• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pelaksanaan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Pelaksanaan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan."

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PELAKSANAAN STRATEGI

DIRECTLY 0BSERVED TREATMENT SHORTCOURSE (DOTS) DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PENGOBATAN

PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU

DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU (BP4) MEDAN

Oleh: M. FAHMY H

070100185

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN PELAKSANAAN STRATEGI

DIRECTLY 0BSERVED TREATMENT SHORTCOURSE (DOTS) DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PENGOBATAN

PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU

DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU (BP4) MEDAN

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh: M. FAHMY H NIM: 070100185

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Hubungan Pelaksanaan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS)

dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru

di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan

Nama : M. Fahmy H

NIM : 070100185

Pembimbing

(Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp-FK) NIP. 19530417 198003 2 001

Penguji I

(dr. Yunita Sari Pane, Msi) NIP. 19710620 200212 2 001

Penguji II

(dr. Nelly Efrida Samosir, Sp.PK) NIP. 19690906 200501 2 002

Medan, 29 November 2010 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

Angka kesakitan akibat tuberkulosis (TB) paru masih sangat tinggi di kalangan masyarakat, terutama di Indonesia ( ke-3 tertinggi jumlah penyakit TB di dunia). Solusi untuk meningkatkan angka kesembuhan penyakit TB tersebut, salah satunya dengan menggunakan Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai strategi penanggulangan yang melaksanakan pemberian obat anti tuberkulosis dan diawasi oleh pengawas minum obat (PMO) secara terus menerus sampai jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat keberhasilan pengobatan dan menekan angka kesakitan TB paru akan menurun. Namun sampai saat ini kejadian TB paru masih sangat tinggi di kalangan masyarakat.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain cross sectional.Sampel dalam penelitian ini adalah pasien TB paru di BP4 Medan yang telah menjalani pengobatan minimal 3 bulan dan bukan pasien yang telah berobat berpindah-pindah, MDR-TB dan pasien HIV-TB. Sampel diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengobatan dengan strategi DOTS pada pasien TB paru di BP4 Medan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pada penelitian didapatkan bahwa tingkat keberhasilan pengobatan TB paru dengan menggunakan strategi DOTS di BP4 Medan adalah 87 orang (87,6%) dari 97 pasien yang menjadi responden. Sedangkan responden yang pengobatannya tidak berhasil adalah 12 orang (27,4%). Angka ini melewati angka target global 85% dari WHA. Dengan α = 0,05 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat keberhasilan pengobatan pasien dengan pengetahuan pasien (p value = 0,004), dengan keteraturan berobat (p value < 0,0001), dengan status Drop out pasien (p value < 0,0001) dan dengan komitmen PMO (p value < 0,0001).

Kepada para pembuat kebijakan pengobatan untuk terus mempertimbangkan cara pengobatan TB paru yang lebih efektif dan tepat. Kepada pelayanan kesehatan, agar meningkatkan kinerjanya dalam program penanggulangan TB paru.

(5)

ABSTRACT

Morbidity due to tuberculosis (TB) tuberculosis is still very high in many communities, particularly in Indonesia (the 3rd highest number of TB disease in the world). Solutions to improve the cure rate of TB disease, one of them by using the Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) as a prevention strategy that implement anti-tuberculosis drug administration and supervised by the supervisor taking medication continuously until a specified time period. This is expected to increase treatment success rate and reduce morbidity of pulmonary tuberculosis will decline. But until recently the incidence of pulmonary TB is still very high in the community.

This study is a descriptive analytic cross sectional.Sampel design in this study were pulmonary TB patients in Medan BP4 who had undergone treatment at least 3 months and no patients have been treated sedentary, MDR-TB and HIV-TB patients. Samples were taken by using consecutive sampling technique.

This study aims to determine treatment success rate with DOTS strategy in patients with pulmonary tuberculosis in BP4 Medan and the factors that influence it. It was found that the treatment success rate of pulmonary TB using the DOTS strategy in Medan BP4 were 87 men (87.6%) of 97 patients who were respondents. While respondents failed treatment were 12 people (27.4%). This figure exceeded the global target of 85% of

the WHA. With α = 0.05 can be concluded that there is a relationship between

treatment success rate of patients with the knowledge of patients (p value = 0.004), with the regularity of medication (p value <0.0001), with status Drop out of patients (p value <0.0001 ) and with the commitment of PMO (p value <0.0001).

To policy makers continue to consider ways of treatment for pulmonary TB treatment more effective and appropriate. To health services, to improve its performance in pulmonary TB control program.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi

Maha Penyayang atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan

sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara

Karya tulis ilmiah ini berjudul “Hubungan Pelaksanaan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan

pada Pasien Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan”. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak menerima

bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima

kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp-FK, sebagai Dosen

Pembimbing saya yang telah banyak memberi arahan dan masukan kepada penulis,

sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Ibu dr. Yunita Sari Pane, Msi & Ibu dr. Nelly Efrida Samosir, Sp.PK selaku Dosen

Penguji yang telah meluangkan waktu dan pemikiran untuk kesempurnaan karya

tulis ilmiah ini.

4. Bapak dr. Adlan Lufti Sp.P selaku Kepala Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru

(BP4) Medan.

5. Ibu Rita sebagai Kepala Bagian Penelitian Penyakit Paru di Balai Pengobatan

Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan.

6. Para dosen dan staf pegawai di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas

(7)

7. Rasa hormat dan terima kasih yang tiada terhingga saya persembahkan kepada

kedua orang tua saya, ayahanda Drs. H. Abu Hanifah Siregar dan ibunda saya

Hj. Mirliaty Hasibuan serta saudara-saudara saya atas doa, semangat dan bantuan

yang diberikan kepada penulis selama ini.

8. Seluruh pasien TB paru di BP4 Medan yang telah bersedia menjadi responden dan

meluangkan waktu untuk menjawab kuesioner pada penelitian ini.

9. Seluruh teman-teman saya khususnya teman-teman Stambuk 2007 yang tidak bisa

saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama

mengikuti pendidikan.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk

itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi

kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita

semua.

Medan, November 2010

Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

2.1.1Definisi dan Klasifikasi Tuberkulosis Paru ... 5

2.1.2Morfologi dan Biomolekuler Mycobacterium tuberculosis ... 8

2.1.3Patogenesis Tuberkulosis Paru ... 9

2.1.4Manifestasi Klinis & Penegakan Diagnosis Tuberkulosis Paru .... 12

2.1.5Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru... 16

2.1.6Evaluasi Pengobatan Tuberkulosis Paru ... 19

2.2 Strategi DOTS ... 21

2.2.6Tingkat Keberhasilan ... 25

2.2.7Kendala Pelaksanaan DOTS ... 26

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 27

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 27

3.2 Definisi Operasional ... 27

(9)

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 30

4.1 Jenis Penelitian ... 30

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 30

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 31

4.5 Metode Analisis Data ... 33

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

5.1 Hasil Penelitian ... 34

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 34

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden ... 37

5.1.3 Hasil Analisis Data ... 38

5.1.4 Analisis Hasil Penelitian ... 54

5.2 Pembahasan ... 56

5.2.1 Pengetahuan Pasien TB Paru di BP4 Medan ... 56

5.2.2 Keteraturan Pasien TB Paru untuk Berobat di BP4 Medan ... 58

5.2.3 Status Drop Out Pasien TB Paru di BP4 Medan ... 60

5.2.4 Komitmen PMO kepada Pasien TB Paru ... 62

5.2.5 Hubungan Pengetahuan Responden dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan .. 63

5.2.6 Hubungan Pasien Berobat Teratur dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan .... 65

5.2.7 Hubungan Status Drop Out Pasien dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan ... 66

5.2.8 Hubungan Komitmen PMO dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan ... 67

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

6.1 Kesimpulan ... 69

6.2 Saran ... 71

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Dosis Obat Anti Tuberkulosis 16 2.2 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis 17 2.3 Pemberian Obat Dosis Tetap 18 4.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian 32 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan jenis kelamin 37 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan umur responden 37 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Penyebab TB Paru 38 5.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang

Cara Penularan TB Paru 39

5.5 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Cara Pemeriksaan 39 5.6 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Pelaksanaan DOTS 40 5.7 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Alasan Pasien

Mengikuti Program DOTS 40

5.8 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Jenis Obat

yang Digunakan dalam Program DOTS 41 5.9 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Efek Samping Obat yang Menimbulkan Urin Berwarna Merah 41 5.10 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Tindakan

Bila Terjadi Efek Samping Obat 42 5.11 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Sumber Informasi 42 5.12 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Tindakan Pasien

Bila Berat Badan Mulai Naik 43 5.13 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang TB Paru dan DOTS 43 5.14 Distribusi Frekuensi dan Persentase Sikap Pasien dalam Berobat 44 5.15 Distribusi Frekuensi dan Persentase Waktu Pasien untuk Datang atau

Periksa Ulang Kembali 44

(11)

5.19 Distribusi Frekuensi dan Persentase Sikap Pasien dalam Mengikuti Program DOTS 46 5.20 Distribusi Frekuensi dan Persentase Jawaban Pasien tentang Hal yang Paling Penting

dalam Pengobatan TB Paru 47 5.21 Distribusi Frekuensi dan Persentase tentang Lama Minimal Pengobatan TB Paru dengan

Strategi DOTS 48

5.22 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tindakan Pasien Ketika Bosan Minum

Obat Setiap Hari 48

5.23 Distribusi Frekuensi dan Persentase Jawaban Pasien tentang Waktu yang Paling Tepat untuk Berhenti Minum Obat 49 5.24 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tanggapan Pasien tentang Akibat

dari Minum Obat Tidak Teratur 49 5.25 Distribusi Frekuensi dan Persentase Drop Out Pasien 49 5.26 Distribusi Frekuensi dan Persentase Orang yang Menjadi PMO Pasien 50 5.27 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tanggapan Pasien tentang Fungsi dari PMO 50 5.28 Distribusi Frekuensi dan Persentase Orang yang Menyuruh Pasien untuk Minum OAT 51 5.29 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tindakan yang Dilakukan PMO

Ketika Pasien Minum Obat 51 5.30 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tanggapan PMO Ketika Pasien

Menyampaikan Keluhan Selama Pengobatan 52 5.31 Distribusi Frekuensi dan Persentase tentang Komitmen PMO 52 5.32 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tingkat Keberhasilan Pengobatan TB Paru di BP4 53 5.33 Hubungan Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang TB Paru & DOTS dengan Tingkat Keberhasilan

Pengobatan 54

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Dosis Obat Anti Tuberkulosis……… 15

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Riwayat Hidup Peneliti

2. Kuesioner

3.Informed consent

4.Ethical Cleareance

5.Surat Izin Penelitian

(14)

ABSTRAK

Angka kesakitan akibat tuberkulosis (TB) paru masih sangat tinggi di kalangan masyarakat, terutama di Indonesia ( ke-3 tertinggi jumlah penyakit TB di dunia). Solusi untuk meningkatkan angka kesembuhan penyakit TB tersebut, salah satunya dengan menggunakan Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai strategi penanggulangan yang melaksanakan pemberian obat anti tuberkulosis dan diawasi oleh pengawas minum obat (PMO) secara terus menerus sampai jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat keberhasilan pengobatan dan menekan angka kesakitan TB paru akan menurun. Namun sampai saat ini kejadian TB paru masih sangat tinggi di kalangan masyarakat.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain cross sectional.Sampel dalam penelitian ini adalah pasien TB paru di BP4 Medan yang telah menjalani pengobatan minimal 3 bulan dan bukan pasien yang telah berobat berpindah-pindah, MDR-TB dan pasien HIV-TB. Sampel diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengobatan dengan strategi DOTS pada pasien TB paru di BP4 Medan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pada penelitian didapatkan bahwa tingkat keberhasilan pengobatan TB paru dengan menggunakan strategi DOTS di BP4 Medan adalah 87 orang (87,6%) dari 97 pasien yang menjadi responden. Sedangkan responden yang pengobatannya tidak berhasil adalah 12 orang (27,4%). Angka ini melewati angka target global 85% dari WHA. Dengan α = 0,05 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat keberhasilan pengobatan pasien dengan pengetahuan pasien (p value = 0,004), dengan keteraturan berobat (p value < 0,0001), dengan status Drop out pasien (p value < 0,0001) dan dengan komitmen PMO (p value < 0,0001).

Kepada para pembuat kebijakan pengobatan untuk terus mempertimbangkan cara pengobatan TB paru yang lebih efektif dan tepat. Kepada pelayanan kesehatan, agar meningkatkan kinerjanya dalam program penanggulangan TB paru.

(15)

ABSTRACT

Morbidity due to tuberculosis (TB) tuberculosis is still very high in many communities, particularly in Indonesia (the 3rd highest number of TB disease in the world). Solutions to improve the cure rate of TB disease, one of them by using the Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) as a prevention strategy that implement anti-tuberculosis drug administration and supervised by the supervisor taking medication continuously until a specified time period. This is expected to increase treatment success rate and reduce morbidity of pulmonary tuberculosis will decline. But until recently the incidence of pulmonary TB is still very high in the community.

This study is a descriptive analytic cross sectional.Sampel design in this study were pulmonary TB patients in Medan BP4 who had undergone treatment at least 3 months and no patients have been treated sedentary, MDR-TB and HIV-TB patients. Samples were taken by using consecutive sampling technique.

This study aims to determine treatment success rate with DOTS strategy in patients with pulmonary tuberculosis in BP4 Medan and the factors that influence it. It was found that the treatment success rate of pulmonary TB using the DOTS strategy in Medan BP4 were 87 men (87.6%) of 97 patients who were respondents. While respondents failed treatment were 12 people (27.4%). This figure exceeded the global target of 85% of

the WHA. With α = 0.05 can be concluded that there is a relationship between

treatment success rate of patients with the knowledge of patients (p value = 0.004), with the regularity of medication (p value <0.0001), with status Drop out of patients (p value <0.0001 ) and with the commitment of PMO (p value <0.0001).

To policy makers continue to consider ways of treatment for pulmonary TB treatment more effective and appropriate. To health services, to improve its performance in pulmonary TB control program.

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis. TB sudah ditemukan sejak ribuan tahun sebelum masehi, dan

dikenal sebagai penyakit yang mematikan (Rouillon, 2010).

Pada tahun 1993, World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB

sebagai Global Health Emergency (Rouillon, 2010). Dengan demikian, TB merupakan

salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia. Laporan WHO (2010a)

menyatakan bahwa pada tahun 2008 terdapat 8,9-9,9 juta kasus TB dan 5,7 juta

diantaranya menunjukkan Basil Tahan Asam (BTA) positif / TB (+). Berdasarkan data dari

regional WHO, jumlah kasus TB yang terjadi di Asia Tenggara adalah 33 % dari seluruh

kasus TB di dunia, dan bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000

penduduk, sedangkan di Afrika hampir 2 kali jumlah kasus di Asia tenggara, yaitu 350 per

100.000 penduduk.

Pengobatan penyakit ini dilakukan dengan mengikuti program penanganan TB secara

internasional dan memerlukan waktu yang cukup lama yang berkisar 6 - 9 bulan atau

bahkan lebih, sehingga perlu dilakukan pemberian obat secara berkala dan diikuti dengan

pengawasan (follow up) yang baik. Oleh karena itu, pada tahun 1995 WHO telah

merekomendasikan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai

strategi pengobatan TB secara internasional (Rouillon, 2010). Di dalam strategi

DOTS terdapat pengawas minum obat (PMO) yang mempunyai tugas untuk mengawasi

pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan

dan semangat kepada pasien, mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu

yang telah ditentukan serta memberi penyuluhan sehingga pasien mengetahui, mengerti,

dan patuh terhadap pengobatan yang diberikan. DOTS memiliki beberapa tujuan yaitu

(17)

serta mencegah terjadinya multidrug resistance (MDR), agar jumlah penderita TB dapat

dikontrol. Dengan menggunakan strategi DOTS ini, diharapkan tingkat keberhasilan

pengobatan TB khususnya di Indonesia akan terus meningkat (Gerdunas-TB, 2007).

Pengobatan TB dengan strategi DOTS dinilai berhasil bila memenuhi beberapa

kriteria, yaitu pasien selalu diawasi minum obat oleh PMO, pasien minum obat secara

teratur, pasien tidak putus berobat (drop out), dan mendapat penjelasan tentang TB

sehingga pasien sembuh dilihat pada pemeriksaan dahak hasilnya TB (-), dan adanya

perbaikan klinis berupa hilangnya batuk, penambahan nafsu makan dan berat badan

(WHO, 2010c).

Penelitian WHO (2010a) tentang tingkat keberhasilan pengobatan dengan DOTS

ditemukan angka keberhasilan pengobatan tertinggi adalah 86% yaitu pada tahun 2007. Itu

adalah pertama kalinya pengobatan dengan DOTS melewati angka target global yaitu 85%

sesuai dengan ketetapan World Health Assembly (WHA) tahun 1991. Asia Tenggara

memiliki angka keberhasilan 88% sedangkan di daerah Eropa masih sangat rendah yaitu

67%.

Kesungguhan pemerintah dalam pemberantasan TB telah ditunjukkan dengan

dicanangkannya Gerakan Terpadu Nasional untuk Pemberantasan Tuberkulosis

(Gerdunas-TB) oleh Menteri Kesehatan Indonesia tanggal 24 Maret 1999 yang masih berlanjut hingga

sekarang. Pada program ini, semua pihak dilibatkan dalam penanggulangan penyakit TB

secara tuntas (Gerdunas-TB, 2007).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Sumatera Utara (2008), TB paru di Sumatera

Utara pada tahun 2007, tercatat sebanyak 90.207 kasus, dan 11.102 kasus TB (+). Pasien

TB yang telah diobati sebanyak 12.179 orang, dengan angka kesembuhan 9.140 (75,05%).

Di sisi lain, data dari Dinas Kesehatan Kota Medan (2009) menunjukkan bahwa kasus TB

paru di kota Medan tahun 2008 mengalami peningkatan dari tahun 2007. TB paru klinis

pada tahun 2008 sebesar 10.508 kasus sedangkan pada tahun 2007 sebesar 9.411. Selain

itu, pasien TB paru tahun 2008 yang diobati hanya 2.505 dengan angka kesembuhan hanya

(18)

masih sangat rendah meskipun telah dilakukan pengobatan dengan strategi DOTS sehingga

harus menjadi perhatian yang baik dalam pelaksanaannya.

Balai Pengobatan Penyakit Paru – Paru (BP4) merupakan salah satu tempat yang

menjadi wadah dalam pengobatan pasien TB secara berkala. Pengobatan yang dilakukan di

BP4 telah mengikuti program pemberantasan tuberkulosis nasional yaitu dengan

menerapkan strategi DOTS, yang dianggap mampu meningkatkan keberhasilan pengobatan

dan memutus rantai penularan TB.

1.2.Rumusan Masalah

Oleh karena permasalahan tuberkulosis yang tidak habis-habisnya di masyarakat,

meskipun telah diobati dengan strategi DOTS, maka penulis menganggap perlu dilakukan

penelitian tentang tingkat keberhasilan pelaksanaan strategi DOTS dalam pemberantasan

TB, agar diperoleh angka keberhasilan strategi DOTS.

Berdasarkan fakta dan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah pelaksanaan strategi DOTS di BP4 Medan berhasil meningkatkan

kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi OAT?

2. Apakah pasien TB paru yang mendapat pengobatan dengan strategi DOTS berhasil

menyelesaikan pengobatan dan tidak drop out?

3. Apakah pasien TB paru mendapat penjelasan dari dokter ataupun PMO tentang

penyakit TB paru dan cara pengobatannya sehingga pasien mengerti dan patuh

dalam mengikuti program DOTS tersebut?

4. Bagaimana pengawasan dan keseriusan PMO dalam pelaksanaan DOTS di BP4

Medan?

1.3.Tujuan Penelitian

(19)

Mengetahui tingkat keberhasilan srategi DOTS pada pasien TB paru di BP4 Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Memperoleh data mengenai tingkat kepatuhan pasien TB paru dalam

mengkonsumsi OAT selama mengikuti program DOTS di BP4 medan.

2. Mengetahui tingkat pengetahuan pasien yang mengikuti program DOTS dan

hubungannya dengan tingkat keberhasilan pengobatan di BP4 Medan.

3. Mengetahui keteraturan berobat pasien yang mengikuti program DOTS dan

hubungannya dengan tingkat keberhasilan pengobatan di BP4 Medan.

4. Mengetahui status drop out pasien yang mengikuti program DOTS dan

hubungannya dengan tingkat keberhasilan pengobatan di BP4 Medan.

5. Mengetahui tindakan pengawasan dan keseriusan PMO dalam pelaksanaan DOTS

dan hubungannya dengan tingkat keberhasilan pengobatan di BP4.

1.4.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :

1. Memberi rujukan bagi pembuat kebijakan pengobatan untuk mempertimbangkan

cara pengobatan TB paru yang efektif dan tepat.

2. Memberi rujukan bagi pelayanan kesehatan untuk melakukan pengobatan TB paru

dengan cara yang benar dan sesuai standar pengobatan.

3. Menambah perhatian kelompok keilmuan terhadap penanggulangan TB di

masyarakat dan mendorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut demi mencari

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tuberkulosis Paru

2.1.1. Definisi dan Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh basil

Mycobacterium tuberculosis dengan gejala klinik yang sangat bervariasi dan menyerang

pada bagian atau organ tubuh tertentu misalnya paru-paru, kelenjar getah bening, selaput

otak, tulang, ginjal, kulit dan lain-lain. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit

saluran pernapasan bagian bawah dan termasuk penyakit infeksi terpenting setelah

penyakit malaria (Mukty, 2005). Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan

kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis

ektrapulmonar (Djojodibroto, 2009)

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2006), mengklasifikasikan

tuberkulosis paru berdasarkan 2 hal yaitu Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau basil

tahan asam (BTA) dan berdasarkan golongan pasien. Klasifikasinya yaitu :

2.1.1.1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan

radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan

(21)

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan

kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan

Mikobakterium tuberkulosis.

2.1.1.2. Berdasarkankan golongan pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe

pasien yaitu :

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis

dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat

dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+) atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan

negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis

maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll).

- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani

kasus tuberkulosis.

c. Kasus defaulted atau drop out (lalai)

Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2

(22)

d. Kasus gagal

Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada

akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.

e. Kasus kronik

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan

ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

f. Kasus Bekas TB

Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru

menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang

menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan

gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan serta

pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

Pembagian Tuberkulosis menurut WHO didasarkan pada terapi yang terbagi menjadi 4

kategori yaitu :

Kategori I, ditujukan terhadap :

• Kasus baru dengan dahak positif

• Kasus baru dengan bentuk TB berat Kategori II, ditujukan terhadap :

• Kasus kambuh

• Kasus gagal dengan dahak BTA positif Kategori III, ditujukan terhadap :

• Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas

(23)

2.1.2.

Genom Mycobacterium Tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan

kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui

lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen

Morfologi dan Biomolekuler Mycobacterium tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch (1882) yaitu kuman yang

berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul.

Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Kuman akan tumbuh

optimal pada suhu sekitar 37° C dengan tingkat pH optimal pada 6,4 sampai 7,0. Untuk

membelah diri dari satu sampai dua kuman membutuhkan waktu 14-20 jam (Aditama,

2006). Dinding Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak

cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding selnya ialah asam mikolat, lilin kompleks

(complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial

sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai

panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan

dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel

bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur

dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis

bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya

penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.

Karakteristik antigen Mycobacterium tuberculosis dapat diidentifikasi dengan

menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat

molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan

antigen Mycobacterium tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang

tidak disekresi (somatik). Di lapisan luar dinding sel ditemukan suatu lipid yang terbentuk

dari asam mikolat berantai panjang. Asam mikolat ini mengalami esterifikasi sehingga

terdapat tiga elemen dinding basil TB, yaitu lipid yang berasal dari asam mikolat,

(24)

yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA

target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan

kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.

2.1.3.

Jika droplet tadi terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan terdampar pada

dinding saluran pernapasan. Droplet besar akan terdampar pada saluran pernapasan bagian

atas, droplet kecil akan masuk ke dalam alveoli di lobus mana pun; tidak ada prediksi

lokasi terdamparnya droplet kecil. Pada tempat terdamparnya, basil tuberkulosis akan

membentuk suatu focus infeksi primer berupa tempat pembiakan basil tuberkulosis tersebut

dan tubuh penderita akan memberikan reaksi inflamasi. Basil TB yang masuk tadi akan

mendapatkan perlawanan dari tubuh, jenis perlawanan tubuh tergantung kepada

Patogenesis Tuberkulosis Paru

Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui udara secara langsung dari penderita TB

kepada orang lain. Dengan demikian, penularan penyakit TB terjadi melalui hubungan

dekat antara penderita dan orang yang tertular (terinfeksi), misalnya berada di dalam

ruangan tidur atau ruang kerja yang sama. Penderita penyakit TB sering tidak tahu bahwa

ia menderita sakit tuberkulosis (Djojodibraoto, 2009). Sumber penularan adalah pasien

dengan TB BTA (+) yang pada saat batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke

udara dalam bentuk dahak (droplet nuclei). Sekali batuk pasien tersebut dapat

menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan

dimana percikan / partikel dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat

mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari dapat langsung membunuh kuman.

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari

parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien

tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh

konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Gerdunas-TB,

(25)

pengalaman tubuh, yaitu pernah mengenal basil TB atau tidak pernah sama sekali

(Djojodibroto, 2009).

2.1.3.1. Tuberkulosis Primer

Individu yang terinfeksi basil TB untuk pertama kalinya hanya memberikan reaksi

seperti jika terdapat benda asing di saluran pernapasan. Selama tiga minggu, tubuh hanya

membatasi fokus infeksi primer melalui mekanisme peradangan, tetapi kemudian tubuh

juga mengupayakan pertahanan imunitas selular (delayed hypersensitivity). Setelah 3

minggu terinfeksi basil TB, tubuh baru mengenal seluk-beluk basil TB. Setelah 3-10

minggu, basil TB akan mendapat perlawanan yang berarti dari mekanisme sistem

pertahanan tubuh ditandai dnegan timbulnya reaktivitas dan peradangan spesifik. Proses

pembentukan pertahanan imunitas selular akan lengkap setelah 10 minggu. Kuman

tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga

akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer.

Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja di dalam paru, berbeda dengan

sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening

menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar

getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama

dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer (Sudoyo, 2007). Kompleks

primer ini selanjutnya dapat menjadi beberapa pilihan sebagai berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum). Ini

yang paling banyak terjadi.

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis – garis fibrotik, kalsifikasi di

hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10% di

antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.

(26)

a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis,

yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar

hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas

bersangkutan, dengan akibat atelektasis.

b. Penyebaran secara bronkogen, penyebaran pada paru yang bersangkutan maupun ke

paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama dahak dan ludah sehingaa

menyebar ke usus.

c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya

tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman Penyebaran ini dapat menimbulkan

tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan

sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :

- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak

setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau

- Meninggal.

Sebagian besar orang yang terkena infeksi basil tuberkulosis dapat berhasil

mengatasinya, hanya beberapa orang saja (3-4% dari yang terinfeksi) yang tidak berhasil

menanggulanginya keganasan basil TB (Djojodibroto, 2009).

2.1.3.2. Tuberkulosis Post-Primer (Tuberkulosis Sekunder)

TB post-primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen

setelah TB primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. TB post-primer mempunyai

nama yang bermacam-macam yaitu TB bentuk dewasa, localized tuberculosis, TB

menahun, dan sebagainya. Bentuk TB inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan

masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan. TB sekunder terjadi karena imunitas

menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit malignan, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB

post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal pesterior

lobus superior maupun lobus inferior. Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan

(27)

Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni

ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

1. Dihisap / reabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan

jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk

perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan

keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan

muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,

kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).

2.1.4. Manifestasi Klinis & Penegakan Diagnosis Tuberkulosis Paru

Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah banyak

pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Gejala

respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan gejala yang paling

sering terjadi dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit ini. Bila bronkus

belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk

yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk

membuang dahak ke luar. Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa

pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau

miliar. Nyeri dada biasanya bersifat nyeri pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses

penyakit. Demam dapat terjadi menetap dan naik turun sehingga pasien merasa tidak

pernah terbebas dari serangan demam ini. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan

tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk. Gejala malaise sering

ditemuka n berupa anoreksia tidak nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun),

sakit kepala, ,meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain. Gejala malaise ini makin

(28)

Proses penegakan diagnosis diawali dengan anamnesis tentang gejala – gejala yang

ada kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Setelah itu akan dilakukan

pemeriksaan dahak untuk mencari ada tidaknya kuman TB dalam bentuk basil tahan asam

(BTA) (CDC, 2010). Untuk mendapatkan hasil yang akurat diperlukan rangkaian kegiatan

yang baik, mulai dari cara batuk untuk mengumpulkan dahak, pemilihan bahan dahak yang

akan diperiksa, teknik pewarnaan dan pengolahan sediaan serta kemampuan membaca

sediaan di bawah mikroskop. Harus diketahui bahwa untuk mendapatkan BTA (+) di

bawah mikroskop diperlukan jumlah kuman yang tertentu, yaitu sekitar 5.000 kuman/ml

dahak (Aditama, 2006).

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan

pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan

diagnosis dengan mengumpulkan 3 bahan dahak yang dikumpulkan dalam dua hari

kunjungan yang berurutan yang dikenal dengan konsep Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

Sewaktu : dahak dikumpulkan pada saat pasien yang diduga TB dating berkunjung pertama

kali. Saat pulang suspek membawa pot penampung dahak..

Pagi : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.

Pot penampung dibawa sendiri kembali.

Sewaktu : dahak dikumpulkan pada hari kedia, saat pasien menyerahkan dahak pagi hari.

Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 X berturut-turut untuk menghundari

faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 X positif, maka pasien sudah

dapat dipastikan sakit TB paru (Hudoyo, 2008).

Untuk interpretasi pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan

skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease) yaitu :

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

- Ditemuka n 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan

- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

(29)

- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-macam

bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:

- Bayangan berawan di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior

lobus bawah.

- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan / nodular.

- Bayangan bercak milier.

- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan

dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks karena pemeriksaan

mikroskopis sangat spesifik (98%) untuk TB paru (WHO, 2002) . Namun pada kondisi

tertentu pemeriksaan foto toraks sangat perlu dilakukan sesuai dengan indikasi (Gambar

2.1) sebagai berikut:

• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Harus dilakukan pemeriksaan

foto toraks dada untuk mendukung diagnosis TB paru BTA (+)

• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada

pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah diberi

pengobatan dengan antibiotik non-OAT.

•Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan

penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau

(30)

Gambar 2.1. Alur Penegakan Diagnosis Tuberkulosis Paru

(Gerdunas-TB, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Available from

2.1.5.

Dosis yang dianjurkan oleh International Union Against Tuberculosis (IUAT) adalah

dosis pemberian setiap hari dan dosis pemeberian intermitten. Perlu diingat bahwa dosis

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Pengobatan TB menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT) harus adekuat dan

minimal 6 bulan. Setiap Negara harus mempunyai pedoman dalam pengobatan TB yang

disebut National Tuberculosis Programme (Program Pemberantasan TB). Prinsip

pengobatan TB adalah menggunakan multidrugs regimen. Hal ini bertujuan untuk

mencegah terjadinya resistensi basil TB terhadap obat. OAT dibagi dalam dua golongan

besar, yaitu obat lini pertama dan obat lini kedua (PDPI, 2006).

Obat lini pertama (utama) adalah isonoazid (H), etambutol (E), pirazinamid (Z),

rifampisin (R), sedangkan yang termasuk obat lini kedua adalah etionamide, sikloserin,

amikasin, kanamisin kapreomisin, klofazimin dan lain-lain yang hanya dipakai pada pasien

(31)

pemberian setiap hari berbeda dengan dosis intermitten yang lebih lama berkisar 3 hari 1 X

[Tabel 2.1]. Setiap obat memiliki efek samping tertentu begitu juga dengan OAT, maka

harus diperhatiakn cara penanganannya [Tabel 2.2].

Tabel 2.1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis Paru

Nama Obat

Dosis yang direkomendasikan

Dosis Pemberian Setiap Hari Dosis Pemberian Intermittern

mg/kgBB Maksimum (mg) mg/kgBB Maksimum (mg)

Isoniazid (H)

(Djojodibroto, D., 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC.)

Tabel 2.2. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

Efek samping Penyebab Tatalaksana

MINOR OAT DITERUSKAN

Tidak nafsu makan, mual, sakit

perut

Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur

Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/ allopurinol

Kesemuran s/d rasa terbakar di

kaki

INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100

mg perhari

Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi

apa-apa

MAYOR HENTIKAN OBAT

(32)

OAT ketat

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan

Gangguan keseimbangan

(vertigo & nistagmus)

Streptomisin Streptomisin dihentikan

Ikterik / hepatitis imbas obat

(penyebab lain disingkirkan)

Sebagian

besar OAT

Hentikan semua OAT sampai ikterik

menghilang dan boleh diberikan

hepatoprotektor

Muntah dan confusion Sebagian

besar OAT

Hentikan semua OAT dan lakukan

uji fungsi hati

Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol

Kelainan sistemik, termasuk

syok dan purpura

Rifampisin Hentikan rifampisin

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Available from:

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk

menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB. International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk mengganti

paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap yang terdiri dari fase intensif dengan

fase lanjutan [Tabel 2.3] dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Keuntungan

kombinasi dosis tetap antara lain:

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal

2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan

yang tidak disengaja.

3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan

standar.

4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.

5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan

(33)

Tabel 2.3. Pemberian Obat Dosis Tetap

BB

Fase intensif Fase lanjutan

2 bulan 4 bulan

Harian Harian 3x/minggu Harian 3X/minggu

RHZE

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Available from:

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang

telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas

dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut,

bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis paru

ataupun fasiliti yang mampu menanganinya. Paduan obat anti TB menurut program

pemberantasan TB paru yang dipergunakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO

ada tiga:

Kategori 1 : 2HRZE/ 4H3R3

Pada pasien baru TB paru (+), pasien TB paru BTA(-) foto toraks (+)

Kategori 2 :2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Pada pasien kambuh, gagal dan pada pasien dengan pengobatan terputus.

Kategori 3 :2HRZ/4H3R3

(34)

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat,

serta evaluasi keteraturan berobat (PDPI, 2006).

Evaluasi klinik

- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap

1 bulan.

- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya

komplikasi penyakit.

- Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

· Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

· Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik harus selalu dilakukan yaitu :

- Sebelum pengobatan dimulai

- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

- Pada akhir pengobatan

· Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

· Sebelum pengobatan

· Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan

keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)

· Pada akhir pengobatan

Evalusi keteraturan berobat

· Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan minum obat

(35)

penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada

pasien, keluarga dan lingkungannya.

· Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Kriteria Sembuh

- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan

telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.

- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan.

- Adanya perbaikan klinis berupa hilangnya batuk, penambahn berat badan dan lain-lain

- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif.

2.2. Strategi DOTS

2.2.1. Pengertian DOTS

Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah suatu stategi pengobatan TB

paru dengan OAT yang mengutamakan pengawasan minum obat selama masa pengobatan,

mencegah pasien drop out (putus berobat) serta pencarian dan penemuan kasus baru di

masyarakat. Dalam program ini terdapat pengawas minum obat (PMO) yang mempunyai

tugas untuk PMO mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan, memberi dorongan dan semangat kepada pasien, mengingatkan pasien untuk

periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan serta memberi penyuluhan kepada

pasien. Organisasi kesehatan dunia, WHO (2010c) menyatakan bahwa kunci keberhasilan

program penanggulangan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah

dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang

sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.

(36)

Menurut WHO (2010b), DOTS mengandung lima komponen penting, yaitu :

1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional.

2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis, utamanya dilakukan pada

mereka yang datang ke fasilitas kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan.

3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah

DOT (Directly Observed Therapy). Pasien diawasi secara langsung ketika menelan

obatnya, obat yang diberikan harus sesuai dengan standar. Seperti diketahui,

pengobatan TB memakan waktu 6 bulan. Setelah makan obat 2 atau 3 bulan tidak

jarang keluhan pasien telah menghilang, ia merasa dirinya telah sehat, dan

menghentikan pengobatannya. Karena itu, harus ada suatu sistem yang menjamin

pasien mau menyelesaikan seluruh masa pengobatannya sampai selesai. Orang yang

melakukan pengawasan dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, keluarga, ataupun

kader disebut PMO.

4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan (tersedia). Masalah uatama dalam hal ini

adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah.

5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /stándar. Setiap pasien TB yang

diobati harus mempunyai satu kartu identitas pasien yang kemudian tercatat di catatan

TB yang ada di fasilitas kesehatan tersebut.

2.2.3. Pelaksanaan DOTS

Untuk meningkatkan pelaksanaan DOTS, saat ini telah terdapat 6 elemen kunci dalam

strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO dan IUALTD (WHO, 2006) yaitu:

1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan

penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien

tidak mampu.

2. Memberikan perhatian pada kasus HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan

(37)

3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang

lain dan pelayanan umum.

4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan non-pemerintah dengan

pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International

Standards of TB Care.

5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada

pemeliharaan kesehatan yang efektif.

6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat

diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan

program.

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang juga sangat berperan

dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB

harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu

pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan

formulir yang sudah baku pula.

Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa

item/formulir yaitu :

1. Kartu pengobatan TB

2. Kartu identitas penderita TB

3. Register laboratorium TB

4. Formulir pindah penderita TB bila pasien pindah pengobatan

5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan

2.2.4. Pengawas Minum Obat ( PMO)

Salah satu komponen DOTS yang paling penting adalah pengobatan paduan OAT

jangka pendek dengan pengawasan langsung minum obat. Untuk menjamin keteraturan

pengobatan diperlukan seorang Pengawas Minum Obat (PMO). Syarat-syarat PMO antara

(38)

• Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

• Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya,

Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang

memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK,

atau tokoh masyarakat lainnya.

PMO merupakan kunci dari keberhasilan DOTS tersebut. PMO memiliki beberapa tugas

penting yaitu:

• Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan (6-9 bulan)

• Memberi dorongan dan semangat kepada pasien berupa nasehat – nasehat

• mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan ataupun bila terdapat indikasi lain

• Memberi penyuluhan kepada pasien & keluarga pasien mengenai penyakit TB dan mengawasi keluarga pasien yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB agar

melakukan pemeriksaan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit

pelayanan kesehatan (Depkes, 2006)

Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan

keluarganya:

• TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

• TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.

• Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.

• Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).

(39)

• Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke

pelayanan kesehatan.

2.2.5.

• Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada

Tindakan Penyuluhan

Pemberian penyuluhan tentang penyakit TB dan cara pengobatannya juga harus

dilakukan. penyuluhan dapat dilakukan secara :

· Peroranga/Individu

Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit

rawat jalan, di apotek saat mengambil obat ataupun di rumah-rumah penduduk.

· Kelompok

Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga

pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit, balai pengobatan dan lain-lain

Cara memberikan penyuluhan

• Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya

• Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas

• Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet dan lain-lain)

2.2.6.

Tingkat keberhasilan pengobatan dengan DOTS merupakan hal yang sangat

penting diperhatikan. Nilai ini akan menunjukkan apakah strategi DOTS tersebut berhasil

atau gagal dilaksanakan. Menurut laporan WHO (2010a), keberhasilan DOTS antara

tahun 1995 sampai 2008 adalah 36 juta orang tetapi lebih dari 6 juta orang lainnya gagal

(40)

diobati dan meninggal. Angka ini menunjukkan masih banyak kasus TB yang tidak

tertangani walaupun dengan menggunakan strategi DOTS. Pada penelitian tingkat

keberhasilan strategi DOTS pada pasien TB (+) baru (pertama kali berobat) oleh WHO

(2010a) ditemukan angka keberhasilan pengobatan adalah 86% yaitu pada tahun 2007. Itu

adalah pertama kalinya pengobatan dengan DOTS melewati angka target global yaitu

85% sesuai dengan ketetapan World Health Assembly (WHA) tahun 1991. Asia Tenggara

memiliki angka keberhasilan 88% sedangkan di daerah Eropa masih sangat rendah yaitu

67%..

Di Indonesia, keberhasilan strategi DOTS dinilai cukup berhasil. Data dari WHO

(2010a) menunjukkan keberhasilan DOTS terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada

tahun 2007, keberhasilan DOTS mencapai 91% pada kasus TB (+) baru. Angka ini

menunjukkan kemajuan yang sangat berarti dari pengobatan TB paru dengan DOTS.

Di kota Medan, tingkat kesembuhan pasien TB paru pada tahun 2008 sangat rendah

yaitu 770 orang dari 2.505 kasus (30,74%). Banyak hal yang menyebabkan kasus TB di

kota Medan tidak sembuh atau gagal berobat (Depkes, 2009).

2.2.7. Kendala Pelaksanaan DOTS

Masih banyak kendala dalam pelaksanaan DOTS merupakan faktor yang

mempersulit dalam pemberantasan TB. Salah satu kendala yang paling sering terjadi

adalah rendahnya compliance dan pengetahuan penderita yaitu pasien TB paru tidak

mengerti dan tidak sadar akan pentingnya pengobatan yang berkelanjutan dan teratur

yang diberikan kepadanya sehingga pasien biasanya tidak begitu peduli mengikuti

prosedur pengobatan (Gitawati, 2002).

Kendala lain yang ditemukan dalam pengobatan dengan DOTS antara lain :

(41)

2. Pasien merasa bosan dengan pengobatan yang sangat lama sehingga menolak untuk

minum obat lagi. Hal ini seharusnya bisa diatasi dengan pemberian penjelasan dari awal

pengobatan.

3. Ketersedian obat juga salah satu kendala pengobatan khususnya pada daerah yang sulit

(42)

Pengobatan dengan Strategi DOTS

drop out rendah

Keberhasilan Pengobatan Berobat teratur

Pengetahuan Pasien tentang TB paru &

DOTS

Komitmen PMO

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian, maka kerangka konsep penelitian ini adalah:

INDEPENDENT VARIABLE DEPENDENT VARIABLE

3.2. Definisi Operasional

a. DOTS adalah suatu stategi pengobatan TB paru dengan OAT selama 6 – 9 bulan yang

mengutamakan pengawasan minum obat selama masa pengobatan, mencegah pasien

drop out (putus berobat) serta pencarian dan penemuan kasus baru di masyarakat

b. Pengetahuan pasien tentang TB paru dan DOTS adalah segala sesuatu yang diketahui

pasien mengenai TB paru dan pelaksanaan strategi DOTS karena setiap pasien TB

paru yang menjalani pengobatan dengan DOTS seharusnya telah diberi penjelasan

tentang penyakit TB paru yang dideritanya dan strategi pengobatan DOTS oleh dokter,

petugas kesehatan ataupun PMO. Dinilai pengetahuan pasien dan sumber informasinya

mengenai penyakit TB paru dan strategi pengobatan DOTS yang dijalaninya.

Cara ukur : wawancara

Alat ukur : kuesioner, pertanyaan yang diajukan adalah 10 pertanyaan dengan 3 pilihan

(43)

- Jawaban yang benar diberi skor 2

- Jawaban yang salah diberi skor 0

Kategori : * pengetahuan baik (total skor 11-20)

* pengetahuan buruk (total skor 0-10)

c. Berobat teratur artinya pasien TB paru mengkonsumsi obat secara tepat waktu dan

tepat dosis yang berkelanjutan sesuai dengan pemberian dan saran dokter serta

melakukan pemeriksaan secara berkala. Dinilai kepatuhan pasien dalam

mengkonsumsi OAT dan melakukan pemeriksaan ulang selama pengobatan.

Cara ukur : wawancara

Alat ukur : kuesioner, pertanyaan yang diajukan adalah 5 pertanyaan dengan 3 pilihan

jawaban

- Jawaban yang benar diberi skor 2

- Jawaban yang salah diberi skor 0

Kategori : * Berobat teratur (total skor 6-10)

* Berobat tidak teratur (total skor 0-5)

d. Drop out rendah artinya pasien terus dipantau, diikuti dan diawasi sehingga pasien

tidak putus berobat dan jumlah kasus putus berobat menjadi rendah. Dapat dinilai dari

rekam medis dan kartu berobat pasien TB paru selama menjalani pengobatan.

Cara ukur : wawancara

Alat ukur : kuesioner, pertanyaan yang diajukan adalah 5 pertanyaan dengan 3 pilihan

jawaban

- Jawaban yang benar diberi skor 2

- Jawaban yang salah diberi skor 0

Kategori : * drop out (-) (total skor 6-10)

(44)

d. Komitmen PMO artinya keseriusan pengawas minum obat dalam menjalankan

tugasnya yaitu mengawasi dan memberi nasehat kepada pasien selama pengobatan

berlangsung.

Cara ukur : wawancara

Alat ukur : kuesioner, pertanyaan yang diajukan adalah 5 pertanyaan dengan 3 pilihan

jawaban

- Jawaban yang benar diberi skor 2

- Jawaban yang salah diberi skor 0

Kategori : * Komitmen PMO baik (total skor 6-10)

* Komitmen PMO buruk (total skor 0-5)

f. Keberhasillan pengobatan adalah hasil akhir dari strategi pengobatan minimal 6 bulan

pengobatan dengan kriteria sembuh yaitu:

- Pada pemeriksaan dahak BTA hasilnya adalah TB (-)

- Pada foto toraks, gambaran radiologi tetap sama / adanya perbaikan

- Adanya perbaikan klinis pada pasien berupa meningkatnya nafsu makan,

penambahan berat badan, dan hilangnya keluhan batuk dan malaise.

- Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif.

Dinilai dengan melihat kartu status penderita TB paru dan rekam medis pasien.

3.3. Hipotesa

Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru dengan menggunakan strategi DOTS masih rendah di BP4 Medan

Terdapat hubungan pengetahuan pasien dengan tingkat keberhasilan pengobatan

Terdapat hubungan keteraturan berobat pasien dengan tingkat keberhasilan pengobatan

Terdapat hubungan status drop out pasien dengan tingkat keberhasilan pengobatan

(45)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4,1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan menggunakan

desain cross sectional yaitu pengambilan data penelitian dalam satu waktu di rentang

waktu tertentu.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan yang

merupakan suatu wadah pemerintah provinsi Sumatera Utara yang khusus melayani

penyakit paru khususnya TB paru yang masih menjadi masalah penting di masyarakat.

Pengobatan TB paru di BP4 sudah menggunakan strategi pengobatan yang ingin

diteliti yaitu strategi DOTS yang dianggap akan berhasil di Indonesia. Pelaksanaan dan

pengumpulan data penelitian telah dilakukan selama beberapa bulan yaitu bulan Juli -

November tahun 2010 di BP4 Medan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi target adalah pasien TB paru yang menjalani pengobatan dengan strategi

DOTS. Sedangkan populasi terjangkau adalah pasien TB paru yang menjalani

pengobatan dengan strategi DOTS di BP4 Medan.

Sampel diambil setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi

adalah pasien TB paru yang telah mendapatkan pengobatan dengan strategi DOTS dan

telah menjalani pengobatan minimal 3 bulan dihitung sejak pemberian dan

pengawasan minum OAT oleh PMO pertama kali karena sampel di BP4 Medan

cenderung drop out pada bulan kedua selama pengobatan. Kriteria eksklusi adalah

pasien TB paru yang telah berobat berpindah-pindah, pasien MDR-TB dan pasien

(46)

Menurut Sastroasmoro (2008), jumlah sampel yang akan digunakan dalam

penelitian dihitung dengan menggunakan rumus :

2

Z = tingkat kemaknaan [ ditetapkan]

P = proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari, P [ dari pustaka ]

Q = 1-P

d = tingkat ketepatan absolute yang dikehendaki

dalam penilitian ini proporsi (P) sebelumnya tidak diketahui, maka dapat ditetapkan

P= 0,50 dengan tingkat kemaknaan 1,96 dan ketepatan absolut yang dikehendaki

adalah 10% maka dapat dihitung :

2

n = 96,04 (dibulatkan menjadi 97 orang)

Sampel diambil dengan menggunakan teknik non-probability sampling yaitu dengan

consecutive sampling. Semua subjek yang memenuhi kriteria pemilihan akan dimasukkan

dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.

4.4. Metode Pengumpulan Data

4.4.1. Data Primer

Pada penelitian ini, digunakan data primer yang didapat langsung dari responden.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dengan alat pengumpulan

data berupa kuesioner. Pertanyaan - pertanyaan di dalam kuesioner ditanyakan langsung

(47)

responden terhadap pengobatan dengan strategi DOTS. Pertanyaan – pertanyaan di dalam

kuesioner telah diuji validitas dan reliabilitasnya [Tabel 4.1] dengan menggunakan SPSS.

Tabel 4.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilititas Kuesioner Penelitian

Variabel Nomor

Data sekunder yang digunakan adalah data yang didapatkan dari BP4 Medan

(48)

4.5. Metode Analisis Data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan, tahap pertama adalah editing

yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta memastikan

bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk, tahap kedua adalah coding yaitu

memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan

tabulasi dan analisa, tahap ketiga entry yaitu memasukkan data dari kuesioner ke dalam

program komputer dengan menggunakan program SPSS, tahap keempat adalah melakukan

cleaning yaitu memeriksa kembali data yang telah di entry untuk mengetahui ada

kesalahan atau tidak.

Hasil perhitungan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi untuk melihat gambaran

pengetahuan, kepatuhan berobat, dan tanggapan responden terhadap pengobatan dengan

strategi DOTS. Kemudian akan dilakukan juga analisa mengenai hubungan berobat teratur,

drop out rendah, komitmen PMO dan pengetahuan pasien (independent variable) dengan

keberhasilan pengobatan (dependent variable) menggunakan tabel 2x2 sehingga akan

(49)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini di Balai Pengobatan Penyakit Paru – Paru (BP4) Medan yang dapat

dideskripsikan sebagai berikut:

5.1.1.1 Kedudukan BP4 Medan

Dalam PERDA No. 3 Tahun 2001 dan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.

061-437.K/Tahun 2002 dinyatakan bahwa kedudukan BP4 adalah Unit Pelaksana Teknis di

bidang kesehatan paru dalam lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang berada

di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

5.1.1.2 Tugas BP4

Melaksanakan upaya kesehatan yang menyeluruh (preventif, promotif, kuratif,

rehabilitatif) terhadap gangguan kesehatan paru masyarakat akibat infeksi bakteri, virus,

jamur , parasit, pengaruh kebiasaan, lingkungan hidup dan pekerjaan, serta dalam upaya

pengembangan kesehatan paru masyarakat.

5.1.1.3 Fungsi BP4

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, BP4 menyelenggarakan fungsi:

a. Perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi

pencegahan, pengobatan dan pelayanan penunjang kesehatan paru masyarakat.

b. Perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, pelaksanaan, dan evaluasi

Gambar

Tabel 2.1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis Paru
Tabel 2.3. Pemberian Obat Dosis Tetap
Tabel 4.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilititas Kuesioner Penelitian
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan umur responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan berat badan lebih banyak terjadi dari bulan ke-2 sampai bulan ke-4 pengobatan DOTS (Evaluasi 2) (75%) dibandingkan pada masa intensif, yaitu dari awal pengobatan

Strategi DOTS ( Directly Observed Treatment Shortcourse ) merupakan suatu cara untuk menjamin keberhasilan program pengobatan penderita Tuberkulosis Paru dengan

Judul : Gambaran Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru BTA Positif Yang Menggunakan Strategi DOTS Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Di RSUP H.

Hubungan Peran Pengawas Minum Obat (PMO) dalam Program Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dengan Hasil Apusan BTA Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas

PENGARUH KUNJUNGAN RUMAH DAN PEMANTAUAN MINUM OBAT TERHADAP HASIL PEMERIKSAAN ULANG BTA BULAN KE-2.. PADA PENDERITA TB PARU DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU (BP4)

“ Karakteristik Penderita TB Paru Kategori 2 Rawat Jalan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Lubuk Alung, Sumatera Barat Tahun 2015- Juni 2016” ini beserta

Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) program DOTS pada pasien TB Paru di RS Muhammadiyah Palembang periode 1

Pengobatan TBC yang Gagal di Poli Paru BP4/ Rumah Sakit Paru Surabaya bulan Agustus 2011 ....