• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis dampak kebijakan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis dampak kebijakan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan indonesia"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM

TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN INDONESIA

MASYITHOH ALKAUTSAR

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

MASYITHOH ALKAUTSAR. Analisis Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO.

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam dan budaya yang melimpah, namun tingkat kemiskinan di Indonesia masih saja tinggi, meskipun setiap tahunnya tingkat kemiskinan Indonesia mengalami penurunan. Salah satu kebijakan di bidang ketenagakerjaan untuk mengentaskan masalah kemiskinan adalah kebijakan upah minimum. Kebijakan Upah Minimum Provinsi dibuat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan para pekerja sehingga merupakan salah satu kebijakan yang akhirnya diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia masih saja tinggi meskipun kebijakan UMP tersebut telah diterapkan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak kebijakan Upah Minimum Provinsi terhadap tingkat kemiskinan Indonesia periode tahun 2007-2012. Metode yang digunakan adalah metode analisis data panel dengan model estimasi terbaik yaitu fixed effect model (FEM). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Upah Minimum Provinsi (UMP), dan tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Upah Minimum Provinsi (UMP) memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode penelitian. Kata Kunci : data panel, tingkat kemiskinan, Upah Minimum Provinsi (UMP)

ABSTRACT

MASYITHOH ALKAUTSAR. Analysis Of The Impact Of Minimum Wage Policy On Poverty In Indonesian. Supervised by NUNUNG NURYARTONO.

Indonesia is a country with plentiful both of natural resources and culture, but the level of poverty in Indonesia is still high, although it decreases in each year. One of the policies in the field of labor to alleviate the problem of poverty is the minimum wage policy. Provincial minimum wage policy was made with the aim of improving the welfare of the workers so that is one of the policies that ultimately expected to reduce the level of poverty in Indonesia. Facts show that the poverty rate in Indonesia is still high despite the minimum wage policy has been applied. The study aims to look at the impact of minimum wage policy on poverty in Indonesian province in year 2007-2012. The method used is the method of analysis of panel data model with the best estimate of the fixed effect model (FEM). Regression analysis showed that the variables Gross Regional Domestic Product (GRDP), the provincial minimum wage, and level of education have a significant effect on the level of poverty. Provincial minimum wage has a negative and significant effect on poverty levels in Indonesia during the study period.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM

TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN INDONESIA

MASYITHOH ALKAUTSAR

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agutus 2013 ini ialah upah minimum dan tingkat kemiskinan, dengan judul Analisis Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah memberikan bantuan, dukungan dan semangat bagi penulis yaitu:

1. Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

2. Ibu Dr.Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu Widyastutik, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

3. Abi, umi, kakak dan adik serta keluarga yang selalu memberikan doa, nasihat, dan semangat

4. Fikri Al-Abqori, sebagai suami yang tidak henti memberikan dukungan dan semangat.

5. Kepada Luqman Azis, Andri Sukrudin, Fatimah Azzahra, Nana R, Mirsad A, Ari Pohan, selaku rekan sebimbingan dan seperjuangan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

6. Sahabat-sahabat penulis, Annisa Karima, Astika Sa’diyah, Vina QA, Tisa Amalia, Trisa M, Triana KL, Aprillia W, Nabilah, Anggita Widasari, Anggita Widaningsih, Luthfia I, Candri R, Annisa Winditha, Anisa Ayu Artati, Aulia Novita R yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. 7. Kepada teman-teman ESP 47 dan semua pihak yang telah membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 6

Kemiskinan 6

Upah 10

Upah Minimum 11

Produk Domestik Regional Bruto 13

Pendidikan 14

Penelitian Terdahulu 15

Kerangka Pemikiran 16

Hipotesis Penelitian 18

METODE 18 Jenis dan Sumber Data 18 Metode Analisis Data 18 Perumusan Model 19

Pemilihan Model 22

Uji Kesesuaian Model 23 Definisi Operasional Variabel 25

(11)

Perkembangan Tingkat Pendidikan 33

Perkembangan Upah Minimum Provinsi 35

Hasil Estimasi Model 38

Pemilihan Model Terbaik 39

Uji Asumsi Klasik 39

Uji Statistik 40

Model Penduga Tingkat Kemiskinan Indonesia 41

SIMPULAN DAN SARAN 48

Simpulan 48

Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 49

LAMPIRAN 52

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kondisi ketenagakerjaan Indonesia tahun 2007-2012 26 2 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin Indonesia tahun

2007-2012 27

3 Perkembangan koefisien gini Indonesia tahun 2007-2012 30

4 Hasil estimasi model tingkat kemiskinan 41

5 Koefisien fixed effect model 46

DAFTAR GAMBAR

1 Tingkat kemiskinan Indonesia tahun 2007-2012 (persen) 1 2 Jumlah penduduk miskin tahun 2007-2012 di Indonesia (juta orang) 2 3 Perkembangan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) di seluruh

Indonesia tahun 2007-2012 (ribu rupiah) 3

4 Lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) 9

5 Kerangka pemikiran penelitian 17

6 Provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia tahun

2007-2012 (ribu jiwa) 28

7 Provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia

tahun 2007-2012 (persen) 29

8 Provinsi dengan PDRB terbesar di Indonesia tahun 2007-2012 (miliar

rupiah) 32

9 Tingkat kemiskinan dan nilai PDRB provinsi-provinsi di Indonesia

tahun 2012 33

10 Provinsi dengan rata-rata lama sekolah terbesar di Indonesia tahun 2007

dan 2012 (tahun) 34

11 Tingkat kemiskinan dan nilai rata-rata lama sekolah provinsi-provinsi

di Indonesia tahun 2012 35

12 Provinsi dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) terbesar di Indonesia

tahun 2007-2012 (rupiah) 37

13 Tingkat kemiskinan dan upah minimum provinsi-provinsi di Indonesia

tahun 2012 38

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tingkat kemiskinan berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 2007-2012

(persen) 52

2 Produk Domestik Regional Bruto berdasarkan provinsi di Indonesia

tahun 2007-2012 (miliar rupiah) 53

3 Rata-rata lama sekolah berdasarkan provinsi di Indonesia tahun

2007-2012 (tahun) 54

4 Upah Minimum Provinsi Indonesia tahun 2007-2012 (rupiah) 55

5 Uji Chow 56

6 Uji Hausman 56

(13)

8 Uji normalitas 57

9 Uji multikolinearitas 58

(14)
(15)

16.58 15.42

Kemiskinan merupakan salah satu tolak ukur kondisi sosial ekonomi dalam menilai keberhasilan pembangunan yang dilakukan pemerintah di suatu daerah. Banyak sekali masalah-masalah sosial yang bersifat negatif timbul akibat tingginya tingkat kemiskinan (Saputra 2011). Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus menjadi masalah yang berkepanjangan (Ritonga 2014).

Tingkat kemiskinan menggambarkan persentase jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk total di suatu daerah. Tingkat kemiskinan erat hubungannya dengan disparitas kemiskinan di suatu daerah. Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah kemiskinan sangatlah serius, dan merupakan program prioritas bagi pemerintah Indonesia. Gambar 1 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia dari tahun 2007 hingga 2012 mengalami penurunan. Tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 16.58 % pada tahun 2007 dan berkurang menjadi 11.60 % pada tahun 2012. Provinsi di Indonesia yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi dari tahu 2007 hingga 2012 adalah Provinsi Papua. Tahun 2012 tingkat kemiskinan Provinsi Papua sebesar 31.11%.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 1 Tingkat kemiskinan Indonesia tahun 2007-2012 (persen)

Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan ini memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (BPS 2013).

(16)

2 Tahun 2009 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sekitar 2.43 juta jiwa yaitu berkurang hingga menjadi 32.53 juta jiwa. Tahun 2010 jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan hingga menjadi 31.02 juta jiwa. Tahun 2011 jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 0.97 % dari tahun 2010 menjadi 30.02 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2012 sekitar 29.13 juta jiwa. Provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2012 adalah Provinsi Jawa Timur. Tahun 2012 jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur sebesar 5 071 ribu jiwa.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 2 Jumlah penduduk miskin tahun 2007-2012 di Indonesia (juta orang) Tingkat kemiskinan dan jumlah penduduk miskin yang terus menurun dari tahun 2007 hingga 2012 mengindikasikan adanya keberhasilan dari beberapa program pengentasan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah. Meskipun mengalami penurunan, angka kemiskinan di Indonesia pada periode penelitian masih tergolong tinggi. Tingginya angka kemiskinan tersebut disebabkan oleh masalah pendidikan dan keterampilan yang rendah. Pendidikan dan keterampilan yang rendah menyebabkan kondisi buruh di Indonesia saat ini masih jauh dari kata sejahtera. Saat ini rata-rata pendidikan masyarakat Indonesia hanya lulusan SD dan SMP dengan kemampuan yang rendah. Hal tersebut otomatis berdampak pada rendahnya nilai upah yang diterima pekerja (Kusuma 2014).

Menurut Muttaqin (2012) kemiskinan di Indonesia yang terlihat rendah dan semakin menurun namun tidak terasa kesejahteraannya disebabkan oleh rendahnya standar kemiskinan yang digunakan oleh Indonesia. Standar garis kemiskinan nasional sebesar Rp243 729, artinya penduduk yang miskin adalah penduduk yang memiliki pengeluaran rata-rata per bulan di bawah Rp243 729 atau per harinya di bawah Rp8 124, sedangkan standar internasional adalah $2 per hari. Menurut Woyanti (2013) tingginya angka kemiskinan antara lain disebabkan oleh kurang meratanya pembangunan perekonomian hingga ke daerah-daerah yang jauh dari jangkauan pemerintah.

Penyebab kemiskinan adalah kesejahteraan atau daya beli masyarakat yang rendah. Daya beli yang rendah dapat disebabkan oleh produktivitas kerja yang rendah sehingga pekerja menerima upah yang rendah dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Masalah kemiskinan merupakan masalah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia dan harus diselesaikan.

(17)

3 hidup minimum para buruh tersebut. Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Upah Minimum bahwa untuk melindungi upah pekerja/buruh agar tidak merosot pada tingkat yang paling rendah sebagai akibat ketidakseimbangan pasar kerja, perlu penyelarasan kebijakan upah minimum dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi guna mewujudkan keberlangsungan usaha dan peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh.

Gambar 3 memperlihatkan bahwa perkembangan rata-rata Upah Minimum Provinsi dari tahun 2007-2012 terus mengalami peningkatan . Nilai rata-rata Upah Minimum Provinsi di Indonesia pada tahun 2007 adalah Rp667 900. Nilai tersebut meningkat pada tahun 2008 menjadi Rp743 200 dan pada tahun 2009 nilai rata-rata UMP mencapai Rp830 700. Tahun 2010 rata-rata-rata-rata UMP terus mengalami kenaikan menjadi Rp908 800, kemudian pada tahun 2011 nilainya adalah Rp988000. Tahun 2012 nilai rata-rata UMP adalah sebesar Rp 1 085 400. Upah Minimum Provinsi yang selalu meningkat disebabkan oleh adanya penyesuaian terhadap tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan kebutuhan hidup layak di provinsi tersebut mengalami peningkatan.

Provinsi yang memiliki UMP terbesar pada tahun 2012 adalah Provinsi Papua yaitu sebesar Rp1 585 000. Tingkat kemiskinan di Papua termasuk yang terbesar sehingga perlu ditetapkan UMP yang besar pula. Tahun 2007 hingga tahun 2012 tingkat kemiskinan di Papua mengalami penurunan namun angka kemiskinan sebesar 31.11 % masih tergolong tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh sulitnya akses untuk mencapai daerah Provinsi Papua tesebut.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014

Gambar 3 Perkembangan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) di seluruh Indonesia tahun 2007-2012 (ribu rupiah)

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Putri dan Yuliarmi (2013) menunjukkan bahwa upah minimum berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Bali dari tahun 2007-2011. Selanjutnya Woyanti (2013) melakukan penelitian yang hasilnya adalah UMP memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap angka kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah dengan koefisien sebesar 5 174.27. Hal ini berarti kenaikan UMP sebesar Rp100000 per bulan akan berdampak pada peningkatan angka kemiskinan , yakni angka kemiskinan akan meningkat sebesar 5 174 jiwa.

(18)

4

kemiskinan. Kebijakan upah minimum yang bertujuan dapat mengurangi tingkat kemiskinan, sering kali menimbulkan kontroversi. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya perselisihan antara kelompok pengusaha yang memandang tuntutan upah minimum sebagai beban dan tidak kompatibel dengan upaya pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, sementara serikat pekerja menghendaki kenaikan upah minimum yang signifikan (Sumarsono 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh SMERU (2001) menunjukkan bahwa hanya 40 % unit usaha di Indonesia yang membayarkan upahnya sesuai dengan upah minimum. Hasil penelitian SMERU lainnya adalah kebijakan upah minimum hanya menguntungkan pekerja yang terdidik saja karena perusahaan cenderung mensubstitusi tenaga kerja dengan mesin. Kebijakan upah minimum mempunyai hubungan yang negatif terhadap kesempatan kerja di sektor formal perkotaan. Kebijakan upah minimum tidak hanya menyangkut kesejahteraan buruh/pekerja saja, namun juga menyangkut kesanggupan pengusaha untuk membayar. Kenaikan upah minimum yang tidak diiringi oleh peningkatan produktivitas kerja dari buruh/pekerja akan membuat pengusaha mengalami kerugian. Pengusaha yang mengalami kerugian akan gulung tikar dan akhirnya berpengaruh pada kesejahteraan pengusaha tersebut serta para pekerja yang bekerja di perusahaan tersebut.

Penelitian yang dilakukan USAid dan Bappenas (2013) dalam Aria (2014) menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di Indonesia relatif rendah dan tidak sebanding dengan kenaikan upah yang diterimanya. Penelitian tersebut menemukan bahwa seorang tenaga kerja di sebuah industri sepatu yang menyerap tenaga kerja dan berpotensi ekspor hanya mampu menghasilkan rata-rata 0.8 pasang sepatu per hari. Sementara upahnya pada 2013 mencapai rata-rata US$ 242 per bulan. Di China, dengan tingkat upah US$ 235 per bulan, seorang pekerja rata-rata dapat menghasilkan 1.1 pasang sepatu tiap harinya. Produktivitas tenaga kerja di Indonesia sendiri dari tahun 2008 hingga 2012 mengalami kenaikan. Tahun 2008 produktivitas tenaga kerja di Indonesia adalah sebesar Rp161 396 000 dan pada tahun 2012 meningkat menjadi Rp234 010 000 (BPS 2013).

Latar belakang di atas menjadikan penelitian ini sangat penting untuk dilakukan karena menyangkut kesejahteraan para buruh dan pengusaha yang masih dipertanyakan akibat adanya efek dari UMP terhadap tingkat kemiskinan. Jika kebijakan UMP tidak dapat mengurangi angka kemiskinan berarti terdapat masalah dalam penerapan UMP tersebut. Melihat betapa pentingnya efek yang dapat ditimbulkan dari kebijakan upah minimum, maka penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak UMP terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia dari tahun 2007-2012.

Perumusan Masalah

(19)

5 pekerja/karyawan yang menempati tingkatan paling rendah dapat memperoleh upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup minimum di daerah tempat tinggalnya. Kebijakan upah minimum regional ditempatkan sebaga isu sentral oleh banyak pihak (pemerintah, serikat buruh, dan LSM) dikarenakan kebijakan ini merupakan satu-satunya kebijakan pemerintah Indonesia yang secara langsung dan eksplisit dikaitkan dengan upah buruh. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah kebijakan UMP yang selama ini dijalankan oleh pemerintah sudah efektif atau belum, melihat angka kemiskinan Indonesia yang masih saja tinggi. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan kemiskinan di Indonesia?

2. Bagaimana dampak Upah Minimum Provinsi (UMP) terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan perkembangan kemiskinan di Indonesia.

2. Menganalisis dampak Upah Minimum Provinsi (UMP) terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan mempunyai manfaat dan kegunaan sebagai berikut, yaitu:

1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.

2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan upah minimum regional.

3. Bagi penulis, diharapkan penelitian ini memberikan wawasan baru dan pemahaman mengenai dampak kebijakan Upah Minimum Provinsi dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat kemiskinan Indonesia

Ruang Lingkup Penelitian

(20)

6

TINJAUAN PUSTAKA

Kemiskinan Definisi Kemiskinan

Kemiskinan dapat dilihat dari beberapa aspek, yakni aspek kebutuhan hidup yang layak, aspek penghasilan, aspek kesempatan atau opportunity, aspek keadaan atau kondisi, dan aspek penguasaan terhadap sumber-sumber pendapatan (Todaro 2003). Kemiskinan berdasarkan aspek kebutuhan hidup yang layak adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok yang disebabkan adanya kekurangan barang dan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan hidup standar yang layak. Ini merupakan kemiskinan absolut/mutlak yakni tidak terpenuhinya standar kebutuhan dasar. Kemiskinan dari aspek penghasilan dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan atau penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

Kemiskinan berdasarkan aspek kesempatan atau opportunity adalah kemiskinan yang terjadi karena ketidaksamaan kesempatan untuk mendapatkan kesempatan sosial seperti keterampilan yang memadai, informasi yang berguna, jaringan sosial, dan sumber modal. Kemiskinan dari aspek keadaan atau kondisi dilihat sebagai suatu keadaan yang dicirikan dengan kondisi kurang makan dan gizi, kekurangan pakaian, perumahan tidak memadai, pendidikan yang rendah, dan sedikitnya kesempatan memperoleh pelayanan kesehatan. Kemiskinan berdasarkan aspek penguasaan terhadap sumber-sumber pendapatan merupakan keterlantaran yang disebabkan oleh ketidakmerataan distribusi pendapatan.

Kemiskinan merupakan masalah multi dimensional yang ditandai dengan ketidakberdayaan individu untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar standar atas tiga masalah kehidupan. Pertama, masalah kekurangan materi yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. Kedua, masalah kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Ketiga, masalah kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai (Woyanti 2013).

Sudantoko dan Hamdani (2009) menjelaskan berbagai definisinya tentang kemiskinan. Kemiskinan terbagi-bagi menjadi kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, kemiskinan struktural, kemiskinan dengan pendekatan pendapatan/pengeluaran, kemiskinan dengan pendekatan rata-rata per kapita, dan kemiskinan dengan pendekatan BKKBN. Kemiskinan relatif merupakan kondisi masyarakat karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang miskin secara relatif disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk

“termiskin” misalnya 20 % atau 40 % dari total penduduk yang telah diurutkan

(21)

7 Ukuran relatif kemiskinan sangat tergantung pada distribusi pendapatan atau pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini “orang miskin

selalu hadir bersama kita”. Garis kemiskinan relatif berbeda-beda setiap negara.

Garis kemiskinan relatif tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan. Ukuran finansial dalam bentuk uang merupakan terjemahan dari kebutuhan pokok minimum. Istilah garis kemiskinan diartikan sebagai nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar sedangkan penduduk miskin ialah penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan.

Garis kemiskinan absolut tetap dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan, garis kemiskinan absolut sangat penting dan dapat digunakan. Bank Dunia menggunakan dua batas ukuran yang merupakan garis kemiskinan absolut, yaitu : a) US$ 1 per hari dimana diperkirakan ada sekitar 1.2 miliar penduduk dunia yang hidup di bawah ukuran tersebut; b)US$ 2 per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut (Sudantoko dan Hamdani 2009).

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur, dimana kemiskinan menggejala oleh sebab tatanan sosial yang tak adil. Tatanan yang tak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang dan/atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia. Salah satu contoh adalah kemiskinan karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi, misalnya, orang Mentawai di Kepulauan Mentawai, orang Melayu di Pulau Christmas, dan sebagainya.

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Contohnya adalah kemiskinan yang terjadi pada suku-suku terasing, seperti suku Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman Kalimantan, dan suku Kubu di Jambi. Kemiskinan dengan pendekatan pendapatan/pengeluaran menggunakan konsep kebutuhan dasar yang di dalamnya terdapat komponen kebutuhan dasar dan karakteristik kebutuhan dasar serta hubungan keduanya dengan kemiskinan.

(22)

8

makanan (perumahan dan fasilitasnya, sandang kesehatan, pendidikan, transpor dan barang-barang lainnya).

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menerapkan konsep dan definisi kemiskinan pada tahun 1999 dengan melakukan pendekatan keluarga secara lengkap. Konsep pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kesejahteraan keluarga. Lima tahapan kriteria keluarga menurut BKKBN, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS), Keluarga Sejahtera I(KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus). Kriteria keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin adalah Keluarga Pra-Sejahtera (Pra-KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS I). Ada lima indikator keluarga Sejahtera I, yaitu :

1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masing-masing.

2. Seluruh anggota keluarga pada umumnya makan 2 kali sehari atau lebih. 3. Seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda di rumah,

sekolah, bekerja, dan bepergian.

4. Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

5. Bila anak sakit atau PUS (Pasangan Usia Subur) ingin mengikuti KB pergi ke sarana/ petugas kesehatan serta diberi cara KB modern.

Keluarga Pra Sejahtera adalah keluarga yang tidak memenuhi salah satu dari 5 (lima) indikator di atas.

Menurut Kuncoro (2003) penyebab kemiskinan dipandang dari segi ekonomi. Pertama secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Ketiga teori ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty).

(23)

9

Sumber : Kuncoro, 2003

Gambar 4 Lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty)

Ukuran Kemiskinan

BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Ukuran kemiskinan dapat dilihat dari Garis Kemiskinan (GK), Head Count Index (HCI-P0 ), Indeks Kedalaman Kemiskinan, dan Indeks Keparahan Kemiskinan

(Sudantoko dan Hamdani 2009).

Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Head Count Index (HCI-P0), adalah

persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK). Tingkat kemiskinan dinyatakan dengan Head Count Index (HCI-P0).

Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1), merupakan ukuran

rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.

Pendapatan rendah Produktivitas rendah Investasi rendah

Tabungan rendah

(24)

10 pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Upah merupakan salah satu unsur untuk menentukan harga pokok dalam perusahaan, karena ketidaktepatan dalam menentukan besarnya upah akan sangat merugikan perusahaan. Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya upah adalah penawaran dan permintaan tenaga kerja, organisasi buruh, kemampuan untuk membayar, produktivitas tenaga kerja, biaya hidup, dan pemerintah (Prastyo 2010).

Teori Upah

Menurut Mankiw (2007) penyebab ketiga dari kekakuan upah selain undangundang upah minimum dan pembentukan serikat adalah teori upah -efisiensi. Terdapat empat teori upah-efisiensi, teori yang pertama menyatakan bahwa upah yang tinggi membuat para pekerja lebih produktif. Pengaruh upah terhadap efisiensi pekerja dapat menjelaskan kegagalan perusahaan untuk memangkas upah meskipun terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja. Meskipun akan mengurangi tagihan upah perusahaan pengurangan upah akan memperendah produktivitas pekerja dan laba perusahaan.

Teori upah-efisiensi yang kedua, menyatakan bahwa upah yang tinggi menurunkan perputaran tenaga kerja. Pembayaran upah yang tinggi oleh perusahaan akan mengurangi frekuensi pekerja yang keluar dari pekerjaan, sekaligus mengurangi waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk menarik dan melatih pekerja baru. Teori upah-efisiensi yang ketiga menyatakan bahwa kualitas rata-rata tenaga kerja perusahaan bergantung pada upah yang dibayar kepada karyawannya. Jika perusahaan mengurangi upahnya, maka pekerja terbaik biasanya mengambil pekerjaan ditempat lain, meninggalkan perusahaan dengan pekerja yang tidak terdidik yang memiliki lebih sedikit alternatif.

(25)

11 Teori klasik mengemukakan bahwa dalam rangka memaksimalkan keuntungan, tiap-tiap perusahaan menggunakan faktor-faktor produksi sedemikian rupa. Faktor-faktor produksi yang dipergunakan tersebut akan menerima atau mendapatkan imbalan sebesar nilai pertambahan hasil marjinal dari faktor produksi tersebut. Tenaga kerja memperoleh upah senilai dengan pertumbuhan hasil marjinalnya (Simanjuntak 1998).

Perubahan Tingkat Upah

Perubahan tingkat upah akan memengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi perusahaan. Apabila digunakan asumsi bahwa tingkat upah naik maka akan menyebabkan dua efek yaitu efek skala produksi atau scale effect dan efek substitusi atau substitution effect (Sumarsono 2009). Naiknya tingkat upah akan meningkatkan biaya produksi perusahaan, yang selanjutnya akan meningkatkan pula harga per unit barang yang diproduksi. Biasanya para konsumen akan memberikan respon yang cepat apabila terjadi kenaikan harga barang, yaitu mengurangi konsumsi atau bahkan tidak lagi mau membeli barang yang bersangkutan. Akibatnya banyak barang yang tidak terjual, dan terpaksa produsen menurunkan jumlah produksinya. Turunnya target produksi, mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang dibutuhkan. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena pengaruh turunnya skala produksi disebut dengan efek skala produksi atau scale effect.

Apabila upah naik (dengan asumsi harga barang-barang modal lainnya tidak berubah) maka pengusaha ada yang lebih suka menggunakan teknologi padat modal untuk proses produksinya. Pengusaha menggantikan kebutuhan akan tenaga kerja dengan kebutuhan akan barang-barang modal seperti mesin dan lain-lain. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena adanya pergantian / penambahan penggunaan mesin-mesin disebut efek substitusi atau substitution effect.

Upah Minimum Definisi Upah Minimum

(26)

12

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Upah Minimum, upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman. Upah minimum terdiri atas :

1. Upah Minimum Provinsi yang selanjutnya disingkat UMP, yaitu upah minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di satu provinsi. 2. Upah Minimum Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat UMK adalah

upah minimum yang berlaku di wilayah kabupaten/kota.

3. Upah Minimum Sektoral Provinsi yang selanjutnya disingkat UMSP adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di satu provinsi.

4. Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat UMSK adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di wilayah kabupaten/kota.

Menurut Rachman dalam Prastyo (2010) tujuan penetapan upah minimum dapat dibedakan secara mikro dan makro. Secara mikro tujuan penetapan upah minimum yaitu (a) sebagai jaring pengaman agar upah tidak merosot, (b) mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan, dan (c) meningkatkan penghasilan pekerja pada tingkat paling bawah. Secara makro penetapan upah minimum bertujuan untuk (a) pemerataan pendapatan, (b) peningkatan daya beli pekerja dan perluasan kesempatan kerja, (c) perubahan struktur biaya industri sektoral, (d) peningkatan produktivitas kerja nasional, peningkatan etos dan disiplin kerja, (e) memperlancar komunikasi pekerja dan pengusaha dalam rangka hubungan bipartite.

Teori Upah Minimum

Upah minimum dapat dipengaruhi oleh jenis pasar kerja yang berlaku (Woyanti 2013). Pasar kerja adalah sarana pertemuan antara penjual dan pembeli tenaga kerja, dimana penjual tenaga kerja atau pencari kerja akan menerima upah setelah mencurahkan waktunya kepada pembeli tenaga kerja. Sebaliknya pembeli tenaga kerja atau lembaga/perusahaan akan mengeluarkan uang atau upah kepada tenaga kerja sebagai kompensasi atas usaha jasa yang telah diserahkannya dalam proses produksi menghasilkan barang dan jasa. Pasar kerja terbagi menjadi tiga jenis, yaitu pasar persaingan sempurna, pasar monopsoni, dan pasar monopoli.

Pasar persaingan sempurna dicirikan oleh jumlah pencari kerja dan jumlah perusahaan yang sama banyak. Sama banyak di sini tidak mengacu pada jumlah fisik, melainkan mengacu pada tingkat independensinya, sebab di antara tenaga kerja dan perusahaan tidak ada ketergantungan. Masing-masing pihak secara individual tidak memiliki kekuatan untuk menentukan tingkat upah. Kondisi ini menyebabkan penentuan upah didasarkan pada kekuatan keseimbangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja.

(27)

13 Pasar monopoli adalah pasar tenaga kerja yang di dalamnya terdapat banyak perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja tetapi hanya ada satu pekerja yang menginginkan pekerjaan. Umumnya tenaga kerja menyatukan diri dalam serikat pekerja yaitu serikat buruh yang kuat. Hal tersebut menjadikan serikat buruh memiliki kekuatan untuk menentukan tingkat upah dalam pasar tenaga kerja. Upah pekerja dalam situasi ini adalah upah maksimum.

Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Upah Minimum

Menurut Kaufman (2000) tujuan utama ditetapkannya upah minimum adalah memenuhi standar hidup minimum seperti untuk kesehatan, efisiensi, dan kesejahteraan pekerja. Upah minimum adalah usaha untuk mengangkat derajat penduduk berpendapatan rendah, terutama pekerja miskin. Semakin meningkat tingkat upah minimum akan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga kesejahteraan meningkat dan terbebas dari kemiskinan.

Produk Domestik Regional Bruto Definisi Produk Domestik Regional Bruto

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi yang dijadikan salah satu indikator ekonomi suatu daerah. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar.

Pergeseran struktur ekonomi dapat dilihat dengan mengukur PDRB atas dasar harga berlaku sedangkan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun digunakan PDRB atas dasar harga konstan. Terdapat tiga pendekatan yang digunakan untuk menghitung angka-angka PDRB (Maulia 2014) yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan pendekatan produksi adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (biasanya dalam satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor), antara lain: 1. Pertanian; 2. Pertambangan dan penggalian; 4. Listrik, gas dan air bersih; 5. Konstruksi; 6. Perdagangan, hotel dan restoran; 7. Pengangkutan; 8. Keuangan, Real Estat dan jasa perusahaan; 9. Jasa-jasa. Setiap sektor tersebut dirinci lagi menjadi sub-sub sektor.

(28)

14

Pembentukan modal tetap domestik bruto, 4. Perubahan inventori, 5. Ekspor neto (ekspor dikurangi impor).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang akan dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDRB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDRB atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah dicakup pajak tak langsung neto.

Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Produk Domestik Regional Bruto Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Hasil PDRB yang menyebar di setiap golongan masyarakat termasuk di golongan penduduk miskin merupakan syarat bagi pengurangan penduduk miskin. (Siregar dan Wahyuniarti 2008). Penelitian yang dilakukan Woyanti (2013) menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara PDRB dan tingkat kemiskinan. Produk Domestik Regional Bruto yang meningkat akan mengurangi tingkat kemiskinan sehingga percepatan peningkatan PDRB penting untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Penelitian yang dilakukan oleh Prastyo (2010) juga menunjukkan hubungan negatif antara PDRB dan tingkat kemiskinan.

Pendidikan Definisi Pendidikan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

(29)

15 Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Pendidikan

Keterkaitan kemiskinan dengan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut harusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa (Suryawati 2005)

Siregar dan Wahyuniarti (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa pendidikan yang diukur dengan jumlah penduduk yang lulus pendidikan SMP, SMA, dan diploma memiliki pengaruh besar dan signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan modal manusia melalui pendidikan merupakan indikator penting untuk menurunkan jumlah penduduk miskin. Menurut Prastyo (2010) semakin tinggi tingkat pendidikan, maka pengetahuan dan keahliannya akan meningkat, sehingga akan mendorong produktivitas kerjanya. Akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya.

Penelitian Terdahulu

Hudaya (2009) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan analisis data panel. Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), Pendapatan Perkapita (PP), dan Angka Melek Huruf (AMH). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel TPT, PP, dan AMH memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) memiliki korelasi yang positif dengan tingkat kemiskinan, sedangkan Pendapatan Perkapita (PP), dan Angka Melek Huruf (AMH) memiliki korelasi yang negatif terhadap tingkat kemiskinan.

Putri dan Yuliarmi (2013) melakukan penelitian tentang beberapa faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Bali dengan analisis data panel. Variabel yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah tingkat kemiskinan sebagai variabel dependen, dan pertumbuhan ekonomi, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), pendidikan (rata-rata lama sekolah), dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebagai variabel independennya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, UMK, dan pendidikan 9rata-rata lama sekolah) memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Variabel Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Bali pada tahun 2007-2011.

(30)

16

Hasil dari penelitian tersebut adalah variabel pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskina, sedangkan variabel tingkat pengangguran memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan.

Ernawati (2011) melakukan studi tentang analisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan nasional di Indonesia tahun 2005-2009 dengan menggunakan analisis data panel. Variabel yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Penanaman Modal Asing (PMA), Angka Melek Huruf (AMH), konsumsi makanan, pengeluaran pemerintah, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan Angka Harapan Hidup (AHH). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel Penanaman Modal Asing (PMA), Angka Melek Huruf (AMH), dan konsumsi makanan berpengaruh secara negatif terhadap kemiskinan pada signifikasi 5 %. Variabel pengeluaran pemerintah berpengaruh secara positif terhadap kemiskinan pada signifikasi 5 %. Variabel Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Angka Harapan Hidup (AHH) tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

Penelitian yang dilakukan oleh Gindling (2014) menyatakan bahwa kebanyakan studi empiris tentang dampak upah minimum terhadap kemiskinan pada negara sedang berkembang menyimpulkan bahwa upah minimum dapat mengurangi kemiskinan, dengan dua alasan. Pertama, sebagian besar dari pekerja tidak dilindungi oleh kebijakan upah minimum (kebanyakan pekerja adalah pekerja sektor informal), kedua, upah minimum yang lebih tinggi tidak memengaruhi semua rumah tangga dengan berpendapatan rendah ; dengan kata lain, sebagian besar keluar dari kemiskinan tetapi mungkin mendorong yang lainnya masuk ke dalam kemiskinan. Pada intinya, kebijakan upah minimum merupakan alat yang tidak efisien dalam mengurangi kemiskinan menurut

Gindling dalam penelitiannya yang berjudul “Does increasing The minimum wage

reduce poverty in developing Countries?”.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dimana pada penelitian ini lebih fokus untuk melihat dampak UMP terhadap tingkat kemiskinan. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai perbedaan karakteristik antar provinsi yang dicerminkan oleh intercept masing-masing provinsi. Variabel yang digunakan adalah PDRB, UMP, dan tingkat pendidikan (yang dicermikan oleh rata-rata lama sekolah). Periode penelitian ini adalah dari tahun 2007 hingga 2012. Metode yang digunakan adalah analisis metode panel dengan fixed effect model.

Kerangka Pemikiran

(31)

17 salah satunya adalah kebijakan upah minimum. Kebijakan upah minimum memiliki tujuan salah satunya adalah melindungi upah pekerja/buruh agar tidak merosot pada tingkat yang paling rendah dan selanjutnya diharapkan berdampak pada berkurangnya tingkat kemiskinan.

Tingkat kemiskinan di Indonesia setelah penerapan upah minimum masih saja tinggi meskipun mengalami penurunan dari tahun 2007 hingga 2012 sehingga perlu dilakukan analisis dampak kebijakan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan Indonesia. Analisis tersebut dilakukan untuk melihat apakah pegurangan kemiskinan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh adanya kebijakan upah minimum ataukah karena faktor lain. Kemudian jika kebijakan upah minimum tersebut benar memengaruhi pengurangan kemiskinan di Indonesia maka akan dicari penyebab kemiskinan di Indonesia yang masih saja tinggi. Kebijakan upah minimum yang diteliti dalam penelitian ini adalah kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP). Peneliti melakukan analisis pengaruh UMP terhadap tingkat kemiskinan Indonesia dengan memerhatikan faktor-faktor lain selain UMP yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Peneliti menggunakan model estimasi data panel untuk menganalisis pengaruh tersebut.

Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian

Faktor-faktor yang diduga memengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia Tingkat kemiskinan berkurang namun angkanya masih tinggi

Tingkat kemiskinan di Indonesia yang masih tinggi

Kebijakan Upah Minimum Provinsi

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Upah Minimum Provinsi (UMP), tingkat pendidikan

Analisis dengan metode panel

(32)

18

Hipotesis Penelitian Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel PDRB berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan. 2. Variabel UMP berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan. 3. Variabel tingkat pendidikan berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat

kemiskinan.

METODE

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data deret waktu (time series) dan antar individu (cross section). Data deret waktu (time series) meliputi data tahunan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012, sedangkan data antar individu (cross section) meliputi 33 provinsi di Indonesia yang merupakan data populasi. Penelitian ini tidak memasukkan Provinsi Kalimantan Utara sebagai provinsi ke-34 di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan data karena Provinsi tersebut baru berdiri pada tahun 2012.

Asumsi pada penelitian ini adalah tidak adanya lag, dengan kata lain, pengaruh variabel bebas langsung dilihat pengaruhnya saat itu juga terhadap variabel terikat. Proses penentuan UMP yang dilakukan di akhir tahun serta data tingkat kemiskinan yang dikeluarkan pada bulan Maret membuat asumsi tidak adanya lag dapat diterapkan. Data yang digunakan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta dari sumber-sumber lain dari perpustakaan maupun internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

Metode Analisis Data

(33)

19 Perumusan Model

Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis informasi kuantitatif (data yang dapat diukur, diuji dan diinformasikan dalam bentuk persamaan, tabel, dan sebagainya). Tahapan analisis kuantitatif terdiri dari: estimasi model regresi dengan menggunakan data panel, uji asumsi klasik, dan uji statistik. Dugaan persamaan tingkat kemiskinan Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut :

Yit = β0 + β1X1it + β2X2it + β3X3it + eit ...(3.1)

dimana:

Yit = Tingkat kemiskinan di provinsi i tahun ke-t (%)

X1it = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 di

provinsi i tahun ke-t (miliar rupiah)

X2it = Upah Minimum Provinsi (UMP) di provinsi i tahun ke-t (rupiah)

X3it = Tingkat pendidikan di provinsi i tahun ke-t (tahun)

eit = error term

β0 = konstanta (intercept)

βn = parameter yang diduga (n=1,2,3)

Adanya perbedaan satuan dan besaran variabel bebas dalam persamaan menyebabkan persamaan regresi harus dibuat dengan model logaritma natural. Transformasi dalam bentuk logaritma natural dapat mengurangi masalah heteroskedastisitas. Hal ini disebabkan karena transformasi yang memapatkan skala untuk pengukuran variabel mengurangi perbedaan nilai dari sepuluh kali lipat menjadi dua kali lipat (Gujarati 2004). Model yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan logaritma natural (ln) sehingga dugaan persamaan tingkat kemiskinannya menjadi sebagai berikut :

Yit = β0 + β1lnX1it + β2lnX2it + β3X3it + eit ...(3.2)

dimana:

ln = Logaritma natural

Yit = Tingkat kemiskinan di provinsi i tahun ke-t (%)

X1it = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 di

provinsi i tahun ke-t (miliar rupiah)

X2it = Upah Minimum Provinsi (UMP) di provinsi i tahun ke-t (rupiah)

X3it = Tingkat pendidikan di provinsi i tahun ke-t (tahun)

eit = error term

β0 = konstanta (intercept)

βn = parameter yang diduga (n=1,2,3)

Penggunaaan data panel pada metode kuantitatif menurut Verbeek (2004) akan memberikan dua keuntungan dibandingkan data time serries atau cross section saja. Keuntungan tersebut diantaranya adalah :

(34)

20

2. Mengurangi masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau time series saja. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamics of adjustment (lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis).

Secara teknis menurut Hsiao (2004) data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi. Menurut Rosadi (2011), model data panel yang merupakan gabungan dari data cross section dan time series masing-masing adalah :

Model dengan data cross section

Yi = Xi + i ...(3.3)

Model dengan data time series

Yt= Xt + t …...(3.4)

Mengingat data panel merupakan gabungan dari data cross section dan data time series, maka modelnya ditulis dengan :

Yit = Xit + it ; ...(3.5)

dimana :

N = banyaknya observasi T = banyaknya waktu N x T = banyaknya data panel

i = 1,2,….,N;

t =1,2,….T

Kriteria pembobotan dalam melakukan pengolahan data panel berbeda-beda. Kriteria tersebut antara lain no weight (semua observasi diberi bobot yang sama), cross section weight (GLS dengan menggunakan estimasi varian residual cross section, digunakan apabila ada asumsi terdapat cross section heteroskedasticiy), dan SUR (GLS dengan menggunakan covariance matrix cross section). Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas maupun autokorelasi antar unit cross section .

Parameter model dengan data panel dapat diestimasi dengan beberapa teknik yang ditawarkan menurut Rosadi (2011), yaitu :

1. Pooled Regression

Secara umum, bentuk model linear (yang disebut pooled regression) yang dapat digunakan untuk memodelkan data panel berbentuk:

(35)

21 yit = observasi dari unit ke-i dan diamati pada periode waktu ke-t (yakni,

variabel dependen yang merupakan suatu data panel).

xit = vektor k-variabel-variabel independen/input/regresor dari unit ke-i dan

diamati pada periode waktu ke-t (yakni, terdapat k variabel independen, dimana setiap variabel merupakan data panel). Disini diasumsikan bahwa xit

memuat komponen konstanta.

it = komponen galat, yang diasumsikan memiliki harga mean 0 dan variansi

homogen dalam waktu (homoskedastis) serta independen dengan xit.

Estimasi untuk model ini dapat dilakukan dengan metode OLS (ordinary least square) biasa. Model data panel sering diasumsikan it = , yakni pengaruh

dari perubahan dalam X diasumsikan bersifat konstan dalam waktu dan kategori kali-silang.

2. Model Efek Tetap (Fixed Effect)

Adanya variabel-variabel yang tidak semuanya masuk dalam persamaan model memungkinkan adanya intercept yang tidak konstan. Atau dengan kata lain, intercept ini mungkin berubah untuk setiap individu dan waktu. Pemikiran inilah yang menjadi dasar pembentukan model tersebut. Model pooled regression dapat ditulis ulang, dan selanjutnya diberi tambahan komponen konstanta ci dan di.

yit = xit + ci + dt + it ...(3.7) dimana :

ci = konstanta yang bergantung pada unit ke-i, tetapi tidak pada waktu t.

dt = konstanta yang bergantung pada waktu t, tetapi tidak pada unit i.

Apabila memuat komponen ci dan dt, model disebut model efek tetap dua

arah, sedangkan apabila dt = 0 atau ci = 0, model diebut model efek tetap satu arah.

Apabila banyaknya observasi sama untuk semua kategori cross-section, model dikatakan bersifat setimbang (balanced) dan jika sebaliknya, tidak setimbang (imbalanced). Model efek tetap satu arah sering diasumsikan bahwa komponen dt = 0 sehingga modelnya adalah :

yit = xit + ci + it ...(3.8) Model efek tetap satu arah dapat diestimasi dengan dua metode yang berbeda. Secara intuitif, komponen ci dapat dimodelkan dengan variabel dumy zi,t,j,

dengan zi,t,j yang bernilai 0 jika i j dan bernilai 1 jika i=j. Model selanjutnya

diestimasi dengan metode OLS standar dan disebut Least Square Dummy Variables. Meskipun model ini relatif sederhana, estimasi akan relatif kompleks apabila banyaknya kategori untuk cross section relatif besar. Alternatifnya, model ditransformasi untuk menghilangkan komponen ci di dalam model dan selanjutnya

dilakukan GLS (Generelized Least Square) terhadap model hasil transformasi. Yit - ̅i = (xit– ̅i) + it - ̅I ...(3.9) Sementara itu untuk model tetap dua arah, model memiliki kedua komponen ci

(36)

22

dengan metode GLS, setelah model ditransformasi untuk menghilangkan komponen ci dan dt dari model.

3. Model Efek Random (Random Effect)

Bila pada model efek tetap, perbedaan antar individu dan antar waktu dicerminkan lewat intercept, maka pada model efek random, perbedaan tersebut diakomodasi lewat error. Teknik ini juga memperhitungkan bahwa error mungkin berkorelasi sepanjang time series dan cross section. Model ini dapat melihat pengaruh dari berbagai karakteristik yang bersifat konstan dalam waktu atau konstan di antara individual. Model efek acak secara umum dituliskan sebagai berikut :

yit = xit + vit ...(3.10)

dimana:

vit = ci + dt it .

Disini ci diasumsikan bersifat independent and identically distributed (i.i.d)

normal dengan mean 0 dan variansi , dt diasumsikan bersifat i.i.d. normal

dengan mean 0 dan variansi dan it bersifat i.i.d. normal dengan mean 0 dan

variansi (dan it, ci , dan dt diasumsikan independen satu dengan yang lainnya).

Jika komponen dt atau ci diasumsikan 0, model disebut model acak satu arah,

sedangkan pada keadaan lain disebut model dua arah.

Pemilihan Model

Menurut Rosadi (2011), tahapan dalam pemilihan model yang terbaik dalam metode panel dapat dilakukan dengan dua tahapan pengujian, yaitu Uji Chow dan Uji Hausman. Uji Chow dilakukan untuk mengetahui apakah model FEM lebih baik dibandingkan model PLS dengan melihat signifikansi model FEM dapat dilakukan dengan uji statistik F. Pengujian seperti ini dikenal juga dengan istilah Uji Chow atau

Likelihood Test Ratio.

Hipotesis dalam pengujian ini yaitu : H0 : model Pooled Least Square (PLS)

H1 : model fixed effect (FEM)

Jika nilai statistik F lebih besar dari nilai F tabel pada signifikansi tertentu, maka hipotesis nol (H0) akan ditolak sehingga teknik regresi data panel yang dipilih adalah

metode FEM.

Uji Hausman bertujuan untuk melihat apakah terdapat efek acak di dalam panel data, yaitu dengan menguji hipotesis berbentuk H0 : E (Ci|X) = (E(u) = 0,

atau terdapat efek acak di dalam model. Uji Hausman dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:

H0 : Random Effects Model (REM)

H1 : Fixed Effects Model (FEM)

Jika H0 ditolak, model efek tetap akan digunakan. Perhitungan statistik uji

(37)

23 section yang positif, yang tidak selalu dapat dipenuhi oleh model. Apabila kondisi-kondisi ini tidak dapat dipenuhi, hanya model efek tetap yang bisa digunakan.

Beberapa pertimbangan teknis empiris yang dapat dijadikan panduan untuk memilih antara fixed effect atau random effect yaitu :

1) Bila T (jumlah unit time series) besar sedangkan N (jumlah unit cross section) kecil, maka hasil FEM dan REM tidak jauh berbeda. Pilihan umumnya akan didasarkan pada kenyamanan perhitungan yaitu FEM. 2) Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi kedua pendekatan dapat

berbeda secara signifikan. Jadi, apabila diyakini bahwa unit cross section yang dipilih dalam penelitian diambil secara acak (random) maka REM harus digunakan. Sebaliknya, apabila diyakini bahwa unit cross section yang dipilih dalam penelitian tidak diambil secara acak maka yang digunakan adalah FEM.

3) Apabila error component ( it) cross section berkorelasi dengan variabel

bebas X maka parameter yang diperoleh FEM tidak bias.

4) Apabila N besar dan T kecil, dan apabila asumsi yang mendasari REM dapat terpenuhi, maka REM lebih efisien dibandingkan FEM.

Uji Kesesuaian Model

Menurut Winarno (2007), model yang baik harus memenuhi kriteria statistik dan kriteria ekonometrika. Kriteria statistik dapat dilihat dari uji koefisien determinasi, uji-F, dan uji-t. Kriteria ekonometrika harus memenuhi asumsi klasik yaitu tidak adanya masalah-masalah seperti heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi.

1. Kriteria Statistik

a. Uji Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur kebaikan suatu model (goodness of fit). Koefisien determinasi (R2) merupakan angka yang memberikan proporsi atau persentase variasi total dalam variabel tak bebas (Y) yang dijelaskan oleh variabel (X). Uji ini digunakan untuk mengukur sejauh mana keragaman dapat diterangkan oleh variabel independen terhadap variabel dependen. Jika R2 bernilai satu, berarti model memiliki kecocokan yang sempurna, sedangkan jika bernilai nol, berarti tidak ada hubungan antara variabel dependen dan variabel independen yang menjelaskannya.

b. Uji-F

Uji-F digunakan untuk menguji bagaimana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara keseluruhan. Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan di atas adalah variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Hipotesis ini disebut hipotesis nol. Mekanisme yang digunakan untuk menguji hipotesis dari parameter dugaan secara serentak (Uji-F statistik) hipotesisnya adalah :

H0: ß1=ß2=....=0

H1: minimal ada satu parameter dugaan yang tidak sama dengan nol (minimal ada

(38)

24

Pengujian ini dapat dilihat dari nilai probabilitas F-statistiknya. Dengan melihat nilai probabilitas F-statistik akan diketahui apakah suatu persamaan akan lulus uji F atau tidak. Jika P-value menunjukkan besaran yang kurang dari taraf nyata, dapat disimpulkan tolak H0, yang artinya minimal ada satu parameter

dugaan yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. c. Uji-t

Uji statistik t dilakukan untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas atau independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali 2006). Hasil yang dicapai adalah untuk mengetahui apakah koefisien variabel tersebut signifikan dan berpengaruh nyata atau tidak dalam menjelaskan variabel dependennya.

Hipotesis pada uji-t ini adalah :

H0: bi (koefisien regresi variabel bebas ke-i) = 0 (i = 0,1,...,n) H1: bi (koefisien regresi variabel bebas ke-i) ≠ 0 (i = 0,1,...,n)

Pengujian parsial ini dapat dilihat dari nilai probabilitas t-statistiknya. Jika probabilitas t-statistiknya menunjukan nilai yang kurang dari selang kepercayaan maka dapat dikatakan tolak H0 yang berarti variabel independen berpengaruh

nyata terhadap variabel dependen dalam model atau variabel bebas (independent variable) yang bekerja secara parsial atau individu berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable). Begitu juga sebaliknya jika H0 diterima maka variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel

dependen pada tingkat signifikansi tertentu (Gujarati 2004). 2. Kriteria Ekonometrika

a. Heteroskedastisitas

Adanya masalah heteroskedastisitas dalam model menyebabkan model menjadi tidak bias dan konsisten. Pelanggaran asumsi heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan digunakan uji white heteroskedasticity yang diperoleh dari E-Views. Data panel dalam E-Views6 yang menggunakan General Least Square (cross section weight) dapat mendeteksi adanya heteroskedastisitas, caranya adalah dengan membandingkan Sum Square Residual pada Weighted Statistics dengan Sum Square Residual pada Unweighted Statistics. Jika Sum Square Residual Weighted Statistics nilainya kurang dari nilai Sum Square Residual Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Hal tersebut dapat diatasi dengan estimasi menggunakan GLS dengan White Heteroskedasticity (Winarno 2007).

b. Multikolinearitas

Model regresi linear yang terdiri dari banyak variabel independen terkadang muncul masalah multikolinearitas. Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel-variabel independen dalam persamaan regresi berganda. Jika nilai R2 yang diperoleh tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang nyata pada taraf uji tertentu dan tanda koefisien regresi dugaan tidak sesuai teori, maka model yang digunakan berhubungan dengan multikolinearitas. Hal tersebut dapat diatasi dengan memberi perlakuan cross section weight sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan. Cara untuk mendeteksi multikolinearitas adalah dengan menghitung korelasi-korelasi antara dua variabel bebas. Jika korelasi lebih besar dari 0,8 maka terdapat masalah multikolinearitas (Winarno 2007).

(39)

25 Asumsi lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya korelasi antara error yang dihasilkan. Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi model. Ada atau tidaknya gejala autokorelasi dapat dilihat melalui nilai uji Durbin-Watson (DW statistik) dan membandingkannya pada selang nilai statistik Durbin-Watson sehingga dapat diambil kesimpulan mengenai ada atau tidak adanya autokorelasi pada model (Winarno 2007).

Hipotesis dalam pengujian autokorekasi adalah: H0 : tidak ada autokorelasi positif atau negatif

H1 : terdapat masalah autokorelasi positif atau negatif.

Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 bila nilai d hitung atau nilai Durbin

Watson model lebih besar daripada nilai Durbin Watson tabel batas bawah (dL) yang berarti terdapat masalah autokorelasi positif (dw < dL), atau nilai d hitung atau nilai Durbin Watson model terletak antara nilai (4–dL < dw < 4) yang berarti terdapat masalah autokorelasi negatif. Tidak tolak H0 bila nilai d hitung atau nilai Durbin

Watson model terletak antara nilai (dU < dw < 4-dU) yang berarti tidak ada masalah autokorelasi.

d. Normalitas

Uji normalitas merupakan salah satu asumsi statistik dimana error term terdistribusi normal. Normalitas dapat diketahui dengan digunakannya uji Jarque-Bera. Apabila nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata, maka persamaan tersebut tidak mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi normal (Winarno 2007).

Definisi Operasional Variabel

1. Tingkat kemiskinan Indonesia adalah persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (GK) yang menjadi variabel tak bebas (Y) dalam model dan dinyatakan dalam persen.

2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah tertentu, atau merupakan jumlah akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB menunjukkan gambaran kinerja ekonomi makro satu wilayah dari waktu ke waktu (Faturrohim 2011). Nilai PDRB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB 33 provinsi di Indonesia atas dasar harga konstan 2000 selama tahun 2007-2012. Data dari variabel ini diubah dalam bentuk logaritma natural untuk keperluan dalam menganalisis data. Satuan dari variabel bebas (X1) ini adalah miliar rupiah.

Gambar

Gambar 1  Tingkat kemiskinan Indonesia tahun 2007-2012 (persen)
Gambar 2  Jumlah penduduk miskin tahun 2007-2012 di Indonesia (juta orang)
Gambar 3  Perkembangan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) di seluruh
Gambar 4  Lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rezultati dobiveni energetskom simulacijom Varijante 5 ukazuju na smanjenje potrebne energije za hlađenje u odnosu na PAR, pri čemu je potrebna energija za

Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis

Jika nilai tegangan referensi dan modulasi serat optik sama besarnya, maka dapat dipastikan intensitas cahaya kedua serat optik tersebut dipantulkan dengan sempurna.. Kasus ini

Sedangkan cara membangun ilmu pendidikan Islam bisa dilakukan dengan cara: Pertama , cara deduksi, yakni dimulai dari teks wahyu atau sabda rasul, kemudian ditafsirkan, dari

Puji syukur kepada Tuhan Yesus atas anugerah, kasih karunia, dan rahmatNya yang telah dilimpahkanNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan

Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil yaitu masih sering terjadi serangan, maka harus menggunakan tahap kedua yaitu berupa kortikosteroid dosis rendah ditambahkan

8 Piagam sebagai pemakalah Seminar Internasional EducationTowards High Income UNES 2013 9 Piagam sebagai dosen pendamping table manner mahasiswa Administrasi Perkantoran PSPE

Studi kasus ini melaporkan hasil perawatan bikuspidisasi dan crown lengthening yang diikuti restorasi mahkota porselin fusi metal dengan pasak fiber di akar mesiobukal pada