• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

DIKAITKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2011

TENTANG BANTUAN HUKUM

TESIS

Oleh:

IWAN WAHYU PUJIARTO 127005116/S-2 HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

DIKAITKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2011

TENTANG BANTUAN HUKUM

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara

Oleh:

IWAN WAHYU PUJIARTO 127005116/S-2 HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM

Nama Mahasiswa : IWAN WAHYU PUJIARTO

Nomor Pokok : 127005116

Program Studi : S-2 ILMU HUKUM

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo,SH.,M.Hum) K e t u a

(Dr. Eka Putra,SH.,M.Hum) (Dr. Edy Ikhsan,SH.,M.A)

A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan

(4)

Tanggal : 17 Desember 2014

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo,SH.,M.Hum

Anggota : 1. Dr. Eka Putra,SH.,M.Hum

2. Dr. Edy Ikhsan,SH.,M.A

3. Dr. Jusmadi Sikumbang,SH.,M.S

(5)

ABSTRAKSI

Bantuan Hukum hadir untuk memberikan perlindungan terhadap orang atau kelompok orang miskin. Negara melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Penyelenggara Bantuan Hukum harus dapat memberikan keadilan di bidang hukum kepada golongan miskin baik yang tidak maupun yang bermasalah hukum. Pelaksanaan peradilan terhadap orang miskin yang dikategorikan buta hukum secara litigasi harus memberikan rasa keadilan, oleh sebab itu Penerima Bantuan Hukum harus mengerti hak-hak hukum mereka untuk menunjang pemberian bantuan hukum oleh Pelaksana Bantuan Hukum yang diselenggarakan sesuai aturan. Adapun yang menjadi permasalahan yaitu, pertama, bagaimana pengaturan bantuan hukum di Indonesia, kedua, bagaimana kedudukan hukum Pemberi Bantuan Hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dan ketiga, apa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Pemberi Bantuan Hukum? Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif, bersifat deskriptif analitis, menggunakan teori keadilan, data yang digunakan data sekunder dari studi pustaka, dengan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia telah berupaya memberikan perlindungan terhadap orang atau kelompok orang miskin yang tersangkut perkara hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Bantuan Hukum, Peraturan Menteri Hukum dan Ham No. 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan yang memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Ketentuan tersebut antara lain mengatur tentang penyelenggaraan bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum, pendanaan, dan larangan Pemberi Bantuan Hukum. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian bantuan hukum kepada orang miskin yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum tidak berjalan sesuai aturan, syarat sebagai Pelaksana Pemberi Bantuan Hukum menghambat pemberian bantuan hukum, pemberian bantuan hukum tidak berjalan sesuai harapan karena masih dipengaruhi oleh aturan pelaksanaan yang kurang tepat. Sehubungan dengan hasil penelitian tesis ini, maka disarankan agar dalam Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum seharusnya lebih mengedepankan perlindungan hak-hak hukum Penerima Bantuan Hukum sebagai perwujudan terhadap akses keadilan. Disarankan agar peraturan pelaksana bantuan hukum lebih memberikan kemudahan terhadap Pelaksana Pemberi Bantuan Hukum dalam melaksanakan kewajiban sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

(6)

ABSTRACT

Legal Aid is present to provide protection against any person or group of poor people. State through the Ministry of Law and Human Rights as Legal Aid Organizer must be able to deliver justice in the legal field to the poor either do not or legal problems. Administration of justice for the poor are categorized blind litigation law should provide a sense of justice, therefore, the Legal Aid Recipients must understand their legal rights to giving support to legal aid by the Legal Aid Implementers organized according to the rules. As for the problem, namely, first, how the legal aid arrangements in Indonesia, second, how the legal position of Legal Aid Providers in the implementation of Act Number 16 Year 2011 regarding Legal Aid, and third, what are the factors that affect the Legal Aid Providers implementations? To answer these problems researchers using normative juridical research methods, analytical descriptive, using the theory of justice, the data used secondary data from the literature, with the approach of legislation. Based on the results of the study, Indonesia has sought to provide protection against persons or groups of poor people who lodged a lawsuit with the enactment of the Legal Aid Act, Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 3 Year 2013 regarding Procedures for Verification and Accreditation Legal Aid Society or organization that provides legal aid to persons or groups of poor people, the Indonesian Government Regulation Number 42 Year 2013 regarding the Terms and Procedures for Legal Aid and Legal Aid Fund distribution, Regulation law and Human Rights of the Republic of Indonesia Number 22 Year 2013 regarding Implementation Regulation Government Regulation Number 42 Year 2013 regarding the Terms and Procedures for Legal Aid and Legal Aid Fund distribution. Among other provisions governing the organization of legal aid, Legal Aid Providers, the rights and obligations of the Legal Aid Recipients, conditions and procedures for the provision of legal aid, funding, and the prohibition of Legal Aid Providers. This study concluded that implementations giving legal aid to poor people who set in Act Number 16 of 2011 regarding Legal Aid does not run according to the rules, requirements as Legal Aid Implementers inhibit giving legal aid, legal aid does not run as expected because they are affected by the rule of implimementations less precise. In connection with the results of this thesis, it is suggested that the implementations by Legal Aid Legal Aid Providers to giving must be prioritizing the protection of the legal rights of the Legal Aid Recipients as the embodiment of access to justice. It is recommended that the rule of Legal Aid more Implementer provides convenience for Implementing Legal Aid in implementing the obligations in accordance with Act Number 16 of 2011 regarding Legal Aid.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan

rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul

Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum”. Tesis ini disusun dan diajukan

untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa dalam

penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, hal ini kiranya keterbatasan pengetahuan

dan kemampuan yang penulis miliki.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H. Sp.A (K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas

kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu,SH.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis

dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

3. Prof. Dr. Suhaidi,SH.,MH, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

kesempatan dan fasilitas kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

4. Prof. Dr. Syafruddin Kalo,SH.,M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing tesis

yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan sampai akhirnya penulis

dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

(8)

5. Dr. Muhammad Eka Putra,SH.,M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing I

tesis yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan dan saran yang

konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

6. Dr. Edy Ikhsan,SH.,MA, selaku selaku Anggota Komisi Pembimbing II tesis yang

telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan, susunan dan saran demi

tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

7. Dr. Jusmadi Sikumbang,SH.,M.S. dan Dr. Marlina,SH.,M.Hum, selaku Dosen

Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan tesisi

ini.

8. Para Guru Besar dan Staf Pengajar Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan.

9. Seluruh Staf Sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas perhatian dan bantuannya

yang diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian perkuliahan sampai

kepada penyelesaian tesis ini.

10. Para narasumber dari Anggota Komisi III DPR RI, Kemenkumham Wilayah

Medan, Bankesbanglinmas Medan, PN Medan, PS FH USU, LBH Medan,

Pusaka Indonesia, Kantor Advokat, dan Penerima Bantuan Hukum yang telah

membantu dalam memberikan informasi guna memperkaya tulisan tesis ini.

11. Suparto dan Pudji Astuti selaku orang tua penulis beserta Keluarga Besar

Roesman yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

(9)

Prima Indonesia yang telah banyak membantu sejak pertama perkuliahan hingga

tesis ini selasai.

13. Teman-teman kuliah di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak,

terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya

dalam bidang hukum pidana.

Medan, 17 Desember 2014

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAKSI... i

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Permasalahan... 14

C. Tujuan Penulisan...14

D. Manfaat Penulisan...15

E. Keaslian Penulisan...15

F. Kerangka Teori...18

G. Kerangka Konsepsi...21

H. Metode Penelitian... 22

1. Jenis Penelitian... 22

2. Sifat Penelitian...23

3. Teknik Pengumpulan Data...24

4. Jenis Data...25

5. Analisis Data...25

6. Metode Pendekatan...26

BAB II PENGATURAN BANTUAN HUKUM... 28

A. Sejarah Bantuan Hukum... 28

B. Beberapa Peraturan yang Berkaitan Bantuan Hukum... 45

(11)

D. Pemberian Bantuan Hukum Dalam Proses Hukum Pidana...65

BAB III PELAKSANA PEMBERI BANTUAN HUKUM...88

A. Wadah Pelaksana Bantuan Hukum... 88

1. Lembaga Bantuan Hukum... 89

2. Organisasi Kemasyarakatan...97

B. Para Pelaksana Bantuan Hukum...104

1. Advokat...104

2. Paralegal...110

3. Dosen... 113

4. Mahasiswa Fakultas Hukum...118

C. Pemberi Bantuan Hukum dalam memperoleh Verifikasi dan Akreditasi.. 119

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI PEMBERI BANTUAN HUKUM... 123

A. Faktor Yang Mempengaruhi Bantuan Hukum Pada Organisasi Masyarakat...123

B. Faktor Yang Mempengaruhi Bantuan Hukum Pada LBH... 129

C. Faktor Yang Mempengaruhi Bantuan Hukum Pada Kantor Advokat...135

D. Faktor Yang Mempengaruhi Bantuan Hukum Secara Umum... 137

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...152

(12)

ABSTRAKSI

Bantuan Hukum hadir untuk memberikan perlindungan terhadap orang atau kelompok orang miskin. Negara melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Penyelenggara Bantuan Hukum harus dapat memberikan keadilan di bidang hukum kepada golongan miskin baik yang tidak maupun yang bermasalah hukum. Pelaksanaan peradilan terhadap orang miskin yang dikategorikan buta hukum secara litigasi harus memberikan rasa keadilan, oleh sebab itu Penerima Bantuan Hukum harus mengerti hak-hak hukum mereka untuk menunjang pemberian bantuan hukum oleh Pelaksana Bantuan Hukum yang diselenggarakan sesuai aturan. Adapun yang menjadi permasalahan yaitu, pertama, bagaimana pengaturan bantuan hukum di Indonesia, kedua, bagaimana kedudukan hukum Pemberi Bantuan Hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dan ketiga, apa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Pemberi Bantuan Hukum? Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif, bersifat deskriptif analitis, menggunakan teori keadilan, data yang digunakan data sekunder dari studi pustaka, dengan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia telah berupaya memberikan perlindungan terhadap orang atau kelompok orang miskin yang tersangkut perkara hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Bantuan Hukum, Peraturan Menteri Hukum dan Ham No. 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan yang memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Ketentuan tersebut antara lain mengatur tentang penyelenggaraan bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum, pendanaan, dan larangan Pemberi Bantuan Hukum. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian bantuan hukum kepada orang miskin yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum tidak berjalan sesuai aturan, syarat sebagai Pelaksana Pemberi Bantuan Hukum menghambat pemberian bantuan hukum, pemberian bantuan hukum tidak berjalan sesuai harapan karena masih dipengaruhi oleh aturan pelaksanaan yang kurang tepat. Sehubungan dengan hasil penelitian tesis ini, maka disarankan agar dalam Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum seharusnya lebih mengedepankan perlindungan hak-hak hukum Penerima Bantuan Hukum sebagai perwujudan terhadap akses keadilan. Disarankan agar peraturan pelaksana bantuan hukum lebih memberikan kemudahan terhadap Pelaksana Pemberi Bantuan Hukum dalam melaksanakan kewajiban sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

(13)

ABSTRACT

Legal Aid is present to provide protection against any person or group of poor people. State through the Ministry of Law and Human Rights as Legal Aid Organizer must be able to deliver justice in the legal field to the poor either do not or legal problems. Administration of justice for the poor are categorized blind litigation law should provide a sense of justice, therefore, the Legal Aid Recipients must understand their legal rights to giving support to legal aid by the Legal Aid Implementers organized according to the rules. As for the problem, namely, first, how the legal aid arrangements in Indonesia, second, how the legal position of Legal Aid Providers in the implementation of Act Number 16 Year 2011 regarding Legal Aid, and third, what are the factors that affect the Legal Aid Providers implementations? To answer these problems researchers using normative juridical research methods, analytical descriptive, using the theory of justice, the data used secondary data from the literature, with the approach of legislation. Based on the results of the study, Indonesia has sought to provide protection against persons or groups of poor people who lodged a lawsuit with the enactment of the Legal Aid Act, Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 3 Year 2013 regarding Procedures for Verification and Accreditation Legal Aid Society or organization that provides legal aid to persons or groups of poor people, the Indonesian Government Regulation Number 42 Year 2013 regarding the Terms and Procedures for Legal Aid and Legal Aid Fund distribution, Regulation law and Human Rights of the Republic of Indonesia Number 22 Year 2013 regarding Implementation Regulation Government Regulation Number 42 Year 2013 regarding the Terms and Procedures for Legal Aid and Legal Aid Fund distribution. Among other provisions governing the organization of legal aid, Legal Aid Providers, the rights and obligations of the Legal Aid Recipients, conditions and procedures for the provision of legal aid, funding, and the prohibition of Legal Aid Providers. This study concluded that implementations giving legal aid to poor people who set in Act Number 16 of 2011 regarding Legal Aid does not run according to the rules, requirements as Legal Aid Implementers inhibit giving legal aid, legal aid does not run as expected because they are affected by the rule of implimementations less precise. In connection with the results of this thesis, it is suggested that the implementations by Legal Aid Legal Aid Providers to giving must be prioritizing the protection of the legal rights of the Legal Aid Recipients as the embodiment of access to justice. It is recommended that the rule of Legal Aid more Implementer provides convenience for Implementing Legal Aid in implementing the obligations in accordance with Act Number 16 of 2011 regarding Legal Aid.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana termuat dalam konstitusi

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945.

Sebagai prinsip negara hukum (Rechtsstaat) mengandung asas-asas supremasi hukum,

persamaan dimuka umum, penegakan hukum yang tidak bertentangan dengan aturan

yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, dan bukan negara

berdasar kekuasaan (Machtsstaat).1

Karakteristik negara hukum terlihat jelas karena adanya ketegasan pemisahan

kekuasaan sehingga terlihat bahwa pemerintahan dijalankan dengan hukum dan bukan

oleh perorangan penguasa.2 Negara berkewajiban untuk dapat mewujudkan

terselenggaranya peradilan yang adil dengan menjamin terciptanya suatu keadaan

dimana setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan keadilan (justice for all)3, hal

ini menciptakan konstitusi yang melindungi kepentingan individu dan pembatasan

kekuasaan negara.

Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang sangat besar dalam

penyelenggaraan negara Republik Indonesia di bidang bantuan hukum, namun sulit

untuk menyajikan suatu sistem penyelenggaraan negara khususnya sistem

perundang-undangan bidang bantuan hukum secara tepat guna. Hal tersebut terjadi

karena terdapat beberapa peraturan yang mengatur tentang bantuan hukum, selain itu

tidak semua kondisi telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan juga sering

1 Abdurrahman,Beberapa Aspek Tentang Bantuan Hukum di Indonesia,(Jakarta: UI, 1980), hal.1.

2 Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional(Jakarta:

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), hal. 21.

3 Frans Hendra Winarta,Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan

(15)

terdapat kebutuhan untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis. Kendati pengaturan

hal teknis dalam suatu peraturan menjadi kebutuhan terkadang tidak mampu

diakomodasi dari pendelegasian wewenang tentang bantuan hukum sebagaimana telah

diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum beserta

peraturan pelaksanaannya.

Pendelegasian wewenang dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

juga harus jelas karena pendelegasian wewenang mengenai bantuan hukum tersebut

tidak dapat hanya berupa delegasi blanko yang memungkinkan eksekutif membuat

berbagai peraturan dengan dalih sebagai peraturan pelaksana.4

Kebijakan bantuan hukum bersifat membela kepentingan masyarakat tanpa

melihat dari latar belakang, etnisitas, asal-usul, keturunan, warna kulit, ideologi,

keyakinan, politik, kaya miskin, agama atau kelompok orang yang dibelanya. Ketika

seseorang yang mampu (the have) mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk

seseorang atau lebih penasehat hukum untuk membela kepentingannya, demikian juga

seorang yang tergolong tidak mampu (the have not) dapat meminta pembelaan dari

seseorang atau lebih pembela umum (public defender) dari Lembaga Bantuan Hukum

(legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum.5

Bantuan hukum atau dikenal dengan istilahlegal aidadalah jasa memberi nasehat

hukum kepada orang yang tidak mampu untuk mendapatkan perwakilan hukum dan

akses di pengadilan baik non-litigasi dan ataupun litigasi secara adil, maka oleh

karena itu untuk setiap tindakan hukum yang dituduhkan kepada tertuduh perlu juga

memperhatikan hak-haknya mendapat kebenaran dan keadilan sesuai dengan tindakan

hukum yang dilakukannya tanpa adanya diskriminasi.6

4 Victor Imanuel W. Nalle,Kajian Pembentukan dan Uji Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, (Jawa

Timur: Setara Press, 2013), hal. 5.

(16)

Adnan Buyung Nasution dalam buku berjudul “Bantuan Hukum di Indonesia”

bantuan hukum mulai direncanakannya pada 18 sampai 20 Agustus 1969 pada

Kongres III PERADIN di Jakarta, yang kemudian diwujudkan dengan membentuk

LBH di tahun 1971, hal ini bukan sekedar pelembagaan pelayanan kepentingan

hukum si miskin tetapi sebuah gerakan menyangkut hak-hak, kepentingan dan

kewajiban secara legal. Bantuan Hukum bagi kelompok miskin dapat diartikan

bantuan hukum bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, sedangkan

buta hukum adalah lapisan masyarakat yang buta huruf atau berpendidikan rendah

yang tidak mengetahui dan menyadari hak-haknya sebagai subjek hukum atau karena

kedudukan sosial dan ekonomi serta akibat tekanan-tekanan dari yang lebih kuat tidak

mempunyai keberanian untuk membela dan memperjuangkan hak-haknya.7

Pemerintah berperan membentuk lembaga yang membiayai bantuan hukum

melalui sistem Judicare8, yaitu Bar Association yang menyediakan layanan bantuan

hukum untuk masyarakat miskin, kemudian jasa bantuan hukum tersebut dibiayai oleh

negara. Konsep ini lahir sebagai sebuah konsekuensi dari perkembangan konsep

negara kesejahteraan (welfare state) dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk

memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Bantuan hukum dimasukkan sebagai

salah satu program peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama di bidang sosial,

politik dan hukum.9

Bantuan hukum merupakan tugas dan hak konstitusional bagi setiap warga negara.

Jaminan dan perlindungan tersebut pencerminan asas equality before the law yang

telah dijamin dalam Pasal 5, 6, dan 7 Universal Declaration of Human Right10,

7 Adnan Buyung Nasution,Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 1. 8 Judicarebahasa latin dari hakim, sistemJudicarediartikan sitem yang dibuat oleh Departemen

Kehakiman.

9 Martiman Prodjohamidjojo,Penasihat dan Bantuan Hukum Indonesia : Latar Belakang dan Sejarahnya,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), hal. 23.

10 Universal Declaration of Human Right (1948) tidak menciptakan hak-hak asasi, tetapi hanya

(17)

International Convernant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada Pasal 16 dan

Pasal 26 dapat dirujuk sebagai dasar normatif perlindungan atas hak memperoleh

perlindungan hukum dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi, kemudian

dipertajam dengan Pasal 13 ayat (3) ICCPR mengenai syarat pemberian bantuan

hukum, yaitu harus berorientasi kepada keadilan dan ketidak mampuan membayar

Advokat,11 Basic Principles on the Role of Lawyers,12 dan juga terdapat pada UUD

1945. UUD 1945 Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersama kedudukannya

didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya.

Dasar pertimbangan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen ke-4, menyatakan

segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan

wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya depan

hukum, fakir miskin memiliki hak konstitusi untuk diwakili dan dibela oleh Advokat

atau pembela umum secara litigasi dan non-litigasi (bantuan hukum) sama seperti

orang yang mampu mendapatkan jasa hukum Advokat (legal service).13

Setiap orang memiliki hak-hak untuk mendapat perlakuan dan perlindungan yang

adil dengan persamaan dihadapan hukum, maka oleh karenanya untuk setiap

pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta pembelakangan yang diderita

olehnya, ia berhak pula mendapatkan hukum, Kebenaran dan Keadilan, sesuai dengan

asas Negara Hukum.14 Jaminan setiap orang untuk mendapat perlakuan yang sama di

dilindungi terhadap penyelewengfan dari pihak pemerintah. b. manusia mempunyai hak-hak kebebasan sosial, yaitu hak untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, perawatan, kesehatan dan pendidikan. Manusia mempunyai hak-hak kebebasan sipil dan politik dalam menentukan pemerintahan danpolicypemerintahan tersebut. Abdul Ghofur Anshori,Op. Cit.,hal.112.

11 Mohammad Mahfud MD., Sunaryati Hartono, Sidharta, Bernard L. Tanya, dan Anton F. Susanto,

Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Semarang: Thafa Media, 2013), hal. 728.

12 Frans Hendra Winarta,Op.Cit., hal. 4.

13 Syafruddin Kalo, Kuliah Hukum Pidana Pascasarjana USU, Rabu, 23 Oktober 2013.

14 Frans Hendra Winarta,Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan(Jakarta:PT Elex

(18)

hadapan hukum sebagai pencerminan asas equality protection the law15 dan asas

equal justice under the law16 yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28d ayat (1) yang

berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Negara menjamin pula hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak

untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas

dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi

dalam keadaan apapun sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28i ayat (1).

Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan adanya prinsip

ini berarti negara mengakui adanya hak-hak dalam ekonomi, sosial, budaya, sipil dan

politik bagi para fakir miskin, maka secara konstitusional orang miskin berhak untuk

diwakili dan dibela baik didalam maupun diluar pengadilan (acces to legal counsel)

sama seperti orang yang mampu membayar atau yang mendapat jasa hukum. Bantuan

hukum bagi si miskin termuat dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Jadi bantuan

hukum adalah hak dari orang yang tidak mampu yang dapat diperoleh tanpa bayar

(pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum.17

Bantuan hukum merupakan hal yang sangat esensial dalam menciptakan

kehidupan yang adil, bantuan hukum bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat

dalam hal tersangkut masalah hukum guna menghindari dari segala macam tindakan

sewenang-wenang aparat penegak hukum yang belum mengerti dan kurang

menghayati nila-nilai yang tersirat dalam UUD 1945, yaitu banyak oknum aparat

pemerintah yang merasa dirinya identik dengan negara dimana kepentingan

pemerintah adalah kepentingan negara, hal ini sangat menyesatkan karena

(19)

kepentingan pemerintah belum tentu kepentingan negara, pemerintah hanya salah satu

dari kompleksitas lembaga-lembaga dalam negara. Subsistem polisi, jaksa, pengadilan,

pekerja lembaga pemasyarakatan dan penyedia bantuan hukum harus dapat

bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama yaitu antara lain menciptakan peradilan

yang adil, mencegah kejahatan, mencegah pengulangan kejahatan, dan merehabilitasi

pelaku kejahatan serta mengembalikan pelaku kejahatan yang telah menjalani

pemidanaan ke lingkungan masyarakat. Hukuman sebagai pembalasan sudah tidak

dianut lagi dalam sistem peradilan yang modern dan menjunjung hak asasi manusia.18

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) menganut due process of law (proses peradilan pidana yang

adil). Pada due process of law hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana dilindungi dan

dianggap sebagai bagian dari hak-hak warga negara (civil right) dan karena itu

merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia, namun didalam implementasinya

crime control model (arbitary process/proses yang sewenang-wenang) masih

diberlakukan. Proses yang sewenang-wenang ini tersangka atau terdakwa dianggap

dan dijadikan sebagai objek pemeriksaan tanpa memperdulikan hak-hak asasi

kemanusiaannya dan haknya untuk membela dan mempertahankan martabatnya serta

kebenaran yang dimilikinya. Kesewenang-wenangan dalam proses peradilan bisa

terjadi karena penegak hukum terbiasa mempraktikkan penyelidikan dan penyidikan

menurut crime control model seperti adanya penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi,

serta sikap merendahkan harkat dan martabat (torture, other cruel, inhuman and

degrading treatment) sesuai dengan yang dianut Het Herziene Inlandsch Reglement

(HIR).19

Ketentuan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

18 Sintong Silaban,Advokat Muda Indonesia: Dialog Tentang Hukum, Politik, Keadilan, Hak Asasi Manusia,

Profesionalisme Advokat dan Lika-liku KeAdvokatan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992). hal. 45.

(20)

khususnya pada Pasal 4 menjadi ketentuan yang berpengaruh besar terhadap

Undang-Undang Bantuan Hukum dilahirkan sebagai upaya pemenuhan tanggung

jawab negara dalam memberikan perlindungan kepada warganya. Undang-Undang

Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 menyebutkan:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Mencermati konteks pembentukan hukum mengenai bantuan hukum bagi si

miskin, gagasan pembebasan berwujud pemaknaan ulang mengenai keberpihakan

yang dipersandingkan dengan tindakan yang seolah dipandang diskriminatif dapat

diurai ujung pangkalnya. Bahwa pengkhususan warga negara yang berhak

memperoleh bantuan hukum gratis karena kondisionalnya merupakan perwujudan

langkah progresif kewajiban pemerintah melindungi hak segenap bangsa dalam

merengkuh keadilan dihadapan hukum.20

Negara dalam pemberian perlindungan hukum kepada warganya dapat dilihat

dalam penjelasannya yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemberian bantuan

hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus

sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin

hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan

kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Adapun aturan pelaksanaan

program bantuan hukum di Indonesia diantaranya adalah:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

(21)

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum.

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum menambah daftar peraturan

perundang-undangan yang memuat tentang bantuan hukum, meskipun memang

peraturan perundang-undangan yang bersifat lex speciali baru ada setelah hadirnya

Undang-Undang ini. Kendala atas implementasi perundang-undangan yang terjadi

sebelum lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum adalah tidak adanya jaminan di

dalam UUD 1945 dan di dalam KUHAP bagi orang mampu maupun bagi orang yang

tidak mampu untuk membayar atau memperoleh pembelaan. Meskipun

Undang-Undang Advokat mengakui konsep bantuan hukum, namun tidak

menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum secara

mendalam.21

Perdebatan para pelaku hukum mamandang bahwa Undang-Undang Bantuan

Hukum mengandung ketidak jelasan pemberian bantuan hukum dengan

membenturkan Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Advokat,

selain itu juga terdapat berbagai penafsiran dalam beberapa Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum juga diatur dalam

Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang

(22)

menyebutkan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma

kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Secara lebih spesifik aturan ini termuat

juga dalam Kode Etik Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Pasal 7 point h

menyatakan bahwa Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan

hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu. PERADI sendiri

membentuk satu unit layanan bernama PBH PERADI, yang menerapkan kewajiban

50 jam per-tahun untuk setiap Advokat memberikan bantuan hukumpro bono. Terkait

dengan bantuan hukum pro bono, negara menjadikan Pos Bantuan Hukum sebagai

wadah untuk bantuan hukum bagi orang tidak mampu.

Pelaksanaan bantuan hukum juga terdapat perbedaan pendapat tentang Sistem

Pro bonomaupun Sistem bantuan hukum, yaitu sama-sama merupakan strategi untuk

memberikan pelayanan hukum (legal services) bagi masyarakat miskin dan rentan.

Sistem probono bukanlah penganti dari sistem bantuan hukum, tetapi ikut

mendukungnya dengan keterlibatan para Advokat sebagai salah satu pemberi layanan.

Sistem bantuan hukum tidak meniadakan kewajiban pro bono Advokat. Hal ini telah

menjadi isu hukum di sebagian kalangan Advokat karena eksistensi Lembaga Bantuan

Hukum dan Organisasi Kemasyarakatan yang memenuhi standar Pelaksana Bantuan

Hukum dapat merekrut paralegal, dosen, mahasiswa Fakultas Hukum dalam

memberikan nasihat atau Bantuan Hukum kepada masyarakat secara litigasi maupun

non-litigasi yang diakui dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011

Tentang Bantuan Hukum dimana ketentuan Pasal 4 ayat (3) meliputi menjalankan

kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain

untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.

Advokat sebagian besar memandang bahwa seharusnya Undang-Undang Advokat

(23)

di depan pengadilan hanya Advokat karena hal demikian telah diatur dalam Pasal 56

ayat (2) KUHAP. Namun hukum acara yang berlaku mencantumkan pihak-pihak yang

berperkara untuk tampil dengan menggunakan istilah penasihat hukum. Ketentuan

hanya Advokat sebagai penasihat litigasi telah mengalami perubahan.

Secara konsepsional, bantuan hukum dalam sistem peradilan terbatas pada

charity (undangan kegiatan amal/gratis sebagai wujud kepedulian) dalam kerangka

pemerataan keadilan. Konsep yang demikian menjadikan besarnya alokasi anggaran

menjadi indikator utama apakah bantuan hukum telah berhasil atau tidak. Anggaran

tersebut dikelola oleh pemerintah dan merupakan kebijaksanaan sosial. Kebijaksanaan

yang diharapkan agar pemerintah mampu melindungi dan sekaligus bahwa hak asasi

manusia telah dilaksanakan yakni melalui bantuan pembiayaan keuangan kepada

orang miskin untuk membayar jasa Pemberi Bantuan Hukum. Penetapan besaran

anggaran bantuan hukum yang dialokasikan dikhawatirkan menimbulkan kepentingan

tertentu dimana anggaran untuk proses nonlitigasi lebih kecil dari pada proses litigasi,

hal ini bisa memancing Pemberi Bantuan Hukum yang nakal untuk menyerap secara

maksimal anggaran dengan mengesampingkan proses nonlitigasi.

Sebagai turunan dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan

Hukum adalah Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata

Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, bantuan

hukum ini tidak mengatur secara jelas apakah bantuan tersebut dapat diterima oleh

kasus yang ancaman atau dendanya kecil yaitu kurang dari satu juta rupiah, sedangkan

jika merujuk pada KUHAP seharusnya diberikan pada orang tidak mampu dengan

ancaman 5 tahun atau lebih. Perlindungan hukum terhadap orang miskin juga

dikhawatirkan tertanamnya sikap perlindungan negatif, yaitu dalam arti Penerima

(24)

nanti terlibat kasus hukum.

Bantuan hukum sering diartikan masyarakat sebagai suatu tindakan belas kasihan

di bidang hukum kepada fakir miskin sebagaimana diungkap dalam Konferensi yang

ke-3 dariLaw Asiadi Jakarta pada tanggal 16 sampai dengan 19 Juli 1973 bahwa ada

kecenderungan umum yang melihat bantuan hukum kepada orang miskin hanya

merupakan belas kasihan tetapi bukan sebagai hak asasi manusia, dimana orang

miskin dapat membela dirinya secara hukum dan menyampaikan semua keluhannya

untuk kemudian mendapatkan ganti rugi bantuan hukum janganlah dilihat dari sudut

yang sempit.22 Pasal 5 Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 hanya orang miskin yang

tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yaitu hak atas pangan,

sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan, berusaha dan perumahan,

maka bagaimanakah perlindungan hukum pada orang atau kelompok yang

termajinalkan (perempuan, anak, buruh, petani, korban pencemaran lingkungan,dll)

karena kebijakan publik, selain itu terdapat pula orang yang hak sipil dan politiknya

terabaikan, masyarakat adat yang buta hukum, orang atau kelompok imigran yang

juga perlu dilindungi hak-haknya, dan bagaimana terdakwa dengan ancaman pidana

15 tahun atau lebih dan hukuman mati atau bagi mereka yang tidak mampu yang

diancam pidana 5 tahun atau lebih.

Tanggapan atas kriteria miskin saja sebagai Penerima Bantuan Hukum, maka

dapatlah dijelaskan bahwa berbasis pada dialektik23 mengenai akses bantuan hukum

gratis yang hanya diperuntukkan bagi si miskin, dapat ditarik suatu benang merah

bahwa pengkhususan golongan yang memeroleh bantuan hukum demikian, bukan

merupakan suatu bentuk diskriminasi, namun justru merupakan bentuk keberpihakan

22 Frans Hendra Winarta,Bantuan Hukum..., Op. Cit.,hal. 34.

23 Dialektik atau dialektika berasal dari kata dialog yang berarti komunikasi dua arah, istilah ini telah ada

(25)

yang progresif, kondisi kmiskin jika diteropong dari kelindan kesetiaan kepada hukum

(fidelity to law), kewajban politik (political obligation), hingga ketidakpatuhan sipil

(civil disobedience) yang menimpa sebagian warga negara yang berhadapan dengan

hukum bukan dipandang sebagai aspek pengekonomian semata, namun lebih kepada

kewajiban negara untuk memberikan rasa keadilan yang menjadi hak warga negara.

Acapkali hak tersebut tidak terpenuhi atau bahkan terabaikan karena kondisi miskin

tadi, namun negara tidak boleh membiarkan kondisi miskin menghalangi yang

bersangkutan untuk mengakses keadilan. Pada kondisi kaya miskin yang demikian

berbeda, tentu keadilan tidak boleh dimaknai sama rata sama rasa24, namun justeru

harus berpihak. Hal ini keberlakuan hukum harus sama dalam kondisi normal, namun

harus berbeda jika kondisinya berbeda. Dengan lain perkataan, keberadaan bantuan

hukum bagi si miskin merupakan keseimbangan perwujudan posisi yang diharapkan

terjadi atas diri klien miskin ketika berhadapan dengan hukum dan aparat penegak

hukum. Tindakan advokasi yang dilakukan oleh Advokat maupun paralegal dalam

memberikan bantuan hukum gratis terhadap diri klien miskin tersebut diharapkan

memberikan posisi yang seimbang25 atas keawaman klien dalam dunia hukum jika

dibandingkan dengan para penegak hukum yang membidangi hukum dikesehariannya.

Keberpihakan terhadap kaum miskin yang berhadapan dengan hukuk dalam ruang

sosial keindonesiaan demikian, oleh Suteki26 dikatakan sangan logis apabila timur

24 Contoh sama rata sama rasa dimana mengena lembaga pemasyarakatan yang dibedakan berbasis gender

(lapas pria dan lapas wanita) maupun berdasar usia ( lapas anak dan lapas dewasa) warga binaannya agaknya dapat menjadi perenungan mengenai konsepsi adil tidak harus sama rata sama rasa.

25 Inilah konsepsiequalityof armdalam menjalankan tugas profesional pemberian bantuan hukum. Advokat

sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya equalityof armdalam upaya penegakan supremasi hukum. Bahkan kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan Advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum.

Muhammad Rustamaji, Dewi Gunawati, Moot Court: Membedah Peradilan Pidana dalam Kelas Pendidikan Hukum Progresif, (Surakarta: Mefi Caraka, 2011), hal.133.

26 Sebagaimana teori kuantum ala Jawa yang serung dikemukakan Satjipto Rahardjo, “sejatine ora ono

(26)

memiliki cara berhukum tersendiri meskipun yang sedang digunakan adalah hukum

barat. Pada akhirnya karakter oriental akan tetap membalut pembentukan dan

pengakan hukum di Indonesia yang acapkali melompat dan membentuk quantum

berbalut makna dengan desain hukumnya sendiri di ruang sosialnya.27

Berkenaan dengan Kebijakan Pemerintahan yang harus dijalankan dengan

hukum, maka secara logis pemerintah tidak dapat melakukan tindakan yang

bertentangan dengan hukum, misalnya syarat Pemohonan Bantuan Hukum yang harus

melampirkan KTP dimana terhadap orang yang tidak memiliki identitas maka

Pelaksana Bantuan Hukum harus mengupayakan identitas sementara di wilayah

kelurahan dari Pemberi Bantuan Hukum tersebut, padahal bagaimana mungkin orang

dapat mendapat identitas sementara orang tersebut bukan warga kelurahan tersebut.

Pemerintah tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan khususnya mengenai

bantuan hukum yang bertentangan dengan konstitusi atau peraturan-peraturan lainnya

kecuali ada penghapusan terhadap aturan tersebut, hal yang bertentangan terhadap

peraturan konstitusi seperti penghapusan Pasal 31 pada Undang-Undang Advokat

dimana dalam Pasal tersebut memuat hanya Advokat yang boleh beracara. Jika

terdapat pihak yang dirugikan maka setiap warga negara yang memilikilegal standing

dapat mengajukan permohonan uji materiil dan pembatalan suatu Undang-Undang ke

Mahkamah Agung.28

Belum jelasnya tentang format dan substansi peraturan bantuan hukum yang

sering kali merupakan norma pengaturan untuk umum, dalam praktiknya tentu dapat

menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama dalam hal mengikatnya.

Penelitianan ini akan dibahas lebih lanjut tentang pemberian bantuan hukum

warga bangsa Indonesia yang termasuk di kawasan Asia Tenggara. Sesuatu yang tersembunyi itu adalah spirit ketimuran yang akan memengaruhi manusia Indonesia dalam menentukan cara berhukumnya.

Suteki, Desain Hukum di Ruang Sosial, (Bantul Yogyakarta-Semarang: Thafa Media dan Satjipto Rahardjo Institute, 2013), hal.165-167.

(27)

yang dilihat dari peraturan yang diberlakukan (bantuan hukum proses pidana), para

Pemberi Bantuan Hukum, sampai pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

pelaksanaan pemberian bantuan hukum.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka diajukan suatu penelitian dalam bentuk

Tesis dengan judul "Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum."

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka pokok permasalahan

dalam penelitianan ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan bantuan hukum di Indonesia?

2. Bagaimanakah kedudukan hukum Pemberi Bantuan Hukum dalam pelaksanaan

Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum?

3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Pemberi Bantuan Hukum?

C. Tujuan Penelitianan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan bantuan hukum di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kedudukan hukum Pemberi Bantuan Hukum dalam

pelaksanaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Pemberi

(28)

D. Manfaat Penelitianan

Manfaat penelitian yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah

sebagi berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memberikan tambahan

pemikiran dalam pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum,

khususnya yang terkait dengan bantuan hukum di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk

menyempurnakan dan menyusun lebih lanjut tentang kebijakan-kebijakan di bidang

Bantuan Hukum dan pelaksanaannya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang ada di Perpustakaan

Universitas Sumatera Utara (USU) Medan khususnya pada Magister Hukum Program

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Pelaksanaan Pemberi

Bantuan Hukum dikaitkan dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang

Bantuan Hukum”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan permasalahan yang

sama oleh penelitian lain. Dengan demikian penelitian ini asli disusun sendiri dan

bukan diambil dari tesis orang lain.

Guna menghindari adanya duplikasi penelitian terhadap permasalahan yang sama,

peneliti telah melakukan pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah ada

di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Beberapa judul penelitian yang berkaitan

dengan bantuan hukum diantaranya:

(29)

Bantuan Hukum oleh Advokat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme.”

Permasalahan :

a. Bagaimanakah urgensi pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap

pelaku tindak pidana terorisme?

b. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh Advokat dalam memberikan

bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme?

2. Tesis atas nama Friska Anggi Siregar, NIM: 107005084, dengan judul “Hak

Tersangka Dalam Mendapatkan Bantuan Hukum (Tinjauan Terhadap KUHAP

dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum).”

Permasalahan :

a. Bagaimanakah pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum

menurut KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan

Hukum?

b. Bagaimanakah pengaturan peran Advokat dalam memberikan bantuan hukum

terhadap tersangka menurut hukum positif Indonesia?

c. Bagaimanakah sinkronisasi Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang

Bantuan Hukum dengan KUHAP dalam pemberian bantuan hukum terhadap

tersangka?

3. Tesis atas nama Dewi Erfina Suryani, NIM: 117005044, dengan judul

“Perlindungan dan Bantuan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual

Dalam Pernikahan Dini (Studi Putusan No.436/PID.B/2009/PN.RAP).”

4. Tesis atas nama Fenny Tetty Chompriani, NIM: 117005040, dengan judul

“Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Bagi Tersangka

Atau Terdakwa yang Tidak Mampu (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan).”

(30)

a. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma

bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu di Wilayah Pengadilan

Negeri Medan?

b. Apakah kendala Advokat dalam memberikan bantuan hukum secara

cuma-cuma bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu di Wilayah

Pengadilan Negeri Medan?

c. Apa saja upaya yang dilakukan Advokat dalam memberikan bantuan hukum

secara cuma-cuma bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu?

5. Tesis atas nama Sinur Oki Vera Tambunan, NIM: 992105017, dengan judul

“Perlindungan dan Bantuan Hukum Atas Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam

Proses Peradilan Pidana (Study Kasus di Pengadilan Negeri Tanjung Balai).”

6. Tesis atas nama Adi Mansar, NIM: 992105032, dengan judul “Bantuan Hukum

Bagi Anak Nakal dalam Lingkungan Wewenang PN Kelas I A Medan.”

Permasalahan :

a. Bagaimanakah pelaksanaan bantuan hukum bagi anak nakal dalam

Lingkungan Pengadilan Negeri Kelas 1A Medan?

b. Kendala-kendala yang dihadapi dalam memberikan bantuan hukum bagi

anak nakal dalam Lingkungan Pengadilan Negeri Kelas 1A Medan?

c. Upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi kendala dalam memberikan

bantuan hukum bagi anak nakal dalam Lingkungan Pengadilan Negeri Kelas

1A Medan?

7. Tesis atas nama Lestarisan Putra Ginting, NIM: 107005118, dengan judul

“Pelaksanaan Pelayanan Pemberian Bantuan Hukum kepada Tahanan oleh

Rumah Tahanan Negara (Studi di Rumah Tahanan Kelas I Medan).”

(31)

Balik (Mutual Legal Asistance) Dalam Penyitaan dan Perampasan Aset Korupsi.”

penelitian ini dapat dikatakan bebas dari plagiat serta dapat di pertanggung

jawabkan keasliannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori

Hukum harus menjamin bahwa setiap orang dengan kedudukannya dimuka

hukum dan pengadilan tidak membedakan strata sosial dan tidak ada prioritas si

miskin terhadap sikaya dalam mendapat keadilan, meskipun dalam praktiknya terjadi

diskriminasi. Terhadap hal ini maka disahkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2011

Tentang Bantuan Hukum yang diharapkan agar lebih konsisten dalam melindungi

hak-hak setiap orang yang tidak mampu.29

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan, adalah

kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem

pemikiran. Teori keadilan mewajibkan harapan yang lebih tinggi dari orang-orang

yang beruntung menyumbang prospek pada orang-orang lemah, ketimpangan sosial

dan ekonomi harus menjadi perhatian. Tidak semua posisi sosial adalah relevan, sebab

bukan hanya para petani, namun petani susu, petani gandum, petani yang bekerja pada

area tanah yang besar, begitu pula pada berbagai pekerjaan dan kelompok lainnya.

Posisi kewarganegaraan yang setara dan posisi yang ditentukan oleh posisinya dalam

distribusi pendapatan dan kekayaan, sebisa mungkin keadilan sebagai fairness30

menilai sistem sosial dari posisi kewarganegaraan yang sama serta berbagai level

29 Abdurrahman Riduan Syahrani,Hukum dan Peradilan, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 71.

30 Keadilan sebagai fairness, hal ini menyatakan bahwa seseorang diwajibkan melakukan perannya

(32)

pendapatan dan kekayaan.31 Keadilan disini dalam hal hak dan kewajiban sama

dihadapan hukum tanpa melihat status sosial dan kekayaan.

Plato di dalam Mohammad Muslehuddin menyebutkan tentang keadilan sebagai

berikut:32

“in his view, justice consist in a harmonious relation, between the various parts of the social organism. every citizen must do his duty in his a haunted place and do the thing for which his nature is best suited.”

Plato dalam mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik yang

memandang keadilan terdiri dari hubungan yang harmonis, antara berbagai organisme

sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat

alamiahnya. Pembuat peraturan harus menempatkan dengan jelas posisi setiap

kelompok masyarakat dimana dan situasi bagaimana yang cocok untuk seseorang. Hal

ini karena setiap orang bukanlah suatu jiwa yang terisolir dan bebas melakukan apa

saja yang dikehendakinya dengan tetap pada aturan dan tatanan universal yang

menundukkan keinginan pribadinya sebagai makhluk sosial.

Aristoteles memiliki pandangan yang berbeda dengan Plato. Aristoteles di dalam

Moslehudin berpandangan bahwa keadilan berisi suatu unsur kesamaan, bahwa semua

benda yang ada di alam ini dibagi secara rata dimana pelaksanaannya dikontrol oleh

hukum. Aristoteles membagi keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan

korektif. Keadilan distributif adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat

undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota

masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif

adalah keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan

serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim

dan menstabilkan kembali status quodengan cara mengembalikan milik korban yang

31 John Rawls,Op.Cit., hal. 114-118.

32 Mohammad Moslehudin,Philosophy of Islamic law and the orientalists : a comparative study of Islamic

(33)

bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang.33

Aristoteles mempengaruhi pandangan John Rawls, dimana subjek utama

keadilan adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya, cara lembaga-lembaga

sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan

pembagian keuntungan dari kerja sama sosial. Keadilan dalam skema sosial secara

mendasar bergantung pada bagaimana hak-hak dan kewajiban fundamental diterapkan

pada perlindungan struktur dan kondisi sosial dalam berbagai sektor masyarakat.34

Abdul Ghofur Anshori mengutip teori keadilan John Rawls yang menyebutkan

prinsip-prinsip pertama keadilan itu bertolak dari suatu konsep keadilan yang lebih

umum yang dirumuskan sebagai berikut:35

“All social values -- liberty and oportunity, income and wealth, and the bases of self-respect--are to be distributed equally unless and unequal distribution of any,

or all, of these values is to everyone's advantage.”

Terjemahan, Semua nilai-nilai sosial - kebebasan dan kesempatan, pendapatan

dan kekayaan, dan dasar-dasar harga diri - harus merata kecuali dan distribusi yang

tidak merata apapun, atau semua, dari nilai-nilai ini adalah untuk keuntungan semua

orang.

Ada dua hal penting. Pertama, kebebasan ditempatkan sejajar dengan nilai-nilai

lainnya, dan dengan itu juga konsep umum keadilan tidak memberi tempat istimewa

terhadap kebebasan. Hal ini berbeda dengan konsep kebebasan Rawls yang berakar

pada prinsip hak dan bukan pada prinsip manfaat. Kedua, keadilan tidak berarti semua

orang harus mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama. Keadilan tidak selalu

berarti semua orang harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan

perbedaan-perbedaan penting yang secara objektif ada pada setiap individu.

33 Mohammad Moslehudin,Filsafat hukum Islam dan pemikiran orientalis : studi perbandingan sistem

hukum Islam(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), hal 36.

34 John Rawls,Op.Cit., hal. 7-8.

(34)

Ketidaksamaan dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan asalkan

kebijakan itu ditempuh demi menjamin dan membawa manfaat bagi semua orang.

Rawls memberikan tempat dan menghargai hak setiap orang untuk menikmati suatu

hidup yang layak sebagai manusia, termasuk mereka yang paling beruntung.36

Berdasarkan hal tersebut, pandangan teori keadilan membantu dalam

menggambarkan unsur konstitutif sistem hukum yang diberlakukan negara dan tujuan

dari kebijakan pemerintah terkait dengan bantuan hukum yang diperuntukkan kepada

setiap orang atau kelompok orang miskin sebagai upaya untuk melaksanakan prinsip

equality before the law.

G. Kerangka Konsepsi

Konseptualisasi adalah rangkaian konsep-konsep, definisi, dan proposisi yang

digunakan sebagai landasan pemikiran penelitian. Dalam hal ini, konsep, definisi, dan

proposisi yang dirangkai harus relevan dengan topik penelitian. Konsep adalah suatu

peristilahan atau lambang yang mempunyai pengertian tertentu dalam ruang lingkup

tertentu. Oleh karena itu, konsep pada hakikatnya menunjuk pada suatu pengertian.

Adapun definisi adalah batasan pengertian tentang suatu fenomena atau konsep.

Definisi mempunyai uraian lebih tegas, lebih singkat dan khusus. Dengan demikian,

perlunya suatu fenomena atau konsep didefinisikan adalah untuk mempertegas dan

mempersempit fenomena yang diteliti.37

Sesuai dengan judul penelitian ini, maka terdapat konsep-konsep diantaranya:

1. Bantauan Hukum adalah pemberian bantuan hukum oleh Pemberi Bantuan

Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada orang

miskin untuk mendapatkan perwakilan hukum dan akses di pengadilan baik

36 Ibid.

37 Pataniari Siahaan,Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta:

(35)

non-litigasi maupun litigasi.

2. Pemberi Bantuan Hukum adalah Lembaga Bantuan Hukum atau organisasi

bantuan hukum yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan

Undang-Undang Bantuan Hukum.

3. Pelaksana Bantuan Hukum adalah Advokat yang berstatus sebagai pengurus

Pemberi Bantuan Hukum dan/atau Advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa

Fakultas Hukum yang direkrut oleh Pemberi Bantuan Hukum.

4. Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum adalah aktifitas berkenaan dengan

Undang-Undang Bantuan Hukum dalam kedudukan dan wewenang.

5. Dana Penyelenggaraan Bantuan Hukum adalah dana yang diperoleh untuk

menyelenggarakan bantuan hukum yang bersumber dari APBN, APBD, hibah

atau sumbangan, dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah berbagai cara yang dilakukan bertujuan untuk mencari

penyelesaian dengan menganalisa terhadap satu atau beberapa gejala permasalahan

secara mendalam. Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami

objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sedangkan

penelitian adalah suatu kerja ilmiah yang bertujuan mengungkapkan kebenaran secara

sistematis, metodologis, dan konsisten.38

I. Jenis Penelitian

Jenis (tipe) penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif. Menurut Jhony Ibrahim penelitian yuridis normatif yaitu suatu prosedur

penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan

38 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji,penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta:

(36)

dipandang dari sisi normatifnya (asas-asas, prinsip-prinsip, kaidah-kaidah) yang

terdapat dalam aturan perundang-undangan.39

Penelitian hukum normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem

norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi40 (preskriptif41) tentang suatu

peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma

sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem

kaidah atau aturan. Selanjutnya dijelaskan bahwa penelitian hukum normatif meneliti

kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sitem yang terkait dengan suatu

peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan

argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa sudah benar atau

salah serta bagaimana seharusnya peristiwa itu menurut hukum.42 Sehingga dapat

dikatakan sebagailibrary based, focusing on reading and analysis of the primary and

secondary materials(perpustakaan berbasis, dengan fokus pada membaca dan analisis

bahan primer dan sekunder).43

Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai penelaah dalam tataran

konsepsional tentang arti dan maksud berbagai peraturan hukum nasional yang

berkaitan dengan Bantuan Hukum di Indonesia, penelitian ini bertitik tolak dari

permasalahan dengan melihat pelaksanaan kemudian menghubungkannya dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya tentang Bantuan Hukum.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian

yang berusaha untuk menggambarkan dan menguraikan tentang permasalahan yang

39 Johny Ibrahim,Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia Publishing,

2005), hal.46.

40 Justifikasi adalah putusan (alasan, pertimbangan) berdasarkan hati nurani. http://kbbi.web.id/justifikasi. 41 Preskriptif adalah bersifat memberi petunjuk atau ketentuan atau menurut ketentuan resmi yg berlaku.

Ibid.,

42 Mukti Fajar N.D. Dan Yulianti Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2010), hal. 36.

(37)

berkaitan dengan Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum di Indonesia. Menurut

Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang

seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.44 Penelitian ini

dimaksudkan untuk mendeskripsikan secara sistematis tentang pelaksanaan Pemberi

Bantuan Hukum.

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui peraturan dan arah kebijakan

pemerintah yang belum sesuai dengan pelaksanaan progam bantuan hukum. Dengan

mengetahui faktor tersebut, diharapkan dapat dirumuskan analisa dan upaya yang

perlu dilakukan untuk memperbaiki peraturan yang berlaku.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data berupa data sekunder yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,

hasil penelitian yang berwujud laporan, dll.45 Pengumpulan data dilakukan melalui

studi pustaka dan wawancara.

Studi pustaka yang dilakukan dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder.

Jika diperlukan wawancara akan dilakukan untuk menambah data sekunder.

Wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Pemilihan

narasumber dilakukan dengan mengutamakan segi kompetensi keilmuan ataupun

ketokohan seseorang yang dapat memberikan informasi yang terkait dengan penelitian

ini.

Penelitian hukum yang dilakukan dengan studi pustaka (Documentary research)

terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

ataupun bahan hukum tersier. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dilakukan

dengan membaca, melihat, mendengarkan dan melalui media internet. Selain itu juga

dilakukan penelitian terhadap pelaksanaan secara langsung untuk mendukung dan

44 Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1996),

hal. 10.

(38)

memperkuat argumentasi-argumentasi yang dibahas dalam penelitian ini melalui

wawancara kepada narasumber diantaranya pada Lembaga Bantuan Hukum,

Organisasi Kemasyarakatan, Kantor Advokat, Penerima Bantuan Hukum, Hakim

Pengadilan Negeri, Badan Kesatuan Bangsa, Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia, dan DPR RI.

4. Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini data sekunder, yaitu bahan-bahan

hukum yang tersebar dalam berbagai tulisan yang dibedakan atas:

a. Bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan

peraturan lainnya yang berkaitan dengan Bantuan Hukum.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dari bahan-bahan

tertulis tentang Bantuan Hukum dalam bentuk buku, makalah, wawancara dan

artikel.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang berisi penjelasan arti tentang

berbagai istilah yang terkait dengan objek penelitian seperti kamus bahasa, kamus

hukum, dan ensiklopedia.

5. Analisis Data

Data atau bahan hukum yang terkait dengan pelaksanaan Pemberi Bantuan

Hukum dianalisis dengan menggunakan teori, yang dalam penelitian ini dipergunakan

teori keadilan, yang selanjutnya akan dibuat kesimpulan sebagai hasil dari penelitian.

Analisis dalam penelitian ini bersifat preskriptif, menurut Mukti Fajar dan

Yulianto Achmad mengemukakan, analisis preskriptif bermaksud untuk memberikan

argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Argumentasi yang telah

dikemukakan adalah untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau

(39)

dari hasil penelitian.46

6. Metode Pendekatan

Pendekatan dalam penelitian hukum normatif merupakan dasar sudut pandang

dan kerangka berpikir tentang seorang peneliti untuk melakukan analisis. Dengan

pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi tentang berbagai aspek

mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.47

Jawaban atas pokok permasalahan secara komprehensif maka penelitian ini

menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian

normatif harus mengguanakan statute approach karena yang akan diteliti adalah

berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentralnya.48

Pendekatan perundang-undangan (statute approach)dimaksudkan bahwa peneliti

menggunakan peraturan perundang-undangan di bidang bantuan hukum sebagai dasar

awal melakukan analisis. Hal ini harus dilakukan oleh peneliti karena peraturan

perundang-undangan merupakan titik fokus dari penelitian ini dan karena sifat hukum

yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:49

a. Comprehensif, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait

antara satu dengan yang lainnya secara logis,

b. All-inclusive, artinya bahwa kumpukan norma hukum tersebut cukup mampu

menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada

kekosongan hukum,

c. Systematic, artinya disamping bertautan antara satu dengan yang lainnya,

norma-norma hukum tersebut tersusun secara hierarkis.

Secara hierarkis peraturan perundang-undangan di Indonesia di atur di dalam Pasal 7

46 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad,Op. Cit.,hal. 184. 47 Ibid.

48 Jhony Ibrahim,Op. Cit., hal.132

(40)

ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang menetapkan bahwa jenis dan

hierarki perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar 1945,

b. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,

c. Peraturan Pemerintah,

d. Peraturan Presiden,

e. Peraturan Daerah.

Selain itu masih terdapat peraturan perundang-undangan yang lain yang dibuat oleh

lembaga-lembaga negara (dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM), baik di

pusat maupun di daerah sampai pada kepala pemerintahan di desa sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004.50

Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan menelaah semua

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu bantuan hukum yang

diteliti. Pendekatan ini fokus penelitiannya pada kepentingan praktis, yaitu untuk

mencari sinkronisasi.51

Referensi

Dokumen terkait

Judul : Pemberian Bantuan Hukum kepada Klien Tidak Mampu Yang Diancam Pidana Lebih Dari 5 Tahun Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang

Kepada Orang Yang Tidak Mampu Setelah Diundangkannya Undang-Undang Bantuan Hukum Nomor 16 Tahun 2011 ”. Bagaimanakah Peran Lembaga Bantuan Hukum

peranan advokat dalam pemberian bantuan hukum kepada orang yang tidak. mampu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011

Penelitian dengan judul “Implementasi Pasal 9 Huruf (A) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Terkait Peran Paralegal Dalam Memberikan Bantuan Hukum

Sebagai tujuan keadilan dalam masyarakat miskin di Indonesia yang masih terdapat banyak buta huruf dan buta hukum dimana terdapat orang yang tidak memiliki identitas kependudukan,

Bantuan hukum atau dikenal dengan istilah legal aid adalah jasa memberi nasehat hukum kepada orang yang tidak mampu untuk mendapatkan perwakilan hukum dan.. akses di pengadilan

Terkait kendala dan upaya dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum pasti ada di setiap Pengadilan Negeri di Indonesia termasuk

PERAN LBH FORUM MASYARAKAT MADANI INDONESIA KABUPATEN KAMPAR DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN