• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kelangsungan Hidup Dan Pertumbuhan Spons Jenis Petrosia yang Ditransplantasikan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Kelangsungan Hidup Dan Pertumbuhan Spons Jenis Petrosia yang Ditransplantasikan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN

SPONS JENIS

Petrosia (Petrosia) nigricans

Lindgren, 1897 dan

Aaptos aaptos

(Schmidt, 1864) YANG DITRANSPLANTASIKAN

DI PERAIRAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU,

JAKARTA

BEGINER SUBHAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Tingkat Kelangsungan Hidup dan

Pertumbuhan Spons Jenis

Petrosia (Petrosia) nigricans

Lindgren, 1897

dan

Aaptos

aaptos

(Schmidt, 1864)

yang Ditransplantasikan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan

Seribu, Jakarta adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2009

Beginer

Subhan

(3)

ABSTRACT

BEGINER SUBHAN. Survival rate and Growth of transplanted Sponge

Petrosia

(Petrosia) nigricans

Lindgren, 1897 and

Aaptos aaptos

(Schmidt, 1864) in Pari

Island, Seribu Islands, Jakarta

.

Under direction of Dedi Soedharma, Neviaty P.

Zamani

Research on sponge transplantation in Indonesia has done rarely even a lot of

sponges species founded in Indonesia. Therefore, researches are still need to be done

about sponge transplants especially on sponge that have the potential bioactive.

Petrosia nigricans and Aaptos aaptos has the potentially bioactive compound.

Transplantation performed by combining two methods, namely ropes and nets are

placed horizontally and vertically at the two locations which is sheltered and

exposed. Results of present research showed that survival rate of Petrosia (Petrosia)

nigricans

influenced by location, position and cleaning factors, while Aaptos aaptos

influenced by the process of cleaning Petrosia (Petrosia) nigricans

growth is

influenced by the station, position and interaction between the station and position,

while Aaptos aaptos growth is influenced by the position, cleaning shelves and the

interaction between the station and cleaning activities. Petrosia (Petrosia) nigricans

that located in the expose location with horizontal position rack describes the best

results and the uncleaned Aaptos aaptos showed a high survival rate. First month of

Aaptos aaptos transplantation is the most critical and important in those process.

(4)

RINGKASAN

BEGINER SUBHAN. Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Spons Jenis Petrosia (Petrosia) nigricans Lindgren, 1897 and Aaptos aaptos (Schmidt, 1864) yang Ditransplantasikan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA dan NEVIATY P. ZAMANI.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei – Juli 2006 di barat Pulau Burung (ST1) dan selatan Pulau Pari (ST2), Jakarta. Transplantasi dilakukan dengan menggabungkan 2 metode yaitu tali dan jaring. Tali dan jaring ditempatkan pada kerangka besi yang diletakkan secara horizontal dan vertikal. Jarak spons dari substrat baik metode horizontal maupun vertikal kurang lebih 30 cm. Kemudian pada setiap perlakuan posisi dilakukan perlakuan dibersihkan dan tidak dibersihkan. Jumlah total rak yang digunakan adalah 8 buah untuk masing-masing jenis spons dan jumlah total sampel yang digunakan adalah 1344 fragmen spons.

Kelangsungan hidup spons Petrosia (Petrosia) nigricans Lindgren, 1897 pada kedua rak dan kedua lokasi sangat tinggi, berkisar antara 95.12 -100%. Hasil analisis ragam lokasi, posisi rak dan pembersihan memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup Petrosia (Petrosia) nigricans

Lindgren, 1897 (P<0,05). Tingkat kelangsungan hidup fragmen spons Aaptos aaptos (Schmidt, 1864) setelah 4 minggu pengamatan berkisar antara 36.54 – 88.46%. Metode transplantasi dengan rak vertikal yang tidak dibersihkan di ST1 (36.5%) menunjukkan hasil terendah sedangkan tertinggi pada rak horizontal yang tidak dibersihkan di ST2 (88.46%). .Kelangsungan hidup Aaptos aaptos

(Schmidt, 1864) di Lokasi ST2 lebih tinggi dari pada di ST1. Pada lokasi ST2 tingkat kelangsungan hidup berkisar antara 40.48 – 88.46 % sedangkan pada lokasi ST1 berkisar antara 36.54 – 54.95%. Kondisi lokasi yang diduga merupakan penyebab adanya perbedaan tingkat kelangsungan hidup spons.

Hasil penelitian selama 30 hari mendapatkan hasil bahwa pertumbuhan spons Petrosia (Petrosia) nigricans Lindgren, 1897 berkisar antara 1,39 – 4,98 cm3. Pertambahan volume sebanyak 1,39 cm3 merupakan pertumbuhan terendah yang terdapat pada spons yang ditransplantasikan di ST1 dengan posisi vertikal dan tidak dibersihkan. Pertumbuhan tertinggi adalah spons yang ditransplantasi di ST2 dengan posisi horizontal dan tidak dibersihkan sebesar 4,98 cm3. Hasil analisis ragam menggambarkan bahwa stasiun, posisi dan interaksi antara stasiun dan posisi memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan spons (P<0,05). Pertumbuhan spons jenis Aaptos aaptos (Schmidt, 1864) berkisar antara 0.33 – 1,94 cm selama 30 hari. Spons yang ditransplantasi di ST2 dengan posisi vertikal dan dibersihkan dengan pertumbuhan sebesar 0,33 cm merupakan pertumbuhan terendah pada penelitian ini. Pertumbuhan keliling tertinggi adalah spons yang ditransplantasikan di ST2 dengan posisi vertikal dan tidak dibersihkan sebesar 1.94 cm. Hasil analisis ragam menggambarkan bahwa pembersihan dan interaksi antara posisi dan pembersihan memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan spons (P<0.05).

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masalah

;

dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang

wajar IPB

(6)

TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN

SPONS JENIS

Petrosia (Petrosia) nigricans

Lindgren, 1897 and

Aaptos aaptos

(Schmidt, 1864)

YANG DITRANSPLANTASIKAN

DI PERAIRAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU,

JAKARTA

BEGINER SUBHAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Spons Jenis Petrosia (Petrosia) nigricans Lindgren, 1897 and

Aaptos aaptos (Schmidt, 1864) yang Ditransplantasikan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta Nama Mahasiswa : Beginer Subhan

NRP : C651040061

Program Studi : Ilmu Kelautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Ketua

Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

(9)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T atas karunia - Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Tingkat Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Spons Jenis Petrosia (Petrosia) nigricans Lindgren, 1897 and

Aaptos aaptos (Schmidt, 1864) yang Ditransplantasikan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta“.

Penyusunan tesis ini tidak akan berjalan baik tanpa bantuan berbagai pihak. Penulis berterima kasih sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku komisi pembimbing yang banyak memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini. Penulis juga sangat berterimakasih kepada Program Hibah Pasca Sarjana tahun 2004 yang diketuai Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA selaku penyandang dana penelitian, Tim Hibah Pasca 2004 (Ibu Mujizat Kawaroe, Bapak Suparno, Kate, Maldis, Deni, Dondy, Karyo, Fakhrizal dan Susana) yang telah memberikan bantuan baik fisik maupun moral, rekan-rekan kuliah Program Studi Ilmu Kelautan 2004 [Riris Aryawati, Hawis Madduppa, Adriani Sunuddin, Hanifah Mutia, Heron Surbakti, Iwan Setiabudi, La Ode Nurman Mbay, Meutia Samira Ismet, Ristiana Eryati, Roni Fitrianto, Yunita Ramili], teman-teman [Ramadian Bachtiar, Dede Suhendra M.Yadjid, Deisi Heptarina, Dondy Arafat, Iqbal S Goeltom] yang telah menginspirasi dan menjadi teman diskusi, keluarga [Ayahanda H. Sumarti (Alm) dan Ibunda Hj. Kartini, Adinda [Julius Ramadhan SE.Ak., Muhammad Agustinus Abdillah, SH dan Shabrina Novia, STP] yang senantiasa memberi doa dan dukungan selama penulis menempuh pendidikan serta semua yang telah berkontribusi dalam penyusunan tesis ini.

Tentunya masih ada berbagai kekurangan dalam tesis ini sehingga saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa mendatang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

RIWAYAT HIDUP

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan dan Manfaat... 3

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Klasifikasi Spons ... 5

Biologi Spons ... 7

Perkembangan Transplantasi Spons ... 15

BAHAN DAN METODE... 23

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

Rancangan Penelitian ... 23

Metode Transplantasi ... 26

Pengambilan Data... 27

Analisis Data dan Statistika ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... Karakteristik Fisika-Kimia Perairan ... 31

Perkembangan Fragmen Spons ... 33

Kelangsungan Hidup Fragmen Spons ... 36

PertumbuhanFragmen Petrosia (Petrosia) nigricans... 39

PertumbuhanFragmen Aaptos aaptos... 42

KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

Keimpulan ... 44

Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Jenis - jenis makroorganisme yang digunakan sebagai sumber makanan spons... 9 2 Jenis dan jumlah spons yang digunakan pada penelitian ... 25 3 Parameter oseanografi fisika dan kimia pada minggu ke – 0... 28 4 Nilai parameter lingkungan di ST1 dan ST2 pada minggu ke-0 dan baku

(13)

xi DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Spons laut (A) Petrosia sp dan (B) Aaptos aaptos di habitat alami (foto

koleksi Tim Hibah Pasca 2005) ... 7 2 Metode transplantasi yang digunakan Duckworth dan Battershill (2003)b (A)

jaring dan (B, C, D) tali... 16 3 Metode Transplantasi yang digunakan Van Treeck et al. (2003) (A) zigzag,

(B) piramida, (C) segitiga dan (D) arus listrik ... 18 4 Metode transplantasi yang digunakan oleh Hadas et al., 2005 di Israel .... 19 5 Lokasi penelitian dan stasiun pengamatan transplantasi spons di pulau

Pari, Kepulauan Seribu ... 23 6 Rancangan penelitian ... 24 7 Konstruksi rak dan pengikatan fragmen spons pada rak... 25 8 Metode transplantasi dengan melewatkan tali nilon pada fragmen spons . 26 9 Fragmen spons (A), (B) Petrosia (Petrosia) nigricans, (C) dan (D) Aaptos

aaptos ... 27 10 Pengukuran fragmen spons (A) Petrosia (Petrosia) nigricansdan (B)

Aaptos aaptos... 27 11 Proses regenerasi fragmen spons Petrosia (Petrosia) nigricans(a) fragmen

spons yang baru ditransplantasi (b) pemulihan pada bagian yang terpotong (c) fragmen yang telah pulih seperti induknya... 33 12 Organisme yang terlihat berada di permukaan fragmen spons jenis Petrosia

(Petrosia) nigricans... 34 13 Perkembangan fragmen dari minggu pertama sampai keempat pada spons

jenis Aaptos aaptos... 35 14 Kelangsungan hidup spons Petrosia (Petrosia) nigricans ... 36 15 Kelangsungan hidup spons Aaptos aaptos... 38 16 Pertumbuhan spesies Petrosia (Petrosia) nigricans hasil fragmentasi buatan

di perairan pulau Pari ... 41 17 Pertumbuhan spesies Aaptos aaptos hasil fragmentasi buatan di perairan

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Analisis statistik pada kelangsungan hidup spons jenis Petrosia nigricans

... 52

2. Analisis statistik pada pertumbuhan spons jenis Petrosia nigricans... 53

3. Analisis statistik pada kelangsungan hidup spons jenis Aaptos aaptos... 54

4. Analisis statistik pada pertumbuhan spons jenis Aaptos aaptos... 55

5. Korelasi Pearson antara kelangsungan hidup spons dengan lingkungan ... 56

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Spons (Porifera) merupakan hewan multiseluler paling primitif yang hampir 99% jenis – jenisnya hidup menetap di dasar perairan laut. Bergquist (1978) mengatakan bahwa sebagian besar spons mengambil makanan dengan cara menyaring bahan organik yang terdapat di air. Spons laut memiliki potensi bioaktif yang sangat besar. Selama kurun waktu 50 tahun terakhir telah banyak kandungan bioaktif yang ditemukan. Kandungan bioaktif tersebut dikelompokkan beberapa kelompok besar yaitu antiflammantory, antitumor, immunosuppessive, antivirus, antimalaria, antibiotik, dan antifouling (Sipkema et al. 2005).

Meskipun bahan bioaktif spons telah banyak ditemukan, namun hanya beberapa saja yang telah dikomersilkan. Konsentrasi bioaktif spons umumnya rendah (Unson et al. 1994) dan populasi spons di alam sangat kecil sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan komersial (Pomponi 1999). Selain itu, pengambilan spons dari alam dapat mengurangi populasinya sehingga budidaya merupakan salah satu jawabannya.

Penggunaan metode transplantasi untuk budidaya spons merupakan tradisi yang sudah cukup lama di Mediterania, Florida dan Kuba. Budidaya spons pada saat itu bertujuan untuk memproduksi spons mandi. Namun, usaha pengembangan budidaya spons untuk sediaan bahan bioaktif masih sangat jarang (Duckworth & Battershill 2003; Hadas et al. 2005; Page 2005).

(16)

penentu keberhasilan budidaya spons. Lokasi tidak hanya berpengaruh terhadap pertumbuhan tetapi juga terhadap kandungan bioaktif.

Penelitian tentang teknik transplantasi spons di Indonesia belum banyak dilakukan, padahal negeri ini memiliki jenis - jenis spons dalam jumlah yang sangat besar. Hingga kini penelitian yang telah dilakukan tentang transplantasi spons masih terbatas pada jenis Auletta sp. (Pong-Masak, 2003), Aaptos aptos

(Haris, 2005) dan Callyspongia biru (Voogd, 2005). Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian tentang transplantasi spons terutama pada spons yang memiliki potensi bioaktif.

Penelitian mengenai spons di Indonesia diawali dengan survei untuk mengetahui kelimpahan spons di perairan Kepulauan Seribu. Survei ini menghasilkan pendataan 30 jenis spons dari klas Demospongia (Anonim, 2005). Ketigapuluh jenis spons kemudian diuji kandungan bioaktifnya melalui uji bakteri. Spesies spons dengan kelimpahan dan senyawa bioaktif antibakteri relatif tinggi adalah Liosina sp dan Aaptos aaptos sedangkan Petrosia sp. masuk dalam kategori sedang (Anonim, 2005). Rao et al. (2006), mengungkapkan spons dari jenis Petrosia testudinaria dapat digunakan sebagai biomarker kondisi lingkungan terkait dengan kandungan metal di perairan.

Perumusan Masalah

Spons sebagai salah satu sumber bahan bioaktif banyak terdapat di perairan Indonesia. Ekstrak metabolit dari spons mengandung senyawa bioaktif yang diketahui mempunyai sifat - sifat aktif seperti sitotoksik dan antitumor, antivirus, anti HIV dan antiinflamasi, antifungi, antileukimia dan penghambat aktivitas enzim. Selain itu, spons juga lazim digunakan sebagai indikator biologi untuk pemantauan pencemaran laut, indikator dalam interaksi komunitas dan digunakan untuk keperluan akuarium laut.

(17)

3

signifikan. Oleh karena itu, untuk pemanfaatan yang berkesinambungan, sumber daya ini perlu dijaga dan dipertahankan dengan cara mencegah dan mengendalikan hal-hal yang dapat merusak dan mengancam kelestariannya.

Transplantasi merupakan salah satu usaha untuk mengurangi pengambilan spons dari alam. Pengembangan tranplantasi ini diarahkan untuk memproduksi ekstrak kasar dan fraksinya serta untuk penyediaan bibit atau anakan bagi keperluan restocking agar keanekaragaman hayati di perairan Indonesia tetap terjaga.

Penelitian awal yang dilakukan oleh Tim Hibah Pasca (Anonim, 2005) menunjukkan bahwa beberapa pulau di Kepulauan Seribu (P. Lancang, P. Pari dan P. Pramuka) memiliki jumlah, jenis dan kelimpahan spons yang tinggi. Spons yang ditemukan dalam jumlah dan kelimpahan yang dominan diantaranya adalah

Aaptos aaptos dan Petrosia sp. Kedua jenis spons ini berpotensi sebagai senyawa antibakteri.

Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini mencakup 2 hal, yaitu :

1 Menguji tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan spons jenis

Petrosia (Petrosia) nigricans dan Aaptos aaptos yang ditransplantasikan di perairan pulau Pari, Kepulauan Seribu

2 Menentukan metode transplantasi yang tepat untuk spons jenis Petrosia (Petrosia) nigricans dan Aaptos aaptos di Kepulauan Seribu.

Beberapa manfaat yang ditawarkan dalam penelitian ini, antara lain: 1 Memberikan informasi tambahan tentang pertumbuhan salah satu spons yang

berada di daerah tropis, khususnya Petrosia (Petrosia) nigricans dan Aaptos aaptos;

(18)

Hipotesis

Terdapat dua hipotesis dalam penelitian ini, yaitu :

1 Metode transplantasi mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan spons.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Spons

Spons merupakan kelompok hewan dari Filum Porifera yang beranggotakan tiga kelas, yaitu Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Romimohtarto & Juwana 2001; Brusca & Brusca 1990), sedangkan Ruppert dan Barnes (1991) berpendapat bahwa Porifera dikelompokkan dalam empat kelas, yaitu Calcarea, Demospongiae, Hexactinellida dan Sclerospongia.

Calcarea adalah spons yang kesemua anggota kelasnya hidup di laut. Spons ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan jenis lainnya. Spikula terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite dan tidak akan berdiri tegak tanpa adanya spikula atau spongin yang membentuk kerangka untuk menopang tubuhnya sehingga memungkinkan adanya saluran dan ruangan berflagela (Romimohtarto & Juwana 2001).

Demospongiae adalah kelas spons paling dominan di antara Porifera saat ini. Mereka tersebar luas di alam dan jumlah, jenis serta individunya sangat banyak. Demospongia memiliki bentuk dan warna yang bervariasi serta sistem saluran yang rumit, berbentuk masif, berwarna cerah dan dihubungkan dengan kamar-kamar bercambuk kecil yang bundar. Umumnya spikula terbuat dari silikat, namun beberapa anggota dari kelompok Dictyoceratida, Dendroceratida dan Verongida memiliki spikula yang hanya terdiri dari serat spongin, serat kolagen bahkan tidak memiliki spikula.

(20)

Kelasifikasi spons Petrosia (Petrosia) nigricans Lindgren, 1897 menurut Hooper dan Van Soest (2002) (Gambar 1A) dan Aaptos aaptos (Schmidt, 1864) menurut Bergquist (1978) (Gambar 1B) adalah sebagai berikut:

Kingdom: Animalia Filum: Porifera

Kelas: Demospongiae

Sub kelas: Ceractinomorpha Ordo: Haplosclerida

Famili: Petrosiidae Genus: Petrosia

Spesies : Petrosia (Petrosia) nigricans Lindgren, 1897 Sub kelas: Tetractinomophora

Ordo: Hadromerida Famili: Suberitidae

Genus: Aaptos

Spesies: Aaptos aaptos (Schmidt, 1864)

Petrosiidae memiliki karakteristik berbentuk kompak seperti kawah gunung atau vas bunga, mengerak, membulat atau bercabang. Teksturnya keras dan rapuh, mencerminkan sebagian besar spesies ini memiliki spikul yang tersusun atas silikat dibandingkan spongin. Rangka luar yang menyerupai jala terdiri dari spikul tunggal atau bidang spikul yang membentuk kulit yang mengeras, membuat penampilan luarnya terlihat halus. Rangka bagian tengah kurang lebih seperti jala yang merupakan jalur-jalur spikul. Famili Petrosiidae memiliki lima genus tetapi saat ini hanya tiga yang berhasil dikenali, yaitu

Petrosia (Vosmaer 1989), Strongylophora (Dendy 1905) dan Xestospongia (De Laubenfels 1932).

(21)

7 tubuh coklat atau kombinasi warna coklat dan warna lain (coklat kemerahan, coklat kehitaman, coklat keemasan dan coklat kekuningan) dengan bentuk pertumbuhan menyerupai tabung, vas, mangkuk, lembaran dan membulat. Spons jenis Petrosia sp. dan Aaptos sp di perairan Pulau Pari, P. Pramuka dan P. Lancang Kepulauan Seribu, banyak ditemukan pada kedalaman 7 dan 15 meter (Anonim, 2005).

Gambar 1 Spons laut (A) Petrosia sp dan (B) Aaptos aaptos di habitat alami (foto koleksi Tim Hibah Pasca 2005)

Bergquist (1978) menyebutkan bagian luar Aaptos aaptos berwarna ungu kemerahan dan bagian dalamnya berwarna kuning kecoklatan. Biasanya spons jenis ini berukuran tinggi 1,0 – 9,0 cm, lebar 4,2 – 4,8 cm dan tebal 1,2 cm. Rangka tersusun secara radial dengan sistem spikula yang kuat dan berdiameter 100 – 400µ yang tersusun dari style. Spons yang terdapat di daerah intertidal, memiliki permukaan yang berisi butiran – butiran yang kecil, berkutil atau halus. Di daerah litoral, Aaptos aaptos menyerupai bongkahan – bongkahan bulat yang tidak beraturan yang disebabkan pertumbuhan spons dikelilingi oleh amphipoda komensalis, Polycheria antarctica.

Biologi Spons Cara Makan

Spons adalah hewan penyaring makanan (filter feeder) yang menetap dan dapat hidup dengan baik pada arus air kuat, karena aliran air tersebut menyediakan makanan dan oksigen. Makanan yang diperoleh berbentuk partikel jasad renik hidup atau mati, seperti bakteri, mikroalga, zooplankton, fitoplankton

(22)

dan detritus. Makanan masuk bersamaan dengan aliran air yang masuk melalui ostium yang terbuka dalam air dan dibawa ke dalam rongga lambung atau ruang-ruang bercambuk. Aliran air yang masuk melalui ostium terjadi karena adanya koanosit berflagela yang bergerak secara terus-menerus (Brusca & Brusca 1990). Jumlah koanosit setiap spons berbeda-beda. Spons jenis Ephydatia fliviatilis

diperkirakan memiliki 7.600 rongga sel koanosit per milimeter kubik tubuhnya. Setiap hari rongga koanosit mampu memompa air sekitar 1.200 kali dari volume tubuhnya. Banyak spons dengan struktur leuconoid yang kompleks memiliki 18.000 rongga koanosit per millimeter kubik (Schmidt 1970 dalam Brusca & Brusca 1990). Koanosit juga mencerna partikel makanan, baik di sebelah luar maupun di dalam sel leher (collar).

Penting bagi spons untuk hidup dalam air yang bersirkulasi dan jernih. Arus air yang lewat membawa serta zat buangan dari tubuh spons, maka penting pula agar air yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya, karena air ini tidak berisi makanan tetapi mengandung asam karbon dan sampah nitrogen yang beracun bagi spons itu sendiri (Romimohtarto & Juwana 2001).

Makanan

Spons dapat menyaring partikel yang sangat kecil (<50μm) yang tidak tersaring oleh hewan laut lain (Bergquist 1978 dalam Amir & Budiyanto 1996). Hewan ini selektif dalam memilih makanannya, berkaitan dengan ukuran saluran penyaring yang dimiliki. Pile et al. (1996) dan Pile (1997) menemukan bahwa spons dapat menyaring mikroorganisme yang berukuran <2 µm seperti bakteria heterotropik, sianobakteria (umumnya Synechococcus sp.) dan Prochlorophytes. Beberapa penelitian budidaya spons juga menggunakan bakteri dan plankton sebagai sumber makanan (tabel 1).

Pada spons laut kelas demospongia dan calcarea terdapat simbion yang dapat berfotosintesis. Beberapa jenis bersimbiosis dengan dinoflagellata (zooxanthellae) tetapi sebagian besar bersimbiosis dengan cyanobacteria

(23)

9 seperti Verongia memiliki lebih dari 33% simbion sianobakteri dalam tubuhnya. Beberapa penelitian spons yang dilakukan di Great Barrier Reef memperoleh informasi bahwa 48 – 80% energi yang diperoleh berasal dari sianobakteri (Ruppert & Barnes 1991).

Tabel 1 Jenis – jenis makroorganisme yang digunakan sebagai sumber makanan spons

Jenis Makanan Pustaka

Cliona celata Chlorella vulgaris R. Osinga (belum dipublikasikan) Ephydatia fluviatilis /

Spongilla alba

Escherichia coli Poirrier et al. (1981)

Halichondria panicea Liquifry marine, Liquizell, Fitoplankton kering

Langenbruch (1983)

Halichondria panicea Chlorella vulgaris Barthel dan Theede (1986)

Halichondria panicea Rhodomonas sp. Thomassen dan Riisgård (1995)

Microciona prolifera Dunaliella euchlora

Isochrysis galbana

Simpson (1968)

Ophlitaspongia seriata Isochrysis galbana

Micromonas squamata

Monochrysis Lutheri

Tetraselmis suecica Bakteria yang sudah mati (umumnya Pseudomonas dan Arthrobacter)

Fry (1971)

Pseudosuberites andrewsi Dunaliella sp. Chlorella vulgaris

Osinga et al. (1998b)

Sumber: Osinga et al.1999

(24)

Reproduksi

Secara umum reproduksi spons terbagi menjadi dua cara yaitu aseksual dan seksual. Sejumlah proses reproduksi aseksual pada spons terjadi secara alami yang didasari oleh potensi perkembangan archaecytes. Proses ini termasuk pembentukan pucuk (bud formation), penyembuhan luka (wound healing), pertumbuhan somatik (somatic growth) dan pembentukan gemmule (gemmules formation). Sedangkan reproduksi seksual pada spons dikelompokkan atas dua tipe, antara lain (1) Hermaprodit, yaitu jenis spons yang menghasilkan gamet jantan atau gamet betina selama hidupnya, namun menghasilkan gamet jantan dan gamet betina dalam waktu yang berbeda; (2) Gonokhorik, yaitu jenis spons yang memproduksi hanya gamet jantan atau betina saja selama hidupnya (Kozloff 1990; Ruppert & Barnes 1991; Amir & Budiyanto 1996). Aaptos aaptos

merupakan spons bertipe seksual gonokhorik yang hanya menghasilkan gamet jantan atau betina sepanjang hidupnya dan cara reproduksinya bersifat ovipar yaitu menghasilkan telur (Haris 2005). Spons Petrosia sp. juga berkembangbiak secara ovipar.

Variasi lingkungan mempengaruhi reproduksi spons. Temperatur adalah pengaruh utama terhadap siklus reproduksi spons. (Fromont & Bergquist 1994; Meros-Fine et al. 2005). Hal ini sama dengan hasil temuan Fromont dan Bergquist (1994) yaitu pada spons jenis Xestospongia bergquistia, X. exigua, and X. testudinaria. Faktor lain yang turut mempengaruhi siklus reproduksi spons X. testudinaria adalah siklus bulan. Meros-Fine et al. (2005) menyatakan bahwa terdapat perbedaan fisiologi reproduksi antara spons Tetilla sp. yang terdapat di perairan dalam (tenang) dan perairan dangkal (turbulen). Spons pada perairan dangkal lebih cepat melepaskan gamet dibandingkan dengan perairan dalam. Spons diperairan dangkal mencapai ukuran oosit maksimal pada bulan Mei sedangkan di perairan dalam pada bulan Juni.

Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan

(25)

11 hasil penelitian tentang parameter yang mempengaruhi penyebaran spons yaitu kedalaman, intensitas cahaya, pasang surut dan kecepatan arus. Selain itu, parameter lingkungan yang berpengaruh dalam budidaya spons antara lain suhu (MacMillan, 1996), sedimentasi dan polusi (Gerrodette & Flechsing 1979), cahaya dan kedalaman (Duckworth et al. 1997) serta arus (Duckworth & Battershill 2003).

Faktor Fisik

Temperatur

Perubahan temperatur memberikan pengaruh terhadap spons. De Voogd (2005) menyatakan spons tumbuh pada kisaran suhu optimal 26 - 31ºC dan di daerah empat musim suhu merupakan faktor lingkungan utama yang mengatur reproduksi spons, berkaitan dengan perubahan suhu yang mencolok pada tiap musimnya. Umumnya spons tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan suhu yang sangat cepat. Arndt (1933) dalam Osinga et al. (1999) menyatakan spons lebih dapat beradaptasi dengan penurunan suhu daripada peningkatan suhu.

Cahaya

Endosimbion tropikal (sianobakteri) banyak terdapat pada spons di daerah tropis. Bahan organik yang dihasilkan oleh endosimbion tersebut merupakan salah satu alternatif sumber makanan bagi spons. Wilkinson (1981) mengukur produktifitas primer pada 6 jenis spons Great Barrier Reef yang hasilnya mengindikasikan bahwa proses hubungan antara endosimbion dan spons adalah dalam hal sumber makanan. Distribusi beberapa jenis spons juga tergantung pada intensitas cahaya.

(26)

Kekeruhan dan Sedimentasi

De Voogd (2005) menyatakan bahwa kekeruhan yang tinggi dapat meningkatkan laju sedimentasi pada permukaan spons, sehingga memaksa spons mengeluarkan energi lebih banyak untuk menghalau sedimen dengan jalan memproduksi lendir dalam jumlah banyak. Produksi lendir yang banyak dapat membuat spons mati lemas, karena secara efektif mengisolasi spons sehingga menghambat pertukaran air. Sedimentasi yang tinggi akan mematikan spons karena menutupi ostium dan oskulum. Pronzato et al. (1998) menambahkan, sedimentasi yang tinggi menyokong perkembangan bakteri pada bagian tubuh yang terluka.

Perairan yang jernih memberikan beberapa keuntungan. Pertama, mengurangi sekresi lendir yang dipergunakan untuk menghalau partikel-partikel yang mengendap dipermukaan tubuh akibat tingginya laju sedimentasi, sehingga menghemat energi yang dialokasikan untuk memproduksi lendir (Duckworth 2003 dalam Haris 2005). Energi yang dihemat tersebut kemudian digunakan untuk tumbuh dan reproduksi. Kedua, memperdalam penetrasi cahaya matahari yang masuk ke perairan (Haris, 2005).

Spons sering kali menyaring partikel yang tidak penting seperti lumpur dan silt. Gerodette dan Flechsing, 1979 menemukan bahwa keberadaan lumpur dan silt dapat menurunkan laju pemompaan air pada spons. Penurunan laju pemompaan berpengaruh pada menurunnya pengambilan makanan dan akhirnya penurunan metabolisme dan pertumbuhan akan menjadi lambat. Contohnya, laju pertumbuhan spons jenis Spongia officinalis yang terdapat di daerah perairan yang terpolusi dan turbid dekat pembuangan sampah lebih rendah dari pada spons di daerah yang lebih bersih.

Arus dan Gelombang

(27)

13 Menurut De Voogd (2005) pergerakan massa air yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan spons, sedangkan energi gelombang yang besar dapat mengakibatkan spons yang rapuh akan hancur.

Faktor Kimia Salinitas

Air laut memiliki salinitas rata-rata 35 permil. Meskipun organisme laut mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut, namun perubahan salinitas dengan cepat dapat mempengaruhi sistem osmoregulasi. Bagaimanapun organisme yang hidup di daerah estuari atau daerah dangkal dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut, sebagian besar hewan laut lain termasuk spons sangat sensitif dengan perubahan salinitas.

MacMillan (1996) menyatakan, budidaya spons tidak dapat dilakukan di laut yang dekat dengan sungai atau danau karena air tawar dan payau akan membunuh spons. Spons hidup pada salinitas 28 – 38‰ (De Voogd 2005) dan lebih sensitif terhadap salinitas yang rendah (Osinga et al. 1999). Berdasarkan pengamatan MacMillan (1996) penurunan salinitas sangat membahayakan spons.

Oksigen terlarut (DO) dan Udara Bebas

Oksigen terlarut erat kaitannya dengan jumlah bahan organik yang berada di suatu perairan. Kandungan DO akan menurun dengan masuknya bahan organik ke perairan, karena dimanfaatkan oleh organisme untuk diuraikan (Nybakken 1992). Kebutuhan spons terhadap oksigen per sentimeter kubik volume spons bervariasi antara 0,2 - 25 Sponge µmol O2 per jam.

Spons tidak boleh terpapar udara langsung karena akan memungkinkan udara masuk ke dalam sistem kanal, merusak koanosit dan menutup sistem saluran spons. Banyak spons yang mati setelah terekspos udara walaupun hanya dalam waktu singkat. Namun, udara yang telah masuk ke dalam kanal dapat dibuang dengan cara menggoyangkan spons di dalam air.

(28)

sanguinea (Aiello et al. 1993). Sayangnya, penulis tidak menjelaskan mekanisme adaptasinya. Osinga et al. (1999) menduga bahwa spons memproduksi slime pada permukaan tubuh untuk menjaganya tetap dalam kondisi basah atau dengan menutup ostia atau bahkan melakukan kedua mekanisme tersebut.

Silikat dan Senyawa Bioaktif Spons

Silikat sangat dibutuhkan oleh spons untuk membentuk rangka tubuhnya. Spons tidak akan berdiri tegak tanpa adanya spikul atau spongin yang membentuk kerangka penopang tubuh sehingga memungkinkan adanya saluran dan ruangan berflagela (Romimohtarto & Juwana 2001). Skeleton spons kelas Demospongiae dan Hexactinellida tersusun dari kerangka yang mengandung silika yang disebut spikul yang disekresi oleh sel khusus yang disebut sclerocyts. Bahan silikon diambil oleh sel-sel tersebut dari perairan dalam bentuk silicid acid dan didepositkan di sekitar proteinaceous filament (Bergquist 1978).

Racun secara alami dapat dijumpai sebagai senyawa bioaktif yang diproduksi spons. Senyawa bioaktif tersebut dapat berfungsi sebagai pertahanan dari predator, mencegah penempelan organisme lain dan bahkan sebagai media komunikasi antar spons (Pawlik et al. 1995; Chanas et al. 1996).

Faktor Biologis Penyakit

(29)

15 Pemangsaan

Spons umumnya dianggap dapat terlindung dari predator. Keberadaan kerangka spikul pada spons membuat spons tidak cukup menarik untuk dimangsa. Selain itu, spons juga memproduksi senyawa kimia sebagai perlindungan diri . Bagaimanapun, pemangsa spons tetap ada. Beberapa organisme laut, misalnya Nudibranch diketahui sebagai pemangsa spons yang dapat mengakumulasi senyawa kimia dari spons untuk melindungi diri dari predator

Beberapa vertebrata seperti ikan karang jenis Holacanthus bermudensis, H. tricolor, Pomacanthus arcuatus, Lactophrys quadricornis, Cantherhines

pullus, Sparisoma aurofrenatum dan S. chrysopterum diketahui merupakan predator spons jenis Chondrosia coIlectrix dan Geodia tibberosa di Great Barrier Reef (Dunlap & Pawlik 1996). Penyu Sisik juga memakan spons (Meylan 1988).

Perkembangan Transplantasi Spons Transplantasi spons di alam

Beberapa jenis spons telah digunakan untuk spons mandi sejak beberapa abad yang lalu. Hal ini dapat diketahui melalui tulisan Homer dan beberapa penulis lain yang berasal dari jaman Yunani kuno (Brusca & Brusca 1990). Osinga et al. (1999) mencatat telah ada publikasi ilmiah tentang budidaya spons mandi sejak akhir abad ke-19 yaitu oleh Smith (1897), Allemand (1906) dan Cotte (1908).

Beberapa teknik transplantasi spons juga sudah dilakukan terhadap spons jenis Hippiospongia dan Spongia spp. (Moore 1908). Hippiospongia lachne

(Crawshay 1939) yang diikatkan ke substrat semen. Selanjutnya spons jenis

Spongia agaricina dan Spongia officinalis (Verdenal & Vacelet 1990) menggunakan kawat (review oleh Duckworth & Battershill 2003).

(30)

diikatkan jaring dengan ukuran 5cm2 dan diberi bingkai kayu. P. hawere dan R. topsentidi diikatkan pada jaring dengan menggunakan cable-ties sedangkan R. agminata diletakkan pada jaring kantong berukuran 15x15cm dengan ukuran mata jaring 6mm.

P. hawere ditransplantasikan dengan beberapa ukuran yaitu 8cm3, 27cm3, 64cm3 dan 125cm3 serta spons alami yang berukuran rata-rata mendekati 125cm3.

[image:30.612.215.410.284.411.2]

R. topsenti yang ditransplantasikan berukuran berat 3g dengan ukuran panjang 4 cm. Fragmen R. agminata yang ditransplantasikan berukuran rata-rata 7x7cm. Semua jenis spons ditransplantasikan pada kedalaman 5m, 10m dan 17m.

Gambar 2 Metode transplantasi yang digunakan Duckworth dan Battershill (2003)b (A) jaring dan (B,C,D) tali

Duckworth dan Battershill (2003)b melakukan transplantasi di Teluk Mahanga menggunakan spons jenis Latrunculia wellingtonensis dan Polymastia croceus pada Oktober 1997 – Januari 1998. Secara umum, penelitian transplantasi sponge menggunakan metode jaring (gambar 2A) dan tali. Namun, pada metode yang menggunakan tali dibagi menjadi 3 metode berbeda, pertama, spons dikatkan pada tali yang tebal (gambar 2B), kedua, tali dilewatkan melalui spons (Gambar 2C) dan ketiga, spons diikat langsung dengan tali (Gambar 2D).

Penelitian spons dilanjutkan Duckworth dan Battershill (2003) dengan menggunakan spons kelas Demospongiae jenis Latrunculia wellingtonensis dan

(31)

17 terbuka di tempat masuk Pelabuhan Wellington (Barrett Reef) dan daerah terlindung di dalam pelabuhan (Teluk Mahanga).

Metode yang digunakan adalah metode tali dan metode jaring yang diletakkan pada kedalaman 12m. Ukuran awal fragmen spon yang digunakan dengan berat rata-rata 23,9 g (L. Wellingtonensis) dan 20,4 g (P. croceus) serta volume rata-rata 25,0cm3 (L. Wellingtonensis) dan 23,4cm3 (P. croceus). Duckworth dan Battershill (2003) menyatakan bahwa metode tali dan jaring dapat digunakan untuk budidaya spons, meskipun tiap metode hanya dapat digunakan untuk jenis spons tertentu tergantung komposisi biomassa spons tersebut. Metode tali dapat digunakan untuk spons keras yang tidak rusak atau hancur saat tali dilewatkan pada fragmennya. Sebaliknya, Metode jaring sebaiknya digunakan untuk spons lunak agar tidak hancur atau rusak dan dapat tumbuh dengan baik selama proses transplantasi.

Thoms et al. (2003) menggunakan spons jenis Aplysina cavernicola

(sebelumnya Verongia cavernicola, Famili Aplysinidae, ordoVerongida, kelas Demospongiae) berukuran tinggi 10cm yang diambil beserta substratnya dari kedalaman 40 meter dari perairan Laut Mediterania. Spons dan subtratnya dilekatkan menggunakan sintetik resin ke dalam rak besi dan rak besi tersebut lalu diikatkan pada konkrit blok. Transplantasi dilakukan pada kedalaman 7m, 12m dan 15m. Selanjutnya, dilakukan pengamatan visual pada bulan kedua dan pada bulan ketiga dipanen untuk diuji kandungan bioaktifnya.

Van Treeck et al. (2003) melakukan transplantasi spons sistem jaring dengan modifikasi desain rak di Teluk Calvi, Mediterania. Fragmen spons diletakkan diantara dua lembar jaring yang diikatkan pada kerangka berukuran 1m2, kemudian kedua jaring tersebut disatukan dan diletakkan pada kerangka yang lebih besar yang telah dilekatkan pada pemberat semen (Gambar 3 ).

Jenis yang digunakan adalah Axinella damicornis (Esper), Axinella verrucosa (Schmidt), Chondrosia reniformis (Nardo) dan Ircinia variabilis

(32)
[image:32.612.201.399.84.278.2]

Gambar 3 Metode Transplantasi yang digunakan Van Treeck et al. (2003) (A) zigzag, (B) piramida, (C) segitiga dan (D) arus listrik

Penelitan menggunakan S. officinalis var. adriatica dilakukan pada April 1997 sampai April 2000 di kedalaman 30m di daerah Aupilia. Spons dipotong dalam tiga ukuran yaitu 22,6g (n = 404; coefficient of variation (CV) % = 21,7), 34,5g (n = 256; CV% = 14,2) dan 55,3g (n = 180; CV% = 16,6). Spons ditransplantasikan menggunakan metode tali. Tali Nilon dilewatkan dalam fragmen spons dengan jarak 20cm antar fragmen, kemudian tali nilon tersebut diikatkan pada kerangka yang terbuat dari plastik (Corriero et al. 2004).

Kerangka tersebut selanjutnya diletakkan secara vertikal pada kedalaman 20 - 25 m (sistem vertikal) dan secara horizontal di kedalaman 29,5 m (sistem horizontal). Tiga kerangka dengan ukuran sampel berbeda (kecil = 70 fragmen, sedang = 40 fragmen dan besar = 30 fragmen) diletakkan dengan jarak 50 cm dan diulang sebanyak tiga kali untuk setiap sistem dengan jarak antar ulangan sebesar 3 m. Total fragmen yang digunakan adalah 202, 128 dan 90 yang disusun pada 9 kerangka untuk setiap sistem.

Transplantasi dilakukan di Selat Arab, Israel pada bulan Juli 2002 sampai Januari 2003. Sebanyak 98 fragmen spons jenis Negombata magnifica

(Demospongiae, Latrunculiidae) ditransplantasi dengan dua metode yaitu jaring dan tali (Gambar 4). Masing-masing perlakuan dari metode tersebut ditempatkan di kedalaman 10m dan 20m dengan ukuran sampel rata-rata 11,6 ± 0,7g. Setelah

A

C

B

(33)
[image:33.612.273.363.142.331.2]

19 177 hari, ukuran spons meningkat menjadi 24,5 ± 2g dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata pada semua perlakuan sebesar71,4%(Hadas et al., 2005)

Gambar 4 Metode transplantasi yang digunakan oleh Hadas et al., 2005 di Israel

Page et al. (2005) melakukan penelitian transplantasi spons jenis Mycale hentscheli di Teluk Mahaga dan Peloruse Sound, Selandia Baru. Spons ditransplantasi menggunakan metode jaring yang dilakukan di dua habitat yang berbeda pada kedalaman 7 meter. Sebanyak 2 buah sampel berukuran 27m3 diambil dari 10 spons donor di Capsize Point, Peloruse Sound. Satu sampel dari setiap donor ditransplantasikan di Capsize Point, Peloruse Sound selama 250 hari, sedangkan sampel lain ditransplantasikan di Mahaga Bay selama 214 hari. Selama jangka waktu tersebut berat basah spons telah meningkat menjadi 3365 ± 812 % (Capsize Point) dan 2749 ± 1136 %.

(34)

juga ditransplantasikan di perairan terbuka. Penelitian tersebut membuktikan bahwa jumlah spikul spons yang dipindahkan dari perairan dalam ke perairan dangkal mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam jangka waktu 6 bulan terdapat perbedaan jumlah spikul spons di perairan dalam dengan perairan dangkal, yaitu jumlah spikul spons di perairan dangkal lebih banyak dibandingkan dengan spons laut dalam.

Transplantasi Spons Ex-Situ

Transplantasi spons tidak hanya dapat dilakukan di laut saja, namun juga dapat dilakukan di tempat lain seperti akuarium, kolam atau bioreaktor (Osinga et al. 1999) dengan sistem tertutup maupun terbuka. Penggunaan sistem ini diharapkan dapat menghasilkan produksi yang lebih baik dengan adanya kontrol terhadap beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan transplantasi terutama faktor lingkungan. Parameter yang perlu diperhatikan dalam transplantasi spons dengan sistem terkontrol yaitu pakan, silikon, oksigen, cahaya, salinitas, temperatur, kualitas air, racun, kontaminan, penyakit dan predator (Osinga et al. 1999).

Pakan merupakan aspek utama yang menjadi perhatian dalam penelitian spons. Beberapa penelitian mencoba melihat pengaruh jenis pakan terhadap pertumbuhan spons jenis Pseudosuberites aff. Andrewsi (Osinga et al. 1999),

Crambe crambe (Belarbi et al. 2003), H. melanadocia (Duckworth & Pomponi 2003). Beberapa penelitian menggunakan pakan spesifi, seperti Chlorella sorokiniana, Rhodomonas sp. (Osinga et al. 1999) dan Phaeodactylum tricornutum (Belarbi et al. 2003). Penelitian lain menggunakan pakan dari campuran mikroalga, bakteri dan jamur yang berukuran lebih kecil dari 10Am (Duckworth & Pomponi 2003). Aspek lain yang menarik bagi para peneliti adalah pengaruh faktor fisik seperti sistem sirkulasi air (Belarbi et al. 2003) dan cahaya (Mendola 2003).

Perkembangan budidaya spons tidak hanya terbatas pada transplantasi baik

(35)

21 sistem kultur sel antara lain pada Geodia barrette (Hoffmann et al. 2003),

Leuconia solida, Axinella verrucosa, Axinella damicornis, Chondrosia eniformis,

Chondrilla nucula, Acanthella acuta, Agelas oroides, Hemimycale sp., Dysidea avara (Nickel et al. 2001), Petrosia ficiformis (Nickel et al. 2001; Valisano et al. 2006), Corticium candelabrum (De Caralt et al. 2003), Dysidea avara, Suberites domuncula (De Rosa et al. 2003), Stylissa massa, Suberites domuncula (Sipkema

et al. 2003), Pseudosuberites aff. andrewsi, Geodia cydonium, Axinella polypoides, Halichondria panicea, Haliclona oculata (Sipkema et al. 2003) dan

Xestospongia muta (Richelle-Maurer et al. 2003).

Transplantasi Spons di Indonesia

Pong-Masak (2003) melakukan transplantasi spons jenis Auletta sp. di Sulawesi Selatan pada kedalaman 7 meter dengan panjang fragmen 5cm. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Perlakuan yang diberikan adalah perbedaan dan posisi substrat, yaitu 1) batu yang dibungkus jaring poliethylen (BP), 2) jaring poliethylen dengan posisi vertikal (PV), dan 3) jaring poliethylen dengan posisi horizontal (PH).

Setelah 120 hari pemeliharaan, pertumbuhan spons lebih baik pada substrat BP dibandingkan dengan substrat PV dan PH. Kondisi tersebut dimungkinkan oleh bentuk permukaan substrat yang keras dan tertutup sehingga energi yang dikeluarkan untuk melakukan penempelan lebih sedikit sehingga proses penempelan lebih baik untuk mendukung pertumbuhan. Kelangsungan hidup spons tidak berbeda jauh yaitu berkisar antara 70,83 - 76,67%.

(36)

Haris (2005) mentransplantasikan spons Aaptos aaptos di Sulawesi Selatan pada beberapa lokasi dan habitat yang berbeda, bertujuan untuk melihat pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Lokasi yang dipilih adalah pulau Barrang Lompo (PBL) dan pulau Samalona (PSL). Spons juga diletakkan di habitat dasar yang berbeda yaitu dasar berpasir (BPR), dasar rubble (RBL) dan berkarang (BKR). Ukuran fragmen sebesar 4x4x4 cm3 dan pertumbuhan yang diukur adalah pertumbuhan panjang.

(37)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

[image:37.612.119.524.247.527.2]

Penelitian dilakukan di sebelah barat pulau Burung (ST1) (05052’05,5” LS dan 106035’71,2’’ BT) dan di sebelah selatan pulau Pari (ST2) (05052’22,4” LS dan 106036’76,1’’ BT), perairan pulai Pari, kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 5). Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juli 2006 selama 4 minggu.

Rancangan Penelitian

Gambar 6 memperlihatkan rancangan percobaan pada penelitian yang dilakukan di dua lokasi berbeda dengan dua posisi rak yang berbeda pula. Kedua lokasi penelitian masing – masing adalah perairan terlindung (ST1) dan perairan terbuka (ST2) dengan jarak antara kedua stasiun penelitian sejauh 1 km dan merupakan daerah reef slope yang agak landai dengan komunitas karang mendominasi area bentik.

(38)
[image:38.612.109.518.100.350.2]

Gambar 6 Rancangan penelitian

Permukaan air yang tenang pada perairan yang terlindung (ST1) dapat mengakibatkan sedimentasi yang lebih tinggi namun tidak terganggunya proses penempelan fragmen karena sedikitnya gesekan dengan tali nilon akibat tidak adanya ombak dan arus yang besar, perairan yang terbuka (ST2) dengan ombak yang besar memungkinkan fragmen spons memperoleh oksigen lebih banyak karena adanya percampuran akibat pengaruh ombak dan arus. Ombak dan arus membawa nutrisi dan menghambat terjadinya sedimentasi, namun kekuatan ombak yang besar dapat merugikan dalam proses transplantasi. Ombak dapat mempengaruhi stabilitas posisi rak dan mempengaruhi proses penempelan spons pada tali bahkan dapat menyebabkan terlepasnya spons dari tali.

Transplantasi dilakukan dengan menggabungkan 2 metode yaitu tali dan jaring. Tali dan jaring ditempatkan pada kerangka besi (Gambar 7) yang diletakkan secara horizontal dan vertikal. Jarak spons dari substrat baik metode horizontal maupun vertikal kurang lebih 30 cm. Setiap jenis spons ditempatkan di kedua lokasi dan setiap lokasi spons ditempatkan 2 perlakuan dengan posisi yang berbeda. Setiap posisi dikenakan perlakuan dibersihkan dan tidak dibersihkan.

Petrosiasp. dan Aaptos aaptos

Terbuka

Lokasi

Vertikal Horizontal

Terlindung

Posisi

Tidak Dibersihkan

Vertikal Horizontal Posisi

Tidak Dibersihkan Dibersihkan

(39)
[image:39.612.125.509.151.410.2]

25 Jumlah total rak yang digunakan adalah 8 buah untuk masing-masing jenis spons dan jumlah total sampel yang digunakan adalah 1344 fragmen spons.

Gambar 7 Konstruksi rak dan pengikatan fragmen spons pada rak.

Tabel 2 Jenis dan jumlah spons yang digunakan pada penelitian

Jenis Jumlah Posisi Rak Lokasi

Petrosia (Petrosia) nigricans 168 Vertikal ST1

Petrosia (Petrosia) nigricans 168 Horizontal ST1

Aaptos aaptos 168 Vertikal ST1

Aaptos aaptos 168 Horizontal ST1

Petrosia (Petrosia) nigricans 168 Vertikal ST2

Petrosia (Petrosia) nigricans 168 Horizontal ST2

Aaptos aaptos 168 Vertikal ST2

Aaptos aaptos 168 Horizontal ST2

100 cm

vertikal horizontal

jaring tambang

pengikat

100 cm

88 cm

untaian fragmen spons 100 cm

[image:39.612.154.492.494.673.2]
(40)

Metode Transplantasi

Pengambilan dan Pemotongan Sampel

Sampel spons (Petrosia (Petrosia) nigricans dan Aaptos aaptos) yang ditransplantasi diambil dari beberapa koloni induk yang berbeda dengan menggunakan peralatan selam (SCUBA) dari kedalaman 7 - 10 meter. Spons yang ditransplantasikan di ST1 berasal dari ST2 dan yang ditransplantasi di ST2 berasal dari ST1.

Pemotongan dilakukan di atas kapal dengan menggunakan pisau dan dilakukan dalam wadah berisi air laut yang diberi aerasi. Selama proses pemotongan, air laut dalam wadah diganti beberapa kali. Spons induk dipotong-potong menyerupai kubus dengan ukuran rata-rata 30,98 cm3 untuk Petrosia (Petrosia) nigricans dan 9,66 cm Aaptos aaptos. Semua fragmen paling sedikit memiliki satu sisi yang yang masih terdapat lapisan pinacoderm.

Untuk mengurangi stres selama pengangkutan dan pemotongan, maka spons induk yang belum dipotong ditaruh di dalam keranjang tali yang dihanyutkan di samping kapal. Selain itu, spons yang berbeda jenis diletakkan pada wadah yang berbeda untuk mencegah kematian spons yang mungkin terjadi akibat senyawa bioaktif spons yang saling mengeliminasi.

Pengikatan Sampel

[image:40.612.186.469.637.695.2]

Spons yang telah dipotong berbentuk kubus diambil secara acak lalu diletakkan pada tali nilon. Spons tidak diikatkan pada tali namun tali ditusukkan di bagian tengah spons hingga tembus (gambar 8). Setiap untaian terdapat 12 fragmen spons dengan jarak antar spons 8 cm. Kemudian untaian diletakkan pada wadah lain yang diaerasi dan beberapa kali dilakukan pergantian air. Pengikatan spons pada rak percobaan dilakukan di dalam air dengan menggunakan peralatan selam.

Gambar 8 Metode transplantasi dengan melewatkan tali nilon pada fragmen spons fragmen spons

(41)

27 Pengambilan Data

Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan

[image:41.612.131.509.235.351.2]

Kelangsungan hidup spons dilakukan dengan menghitung dan mencatat fragmen spons yang masih hidup (Gambar 9 (A) dan (C)) dan mati (Gambar 9 (B) dan (D)). Pengukuran pertumbuhan dilakukan pada spons yang masih hidup atau pada spons yang masih terdapat bagian yang masih hidup (Gambar 10).

Gambar 9 Fragmen spons (A),(B) Petrosia (Petrosia) nigricans dan (C),(D)

Aaptos aaptos

Gambar 10 Pengukuran fragmen spons (A) Petrosia (Petrosia) nigricans dan (B) Aaptos aaptos

Pengukuran pertumbuhan dilakukan di dalam air dengan menggunakan jangka sorong untuk Petrosia (Petrosia) nigricans dan pita berskala untuk Aaptos aaptos. Nilai pertumbuhan Petrosia (Petrosia) nigricans yang diukur adalah ukuran volume fragmen dan nilai volume dihasilkan dari pengukuran panjang, lebar dan tinggi fragmen. (Gambar 10). Sedangkan pertumbuhan spons jenis

Aaptos aaptos diukur dengan mengukur keliling.

(A) (D) (B) (C)

panjang

tinggi

lebar

K2 K1

[image:41.612.176.429.430.508.2]
(42)

Parameter Físika dan Kimia Perairan

Parameter fisika dan kimia perairan diukur untuk menentukan pengaruh lokasi terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan spons Petrosia (Petrosia) nigricans dan Aaptos aaptos. Parameter-parameter yang diamati dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Parameter oseanografi fisika dan kimia pada minggu ke-0

No Parameter Satuan Metode/alat Fisika

1 Suhu 0

C Termometer Hg 2 Kec. Arus m/detik Floating drogue 3 Kecerahan m Secchi disc 4 Kekeruhan NTU Turbidimeter 5 TSS mg/l Gravimetrik

Kimia

6 Salinitas ‰ Refraktometer

7 pH pH meter

8 DO mg/l Titrasi winkler 9 TOM mg/l Titrasi permanganat 10 Silikat (SiO3) mg/l Spektrofotometer 11 Amonia (NH3) mg/l Spektrofotometer 12 Fosfat (PO4) mg/l Spektrofotometer 13 Nitrit (NO2) mg/l Spektrofotometer 14 Nitrat (NO3) mg/l Spektrofotometer 15 COD ( mgO2/l) mgO2/l Refluks terbuka 16 H2S (mg/l) mg/l Titrasi

Pengukuran suhu, kecepatan arus, kecerahan, salinitas dan DO dilakukan secara in situ pada setiap minggu bersamaan dengan pengukuran pertumbuhan fragmen spons. Pengambilan sampel air untuk pengukuran kekeruhan, pH, TSS, TOM, silikat, amoniak, fosfat, nitrit, nitrat, COD dan H2S hanya dilakukan satu

kali, yaitu pada saat penanaman fragmen. Analisis sampel air dilakukan di Laboratorium Produktivitas Perairan, Institut Pertanian Bogor.

Analisis Data dan Statistika Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup dapat diketahui dengan membandingkan antara jumlah fragmen spons yang hidup pada akhir penelitian (Nt) dengan jumlah

(43)

29 % 100 0 × = N N S t 0 L L L = t

i i i i t t L L − − = + + 1 1 β

kelangsungan hidup spons setiap minggu dan di akhir penelitian, menggunakan formula sebagai berikut :

Dimana : S = Kelangsungan hidup Nt = Jumlah individu akhir

No = Jumlah individu awal

Pertumbuhan

Pengukuran pertumbuhan fragmen spons berdasarkan pertumbuhan mutlak setiap minggunya dan pada akhir penelitian menggunakan rumus sebagai berikut :

Dimana : L = Pertumbuhan mutlak (volume (cm3) atau keliling (cm)) Lt = Pertumbuhan akhir (volume (cm3) atau keliling (cm))

Lo = Pertumbuhan awal (volume (cm3) atau keliling (cm))

Pengukuran laju pertumbuhan spons yang ditransplantasi dilakukan dengan menggunakan rumus :

Dimana :

β = Laju pertambahan pertumbuhan (volume (cm3) atau keliling (cm)) Li+1 = Rata-rata pertumbuhan waktu ke-i + 1 (volume (cm3) atau keliling (cm))

Li = Rata-rata pertumbuhan pada waktu ke i (volume (cm3) atau keliling (cm))

ti+1 = Waktu ke – i + 1

ti = Waktu ke – i

Analisis Statistika

(44)

ij j i

Yij=μ+τ +β +ε

Acak Kelompok (RAK) (Gomez & Gomez 1995) dengan model dari rancangan ini adalah :

Dimana : i = 1, 2, ..., t dan j = 1, 2, ..., r

Yij = Pengamatan perlakuan (posisi rak) ke – i dan ulangan

(lokasi ) ke – j

μ = Rataan umum

τi = Pengaruhposisi rak ke-i

βj = Pengaruh lokasi transplantasi ke – j

εij = Pengaruh acak pada posisi rak ke-i dan lokasi ke-j

Pengolahan data RAK menggunakan perangkat lunak Mikrosoft Excel 2003 dan SPSS 15. Pertimbangan dalam menggunakan rancangan RAK pada penelitian ini adalah karena faktor perlakuan yang diujicobakan dan adanya sumber keragaman lain (lokasi) yang digunakan sebagai landasan pengelompokan, yaitu pola keragaman yang berbeda antara ST1 dan ST2 yang mana ST2 merupakan perairan yang lebih terbuka daripada ST1 yang lebih tertutup dan terlindung. Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji F untuk melihat adakah pengaruh posisi rak dan lokasi terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan mutlak volume spons Petrosia (Petrosia) nigricans dan Aaptos aaptos.

Pengaruh parameter fisika dan kimia perairan dengan pertumbuhan

Petrosia (Petrosia) nigricans dan Aaptos aaptos dianalisis dengan menggunakan Korelasi Pearson dengan persamaan sebagai berikut (Draper & Smith 1981):

Dimana : i = 1, 2, ..., t dan j = 1, 2, ..., r y = variabel tidak bebas

p = jumlah prediktor

x = variabel bebas b = Koefisien

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fisika-Kimia Perairan

[image:45.612.158.483.316.653.2]

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yang memiliki karakteristik dan tingkat keterbukaan yang berbeda. Pada ST1 substrat dasar lebih dominan oleh pasir berlumpur dengan sedikit tutupan karang sedangkan ST2 didominasi oleh tutupan karang. ST1 merupakan daerah yang terlindung dari hempasan gelombang sedangkan ST2 lebih terbuka. Selain itu, tingkat kemiringan dasar juga berbeda dimana ST2 lebih curam dari pada ST1.

Tabel 4 Nilai parameter lingkungan di ST1 dan ST2 pada minggu ke-0, dan baku mutu berdasarkan Kep.Men 179/Men.KLH/2004

Hasil analisis beberapa kualitas air memperlihatkan bahwa kondisi perairan di kedua stasiun umumnya tidak jauh berbeda (Tabel 4). Namun terdapat

No Parameter ST1 ST2 Baku mutu

Fisika

1 Suhu (0C) 30 30 28-30

2 Kec. Arus (m/detik) 0,030 0,037 - 3 Kedalaman rak transplantasi (m) 7 7 - 4 Kecerahan (m) 5,23 5,63 >5 5 Kekeruhan ( NTU) 0,45 0,4 <5

6 TSS (mg/l) 7,3 5,3 20

Kimia

7 Salinitas (‰) 33 34 33-34

8 pH 8,13 8,05 7-8,5

9 DO (mg/l) 5,102 7,346 >5 10 TOM (mg/l) 19,592 20,224 - 11 Silikat (SiO3) (mg/l) 0,4441 0,3031 - 12 Amonia (NH3) (mg/l) 0,4593 0,3218 -

13 Fosfat (PO4) (mg/l) 0,1572 0,1636 0,015

14 Nitrit (NO2) (mg/l) 0,0206 0,0201 -

15 Nitrat (NO3) (mg/l) 0,2368 0,2482 0,008

16 COD ( mgO2/l) 12 40 -

(46)
[image:46.612.118.527.304.449.2]

pula nilai pengukuran nilai kualitas air yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada hasil pengukuran COD dimana pada ST1 dan ST2 masing-masing sebesar 40 mg/l dan 12 mg/l. Parameter físika dan beberapa parameter kimia seperti salinitas, pH, dan DO di ST1 dan ST2 berada dalam kisaran baku mutu air laut. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua lokasi penelitian memiliki kualitas air yang mendukung kehidupan organisme didalamnya. Tetapi nilai fosfat, nitrat, dan sulfida di kedua lokasi penelitian jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai baku mutu (Kep.Men 179/Men.KLH/2004). Hal ini mungkin disebabkan buangan limbah organik baik dari Jakarta maupun penduduk pulau sendiri sehingga ketiga parameter ini melewati batas baku mutu.

Tabel 5 Parameter fisika dan kimia selama pengamatan

M0 M1 M2 M3 M4

Parameter

ST1 ST2 ST1 ST2 ST1 ST2 ST1 ST2 ST1 ST2

Suhu (ºC) 30 30 30 30 29 29 29 29 30 30

Kec. Arus (m/dtk) 0.030 0.037 0.034 0.037 0.047 0.049 0.098 0.213 0.026 0.133

Kecerahan (m) 5.23 5.63 5.31 6.96 5.00 8.25 5.00 10.21 7.82 7.80

Salinitas (‰) 33 34 33 32 32 31 32 32 32 32

Ph 8.13 8.05 8.20 8.63 8.20 8.39 8.20 8.32 8.20 8.38

DO (mg/l) 5.10 7.35 7.08 7.14 8.16 9.59 9.80 8.16 9.59 9.80

Pengukuran fisika dan kimia perairan setiap minggu umumnya tidak menunjukkan fluktuasi perubahan yang tidak besar setiap minggunya. Nilai parameter fisika kimia antara ST1 dan ST2 pada setiap minggu pengamatan Tidak sama. Secara umum nilai-nilai parameter fisika kimia pada ST1 lebih rendah dari pada ST2 (Tabel 5).

Pengukuran suhu tiap minggunya menunjukkan kisaran antara 29-30 ºC.

(47)

33 drastis dari 34‰ menjadi 32‰, namun masih dalam batas baku mutu air laut (Kep.Men 179/Men.KLH/2004). Oksigen terlarut yang terukur memperlihatkan peningkatan dari minggu pertama sampai minggu keempat namun masih dalam kisaran baku mutu air laut. pH air yang terukur cenderung stabil pada kedua lokasi penelitian.

Perkembangan Fragmen Spons

Perkembangan fragmen transplantasi tidak lepas dari pengaruh proses pengangkutan, pemotongan dan pengikatan fragmen spons. Hal ini dapat dilihat pada saat pemotongan diwadah terjadi perubahan warna pada spons yaitu kelihatan pucat. Selain itu, spons juga mensekresikan cairan yang dapat dilihat dengan mengamati perubahan warna air pada wadah tempat pemotongan fragmen.

[image:47.612.132.509.330.455.2]

Gambar 11 Proses regenerasi fragmen spons Petrosia (Petrosia) nigricans (a) fragmen spons yang baru ditransplantasi (b) pemulihan pada bagian yang terpotong (c) fragmen yang telah pulih seperti induknya

Pada awal peletakan fragmen pada rak, kondisi spons masih dalam keadaan stres akibat proses sebelumnya. Sebagian besar fragmen terlihat lebih segar setelah pemotongan dua hari. Pada saat itu bagian luar spons yang sebelumnya menyusut dan padat terlihat mengembang. Pada daerah yang terluka terlihat adanya lapisan tipis transparan. Kemudian pada hari keempat sebagian besar fragmen yang terluka sudah mulai berwarna kecoklatan dan beberapa terlihat memutih. Tujuh hari setelah transplantasi, bagian yang terluka sudah berwarna coklat muda. Pada masa ini nampak jelas pemulihan pada bagian yang

Bagain yang terpotong

Bagian terpotong mulai kembali coklat, mulai dari tepi ke arah tengah

(48)

terpotong, dimulai pada batas yang terpotong terus bertambah kearah tengah bagian yang terpotong (Gambar 11).

[image:48.612.124.501.279.433.2]

Pada minggu kedua transplantasi terlihat adanya Synaptula dipermukaan fragmen seperti yang umum ditemui pada setiap spons dewasa di alam. Minggu ketiga setelah transplantasi, oskulum mulai terlihat dan fragmen sudah menempel pada tali nilon. Minggu keempat pemeliharaan, fragmen spons sudah berwarna coklat tua dengan oskulum yang semakin terlihat jelas. Setelah empat minggu pemeliharan belum terlihat adanya fragmen yang menempel pada jaring. Perbedaan fragmen spons dengan induknya hanya pada bentuknya.

Gambar 12 Organisme yang terlihat berada di permukaan fragmen pada spons jenis Petrosia (Petrosia) nigricans

Selama penelitian teramati beberapa organisme yang menempel pada spons. Organisme tersebut antara lain nudibranch dan sea squirt (Gambar 12). Hewan avertebrata memilih spons sebagai tempat menempel adalah untuk mencari perlidungan karena beberapa jenis spons memproduksi senyawa kimia yang dapat melindungi hewan tersebut dari predator (Pawlik et al. 1995). Penelitan terhadap bintang laut ular menunjukkan bahwa keuntungan yang diambil dari hidup di spons adalah ketersediaan partikel-partikel makanan bagis yang berifat suspension feeder (Fedra et al. 1976) dan deposit feeder dengan mengambil makanan yang terdapat dipermukaan spons(Hendler 1984).

Pada spons jenis Aaptos aaptos kondisi fragmen pucat dan mengkerut saat penempatan fragmen pada rak. Sesaat setelah penempatan pada rak banyak ikan

(49)

35 yang berdatangan mematuk-matuk fragmen khususnya ikan dari famili Labridae, tetapi tidak dilakukan sensus seberapa sering dan berapa lama ikan tersebut datang melakukan hal ini. Pematukan tersebut menyebabkan beberapa buah fragmen tercabik-cabik sehingga fragmen bertambah stres, hal ini terjadi pada saat luka yang dihasilkan akibat pemotongan belum tertutup dengan sempurna. Kejadian ini hanya terjadi pada hari pertama saja dan hari selanjutnya tidak terjadi pematukan oleh ikan tersebut.

[image:49.612.138.509.350.453.2]

Dua hari setelah penanaman, permukaan fragmen tertutupi oleh lapisan berwarna putih transparan. Pada ST2 sebagian besar fragmen mengalami kematian, warna permukaan tubuh berubah menjadi berwarna putih dan coklat. Fragmen tampak seperti meleleh dan mudah sekali hancur sehingga fragmen menjadi mudah terlepas dikarenakan arus yang kuat. Beberapa fragmen terlihat telah dapat membuka oskulum pada hari ketiga.

Gambar 13 Perkembangan fragmen dari minggu pertama sampai keempat spons jenis Aaptos aaptos

Pada minggu pertama pengukuran, lapisan permukaan fragmen yang terpotong mengalami perubahan. Warna permukaan fragmen berubah menjadi kekuningan tetapi masih tampak pucat. Pada masa ini sebagian fragmen sudah dapat menempel dengan baik pada substrat, namun beberapa fragmen masih mengeluarkan lendir disertai lapisan putih transparan. Minggu kedua pengukuran, fragmen sudah menempel pada jaring dan tali polyetilen, warna fragmen mengalami perubahan menjadi kuning-kecoklatan. Pada masa ini tampak jelas pemulihan dari bagian yang terpotong pada fragmen dimulai dari batas potongan menuju pusat atau bagian tengah dari bagian yang terpotong. Oskulum pada minggu kedua mulai muncul begitu juga dengan ostia. Pada minggu ketiga

(50)

penampilan fragmen mulai membaik dengan penampakan warna yang lebih cerah, selain itu pola pemulihan luka makin tampak jelas. Penampakan oskulum pada masa ini dapat terlihat dengan jelas. Bentuk oskulum berupa lubang berukuran besar yang terletak pada badan fragmen sedangkan ostia berupa lubang-lubang kecil yang terletak menyebar mengelilingi badan fragmen. Setelah 30 hari atau minggu keempat, fragmen sudah memperlihatkan penampilan yang sempurna dan oskulum yang semakin besar.

Kelangsungan Hidup Fragmen Spons

Kelangsungan hidup memberikan informasi awal mengenai kepekaan spons terhadap proses pemotongan dan transplantasi. Sejak fragmen spons

Petrosia (Petrosia) nigricans ditransplantasi hingga akhir penelitian terdapat beberapa fragmen spons yang mengalami kematian, tetapi sebagian besar mampu bertahan hidup. Kelangsungan hidup spons jenis Petrosia (Petrosia) nigricans

yang ditransplantasikan di perairan pulau Pari adalah diatas 50%. Hal ini menunjukkan bahwa spons tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan setelah mengalami proses pengangkutan dan pemotongan.

94.00 94.50 95.00 95.50 96.00 96.50 97.00 97.50 98.00 98.50 99.00 99.50 100.00

Bersih Tidak Bersih Tidak Bersih Tidak Bersih Tidak

Vertikal Horizontal Vertikal Horizontal

St 1 St 2

[image:50.612.144.493.406.622.2]

K e la ngs u nga n hid up ( % ) M0 M1 M2 M3 M4

Gambar 14 Kelangsungan hidup spons Petrosia (Petrosia) nigricans

(51)

37 lokasi ST2 dengan metode rak vertikal yang tidak dibersihkan memiliki kelangsungan hidup yang terendah sebesar 95,12%. Pada spons yang dtransplantasikan di ST1 masih dapat bertahan sebanyak 100% sampai akhir penelitian. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa spons Petrosia (Petrosia) nigricans memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap proses pemotongan dan transplantasi yang diberikan.

Hasil analisis ragam lokasi, posisi rak dan pembersihan memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup Petrosia (Petrosia) nigricans (Lampiran 1). Berdasarkan hasil uji lanjut menjelaskan bahwa pada ST2 di rak horizontal lebih berpengaruh daripada rak vertikal terhadap spons yang tidak dibersihkan. Lokasi ST2 merupakan daerah yang terbuka di mana pengaruh ombak masih dapat dirasakan sampai kedalaman 6 m (tempat penanaman spons). Gelombang tersebut mempengaruhi spons yang ditransplantasi pada posisi vertikal dimana fragmen selalu bergerak akibat hempasan gelombang. Sehingga posisi rak sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup spons. Hal ini dinyatakan juga oleh Coriero et al., (2004) dimana posisi tidak akan berpengaruh terhadap kelangsungan spons jika tidak terkena pengaruh hempasan gelombang. Rendahnya kelangsungan hidup spons di ST 2 yang tidak dibersihkan merupakan akumulasi dari dua penyebab yaitu hempasan gelombang dan juga adanya persaingan dengan hewan yang menempel seperti alga dan ascidian. Kondisi yang sama ditemukan oleh Coriero et al. (2004) pada saat melakukan transplantasi spons jenis Spongia officinalis.

(52)

penelitian Harris (2005) yang mendapatkan kelangsungan hidup Aaptos aaptos

sebesar 100% pada usia 30 hari.

Pada minggu kedua terlihat banyak sekali spons yang mati yaitu berkisar antara 3,85 – 41,47 %. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup dan tingginya kematian spons pada penelitian ini diduga akibat kondisi spons yang tidak dapat beradaptasi secara cepat dengan lingkungan setelah mengalami pemotongan, pengangkutan dan pengikatan (Corriero et al. 2004).

20 30 40 50 60 70 80 90 100

Bersih Tidak Bersih Tidak Bersih Tidak Bersih Tidak

Vertikal Horizontal Vertikal Horizontal

St 1 St 2

k

e

la

ng

s

unga

n h

idup (

%

)

M0

M1

M2

M3

[image:52.612.151.489.237.434.2]

M4

Gambar 15 Kelangsungan hidup spons Aaptos aaptos

Kelangsungan hidup spons di lokasi ST2 lebih tinggi daripada di ST1. Pada lokasi ST2 tingkat kelangsungan hidup berkisar antara 40,48 – 88,46% sedangkan pada lokasi ST1 berkisar antara 36,54 – 54,95% (Gambar 15). Kondisi lokasi yang diduga merupakan penyebab adanya perbedaan tingkat kelangsungan hidup spons. ST2 merupakan daerah terbuka dan berarus sedangkan ST1 daerah tertutup dan kurang berarus sehingga lebih keruh dan sedimentasi tinggi. Sedimentasi tinggi dapat menyebabkan kematian spons (Pronzato et al. 1998; De Voogd 2005).

(53)

39 dibersihkan sedangkan di ST2 sebaliknya. Fragmen di ST1 pada rak yang dibersihkan memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dari pada rak di ST2. Pada ST1 berkisar antara 52,4 – 56% sedangkan ST2 39,3 - 48,8%.

Hasil analisis dengan menggunakan korelasi Pearson menunjukkkan bahwa hubungan yang erat antara kelangsungan hidup spons Aaptos aaptos

dengan salinitas, PH dan DO (lampiran 5) di stasiun 1. Korelasi yang berbeda ditemukan di stasiun 2, kelangsungan hidup berhubungan erat dengan kecerahan dan salinitas. Tingkat keeratan pada Korelasi Pearson ini dilihat dari nilai korelasi yaitu jika 0 – 0,5 maka hubungan kurang erat, jika 0,5-0,7 erat, >0,7 sangat erat.

Pertumbuhan Fragmen Petrosia (Petrosia) nigricans

Nilai pertumbuhan yang digunakan adalah ukuran volume fragmen. Ukuran fragmen spons Petrosia (Petrosia) nigricans pada awal penelitian tidak seragam, dikarenakan sulitnya mendapatkan ukuran fragmen yang sama untuk semua satuan percobaan. Hal ini disebabkan tekstur spons Petrosia (Petrosia) nigricans yang keras sehingga menyulitkan pemotongan.

Gambar

Gambar 1  Spons laut (A) Petrosia sp dan (B) Aaptos aaptos di habitat alami (foto koleksi Tim Hibah Pasca 2005)
Tabel 1 Jenis – jenis makroorganisme yang digunakan sebagai sumber makanan spons
Gambar 2  Metode transplantasi yang digunakan Duckworth dan Battershill
Gambar 3  Metode Transplantasi yang digunakan Van Treeck et al. (2003) (A)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan yang paling jelas terlihat dari adanya kantong pembesaran gamet betina yang ditemukan pada lapisan mesohyl spons Aaptos aaptos dalam.

( I ) mengkaj~ perkclnbangan gonad spons Aaptos aaptns, dan (3) mengkajt prngaruh Fase bulan trrhsdap perkemhangan gonad spvns haptos aaptos. Pengambila~l salnpej

Senyawa bioaktif yang diperoleh dari ekstrak karang lunak Lobophytzm sp di kedalaman 3 dan I0 meter hasil fragmentasi buatan mempunyai kekuatan sedang dan ekstrak kasar Simlarin

Beberapa jenis spons kelas ini ada yang tidak mengandung spikula tetapi hanya mengandung serat-serat kolagen atau spongin saja (Amir dan Budiyanto, 1996), Rangka tersusun

Penelitian kelulusan hidup rekrut karang telah dilakukan di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta dari bulan Maret sampai November 2010 dengan tujuan untuk

Penelitian kelulusan hidup rekrut karang telah dilakukan di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta dari bulan Maret sampai November 2010 dengan tujuan untuk

sedangkan berdasarkan kedalaman, kelimpahan zooxanthellae pada level kedalaman reef flat lebih tinggi dibandingkan dengan kedalaman slope , dan apabila dibandingkan

Penelitian lain yang dilakukan di Laut Mediteranean (subtropis) menunjukkan bahwa perkembangan gamet dan pemijahan murni dipengaruhi oleh perubahan suhu dan sangat