• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Terhadap Kosmetik Pemutih Di Kota Medan Tahun 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perilaku Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Terhadap Kosmetik Pemutih Di Kota Medan Tahun 2009"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU PEKERJA PEREMPUAN PENYAPU JALAN

TERHADAP KOSMETIK PEMUTIH

DI KOTA MEDAN TAHUN 2009

T E S I S

OLEH

SRI SURIANI PURNAMAWATI

077033031/ IKM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERILAKU PEKERJA PEREMPUAN PENYAPU JALAN TERHADAP KOSMETIK PEMUTIH

DI KOTA MEDAN TAHUN 2009

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

OLEH

SRI SURIANI PURNAMAWATI 077033031/IKM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PERILAKU PEKERJA PEREMPUAN PENYAPU JALAN TERHADAP KOSMETIK PEMUTIH DI

KOTA MEDAN TAHUN 2009 Nama Mahasiswa : Sri Suriani Purnamawati Nomor Induk Mahasiswa : 077033031

Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Fikarwin Zuska) (Drs. Eddy Syahrial, MS) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (dr. Ria Masniari Lubis, MSi)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 7 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Fikarwin Zuska Anggota : 1. Drs. Eddy Syahrial, MS

(5)

PERNYATAAN

PERILAKU PEKERJA PEREMPUAN PENYAPU JALAN TERHADAP KOSMETIK PEMUTIH DI KOTA MEDAN TAHUN 2009

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2009

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena penggunaan kosmetik pemutih di kalangan perempuan yang semakin masif, termasuk pekerja perempuan penyapu jalan di Kota Medan. Fenomena tersebut didasari adanya keinginan perempuan untuk tampil cantik dan menarik. Agar dapat tampil cantik menarik dengan cara yang relatif cepat, salah satu caranya adalah dengan menggunakan kosmetik pemutih.

Konsep cantik bagi pekerja perempuan penyapu jalan tidak terlepas dari pengaruh media elektronik, yang mencitrakan bahwa cantik itu putih. Image cantik itu putih terus-menerus menyerbu ke benak pemirsa, melalui berbagai tayangan iklan kosmetik pemutih, membentuk konsep cantik itu putih.

Untuk itu penelitian ini mengkaji perilaku pekerja perempuan penyapu jalan di kota Medan terhadap kosmetik pemutih. Perilaku pekerja perempuan penyapu jalan terhadap kosmetik pemutih tidak terlepas dari dua faktor saling mempengaruhi, yaitu faktor yang ada dalam dirinya dan faktor dari luar dirinya..

Hasil penelitian ini menggambarkan pengetahuan pekerja perempuan penyapu jalan mengenai kosmetik masih parsial, dengan pengalaman pemakaian kosmetik pemutih yang bervariasi, serta sikap yang bervariasi pula. Beberapa pekerja perempuan penyapu jalan berpendapat bahwa cantik itu putih. Selain itu lingkungan fisik dan sosial, sumber informasi dan referensi, serta situasi dan kondisi yang memungkinkan turut memberi andil bagi pekerja perempuan penyapu jalan dalam menggunakan kosmetik pemutih.

Adanya pekerja penyapu jalan ada yang tidak lagi menggunakan kosmetik pemutih karena takut akan efek samping kosmetik pemutih, memberikan peluang kemungkinan dilakukannya penyadaran mengenai efek samping kosmetik pemutih.

Rancangan model perubahan perilaku terhadap kosmetik pemutih yang peneliti tawarkan adalah perubahan perilaku Health Belief Model Rosenstock.

Kata Kunci: Perilaku, Kosmetik Pemutih

(7)

ABSTRACT

This study was conducted based on the phenomenon of the massive use of whitening cosmetics among the women including those working as street sweepers in Medan. The phenomenon is based on the desire of the women to look beautiful and interesting. One of the ways in order to be beautiful in a relatively short time is by using the whitening cosmetics.

The concept of being beautiful for the female workers is also influenced by the electronic media which always say that being beautiful is identical with white. The image of being beautiful is white keeps attacking their mind through the commercial break showing the whitening cosmetics.

The purpose of this study is to analyze the behavior of women working as the street sweepers in Medan toward the whitening cosmetics which are based on two factors-internal and external-which influence each other.

The result of this study shows that the knowledge of the women working as the street sweepers on cosmetics was still partial and their attitude also varies. Some of the women working as the street sweepers have the concept this being beautiful is being white. In addition, the physical and social environment, information resources and reference have contribution to encourage the women working as the street sweepers to use whitening cosmetics.

Several women working as the street sweepers who do not use the whitening cosmetics anymore because they afraid of its side effect brings an opportunity to socialize the side effect of using the whitening cosmetics.

The design of the model to change the behavior toward the whitening cosmetics offered by the researcher is the Rosenstock’s Health Belief Model.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan limpahan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan Judul “Perilaku Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Terhadap Kosmetik Pemutih”. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Magister lmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penelitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada suami dan anak-anak tercinta, atas bantuan moral dan materil yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. dr. Ria Masniari Lubis, MSi selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs Surya Utama, MS, selaku Ketua Program Sudi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 3. Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 4. Drs. Eddy Syahrial, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan sabar

(9)

5. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM, selaku Dosen Pembanding yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan saran-saran perbaikan bagi tesis ini.

6. Dra. Syarifah, MS, selaku Dosen Pembanding yang juga telah meluangkan waktu untuk memberikan saran bagi kesempurnaan tesis ini.

7. Seluruh staf pengajar pada Program Studi Magister (S-2) Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman angkatan tahun 2007, mahasiswa Program Studi Magister (S-2) Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU atas segala kerjasama, kebersamaan dan kekompakan yang telah terjalin selama ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan tulisan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua.

Medan, September 2009 Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama penulis Sri Suriani Purnamawati, lahir di Medan tanggal 7 Desember 1967, jenis kelamin perempuan, beragama Islam. Alamat rumah Jalan Rinte IV No.133 Lingkungan XIII Kompleks Kejaksaan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan dan alamat kantor Jalan Tali Air No.21 Medan.

Riwayat Pendidikan pada tahun 1975 s/d 1981 tamat dari SD Negeri No. 064021 Medan. Tahun 1981 bersekolah di SMP Negeri 1 Medan dan tamat tahun 1984. Selanjutnya pada tahun 1984 s/d 1987 mengenyam pendidikan di SMA Negeri 1 Medan. Pada Tahun 1987 mulai kuliah di Fakultas MIPA USU, jurusan Farmasi dan tamat pada tahun 1993. Kemudian mengikuti pendidikan Profesi Apoteker FMIPA USU dan selesai pada tahun 1995. Pada tahun 2007 mengikuti pendidikan jenjang S2 di Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(11)

DAFTAR ISI BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang... 1.2. Permasalahan ... 1.3. Tujuan Penelitian ... 1.4. Manfaat Penelitian ... BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.4. Landasan Teori... 2.5. Kerangka Pikir... BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian ... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.3. Informan... 3.4. Metode Pengumpulan Data ... 3.5. Metode Analisis Data... BAB 4. HASIL PENELITIAN

(12)

4.3. Karakteristik Informan... 4.4. Konsep Cantik Pekerja Perempuan Penyapu Jalan... 4.5. Pengetahuan dan Sikap terhadap Kosmetik Pemutih... 4.6. Sumber Informasi... 4.7. Penggunaan Kosmetik Pemutih... BAB 5. PEMBAHASAN

5.1. Perilaku Penggunaan Kosmetik Pemutih... 5.2. Alasan Penggunaan Kosmetik Pemutih yang Murah... 5.3. Kosmetik Pemutih Berbahaya... BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan... 6.2. Saran... DAFTAR PUSTAKA...

65 69 73 81 86

90 98 106

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 4.1 Kosmetik yang Mengandung Bahan Berbahaya... 46 4.2 Merek Bedak dan Kosmetik Pemutih yang digunakan... 87 5.1 Kosmetik yang Mengandung Bahan Berbahaya dan Zat Pewarna

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 2.1 Kerangka Pikir... 31

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 1. Izin Penelitian dari Sekolah Pascasarjana Universitas 121

Sumatera Utara………..

2. Izin Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan 122 Pemerintah Kota Medan ………

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tesis ini mengkaji pandangan-pandangan pekerja perempuan penyapu jalan yang ada di kota Medan tentang kosmetik pemutih, baik yang menggunakan kosmetik pemutih dan yang tidak menggunakannya. Informasi yang digali mengenai kosmetik pemutih meliputi jenis kosmetik yang digunakan, sumber informasi, cara penggunaan dan manfaat atau efek samping yang terjadi. Dimana dari berbagai informasi yang terkumpul diperoleh gambaran salah satu tujuan penggunaan kosmetik pemutih adalah agar tampil lebih cantik dan menarik.

Menjadi cantik dan menarik merupakan dambaan bagi setiap perempuan. Hampir semua perempuan di berbagai kelompok sosial masyarakat menginginkan hal tersebut. Dengan menjadi cantik seorang perempuan merasa lebih percaya diri dan lebih diterima di masyarakatnya. Kecantikan bukanlah sebuah konstruk fisik yang dapat diukur secara eksak, tetapi kecantikan adalah suatu konstruk sosial yang subyektif dan sangat dipengaruhi oleh budaya dan karakteristik masyarakat. Bahkan dapat dikatakan sangat dipengaruhi oleh tren, mode dan kesukaaan temporer banyak orang (Nasiruddin, 2008:1).

(17)

sehingga kecantikan dipandang sesuatu yang inheren dalam diri perempuan (Munfarida, 2007:2)

Mitos seputar kecantikan mengalami perubahan dari masa ke masa. Di era tahun 1960-an standar tentang kecantikan menunjukkan bahwa bentuk tubuh yang padat berisi merupakan yang paling menarik dengan ikon Marilyn Monroe. Kemudian di era tahun 1980-an tubuh yang jauh lebih kurus dikatakan lebih menarik, sehingga banyak model yang berbadan kurus dan menderita anorexia (Baron, 2003:11). Hal ini disebabkan karena para gadis mati-matian berdiet untuk kurus. Berbagai artikel dan buku yang membahas tentang berbagai cara diet laris manis di pasaran (Munfarida, 2007:5).

Memasuki tahun 1990-an, akibat adanya berbagai penemuan di bidang kosmetik memberikan angin segar bagi perempuan yang merasa tubuhnya kurang sempurna untuk ’merenovasi’ fisiknya. Sedot lemak, pengelupasan kulit merupakan contoh keberhasilan teknologi kosmetika (Munfarida, 2007:6). Sehingga sekarang yang dikatakan cantik selain ramping juga berkulit putih.

(18)

masih menginginkan warna kulit yang lebih putih/cerah dari warna kulit aslinya, meskipun mereka telah memiliki kulit yang putih (Badan POM, 2006: 8)

Untuk bisa tampil cantik dan menarik sebenarnya diperlukan perawatan tubuh (termasuk wajah) secara rutin dan memerlukan waktu relatif lama. Tetapi banyak perempuan ingin cantik secara instan, salah satunya adalah dengan memakai kosmetik. Keinginan ini semakin kuat karena didukung dengan adanya iklan kosmetik yang mengatakan perubahan pada wajah anda dapat diperoleh hanya dalam waktu singkat (hanya dalam 7 hari). Menurut Indarti (2002:1), mengutip Shannon (1997) hasil test yang dilakukan di Amerika menggambarkan bahwa 88% perempuan yang berusia 18 tahun ke atas berusaha mempercantik diri dengan menggunakan kosmetik. Mereka merasa bahwa kosmetik tersebut membuat mereka lebih cantik dan percaya diri.

Kosmetik berasal dari kata Yunani ”kosmetikos” yang berarti ketrampilan menghias, mengatur. Defenisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.445/Menkes/Permenkes/1998 adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit (Tranggono dkk, 2007: 6). Dari defenisi ini jelas bahwa kosmetik umumnya digunakan pada bagian luar tubuh, sehingga jauh dari kesan berbahaya.

(19)

peredaran 27 merk kosmetik karena mengandung bahan berbahaya. Larangan tersebut ditindaklanjuti dengan penarikannya oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di berbagai daerah di seluruh Indonesia, seperti yang dilakukan BBPOM Surabaya dengan menarik 57 merk kosmetik yang dilarang termasuk kosmetik yang tidak terdaftar, diantaranya kosmetik pemutih (Surabaya Post, 28 Nov 2008). Hal yang sama juga dilakukan oleh BBPOM di Medan (Sumutcyber, 28 Nov 2008).

Menurut Manurung (2008:4) mengutip Dwiyatmoko (2007)) data dari Tim MESKOS (Monitoring Efek Samping Kosmetik) Badan POM RI tahun 2007, menunjukan pengaduan yang masuk kepada mereka mengenai efek samping kosmetik adalah akibat kosmetik pemutih (35%), Pelembab (20%), Bleaching (15%), Bedak (10%), Cat rambut (5%) dan parfum (5%), dengan demikian efek samping yang paling sering terjadi di masyarakat adalah akibat penggunaan kosmetik pemutih sehingga diklasifikasikan sebagai kosmetik berisiko tinggi. Ketidakamanan kosmetik pemutih salah satunya disebabkan mengandung bahan berbahaya seperti merkuri.

Menurut Tranggono (2007:47) kosmetik pemutih yang mengandung merkuri menyebabkan toksisitas yang tinggi terhadap organ tubuh seperti ginjal, syaraf dan sebagainya. Efek samping yang ditimbulkan berupa iritasi (kemerahan dan pembengkakan kulit) dan alergi, berupa perubahan warna kulit sampai kehitam-hitaman. Penelitian yang dilakukan Manurung (2008:85) di salah satu pusat kebugaran di kota Medan menunjukkan sebanyak 46,31% responden ternyata menggunakan kosmetik pemutih yang mengandung bahan berbahaya yaitu merkuri.

(20)

Menurut Tzank (1955) sebanyak 7% dari semua kasus kerusakan kulit di sebuah klinik di Paris adalah akibat kosmetik. Sidi (1956) memperkirakan bahwa untuk seluruh Perancis angka ini mencapai 20%. Schulz (1954) menemukan bahwa di Hamburg, Jerman sekitar 10% dari semua kontak dermatitis disebabkan oleh preparat kosmetik. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan Dr.Retno Tranggono (1978) terhadap 244 pasien RSCM yang menderita noda-noda hitam 18,3% disebabkan oleh kosmetik (Tranggono dkk, 2007: 44).

Berdasarkan penelitian Manurung juga diperoleh informasi bahwa 75,79% responden yang menggunakan kosmetik pemutih adalah perempuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Purnamasari (2008) bahwa tubuh, kosmetik dan kecantikan merupakan tiga hal yang saling berkaitan satu sama lain membentuk satu kesatuan representasi akan kesempurnaan perempuan. Bahkan untuk mencapai kesempurnaannya perempuan terkadang mengabaikan bahaya yang mengancam dari pemakaian kosmetik pemutih yang bahan berbahaya tersebut dan cenderung tidak percaya.

Seperti halnya Ratna yang menggunakan kosmetik pemutih Doctor Kayama, mengaku tidak rela menghentikan pemakaian kosmetik tersebut. Apa tidak takut kanker? ”Justru saya malah mempertanyakan, jangan-jangan BBPOM yang salah menguji. Rasanya selama pemakaian produk ini saya tidak merasakan efek samping yang membahayakan. Misalnya kemerah-merahan pada kulit wajah. Kayaknya lancar-lancar saja” (Sumutcyber, 28 Nov 2008).

(21)

saya malah jadi makin bagus. Dulu, sebelum pakai wajah saya hitam dan kusam.” bebernya. ”Duh, bagaimana nasib kulit saya ke depannya. Kalau dihitung-hitung pemakaian satu tahun, mungkin di usia 30 tahun, bisa-bisa saya menghabiskan waktu dirawat inap di rumah sakit gara-gara kanker. Tapi, apa betul berbahaya?” (Sumutcyber, 28 Nov 2008).

Perempuan yang terpelajar saja ada yang tidak percaya akan bahaya yang mengancam dari penggunaan kosmetik pemutih yang mengandung bahan berbahaya. Bagaimana lagi dengan perempuan-perempuan yang berpendidikan rendah dan kurang memiliki akses informasi yang benar mengenai kosmetik pemutih sedangkan di satu sisi pekerjaannya dianggap mengharuskannya menggunakan kosmetik pemutih. Contohnya adalah pekerja perempuan penyapu jalan.

Penelitian mutaakhir yang dilakukan Yani (2008:56) menunjukkan bahwa 90% pekerja perempuan penyapu jalan di kota Medan menderita melasma. Penggunaan kosmetik dan sinar matahari merupakan salah satu faktor resiko terhadap kejadian melasma dan diantara responden 60% menggunakan kosmetik dari berbagai jenis seperti bedak putih dan pelembab selama bekerja.

(22)

Hasil bincang-bincang dengan salah seorang pekerja perempuan penyapu jalan diperoleh informasi bahwa pekerja tersebut menggunakan kosmetik pemutih. Kosmetik pemutih yang digunakannya termasuk kosmetik pemutih yang dilarang (yaitu salah satu merek RDL) dan sudah digunakannya dalam waktu yang relatif lama. ”Ini pun sudah mulai timbul bercak-bercak hitam di wajahku, karena aku belakangan ini mulai jarang memakainya, sehari cuma sekali aja, pas mau berangkat kerja” katanya. Padahal bercak coklat kehitaman tersebut mungkin saja efek samping samping yang timbul akibat pemakaian kosmetik pemutih tersebut.

Umumnya masalah kesehatan, seperti halnya efek samping penggunaan kosmetik pemutih pada pekerja perempuan penyapu jalan, menurut Green dalam Sarwono (2004;64) dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor-faktor di luar perilaku. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat (Sarwono, 2004:1).

(23)

Bila dikaitkan dengan perilaku penggunaan kosmetik pemutih pada pekerja perempuan penyapu jalan, diperkirakan perilaku tersebut merupakan tindakan untuk mempertahankan kesehatan kulit wajah dan kecantikan mereka (respons) karena pekerjaan tersebut memaksa mereka lebih sering terpapar sinar matahari (stimulus). Atau boleh jadi perilaku penggunaan kosmetik pemutih tersebut merupakan respons atas berbagai iklan produk kecantikan di media massa (stimulus) yang menyiratkan pesan bahwa cantik itu identik dengan tubuh langsing dan kulit putih.

Bila ditinjau dari perilaku kesehatan, penggunaan kosmetik pemutih pada pekerja perempuan penyapu jalan diperkirakan merupakan bentuk perilaku pemeliharaan kesehatan, karena tujuan pengunaan kosmetik tersebut selain untuk menutupi wajah dari paparan sinar matahari langsung juga bagian dari merawat kecantikan (Yani, 2008:56). Walaupun ternyata mempunyai efek samping yang kontradiktif dengan tujuan penggunaannya.

Menurut Green dalam Notoatmojo (2007:178) perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu: 1) Faktor Predisposisi (Predisposing factors), 2) Faktor pendukung (Enabling factor). 3) faktor pendorong (Reinforcing faktor). Sedangkan menurut Kar perilaku merupakan fungsi dari niat, dukungan sosial, ada tidaknya informasi tentang kesehatan, otonomi pribadi dalam mengambil tindakan dan situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak.

(24)

Ottawa merupakan suatu proses untuk memampukan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka (Notoatmodjo dkk, 2005:25).

Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa kelas sosial merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan konsumen dalam memutuskan membeli kosmetik wajah (Indarti,2002). Dari sisi kelas sosial, pekerja perempuan penyapu jalan cenderung merupakan konsumen produk kosmetik pemutih yang murah dan mengandung bahan berbahaya. Sampai saat ini ternyata produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya masih tetap laris dijual di pasaran (Waspada, 10 Maret 2009).

1.2. Permasalahan

Walaupun sudah diketahui adanya faktor resiko penggunaan kosmetik pemutih, diumumkannya public warning dan razia kosmetik pemutih yang mengandung bahan berbahaya oleh Balai Besar POM di Medan, namun pada kenyataannya mengapa penggunaan kosmetik pemutih di kalangan pekerja perempuan penyapu jalan di kota Medan masih relatif tinggi.

1.3. Tujuan Penelitian

(25)

1.4. Manfaat Penelitian

a. Dinas Kebersihan kota Medan mendapat masukan upaya pemeliharaan kesehatan pekerja perempuan penyapu jalan.

(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecantikan

Kecantikan bukanlah sebuah konstruk fisik yang dapat diukur secara eksak, tetapi kecantikan adalah suatu konstruk sosial yang subyektif dan sangat dipengaruhi oleh budaya dan karakteristik masyarakat. Bahkan dapat dikatakan sangat dipengaruhi oleh tren, mode dan kesukaan temporer banyak orang (Nasiruddin,2008:1).

Secara garis besar berbagai pendapat tentang definisi kecantikan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok: pertama, kecantikan hanya bersifat fisik saja (outer beauty). Wajah yang ayu, tubuh yang langsing, kulit putih, tinggi semampai, hidung mancung merupakan manifestasi kecantikan fisik. Kedua, hakikat kecantikan itu ada dalam Diri yang diistilahkan dengan inner beauty. Kepribadian, intelektualitas, kecakapan emosional, dan kualitas-kualitas nonfisik merupakan gambaran kecantikan model kedua ini. Ketiga, kecantikan itu bersifat fisik dan nonfisik. Artinya perempuan yang memiliki inner beauty juga harus memiliki outer beauty (Munfarida,2007:3).

2.1.1. Mitos dan Sejarah Kecantikan

(27)

kisah Adam dan Hawa, Julius Cesar dan Cleopatra, Rama dan Shinta mengisahkan perempuan cantik yang menjadi rebutan dan kaum pria rela berkorban untuk mendapatkannya.

Mitos seputar kecantikan mengalami perubahan dari masa ke masa. Di era tahun 1960-an standar tentang kecantikan menunjukkan bahwa bentuk tubuh yang padat berisi merupakan yang paling menarik dnengan ikon Marilyn Monroe. Kemudian di era 1980-an tubuh yang jauh lebih kurus dikatakan lebih menarik, sehingga banyak model yang berbadan kurus dan menderita anorexia (Baron, 2003:11). Memasuki tahun 1990-an, akibat adanya berbagai penemuan di bidang kosmetik memberikan angin segar bagi perempuan yang merasa tubuhnya kurang sempurna untuk “merenovasi” fisiknya. Sedot lemak, pengelupasan kulit merupakan contoh keberhasilan teknologi kosmetika (Munfarida, 2007:6). Sehingga yang dikatakan cantik selain ramping juga berkulit putih.

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Jepang bahwa 60% perempuan Jepang dan 75 % perempuan Cina masih menginginkan warna kulit yang lebih putih/cerah dari warna kulit aslinya, meskipun mereka telah memiliki kulit yang lebih putih (Badan POM, 2006:8). Penelitian yang dilakukan Manurung (2008:85) di salah satu pusat kebugaran di kota Medan menunjukkan sebanyak 46,31% responden menggunakan kosmetik pemutih.

(28)

oleh industri media dan periklanan. Contohnya zaman 1950-an kecantikan perempuan diidentikkan dengan perempuan bertubuh subur, pada era 1980-an merupakan puncak dimana tubuh kurus menjadi simbol kecantikan. Media massa saat itu banyak memunculkan figur langsing, selain dijadikan simbol kecantikan, tubuh langsing juga dianggap sebagai simbol pemberontakan perempuan (Munfarida, 2007:5)

Kata “cantik” telah dibentuk oleh media di dalam benak masyarakat secara tidak sadar. Baik melalui iklan maupun tayangan-tayangan sinetron yang ada. Sebagian besar endorser yang dipakai dalam iklan adalah perempuan-perempuan dengan tubuh yang langsing dan tinggi, berkulit putih. Stereotype ini telah terbentuk dan menjadi pemisah untuk perempuan “cantik” dan “tidak cantik” (Goenawan, 2007:15)

Berkaitan dengan kekuatan pengaruh media massa ini, Yasraf Amir Piliang mengatakan ada tiga kekuasaan yang beroperasi di balik produksi dan konsumsi komoditi yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produser serta kekuasaan media massa. Ketiga kekuasaan ini saling berjalin berkelindan untuk menciptakan permintaan (demand) secara terus menerus. Melalui media massa keinginan-keinginan psikologis diciptakan sehingga komoditi bisa terus-menerus diproduksi. Pada akhirnya, pola konsumsi ternyata lebih menguntungkan bagi para pemilik modal daripada benar-benar mengubah perempuan menjadi cantik (Munfarida, 2007:9).

(29)

maupun kritik iklan dalam bukunya The Feminine Mystique. Friedan menghasilkan stereotip-stereotip gender yang dibangun oleh media (Goenawan, 2007:18).

Pencitraan perempuan di dalam media massa dapat dikategorikan menjadi 4 macam, (Bungin, 2005: 103-104) yaitu:

1. Citra Pigura, citra yang ditonjolkan adalah sisi biologis dari perempuan-perempuan tersebut.

2. Citra Pilar, citra yang ditonjolkan adalah perempuan sebagai tulang punggung keluarga. Perempuan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam hal mengurus domestik. umber daya rumah tangga, sebagai istri dan ibu yang bijaksana.

3. Citra Pinggan, perempuan dicitrakan tidak bisa keluar dari dapur, karena dapur adalah dunia perempuan.

4. Citra Pergaulan, citra ini ditandai dengan pergulatan perempuan untuk masuk ke kelas-kelas tertentu yang lebih tinggi di dalam masyarakat. Perempuan dilambangkan sebagai makhluk yang anggun, menawan serta berhak “dimiliki” oleh kelas tertentu.

Naomi Wolf juga melihat bahwa media massa lebih dari sekedar agen penkonstruksi, media mengambil bagian, menjadi ritus kecantikan. Media massa muncul sebagai agama baru kecantikan. Perempuan model cover, iklan, majalah wanita, menjadi panutan sejati pesan kecantikan (Utomo,2007: 3).

(30)

perempuan yang diilustrasikan dalam beberapa iklan kosmetik, menggambarkan kualifikasi kecantikan pada tubuh perempuan yang melibatkan penilaian laki-laki sebagai representasi budaya patriarki. Nilai intrinsik pasar adalah pada produk kecantikan yang ditawarkan, misalnya iklan krim pemutuh menghendaki laki-laki mengakui yang cantik adalah yang perempuan yang berkulit putih, sedangkan warna di luar putih tidak layak mendapatkan perhatian laki-laki. Perempuan diarahkan untuk mematuhi imajinasi iklan krim pemutih itu, taat pada imajinasi laki-laki. Putih dan tidak putih adalah sebuah kategorisasi feminitas perempuan, kecantikan perempuan (Utomo, 2007 :6)

Konstruksi sosial bagi kapitalisme memandang perempuan hanya semata-mata dilihat sebagai komoditas. Akibatnya berbagai mitos kecantikan yang diciptakan, memberikan penekanan yang lebih pada kualitas fisik. Dunia perempuan selalu ditampilkan dalam ruang yang serba fisikal. Konstruksi ini menjadikan perempuan teralienasi dengan dirinya sendiri. Dirinya sendiri semakin jauh dari totalitas kediriannya karena terfragmentasi dalam diri fisik semata. Kondisi seperti ini akan sangat menguntungkan bagi industri kapitalis. Tidak adanya konsep diri yang utuh, akan menjadikan kaum perempuan mudah terpedaya oleh persuasi-persuasi iklan-iklan kecantikan dalam media massa yang lebih banyak menampilkan aspek kecantikan fisik saja (Munfarida,2007:9)

(31)

dimana setiap orang tunduk pada kepentingan-kepentingan pasar,khususnya dalam meningkatkan daya saing suatu produk (Abdullah, 2001:40).

2.2. Kosmetik

Kosmetik sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Pada abad ke- 19, pemakaian kosmetik mulai mendapat perhatian, yaitu selain untuk kecantikan juga untuk kesehatan. Menurut Tranggono sambil mengutip Jellinek dkk (1970) perkembangan ilmu kosmetik serta industrinya baru dimulai secara besar-besaran pada abad ke-20.

Kosmetik berasal dari kata Yunani ”kosmestikos’ yang berarti ketrampilan menghias, mengatur. Defenisi kosmetik dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.00.05.42.1018 adalah Setiap bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada seluruh bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar), atau gigi dan membran mukosa di sekitar mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan dan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik (Badan POM, 2008).

(32)

2.2.1. Penggolongan kosmetik

Tranggono (2007:8), menggolongkan kosmetik menurut kegunaannya bagi kulit adalah sebagai berikut:

1. Kosmetik perawatan kulit (Skin-care cosmetics)

Jenis ini perlu untuk merawat kebersihan dan kesehatan kulit. Termasuk di dalamnya:

a. Kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser): sabun, cleansing cream, cleansing milk, dan penyegar kulit (freshener).

b. Kosmetik untuk melembabkan kulit (moisturizer), misalnya moisturizing crem, night cream.

c. Kosmetik pelindung kulit, misalnya sunscreen cream, dan sunscreen foundation, sun block cream/lotion.

d. Kosmetik untuk menipiskan atau mengampelas kulit (peeling), misalnya scrub cream yang berisi buttiran-butiran halus yang berfungsi sebagai pengampelas (abrasiver)

2. Kosmetik riasan (dekoratif atau make-up)

Jenis ini diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek psikologis yang baik, seperti percaya diri (self confidence). Dalam kosmetik riasan peran zat pewarna dan zat pewangi sangat besar.

2.2.2. Empat Faktor yang Berpengaruh.

(33)

negatif yang merugikan kulit. Keempat faktor itu adalah faktor manusia, faktor kosmetik, faktor lingkungan dan interaksi ketiga faktor tersebut (Tranggono,2007:43).

1. Faktor manusia

Perbedaan ras, warna kulit, misalnya antara Asia yang coklat dan Eropa yang putih serta pandangan mengenai kecantikan yang berbeda menyebabkan efek kosmetik yang berbeda.

a. Kurangnya pengetahuan akan seluk beluk kulit dan seluk-beluk kosmetik dapat menimbulkan kesalahan dalam pemakaian kosmetik.

b. Orang-orang tertentu berkulit sensitif sehingga kosmetik yang bagi orang lain tidak berpengaruh apa-apa, baginya dapat menimbulkan iritasi dan lain-lain

2. Faktor kosmetik

a. Bahan baku tidak berkualitas tinggi, iritan, alergenik, aknegenik, toksik dan photosentitizer.

b. Formulasi tidak sesuai dengan jenis kulit dan keadaan lingkungan. Sejumlah bahan, misalnya dalam kosmetik tabir surya, zat pewarna dan zat pewangi bersifat photosensitizer jika terkena sinar matahari di iklim tropis.

c. Prosedur pembuatan tidak canggih dan higienis 3. Faktor lingkungan

(34)

berminyak. Karena itu jika kosmetik pelembab yang lengket berminyak untuk kulit orang Eropa yang kering di iklim dingin digunakan oleh orang Asia, kosmetik ini dapat merangsang terjadinya jerawat. Begitu pula tabir surya yang mengandung PABA (Para Amino Benzoic Acid) yang populer yang mencoklatkan kulit di Eropa, di Indonesia tidak disukai dan berbahaya karena PABA bersifat photosensitizer.

4. Interaksi ketiga faktor tersebut di atas.

2.2.3. Jenis-Jenis Reaksi Negatif Kosmetik pada Kulit

Ada berbagai reaksi negatif yang disebabkan oleh kosmetik yang tidak aman pada kulit maupun pada sistem tubuh, antara lain: (Tranggono, 2007:44-45)

1. Iritasi: reaksi langsung timbul pada pemakaian pertama kosmetik karena salah satu atau lebih bahan yang dikandungnya bersifat iritan. Sejumlah deodoran, kosmetik pemutih kulit (misalnya kosmetik impor Pearl Cream yang mengandung merkuri) dapat langsung menimbulkan reaksi iritasi.

2. Alergi: reaksi negatif pada kulit muncul setelah dipakai beberapa kali, kadang-kadang setelah bertahun-tahun, karena kosmetik itu mengandung bahan yang bersifat alergenik bagi seseorang meskipun mungkin tidak bagi yang lain. 3. Fotosensitisasi: reaksi negatif muncul setelah kulit yang ditempeli kosmetik

terkena sinar matahari karena salah satu atau lebih dari bahan, zat pewarna, zat pewangi yang dikandung oleh kosmetik itu bersifat photosensitizer.

(35)

berminyak. Terutama di negara-negara tropis seperti Indonesia karena kosmetik demikian cenderung menyumbat pori-pori kulit bersama kotoran dan bakteri.

5. Intoksikasi: keracunan dapat etrjadi secara lokal maupun sistemik melalui penghirupan lewat mulut dan hidung, atau lewat penyerapan melalui kulit. Terutama jika salah satu atau lebih bahan yang dikandung oleh kosmetik itu bersifat toksik.

6. Penyumbatan fisik: penyumbatan oleh bahan-bahan berminyak dan lengket yang ada di dalam kosmetik tertentu, seperti pelembab atau dasar bedak terhadap pori-pori kulit atau pori-pori kecil pada bagian-bagian tubuh yang lain.

2.2.4. Krim Pemutih

Pemutih kulit merupakan suatu bahan yang digunakan untuk mencerahkan atau merubah warna kulit yang tidak diinginkan (Rieger,2000). Beberapa krim pemutih mengandung pigmen putih untuk menutupi kulit dan para konsumen merasa kulitnya menjadi lebih putih, namun sebenarnya kulit mereka hanya terlihat saja lebih putih akibat efek pelapisan pigmen putih pada lapisan terluar kulit dan tidak ada pengurangan pada kadar pigmen kulit yang sebenarnya. Krim pemutih yang mengandung bahan yang dapat mengganggu produksi pigmen merupakan krim yang dianggap paling efektif (Scott et al, 1985).

(36)

1. Skin Bleaching

Adalah produk whitening yang mengandung bahan aktif yang kuat, yang berfungsi memudarkan noda-noda hitam pada kulit. Cara penggunaan produk tersebut adalah dengan mengoleskan tipis-tipis pada daerah kulit dengan noda hitam, tidak digunakan secara merata pada kulit dan tidak digunakan pada siang hari. Bahan aktif yang digunakan antara lain hidrokuinon dan kombinasi hidrokuinon dengan asam retinoat.

2. Skin lightening

Adalah produk perawatan kulit yang digunakan dengan tujuan agar kulit pemakai tampak lebih putih, cerah dan bercahaya. Produk whitening katagori ini dapat digunakan secara merata pada seluruh permukaan kulit. Bahan aktif yang digunakan antara lain asam askorbat dan derivatnya, kojic acid, niasinamid, licorice ekstract.

2.2.5. Bahaya kosmetik pemutih

Dalam beberapa kosmetik dapat ditemukan berbagai bahan kimia yang berbahaya bagi kulit, seperti merkuri, hidrokinon, asam retinoat dan zat warna sintetis seperti Rhodamin B dan Merah K3. Bahan-bahan ini sebetulnya telah dilarang penggunaanya sejak tahun 1998 melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.445/MENKES/PER/V/1998. Sejauh ini bahan-bahan kimia tersebut belum tergantikan dengan bahan-bahan lainnya yang bersifat lebih alami. Bahan-bahan kimia tersebut dapat memicu kanker (Badan POM, 2008:5).

(37)

dapat menyebabkan alergi dan iritasi kulit. Pemakaian dengan dosis tinggi menyebabkan kerusakan otak secara permanen, gagal ginjal yang berakibat kematian dan gangguan perkembangan janin yang berakibat keguguran dan mandul (Badan POM,2008:5).

Selain merkuri, hidrokinon dalam krim pemutih yang kandungannya di atas 2% juga dikategorikan sebagai bahan berbahaya bagi kesehatan. Hidrokinon termasuk golongan obat keras yang hanya dapat digunakan berdasarkan resep dokter. Pemakaian hidrokinon dapat menyebabkan iritasi kulit, kulit menjadi merah dan rasa terbakar, juga menyebabkan kelainan pada ginjal, kanker darah (leukemia) dan kanker sel hati (Badan POM, 2008:6).

Asam retinoat atau Tretinoin adalah bentuk asam dari vitamin A, merupakan zat yang populer digunakan dalam kosmetik karena kemampuannya mengatur pembentukan dan penghancuran sel-sel kulit. Kemampuannya mengatur siklus hidup sel ini juga dimanfaatkan oleh kosmetik anti aging (efek-efek penuaan). Tretinoin juga mempunyai efek samping bagi kulit yang sensitif, seperti kulit menjadi gatal, memerah dan terasa panas seperti terbakat.

(38)

2.3. Perilaku

Menurut Sarwono (2004:1) perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.

Menurut Notoatmodjo (2007:133) dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak langsung.

Skiner (1938) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007:133-134) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori ”S-O-R” atau Stimulus Organisme Respons. Skiner membedakan adanya dua respon:

(39)

eliciting stimulstion karena menimbulkan respons-respon yang relatif tetap.

Misalnya : makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih dan sebagainya.

2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat respons. Misalnya apabila petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya atau job skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik dalam melaksanakan tugasnya.

Parson dalam Poloma (1987: 184) dengan tingkat ”teori bertindak yang umum”, ialah bahwa perilaku cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis: (1) pencarian pemuasan psikis, (2) kepentingan dalam menguraikan pengertian-pengertian simbolis, (3) kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan (4) usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.

(40)

yaitu sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian. Selain itu juga Kotler (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen yaitu : faktor-faktor budaya, faktor sosial, faktor kepribadian dan faktor psikologis.

2.3.1. Perilaku Kesehatan

Green dalam Notoatmodjo (2007:178 ) menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor

pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3

faktor yaitu:

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.

3. Faktor-faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

(41)

sikap dan perilaku petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

Skiner dalam Notoatmodjo (2007:136) memberikan batasan perilaku kesehatan yaitu suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu 1) perilaku pemeliharaan kesehatan 2) perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan dan 3) perilaku kesehatan lingkungan. Kar dikutip oleh Notoatmodjo (2007:179) menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik-tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari:

1. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behaviour intention).

2. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support).

3. Ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessebility of information).

4. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy).

5. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation).

(42)

untuk mengambil keputusan/bertindak, dan situasi yang memungkinkan ia berperilaku/bertindak atau tidak berperilaku/ tidak bertindak.

Teori World Health Organization (WHO) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007:180) dimana tim kerja dari WHO menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok.

1. Pemikiran dan Perasaan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi,sikap, kepercayaan, dan penilaian-penialaian seseorang terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan). Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Kepercayaan, seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain:

a. Sikap akan terwujud di dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu. b. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada

pengalaman orang lain.

c. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.

(43)

Di dalam suatu masyarakat apa pun selalu berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat.

2. Orang penting sebagai referensi

Perilaku orang lebih-lebih perilaku anak kecil, lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila orang tersebut dianggap penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuatan cenderung dicontoh. 3. Sumber- sumber daya (resources)

Sumber daya di sini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Semua berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif.

4. Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari suatu kehidupan masyarakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia. Perilaku yang normal adalah salah suatu aspek kebudayaan, dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini.

2.3.2. Faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan

(44)

terdiri dari lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, perilaku, keturunan, dan pelayanan kesehatan. Selanjutnya Blum menjelaskan, bahwa lingkungan sosial budaya tersebut tidak saja mempengaruhi status kesehatan, tetapi juga mempengaruhi perilaku kesehatan (Notoatmodjo,2007:18 ).

Menurut H. Ray Elling dalam Notoadmodjo (2005:71) ada beberapa faktor sosial yang berpengaruh pada perilaku kesehatan, antara lain : 1) self concept,dan 2) image kelompok. Disamping itu, G.M Foster menambahkan, bahwa identifikasi

individu kepada kelompoknya juga berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. 1. Pengaruh self concept terhadap perilaku kesehatan.

Self concept ditentukan oleh tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan yang kita

rasakan terhadap diri kita sendiri, terutama bagaimana kita ingin memperlihatkan diri kita kepada orang lain. Bila orang lain melihat kita positif dan menerima yang kita lakukan, kita akan meneruskan perilaku kita. Secara tidak langsung self concept kita cenderung menentukan apakah kita berusaha menerima diri kita seperti adanya atau berusaha untuk merubahnya. 2. Pengaruh image kelompok terhadap perilaku kesehatan.

Image seorang individu sangat dipengaruhi oleh image kelompok.

3. Pengaruh identifikasi individu kepada kelompok sosialnya terhadap perilaku kesehatan.

(45)

2.4. Landasan Teori.

(46)

2.5. Kerangka Berpikir Faktor internal (individu):

- Pengetahuan - Pengalaman - Sikap

- Konsep cantik

Kosmetik pemutih perilaku

pekerja perempuan

Faktor Eksternal:

- Sumber informasi dan referensi

- Lingkungan fisik dan sosial

(47)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis dari penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif pendekatan kualitatif, dengan menggunakan paradigma alamiah. Ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientifik paradigm (paradigma keilmuan) dan naturalistic paradigm (paradigma alamiah). Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivisme sedangkan paradigma alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis (Moleong,2000:30). Fenomenologi berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berfikir maupun bertindak orang-orang itu sendiri.

Perilaku yang tampak di permukaan baru bisa dipahami manakala bisa mengungkap apa yang tersembunyi dalam dunia kesadaran atau dunia pengetahuan si pelaku. Sebab realitas itu sesungguhnya bersifat subjektif dan maknawi. Ia bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang (Bungin, 2007:44). Dalam penelitian ini fenomena yang digali adalah perilaku penggunaan kosmetik pemutih pada pekerja perempuan penyapu jalan dengan mencari faktor-faktor yang mendasari perilaku tersebut.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

(48)

hasil penelitian sebelumnya (Yani, 2008) diketahui penggunaan kosmetik (bedak putih dan pelembab) pada pekerja perempuan penyapu jalan di kota Medan masih relatif tinggi (60% dari responden). Pengamatan dan wawancara saya lakukan di wilayah kecamatan Medan Polonia, Medan Johor dan Medan Amplas, yang merupakan lintasan jalan-jalan protokol sehingga pekerja perempuan penyapu jalan tersebut mudah dijumpai. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2009 sampai dengan Juli 2009.

3.3. Informan

Informan pada penelitian ini adalah pekerja perempuan penyapu jalan yang memakai kosmetik pemutih maupun yang tidak memakai kosmetik pemutih, berumur antara 33 tahun - 57 tahun dengan rata-rata lama bekerja sebagai penyapu jalan + 10 tahun pada Dinas Kebersihan kota Medan, dengan domisili di kota Medan dan juga di luar kota Medan.

(49)

Selain itu juga yang menjadi alasan lain adalah ketika dalam melakukan penjajakan awal, peneliti sudah mengenal salah satu pekerja perempuan penyapu jalan yang sudah bekerja sebagai penyapu jalan + 10 tahun di kelurahan Madras, dan merupakan informan pertama bagi peneliti yang peneliti sebut dengan Bu Molek. Peneliti mengenal informan tersebut, karena dia pernah bekerja pada kakak peneliti sebagai tukang cuci gosok di rumahnya.

Pada pertemuan pertama dengan Bu Molek, peneliti menanyakan tentang kabarnya dan juga mengomentari penampilannya, yang sekarang kelihatan lebih cantik, wajahnya nampak lebih putih dari yang peneliti ketahui sebelumnya. Seraya menanyakan “Sekarang pakai bedak apa sih? kok lebih putih dan cantik ?”. “Oh, aku sekarang cuma pakai RDL aja”, jawabnya. Kemudian peneliti menanyakan lebih lanjut, “Bisa nggak kapan-kapan kita ngomong tentang kosmetik yang kakak pake”?. “Bisa aja, Tapi nantilah kalau udah pas jam istirahat, kami kumpul di posko”, jawabnya.

(50)

tempat berteduh, setelah lelah bekerja menyapu sampah di sepanjang jalan yang merupakan area yang menjadi kewajiban mereka.

Ternyata di posko tersebut berkumpul 6 (enam) orang pekerja perempuan penyapu jalan, yang semuanya peneliti jadikan informan. Peneliti menanyakan kepada mereka di mana lagi tempat yang biasa dijadikan posko kelompok lainnya, mereka menyebutkan beberapa tempat di antaranya di jalan Imam Bonjol dan di jalan Sudirman. Pada posko di jalan Imam Bonjol peneliti bertemu dengan 5 (lima) orang pekerja perempuan penyapu jalan yang lain, sedangkan pada posko di jalan Sudirman peneliti tidak berjumpa dengan seorang pun. Posko di jalan Imam Bonjol juga merupakan teras samping sebuah mess, yang di halamannya terdapat kamar mandi. Lain halnya dengan posko di jalan Sudirman yang merupakan sebuah rumah kosong yang tidak berpenghuni, mereka menggunakan bangunan bagian samping rumah tersebut, yang juga ada kamar mandinya. Demikianlah dari satu posko ke posko yang lain peneliti mencoba menemui para informan. Hal yang sama juga peneliti lakukan di kelurahan Amplas kecamatan Medan Amplas dan di Simpang Limun kecamatan Medan Johor.

Hasil wawancara dengan informan, peneliti mendapatkan alasan-alasan yang mendukung perilaku mereka dalam menggunakan kosmetik pemutih, mulai dari pengetahuan, pengalaman, sikap, sumber informasi, lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lain sebagainya yang memengaruhi mereka dalam memilih dan memakai kosmetik pemutih ataupun tidak memakai kosmetik pemutih.

(51)

mengenal mereka dengan baik di tempat istirahat (posko) mereka. Disamping itu peneliti juga mewawancarai beberapa orang petugas dari berbagai instansi seperti Dinas Kebersihan kota Medan, Balai Besar POM Medan dan Klinik Bestari. Dengan kata lain informan yang ada dalam tesis ini bukan hanya semata-mata pekerja perempuan penyapu jalan.

Hal ini peneliti lakukan, untuk melengkapi data dan jawaban dari berbagai pertanyaan yang terus berkembang dalam benak peneliti mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kosmetik pemutih tersebut. Dengan demikian akan memperkuat informasi yang peneliti peroleh dari pekerja perempuan penyapu jalan sehingga kedalaman informasi dapat tercapai sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Dalam mengumpulkan data, peneliti memastikan bahwa catatan harian hasil wawancara dengan informan dan catatan observasi telah terhimpun.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer, yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan (observasi). Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan dengan mendatangi tempat istirahat dan tempat bekerjanya. Pengamatan dilakukan terhadap subjek penelitian yang berkaitan dengan tingkah laku dan tindakan perilaku kesehatannya dalam setting alamiah. Alat bantu yang digunakan peneliti adalah alat tulis, tape recorder dan kamera.

(52)

penyapu jalan pada saat mereka telah selesai melakukan pekerjaannya. Data-data yang peneliti kumpulkan melalui wawancara terhadap pekerja perempuan penyapu jalan merupakan bagian yang penting dalam mengkaji penelitian ini. Wawancara dengan penyapu jalan dilakukan dengan pendekatan selayaknya bercerita sebagai teman yaitu mengangkat awal pembicaraan yang sederhana sembari mereka merapikan sapu ijuk yang mereka gunakan untuk menyapu jalan, dan sambil menunggu jemputan mereka untuk kembali pulang dan biasanya waktu tersebut antara 30-45 menit.

Hasil wawancara atau percakapan mendalam serta hasil observasi, peneliti tulis langsung di tempat, tetapi ada juga percakapan yang peneliti tulis setelah berlalu beberapa saat atau sekian lama, hal ini terjadi misalnya melihat ketidaknyamanannya melihat alat-alat tulis yang peneliti gunakan, sehingga menimbulkan kekakuan dalam pembicaraan tersebut. Hal ini sangat rentan terhadap kemungkinan untuk terlupakannya beberapa data yang peneliti peroleh, oleh sebab itu kemampuan peneliti mengingat atas apa yang baru saja peneliti dengar dari para informan sangat dibutuhkan. Oleh karenanya peneliti melakukan pengambilan data kepada informan tidak hanya sekali kunjungan saja melainkan lebih dari 2 (dua) kali kunjungan dengan mempertajam setiap pencarian informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

Dalam mengambil data, peneliti juga menggunakan alat bantu seperti handphone yang memiliki recorder dengan alasan penggunaan handphone ini tidak

(53)

Hambatan-hambatan yang peneliti temukan pada penelitian ini adalah pada saat awal mencari tempat posko penyapu jalan tersebut. Hal ini menjadi sulit karena di beberapa tempat yang ditunjukkan, oleh seorang petugas pertamanan yang peneliti jumpai di taman kota di jalan Sudirman, peneliti tidak menjumpai seorang pun pekerja perempuan penyapu jalan. Mereka memiliki beberapa posko untuk tempat mereka beristirahat dan melakukan aktivitas lainnya. Setelah peneliti mendatangi beberapa tempat yang biasanya menjadi posko mereka, seperti di jalan Diponegoro, di jalan Sudirman dan di jalan Imam Bonjol dan tidak bertemu dengan seorang pun dari mereka, akhirnya peneliti menanyakan setiap orang yang berada di daerah posko tersebut. Ternyata para pekerja perempuan penyapu jalan tersebut biasanya sudah pulang jika sudah lewat jam 10.00 WIB pagi atau pun kalau lebih paling hanya 10-15 menit saja.

Akhirnya keesokan harinya, peneliti memutuskan untuk mencari para pekerja perempuan penyapu jalan pada posko mereka sebelum jam 10.00 WIB pagi dan akhirnya peneliti pun bertemu dengan mereka di posko di jalan Diponegoro. Ketika berada di tempat posko tersebut peneliti berbincang-bincang dengan mereka dan menemukan beberapa pekerja perempuan penyapu jalan ada yang memakai kosmetik pemutih dalam kesehari-hariannya. Berdasarkan keterangan mereka juga peneliti mengetahui beberapa tempat yang menjadi posko pekerja perempuan penyapu jalan lainnya. Dalam pengumpulan data di lapangan, peneliti juga melakukan pengamatan atas aktivitas yang dilakukan oleh penyapu jalan tersebut.

(54)

tanpa sungkan, tapi pada pertemuan berikutnya dia mulai bertanya ”Sebenarnya untuk apa sih bu Pupun ?”, peneliti menjawab ada tugas dari kampus mengenai kosmetik pemutih. Dia mungkin heran, peneliti kok masih bertanya terus. Tetapi kedekatan peneliti dengan informan tersebut, memudahkan peneliti untuk ”masuk sebagai peneliti” dalam lingkungan pekerja perempuan penyapu jalan tersebut.

Pengumpulan data dimulai dari jenis kosmetik yang digunakan, diperoleh dari mana, macam-macam jenis kosmetik, dan pendapat mereka tentang kecantikan. Dari perbincangan dengan salah seorang pekerja perempuan penyapu jalan yang merupakan informan dalam penelitian ini, Bu Molek menyatakan bahwa dia menggunakan kosmetik pemutih sebagai kosmetik yang dipakainya sehari-hari, sedangkan Jelita mengaku pernah menggunakan kosmetik pemutih dan sekarang tidak menggunakannya lagi. Berikutnya dari perbincangan secara berkelanjutan peneliti memperoleh informasi tentang bagaimana pertama kali mereka menggunakan kosmetik pemutih tersebut. Dalam hal ini Bu Molek bercerita kepada peneliti bahwa pertama kali dia tertarik menggunakan kosmetik pemutih tersebut karena dia melihat wajah temannya yang semakin hari semakin cantik.

(55)

3.5. Metode Analisis Data

Analisis data yang peneliti lakukan adalah dengan terlebih dahulu mencari sebab dekat yang mendasari perilaku pekerja perempuan dalam menggunakan kosmetik pemutih. Kemudian berkembang dengan mencari sebab akibat dengan hal-hal lain yang masih berhubungan dan tetap berada dalam konteksnya yaitu mengenai hal-hal yang masih berhubungan dengan kosmetik pemutih. Analisis seperti ini dinamakan dengan analisis progressive contextualization, yaitu suatu metode penelitian dalam ekologi manusia yang dikembangkan oleh seorang ahli antropologi Andrew P.Vadya (1983: 265).

”....these prosedures involve focusing on significant human activities or people-environment interactions and then explaining these interactions by placing them within progressively wider or denser contexis”. (prosedur ini melibatkan fokus pada aktivitas-aktivitas manusia atau interaksi manusia dan lingkungannya dan menjelaskan interaksi ini dengan menempatkan mereka dalam konteks yang lebih luas dan lebih padat secara progressif).

(56)

Contohnya ketika dalam benak peneliti muncul pertanyaan ’Mengapa kosmetik pemutih yang tidak terdaftar dan mengandung bahan berbahaya dapat digunakan pekerja perempuan penyapu jalan?’, maka peneliti mencoba menganalisa dari sebab dekatnya, yaitu karena kosmetik pemutih tersebut tersedia di pasaran yang dengan mudah mereka peroleh. Dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan, ”Dari mana mereka memperolehnya?, ”Bukankah ada Balai Besar POM Medan yang mengawasi peredaran kosmetik?”. ”Apakah kosmetik tersebut masuk secara ilegal?”, Bagaimana dengan Bea Cukai?, ternyata berdasarkan data dari Bea Cukai selama 7 (tujuh) bulan terakhir tidak ada pemasukan yang ilegal. Kalau begitu artinya kemungkinan kosmetik tersebut dapat juga berasal dari dalam negeri, mungkinkah ada pemalsuan kosmetik?. Demikianlah cara peneliti, mengumpulkan data sekaligus menganalisanya.

Selain hal tersebut di atas peneliti juga melakukan analisis data secara ”on going analysis” yaitu analisis yang dilakukan ketika data dikumpulkan melalui wawancara,

baik terhadap informan maupun terhadap orang-orang yang berada di lingkungan informan tersebut, serta melalui hasil pengamatan dari waktu ke waktu selama berada di lapangan. Sehingga dapat diperoleh gambaran tuntas tentang perilaku pekerja perempuan penyapu jalan terhadap penggunaan kosmetik pemutih dan mengetahui makna serta proses dari perilaku tersebut.

(57)
(58)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Hasil temuan yang peneliti dapatkan di lapangan, menggambarkan kota Medan sebagai lokasi penelitian memberikan kontribusi bagi pekerja perempuan penyapu jalan dalam menggunakan kosmetik pemutih. Begitu juga halnya dengan konsep kecantikan, karakteristik dan sumber informasi informan memberikan pengaruh terhadap perilaku penggunaan kosmetik pemutih.

4.1. Kota Medan dan Kosmetik Pemutih

Kota Medan, sebagai sebuah kota, menurut Daldjoeni (1978) dalam Menno (1992:35), dapat didekati dari dua aspek, yaitu aspek fisik (pengkotaan fisik) dan aspek mental (pengkotaan mental). Aspek fisik meliputi geografis, luas wilayah, iklim, kepadatan penduduk dan tataguna tanah yang non agraris. Sedangkan aspek mental berhubungan dengan orientasi nilai serta kebiasaan/gaya hidup masyarakat kota. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan aspek fisik kota Medan seperti geografis, iklim dan aspek mental kota Medan seperti gaya hidup masyarakatnya memberikan kontribusi bagi informan terhadap penggunaan kosmetik pemutih.

(59)

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar atau 265,10 Km2 atau sama dengan 3,6% dari total luas wilayah provinsi Sumatera Utara, dengan jumlah penduduk pada akhir tahun 2007 mencapai 2.999.851 jiwa (Dinas Kebersihan Pemko Medan). Di samping itu sebagian wilayah kota Medan merupakan tanah non agraris yang diperuntukkan bagi perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan dan bandara. Dengan demikian kota Medan memiliki modal dasar pembangunan dengan jumlah penduduk dan letak geografis serta peranan regional yang relatif besar (Pemko Medan, 2006).

Bila dilihat dari segi perkembangannya, kota Medan seperti halnya kota Surabaya dan kota Ujung Pandang cenderung untuk menjadi sangat besar dan menjadi metropolitan (Menno, 1992:26). Sebagai salah satu pusat perekonomian regional terpenting di pulau Sumatera dan salah satu dari tiga kota metropolitan terbesar di Indonesia, kota Medan memiliki posisi dan kedudukan strategis sebagai pintu gerbang utama bagi kegiatan perdagangan barang dan jasa secara regional/internasional di kawasan barat Indonesia, termasuk juga di dalamnya perdagangan kosmetik.

Berdasarkan data dari Bea Cukai Belawan, selama periode Januari sampai dengan Juli 2009, diperoleh gambaran bahwa kosmetik yang masuk ke Kota Medan melalui Pelabuhan Belawan bernilai lebih kurang 6 (enam) milyar rupiah. Kosmetik yang masuk ke kota Medan melalui Pelabuhan Belawan tersebut merupakan sebagian dari kosmetik yang diperdagangkan di Kota Medan, selain yang berasal dari Jakarta dan daerah lainnya.

(60)

mengandung bahan berbahaya serta tidak terdaftar masih banyak beredar di pasaran. Bahkan menurut Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan), kota Medan termasuk tiga daerah yang paling banyak peredaran kosmetik berbahaya selain Jakarta dan Bali. Hasil razia kosmetik berbahaya di beberapa Balai POM berujung dengan penemuan gudang-gudang yang menyimpan ribuan kosmetik yang tergolong wajib dimusnahkan oleh Badan POM (http://www.kompas.com/read/xml). Di Medan, Balai Besar POM telah menyegel tiga gudang kosmetik, dua diantaranya berada di Pasar Sambas dan satu gudang berlokasi di jalan Rahmadsyah, kelurahan Kotamatsum

(http://waspada.co.id/).

Nilai produk kosmetik yang tidak terdaftar dan kosmetik yang mengandung bahan berbahaya yang berhasil di razia oleh Balai POM Medan cukup fantastis, pada tanggal 28 April 2009 dilakukan pemusnahan kosmetik ilegal senilai 2 milyar rupiah dan pada tanggal 1 Juli 2009 berhasil disita ribuan kosmetik bermasalah senilai 1 (satu) milyar rupiah (Waspada,3 Juli 2009). Angka–angka ini menunjukkan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya dan yang tidak terdaftar di kota Medan cukup marak. Maraknya peredaran kosmetik berbahaya tersebut, kemungkinan juga menunjukkan bahwa peminatnya pun cukup banyak. Menurut petugas pemeriksaan Balai Besar POM Medan, salah satu yang menjadi alasan bagi pedagang di pasaran tetap menjual kosmetik yang dilarang, karena kosmetik tersebut banyak dicari oleh pembeli, termasuk di dalamnya pekerja perempuan penyapu jalan, seperti Jelita, Jum, Bu Molek dan Bu Sun.

(61)

termasuk produk yang ilegal yaitu tidak terdaftar dan positif mengandung bahan berbahaya (merkuri). “Natural 99” tersebut merupakan kosmetik pemutih buatan Cina. Demikian Juga kosmetik pemutih yang dipakai oleh Bu Sun dan Bu Molek bermerek “RDL” ternyata juga tidak terdaftar, buatan Taiwan dan mengandung hidroquinon dan asam retinoat.

Selain dua merek kosmetik pemutih di atas, masih banyak lagi kosmetik pemutih yang mengandung bahan berbahaya yang kemungkinan beredar di kota Medan. Tabel berikut ini memuat tentang kosmetik yang mengandung bahan berbahaya yang diinformasikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

Tabel 4.1. Kosmetik yang Mengandung Bahan Berbahaya No. Nama Kosmetik Nama & Alamat Beauty 3 in 1 complete Make-Up Cream 4. Caike Anti Acarus Pearl

(62)

10. Puie Beauty Gene Whitening Clearing Facial Spots Cream

- Hg (merkuri)

11. QL Jing Ban Su Super Day Cream & Night Cream

Qian Li Cosmetic Institute

Hg (merkuri)

12. QL Super 7 Day Whiten & Freckle Dispel Day Cream & Night Cream

Qian Li Cosmetic

17. Yoko Whitening Cream/Whitening Cream Yoko

Siam Yokom Co.LTD Made in Thailand

Hg (merkuri)

18. Maxi-peel Solution Exfoliant 20. Maxi-peel Papaya

whitening Soap

23. Meixue Lipstik Zhejiang Yiwu Meixue Cos

Merah K.10 24. SanKe Zhen Green Tea

Toothpaste

Aksara Cina Diethylene Glikol (DEG) 25. MAXAM Toothpaste

with Fluoride Spearmint

(63)

27. Yen Lye YL II Day Cream

Yu Lin Co.Ltd Taipei Taiwan

Hg (merkuri) 28. Yi Fuli Day and Night

Cream

Tidak Tercantum Hg (merkuri) 29. ARCHE Pearl Cream Tidak Tercantum Hg (merkuri) 30. Cecily Beauty Cream

New Formula

- Hg (merkuri)

31 Cream Mutiara(Pagi) dan Cream kuning(Malam)

Hongkong Hg (merkuri) 32. CB Special Whitening

Come Beauty Pearl Cream

Taiwan Hg (merkuri)

33. Donna Peapis Cream Donna Cosmetic Hg (merkuri) 34. Krem Kuning dan Putih

(aksara cina)

Tidak Tercantum Hg (merkuri) 35. Leeya Whitening Daily

and Night Use

Cina 36. Leving Pearl Cream Meita Chemical

Works-Taiwan

Hg (merkuri) 37. Paimei A dan B Anti

Freckles

- Hg (merkuri)

38. Qubanyifushuang Cream Cina Hg (merkuri)

39. White Jade Pearls Paste Moisture & Health

Taiwan Hg (merkuri)

40. Ai Zhuang Lipstick (No. 42. Eren Lipstick with

Vitamin E. Kemasan Primer :warna biru, hijau, merah

(No.01;02;03;04;05;08;1 0;11;12)

Tidak Tercantum K3 (CI Pigment Red 53)

43. Eren Water Shine & Crystal Lipstick & Lip Gloss (5;8;12;14;18)

Tidak Tercantum K3 (CI Pigment Red 53)

44. Huadi Lipstick Tidak Tercantum K3 (CI Pigment Red 53)

45. Hengfang Lipstick No. (09;42)

Shantou Hengfang Cosmetics Ltd.Cina

K3 (CI Pigment Red 53)

46. Hofine Eye Shadow/Lip Gloss/Powder Cake

Shantou Hengfang Cosmetics Ltd.Cina

(64)

47. Leigi Make Up Kit - Merah K.10 (Rhodamin B) 48. Laurel Cosmetics

Lipstick No:(027;098)

Tidak Tercantum Merah K.3 (CI Pigment Red 53) 49. Qibin Lipstick (2) Tidak Tercantum Merah K.10

(Rhodamin B) K3 (CI Pigment Red 53) 50. Siella Lipstick Tidak Tercantum Merah K.3 (CI

Pigment Red 53)

Perdagangan kosmetik di kota Medan dapat dikatakan hampir merata di semua tempat penjualan. Di pusat-pusat penjualan seperti di pasar-pasar tradisional, plaza-plaza, kedai-kedai, dapat dengan mudah diperoleh berbagai merek kosmetik termasuk kosmetik pemutih. Seperti halnya Jum yang membeli “Natural 99” di pasar tradisional Simpang Limun dan Jelita yang membeli kosmetik pemutih yang sama di kedai keling di daerah “Kampung Keling”, Jelita menuturkan:

(65)

Bagi masyarakat kota Medan, “Kampung Keling” merupakan suatu kawasan yang memiliki arti tersendiri, yaitu sebagai kawasan yang dulunya merupakan salah satu daerah elit di kota Medan. Selain itu juga, sampai sekarang pun “Kampung Keling” masih dikenal sebagai daerah yang menjual barang-barang bagus dan berkelas. Wajar saja bila Jelita merasa kosmetik pemutih merek Natural “99” yang dibelinya di Kampung Keling lebih bagus dari tempat lainnya, apalagi memang reaksi yang dirasakannya ketika memakai kosmetik tersebut lebih cepat, dibandingkan bila dibelinya di swalayan.

Sementara itu Bu Sun, memperoleh kosmetik pemutih dari anaknya yang membeli kosmetik tersebut di Medan Mall1). Karena kebetulan anaknya juga bekerja sebagai penyapu jalan di sekitar Medan Mall. Sedangkan Bu Molek menyatakan bahwa ia memperoleh kosmetik pemutihnya dengan membeli di swalayan dekat Simpang Kayu Besar Tanjung Morawa.

Hal di atas menunjukkan walaupun telah dilakukan pengawasan keluar masuk kosmetik (salah satunya melalui pelabuhan Belawan) oleh Bea Cukai dan razia yang dilakukan oleh Balai Besar POM Medan, masih saja kosmetik tidak terdaftar dan mengandung bahan berbahaya bisa sampai ke tangan Jelita, Jum dan Bu Molek. Kemudahan mereka memperoleh kosmetik yang diinginkan dengan harga yang relatif murah menurut peneliti merupakan situasi dan kondisi yang turut mendorong mereka dalam menggunakan kosmetik tersebut.

1

Gambar

Tabel 4.1. Kosmetik yang Mengandung Bahan Berbahaya
Tabel 4.2. Merek Bedak dan Kosmetik Pemutih yang Digunakan
TABEL 5.1.   Kosmetik Mengandung Bahan Berbahaya dan Zat Pewarna yang Dilarang.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku berisiko tinggi pada pekerja pengelasan terdapat pada kategori tidak menggunakan alat pelindung diri.. Pada variabel anteseden

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa Perilaku Sosial Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jalan

Hubungan Lingkungan Tempat Kerja dan Karakteristik Pekerja Terhadap Kapasitas Vitas Paru (KVP) Pada Pekerja Bagian Plant PT.. Sibelco Lautan Minerals Jakarta

Bila sekarang anda tidak merokok, apakah dulu anda pernah

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ GAMBARAN PERILAKU TIDAK AMAN PADA PEKERJA PENGRAJIN PERABOT RUMAH TANGGA DI TOKO MULIA RATTAN, JALAN GATOT

4 Dermatitis kontak akibat kerja memiliki angka kejadia yang tinggi dibandingkan semua kasus kulit yang berhubungan dengan pekerjaan9. 5 Hal ini terjadi

Judul Tesis : Pengaruh Pengetahuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja terhadap Perilaku Pekerja Konstruksi pada Proyek Jalan Tol Nusa Dua – Ngurah Rai – Benoa.. Dengan ini

Penelitian ini meneliti tentang pengaruh motivasi, persepsi, belajar, dan sikap terhadap perilaku konsumsi muslimah untuk produk kosmetik halal dan juga baik khususnya di