KEWAJIBAN PELAPORAN PERUSAHAAN ASURANSI ATAS TRANSAKSI KEUANGAN YANG MENCURIGAKAN DALAM RANGKA
PENCEGAHAN PRAKTEK PENCUCIAN UANG
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dalam memenuhi syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum
OLEH: WILDAYANTI NIM: 100200029
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEWAJIBAN PELAPORAN PERUSAHAAN ASURANSI ATAS TRANSAKSI KEUANGAN YANG MENCURIGAKAN DALAM RANGKA
PENCEGAHAN PRAKTEK PENCUCIAN UANG
SKRIPSI
OLEH :
WILDAYANTI 100200029
Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Ekonomi
WINDHA, S.H., M.Hum
NIP : 197501122005012002
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti – hentinya akan
kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-nya yang telah memberikan
kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW yang telah memberikan jalan dan menuntun jalan dari yang gelap
hingga menuju jalan yang terang yang disinari oleh iman dan islam.
Adapun skripsi ini berjudul: “Kewajiban Pelaporan Perusahaan Asuransi atas
Transaksi Keuangan yang Mencurigakan dalam Rangka Pencegahan Praktek Pencucian Uang.”
Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini. Selama
penyusunan skripsi ini, Penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran,
motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini Penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan
I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan
4. Bapak Muhammad Husni, S.H.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Windha, S.H.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Ramli Siregar, S.H.,M.Hum selaku Seketaris Departemen Hukum
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara..
7. Bapak Prof.Dr.Bismar.Nasution, S.H.,M.H Selaku dosen Pembimbing I
penulis, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak kepada penulis
selama penulisan Skripsi.
8. Bapak Dr.Mahmul Siregar, S.H.,M.Hum Selaku dosen Pembimbing II
penulis, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak kepada penulis
selama penulisan Skripsi.
9. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU
10.Khusus Orang tua Penulis, beribu-ribu terima kasih kepada ayahanda Aidit
dan Ibunda Suliah selaku orang tua penulis yang terus mendoakan dan
memberi semangat bagi Penulis.
11.Untuk kakak, abang dan adik penulis khususnya kak witri trima kasih telah
membantu, mendoakan, dan memberi semangat kepada penulis dalam
pengerjaan skripsi ini.
12.Untuk kak Windy terima kasih sudah membantu dan menjadi kakak
pendamping penulis selama pengerjaan penulis ini dan terima kasih telah
memberikan kasih sayang serta ilmu yang bermanfaat baik dari
13.Untuk keluarga kecil penulis terima kasih telah mewarnai kehidupan
selama di kampus ini dan sebagai penyemangat penulis dalam berbagai hal
dengan kalian penulis mengerti arti kebersamaan Elly, Dwi Susi, Arija,
Tasya, Dina, Tya, Ambar, Ai, Priawan, Beni, Ihsan, Habib, Dwi Noto,
Dowang, Reza.
14.Untuk sahabat penulis yang terbaik Frezy, Herbert, Robert, Gantara,
terima kasih sudah menemani, membantu penulis dan memberikan
inspirasi kepada penulis selama perkulihan.
15.Untuk teman-teman penulis Andrevin, Mutiara Parwita, kak Devi, kak
Marwah, kak Dea, Tika, Anggie, Anas, Gilbert, Teo, Triana, siti fitriya,
saravina lubis, trima kasih sudah menjadi teman-teman terbaik penulis dan
trima kasih atas doanya yang telah diberikan.
16.Untuk jajaran pengurus BTM Aladdinsya.S.H. dan adik-adik di BTM, Ika,
Desi, Dita, Diba, Dila, Yuli, Mimi, Nurul, Rini, Liza, Indah, vira, Achi,
Dinda, Pipit, ziza, Ainul, Tya, Ina, Raihan, dan seluruhnya yang tidak bisa
satu persatu disebutkan oleh penulis, semangat buat kalian dan terima
kasih sudah menjadi adik-adik terbaik penulis selama di kampus.
17.Untuk kakak dan abang senioren,kak berly kak dea, kak sarah, bang luthfi,
bang aldar, bang fauzul, bang subhi, bang king terima kasih telah
membantu serta menyemangati penulis untuk pengerjaan skripsi ini.
18.Untuk Abangda Budi Bahrezy terima kasih sudah menemani penulis
pembelajaran, motivasi, saran dan doa yang tiada putus-putusnya kepada
penulis. Terima Kasih atas semuanya.
19.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu baik
itu dukungan moral maupun materil.
Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar – besarnya. Atas perhatiannya
penulis ucapkan terima kasih.
Medan, Maret 2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR . ... i
DAFTAR ISI... v
ABSTRAKSI ... viii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Keaslian Penulisan ... 8
E. Tinjauan Kepustakaan ... 10
1. Pengertian Asuransi ... 10
2. Perusahaan Asuransi...12
3. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan ... .12
4. Pengertian Pencucian Uang ... .13
F. Metode Penelitian ... .15
G. SistematikaPenulisan ... .17
BAB II: PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 A. Tinjauan Umum Tentang Pencucian Uang ... 20
1.Sejarah Pengaturan Pencucian Uang ... 20
3. Tahap– Tahap Proses PencucianUang ... 27
4. Faktor Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang ... 30
5. Pentingnya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 33
B. Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. ... 36
1. Bentuk – bentuk Tindak Pidana Pencucian Uang ... 36
2. Wajib Lapor Perusahaan Jasa Keuangan ... 38
3. Prinsip Mengenal Nasabah ... 41
C. Peranan PPATK dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 51
1. Tugas dan Wewengan PPATK... 53
2. Kedudukan PPATK ... 57
3. Peranan PPATK ... 60
BAB III: HUBUNGAN TRANSAKSI KEUANGAN MENCURIGAKAN DENGAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Transaksi Keuangan yang Mencurigakan ... 64
1. Pengertian Transaksi Keuangan yang mencurigakan... 64
2. Kategori Transaksi Keuangan yang mencurigakan ... 65
3. Pelaporan Transaksi Keuangan yang mencurigakan ... 80
C. Hubungan Transaksi Keuangan Mencurigakan dengan
Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ... 91
BAB IV : KEWAJIBAN PELAPORAN TRANSAKSI KEUANGAN YANG MENCURIGAKAN OLEH PERUSAHAAN ASURANSI
A. Perusahaan Asuransi Sebagai Perusahaan Jasa Keuangan ... 97
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perusahaan Asuransi ... 97
2. Objek Asuransi ... 101
3. Perusahaan Asuransi Sebagai Perusahaan Jasa
Keuangan...103
B. Hubungan Perusahaan Asuransi dengan Tindak Pidana
Pencucian Uang ... 104
C. Kewajiban Perusahaan Asuransi Melaporkan Transaksi
Keuangan Yang Mencurigakan ... 106
BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 112
B. Saran ... 113
ABSTRAK
KEWAJIBAN PELAPORAN PERUSAHAAN ASURANSI ATAS TRANSAKSI KEUANGAN YANG MENCURIGAKAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN
PRAKTEK PENCUCIAN UANG
Wildayanti Bismar Nasution ** Mahmul Siregar ***
Besarnya dampak negatif pencucian uang terhadap perekonomian suatu negara, mendorong negara-negara di dunia dan organisasi Internasional menaruh perhatian terhadap pencegahan dan peberantasan kejahatan pencucian uang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 maka timbul pertanyaan mengenai pencegahan dan pemberantasan dalam mengatasi tindak pidana pencucian uang, hubungan transaksi keuangan yang mencurigakan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta kewajiban perusahaan asuransi untuk menyampaikan laporan keuangan yang mencurigakan kepada PPATK.
Metode yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah tersebut adalah metode penelitian yuridis normatif dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan dan dianalisis secara normatif.
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur secara jelas tentang kewajiban pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan bagi penyedia jasa keuangan dalam hal pencegahan tindak pidana pencucian uang. Sedangkan dalam pemberatansan tindak pidana pencucian uang setiap orang yang melakukan transaksi keuangan yang mencurigakan dan terbukti sebagai tindak pidana pencucian uang maka dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliyar). Transaksi keuangan mencurigakan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memiliki hubungan yang sangat erat dimana ketika adanya transaksi keuangan yang mencurigakan dan terbukti sebagai tindak pidana pencucian uang maka penyedia jasa keuangan wajib Menyampaikan laporan kepada PPATK dalam hal ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kewajiban ini sudah di atur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK-010/2010.
Kata kunci: Pelaporan, Asuransi, Transaksi Keuangan Mecurigakan, Pencucian Uang.
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
KEWAJIBAN PELAPORAN PERUSAHAAN ASURANSI ATAS TRANSAKSI KEUANGAN YANG MENCURIGAKAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN
PRAKTEK PENCUCIAN UANG
Wildayanti Bismar Nasution ** Mahmul Siregar ***
Besarnya dampak negatif pencucian uang terhadap perekonomian suatu negara, mendorong negara-negara di dunia dan organisasi Internasional menaruh perhatian terhadap pencegahan dan peberantasan kejahatan pencucian uang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 maka timbul pertanyaan mengenai pencegahan dan pemberantasan dalam mengatasi tindak pidana pencucian uang, hubungan transaksi keuangan yang mencurigakan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta kewajiban perusahaan asuransi untuk menyampaikan laporan keuangan yang mencurigakan kepada PPATK.
Metode yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah tersebut adalah metode penelitian yuridis normatif dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan dan dianalisis secara normatif.
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur secara jelas tentang kewajiban pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan bagi penyedia jasa keuangan dalam hal pencegahan tindak pidana pencucian uang. Sedangkan dalam pemberatansan tindak pidana pencucian uang setiap orang yang melakukan transaksi keuangan yang mencurigakan dan terbukti sebagai tindak pidana pencucian uang maka dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliyar). Transaksi keuangan mencurigakan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memiliki hubungan yang sangat erat dimana ketika adanya transaksi keuangan yang mencurigakan dan terbukti sebagai tindak pidana pencucian uang maka penyedia jasa keuangan wajib Menyampaikan laporan kepada PPATK dalam hal ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kewajiban ini sudah di atur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK-010/2010.
Kata kunci: Pelaporan, Asuransi, Transaksi Keuangan Mecurigakan, Pencucian Uang.
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Praktek pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi
Internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia. Dengan
adanya kemajuan teknologi dan globalisasi keuangan terkadang justru menjadi
sarana yang mendukung bagi berkembangnya kejahatan pencucian uang (money
laundering). Kejahatan money laundering ini termasuk juga dalam kejahatan
kerah putih (white collar crime).
Besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian
suatu negara, mendorong negara-negara di dunia dan organisasi internasional
menaruh perhatian terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian
uang (money laundering). Hal ini dikarenakan kejahatan praktek pencucian uang
(money laundering) dapat mempengaruhi sistem perekonomian di suatu negara.
Pada saat ini kejahatan kerah putih (white collar crime) sudah pada taraf
transnasional yang tidak lagi mengenal batas-batas negara. Bentuk-bentuk
kejahatannya pun sudah semakin canggih dan sangat terorganisir sehingga aparat
penegak hukum sulit untuk mendeteksinya. Kegiatan kejahatan pencucian uang
telah melewati batas juridiksi yang menawarkan tingkat kerahasiaan yang tinggi
atau menggunakan bermacam mekanisme keuangan dimana uang dapat bergerak
melalui bank (money transmitter), dan dapat dikirim ke luar negeri. 1
1
Istilah money laundering dikenal dan berkembang di Amerika Serikat
sejak tahun 1930. Ketika itu para mafia di negeri Paman Sam melakukan kegiatan
pemutihan uang hasil tindak kejahatannya dengan cara membeli
perusahaan-perusahaan, kebanyakan perusahaan yang dibeli adalah perusahaan pencucian
pakaian (laundromats) yang pada saat itu sangat terkenal.2 Penggunaan pertama
kali istilah Money laundering di surat kabar adalah berkaitan dengan pemberitaan
mengenai skandal Watergate di Amerika Serikat pada tahun 1973. Sedangkan
penggunaan sebutan dalam konteks pengadilan atau hukum muncul untuk pertama
kalinya tahun 1982 dalam perkara US v $4.2555.625,39 (1982) 551 F Supp. 314.
Sejak itu istilah tersebut telah diterima dan digunakan secara luas di seluruh
dunia.3
Prakteknya banyak dana-dana yang kurang dimanfaatkan secara optimal
karena pelaku money laundering sering melakukan “steril investment” misalnya
dalam bentuk investasi di bidang properti pada negara-negara yang mereka
anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang mereka dapat lebih
rendah. Praktek money laundering juga membuat ketidakstabilan pada ekonomi
nasional karena money laundering dapat menyebabkan fluktuasi yang tajam pada
nilai tukar dan suku bunga. Selain itu uang hasil money laundering dapat saja
beralih dari suatu negara yang perekonomiannya baik ke negara lain dengan
perekonomian yang kurang baik. Sehingga secara perlahan-lahan dapat
menghancurkan pasar finansial dan mengurangi kepercayaan publik kepada
2
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Buku Kedua, (Bandung : Citra Aditya Bakti,2001), hlm.154.
3
sistem finansial, yang dapat mendorong kenaikan risiko dan kestabilan dari sistem
itu yang berakibat pada berkurangnya angka pertumbuhan dari ekonomi dunia.4
Akibat-akibat itulah yang membuat praktek money laundering menarik
perhatian negara-negara di dunia, terlebih lagi dana yang digunakan dalam
praktek money laundering merupakan dana hasil dari kejahatan-kejahatan serius
seperti korupsi, terorisme, perdagangan narkotika, dan kejahatan di bidang
kehutanan. Sebagai upayah pencegah atau memberantas praktek money
laundering, maka pada tahun 1988 telah diadakan United Nation Convention
Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau yang
lebih dikenal dengan nama UN Drug Convention.
Menindaklanjuti konvensi tersebut, pada bulan juli 1989 di Paris telah
dibentuk sebuah satuan tugas yang khusus menangani money laundering yang
disebut dengan The Financial Action Task Force (FATF). Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, dan terakhir diubah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
dalam hal ini dapat disebut dengan (UU PPTPPU), merupakan suatu bentuk upaya
Indonesia sebagai salah satu negara di antara 15 negara yang dianggap tidak
kooperatif untuk memberantas praktek money laudering. Dengan kata lain,
Indonesia dianggap termasuk dalam katagori daftar negara yang tidak kooperatif
(non-cooperative countries and teritorie) untuk memberantas money laundering,
4
sebagaimana terdapat dalam daftar yang dirilis oleh FATF yang merupakan satgas
dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).5
Indonesia termasuk salah satu negara yang sangat menarik bagi pelaku
kejahatan di bidang money laundering. Hal ini disebabkan adanya loopholes
dalam regulasi industri jasa keuangan di Indonesia seperti kurang memadainya
peraturan tentang perizinan dan pendirian lembaga keuangan, termasuk penilaian
mengenai latar belakang pengurus dan beneficial owner.6
Adapun alasan FATF memasukkan Indonesia dalam daftar tersebut
berdasarkan pengamatan dan pertimbangan yang sangat cermat bahwa Indonsia
disinyalir menjadi salah satu sumber sekaligus muara kegiatan money laundering.
Dalam the 40 FATF Recommendations, Indonesia dianggap tidak kooperatif
dengan Rekomendasi ke-15 yang menyatakan agar bank memberikan perhatian
khusus kepada suatu transaksi yang tidak benar latarbelakangnya berupa
melaporkan kepada petugas yang berwenang.7
Hasil tindak pidana dalam money laundering adalah harta kekayaan yang
diperoleh dari predicates crimes sebagaimana di atur dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, salah satunya merupakan di bidang
perasuransian. Dimana pencucian uang melalui perusahaan asuransi, biasanya
dilakukan oleh pelaku kejahatan di dalam negeri, tetapi ditempatkan di perusahaan
asuransi yang ada di luar negeri.
5
Ibid, hlm.2. 6
Yunus Husein (1), Makalah Money Laundering: Sampai Dimana Langkah Negara Kita? http:www.ppatk.go.idpdf. Diakses pada tanggal 1 Februari 2014, hlm.1.
7
Para pelaku kejahatan tersebut dengan begitu tinggal menerima uang
bersih yang berasal dari luar negeri. Sama halnya dengan modus money
laundering pada umumnya, biasanya pelaku tindak pidana pencucian uang dalam
perusahaan asuransi menggunakan modus-modus yang canggih agar sulit
ditelusuri. Tidak jarang kejahatan dalam perusahaan asuransi justru dilakukan
oleh orang dalam perusahaan seperti agen maupun broker asuransi.
Transaksi mencurigakan dalam asuransi ini juga dapat dikategorikan
sebagai penipuan di bidang perasuransian yang bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, seperti yang
ditentukan oleh Pasal 21 ayat (2) tentang penggelapan premi asuransi yang
menyebutkan :
“Barangsiapa menggelapkan premi asuransi diancam dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
2.500.000.000,00 (dua miliyar lima ratus juta rupiah).8
Dilihat dari pasal tersebut bahwa dalam perusahaan asuransi juga sangat
rawan adanya kejahatan dibidang pencucian uang (money laundering). Dan
berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
menyebutkan :
“Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf a wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
8
b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing
yang nilainya setara, yang dilakukan baikdalam satu kali transaksi
maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau
c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.9
Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka adanya
kewajiban terhadap penyedia jasa keuangan untuk melaporkan keuangannya ke
pada Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan yang dalam hal ini disebut
dengan (PPATK) bila adanya transaksi keuangan yang mencurigakan. Hal ini lah
yang mendorong penulis untuk membahas atau mengangkat judul skripsi yang
berjudul “Kewajiban Pelaporan Perusahaan Asuransi atas Transaksi Keuangan
yang Mencurigakan dalam Rangka Pencegahan Praktek Pencucian Uang”.
B. Perumusan Masalah
Untuk membuat pembahasan dalam skripsi ini menjadi lebih spesifik maka
penulis merasa perlu mengangkat permasalahan yang menjadikan sebagai
landasan atau acuan dari pokok materi penulisan. Adapun yang menjadi
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010?
9
2. Bagaimana hubungan transaksi keuangan yang mencurigakan dengan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang?
3. Bagaimana kewajiban pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan oleh
perusahaan asuransi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dalam skripsi ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui secara garis besar pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
2. Untuk mengetahui hubungan transaksi keuangan yang mencurigakan dengan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
3. Untuk mengetahui pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan oleh
perusahaan asuransi.
Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah
dirumuskan dalam skripsi ini akan memberikan kontribusi pemikiran serta
pemahaman bagi ilmu pengetahuan dan pandangan baru terhadap praktek
money laundering yang sudah semakin meluas merongrong lembaga-lembaga
memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat kebijakan
pemberantasan money laundering.
2. Secara Praktis
Pembahasan terhadap masalah ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan
bahan rujukan bagi para pembaca, khususnya dunia perasuransian yang
sangat rawan dijadikan sebagai sarana pencucian uang dan juga kepada pihak
penegak hukum dalam mencegah dan memberantas praktik pencucian uang.
D. Keaslian Penuliasan
Ada judul yang berkaitan dengan judul skripsi ini yaitu:
1. Skripsi yang berjudul “ Kebijakan Badan Pengawasan Pasar Modal
(BAPEPAM) dalam Penanggulangan Pencucian Uang di Pasar Modal” yang
ditulis oleh Mega Kartika, NIM 030200186, yang di dalamnya membahas
tentang apa saja kebijakan-kebijakan yang dapat di ambil oleh BAPEPAM
dalam penanggulangan pencucian uang di pasar modal.
2. Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal melalui prinsip
mngenal nasabah (Know Your Custemer Principles) berdasarkan keputusan
ketua Bapepam No.476/BL/2009, yang ditulis oleh Sarah Cascarina S, NIM
070200136, yang di dalamnya membahas tentang pencegahan tindak pidana
pencucian di dalam pasar modal melalui prinsip mengenal nasabah.
3. Prinsip Akuntabilitas dan Transparansi Yayasan dalam Rangka Pencegahan
Sitorus, NIM 080200258, yang di dalamnya membahas tentang Prinsip
Akuntabilitas dan Transparansi dalam pencegahan praktek pencucian uang.
Sedangkan di dalam skripsi ini hal yang dibahas adalah mengenai
kewajiban pelaporan perusahaan asuransi atas transaksi keuangan yang
mencurigakan dalam rangka pencegahan praktek pencucian uang, dimana
perusahaan asuransi wajib melaporkan kepada lembaga yang berwajib contohnya
PPATK apabila terbukti adanya transaksi keuangan yang mencurigakan dalam
perusahaan asuransi tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang
berkaitan dengan kewajiban pelaporan perusahaan asuransi dalam hal pencegahan
praktek pencucian uang serta peraturan-peraturan yg berkaitan dengan judul
tersebut, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakan atau media cetak
maupun media elektronik. Sehubung dengan keaslian judul skripsi ini, penulis
melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau
belum terdapat di Perpustakaan Univesitas Sumatera Utara.
Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis
oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian asuransi
Asuransi berasal istilah “verzekering atau assurantie” dalam bahasa
Belanda dan dalam bahasa Inggris berasal dari istilah “assurance atau insurance”.
Asuransi yang berarti pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari
ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian. Asuransi menurut ketentuan Pasal
246 KUHD:
“Asuransi adalah perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen”.10
Sedangkan menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan
bahwa:
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua orang atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.11
Berikut ini beberapa pengertian asuransi menurut para ahli:12
a. Pengertian asuransi Menurut Robert I. Mehr: Asuransi adalah suatu alat
untuk mengurangi resiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang
10
Kitab undang-undang hukum dagang 11
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian 12
beresiko agar kerugian individu secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian
yang dapat diprediksi tersebut kemudian dibagi dan didistribusikan secara
proporsional di antara semua unit-unit dalam gabungan tersebut.
b. Pengertian asuransi Menurut Mark R. Greene: Asuransi adalah institusi
ekonomi yang mengurangi resiko dengan menggabungkan di bawah satu
manajemen dan kelompok objek dalam suatu kondisi sehingga kerugian
besar yang terjadi yang diderita oleh suatu kelompok yang tadi dapat
diprediksi dalam lingkup yang lebih rinci.
c. Pengertian asuransi Menurut C Arthur Williams Jr. dan Richard M. Heins:
Asuransi adalah alat yang mana resiko dua orang atau lebih atau
perusahaan-perusahaan digabungkan melalui kontribusi premi yang pasti
atau yang ditentukan sebagai dana yang dipakai untuk membayar klaim.
d. Pengertian asuransi Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992:
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan. Atau,
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
2. Perusahaan asuransi
Perusahaan asuransi adalah suatu lembaga yang sengaja dirancang dan di
bentuk sebagai lembaga pengambil alih dan penerima resiko. Dengan demikian,
perusahaan asuransi pada dasarnya menawarkan jasa proteksi sebagai bentuk
produknya kepada masyarakat yang membutuhkan, dan selanjutnya diharapkan
akan menjadi pelanggannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, perusahaan asuransi
akan mengajak setiap pihak untuk bergabung ataupun bekerjasama untuk
menghadapi kemungkinan-kemungkinan kerugian yang mungkin terjadi yang
biasanya tidak disadari dan tidak siap dihadapi.13
Perusahaan asuransi sebetulnya bisa diberikan dari berbagai sudut
pandang, yaitu dari sudut pandang ekonomi, hukum, bisnis, ataupun sosial.
Namun, tidak ada satu defenisi yang bisa memenuhi masing-masing sudut
pandang tersebut. Asuransi merupakan bisnis unik, yang di dalamnya terdapat
kelima aspek tersebut, yaitu aspek ekonomi, hukum, sosial, bisnis, dan aspek
matematika.
3. Pengertian transaksi keuangan mencurigakan
Dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menyatakan
bahwa:
“Transaksi keuangan mencurigakan adalah:
13
a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa bersangkutan;
b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan
dengan tujuan untuk mengindari pelaporan transaksi yang bersangkutan
yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan
Undang-undang ini;
c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana;
atau
d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh
pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari
hasil tindak pidana.”
4. Pengertian pencucian uang (money laundering)
Istilah money laundering dalam bahasa indonesia sering diterjemahkan
dengan istilah “pemutihan uang” atau “pencucian uang”. Hal ini adalah
terjemahan yang wajar mengingat kata “launder” dalam bahasa Inggris sendiri
yang berarti “mencuci”. Oleh karena itu, sehari-hari dikenal “laundry” yang
berarti cucian. Pencucian uang atau money laundering secara sederhana diartikan
sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crime) atau disebut
sebagai uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari perdagangan narkotik,
korupsi, penggelapan pajak, judi,penyelundupan dan lain-lain yang nampak sah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tetang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, disebutkan bahwa:
“Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.”14
Adapun pengertian pencucian uang atau money laundery menurut
beberapa ahli yaitu:15
a. Menurut Welling
Pencucian uang adalah proses penyembunyian keberadaan sumber tidak
sah atau aplikasi pendapat tidak sah,sehingga pendapatan itu menjadi
sah.
b. Menurut Fraser
Pencucian uang adalah sebuah proses yang sungguh sederhana dimana
uang kotor di proses atau dicuci melalui sumber yang sah atau bersih
sehingga orang dapat menikmati keuntungan tidak halal itu dengan
aman.
c. Menurut Prof.Dr.M.Giovanoli
Money laundering merupakan proses dan dengan csra seperti itu,maka
aset yang di peroleh dari tindak pidana dimanipulasikan sedemikian
rupa sehingga aset tersebut seolah berasal dari sumber yang sah.
14
Undang-umdamg Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
15
d. Byung-Ki Lee
Money laundering merupakan proses memindahkan kekayaan yang di
peroleh dari aktivitas yang melawan hukum menjadi modal yang sah.
F. Metode Penulisan
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif
atau penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan perundang-undangan dengan bertitik tolak pada analisis terhadap
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Penelitian ini difokuskan terhadap kewajiban
pelaporan perusahaan asuransi apabila terdapat transaksi keuangan yang
mencurigakan, dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan
peraturan lainnya yang berkaitan. Penelitian hukum normatif biasanya
dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan sehingga disebut juga dengan
metode kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan
dengan Kewajiban Pelaporan Perusahaan Asuransi atas Transaksi keuangan
2. Sumber Data
Materi dalam skripsi ini diambil dari data-data sekunder:16
a. Bahan hukum primer yakni bahan yang telah ada dan yang berhubungan
dengan skripsi terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait
dalam skripsi ini antara lain yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, dan terakhir diubah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian,
Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 30/PMK.010/2010 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, dan peraturan-peraturan lainnya.
b. Bahan hukum sekunder yakni bahan yang diperoleh untuk mendukung dan
berkaitan dengan bahan hukum primer yang berhubungan dengan skripsi
seperti karya tulis ilmiah, majalah-majalah hukum, jurnal-jurnal hukum,
koran, artikel, serta beberapa sumber dari internet.
c. Bahan hukum tersier yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti
kamus dan ensiklopedia yang relevan dengan skripsi ini.
16
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan
(library research). Dalam hal ini penelitian dilakukan terhadap literatur-literatur
untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar
analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian
kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang
meliputi Peraturan Perundang-undangan, buku, majalah, surat kabar, situs internet
maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, dianalisis dengan metode
deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara menyeluruh
tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Sedangkan kuantitatif yaitu
metode analisis data dengan mengelompokkan dan menyeleksi data yang
diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya, dan dihubungkan dengan teori yang
diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga didapatkan jawaban terhadap
permasalahan yang ada.
G. Sistematika Penulisan
Sistem penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bagian yang tersebut
dengan bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri,
secara sistematis penulisan menempatkan materi pembahasan keseluruhannya
kedalam 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam bab ini secara umum digambarkan garis besar tentang latar
belakang pemilihan judul yang dipilih oleh penulis serta hal – hal
yang mendorong penulis dalam mengangkat judul Kewajiban
Pelaporan Perusahaan Asuransi atas Transaksi Keuangan yang
Mencurigakan dalam Rangka Pencegahan Praktek Pencucian Uang.
Bab ini juga mencakup permasalahan pokok skripsi ini, tujuan dan
manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode penellitian dan sistematika penulisan.
BAB II: PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010
Bagian ini membahas tentang tinjauan umum tentang pencucian
uang, pencegahan dan pemeberantasan tindak pidana pencucian
uang, dan peranan PPATK dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang.
BAB III: HUBUNGAN TRANSAKSI KEUANGAN MENCURIGAKAN DENGAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Bagian ini membahas tentang transaksi keuangan yang
mencurigakan, dan hubungan transaksi keuangan mencurigakan
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang.
BAB IV: KEWAJIBAN PELAPORAN TRANSAKSI KEUANGAN
YANG MENCURIGAKAN OLEH PERUSAHAAN ASURANSI
Bagian ini membahas tentang Perusahaan Asuransi sebagai
Perusahaan Jasa Keuangan, hubungan Perusahaan Asuransi dengan
Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Kewajiban Perusahaan
Asuransi melaporkan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bagian akhir skripsi ini berisi kesimpulan dan saran bagi penulis
BAB II
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 2010
A. Tinjauan Umum Tentang Pencucian Uang
1. Sejarah pengaturan pencucian uang
Pada tahun 1988 sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan
money laundering, diadakan konvensi internasional yaitu United Nation
Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic Substances
atau yang lebih dikenal dengan nama UN Drug Convention. Lahirnya konvensi ini
ditandai saat mana masyarakat internasional merasa frustrasi dalam memberantas kejahatan perdagangan gelap obat bius. Hal ini dapat dimengerti mengingat obyek
yang diperangi adalah organized crime yang memiliki karakteristik organisasi
struktural yang solid dengan pembagian wewenang yang jelas, sumber pendanaan
yang sangat kuat dan memiliki jaringan kerja yang melintasi batas negara. Rezim
hukum internasional anti pencucian uang dapat dikatakan merupakan langkah maju ke depan dengan strategi yang tidak lagi difokuskan pada kejahatan obat
biusnya dan menangkap pelakunya, tetapi diarahkan pada upaya memberangus
hasil kejahatannya melalui regulasi anti pencucian uang. Dengan demikian,
lahirnya United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and
Psychotropic Substances 1988 (Vienna Convention 1988), dipandang sebagai
negara yang telah meratifikasi segera melakukan kriminalisasi atas kegiatan
pencucian uang. Disamping itu Vienna Convention 1988 juga berupaya untuk
mengatur infrastruktur yang mencakup persoalan hubungan internasional, penetapan norma-norma, peraturan dan prosedur yang disepakati dalam rangka
mengatur ketentuan anti pencucian uang. 17 Dan untuk membuat para pelaku
perdagangan narkotika tidak mudah menggunakan uang hasil kejahatan narkotika
tersebut, umumnya pelaku perdagangan narkotika illegal mencuci uangnya
terdahulu, sehingga perlu dibuat rezim anti pencucian uang.
Kemudian untuk menindaklanjuti konvensi tersebut, pada bulan Juli tahun
1989 di Paris telah dibentuk sebuah satuan tugas yang khusus menangani money
laundering yang disebut dengan The Financial Action Task Force (FATF)18,
sebuah organisasi yang bertujuan membebaskan bank dari praktik money
laundering, dimana FATF memperediksikan jumlah uang yang diputihkan setiap
tahun di seluruh dunia melalui transaksi bisnis haram narkotika berkisar antara US
$ 300 milyar dan US $ 500 milyar.19
FATF memasukkan Indonesia tanggal 22 Juni 2001, di samping 19 negara
lainnya ke dalam daftar hitam Non Cooperative Countries Territories (NCCTs)
atau kawasan yang tidak kooperatif dalam menangani kasus money Laundering.
Kesembilan belas negara lainnya itu adalah Mesir, Rusia, Hongoria, Israel,
Lebanon, Filippina, Myanmar, Nauru, Nigeria, Niue, Cook Island, Republik
17
Yunus Husein. Artikel Hukum Pidana: Hubungan antara Kejahatan Peredaran Gelap Narkotika dan Tindak Pidana Pencucian Uang. 2006.
http://www.ditjenphka.go.id/article_file/Press%20realease%20CCPCJ.doc 18
Bismar Nasution., Op.Cit., hlm. 2-3. 19
Dominika, Guatemala, St.Kitts dan Nevis, St. Vincent dan Grenadines serta
Ukrania.20
Alasan FATF memasukkan Indonesia dalam daftar tersebut berdasarkan
pengamatan dan pertimbangan yang sangat cermat bahwa Indonsia disinyalir
menjadi salah satu sumber sekaligus muara kegiatan money laundering. Dalam
the 40 FATF Recommendations, Indonesia dianggap tidak kooperatif dengan
Rekomendasi ke-15 yang menyatakan agar bank memberikan perhatian khusus
kepada suatu transaksi yang tidak benar latarbelakangnya berupa melaporkan
kepada petugas yang berwenang. Untuk lebih jelas, di bawah ini Rekomendasi
ke-15 tersebut yang telah dikutip:21
“if Financial institution suspect that funds stem from a criminal activity,
they should be required to report promptly their suspicious to the
competent authorities.”
Hingga pada Februari 2005 barulah Indonesia berhasil keluar dari NCCTs
setelah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Unang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagai suau dasar hukum yang lebih komprehensif di negara
kita untuk memerangi prakteik money laundering.
Money Laundring yang diterjemahkan dengan pencucian uang dalam
Undang–Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
20
Ibid, hlm. 1,2. 21
didefenisikan22: sebagai perbuatan menempatkan, mentranrfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar
negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal – usul harta kekayaan sehingga seolah
– olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Definisi tersebut perlu diberikan penjelasan sebagai berikut: dalam
defenisi tersebut terdapat kata “seolah – olah”,sehingga walaupun proses pencuci
an uang hasil tindak pidana yang dilakukan, namun harta kekayaan yang berasal
dari hasil tindak pidana tidak pernah menjadi sah atau di putihkan. Dengan
demikian istilah yang dipakai adalah “Pencucian Uang” bukan “Pemutihan
Uang”. Money laundering selalu berkaitan dengan harta kekayaan yang berasal
dari tindak pidana, sehingga tidak ada pencucian uang kalau tidak ada tindak
pidana yang dilakukan (no crime no money laundering).23
Pemerintah bersama badan legislatif seiring berjalannya waktu mulai
memikirkan bahwa upaya pemberantasan saja tidak cukup untuk menangani
permasalahan kejahatan ini. Oleh karena itu dibutuhkan upaya preventif
(pencegahan) yang berguna untuk mencegah tindak pidana ini agar jangan sampai
terjadi terus menerus. Dari pemikiran inilah maka dikeluarkan Undang–undang
Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
22
Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang RI No. 25 Tahun 2003 tentang Pidana Pencucian uang.
23
Yunus Husein, Tindak Pidana Pencucian Uang ( Money laundering ) dalam Perspektif Hukum Internasional dapat dilihat dalam:
http://www.docstoc.com/docs/20860753/TINDAK-PIDANA-PENCUCIAN-UANG-MONEY-LAUNDRING-DALAM-PERSPEKTIF, akses tanggal
Pencucian. Undang–undang ini secara otomatis mencabut Undang–Undang
Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang–
Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang perubahan atas Undang–Undang Nomor
15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.24
2. Pengertian dan objek pencucian uang
Istilah pencucian uang telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat,
yaitu ketika mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah satu
strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut
laundromats yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat. Usaha pencucian
pakaian ini berkembang maju dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti
dari cabang usaha lainya ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti
uang hasil minuman keras ilegal, hasil perjudian dan hasil usaha pelacuran.25
Sedangkan pengertian pencucian uang menurut Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang adalah:
“pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.”
Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku,
unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana.
Sedangkan pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat ketentuan
24
Penjelasan Umum Undang – Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
25
dalam Pasal (3), (4), dan (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Intinya
adalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan
yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu,
termasuk juga yang menerima dan mengusainya.26
Kemudian salah satu ahli yaitu Alford menyatakan bahwa pengertian pencucian
uang sebagai berikut:
“pencucian uang (money laundering) adalah proses yang dilakuakan untuk mengubah hasil kejahatan dari korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan dan lain-lain dengan menggunakan sarana lembaga keuangan sehingga uang hasil dari kegiatan yang sah karena asal-usulnya sudah disamarkan atau disembunyikan.”27
Melihat dari pengertian atau penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa pencucian uang (money laundering) pada intinya melibatkan aset
pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kejahatan atau berasal dari kegiatan
atau perbuatan yang melawan hukum yang diubah menjadi aset keuangan yang
seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. Atau proses yang dilakukan
sesorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal
dari tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal usul uang tersebut
dari pemerintah atau otiritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap
26
http://www.negarahukum.com/hukum/1562.html. Diakses pada tanggal 28 Februari 2014
27
tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam
sistem keuangan (financial system) sehingga apabila uang tersebut kemudian
dikeluarkan dari sistem keuangan itu, maka keuangan itu telah berubah menjadi
uang yang sah. 28
Menurut N.Welling, yang menjadi objek utama dalam pencucian uang
adalah “uang kotor” atau “uang haram”. Menurut N.Willing uang dapat menjadi
kotor atau haram dengan dua cara yaitu:29
a. Melalui pengelakkan pajak (tax evasion) , yaitu memperoleh uang secara ilegal tetapi jumlah uang yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit dari pada yang sebenarnya diperoleh.
b. Memperoleh uang melalui cara-cara melanggar hukum, misalnya hasil penjualan obat terlarang (drug sakes), perjudian gelap (ilegal gambling), penyuapan (bribery), terorisme (terrorism), pelacuran (prostitution), perdagangan senjata (arms trafficking), penyelundupan (smugglig), dan kejahatan kerah putih (white collar crime).
Awalnya yang menjadi objek pencucian uang yang paling utama
dilakukan adalah hasil dari penjualan obat-obatan terlarang dan penyelundupan.
Namun sejak terjadinya bom WTC di Amerika Serikat, maka pada saat itu
kegiatan terorisme pun menjadi salah satu prioritas objek pencucian uang.
Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pencucian Uang,
disebutkan bahwa yang menjadi objek Tindak Pidana Pencucian uang adalah :
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayan yang diperoleh dari tindak pidana:30
Sutan Reny Sjahdeini. Op.Cit., hlm.9. 30
c. Narkotika; d. Psikotropika;
e. Penyelundupan tenaga kerja; f. Penyelundupan migran; g. Di bidang perbankan; h. Di bidang pasar modal; i. Di bidang perasuransian; j. Kepabeanan;
k. Cukai;
l. Perdagangan orang;
m. Perdagangan senjata gelap; n. Terorisme;
v. Di bidang perpajakan; w. Di bidang kehutanan; x. Di bidang lingkungan hidup
y. Di bidang kelautan dan perikanan; atau
z. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2) Harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara lanngsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
3. Tahap-tahap proses pencucian uang
Tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu kejahatan pencucian uang,
karena kita telah ketahui bahwa kegiatannya sangat kompleks sekali, namun para
pakar telah berhasil menggolongkan proses pencucian uang (money laundering)
a. Tahap placement
Tahap penempatan( placement ) merupakan upaya menempatkan
uang tunai yang berasal dari tindak pidana kedalam sistem keuangan (
financial sistem) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel
bank, sertifikat deposito, dan lain–lain) kembali kedalam sistem
keuangan, terutama sistem perbankan. Dalam proses penempatan uang
tunai kedalam sistem keuangan ini, terdapat pergerakan fisik uang tunai
baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu Negara ke Negara lain,
penggabungan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan
uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, atau cara–cara lain
seperti pembukaan deposito, pembelian saham–saham atau juga
mengkonversikannya ke dalam mata uang Negara lain.31
b. Tahap layering
Tahap (layering) merupakan upaya untuk menstransfer harta
kekayaan, berupa benda bergerak atau tidak bergerak berwujud maupun
tidak berwujud, yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil
masuk kedalam sistem keuangan melalui penepatan (placement). Dalam
proses ini terdapat rekayasa untuk memisahkan uang hasil Placement ke
beberapa rekening atau lokasi tertentu lainnya dengan serangkaian
transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau
mengelabui sumber dana “haram“ tersebut. Layering dapat pula
dilakukan dengan transaksi jaringan Internasional baik melalui bisnis
31
yang sah atau Perusahaan–perusahaan “shell”( perusahaan mempunyai
nama dan badan hukum namun tidak melakukan kegiatan usaha apapun
).32
Teknik lain dari layering ialah memberi efek (saham dan obligasi),
kendaraan, dan pesawat terbang atas nama orang lain. Kasino sering
juga digunakan karena kasino menerima uang tunai. Sekali uang tunai
tersebut dikonversikan kedalam chips dari kasino tersebut, maka dana
yang telah dibelikan chips tersebut dapat ditarik kembali dengan
menukarkan chips tadi dengan cek yang dikeluarkan oleh kasino
tersebut.33
c. Tahap intergration
Tahap menggunakan harta kekayaan (intergration), suatu upaya
menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang
telah berhasil masuk kedalam sistem keuangan melalui placement atau
layering sehingga seolah–olah menjadi harta kekayaan yang “halal”.
Proses ini merupakan upaya untuk mengembalikan uang yang telah
dikaburkan jejaknya sehingga pemilik semula dapat menggunakan
dengan aman. Disini uang yang di “cuci” melalui placement maupun
layering dialihkan kedalam kegiatan–kegiatan resmi sehingga tampak
seperti tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan yang
menjadi sumber dari uang tersebut.34
32
ibid
33
Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit. , hlm. 36. 34
Sebagaimana dikemukakan oleh Jeffrey Robinson, tahap placement adalah
tahap yang paling rentan (vulnerable) bagi pencuci uang karena apabila pencuci
uang tidak dapat memasukkan uang haram tersebut kedalam proses pencucian,
maka ia tidak akan dapat mencuci uang haram tersebut. Namun, sekali uang
haram itu berhasil di konversikan ke dalam nomor–nomor (rekening bank) yang
muncul di suatu layar komputer dan nomor–nomor tersebut berhasil dipindahkan
mondar–mandir melintasi dunia, maka hal itu seperti halnya riak air sebagaimana
digambarkan diatas lenyap dan batu tersebut terkubur di dalam lumpur di dasar
kolam itu.35
4. Faktor pendorong terjadinya tindak pidana pencucian uang
Praktek money laundering tidak mudah memberantasnya. Ada beberapa
faktor yang menjadi pendorong maraknya kegiatan pencucian uang di berbagai
negara, menurut Sutan Remy Sjahdeini terdapat 10 (sepuluh) faktor pendorong,
yaitu sebagai berikut:36
a. Faktor Globalisasi
Globalisasi pada perputaran sistem keuangan internasional merupakan
impian para pelaku money laundering dan dari kegiatan kriminal ini
arus uang yang berjalan jutaan dollar pertahun berasal dari
pertumbuhan ekonomi dimana uang yang sehat pada setiap negara
sebagai dasar pada daerah pasar global.
b. Faktor cepatnya kemajuan teknologi
35
Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit, hlm. 63. 36
Kemajuan teknologi yang paling mendorong maraknya pencucian uang
adalah teknologi di bidang informasi, yaitu dengan munculnya internet
yang memperlihatkan kemajuan yang luar biasa.
c. Faktor rahasia bank yang begitu ketat
Ketatnya suatu peraturan bank dalam hal kerahasiaan atas nasabah dan
data-data rekeningnya menyebabkan azas “know your customer”.
Penerapan pengaturan rahasia bank yang ketat dapat mengakibatkan
sulitnya untuk mengetahui data seseorang yang diduga merupakan hasil
tindak pidana.
d. Faktor belum diterapkannya azas “Know Your Customer”
Perbankan dan Penyedia Jasa Keuangan lainnya belum secara
sungguh-sungguh menerapkan sistem ini, sehingga seseorang dapat menyimpan
dana dari suatau bank dengan menggunakan nama samaran (anonim).
e. Faktor electronic banking
Dengan diperkenalkannnya sistem ini dalam perbankan maka
diperkenalkannya ATM (Automated Teller Machine) dan wire transfer.
Electroric memberikan peluang bagi pencucian uang model baru
dengan menggunakan jaringan internet yang disebut cyber laundering.
f. Faktor electrinic money atau e-money
Dengan munculnya jenis uang baru ini yang disebut yang merupakan
suatu sistem yang secra digital ditandatangani suatu lembaga penerbit
melalui kunci enkripsi pribadi dan melalui enkripsi ini dapat
commerce melalui jaringan internet, pelaku tersebut juga sebagai
cyberspace atau cyber laundering. Mengakibatkan semakin sulitnya
untuk melacak kejahatan pencucian uang tersebut.
g. Faktor layering
Penggunaan secara berlapis pihak pemberi jasa hukum (lawyer) dimana
sumber pertama sebagai pemilik sesungguhnya atau siapa sebagai
penyimpan pertama tidak diketahui lagi jelas, karena deposan yang
terakhir hannyalah sekedar ditugasi untuk mendepositkannya di suatu
Bank. Pemindahan demikian dilakukan beberapa kali sehingga sulit
dilacak petugas.
h. Faktor pemberi jasa hukum (lawyer)
Adanya faktor ketentuan hukum bahwa hubungan lawyer dengan klien
adalah hubungan kerahasiaan yang tidak boleh diungkapkan.
Akibatnya, seorang lawyer tidak bisa dimintai keterangan mengenai
hubungan dengan kliennya.
i. Faktor kesungguhan pemerintah
Adanya ketidaksungguhan dari negara-negara untuk melakukan
pemberantasan praktek pencucian uang dengan sistem perbankan.
Ketidakseriusan demikian adalah karena suatu negara memandang
bahwa penempatan dana-dana di suatu bank sangat diperlukan untuk
pembiayaan pembangunan.
Belum adanya peraturan-peratran money laundering di dalam suatu
negara tertentu, sehingga menjadi pratek money laundering menjadi
subur.
Faktor penyebab terjadinya kejahatan pencucian uang (money laundering)
begitu komplek. Berbagai hal pendorong terjadinya praktek money laundering ini
menimbulkan makin tumbuh dan berkembangnya bagi pelaku money launering
untuk melakukan aktifitasnya baik dalam suatu negara maupun terhadap
negaranya sendiri.
5. Pentingnya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
Dalam peraktek pencucian uang (money laundering) terdapat beberapa
dampak negatif dan kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan pencucian uang
terhadap masyarakat antara lain:37
a. Pencucian uang memungkinkan para pengedar narkoba, penyeludup
dan penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal
ini akan mengakibatkan meningkatnya biaya penegakan hukum untuk
memberantasnya.
b. Kegiatan ini mempunyai potensi untuk merongrong masyarakat
keuangan sebagai akibat demikian besarnya jumlah uang yang terlibat
dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat
bersamaan dengan peredaran uang haram yang sangat besar.
37
c. Pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dan
secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan
mengurangi kesempatan kerja yang sah.
d. Masuknya uang dan dana hasil kejahatan ke dalam keuangan suatu
negara telah menarik unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan,
menurunkan kualitas hidup, dan meningkatkan kekhawatiran terhadap
keamanan nasional.
e. Pencucian uang dapat merugikan sektor swasta yang sah (Undermining
in the Legitimate Privet sector). Salah satu dampak mikro ekonomi
pencucian uang terasa di sektor swasta. Para pelaku kejahatan seringkali
menggunakan Perusahaan-perusahaan untuk mencampur uang haram
dengan uang sah, dengan maksud untuk menyamarkan uang hasil
kejahatannya. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki akses ke dana
haram yang sangat besar jumlahnya, yang memungkinkan mereka
untuk menyediakan barang-barang dan jasa yang dijual oleh
Perusahaan-perusahaan tersebut dengan harga yang jauh di bawah
pasar. Bahkan perusahaan ini dapat saja menjual barang-barang tersebut
di bawah harga produksinya. Dengan demikian mereka akan memiliki
competitive advantage terhadap perusahan yang bekerja secara sah. Hal
ini membuat bisnis yang sah menjadi kalah bersaing dan menjadi
bangkrut.
f. Pencucian uang dapat mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah
kejahatan yang terlibat dalam kegiatan pencucian uang adalah antara 2
sampai 5 persen dari gross domestic product dunia, atau sekurangnya
US$ 600.000 juta. Di beberapa negara dengan pasar yang baru tumbuh
(emerging market countries), dana tersebut dapat mengurangi anggaran
Pemerintah, sehingga dapat mengakibatkan hilangnya kendali
Pemerintah atas kebijakan ekonominya.
g. Dampak negatif lain dari pencucian uang adalah dapat menimbulkan
rusaknya reputasi negara. Tidak satupun negara, terlebih pada masa
ekonomi global ini, yang bersedia kehilangan reputasinya sebagai
akibat terkait dengan pencucian uang. Kepercayaan dunia akan terkikis
karena kegiatan-kegiatan pencucian uang dan kejahatan-kejahatan di
bidang keuangan yang dilakukan di negara bersangkutan, dan rusaknya
reputasi akan mengakibatkan negara tersebut kehilangan kesempatan
global yang sah sehingga hal tersebut dapat mengganggu pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi.
Besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian
suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi Internasional merasa
tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian lebih serius terhadap
pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain
karena kejahatan pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan
pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri.38
38
Beberapa dampak negatif dan kerugian yang di timbulkan oleh kegiatan
pencucian uang maka dapat disimpulkan penting adanya pencegahan dan
pemeberantasan tindak pidana pencucian uang tersebut. Kegiatan atau kejahatan
pencucian uang (money laundering) ini telah memperoleh perhatian besar dari
banyak negara. Setidaknya l5 negara di dunia, yang termasuk dalam anggota
Financial Action TaskForce on Money Laundering (FATF) telah menyatakan
perang terhadap pencucian uang.
B. Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
1. Bentuk-bentuk tindak pidana pencucian uang
Beberapa modus pencucian uang yang banyak digunakan oleh pelaku
pencucian uang adalah:39
a. Loan Back yakni dengan cara meminjam uangnya sendiri, Modus ini
terinci lagi dalam bentuk direct loan, dengan cara meminjam uang dari
perusahaan luar negeri, semacam perusahaan bayangan (immobilen
investment company) yang direksinya dan pemegang sahamnya adalah
dia sendiri, Dalam bentuk back to loan, dimana si pelaku peminjam
uang dari cabang bank asing secara stand byletter of credit atau
certificate of deposit bahwa uang didapat atas dasar uang dari
kejahatan, pinjaman itu kemudian tidak dikembalikan sehingga jaminan
bank dicairkan.
39
b. Smurfing, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan
memecah-mecah transaksi yang dilakukan oleh banyak pelaku.
c. Structuring, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan
memecah-mecah transaksi sehingga jumlah transaksi menjadi lebih
kecil.
d. U Turn, yaitu upaya untuk mengaburkan asal usul hasil kejahatan
dengan memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke
rekening asalnya.
e. Cuckoo Smurfing, yaitu upaya mengaburkan asal usul sumber dana
dengan mengirimkan dana-dana dari hasil kejahatannya melalui
rekening pihak ketiga yang menunggu kiriman dana dari luar negeri dan
tidak menyadari bahwa dana yang diterimanya tersebut merupakan
“proceed of crime”.
f. Pembelian aset/barang-barang mewah, yaitu menyembunyikan status
kepemilikan dari aset/ barang mewah termasuk pengalihan aset tanpa
terdeteksi oleh sistem keuangan.
g. Pertukaran barang (barter), yaitu menghindari penggunaan dana tunai
atau instrumen keuangan sehingga tidak dapat terdeteksi oleh sistem
keuangan.
h. Modus over invoices atau double invoice. Modus ini dilakukan dengan
mendirikan perusahaan ekspor-impor negara sendiri, lalu diluar negeri
(yang bersistem tax haven) mendirikan pula perusahaan bayangan (shell
Indonesia dan perusahaan yang ada diluar negeri itu membuat invoice
pembelian dengan harga tinggi inilah yang disebut over invoice dan bila
dibuat 2 invoices, maka disebut double invoices.
i. Underground Banking/Alternative Remittance Services, yaitu kegiatan
pengiriman uang melalui mekanisme jalur informal yang dilakukan atas
dasar kepercayaan.
j. Penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan dengan
menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari
terdeteksinya identitas dari pihak yang sebenarnya merupakan pemilik
dana hasil tindak pidana.
k. Mingling, yaitu mencampurkan dana hasil tindak pidana dengan dana
dari hasil kegiatan usaha yang legal dengan tujuan untuk mengaburkan
sumber asal dananya.
l. Penggunaan identitas palsu, yaitu transaksi yang dilakukan dengan
menggunakan identitas palsu sebagai upaya untuk mempersulit
terlacaknya identitas dan pendeteksian keberadaan pelaku pencucian
uang.
2. Wajib lapor perusahaan jasa keuangan
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menyatakan bahwa:
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Penyedia Jasa Keuangan (PJK) harus mewaspadai para pelaku yang
memanfaatkan sistem keuangan sebagai sarana kegiatan pencucian uang (money
laundering). Kewaspadaan sangat diperlukan untuk menghindari pemanfaatan
sistem keuangan sebagai sarana pencucian uang dan juga melakukan tindakan
yang diperlukan untuk menanggulangi perbuatan pencucian uang tersebut.
Kewajiban untuk mewaspadai tersebut pada dasarnya terdiri dari 5 unsur yaitu: 40
1. Identifikasi dan verifikasi nasabah/pengguna jasa keuangan;
2. Identifikasi transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transactions) dan transaksi tunai dalam jumlah tertentu (cash transactions);
3. Pelaporan transaksi keuangan; 4. Menata usahakan dokumen; 5. Pelatihan karyawan.
Pada setiap penyedia jasa keuangan harus terdapat pejabat/petugas sebagai
contact person dengan PPATK untuk penanganan kasus-kasus nasabah dan
transaksi keuangan yang dilaporkan. Hal ini akan mempercepat dan
mempermudah penanganan selanjutnya baik oleh PPATK maupun oleh penegak
hukum.41 Penyedia Jasa Keuangan (PJK) wajib menyampaikan laporan kepada
PPATK untuk hal-hal sebagai berikut :42
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baikdalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau
40
http;//www/ppatk.go.id/pdf/pedoman1.pdf,hal.13, diakses pada tanggal 10 Desember 2013
41
Ibid, hlm. 14. 42