• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TAMAN

NASIONAL SEMBILANG KABUPATEN BANYUASIN

PROVINSI SUMATERA SELATAN

THERESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

Theresia

(4)

THERESIA. Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang

Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh

MENNOFATRIA BOER dan NIKEN T.M PRATIWI.

Mangrove menjadi ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting diwilayah pesisir. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, bahwa salah satu wilayah di Provinsi Sumatera Selatan memiliki kawasan Mangrove yang berada di Taman Nasional Sembilang. Luasan mangrove di Taman Nasional Sembilang tahun 2003 sebesar 91.679.45 ha dan tahun 2009 berkurang menjadi 83.447.23 ha atau sekitar 9,80 %. Semua permasalahan memiliki hubungan dengan aktivitas antropogenik, penyebab utama permasalahan dan ancaman di sekitar kawasan Taman Nasional Sembilang.

Pengelolaan ekosistem mangrove bersifat dinamis tergantung dari perkembangan dari kebijakan-kebijakan yang ada. Adanya perbedaan perspektif daerah dan nasional serta internasional dalam hal mengelola sumberdaya alam terutama ekosistem mangrove, sering menimbulkan konflik kepentingan antara konservasi dan konversi, sehingga diperlukan penilaian keberlanjutan pengelolaan terhadap sumber daya termasuk ekosistem mangrove, baik dilihat dari ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Salah satu alat yang digunakan untuk mengevaluasi keberlanjutan pengelolaan mangrove ini adalah metode RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Evaluating Fisheries Sustainability), yang salah satu alat untuk analisis status kelestarian ekosistem mangrove dengan penyesuaian berbasis Multi Dimensional Scalling (MDS).

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove dan (2) merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove agar dapat efektif dan berkelanjutan. Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan selama dua bulan, yaitu pada bulan Maret-April 2015.

Kondisi tekini tahun 2015, mangrove di Taman Nasional Sembilang dimana di dominansi oleh jenis mangrove Exoceria agallocha sebesar 99,94%, nilai kerapatan relatif tertinggi 98,4%. Jenis mangrove Exoceria agallocha

(5)

Nilai ekonomi total ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.Banyuasin Sumatera Selatan adalah Rp 14 milyar/tahun atau Rp 178.221,00/ha/tahun, artinya apabila ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang tetap dikelola secara berkelanjutan serta luasan mangrove tidak berkurang maka nilai yang tetap terpelihara sebesar Rp 14 milyar. Status keberlanjutan pengelolaan mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan adalah “Kurang berkelanjutan”dengan nilai indeks keberlanjutan multidimensi 49,81. Berdasarkan analisisi Leveragedalam metode RAPFISH terdapat empat indikator yang dominan memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan, yaitu (1) Perubahan luasan, (2) Indeks nilai penting mangrove, (3) Peningkatan pengetahuan terhadap ekosistem mangrove, (4) Mata pencaharian, (5) Nilai ekonomi ekosistem mangrove bagi masyarakat setempat dan (6) Tingkat sinergitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan mangrove. Dalam hal ini, alternatif kebijakan yang direkomendasikan ialah pemberdayaan masyarakat yang bisa memiliki keterampilan dalam pemanfaatan mangrove yang lestari.

(6)

THERESIA. Mangrove Ecosystem Management in Sembilang National Park, Banyuasin Regency, South Sumatra Province. Supervised by MENNOFATRIA BOER and NIKEN T.M. PRATIWI.

Mangrove has been the important life supporting ecosystem in coastal zone. According to Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 95/Kpts-II/2003 in 19 Maret 2003, one of areas in South Sumatera Province has mangrove zone located in Sembilang National Park. However reduction of 9.8% mangrove area occurred, that was from 91.679.45 ha in 2003 to 83.447.23 ha in 2009. Moreover, it was found that all problems deal with antropogenic activity which becomes the main cause for both problem and threat in area around Sembilang National Park.

Management of mangrove ecosystem is dynamic and depends on existing policy development. Differences between regional, national, and international perspective in natural resource management particularly in mangrove ecosystem often causes conflict of interest between conservation and conversion. Therefore, assessment of management of resources including mangrove ecosystem should be continously evaluated in ecological, economic, social, and institutional aspect. RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Evaluating Fisheries Sustainability) is a tool to analyze conservation status of mangrove ecosystem through Multi Dimensional Scalling (MDS) based modification.

Aims of this study were to (1) analyze continuity status of mangrove ecosystem management and (2) formulate effective and sustainable alternative policy of mangrove ecosystem management. The study was carried out in Sembilang National Park, Banyuasin Regency, South Sumatra Province on March-April 2015.

Recent condition in 2015 showed that mangrove area in Sembilang National Park was 99.94% dominated by Exoceria agallocha with highest relative density reached to 98.4%. Thus, E. agallocha had both large effects and roles in mangrove community in Sembilang National Park. Yet, degradation rate of mangrove coverage occured in 2002 and 2013. Based on visual interpretation on remote sensing data, mangrove coverage decreased in each observation year, that was year before and after the area gained its status as conservation area. By using Landsat-7 ETM and Landsat-8 images, mangrove coverage area was found to be 93.808.73 ha in 2002 and decreased about 16% or 115.211.18 ha, that was 78.597.55 ha in 2013. Decline in mangrove area over the years was probably due to human activity such as deforestation, mangrove utilization for agricultural activity, fishpond clearing and also construction of Tanjung Api-Api port.

(7)

sustainability index value, those were: (1) Changes in area, (2) Important value index of mangrove, (3) Knowledge improvement on mangrove ecosystem, (4) Livelihood (5) Economic value of mangrove ecosystem on local community and (6) Synergy level between policy and institution for mangrove management. At this point, alternative policy chose as recommendation is community empowerment which later will create community equipped with skill to perform sustainable utilization of mangrove.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sumberdaya Pengelolaan Pesisir dan Laut

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TAMAN

NASIONAL SEMBILANG KABUPATEN BANYUASIN

PROVINSI SUMATERA SELATAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis mengenai Pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera berhasil diselesaikan dengan baik sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di Program Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Mennofatria Boer,DEA dan Ibu Dr Ir Niken T.M Pratiwi, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu, penulis juga berterima kasih kepada keluarga tercinta (Ayahanda Makmun Harun,BA, Ibunda Fatimah,S.Pd, Bapak dan Ibu mertua Supriyono, M.Si dan Dr.Hartati,M.Kes serta suami tercinta M.Gandri Haryono,S.Kel, M.P dan buah hati saya Aqilah Salsabila Haryono, serta saudara Richardo,M.M, M.Si. Nike marlini, Nia febrihatin,S.Pd dan semua keponakan tercinta) yang telah memberi doa, kasih sayang dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Rekan-rekan kuliah SPL 2013 di IPB teman-teman (bang jhotam, bu ati, syarief, sadam, nike, sigit, kak asri, caya, riqy, jhon, asni, ulin, bang tahmid, bunda yuyun) yang telah menginspirasi dan telah menjadi teman diskusi serta sebagai sumber inspirasi maupun penyemangat bagi penulis.

Tesis ini masih belum terlepas dari kesalahan dan kekeliruan dalam penyusunannya, untuk itu penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran demi penyempurnaan isi dan tulisan dalam tesis ini.

Bogor, Juni 2016

(13)

DAFTAR ISI

Waktu dan Lokasi Penelitian 5

Teknik Pengumpulan Data 6

Pengambilan Responden 8

Teknik Pengolahan Data Kuisioner 8

Analisis Data 10

Analisis vegetasi mangrove 11

Analisis data citra satelit 11

Analis nilai manfaat mangrove 11

Analisis Keberlanjutan 13

3 DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 16

Letak Geografis Taman Nasional Sembilang 16

Iklim dan Hidrologi 16

Tipe Habitat 18

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 19

Sejarah Kawasan 20

Visi, Misi dan Tujuan Pengelolaan 20

Kemajuan Pengukuhan dan Penataan Taman Nasional 21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23

Kondisi Ekologi, Ekonomi dan Sosial Ekosistem Hutan Mangrove 23

Kondisi ekologi ekosistem hutan Mangrove 23

Kondisi ekonomi ekosistem Mangrove di kawasan Taman

Nasional Sembilang 28

Kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat 29

Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan

Taman Nasional Sembilang 31

Status keberlanjutan dimensi ekologi 32

Status keberlanjutan dimensi sosial 33

Status keberlanjutan dimensi ekonomi 34

Status keberlanjutan dimensi kelembagaan 36

5 SIMPULAN DAN SARAN 46

DAFTAR PUSTAKA 47

LAMPIRAN 51

(14)

1 Sumber data sekunder 9

2 Indeks keberlanjutan 14

3 Parameter, jenis data, sumber data, analisis data dan output 15

4 Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove di Taman

Nasional Sembilang 28

5 Persepsi masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove di

Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 31

6 Nilai statistik hasil analisis RAPFISH 39

DAFTAR GAMBAR

1 Grafik hasil produksi perikanan Banyuasin II (sumber: DKP Banyuasin

Sumatera Selatan 2015) 2

2 Kerangka penelitian 5

3 Peta lokasi penelitian 7

4 Skema metode transek dan petak contoh pengumpulan data lapangan 8

5 Nomogram Harry King (Sugiyono 2012) 10

6 Peta penggunaan lahan kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten

Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan (RPTN 2010) 17

7 Skema gradient habitat di kawasan Taman Nasional Sembilang 18

8 Penataan zonasi kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten

Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan (RPTN 2010) 22

9 Kerapatan jenis mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang

Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 24

10 Indek nilai penting ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional

Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 24

11 Perubahan tutupan mangrove tahun 2002 dan 2013 di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 27 12 Jenis-jenis pekerjaan masyarakat Taman Nasional Sembilang Kab.

Banyuasin Sumatera Selatan ( Sumber: Hasil Survei Penelitian 2015) 30 13 Tingkat pendidikan responden di Taman Nasional Sembilang

Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 30

14 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi ekologi di Taman

Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 32

15 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi ekologi di Taman Nasional

Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 33

16 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi sosial di Taman

Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 33

17 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi sosial di Taman Nasional

Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 34

18 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi ekonomi di Taman

Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 35

19 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi ekonomi di Taman Nasional

(15)

20 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi kelembagaan di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 36 21 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi kelembagaan di Taman

Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 37

22 Ordinasi RAPFISH untuk status keberlanjutan multidimensi di Taman

Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 38

23 Diagram segiempat indeks keberlanjutan antar dimensi 38

24 Kestabilan nilai ordinasi multidimensi pengelolaan Taman Nasional

Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 39

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data ekologi mangrive di kawasan Taman Nasional Sembilang 52

2 Nilai manfaat kayu bakar 53

3 Nilai manfaat langsung daun Nypah 53

4 Nilai manfaat langsung Kayu Tinggi 53

5 Nilai manfaat hasil perikanan tangkap di Taman Nasional Sembilang 53

6 Nilai manfaat Kepiting di Taman Nasional Sembilang 54

7 Nilai manfaat Udang di Taman Nasional Sembilang 54

8 Nilai manfaat wisata alam di Taman Nasional Sembilang 54

9 Nilai manfaat langsung bibit Mangrove 54

10 Nilai manfaat tidak langsung Breakwater 54

11 Nilai manfaat keberadaan ekosistem Mangrove di Taman Nasional

Sembilang 55

12 Skoring atribut dimensi ekologi,sosial,ekonomi dan kelembagaan pada

pengelolaan Mangrove Taman Nasional Sembilang 56

13 Rekomendasi program-program pengelolaan ekosistem mangrove di

Taman Nasional Sembilang 60

14 Jenis-jenis manfaat langsung ekosistem Mangrove di Taman Nasional

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mangrove menjadi ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Mangrove memberikan manfaat yang banyak bagi kehidupan manusia, menurut Nabi dan Brahmajiraou (2012), mangrove merupakan rumah bagi hewan laut dan darat serta menyediakan makanan untuk biota yang berada disekitar ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove dengan substrat berlumpur menjadi rumah bagi berbagai jenis kerang, kepiting dan ikan (Laoureen et al.

2015). Mangrove dapat tumbuh optimal di substrat tanah berlumpur dan di pengaruhi pasang surut air laut.

Mangrove memberikan manfaat secara ekologis sebagai penyedia nutrien, tempat memijah serta mencari makan, melindungi garis pantai dari erosi, menyediakan area pembibitan dan makan bagi banyak spesies ikan dan krustasea, intrusi air laut dan angin kencang, penahan tsunami. Mangrove juga memberikan manfaat ekonomis antara lain sebagai penyedia berbagai hasil hutan kayu ,non kayu dan jasa ekosistem serta menyedikan tempat area pembibitan mangrove (Giri et al. 2010, Kuenzer et al. 2011, Sasidhar et al. 2013, Giri et al. 2014 dan Masood et al. 2015).

Menurut Primack et al. (1998) in Kordi (2012), Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia mencapai 25% (sekitar 4.25 juta ha) atau sekitar 3.98 % dari seluruh luas hutan Indonesia, namun luas ekosistem mangrove Indonesia terus mengalami penurunan. Salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadinya perubahan pada wilayah pesisir adalah aktivitas pembangunan, seperti pemukiman, konversi lahan mangrove menjadi tambak dan industri. Kondisi tersebut membuat wilayah pesisir menjadi wilayah yang paling rentan terhadap perubahan, baik secara alami maupun fisik sehingga menyebabkan pengurangan luasan mangrove. Menurut Malik et al. (2015), pada tahun 1980-2003 setidaknya 1,1 juta ha mangrove hilang, 75% dari daerah daerah yang dikonversi ke budidaya tambak. Pendapatan ekonomi yang tinggi dari ekspor udang menjadi pendorong utama perluasan tambak.

Berdasarkan data terbaru tahun 2009 oleh BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) bahwa luas hutan mangrove di Indonesia masih mencapai 3.2 juta ha (Saputra 2009). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, bahwasalah satu wilayah di provinsi Sumatera Selatan memiliki kawasan Mangrove yang berada di Taman Nasional Sembilang (Rencana Pengelolaan Taman Nasional Sembilang 2010).

(18)

sebesar 91679 ha dan tahun 2009 berkurang menjadi 83447 ha atau sekitar 9,80 %.

Begitu juga dengan hasil produksi perikanan laut terlihat bahwa dari tahun 2003-2009, hasil produksi mengalami fluktuatif, dari tahun 2003-2007 mengalami peningkatan hasil produksi perikanan laut dari 33510 – 41042 ton akan tetapi pada tahun 2008-2009 mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 23603 ton, tahun 2014 terjadi penurunan produksi ikan dengan hasil produksi 21191 ton, hal ini dapat di lihat pada(Gambar 1).

Gambar 1 Grafik hasil produksi perikanan Banyuasin II (sumber: DKP Banyuasin Sumatera Selatan 2015)

Semua permasalahan memiliki hubungan dengan aktivitas antropogenik, penyebab utama permasalahan dan ancaman di sekitar kawasan Taman Nasional Sembilang. Konflik antar Taman Nasional Sembilanh dan masyarakat setempat mengenai strategi yang menyangkut mata pencharian dan penghidupan serta konflik antara Taman Nasioanal Sembilang dan kegiatan-kegiatan bisnis ilegal dalam skala besar. Masih lemahnya koordinasi antar stakeholder serta masih adanya perspektif dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan Taman Nasional Sembilang.

Masyarakat setempat telah memanfaatkan mangrove dalam kurun waktu yang lama, baik pemanfaatan secara langsung maupun tidak langsung, penilaian nilai ekonomi mangrove sangatlah penting agar masyarakat tahu akan besarnya nilai valuasi yang diberikan oleh mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengelolaan ekosistem mangrove bersifat dinamika tergantung dari perkembangan dari kebijakan-kebijakan yang ada. Adanya perbedaan perspektif daerah dan nasional serta internasional dalam hal mengelola sumberdaya alam terutama ekosistem mangrove, sering menimbulkan konflik kepentingan antara konservasi dan konversi, sehingga diperlukan penilaian keberlanjutan pengelolaan terhadap sumber daya termasuk ekosistem mangrove, baik dilihat dari ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan.

Salah satu alat yang digunakan untuk mengevaluasi keberlanjutan pengelolaan mangrove ini adalah dengan pendekatan RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Evaluating Fisheries Sustainability), yang salah satu alat untuk analisis status kelestarian ekosistem mangrove dengan penyesuaian berbasis Multi

Produksi Ikan

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(19)

3

Dimensional Scalling (MDS) dan bertujuan untuk mempresentasikan teknik ordinasi secara efektif ke dalam ruang dua atau tiga dimensi agar dapat menilai status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan agar menghasilkan suatu rekomendasi pengelolaan dari setiap dimensi yang paling sensitif atau berpengaruh terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.

Perumusan Masalah

Ekosistem mangrove berperan begitu besar dalam menjaga keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem pantai dan pesisir, akan tetapi pentingnya pengelolaan ekosistem mangrove dalam menunjang ekonomi masyarakat pesisir dewasa ini menjadi sebuah perhatian yang khusus karena keberadaan ekosistem mangrove di wilayah pesisir Taman Nasional Sembilang saat ini mengalami penurunan seiring dengan berkembangnya pembangunan yang mengubah fungsi kawasan dari fungsi lindung menjadi peruntukan lain seperti konvesi lahan mangrove menjadi tambak budidaya dan pemukiman penduduk. Menurut Fauziah

et al. 2012, permasalahan sumberdaya lingkungan yang paling dicemaskan di Taman Nasional Sembilang adalah kegiatan perikanan ilegal (penggunaan pukat harimau/trawl) dan konversi lahan tambak.

Berdasarkan informasi dari pihak pengelola yaitu Balai Taman Nasional Sembilang menunjukkan bahwa isu dan permasalahan yang mengancam upaya konservasi di Taman Nasional Sembilang sangatlah kompleks. Konversi lahan (untuk tambak, kebun dan ladang), pemanfaatan hutan ilegal, kegiatan perikanan yang tidak lestari (penggunaan jaring pukat harimau, polusi kebakaran hutan serta konflik sosial. Masalah kelembagaan yang kurang koordinasi, tapal batas taman nasional yang belum jelas, dapat berpengaruh negatif pada pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan konservasi Taman Nasional Sembilang. Semua permasalahan memiliki hubungan dengan aktivitas antropogenik.

Berdasarkan kondisi yang ada di kawasan Taman Nasional Sembilang tersebut, kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat mempengaruhi upaya pengelolaan mangrove, mulai dari perencanaan dibentuknya Taman Nasional Sembilang sebagai kawasan konservasi sampai langkah-langkah yang diambil. Untuk mengakomodasikan dan mengontrol kebutuhan masyarakat yang tinggal dan hidup di luar maupun di dalam kawasan Taman Nasional Sembilang.

Ada beberapa faktor penting yang memegang peranan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang. Faktor faktor tersebut seperti ekologi, sosial ekonomi serta kelembagaannya. Salah satunya meningkatkan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove, masyarakat tidak hanya memanfaatkan saja akan tetapi dapat meremajakan mangrove itu sendiri dengan memahami apa fungsi dari ekosistem mangrove, serta mengerti ekosistem servis dari ekosistem mangrove itu sendiri yang memberikan nilai manfaat bagi masyarakat di kawasan Taman Nasional Sembilang. Nilai ekonomi total dari mangrove sangatlah penting untuk melihat seberapa besar manfaat keberadaan ekosistem mangrove dan sebagai dasar bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.

(20)

Oleh karena itu, penting untuk mengetahui status keberlanjutan ekosistem mangrove dengan analisis RAPFISH. Keterkaitan antara sub sistem ekologi, sub- sistem sosial ekonomi dan kelembagaan perlu dilihat untuk mengetahui arahan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove secara optimum, dinamis dan berkelanjutan. Hasil penelitian ini diharapkan menghasilkan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan, sehingga ekosistem mangrove dapat memberi manfaat baik dari sisi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan bagi pemenuhan kebutuhan hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Strategi yang efektif dalam mengelola ekosistem mangrove sangat diperlukan, karena ekosistem mangrove merupakan sebuah sistem yang tidak bisa berdiri sendiri dan merupakan sistem yang saling terkait satu sama lain. Dalam hal ini pengelolaan harus mempunyai pendekatan pengelolaan yang efektif agar ekosistem mangrove tetap lestari.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini ialah :

1. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman

Nasional Sembilang

2. Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove Taman

Nasional Sembilang di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan agar dapat efektif dan berkelanjutan.

Manfaat Penelitian

(21)

5

Gambar 2 Kerangka penelitian

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Konservasi Taman Nasional Sembilang, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Penelitian ini dilaksanakan di dua wilayah yaitu Sektor Pengelolaan Taman Nasional 1 (STPN 1) Sungsang dan Sektor Pengelolaan Taman Nasional 2 (SPTN 2) Sembilang, Sektor Pengelolaan Taman Nasional 3 (SPTN 3) Tanah Pilih tidak menjadi wilayah penelitian dikarenakan kondisi jarak tempuh yang terlalu jauh dan rata-rata penduduk bermatapencaharian sebagai petani. Lokasi sampling di tiga desa lokasi yaitu Desa Sungai Bungin, Desa Sungai Barong dan Desa Sembilang (Gambar 3). Pemilihan lokasi sampling ini didasarkan pada tiga desa tersebut merupakan

masyarakat yang tinggal disekitaran mangrove dan penduduknya

Fungsi Ekonomi Pengelolaan ekosistem mangrove di

Taman Nasional Sembilang

Fungsi ekologi Fungsi sosial Fungsi Kelembagaan

Permasalahan : mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.

(22)

bermatapencaharian yang memanfaatkan hutan mangrove. Penelitian ini dilaksanakan pada kurun waktu dua bulan, pada bulan Maret-April 2015.

Taman Nasional Sembilang terletak di pesisir timur provinsi Sumatera Selatan, yang secara geografis berada pada 104014’-104054’ Bujur Timur dan 1053’- 2027’ Lintang Selatan. Kawasan ini secara administratif pemerintahan termasuk wilayah Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.Sungai bungin terdapat 25 KK (Kepala Keluarga) untuk sepanjang tahun, Sungai Barong terdapat 150 KK (Kepala Keluarga) untuk musiman, jadi penduduk yang tinggal di Sungai Barong bersifat musiman atau tidak menetap, sedangkan di Sungai Sembilang terdapat 281 KK (Kepala Keluarga) (Balai TN Sembilang, 2012).

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis, perlengkapan untuk kegiatan wawancara, kamera, recorder, komputer, Global Positioning System (GPS), kompas, meteran dan tali sheet. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peta dasar peta topografi pesisir Timur Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera, peta sebaran mangrove, data citra Landsat, kuisioner, buku identifikasi mangrove.

Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan bersifat eksploratif dengan tujuan untuk menggali fakta yang ada. Arah penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi fungsi dan manfaat, nilai manfaat, serta strategi pengelolaan ekosistem mangrove untuk keberlanjutan sumberdaya pada ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang. Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Pendekatan yang digunakan adalah metode

observasi dan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan

kunci,pengumpulan data sekunder, pengambilan contoh tumbuhan bakau yang kemudian diidentifikasi dengan dukungan buku-buku identifikasi.

(23)

7 Gambar 3 Peta lokasi penelitian

(24)

Responden masyarakat yang di wawancarai adalah responden yang menetap di daerah tersebut, yang telah mengetahui keadaan dan kondisi dari ekosistem mangrove di daerah tersebut.

Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan dengan metode transek garis dan petak contoh (line plots transect) (Bengen 2004) dan identifikasi mengacu pada Noor et al. (1999). Untuk setiap stasiun hanya diambil satu transek garis dari arah laut ke darat atau sebaliknya dengan tiga petak contoh. Petak contoh ukuran 20 x 20 m2 untuk kategori pohon (diameter >10 cm) yang ditentukan berdasarkan purposif sampling sedangkan petak contoh ukuran 5 x 5 m2 untuk kategori anakan (diameter 2 – 10 cm). Data vegetasi mangrove pada tiap petak contoh pengamatan yang dicatat terdiri dari pohon, anakan dan jumlah individu tiap jenis. Metode transek garis dan petak contoh dari arah laut ke darat sebanyak 3 petak contoh dalam satu stasiun seperti skema pada Gambar 4.

Gambar 4 Skema metode transek dan petak contoh pengumpulan data lapangan

Data sekunder dikumpulkan melalui berbagai tulisan lainnya melalui studi pustaka yang berhubungan dengan materi penelitian, maupun yang berasal dari publikasi dan hasil penelitian yang pernah dilakukan, berupa laporan-laporan kajian yang berhubungan dengan kajian penelitian saat ini yang telah dilakukan oleh berbagai instansi terkait. Data penunjang dan informasi yang diperoleh, data penunjang dapat dilihat pada Tabel 1.

Pengambilan Responden

Responden atau sampel dilihat dari jumlah populasi dan ditetapkan menggunakan Nomogram Harry King dapat dilihat pada Gambar 5. Peneliti menggunakan Nomogram Harry King dengan pertimbangan hal-hal berikut:

a) Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana.

b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini menyangkut/ banyak sedikitnya data.

c) Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti.

Teknik Pengolahan Data Kuisioner

Teknik kuisioner untuk mengetahui ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan menggunakan metode skala likert berbasis ordinal (Adrianto

(25)

9

2013).Jenis skala yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian (fenomena sosial spesifik), seperti sikap, pendapat, dan persepsi responden yang diperoleh dari hasil wawancara melalui kuesioner. Menurut Nazir (2005) pengolahan data bertujuan untuk menyederhanakan data dalam bentuk yang mudah dipahami. Data primer yang diperoleh selanjutnyadilakukanpengolahan data untuk mendapatkan gambaran dari informasi yang dibutuhkan, antara lain melalui proses :

1. Memeriksa Data (Editing)

Melakukan pengecekan pada pengisian kuisioner apakah: a) Semua pertanyaan telah terjawab, b) Tulisan jawaban dapat dibaca, c) Jawaban relevan dengan pertanyaan, d) Satuan yang digunakan seragam, e) Jawaban antar pertanyaan konsisten.

2. Pemberian Kode (Coding)

Merupakan jawaban yang berupa karakter ke dalam bentuk angka atau pengolahan data ke dalam bentuk angka untuk memudahkan pengolahan. 3. Pemasukan Data (Entry Data)

Seluruh data dimasukkan ke dalam komputer agar dapat mudah diolah. 4. Tabulasi

Pembuatan tabel-tabel untuk mempermudah pengolahan data. 5. Analisis

Pembuatan analisis untuk dasar penarikan kesimpulan.

Tabel 1 Sumber data sekunder

Sumber Data Jenis Data

Balai Taman Nasional Sembilang  Profil keadaan umum

 Jumlah Penduduk

 Daftar nama Desa di Kawasan Taman Nasional Sembilang

 Luas wilayah Desa di Kawasan Taman Nasional Sembilang  Rencana Program Pengelolaan Taman Nasional Sembilang

Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Bayuasin II Data Perikanan Tangkap Tahun 2002-2013

Data Budidaya Perikanan Tahun 2002-2013

(26)

Gambar 5 Nomogram Harry King (Sugiyono 2012)

Jumlah populasi pada penelitian ini adalah 456 populasi. Tingkat kesalahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 10 %, maka jumlah sampel atau responden yang diambil sebanyak 456 x 0,17 = 78 responden. Berdasarkan hasil survey pada bulan Juni terdapat : jumlah responden di Sungai Bungin sebanyak 25 KK x 0,17 = 5 responden, Sungai Barong150 KK x 0,17 = 26 responden, dan Sungai Sembilang 281 KK x 0,17 = 47 responden.

Analisis Data

(27)

11

Analisis vegetasi mangrove

Komposisi jenis dan struktur vegetasi dilakukan dengan menganalisis parameter yang mengacu pada Sofiyan (2012) yaitu:

a. Kerapatan Suatu Jenis (K), dihitung dengan rumus:

b. Kerapatan Relatif (KR), dihitung dengan rumus:

c. Frekuensi (F),

d. Frekuensi Relatif, dihitung dengan rumus:

e. Dominansi, dihitung dengan rumus:

f. Dominasi Relatif (DR), dihitung dengan rumus:

g. Indeks Nilai Penting : INP = KR + FR + DR

Analisis data citra satelit

Analisis citra satelit dilakukan melalui proses-proses pemotongan, koreksi radiometric, koreksi geometric, pemulihan citra, penajaman citra, klassifikasi citra, pengeditan dan pengkelasan. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak system informasi geografis (SIG). SIG digunakan untuk merubah seluruh data peta dan data citra satelit menjadi polygon, line, dan

point (data raster ke vector ) dan untuk mengklasifikasi data. Selanjutnya hasil anaisis spasial kemudian dilakukan tumpang susun untuk melhat perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Analisis citra menggunakan software ER Mapper 7.0 dan Arc Gis 10.1 (Santos et al. 2014, Li et al. 2013, Nguyen et al. 2013)

Analis nilai manfaat mangrove

Adrianto (2006) dalam Nugroho TS (2009) menyatakan bahwa nilai ekonomi total manfaat ekosistem mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang adalah :

1. Manfaat Langsung

Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat diperoleh secara langsung dari ekosistem hutan mangrove yang terdiri dari manfaat langsung hasil hutan dan manfaat langsung hasil perikanan. Manfaat tersebut dapat di jabarkan : a. Manfaat Langsung Hasil Hutan (MLH)

MLH =

i

i merupakan manfaat langsung hasil hutan ke i. Manfaat langsung hasil hutan terdiri dari: Kayu bakar, Pembuat atap nypahdan kayu tingi

(28)

b. Manfaat Langsung Hasil Perikanan (MLP)

MLP

=

i

i merupakan manfaat langsung hasil perikanan ke i. Manfaat langsung hasil perikanan terdiri dari: Ikan, Kepiting bakau, Rajungan, Udang ebi, Tambak tradisional dan Tambak silvofishery.

c. Manfaat langsung keseluruhan pemanfaatn hutan mangrove dapat di tuliskan sebagai berikut :

ML

=

MLH + MLP + MJL

ML merupakan manfaat Langsung, MLH disebut sebagai manfaat langsung hasil hutan sedangkan MLP singkatan dari manfaat langsung hasil perikanan dan MJL merupakan manfaat jasa lingkungan.

2. Manfaat Tidak Langsung (MTL)

Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang diperoleh secara tidak langsung. Meliputi : Penahan abrasi pantai. Manfaat tersebut dapat dituliskan MTLa yaitu manfaat tidak langsung penahan abrasi pantai

3. Manfaat Pilihan

Manfaat pilihan adalah Mengacu pada nilai keanekaragaman hayati (bideversity) hutan mangrove di Indonesia, yaitu US $ 1500 /Km/Tahun Ruitenbek (1994) dalam Nugroho TS (2009). Manfaat pilihan dapat dituliskan sebagai berikut :

MP = MPbi (dimasukan dalam nilai rupiah)

MP merupakan manfaat pilihan (Rp/ha/tahun) dan MPbi merupakan manfaat pilihan biodiversity (Rp/ha/tahun).

4. Manfaat Eksistensi (ME)

Manfaat eksistensi adalah manfaat yang dirasakan masyarakat dari keberadaan hutan mangrove dari manfaat lainnya/ Manfaat eksistensi dapat dituliskan sebagai berikut :

ME =

ME merupakan manfaat eksistensi sedangkan MEi merupakan manfaat eksistensi dari responden ke-i dan n ialah jumlah responden.

5. Nilai Ekonomi Total

(29)

13

Analisis keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang dilakukan dengan memodifikasi pendekatan RAPFISH (Rapid Asessment Technique for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, Univercity Of British Colombia (Kavanagh 2001 ; Pitcher dan Preikshot 2001; Alder et al. 2002; Cisse et al. 2014). Dalam penelitian ini metode RAPFISH untuk ekosistem mangrove dilakukan dengan menilai atribut/indikator yang terdapat pada masing-masing dimensi pengelolaan mangrove di Taman Nasional Sembilang yang meliputi dimensi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Secara ringkas prose algoritma metode RAPFISH melalui beberapa tahapan berikut:

1. Penentuan indikator pengelolaan mangrove di Taman Nasional Sembilang secara berkelanjutan untung masing-masing dimensi (ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan). Empat dimensi dan 23 atribut ini akan menggambarkan status keberlanjutan dari ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan..

2. Penentuan nilai setiap indikator (skoring) dalam skala ordinal, berdasarkan kriteria berkelanjutan untuk setiap faktor dan Scientific Judgement dari pembuat skor. Penentuan kriteria nilai ini mencerminkan realitas kondisi lokasi penelitian, yang secara rinci diuraikan pada Lampiran 12.

3. Analisis Nilai Stess dapat mengukur seberapa dekat nilai jarak dua dimensi dengan nilai jarak multidimensi. Nilai stress yang dilambangkan dengan S dan koefisien determinasi (R2) digunakan dalam mengukur goodness of fit. Hasil analisis yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang rendah S < 0,25 dan nilai R2 yang tinggi (Fauzi dan Anna 2002).

Untuk menentukan jarak antar masing – masing dimensi dalam kajian, dalam aplikasi MDS digunakan kuadrat jarak Euclidean. Kuadrat jarak Euclidien untuk kasus dua dimensi dapat digambarkan sebagai berikut : Teknik ordonansi (penentuan jarak) dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut (Gramendia et al. 2010)

(30)

Tabel 2 Indeks keberlanjutan

Nilai Indeks Kategori

0-25 Tidak berkelanjutan

26-50 Kurang berkelanjutan

51-75 Cukup berkelanjutan

76-100 Berkelanjutan

Sumber: Susilo (2003)

5. Melakukan analisis Leverage dan analisis Monte Carlo untuk

memperhitungkan aspek ketidakpastian (Fauzi dan Anna 2005). Nilai indeks keberlanjutan dapat ditingkatkan di masa mendatang, dengan melakukan analisis Leverage untuk menentukan nilai faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan tiap dimensi. Nilai faktor berada pada rentang 2-8 (Pitcher 1999). Apabila terdapat indikator dengan nilai faktor < 2 merupakan faktor tak berpengaruh, sedangkan nilai > 8 merupakan faktor dominan.

(31)

15 Tabel 3 Parameter, jenis data, sumber data, analisis data dan output

No Tujuan Jenis Data Jenis Sumber Data Sumber Data Analisis Output

1 Menganalisis kondisi terkini dari vegetasi mangrove di

Observasi Analisis vegetasi (Kordi 2012)

Tingkat dan trend laju kerusakan mangrove tahun 2002 dan 2013

2 Mengestimasi besar nilai ekonomi total dari ekosistem mangrove di Taman Nasional

Alternatif kebijakan Data Primer Wawancara Analisis Deskriptif Rekomendasi strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang

(32)

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

Letak Geografis Taman Nasional Sembilang

Lokasi Taman Nasional Sembilang terletak sekitar 10 53’ Lintang Selatan dimana hal ini akan menentukan suhu konstan (26-280C) yang relatif tinggi terhadap kawasan. Kedekatannya dengan garis equator akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan mangrove maupun kandungan biomassa pada habitat ini. Secara geografis, wilayah Taman Nasional Sembilang berada pada koordinat 1040 11’- 1040 94’ Bujur Timur dan 10 53’-2027’ Lintang Selatan. Secara administratif berada pada wilayah Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Luas kawasan TNS mencakup 202.896,31 ha (berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 95/Kpts-II/2003, tanggal 19 Maret 2003) yang sebagian besar mencakup hutan mangrove di sekitar sungai-sungai yang bermuara di teluk Sekanak dan teluk Benawang, Pulau Betet, Pulau Alagantang, Semenanjung Banyuasin serta perairan di sekitarnya

Batas-batas kawasan Taman Nasional Sembiang sebagai berikut : - Sebelah Utara : Desa Tanah Pilih dan Sungai Benu

- Sebelah Timur : Selat Bangka, Sungai Banyuasin dan Pelabuhan Tanjung Api-api.

- Sebelah Selatan : Sungai Banyuasin, Sungai Air Calik, Sungai Lalan, Desa Tabala Jaya, Desa Majuria, Desa Jatisari, Desa Sungsang IV, Perkebunan PT. Citra Indo Niaga dan PT. Raja Palma. - Sebelah Barat : PT. Rimba Hutani Mas, PT. Sumber Hijau Permai,

kawasan transmigrasi Karang Agung

Iklim dan Hidrologi

(33)

17 Gambar 6 Peta penggunaan lahan kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan (RPTN 2010)

(34)

Tipe Habitat

Secara umum kawasan Taman Nasional Sembilang memiliki habitat-habitat yang dipengaruhi oleh sistem muara sungai. Vegetasi hutan mangrove tumbuh baik di kawasan ini, yang ke arah daratan terdapat rawa belakang (backswamps) berupa hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut. Ke arah laut di banyak tempat, terutama di Semenanjung Banyuasin terdapat dataran lumpur yang luas. Skema gradien habitat di Taman Nasional Sembilang dapat dilihat pada Gambar 7.

Hutan mangrove yang termasuk dalam Taman Nasional Sembilang merupakan hamper seluruh hutan mangrove yang ada di pesisir timur Kabupaten Banyuasin. Hutan mangrove di sepanjang Sungai Sembilang, Terusan Dalam, dan hampir semua sungai yang bermuara di Terusan Sekanak/Teluk Benawang mempunyai tipe vegetasi yang didominasi oleh Rhizophora mucronata. Semakin arah daratan atau ke arah hulu Rhizophora mucronata akan berasosiasi dengan

Rhizophoraapiculata, Bruguiera gymnorrhiza dan Ceriops tagal.

Gambar 7 Skema gradient habitat di kawasan Taman Nasional Sembilang

Vegetasi Nipah (Nypa fruticans) dapat dijumpai di hulu-hulu sungai. Pada pantai berlumpur vegetasi mangrove didominasi oleh genus Avicennia (Api-api). Jenis ini menyebar dari belakang pantai berlumpur sampai ke daerah yang digenangi oleh air laut pada saat pasang, dan berasosiasi dengan spesies lain seperti Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata atau Bruguiera gymnorrhiza. Pada tingkat tumbuhan bawah daerah yang digenangi air pasang dibelakang pantai berlumpur, umumnya merupakan spesies Acanthus illicifolius. Tipe habitat dan vegetasi ini dijumpai di Semenanjung Banyuasin. Rawa belakang umum terdapat di belakang habitat hutan mangrove atau daerah hulu sungai dengan jenis yang dominan adalah spesies Xylocarpus granatum dan Nypa fruticans. Pada tempat yang relatif kering, ditemukan juga jenis Cerbera manghas

dan Exoecaria agalocha.

(35)

19

yang lebih luas berada di Sungai Benu, yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Berbak. Rawa air tawar dan rawa bergambut di kawasan Taman Nasional Sembilang ini sebagian besar terletak di luar kawasan Taman Nasional Sembilang. Selain berupa hutan, kawasan Taman Nasional Sembilang juga mempunyai habitat yang bervegetasi semak / belukar, dengan vegetasi dominan

Acrostichum sp. Tipe habitat ini terdapat di hulu anak Sungai Sembilang (Simpang Satu) dan Pulau Alanggantang sebelah utara. Melimpahnya

Acrostichum erat kaitannya dengan anthropogenic disturbance (gangguan akibat kegiatan manusia). Termasuk diantaranya kegiatan pembukaan lahan (termasuk kebakaran hutan) yang akan memberikan peluang kepada jenis Acrostichum sp.

untuk berkembang secara ekstensif.

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Pemukiman di dalam kawasan Sembilang meliputi Terusan Dalam, Tanjung Birik, Simpang Ngirawan (Merawan), Dusun Sembilang, Sungai Bungin, dan bagan bagan ikan di perairan pantai. Pemukiman juga terdapat di sekitar kawasan, seperti di Tanah Pilih, Sungsang, dan Karang Agung. Karang Agung merupakan daerah transmigrasi yang berada di selatan kawasan. Beberapa pemukiman para petambak udang terdapat di Semenanjung Banyuasin (Solok Buntu dan sekitarnya). Pemukiman Desa Tanah Pilih mayoritas masyarakatnya berasal dari suku Bugis yang tiba di pesisir Sembilang sebelah utara (dekat Sungai Benu) sekitar 30 tahun yang lalu, dan mulai membuka mangrove dan hutan rawa untuk pertanian (padi dan kelapa) sebelum beralih ke kegiatan mencari ikan di sungai di Terusan Dalam. Namun demikian, Dusun Sembilang tampaknya telah ada jauh sebelum masyarakat Bugis datang. Di Desa Sembilang dan juga Sungsang penduduknya juga terdiri dari suku Melayu. Tidak ada data mengenai kapan Dusun Sembilang mulai ada, namun Desa Sungsang diperkirakan telah ada sekitar 500 tahun yang lalu (RPTN 2010 ).

Kawasan pemukiman di dalam Taman Nasional Sembilang yang cukup besar terletak di muara Sungai Sembilang yaitu Dusun Sembilang yang merupakan bagian kawasan Desa Sungsang IV. Kegiatan perikanan di kawasan perairan Sembilang sebagian besar terpusat di sini, selain di Sungsang, ibu kota kecamatan Banyuasin II yang terletak di muara Sungai Musi (di luar kawasan TN). Beberapa pemukiman juga tersebar di muara-muara sungai di kawasan Taman Nasional Sembilang ini. Di bagian utara kawasan Taman Nasional Sembilang, pemukiman yang cukup lama terletak di Terusan Dalam. Di samping itu, sejumlah keluarga juga tinggal di atas baganbagan di laut yang dangkal.

Masyarakat pada umumnya tinggal di atas rumah-rumah panggung di tepi sungai di daerah pasang surut, dan sedikit masuk ke arah darat. Ketersediaan air bersih/tawar merupakan masalah utama masyarakat yang tinggal di kawasan Sembilang. Mereka mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersih/tawar. Perikanan tangkap merupakan kegiatan sehari-hari bagi masyarakat di Sembilang. Mereka umumnya menangkap ikan di perairan laut Sembilang dan juga di sungai-sungai yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional. Ikan (seperti kelompok

(36)

Izin penangkapan setiap tahun dilelang (disebut sebagai lelang lebak-lebung) yang dulunya berasal dari tingkat marga. Sistem lelang ini juga untuk hak-hak distribusi akses ke sumber daya lain, seperti Nibung (Oncosperma tigillarium, untuk tiang dan rakit), Nipah (Nypa fruticans, daunnya untuk atap), rotan (Korthalsia spp.,Calamus spp.) dan Jelutung (Dyera costulata, getahnya untuk permen karet). Setidaknya hingga tahun 1980an, pemanfaatan hasil hutan ini (dengan perkecualian untuk Jelutung dan Nipah) terlihat cukup berjalan baik. Disamping mencari ikan, masyarakat setempat juga memelihara kebun dan pertanian skala kecil, yang dikerjakan pada musim hujan. Di bagian selatan kawasan Taman Nasional, tepatnya di Semenanjung Banyuasin, terdapat kegiatan budidaya tambak yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat pendatang yang berasal dari Provinsi Lampung; beberapa masyarakat yang berasal dari Sungsang juga telah memulai usaha ini dalam kelompok-kelompok yang lebih (Balai Taman Nasional Sembilang 2012).

Sejarah Kawasan

Pada tanggal 28 Februari 1994 melalui Perda Dati I Sumatera Selatan Nomor 5 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Selatan, Gubernur Provinsi Sumatera Selatan menunjuk seluruh kelompok hutan (Suaka Margasatwa Terusan Dalam 25.750 ha, Hutan Produksi Terbatas Terusan Dalam 49.000 ha, Hutan Lindung Sembilang 113.173 ha dan perairan 17.827 ha) menjadi Hutan Suaka Alam (HSA) seluas 205.750 ha. Pada Tahun 1996 Ditjen Bangda Depdagri bekerjasama dengan Ditjen PHPA Dephut melakukan pengkajian potensi kawasan HSA Sembilang dan sekitarnya, dan hasil pengkajian menyimpulkan bahwa kawasan tersebut memenuhi syarat/kriteria menjadi Kawasan Pelestarian Alam dalam bentuk kawasan Taman Nasional.

Menindaklanjuti hasil kajian yang dilaksanakan oleh Ditjen Bangda Depdagri dan Ditjen PHPA Dephut, tahun 1998 melalui surat Nomor 552/5459/BAP-IV/1998 Gubernur Sumatera Selatan menyetujui usulan perubahan status HSA Sembilang menjadi calon taman nasional. Atas usulan tersebut tahun 2001 melalui SK Menhut Nomor 76/Kpts-II/2001 tentang penunjukan kawasan 28 hutan dan perairan di wilayah Provinsi Sumatera Selatan mencantumkan kawasan TN Sembilang. Pada tahun 2003 melalui SK Menhut Nomor 95/Kpts-II/03 Tanggal 19 Maret 2003 ditetapkanlah Kawasan Taman Nasional Sembilang seluas 202.896,31 ha.

Visi, Misi dan Tujuan Pengelolaan Visi

Menjadi unit pengelola unggulan dalam konservasi biodiversitas lahan basah.

Misi

1. Memantapkan legitimasi kawasan secara legal dan aktual.

2. Memperkuat kapasitas kelembagaan konservasi biodiversitas lahan basah. 3. Mengoptimalkan segenap potensi kawasan dan keanekaragaman hayati di

(37)

21

Tujuan pengelolaan

Mengukuhkan Balai Taman Nasional sebagai model pengelolaan taman nasional lahan basah, yang mampu menyelenggarakan tiga pilar konservasi sebagaimana diamanatkan dalam pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1990, sedemikian rupa sehingga berpengaruh nyata terhadap fungsi sistem penyangga kehidupan dan penopang sistem sosial, ekonomi dan budaya pada tingkat komunitas dan wilayah.

Kemajuan Pengukuhan dan Penataan Taman Nasional

Taman Nasional telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, dengan luas 202.896,31 ha. Panjang keseluruhan batas sesuai hasil tata batas Taman Nasional Sembilang adalah 472,10 Km dengan rincian batas luar 357,10 Km dan batas fungsi 115,00 km, dengan jumlah pal batas keseluruhannya 1.936 buah pal batas. Batas-batas tersebut masih parsial yakni menggunakan pal batas yang telah ada seperti HP, HL, dan SM. Telah dilakukan kegiatan orientasi batas sebagai tahap awal kegiatan rekonstruksi tata batas. Berdasarkan kajian koordinat tata batas dan peta digital yang ada dengan menggunakan sarana GIS, nampak bahwa hasil pemetaan kawasan belum mantap.

Penataan Kawasan telah sampai pada tahap penyusunan zonasi meliputi Zona Inti; Zona Rimba; Zona Pemanfaatan; Zona lain, antara lain: Zona Tradisional; Zona Rehabilitasi; dan Zona Khusus. Adapun tahapan yang telah dilaksanakan sampai pada rekomendasi Bappeda Pemerintah Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan setelah dilakukan penyempurnaan hasil konsultasi publik. Dokumen sebagaimana dimaksud dikirim oleh Kepala Balai kepada Direktur Teknis untuk mendapatkan pencermatan dan diajukan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam untuk mendapatkan pengesahan.Penataan kawasan terhadap penyusunan zonasi Taman Nasional Sembilang, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8.

(38)

22

(39)

23

Optimalisasi pemanfaatan areal penggunaan lahan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sampai tahun 2013 sudah tercatat empat perusahaan perkebunan yang beroperasi yaitu PT. Raja Palma, PT.Citra Indo Niaga, PT. Sumber Hijau Permai dan APL Kab. Banyuasin, tidak menutup kemungkinan penerbitan izin prinsip tersebut akan terus bertambah. Kawasan transmigrasi Karang Agung (Karang Agung Tengah dan Karang Agung Ilir) dengan 31 desa terletak di sebelah selatan TN Sembilang. Kawasan ini berdekatan langsung dengan taman nasional. Kawasan transmigrasi ini dimulai pada tahun 1982 dan 1985. Dalam perkembangannya desa-desa tersebut ada yang telah membuka tambak mendekati dan sebagian terindikasi berada dalam kawasan taman nasional. Kawasan di antara ke dua taman nasional ini terdapat sebuah desa definitif yakni Desa Tanah Pilih (di dalam kawasan TN Sembilang). Kondisinya telah terbuka dan hanya terdapat sedikit hutan rawa yang tersisa yang berhubungan langsung dengan ke dua kawasan taman nasional tersebut. Kebijakan Pemerintah Daerah mengharapkan adanya batas desa yang jelas dan dikeluarkan dari taman nasional.

Di sebelah barat kawasan juga merupakan wilayah konsesi minyak dan gas bumi Merang (Joint Operating BodyPertamina-YPF Jambi Merang). Kegiatan ekplorasi dan eksploitasi dilakukan di sekitar kawasan. Demikian juga halnya di kawasan Semenanjung Banyuasin telah dibuka oleh masyarakat secara ilegal untuk pengembangan usaha budidaya perikanan (tambak).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Ekologi, Ekonomi dan Sosial Ekosistem Hutan Mangrove Kondisi ekologi ekosistem hutan Mangrove

Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang

Luas ekosistem mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang sekitar 78597,55 ha. Ekosistem mangrove yang ada di lokasi penelitian terdapat 8 jenis tumbuhan mangrove antara lain: Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Avicennia alba, Rhizophora mucronata, Avicennia officinalis, Brugueira gymnorrhiza, Xylocarpus granatum dan Nypa fruticans. Kerapatan jenis mangrove secara total untuk kategori pohon adalah 100 ind/ha (Lampiran 1). Jenis

(40)

Gambar 9 Kerapatan jenis mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

Peranan satu jenis mangrove terhadap jenis lainnya dapa dilihat dari indeks nilai penting (INP). Jika suatu jenis menunjukkan INP tinggi maka peranan jenis tersebut sangat besar terhadap jenis mangrove lainnyadalam ekosistem tersebut. Berdasarkan hasil analisis Excoecaria agallocha menunjukkan INP cukup tinggi sekitar 124 % untuk kategori pohon (Gambar 10). Hal ini mengindikasi bahwa Excoecaria agallocha mempunyai peranan cukup besar terhadap ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang.

Gambar 10 Indek nilai penting ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

Kondisi Satwa Mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang

(41)

25

(Panthera tigris sumatrae), juga musang air (Cyanogale bennettii), babi (Sus srofta). Setidaknya terdapat lima primata termasuk ungko (Hylobates agilis), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (M. nemestrina), dan lutung kelabu (Presbytis cristata).

Data di Balai Taman Nasional Sembilang (2009) mencatat paling sedikit 213 spesies burung berada di kawasan ini, termasuk banyak dari spesies residen yang berstatus genting. Spesies burung ini meliputi spesies penetap (resident) yang terancam seperti pecuk-ular asia (Anhinga melanogaster), koloni terakhir dari undan (Pelecanus philippensis) di region Indo-Malaya, bangau storm (Ciconia stormi), lebih dari 1.000 ekor bangau bluwok (Mycteria cinerea), lebih dari 300 ekor bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), cangak sumatera (Ardea sumatrana), rangkong badak (Buceros rhinoceros), rangkong helm (Rhinoplax virgil), rangkong hitam (Antrhacoceros malayanus), serta lebih dari 25 spesies burung air migran, termasuk 10.000-13.000 trinil-lumpur asia (Limnodromus semipalmatus), 28 ekor trinil nordmann (Tringa guttifer), lebih dari 2.600 gajah timur (Numenius madagascariensis), dan beberapa ribu individu spesies dara laut (Sternidae).

Data lainnya di Balai Taman Nasional Sembilang mencatat jumlah total burung air pantai yang memanfaatkan dataran lumpur di kawasan ini sekitar 0.5-1 juta ekor dengan sekitar 80.000 ekor dapat dijumpai setiap harinya di Delta Banyuasin. Dataran lumpur Banyuasin juga merupakan tempat mencari makan bagi ratusan bangau bluwok (Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), dan ibis-cucuk besi (Threskiornis melanocephalus), dan juga lebih dari 2.000 spesies kuntul (Ardea alba) (Silvius 1986 in TNS 2009). Kajian Tim Burung Migran Balai Taman Nasional Sembilang Tahun 2008 mencatat 18 spesies burung migran mengunjungi dataran lumpur Banyuasin dengan perkiraan jumlah 27.410 ekor.

Sungai-sungai dan muara dalam kawasan Taman Nasional Sembilang, buaya muara (Crocodylus porosus) dan spesies buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii) pernah tercatat ditemukan di rawa-rawa air tawar di belakang hutan mangrove. Di samping buaya, kawasan ini juga merupakan habitat bagi berbagai spesies ular seperti ular cincin mas (Boiga dendrophila), ular sawah (Phyton sp.) dan species kura-kura air tawar. Kawasan perairan Taman Nasional Sembilang kaya akan keanekaragaman spesies ikan, baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan laut. Sedikitnya terdapat 142 spesies ikan dari 43 familia, 38 spesies kepiting dan sedikitnya 13 spesies udang dari 9 familia (Taman Nasional Sembilang 2009).

Beberapa spesies ikan, udang dan kepiting yang bernilai ekonomi antara lain sembilang (Plotosus canius), kakap (Lutjanus sp.), kerapu (Epinephelus tauvina), toman (Channa micropeltes), betutu (Ophiocara porocephala), bawal putih (Pampus argenteus), tenggiri (Scomberomus sexfasciatus), belanak (Mugil voigiensis), udang galah (Macrobrachium rosenbergii), udang lobster (Panulirus

(42)

Perubahan Penutupan Lahan (Land cover)

Perubahan lahan dapat dideteksi dengan melakukan pendekatan spasial dengan menggunakan metoda perbandingan citra hasil klasifikasi antara dua citra yang direkam dalam waktu yang berbeda.

(43)

27 Gambar 11 Perubahan tutupan mangrove tahun 2002 dan 2013 di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi

Sumatera Selatan

(44)

Kondisi ekonomi ekosistem Mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang

Nilai ekonomi total yang dihitung adalah nilai ekonomi ekosistem mangrove dari Direct use value (sektor perikanan dan manfaat kayu), inderct use value (breakwater atau penahan gelombang), non use value ( keanekaragaman hayati eksosistem mangrove) dan existence value. Nilai ekonomi total ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang

No Tipologi Nilai Klasifikasi Fungsi dan Manfaat 3 Option value Nilai keanekaragaman hayati

ekosistem mangrove 11.873.380.500,00

4 Existence value Nilai keberadaan mangrove 113.964.619,00

Nilai Ekonomi Total (Rp/tahun) 14.007.740.119,00 Nilai Ekonomi Total (Rp/ha/tahun) 178.221,08

Sumber : Hasil olah penelitian (2015)

Nilai manfaat langsung (direct use value) ini dibagi menjadi dua yaitu manfaat langsung hasil hutan dan manfaat langsung hasil perikanan. Manfaat langsung ekosistem mangrove yang dimanfaatkan oleh masyarakat Taman Nasional Sembilang adalah daun nipah, kayu bakar, tiang rumah, hasil ikan, hasil kepiting, udang ebi, bibit mangrove dan wisata alam.

Manfaat tidak langsung diperoleh dari mangrove sebagai break water

penahan ombak yang terdapat pada desa Sungai Barong. Pembangunan

breakwater ini baru terlaksana 4 bulan yang lalu, dalam pembangunan breakwater

ini Japan International Cooperation Agency (JICA) bekerja sama dengan Taman Nasional Sembilang serta masyarakat sekitar untuk mengurangi kekuatan gelombang yang langsung berhadapan pada ekosistem mangrove di Sungai Barong.

Nilai manfaat pilihan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang (option value) mengacu pada nilai keanekaragaman hayati

(45)

29

15 /ha/tahun Ruitenbek (1994) dalam Nugroho (2009). Existence value diperoleh dari kesedian masyarakat membayar dengan adanya manfaat yang dirasakan oleh ekosistem mangrove. Berdasarkan tabel nilai ekonomi total ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.Banyuasin Sumatera Selatan adalah Rp 14.007.740.119,00/tahun atau Rp 178.221,00/ha/tahun, artinya apabila ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang tetap dikelola secara berkelanjutan maka nilai yang tetap terpelihara sebesar Rp 14.007.740.119,00,. Nilai manfaat mangrove, baik manfaat langsung, tidak langsung dan manfaat keberadaan dapat dilihat pada Lampiran 2-11.

Kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat

Penduduk merupakan faktor penting dalam perkembangan suatu wilayah dan merupakan pelaku kegiatan-kegiatan di wilayah tersebut. Penduduk di Taman Nasional Sembilang merupakan pencampuran antara penduduk lokal dan pendatang salah satu pendatang yaitu dari Bugis yang telah menempati lokasi Taman Nasioanal Sembilang sekitar puluhan tahun. Penduduk tersebar di wilayah pesisir Sungsang diantaranya Sungai Bungin, Sungai Barong Kecil dan Sungai Barong Besar, Sungai Sembilang, Tanjung Birik, Simpang Ngirawan, Sungai Terusan Dalam, Sungai Benu dan daerah transmigrasi Karang Agung Ilir.

Masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Sembilang pada umumnya tinggal di atas rumah-rumah panggung di tepi sungai di daerah pasang surut, dan sedikit masuk ke arah darat. Secara geografis, luas wilayah administrasi Kecamatan Banyuasin II adalah 2.681,35 Km2(sekitar 268.135 ha) dengan jumlah

penduduk 47.696 jiwa dan kepadatannya sekitar 17,79 jiwa/ Km2. Berdasarkan data tata guna lahan, seluas 202.896 ha (2.028,96 Km2) dari luas kecamatan merupakan kawasan Taman Nasional Sembilang, berarti luas wilayah Kecamatan Banyuasin II di luar wilayah Taman Nasional Sembilang adalah 652,39 Km2.

Pekerjaan merupakan aspek yang sangat penting untuk memenuhi perekonomian rumah tangga. Angka pengangguran di seluruh wilayah kecamatan rata-rata relatif rendah yaitu sekitar 5,99% tahun 2007 dan pada tahun 2008 sekitar 2,34% dari seluruh populasi angkatan kerja aktif 138.094 jiwa. Sementara itu total populasi penduduk angkatan kerja aktif di Kecamatan Banyuasin adalah 30.485 jiwa (BPS Banyuasin 2013).

(46)

Gambar 12 Jenis-jenis pekerjaan masyarakat Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan ( Sumber: Hasil Survei Penelitian 2015)

Tingkat pendidikan adalah hal yang memiliki pengaruh sangat penting dalam proses pembangunan khususnya di Taman Nasional Sembilang. Tingkat pendidikan formal responden tergolong masih rendah. Sebagian besar tingkat pendidikan masyarakat adalah tidak tamat SD dan tamat SD yaitu masing-masing 44% dan 41%. Responden yang berpendidikan rendah, motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi hanya untuk mendapatkan keuntungan berupa upah dari kegiatan penanaman mangrove.

Pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya hutan mangrove tersebut disebabkan karena tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan mangrove cukup tinggi terkait dengan mata pencaharian sebagai nelayan (fungsi ekonomi) dan fungsi hutan mangrove untuk melindungi pemukiman (fungsi fisik dan ekologi). Hasil penelitian Rusdianti dan Sunito (2012) memperlihatkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki motivasi partisipasi lebih variatif. Selain motivasi karena kesadaran mereka terhadap pentingnya ekosistem mangrove, mereka juga bisa mencari keuntungan dengan mengikuti kegiatan seperti pelatihan-pelatihan, sehingga mereka bisa menerapkan tambak ramah lingkungan berbasis penghijauan pesisir, berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki dari pelatihan dan memiliki nilai ekonomi bagi mereka. Tingkat pendidikan dilokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 13.

(47)

31

Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang dihitung dari hasil kuisioner dengan menggunakan

rating scale. Kategori tingkat nilai (N) terdiri dari sangat baik jika bernilai lebih dari 75%, baik jika bernilai 25%-50% dan buruk jika bernilai 0% - 25 %. Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan didapatkan dari perhitungan kuisioner di lapangan yang diberikan kepada 78 responden. Dalam kuisioner yang diberikan terdiri dari 6 kelompok pertanyaan yang terdiri dari pemahaman masyarakat terhadap mangrove dan manfaatnya, partisipasi dalam pengelolaan ekosistem mangrove, pandangan pihak pemerintah tentang mangrove, persepsi tentang status mangrove saat ini, persepsi tentang LSM yang perhatian terhadap mangrove dan persepsi tentang penebangan kayu di dalam mangrove.

Berdasarkan tabulasi data dan perhitungan persentase tentang persepsi masyarakat di Taman Nasional Sembilang didapatkan nilai rata-rata 48,93% dengan demikian maka persepsi masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove adalah kurang baik. Nilai ini merupakan nilai yang memprihatinkan, karena nilai rata-rata bernilai 25% - 50%, untuk lebih jelas dapat diihat pada Table 5. Dari hasil kuisioner terlihat bahwa pada umumnya masyarakat di Taman Nasional Sembilang sudah memahami akan pentingnya manfaat dari hutan mangrove. Namun yang menjadi kendala dan permasalahan sehingga terus dilakukannya pemanfaatan secara langsung yaitu kurangnya lapangan pekerjaan dan pengetahuan masyarakat mengenai manfaat mangrove selain bisa dimanfaatkan sebagai kayu bakar, sehingga sebagian masyarakat masih menjual kayu mangrove untuk keperluaan kayu bakar dan kebutuhan lainnya. Ditambahkan oleh Nfotabong-Atheull et al. (2013), bahwa pengetahuan ekologi dan pengalaman masyarakat lokal dapat digunakan untuk merekonstruksi perubahan yang terjadi dilingkungan sekitar mereka.

Tabel 5 Persepsi masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan

No Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove

Persentase (%)

1 Pemahaman mangrove dan manfaatnya 60,15

2 Partisipasi dalam pengelolaan ekosistem mangrove 55,15

3 Persepsi/ pandangan pihak pemerintah tentang mangrove 50,00 4 Persepsi tentang pandangan status mangrove saat ini 41,2

5

Persepsi tentang LSM yang perhatian terhadap ekosistem

mangrove 36,4

6 Persepsi tentang penebangan kayu di dalam mangrove 50,7

Rata rata 48,93

Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang

(48)

Technique for Fisheries) untuk ekosistem mangrove. Status keberlanjutan dalam penelitian ini menggunakan 4 dimensi yaitu, dimensi ekologi, dimensi sosial, dimensi ekonomi dan kelembagaan. Tiga dimensi ini terdiri dari 23 atribut, diantaranya enam atribut dimensi ekologi, 6 atribut dimensi sosial, 5 atribut dimensi ekonomi dan 6 atribut dimensi kelembagaan. Empat dimensi dan 23 atribut ini akan menggambarkan status keberlanjutan dari pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan. Adapun hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi pengelolaan adalah sebagai berikut:

Status keberlanjutan dimensi ekologi

Hasil ordinasi RAPFISH terhadap ekologi, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 66,45 yang menunjukkan bahwa status keberlanjutan untuk dimensi ekologi dikategorikan “cukup berkelanjutan” karena nilai indeks yang dihasilkan berada pada selang nilai 51-75 (Suliso 2003).

Indikator dimensi ekologi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang terdiri dari enam indikator, yaitu (1) Jumlah jenis fauna mangrove, (2) Tutupan vegetasi mangrove, (3) Indeks nilai penting vegetasi mangrove, (4) Dominansi jenis vegetasi mangrove, (5) Kerapatan vegetasi mangrove dan (6) Jumlah jenis vegetasi mangrove. Hasil ordinasi keberlanjutan dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi ekologi di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan

Gambar

Gambar 1 Grafik hasil produksi perikanan Banyuasin II (sumber: DKP Banyuasin
Gambar 2 Kerangka penelitian
Gambar 3 Peta lokasi penelitian
Gambar 4 Skema metode transek dan petak contoh pengumpulan data lapangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Klon-klon kentang hasil penyilangan dan hasil fusi protoplas sudah diuji dan diantaranya ada beberapa klon yang mempunyai harapan untuk diuji lanjut baik sebagai kentang

Strategi Pemerintah Kabupaten Mojokerto dalam meningkatkan Kualitas pelayanan di sector pariwisata ada 3 Tiga. yaitu: Pengembangan Obyek Wisata, Promosi

Pengaruh apa yang muncul dengan adanya musik pengiring band dalam kegiatan ibadah terhadap jemaat di Gereja Baptis Indonesia Ngadinegaran Yogyakarta.. Untuk

Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif dengan rancangan cross sectional yaitu penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel

Value at Risk (VaR) didefinisikan sebagai nilai estimasi besarnya kerugian maksimal yang mungkin terjadi pada periode tertentu dengan tingkat keyakinan tertentu dan

Di dukung oleh pendapat Suranto (2015:76) model pembelajaran yang mencakup teori belajar kognitif dan sosiokultural salah satunya adalah model pembelajaran yang

Dalam proses penciptaan seni lukis bertema ritual Semana Santa ini merupakan sebuah bentuk dedikasi dan perhatian dalam rangka melestarikan kekayaan budaya yang ada

Dengan melihat keuntungan bagi hasil yang seimbang sesuai dengan aturan hukum penerapan dasar Akuntansi Syariah pada sistem mudharabah maka prospek jaminan