Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI
ALIRAN SUNGAI BELAWAN KECAMATAN PANCUR BATU
DAN KECAMATAN SUNGGAL KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
OLEH:
TETTY RINI REBECCA SIREGAR 050805062
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMETERA UTARA
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI
ALIRAN SUNGAI BELAWAN KECAMATAN PANCUR BATU
DAN KECAMATAN SUNGGAL KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
OLEH:
TETTY RINI REBECCA SIREGAR 050805062
Pembimbing II Pembimbing I
Drs. Arlen H. J., M.Si Mayang S. Y., S.Si., M.Si
NIP. 19581018 199003 1001 NIP. 132 206 571
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMETERA UTARA
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis Panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah
memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan hasil
penelitian yang berjudul “Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran
Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten
Deli Serdang” dalam waktu yang telah ditetapkan.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si dan Bapak Drs. Arlen H. J.,
M.Si, selaku Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II, yang telah banyak
memberikan dorongan, bimbingan, arahan, waktu serta perhatian yang besar terutama
saat Penulis memulai penulisan hingga penyusunan hasil penelitian ini selesai. Penulis
juga ingin mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dra. Nunuk Priyani M.Sc, selaku
Dosen Pembimbing Akademik dan juga kepada Bapak Dr. Dwi Suryanto, M.Sc
sebagai Ketua Departemen Biologi FMIPA USU.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua
orang tua penulis yang sangat penulis cintai (P. Siregar dan E. br. Hutagalung) atas
ketulusan cinta, doa, nasihat dan segala dukungan yang mereka berikan kepad penulis.
Kepada seluruh keluarga besar penulis kak Rumondang Siregar, S.H dan Bang
Sitompul, Kak Ruth Pita Siregar, S.P dan Bang Pardede, Kak Renta Siregar, S.Sos dan
Bang Simatupang, Bang Daniel Siregar, Sarah Siregar, keponakkan tersayang Martha
Sitompul dan Markus Sitompul, terimakasih atas senyum, dan semangat yang selalu
kalian berikan kepadaku. Tuhan selalu memberikan yang terbaik buat kita semua.
Amien.
Kepada sahabat-sahabat tersayangku Biologi 2005 (Erna, Rico, Julita, Riris,
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Andini, Dwi, Susanty Siagian, Sarmut, Fendi, Kabul, Irfan, Winda, Widya, Wulan,
Dini, Fifi, Putri, Rahmad, Juned, Andi, Maysarah, Sarah, Siti, Fatimah, Eri, Yanti,
Susi, Nikmah, Kalista, Elfrida, Utin, Diana, Umi, Seneng, Mustika, Naverta, Nia)
terimakasih atas kebersamaan yang telah kita selama ini, kalian membuat hidupku
lebih berwarna. Kepada tim lapangan Inchai, Desi, Jayana, Reymond, Anri, Erna,
terimakasih atas semangat dan bantuan kalian, sukses buat kita semua. Kepada
Keluarga besar Biologi USU terimakasih atas senyum tulus yang kalian berikan pada
penulis. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu,
terimakasih atas dukungan, semangat, dan kasih sayang kalian kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan hasil
penelitian ini, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Sebelum dan sesudahnya Penulis
mengucapkan terimakasih.
Medan, November 2009
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
ABSTRAK
Penelitian tentang ”Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang” telah dilakukan pada bulan Mei 2009 sampel diambil dari 5 stasiun penelitian dan dilakukan 15 kali perulangan pada setiap Stasiun. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan metode ”Purposive Random Sampling”. Sampel diambil dengan menggunakan Surber net kemudian diidentifikasi di Laboratorium Sistematika Hewan Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dari hasil penelitian didapatkan sebanyak 33 genus makrozoobenthos yang terdiri dari 4 filum, 5 kelas, 11 ordo, dan 22 famili. Nilai kepadatan populasi tertinggi didapatkan dari genus Pomatiopsis sebesar 101,48 ind/m2 yang ditemukan pada Stasiun V. Indeks Keanekaragaman (H’) makrozoobenthos tertinggi didapatkan pada Stasiun II sebesar 2,42 dan terendah pada Stasiun V sebesar 0,58. Indeks Keseragaman makrozoobenthos tertinggi didapatkan pada Stasiun II sebesar 0,92 dan yang terendah pada Stasiun V sebesar 0,28. Indeks Similaritas tertinggi didapatkan antara Stasiun I dan Stasiun III sebesar 64,51% dan terendah antara Stasiun II dan Stasiun V sebesar 27,27%. Dari hasil analisis korelasi pearson menunjukkan bahwa penetrasi cahaya, intensitas cahaya, DO, kejenuhan oksigen berkorelasi searah terhadap keanekaragaman makrozoobenthos, sedangkan temperatur, kecepatan arus, pH, BOD5, COD, dan kandungan organik substrat berkorelasi berlawanan terhadap
keanekaragaman makrozoobenthos.
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
ABSTRACT
Research about the Diversity Of Macrozoobenthic in Belawan river flow Pancur Batu Subdistrict and Sunggal Subdistrict Deli Serdang Regency have been done in May 2009 and from this research we want to know Sampel were collected from five Stations by Purposive Random Sampling method. Surber net’s was used to taken the sampel. Samples were identified in Laboratory Animal Systematic, Department of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Sciences of North Sumatera University, Medan.
The result showed that there were found 33 genera of macrozoobenthic within 4 phylum, 5 class, 11 ordo, and 22 family. The highest population density was
Pomatiopsis with 101,48 ind/m2 that was founded in Station five. The highest
diversity index (H’) of makrozoobenthic was founded in Station two with 2,42 and the smallest in Station five with 0,58. The highest equitability index was founded in Station two with 0,92 and smallest in Station five with 0,28. The highest similarity index was found between Station one and Station three with 64,51% and smallest between Station two and Station four with 27,27%. From according to the analysis of Pearson Correlation, penetration, light intensity, DO, Oxygen saturation has the direct correlated to the diversity of macrozoobenthic, while light temperature, current velocity, pH, BOD5, COD, and substrat organic has the opposite correlated to the
diversity of macrozoobenthic.
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
DAFTAR ISI
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Kata Pengantar 1.3Tujuan Penelitian 1.4Hipotesis
2.4 Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobenthos
Bab 3 Bahan dan Metoda
Bab 4 Hasil dan Pembahasan
4.1 Klasifikasi Makrozoobenthos 4.2 Parameter Abiotik
4.3Analisis Korelasi Pearson Dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver. 13.00
Bab 5. Kesimpulan dan Saran
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
DAFTAR TABEL
Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor
Fisik Kimia Perairan
Klasifikasi Makrozoobenthos Yang Didapatkan di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang
dNilai Kepadatan Populasi (ind/m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian
Nilai KR>10 % dan FK>25 % dari Makrozoobenthos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian
Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian
Indeks Similaritas (IS) (%) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian
Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Penelitian
Nilai Analisis Korelasi Pearson Antara Indeks Keanekaragaman Makrozoobenthos dengan Faktor Fisik Kimia Perairan
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian Stasiun I 10
Gambar 3.2 Lokasi Penelitian Stasiun II 11
Gambar 3.3 Lokasi Penelitian Stasiun III 11
Gambar 3.4 Lokasi Penelitian Stasiun IV 12
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 41 Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 42
Lampiran C. Bagan Kerja Pengukuran COD Dengan Metode Refluks 43 Lampiran D. Bagan Kerja Pengukuran Kadar Organik Substrat 44 Lampiran E. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai
Besaran Temperatur Air 45
Lampiran F. Citra Satelit Lokasi Penelitian 46
Lampiran G. Foto Makrozoobenthos Yang Didapatka Pada Setiap
Stasiun Penelitian 47
Lampiran H. Hasil Analisis Korelasi Pearson 53
Lampiran I. Data Mentah Makrozoobenthos Yang Didapatkan Pada
Setiap Stasiun Penelitian 54
Lampiran J. Contoh Hasil Perhitungan 59
Lampiran K. Analisis COD dan Kandungan Organik Substrat Pada
Setiap Stasiun Penelitian 61
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara
alamiah, mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir (Loebis et
al, 1993). Selanjutnya dinyatakan bahwa air hujan yang jatuh di atas permukaan bumi
dalam perjalannya sebagian kecil menguap dan sebagian besar menyerap ke dalam
tanah dan ada juga yang mengalir ke tempat-tempat yang lebih rendah, kemudian
menjadi alur sedang seterusnya mengumpul menjadi satu alur besar atau utama yang
disebut dengan sungai dan terus mengalir ke laut. Dengan demikian dapat dikatakan
sungai berfungsi menampung curah hujan dan mengalirkannya ke laut.
Sungai bagian dari ekosistem air tawar yang ditandai dengan adanya aliran
yang diakibatkan karena adanya arus. Arus adalah aliran air yang terjadi karena
adanya perubahan vertikal per satuan panjang (Asdak, 1995). Selanjutnya dijelaskan
bahwa sungai juga ditandai dengan adanya anak sungai yang menampung dan
menyimpan serta mengalirkan air hujan ke laut melalui sungai utama.
Sungai merupakan suatu sistem yang dinamis dengan segala aktivitas yang
berlangsung antara komponen-komponen lingkungan yang terdapat di dalamnya.
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
termasuk makrozoobenthos yang dapat memberikan gambaran kualitas dan kuantitas
dari hubungan ekologis yang terdapat di perairan tersebut (Barus, 2004).
Wargadinata (1995) menyatakan bahwa, sungai merupakan salah satu perairan
yang dipengaruhi oleh banyak faktor, baik oleh faktor alam maupun aktivitas manusia.
Pada umumnya aktivitas manusia yang mempengaruhi ekosistem sungai meliputi
kegiatan pertanian, pemukiman, dan industri. Secara langsung atau tidak langsung
sampah atau limbah pertanian, pemukiman, dan industri yang masuk ke sungai dapat
mengakibatkan perubahan terhadap sifat fisik, kimia maupun sifat biologi sungai.
Sungai juga mempunyai fungsi yang sangat penting dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat, yaitu sebagai sarana transportasi, mandi, mencuci, dan
sebagainya. Tetapi sungai dapat menjadi malapetaka apabila tidak dijaga, baik dari
segi manfaatnya maupun pengamanannya, misalnya dengan tercemarnya air oleh
zat-zat kimia akan mempengaruhi kehidupan yang ada disekitarnya dan merusak
lingkungan (Subagyo, 1992).
Sungai Belawan merupakan salah satu sungai yang secara keseluruhan
mempunyai panjang ± 72 km, yang mengalir dari hulu (Kuta Limabaru) sampai hilir
(Selat Malaka). Disepanjang aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan
Kecamatan Sunggal terdapat berbagai macam aktivitas manusia, seperti pemukiman
penduduk, pertanian, rekreasi, lalu lintas truk, PDAM Tirtanadi Sunggal, dan kegiatan
industri. Dengan adanya berbagai aktivitas tersebut dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap kualitas perairan, diantaranya perubahan faktor fisik maupun kimia
perairan, sehingga akan berakibat buruk bagi kehidupan organisme air diantaranya
adalah makrozoobenthos. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul ”Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos di
Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
1.2 Permasalahan
Beragamnya aktivitas di Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan
Kecamatan Sunggal, baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh
terhadap faktor fisik kimia perairan, dimana perubahan faktor fisik kimia perairan
tersebut akan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobenthos di perairan tersebut,
namun demikian sampai saat ini belum diketahui bagaimanakah keanekaragaman
makrozoobenthos di aliran Sungai Belawan tersebut.
1.3 Tujuan Penelitian
a. Mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos di aliran Sungai Belawan
Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.
b. Mengetahui hubungan faktor fisik kimia terhadap keanekaragaman
makrozoobenthos di aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan
Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.
1.4 Hipotesis
a. Terdapat perbedaan keanekaragaman makrozoobenthos pada setiap stasiun
penelitian di aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan
Sunggal Kabupaten Deli Serdang.
b. Terdapat hubungan faktor fisik-kimia perairan terhadap keanekaragaman
makrozoobenthos di aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan
Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
a. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman makrozoobenthos di aliran
Sungai BelawanKecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli
Serdang.
b. Memberikan informasi yang berguna bagi pihak yang membutuhkan tentang
kondisi lingkungan perairan Sungai Belawan berkaitan dalam upaya menjaga
kelestariannya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Sungai
Ekosistem air yang terdapat di daratan secara umum dibagi atas 2 yaitu perairan
berarus tenang (perairan lentik), misalnya danau, rawa, waduk, dan sebagainya, serta
perairan berarus deras (perairan lotik), misalnya sungai, kali, kanal, parit, dan
sebagainya. Perbedaan utama antara perairan lotik dan lentik adalah dalam kecepatan
arus air. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi
akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama, sedangkan perairan lotik
umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi, disertai perpindahan massa air yang
berlangsung dengan cepat (Barus, 2004).
Sungai sebagai salah satu perairan lotik mempunyai zonasi longitudinal dimana
pada aliran air dapat dijumpai tingkat yang lebih tinggi dari hulu ke hilir (Odum,
1994). Perubahan lebih terlihat pada bagian atas atau hulu dari aliran air karena
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
biologi di sepanjang aliran sungai dapat dipengaruhi oleh kedalam aliran, komposisi
substrat dan kecepatan arus (Whitten et al, 1987).
2.2 Pencemaran Sungai
Pada umumnya ekosistem sungai dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai keperluan,
diantaranya perikanan, transportasi air, tempat akhir pembuangan limbah, industri,
pertanian, irigasi, rekreasi (pemandian) dan untuk kebutuhan domestik misalnya
kebutuhan air minum dan kebutuhan sehari-hari (Loebis et al, 1993).
Masalah pencemaran sungai merupakan salah satu jenis pencemaran yang saat
ini telah menarik perhatian secara luas karena telah tumbuh menjadi masalah
internasional (Danusaputro, 1985). Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu
memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia merupakan salah
satu komponen yang paling penting dimana sebagai komponen yang dinamis, manusia
seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan yang
mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan (Asdak, 1995). Ada beberapa sumber
pencemaran yang dapat membahayakan suatu badan perairan sungai, misalnya
industrilisasi dan pembuangan limbah berbahaya dan beracun ke sungai dapat
mengakibatkan terganggunya ekosistem sungai, diantaranya dari kelompok nekton
dan benthos (Kusumaatmaja, 1996).
2.3 Benthos
Benthos adalah organisme air yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau
pada sedimen dasar perairan. Hewan ini memegang peranan penting dalam perairan
seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki
perairan, serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Cole,
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
organisme benthos yang bersifat tumbuhan dan zoobenthos yaitu organisme benthos
yang bersifat hewan (Barus, 2004).
Berdasarkan letaknya benthos dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu
infauna dan epifauna. Infauna adalah benthos yang hidupnya terpendam di dalam
substrat perairan dengan cara menggali lubang, sebagian besar hewan tersebut hidup
sesil dan tinggal di suatu tempat. Epifauna adalah benthos yang hidup di permukaan
dasar perairan yang bergerak dengan lambat di atas permukaan dari sedimen yang
lunak atau menempel dengan kuat pada substrat padat yang terdapat pada dasar
perairan (Barnes & Mann, 1994).
Menurut Lalli & Parsons (1993), berdasarkan ukuran tubuhnya zoobenthos
dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1) Makrobenthos, kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini
adalah hewan bentos yang terbesar, jenis hewan yang termasuk kelompok ini
adalah molusca, annelida, crustaceae, beberapa insekta air dan larva dari diptera,
odonata dan lain sebagainya.
2) Mesobenthos, kelompok bentos yang berukuran antara 0,1 mm–1,0 mm.
Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur.
Hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca kecil, cacing kecil dan
crustaceae kecil.
3) Mikrobenthos, kelompok benthos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm.
Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang termasuk ke
dalamnya adalah protozoa khususnya ciliata.
Benthos sering digunakan untuk menduga ketidakseimbangan lingkungan
fisik, kimia dan biologi suatu perairan. Perairan yang tercemar akan mempengaruhi
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
makrozoobenthos merupakan organisme air yang mudah terpengaruh oleh adanya
bahan pencemar, baik bahan pencemar kimia maupun fisik (Odum, 1994), selanjutnya
dijelaskan bahwa benthos dapat dijadikan sebagai indikator biologis,
berdasarkan pada:
a. Mobilitas terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan sampel.
b. Ukuran tubuh relatif lebih besar sehingga memudahkan untuk identifikasi.
c. Hidup di dasar perairan, relatif diam sehingga secara terus menerus terdedah
(exposed) oleh air sekitarnya.
d. Pendedahan yang terus menerus mengakibatkan makrozoobenthos dipengaruhi
oleh keadaan lingkungan.
e. Perubahan lingkungan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobenthos.
2.4 Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobenthos
Sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain
melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti makrozoobenthos, perlu juga
dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik (fisik-kimia) perairan, karena antara faktor
abiotik dengan biotik saling berinteraksi (Nybakken, 1988).
Faktor abiotik (fisik kimia) perairan yang mempengaruhi kehidupan
makrozoobenthos antara lain:
2.4.1 Temperatur
Temperatur merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan hewan bentos. Batas
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
temperatur diatas 30°C dapat menekan pertumbuhan populasi hewan bentos
(James & Evison, 1979).
Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya dan
juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi
perairan. Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas
biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut
hukum Van’t Hoffs kenaikan temperatur 100C (hanya pada kisaran temperatur yang
masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari
organisme sebesar 2-3 kali lipat (Barus, 2004).
Naiknya temperatur air dapat menimbulkan beberapa akibat diantaranya
menurunnya jumlah oksigen terlarut dalam air, meningkatkan kecepatan reaksi kimia,
mengganggu kehidupan biota air, apabila batas temperatur yang mematikan
terlampaui maka organisme air diantaranya makrozoobenthos mungkin akan mati
(Wardhana, 1995).
2.4.2 Dissolved Oxygen (DO)
Dissolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan.
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem
perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar
organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh faktor
temperatur, dimana kelarutan maksimum terdapat pada temperatur 00C, yaitu sebesar
14,16 mg/l O2. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak
antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan
oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Kisaran toleransi zoobentos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda. Menurut
Sastrawijaya (1991), kehidupan zoobenthos dapat bertahan jika ada oksigen terlarut
minimum sebanyak 5 mg/l, selebihnya tergantung kepada ketahanan organisme,
derajat keaktifan, kehadiran pencemar, temperatur air dan sebagainya.
2.4.3 Biological Oxygen Demand (BOD)
Biological Oxygen Demand (BOD) adalah peristiwa penguraian bahan
buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air
(Wardhana, 1995). Nilai Biological Oxygen Demand (BOD) menyatakan jumlah
oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian
senyawa organik, yang diukur pada suhu 200C. Dari hasil penelitian misalnya
diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat di dalam limbah
rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari
lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses
pengukuran ini, sementara dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran
dilakukan dalam 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai 70%,
maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari (BOD5)
(Förstner, 1990 dalam Barus, 2004).
Nilai konsentrasi BOD5 pada suatu badan perairan dapat mempengaruhi
kehidupan biota air diantaranya zoobenthos. Batas toleransi hewan benthos terhadap
BOD5 tergantung spesiesnya. Umumnya nilai konsentrasi BOD5 di atas 10 mg/l - 20
mg/l O2 dapat menekan pertumbuhan populasi hewan benthos (Brower et al, 1990).
2.4.4 pH
Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH. pH yang
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat asam ataupun sangat basa
akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan
gangguan metabolisme dan respirasi. pH yang sangat rendah akan menyebabkan
mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang
tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik, dan pH yang tinggi
akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan
terganggu, dimana kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak
yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme termasuk makrozoobenthos
(Barus, 2004).
2.4.5 Substrat Dasar
Substrat dasar merupakan faktor utama yang sangat mempengaruhi kehidupan,
perkembangan dan keanekaragaman zoobenthos. Susunan substrat dasar penting bagi
organisme yang hidup di zona dasar seperti benthos, baik pada air diam maupun air
mengalir (Michael, 1984). Substrat dasar yang berupa batu-batu pipih dan batu kerikil
merupakan lingkungan hidup yang baik zoobenthos sehingga bisa memiliki
keanekaragaman dan kepadatan yang besar (Odum, 1994). Dasar perairan berupa pasir
dan sedimen halus merupakan lingkungan hidup yang kurang baik untuk hewan
bentos (Koesbiono, 1979).
BAB 3
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2009, di aliran Sungai Belawan,
Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, pada 5
(lima) stasiun pengamatan, sebagai berikut:
a. Stasiun I
Stasiun ini terletak di Desa Salam Tani, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten
Deli Serdang, yang secara geografis terletak pada 03027’42,0” LU – 098035’15,9” BT.
Di daerah ini tidak dijumpai pemukiman penduduk dan aktivitas masyarakat (kontrol).
Substrat pada stasiun ini berupa pasir berbatu dan terdapat vegetasi berupa Araceae,
Arecaceae, Malvaceae, Poaceae, dan Pteridophyta.
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian Stasiun I
b. Stasiun II
Stasiun ini terletak di Desa Lama, Kecamatan Pancur batu, Kabupaten Deli
Serdang, yang secara geografis terletak pada 03028’50,0” LU – 098035’06,4” BT. Di
daerah ini terdapat aktivitas lalu lintas truk. Substrat pada stasiun ini berupa pasir
berbatu dan terdapat vegetasi berupa Araceae, Asteraceae, Malvaceae, Moraceae,
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Gambar 3.2 Lokasi Penelitian Stasiun II
c. Stasiun III
Stasiun ini terletak di Desa Tanjung Slamat, Kecamatan Sunggal, Kabupaten
Deli Serdang, yang secara geografis terletak pada 03032’23,6” LU – 098035’41,2” BT.
Daerah ini merupakan daerah rekreasi. Substrat pada stasiun ini berupa pasir berbatu
dan terdapat vegetasi berupa Asteraceae, Moraceae, Musaceae, Piperaceae, dan
Poaceae.
Gambar 3.3 Lokasi Penelitian Stasiun III
d. Stasiun IV
Stasiun ini terletak di Desa Sunggal Kanan, Kecamatan Sunggal, Kabupaten
Deli Serdang, yang secara geografis terletak pada 03033’54,2” LU – 098036’34,0” BT.
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
berupa pasir berbatu dan berlumpur dan terdapat vegetasi berupa Amaranthaceae,
Anacardiaceae, Araceae, Asteraceae, Malvaceae, Musaceae, dan Poaceae.
Gambar 3.4 Lokasi Penelitian Stasiun IV
e. Stasiun V
Stasiun ini terletak di Kelurahan Kampung Lalang, Kecamatan Sunggal,
Kabupaten Deli Serdang, yang secara geografis terletak pada 03035’56,6” LU –
098036’19,1” BT. Di daerah ini terdapat kegiatan industri pabrik. Substrat pada
stasiun ini berupa lumpur berpasir dan berbatu, dan terdapat vegetasi berupa Araceae,
Asteraceae, Malvaceae, Musaceae, dan Poaceae.
Gambar 3.5 Lokasi Penelitian Stasiun V
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Metoda yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan
sampel makrozoobenthos adalah ”Purpossive Random Sampling” pada lima stasiun
pengamatan. Pada masing-masing stasiun dilakukan 15 (limabelas) kali ulangan.
3.3 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel Makrozoobenthos dilakukan dengan menggunakan surber
net yang diletakkan pada dasar sungai dengan posisi melawan arah arus. Sampel yang
didapat disortir dengan menggunakan Metoda Hand Sortir, selanjutnya dibersihkan
dengan air, kemudian dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70%
sebagai pengawet lalu diberi label dan diidentifikasi.
3.4 Identifikasi Sampel
Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Sistematika Hewan Departemen
Biologi FMIPA USU dengan menggunakan buku identifikasi Edmoson (1963),
Pennak (1978), McCafferty (1983), dan Sterrer (1986).
3.5 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan
3.5.1 Temperatur
Temperatur diukur dengan menggunakan termometer air raksa, dimana
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3.5.2 Penetrasi Cahaya
Diukur dengan menggunakan keping seechi yang dimasukkan ke dalam badan
air sampai keping seechi tidak terlihat, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke
dalam air.
3.5.3 Kecepatan Arus
Dilakukan dengan menggunakan gabus yang diletakkan di atas air, dan
dibiarkan mengalir mengikuti arus, kecepatan arus diukur dengan stopwatch sesuai
dengan jarak yang ditentukan.
3.5.4pH
pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter
ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembacaan pada alat
konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.
3.5.5 Dissolved Oxygen (DO)
Dissolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metoda winkler. Sampel
air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3.5.6 Kejenuhan Oksigen
Kejenuhan oksigen dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Kejenuhan (%) = 100%
Dimana: O2 (u) = Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)
O2 (t) = Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya sesuai dengan harga temperatur. Tabel nilai oksigen terlarut makisimum terlampir (Lampiran E).
3.5.7 BOD5
Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel
air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. Bagan kerja
terlampir (Lampiran B).
3.5.8 Chemical Oxygen Demand (COD)
Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium Pusat
Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja terlampir
(Lampiran C).
3.5.9 Kandungan Organik Substrat
Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metoda analisa abu,
dengan cara substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan ke dalam
oven dengan temperatur 450C sampai beratnya konstan (2-3 hari), substrat yang kering
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
jam pada temperatur 450C agar substrat benar-benar kering. Kemudian ditmbang 25 gr
dan diabukan dalam tanur dengan temperatur 7000C selama 3,5 jam. Kemudian
substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kandungan organik
substrat dengan rumus:
KO = Kandungan organik A = Berat konstan substrat B = Berat abu
Analisa kandungan organik substrat dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian
Lingkungan Universitas Sumatera Utara. Bagan kerja terlampir (Lampiran D).
Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat yang
digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan.
No. Parameter Satuan Alat Tempat
1. Temperatur air oC Termometer Air Raksa In-situ 2. Penetrasi cahaya Cm Keping Seechi In-situ 3. Intensitas cahaya Candela Lux Meter In-situ 4. Kecepatan arus m/det Stopwatch, gabus, dan meteran In-situ
5. pH air - pH air In-situ
6. DO Mg/l Metoda Winkler In-situ
7. Kejenuhan oksigen % - In-situ
8. BOD5 Mg/l Metoda Winkler dan Inkubasi Laboratorium
9. COD Mg/l Metoda Refluks Laboratorium
10. Kandungan organik % Oven dan Tanur Laboratorium
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Data makrozoobenthos yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi,
kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wienner, indeks
ekuitabilitas, indeks similaritas, dan analisa korelasi dengan persamaan menurut
Michael (1984), Krebs (1985), dan Barus (2004) sebagai berikut:
a. Kepadatan Populasi (K)
K =
b. Kepadatan Relatif (KR)
KR = x100%
c. Frekuensi Kehadiran (FK)
FK = x100%
d. Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’) atau Indeks Keanekaragaman
H’=
∑
dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner In = logaritma nature
Pi = Σ ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan
keseluruhan jenis)
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
e. Indeks Equitabilitas (E) atau Indeks Keseragaman
Indeks equitabilitas (E) =
max H
H'
dimana : H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner H maks = keanekaragaman spesies maksimum
= In S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0-1
f. Indeks Similaritas (IS) atau Indeks Kesamaan
IS = x100%
b a
2c +
dengan: a = jumlah spesies pada lokasi a b = jumlah spesies pada lokasi b
c = jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b
Bila: IS = 75 – 100% : sangat mirip IS = 50 – 75% : mirip
IS = 25 – 50% : tidak mirip
IS = ≤ 25% : sangat tidak mirip
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Analisis korelasi dianalisis menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan
metoda komputerisasi SPSS Ver.13.00. Dimana yang dikorelasikan adalah faktor fisik
kimia perairan terhadap keanekaragaman makrozoobenthos yang diperoleh.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Klasifikasi Makrozoobenthos
Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan makrozoobenthos yang
termasuk ke dalam 4 filum, 5 kelas, 11 ordo, 22 famili, dan 33 genus yang tersebar
pada 5 (lima) stasiun penelitian dengan klasifikasi berdasarkan tingkat hirarkinya
seperti terlihat pada Tabel 4.1 di bawah ini :
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Ephemeroptera Heptageniidae Heptagenia + + + + +
3. Mollusca Gastropoda
Basommatophora Physidae Physa - - - + -
Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa filum Arthropoda merupakan makrozoobenthos
yang terbanyak didapatkan di aliran Sungai Belawan, Kecamatan Pancur Batu dan
Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, yang terdiri dari 2 kelas, 8 ordo, 14
famili, 18 genus, kemudian diikuti dari filum Mollusca yang terdiri dari 1 kelas, 2
ordo, 6 famili, 13 genus. Keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan
perairan, seperti substrat dasar perairan yang berpasir dan berbatu, kandungan oksigen
terlarut dalam air yang cukup tinggi (6,48-7,46 mg/l), kandungan organik substrat
sebagai sumber nutrisi (0,04-6,07%), pH air (7,35-7,56), dan suhu yang tidak terlalu
rendah dan tidak terlalu tinggi (lihat Tabel 4.6) di daerah ini sesuai untuk
kehidupannya. Menurut Pennak (1989), Arthropoda menyukai habitat berbatu dan
berpasir, kandungan oksigen terlarut dalam air yang tinggi, serta pH air yang normal.
Menurut Hynes (1976), beberapa Mollusca dapat hidup dan berkembang dengan baik
pada berbagai jenis substrat yang memiliki ketersediaan nutrisi yang berlimpah,
kandungan oksigen terlarut dalam air tinggi, dan pH air yang normal.
Sedangkan filum yang paling sedikit didapatkan adalah Annelida dan
Plathyhelminthes masing-masing terdiri dari 1 kelas, 1 ordo, 1 famili dan 1 genus.
Sedikitnya jumlah genus dari filum Plathyhelminthes yang didapatkan karena kondisi
perairan yang kurang mendukung bagi kehidupan hewan ini, seperti kecepatan arus
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
(1993), Plathyhelminthes dapat berkembang baik pada perairan yang memiliki
kecepatan arus yang rendah. Sedangkan Annelida, terutama dari jenis Tubifex lebih
menyukai lingkungan perairan dengan kadar oksigen terlarut yang rendah, hal ini
sesuai dengan yang dinyatakan Sastrawijaya (1991), Tubifex banyak ditemukan pada
perairan dengan kadar oksigen terlarut yang rendah dan BOD yang cukup tinggi.
4.1.1 Nilai Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian
Berdasarkan data jumlah makrozoobenthos yang diperoleh pada setiap Stasiun
penelitian, seperti tertera pada Lampiran I didapatkan nilai kepadatan populasi,
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Populasi (ind/m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) Makrozoobenthos Pada Setiap
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Dari Tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa pada Stasiun I makrozoobenthos
yang memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran
tertinggi ditemukan pada genus Heptagenia dengan nilai K sebesar 70,37 ind/m2,
nilai KR sebesar 58,28 % dan nilai FK sebesar 60,00 %. Tingginya nilai kepadatan
populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran dari genus Heptagenia
disebabkan kondisi lingkungan perairan yang mendukung kelangsungan hidup genus
Heptagenia tersebut, seperti kondisi substrat berbatu, kandungan oksigen dalam air
yang tinggi dan kecepatan arus yang cukup besar (lihat Tabel 4.6).
Menurut McCafferty (1983), Heptagenia merupakan salah satu insekta yang
mempunyai habitat di permukaan batu. Selain itu, merupakan jenis yang mampu
hidup dan beradaptasi pada arus yang deras, dan kandungan oksigen terlarut yang
tinggi. Sedangkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran
makrozoobenthos terendah ditemukan pada genus Anculosa, Lestes, Lioplax,
Planaria, Psephenus, Pyrgulopsis, dan Stenelmis dengan nilai K sebesar 0,74 ind/m2,
KR sebesar 0,61 %, dan FK sebesar 6,67 %. Rendahnya nilai kepadatan populasi,
kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran genus tersebut disebabkan kondisi
lingkungan yang tidak sesuai dengan keberadaan hewan tersebut, seperti nilai
kandungan organik substrat yang sangat rendah sebesar 0,66%, dan kecepatan arus
yang tinggi (lihat Tabel 4.6).
Menurut Hynes (1976), Anculosa, Lioplax, dan Pyrgulopsis dapat ditemukan
pada perairan yang memiliki kandungan organik substrat yang tinggi, serta
temperatur air yang tinggi. Menurut McCafferty (1983), Lestes dan Psephenus
ditemukan pada perairan yang berarus lambat, kandungan organik substrat yang
tinggi, dan kandungan oksigen dalam air yang tinggi. Menurut Hutchinson (1993),
Planaria dapat berkembang dengan baik pada perairan yang memiliki substrat dasar
berbatu dan kandungan organik substrat yang tinggi.
Pada Stasiun II makrozoobenthos yang memiliki nilai kepadatan populasi,
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Macrobrachium dengan nilai K sebesar 3,70 ind/m2, nilai KR sebesar 16,15 % dan
nilai FK sebesar 33,33 %. Tingginya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan
frekuensi kehadiran dari genus Macrobrachium disebabkan kondisi lingkungan seperti
substrat yang berupa pasir berbatu, pH air yang normal, arus yang tidak begitu deras,
pH air yang normal, dan nilai kandungan oksigen dalam air yang tinggi
(lihat Tabel 4.6).
Menurut Pennak (1978), kondisi perairan dengan substrat dasar perairan
berpasir dan berbatu, kandungan oksigen dalam air yang cukup tinggi serta pH air
yang normal sangat cocok bagi kehidupan Macrobrachium. Sedangkan nilai
kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos
terendah ditemukan pada genus Allocapnia, Argia, Hagenius, Progomphus, Stenelmis,
dan Symphitophysche dengan nilai K sebesar 0,74 ind/m2, KR sebesar 0,61 %, dan FK
sebesar 6,67 %. Rendahnya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi
kehadiran genus tersebut disebabkan rendahnya jumlah kandungan organik pada
stasiun ini yakni sebesar 0,04 % serta intensitas cahaya yang cukup rendah sebesar
505,60 Candela (lihat Tabel 4.6).
Pennak (1978) menjelaskan bahwa Allocapnia menyukai tempat dengan
substrat dasar berbatu. Menurut McCafferty (1983), Argia dijumpai pada perairan
dengan kandungan oksigen dalam air tinggi, kandungan organik substrat yang tinggi,
dan arus yang lambat. Menurut Hynes (1976), Hagenius adalah hewan yang menyukai
habitat yang berpasir dan berbatu. Menurut McCafferty (1983), Progomphus
menyukai substrat yang berpasir, berlumpur, berbatu, kandungan organik substrat
yang tinggi, arus yang lambat. Menurut Seki (1982), Symphitophysche banyak
ditemukan pada perairan dengan substrat berbatu, kandungan organik substrat yang
tinggi, dan arus yang kuat. Menurut McCafferty (1983), Stenelmis ditemukan pada
perairan yang memilki kandungan oksigen terlarut tinggi, kandungan organik substrat
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Pada Stasiun III makrozoobenthos yang memiliki nilai kepadatan populasi,
kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada genus
Palaemonetes dengan nilai K sebesar 16,30 ind/m2, nilai KR sebesar 29,73 % dan
nilai FK sebesar 53,33 %. Tingginya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan
frekuensi kehadiran dari genus Palaemonetes disebabkan kondisi lingkungan seperti
kandungan organik substrat yang tinggi sebesar 6,07%, nilai pH yang normal dan
kandungan oksigen terlarut yang tinggi (lihat Tabel 4.6).
Menurut Barnes & Mann (1994), Palaemonetes dapat berkembang dengan
baik pada lingkungan yang memiliki kandungan oksigen terlarut dalam air tinggi, pH
normal, dan kandungan organik substrat yang tinggi. Sedangkan nilai kepadatan
populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos terendah
ditemukan pada genus Hagenius, Laccophilus, Sphaerium, dan Tarebia dengan nilai
K sebesar 0,74 ind/m2, KR sebesar 1,35 %, dan FK sebesar 6,67 %. Rendahnya nilai
kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran genus tersebut
disebabkan kondisi lingkungan yang tidak sesuai, seperti nilai kandungan oksigen
dalam air yang rendah, dan nilai COD yang tinggi (lihat tabel 4.6).
Menurut Hynes (1976), Hagenius adalah hewan yang menyukai habitat yang
berpasir dan berbatu. Menurut McCafferty (1983), Laccophilus dapat hidup pada
perairan yang memilki kandungan oksigen terlarut yang tinggi, kadar COD yang
rendah, dan substrat berbatu. Menurut Pennak (1978), Sphaerium dapat hidup pada
kondisi perairan dengan pH < 6, namun hewan ini punya kemampuan adaptasi yang
tinggi sehingga dapat hidup pada pH > 6. Menurut Hynes (1976), genus Tarebia dapat
ditemukan pada perairan dengan pH normal, oksigen terlarut yang tinggi, kandungan
COD yang rendah.
Pada Stasiun IV makrozoobenthos yang memiliki nilai kepadatan populasi,
kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada genus Tarebia
dengannilai K sebesar 51,85 ind/m2, nilai KR sebesar 31,67 % dan nilai FK sebesar
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
kehadiran dari genus Tarebia disebabkan kondisi lingkungan seperti kandungan
organik substrat yang cukup tinggi sebesar 2,07 %, dan dan kandungan oksigen
terlarut yang tinggi sebesar 7,26 mg/l (lihat Tabel 4.6).
Menurut Hynes (1976), faktor lingkungan perairan yang menjadi pembatas
bagi genus Tarebia adalah, oksigen terlarut, dan tersedianya nutrisi yang baik. Namun
demikian kebanyakan jenis ini dapat menolerir perubahan lingkungan. Sedangkan
nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos
terendah ditemukan pada genus Gillia, Pericoma, dan Physa dengan nilai K sebesar
0,74 ind/m2, KR sebesar 0,45 %, dan FK sebesar 6,67 %. Rendahnya nilai kepadatan
populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran genus tersebut disebabkan kondisi
lingkungan yang tidak sesuai dengan keberadaan hewan tersebut seperti tingginya
nilai COD sebesar 10,85 mg/l, arus yang cukup deras sebesar 0,43 m/s
(lihat Tabel 4.6).
Menurut Pennak (1989), Pericoma ditemukan pada perairan dengan arus yang
tidak begitu besar dan kandungan COD dalam air yang masih dapat ditolerir. Menurut
Hynes (1976), Gillia dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan COD yang
rendah. Menurut Pennak (1978), Physa arus merupakan salah satu faktor pembatas
bagi hewan ini, dimana Physa dapat ditemukan pada perairan yang memiliki arus
yang tidak begitu kuat.
Pada Stasiun V makrozoobenthos yang memiliki nilai kepadatan populasi,
kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada genus Pomatiopsis
dengannilai K sebesar 101,48 ind/m2, nilai KR sebesar 86,71 % dan nilai FK sebesar
93,33 %. Tingginya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi
kehadiran dari genus Pomatiopsis disebabkan kondisi lingkungan yang mendukung
kehidupannya, seperti pH sebesar 7,56, suhu sebesar 25,60 0C (lihat Tabel 4.6).
Hynes (1976) menyatakan bahwa, Pomatiopsis pada umumnya hidup pada
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Sedangkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran
makrozoobenthos terendah ditemukan pada genus Heptagenia, Heterlimnius, dan
Viviparus dengan nilai K sebesar 0,74 ind/m2, KR sebesar 0,63 %, dan FK sebesar
6,67 %. Rendahnya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi
kehadiran genus tersebut disebabkan kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan
keberadaan hewan tersebut seperti kandungan oksigen yang rendah, dan BOD5 yang
tinggi (lihat Tabel 4.6).
Menurut Pennak (1978), Viviparus dapat hidup pada perairan yang memiliki
kadar BOD5 rendah dan kadandungan oksigen terlarut yang tinggi. Menurut
McCafferty (1983), genus Heptagenia ditemukan pada perairan yang memiliki
kandungan oksigen yang tinggi dan nilai BOD5 yang rendah dan mempunyai habitat
di permukaan batu besar. Menurut Pennak (1978), Heterlimnius dapat bertahan hidup
pada kondisi perairan yang memiliki kandungan oksigen tinggi.
4.1.2 Nilai KR > 10% dan FK > 25% dari Makrozoobenthos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian
Berdasarkan nilai kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos yang
diperoleh pada setiap stasiun penelitian, seperti tertera pada Tabel 4.2 maka dapat
dikelompokkan makrozoobenthos yang memiliki KR > 10% dan FK > 25% seperti
pada Tabel 4.3 di bawah ini :
Tabel 4.3 Nilai KR > 10% dan FK > 25% dari Makrozoobenthos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian.
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
9. Tarebia 31,67 73,33
Jumlah Genus 1 2 4 4 1
Dari Tabel 4.3 di atas dapat dilihat genus makrozoobenthos yang memiliki KR
> 10% dan FK > 25% pada Stasiun I terdapat 1 genus yaitu Heptagenia, pada Stasiun
II terdapat 2 genus yaitu Apella dan Macrobrachium. Sementara pada stasiun III
ditemukan 4 Genus makrozoobenthos yang dapat hidup dan berkembang dengan baik
yakni dari genus Goniobasis, Lyrodes, Palaemonetes dan Pyrgulopsis, pada Stasiun
IV terdapat 4 genus yang dapat hidup dengan baik pada habitatnya yakni genus
Heptagenia, Lyrodes, Palaemonetes dan Tarebia. Pada Stasiun V didapatkan 1 genus
yakni Pomatiopsis. Hal ini disebabkan faktor abiotik pada masing-masing Stasiun
dapat mendukung bagi kehidupan hewan-hewan tersebut selain itu terdapatnya suplai
makanan yang cukup serta kemampuan berkompetisi dengan jenis yang lain.
Suin (2002) menjelaskan, suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai dengan
perkembangan suatu organisme apabila nilai KR > 10% dan FK > 25%. Menurut
Lock & William (1981), suatu individu akan dapat hidup pada habitat yang mampu
menyuplai kehidupannya, jika penyuplaian akan kebutuhan kehidupannya sedikit atau
minim akan berakibat spesies tersebut tidak dapat mempertahankan kehidupannya.
4.1.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)
Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian
Dari penelitian yang telah dilakukan pada setiap Stasiun penelitian didapatkan Indeks
Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) makrozoobenthos seperti terlihat
pada Tabel 4.4 di bawah ini :
Tabel 4.4 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian.
Indeks Stasiun
I II III IV V
Keanekaragaman (H’) 1,64 2,42 2,08 1,97 0,58
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Pada Tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman (H’)
yang didapatkan pada kelima Stasiun penelitian yakni berkisar antara 0,58 – 2,42.
Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada Stasiun II yakni sebesar 2,42. Hal
ini disebabkan pada Stasiun II jumlah individu tiap spesies relatif merata
dibandingkan keempat Stasiun lainnya. Menurut Brower et al (1990), suatu komunitas
dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak
spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata. Dengan
kata lain apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah
individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman
yang rendah.
Indeks Diversitas Shannon-Wienner (H’) yang terendah terdapat pada Stasiun
V yakni sebesar 0,58. Rendahnya indeks keanekaragaman ini karena melimpahnya
jumlah salah satu genus pada stasiun V. Menurut Odum (1994), keanekaragaman
jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dari tiap jenisnya, karena
suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak
merata maka keanekaragaman jenisnya dinilai rendah.
Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh dari kelima Stasiun penelitian
berkisar 0,28 - 0,92. Indeks Ekuitabilitas yang tertinggi terdapat pada stasiun II
sebesar 0,92 dan terendah pada Stasiun V sebesar 0,28. Pada Stasiun II jumlah spesies
dari masing-masing genus yang diperoleh tidak ada yang mendominasi, hal ini
menunjukkan bahwa pembagian jumlah individu pada Stasiun tersebut lebih merata
dibandingkan dengan Stasiun penelitian yang lainnya. Sedangkan pada Stasiun V
terdapat genus yang sedikit jumlahnya dan terdapat spesies yang jumlahnya
mendominasi.
Menurut Krebs (1985), Indeks Keseragaman (E) berkisar antara 0-1. Jika
indeks keseragaman mendekati 0 berarti keseragamannya rendah karena adanya jenis
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
menggambarkan tidak ada jenis yang mendominasi sehingga pembagian jumlah
individu pada masing-masing jenis sangat seragam atau merata.
4.1.4 Indeks Similaritas (IS) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang
Dari penelitian yang telah dilakukan pada setiap Stasiun penelitian didapatkan Indeks
Similaritas (IS) makrozoobenthos seperti terlihat pada Tabel 4.5 di bawah ini :
Tabel 4.5 Indeks Similaritas (IS) (%) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian.
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Stasiun I - 62,50 64,51 36,36 30,76
Stasiun II 62,50 - 51,85 27,58 27,27
Stasiun III 64,51 51,85 - 42,85 47,61
Stasiun IV 36,36 27,58 42,85 - 34,78
Stasiun V 30,76 27,27 47,61 34,78 -
Dari Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa Indeks Similaritas makrozoobenthos antar
stasiun penelitian memiliki nilai yang bervariasi. Indeks Similaritas yang tertinggi
didapat antara Stasiun I dan Stasiun III sebesar 64,51 %, sedangkan yang terendah
didapat antara Stasiun II dan Stasiun V sebesar 27,27 %.
Tingkat kemiripan ini karena faktor-faktor lingkungan antara beberapa Stasiun
hampir sama dan merata, dan sebaliknya ketidakmiripan jenis makrozoobenthos antar
stasiun diduga karena faktor-faktor lingkungan antarstasiun yang tidak sama. Menurut
Moss (1980), jika beberapa lokasi memiliki faktor-faktor lingkungan yang hampir
sama, maka akan terdapat persamaan taksa antar lokasi-lokasi tersebut.
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Aliran Sungai Belawan Kecamatan
Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, diperoleh rata-rata
nilai faktor fisik-kimia perairan pada setiap Stasiun penelitian seperti Tabel 4.6 di
bawah ini:
Tabel 4.6 Rata-rata Nilai Faktor Fisik-Kimia Perairan Yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Penelitian.
No. Parameter Fisik-Kimia Satuan Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
1. Temperatur air oC 25,20 25,40 25,30 25,30 25,60
Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa temperatur air pada kelima Stasiun
penelitian berkisar 25,20 °C-25,60 °C. Perbedaan temperatur air pada kelima Stasiun
ini tidak terlalu jauh. Temperatur air tertinggi terdapat pada Stasiun V sebesar 25,60
°C dan terendah pada Stasiun I sebesar 25,20 °C. Perbedaan temperatur air pada setiap
Stasiun penelitian karena kondisi cuaca saat pengukuran dilakukan, juga sebagai
akibat dari perbedaan aktivitas pada masing-masing Stasiun. Effendi (2003)
menjelaskan, perairan butuh waktu yang lebih lama untuk menaikkan dan
menurunkan temperatur jika dibandingkan dengan daratan. Proses penyerapan cahaya
berlangsung lebih intensif pada lapisan atas sehingga lapisan atas perairan memiliki
temperatur yang lebih panas bila dibandingkan dengan lapisan bawah. Brehm &
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari,
pertukaran panas antara air dengan udara disekelilingnya, dan aktivitas manusia.
Pada Tabel di atas dapat dilihat bahwa penetrasi cahaya pada kelima Stasiun
penelitian berbeda. Penetrasi cahaya yang paling tinggi terdapat pada Stasiun III yakni
16,00 cm dan penetrasi cahaya terendah terdapat pada Stasiun I sebesar 7,80 cm.
Sastrawijaya (1991) menjelaskan, cahaya matahari tidak dapat menembus dasar
perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan
mempengaruhi proses fotosintesis di dalam sungai tersebut. Selain itu, kekeruhan air
terjadi disebabkan adanya zat-zat koloid yaitu zat yang terapung serta zat yang terurai
secara halus sekali, jasad-jasad renik, lumpur tanah liat, dan adanya zat-zat koloid
yang tidak mengendap dengan segera (Mahadi, 1993). Pengaruh utama dari kekeruhan
air adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga menurunkan
aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga dan akan menurunkan aktivitas perairan
(Koesbiono, 1979).
Pada Tabel di atas dapat dilihat bahwa intensitas cahaya pada kelima Stasiun
penelitian berbeda. Intensitas cahaya yang paling tinggi terdapat pada Stasiun I yakni
545,80 candela dan penetrasi cahaya terendah terdapat pada Stasiun V sebesar 502,60
candela. Perbedaan intensitas cahaya pada masing-masing Stasiun mungkin
disebabkan perbedaan kedalaman lapisan air, vegetasi yang ada disekitar sungai, serta
kekeruhan dari air tersebut. Barus (2004) menjelaskan, bagi organisme air, intensitas
cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang mendukung kehidupan organisme dalam
perairan tersebut.
Pada Tabel di atas dapat dilihat bahwa kecepatan arus pada kelima Stasiun
penelitian berbeda. Kecepatan arus yang paling tinggi terdapat pada Stasiun V yakni
0,45 m/det dan kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun III sebesar 0,35 m/det.
Perbedaan kecepatan arus pada suatu perairan disebabkan keadaan topografi sungai,
kedalaman sungai, dan substrat yang terdapat di sungai. Odum (1994) menjelaskan,
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
kedalaman dan lebar sungai. Kecepatan arus juga tergantung pada musim hujan atau
kemarau. Semakin tinggi arus maka akan meningkatkan kandungan oksigen terlarut
dan semakin tinggi arus air maka kandungan CO2 rendah (Asdak, 1995).
Pada Tabel di atas dapat dilihat bahwa pH air pada kelima Stasiun penelitian
berbeda. pH air yang paling tinggi terdapat pada Stasiun V yakni 7,56 dan pH air
terendah terdapat pada Stasiun IV sebesar 7,35. Pada kelima Stasiun penelitian ini
nilai pH air tidak memiliki fluktuasi yang besar, dan masih berkisar pada batas normal
sekitar 7-8,5. Barus (2004) menjelaskan, setiap spesies memiliki kisaran toleransi
yang berbeda terhadap pH. pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik termasuk
makrozoobenthos pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang
sangat asam ataupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme
karena akan menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi. pH yang sangat
rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat
toksik semakin tinggi yang akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik,
dan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak
dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan
konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme.
Pada Tabel di atas dapat dilihat bahwa DO air pada kelima Stasiun penelitian
berbeda. DO air yang paling tinggi terdapat pada Stasiun I yakni 7,46 mg/l dan DO air
terendah terdapat pada Stasiun IV sebesar 6,48 mg/l. Secara keseluruhan nilai
kandungan oksigen terlarut dilokasi penelitian masih dapat ditoleransi
makrozoobentos. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak
antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan
oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi
dari organisme akuatik. Kisaran toleransi makrozoobenthos terhadap oksigen terlarut
berbeda-beda (Barus, 2004). Kandungan gas oksigen terurai dalam air mempunyai
peranan dalam menentukan untuk kelangsungan hidup organisme akuatik dan untuk
berlangsungnya proses reaksi kimia yang terjadi di dalam perairan (Asdak, 1995).
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
maka oksigen di dalam air akan menurun. Kehidupan organisme perairan dapat
bertahan jika oksigen terlarut sebanyak 5 mg/l dan tergantung juga terhadap daya
tahan organisme (Sastrawijaya, 1991).
Pada Tabel di atas dapat dilihat bahwa BOD5 pada kelima Stasiun penelitian
berbeda. BOD5 yang paling tinggi terdapat pada Stasiun V yakni 1,95 mg/l dan BOD5
terendah terdapat pada Stasiun I sebesar 0,96 mg/l. Adanya perbedaan nilai BOD5 di
setiap Stasiun penelitian disebabkan oleh jumlah bahan organik yang berbeda pada
masing-masing Stasiun, yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen
tersebut digunakan oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik
sehingga mengakibatkan nilai BOD5 meningkat. Menurut Brower et al (1990), nilai
konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong baik
apabila konsumsi oksigen selama periode lima hari berkisar sampai 5 mg/l oksigen.
Sedangkan apabila konsumsi oksigen berkisar antara 10-20 mg/l oksigen maka akan
menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi. Kebutuhan oksigen
biologi suatu badan air adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh organisme
yang terdapat didalamnya untuk bernapas selama lima hari.
Pada Tabel di atas dapat dilihat bahwa kejenuhan oksigen pada kelima Stasiun
penelitian berbeda. Kejenuhan oksigen yang paling tinggi terdapat pada Stasiun I
sebesar 92,21 % dan terendah terdapat pada Stasiun V sebesar 80,59 %. Barus (2004)
menjelaskan, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses
penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob. Oleh
sebab itu jika di dalam suatu lingkungan perairan, jumlah kehadiran senyawa organik
tinggi, maka mikroorganisme membutuhkan oksigen dalam jumlah yang lebih banyak
dan hal ini akan mengakibatkan defisit oksigen bagi lingkungan perairan tersebut.
Pada Tabel di atas dapat dilihat bahwa COD pada kelima Stasiun penelitian
berbeda. COD yang paling tinggi terdapat pada Stasiun III yakni 12,13 mg/l dan COD
terendah terdapat pada Stasiun II sebesar 8,30 mg/l. Perbedaan nilai COD yang
didapat dari hasil penelitian mungkin disebabkan karena perbedaan aktivitas yang ada
Tetty Rini Rebecca Siregar : Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, 2010.
COD, jumlah oksigen yang diperlukan untuk reaksi oksidasi terhadap buangan
organik sama dengan jumlah kalium bikromat. Makin banyak kalium bikromat yang
dipakai untuk reaksi oksidasi, berarti semakin banyak pula oksigen yang dibutuhkan.
Pada Tabel di atas dapat dilihat bahwa kandungan organik substrat pada
kelima Stasiun penelitian berbeda. Kandungan organik substrat yang paling tinggi
terdapat pada Stasiun III yakni 6,07 % dan terendah terdapat pada Stasiun II sebesar
0,04 %. Secara keseluruhan nilai kandungan organik substrat yang didapatkan dari
kelima Stasiun penelitian tergolong sangat rendah sampai dengan sangat tinggi.
Djaenuddin et al (1994) menjelaskan, kriteria tinggi rendahnya kandungan organik
substrat atau tanah berdasarkan persentase adalah sebagai berikut : < 1 % = sangat
rendah; 1 % - 2 % = rendah; 2,01 % - 3 % = sedang; 3 % - 5 % = tinggi; >5,01 % =
sangat tinggi.
Substrat dasar suatu perairan merupakan faktor yang penting bagi kehidupan
hewan makrozoobenthos yaitu sebagai habitat hewan tersebut. Masing-masing spesies
mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap substrat dan kandungan
bahan organik sustrat (Barnes & Mann, 1994). Dan dengan adanya perbedaan jenis
substrat dasar juga menyebabkan perbedaan jenis makrozoobentos yang didapatkan
pada masing-masing stasiun penelitian. Kehadiran spesies dalam suatu komunitas
zoobentos didukung oleh kandungan organik yang tinggi, akan tetapi belum tentu
menjamin kelimpahan zoobentos tersebut, karena tipe substrat ikut menentukan
(Welch, 1952).
4.3 Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi SPSS Ver. 13.00
Nilai analisis korelasi pearson antara indeks keanekaragaman makrozoobenthos
dengan faktor fisik kimia perairan yang didapatkan pada setiap Stasiun dapat dilihat