• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Bisnis Serat Sabut Kelapa Melalui Pendekatan Wirakoperasi Di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Bisnis Serat Sabut Kelapa Melalui Pendekatan Wirakoperasi Di Kabupaten Bogor"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN BISNIS SERAT SABUT KELAPA

MELALUI PENDEKATAN WIRAKOPERASI DI KABUPATEN

BOGOR

PUTRA AGUNG PRABOWO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Bisnis Serat Sabut Kelapa melalui Pendekatan Wirakoperasi di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015 Putra Agung Prabowo NIM H34110041

(4)

ABSTRAK

PUTRA AGUNG PRABOWO. Perencanaan Bisnis Serat Sabut Kelapa melalui Pendekatan Wirakoperasi di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh LUKMAN MOHAMMAD BAGA.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan produksi kelapa tertinggi di dunia. Namun produksi kelapa yang tinggi tersebut tidak ditunjang dengan industri hilir yang memadai. Salah satu industri kelapa yang kurang berkembang adalah industri serat sabut kelapa. Untuk itulah diperlukan perencanaan bisnis dengan pendekatan wirakoperasi. Metode analisis yang digunakan meliputi analisis non finansial yang meliputi aspek pasar, produksi, manajemen organisasi, manajemen risiko, kemitraan, dan aspek finansial meliputi studi kelayakan investasi yang berupa nilai NPV, IRR, Gross B/C, Net B/C, dan payback period. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa bisnis serat sabut kelapa tidak berkembang disebabkan oleh banyak faktor, seperti mulai dari kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah pasar, finansial, infrastruktur, penelitian dan pengembangan, integrasi kedepan dan kebelakang, produksi, pengolahan dan lain sebagainya. Model bisnis dengan menggunakan pendekatan wirakoperasi dapat memberikan keuntungan sosial maupun finansial untuk banyak pihak. Kata kunci: serat sabut kelapa, perencanaan bisnis, wirakoperasi

ABSTRACT

PUTRA AGUNG PRABOWO. Business Plan of Coconut Fiber with Cooperative Entrepreneur Approach in Bogor Regency. Supervised by LUKMAN MOHAMMAD BAGA.

Indonesia is one of countries which has the highest coconut production in the world. However, the highest coconut production is not supported by an adequate downstream industry. One of them is coconut fiber industry. Of that reason it is needed a business plan with cooperative entrepreneur approach. Analysis method that used are non financial analyses which include market aspect, production, organization management, risk management, partnership, and financial analysis which include investment feasibility study which are NPV, IRR, Gross B/C, Net B/C, and payback period. Based on the research, coconut fiber was not developed as a business unit because of many factors such as goverment policy was not supported, market problem, financial, infrastucture, research and development, forward and bacward linkage, production, processing and many more. Business model with cooperative entrepreneur could give a social and finansial benefit for all stakeholder.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

PERENCANAAN BISNIS SERAT SABUT KELAPA

MELALUI PENDEKATAN WIRAKOPERASI DI KABUPATEN

BOGOR

PUTRA AGUNG PRABOWO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2014 sampai Februari 2015 ini ialah perencanaan bisnis dan wirakoperasi, dengan judul Perencanaan Bisnis Serat Sabut Kelapa melalui Pendekatan Wirakoperasi di Kabupaten Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Lukman Mohammad Baga MA.Ec selaku dosen pembimbing, serta Ir Antonius Sidik Umar MM selaku pemilik CV Serat Kelapa, Bapak Syamsuli, Bapak Muhammad Syarif, dan Ibu Desi Arianti selaku pegawai CV Serat Kelapa yang telah banyak memberi saran. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf Badan Pusat Statistik, staf Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, staf Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Peternakan, dan Kehutanan (BP4K) Wilayah Leuwiliang, dan staf Unit Pengelolaan Teknis Daerah (UPTD) Ciampea yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 7

TINJAUAN PUSTAKA 7

Penelitian Mengenai Serat Sabut Kelapa 7

Penelitian Mengenai Aspek Rencana Bisnis 8

KERANGKA PEMIKIRAN 11

Kerangka Pemikiran Teoritis 11

Kerangka Pemikiran Operasional 18

METODE PENELITIAN 19

Lokasi dan Waktu Penelitian 19

Jenis dan Sumber Data 19

Metode Pengumpulan Data 19

Metode Analisis Data 20

GAMBARAN UMUM BISNIS 22

Profil Bisnis 22

Gambaran Umum Kabupaten Bogor 23

ANALISIS SITUASIONAL 24

Analisis Five Forces Industri Serat Sabut Kelapa 24 Analisis Keunggulan Kompetitif Porter’s Diamond 26

Analisis SWOT 29

RENCANA BISNIS 31

Asumsi Dasar 31

(10)

Rencana Produksi 39

Rencana Organisasi dan Sumber Daya Manusia 47

Rencana Kemitraan 54

Rencana Finansial 57

Rencana Manajemen Risiko 60

SIMPULAN DAN SARAN 63

Simpulan 63

Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 64

(11)

DAFTAR TABEL

1. Luas areal perkebunan rakyat menurut jenis tanaman tahun

2008-2012 (dalam Ha) 1

2. Ekspor dan impor produk kelapa tahun 2001-2003 (volume dalam

MT, nilai dalam US$ 000 FOB) 2

3. Kontribusi sektor kelapa terhadap neraca ekspor tahun 2006-2010 4 4. Daerah produksi kelapa terbesar di Kabupaten Bogor tahun 2012 4

5. Harga produk kelapa (US$/MT) 8

6. Matrik SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threat) 31

7. Permintaan jok kendaraan dari luar negeri 33

8. Standar mutu input 39

9. Persyaratan mutu serat sabut kelapa sebagai bahan pengisi jok

atau kursi 39

10. Jenis pekerjaan 46

11. Kebutuhan bahan baku produksi sebulan 47

12. Upah dan gaji tenaga kerja 54

13. Bagi hasil keuntungan 57

14. Komponen biaya investasi 57

15. Komponen biaya tetap 58

16. Rincian modal awal 59

17. Identifikasi dan penaksiran risiko 61

18. Perbedaan sebelum dan sesudah adanya wirakoperasi 62

DAFTAR GAMBAR

1. Alur kerangka pemikiran operasional penelitian 18 2. Analisis five forces industri serat sabut kelapa 26 3. Keterkaitan antar kompoenen Porter’s Diamond System 29

4. Coconut fiber sheet 33

5. Conveyor sabut kelapa 41

6. Mesin pengurai sabut kelapa besar 41

7. Mesin pengayak sabut kelapa 42

8. Mesin pengering rotary serat sabut kelapa 42

9. Mesin press hidrolik serat sabut kelapa 43

10. Diagram alir proses produksi serat sabut kelapa 43

11. Layout pabrik serat sabut kelapa 45

12. Diagram alir rantai pasokan 47

13. Diagram alir pembentukan koperasi 48

14. Struktur organisasi koperasi 49

15. Pola kemitraan strategis 56

DAFTAR LAMPIRAN

1. Asumsi dasar perencanaan bisnis 68

(12)

3. Biaya tetap (tenaga kerja) 70

4. Biaya tetap (biaya utility) 70

5. Biaya tetap (administrasi perkantoran) 70

6. Biaya tetap (biaya pemasaran) 70

7. Biaya tetap (biaya jaminan mutu produk) 71

8. Biaya investasi (biaya alat produksi) 71

9. Biaya investasi (biaya alat & furnitur kantor) 72 10. Biaya investasi (biaya bangunan dan infrastruktur) 72

11. Biaya penyusutan 73

12. Biaya variabel 74

13. Laporan laba rugi 74

14. Laporan arus kas 75

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa terbesar di dunia pada tahun 2014. Berdasarkan penelitian Basri dalam Widyantari (2013), areal tanaman kelapa di Indonesia merupakan areal perkebunan kelapa terbesar di dunia, yang mencapai 31.92 persen disusul negara Filipina (26.12 persen), India (15.22 persen), Srilangka (3.17 persen), dan Thailand (2.75 persen). Luas areal perkebunan kelapa di Indonesia mencapai 3.7 juta Ha, dengan perkebunan milik pemerintah seluas 4 669 Ha, serta milik swasta seluas 66 189 Ha1. Walaupun memiliki luas areal perkebunan kelapa terbesar di dunia, produktivitas kelapa Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan Srilangka dan India. Tanaman kelapa merupakan tanaman perkebunan terbesar kedua setelah tanaman kelapa sawit dan berdasarkan Coconut Statistical Year 2009 Asean Pacific Coconut Community (APCC) dalam Dewi (2011), sebagian besarnya (98 persen) merupakan perkebunan rakyat. Perkebunan rakyat umumnya memiliki kondisi lahan yang sempit, pemeliharaan seadanya atau tidak sama sekali, tidak berada pada skala komersial, dan dikelola secara sederhana. Data mengenai luas areal perkebunan rakyat menurut jenis tanaman pada tahun 2008 hingga 2012 disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Luas areal perkebunan rakyat menurut jenis tanaman tahun 2008-2012 (dalam Ha)

Jenis Tanaman 2008 2009 2010 2011 2012

Tanaman tahunan

Karet 2 900.30 2 952.60 2 948.70 2 931.80 2 987.00

Kelapa 3 724.10 3 731.60 3 697.00 3 725.80 3 740.30

Kelapa sawit 2 881.90 3 061.40 3 387.30 3 752.50 4 137.60

Kopi 1 236.80 1 217.50 1 162.80 1 185.00 1 187.70

Kakao 1 326.80 1 491.80 1 558.40 1 638.30 1 693.30

Teh 60.50 57.10 56.50 56.00 56.30

Cengkeh 447.70 458.70 461.60 476.70 485.30 Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)

Industri kelapa nasional bukan hanya berkembang dalam agribisnis hulunya, namun dewasa ini proses pasca panen komoditas ini merupakan salah satu pendorong bagi para pebisnis karena adanya insentif keuntungan yang lebih baik dari sebelumnya. Walaupun perusahaan pengolahan kelapa masih sedikit, namun proses pasca panen komoditas kelapa sudah sangat berkembang, mulai dari usaha kecil, menengah hingga usaha yang memiliki cakupan yang lebih besar. Sesuai

1

(14)

2

dengan Roadmap Industri Pengolahan Kelapa oleh Direktorat Jendral Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian Tahun 2009, industri kelapa dibagi kedalam tiga bagian, yaitu industri hulu, industri antara dan industri hilir. Industri hulu merupakan industri yang memproduksi raw material komoditas kelapa, seperti kelapa segar dan kopra (baik kopra hitam maupun putih). Industri antara merupakan industri yang memproses kelapa sebagai produk-produk turunan seperti tempurung kelapa, copra meal, dan desiccated coconut. Terakhir adalah industri hilir, yaitu industri yang mengolah produk dari industri antara menjadi produk akhir industri, seperti minyak kelapa, coconut cream/milk, dan lain sebagainya.

Berdasarkan Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa oleh Departemen Pertanian Tahun 2007, produk akhir yang sudah berkembang dengan baik dari pengolahan kelapa adalah desicated coconut (DC), coconut milk/cream (CM/CC), coconut charcoal (CCL), activated carbon (AC), brown sugar (BS), nata de coco (ND) dan coconut fiber (CF). Dewasa ini produk turunan kelapa yang baru mulai berkembang adalah virgin coconut oil (VCO) dan coconut wood (CW). Produk DC, CCL, AC, BS dan CF sudah masuk pasar ekspor dengan perkembangan yang pesat, namun CF kurang berkembang karena belum terpenuhinya standar kualitas, walaupun permintaan dunia terus meningkat.

(15)

3 Berdasarkan data pada Tabel 2, ada sebuah kecenderungan penurunan laju perkembangan produksi serat sabut kelapa yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya standar ekspor yang telah ditetapkan pasar internasional terhadap produk ekspor serat sabut kelapa asal Indonesia. Hal ini juga disebabkan sebagian besar serat kelapa masih diproduksi oleh industri kecil dan menengah. Mengingat hal tersebut, Indonesia sebenarnya mempunyai potensi dalam pengembangan usaha serat sabut kelapa karena memiliki pasar yang potensial. Kurangnya perhatian pemerintah akan pengembangan industri hilir komoditas ini membuat bisnis serat sabut kelapa belum banyak berkembang di Indonesia (Direktorat Jendral Perkebunan 2013).

Produksi kelapa Indonesia sangat melimpah disertai dengan harga serat sabut kelapa di pasar internasional yang cenderung tinggi, tidak didukung dengan usaha pengolahan serat kelapa karena kurang berkembang dengan baik. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya produk turunan kelapa yang dihasilkan oleh Indonesia sehingga membuat daya saing nilai ekspor komoditas kelapa nasional cukup rendah dibanding negara-negara lainnya (Widyantari 2013).

Guna memperkuat daya saing komoditas kelapa nasional, bisnis pengolahan serat kelapa dapat dikembangkan melalui pendekatan wirakoperasi. Pendekatan ini setidaknya mampu membantu petani kelapa di Indonesia agar dapat mengakses pasar internasional dan teknologi tinggi dalam pengolahan serat kelapa sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, yang semula petani kelapa di Indonesia tidak mampu untuk mengaksesnya. Dengan adanya pendekatan wirakoperasi, sebuah unit usaha pengolahan serat sabut kelapa akan lebih mudah dalam mengakses bahan baku produksi yang berasal perkebunan kelapa rakyat. Selain itu pula, pendektaan ini juga menawarkan keuntungan finansial dan sosial untuk banyak pihak yang meliputi petani kelapa itu sendiri, wirakop, koperasi, dan investor. Untuk itulah diperlukan wirakop, sebagai katalisator dalam mewujudkan usaha pengolahan serat kelapa yang mempunyai daya saing global dan bernilai jual tinggi di pasar internasional. Selain itu, dengan menggunakan pendekatan wirakoperasi bargaining power petani kelapa di Indonesia menjadi lebih kuat karena sistem bagi hasil memungkinkan petani kelapa dalam mementukan kebijakan unit usaha pengolahan serat sabut kelapa yang akan didirikan.

Perumusan Masalah

Serat sabut kelapa memiliki potensi yang baik di masa depan. Hal ini disebabkan oleh banyak dari negara-negara di dunia yang memerlukan serat sabut kelapa sebagai bahan baku industri. Selama ini masyarakat Eropa dan Amerika saja yang menggunakan serat sabut kelapa sebagai bahan baku industri manufaktur. Menurut Palungkun (2004), pada tahun 1990, Eropa membutuhkan 37 ribu MT serat sabut kelapa atau sekitar 48 persen dari total kebutuhan dunia yang berjumlah 75.7 MT. Negara di kawasan Eropa yang paling banyak mengonsumsinya adalah Inggris sebanyak 14.7 ribu MT dan Jerman sebanyak 13 ribu MT. Selain kedua negara konsumen serat sabut kelapa tersebut, ada pula Perancis, Amerika Serikat dan Belanda yang mengonsumsi jumlah sisanya.

(16)

4

terluas di dunia namun hanya memasok sedikit saja keperluan serat sabut kelapa di dunia. Selain itu pula, kontribusi komoditas kelapa nasional dalam neraca ekspor sangatlah kecil. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kontribusi sektor kelapa terhadap neraca ekspor tahun 2006-2010

Tahun Total Ekspor Ekspor Kelapa Persentase

US$ 1000 FOB US$ 1000 FOB

2006 100 796 520 264 979 0.36

2007 114 106 801 706 914 0.52

2008 137 020 424 944 185 0.69

2009 116 510 026 575 972 0.50

2010 157 779 104 790 613 0.50

Sumber: Badan Pusat Statistik dalam Coconut Year Book APCC (2010)

Berdasarkan pada Tabel 3, jelas bahwa hingga saat ini produk turunan kelapa masih sangat kecil kontribusinya terhadap neraca ekspor di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh produk agroindustri kelapa Indonesia yang masih sedikit (9 produk) jika dibandingkan dengan Filipina (22 produk) dan Srilangka (16 produk) (APCC 2011). Kurangnya hilirisasi produk turunan kelapa menyebabkan Indonesia memiliki daya saing yang rendah jika dibandingkan dengan kedua negara tersebut.

Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya jika mampu melakukan penambahan usaha pengolahan pasca panen produk-produk agroindustri kelapa pada sentra-sentra produksi kelapa nasional yang meliputi Provinsi Riau, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pengembangan ini dapat dilakukan dengan cara mengembangkan terlebih dahulu daerah-daerah dengan produksi kelapa yang tinggi di masing-masing provinsi tersebut.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Barat yang memiliki produksi kelapa tahunan cukup tinggi. Menurut Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2012), produksi kelapa di daerah tersebut mencapai 16 208.40 ton dengan luas areal perkebunan kelapa seluas 6 726.61 Ha. Daerah ini layak untuk dikembangkan menjadi sentra agroindustri kelapa di Provinsi Jawa Barat. Daerah produksi kelapa terbesar di Kabupaten Bogor pada Tabel 4.

Tabel 4 Daerah produksi kelapa terbesar di Kabupaten Bogor tahun 2012

Kecamatan Kelapa

Luas (Ha) Produksi (Ton)

Ciampea 485 760 1 167 880

Leuwiliang 466 560 1 059 680

Rumpin 404 100 997 650

Cibungbulang 463 410 983 030

Kalapa nunggal 367 950 923 220

Total 2 187 780 5 151 460

Total Produksi Kabupaten Bogor 6 726.61 16 208.4

(17)

5

Melihat peluang di atas maka perencanaan bisnis pengolahan serat sabut kelapa perlu untuk dikembangkan di Kabupaten Bogor. Pengembangan yang dimaksud meliputi aspek pemasaran dengan melihat pasar potensial, aspek produksi yang berkaitan erat dengan kualitas dan kontinyuitas produk, aspek manajemen organisasi yang memungkingkan setiap anggota organisasi memperoleh hak yang sama, aspek kemitraan yang memungkinkan intergrasi vertikal maupun horizontal, aspek manajemen risiko yang memungkinankan minimalisasi risiko yang ada, dan aspek finansial yang berdasarkan pada strategi unit usaha dalam membuat bisnis yang akan dijalankannya bersifat layak dan menguntungkan. Dengan adanya perencanaan bisnis, maka sebuah unit bisnis sabut kelapa akan berjalan lebih baik. Analisis kelayakan usaha perlu dilakukan agar banyak investor yang tertarik guna mengembangkan industri hilir serat sabut kelapa di Indonesia yang hingga saat ini rata-rata didominasi oleh usaha kecil dan menengah.

Pendekatan wirakoperasi merupakan salah satu langkah konkret guna membangun kesadaran bersama akan pentingnya koperasi diantara para petani kelapa guna mengembangkan produknya agar memiliki bargaining power yang lebih baik. Pendekatan ini memungkinan lebih banyak pihak yang diuntungkan seperti petani kelapa, wirakop, koperasi, dan investor. Pendekataan ini juga memungkinkan suatu unit usaha melakukan kemitraan vertikal maupun horizontal secara mudah seperti pemasaran produk dan perolehan bahan baku produksi. Seorang wirakop akan terus berinovasi dan berkreasi dengan produknya agar produknya tersebut bisa diterima oleh konsumen. Selain itu pula, seorang wirakop akan memperoleh nilai tambah produk agribisnis yang dihasilkan oleh anggota koperasinya. Hal ini akan terlihat dengan ada tidaknya proses pasca panen pada sabut kelapa yang dihasilkan oleh petani kelapa di Kabupaten Bogor.

Petani sebenarnya bisa lebih diuntungkan jika melakukan proses pasca panen komoditas kelapa. Proses pasca panen pada dasarnya bertujuan untuk memberikan nilai tambah kepada produk agribisnis agar produk tersebut memiliki posisi tawar yang lebih menguntungkan ditingkat petani. Proses pasca panen kelapa perlu untuk dikembangkan mengingat peluang pasar yang sangat besar dan menguntungkan bagi petani di Indonesia kedepannya. Salah satu langkah yang perlu dikembangkan adalah proses pasca panen serat sabut kelapa sehingga memenuhi standar pasar internasional. Untuk itulah diperlukannya perencanaan bisnis dengan pendekatan wirakoperasi. Perencanaan bisnis ini bertujuan untuk memberikan pedoman kepada seorang wirakop guna mempertajam rencana-rencana yang diharapkan. Bisnis yang sukses, sebagian besar dimulai dengan adanya perencanaan bisnis terlebih dahulu, untuk itulah mengapa perencanaan bisnis dengan pendekatan wirakoperasi sangat penting untuk dikembangkan. Dengan adanya perencanaan pula, seorang wirakop juga dapat menentukan keuntungan maupun kerugian yang akan dialami ketika mengambil sebuah keputusan tertentu selama menjalankan bisnis di atas.

(18)

6

pemasok kepada koperasi, dari koperasi kepada unit bisnis pengolahan serat sabut kelapa, dan dari unit bisnis tersebut ke industri atau pasar internasional sebagai bahan baku industri otomotif dan manufaktur lainnya. Selain itu pula, petani akan lebih diuntungkan karena mempunyai pasar yang jelas dan petani juga diuntungkan karena adanya proses pasca panen produknya, terutama sabut kelapa yang merupakan hasil turunan dari komoditas kelapa.

Adanya perencanaan bisnis dengan pendekatan wirakoperasi diharapkan para petani kelapa di Kabupaten Bogor akan lebih terpacu bukan hanya dalam pengembangan produksi kelapa di daerahnya, namun juga para petani terpacu dalam mengembangkan produk turunan kelapa yakni serat sabut kelapa sebagai salah satu komoditas unggulan ekspor Indonesia dimasa yang akan datang. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengapa bisnis pengolahan serat sabut kelapa kurang berkembang di Indonesia?

2. Model bisnis seperti apa yang tepat dikembangkan untuk usaha pengolahan serat sabut kelapa di Kabupaten Bogor?

3. Faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan bisnis serat sabut kelapa di Kabupaten Bogor?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan dapat mencapai tujuan sebagai berikut.

1. Menganalisis penyebab kurang berkembangnya industri pengolahan serat sabut kelapa nasional.

2. Merancang model ataupun rencana bisnis serat sabut kelapa agar dapat memberikan keuntungan sosial maupun finansial di Kabupaten Bogor.

3. Menindentifikasi faktor-faktor apa saja yang diperhatikan dalam merancang rencana bisnis sabut kelapa dengan pendekatan wirakoperasi guna meningkatkan kesejahteraan petani di Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi petani, sebagai informasi mengembangkan skala usaha pengolahan limbah sabut kelapa sebagai bahan baku jok kendaraan, kasur, bantal, hardboard, serat berkaret, dan lain sebagainya.

2. Bagi penulis, untuk mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari serta sebagai sarana pembuatan rencana bisnis dalam pengembangan unit bisnis sabut kelapa sebagai bahan baku industri terkait dengan pendekatan wirakoperasi.

3. Bagi akademisi, sebagai informasi dan bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya.

(19)

7

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan membahas usaha pengolahan serat sabut kelapa sebagai salah satu upaya memanfaatkan limbah kelapa dengan menggunakan pendekatan perencanaan bisnis berbasis wirakoperasi yang akan didirikan di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Lokasi dipilih berdasarkan kedekatan dengan bahan baku produksi. Perencanaan bisnis yang dilakukan berupa upaya pengolahan serat sabut kelapa menjadi coconut fibersheet untuk kebutuhan ekspor nasional dengan standar mutu sesuai dengan standar nasional indonesia (SNI). Data yang digunakan merupakan estimasi produksi kelapa di Kabupaten Bogor. Pembahasan dalam perencanaan bisnis hanya meliputi bisnis serat sabut kelapa yang diasumsikan sebagai unit usaha koperasi. Tidak dijelaskan secara lebih rinci mengenai anggaran untuk mengumpulkan petani dan proses sosialisasi kepada petani menggunakan manajemen koperasi. Kegiatan perdagangan dilakukan ke pasar internasional dengan cara ekspor. Ekspor dilakukan melalui pendekatan Free On Board (FOB) untuk negara tujuan ekspor yang meliputi Uni Eropa, Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Aspek perencanaan bisnis yang dianalisis meliputi aspek pasar, aspek produksi, aspek organisasi, dan manajemen sumber daya manusia, aspek kerjasama kooperatif atau kemitraan, dan aspek finansial. Sebagian besar aspek yang dianalisis menggunakan pendekatan berdasarkan hasil penelitian pada CV Serat Kelapa di Kecamatan Cilodong Kota Depok pada tahun 2014 hingga 2015.

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian Mengenai Serat Sabut Kelapa

Serat sabut kelapa merupakan bagian terbesar kelapa yang mencakup 35 persen total bobot kelapa itu sendiri (Bank Indonesia 2004)2. Dalam dunia perdagangan serat sabut kelapa dikenal sebagai coco fiber, coir fiber, coir yarn, coir mats, dan rugs yang merupakan produk olahan sabut kelapa. Secara tradisional dimanfaatkan sebagai bahan pembuat sapu, keset dan alat-alat rumah tangga lainnya. Sedangkan di era teknologi ini, serat sabut kelapa dapat dimanfaatkan sebagai karpet, jok kendaraan, kasur, bantal, hardboard, dan lain sebagainya (Sitohang et al. 2003). Produk olahan sabut kelapa yang memiliki nilai ekonomi tinggi di Vietnam terkenal dengan nama geotextile sedangkan di Filipina dikenal dengan nama produk ecomat, ecolog, dan twine yang digunakan untuk mencegah erosi tanah pada kontruksi jalan bertopografi miring (Palakasi 2013).

2

(20)

8

Penelitian Mengenai Aspek Rencana Bisnis Aspek Pemasaran

Menurut Arancon (2011) serat sabut kelapa di Indonesia mempunyai harga yang amat rendah dalam pasar dunia jika dibandingkan dengan Srilangka dan India. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5 Harga produk kelapa (US$/MT)

Product/Country 2011 2011 2010 2010

July June July Annual Ave.

Coir fiber

Sri Lanka (Mattress/Short Fiber) 280 264 194 184

Sri Lanka (Bristle 1 tie) 524 501 308 317

Sri Lanka (Bristle 2 tie) 682 639 502 495

India (Geotextile) 1 700 1 700 1 350 1 303

Indonesia (Mixed Raw Fiber) 340 340 225 246

Sumber: The Cocommunity (2011)

Penyebab rendahnya harga serat sabut kelapa di pasar dunia karena produk kelapa Indonesia masih lemah dan kelemahan itu disebabkan oleh tingkat harga yang cenderung terus berfluktuasi dan menurun. Hal ini juga disebabkan peran Indonesia dalam perdagangan di pasar dunia yang hanya berperan sebagai penerima harga (Muslim 2006).

Guna menjamin pemasaran serat sabut kelapa sebagai salah satu produk agroindustri kelapa di pasar dunia maka diperlukan strategi yang mengutamakan bahan baku dan kesesuaian jenis agroindustri yang dikembangkan, kerjasama antara agroindustri rakyat dengan agroindustri sedang dan besar; dan guna meminimalkan biaya produksi, lokasi produksi harus dekat dengan sumber bahan baku industri namun juga perlu memperhatikan infrastruktur yang menunjang dan memadai (Mahmud dan Ferry 2005).

(21)

9

Aspek Produksi

Dalam kajian Waney dan Tujuwale (2002), pengolahan serat sabut kelapa yang menggunakan teknologi memberikan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengolahan secara tradisional. Sedangkan menurut Probowati (2011), serat sabut kelapa merupakan produk turunan dari sabut kelapa yang mengalami pemrosesan yang sangat panjang. Proses tersebut meliputi pengumpulan sabut kelapa, kemudian dilakukan pemotongan yang menghasilkan potongan ujung sabut. Setelah itu, dilakukan perendaman melalui media air selama 3 hari dengan penambahan air. Hal ini dilakukan guna mempermudah pemisahan serat dengan gabus. Penirisan dilakukan guna memudahkan penguraian sabut. Pelunakan dilakukan dengan cara sabut dipukul-pukul hingga menjadi lebih terurai. Hasil sampingan dari proses ini adalah gabus. Penguraian serat merupakan tahap selanjutnya guna memisahkan serat dengan gabus. Hasil sampingan dari proses ini adalah adanya butiran gabus. Tahap selanjutnya adalah sortasi melalui pengayakan yang berfungsi untuk memisahkan serat dengan sisa-sisa butiran gabus. Setelah proses tersebut maka proses selanjutnya adalah proses pembersihan yang tujuannya sama dengan proses sortasi yaitu untuk memisahkan serat dengan sisa-sisa butiran gabus. Terakhir dilakukan pengeringan dengan cara penjemuran di bawah terik matahari (skala tradisional). Setelah kering, serat sabut kelapa dipres dan selanjutnya dilakukan pengepakan.

Aspek Organisasi dan Manajemen

Fungsi manajemen terdiri dari lima fungsi dasar, yaitu perencanaan, pengorganisasian, motivasi, penunjukan staf, dan pengendalian. Perencanaan merupakan segala bentuk aktivitas yang berhubungan dengan masa depan. Pengoranisasian merupakan semua aspek menajerial yang menentukan struktur tugas dan wewenang. Motivasi berhubungan dengan aspek komunikasi, kerjasama, delegasi wewenang, pemenuhan kebutuhan, perubahan organisasi, kepuasaan kerja, moral karyawan dan manajerial. Penunjukan staf meliputi pengelolaan sumber daya manusia dalam perusahaan yang berkaitan dengan wawancara penerimaan, pelatihan dan pengembangan karyawan, upah dan gaji serta tunjangan karyawan. Sedangkan pengendalian berkaitan erat dengan semua aktivitas manajerial yang diarahkan pada kekonsistenan dalam mencapai tujuan perusahaan (Junardi 2012).

Aspek Kerjasama Kooperatif

(22)

10

Kajian yang dilakukan Baga (2003) mengenai Pengembangan Agribisnis Persusuan di Indonesia, Seorang wirakop yang bernama Daman Danuwidjaja mengorganisasikan para peternak yang ada di kawasan Bandung Selatan untuk mendirikan koperasi susu guna melawan tengkulak dan peternak yang dominan. Daman Danuwidjaja merupakan salah satu contoh wirakop di Indonesia karena menemukan peluang dalam berkoperasi dan mewujudkannya dalam bentuk kesempatan usaha yang menguntungkan anggota koperasinya. Berdirinya Koperasi Peternak Bandung Selatan merupakan awal Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) yang menandai babak baru perkoperasian di Indonesia kala itu. Kaitannya dengan upaya memperbesar usaha pengolahan serat sabut kelapa adalah dengan mendirikan koperasi akan lebih banyak petani kelapa yang sejahtera kehidupannya seperti dengan apa yang terjadi pada peternak sapi di Bandung Selatan, dimana para peternak sapi di daerah tersebut venderung lebih sejahtera kehidupannya setelah bergabung dengan GKSI.

Kajian yang dilakukan Fajrian (2013) mengenai Peran Wirakoperasi dalam Pengembangan Agribisnis Tanaman Hias CV Bunga Indah Farm Kabupaten Sukabumi, diperoleh fakta bahwa karakter wirakop digambarkan sebagai locus of control internal, mempunyai motivasi sosial, orientasi berprestasi yang tinggi, dan memiliki altruisme tinggi. Hal ini memberikan perubahan yang signifikan dalam memunculkan mata pencaharian baru untuk banyak pihak. Selain itu, dengan konsep wirakoperasi pula, ternyata lebih banyak petani yang sejahtera ketika bermitra dengan CV Bunga Indah Farm.

Kajian yang dilakukan Arviani (2014) mengenai Rencana Pengembangan Usaha Selai Belimbing melalui Pendekatan Wirakoperasi pada KUB Harapan Sejahtera Abadi di Kota Depok, diperoleh simpulan bahwa dengan adanya peran wirakop, buah belimbing dewa yang sebelumnya terdiri dari grade A, grade B, dan grade C dimana grade C cenderung tidak dimanfaatkan ternyata lebih menguntungkan jika diolah menjadi selai belimbing setelah KUB Harapan Sejahtera Abadi mendapatkan masukan dari wirakop tersebut. Selain itu pula pemasarannya lebih baik.

Aspek Finansial

(23)

11

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Perencanaan Bisnis

Perencanaan bisnis merupakan suatu alat pengambil keputusan kebijakan perusahaan yang sangat penting bagi seorang pengusaha. Tujuan perencanaan bisnis adalah suatu kegiatan bisnis dapat berjalan sesuai jalur yang telah ditetapkan. Perencanaan bisnis juga merupakan pedoman dalam mempertajam rencana-rencana yang telah dibuat oleh seorang pengusaha sehingga dapat mengetahui dimana posisi perusahaan saat ini. perencanaan bisnis yang baik harus memuat tahap-tahap yang akan dilakukan guna menunjang berjalannya sebuah bisnis kedepannya. Perencanaan bisnis juga bisa menjadi alat pencarian dana/investasi guna menunjang suatu kegiatan bisnis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang (Rangkuti 2010).

Tahap Penyusunan Rencana Bisnis

Menurut Solihin (2007), formulasi penyusunan rencana usaha mencakup empat tahap utama sebagai berikut:

1. Tahap Ide Usaha (Business Idea)

Pada dasarnya ide usaha muncul dari peninjauan lingkungan yang dilakukan oleh pengusaha terhadap peluang usaha yang ada di lingkungannya. Proses perencanaan bisnis sebagai suatu proses manajemen strategis, penyusunan rencana bisnis diawali dengan peninjauan terhadap lingkungan internal dan eksternal perusahaan. Contohnya adalah (a) peninjauan lingkungan terhadap usaha yang berhasil; (b) peninjauan lingkungan terhadap kebutuhan konsumen yang belum dipenuhi; (c) peninjauan lingkungan terhadap kelemahan produk saat ini dan (d) peninjauan lingkungan dengan menggunakan tolak ukur.

2. Tahap Perumusan Konsep Usaha (Business Concept)

Konsep usaha merupakan penjabaran suatu ide usaha atau bisnis dalam dimensi-dimensi yang lebih relevan. Pada tahap ini, perusahaan/pengusaha harus melakukan analisis situasional, yaitu suatu proses penentuan peluang di lingkungan eksternal perusahaan dan kekuatan internal perusahaan itu sendiri. Pada saat yang sama juga ditentukan apa saja dampak dari ancaman di luar perusahaan yang ditemukan dan memperbaiki kelemahan internal perusahaan. 3. Tahap Studi Kelayakan Usaha (Feasibility Study)

(24)

12

aspek yang menunjang operasional perusahaan dalam berproduksi. Hal ini terkait dengan kelangsungan pasokan bahan baku, pengggunaan teknologi, dampak operasional perusahaan terhadap lingkungan dan lain sebagainya.

4. Tahap Penyusunan Rencana Bisnis

Konsep usaha yang akan dibuatkan rencana bisnis adalah konsep usaha yang dinyatakan layak dalam tahap studi kelayakan bisnis. Adapun komponen – komponen rencana bisnis yang akan dibuat oleh perusahaan/pengusaha meliputi: a. Visi, misi, tujuan, strategi, dan kebijakan suatu usaha baru.

b. Manajemen perusahaan.

c. Struktur organisasi, budaya perusahaan, dan sumber daya utama perusahaan. d. Proyeksi kinerja perusahaan, yang meliputi perhitungan titik impas, perkiraan penjualan, perkiraan harga pokok produksi, laporan laba rugi, laporan arus kas dan payback periode.

Isi Rencana Bisnis

Menurut Solihin (2007), meskipun terdapat banyak variasi dalam penyusunan suatu rencana bisnis, sekurang-kurangnya terdapat tujuh elemen pokok rencana bisnis, yaitu:

1. Ringkasan eksekutif yang memuat rencana bisnis keseluruhan baik menyangkut tujuan usaha, strategi usaha, tujuan penyusunan rencana bisnis, uraian umum usaha, rencana pemasaran, rencana produksi, rencana keuangan dan risiko-risiko di masa depan.

2. Uraian umum usaha yang dijalankan, meliputi: a. Usaha apa yang dijalankan.

b. Tujuan yang ingin dicapai perusahaan.

c. Proyeksi usaha dan perkembangan usaha perusahaan di masa mendatang. d. Target pasar perusahaan.

e. Nilai yang ditawarkan perusahaan kepada pasar sasaran untuk dapat meraih keunggulan bersaing.

f. Lokasi usaha tersebut akan dijalankan.

g. Orang-orang yang akan menjalankan usaha tersebut.

h. Bentuk badan usaha/badan hukum yang dipilih perusahaan untuk bisnis yang akan dikembangkan.

i. Fungsional manajemen perusahaan yang akan dikembangkan.

3. Rencana pemasaran yang menjelaskan mengenai pasar sasaran dan bauran pemasaran yang dibuat oleh perusahaan guna memenuhi kebutuhan konsumen, anggaran penjualan dan lain sebagainya.

4. Rencana produksi yang menjelaskan mengenai proses produksi, kualifikasi produk, pasokan bahan baku, pertimbangan pemilihan lokasi pabrik, anggaran produksi, dan lain sebagainya.

5. Rencana keuangan yang menyangkut ekspektasi laba dari usaha yang akan berjalan, proyeksi arus kas, dan lain sebagainya.

6. Rencana sumber daya manusia yang berisi jumlah karyawan yang dibutuhkan, spesifikasi kerja masing-masing karyawan berdasarkan pengetahuan, pengetahuan dan keterampilan.

(25)

13

Rencana Pemasaran

Menurut Stanton dalam Umar (2003), pemasaran merupakan keseluruhan sistem yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan usaha, yang memiliki tujuan untuk menentukan perencanaan, penetapan harga, promosi, dan pendistribusian produk kepada pembeli baik aktual maupun potensial. Sedangkan menurut Paulson (2003), pemasaran terdiri dari strategi-strategi yang membantu perusahaan/pengusaha untuk memahami kebutuhan, penentuan harga, serta penjualan yang efisien kepada konsumen. Kegiatan pemasaran yang spesifik terkait dengan riset pasar, pengembangan definisi produk, analisis-analisis tingkat penentuan harga, penciptaan material pemasaran dan alat bantu penjualan, hubungan masyarakat serta dukungan penjualan.

Tujuan utama analisis strategi pemasaran adalah untuk mengetahui dukungan apa saja yang diperlukan agar pelanggan potensial mau membeli produk yang ditawarkan. Perusahaan atau sebuah usaha harus mengetahui segmen pasar yang paling potensial, menentukan target pasar dan melakukan positioning terhadap produk yang perusahaan tersebut produksi untuk ditawarkan kepada pelanggan (Rangkuti 2005).

Pasar terdiri dari banyak sekali pembeli yang berbeda-beda dalam beberapa hal, baik dalam keinginan, kemampuan keuangan, lokasi, sikap, dan lain sebagainya. Dari perbedaan-perbedaan tersebut dapat ditarik segmen pasar. Beberapa variabel utama dalam segmentasi pasar meliputi geografis, demografis, psikografik, dan perilaku (Umar 2003). Komponen-komponen utama tiap variabel tersebut yakni:

1. Komponen Geografis meliputi: a. Bangsa

b. Negara c. Provinsi

d. Kabupaten/Kotamadya

2. Komponen Demografis meliputi: a. Usia dan tahap daur hidup b. Jenis kelamin

c. Pendapatan

3. Komponen Psikografis meliputi: a. Kelas sosial

b. Gaya hidup c. Kepribadian

4. Komponen Perilaku meliputi: a. Manfaat yang dicari b. Status pengguna c. Status kesetiaan

d. Tahap kesiapan pembeli e. Sikap

(26)

14

yang dipilih; dan (3) menentukan sasaran serta sumber daya yang dimiliki perusahaan guna menjangkau target pasar yang telah ditetapkan (Umar 2003).

Setelah perusahaan/pengusaha memutuskan target pasar, hal selanjutnya yang harus dilakukan oleh perusahaan/pengusaha tersebut adalah menentukan posisi pasar. Untuk menentukannya ada tiga langkah: (1) mengidentifikasi keunggulan kompetitif; (2) memilih keunggulan kompetitif; dan (3) mewujudkan dan mengkomunikasikan posisi kepada konsumen sasaran.

Menurut Asmarantaka (2012), pemasaran agribisnis yang efisien terjadi apabila terdapat indikator-indikator antara lain: (1) meningkatkan atau menciptakan value added yang tinggi pada produk agribisnis; (2) menghasilkan keuntungan bagi perusahaan/pengusaha yang terlibat terhadap biaya investasi yang telah dikeluarkannya; (3) marketing margin yang relatif sesuai dengan aktivitas bisnis yang meningkatkan kepuasaan dalam sisi konsumen dan (4) farmer share yang diterima produsen menyebabkan produsen berproduksi dalam tingkat usahataninya.

Rencana Produksi

Menurut Heizer dan Render dalam Solihin (2007), manajemen produksi/operasi merupakan serangkaian aktivitas yang terkoordinasi dalam menciptakan barang dan jasa melalui transformasi input menjadi output. Terdapat sepuluh keputusan yang merupakan beberapa aspek penting dalam manajemen produksi/operasi, sehingga diperlukan analisis mendalam dari perusahaan/pengusaha yang akan bergerak dalam hal produksi manufaktur.

1. Keputusan dalam hal kualitas produk

Kualitas suatu produk dapat ditinjau melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan berdasarkan pengguna (user based approach), dalam hal ini kualitas produk dirumuskan sebagaimana dirasakan oleh pengguna produk tersebut. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan berdasarkan manufaktur (manufacture based approach), dalam hal ini mutu produk ditentukan oleh kesesuaian spesifikasi produksi yang telah ditetapkan dalam bentuk standar yang baku.

2. Desain barang dan jasa

Desain barang dan jasa bukan hanya menentukan proses produksi yang akan berlangsung, namun juga menentukan besarnya biaya produksi, bahan baku produksi, sumber daya manusia yang dibutuhkan dan kualitas barang yang akan diproduksi oleh pabrik.

3. Desain proses dan kapasitas

Proses produksi dipengaruhi oleh jenis produk yang dihasilkan oleh pabrik. Untuk produksi yang bersifat masal, pabrik akan menggunakan proses produksi kontinyu (continues processes). Sedangkan untuk produksi yang bersifat pesanan (job order), maka pabrik akan menggunakan proses produksi yang terputus-putus (intermitten processes).

4. Penentuan Lokasi

(27)

15 merupakan pendekatan yang memperhitungkan faktor satuan numerik. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah melalui metode pusat gravitasi (center of gravity). Metode ini digunakan untuk menentukan lokasi pabrik yang meminimalkan biaya distribusi.

5. Sumber daya manusia dan desain pekerjaan

Desain pekerjaan meliputi muatan pekerjaan (job content), uraian pekerjaan (job description), tugas yang dilaksanakan (task), wewenang (authority), dan tanggung jawab (responsibility).

6. Manajemen rantai pasokan

Untuk memperoleh harga jual produk yang kompetitif di pasar, perusahaan harus membuat keputusan, produk mana yang harus dibuat oleh perusahaan itu sendiri dan produk mana yang harus dibeli atau dibuat oleh perusahaan lain (outsourcing).

7. Persediaan

Persediaan untuk proses produksi pabrik meliputi persediaan bahan baku, bahan pembantu, barang setengah jadi, dan barang jadi.

8. Penjadwalan

Pembuatan jadwal produksi yang layak dan efisien dengan mempertimbangkan berbagai faktor sesuai permintaan konsumen antara dan konsumen akhir yang selalu berfluktuasi pada periode tertentu.

9. Perawatan

Perawatan peralatan produksi secara berkala dapat mengurangi frekuensi perbaikan mesin secara menyeluruh yang memakan biaya tinggi dan mengganggu jadwal produksi pabrik.

10. Anggaran produksi

Bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur harus membuat anggaran produksi yang menunjukkan jumlah barang yang akan diproduksi pada setiap periode tertentu. Anggaran produksi sendiri akan menentukan anggaran bahan baku langsung, anggaran buruh langsung, dan anggaran biaya manufaktur tak langsung.

Rencana Keuangan

Menurut Solihin (2007), sebagai besar rencana bisnis merupakan rencana usaha baru. Akibatnya analisis keuangan yang digunakan kebanyakan berasal dari proyeksi keuangan dan bukan berdasarkan data keuangan historis. Proyeksi keuangan yang dibuat oleh perusahaan/pengusahan meliputi arus kas, laporan laba rugi, dan neraca. Adapun proyeksi keuangan yang akan dibuat oleh perusahaan/pengusaha meliputi:

1. Menghitung kebutuhan modal awal

Menurut Umar (2003), ada beberapa sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dana perusahaan. Sumber modal tersebut terdiri dari sumber intern, sumber ekstern yang merupakan dana pinjaman baik pinjaman jangka pendek, pinjaman jangka menengah ataupun pinjaman jangka panjang, dan yang terakhir adalah sumber modal sendiri.

(28)

16

sangat penting karena merupakan dasar dalam menentukan estimasi penjualan per tahun dalam jumlah uang tertentu. Besaran perkiraan penjualan ditentukan oleh berbagai faktor dalam rencana pemasaran. Untuk itulah penting dilakukan perhitungan mengenai cost-volume-profit analysis atau break even point (BEP) guna mengetahui kemampuan laba usaha yang akan dijalankan. Adapun rumus BEP sendiri dapat dilihat di bawah ini:

Keterangan:

1) FE adalah fixed expenses

2) GM adalah gross margin as a percentage of sales

2. Penyusunan laporan arus kas

Laporan arus kas memberitahukan mengenai arus kas masuk (cash inflow) dan arus kas keluar (cash outflow). Arus kas sendiri menggambarkan tiga aktivitas yaitu arus kas yang berasal dari kegiatan operasional perusahaan, arus yang berasal dari kegiatan pembelanjaan dan arus kas yang berasal dari kegiatan investasi.

Guna menyusun laporan arus kas, laporan laba rugi, dan neraca, terdapat dua skenario yang dapat digunakan oleh perusahaan/pengusaha. Pertama adalah metode langsung (direct method), perusahaan dapat menyusun laporan keuangannya terlebih dahulu seperti laporan aliran kas, neraca dan diakhiri laporan laba rugi. Kedua adalah metode tak langsung (indirect method). Penyusunannya berdasarkan enam langkah penyusunan keuangan menurut Stickney et al. dalam Solihin (2007).

Assets = liabilities + shareholder’s equity 3. Penyusunan neraca

Neraca sendiri terdiri atas aset, utang atau liability, dan net worth (owner’s equity). Untuk menyusunnya, dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode analisis akuntansi.

4. Penyusunan laporan laba rugi

Laporan laba rugi menunjukkan proyeksi laporan pendapatan untuk beberapa periode mendatang (tahun atau bulan mendatang). Laporan ini juga menginformasikan penerimaan dan pengeluaran dalam periode tersebut.

Rencana Sumber Daya Manusia

Perencanaan tenaga kerja merupakan salah satu cara menetapkan keperluan tenaga kerja pada suatu periode tertentu. Hal ini dilakukan guna menghindari kelangkaan tenaga kerja maupun kelebihan tenaga kerja yang dibutuhkan. Menurut Umar (2003), ada tiga macam model guna menentukan tenaga kerja, yaitu:

1. Perencanaan dari atas ke bawah

(29)

17 tenaga kerja dapat disimulasikan dengan melihat pengaruh perubahannya terhadap laba perusahaan.

Rumus:

Keterangan:

a. AVC = average variable cost b. n = 1,2,3, ...

c. x = ketetapan perusahaan (misal 10,20,30, dst) 2. Perencanaan dari bawah ke atas

Proses ini melibatkan kelompok kecil yang menghasilkan taksiran tenaga kerja yang dibutuhkan pada periode tertentu sedangkan keputusan akhir ditentukan oleh perusahaan dan divisi yang membutuhkan pegawai tersebut. 3. Ramalan

Proses ini dilakukan dengan meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja yang ada sekarang, mengingat banyaknya turn over karyawan setiap periodenya.

Rencana Manajemen Risiko

Menurut Dollinger dalam Solihin (2007), beberapa risiko potensial yang akan dihadapi usaha – usaha baru meliputi sebagai berikut:

1. Kegagalan menghasilkan produk dan layanan yang dijanjikan. 2. Kegagalan berproduksi sesuai jadwal atau peramalan penjualan. 3. Masalah dengan pemasok dan distributor.

4. Kejadian tidak terduga dalam bidang politik, ekonomi, sosial, teknologi, dan lingkungan ekologi.

5. Tren industri yang tidak terduga.

6. Kegagalan untuk bertahan dalam persaingan dengan pesaing yang mempunyai sumber daya yang lebih baik.

7. Masalah manajemen yang belum teruji dan belum berpengalaman. 8. Masalah teknologi yang belum teruji dan tidak dikembangkan. 9. Kesulitan meningkatkan tambahan pembiayaan.

Proses manajemen risiko merupakan proses yang terus menerus. Proses ini dimulai dengan mengidentifikasi dan menaksir risiko, kemudian menetapkan kebijakan dan memonitor risiko, selanjutnya melaksanakan kebijakan dan mengatur risiko, dan terakhir memperkenalkan dan menguji rencana jika terjadi hal yang tak terduga (Umar 2003).

Menurut Scarborough dan Zimmerer dalam Solihin (2007) ada empat metode yang digunakan perusahaan/pengusahan dalam mengelola risiko. Metode pengelolaan tersebut meliputi: 1) menghindari risiko, 2) mencegah kerugian, 3) mengurangi kerugian, dan 4) transfer risiko.

Peran Wirakoperasi

(30)

18

anggotanya. Tak hanya itu, seorang wirakop juga akan terus berupaya, berkreasi dan berinovasi dalam memperoleh nilai tambah bagi produk agribisnis yang dihasilkan oleh anggota koperasi yang bersangkutan. Hal ini akan dibuktikan dengan berkembangnya hilirisasi pada produk-produk agroindustri. Dimana perkembangan agroindustri akan berdampak positif terhadap bukan hanya kepada sub sistem pemasaran, namun juga pada sub sistem lainnya seperti sub sistem usahatani serta sub sistem input produksi.

Kerangka Pemikiran Operasional

Kerangka pemikiran operasional digunakan untuk menjelaskan langkah-langkah dalam penelitian. Kerangka pemikiran operasional dimulai dengan mengindentifikasi masalah yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian ini yaitu ketidakmampuan Indonesia dalam melakukan pengelolaan industri hilir serat sabut kelapa dalam menunjang kebutuhan serat sabut kelapa di kancah dunia. Salah satu penyebabnya adalah tidak banyak petani kelapa di Indonesia yang mempunyai pengetahuan terkait dengan pengolahan serat sabut kelapa baik dalam hal teknis maupun operasionalnya. Untuk itulah diperlukan adanya pendekatan wirakoperasi dalam menyelesaikan permasalahan ini.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan upaya pengambilan data baik primer maupun sekunder sebagai langkah selanjutnya. Data primer didapatkan dengan cara wawancara langsung kepada petani kelapa dan perusahaan/pengusaha serat sabut kelapa. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai literatur dan referensi ilmiah dari berbagai lembaga terkait.

Dari pengumpulan data tersebut, kemudian dilakukan analisis non finansial dan analisis finansial. Analisis non finansial terdiri dari aspek pemasaran, aspek produksi, aspek produksi, aspek manajemen, dan aspek kemitraan. Sedangkan analisis finansial terdiri dari BEP, NPV, Gross B/C, Net B/C, IRR, payback periode, laporan laba rugi dan arus kas. Proses terakhir adalah penyusunan rencana bisnis dengan pendekatan wirakoperasi. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 1.

(31)

19

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor. Penelitian melibatkan petani kelapa, BP4K Wilayah Leuwiliang, UPTD Pertanian Kecamatan Ciampea dan CV Serat Kelapa yang ada di Kecamatan Cilodong, Depok. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan mempertimbangkan tempat tersebut memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan dan lokasi yang strategis untuk kelancaran penelitian ini. penelitian dilakukan pada bulan Desember 2014 sampai Februari 2015 untuk pengambilan data.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari keterangan kegiatan usaha yang dilakukan oleh petani mengenai keadaan usaha dan perkembangan usaha yang dilakukan serta data lain yang berkaitan dengan penelitian. Data kuantitatif diperoleh dari hasil produksi, jumlah penjualan, harga produk dan data lain yang berkaitan dengan penelitian.

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara dengan perusahaan/pengusahan serat sabut kelapa, petani kelapa, serta beberapa lembaga terkait seperti UPTD dan BP4K. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perdagangan, perpustakaan, internet dan literatur yang relevan dengan penelitian.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan observasi, wawancara mendalam, dan diskusi kepada para petani kelapa di Kabupaten Bogor, pihak BP4K, pihak UPTD dan perusahaan/pengusaha serat sabut kelapa. Informasi tersebut dianalisis dan kemudian dirumuskan sebagai dasar pembuatan rencana bisnis serat sabut kelapa.

Observasi dilakukan selama beberapa kali di CV Serat Kelapa di Kecamatan Cilodong Kota Depok untuk melihat proses produksi yang berjalan, tata letak bangunan pabrik dan kantor, mesin dan peralatan yang digunakan, serta pencatatan komponen biaya operasional lainnya.

Wawancara mendalam dilakukan dengan cara mewawancarai petani kelapa di Kabupaten Bogor, pihak BP4K, pihak UPTD, dan pihak CV Serat Kelapa guna memperoleh data mengenai produksi kelapa para petani tersebut, harga kelapa di tingkat petani, serta mengetahu proses dan bahan baku yang dibutuhkan dalam usaha pengolahan serat sabut kelapa.

(32)

20

Umar MM) dan beberapa instansi pemerintahan (BPS Kabupaten Bogor, BPS Pusat, Kementerian Perdagangan) guna memperoleh informasi mengenai pembuatan perencanaan bisnis yang baik dan benar dengan menggunakan pendekatan wirakoperasi.

Metode Analisis Data

Data yang bersifat kualitatif dianalisis untuk mengkaji aspek non finansial meliputi aspek pasar, aspek produksi, aspek organisasi dan sumber daya manusia, serta aspek kemitraan. Data yang bersifat kuantitatif dianalisis untuk mengkaji, laporan arus kas dan laba rugi. Data diolah menggunakan microsoft excel 2010.

Aspek Non Finansial

a. Aspek Pasar

Analisis terhadap aspek pasar potensial merupakan aspek utama yang dipertimbangkan oleh investor dalam memperebutkan konsumen. Sebuah bisnis yang layak secara teknis maupun finansial tak akan berarti apa – apa jika keberadaan pasar potensial tidak diketahui sebelumnya. Beberapa hal yang perlu dicermati dalam analisis pasar potensial meliputi:

1. Permintaan, baik secara total maupun terperinci berdasarkan daerah, jenis konsumen, dan perusahaan besar pemakai

2. Penawaran, meliputi penawaran dalam dan luar negeri terhadap produk perusahaan

3. Harga, dilakukan perbandingan dengan produk dalam negeri maupun produk impor dari luar negeri

4. Program pemasaran, meliputi marketing mix (bauran pemasaran) dan product life cycle

5. Perkiraan penjualan, meliputi market share yang bisa dikuasai perusahaan

b. Aspek Produksi

Aspek produksi merupakan suatu aset yang berkaitan dengan pembangunan bisnis secara teknis maupun operasionalnya. Dalam aspek ini pula dapat diketahui rancangan awal biaya investasi untuk pendirian atau pengembangan usaha terkait. Beberapa hal yang terkait di dalam aspek produksi meliputi:

1. Lokasi bisnis, yang memiliki beberapa variabel utama seperti ketersediaan bahan baku, letak pasar yang dituju, tenaga listrik dan air, supply tenaga kerja dan fasilitas transportasi.

2. Luas produksi, merupakan jumlah produksi untuk mencapai keuntungan yang optimal. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan mencakup batas permintaan, ketersediaan kapasitas mesin-mesin, jumlag dan kemampuan tenaga kerja atau karyawan, kemampuan finansial dan manajemen bisnis, dan kemungkinan di masa depan terjadi perubahan teknologi produksi. 3. Proses produksi, terdiri dari proses produksi terputus-putus, kontinu dan

kombinasi.

(33)

21 5. Pemilihan jenis teknologi dan equipment.

c. Aspek Manajemen Organisasi, Hukum dan Sumber Daya Manusia

Aspek manajemen organisasi mempelajari tentang manajemen dalam tahap pembangunan bisnis dan dalam tahap masa operasinya. Manajemen selama tahap pembangunan bisnis meliputi individu pelaksana bisnis, jadwal penyelesaian bisnis tersebut dan pelaku studi kelayakan bisnis.

Aspek hukum berkaitan dengan legalitas bentuk badan usaha yang digunakan serta jaminan-jaminan yang diberikan apabila menggunakan sumber dana pinjaman, atau berasala dari berbagai akta, sertifikat maupun izin lainnya.

Aspek sumber daya manusia meliputi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, deskripsi dan spesialisasi kerja, stuktur organisasi, kewajiban dan wewenang, upah dan gaji serta kemitraan yang akan dibuat.

Aspek Finansial

a) Net Present Value (NPV)

NPV merupakan selisih antara total present value manfaat dengan present value biaya atau jumlah present value dari manfaat bersih tambahan selama umur bisnis. Suatu bisnis dikatakan layak jika NPV lebih besar dari nol (NPV>0) yang berarti bisnis menguntungkan atau memberikan manfaat. Adapun secara matematis NPV dirumuskan sebagai berikut:

Ketarangan:

Bt = Manfaat pada tahun ke t Ct = Biaya pada tahun ke t

t = Tahun kegiatan bisnis (t = 0,1,2,3, ..., n) i = Tingkat Discount Rate (%)

b) Gross Benefit-Cost Ratio (Gross B/C)

Gross B/C merupakan kriteria kelayakan yang biasa digunakan dalam analisis bisnis. Kriteria ini menggambarkan pengaruh tambahan biaya terhadap tambahan manfaat yang diterima. Bisnis dikatakan layak untuk dijalankan jika Gross B/C lebih besar dari satu (Gross B/C>1) dan bisnis dikatakan tidak layak untuk dijalankan jika nilainya lebih kecil dari satu. Adapun secara matematis Gross B/C dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

Bt = Manfaat pada tahun ke t Ct = Biaya pada tahun ke t n = Umur bisnis

(34)

22

Net B/C adalah rasion antara manfaat bersih yang bernilai positif dan manfaat bersih yang bernilai negatif. Suatu bisnis dikatakan layak apabila nilai Net B/C lebih besar dari satu (Net B/C>1) dan dikatakan sebaliknya jika kurang dari satu. Adapun secara matematis rumusnya sebagai berikut:

= Keterangan:

Bt = Manfaat pada tahun ke t Ct = Biaya pada tahun ke t i = Discount Rate (%) t = Tahun

d) Internat Rate of Return (IRR)

IRR merupakan tingkat discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan nol. IRR juga merupakan nilai seberapa besar pengembalian bisnis terhadap investasi yang telah ditanamkan. Sebuah bisnis dikatakan layak apabila IRR-nya lebih besar daripada DR. Adapun secara matematis dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

i1 = Discount rate yang menghasilkan NPV positif i2 = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif NPV1 = NPV positif

NPV2 = NPV negatif e) Payback Periode

Payback periode merupakan metode yang digunakan untuk mengukur seberapa cepat suatu investasi dapat kembali. Secara normatif tidak ada pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan payback maksimum. Adapun secara matematis, rumusnya seperti di bawah ini:

Keterangan:

I = Biaya invetasi yang diperlukan

Ab = Manfaat bersih yang diperoleh setiap tahun

GAMBARAN UMUM BISNIS

Profil Bisnis

Usaha pengolahan sabut kelapa menjadi serat sabut kelapa cetakan akan menjadi salah satu unit usaha koperasi di Kabupaten Bogor. Unit usaha yang direncanakan, akan didirikan di Jalan Raya Ciampea, Kabupaten Bogor yang

mempunyai nama “GreenTech Co-operation”.

(35)

23 kepada koperasi, kemudian koperasi mengolah sabut kelapa tersebut menjadi serat sabut kelapa (coco fiber) dan serbuk sabut kelapa (cocopeat). Selanjutnya produk serat sabut kelapa didistribusikan kepada GreenTech Co-operation untuk diolah menjadi serat sabut kelapa cetakan. Terakhir, GreenTech Co-operation akan memasarkan produknya berupa serat sabut kelapa cetakan kepada konsumen di luar negeri (ekspor). Sedangkan produk sampingannya yang berupa cocopeat akan dijual langsung kepada produsen pengolah serbuk sabut kelapa.

Dalam menjalankan usahanya, GreenTech Co-operation memiliki visi dan misi dalam menunjang kegiatan bisnisnya di masa depan. Visi menggambarkan tujuan di masa depan yang ingin dicapai oleh unit bisnis pengolahan serat sabut kelapa ini. Sedangkan misi adalah cara untuk mencapai visi tersebut. Adapun visi dan misi dari unit usaha ini meliputi:

Visi : Menjadi global market leader dalam bisnis pengolahan serat sabut kelapa yang menjunjung tinggi nilai – nilai kreativitas, inovasi, serta kontributif guna meningkatkan kesejahteraan anggota, bangsa, dan negara.

Misi :

1. Menjalankan usaha dengan prinsip dan nilai-nilai perkoperasian.

2. Meningkatkan peran aktif anggota dalam pertumbuhan dan perkembangan usaha.

3. Menyediakan produk bermutu tinggi dan good services terhadap pelanggan.

Gambaran Umum Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang terletak pada 6°18”0” – 6°47”10” Lintang Selatan dan 106°23”45” –

107°13”30” Bujur Timur, dengan luas wilayah mencapai 2 301.95 Km2 yang berbatasan langsung dengan sepuluh daerah yang meliputi:

a. Sebelah Utara : Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Depok

b. Sebelah Selatan : Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi

c. Bagian Tengah : Kota Bogor d. Sebelah Barat : Kabupaten Lebak

e. Sebelah Timur : Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Purwakarta.

Secara administrasi, berdasarkan Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor (2011), daerah ini memiliki 40 kecamatan, 17 kelurahan, 413 desa, 3 768 RW, dan 14 951 RT. Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor berdasarkan Sensus Penduduk (2011) sebanyak 4 763 209 jiwa yang sama dengan

(36)

24

11.07 persen dari jumlah penduduk keseluruhan Provinsi Jawa Barat (43 021 826 jiwa) yang menjadikannya sebagai jumlah penduduk terbesar di antara kabupaten atau kota se-Jawa Barat.

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson dalam Suharyanto (2005), iklim di Kabupaten Bogor dibagi menjadi dua, yaitu iklim tropis tipe A (sangat basah) di daerah bagian selatan dan iklim tropis tipe B (basah) di daerah bagian utara. Suhu rata-rata di Kabupaten Bogor berkisar antara 20°C hingga 30°C. Curah hujan tahunan berkisar antara 2 500 mm sampai lebih dari 5 000 mm/tahun dan ketinggian Kabupaten Bogor terbagi menjadi tiga kawasan, yaitu 1) daratan bergelombang (100 hingga 500 mdpl) di bagian tengah, 2) pegunungan (500 hingga 1 000 mdpl), dan 3) pegunungan tinggi dan daerah puncak (2 000 hingga 2 500 mdpl).

Tanaman kelapa dapat tumbuh dengan baik di daerah bagian tengah Kabupaten Bogor, mengingat suhu optimal untuk pertumbuhan dan tanaman ini yang berkisar antara 22°C hingga 26.3°C. Selain itu topografinya pun mendukung yaitu antara 0 hingga 600 mdpl (kawasan daratan bergelombang dan pegunungan)3. Hal ini menyebabkan produktivitas tanaman kelapa di Kabupaten Bogor cukup tinggi.

Tak banyak industri hilir tanaman kelapa di Kabupaten Bogor, khususnya serat sabut kelapa. Namun di Jawa Barat sudah ada beberapa perusahaan yang melakukan memanfaatkan serat sabut kelapa sebagai bahan baku industri. Perusahaan yang melakukan pengolahan serat sabut kelapa antara lain:

1. CV Serat Kelapa di Depok 2. PT Prima Sejahtera di Bekasi 3. PT Roesmetrik di Tangerang

4. PT Sukaraja Putra Sejati di Ciamis dan seterusnya.

ANALISIS SITUASIONAL

Analisis Five Forces Industri Serat Sabut Kelapa

Coconut fiber sheet adalah bahan baku jok kendaraan bermotor yang terbuat dari material serat sabut kelapa dengan tambahan poliuretan dengan komposisi 135 gram untuk poliuretan sebagai perekat dan 315 gram serat sabut kelapa sebagai bahan baku utama. Produk ini telah digunakan oleh banyak industri otomotif di dunia sehingga permintaan dunia terus meningkat. Indonesia belum mampu memenuhi permintaan tersebut disebabkan produk serat sabut kelapa Indonesia yang masih tidak memenuhi standar ekspor.

Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan India dan Srilangka yang telah menjadi supplier utama produk turunan sabut kelapa yang meliputi serat (serat panjang), bristle (serat pendek dan halus), dan debu sabut kelapa (coco

3

(37)

25 peat) di pasar internasional. Selain itu, industri pengolahan serat sabut kelapa nasional pun mengalami penurunan sebesar -10.2 persen (Deptan 2007).

Permasalahan agroindustri nasional pun sangat kompleks, mulai dari kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah pasar, finansial, infrastruktur, penelitian dan pengembangan, integrasi kedepan dan kebelakang, produksi, pengolahan dan lain sebagainya.

Pemain pada Industri Serat Sabut Kelapa

1. PT Meiwa Indonesia

PT Meiwa Indonesia merupakan supplier serat sabut kelapa untuk bahan baku jok kendaraan bermotor untuk PT Astra Daihatsu Motor Indonesia dan beberapa perusahaan otomotif yang berada di Jepang dan Cina selama beberapa tahun terakhir. PT Meiwa Indonesia bekerjasama dengan CV Serat Kelapa di Kecamatan Cilodong Kota Depok untuk keperluan bahan baku produksinya. Setiap bulannya, PT Meiwa Indonesia mampu menyerap 20 000 hingga 35 000 jok dengan bahan baku serat sabut kelapa setiap bulannya (Arti 2014).

2. PT Sumber Mas Minahasa Maesa

PT Sumber Mas Minahasa Maesa merupakan salah satu produsen serat sabut kelapa yang berlokasi di Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Dalam setiap jamnya, perusahaan ini mampu menghasilkan 750 kg serat dan 1 200 kg debu sabut kelapa (Subiyanto 2000). Jika diakumulasikan, maka dalam satu bulan dengan asumsi jam kerja selama 8 jam per hari dan 5 hari kerja selama seminggu maka PT Sumber Mas Minahasa Maesa dapat menghasilkan serat sabut kelapa sebanyak 120 000 kg serat.

3. PT Sukaraja Putra Sejati

PT Sukaraja Putra Sejati merupakan salah satu produsen serat sabut kelapa yang ada di Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Dalam setiap jamnya, perusahaan ini mampu menghasilkan serat sabut kelapa sebanyak 80 kg dan debu sabut sebanyak 80 kg (Subiyanto 2000). Perusahaan ini merupakan salah satu usaha pengolahan serat sabut kelapa dalam skala kecil.

Persaingan pada Industri Serat Sabut Kelapa

1. Persaingan diantara pelaku bisnis (Rivalry Among Players)

Perusahaan yang bergerak pada usaha pengolahan serat sabut kelapa belum terlalu banyak. Walaupun demikian, GreenTech Co-operation merupakan pemain kecil (minor company) dalam industri ini. Beberapa pemain besar (dominant company) adalah PT Meiwa Indonesia dan PT Sumber Mas Minahasa Maesa. Kompetitor lainnya seperti CV Serat Kelapa, PT Sukaraja Putra Sejati, PT Roesmetrik di Tangerang, dan PT Prima Sejahtera di Bekasi. Dalam posisi saat ini, dapat dinilai bahwa posisi GreenTech Co-operation belum menempati posisi kuat, sehingga rivalry point untuk industri pengolahan serat sabut kelapa ini adalah high.

2. Ancaman masuknnya pesaing baru (New Entrance)

(38)

26

dan harus memiliki pasar yang jelas sehingga dapat dinilai bahwa new entrance point dalam usaha pengolahan serat sabut kelapa adalah medium.

3. Ancaman produk pengganti (Substitute Product)

Sebagai produk turunan sabut kelapa yang digunakan sebagai bahan baku industri manufaktur maupun otomotif, serat sabut kelapa hampir tidak memiliki produk pengganti sehingga dalam hal ini dinilai bahwa substitute product point untuk industri ini adalah low.

4. Kekuatan tawar pemasok (Bargaining Power of Supplier)

Pemasok bahan baku untuk industri ini yaitu sabut kelapa masih cukup bersaing karena pabrik pengolahannya belum terlalu banyak sehingga dalam hal ini dinilai bahwa supplier point industri serat sabut kelapa adalah medium.

5. Kekuatan tawar konsumen (Customer)

Perkiraan pangsa pasar potensial untuk pasar internasional sangat tinggi guna memenuhi permintaan akan bahan baku jok kendaraan pada industri otomotif dunia. Dalam hal ini dapat dinilai bahwa costumer point industri pengolahan serat sabut kelapa adalah low.

Analisis Keunggulan Kompetitif Porter’s Diamond

Analisis kompetitif komoditi serat sabut kelapa di Kabupaten Bogor dapat menggunakan teori berdasarkan berlian Porter (Porter’s Diamond). Menurut Porter (1990) terdapat empat faktor utama yang menentukan daya saing industri di suatu wilayah yaitu kondisi faktor sumber daya, kondisi permintaan, kondisi industri terkait dan kondisi pendukung, serta kondisi struktur, persaingan, dan strategi perusahaan. Keempat atribut tersebut didukung peranan pemerintah dan peranan kesempatan dalam meningkatkan keunggulan daya saing industri wilayah yang secara bersama-sama membentuk suatu sistem.

New Entrance (medium)

Rivalry among competitior (high)

Substitite product (low)

Customer (low) Supplier (medium)

Gambar

Tabel 1  Luas areal perkebunan rakyat menurut jenis tanaman tahun 2008-2012
Tabel 2 Ekspor dan impor produk kelapa tahun 2001-2003 (volume dalam MT,
Tabel 3  Kontribusi sektor kelapa terhadap neraca ekspor tahun 2006-2010
Gambar 1  Alur kerangka pemikiran operasional penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka peneliti menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh secara simultan dan parsial antara Budaya

Untuk menunjang pemasaran ada beberapa alternatif yang bisa digunakan dalam mempromosikan hasil produksi kopi biji pare ini, sehingga dapat lebih dikenal di kalangan mahasiswa

PI=0.409 II, ini merupakan hal yang wajar karena injeksi selalu lebih besar dari produksi, Penentuan hubungan antara injectivity index dan productivity index ini tentunya dapat

Salah satu cara untuk memotivasi anggota organisasi adalah dengan memberikan kompensasi, karena kompensasi merupakan sumber pendapatan dan penerimaan yang diperoleh karena

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan Mahasiswa Tingkat IV FK UNISBA tentang dokter layanan primer di era JKN secara umum sebagian besar

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada siswa siswa Tim bola voli SMK Taruna Mandiri Pekanbaru yang mengikuti olahraga bola voli untuk mengetahui

1) Menyusun proposal Bantuan Pembangunan Ruang Praktik Siswa (RPS) yang dilengkapi dengan dokumen persyaratan penerima bantuan yang telah dievaluasi dan disetujui oleh

Based on the discussion of research results, it can be concluded that, customer satisfaction and corporate image as a determinant of the influence of service quality