(Coscinium fenestratum Colebr) SEBAGAI ANTIMALARIA
PADA MENCIT YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei
POPPY KURNIA GALUH TYAS KUSUMA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Uji Efektifitas Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum Colebr) Sebagai Antimalaria pada Mencit yang Diinfeksi Plasmodium bergheiadalah karya saya dengan arahandari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Poppy Kurnia Galuh Tyas Kusuma
KUSUMA. The Efficacy Test of Root Kayu Kuning (Coscinium fenestratum
Colebr) as Antimalaria on P. berghei Infected Mice. Under direction of UMI CAHYANINGSIH and RITA MARLETA DEWI
Malaria is a world wide parasitic disease. Every year malaria caused 2 millon of death. Death resulting from the disease was caused by the parasite’s resistance to the malaria drug. Coscinium fenestratum have been used as a traditional medicine against malaria in East Kalimantan. The aims of the research were to know the effect of C. fenestratum root extract to Plasmodium bergheion total red blood cells of mice. Three doses of ethanol and water root extract, 0,625, 1,25 and 3,75 mg/25 gr mice/day were used in this study. Chloroquine was used as positive control, while PGA 3% was used as negative control. The result of this research indicated that dose of 3,75 mg/25 gr mice/day water extract could reduce number of parasitemia to 9,77%, while the ethanol extract 3,75mg/25 gr mice/day could reduce number of parasitemia to 5,281 % on day 7. Dose of 0,625 mg/25 gr mice/day and 1,25 mg/25 gr mice/day on both ethanol and water extract could not reduce any number of parasitemia on the next day. Inhibition by Chloroquine reached 9,41% on day 4.
KUSUMA. Uji Efektifitas Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) Sebagai Antimalaria Pada Mencit Yang Diinfeksi Plasmodium berghei. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan RITA MARLETA DEWI
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium yang penularannya dapat melalui gigitan nyamuk Anopheles betina dan dapat pula ditularkan melalui transfusi darah atau dari ibu ke janin yang dikandungnya. Salah satumasalah yang dihadapipelaksana program dalampemberantasan malaria antara lain adalahmenurunnyasensitivitasparasit (terutamaP. falciparum) terhadapobatantimalaria (klorokuin) yang dipakaiselamaini.Dengan kata lain telah
terjadipenurunanefektifitasklorokuinuntukpengobatan malaria yang disebabkanolehP. falciparum(malaria falciparum).
EfektivitasklorokuinterhadapP.vivaxjugatelahmenurunsejakdilaporkannyaresisten siP.vivaxterhadapklorokuin di Papua danbeberapadaerahlainnya. Penelitian ini dirancang sebagai upaya eksplorasi antimalaria dari kekayaan flora di Indonesia.
Uji aktivitas antimalaria dari tanaman Coscinium fenestratum terhadap mencit yang diinfeksi P.berghei meliputi tahapan-tahapan yaitu : determinasi tanaman uji, pembuatan simplisia, penapisan fitokimia, persiapan hewan coba, penentuan dosis uji dan uji efektivitas ekstrak tanaman.
Identifikasi/determinasi dari bagian-bagian batang, daun, buah yang dilakukan oleh Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI menyatakan tanaman ini memiliki nama ilmiah Coscinium fenestratum (Colebr). Tanaman ini masuk dalam suku Menispermaceae yang merupakan golongan tanaman sebagai sumber isoquinoline alkaloid.
Hasil maserasi akar tanaman C. fenestratum seberat 1 kg setelah dikeringkan diperoleh sebagai rendemen, yaitu perbandingan berat ekstrak yang diperoleh dengan berat simplisia awal. Hasil rendemen ekstrak airyang diperoleh sebesar 10,90%, dengan berat ekstrak sebanyak 109 gram, sedangkan ekstrak etanol memiliki rendemen 9,8% dengan berat ekstrak 98 gram.
Hasil analisis fitokimia menunjukkan adanya kandungan alkaloid yang tinggi dari kedua jenis ekstrak. Senyawa lain yang terkandung dalam akar C. fenestratum adalah dari golongan flavonoid, dengan jumlah lebih tinggi pada ekstrak etanol. Phenol hidroquinon terdeteksi lebih banyak pada ekstrak etanol. Triterpenoid lebih kuat pada ekstrak air, sementara saponin hanya terdeteksi pada ekstrak etanol.
Pemberian ekstrak C. fenestratum pada kelompok E1 (ekstrak etanol dosis 0,625 mg/25 grBB mencit) dan E2 (ekstrak etanol dosis 1.25 mg/25 grBB mencit)tidak memberikan pengaruh yang berarti pada pertumbuhan Plasmodium. Hal ini dapat disebabkan oleh dosis pemberian yang rendah sehingga tidak cukup kuat untuk membunuh Plasmodium yang ada. Pada kelompok E3 (ekstrak etanol dosis 3.75 mg/25 grBB mencit), setelah pemberian perlakuan terjadi penurunan jumlah parasit pada hari ke tujuh. Sementara itu, untuk kelompok A1 (ekstrak air dosis 0,625 mg/25 grBB mencit) tidak terjadi penurunan parasitemia setelah pemberian ekstrak, melainkan jumlahnya tetap/stabil pada hari kedua dan ketiga menjadi 16.64%, lalu pada hari keempat sampai hari ketujuh naik kembali jumlahnya menjadi 23.18%. Pemberian ekstrak dapat menghambat
sehingga tidak mampu membunuh parasit. Di kelompok A3 (ekstrak air dosis 3.75 mg/25 grBB mencit)terlihat penurunan jumlah parasitemia pada mencit. Penurunan terlihat mula hari kedua lalu stabil jumlah parasitemianya dan kembali naik pada hari keempat setelah pemberian ekstrak dihentikan. Setelah naik pada hari keempat lalu berangsur turun pada hari ketujuh. Kelompok kontrol positif dengan pemberian Klorokuin terlihat mengalami penurunan parasitemia mulai hari kedua setelah pemberian obat, kemudian berturut-turut menurun sampai hari keempat lalu kembali meningkat pada hari ketujuh. Walaupun klorokuin telah dilaporkan gagal dalam pengobatan malaria falciparum, ternyata dalam penelitian ini masih memiliki efek penurunan parasitemia pada mencit yang terinfeksi P. berghei.
Klorokuin akan mengikat feriprotoporfirin IX yaitu suatu cincin hematin yang merupakan hasil metabolisme hemoglobin di dalam parasit. Ikatan antara feriprotoporfirin IX-Klorokuin ini memiliki sifat melisiskan membran parasit sehingga parasit mati. Mekanisme aksi dari klorokuin adalah mengganggu penyerapan makanan oleh vakuola makanan dari tropozoit intraeritrositik, dengan toksisitas yang selektif terhadap lisosom tropozoit tersebut. Dalam bentuk alkaline, obat terdapat di dalam vakuola makanan parasit dengan konsentrasi tinggi dan meningkatkan pH. Hal ini menyebabkan penggumpalan pigmen dengan cepat. Klorokuin menghambat kerja enzim parasit heme polymerase yang mengubah toksik heme menjadi non-toksik hemazoin, yang menghasilkan akumulasi toksik heme di dalam tubuh parasit. Hal inilah yang mungkin mengganggu biosintesis asam nukleat.
Berdasarkan perhitungan persentase penghambatan, hasil terbesar diperoleh berturut-turut dari ekstrak air dosis 3,75 mg/25 gr BB mencit yaitu sebesar 34,67 %, ekstrak etanol dosis 3,75 mg/25 gr BB mencit sebesar 29,43 % dan ekstrak air dosis 1,25 mg/25 gr BB mencit sebesar 0,28%. Dosis lainnya tidak menunjukkan penghambatan pertumbuhan P. berghei melainkan efeknya justru meningkatkan. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh kontrol positif dengan pemberian Klorokuin, daya penghambatan pada hari ke-7 tidak ada.
Hasil rerata persentase pertumbuhan Plasmodium menunjukkan banyak mencit yang mati pada rentang mulai hari ke-7 sampai hari ke-14 setelah pemberian ekstrak. Hal ini dikarenakan pada hari-hari tersebut jumlah
Plasmodium dalam darah sudah tinggi (malaria berat) sehingga perlakuan yang diberikan tidak efektif dalam membunuh Plasmodium. Sebelum mati, mencit telah menunjukkan tanda-tanda sakit berat, kurus, gerakan berkurang, posisi diam di pojok kandang dengan telinga dan ekor pucat. Hal ini disebabkan bayaknya eritrosit yang diserang dan kemudian pecah/hilang pada saat pecahnya skizon, atau eritrosit yang terserang membentuk trombus yang mengakibatkan timbulnya nekrosis jaringan, anoksi serta anemi. Gejala lainnya adalah bulu berdiri, menggigil dengan posisi tubuh kiposis dan turgor buruk.
Pada dosis A2 dan A3 masih ada mencit yang sembuh pada hari ke-4 dan hari ke 3 setelah pemberian ekstrak. Setelah diamati dengan mikroskop pada 1000 eritrosit tidak ditemukan Plasmodium dan mencitnya dapat bertahan hidup sampai penelitian berakhir yaitu hari ke-28 setelah pemberian ekstrak.
Lama hidup mencit dengan perlakuan A3 yaitu 12 hari, lalu berturut-turut perlakuan A1 selama 10 hari, perlakuan E3 selama 10 hari, perlakuan A2 dan E2 selama 8 hari, perlakuan E1 selama 7,8 hari. Mencit dalam kelompok kontrol positif dengan pemberian kloroquin masa hidupnya hanya 7 hari, sedangkan mencit tanpa perlakuan hanya dapat bertahan hidup selama 6 hari. Kematian mencit pada kontrol negatif dimulai pada hari kedua lalu berturut-turut semua mencit mati pada hari ketujuh. Pada kontrol positif dengan pemberian kloroquin, kematian baru terjadi mulai hari keempat lalu semakin bertambah pada hari berikutnya sehingga pada hari ke-14 semua mencit mengalami kematian.
Hal yang sama terjadi pada mencit dengan perlakuan ekstrak E1, kematian dimulai pada hari kedua tetapi pada hari ketujuh mencit masih dapat bertahan dan baru pada hari ke-14 semua mencit telah mati. Mencit-mencit yang diberikan perlakuan ekstrak dengan dosis E2, E3, A1, A2 dan A3, menunjukkan hasil yang berbeda, semua mencit masih mampu bertahan sampai hari ke-4, bahkan pada dosis A1 dan A3 sampai hari ketujuh belum ditemukan adanya kematian.
Kematian pada dosis-dosis tersebut terjadi pada rentang antara hari ke-7 sampai hari ke-14 setelah pemberian ekstrak. Perbedaan sangat terlihat antara perlakuan dan kontrol positif maupun negatif karena pada kontrol kematian sudah terjadi pada rentang antara hari ke-4 sampai hari ke-7 setelah pemberian ekstrak. Peristiwa ini tentu saja berhubungan dengan jumlah parasit yang masih ada di dalam tubuh mencit. Adanya penurunan jumlah parasit dalam darah dengan pemberian ekstrak dapat memperpanjang umur hidup mencit.
Ekstrak etanol akar tanaman kayu kuning dengan dosis 3,75 mg/25 grBB mencit/hari yang diberikan selama 3 hari dapat menghambat pertumbuhan parasitemia sampai 5,281% pada hari ke-7 setelah pemberian ekstrak. Ekstrak air dengan dosis 3,75 mg/25 grBB mencit/hari dapat menghambat pertumbuhan parasitemia sampai 9,77% pada hari ke-7 setelah pemberian ekstrak. Pemberian ekstrak air dari tanaman kayu kuning mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan parasit P.berghei yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak etanol.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
UJI EFEKTIFITAS AKAR KAYU KUNING
(Coscinium fenestratum Colebr) SEBAGAI ANTIMALARIA
PADA MENCIT YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei
POPPY KURNIA GALUH TYAS KUSUMA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Poppy Kurnia Galuh Tyas Kusuma
NIM : B252090071
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Dr. drh. Umi Cahyaningsih, M.S.drh. Rita Marleta Dewi, DTM, M.Kes
Diketahui,
Ketua Program Studi/MayorDekan Sekolah Pascasarjana Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan
Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S.Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2010 ini ialah antimalaria, dengan judul Uji Efektifitas Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum Colebr) Sebagai Antimalaria Pada Mencit Yang Diinfeksi
Plasmodium berghei.
Terimakasih yang tulus penulis ucapakan kepada Ibu Dr. drh. Umi Cahyaningsih, M.S. dan Ibu drh. Rita Marleta Dewi, DTM, M.Kes selaku pembimbing yang telah dengan sabar memberikan bantuan, bimbingan, koreksi dan semangat, serta kepada Bapak Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si yang telah banyak memberikan saran.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S. selaku ketua program studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan beserta seluruh staf dan mahasiswa pascasarjana. Tak lupa penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Abdul Munir Pulungan dan Bapak Heppy Soewasono beserta staff Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur yang telah membantu selama pengumpulan data, juga kepada staf Laboratorium Protozoologi FKH-IPB yang telah membantu selama penelitian.
Ucapan terimakasih ditujukan pula kepada Gubernur Provinsi Kalimantan Timur yang telah memberikan penugasan belajar serta pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur yang telah menanggung pendanaan tugas belajar ini. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Kepala Bidang P2PL dan Kepala Seksi P2ML yang telah membantu kelancaran penyusunan tesis ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu serta keluarga besar R. Prasadja Kartamihardja yang telah memberikan dukungan, doa dan kasih sayangnya selama ini.
Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2003
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... xii
DAFTAR GAMBAR... xiii
DAFTAR LAMPIRAN... xiv
1 PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Malaria ... 5
2.2 Obat Antimalaria ... 10
2.3 Tanaman Kayu Kuning ... 15
3 METODE PENELITIAN ... 17
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 17
3.2 Alur Penelitian ... 17
3.3 Metode ... 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23
4.1Hasil Identifikasi Tanaman ... 23
4.2 Hasil Ekstraksi ... 23
4.3 Hasil Analisis Fitokimia ... 24
4.4 Hasil Uji Aktifitas Antimalaria ... 25
5 SIMPULAN DAN SARAN ... 37
5.1 Simpulan... 37
5.2 Saran ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 38
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Hasil ekstraksi akar tanaman kayu kuning ... 23
2 Hasil analisis fitokimia ekstrak akar C. fenestratum ... 24
3 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dengan perlakuan
pemberian ekstrak C. fenestratum ... 25
4 Rerata persentase penghambatan parasitemia hari ke-7 setelah
pemberian ekstrak ... 27
5 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dalam tubuh mencit dengan perlakuan ekstrak etanol akar C. fenestratum selama
pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-28 setelah perlakuan ... 32
6 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dalam tubuh mencit dengan perlakuan ekstrak air akar C. fenestratum selama
pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-28 setelah perlakuan ... 33
7 Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dalam tubuh mencit pada kelompok kontrol selama pengamatan hari 0 sampai hari
ke-28 setelah perlakuan ... 34
8 Jumlah mencit yang hidup pada pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-28 setelah pemberian ekstrak ...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Siklus hidup Plasmodium ... 9
2 Habitat dan morfologi tanaman kayu kuning... 16
3 Garis besar jalannya penelitian ... 17
4 Morfologi P. berghei stadium tropozoit di dalam eritrosit mencit ... 26
5 Morfologi P. berghei stadium skizon di dalam eritrosit mencit ... 26
6 Grafik rerata persentase pertumbuhan P. berghei dengan
perlakuan ekstrak etanol ... 28
7 Grafik rerata persentase pertumbuhan P. berghei dengan
perlakuan ekstrak etanol ... 29
8 Lama hidup mencit yang diberi perlakuan ekstrak dan kontrol
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2
3
Hasil analisis data pertumbuhan Plasmodium pada hari ke-0 sampai hari ke-7 setelah perlakuan ...
Hasil analisis rerata persentase pertumbuhan Plasmodium
Hasil identifikasi tanaman kayu kuning ...
43
45
1 PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit darah dari
genus Plasmodium. Secara alamiah penularan malaria terjadi melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina (Nahrevanian et al. 2009), dan pada keadaan tertentu
penularan dapat pula terjadi melalui transfusi darah atau ditularkan dari ibu ke janin
yang dikandungnya (Depkes RI 2009). Selama ini dilaporkan hanya ada 4 jenis
Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia, namun belakangan ini dilaporkan
bahwa malaria pada kera juga dapat menginfeksi manusia (Singh et al. 2004).
Malaria yang merupakan ancaman terbesar adalah infeksi yang disebabkan spesies
Plasmodium falciparum, karena jenis ini adalah yang paling mematikan dan
menyebabkan peningkatan angka kesakitan (Barone et al. 2003).
Penyakit ini dapat menyerang manusia tanpa mengenal jenis kelamin dan
umur. Kelompok yang paling mudah terserang penyakit ini adalah ibu hamil, bayi
dan anak berumur kurang dari 4 tahun (Greenwood et al. 2007). Gejala malaria yang
terutama adalah demam, menggigil, berkeringat dan kadang kadang dapat disertai
sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal (Depkes RI 2009).
Malaria hingga kini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
prioritas terutama di negara-negara beriklim tropis. Setiap tahun dilaporkan 300 –
500 juta kasus malaria dan menyebabkan lebih dari satu juta kematian dan bahkan
meningkat akhir-akhir ini (WHO 2008), dan masih merupakan penyakit endemik
pada lebih dari 90 negara terutama pada negara yang sedang berkembang
(Sanchez et al. 2004).
Indonesia merupakan daerah endemis malaria. Pengendalian dan
pemberantasan penyakit malaria telah dilakukan sejak tahun 1959, namun hingga
saat ini angka kesakitan dan kematian masih cukup tinggi (Zein 2005). Sampai
dengan tahun 2009, sekitar 80% kabupaten/kota merupakan daerah endemis
malaria dan sekitar 45% penduduk bertempat tinggal di daerah yang berisiko tertular
malaria. Jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2009 sebanyak 1.143.024 orang.
Jumlah ini mungkin lebih besar dari keadaan yang sebenarnya karena lokasi yang
sulit dan akses pelayanan kesehatan yang rendah. Menurut perhitungan para ahli
ekonomi kesehatan, dengan jumlah kasus malaria sebesar tersebut diatas dapat
menimbulkan kerugian ekonomi mencapai sekitar 3,3 triliun rupiah lebih. Hal ini
sebagai akibat dari tidak dapat bekerja selama satu minggu, biaya pengobatan dan
lain-lain, belum termasuk biaya sosial seperti menurunnya tingkat kecerdasan anak
dan menurunnya kualitas sumber daya manusia yang berdampak pada penurunan
produktivitas (Depkes 2010).
Penderita yang terinfeksi malaria pada 2 dekade terakhir meningkat dua kali
terutama disebabkan oleh munculnya strain P. falciparum yang resisten terhadap
obat malaria yang tersedia terutama klorokuin dan turunannya
Tanaman obat sering digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit antara
lain malaria (Koch et al. 2005). Tanaman akar kuning atau kayu kuning dengan
nama ilmiah Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr. merupakan tanaman yang
banyak dimanfaatkan sebagai obat. Di Indonesia, masyarakat terutama suku asli
telah menggunakan akar kuning untuk obat penyakit tertentu. Sebagai contoh suku
Sakai di Bengkalis (Provinsi Riau) menggunakan akar tanaman tersebut sebagai
obat kencing manis dan sakit kuning. Suku Anak Dalam di Sumatera Selatan juga
menggunakannya untuk pengobatan sakit kuning, suku Punan Lisun dan suku
Punan Bekatan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) mengobati
malaria dan sakit pinggang dengan akar tanaman ini. Suku Kenyah di Malinau,
Kalimantan Timur juga memanfaatkannya untuk menjaga stamina, pengobatan
malaria dan penyakit maag (Sangat et al. 2000 dan Rahayu 2005).
(Trape et al. 2002). Di
Indonesia, hal ini pula yang dihadapi pelaksana program dalam pemberantasan
malaria (Tuti et al. 2007). Disamping itu efektivitas klorokuin terhadap P.vivax juga
telah menurun sejak dilaporkannya resistensi P.vivax terhadap klorokuin di Papua
dan beberapa daerah lainnya (Siswantoro et al. 2006). Olliaro et al. (1996)
melaporkan bahwa kegagalan program penanggulangan malaria antara lain
disebabkan oleh adanya penyebaran yang luas dari resistensi obat antimalaria lini
pertama (monoterapi) dan resistensi terhadap obat-obat lain (multidrugs resistence).
Di Vietnam, ekstrak alkohol dari tanaman C. fenestratum telah dijual bebas
dalam bentuk tablet, dan pada umumnya diresepkan untuk penyakit disentri (Tushar
untuk mengobati kolik dan sakit perut (Tran dan Ziegler, 2001), sedangkan di Sri
Lanka digunakan sebagai antiseptik dan krim wajah.
Uji pre-klinik yang telah dilaporkan beberapa peneliti menyatakan nilai lethal
dose (LD) 50 yang bervariasi. Singh et al. (1990) melaporkan bahwa LD50 per oral
dari C. fenestratum adalah 1200 mg/kg pada mencit, sedangkan pada tahun 2010
Sudharshan et al. melaporkan bahwa LD50
Berdasarkan analisa kimia, Tushar et al. (2008) membuktikan bahwa tanaman
ini memiliki kandungan berberine yang tinggi seperti halnya tanaman-tanaman dari
ordo Menispermaceae lainnya. Kekuda et al. (2008) dalam Sudharshan et al. (2010)
juga menyebutkan bahwa kandungan utama dari C. fenestratum adalah kristal
alkaloid yang berwarna kuning yang disebut berberine. Disamping itu Subeki et al.
(2004) melaporkan bahwa beberapa zat aktif yang dikandung Arcangelisia flava
yang juga merupakan salah satu tanaman dari kelompok ordo Menispermaceae
mampu menurunkan tingkat parasitemia pada infeksi Babesia gibsoni. Baik C.
fenestratum maupun A. flava memiliki persamaan dalam penggunaan secara
empiris. Babesia gibsoni dan P. berghei merupakan parasit darah yang termasuk
dalam Kingdom Protozoa dari filum Apicomplexa (Levine 1988). Plasmodium
berghei merupakan parasit malaria pada hewan pengerat seperti tikus dan mencit.
Secara analisa molekuler, terdapat persamaan antara parasit malaria pada manusia
(P. falciparum) dengan P. berghei pada tikus, sehingga P. berghei sering digunakan
sebagai model pada penelitian malaria. Disamping itu, parasit ini analog dengan
parasit malaria pada manusia dalam beberapa aspek penting seperti struktur,
fisiologi dan siklus hidupnya (Carter dan Diggs 1977).
berdasarkan toksisitas akut dari tanaman
ini adalah 80 mg/kg. Lain halnya dengan hasil uji subkronis yang dilakukan oleh
Wongcome et al. (2007) yang menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dengan
jumlah 2500 mg/kg/hari yang diberikan selama 90 hari pada mencit tidak
menyebabkan efek pada sistem saraf pusat.
Sebelum obat / tanaman obat digunakan pada manusia, perlu dilakukan uji pre
klinik secara in vitro maupun in vivo menggunakan binatang percobaan (Dewi et al.
1996), maka pada penelitian ini akan dilakukan uji in vivo pada mencit yang diinfeksi
1. 2 Perumusan Masalah
Malaria dapat menyebabkan kerugian dalam bidang kesehatan bahkan sampai
terjadi kematian. Rendahnya kepatuhan minum obat antimalaria yang direkomen-
dasikan program pengendalian atau obat malaria sering tidak dijumpai pada
daerah-daerah yang endemik malaria menyebabkan masyarakat mencari pengobatan
alternatif dengan menggunakan pengobatan tradisional memakai tanaman obat.
Akar tanaman C. fenestratum sudah digunakan secara empiris untuk mengobati
beberapa penyakit termasuk malaria, tetapi belum ada pembuktian ilmiah mengenai
kegunaan tanaman ini dalam mengobati malaria.
1. 3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum : Mengetahui efektifitas ekstrak akar tanaman kayu kuning (C.
fenestratum) pada mencit yang diinfeksi P. berghei.
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1) Mengetahui efektifitas ekstrak etanol akar tanaman kayu kuning (Coscinium
fenestratum) pada mencit yang diinfeksi P. berghei.
2) Mengetahui efektifitas ekstrak air akar tanaman kayu kuning (Coscinium
fenestratum) pada mencit yang diinfeksi P. berghei.
3) Membandingkan efektifitas ekstrak etanol dan ekstrak air tanaman kayu
kuning (C. fenestratum) berdasarkan angka parasitemia mencit yang diinfeksi
P. berghei.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberi masukan kepada
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa darah dari
genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Zein
2005). Selain melalui gigitan nyamuk, malaria dapat ditularkan secara langsung
melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar darah positif, serta dari ibu
hamil kepada bayinya. Ciri utama dari family Plasmodiidae adalah adanya dua
siklus hidup yaitu siklus aseksual pada vertebrata yang berlangsung di hati dan di
eritrosit, serta siklus seksual yang diawali pada vertebrata dan dilanjutkan pada
nyamuk.
Malaria merupakan penyakit infeksi yang serius bagi dunia. Pada tahun 1955,
World Health Organization (WHO) mengkampanyekan program pemberantasan
malaria ke seluruh dunia. Pada awalnya program ini berhasil dilaksanakan,
sebanyak 42 negara ikut ambil bagian dalam program dan pada tahun 1960, 10
negara dinyatakan berhasil memberantas malaria. Akan tetapi, belakangan
dilaporkan adanya strain nyamuk Anopheles yang resisten terhadap DDT
(Dichloro-Diphenyl-Trichloro-ethane) mulai muncul, dan seiring dengan terbukanya jalur
migrasi pada banyak negara, malaria dengan cepat menyebar. Pada tahun 1976,
WHO menyatakan program pemberantasan malaria mengalami kegagalan.Saat ini,
terdapat 300-500 juta orang menderita malaria di seluruh dunia, dengan angka
kematian sebesar 3 juta jiwa.
2.1.1 Jenis dan Gejalanya
Plasmodium yang menginfeksi manusia pada awalnya dilaporkan hanya
empat spesies yaitu Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale,
namun belakangan ini dilaporkan bahwa P.knowlesi (malaria pada primatan non
manusia) juga dapat menginfeksi manusia (Laloo et al. 2007), (Singh et al. 2004).
Malaria tropika adalah malaria yang disebabkan oleh P. falciparum dan
merupakan malaria yang paling ganas dan berbahaya. Bila tidak diobati malaria ini
dapat menyebabkan kematian karena menyebabkan malaria berat atau komplikasi
eritrosit terinfeksi yang menyumbat kapiler otak. Gejala malaria otak adalah
berkurangnya kesadaran dan serangan demam yang tidak menentu, adakalanya
terus-menerus, dapat pula berkala dua hari sekali. Gejala klinis yang menonjol
disertai pembesaran hati (Prabowo 2008) dengan adanya penyakit kuning dan urin
yang berwarna coklat tua atau hitam akibat hemolisa. Gejala lainnya adalah demam
tinggi yang timbul mendadak, hemoglobinuria, hiperbilirubinaemia, muntah, dan
gagal ginjal akut. Masa inkubasi untuk malaria tropika adalah 7-12 hari (Tjay dan
Rahardja 2000).
Malaria tersiana adalah malaria yang disebabkan oleh P.vivax atau P.ovale.
Gejalanya berupa demam berkala tiga hari sekali dengan puncak setelah setiap 48
jam (Prabowo 2008). Gejala lainnya berupa nyeri kepala dan punggung, mual
pembesaran limfa dan malaise umum. Malaria oleh P.ovale tidak bersifat mematikan
meskipun tanpa pengobatan (Tjay dan Rahardja 2000).
Malaria kwartana adalah malaria yang disebabkan oleh P. malariae yang
mengakibatkan demam berkala empat hari sekali dengan puncak demam setiap 72
jam. Gejala lainnya sama dengan malaria tertiana berupa nyeri kepala dan
punggung, mual, pembesaran limfa, dan malaise umum (Tjay dan Rahardja 2000).
2.1.2 Diagnosis
Diagnosa malaria yang cepat, tepat dan akurat merupakan bagian dari
penatalaksanaan penyakit yang efektif yang jika dilaksanakan dengan baik akan
menurunkan penggunaan obat antimalaria yang tidak perlu. Diagnosa malaria yang
tepat sangat penting, terutama bagi kelompok pasien yang rentan terhadap
serangan penyakit, misalnya anak-anak, yang mana penyakit malaria ini bisa
berakibat fatal (WHO 2009).
Diagnosis penyakit malaria berdasarkan pada diagnosa klinik disertai adanya
riwayat perjalanan dari daerah endemis. Diagnosa klinis yang ditegakan harus
didukung dengan pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini, pemeriksaan
mikroskopis dari sediaan darah dengan pewarnaan Giemsa masih merupakan
standart emas. Pemeriksaan dengan alat rapid diagnostic test (RDT) hanya
dilakukan pada saat terjadi kejadian luar biasa (KLB), atau di daerah terpencil yang
chain reaction (PCR) hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan teknologi yang
lebih tinggi (Depkes 2009).
2.1.3 Penyebaran
Penyebaran malaria terjadi pada ketinggian yang sangat bervariasi yaitu dari
400 meter di bawah permukaan laut, seperti di Laut Mati dan Kenya, sampai 2600
meter di atas permukaan laut, seperti di Cochabamba, Bolivia (Pribadi dan Sungkar
1994).
Penyakit malaria merupakan penyakit yang endemis di Indonesia. Penyakit ini
sering dikaitkan dengan perubahan iklim. Dengan adanya pemanasan global,
nyamuk yang menjadi vektor tersebut mampu untuk berkembang biak di daerah
yang sebelumnya dianggap terlalu dingin untuk perkembangbiakan yaitu isotherm
16° lintang utara dan lintang selatan dan pada ketinggian kurang dari 1000 m
(Wijayanti et al. 2008).
2.1.4 Penularan dan Pencegahan
Penularan malaria dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu, secara alami
melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang mengandung sporozoit, secara
non-alami (induced) melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik yang tidak
steril serta dapat ditularkan oleh ibu hamil kepada janinnya (Prabowo 2008).
Nyamuk Anopheles betina biasanya menggigit manusia pada malam hri atau
mulai senja sampai subuh. Jarak terbang nyamuk ini hanya sekitar 300-500 m dari
tempat perindukannya. Jangka waktu yang dibutukan untuk pertumbuhan sejak telur
sampai menjadi nyamuk dewasa bervariasi antara 2-5 minggu, tergantung spesies,
makanan yang tersedia dan suhu udara (Anies 2006).
Pencegahan malaria dapat dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya :
pengobatan tuntas penderita agar tidak relaps atau resistensi parasit terhadap obat
antimalaria yang diberikan; pemberantasan nyamuk sebagai vektor; perlindungan
orang yang rentan dengan penggunaan kelambu; menghindari dari gigitan nyamuk
2.1.5 Siklus Hidup
1) Siklus aseksual
Siklus aseksual dari malaria dimulai dari masuknya sporozoit infeksius dari
kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina kedalam darah manusia. Dalam waktu tiga
puluh menit sporozoit tersebut akan memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulai
stadium eksoeritrositik pada daur hidupnya. Di dalam sel hati sporozoit berkembang
menjadi trofozoit dan kemudian menjadi skizon yang menghasilkan banyak
merozoit. Sel hati yang mengandung skizon matang akan pecah dan merozoit keluar
ke peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah, walaupun ada sebagian yang
difagosit. Perkembangan mulai dari masuknya sporozoit ke dalam sel hati sampai
dengan keluarnya merozoit dari sel hati disebut stadium preeritrositik atau
eksoeritrositik.
Siklus eritrositik dimulai saat merozoit memasuki sel darah merah sampai
merozoit keluar dan menyerang sel darah merah lainnya.Parasit tampak sebagai
kromatin kecil, dikelilingi oleh sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan
mulai membentuk trofozoit, trofozoit berkembang menjadi skizon muda, kemudian
berkembang menjadi skizon matang dan membelah banyak menghasilkan
merozoit.Dengan selesainya pembelahan tersebut sel darah merah pecah dan
merozoit, pigmen dan sisa sel keluar dan memasuki plasma darah. Parasit
memasuki sel darah merah lainnya untuk mengulangi siklus skizogoni. Beberapa
merozoit memasuki eritrosit dan membentuk skizon dan lainnya membentuk
gametosit yaitu bentuk seksual (Pribadi dan Sungkar 1994).
2) Siklus seksual
Siklus seksual Plasmodium terjadi dalam tubuh nyamuk. Gametosit yang
terhisap pada saat nyamuk menghisap darah tidak dicerna oleh enzim yang ada di
dalam lambung nyamuk. Pada makrogamet (jantan) kromatin membagi menjadi 6-8
inti yang bergerak ke pinggir parasit. Di pinggir ini beberapa filamen dibentuk seperti
cambuk dan bergerak aktif disebut mikrogamet. Pembuahan terjadi karena
masuknya mikrogamet ke dalam makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot
berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinet yang dapat menembus
lapisan epitel dan membran basal dinding lambung. Di tempat ini ookinet membesar
sporozoit menembus kelenjar nyamuk dan bila nyamuk menggigit manusia maka
sporozoit masuk ke dalam darah dan mulailah siklus pre eritrositik (Zein, 2005).
Siklus hidup Plasmodium ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Siklus hidup Plasmodium (sumbe
2.1.6 Plasmodium berghei
Plasmodium berghei adalah protozoa yang menyebabkan penyakit malaria
pada rodensia. Penelitian berbagai aspek imunologis malaria banyak menggunakan
P. berghei dan mencit sebagai induk semangnya karena dengan model ini ada
kemungkinan dilakukan manipulasi pada induk semangnya sehingga dapat dipelajari
P. berghei merupakan salah satu parasit malaria yang menginfeksi mamalia
selain manusia. Parasit ini analog dengan parasit malaria pada manusia pada
hampir semua aspek penting seperti struktur, fisiologi dan siklus hidupnya (Carter
dan Diggs 1977)
Klasifikasi dari parasit P. berghei adalah sebagai berikut:
:
Genus : Plasmodium
Species : Plasmodium berghei (Levine 1988).
Secara umum daur hidup P. berghei sama dengan daur hidup malaria pada
manusia. Siklus perkembangan P. berghei sangat cepat dengan fase aseksual
selama 18 - 24 jam (Jones & Edmundson 1989 dan Bourne & Danielli 1986 ). Dalam
tubuh inang vertebrata siklus bermula pada saat sporozoit dari nyamuk terinfeksi
memasuki peredaran darah dan menyerang sel parenkima hati. Dalam sel hepatosit,
sporozoit berkembang menjadi trofozoit yang kemudian menjadi skizon matang yang
menghasilkan merozoit. Pecahnya skizon hepatosit membebaskan beribu-ribu
merozoit yang kemudian akan masuk ke dalam aliran darah dan mulai
perkembangan merozoit menjadi trofozoit dan seterusnya menjadi skizon yang
berlangsung di dalam sel eritrosit (Phillips 1983).
2. 2 Obat Antimalaria
Senyawa antimalaria tertua dilaporkan pada tahun 1820 untuk mengobati
demam malaria adalah kulit pohon kina (Cinchona succirubra) dan alkaloid yang
dikandungnya. Senyawa lain yang berkhasiat sebagai antimalaria yang didapat dari
tanaman Artemisia annua yang berasal dari China dan dikenal sebagai qinghaosu
(Tjay dan Rahardja 2000).
Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon
dapat menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli
obat-obatan Jerman berhasil menemukan atabrin (quinacrine hydrocloride) yang
pada saat itu lebih efektif daripada kinin dan toksisitasnya lebih ringan.Sejak akhir
perang dunia kedua, klorokuin dianggap lebih mampu menangkal dan
menyembuhkan demam hutan secara total, juga lebih efektif dalam menekan
jenis-jenis malaria dibandingkan dengan atabrin atau kinin. Obat tersebut juga
mengandung kadar racun paling rendah dibandingkan obat-obat lain yang terdahulu
dan terbukti efektif tanpa perlu digunakan secara terus menerus. Namun baru-baru
ini strain P. falciparum, yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya
resistensi terhadap klorokuin serta obat anti malaria sintetik lain. Strain jenis ini
ditemukan terutama di Indonesia, Vietnam, Thailand dan juga di semenanjung
Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan.
Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain P. falciparum. Seiring dengan
munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, serta fakta
bahwa jenis nyamuk pembawa (Anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap
insektisida seperti DDT telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit
malaria di berbagai negara tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria
mengalami peningkatan pada para turis Amerika dan Eropa Barat yang berkunjung
ke Asia, Afrika dan Amerika Tengah dan juga di antara para pengungsi dari daerah
itu sendiri (WHO 2009).
Sampai tahun 2003, obat antimalaria yang tersedia di Indonesia terbatas pada
klorokuin, pirimetamin-sulfadoksin, kina dan primaquin (Tjitra 2000). Antibiotika yang
bersifat antimalaria adalah tetrasiklin, doksisiklin, klindamisin, kloramfenikol,
sulfametoksazol-trimetropim dan kuinolon. Obat-obat ini pada umumnya bersifat
skizontosida darah untuk P. falciparum, kerjanya sangat lambat dan kurang efektif.
Oleh sebab itu, obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang kerjanya
cepat dan menghasilkan efek potensiasi yaitu misalnya dengan kina (Tjitra 2000).
Beberapa senyawa metabolit sekunder dari tanaman telah terbukti bermanfaat
sebagai antimalaria. Senyawa-senyawa ini dapat digolongkan dalam tujuh golongan
besar yaitu, alkaloid, quassinoid, sesquiterpen, triterpenoid, flavonoid, quinon dan
senyawaan miscellaneous (Saxena et al 2003). Lebih dari 100 jenis alkaloid dari
berbagai macam tanaman telah diketahui memiliki aktivitas antimalaria. Alstonine,
tanaman pule (Alstonia scholaris Linn.) yang memiliki aktivitas antimalaria
(Arulmozhi et al. 2007).
2. 2. 1 Jenis Obat Antimalaria
Menurut WHO (2009), artemisinin adalah senyawa yang aktif melawan
empat jenis Plasmodium yang menginfeksi manusia dan secara umum
penggunaannya masih dapat diterima dengan baik. Jika dipandang dari sisi
kesehatan masyarakat, obat ini memiliki keuntungan yaitu menurunkan tingkat
penularan, hal ini disebabkan karena obat ini mengurangi jumlah gametosit
sehingga transmisi malaria dapat ditekan. Obat-obat kombinasi dari artemisinin yang
direkomendasikan dalam pengobatan malaria tanpa komplikasi adalah : artemether–
lumefantrin, artesunat ditambah amodiakuin, artesunat ditambah meflokuin,
artesunat ditambah sulfadoksin-pirimetamin.
Pengobatan malaria tanpa komplikasi untuk selain malaria falsiparum adalah
dengan menggunakan klorokuin, sedangkan untuk malaria vivax yang resisten
terhadap klorokuin menggunakan terapi kombinasi artemisinin dengan primakuin.
Penderita malaria berat, yaitu pada uji laboratorium dinyatakan jumlah sel
darah merah yang terinfeksi telah melebihi 2% (Laloo et al. 2007) harus diberikan
pengobatan intravena sampai kondisinya membaik dan dapat digantikan
peng-obatan secara oral.
Obat antimalaria memiliki beberapa kategori dalam membasmi parasit dan
indikasi penggunaannya. Beberapa obat memiliki lebih dari satu mekanisme anti
malaria (Hardman et al. 2001).
1). Klorokuin
Klorokuin telah menjadi obat pilihan untuk pengobatan dan kemoprofilaksis
malaria sejak tahun 1943 (Katzung 2004). Klorokuin sangat murah dan efektif
sehingga menjadikannya sebagai obat pilihan antimalaria di sebagian besar belahan
dunia. Mekanisme kerja dari klorokuin seperti diungkapkan Slater (2002) adalah
mengganggu penyerapan makanan oleh vakuola makanan dari trofozoit
intraeritrositik, dengan toksisitas yang selektif terhadap lisosom trofozoit tersebut.
Dalam bentuk alkaline, obat terdapat di dalam vakuola makanan parasit dengan
pigmen dengan cepat. Klorokuin menghambat kerja enzim parasit heme polymerase
yang mengubah toksik heme menjadi non-toksik hemazoin, yang menghasilkan
akumulasi toksik heme di dalam tubuh parasit. Hal inilah yang mungkin mengganggu
biosintesis asam nukleat. Mekanisme lain diduga terbentuknya ikatan kompleks
(Taylor dan Strickland 2000).
2). Quinin dan Quinidin
Quinin mempunyai grup quinoline yang terhubung dengan rantai alkohol
sekunder menjadi cincin quinidin. Quinidin lebih potensial sebagai antimalaria dan
lebih toksik jika dibandingkan dengan quinin (Hardman et al. 2001). Quinin bekerja
dengan cepat, dan merupakan skizontosida yang sangat efektif terhadap empat
spesies parasit malaria pada manusia.Obat tersebut merupakan gametosida
terhadap P. vivax dan P. ovale tetapi tidak pada P. falciparum. Obat ini tidak aktif
pada parasit tahap hepatis. Mekanisme kerja dari quinin belum diketahui (Hardman
et al. 2001).
3). Kombinasi Sulfadoxin - Pyrimethamin
Kombinasi Sulfadoxin-pyrimethamin merupakan kombinasi obat untuk
mengobati malaria falsiparum dalam kondisi telah resisten terhadap klorokuin dosis
tinggi dan untuk pasien yang tidak merespon terhadap klorokuin (Depkes 2009).
4). Amodiaquin
Amodiaquin digunakan untuk mengobati malaria tanpa komplikasi yang
disebabkan oleh P.falciparum (Depkes 2009). Toksisitas yang penting dari
amodiaquin adalah agranulositosis, dan sehubungan dengan efek tersebut, maka
penggunaannya dibatasi dalam tahun-tahun belakangan ini. Evaluasi ulang yang
dilakukan baru-baru ini telah menunjukkan bahwa toksisitas hematologis yang serius
dari amodiaquin menjadi jarang dan beberapa pihak yang berwenang saat ini
menganjurkan penggunannya sebagai pengganti klorokuin pada wilayah-wilayah
dengan tingkat resistensi yang tinggi tetapi dengan sumber daya yang terbatas
(Katzung 2004).
5). Mefloquin
Mekanisme kerja yang pasti dari mefloquin belum diketahui, sedangkan efek
antimalarianya berupa skizontosidal (Taylor dan Strickland 2000). Mefloquin dapat
oleh infeksi P.falciparum yang resistensi terhadap klorokuin atau obat-obat
antimalaria lainnya (Hardman et al. 2001).
6). Primaquin
Obat ini digunakan untuk menghilangkan parasit pada fase intrahepatik dari P.
vivax dan P. ovale (Depkes 2009). Obat ini adalah satu-satunya yang efektif
terhadap parasit tahap hipnozoit/dorman dari P.vivax dan P.ovale. Primaquin juga
merupakan gametosida terhadap empat spesies malaria manusia. Primaquin juga
bekerja terhadap parasit tahap eritrositik, walaupun efektifitasnya kurang (Shimizu et
al. 2010).
7). Halofantrin
Mekanisme kerja dari halofantrin hampir sama dengan klorokuin, quinin, dan
mefloquinyang akan berikatan dengan ferritoporphyrin IX membentuk kompleks
bersifat racun yang dapat merusak membran parasit. Halofantrin biasa digunakan
pada pengobatan malaria yang resisten terhadap klorokuin dan lainnya, serta pada
pengobatan penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi. Respon klinik terhadap
absorbsi obat pada pengobatan halofantrin belum diketahui (Kakkilaya 2006).
8). Proguanil (Chloroguanid)
Proguanil adalah obat antimalaria yang bekerja sebagai skizontosida darah,
walaupun mekanisme kerjanyabelum diketahui dengan pasti. Proguanil digunakan
untuk pengobatan malaria yang resisten lebih dari satu macam obat (Daily 2006).
Diduga bahwa proguanil bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase
dari parasit. Obat ini digunakan untuk pencegahan dan pengobatan P.falciparum
pada infeksi akut, dan juga efektif terhadap serangan dari P. vivax (Kakkilaya 2006).
9). Doksisiklin
Doksisiklin digunakan untuk profilaksis atau pengobatan malaria. Pada
pengobatan malaria yang disebabkan oleh P.falciparum, obat ini harus
dikombinasikan dengan obat antimalaria lain yang kerjanya lebih cepat antara lain
dengan quinin (Daily 2006). Tidak boleh digunakan untuk anak usia di bawah 8
tahun atau wanita hamil disebabkan karena efek samping dari obat ini
berpengaruhpada tulang dan gigi (Kakkilaya 2006).
10). Artemisin
Senyawa ester dalam tanaman Artemisia annua yang larut dalam air adalah
arteether. Artemisin bekerja dengan menghambat pembentukan enzim tertentu dari
Plasmodium, walaupun tidak menghambat jalur haem metabolic. Obat ini dapat
digunakan sebagai monoterapi, namun dianjurkan agar dikombinasikan dengan
antimalaria lain untuk memperoleh efikasi yang maksimum (Kakkilaya 2006). Obat
ini menghambat perkembangan dari trofozoit sehingga mencegah penyebaran
penyakit. Artesunat bekerja hingga 12 jam dan efektif untuk pengobatan infeksi P.
falciparum yang resisten terhadap klorokuin. Obat ini sangat berguna dalam
mengatasi P. falciparum dengan komplikasi (Kakilaya 2006).
2. 3 Tanaman Kayu Kuning
Tanaman ini ditemukan di daerah dataran rendah dengan ketinggian kurang
dari 1000 m dari permukaan air laut. Tumbuh subur di lingkungan berekosistem
hutan hujan, mempunyai keanekaragaman paling tinggi terutama di daerah beriklim
basah seperti di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya (Rahayu 2005).
Sistematika tanaman kayu kuning adalah sebagai berikut :
Super Kingdom : Eukaryota
Kingdom : Viridaplantae
Filum : Streptophyta
Ordo : Ranunculales
Famili : Menispermaceae
Genus : Coscinium
Spesies : Coscinium fenestratum (Mabberley 2008) (NCBI 2004)
Beberapa tanaman dari keluarga Menispermaceae telah dimanfaatkan untuk
tujuan pengobatan tradisional di Thailand. Keluarga Menispermaceae dikenal
sebagai sumber penting dari isoquinoline alkaloid, salah satu kelompok produk alami
yang menunjukkan aktifitas farmakologikal yang menarik (Shamma 1972).
Batang dan akar dari tanaman ini telah banyak digunakan dalam pengobatan
tradisional sebagai tonik pahit untuk mengobati berbagai penyakit diantaranya sakit
kuning (jaundice) dan beberapa penyakit infeksi seperti diare dan abses kulit (Perry
a. b.
[image:31.612.90.473.74.735.2]c. d.
Gambar 2 . Habitat dan morfologi tanaman kayu kuning a. Batang ; b. Habitat; c. Daun ; d. Buah
Pada tanaman ini dilaporkan mengandung senyawa berberine, jatrorrhizine
dan columbamine serta telah diisolasi alkaloid yang disebut shobakunine. Penelitian
lanjut menunjukkan senyawa ini merupakan campuran dari palmatine dan berberine
Senyawa berberine digunakan sebagai antimalaria karena dapat menghambat
3 METODE PENELITIAN
3. 1 Waktu dan tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Protozoologi, Bagian Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu
penelitian pada bulan Oktober 2010 - Maret 2011.
[image:32.612.103.539.92.769.2]3. 2 Alur Penelitian
Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian
3. 3 Metode
3. 3. 1 Persiapan hewan coba
Hewan coba yang digunakan adalah mencit dari galur DDY dengan jenis
kelamin jantan. Berat badan sekitar 25 gram atau berusia sekitar 2 bulan. Isolat
Kementerian Kesehatan, RI. Sebanyak 0,1 ml suspensi diinfeksi secara intra
peritoneal pada mencit donor. Pengamatan angka parasitemia pada mencit donor
dilakukan setiap hari mulai hari kelima setelah inokulasi. Pengamatan dilakukan
dengan membuat preparat darah apus tebal dan tipis. Pada saat tingkat parasitemia
mencapai lebih dari 1x104/µl darah (Dewi et al. 1996), darah mencit donor tersebut
diambil dari jantung dan diinfeksikan kepada mencit sebagai hewan coba.
3. 3. 2 Penentuan dosis obat
Sesuai takaran jamu yang digunakan masyarakat (dosis empiris) yaitu 2
sendok teh diseduh dalam satu gelas air. Infusa dibuat dengan memanaskan
campuran tersebut menggunakan panci khusus. Larutan dipanaskan diatas air
mendidih selama 15 menit dengan suhu kurang lebih 90o C (Depkes RI 1995). Hasil
yang diperoleh lalu disaring dan dikeringkan di dalam oven. Setelah kering, timbang
padatan yang tersisa dan digunakan sebagai acuan dosis uji yaitu dosis pada
manusia yang digunakan secara empiris oleh masyarakat Kalimantan Timur sebesar
0,196 mg/kg BB dewasa. Dosis ini kemudian dikonversi menjadi dosis pada mencit
dengan berat badan 25 gr, dan diperoleh dosis 0,625 mg.
3. 3. 4 Pembuatan simplisia
Akar tanaman kayu kuning dikoleksi dalam keadaan segar dari hutan wilayah
Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada bulan
Juli 2010. Bagian-bagian lain dari tanaman seperti daun, batang dan buah juga
dikoleksi untuk keperluan identifikasi tanaman.
Bagian akar C. fenestratum dipisahkan kemudian dibersihkan dari kotoran.
Setelah bersih bagian tumbuhan dicacah dan dikeringkan dengan diangin-anginkan,
selanjutnya digiling dan ditimbang. Serbuk kering direndam dengan etanol 80%
perbandingan 1 kg akar menggunakan 6 liter etanol dan diaduk dengan stirrer
selama 3 jam lalu didiamkan selama 24 jam kemudian disaring dengan kertas saring
(Harborne 1987). Filtrat yang ada ditampung. Pengulangan dilakukan sampai
didapatkan filtrat yang jernih. Filtrat dipekatkan dengan rotary evaporator menjadi
Hal yang sama dilakukan juga pada ekstraksi dengan air, pelarut yang
digunakan adalah aquadest. Hasil maserasi akar tanaman C. fenestratum seberat 1
kg setelah dikeringkan diperoleh sebagai rendemen, yaitu perbandingan berat
ekstrak yang diperoleh dengan berat simplisia awal. Rumus menghitung rendemen
adalah sebagai berikut :
Rendemen = (Berat ekstrak / Berat sampel kering) x 100%
(Souri et al. 2002 dalam Muhtadi 2008).
3. 3. 5 Penapisan fitokimia
Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen kimia yang
terdapat pada tumbuhan dengan menggunakan metode Cuilei (1984). Penapisan
fitokimia serbuk simplisia dilakukan terhadap golongan alkaloid, flavonoid, saponin,
tannin, kuinon, steroid-triterpenoid.
3. 3. 5. 1 Pemeriksaan alkaloid
Sebanyak 5 gram simplisia dilembabkan dengan 5 ml amonia 25% dan digerus
dalam mortir. Setelah ditambah 20 ml kloroform, bahan digerus lagi kuat-kuat dan
disaring. Filtrat berupa larutan organik digunakan untuk percobaan selanjutnya.
Untuk mengetahui kandungan unsure kimianya, maka sebagian larutan ini
diteteskan pada kertas saring yang telah ditetesi pereaksi Dragendorff.
Terbentuknya warna merah atau jingga pada kertas saring menunjukkan adanya
alkaloid. Sisa larutan organik diekstraksi dua kali dengan asam klorida dengan
perbandingan tertentu (1:10 v/v). Ke dalam dua tabung reaksi yang masing-masing
berisi 5 ml larutan ini ditambahkan beberapa tetes pereaksi Dragendorff dan Mayer.
Terbentuknya endapan merah bata dengan pereaksi Dragendorff atau endapan
putih dengan pereaksi Mayer menunjukkan adanya alkaloid.
3. 3. 5. 2 Pemeriksaan flavanoid
Sebanyak 10 gram simplisia ditambahkan 100 ml air panas, dipanaskan sampai
magnesium, 1 ml asam klorida pekat, dan 2 ml larutan amil alkohol dikocok kuat dan
dibiarkan memisah. Adanya kandungan flavanoid ditunjukkan dengan adanya warna
merah , kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.
3. 3. 5. 3 Pemeriksaan saponin
Sebanyak 10 ml larutan percobaan yang berasal dari pemeriksaan flavonoid
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, dikocok kuat secara vertikal selama 10 detik.
Terbentuknya busa setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit
dan tidak hilang pada penambahan setetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya
saponin.
3. 3. 5. 4 Pemeriksaan tannin
Sebanyak 10 gram simplisia dalam 100 ml air dididihkan selama 5 menit, kemudian
didinginkan dan disaring. Filtrat dibagi menjadi tiga bagian. Ke dalam filtrat pertama
ditambahkan larutan besi(III) (feri)-klorida 1%, timbulnya warna hijau biru atau hitam
menunjukkan adanya tanin. Pada filtrat kedua ditambahkan larutan gelatin,
terbentuknya endapan putih menunjukkan adanya tanin. Ke dalam filtrat ketiga
ditambahkan pereaksi Steasny (campuran formaldehida 30% dengan asam klorida
pekat 2:1), kemudian dipanaskan dalam penangas air. Terbentuknya endapan
warna merah muda menunjukkan adanya tanin katekat. Kemudian endapan
disaring, filtrat dijenuhkan dengan natrium asetat dan ditambahkan beberapa tetes
besi(III) feri-klorida 1%. Terbentuknya warna biru tinta menunjukkan adanya tanin
galat.
3. 3. 5. 5 Pemeriksaan kuinon
Sebanyak 1 gram simplisia dalam 10 ml air dididihkan selama 5 menit, kemudian
didinginkan dan disaring. Natrium hidroksida 1 N ditambahkan ke dalam 5 ml filtrat.
3. 3. 5. 6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid
Sebanyak 5 gram simplisia dimaserasi dalam 20 ml eter selama 2 jam kemudian
disaring. Sebanyak 5 ml filtrat diuapkan dalam cawan penguap sampai kering. Ke
dalam residu ditambahkan dua tetes asam asetat glasial dan setetes asam sulfat
pekat. Terbentuknya warna merah-ungu menunjukkan adanya triterpenoid, dan jika
terbentuk warna hijau-biru menunjukkan adanya steroid.
3. 3. 6 Uji efektivitas ekstrak
Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain quasi
eksperimental secara in vivo. Pada penelitian ini digunakan hewan coba yang
dikelompokan sebagai kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.. Pada kelompok
perlakuan, satu kelompok diberi pengobatan ekstrak etanol akar tanaman kayu
kuning, dan kelompok lainnya diberi ekstrak air akar tanaman kayu kuning.
Mencit yang digunakan adalah mencit putih jantan dari galur DDY berumur
2-3 bulan dengan berat badan rata-rata 25 gram /ekor. Pakan dan air minum diberikan
secara adlibitum. Mencit diinokulasi dengan 0.1 ml darah yang mengandung 1x10 Kelompok kontrol terdiri dari kontrol positif (pengobatan dengan klorokuin) dan
kontrol negatif (tanpa pengobatan atau hanya pelarut/PGA (Pulvis Gum Arabic) 3%.
Tiap kelompok perlakuan terdiri dari 5 ekor mencit (Mus musculus) jantan.
4
1) Kelompok kontrol negatif, adalah kelompok mencit yang diinfeksi P. berghei dan
diberi larutan PGA (Pulvis Gum Arabic) 3%
P. berghei secara intra peritoneal. Mencit dikelompokkan menjadi 8 kelompok (6
kelompok perlakuan dan 2 kontrol), masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor
mencit, yaitu :
2) Kelompok kontrol positif, mencit terinfeksi dan diobati dengan Klorokuin
3) Kelompok perlakuan ekstrak etanol dosis 0,625 mg/25 gr BB = 25 mg/kg BB (E1)
4) Kelompok perlakuan ekstrak etanol dosis 1,25 mg/25 gr BB = 50 mg/kg BB (E2)
5) Kelompok perlakuan ekstrak etanol dosis 3,75 mg/25 gr BB = 150 mg/kg BB (E3)
6) Kelompok perlakuan ekstrak air dosis 0,625 mg/25 gr BB = 25 mg/kg BB (A1)
8) Kelompok perlakuan ekstrak air dosis 3,75 mg/25 gr BB = 150 mg/kg BB (A3)
Setelah mencit positif, dilakukan pengobatan menggunakan sonde lambung
sekali dalam sehari dengan pemberian dua dosis sekaligus dan dilakukan selama
tiga hari berturut-turut. Saat pemberian pengobatan disebut hari 0, 1 dan
ke-2. Pengamatan angka parasitemia dilakukan dengan membuat preparat apus darah
tebal dan tipis yang diambil dari vena ekor pada hari ke 0, 1, 2, 3, 4, 7, 14, 21, dan
28 setelah pemberian ekstrak (Tuti et al. 2007).
3. 3. 7 Pembuatan Preparat Hapusan Darah Tebal dan Tipis
Pembuatan preparat darah dilakukan dengan meneteskan 1 tetes darah ke atas gelas
obyek, kemudian dibuat sediaan apus tipis dan tebal, darah dibiarkan sampai kering
pada suhu kamar. Pada bagian sediaan darah tipis dilakukan fiksasi dengan
metanol absolut selama 1 detik, kemudian diwarnai dengan larutan Giemsa secara
standar (5% larutan Giemsa selama 30 menit), terakhir dibilas dengan
menggunakan air mengalir. Sediaan darah diperiksa di bawah mikroskop
dengan perbesaran 1000 kali menggunakan minyak immersi. Pembacaan diawali
pada sediaan darah tebal untuk melihat sediaan darah positif atau negatif. Kepadatan
parasit dihitung berdasarkan jumlah eritrosit yang terinfeksi dalam 1000 eritrosit,
dihitung menggunakan rumus
Persen parasitemia (%) = ( eritrosit terinfeksi / ± 1000 eritrosit ) x 100%
(Kakkilaya 2002). Rumus untuk menentukan penghambatan pertumbuhan parasit
adalah :
Persen penghambatan (%) = 100% - (( uji parasitemia/ kontrol parasitemia) x 100%)
(Souri et al. 2002 dalam Muhtadi 2008).
3. 3. 8 Analisa Hasil
Hasil yang diperoleh diuji dengan Analysis of Variance (ANOVA) dan jika ada
perbedaan dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT),
menggunakan software SPSS versi 11.0. Data ditampilkan dalam bentuk tabel dan
4. 1 Hasil Identifikasi Tanaman
Identifikasi/determinasi dari bagian-bagian batang, daun, buah yang dilakukan oleh
Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI menyatakan tanaman ini memiliki nama ilmiah
Coscinium fenestratum (Colebr). Tanaman ini masuk dalam suku Menispermaceae
yang merupakan golongan tanaman sebagai sumber isoquinoline alkaloid (Shamma
1972) dengan ciri tumbuh merambat dan membentuk kelompok-kelompok pada
beberapa pohon rambatan atau tumbuhan lainnya, sehingga sulit untuk dibedakan
antara individu satu dengan lainnya. Batang tumbuhan ini licin dengan warna
abu-abu dan diameter terbesar yang ditemukan adalah kurang lebih 4,6 cm. Kulit bagian
dalam berwarna kuning. Memiliki daun yang peltate berwarna abu-abu di bagian
bawah dan tidak berbulu. Anakan kayu kuning juga tumbuh mengelompok
(Noorhidayah et al. 2008).
4. 2 Hasil Ekstraksi
Hasil maserasi akar tanaman C. fenestratum seberat 1 kg setelah dikeringkan
diperoleh sebagai rendemen, yaitu perbandingan berat ekstrak yang diperoleh
dengan berat simplisia awal. Rendemen ekstrak air sebesar 10,90%, dengan berat
ekstrak sebanyak 109 gram, sedangkan ekstrak etanol memiliki rendemen 9,8%
[image:38.612.139.481.567.648.2]dengan berat ekstrak 98 gram.
Tabel 1 Hasil ekstraksi akar tanaman kayu kuning
Ekstrak
Berat sampel
kering
Berat ekstrak
total
Etanol 1000 gr 98 gr
4. 3 Hasil Analisis Fitokima
Ekstrak akar tanaman C. fenestratum selanjutnya dianalisis fitokimia untuk
mengetahui kandungannya. Hasil yang ditunjukkan pada Tabel 2 yaitu adanya
[image:39.612.81.513.237.463.2]kandungan alkaloid yang tinggi dari kedua jenis ekstrak.
Tabel 2 Hasil analisis fitokimia ekstrak akar C. fenestratum
JENIS UJI Hasil ekstrak etanol Hasil ekstrak air
1. Alkaloid ++++ ++++
2. Flavonoid ++++ ++
3. Phenol hidroquinon ++++ ++
4. Steroid - -
5. Triterpenoid ++ +++
6. Tanin - -
7. Saponin + -
Senyawa lain yang terkandung dalam akar C. fenestratum adalah dari
golongan flavonoid, dengan jumlah lebih tinggi pada ekstrak etanol, phenol
hidroquinon juga dideteksi lebih banyak di ekstrak etanol, triterpenoid lebih kuat
pada ekstrak air, dan saponin terdeteksi hanya di ekstrak etanol.
Menurut Rojsanga et al. (2010), berberine merupakan senyawa isokuinolin
alkaloid banyak terkandung pada tanaman C. fenestratum. Senyawa ini memiliki
aktifitas biokimia dan farmakologi yang cukup luas, termasuk antidiare dan
antitumor. Sebagai antimalaria dengan gejala spesifik antara lain adalah diare maka
4. 4 Hasil Uji Aktivitas Antimalaria
Pemberian ekstrak C. fenestratum pada kelompok E1 (ekstrak etanol dosis
0,625 mg/25 gr BB mencit) dan E2 (ekstrak etanol dosis 1,25 mg/25 gr BB mencit)
yang ditunjukkan pada Tabel 3 tidak memberikan pengaruh yang berarti pada
pertumbuhan Plasmodium. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dosis pemberian
yang rendah sehingga tidak cukup kuat untuk membunuh Plasmodium yang ada.
Pada kelompok E3 (ekstrak etanol dosis 3,75 mg/25 gr BB mencit) setelah
pemberian perlakuan terjadi penurunan jumlah parasit pada hari ke tujuh. Hal ini
dibuktikan dengan uji ANOVA yang menunjukan adanya pengaruh perlakuan
terhadap pertumbuhan Plasmodium, dan pada pengujian lanjut didapatkan hasil
bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok E3 dengan kelompok
E1.
Tabel 3 Rerata persentase parasitemia mencit berdasarkan pemberian bahan uji ekstrak C. fenestratum dan lamanya pengamatan.
Pengamatan Hari ke
Persentase parasitemia mencit pada kelompok
E1 E2 E3 A1 A2 A3 K+ K-
0 7.768a 7.486abc 6.789bc 6.478ab 10.86bc 8.194bc 7.53c 7.79
1
abc
15.88a 14.43abc 13.9bc 8.732ab 7.355bc 13.49bc 12.7c 17.8
2
abc
21.47a 10.92abc 12.83bc 16.64ab 12.36bc 12.61bc 9.46c 11.4
3
abc
22.58a 10.37abc 16.7bc 16.64ab 14.83bc 12.31bc 8.26c 10
4
abc
22.68a 21.65abc 16.76bc 23.18ab 17.09bc 13.67bc 5.25c 13.7
7
abc
16.38a 9.928abc 5.281bc 23.83ab - 9.77bc 9.41c 15abc
Keterangan : E1: ekstrak etanol dosis 0.625 mg/ 25 grBB mencit; E2 : ekstrak etanol dosis 1.25 mg/ 25 grBB mencit; E3 : ekstrak etanol dosis 3.75 mg/ 25 grBB mencit. A1 : ekstrak air dosis 0.625 mg/ 25 grBB mencit; A2 : ekstrak air dosis 1.25 mg/ 25 grBB mencit dan A3 : ekstrak air dosis 3.75 mg/ 25 grBB mencit. K+ adalah kontrol dengan pemberian klorokuin dan K- adalah kontrol negatif hanya diberikan larutan PGA 3%.
Sementara itu, untuk kelompok A1 (ekstrak air dosis 0,625 mg/25 gr BB
jumlahnya tetap/stabil pada hari kedua dan ketiga menjadi 16.64%, lalu pada hari
keempat sampai hari ketujuh naik kembali jumlahnya menjadi 23.18%. Pemberian
ekstrak dapat menghambat Plasmodium untuk berkembang lebih banyak. Ketika
pemberian ekstrak dihentikan, jumlah parasitnya kembali meningkat.
Pada kelompok A2 tidak terjadi penurunan parasitemia bahkan jumlahnya
semakin meningkat dari hari kedua sampai hari ketujuh, hal ini kemungkinan
disebabkan karena dosis ekstrak yang diberikan kurang sehingga tidak mampu
membunuh parasit. Di kelompok A3 terlihat penurunan jumlah parasitemia pada
mencit. Penurunan terlihat mulai hari kedua lalu stabil jumlah parasitemianya dan
kembali naik pada hari keempat setelah pemberian ekstrak dihentikan. Setelah naik
[image:41.612.50.506.27.770.2]pada hari keempat lalu berangsur turun pada hari ketujuh.
Gambar 4 Morfologi P. berghei stadium tropozoit di dalam eritrosit mencit.
[image:41.612.116.447.502.660.2]Uji statistik lanjut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
antara pemberian perlakuan A3 dengan dosis A1. Pada kelompok kontrol positif
dengan pemberian Klorokuin terlihat ada penurunan parasitemia mulai hari kedua
setelah pemberian obat, kemudian berturut-turut menurun sampai hari keempat lalu
kembali meningkat pada hari ketujuh. Walaupun klorokuin telah dilaporkan gagal
dalam pengobatan malaria falciparum, ternyata dalam penelitian ini masih memiliki
efek penurunan parasitemia pada mencit yang terinfeksi P. berghei. Menurut Taylor
(2000), Klorokuin akan mengikat feriprotoporfirin IX yaitu suatu cincin hematin yang
merupakan hasil metabolisme hemoglobin di dalam parasit. Ikatan antara
feriprotoporfirin IX-Klorokuin ini memiliki sifat melisiskan membran parasit sehingga
parasit mati.
Tabel 4 Rerata pesentase penghambatan parasitemia pada hari ke-7 setelah pemberian ekstrak
Dosis ekstrak
(mg/25 grBB mencit)
Rerata persentase penghambatan
Ekstrak Etanol
(%)
Ekstrak Air
(%)
Klorokuin
(%)
0.625 -16.69 -27.34 -25.72
1.25 -32.64 0.28
3.75 29.43 34.67
Lebih lanjut diungkapkan oleh Slater (2002) bahwa mekanisme kerja dari
klorokuin adalah mengganggu penyerapan makanan di dalam vakuola makanan dari
tropozoit intraeritrositik, dengan toksisitas yang selektif terhadap lisosom tropozoit
tersebut. Dalam bentuk alkaline, obat terdapat di dalam vakuola makanan parasit
dengan konsentrasi tinggi dan meningkatkan pH. Hal ini menyebabkan
penggumpalan pigmen dengan cepat. Klorokuin menghambat kerja enzim parasit
heme polymerase yang mengubah toksik heme menjadi non-toksik hemazoin, yang
menghasilkan akumulasi toksik heme di dalam tubuh parasit. Hal inilah yang
terbentuknya ikatan kompleks (Tjitra 2000) antara klorokuin dengan feriprotoporfirin
IX di dalam vakuola makanan, ikatan kompleks ini meracuni vakuola sehingga
menghambat penyerapan (intake) makanan (Fitch 1986).
Penghambatan terbesar diperoleh berturut-turut dari ekstrak air dosis 3,75 mg/
25 grBB mencit yaitu sebesar 34,67 %, ekstrak etanol dosis 3,75 mg/ 25 grBB
mencit sebesar 29,43 % dan ekstrak air dosis 1,25 mg/ 25 grBB mencit sebesar
0,28%. Dosis lainnya tidak menunjukkan penghambatan pertumbuhan P. berghei
melainkan efeknya justru meningkatkan. Hal yang sama juga ditunjukkan pada
kelompok kontrol positif dengan pemberian Klorokuin, dengan menunjukan tidak
adanya daya hambat pada hari ke-7. Jika dilihat pada grafik rerata persentase
pertumbuhan Plasmodium dengan perlakuan ekstrak etanol (Gambar 6), maka
terlihat kontrol positif mengalami penurunan pada hari ke-4 tetapi pada hari ke-5
[image:43.612.79.494.24.777.2]sampai hari ke-7 setelah pemberian ekstrak terjadi peningkatan melebihi hari ke-0.
Gambar 6 Grafik rerata persentase pertumbuhan P. berghei dengan perlakuan ekstrak etanol.
Pola yang hampir sama ditunjukkan pada pemberian ekstrak etanol dosis
ketiga (3,75 mg/25 grBB mencit/hari), yaitu pada hari ke-3 terjadi penurunan
parasitemia namun setelah itu kembali menunjukan kenaikan. Pada pemberian
ekstrak etanol dosis kedua (1,25 mg/25 grBB mencit/hari) menunjukkan penurunan
dibuktikan oleh perhitungan penghambatan pertumbuhan Plasmodium. Analisis
statistika menggunakan DMRT juga menunjukkan pada taraf α sebesar 0.05 dosis
kedua memiliki respon penurunan angka parasitemia yang terbaik dibandingkan
dosis lain dan kontrol.
Jika dilihat dari grafik rerata persentase pertumbuhan Plasmodium dengan
perlakuan ekstrak air (Gambar 7), maka terlihat kontrol positif mengalami penurunan
pada hari ke-4 tetapi pada hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah pemberian ekstrak
terjadi peningkatan melebihi hari ke-0.
Pada perlakuan dengan ekstrak air tidak ada dosis yang memiliki pola yang
sama dengan Klorokuin. Ekstrak air dosis ketiga (3,75 mg/ 25 gr BB mencit/hari)
menunjukkan penurunan yang lebih berarti dibandingkan dosis 1 dan 2 serta kontrol.
Hal ini juga dibuktikan oleh perhitungan penghambatan pertumbuhan Plasmodium.
Analisis statistika menggunakan DMRT juga menunjukkan pada taraf α sebesar 0.05
dosis ketiga memiliki respon penurunan parasitemia yang terbaik dibandingkan
[image:44.612.114.502.384.589.2]dosis lain dan kontrol.
Gambar 7 Grafik rerata persentase pertumbuhan P. berghei dengan perlakuan ekstrak air.
Rerata persentase pertumbuhan Plasmodium yang tertera pada Tabel 5
menunjukkan banyak mencit yang mati pada rentang mulai hari 7 sampai hari
Plasmodium dalam darah sudah tinggi (malaria berat) sehingga perlakuan yang
diberikan tidak efektif dalam membunuh Plasmodium. Sebelum mati, mencit telah
menunjukkan tanda-tanda sakit berat, kurus, gerakan berkurang, posisi diam di
pojok kandang dengan telinga dan ekor pucat.
Seperti dilaporkan Jekti et al. (1996) bahwa mencit yang mengalami malaria
berat akan terlihat lesu, lemah, kurus, pucat/anemis pada bagian daun telinga, ekor
dan selaput lendir mata, mulut dan anus tampak pucat kadang kekuningan, hal ini
disebabkan bayaknya eritrosit yang diserang dan kemudian pecah/hilang pada saat
pecahnya skizon, atau eritrosit yang terserang membentuk trombus yang
mengakibatkan timbulnya nekrosis jaringan, anoksi serta anemi. Gejala lainnya
adalah bulu berdiri, menggigil dengan posisi tubuh kiposis dan turgor buruk.
Pada Tabel 6 terlihat kematian juga terjadi pada rentang antara hari ke-7
sampai hari ke-14 setelah pemberian ekstrak. Pada dosis A2 dan A3 masih ada
mencit yang sembuh pada hari ke-4 dan hari ke-3 setelah pemberian ekstrak.
Setelah diamati di bawah mikroskop pada 1000 eritrosit tidak ditemukan
Plasmodium dan mencitnya dapat bertahan hidup sampai penelitian berakhir yaitu
hari ke 28 setelah pemberian ekstrak.
Respon individu terlihat baik pada mencit yang mampu pulih setelah
pemberian perlakuan, hal ini dapat disebabkan ekstrak air C. fenestratum dosis 1,25
mg/ 25 gr mencit dan 3,75 mg/ 25 gr mencit bekerja optimal pada kondisi tertentu
individu.
Pada kelompok kontrol dengan pemberian Klorokuin terlihat kematian mencit
terjadi mulai hari ke-3. Dan pada hari ke-11 semua mencit sudah mati. Kelompok
kontrol negatif yang hanya diberi larutan PGA 3% juga menunjukkan pada hari ke-11
setelah pemberian ekstrak semua mencit kelompok tersebut telah mati.
Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI) berguna
untuk memperkirakan batas keamanan sebuah obat dengan menggunakan rasio
yang mengukur dosis terapeutik efektif pada 50% hewan (ED50) dan dosis letal
(mematikan) pada 50% hewan (LD50
Dosis efektif ekstrak pada kelompok E3 dan A3 jika dibandingkan dengan LD ). Apabila semakin dekat rasio suatu obat
kepada angka 1, maka semakin besar bahaya toksisitasnya.
50
dar