• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK YURIDIS PUTUSAN MK NO 100/PUU-XIII/2015 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TERHADAP PILKADA SERENTAK DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DAMPAK YURIDIS PUTUSAN MK NO 100/PUU-XIII/2015 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TERHADAP PILKADA SERENTAK DI INDONESIA"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

Disusun Oleh: Nama : Robby Alfa NIM : 20070610094

FAKULTAS HUKUM

(2)
(3)
(4)
(5)

V

penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,...”

(QS. Al-Baqarah: 153)

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama

kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu

urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada

Tuhanmulah engkau berharap.”

(QS. Al-Insyirah,6-8)

"Pendidikan merupakan senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk

merubah dunia"

(Nelson Mandela)

“Ketika anda tidak pernah melakukan kesalahan, itu artinya anda tidak pernah

berani untuk mencoba”

(6)

VI

- Kedua orang tuaku Ayahandaku Ersan dan Ibundaku tersayang Taty.

Ucapan tiada terhingga tidak dapat ternilai kuucapkan dengan segala

takdim dan hormatku, atas semua dukungan, bimbingan, doa, serta kasih

sayang, dan jerih payah tanpa lelah membanting tulang untuk membiayai

kuliah penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

- Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada kakakku tercinta Eka

Yulyana Sari, S.S.

- Adikku tercinta Ahmad Halim Bernando, dan Keponakanku Arifatunnisa

Karunia Irsyat/Putry yang sedang menempuh studinya, semoga Allah SWT

memberikan kemudahan kepada keduanya dan smua asa kalian dapat

tercapai. Amin.

- Fitria Andriani, S.E., MBA

- Skripsi ini juga penulis persembahkan untuk Almamaterku tercinta

(7)

VII

Alhamdulillahirobbil’alamin, dengan rasa syukur yang amat besar kepada

Allah SWT, karena dengan rahmat dan inayahnyalah penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Dampak Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

100/PUU-XIII/2015 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015

Terhadap Pilkada Serenntak Di Indonesia”.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan

dalam penyelesaian Program Strata satu (S1) Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta. Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini penulis

tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus

kepada:

1. Ayahandaku Ersan dan ibundaku tersayang taty.

2. Bapak Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Bapak Dr. Leli Joko Suryono, S.H., M.Hum, selaku Kaprodi Ilmu Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Ibu Nanik Prasetyoningsih, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing I yang telah

membimbing, mengarahkan dan memberi masukan, pandangan kepada

(8)

VIII

6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen, yang telah memberikan wawasan dan ilmu

bermanfaat kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum, tak lupa

juga staf TU dan karyawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini di Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berkat dukungan orang-orang

terdekat penulis:

7. My sister tersayang Eka Yulyana Sari, S.S., yang tidak henti-hentinya

memberikan semangat dan dukungan.

8. Adikku tersayang Ahmad Halim Bernando, belajar yang rajin ya tot, capailah

cita-citamu, buat Orangtua bangga, Bantu mamah dirumah, jangan sering

ngelawan sama ayuk.

9. Keponakanku tersayang Arifatunnisa Karunia Irsyat/Putry, jangan nakal ya

monak, inget kata Abi rajin belajar, jangan maen terus bantu nenek sama

kakek dirumah.

10. Fitria Andrian, S.E., MBA, jelek, terimakasih untuk selalu setia dan tetap

yakin mendampingi penulis dalam keadaan apapun, terimakasih untuk

semuanya, semangat ya lek belajar memasaknya hehe.

11. Eko Hadi Nurwahid, S.H.,M.H, mang cik, terimakasih atas celotehan dan

dukungan yang semakin membuat penulis ingin terus maju untuk tetap

(9)

IX

mengingatkan.

13. Kawan-kawan dari Ikatan Mahasiswa Pelajar Mesuji Yogyakarta, mang cik,

tofa, yrawanto,S.H, supri, mira, fatul dan adek-adek baru dan lain sebagainya.

Banyaklah belajar untuk menjadi pemimpin karena kedepan kalianlah giliran

yang harus memimpin.

14. Kawan-kawan kosan angker, ( andi nursidik: ingin menjadi hacker sejati,

semoga tercapai cuy hehe, tofa alias afot: ingin menjadi manager afot gadget

di usia muda,lanjutkan fa hehe, Guspry alias agus: ingin menjadi pilot,

lanjutkan gos, bram, franstyo, jhon q, umbu: cahaya dari timur, dan dedi.

Terimaksih untuk semuanya, tetep akur dab).

15. Kepada seluruh orang yang sudah membantu secara langsung maupun tidak

langsung dalam pengerjaan skripsi ini. Terima kasih banyak.

Akhirnya penulis senantiasa berdo’a semoga amal baik tersebut mendapatkan

balasan dari Allah SWT. (Amin) Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua

khalayak umum yang membaca hari ini maupun dikemudian hari.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Yogyakarta, 18 Maret 2016

Robby Alfa

(10)

X

perubahan yang signifikan dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya.

Dimana dalam pilkada tahun 2015 ini yang digunakan adalah sistem pilkada

serentak. Sistem pilkada serentak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun

2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sistem pilkada

serentak ini secara empiris menimbulkan banyak persoalan salah satunya adalah

mengenai calon tunggal. Terhadap persoalan ini Mahkamah Konstitusi

memberikan Putusan dan norma baru, norma baru tersebut memperbolehkan calon

tunggal untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dengan mekanisme

“setuju dan tidak setuju”. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode

hukum normatif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa

aturan-aturan hukum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Peraturan

Komisi Pemilihan Umum dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

100/PUU-XIII/2015, guna menjawab persoalan calon tunggal. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015

sudah tepat karena menjawab persoalan konstitusional hak warga Negara dalam

pilkada, adapun dampak yuridisnya adalah Komisi Pemilihan Umum merespon

putusan mahkamah konstitusi ini dengan membuat aturan teknis berupa Peraturan

KPU Nomor 14 Tahun 2015. Terhadap aturan dan norma baru ini KPU harus

segera mensosialisasikan sesegera mungkin kepada seluruh rakyat Indonesia.

Kata-Kata Kunci : Dampak Yuridis, Putusan, Mahkamah Konstitusi,

(11)

XI

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 11

A. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi ... 11

1. Sejarah Mahkamah Konstitusi... 11

2. Pengertian Mahkamah Konstitusi... 13

3. Fungsi Dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi ... 16

4. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Negara Hukum ... 22

(12)

XII

Daerah (Pemilukada) Secara Langsung ... 29

3. Sengketa Hasil Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) ... 32

C. Tinjuan Umum Tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU) ... 37

1. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU) ... 37

2. Visi Dan Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU)... 39

BAB III METODE PENELITIAN... 41

A. Jenis Penelitian ... 41

B. Metode Pendekatan... 41

C.Sumber Data ... 42

D.Teknik Pengumpulan Data ... 44

E. Metode Analisis Data... 45

BAB IV HASIL DATA PENELITIAN DAN ANALISIS DATA... 46

A. Pengaturan Pemilihan Kepala Daerah sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015. ... 46

B. Posisi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015. ... 64

1. Alasan Hukum Pemohon ... 64

2. Pertimbangan Hukum Majelis Hukum Mahkamah ... 77

(13)

XIII

D. Tata Cara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Indonesia Sesudah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 Tentang

Pasangan Calon Tunggal Dalam Pemilukada Serentak

di Indonesia ... 125

BAB V PENUTUP... 131

A. Kesimpulan... 131

B. Saran ... 133

(14)

1

Produk hukum biasanya dilahirkan oleh suatu kebijakan politik atau

penguasa, sehingga kepentingan elit politik atau penguasa lebih dominan dalam

hukum tersebut. Sehingga dapat diasumsikan bahwa hukum merupakan produk

politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari

kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaing.

Pandangan di atas sebenarnya lumrah terjadi di berbagai belahan dunia, karena

memang apapun yang dibuat oleh manusia tidak akan dapat terlepas dari

kepentingan atau kebutuhan pembuat hukum atau masyarakat ketika itu. Dapat

juga dikemukakan bahwa kualifikasi tentang konfigurasi politik dan karakter

produk hukum tidak bisa diidentifikasi secara mutlak, sebab dalam kenyataannya

tidak ada satu negarapun yang sepenuhnya demokratis atau sepenuhnya otoriter.1

Dari sudut pandang etimologi demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan

cratein (memerintah). Jadi secara harafiah kata demokrasi dapat diartikan

sebagai rakyat memerintah.2

Demokrasi dalam dekade-dekade belakangan baik sebagai sistem maupun

proses, dianggap sebagai yang terbaik apabila dibandingkan

1

Lance Castles, 2004, Pemilu 2004, Dalam Konteks Komparatif & Historis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 12.

2

(15)

dengan sistem dan proses politik yang lain. Ini karena demokrasi

mengedepankan aspek manusia dan kemanusiaan. Demokrasi juga dapat

menghindari adanya penyalahgunaan dari kesewenang-wenangan terhadap

kekuasaan.

Menurut Melvin I. Urofsky, terdapat prinsip-prinsip dasar yang harus ada

dalam setiap bentuk demokrasi. Prinsip-prinsip yang telah dikenali dan diyakini

sebagai kunci untuk memahami bagaimana demokrasi bertumbuh kembang

antara lain adalah:3

1. Prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi 2. Pemilihan umum yang demokratis

3. Federalisme, pemerintahan negara bagian dan lokal 4. Pembuatan undang-undang

dari desentralisasi atau otonomi daerah adalah fungsi pendidikan politik. Dengan

dibentuknya pemerintahan di daerah maka sejumlah lembaga demokrasi akan

terbentuk pula, terutama partai-partai politik, kelompok kepentingan, kelompok

penekan, media massa lokal, dan lembaga perwakilan rakyat. Lembaga-lembaga

tersebut akan memainkan peranan yang strategis dalam rangka pendidikan politik

3

(16)

warga masyarakat, tentu saja, menanaMahkamah Konstitusian nilai-nilai dan

norma-norma yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nilai-nilai tersebut mencakup Nilai-nilai yang bersifat kognitif, afektif, ataupun evaluatif.

Ketiga nilai tersebut menyangkut pemahaman, dan kecintaan serta penghormatan

terhadap kehidupan bernegara, yang kemudian diikuti oleh kehendak untuk ikut

mengambil bagian dalam proses penyelenggaraan negara atau proses politik.

Demokrasi menurut teorisasi masa kini yang dilontarkan oleh Joseph

Schumpeter yaitu demokrasi sebagai metode politik. Artinya pengaturan

kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana

individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih,

memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan. Ini mensyaratkan adanya

pemilu sebagai metode penyerapan aspirasi rakyat. Pemilihan Umum (Pemilu)

merupakan sarana tak terpisahkan dari kehidupan politik negara demokratis

modern. Di bangsa yang matang demokrasinya pun pemilu mutlak perlu. Tetapi,

karena cenderung rutin, banyak warga yang tidak hadir, bahkan tidak mendaftar.

Tetapi bangsa yang dulu dijajah, yang telah mengalami kekecewaan dalam

usahanya melembagakan kekuasaan rakyat (semua paham itu makna dari akar

yunani kata “demokrasi”), masih menghayati pemilihan umum sebagai suatu

(17)

tetapi berpotensi juga menjadi langkah maju dalam melembagakan kedaulatan

rakyat secara efektif dan lestari.4

Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (selanjutnya disebut UU Pemilukada)

yang dimohonkan oleh Akademisi Effendi Gazali. Dalam putusan tersebut,

Mahkamah Konstitusi menyatakan Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya

disebut Pemilukada) yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon kepala daerah

dan wakil kepala daerah dapat dilaksanakan apabila telah diusahakan dengan

sungguh-sungguh terpenuhinya syarat paling sedikit dua pasangan calon. Untuk

itu, Pemilukada tidak lagi semata-mata digantungkan pada keharusan paling

sedikit adanya dua pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Menurut Mahkamah, dalam Undang-Undang Pemilukada, tampak bahwa

pembentuk Undang-Undang ingin kontestasi Pemilukada setidaknya diikuti dua

pasangan calon. Namun, pembentuk Undang-Undang tidak memberikan jalan

keluar apabila syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi.

“Dengan demikian, akan ada kekosongan hukum manakala syarat paling kurang

dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi. Kekosongan hukum itu akan

berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah.

Mahkamah mengimbuhkan, adanya kekosongan hukum tersebut telah

mengancam tidak terlaksananya hak hak rakyat untuk dipilih dan memilih karena

dua alasan.Pertama, penundaan ke Pemilihan serentak berikutnya sesungguhnya

4

(18)

telah menghilangkan hak rakyat untuk dipilih dan memilih pada Pemilihan

serentak saat itu.Kedua, apabila penundaan demikian dapat dibenarkan, tetap

tidak ada jaminan bahwa pada Pemilihan serentak berikutnya itu, hak rakyat

untuk dipilih dan memilih akan dapat dipenuhi. Pasalnya, penyebab tidak dapat

dipenuhinya hak rakyat untuk dipilih dan memilih itu tetap ada, yaitu ketentuan

yang mempersyaratkan paling sedikit adanya dua pasangan calon dalam

kontestasi Pemilukada, oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pemilukada yang

ditunda sampai pemilihan berikutnya hanya karena tak terpenuhinya syarat

paling sedikit dua pasangan calon bertentangan dengan UUD 1945. “Demi

menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara, pemilihan Kepala

Daerah harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan calon

kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, setelah sebelumnya diusahakan

dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan paling sedikit dua pasangan calon.

Mahkamah memutuskan, keikutsertaan calon tunggal dalam Pemilukada

dapat dilakukan jika telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk terpenuhi

syarat paling sedikit dua pasangan calon. Hal ini berarti penyelenggara telah

melaksanakan ketentuan yang terdapat pasa Pasal 49 ayat (1) sampai dengan ayat

(9) UU Pemilukada (untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur) dan ketentuan

Pasal 50 ayat (1) sampai dengan ayat (9) UU Pemilukada (untuk pemilihan

Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota).

Setelah itu, dilakukan proses seperti referendum, yakni jika hanya ada

(19)

(pemilih) untuk menyatakan “Setuju” atau “Tidak Setuju” dalam surat suara,

terhadap calon tunggal tersebut. Apabila pilihan “Setuju” memperoleh suara

terbanyak maka pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksud

ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, sedangkan

apabila pilihan “Tidak Setuju” memperoleh suara terbanyak maka pemilihan

ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya.

“Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada

dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian

suara “Tidak Setuju” tersebut.

Agar proses tersebut dapat dijalankan, maka ketentuan Pasal 49 ayat (9)

UU Pemilukada yang menyatakan,“KPU Provinsi membuka kembali

pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama

3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat

(8)”harus dimaknai “termasuk menetapkan satu pasangan Calon Gubernur dan

Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3

(tiga) hari dimaksud telah terlampaui namun tetap hanya ada satu pasangan

Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”. Pemaknaan yang sama juga

berlaku untuk ketentuan Pasal 50 ayat (9) yang mengatur pembukaan kembali

pendaftaran calon Bupatidan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon

Walikota dan Calon Wakil Walikota.Demikian juga dengan pasal terkait lainnya,

yakni Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2) UU Pemilukada. Namun, Putusan

(20)

pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Menurutnya,

keberadaan Calon tunggal pada dasarnya meniadakan kontestasi. Sedangkan

Pemilu tanpa kontestasi hakikatnya bukan Pemilu yang senafas dengan asas

Luber dan Jurdil. Hak-hak untuk memilih dan hak untuk dipilih akan terkurangi

dengan adanya calon tunggal karena pemilih dihadapkan pada pilihan artifisial

(semu).

Sedangkan terhadap pengujian norma yang sama dengan nomor perkara

yang berbeda, yakni perkara nomor 95/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan warga

Surabaya dan perkara nomor 96/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Calon Wakil

Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana, Mahkamah menyatakan kedua

permohonan tersebut tidak dapat diterima. Dalam pertimbangannya, Mahkamah

menilai argumentasi tentang kerugian hak konstitusional para Pemohon

didasarkan pada keadaan aktual pada saat permohonan diajukan, yaitu tidak

adanya paling sedikit 2 (dua) pasangan calon Walikota dan calon Wakil Walikota

Surabaya. Namun, saat permohonana quodiputus, keadaan sebagaimana

didalilkan para Pemohon telah berubah. Syarat paling sedikit 2 (dua) pasangan

calon tersebut telah terpenuhi, sebagaimana tertuang dalam Keputusan KPU Kota

Surabaya Nomor 36/Kpts/KPU-Kota-014.329945/2015 tentang Penetapan

Pasangan Calon Dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya Tahun

2015, tanggal 24 September 2015. Oleh karena itu, Mahkamah memandang dalil

(21)

para Pemohon kehilangan kedudukan hukum (legal standing)-nya sebagai

(22)

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka

permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Dampak Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

100/PUU-XIII/2015 Tentang Pasangan Calon Tunggal Dalam Pemilukada

Serentak Di Indonesia?

2. Bagaimanakah Tata Cara Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Di Indonesia

Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 Tentang

Pasangan Calon Tunggal Dalam Pemilukada Serentak Di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas tujuan penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji dampak yuridis putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang pasangan calon tunggal

dalam Pemilukada serentak di Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji tata cara pemilihan bupati dan wakil bupati

di Indonesia sesudah putusan Mahkamah Konstitusi No.100/PUU-XIII/2015

tentang pasangan calon tunggal dalam Pemilukada serentak di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai Dampak yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

100/PUU-XIII/2015 tentang pasangan calon tunggal dalam Pemilukada serentak di

(23)

A. Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu pegetahuan hukum pada umumnya dan hukum tata

negara pada khususnya.

B. Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran dan solusi

Untuk memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang pasangan

(24)

11

1. Sejarah Mahkamah Konstitusi

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali

dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen

konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada

tahun 2001, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2),

Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga

yang disahkan pada 9 November 2001. Ide pembentukan MK merupakan

salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang

muncul di abad ke-20.5Pada mulanya memang tidak dikenal adanya

Mahkamah Konstitusi. Bahkan, keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi

sendiri di dunia bisa dikatakan relatif baru. Namun, di kalangan

Negara-negara demokrasi baru, terutama di lingkungan Negara-Negara-negara yang

mengalami perubahan dari otoriatan menjadi demokrasi pada perempatan

terakhir abad ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi

sangat popular. Oleh karena itu, setelah Indonesia memasuki era reformasi

5

(25)

dan demokratis seperti sekarang ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi

menjadi sangat luas diterima.6

Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam

rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung

(selanjutnya disebut MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara

sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil

perubahan keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan

Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui

pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003

dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal

15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun

2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan

pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada

tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah

pelimpahan perkara dari MAke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang

menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang

kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.7

6

Ni’matul Huda, 2006,Hukum Tata Negara Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 204.

(26)

UUD 1945 pasca amandemen mengimplikasikan perubahan secara

mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk struktur dan relasi

kelembagaan negara. Perubahan tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia

mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan antara lain

prinsip “pemisahan kekuasaan” dan “checks and balances” yang

menggantikan prinsip supermasi parlemen yang dianut sebelumnya.

Pembentukan MK sejalan dengan dianutnya paham negara hukum

dalam UUD 1945. Negara hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya,

tidak boleh ada Undang-Undang dan peraturan Perundang-Undangan lainnya

yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal itu sesuai dengan

penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam tata urutan

peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Pengujian Undang-Undang

terhadap UUD 1945 membutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga

prinsip konstitusionalitas hukum.

2. Pengertian Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) merupakan suatu

lembaga negara yang terbentuk setelah dilakukannya amandemen ketiga

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya disebut UUD1945). Dalam amandemen ketiga UUD 1945

dilakukan perubahan pada Bab IX mengenai kekuasaan kehakiman dengan

mengubah ketentuan Pasal 24 dan menambahkan tiga Pasal baru dalam

(27)

dalam UUD 1945 disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C

UUD1945.

MK adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka guna

menegakan hukum dan keadilan sebagai mana dimaktub dalam Pasal 24 ayat

(1) UUD 1945. MK merupakan lembaga tinggi Negara dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman

bersama-sama dengan Mahkamah Agung. MK bukan bagian dari MA dalam

makna perkaitan struktur unity of juridistion, seperti halnya dalam sistem

hukum Anglo Saxon, tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari MA secara

duality of juridistion. MK berkedududkan setara dengan MA, keduanya

adalah penyelenggara dari kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa dengan adanya perubahan UUD 1945, maka selain MA

sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman dari lingkungan peradilan

yang berbeda dibawahnya, juga terdapat MK yang secara fungsional juga

sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan

struktural dengan MA. Kedua lembaga tersebut mamiliki fungsi yang sama

sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, akan tetapi berbeda dalam yurisdiksi

atau kompetensinya. MK hanya berkedudukan di ibu kota Negara tidak seperti

halnya MA yang memiliki beberapa badan peradilan di bawahnya sampai

pada tingkat pertama kabupaten/kota.

MK berasal dari dua kata yakni Mahkamah dan Konstitusi,

(28)

dari kedua kata yaitu Mahkamah dan Konstitusi. Kata Mahkamah mempunyai

pengertian yakni badan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau

pelanggaran (pengadilan). Sedangkan istilah Konstitusi menurut Titik

Triwulan Tutik mengutip dari penjelasan Samidjo dalam bukunya Ilmu

Negara bahwa dalam perkembangannya Konstitusi mempunyai dua

pengertian, yaitu:8

a. Dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari

ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (droitconstitutionelle),

baik yang tertulis ataupun tidak tertulis atau campuran keduanya.

b. Dalam pengertian sempit (terbatas), konstitusi berarti piagam dasar

atau Undang-Undang dasar (loi constitutionelle), ialah suatu suatu

dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara.

Menurut keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa MK ialah suatu

badan peradilan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau

pelanggaran terhadap hukum dasar atau Undang-Undang Dasar. Lebih jelas

lagi dapat dilihat dari segi wewenangnya yang diberikan oleh UUD 1945

kepada Mahkamah Konstitusi yakni mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa antar lembaga negara,

8

(29)

memutus terhadap pelanggaran presiden, memutus sengketa pemilu dan

memutus pembubaran partai politik.

3. Fungsi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Pentingnya keberadaan Mahkamah Konstitusidi Indonesia yakni

sebagai pengawal dan penafsir Konstitusi menuju negara hukum demokratis.

Sebagaimana amanat UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang

berdasarkan atas hukum. Artinya, segala penyelenggaraan negara harus

tunduk pada hukum, bukan pada kekuasaan. Untuk menjalankan tugas

kenegaraan yang berdasarkan hukum, hukum membutuhkan sendi-sendi

konstitusi. UUD 1945 merupakan landasan untuk menjamin pelaksanaan dan

penegakkan hukum yang berkeadilan. Agar pelaksanaan dan penegakan

hukum yang berdasarkan konstitusi dapat berjalan secara demokratis dan

berkeadilan, maka dibutuhkan sendi-sendi konstitusional. Artinya

sekurang-kurangnya ada dua pengertian negara berdasarkan atas hukum. Pertama,

adanya pengaturan mengenai batas-batas peran negara atau pemerintahan

dalam mencampuri kehidupan dan pergaulan masyarakat. Kedua, adanya

jaminan hukum akan hak-hak, baik sipil atau hak-hak pribadi (individual

rights), hak-hak politik (political rights), maupun hak-hak sebagai sebuah

kelompok atau hak-hak sosial sebagai hak asasi yang melekat secara ilmiah

pada setiap insan, baik secara pribadi maupun kelompok.9

9

(30)

Mahkamah Konsitutusi bersama Mahkamah Agung merupakan

pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Namun keduanya mempunyai

kewenangan yang berbeda. Jika MA berada di ranah peradilan umum maka

MK merupakan sebuah special tribunalyang ruang lingkupnya adalah

konstitusi. Kelahiran Mahkamah Konstitusi sesungguhnya diawali dengan

perubahan UUD 1945 yang ke tiga. Pasca perubahan tersebut dibentuklah

Undang-Undang mengenai MK. Undang-Undang ini selesai disusun dan

disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang saat ini telah mengalami

perubahan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

2011 Tentang Mahkamah Konstitusi. Sejak saat itulah MK sebagai salah satu

pilar demokrasi di Indonesia.

Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi lahir

Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal

7B yang disahkan pada 9 November 2001. Ada pula yang berpendapat bahwa

Mahkamah Konstitusi lahir bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003. Secara kelembagaan

Mahkamah Konstitusi menetapakan tanggal 16 Agustus 2003 sebagai

kelahiran Mahkamah Konstitusi.10

10

(31)

Sesuai ketentuan UUD, tiga hakim konstitusi berasal dari usul DPR,

tiga hakim konstitusi berasal dari usul MA, dan tiga hakim konstitusi berasal

dari usul Presiden. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi diawali oleh

pembaharuan pemikiran dalam bidang ketatanegaraan pada abad 20. MK

merupakan lembaga negara yang berasal dari konsep sistem hukum eropa

kontinental. Indonesia sebagai sebuah negara hukum (Rechstaat) banyak

dipengaruhi pemikiran ketatanegaraan di Eropa terutama negara dengan

sistem hukum Eropa Continental yang menganut supremasi konstitusi. Pada

negara yang menganut Eropa kontinental Mahkamah Konstitusi merupakan

lembaga yang merupakan bentuk perlindungan terhadap hak konstitusional

warganegara.11

Lahirnya Mahkamah Konstitusi pasca amandemen merupakan respons

terhadap tuntutan penguatan mekanisme check and balances dalam sistem

penyelenggaraan negara. Berdirinya lembaga konstitusi merupakan

konsekwensi dianutnya konsep negara hukum dalam ketatanegaraan di

Indonesia. Otomatis akan terjadi pemisahan kekuasaan dan mekanisme check

and balancesantar lembaga. Mahkamah Konstitusilah yang akan

melakukannya terhadap peraturan Perundang-Undangan yang dibuat oleh

legislatif.

Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard)

konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan

(32)

negara maupun warga negara.Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir

akhir konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi

pelindung (protector) konstitusi. Sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi

manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung

konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights)

juga benar adanya.12

Sebagai sebuah lembaga yang dijadikan sebagai pelindung konstitusi

MK mempunyai beberapa fungsi yang meliputi:13

a. Sebagai Penafsir Konstitusi

KC Wheare menyatakan bahwa fungsi seorang hakim adalah

memutus perkara apakah hukum itu. Konstitusi tak lain merupakan

sebuah aturan hukum. Sehingga konstitusi merupakan wilayah kerja

seorang hakim. Hakim MK dalam menjalankan kewenangannya dapat

melakukan penafsiran terhadap konstitusi. Hakim dapat menjelaskan

makna kandungan kata atau kalimat, menyempurnakan atau

melengkapi, bahkan membatalkan sebuah Undang-Undang jika

dianggap bertentangan dengan konstitusi.

b. Sebagai Penjaga Hak Asasi Manusia

12

Maruarar Siahaan, 2006,Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 5.

(33)

Konstitusi sebagai dokumen yang berisi perlindungan hak asasi

manusia merupakan dokumen yang harus dihormati. Konstitusi

menjamin hak-hak tertentu milik rakyat. Apabila legislatif maupun

eksekutif secara inkonstitusional telah mencederai konstitusi maka

MK dapat berperan memecahkan masalah tersebut.

c. Sebagai Pengawal Konstitusi.

Istilah penjaga konstitusi tercatat dalam penjelasan

Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusiyang biasa

disebut dengan the guardian of constitution. Menjaga konstitusi

dengan kesadaran hebat yang menggunakan kecerdasan, kreativitas,

dan wawasan ilmu yang luas, serta kearifan yang tinggi sebagai

seorang negarawan.

d. Sebagai Penegak Demokrasi.

Demokrasi ditegakkan melalui penyelenggaraan pemilu yang

berlaku jujur dan adil. MK sebagai penegak demokrasi bertugas

menjaga agar tercitanya pemilu yang adil dan jujur melalui

kewenangan mengadili sengketa pemilihan umum. Sehingga peran

MK tak hanya sebagai lembaga pengadil melainkan juga sebagai

(34)

Pasal 24C Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusiadalah

sebagai berikut:14

a. Mahkamah Konstitusiberwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji

Undang-Undangterhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

b. Mahkamah Konstitusiwajib memberi putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau

Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusitersebut diatur lagi

dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusidengan rincian sebagai berikut:15

a. Mahkamah Konstitusiberwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannnya bersifat final untuk:

1) Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

14

Lihat Pasal 24C Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 9 November 2001.

15

(35)

2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

3) Memutus pembubaran partai politik; dan

4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

b. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah

Konstitusiwajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,

korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,

dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

4. Kedudukan Mahkamah KonstitusiDalam Negara Hukum

Kedudukan konstitusi dalam Negara berubah dari zaman ke

zaman.Pada masa peralihan dari Negara feodal monarki atau oligarki

dengankekuasaan mutlak penguasa ke Negara nasional demokrasi, konstitusi

berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang

kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat

dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah

perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan

perannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat

(36)

untuk mengakhiri kekuasaan sepihak atau segolongan dalam sistem monarki

dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan

kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi seperti:

individualisme, liberalisme, universalisme, demokrasi dan sebagainya.

Selanjutnya kedudukan danfungsi konstitusi ditentukan oleh ideologi yang

melandasi Negara.16

Di Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi

konstitusionalisme, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas,

yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga

penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Adanya

pembatasan kekuasaan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan

secara vertikal dan horizontal akan memisahkan kekuasaan kedalam

kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu

sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi

kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan

begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ

atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

Mahkamah Konstitusimerupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Mahkamah Konstitusidibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai hukum

16

(37)

tertinggi agar dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusidisebut

denganthe guardian of the constitution.17

Kedudukan Mahkamah Konstitusiini setingkat atau sederajat dengan

Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia. Dalam menjalankan kewenangannya, termasuk di

dalamnya adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasar,

Mahkamah Konstitusijuga melakukan penafsiran konstitusi, sehingga

Mahkamah Konstitusijuga disebut the Sole Interpreter of the Constitution.

Sebagai lembaga penafsir tunggal konstitusi, banyak hal dalam mengadili

menimbulkan akibat terhadap kekuasaan lain dalam kedudukan

berhadap-hadapan, terutama terhadap lembaga legislatif di mana produknya direview.18

Kedudukan Mahkamah Konstitusidalam sistem ketatanegaraan

Indonesia adalah sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi yudisial

dengan kompetensi obyek perkara ketatanegaraan. Sebagai pelaku kekuasaan

kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki Mahkamah Konstitusi adalah

fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi Mahkamah

Konstitusi dapat ditelurusi dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk

menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadilan hukum

yang ditegakkan dalam peradilan Mahkamah Konstitusi adalah konstitusi itu

sendiri yang dimaknai tidak hanya sekedar sebagai sekumpulan norma dasar,

17

Nanang Sri Darmadi, Agustus 2011, Kedudukan Dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesiadalam Jurnal Hukum Vol XXVI, No. 2, Semarang, hlm. 11. 18

(38)

melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip

negara hukumdan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta

perlindungan hak konstitusional warga Negara.

Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan

atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi(UU MK) disebutkan bahwa tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi

adalah menangani perkara konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung

jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu

keberadaan mahkamah juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap

pengalaman ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atau

konstitusi.19 Dalam menjalankan wewenang memutus pengujian

Undang-Undang terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi juga menjalankan peran

sebagai penjaga konstitusi. Selain itu, karena pelaksanaan kewenangan

mahkamah yang lain juga dilakukan berdasarkan pada ketentuan UUD 1945

untuk menyelesaikan perkara yang harus diputus, baik dalam perkara sengketa

kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan hasil

pemilu, maupun memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa

jabatannya maka konsteks tersebut juga melekat peran mahkamah sebagai

pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi.

19

(39)

Fungsi selanjutnya adalah sebagai pelindung hak asasi manusia dan

pelindung hak konstitusional warga Negara. Adanya jaminan hak asasi

manusia dalam konstitusi menjadikan Negara memiliki kewajiban hukum

konstitusional untuk melindungi, menghormati, dan memajukan hak-hak

tersebut. Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang dapat

dilihat sebagai upaya melindungi hak asasi manusia dan hak konstitusi

Undang-Undang. Jika ketentuan suatu Undang-Undang telah melanggar hak

konstitusi warga Negara, maka dapat dipastikan tindakan penyelanggaraan

Negara atau pemerintah yang dilakukan didasarkan ketentuan tersebut juga

akan melanggar hak konstitusional warga Negara. Oleh karena itu,

kewenangan pengujian tersebut sekaligus mencegah agar tidak ada tindakan

penyelenggaraan negara dan pemerintah yang melanggar hak konstitusional

warga negara. Mahkamah Konstitusi juga berwenang memutus perkara

pembubaran partai politik yang dimaksud agar pemerintah tidak dapat secara

sewenang-wenang membubarkan partai politik yang melanggar hak berserikat

dan mengeluarkan pendapat.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi dipahami sebagai pengawal

konstitusi untuk memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme dalam

Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi mempunyai

kewenangan dengan batasan yang jelas sebagai bentuk penghormatan atas

konstitusionalisme. Batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah

(40)

terselenggaranya sistem perimbangan kekuasaan di antara lembaga negara

(checks and balances).20

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

diharapkan mampu mengembalikan citra lembaga peradilan di Indonesia

sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dapat dipercaya dalam

menegakkan hukum dan keadilan. Dasar filosofis dari wewenang dan

kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah keadilan substantif dan

prinsip-prinsip good governance. Selain itu, teori-teori hukum juga memperkuat

keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal dan

penafsir konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi beserta segenap

wewenang dan kewajibannya, dinilai telah merubah doktrin supremasi

parlemen (parliamentary supremacy) dan menggantikan dengan ajaran

supremasi konstitusi.21

B. Tinjuan Umum Tentang Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada)

1. Pengertian Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada)

Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

(selanjutnya disebut Pemilukada) merupakan instrumen yang sangat penting

20

Ibid.,hlm 12.

21

(41)

dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi

di daerah, karena disinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan

menentukan kebijakan kenegaraan. Mengandung arti bahwa kekuasaan

tertinggi untuk mengatur pemerintahan Negara ada pada rakyat. Melalui

Pemilukada, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi pemimpin dan

wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan

arah masa depan sebuah Negara.22

Pemilukada menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005

tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan

rakyat di wilayah Propinsi dan Kabupaten/ Kota berdasarkan Pancasila dan

UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008

tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala

Daerah dan Wakil Kepala daerah menyebutkan bahwa Pemilukada adalah

sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau

kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah.

22

(42)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat (1) dinyatakan

bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan

calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala

daerah selanjutnya disebut pasangan calon adalah peserta pemilihan yang

diusulkan oleh partai Politik atau gabungan partai politik yang telah

memenuhi persyaratan.

2. Sistim Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Secara Langsung

Pemilukada seperti halnya pemilihan umum, merupakan arena politik

masyarakat, tempat bagi masyarakat untuk mengorganisir kekuasaan dan

meraih kontrol atas negara. Bagaimanapun Pemilukada merupakan proses

pemilihan dengan model demokratis dibandingkan dengan model yang lain.

Pemilukada perlu dilakukan secara langsung, dikarenakan:23

a. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.

Warga masyarakat berdasarkan kedaulatan yang mereka miliki,

harus diberi kesempatan untuk ikut menentukan masa depan

daerahnya masing–masing, dengan memilih kepala daerah dan wakil

kepala daerah secara langsung.

23

(43)

b. Legitimasi yang sama antara kepala daerah dan wakil kepala daerah

dengan DPRD.

Jika kepala daerah dan wakil kepala daerah tetap dipilih oleh

DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat, tingkat legitimasi anggota

DPRD jauh lebih tinggi dari tingkat legitimasi yang dimiliki kepala

daerah dan wakil kepala daerah.

c. Kedudukan yang sejajar antara kepala daerah dan wakil kepala daerah

dengan DPRD.

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dan

bertanggung jawab kepada DPRD, berarti kedudukan DPRD berada

diatas kepala daerah dan wakil kepala daerah. Untuk memberikan

kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala daerah dan wakil kepala

daerah dengan DPRD, kepala daerah dan wakil kepala daerah harus

dipilih secara langsung oleh rakyat.

d. Undang-Undang. No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR,

DPD dan DPRD

Pasal 62 UU No. 22 Tahun 2003 menyatakan bahwa,

kewenangan DPRD untuk memilih kepela daerah dan wakil kepala

daerah sudah dicabut. Kewenangan yang ada pada DPRD, adalah

mengusulkan pengangkatan dan penghentian kepela daerah kepada

Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

(44)

Masalah politik uang dimungkinkan terjadi karena begitu

besarnya wewenang yang dimiliki oleh DPRD dalam proses pemilihan

kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, kemungkinan terjadi

politik uang ini dapat dicegah, atau setidak-tidaknya dapat dikurangi.

Apabila masih ada pihak-pihak yang ingin melakukannya, mereka

akan berhadapan dengan para pemilih yang jumlahnya cukup banyak.

Pelaksanaan Pemilukada yangfree and fairsangat penting bagi

berjalannya demokrasi suatu bangsa, antara lain:24

a. Melalui Pemilukada yang free and fair memungkinkan suatu

komunitas politik melakukan transfer kekuasaan secara damai.

b. Sistem demokrasi menuntut adanya kebebasan menyuarakan

kepentingan dan konflik secara terbuka, sehingga dengan

Pemilukada yang free and fair dapat menciptakan pelembagaan

konflik.

Dalam rangka mewujudkan penguatan hingga pemberdayaan

demokrasi ditingkat lokal dalam proses pemilihan atau rekruitmen, para wakil

rakyat mendapat mandat politik dari warga masyarakatnya (Pemilukada

Langsung), diantaranya: Pertama, dengan Pemilukada langsung penguatan

demokratisasi ditingkat lokal dapat terwujud, khususnya yangberkaitan

dengan pembangunan legitimasi politik. Kedua, dengan Pemilukada langsung

24

(45)

diharapkan mampu membangun serta mewujudkan akuntabilitas pemerintah

lokal (accountability). Ketiga, apabila local accountability berhasil

diwujudkan, maka optimalisasi equilibrium check and balances antara

lembaga-lembaga negara (terutama antara eksekutif dan legislatif) dapat

berujung pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan proses demokrasi di

level lokal. Keempat, melalui Pemilukada langsung peningkatan kualitas

kesadaran politik masyarakat sebagai kebertampakan kualitas partisipasi

rakyat diharapkan muncul.25

Hak politik yang paling mendasar dari setiap warga Negara dalam

demokrasi adalah terbukanya kesempatan untuk mementukan sendiri dan ikut

serta (partisipasi) dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.

Pemilukada adalah salah satu sarana yang mewadahi hak politik mendasar

tersebut.Pemilukada harus mendorong peningkatan partisipasi politik

masyarakat.

3. Sengketa Hasil Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada).

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau

seringkali disebut Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala

daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk

daerah setempat yang memenuhi syarat.Sebelumnya, kepala daerah dan wakil

kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

25

(46)

Peradilan perselisihan hasil Pemilukada di Indonesia sebagai peradilan

kontentius merupakan peradilan yang menurut hukum positif Indonesia

berada di bawah kompetensi Mahkamah Konstitusi. Pada 29 Oktober 2008

Mahkamah Agung secara resmi menyerahkan perkara Pemilukada yang

sedang ditanganinya. Dalam serah terima tersebut, juga disepakati bahwa

perkara-perkara yang sudah terlanjur disidangkan oleh Mahkamah Agung

tetap dilanjutkan. Untuk melengkapi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,

sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

yang saat ini mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi, maka

Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi(PMK)

Nomor 15 Tahun 2008 yang mengatur tentang Pedoman Beracara Dalam

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian, terkait

dengan penyelesaian secara yudisial terhadap perkara-perkara perselisihan

hasil Pemilukada ini, ada 2 (dua) peraturan yang mengatur tentang Hukum

Acara yang menjadi landasan hukumnya, yaitu:

a. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi ini merupakan Hukum Acara yang bersifat umum (lex

(47)

b. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Pemilukada sebagaimana

diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2008. Hukum Acara ini

merupakan Hukum Acara yang bersifat khusus (lex specialis).

Permasalahan yang sering timbul dalam Pemilukada adalah dalam

penentuan pihak pemenang dalam Pemilukada, seringkali ketika sudah

ditentukan pemenang dari Pemilukada tersebut muncul permasalahan tentang

hasil penghitungan dari masing-masing pihak, sehingga pihak yang merasa

dicurangi dalam penghitungan hasil Pemilukada menempuh jalur hukum

dengan mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sudah menentukan secara jelas dan pasti tentang Pemohon (Legal Standing)

dan Permohonan pengajuan sengketa perselisihan hasil pemilu. Pemohon

(Legal Standing) adalah perorangan warga negara Indonesia calon anggota

Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum, pasangan calon Presiden

dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dan

partai politik peserta pemilihan umum.26Sedangkan Permohonan hanya dapat

diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara

nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi terpilihnya calon

anggota Dewan Perwakilan Daerah, penentuan pasangan calon yang masuk

pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya

26

(48)

pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, perolehan kursi partai politik

peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.

Legal Standing merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam

beracara di Mahkamah Konstiusi, karena Legal Standing adalah keadaan

dimana seeorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh

karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian

perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi.27

Pemohon (Legal Standing) adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan

menurut Undang-Undang untuk mengajukan permohonannya kepada

Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, salah satu kewenangan konstitusional

Mahkamah Konstitusi(MK) adalah memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum dan Pemilukada. Dengan adanya Undang-Undang tersebut

mengakibatkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

yang berkepentingan langsung dapat menjadi Pemohon (Legal standing)

sebagaimana diatur dalam pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi(PMK)

Nomor 15 tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil

Pemilihan Umum Kepala Daerah.

27

(49)

Bertolak dari latar belakang tersebut penulis mencoba untuk

membahas tentang “Pemohon (Legal Standing) dalam Perselisihan Hasil

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) menurut Undang-Undang

Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi”, karena dalam

ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi sudah ditentukan secara pasti pihak yang menjadi Pemohon (Legal

Standing) dalam sengket perselisihan Hasil Pemilu yakni:

a. Perorangan warga negara Indonesia (WNI) calon anggota Dewan

Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;

b. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum

Presiden dan Wakil Presiden; dan

c. Partai politik peserta pemilihan umum.

Prakteknya pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pemilukada dapat menjadi Pemohon (Legal Standing) dalam sengketa

perselisihan Hasil Pemilu dengan mendasarkan pada Undang-Undang nomor

32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 serta Peraturan Mahkamah

Konstitusi nomor 15 tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam

(50)

C. Tinjuan Umum Tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU) 1. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Komisi Pemilihan Umum, (selanjutnya disebut KPU), adalah lembaga

Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang

bertugas melaksanakan Pemilu. Pengertian tersebut dinyatakan dalam Pasal 1

angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum. Sifat nasional mencerminkan bahwa

wilayah kerja dan tanggungjawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan

Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Sifat

tetap menunjukkan KPU sebagai lembagayang menjalankan tugas secara

berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masajabatan tertentu.Sifat mandiri

menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari

pengaruh pihak manapun.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011

Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum diatur mengenai KPU, KPU

Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara

pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas

Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan

peraturan perUndang-Undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh

tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya.KPU memberikan laporan kepada

(51)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum juga mengatur kedudukan panitia pemilihan

yang meliputi PPK, PPS, KPPS danPPLN serta KPPSLN yang merupakan

penyelenggara Pemilihan Umum yangbersifat ad hoc. Panitia tersebut

mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan

penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya

Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki

integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan

ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara

Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk

Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.

Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas: mandiri, jujur, adil,

kepastian hokum. tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan umum,

keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan

efektivitas.

Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga independen dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban

sebagai penyelenggara pemilu yang disebutkan dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan

(52)

diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun

2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

2. Visi Dan Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Visi KPU adalah terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai

penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional,

mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia

yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan misi dari KPU adalah sebagai

berikut:28

a. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki

kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan

pemilihan umum.

b. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,

adil, akuntabel, edukatif dan beradab;

c. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang

bersih, efisien dan efektif;

d. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara

adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara

28

(53)

konsisten sesuai dengan peraturan PerUndang-Undangan yang

berlaku;

e. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif

dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat

(54)

41

Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan

studi kasus normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji

Undang-Undang. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai

norma atau kaidah yang belaku dalam masyarakat dan menjadi acuan

perilaku setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada

inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum

dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi,

perbandingan hukum dan sejarah hukum.29 Berdasarkan penjelasan di atas,

penulis memutuskan menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk

meneliti dan menulis pembahasan skripsi ini sebagai metode penelitian

hukum.

B. Metode Pendekatan

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan

pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek

mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Metode

pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan

perUndang-29

(55)

Undangan (statue approach).30 Suatu penelitian normatif tentu harus

menggunakan pendekatan perUndang-Undangan, karena yang akan diteliti

adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral

suatu penelitian.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan diolah dalam penelitian hukum normatif

adalah data skunder, yakni studi dokumen atau kepustakaan dengan cara

mengumpulkan dan memeriksa atau menulusuri dokumen dan kepustakaan

yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh

peneliti. Sumber data skunder dalam penelitian ini dibagi menjadi:31

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri

dari:

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun1945;

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi;

3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007

Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun

2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan

Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah;

30

Peter Mahmud Marzuki, 2008,PenelitianHukum. Cet 2, Kencana, Jakarta, hlm. 29.

31

(56)

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum;

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah;

6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota

Menjadi Undang-Undang;

7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 terkait

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota

Menjadi Undang-Undang;

8) Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan

Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan

Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon.

b. Bahan Hukum Sekunder

Definisi bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang

(57)

dapat dilakukan analisa dan pemahaman yang lebih mendalam, yang terdiri

atas:

1) Penjelasan atas peraturan perundang-undangan yang digunakan

sebagai bahan hukum primer;

2) Buku-buku literatur atau bacaan yang berkaitan dengan topik

penulisan;

3) Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penulisan;

4) Pendapat ahli yang berkompeten dengan peneliti;

5) Artikel atau tulisan para ahli;

6) Sarana elektronika yang membahas permasalahan terkait.

D. Teknik Pengumpulan Data

Di dalam penelitian, dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu

studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan

wawancara atau interview.32 Tehnik pengumpulan data melalui studi

kepustakaan, yaitu mengkaji peraturan perundang-undangan, buku-buku

literatur, karya tulis dari ahli hukum dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.

100/PUU-XIII/2015 tentang pasangan calon tunggal dalam Pemilukada

serentak di Indonesia dan wawancara merupakan hal yang memberikan suatu

rumusan yang sederhana, dengan menyatakan bahwa wawancara melibatkan

orang-orang yang melakukan komunikasi. Salah satu fungsi dari berbicara

32

(58)

dengan pihak lain adalah kebutuhan untuk mengemukakan ide-ide, perasaan,

sikap dan pertanyaan-pertanyaan.

E. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan

menggunakan metode kualitatif,33 yaitu metode analisis data dengan cara

mengelompokkan dan menseleksi data yang diperoleh dari penelitian

lapangan menuru tkualitas dan kebenarannya kemudian disusun secara

sistematis, yang selanjutnya dikaji dengan metode berfikir secara deduktif

dihubungkan dengan teori-teori dari studi kepustakaan (data sekunder),

kemudian dibuat kesimpulan yang berguna untuk menjawab rumusan

masalah dalam penelitian ini. Hasil analisis tersebut di paparkan secara

deskriptif,34 yaitu cara menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan

sehingga diperoleh uraian hasil penelitian yang bersifat deskriptif-kualitatif

yang nantinya akan diperoleh arti dan kesimpulan untuk menjawab

permasalahan.

33

Abdul Kadir Muhammad,Op.Cit.,hlm. 50.

34

Referensi

Dokumen terkait

Musikologi mencakup area penelitian yang luas yang tidak hanya mengkaji musik seni dan musik Eropa tapi juga semua musik folk dan non-Barat.(Béhague,.. 12 | Andre Indrawan :

Maka implikasinya, penerapan latihan manipulatif dapat dilakukan oleh guru dalam meningkatkan kemampuan gross motor (motorik kasar) pada peserta didik dengan autisme yang

Selain untuk mempermudah akses informasi, pengembangan sistem informasi pada sekolah tersebut dimaksudkan untuk menghemat biaya karena dengan sistem informasi yang baik,

Dalam teks abstrak disajikan secara padat intisari skripsi yang mencakup latar belakang, masalah yang diteliti, tujuan, hipotesis (jika ada), jenis penelitian, responden,

Menurut (Komariyah dan Fauziah, 2006) keunggulan produk merupakan kaitan atribut produk yang berdiri dari kualitas, teknologi, dapat dipercaya suatu produk baru,

Katanya mereka mau makan malam.” Mengetahui itu, hati Lara pun jadi tidak karuan, terbayang sudah bagaimana orang yang dicintainya itu kini sedang berduaan dengan

(2012) yaitu bahwa konsumen di grey market relatif kaya, memiliki kurang lebih 75 persen aset keuangan dunia dan mengendalikan setengah dari anggaran bebas,

Pada hasil penelitian ini adalah pemanfaatan tanaman rumput belulang dan daun mengkudu dengan metode ekstraksi infusa pelarut air menunjukkan tidak maksimalnya semua