• Tidak ada hasil yang ditemukan

Multiplikasi in vitro Tanaman Pisang Kepok Merah (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Multiplikasi in vitro Tanaman Pisang Kepok Merah (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

MULTIPLIKASI IN VITRO TANAMAN PISANG KEPOK

MERAH (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah)

EVA KHAERUNNISA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Multiplikasi in vitro Tanaman Pisang Kepok Merah (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

EVA KHAERUNNISA. Multiplikasi in vitro Tanaman Pisang Kepok Merah (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah). Dibimbing oleh DIAH RATNADEWI dan NINA RATNA DJUITA.

Pisang kepok merah merupakan kultivar pisang yang memiliki daging buah berwarna kuning kemerahan. Kepok merah memiliki manfaat yang lebih spesifik yakni sebagai makanan pendamping air susu ibu. Pengadaan bibitnya masih menjadi kendala. Kultur jaringan di antaranya merupakan cara untuk memperbanyak pisang tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mencari formula media inisiasi dan multiplikasi pisang kepok merah dalam rangka memperbanyak tanaman. Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap kesatu adalah menentukan metode sterilisasi eksplan yang efektif dari dua metode sterilisasi yang digunakan. Sterilisasi 1 menggunakan berturut-turut Bayclin 20%, Bayclin 30%, Agrept, Dithane M-45, dan alkohol 70%, sedangkan sterilisasi 2 menggunakan Bayclin 5%, Bayclin 15%, dan alkohol 70%. Tahap kedua adalah inisiasi dan multiplikasi tunas dengan menggunakan dua media dasar yaitu: Murashige dan Skoog (MS) modifikasi dan Woody Plant (WP), yang dikombinasikan dengan IAA 0.2 mg/L dan 2 taraf Benzil Amino Purin (BAP) 3 dan 5 mg/L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode sterilisasi 1 lebih baik dibandingkan dengan metode sterilisasi 2. Media WP dan MS modifikasi dengan penambahan BAP 5 mg/L yang dikombinasikan dengan Indol Acetic Acid (IAA) 0.2 mg/L terbukti dapat menghasilkan nodul pada eksplan namun, media WP lebih mendukung pertumbuhan dan perkembangannya dilihat dari jumlah nodul dan jumlah tunas yang dihasilkan.

Kata kunci: media MS modifikasi, media WP, multiplikasi, pisang kepok merah.

ABSTRACT

EVA KHAERUNNISA. In Vitro Multiplication of Plantain Kepok Merah (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah). Supervised by DIAH RATNADEWI and NINA RATNA DJUITA.

Kepok merah is one of the cooking bananas having yellow redish mesocarp. Kepok merah has a specific benefit as baby food besides breast fed. The major problem in developing this plantain is the lack of plant seedlings. In vitro multiplication was considered as a technique to solve the problem. This research was aimed to select the best media for the multiplication of plantain kepok merah. Two steps of work have been done which were sterilization method and then treatments in the initiation and multiplication media. Sterilization 1 used consecutively substances Bayclin 20%, Bayclin 30%, Agrept, Dithane M-45, and alcohol 70% while sterilization 2 used Bayclin 5%, Bayclin 15%, and alcohol 70%. Two basic media (modified MS and WP) were used, enriched with 0.2 mg/L IAA and two levels of BAP (3 and 5 mg/L). Method 1 of sterilization was better than method 2. BAP at 5 mg/L in both basic media produced noduls on the explants, but further development was more promoted by WP.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Biologi

MULTIPLIKASI IN VITRO TANAMAN PISANG KEPOK

MERAH (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah)

EVA KHAERUNNISA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi: Multiplikasi in vitro Tanaman Pisang Kepok Merah (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah)

Nama : Eva Khaerunnisa

NIM : G34090065

Disetujui oleh

Dr Ir Diah Ratnadewi, DEA Pembimbing I

Nina Ratna Djuita, SSi, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Iman Rusmana, MSi Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkahnya-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari sampai Juli 2013 dengan judul Multiplikasi in vitro Tanaman Pisang Kepok Merah (Musa paradisiaca cv. Kepok Merah). Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Diah Ratnadewi, DEA dan Nina Ratna Djuita, SSi, MSi selaku pembimbing, serta Dr Sri Listiyowati, MSi selaku penguji. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Pak Kusmayadi yang telah banyak membantu pada saat penelitian berlangsung dan Ibu Binti yang telah mengirimkan bonggol pisang kepok merah. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat seperjuangan dalam melaksanakan penelitian yaitu: Ai, Oli, Diah, Monik, Yusi, Cut, Upi, Fistumers, GM, serta teman-teman Bio 46 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu dan untuk keluargaku penulis ucapkan terima kasih yang teristimewa atas segala bentuk do’a dan bantuan yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1 

Tujuan Penelitian 2 

BAHAN DAN METODE 2 

Waktu dan Tempat 2 

Bahan dan Alat 2 

Metode sterilisasi eksplan pisang kepok merah 3  Inisiasi dan multiplikasi pisang kepok merah 3 

Analisis Data 4 

HASIL 4 

Sterilisasi Eksplan 4 

Tahap Inisiasi dan Multiplikasi Tunas 5 

PEMBAHASAN 7 

SIMPULAN 10 

DAFTAR PUSTAKA 10 

LAMPIRAN 12 

(11)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan efektivitas metode sterilisasi 1 dan 2 4  2 Pengaruh perlakuan terhadap kondisi kultur pisang kepok merah 5  3 Data kualitatif penampilan kultur dan waktu tumbuh nodul 6  4 Pertumbuhan dan perkembangan planlet pisang kepok merah 7 

DAFTAR GAMBAR

1 Pertumbuhan nodul dominan warna hijau pada media W2 (1), pertumbuhan tunas tanpa pertumbuhan nodul pada media M1 (2) 5  2 Pertumbuhan tunas dan daun (1) perlakuan M1 umur 22 MST, (2)

perlakuan M2 umur 22 MST, (3) perlakuan W1 umur 19 MST, dan (4)

perlakuan W2 umur 20 MST 6 

DAFTAR LAMPIRAN

1 Komposisi media dasar MS (Murashige dan Skoog 1962) dan MS

modifikasi (Mulyaningsih 1998) 12 

(12)

PENDAHULUAN

Tanaman pisang tersebar luas di seluruh Indonesia. Umumnya pusat pengembangan budidaya pisang tersebar di daerah Palembang, Banyuwangi, dan beberapa daerah di Jawa Barat. Persebaran pisang kepok terpusat di beberapa daerah di Jawa Timur, khususnya Malang. Tanaman pisang yang biasa dijumpai adalah pisang kepok merah, kepok putih, dan kepok kuning (Kristina 2007).

Pisang kepok memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan bermanfaat sebagai bahan baku industri yang dapat dikembangkan (Kristina 2007). Kepok merah memiliki manfaat yang lebih spesifik dibandingkan pisang kepok kultivar lainnya yaitu sebagai makanan pendamping air susu ibu (MPASI) untuk bayi (Melilea 2012). Kepok merah dipilih sebagai MPASI karena jarang menimbulkan reaksi alergi, aman dikonsumsi dan cocok untuk bayi.

Persebaran pisang kepok merah yang tidak merata mengakibatkan sering terjadi kelangkaan di daerah lain di Indonesia, sehingga masyarakat yang mengenal dan mengkonsumsi pisang kepok merah ini masih terbatas. Langkah supaya masalah ini teratasi di antaranya dengan multiplikasi pisang kepok merah secara in vitro, agar bibitnya dapat disebarluaskan kepada masyarakat.

Setiap kultivar pisang memiliki respons yang berbeda dengan kultivar lainnya sehingga untuk menentukan metode kultur yang tepat masih merupakan tantangan yang besar (Sunarjono 2002). Multiplikasi tanaman dengan kultur in vitro menghasilkan tanaman yang seragam, dapat memproduksi banyak bibit, menghasilkan tanaman bebas virus karena kondisi kultur aseptik, dan dapat diperbanyak dalam waktu yang relatif singkat (Zulkarnain 2009).

Teknik kultur in vitro memerlukan bahan eksplan. Bahan eksplan dapat berupa bagian-bagian tanaman karena tanaman memiliki sifat totipoten. Totipotensi merupakan kemampuan sel tumbuhan bukan embrionik yang berdiferensiasi menjadi sel embrionik, kemudian berkembang menjadi tumbuhan baru yang lengkap (Salisbury dan Ross 1995). Bahan eksplan yang paling baik digunakan adalah yang memiliki sifat meristematik. Bahan tanaman pisang yang dijadikan eksplan dapat berupa jantung pisang, meristem tunas, dan

kuncup-kuncup samping yang berada di bonggol pisang. Perbanyakan dengan kultur in

vitro, memerlukan bahan eksplan yang steril.

Bahan eksplan yang steril didapatkan dengan cara melakukan sterilisasi

melalui berbagai tahap perendaman dalam bahan sterilan misalnya: Bayclin,

larutan bakterisida, larutan fungisida, dan antibiotik. Bahan sterilan bersifat racun bagi jaringan tanaman, oleh karena itu diperlukan pembilasan dengan akuades steril untuk menghilangkan sisa-sisa racun yang menempel di permukaan eksplan. Sterilisasi bahan eksplan bertujuan menghilangkan kontaminasi berupa bakteri dan cendawan yang berada di permukaan eksplan. Bahan eksplan beserta kontaminannya merupakan makhluk hidup. Kontaminan harus dimatikan agar tidak tumbuh dalam media.

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam media kultur memerlukan

zat pengatur tumbuh (ZPT). Penggunaan ZPT auksin berupa Indol Acetic Acid

(13)

2

Dalam waktu relatif singkat, jika IAA dikombinasikan dengan penambahan BAP pada konsentrasi yang tepat, akan mempengaruhi berbagai respons di dalam tanaman, terutama aktivitas yang mendorong pembelahan sel. Tanaman dapat berdiferensiasi menjadi organ tanaman seperti daun, batang, dan akar akibat dari pembelahan sel.

Kultur in vitro tanaman pisang telah banyak dilakukan, namun

pertumbuhan dan perkembangannya berbeda-beda bergantung pada asal bahan

dan jenis eksplan yang digunakan. Marlin et al. (2012) menggunakan bahan

eksplan berupa bakal buah (ovary) bunga pisang curup. Bahan eksplan ditanam dalam media yang telah diberi sitokinin BAP dan auksin Dichlorophenoxyacetic acid (2.4 D). Inisiasi pisang curup dari perlakuan tersebut menghasilkan banyak nodul-nodul morfogenik (bakal tunas), berwarna kuning kehijauan dan bertekstur remah.

Rodiniah et al. (2012) melakukan multiplikasi pisang talas menggunakan bahan eksplan berupa mata tunas apikal pada bonggol. Mata tunas apikal dari bonggol dipilih karena memiliki sifat meristematik. Hal ini menghasilkan pertumbuhan tunas relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan bahan eksplan lain yang umum digunakan dalam inisiasi dan multiplikasi pisang.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mencari formula media inisiasi dan multiplikasi pisang kepok merah dalam rangka memperbanyak tanaman.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada Januari – Juli 2013 di Laboratorium Penelitian Kultur Jaringan Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan berupa mata tunas apikal pada bonggol pisang kepok merah. Bonggol berasal dari Kota Blitar, Jawa Timur. Zat pengatur tumbuh yang digunakan berupa IAA dan BAP. Media yang dipakai adalah

Murashige dan Skoog (MS) modifikasi dan Woody Plant (WP). Komposisi media tercantum di Lampiran 1 dan 2.

Bahan sterilisasi eksplan yang digunakan berupa larutan fungisida (Dithane M-45), larutan bakterisida (Agrept), alkohol 70%, larutan Bayclin 5%, 15%, 20%, dan 30% serta akuades steril sebagai bahan pembilas.

(14)

3

Metode sterilisasi eksplan pisang kepok merah Metode sterilisasi 1

Bahan eksplan berupa mata tunas apikal dari bonggol pisang dipotong sebesar 1 x 5 cm. Bahan tersebut dicuci dengan air mengalir, kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi campuran 100 mL akuades steril dan 3 tetes Tween 80 selama 1 jam. Setelah itu, eksplan direndam dalam larutan

fungisida (Dithane M-45) 0.2 mg/100 mL selama 1 jam, kemudian direndam

dalam larutan bakterisida (Agrept) 0.2 mg/mL selama 1 jam. Selanjutnya eksplan direndam dalam larutan alkohol 70% selama 1 menit di dalam LAFC, dilanjutkan perendaman dalam larutan Bayclin 30% selama 30 menit dan Bayclin 20% selama 20 menit. Masing-masing tahap di luar dan di dalam LAFC dibilas 3 kali dengan akuades steril. Bahan eksplan dikupas sampai tampak jaringan berwarna putih dan dibelah menjadi dua bagian, kemudian ditanam dengan posisi bagian yang terluka menghadap media.

Metode sterilisasi 2

Bahan eksplan direndam di dalam larutan deterjen selama 1 jam dan dibilas dengan air mengalir selama 10-15 menit. Selanjutnya eksplan disterilisasi secara berurutan menggunakan alkohol 70% selama 2 menit, Bayclin 15% selama

15 menit, dan Bayclin 5% selama 5 menit sambil dikocok, kemudian dibilas

menggunakan akuades steril. Eksplan yang telah disterilisasi lalu dikupas dan dibelah menjadi dua bagian seperti pada metode sterilisasi 1. Semua tahap tersebut dilakukan di dalam LAFC.

Pengamatan efektivitas sterilisasi eksplan

Eksplan hasil sterilisasi dari kedua cara tersebut ditanam ke media dasar MS tanpa ZPT (Lampiran 1). Pengamatan terhadap efektivitas sterilisasi dilakukan selama 2 minggu, dengan waktu pengamatan dilakukan setiap hari. Parameter yang diamati meliputi jumlah eksplan terkontaminasi, tidak terkontaminasi, dan eksplan mati.

Inisiasi dan multiplikasi pisang kepok merah Media inisiasi dan multiplikasi tunas

Media dasar yang digunakan adalah MS modifikasi dan WP. Kedua media digunakan pada tahapan inisiasi dan multiplikasi. Media dasar dikombinasikan dengan ZPT berupa IAA 0.2 mg/L dan 2 taraf BAP 3 dan 5 mg/L. Masing-masing perlakuan dibuat 10 kali ulangan (botol), sehingga jumlah kultur yang digunakan 40 botol. Penelitian ini menggunakan 4 media kombinasi yaitu:

(15)

4

Pengamatan pertumbuhan planlet

Pengamatan dilakukan selama 22 minggu, dengan waktu pengamatan satu minggu sekali. Parameter yang diamati meliputi perubahan warna kultur, jumlah kultur hidup, kultur mati, kultur terkontaminasi, penampilan kultur, waktu tumbuh tunas, jumlah tunas, dan jumlah daun pada minggu terakhir pengamatan.

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif, karena kondisi bahan tanaman yang berbeda akibat proses sterilisasi di awal, adaptasi tanaman terhadap lingkungan media berbeda, terjadi kontaminasi pada umur kultur yang berbeda, serta pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang beragam.

HASIL

Sterilisasi Eksplan

Perlakuan sterilisasi eksplan metode sterilisasi 1 menghasilkan eksplan yang terkontaminasi sebesar 8.33%, tidak terkontaminasi sebesar 91.67%, dan kontaminasi terjadi pada 4 hari setelah tanam (HST) sebanyak 1 botol kultur, dan tidak bertambah lagi pada hari berikutnya sedangkan metode sterilisasi 2 persentase eksplan yang terkontaminasi sebesar 41.67%, tidak terkontaminasi sebesar 58.33%, dan kontaminasi terjadi pada 4 HST sebanyak 2 botol kultur hingga pada 10 HST sebanyak 5 botol kultur (Tabel 1). Perbedaan metode ini terletak pada tahap awal perendaman bahan eksplan dan waktu perendaman. Perbedaan proses sterilisasi, konsentrasi sterilan, dan waktu perendaman memungkinkan kontaminasi eksplan banyak terjadi pada metode sterilisasi 2 dibandingkan metode sterilisasi 1.

Tabel 1 Perbandingan efektivitas metode sterilisasi 1 dan 2

Perlakuan Hasil

HST : hari setelah tanam

(16)

5

Bayclin 5% selama 5 menit dan dibilas dengan akuades steril. Eksplan yang tidak terkontaminasi tampak sehat dan ukurannya bertambah besar.

Tahap Inisiasi dan Multiplikasi Tunas

Pertumbuhan kultur pisang kepok merah yang diamati meliputi kultur hidup, kultur mati, dan kultur yang mengalami cekaman (menghitam). Kultur hidup dilihat dari respons terhadap perlakuan media yang diberikan yaitu mengalami perubahan ukuran (bertambah besar) dan tumbuh nodul-nodul morfogenik. Kultur mati disebabkan oleh kontaminasi cendawan atau bakteri yang tidak dapat diselamatkan dengan metode sterilisasi ringan. Kultur yang menghitam ialah kultur yang mensekresikan metabolit sekunder berupa senyawa fenol. Metabolit sekunder ini menyebabkan eksplan menjadi hitam. Meskipun kultur ini menghitam, tetapi masih mengalami pertumbuhan berupa muncul nodul-nodul kecil berwarna putih di bagian permukaan eksplan.

Pertumbuhan kultur pada umumnya mulai terlihat pada minggu pertama, yaitu ukuran eksplan yang berwarna putih kekuningan dan ukurannya mulai

bertambah besar. Pada pengamatan minggu ke- 22 persentase kultur yang hidup

sebesar 100% dengan jumlah yang sama antara kultur hidup dan kultur

menghitam terlihat pada perlakuan M2 (Tabel 2). Kematian pada kultur terjadi pada perlakuan M1, W1, dan W2, dengan persentase kematian relatif rendah akibat terkontaminasi oleh cendawan dan bakteri.

Tabel 2 Pengaruh perlakuan terhadap kondisi kultur pisang kepok merah

Perlakuan Hidup Mati Menghitam % Kultur Hidup

M1 4 1 5 90

M2 5 - 5 100

W1 8 1 1 90

W2 7 1 2 90

MST : minggu setelah tanam

Pertumbuhan nodul-nodul morfogenik mulai terlihat pada 5 minggu setelah tanam (MST) pada perlakuan W1 dan W2, lalu menyusul M2 pada 6 MST dan M1 pada 13 MST. Pertumbuhan nodul merupakan fase awal sebelum muncul tunas. Nodul yang terbentuk berwarna putih kehijauan. Setelah nodul dominan berwarna hijau (Gambar 1.1), nodul akan meregenerasikan tunas adventif. Beberapa kultur langsung tumbuh dari tunas apikal misalnya pada M1 (Gambar 1.2). Data kualitatif pertumbuhan nodul (bakal tunas) disajikan pada Tabel 3.

Gambar 1 Pertumbuhan nodul dominan warna hijau pada media W2 (1), pertumbuhan tunas tanpa pertumbuhan nodul pada media M1 (2)

(1) (2)

(17)

6

Tabel 3 Data kualitatif penampilan kultur dan waktu tumbuh nodul

Perlakuan Waktu Tumbuh Nodul

(MST)

Pertumbuhan Nodul Warna Nodul

M1 13 + Putih

M2 6 +++ Putih kehijauan

W1 5 + Putih

W2 5 +++ Putih kehijauan

MST : minggu setelah tanam; + : sedikit; +++ : banyak

Pertumbuhan tunas dan daun terjadi pada semua perlakuan (Gambar 2). Data waktu tumbuh tunas serta jumlah planlet yang bertunas dan berdaun disajikan pada Tabel 4. Perlakuan W1 mampu menumbuhkan tunas tercepat pada 5 MST dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Beberapa planlet dari perlakuan M1 dan W1 bertunas secara langsung, masing-masing perlakuan menghasilkan 1 dan 3 tunas. Semua perlakuan menghasilkan nodul-nodul. Tunas paling banyak dihasilkan pada perlakuan W2 dengan kisaran 1-9 tunas per kultur. Total tunas yang dihasilkan perlakuan W2 yaitu 23 tunas dari 5 botol kultur, sedangkan total tunas perlakuan M2 paling sedikit yaitu 2 tunas dari 2 botol kultur. Meskipun perlakuan M2 banyak menghasilkan nodul (Tabel 3), namun pada akhir pengamatan tidak semua nodul dapat meregenerasikan tunas (Tabel 4). Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan respons kultur terhadap media sehingga waktu tumbuh tunas berbeda.Jumlah daun paling banyak dihasilkan oleh perlakuan M1, planlet pada M1 memiliki 12 daun.

(1) (2)

(3) (4)

(18)

7

Tabel 4 Pertumbuhan dan perkembangan planlet pisang kepok merah

Perlakuan Jumlah kultur

bertunas Waktu

TumbuhTunas (MST)

Jumlah Tunas Jumlah Daun

Langsung Bernodul Kisaran Total Kisaran Total

M1 1 2 (7-21) (1-6) 9 (0-12) 15

M2 0 2 (7-21) (1) 2 (0-4) 4

W1 3 2 (5-18) (1-2) 6 (0-3) 7

W2 0 5 (8-19) (1-9) 23 (0-5) 10

MST : minggu setelah tanam

PEMBAHASAN

Sterilisasi eksplan merupakan tahap terpenting dalam kultur jaringan tanaman. Tanaman yang akan dijadikan eksplan harus dalam keadaan steril, dan setiap tanaman mempunyai respons spesifik terhadap metode-metode sterilisasi. Sterilisasi eksplan bertujuan menghilangkan kontaminasi bakteri dan cendawan yang berada di permukaan. Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa sumber kontaminan berupa mikroorganisme pada eksplan umumnya berasal dari media tanam yang digunakan akibat proses sterilisasi tidak sempurna, lingkungan kerja (laboratorium) yang kurang steril, proses penanaman eksplan yang kurang aseptik, serta kontaminan yang berasal dari dalam jaringan tanaman itu sendiri dan yang berasal dari permukaan eksplan.

Dosis sterilan dan waktu perendaman eksplan bergantung pada dua hal, yaitu ukuran eksplan dan jenis tanaman. Semakin besar ukuran eksplan, maka akan semakin besar peluang terkontaminasi baik secara internal maupun eksternal, tetapi kemungkinan keberhasilan proliferasi semakin besar. Sebaliknya jika eksplan berukuran kecil maka peluang terkontaminasi semakin rendah dan peluang untuk hidup akan semakin rendah (George dan Sherrington 1984). Berdasarkan dosis dan waktu perendaman eksplan, metode sterilisasi 1 lebih baik karena menghasilkan kontaminasi yang rendah (8.33%), jika dibandingkan dengan metode sterilisasi 2 yang menghasilkan kontaminasi tinggi (41.67%). Penggunaan 2 metode sterilisasi eksplan bertujuan untuk membandingkan serta menentukan metode yang paling efektif dalam sterilisasi eksplan agar dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan metode sterilisasi eksplan secara tepat. Kontaminan yang terjadi pada eksplan terdiri atas cendawan dan bakteri. Kontaminan yang berasal dari cendawan lebih banyak dan sifatnya sangat merugikan eksplan sehingga eksplan mengalami kematian. Umumnya kontaminan yang berasal dari cendawan dapat terlihat dari kemunculan hifa pada permukaan media akibat udara masuk ke dalam media. Menurut Thorpe (1981) cendawan yang tumbuh pada permukaan media kemudian membentuk hifa dan menutupi permukaan media sehingga dapat menyebabkan kematian eksplan. Semangun (1994) menyatakan bahwa umumnya cendawan yang terdapat pada tanaman

pisang adalah Fusarium oxysporum yang menyebabkan penyakit layu. Cendawan

(19)

8

bagian eksplan hingga menyebar ke media tanam. Beberapa eksplan dapat diselamatkan dengan cara mengulang sterilisasi ringan dengan menggunakan

Bayclin 5% dan akuades steril, kemudian eksplan ditanam kembali pada media perlakuan yang baru. Menurut Zulkarnain (2009), bakteri yang tumbuh dari eksplan setelah beberapa minggu dalam botol kultur merupakan bakteri endofit. Bakteri endofit merupakan bakteri yang hidup di dalam jaringan tanaman. Akibat bakteri endofit, eksplan sulit dibersihkan dengan menggunakan metode sterilisasi permukaan. Peningkatan konsentrasi sterilan dan waktu perendaman tidak dapat mematikan bakteri yang berada di dalam jaringan eksplan tetapi akan menyebabkan klorosis pada eksplan.

Bakteri endofit umumnya hidup bersimbiosis mutualisme terhadap inangnya. Bakteri endofit berperan sebagai pengendali hayati yang dapat mencegah serangan penyakit pada tanaman (Melliawati et al. 2006). Pada kultur

in vitro, bakteri endofit bersifat merugikan karena dapat menghambat pertumbuhan eksplan. Eksplan merupakan potongan kecil bagian tanaman yang umumnya bersifat meristematik. Eksplan dapat tumbuh dan berkembang dari nutrisi yang tersedia di dalam medium karena eksplan belum dapat menghasilkan nutrisi. Jika di dalam eksplan terdapat bakteri endofit, maka bakteri tersebut akan bersaing dengan eksplan dalam memenuhi kebutuhan nutrisinya. Akibatnya, eksplan yang tidak dapat bersaing akan didominasi oleh bakteri endofit yang menyebabkan kontaminasi bahkan kematian pada kultur.

Pertumbuhan kultur pisang kepok merah yang diamati meliputi kultur hidup, kultur mati, dan kultur yang menghitam. Kultur yang menghitam menurut Hutami (2008) terjadi karena akumulasi polifenol oksidase yang disintesis dan dilepas dalam kondisi teroksidasi pada jaringan yang terluka (gejala fenolik). Sebagai akibatnya, jaringan mengalami perubahan warna menjadi hitam dan pertumbuhannya terhambat. Hal tersebut mengakibatkan dominasi perubahan warna jaringan dan media menjadi menghitam. Perbedaan komposisi unsur hara makro antara media MS modifikasi dan WP juga menyebabkan respons yang berbeda pada setiap kultur. Menurut Gunawan (1988), penggunaan konsentrasi unsur hara makro yang lebih rendah daripada konsentrasi media dasar MS lebih baik. Media dasar MS menggunakan konsentrasi unsur-usnur hara makro tinggi sehingga menyebabkan pengendapan persenyawaan P dan Fe. Akumulasi dari pengendapan persenyawaan tersebut diduga menjadi penyebab dominannya kultur yang menghitam pada perlakuan M1 dan M2.

Pembentukan nodul-nodul morfogenik pada kedua media dengan kombinasi IAA dan BAP diharapkan terjadi sebelum pembentukan tunas. Eksplan yang membentuk nodul morfogenik akan menghasilkan lebih banyak tunas daripada eksplan tanpa nodul morfogenik. Hasil menunjukkan sebagian besar kultur pada semua perlakuan membentuk nodul morfogenik. Dominasi pembentukan nodul morfogenik terjadi pada M2 dan W2 dengan penambahan BAP 5 mg/L. Perlakuan M1 dan M2 menggunakan media MS yang telah

dimodifikasi menjadi media Highly Proliferated Bud (HPB) tanpa vitamin C.

(20)

9

perlakuan W2. Menurut Theodora (2010) penambahan konsentrasi BAP yang diberikan sebesar 5 mg/L juga meningkatkan pertumbuhan nodul pada tanaman jarak pagar (Jatropha curcas).

Pada perlakuan M1 dan W1 terdapat beberapa planlet yang langsung membentuk tunas. Menurut Wattimena (1988) hal tersebut terjadi karena sintesis auksin pada bagian meristem apikal, sehingga terjadi pembentukan tunas lebih cepat akibat meningkatnya produksi auksin endogen. Sebanyak 23 tunas tumbuh pada perlakuan W2, 9 tunas pada M1, 6 tunas pada W1 dan 2 tunas pada M2. Perlakuan W2 dan M2 mengandung lebih banyak BAP (5 mg/L) dibandingkan perlakuan W1 dan M1 (3 mg/L). Konsentrasi ZPT sitokinin (BAP) yang lebih tinggi dapat memacu pertumbuhan tunas. Menurut Avivi dan Ikrawati (2004) pada mikropropagasi tanaman pisang abaca (Musa textilis Nee) pemberian BAP 5 mg/L memberikan pengaruh terhadap kecepatan tumbuh tunas pada 33 HST, sedangkan pemberian BAP 6 mg/L menghasilkan jumlah tunas tertinggi, yaitu 9 tunas per botol dengan waktu tumbuh tunas 38 HST.

Penggunaan dua media berbeda diharapkan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kultur. Perbedaan dari kedua media dasar tersebut terletak pada ketersediaan unsur hara makro. Konsentrasi unsur hara makro total pada media MS modifikasi lebih tinggi yaitu sebesar 44.9 mM sedangkan pada WP sebesar 16.8 mM. Media MS yang digunakan telah dimodifikasi pada komposisi FeSO4·7H2O dan Na2EDTA·2H2O sebesar 0.4 mM

dibandingkan dengan media MS dasar sebesar 0.2 mM. Menurut Munawar (2011) unsur Fe berperan penting dalam proses respirasi dan fotosintesis. Fe merupakan komponen struktural sitokrom pada transpor elektron dan komponen protein feredoksin yang diperlukan dalam fiksasi nitrogen serta sebagai katalis dari sistem enzim yang terkait dalam pembentukan klorofil. Hal tersebut tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan pada perkembangan kultur pada perlakuan M1 dan M2 jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada perlakuan W1 dan W2 tanpa modifikasi unsur Fe.

Media MS modifikasi yang digunakan tidak mengandung inositol sebagai vitamin. Akibatnya pertumbuhan dan perkembangan planlet pada perlakuan M1 dan M2 terhambat dan menghasilkan tunas lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan W1 dan W2. Menurut Gamborg (1991) penggunaan inositol berfungsi mengurangi kadar getah dan meningkatkan pertumbuhan sel. Jika keberadaan getah terlalu banyak, maka pertumbuhan dan perkembangan planlet akan terhambat.

Komposisi sulfur dalam sulfat pada media WP sebesar 4.38 mM,

sedangkan pada media MS modifikasi sebesar 1.28 mM. Menurut Tisdale et al.

(21)

10

SIMPULAN

Metode sterilisasi 1 lebih baik dibandingkan dengan metode sterilisasi 2. Media WP dan MS modifikasi dengan penambahan BAP 5 mg/L yang dikombinasikan dengan IAA 0.2 mg/L terbukti dapat memacu pertumbuhan

nodul. Media WP lebih mendukung pertumbuhan dan perkembangan kultur in

vitro tanaman pisang kepok merah, ditinjau dari jumlah nodul dan jumlah tunas yang dihasilkan. Media WP 2 (IAA 0.2 mg/L dan BAP 5 mg/L) menunjukkan hasil terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Avivi S, Ikrawati. 2004. Mikropropagasi pisang abaca (Musa textilis Nee) melalui teknik kultur jaringan. J Ilmu Pertanian 11:27-34.

Gamborg OL. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Widianto MB,

penerjemah; Wetter LR, Constabel F, editor. Bandung (ID): ITB Pr. Terjemahan dari: Plant Tissue Culture Methods.

George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. England (GB): Exegetics Limited.

Gunawan LW. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor (ID): PAU, IPB

Pr.

Hutami S. 2008. Masalah pencoklatan pada kultur jaringan [ulasan]. J AgroBiogen

4:83-88.

Kristina A. 2007. Eksplorasi dan identifikasi tanaman pisang kepok (Musa

paradisiaca Linn.) pada lahan kering di Kabupaten Malang [skripsi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya.

Lloyd G, Mc Cown B. 1981. Commercially feasible micropropagation of mountain laurel, Kalmia latifolia by use of shoot tip culture. Comb Proc Intl Plant Prop Soc 30:421-427.

Marlin, Yulian, Hermansyah. 2012. Inisiasi kalus embrionik pada jantung pisang curup dengan pemberian sukrosa, BAP dan 2.4D. J Agrivivor 11:275-283. Melilea. 2012. Makanan Sehat Bayi [internet]. [diunduh 2012 Nop 12]. Tersedia

pada: http://www.club-melilea.com.

Melliawati R, Widyaningrum DN, Djohan AC, Sukiman H. 2006. Pengkajian bakteri endofit penghasil senyawa bioaktif untuk proteksi tanaman.

Biodiversitas 7:221-224.

Mulyaningsih A. 1998. Isolasi dan kultur suspensi sel beberapa kultivar pisang (Musa spp.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Munawar A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. Bogor (ID): IPB Pr. Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bio assays

with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15: 473.

Rodiniah, Nisa C, Rohmayanti E. 2012. Inisiasi pisang talas (Musa paradisiaca

var. sapientum L.) dengan pemberian sitokinin secara in vitro. J

(22)

11

Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Lukman DR,

Sumaryono, penerjemah; Niksolihin S, editor. Bandung (ID): ITB Pr. Terjemahan dari: Plant Physiology. Ed ke- 4.

Semangun H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.

Yogyakarta (ID): UGM Pr.

Sunarjono H. 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Theodora F. 2010. Perbanyakan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) melalui stek buku tunggal secara in vitro [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Thorpe TA. 1981. Plant Tissue Culture. New York (US): Academic Pr.

Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1985. Soil Fertility and Fertillizers. Ed ke- 4. New York (US): MacMillan Publishing Company.

Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh. Bogor (ID): PAU, IPB Pr.

Zulkarnain H. 2009. Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman.

(23)

12

LAMPIRAN

Lampiran 1 Komposisi media dasar MS (Murashige dan Skoog 1962) dan MS modifikasi (Mulyaningsih 1998)

No. Garam Mineral Konsentrasi

Media MS Dasar

Konsentrasi Media MS Modifikasi

Hara Makro (mg/L) (mM) (mg/L) (mM)

1 NH4NO3 1650 20.6 1650 20.6

2 KNO3 1900 18.8 1900 18.8

3 CaCl2·2H2O 440 30.1 440 30.1

4 MgSO4·7H2O 370 1.5 370 1.5

5 KH2PO4 170 1.3 170 1.3

6 FeSO4·7H2O 27.8 0.1 55.6 0.2

7 Na2EDTA·2H2O 37.3 0.1 74.6 0.2

Hara Mikro (mg/L) (µM) (mg/L) (µM)

1 MnSO4·4H2O 22.3 100 22.3 100

2 ZnSO4·7H2O 8.6 30 8.6 30

3 H3BO3 6.2 100 6.2 100

4 KI 0.83 5 0.83 5

5 Na2MoO4·2H2O 0.25 1 0.25 1

6 CuSO4·5H2O 0.025 0.1 0.025 0.1

7 CoCl2·6H2O 0.025 0.1 0.025 0.1

Vitamin (mg/L) (µM) (mg/L) (µM)

1 Inositol 100 550 - -

2 Thiamin-HCl 0.1 0.3 0.1 0.3

3 Asam Nikotianat 0.5 4.1 0.5 4.1

4 Piridoksin-HCl 0.5 2.4 0.5 2.4

Asam Amino (mg/L) (µM) (mg/L) (µM)

(24)

13

Lampiran 2 Komposisi media dasar WP (Llyod dan Mc. Cown 1981)

No. Garam Mineral Konsentrasi

Hara Makro (mg/L) (mM)

1 NH4NO3 400 5.0

2 CaCl2·2H2O 96 0.7

3 MgSO4·7H2O 370 1.5

4 KH2PO4 170 1.3

5 Ca(NO3)2·4H2O 556 2.4

6 K2SO4 990 5.7

7 FeSO4·7H2O 27.85 0.1

8 Na2EDTA·2H2O 37.25 0.1

Hara Mikro (mg/L) (µM)

1 MnSO4·4H2O 22.3 100

2 ZnSO4·7H2O 8.6 30

3 H3BO3 6.2 100

4 Na2MoO4·2H2O 0.25 1

5 CuSO4·5H2O 0.25 1

Vitamin (mg/L) (µM)

1 Inositol 100 550

2 Thiamin-HCl 1 30

3 Asam Nikotianat 0.5 4.1

4 Piridoksin-HCl 0.5 2.4

Asam Amino (mg/L) (µM)

(25)

14

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1991 dari Ayah Ramdani, SH dan Ibu Suhartini. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 2009, penulis lulus SMA Negeri 106 Jakarta Timur dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan dan beberapa kepanitian yang diselenggarakan di IPB. Penulis telah melaksanakan Studi Lapangan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 2011 yang berjudul “Ekologi Gua di Hutan Pendidikan Gunung Walat”. Selain itu penulis telah melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2012

dengan judul “Pembibitan Pisang Cavendish (Musa paradisiaca L.) dengan

Gambar

Tabel 3 Data kualitatif penampilan kultur dan waktu tumbuh nodul
Tabel 4 Pertumbuhan dan perkembangan planlet pisang kepok merah

Referensi

Dokumen terkait

Komposisi media terbaik untuk perbanyakan mikro pisang Kepok Unti Sayang adalah media MS + 2 mg/l BAP, yang menghasilkan total tunas 410 tunas dengan 131 tunas yang

Komposisi media terbaik untuk perbanyakan mikro pisang Kepok Unti Sayang adalah media MS + 2 mg/l BAP, yang menghasilkan total tunas 410 tunas dengan 131 tunas yang bermultiplikasi

Pada percobaan multiplikasi digunakan eksplan berupa tunas in vitro pisang Rajabulu Juara dari laboratorium LIPI hasil inisiasi anakan (subkultur ke- 5 dari media MS0) dan tunas

Pada eksplan hipokotil, jumlah daun terbanyak pada 8 MST diperoleh dari tunas yang muncul dari media MS me- ngandung IAA 0,1 mg/l dan BAP 3,0 mg/l, yaitu seba- nyak 6,1 helai

Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi BAP 1 ppm + IAA 3 ppm memberikan pengaruh lebih baik pada diameter batang planlet pisang raja bulu dibandingkan dengan penelitian sebelumnya

Pemberian kombinasi NAA dan BAP berpengaruh pada peningkatan keberhasilan perkembangbiakan eksplan tanaman pisang mas dengan metode kultur meristem, diantaranya

Hal ini dapat diketahui bahwa dengan pemberian ragi pada media kultur memberikan pengaruh nyata bagi peningkatan jumlah tunas eksplan pisang kepok karena nutrisi eksogen yang

Jumlah tunas yang dihasilkan pada umur 8 MST a pisang Bagja+BAP 2 mg/l dan b pisang Cavendish+BAP 3 mg/l Waktu Muncul Akar Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan varietas