DIKAITKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2011
TENTANG BANTUAN HUKUM
TESIS
Oleh:
IWAN WAHYU PUJIARTO 127005116/S-2 HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DIKAITKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2011
TENTANG BANTUAN HUKUM
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Oleh:
IWAN WAHYU PUJIARTO 127005116/S-2 HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM
Nama Mahasiswa : IWAN WAHYU PUJIARTO
Nomor Pokok : 127005116
Program Studi : S-2 ILMU HUKUM
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo,SH.,M.Hum) K e t u a
(Dr. Eka Putra,SH.,M.Hum) (Dr. Edy Ikhsan,SH.,M.A)
A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan
Tanggal : 17 Desember 2014
____________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo,SH.,M.Hum
Anggota : 1. Dr. Eka Putra,SH.,M.Hum
2. Dr. Edy Ikhsan,SH.,M.A
3. Dr. Jusmadi Sikumbang,SH.,M.S
ABSTRAKSI
Bantuan Hukum hadir untuk memberikan perlindungan terhadap orang atau kelompok orang miskin. Negara melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Penyelenggara Bantuan Hukum harus dapat memberikan keadilan di bidang hukum kepada golongan miskin baik yang tidak maupun yang bermasalah hukum. Pelaksanaan peradilan terhadap orang miskin yang dikategorikan buta hukum secara litigasi harus memberikan rasa keadilan, oleh sebab itu Penerima Bantuan Hukum harus mengerti hak-hak hukum mereka untuk menunjang pemberian bantuan hukum oleh Pelaksana Bantuan Hukum yang diselenggarakan sesuai aturan. Adapun yang menjadi permasalahan yaitu, pertama, bagaimana pengaturan bantuan hukum di Indonesia, kedua, bagaimana kedudukan hukum Pemberi Bantuan Hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dan ketiga, apa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Pemberi Bantuan Hukum? Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif, bersifat deskriptif analitis, menggunakan teori keadilan, data yang digunakan data sekunder dari studi pustaka, dengan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia telah berupaya memberikan perlindungan terhadap orang atau kelompok orang miskin yang tersangkut perkara hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Bantuan Hukum, Peraturan Menteri Hukum dan Ham No. 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan yang memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Ketentuan tersebut antara lain mengatur tentang penyelenggaraan bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum, pendanaan, dan larangan Pemberi Bantuan Hukum. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian bantuan hukum kepada orang miskin yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum tidak berjalan sesuai aturan, syarat sebagai Pelaksana Pemberi Bantuan Hukum menghambat pemberian bantuan hukum, pemberian bantuan hukum tidak berjalan sesuai harapan karena masih dipengaruhi oleh aturan pelaksanaan yang kurang tepat. Sehubungan dengan hasil penelitian tesis ini, maka disarankan agar dalam Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum seharusnya lebih mengedepankan perlindungan hak-hak hukum Penerima Bantuan Hukum sebagai perwujudan terhadap akses keadilan. Disarankan agar peraturan pelaksana bantuan hukum lebih memberikan kemudahan terhadap Pelaksana Pemberi Bantuan Hukum dalam melaksanakan kewajiban sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
ABSTRACT
Legal Aid is present to provide protection against any person or group of poor people. State through the Ministry of Law and Human Rights as Legal Aid Organizer must be able to deliver justice in the legal field to the poor either do not or legal problems. Administration of justice for the poor are categorized blind litigation law should provide a sense of justice, therefore, the Legal Aid Recipients must understand their legal rights to giving support to legal aid by the Legal Aid Implementers organized according to the rules. As for the problem, namely, first, how the legal aid arrangements in Indonesia, second, how the legal position of Legal Aid Providers in the implementation of Act Number 16 Year 2011 regarding Legal Aid, and third, what are the factors that affect the Legal Aid Providers implementations? To answer these problems researchers using normative juridical research methods, analytical descriptive, using the theory of justice, the data used secondary data from the literature, with the approach of legislation. Based on the results of the study, Indonesia has sought to provide protection against persons or groups of poor people who lodged a lawsuit with the enactment of the Legal Aid Act, Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 3 Year 2013 regarding Procedures for Verification and Accreditation Legal Aid Society or organization that provides legal aid to persons or groups of poor people, the Indonesian Government Regulation Number 42 Year 2013 regarding the Terms and Procedures for Legal Aid and Legal Aid Fund distribution, Regulation law and Human Rights of the Republic of Indonesia Number 22 Year 2013 regarding Implementation Regulation Government Regulation Number 42 Year 2013 regarding the Terms and Procedures for Legal Aid and Legal Aid Fund distribution. Among other provisions governing the organization of legal aid, Legal Aid Providers, the rights and obligations of the Legal Aid Recipients, conditions and procedures for the provision of legal aid, funding, and the prohibition of Legal Aid Providers. This study concluded that implementations giving legal aid to poor people who set in Act Number 16 of 2011 regarding Legal Aid does not run according to the rules, requirements as Legal Aid Implementers inhibit giving legal aid, legal aid does not run as expected because they are affected by the rule of implimementations less precise. In connection with the results of this thesis, it is suggested that the implementations by Legal Aid Legal Aid Providers to giving must be prioritizing the protection of the legal rights of the Legal Aid Recipients as the embodiment of access to justice. It is recommended that the rule of Legal Aid more Implementer provides convenience for Implementing Legal Aid in implementing the obligations in accordance with Act Number 16 of 2011 regarding Legal Aid.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan
rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul
“Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum”. Tesis ini disusun dan diajukan
untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, hal ini kiranya keterbatasan pengetahuan
dan kemampuan yang penulis miliki.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H. Sp.A (K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas
kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
2. Prof. Dr. Runtung Sitepu,SH.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis
dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
3. Prof. Dr. Suhaidi,SH.,MH, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
kesempatan dan fasilitas kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
4. Prof. Dr. Syafruddin Kalo,SH.,M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing tesis
yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan sampai akhirnya penulis
dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
5. Dr. Muhammad Eka Putra,SH.,M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing I
tesis yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan dan saran yang
konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.
6. Dr. Edy Ikhsan,SH.,MA, selaku selaku Anggota Komisi Pembimbing II tesis yang
telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan, susunan dan saran demi
tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.
7. Dr. Jusmadi Sikumbang,SH.,M.S. dan Dr. Marlina,SH.,M.Hum, selaku Dosen
Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan tesisi
ini.
8. Para Guru Besar dan Staf Pengajar Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan.
9. Seluruh Staf Sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas perhatian dan bantuannya
yang diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian perkuliahan sampai
kepada penyelesaian tesis ini.
10. Para narasumber dari Anggota Komisi III DPR RI, Kemenkumham Wilayah
Medan, Bankesbanglinmas Medan, PN Medan, PS FH USU, LBH Medan,
Pusaka Indonesia, Kantor Advokat, dan Penerima Bantuan Hukum yang telah
membantu dalam memberikan informasi guna memperkaya tulisan tesis ini.
11. Suparto dan Pudji Astuti selaku orang tua penulis beserta Keluarga Besar
Roesman yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Prima Indonesia yang telah banyak membantu sejak pertama perkuliahan hingga
tesis ini selasai.
13. Teman-teman kuliah di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak,
terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya
dalam bidang hukum pidana.
Medan, 17 Desember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAKSI... i
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR ISI...vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1
B. Permasalahan... 14
C. Tujuan Penulisan...14
D. Manfaat Penulisan...15
E. Keaslian Penulisan...15
F. Kerangka Teori...18
G. Kerangka Konsepsi...21
H. Metode Penelitian... 22
1. Jenis Penelitian... 22
2. Sifat Penelitian...23
3. Teknik Pengumpulan Data...24
4. Jenis Data...25
5. Analisis Data...25
6. Metode Pendekatan...26
BAB II PENGATURAN BANTUAN HUKUM... 28
A. Sejarah Bantuan Hukum... 28
B. Beberapa Peraturan yang Berkaitan Bantuan Hukum... 45
D. Pemberian Bantuan Hukum Dalam Proses Hukum Pidana...65
BAB III PELAKSANA PEMBERI BANTUAN HUKUM...88
A. Wadah Pelaksana Bantuan Hukum... 88
1. Lembaga Bantuan Hukum... 89
2. Organisasi Kemasyarakatan...97
B. Para Pelaksana Bantuan Hukum...104
1. Advokat...104
2. Paralegal...110
3. Dosen... 113
4. Mahasiswa Fakultas Hukum...118
C. Pemberi Bantuan Hukum dalam memperoleh Verifikasi dan Akreditasi.. 119
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI PEMBERI BANTUAN HUKUM... 123
A. Faktor Yang Mempengaruhi Bantuan Hukum Pada Organisasi Masyarakat...123
B. Faktor Yang Mempengaruhi Bantuan Hukum Pada LBH... 129
C. Faktor Yang Mempengaruhi Bantuan Hukum Pada Kantor Advokat...135
D. Faktor Yang Mempengaruhi Bantuan Hukum Secara Umum... 137
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...152
ABSTRAKSI
Bantuan Hukum hadir untuk memberikan perlindungan terhadap orang atau kelompok orang miskin. Negara melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Penyelenggara Bantuan Hukum harus dapat memberikan keadilan di bidang hukum kepada golongan miskin baik yang tidak maupun yang bermasalah hukum. Pelaksanaan peradilan terhadap orang miskin yang dikategorikan buta hukum secara litigasi harus memberikan rasa keadilan, oleh sebab itu Penerima Bantuan Hukum harus mengerti hak-hak hukum mereka untuk menunjang pemberian bantuan hukum oleh Pelaksana Bantuan Hukum yang diselenggarakan sesuai aturan. Adapun yang menjadi permasalahan yaitu, pertama, bagaimana pengaturan bantuan hukum di Indonesia, kedua, bagaimana kedudukan hukum Pemberi Bantuan Hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dan ketiga, apa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Pemberi Bantuan Hukum? Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif, bersifat deskriptif analitis, menggunakan teori keadilan, data yang digunakan data sekunder dari studi pustaka, dengan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia telah berupaya memberikan perlindungan terhadap orang atau kelompok orang miskin yang tersangkut perkara hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Bantuan Hukum, Peraturan Menteri Hukum dan Ham No. 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan yang memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Ketentuan tersebut antara lain mengatur tentang penyelenggaraan bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum, pendanaan, dan larangan Pemberi Bantuan Hukum. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian bantuan hukum kepada orang miskin yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum tidak berjalan sesuai aturan, syarat sebagai Pelaksana Pemberi Bantuan Hukum menghambat pemberian bantuan hukum, pemberian bantuan hukum tidak berjalan sesuai harapan karena masih dipengaruhi oleh aturan pelaksanaan yang kurang tepat. Sehubungan dengan hasil penelitian tesis ini, maka disarankan agar dalam Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum seharusnya lebih mengedepankan perlindungan hak-hak hukum Penerima Bantuan Hukum sebagai perwujudan terhadap akses keadilan. Disarankan agar peraturan pelaksana bantuan hukum lebih memberikan kemudahan terhadap Pelaksana Pemberi Bantuan Hukum dalam melaksanakan kewajiban sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
ABSTRACT
Legal Aid is present to provide protection against any person or group of poor people. State through the Ministry of Law and Human Rights as Legal Aid Organizer must be able to deliver justice in the legal field to the poor either do not or legal problems. Administration of justice for the poor are categorized blind litigation law should provide a sense of justice, therefore, the Legal Aid Recipients must understand their legal rights to giving support to legal aid by the Legal Aid Implementers organized according to the rules. As for the problem, namely, first, how the legal aid arrangements in Indonesia, second, how the legal position of Legal Aid Providers in the implementation of Act Number 16 Year 2011 regarding Legal Aid, and third, what are the factors that affect the Legal Aid Providers implementations? To answer these problems researchers using normative juridical research methods, analytical descriptive, using the theory of justice, the data used secondary data from the literature, with the approach of legislation. Based on the results of the study, Indonesia has sought to provide protection against persons or groups of poor people who lodged a lawsuit with the enactment of the Legal Aid Act, Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 3 Year 2013 regarding Procedures for Verification and Accreditation Legal Aid Society or organization that provides legal aid to persons or groups of poor people, the Indonesian Government Regulation Number 42 Year 2013 regarding the Terms and Procedures for Legal Aid and Legal Aid Fund distribution, Regulation law and Human Rights of the Republic of Indonesia Number 22 Year 2013 regarding Implementation Regulation Government Regulation Number 42 Year 2013 regarding the Terms and Procedures for Legal Aid and Legal Aid Fund distribution. Among other provisions governing the organization of legal aid, Legal Aid Providers, the rights and obligations of the Legal Aid Recipients, conditions and procedures for the provision of legal aid, funding, and the prohibition of Legal Aid Providers. This study concluded that implementations giving legal aid to poor people who set in Act Number 16 of 2011 regarding Legal Aid does not run according to the rules, requirements as Legal Aid Implementers inhibit giving legal aid, legal aid does not run as expected because they are affected by the rule of implimementations less precise. In connection with the results of this thesis, it is suggested that the implementations by Legal Aid Legal Aid Providers to giving must be prioritizing the protection of the legal rights of the Legal Aid Recipients as the embodiment of access to justice. It is recommended that the rule of Legal Aid more Implementer provides convenience for Implementing Legal Aid in implementing the obligations in accordance with Act Number 16 of 2011 regarding Legal Aid.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana termuat dalam konstitusi
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945.
Sebagai prinsip negara hukum (Rechtsstaat) mengandung asas-asas supremasi hukum,
persamaan dimuka umum, penegakan hukum yang tidak bertentangan dengan aturan
yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, dan bukan negara
berdasar kekuasaan (Machtsstaat).1
Karakteristik negara hukum terlihat jelas karena adanya ketegasan pemisahan
kekuasaan sehingga terlihat bahwa pemerintahan dijalankan dengan hukum dan bukan
oleh perorangan penguasa.2 Negara berkewajiban untuk dapat mewujudkan
terselenggaranya peradilan yang adil dengan menjamin terciptanya suatu keadaan
dimana setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan keadilan (justice for all)3, hal
ini menciptakan konstitusi yang melindungi kepentingan individu dan pembatasan
kekuasaan negara.
Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang sangat besar dalam
penyelenggaraan negara Republik Indonesia di bidang bantuan hukum, namun sulit
untuk menyajikan suatu sistem penyelenggaraan negara khususnya sistem
perundang-undangan bidang bantuan hukum secara tepat guna. Hal tersebut terjadi
karena terdapat beberapa peraturan yang mengatur tentang bantuan hukum, selain itu
tidak semua kondisi telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan juga sering
1 Abdurrahman,Beberapa Aspek Tentang Bantuan Hukum di Indonesia,(Jakarta: UI, 1980), hal.1.
2 Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional(Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), hal. 21.
3 Frans Hendra Winarta,Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan
terdapat kebutuhan untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis. Kendati pengaturan
hal teknis dalam suatu peraturan menjadi kebutuhan terkadang tidak mampu
diakomodasi dari pendelegasian wewenang tentang bantuan hukum sebagaimana telah
diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum beserta
peraturan pelaksanaannya.
Pendelegasian wewenang dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
juga harus jelas karena pendelegasian wewenang mengenai bantuan hukum tersebut
tidak dapat hanya berupa delegasi blanko yang memungkinkan eksekutif membuat
berbagai peraturan dengan dalih sebagai peraturan pelaksana.4
Kebijakan bantuan hukum bersifat membela kepentingan masyarakat tanpa
melihat dari latar belakang, etnisitas, asal-usul, keturunan, warna kulit, ideologi,
keyakinan, politik, kaya miskin, agama atau kelompok orang yang dibelanya. Ketika
seseorang yang mampu (the have) mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk
seseorang atau lebih penasehat hukum untuk membela kepentingannya, demikian juga
seorang yang tergolong tidak mampu (the have not) dapat meminta pembelaan dari
seseorang atau lebih pembela umum (public defender) dari Lembaga Bantuan Hukum
(legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum.5
Bantuan hukum atau dikenal dengan istilahlegal aidadalah jasa memberi nasehat
hukum kepada orang yang tidak mampu untuk mendapatkan perwakilan hukum dan
akses di pengadilan baik non-litigasi dan ataupun litigasi secara adil, maka oleh
karena itu untuk setiap tindakan hukum yang dituduhkan kepada tertuduh perlu juga
memperhatikan hak-haknya mendapat kebenaran dan keadilan sesuai dengan tindakan
hukum yang dilakukannya tanpa adanya diskriminasi.6
4 Victor Imanuel W. Nalle,Kajian Pembentukan dan Uji Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, (Jawa
Timur: Setara Press, 2013), hal. 5.
Adnan Buyung Nasution dalam buku berjudul “Bantuan Hukum di Indonesia”
bantuan hukum mulai direncanakannya pada 18 sampai 20 Agustus 1969 pada
Kongres III PERADIN di Jakarta, yang kemudian diwujudkan dengan membentuk
LBH di tahun 1971, hal ini bukan sekedar pelembagaan pelayanan kepentingan
hukum si miskin tetapi sebuah gerakan menyangkut hak-hak, kepentingan dan
kewajiban secara legal. Bantuan Hukum bagi kelompok miskin dapat diartikan
bantuan hukum bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, sedangkan
buta hukum adalah lapisan masyarakat yang buta huruf atau berpendidikan rendah
yang tidak mengetahui dan menyadari hak-haknya sebagai subjek hukum atau karena
kedudukan sosial dan ekonomi serta akibat tekanan-tekanan dari yang lebih kuat tidak
mempunyai keberanian untuk membela dan memperjuangkan hak-haknya.7
Pemerintah berperan membentuk lembaga yang membiayai bantuan hukum
melalui sistem Judicare8, yaitu Bar Association yang menyediakan layanan bantuan
hukum untuk masyarakat miskin, kemudian jasa bantuan hukum tersebut dibiayai oleh
negara. Konsep ini lahir sebagai sebuah konsekuensi dari perkembangan konsep
negara kesejahteraan (welfare state) dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk
memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Bantuan hukum dimasukkan sebagai
salah satu program peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama di bidang sosial,
politik dan hukum.9
Bantuan hukum merupakan tugas dan hak konstitusional bagi setiap warga negara.
Jaminan dan perlindungan tersebut pencerminan asas equality before the law yang
telah dijamin dalam Pasal 5, 6, dan 7 Universal Declaration of Human Right10,
7 Adnan Buyung Nasution,Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 1. 8 Judicarebahasa latin dari hakim, sistemJudicarediartikan sitem yang dibuat oleh Departemen
Kehakiman.
9 Martiman Prodjohamidjojo,Penasihat dan Bantuan Hukum Indonesia : Latar Belakang dan Sejarahnya,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), hal. 23.
10 Universal Declaration of Human Right (1948) tidak menciptakan hak-hak asasi, tetapi hanya
International Convernant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada Pasal 16 dan
Pasal 26 dapat dirujuk sebagai dasar normatif perlindungan atas hak memperoleh
perlindungan hukum dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi, kemudian
dipertajam dengan Pasal 13 ayat (3) ICCPR mengenai syarat pemberian bantuan
hukum, yaitu harus berorientasi kepada keadilan dan ketidak mampuan membayar
Advokat,11 Basic Principles on the Role of Lawyers,12 dan juga terdapat pada UUD
1945. UUD 1945 Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersama kedudukannya
didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
Dasar pertimbangan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen ke-4, menyatakan
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya depan
hukum, fakir miskin memiliki hak konstitusi untuk diwakili dan dibela oleh Advokat
atau pembela umum secara litigasi dan non-litigasi (bantuan hukum) sama seperti
orang yang mampu mendapatkan jasa hukum Advokat (legal service).13
Setiap orang memiliki hak-hak untuk mendapat perlakuan dan perlindungan yang
adil dengan persamaan dihadapan hukum, maka oleh karenanya untuk setiap
pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta pembelakangan yang diderita
olehnya, ia berhak pula mendapatkan hukum, Kebenaran dan Keadilan, sesuai dengan
asas Negara Hukum.14 Jaminan setiap orang untuk mendapat perlakuan yang sama di
dilindungi terhadap penyelewengfan dari pihak pemerintah. b. manusia mempunyai hak-hak kebebasan sosial, yaitu hak untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, perawatan, kesehatan dan pendidikan. Manusia mempunyai hak-hak kebebasan sipil dan politik dalam menentukan pemerintahan danpolicypemerintahan tersebut. Abdul Ghofur Anshori,Op. Cit.,hal.112.
11 Mohammad Mahfud MD., Sunaryati Hartono, Sidharta, Bernard L. Tanya, dan Anton F. Susanto,
Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Semarang: Thafa Media, 2013), hal. 728.
12 Frans Hendra Winarta,Op.Cit., hal. 4.
13 Syafruddin Kalo, Kuliah Hukum Pidana Pascasarjana USU, Rabu, 23 Oktober 2013.
14 Frans Hendra Winarta,Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan(Jakarta:PT Elex
hadapan hukum sebagai pencerminan asas equality protection the law15 dan asas
equal justice under the law16 yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28d ayat (1) yang
berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Negara menjamin pula hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28i ayat (1).
Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan adanya prinsip
ini berarti negara mengakui adanya hak-hak dalam ekonomi, sosial, budaya, sipil dan
politik bagi para fakir miskin, maka secara konstitusional orang miskin berhak untuk
diwakili dan dibela baik didalam maupun diluar pengadilan (acces to legal counsel)
sama seperti orang yang mampu membayar atau yang mendapat jasa hukum. Bantuan
hukum bagi si miskin termuat dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Jadi bantuan
hukum adalah hak dari orang yang tidak mampu yang dapat diperoleh tanpa bayar
(pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum.17
Bantuan hukum merupakan hal yang sangat esensial dalam menciptakan
kehidupan yang adil, bantuan hukum bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat
dalam hal tersangkut masalah hukum guna menghindari dari segala macam tindakan
sewenang-wenang aparat penegak hukum yang belum mengerti dan kurang
menghayati nila-nilai yang tersirat dalam UUD 1945, yaitu banyak oknum aparat
pemerintah yang merasa dirinya identik dengan negara dimana kepentingan
pemerintah adalah kepentingan negara, hal ini sangat menyesatkan karena
kepentingan pemerintah belum tentu kepentingan negara, pemerintah hanya salah satu
dari kompleksitas lembaga-lembaga dalam negara. Subsistem polisi, jaksa, pengadilan,
pekerja lembaga pemasyarakatan dan penyedia bantuan hukum harus dapat
bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama yaitu antara lain menciptakan peradilan
yang adil, mencegah kejahatan, mencegah pengulangan kejahatan, dan merehabilitasi
pelaku kejahatan serta mengembalikan pelaku kejahatan yang telah menjalani
pemidanaan ke lingkungan masyarakat. Hukuman sebagai pembalasan sudah tidak
dianut lagi dalam sistem peradilan yang modern dan menjunjung hak asasi manusia.18
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menganut due process of law (proses peradilan pidana yang
adil). Pada due process of law hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana dilindungi dan
dianggap sebagai bagian dari hak-hak warga negara (civil right) dan karena itu
merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia, namun didalam implementasinya
crime control model (arbitary process/proses yang sewenang-wenang) masih
diberlakukan. Proses yang sewenang-wenang ini tersangka atau terdakwa dianggap
dan dijadikan sebagai objek pemeriksaan tanpa memperdulikan hak-hak asasi
kemanusiaannya dan haknya untuk membela dan mempertahankan martabatnya serta
kebenaran yang dimilikinya. Kesewenang-wenangan dalam proses peradilan bisa
terjadi karena penegak hukum terbiasa mempraktikkan penyelidikan dan penyidikan
menurut crime control model seperti adanya penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi,
serta sikap merendahkan harkat dan martabat (torture, other cruel, inhuman and
degrading treatment) sesuai dengan yang dianut Het Herziene Inlandsch Reglement
(HIR).19
Ketentuan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
18 Sintong Silaban,Advokat Muda Indonesia: Dialog Tentang Hukum, Politik, Keadilan, Hak Asasi Manusia,
Profesionalisme Advokat dan Lika-liku KeAdvokatan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992). hal. 45.
khususnya pada Pasal 4 menjadi ketentuan yang berpengaruh besar terhadap
Undang-Undang Bantuan Hukum dilahirkan sebagai upaya pemenuhan tanggung
jawab negara dalam memberikan perlindungan kepada warganya. Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 menyebutkan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”
Mencermati konteks pembentukan hukum mengenai bantuan hukum bagi si
miskin, gagasan pembebasan berwujud pemaknaan ulang mengenai keberpihakan
yang dipersandingkan dengan tindakan yang seolah dipandang diskriminatif dapat
diurai ujung pangkalnya. Bahwa pengkhususan warga negara yang berhak
memperoleh bantuan hukum gratis karena kondisionalnya merupakan perwujudan
langkah progresif kewajiban pemerintah melindungi hak segenap bangsa dalam
merengkuh keadilan dihadapan hukum.20
Negara dalam pemberian perlindungan hukum kepada warganya dapat dilihat
dalam penjelasannya yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemberian bantuan
hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus
sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin
hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan
kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Adapun aturan pelaksanaan
program bantuan hukum di Indonesia diantaranya adalah:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum menambah daftar peraturan
perundang-undangan yang memuat tentang bantuan hukum, meskipun memang
peraturan perundang-undangan yang bersifat lex speciali baru ada setelah hadirnya
Undang-Undang ini. Kendala atas implementasi perundang-undangan yang terjadi
sebelum lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum adalah tidak adanya jaminan di
dalam UUD 1945 dan di dalam KUHAP bagi orang mampu maupun bagi orang yang
tidak mampu untuk membayar atau memperoleh pembelaan. Meskipun
Undang-Undang Advokat mengakui konsep bantuan hukum, namun tidak
menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum secara
mendalam.21
Perdebatan para pelaku hukum mamandang bahwa Undang-Undang Bantuan
Hukum mengandung ketidak jelasan pemberian bantuan hukum dengan
membenturkan Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Advokat,
selain itu juga terdapat berbagai penafsiran dalam beberapa Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum juga diatur dalam
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang
menyebutkan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Secara lebih spesifik aturan ini termuat
juga dalam Kode Etik Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Pasal 7 point h
menyatakan bahwa Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan
hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu. PERADI sendiri
membentuk satu unit layanan bernama PBH PERADI, yang menerapkan kewajiban
50 jam per-tahun untuk setiap Advokat memberikan bantuan hukumpro bono. Terkait
dengan bantuan hukum pro bono, negara menjadikan Pos Bantuan Hukum sebagai
wadah untuk bantuan hukum bagi orang tidak mampu.
Pelaksanaan bantuan hukum juga terdapat perbedaan pendapat tentang Sistem
Pro bonomaupun Sistem bantuan hukum, yaitu sama-sama merupakan strategi untuk
memberikan pelayanan hukum (legal services) bagi masyarakat miskin dan rentan.
Sistem probono bukanlah penganti dari sistem bantuan hukum, tetapi ikut
mendukungnya dengan keterlibatan para Advokat sebagai salah satu pemberi layanan.
Sistem bantuan hukum tidak meniadakan kewajiban pro bono Advokat. Hal ini telah
menjadi isu hukum di sebagian kalangan Advokat karena eksistensi Lembaga Bantuan
Hukum dan Organisasi Kemasyarakatan yang memenuhi standar Pelaksana Bantuan
Hukum dapat merekrut paralegal, dosen, mahasiswa Fakultas Hukum dalam
memberikan nasihat atau Bantuan Hukum kepada masyarakat secara litigasi maupun
non-litigasi yang diakui dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum dimana ketentuan Pasal 4 ayat (3) meliputi menjalankan
kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain
untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.
Advokat sebagian besar memandang bahwa seharusnya Undang-Undang Advokat
di depan pengadilan hanya Advokat karena hal demikian telah diatur dalam Pasal 56
ayat (2) KUHAP. Namun hukum acara yang berlaku mencantumkan pihak-pihak yang
berperkara untuk tampil dengan menggunakan istilah penasihat hukum. Ketentuan
hanya Advokat sebagai penasihat litigasi telah mengalami perubahan.
Secara konsepsional, bantuan hukum dalam sistem peradilan terbatas pada
charity (undangan kegiatan amal/gratis sebagai wujud kepedulian) dalam kerangka
pemerataan keadilan. Konsep yang demikian menjadikan besarnya alokasi anggaran
menjadi indikator utama apakah bantuan hukum telah berhasil atau tidak. Anggaran
tersebut dikelola oleh pemerintah dan merupakan kebijaksanaan sosial. Kebijaksanaan
yang diharapkan agar pemerintah mampu melindungi dan sekaligus bahwa hak asasi
manusia telah dilaksanakan yakni melalui bantuan pembiayaan keuangan kepada
orang miskin untuk membayar jasa Pemberi Bantuan Hukum. Penetapan besaran
anggaran bantuan hukum yang dialokasikan dikhawatirkan menimbulkan kepentingan
tertentu dimana anggaran untuk proses nonlitigasi lebih kecil dari pada proses litigasi,
hal ini bisa memancing Pemberi Bantuan Hukum yang nakal untuk menyerap secara
maksimal anggaran dengan mengesampingkan proses nonlitigasi.
Sebagai turunan dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum adalah Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata
Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, bantuan
hukum ini tidak mengatur secara jelas apakah bantuan tersebut dapat diterima oleh
kasus yang ancaman atau dendanya kecil yaitu kurang dari satu juta rupiah, sedangkan
jika merujuk pada KUHAP seharusnya diberikan pada orang tidak mampu dengan
ancaman 5 tahun atau lebih. Perlindungan hukum terhadap orang miskin juga
dikhawatirkan tertanamnya sikap perlindungan negatif, yaitu dalam arti Penerima
nanti terlibat kasus hukum.
Bantuan hukum sering diartikan masyarakat sebagai suatu tindakan belas kasihan
di bidang hukum kepada fakir miskin sebagaimana diungkap dalam Konferensi yang
ke-3 dariLaw Asiadi Jakarta pada tanggal 16 sampai dengan 19 Juli 1973 bahwa ada
kecenderungan umum yang melihat bantuan hukum kepada orang miskin hanya
merupakan belas kasihan tetapi bukan sebagai hak asasi manusia, dimana orang
miskin dapat membela dirinya secara hukum dan menyampaikan semua keluhannya
untuk kemudian mendapatkan ganti rugi bantuan hukum janganlah dilihat dari sudut
yang sempit.22 Pasal 5 Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 hanya orang miskin yang
tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yaitu hak atas pangan,
sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan, berusaha dan perumahan,
maka bagaimanakah perlindungan hukum pada orang atau kelompok yang
termajinalkan (perempuan, anak, buruh, petani, korban pencemaran lingkungan,dll)
karena kebijakan publik, selain itu terdapat pula orang yang hak sipil dan politiknya
terabaikan, masyarakat adat yang buta hukum, orang atau kelompok imigran yang
juga perlu dilindungi hak-haknya, dan bagaimana terdakwa dengan ancaman pidana
15 tahun atau lebih dan hukuman mati atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam pidana 5 tahun atau lebih.
Tanggapan atas kriteria miskin saja sebagai Penerima Bantuan Hukum, maka
dapatlah dijelaskan bahwa berbasis pada dialektik23 mengenai akses bantuan hukum
gratis yang hanya diperuntukkan bagi si miskin, dapat ditarik suatu benang merah
bahwa pengkhususan golongan yang memeroleh bantuan hukum demikian, bukan
merupakan suatu bentuk diskriminasi, namun justru merupakan bentuk keberpihakan
22 Frans Hendra Winarta,Bantuan Hukum..., Op. Cit.,hal. 34.
23 Dialektik atau dialektika berasal dari kata dialog yang berarti komunikasi dua arah, istilah ini telah ada
yang progresif, kondisi kmiskin jika diteropong dari kelindan kesetiaan kepada hukum
(fidelity to law), kewajban politik (political obligation), hingga ketidakpatuhan sipil
(civil disobedience) yang menimpa sebagian warga negara yang berhadapan dengan
hukum bukan dipandang sebagai aspek pengekonomian semata, namun lebih kepada
kewajiban negara untuk memberikan rasa keadilan yang menjadi hak warga negara.
Acapkali hak tersebut tidak terpenuhi atau bahkan terabaikan karena kondisi miskin
tadi, namun negara tidak boleh membiarkan kondisi miskin menghalangi yang
bersangkutan untuk mengakses keadilan. Pada kondisi kaya miskin yang demikian
berbeda, tentu keadilan tidak boleh dimaknai sama rata sama rasa24, namun justeru
harus berpihak. Hal ini keberlakuan hukum harus sama dalam kondisi normal, namun
harus berbeda jika kondisinya berbeda. Dengan lain perkataan, keberadaan bantuan
hukum bagi si miskin merupakan keseimbangan perwujudan posisi yang diharapkan
terjadi atas diri klien miskin ketika berhadapan dengan hukum dan aparat penegak
hukum. Tindakan advokasi yang dilakukan oleh Advokat maupun paralegal dalam
memberikan bantuan hukum gratis terhadap diri klien miskin tersebut diharapkan
memberikan posisi yang seimbang25 atas keawaman klien dalam dunia hukum jika
dibandingkan dengan para penegak hukum yang membidangi hukum dikesehariannya.
Keberpihakan terhadap kaum miskin yang berhadapan dengan hukuk dalam ruang
sosial keindonesiaan demikian, oleh Suteki26 dikatakan sangan logis apabila timur
24 Contoh sama rata sama rasa dimana mengena lembaga pemasyarakatan yang dibedakan berbasis gender
(lapas pria dan lapas wanita) maupun berdasar usia ( lapas anak dan lapas dewasa) warga binaannya agaknya dapat menjadi perenungan mengenai konsepsi adil tidak harus sama rata sama rasa.
25 Inilah konsepsiequalityof armdalam menjalankan tugas profesional pemberian bantuan hukum. Advokat
sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya equalityof armdalam upaya penegakan supremasi hukum. Bahkan kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan Advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum.
Muhammad Rustamaji, Dewi Gunawati, Moot Court: Membedah Peradilan Pidana dalam Kelas Pendidikan Hukum Progresif, (Surakarta: Mefi Caraka, 2011), hal.133.
26 Sebagaimana teori kuantum ala Jawa yang serung dikemukakan Satjipto Rahardjo, “sejatine ora ono
memiliki cara berhukum tersendiri meskipun yang sedang digunakan adalah hukum
barat. Pada akhirnya karakter oriental akan tetap membalut pembentukan dan
pengakan hukum di Indonesia yang acapkali melompat dan membentuk quantum
berbalut makna dengan desain hukumnya sendiri di ruang sosialnya.27
Berkenaan dengan Kebijakan Pemerintahan yang harus dijalankan dengan
hukum, maka secara logis pemerintah tidak dapat melakukan tindakan yang
bertentangan dengan hukum, misalnya syarat Pemohonan Bantuan Hukum yang harus
melampirkan KTP dimana terhadap orang yang tidak memiliki identitas maka
Pelaksana Bantuan Hukum harus mengupayakan identitas sementara di wilayah
kelurahan dari Pemberi Bantuan Hukum tersebut, padahal bagaimana mungkin orang
dapat mendapat identitas sementara orang tersebut bukan warga kelurahan tersebut.
Pemerintah tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan khususnya mengenai
bantuan hukum yang bertentangan dengan konstitusi atau peraturan-peraturan lainnya
kecuali ada penghapusan terhadap aturan tersebut, hal yang bertentangan terhadap
peraturan konstitusi seperti penghapusan Pasal 31 pada Undang-Undang Advokat
dimana dalam Pasal tersebut memuat hanya Advokat yang boleh beracara. Jika
terdapat pihak yang dirugikan maka setiap warga negara yang memilikilegal standing
dapat mengajukan permohonan uji materiil dan pembatalan suatu Undang-Undang ke
Mahkamah Agung.28
Belum jelasnya tentang format dan substansi peraturan bantuan hukum yang
sering kali merupakan norma pengaturan untuk umum, dalam praktiknya tentu dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama dalam hal mengikatnya.
Penelitianan ini akan dibahas lebih lanjut tentang pemberian bantuan hukum
warga bangsa Indonesia yang termasuk di kawasan Asia Tenggara. Sesuatu yang tersembunyi itu adalah spirit ketimuran yang akan memengaruhi manusia Indonesia dalam menentukan cara berhukumnya.
Suteki, Desain Hukum di Ruang Sosial, (Bantul Yogyakarta-Semarang: Thafa Media dan Satjipto Rahardjo Institute, 2013), hal.165-167.
yang dilihat dari peraturan yang diberlakukan (bantuan hukum proses pidana), para
Pemberi Bantuan Hukum, sampai pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pelaksanaan pemberian bantuan hukum.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka diajukan suatu penelitian dalam bentuk
Tesis dengan judul "Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum."
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka pokok permasalahan
dalam penelitianan ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan bantuan hukum di Indonesia?
2. Bagaimanakah kedudukan hukum Pemberi Bantuan Hukum dalam pelaksanaan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum?
3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Pemberi Bantuan Hukum?
C. Tujuan Penelitianan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan bantuan hukum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui kedudukan hukum Pemberi Bantuan Hukum dalam
pelaksanaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Pemberi
D. Manfaat Penelitianan
Manfaat penelitian yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah
sebagi berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memberikan tambahan
pemikiran dalam pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum,
khususnya yang terkait dengan bantuan hukum di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk
menyempurnakan dan menyusun lebih lanjut tentang kebijakan-kebijakan di bidang
Bantuan Hukum dan pelaksanaannya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang ada di Perpustakaan
Universitas Sumatera Utara (USU) Medan khususnya pada Magister Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Pelaksanaan Pemberi
Bantuan Hukum dikaitkan dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang
Bantuan Hukum”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan permasalahan yang
sama oleh penelitian lain. Dengan demikian penelitian ini asli disusun sendiri dan
bukan diambil dari tesis orang lain.
Guna menghindari adanya duplikasi penelitian terhadap permasalahan yang sama,
peneliti telah melakukan pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah ada
di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Beberapa judul penelitian yang berkaitan
dengan bantuan hukum diantaranya:
Bantuan Hukum oleh Advokat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme.”
Permasalahan :
a. Bagaimanakah urgensi pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap
pelaku tindak pidana terorisme?
b. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh Advokat dalam memberikan
bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme?
2. Tesis atas nama Friska Anggi Siregar, NIM: 107005084, dengan judul “Hak
Tersangka Dalam Mendapatkan Bantuan Hukum (Tinjauan Terhadap KUHAP
dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum).”
Permasalahan :
a. Bagaimanakah pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum
menurut KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum?
b. Bagaimanakah pengaturan peran Advokat dalam memberikan bantuan hukum
terhadap tersangka menurut hukum positif Indonesia?
c. Bagaimanakah sinkronisasi Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang
Bantuan Hukum dengan KUHAP dalam pemberian bantuan hukum terhadap
tersangka?
3. Tesis atas nama Dewi Erfina Suryani, NIM: 117005044, dengan judul
“Perlindungan dan Bantuan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual
Dalam Pernikahan Dini (Studi Putusan No.436/PID.B/2009/PN.RAP).”
4. Tesis atas nama Fenny Tetty Chompriani, NIM: 117005040, dengan judul
“Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Bagi Tersangka
Atau Terdakwa yang Tidak Mampu (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan).”
a. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma
bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu di Wilayah Pengadilan
Negeri Medan?
b. Apakah kendala Advokat dalam memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu di Wilayah
Pengadilan Negeri Medan?
c. Apa saja upaya yang dilakukan Advokat dalam memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu?
5. Tesis atas nama Sinur Oki Vera Tambunan, NIM: 992105017, dengan judul
“Perlindungan dan Bantuan Hukum Atas Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam
Proses Peradilan Pidana (Study Kasus di Pengadilan Negeri Tanjung Balai).”
6. Tesis atas nama Adi Mansar, NIM: 992105032, dengan judul “Bantuan Hukum
Bagi Anak Nakal dalam Lingkungan Wewenang PN Kelas I A Medan.”
Permasalahan :
a. Bagaimanakah pelaksanaan bantuan hukum bagi anak nakal dalam
Lingkungan Pengadilan Negeri Kelas 1A Medan?
b. Kendala-kendala yang dihadapi dalam memberikan bantuan hukum bagi
anak nakal dalam Lingkungan Pengadilan Negeri Kelas 1A Medan?
c. Upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi kendala dalam memberikan
bantuan hukum bagi anak nakal dalam Lingkungan Pengadilan Negeri Kelas
1A Medan?
7. Tesis atas nama Lestarisan Putra Ginting, NIM: 107005118, dengan judul
“Pelaksanaan Pelayanan Pemberian Bantuan Hukum kepada Tahanan oleh
Rumah Tahanan Negara (Studi di Rumah Tahanan Kelas I Medan).”
Balik (Mutual Legal Asistance) Dalam Penyitaan dan Perampasan Aset Korupsi.”
penelitian ini dapat dikatakan bebas dari plagiat serta dapat di pertanggung
jawabkan keasliannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori
Hukum harus menjamin bahwa setiap orang dengan kedudukannya dimuka
hukum dan pengadilan tidak membedakan strata sosial dan tidak ada prioritas si
miskin terhadap sikaya dalam mendapat keadilan, meskipun dalam praktiknya terjadi
diskriminasi. Terhadap hal ini maka disahkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum yang diharapkan agar lebih konsisten dalam melindungi
hak-hak setiap orang yang tidak mampu.29
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan, adalah
kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem
pemikiran. Teori keadilan mewajibkan harapan yang lebih tinggi dari orang-orang
yang beruntung menyumbang prospek pada orang-orang lemah, ketimpangan sosial
dan ekonomi harus menjadi perhatian. Tidak semua posisi sosial adalah relevan, sebab
bukan hanya para petani, namun petani susu, petani gandum, petani yang bekerja pada
area tanah yang besar, begitu pula pada berbagai pekerjaan dan kelompok lainnya.
Posisi kewarganegaraan yang setara dan posisi yang ditentukan oleh posisinya dalam
distribusi pendapatan dan kekayaan, sebisa mungkin keadilan sebagai fairness30
menilai sistem sosial dari posisi kewarganegaraan yang sama serta berbagai level
29 Abdurrahman Riduan Syahrani,Hukum dan Peradilan, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 71.
30 Keadilan sebagai fairness, hal ini menyatakan bahwa seseorang diwajibkan melakukan perannya
pendapatan dan kekayaan.31 Keadilan disini dalam hal hak dan kewajiban sama
dihadapan hukum tanpa melihat status sosial dan kekayaan.
Plato di dalam Mohammad Muslehuddin menyebutkan tentang keadilan sebagai
berikut:32
“in his view, justice consist in a harmonious relation, between the various parts of the social organism. every citizen must do his duty in his a haunted place and do the thing for which his nature is best suited.”
Plato dalam mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik yang
memandang keadilan terdiri dari hubungan yang harmonis, antara berbagai organisme
sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat
alamiahnya. Pembuat peraturan harus menempatkan dengan jelas posisi setiap
kelompok masyarakat dimana dan situasi bagaimana yang cocok untuk seseorang. Hal
ini karena setiap orang bukanlah suatu jiwa yang terisolir dan bebas melakukan apa
saja yang dikehendakinya dengan tetap pada aturan dan tatanan universal yang
menundukkan keinginan pribadinya sebagai makhluk sosial.
Aristoteles memiliki pandangan yang berbeda dengan Plato. Aristoteles di dalam
Moslehudin berpandangan bahwa keadilan berisi suatu unsur kesamaan, bahwa semua
benda yang ada di alam ini dibagi secara rata dimana pelaksanaannya dikontrol oleh
hukum. Aristoteles membagi keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan
korektif. Keadilan distributif adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat
undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota
masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif
adalah keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan
serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim
dan menstabilkan kembali status quodengan cara mengembalikan milik korban yang
31 John Rawls,Op.Cit., hal. 114-118.
32 Mohammad Moslehudin,Philosophy of Islamic law and the orientalists : a comparative study of Islamic
bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang.33
Aristoteles mempengaruhi pandangan John Rawls, dimana subjek utama
keadilan adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya, cara lembaga-lembaga
sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan
pembagian keuntungan dari kerja sama sosial. Keadilan dalam skema sosial secara
mendasar bergantung pada bagaimana hak-hak dan kewajiban fundamental diterapkan
pada perlindungan struktur dan kondisi sosial dalam berbagai sektor masyarakat.34
Abdul Ghofur Anshori mengutip teori keadilan John Rawls yang menyebutkan
prinsip-prinsip pertama keadilan itu bertolak dari suatu konsep keadilan yang lebih
umum yang dirumuskan sebagai berikut:35
“All social values -- liberty and oportunity, income and wealth, and the bases of self-respect--are to be distributed equally unless and unequal distribution of any,
or all, of these values is to everyone's advantage.”
Terjemahan, Semua nilai-nilai sosial - kebebasan dan kesempatan, pendapatan
dan kekayaan, dan dasar-dasar harga diri - harus merata kecuali dan distribusi yang
tidak merata apapun, atau semua, dari nilai-nilai ini adalah untuk keuntungan semua
orang.
Ada dua hal penting. Pertama, kebebasan ditempatkan sejajar dengan nilai-nilai
lainnya, dan dengan itu juga konsep umum keadilan tidak memberi tempat istimewa
terhadap kebebasan. Hal ini berbeda dengan konsep kebebasan Rawls yang berakar
pada prinsip hak dan bukan pada prinsip manfaat. Kedua, keadilan tidak berarti semua
orang harus mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama. Keadilan tidak selalu
berarti semua orang harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan
perbedaan-perbedaan penting yang secara objektif ada pada setiap individu.
33 Mohammad Moslehudin,Filsafat hukum Islam dan pemikiran orientalis : studi perbandingan sistem
hukum Islam(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), hal 36.
34 John Rawls,Op.Cit., hal. 7-8.
Ketidaksamaan dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan asalkan
kebijakan itu ditempuh demi menjamin dan membawa manfaat bagi semua orang.
Rawls memberikan tempat dan menghargai hak setiap orang untuk menikmati suatu
hidup yang layak sebagai manusia, termasuk mereka yang paling beruntung.36
Berdasarkan hal tersebut, pandangan teori keadilan membantu dalam
menggambarkan unsur konstitutif sistem hukum yang diberlakukan negara dan tujuan
dari kebijakan pemerintah terkait dengan bantuan hukum yang diperuntukkan kepada
setiap orang atau kelompok orang miskin sebagai upaya untuk melaksanakan prinsip
equality before the law.
G. Kerangka Konsepsi
Konseptualisasi adalah rangkaian konsep-konsep, definisi, dan proposisi yang
digunakan sebagai landasan pemikiran penelitian. Dalam hal ini, konsep, definisi, dan
proposisi yang dirangkai harus relevan dengan topik penelitian. Konsep adalah suatu
peristilahan atau lambang yang mempunyai pengertian tertentu dalam ruang lingkup
tertentu. Oleh karena itu, konsep pada hakikatnya menunjuk pada suatu pengertian.
Adapun definisi adalah batasan pengertian tentang suatu fenomena atau konsep.
Definisi mempunyai uraian lebih tegas, lebih singkat dan khusus. Dengan demikian,
perlunya suatu fenomena atau konsep didefinisikan adalah untuk mempertegas dan
mempersempit fenomena yang diteliti.37
Sesuai dengan judul penelitian ini, maka terdapat konsep-konsep diantaranya:
1. Bantauan Hukum adalah pemberian bantuan hukum oleh Pemberi Bantuan
Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada orang
miskin untuk mendapatkan perwakilan hukum dan akses di pengadilan baik
36 Ibid.
37 Pataniari Siahaan,Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta:
non-litigasi maupun litigasi.
2. Pemberi Bantuan Hukum adalah Lembaga Bantuan Hukum atau organisasi
bantuan hukum yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan
Undang-Undang Bantuan Hukum.
3. Pelaksana Bantuan Hukum adalah Advokat yang berstatus sebagai pengurus
Pemberi Bantuan Hukum dan/atau Advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa
Fakultas Hukum yang direkrut oleh Pemberi Bantuan Hukum.
4. Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum adalah aktifitas berkenaan dengan
Undang-Undang Bantuan Hukum dalam kedudukan dan wewenang.
5. Dana Penyelenggaraan Bantuan Hukum adalah dana yang diperoleh untuk
menyelenggarakan bantuan hukum yang bersumber dari APBN, APBD, hibah
atau sumbangan, dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah berbagai cara yang dilakukan bertujuan untuk mencari
penyelesaian dengan menganalisa terhadap satu atau beberapa gejala permasalahan
secara mendalam. Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami
objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sedangkan
penelitian adalah suatu kerja ilmiah yang bertujuan mengungkapkan kebenaran secara
sistematis, metodologis, dan konsisten.38
I. Jenis Penelitian
Jenis (tipe) penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif. Menurut Jhony Ibrahim penelitian yuridis normatif yaitu suatu prosedur
penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan
38 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji,penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta:
dipandang dari sisi normatifnya (asas-asas, prinsip-prinsip, kaidah-kaidah) yang
terdapat dalam aturan perundang-undangan.39
Penelitian hukum normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem
norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi40 (preskriptif41) tentang suatu
peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma
sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem
kaidah atau aturan. Selanjutnya dijelaskan bahwa penelitian hukum normatif meneliti
kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sitem yang terkait dengan suatu
peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan
argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa sudah benar atau
salah serta bagaimana seharusnya peristiwa itu menurut hukum.42 Sehingga dapat
dikatakan sebagailibrary based, focusing on reading and analysis of the primary and
secondary materials(perpustakaan berbasis, dengan fokus pada membaca dan analisis
bahan primer dan sekunder).43
Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai penelaah dalam tataran
konsepsional tentang arti dan maksud berbagai peraturan hukum nasional yang
berkaitan dengan Bantuan Hukum di Indonesia, penelitian ini bertitik tolak dari
permasalahan dengan melihat pelaksanaan kemudian menghubungkannya dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya tentang Bantuan Hukum.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian
yang berusaha untuk menggambarkan dan menguraikan tentang permasalahan yang
39 Johny Ibrahim,Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia Publishing,
2005), hal.46.
40 Justifikasi adalah putusan (alasan, pertimbangan) berdasarkan hati nurani. http://kbbi.web.id/justifikasi. 41 Preskriptif adalah bersifat memberi petunjuk atau ketentuan atau menurut ketentuan resmi yg berlaku.
Ibid.,
42 Mukti Fajar N.D. Dan Yulianti Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hal. 36.
berkaitan dengan Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum di Indonesia. Menurut
Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.44 Penelitian ini
dimaksudkan untuk mendeskripsikan secara sistematis tentang pelaksanaan Pemberi
Bantuan Hukum.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui peraturan dan arah kebijakan
pemerintah yang belum sesuai dengan pelaksanaan progam bantuan hukum. Dengan
mengetahui faktor tersebut, diharapkan dapat dirumuskan analisa dan upaya yang
perlu dilakukan untuk memperbaiki peraturan yang berlaku.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data berupa data sekunder yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil penelitian yang berwujud laporan, dll.45 Pengumpulan data dilakukan melalui
studi pustaka dan wawancara.
Studi pustaka yang dilakukan dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder.
Jika diperlukan wawancara akan dilakukan untuk menambah data sekunder.
Wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Pemilihan
narasumber dilakukan dengan mengutamakan segi kompetensi keilmuan ataupun
ketokohan seseorang yang dapat memberikan informasi yang terkait dengan penelitian
ini.
Penelitian hukum yang dilakukan dengan studi pustaka (Documentary research)
terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
ataupun bahan hukum tersier. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dilakukan
dengan membaca, melihat, mendengarkan dan melalui media internet. Selain itu juga
dilakukan penelitian terhadap pelaksanaan secara langsung untuk mendukung dan
44 Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1996),
hal. 10.
memperkuat argumentasi-argumentasi yang dibahas dalam penelitian ini melalui
wawancara kepada narasumber diantaranya pada Lembaga Bantuan Hukum,
Organisasi Kemasyarakatan, Kantor Advokat, Penerima Bantuan Hukum, Hakim
Pengadilan Negeri, Badan Kesatuan Bangsa, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, dan DPR RI.
4. Jenis Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini data sekunder, yaitu bahan-bahan
hukum yang tersebar dalam berbagai tulisan yang dibedakan atas:
a. Bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan
peraturan lainnya yang berkaitan dengan Bantuan Hukum.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dari bahan-bahan
tertulis tentang Bantuan Hukum dalam bentuk buku, makalah, wawancara dan
artikel.
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang berisi penjelasan arti tentang
berbagai istilah yang terkait dengan objek penelitian seperti kamus bahasa, kamus
hukum, dan ensiklopedia.
5. Analisis Data
Data atau bahan hukum yang terkait dengan pelaksanaan Pemberi Bantuan
Hukum dianalisis dengan menggunakan teori, yang dalam penelitian ini dipergunakan
teori keadilan, yang selanjutnya akan dibuat kesimpulan sebagai hasil dari penelitian.
Analisis dalam penelitian ini bersifat preskriptif, menurut Mukti Fajar dan
Yulianto Achmad mengemukakan, analisis preskriptif bermaksud untuk memberikan
argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Argumentasi yang telah
dikemukakan adalah untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau
dari hasil penelitian.46
6. Metode Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian hukum normatif merupakan dasar sudut pandang
dan kerangka berpikir tentang seorang peneliti untuk melakukan analisis. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi tentang berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.47
Jawaban atas pokok permasalahan secara komprehensif maka penelitian ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian
normatif harus mengguanakan statute approach karena yang akan diteliti adalah
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentralnya.48
Pendekatan perundang-undangan (statute approach)dimaksudkan bahwa peneliti
menggunakan peraturan perundang-undangan di bidang bantuan hukum sebagai dasar
awal melakukan analisis. Hal ini harus dilakukan oleh peneliti karena peraturan
perundang-undangan merupakan titik fokus dari penelitian ini dan karena sifat hukum
yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:49
a. Comprehensif, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait
antara satu dengan yang lainnya secara logis,
b. All-inclusive, artinya bahwa kumpukan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada
kekosongan hukum,
c. Systematic, artinya disamping bertautan antara satu dengan yang lainnya,
norma-norma hukum tersebut tersusun secara hierarkis.
Secara hierarkis peraturan perundang-undangan di Indonesia di atur di dalam Pasal 7
46 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad,Op. Cit.,hal. 184. 47 Ibid.
48 Jhony Ibrahim,Op. Cit., hal.132
ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang menetapkan bahwa jenis dan
hierarki perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945,
b. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
c. Peraturan Pemerintah,
d. Peraturan Presiden,
e. Peraturan Daerah.
Selain itu masih terdapat peraturan perundang-undangan yang lain yang dibuat oleh
lembaga-lembaga negara (dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM), baik di
pusat maupun di daerah sampai pada kepala pemerintahan di desa sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004.50
Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan menelaah semua
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu bantuan hukum yang
diteliti. Pendekatan ini fokus penelitiannya pada kepentingan praktis, yaitu untuk
mencari sinkronisasi.51