangan calon tunggal
dalam Pemilukada serentak di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji tata cara pemilihan bupati dan wakil bupati
di Indonesia sesudah putusan Mahkamah Konstitusi No.100/PUU-XIII/2015
tentang pasangan calon tunggal dalam Pemilukada serentak di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai Dampak yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XIII/2015 tentang pasangan calon tunggal dalam Pemilukada serentak di
A. Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu pegetahuan hukum pada umumnya dan hukum tata
negara pada khususnya.
B. Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran dan solusi
Untuk memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang pasangan
11
1. Sejarah Mahkamah Konstitusi
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali
dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen
konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada
tahun 2001, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2),
Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga
yang disahkan pada 9 November 2001. Ide pembentukan MK merupakan
salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang
muncul di abad ke-20.5Pada mulanya memang tidak dikenal adanya
Mahkamah Konstitusi. Bahkan, keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi
sendiri di dunia bisa dikatakan relatif baru. Namun, di kalangan
Negara-negara demokrasi baru, terutama di lingkungan Negara-Negara-negara yang
mengalami perubahan dari otoriatan menjadi demokrasi pada perempatan
terakhir abad ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi
sangat popular. Oleh karena itu, setelah Indonesia memasuki era reformasi
5
dan demokratis seperti sekarang ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
menjadi sangat luas diterima.6
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam
rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung
(selanjutnya disebut MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil
perubahan keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan
Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui
pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003
dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal
15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun
2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan
pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada
tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah
pelimpahan perkara dari MAke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang
menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang
kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.7
6
Ni’matul Huda, 2006,Hukum Tata Negara Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 204.
UUD 1945 pasca amandemen mengimplikasikan perubahan secara
mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk struktur dan relasi
kelembagaan negara. Perubahan tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia
mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan antara lain
prinsip “pemisahan kekuasaan” dan “checks and balances” yang
menggantikan prinsip supermasi parlemen yang dianut sebelumnya.
Pembentukan MK sejalan dengan dianutnya paham negara hukum
dalam UUD 1945. Negara hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya,
tidak boleh ada Undang-Undang dan peraturan Perundang-Undangan lainnya
yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal itu sesuai dengan
penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam tata urutan
peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 membutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga
prinsip konstitusionalitas hukum.
2. Pengertian Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) merupakan suatu
lembaga negara yang terbentuk setelah dilakukannya amandemen ketiga
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD1945). Dalam amandemen ketiga UUD 1945
dilakukan perubahan pada Bab IX mengenai kekuasaan kehakiman dengan
mengubah ketentuan Pasal 24 dan menambahkan tiga Pasal baru dalam
dalam UUD 1945 disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C
UUD1945.
MK adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka guna
menegakan hukum dan keadilan sebagai mana dimaktub dalam Pasal 24 ayat
(1) UUD 1945. MK merupakan lembaga tinggi Negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Agung. MK bukan bagian dari MA dalam
makna perkaitan struktur unity of juridistion, seperti halnya dalam sistem
hukum Anglo Saxon, tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari MA secara
duality of juridistion. MK berkedududkan setara dengan MA, keduanya
adalah penyelenggara dari kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa dengan adanya perubahan UUD 1945, maka selain MA
sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman dari lingkungan peradilan
yang berbeda dibawahnya, juga terdapat MK yang secara fungsional juga
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan
struktural dengan MA. Kedua lembaga tersebut mamiliki fungsi yang sama
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, akan tetapi berbeda dalam yurisdiksi
atau kompetensinya. MK hanya berkedudukan di ibu kota Negara tidak seperti
halnya MA yang memiliki beberapa badan peradilan di bawahnya sampai
pada tingkat pertama kabupaten/kota.
MK berasal dari dua kata yakni Mahkamah dan Konstitusi,
dari kedua kata yaitu Mahkamah dan Konstitusi. Kata Mahkamah mempunyai
pengertian yakni badan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau
pelanggaran (pengadilan). Sedangkan istilah Konstitusi menurut Titik
Triwulan Tutik mengutip dari penjelasan Samidjo dalam bukunya Ilmu
Negara bahwa dalam perkembangannya Konstitusi mempunyai dua
pengertian, yaitu:8
a. Dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari
ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (droitconstitutionelle),
baik yang tertulis ataupun tidak tertulis atau campuran keduanya.
b. Dalam pengertian sempit (terbatas), konstitusi berarti piagam dasar
atau Undang-Undang dasar (loi constitutionelle), ialah suatu suatu
dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara.
Menurut keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa MK ialah suatu
badan peradilan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau
pelanggaran terhadap hukum dasar atau Undang-Undang Dasar. Lebih jelas
lagi dapat dilihat dari segi wewenangnya yang diberikan oleh UUD 1945
kepada Mahkamah Konstitusi yakni mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa antar lembaga negara,
8
memutus terhadap pelanggaran presiden, memutus sengketa pemilu dan
memutus pembubaran partai politik.
3. Fungsi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Pentingnya keberadaan Mahkamah Konstitusidi Indonesia yakni
sebagai pengawal dan penafsir Konstitusi menuju negara hukum demokratis.
Sebagaimana amanat UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum. Artinya, segala penyelenggaraan negara harus
tunduk pada hukum, bukan pada kekuasaan. Untuk menjalankan tugas
kenegaraan yang berdasarkan hukum, hukum membutuhkan sendi-sendi
konstitusi. UUD 1945 merupakan landasan untuk menjamin pelaksanaan dan
penegakkan hukum yang berkeadilan. Agar pelaksanaan dan penegakan
hukum yang berdasarkan konstitusi dapat berjalan secara demokratis dan
berkeadilan, maka dibutuhkan sendi-sendi konstitusional. Artinya
sekurang-kurangnya ada dua pengertian negara berdasarkan atas hukum. Pertama,
adanya pengaturan mengenai batas-batas peran negara atau pemerintahan
dalam mencampuri kehidupan dan pergaulan masyarakat. Kedua, adanya
jaminan hukum akan hak-hak, baik sipil atau hak-hak pribadi (individual
rights), hak-hak politik (political rights), maupun hak-hak sebagai sebuah
kelompok atau hak-hak sosial sebagai hak asasi yang melekat secara ilmiah
pada setiap insan, baik secara pribadi maupun kelompok.9
9
Mahkamah Konsitutusi bersama Mahkamah Agung merupakan
pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Namun keduanya mempunyai
kewenangan yang berbeda. Jika MA berada di ranah peradilan umum maka
MK merupakan sebuah special tribunalyang ruang lingkupnya adalah
konstitusi. Kelahiran Mahkamah Konstitusi sesungguhnya diawali dengan
perubahan UUD 1945 yang ke tiga. Pasca perubahan tersebut dibentuklah
Undang-Undang mengenai MK. Undang-Undang ini selesai disusun dan
disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang saat ini telah mengalami
perubahan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2011 Tentang Mahkamah Konstitusi. Sejak saat itulah MK sebagai salah satu
pilar demokrasi di Indonesia.
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi lahir
Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal
7B yang disahkan pada 9 November 2001. Ada pula yang berpendapat bahwa
Mahkamah Konstitusi lahir bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003. Secara kelembagaan
Mahkamah Konstitusi menetapakan tanggal 16 Agustus 2003 sebagai
kelahiran Mahkamah Konstitusi.10
10
Sesuai ketentuan UUD, tiga hakim konstitusi berasal dari usul DPR,
tiga hakim konstitusi berasal dari usul MA, dan tiga hakim konstitusi berasal
dari usul Presiden. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi diawali oleh
pembaharuan pemikiran dalam bidang ketatanegaraan pada abad 20. MK
merupakan lembaga negara yang berasal dari konsep sistem hukum eropa
kontinental. Indonesia sebagai sebuah negara hukum (Rechstaat) banyak
dipengaruhi pemikiran ketatanegaraan di Eropa terutama negara dengan
sistem hukum Eropa Continental yang menganut supremasi konstitusi. Pada
negara yang menganut Eropa kontinental Mahkamah Konstitusi merupakan
lembaga yang merupakan bentuk perlindungan terhadap hak konstitusional
warganegara.11
Lahirnya Mahkamah Konstitusi pasca amandemen merupakan respons
terhadap tuntutan penguatan mekanisme check and balances dalam sistem
penyelenggaraan negara. Berdirinya lembaga konstitusi merupakan
konsekwensi dianutnya konsep negara hukum dalam ketatanegaraan di
Indonesia. Otomatis akan terjadi pemisahan kekuasaan dan mekanisme check
and balancesantar lembaga. Mahkamah Konstitusilah yang akan
melakukannya terhadap peraturan Perundang-Undangan yang dibuat oleh
legislatif.
Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard)
konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan
negara maupun warga negara.Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir
akhir konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi
pelindung (protector) konstitusi. Sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi
manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung
konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights)
juga benar adanya.12
Sebagai sebuah lembaga yang dijadikan sebagai pelindung konstitusi
MK mempunyai beberapa fungsi yang meliputi:13
a. Sebagai Penafsir Konstitusi
KC Wheare menyatakan bahwa fungsi seorang hakim adalah
memutus perkara apakah hukum itu. Konstitusi tak lain merupakan
sebuah aturan hukum. Sehingga konstitusi merupakan wilayah kerja
seorang hakim. Hakim MK dalam menjalankan kewenangannya dapat
melakukan penafsiran terhadap konstitusi. Hakim dapat menjelaskan
makna kandungan kata atau kalimat, menyempurnakan atau
melengkapi, bahkan membatalkan sebuah Undang-Undang jika
dianggap bertentangan dengan konstitusi.
b. Sebagai Penjaga Hak Asasi Manusia
12
Maruarar Siahaan, 2006,Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 5.
Konstitusi sebagai dokumen yang berisi perlindungan hak asasi
manusia merupakan dokumen yang harus dihormati. Konstitusi
menjamin hak-hak tertentu milik rakyat. Apabila legislatif maupun
eksekutif secara inkonstitusional telah mencederai konstitusi maka
MK dapat berperan memecahkan masalah tersebut.
c. Sebagai Pengawal Konstitusi.
Istilah penjaga konstitusi tercatat dalam penjelasan
Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusiyang biasa
disebut dengan the guardian of constitution. Menjaga konstitusi
dengan kesadaran hebat yang menggunakan kecerdasan, kreativitas,
dan wawasan ilmu yang luas, serta kearifan yang tinggi sebagai
seorang negarawan.
d. Sebagai Penegak Demokrasi.
Demokrasi ditegakkan melalui penyelenggaraan pemilu yang
berlaku jujur dan adil. MK sebagai penegak demokrasi bertugas
menjaga agar tercitanya pemilu yang adil dan jujur melalui
kewenangan mengadili sengketa pemilihan umum. Sehingga peran
MK tak hanya sebagai lembaga pengadil melainkan juga sebagai
Pasal 24C Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusiadalah
sebagai berikut:14
a. Mahkamah Konstitusiberwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undangterhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
b. Mahkamah Konstitusiwajib memberi putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar.
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusitersebut diatur lagi
dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusidengan rincian sebagai berikut:15
a. Mahkamah Konstitusiberwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannnya bersifat final untuk:
1) Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
14
Lihat Pasal 24C Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 9 November 2001.
15
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
3) Memutus pembubaran partai politik; dan
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
b. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah
Konstitusiwajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
4. Kedudukan Mahkamah KonstitusiDalam Negara Hukum
Kedudukan konstitusi dalam Negara berubah dari zaman ke
zaman.Pada masa peralihan dari Negara feodal monarki atau oligarki
dengankekuasaan mutlak penguasa ke Negara nasional demokrasi, konstitusi
berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang
kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat
dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah
perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan
perannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat
untuk mengakhiri kekuasaan sepihak atau segolongan dalam sistem monarki
dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan
kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi seperti:
individualisme, liberalisme, universalisme, demokrasi dan sebagainya.
Selanjutnya kedudukan danfungsi konstitusi ditentukan oleh ideologi yang
melandasi Negara.16
Di Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi
konstitusionalisme, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas,
yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga
penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Adanya
pembatasan kekuasaan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan
secara vertikal dan horizontal akan memisahkan kekuasaan kedalam
kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu
sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi
kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan
begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ
atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Mahkamah Konstitusimerupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusidibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai hukum
16
tertinggi agar dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusidisebut
denganthe guardian of the constitution.17
Kedudukan Mahkamah Konstitusiini setingkat atau sederajat dengan
Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Dalam menjalankan kewenangannya, termasuk di
dalamnya adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasar,
Mahkamah Konstitusijuga melakukan penafsiran konstitusi, sehingga
Mahkamah Konstitusijuga disebut the Sole Interpreter of the Constitution.
Sebagai lembaga penafsir tunggal konstitusi, banyak hal dalam mengadili
menimbulkan akibat terhadap kekuasaan lain dalam kedudukan
berhadap-hadapan, terutama terhadap lembaga legislatif di mana produknya direview.18
Kedudukan Mahkamah Konstitusidalam sistem ketatanegaraan
Indonesia adalah sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi yudisial
dengan kompetensi obyek perkara ketatanegaraan. Sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki Mahkamah Konstitusi adalah
fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi Mahkamah
Konstitusi dapat ditelurusi dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk
menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadilan hukum
yang ditegakkan dalam peradilan Mahkamah Konstitusi adalah konstitusi itu
sendiri yang dimaknai tidak hanya sekedar sebagai sekumpulan norma dasar,
17
Nanang Sri Darmadi, Agustus 2011, Kedudukan Dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesiadalam Jurnal Hukum Vol XXVI, No. 2, Semarang, hlm. 11. 18
melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip
negara hukumdan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta
perlindungan hak konstitusional warga Negara.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi(UU MK) disebutkan bahwa tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi
adalah menangani perkara konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung
jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu
keberadaan mahkamah juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap
pengalaman ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atau
konstitusi.19 Dalam menjalankan wewenang memutus pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi juga menjalankan peran
sebagai penjaga konstitusi. Selain itu, karena pelaksanaan kewenangan
mahkamah yang lain juga dilakukan berdasarkan pada ketentuan UUD 1945
untuk menyelesaikan perkara yang harus diputus, baik dalam perkara sengketa
kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan hasil
pemilu, maupun memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa
jabatannya maka konsteks tersebut juga melekat peran mahkamah sebagai
pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi.
19
Fungsi selanjutnya adalah sebagai pelindung hak asasi manusia dan
pelindung hak konstitusional warga Negara. Adanya jaminan hak asasi
manusia dalam konstitusi menjadikan Negara memiliki kewajiban hukum
konstitusional untuk melindungi, menghormati, dan memajukan hak-hak
tersebut. Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang dapat
dilihat sebagai upaya melindungi hak asasi manusia dan hak konstitusi
Undang-Undang. Jika ketentuan suatu Undang-Undang telah melanggar hak
konstitusi warga Negara, maka dapat dipastikan tindakan penyelanggaraan
Negara atau pemerintah yang dilakukan didasarkan ketentuan tersebut juga
akan melanggar hak konstitusional warga Negara. Oleh karena itu,
kewenangan pengujian tersebut sekaligus mencegah agar tidak ada tindakan
penyelenggaraan negara dan pemerintah yang melanggar hak konstitusional
warga negara. Mahkamah Konstitusi juga berwenang memutus perkara
pembubaran partai politik yang dimaksud agar pemerintah tidak dapat secara
sewenang-wenang membubarkan partai politik yang melanggar hak berserikat
dan mengeluarkan pendapat.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dipahami sebagai pengawal
konstitusi untuk memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi mempunyai
kewenangan dengan batasan yang jelas sebagai bentuk penghormatan atas
konstitusionalisme. Batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah
terselenggaranya sistem perimbangan kekuasaan di antara lembaga negara
(checks and balances).20
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
diharapkan mampu mengembalikan citra lembaga peradilan di Indonesia
sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dapat dipercaya dalam
menegakkan hukum dan keadilan. Dasar filosofis dari wewenang dan
kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah keadilan substantif dan
prinsip-prinsip good governance. Selain itu, teori-teori hukum juga memperkuat
keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal dan
penafsir konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi beserta segenap
wewenang dan kewajibannya, dinilai telah merubah doktrin supremasi
parlemen (parliamentary supremacy) dan menggantikan dengan ajaran
supremasi konstitusi.21
B. Tinjuan Umum Tentang Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada)
1. Pengertian Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada)
Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(selanjutnya disebut Pemilukada) merupakan instrumen yang sangat penting
20
Ibid.,hlm 12.
21
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi
di daerah, karena disinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan
menentukan kebijakan kenegaraan. Mengandung arti bahwa kekuasaan
tertinggi untuk mengatur pemerintahan Negara ada pada rakyat. Melalui
Pemilukada, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi pemimpin dan
wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan
arah masa depan sebuah Negara.22
Pemilukada menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat di wilayah Propinsi dan Kabupaten/ Kota berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008
tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala daerah menyebutkan bahwa Pemilukada adalah
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau
kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
22
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat (1) dinyatakan
bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan
calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah selanjutnya disebut pasangan calon adalah peserta pemilihan yang
diusulkan oleh partai Politik atau gabungan partai politik yang telah
memenuhi persyaratan.
2. Sistim Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Secara Langsung
Pemilukada seperti halnya pemilihan umum, merupakan arena politik
masyarakat, tempat bagi masyarakat untuk mengorganisir kekuasaan dan
meraih kontrol atas negara. Bagaimanapun Pemilukada merupakan proses
pemilihan dengan model demokratis dibandingkan dengan model yang lain.
Pemilukada perlu dilakukan secara langsung, dikarenakan:23
a. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
Warga masyarakat berdasarkan kedaulatan yang mereka miliki,
harus diberi kesempatan untuk ikut menentukan masa depan
daerahnya masing–masing, dengan memilih kepala daerah dan wakil
kepala daerah secara langsung.
23
b. Legitimasi yang sama antara kepala daerah dan wakil kepala daerah
dengan DPRD.
Jika kepala daerah dan wakil kepala daerah tetap dipilih oleh
DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat, tingkat legitimasi anggota
DPRD jauh lebih tinggi dari tingkat legitimasi yang dimiliki kepala
daerah dan wakil kepala daerah.
c. Kedudukan yang sejajar antara kepala daerah dan wakil kepala daerah
dengan DPRD.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dan
bertanggung jawab kepada DPRD, berarti kedudukan DPRD berada
diatas kepala daerah dan wakil kepala daerah. Untuk memberikan
kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala daerah dan wakil kepala
daerah dengan DPRD, kepala daerah dan wakil kepala daerah harus
dipilih secara langsung oleh rakyat.
d. Undang-Undang. No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR,
DPD dan DPRD
Pasal 62 UU No. 22 Tahun 2003 menyatakan bahwa,
kewenangan DPRD untuk memilih kepela daerah dan wakil kepala
daerah sudah dicabut. Kewenangan yang ada pada DPRD, adalah
mengusulkan pengangkatan dan penghentian kepela daerah kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Masalah politik uang dimungkinkan terjadi karena begitu
besarnya wewenang yang dimiliki oleh DPRD dalam proses pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, kemungkinan terjadi
politik uang ini dapat dicegah, atau setidak-tidaknya dapat dikurangi.
Apabila masih ada pihak-pihak yang ingin melakukannya, mereka
akan berhadapan dengan para pemilih yang jumlahnya cukup banyak.
Pelaksanaan Pemilukada yangfree and fairsangat penting bagi
berjalannya demokrasi suatu bangsa, antara lain:24
a. Melalui Pemilukada yang free and fair memungkinkan suatu
komunitas politik melakukan transfer kekuasaan secara damai.
b. Sistem demokrasi menuntut adanya kebebasan menyuarakan
kepentingan dan konflik secara terbuka, sehingga dengan
Pemilukada yang free and fair dapat menciptakan pelembagaan
konflik.
Dalam rangka mewujudkan penguatan hingga pemberdayaan
demokrasi ditingkat lokal dalam proses pemilihan atau rekruitmen, para wakil
rakyat mendapat mandat politik dari warga masyarakatnya (Pemilukada
Langsung), diantaranya: Pertama, dengan Pemilukada langsung penguatan
demokratisasi ditingkat lokal dapat terwujud, khususnya yangberkaitan
dengan pembangunan legitimasi politik. Kedua, dengan Pemilukada langsung
24
diharapkan mampu membangun serta mewujudkan akuntabilitas pemerintah
lokal (accountability). Ketiga, apabila local accountability berhasil
diwujudkan, maka optimalisasi equilibrium check and balances antara
lembaga-lembaga negara (terutama antara eksekutif dan legislatif) dapat
berujung pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan proses demokrasi di
level lokal. Keempat, melalui Pemilukada langsung peningkatan kualitas
kesadaran politik masyarakat sebagai kebertampakan kualitas partisipasi
rakyat diharapkan muncul.25
Hak politik yang paling mendasar dari setiap warga Negara dalam
demokrasi adalah terbukanya kesempatan untuk mementukan sendiri dan ikut
serta (partisipasi) dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.
Pemilukada adalah salah satu sarana yang mewadahi hak politik mendasar
tersebut.Pemilukada harus mendorong peningkatan partisipasi politik
masyarakat.
3. Sengketa Hasil Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada).
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau
seringkali disebut Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk
daerah setempat yang memenuhi syarat.Sebelumnya, kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
25
Peradilan perselisihan hasil Pemilukada di Indonesia sebagai peradilan
kontentius merupakan peradilan yang menurut hukum positif Indonesia
berada di bawah kompetensi Mahkamah Konstitusi. Pada 29 Oktober 2008
Mahkamah Agung secara resmi menyerahkan perkara Pemilukada yang
sedang ditanganinya. Dalam serah terima tersebut, juga disepakati bahwa
perkara-perkara yang sudah terlanjur disidangkan oleh Mahkamah Agung
tetap dilanjutkan. Untuk melengkapi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
yang saat ini mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi, maka
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi(PMK)
Nomor 15 Tahun 2008 yang mengatur tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian, terkait
dengan penyelesaian secara yudisial terhadap perkara-perkara perselisihan
hasil Pemilukada ini, ada 2 (dua) peraturan yang mengatur tentang Hukum
Acara yang menjadi landasan hukumnya, yaitu:
a. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi ini merupakan Hukum Acara yang bersifat umum (lex
b. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Pemilukada sebagaimana
diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2008. Hukum Acara ini
merupakan Hukum Acara yang bersifat khusus (lex specialis).
Permasalahan yang sering timbul dalam Pemilukada adalah dalam
penentuan pihak pemenang dalam Pemilukada, seringkali ketika sudah
ditentukan pemenang dari Pemilukada tersebut muncul permasalahan tentang
hasil penghitungan dari masing-masing pihak, sehingga pihak yang merasa
dicurangi dalam penghitungan hasil Pemilukada menempuh jalur hukum
dengan mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sudah menentukan secara jelas dan pasti tentang Pemohon (Legal Standing)
dan Permohonan pengajuan sengketa perselisihan hasil pemilu. Pemohon
(Legal Standing) adalah perorangan warga negara Indonesia calon anggota
Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum, pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dan
partai politik peserta pemilihan umum.26Sedangkan Permohonan hanya dapat
diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara
nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi terpilihnya calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah, penentuan pasangan calon yang masuk
pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya
26
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, perolehan kursi partai politik
peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.
Legal Standing merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam
beracara di Mahkamah Konstiusi, karena Legal Standing adalah keadaan
dimana seeorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh
karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian
perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi.27
Pemohon (Legal Standing) adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan
menurut Undang-Undang untuk mengajukan permohonannya kepada
Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, salah satu kewenangan konstitusional
Mahkamah Konstitusi(MK) adalah memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum dan Pemilukada. Dengan adanya Undang-Undang tersebut
mengakibatkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
yang berkepentingan langsung dapat menjadi Pemohon (Legal standing)
sebagaimana diatur dalam pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi(PMK)
Nomor 15 tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah.
27
Bertolak dari latar belakang tersebut penulis mencoba untuk
membahas tentang “Pemohon (Legal Standing) dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) menurut Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi”, karena dalam
ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sudah ditentukan secara pasti pihak yang menjadi Pemohon (Legal
Standing) dalam sengket perselisihan Hasil Pemilu yakni:
a. Perorangan warga negara Indonesia (WNI) calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
b. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden; dan
c. Partai politik peserta pemilihan umum.
Prakteknya pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pemilukada dapat menjadi Pemohon (Legal Standing) dalam sengketa
perselisihan Hasil Pemilu dengan mendasarkan pada Undang-Undang nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 serta Peraturan Mahkamah
Konstitusi nomor 15 tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam
C. Tinjuan Umum Tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU) 1. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Komisi Pemilihan Umum, (selanjutnya disebut KPU), adalah lembaga
Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang
bertugas melaksanakan Pemilu. Pengertian tersebut dinyatakan dalam Pasal 1
angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum. Sifat nasional mencerminkan bahwa
wilayah kerja dan tanggungjawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan
Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Sifat
tetap menunjukkan KPU sebagai lembagayang menjalankan tugas secara
berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masajabatan tertentu.Sifat mandiri
menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari
pengaruh pihak manapun.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011
Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum diatur mengenai KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara
pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas
Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan
peraturan perUndang-Undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh
tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya.KPU memberikan laporan kepada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum juga mengatur kedudukan panitia pemilihan
yang meliputi PPK, PPS, KPPS danPPLN serta KPPSLN yang merupakan
penyelenggara Pemilihan Umum yangbersifat ad hoc. Panitia tersebut
mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan
penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya
Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki
integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan
ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara
Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk
Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.
Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas: mandiri, jujur, adil,
kepastian hokum. tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan umum,
keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan
efektivitas.
Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga independen dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban
sebagai penyelenggara pemilu yang disebutkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan
diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
2. Visi Dan Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Visi KPU adalah terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai
penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional,
mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia
yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan misi dari KPU adalah sebagai
berikut:28
a. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki
kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan
pemilihan umum.
b. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
adil, akuntabel, edukatif dan beradab;
c. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang
bersih, efisien dan efektif;
d. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara
adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara
28
konsisten sesuai dengan peraturan PerUndang-Undangan yang
berlaku;
e. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif
dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat
41
Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan
studi kasus normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji
Undang-Undang. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai
norma atau kaidah yang belaku dalam masyarakat dan menjadi acuan
perilaku setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada
inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum
dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi,
perbandingan hukum dan sejarah hukum.29 Berdasarkan penjelasan di atas,
penulis memutuskan menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk
meneliti dan menulis pembahasan skripsi ini sebagai metode penelitian
hukum.
B. Metode Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan
pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Metode
pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan
perUndang-29
Undangan (statue approach).30 Suatu penelitian normatif tentu harus
menggunakan pendekatan perUndang-Undangan, karena yang akan diteliti
adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
suatu penelitian.
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan diolah dalam penelitian hukum normatif
adalah data skunder, yakni studi dokumen atau kepustakaan dengan cara
mengumpulkan dan memeriksa atau menulusuri dokumen dan kepustakaan
yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh
peneliti. Sumber data skunder dalam penelitian ini dibagi menjadi:31
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri
dari:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun1945;
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi;
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan
Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah;
30
Peter Mahmud Marzuki, 2008,PenelitianHukum. Cet 2, Kencana, Jakarta, hlm. 29.
31
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum;
5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah;
6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang;
7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 terkait
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang;
8) Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan
Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon.
b. Bahan Hukum Sekunder
Definisi bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang
dapat dilakukan analisa dan pemahaman yang lebih mendalam, yang terdiri
atas:
1) Penjelasan atas peraturan perundang-undangan yang digunakan
sebagai bahan hukum primer;
2) Buku-buku literatur atau bacaan yang berkaitan dengan topik
penulisan;
3) Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penulisan;
4) Pendapat ahli yang berkompeten dengan peneliti;
5) Artikel atau tulisan para ahli;
6) Sarana elektronika yang membahas permasalahan terkait.
D. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian, dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu
studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan
wawancara atau interview.32 Tehnik pengumpulan data melalui studi
kepustakaan, yaitu mengkaji peraturan perundang-undangan, buku-buku
literatur, karya tulis dari ahli hukum dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
100/PUU-XIII/2015 tentang pasangan calon tunggal dalam Pemilukada
serentak di Indonesia dan wawancara merupakan hal yang memberikan suatu
rumusan yang sederhana, dengan menyatakan bahwa wawancara melibatkan
orang-orang yang melakukan komunikasi. Salah satu fungsi dari berbicara
32
dengan pihak lain adalah kebutuhan untuk mengemukakan ide-ide, perasaan,
sikap dan pertanyaan-pertanyaan.
E. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan metode kualitatif,33 yaitu metode analisis data dengan cara
mengelompokkan dan menseleksi data yang diperoleh dari penelitian
lapangan menuru tkualitas dan kebenarannya kemudian disusun secara
sistematis, yang selanjutnya dikaji dengan metode berfikir secara deduktif
dihubungkan dengan teori-teori dari studi kepustakaan (data sekunder),
kemudian dibuat kesimpulan yang berguna untuk menjawab rumusan
masalah dalam penelitian ini. Hasil analisis tersebut di paparkan secara
deskriptif,34 yaitu cara menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan
sehingga diperoleh uraian hasil penelitian yang bersifat deskriptif-kualitatif
yang nantinya akan diperoleh arti dan kesimpulan untuk menjawab
permasalahan.
33
Abdul Kadir Muhammad,Op.Cit.,hlm. 50.
34