• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan Mediasi Di Pengadilan Negeri Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemberdayaan Mediasi Di Pengadilan Negeri Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008."

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

   

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat – syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Oleh :

YURISTA ARINI

NIM : 070200355

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA (DAGANG)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

   

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat – syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Oleh :

YURISTA ARINI NIM : 070200355

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA (DAGANG)

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Perdata (Dagang) Universitas Sumatera Utara

(DR. Hasyim Purba, SH,M.Hum) NIP. 196603031985081001

DISETUJUI OLEH DISETUJUI OLEH

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(3)

   

Rahmat dan Karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul : PEMBERDAYAAN MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MENURUT PERATURAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008”.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana penerapan dan pemberdayaan mediasi di pengadilan negeri dalam penyelesaian sengeketa perdata menurut peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dengan menghubungkan dengan teori-teori dalam hukum perdata yang penulis pelajari selama ini apakah dapat digunakan dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan.

Dari mulai perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah mendapat banyak bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak antara lain sebagai berikut:

(4)

   

menyelesaikan penulisan skripsi ini serta atas perjuangan orang tua penulis dalam membiayi penulis selama berlajar di fakultas hukum Universitas sumatera utara sehingga penulis dapat sampai kepada tahap penyelesaian penulisan karya ilmiah ini, Hanya ALLA SWT yang dapat membalas kebaikan kalian semua.

3. Kepada Pimpinan Fakultas Hukum, bapak Dekan Prof. DR. Runtung, SH, M.Hum, beserta para Pembantu Dekan, dan Bapak Dosen Pembimbing I Bapak M. Husni, SH,M.Hum. dan Bapak pembimbing II, Bapak Malem Ginting, SH.M.Hum, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan arahan dari bapak kepada saya guna menyelesaikan penulisan skripsi ini, kepada para seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis ucapkan terimakasih atas ilmu yang diberikan kepada penulis dan bantuan kepada penulis selama belajar di Fakultas Hukum, penulis yakin suatu saat ilmu yang diberikan akan berguna. 4. Kepada sahabat-sahabat ku Puti lenggo geni , Fauzi ichwana siregar, Desi

(5)

   

Semoga ALLAH SWT senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua yang telah disebutkan maupun pihak yang tidak disebutkan diatas. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari bentuk sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang akan membuat penulis lebih baik dimasa depan. Semoga penulisan skripsi ini berguna baik untuk penulis dan menjadi ilmu yang berguna bagi masyarakat.

Medan, 15 September 2011

(6)

   

Eksistensi mediasi sebagai salah satu pilihan penyelesaian sengketa semakin berkembang pesat, hal tersebut terbukti dengan adanya pengaturan tentang mediasi yang secara parsial diatur dalam berbagai Undang-undang. Dalam perkembangannya, semula mediasi merupakan pilihan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan dengan tujuan memperoleh kesepakatan yang dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral (mediator). Namun demikian, sejak tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Selanjutnya terhadap materi SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, MARI menyempurnakannya dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, selanjutnya MARI melakukan revisi dengan mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Permasalahan yang saya bahas dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan.

Dari hasil penelitian skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa pengaturan penyelesaian sengketa hanya diatur dengan HIR, RBG, KUHPerdata dan peraturan Mahkamah Agung sebagai implementasi dari keseluruhan peraturan tersebut. Dengan adanya mediasi, maka para pihak yang berperkara dapat dengan mudah dan tidak memakan waktu yang lama dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak. Hanya saja, sangat sulit untuk menjalankan hasil keputusan dari kedua belah pihak apabila salah satu diantara para pihak tidak mau melaksanakan hasil mediasi yang telah dicapai.

Maka untuk menjadikan mediasi yang memiliki hasil yang baik,maka dipilihlah hakim yang memiliki pengalaman dan integritas serta itikad baik dari masing-masing para pihak yang bersengketa.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(7)

DAFTAR ISI

1) Tinjaun Tentang Sengketa di Pengadilan ... 13

a. Kewenangan Peradilan Umum ... 13

b. Bentuk Penyelesaian Sengeketa ... 14

c. Gugatan Perdata ... 15

BAB II TAHAPAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2008 A. Sejarah Penyelesaian Alternatif Sengketa ... 23

B. Tinjaun Umum Terhadap Penyelesaian Sengketa ... 29

C. Tahapan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2008 . 40 BAB III MANFAAT PRAKTEK MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI BERDASARKAN PERMA NO.1 TAHUN 2008 A. Dasar Hukum Mediasi Di Indonesia Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata ... 44

B. Teori-Teori Mediasi ... 49

(8)

BAB IV FAKTOR MEMPENGARUHI TERLAKSANA ATAU TIDAKNYA PERDAMAIAN MELALUI LEMBAGA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI

A. Penyelesaian Sengketa Menurut sistem Hukum Indonesia .... 56

B. Penyelesaian sengketa Perdata Menurut Perma No. 1 Tahun

2008 ... 62

C. Faktor Mempengaruhi Terlaksana Atau Tidaknya

Perdamaian Melalui Lembaga Mediasi Di Pengadilan Negeri 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 77 B. Saran ... 78

(9)

   

Eksistensi mediasi sebagai salah satu pilihan penyelesaian sengketa semakin berkembang pesat, hal tersebut terbukti dengan adanya pengaturan tentang mediasi yang secara parsial diatur dalam berbagai Undang-undang. Dalam perkembangannya, semula mediasi merupakan pilihan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan dengan tujuan memperoleh kesepakatan yang dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral (mediator). Namun demikian, sejak tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Selanjutnya terhadap materi SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, MARI menyempurnakannya dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, selanjutnya MARI melakukan revisi dengan mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Permasalahan yang saya bahas dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan.

Dari hasil penelitian skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa pengaturan penyelesaian sengketa hanya diatur dengan HIR, RBG, KUHPerdata dan peraturan Mahkamah Agung sebagai implementasi dari keseluruhan peraturan tersebut. Dengan adanya mediasi, maka para pihak yang berperkara dapat dengan mudah dan tidak memakan waktu yang lama dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak. Hanya saja, sangat sulit untuk menjalankan hasil keputusan dari kedua belah pihak apabila salah satu diantara para pihak tidak mau melaksanakan hasil mediasi yang telah dicapai.

Maka untuk menjadikan mediasi yang memiliki hasil yang baik,maka dipilihlah hakim yang memiliki pengalaman dan integritas serta itikad baik dari masing-masing para pihak yang bersengketa.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana telah di rumuskan

secara konstitusional dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (rechtstaat) dan

bukan negara yang mendasarkan diri kepada kekuasaan belaka (machtstaat).

Esensi sebagai negara hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus

menempatkan segala aspek kehidupan secara hukum untuk dilaksanakan

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa

pengecualian. Karena itu hukum dalam negara hukum mempunyai posisi yang

supreme atau insrumen pengendali dan pengarah utama yang menjadi pedoman

dan harus dipatuhi oleh setiap orang dan/atau subyek hukum melalui penegakan

hukum.

Dalam pergaulan di masyarakat dimana yang berbeda kita hidup di tengah

individu-individu yang berbeda tabiat dan kepentingan,perselisihan atau konflik

tentunya sulit di hindari. Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang sepele,

dan tidak mempunyai akibat hukm apapun,seperti perbedaan pendapat dengan

istri/suami tentang penentuan waktu keberangkatan ke luar kota atau bisa pula

merupakan persoalan serius dan mempunyai akibat hukum, misalnya tentang

batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang telah dibuat

(11)

Suatu perselisihan itu muncul kepermukaan, terkualifikasi menjadi suatu

sengketa, antara lain di sebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa

berhak atas apa yang diperselisihkan. Sebab dari yang berselisih merasa bersalah

dan mengerti bahwa ia tidak berhak atas sesuatu yang berselisih merasa bersalah

dan mengerti bahwa ia tidak berhak atas sesuatu yang di perselisihkan, maka

perselisihan itu dianggap tidak ada atau berakhir tatkala ketidakbenarannya

disadari.

Di dalam pergaulan masyarakat, kedamaian adalah merupakan idaman

setiap anggota masyarakat. Kedamaian akan terwujud antara lain kalau aneka

kepentingan yang berbeda dari masing-masing anggota masyarakat tidak saling

berbenturan. Pertentangan kepentingan itulah yang menimbulkan

perselisihan/persengketaan dan untuk menghindari gejala tersebut, mereka

mencari jalan untuk mengdakan tata tertib,yaitu dengan membuat ketentuan atau

kaedah hukum,yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat,agar dapat

memperahankan hidup bermasyarakat. Dalam kaedah hukum yang di tentukan

itu,setiap orang iharuskan untuk bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga

kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi. Apabila

kaedah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan di kenakan

sanksi atau hukuman.

Adapun yang dimaksudkan dengan kepentingan seperti tersebut di atas

adalah hak-hak dan kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materil.

Hukum perdata (materil) itu menjelma dalam undang-undang atau ketentuan yang

(12)

selayaknya berbuat atau tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat

tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam

masyarakat.Ketentuan-ketentuan seperti ; “Siapa yang mengambil barang milik

orang lain dengan niat untuk dimiliki sendiri secara melawan hukum….dan

sebagainya”,”siapa yang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang

lain diwajibkan mengganti kerugian kepada orang lain tersebut”,itu semuanya

merupakan pedoman atau kaedah yang pada hakekatnya bertujuan untuk

melindungi kepentingan orang.1

Pelaksanaan dari hukum perdata (materil) dapat berlangsung secara

diam-diam diantara para pihak yang berinteraksi,tanpa harus melalui instansi resmi.

Namum acapkali terjadi hukum perdata (materil) itu dilanggar, sehingga ada

pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di

dalam masyarakat. Dalam hal ini maka hukum materil perdata yang telah

dilanggar itu haruslah dipertahankan dan ditegakkan.

Untuk melaksanakan hukum perdata (materil) terutama dalam hal ada

pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum perdata (materil)

dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan hukum lain, yaitu yang

disebut hukum formil atau hukum acara perdata.

Hukum acara perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan

melaksanakan dan memperthankan atau menegakan hukum perdata materil

dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam

       1

(13)

mempertahankan dan menegakan hukum perdata materil itu terjadi melalui

peradilan. Cara inilah yang disebut dengan litigasi.

Pada dasarnya dalam cara Litigasi, inisiatif berekara ada pada diri orang

yang berpekara (dalam hal ini penggugat). Dengan kalimat lain ada atau tidak

adanya sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang

merasa,bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para

penggugat.2

Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik

yang cukup tajam,baik dari praktisi maupun teoritis hukum. Peran dan fungsi

peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overload). Lamban

dan buang waktu (waste of time). Biaya mahal (very expensive) dan kurang

tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlamapu

formalistik (formalistic) dan terlamapu teknisi (technically).

Kritik tajam terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya

yang dianggap terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of

time), mahal (very expensive) dan kurang tanggap ( unresponsive ) terhadap

kepetingan umum serta dianggap terlampau formalistik ( formalistic ) dan

terlampau teknis ( technically ) menurut pada masa sekarang bersifat mendunia. 3

Sama – sama mendapat lontaran kritik di semua Negara. Itu sebabnya masalah

peninjauan kembali pada perbaiakn sistem peradilan kea rah yang efektif dan

efisien, terjadi diman – mana. Sistem peradilan Inggris dianggap lambat dan

mahal (delay dan expensive)sehingga penyelesaian perkara yang dihasilakan

       2

Soetjipto Rahardjo, Perumusan Hukum Indonesia, (Bandung : Alumni ,1978), hlm. 6

3

M. Yahya Harahap, BEBErapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian

(14)

dianggap putusan yang tidak adil (injustice). Bahkan muncul kritik yang

mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan tidak adil (civil

procedure was neither efficient no fair).4

Berbagai kelemahan yang melekat pada badan pegadilan dalam

menyelesaikan sengketa perdata, baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun

tidak singkatnya karena peradilan dirasa tidak dapat mengakomodasikan harapan

masyarakat pencari keadilan, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain

atau institusi lain untuk menyelesaikan sengekta mereka. 5

Alternatif penyelesaian sengketa muncul sebagai gejala sosial dalam

masyarakat yang tidak percaya kepada lembaga peradilan untuk menyelesaikan

sengketa mereka. Metode ini sudah dikenal secara universal dapat memenuhi

harapan masyarakat dalam menyelesaikan sengketa. Di negara maju misalnya,

penyelesaian sengketa melalui alternative penyelesaian sengketa atau alternative

Dispute Resolution bahkan menjadi klausul (Pasal) yang selalu dicantumkan

dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, sehingga jika ternyata muncul

perselisihan di kemudian hari, maka para pihak akan menyelesaiakn melalui

lembaga alternatif penyelesaian sengketa tersebut (tidak melalui pengadilan ).

Dari hal ini dapat kita cermati bahwa alternatif penyelesaian sengketa atau ADR

telah menjadi strategi preventif untuk mencegah “terjebaknya” para pihak dalam

proses ”gugat menggugat” di lembaga peradilan.6

       4

Ibid.

5

Munir Fuady, Hukum Arbitrase Modern , (Bandung, PT. Citra Adyta Bhakti, 2008), hlm. 23.

6

(15)

Di Indonesia dengan dikeluarkannya Undang – Undang No.30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, metode penyelesaian

sengketa secara alternative ( non- litigasi ) tersebut menjadi dapat digunakan

secara legal (resmi) dalam praktek penyelesaian sengketa perdata di masyarakat.

Ada beberapa bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang umum

digunakan,seperti :

1. Negosiasi (penyelesaian melalui perundingan secara bipartite /

dua pihak ),

2. Mediasi / Konsiliasi (negosiasi dengan dibantu oleh pihak ketiga,

mediaor/ konsiliator),dan

3. Arbitrase ( penyelesaian melalui pemeriksaandan putusan oleh

Abiter ).

Alternatif penyelesaian sengketa yang paling potensial digunakan adalah

Arbitrase. Hal ini itu dikarenakan keberadaan arbitrase sebagai salah satu

alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang

dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesiabersamaan dengan dipakainya

Reglementop de rechtsvordering (RV) dan Het Herzeiene Indonesisch reglement

(HIR) ataupun Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten

Buiten Java en Madura(RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam Pasal 615

s/d 651 reglement of de rechtsverordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang

ini sudah tidak diberlakukan lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor

(16)

Menurut Prof. Subekti 7, bagi dunia perdagangan atau bisnis,penyelesaian

sengketa lewat arbitrase atau perwarisan, mempunyai bebrapa keuntungan yaitu

bahwa ia dilakukan ;

1. Dengan cepat

2. Oleh ahli, dan

3. Secara rahasia

Namun praktek di lapangan menunjukan bahwa arbitrase dirasa kurang

begitu efektif untuk menyelesaikan sengketa tanpa maslah. Di samping ia masih

berpotensi menyisakan pertentangan antara para pihak yang berengketaan, karena

prosesnya yang tak ubahnya seperti berpekara di pengadilan, arbitrase juga

bermasalah dalam hal eksekusi (pelaksanaan) putusan yang dikeluarkan oleh

arbiter (wasit/hakim jurinya). Yang pada akhirnya berdampak kompleks, dimana

bagi para pihak kesepakatan berdamai tidak dicapai, sementara sengekta juga

semakin tajam. Di samping bagi pengadilan bertamabah tugasnya, sementara

kasus-kasus yang ada di pengadilan belum terselesaiakan, akhirnya menimbulkan

apa yang disebut penumpukan perkara. Jika hal ini sudah terjadi, maka bukan

tidak mungkin akan menimbulkan rasa tidak percaya yang tinggi dari masyarakat

para pencai keadilan, karena pengadilan dianggap tidak dapat memnuhi harapan

ideal mereka akan hukum (das sollen).

Hal ini tersebut menunjukan bahwa sebenarnya keberadaan pengadilan

sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang resmi dalam suatu negara tetap

dibutuhkan, meskipun ia memiliki banyak kekurangan dalam beberapa aspek.

       7

(17)

Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi

masih dapat diandalkan, anataralain berhukum dan masyarakat demokrasi masih

dapat diandalkan, antara lain berperan sebagai berikut :8

1. Peradilan berperan sebagai katup penekan ( pressure vakatlve ) atas

segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat, dan pelanggaran

ketertiban umm.

2. Peradilan masih tetap diharpkan berperan sebagai last resort atau

tempat terakhir kebenaran dan keadilan, sehingga peradilan masih

tetap diandalkan sebagi badan yang berfungsi menegakkan kebenaran

dan keadilan (to enforce the truth and enforce justice).

3. Disamping itu, tempat dan kedudukan peradilan masih dihargai

sebagai badan atau institusi yang memiliki fungsi istimewa (serve a

very special function ).

Dalam kedudukan istimewa yang demikian, JR. Spencer9 mengataka

bahwa putusan yang dijatuhkan pengadilan diibaratkan seperti “putusan Tuhan”

atau the judgement was of god. Pendapat yang menganggap putusan pengadilan

sebagai the judgement of the God sudah lama berakar dalam kehidupan manusia.

Masyarakat Yunani menyebutkan sebagai judicium die.

       8

M . Yahya Harahap, beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa ( Bndung : PT . Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 237. Juga terdapat dalam makalahnya yang berjudul “ Mencari sistem Peradilan yang Efektif dan efisien” yang disampaikan pada Seminar Akbar 50 tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Dasar Pembangunan Hukum Nasional dalam PJP II. Jakarta, 18 – 21 Juli 1985.

9

(18)

Dengan fakta tersebut kemudian muncullah suatu ide baru dalam hal

penyelesaian sengketa perdata dengan win–win solution yang menggunakan

pengadilan sebagai mediator dan sekaligus dapat berperan sebagai katup penekan

yang diharapkan tidak hanya lebih efektif dan efisien bagi para pihak yang

bersengketa, tapi juga bagi pengadilan yang bertugas menyelesaikan sengeketa

mereka, dalam hal mengurangi penumpukan perkara yang dapat berimplikasi

kompleks tersebut. Pemikiran baru tersebut adalah dengan mengefektifkan suatu

pola penyelesaian sengketa dengan jalan berunding diantara pihak yang

bersengketa dan kepentingan yang sebenarnya masing – masing mereka atas suatu

hal yang disengketakan dalam terminologi yang lebih netral.

Metode tersebut adalah modifiksi dari model pnyelesaian sengketa

alternative mediasi, yang lazimnya disebut mediasi di pengadilan, atau lazim juga

disebut Mediation – Arbitration atau dalam bahasa inggris disebut “court annexed

mediation”. Jadi jika sebelumnya yang dikenal publik mediasi itu hanya

merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sekarang sudah

berkembang menjadi dapat dilakukan di dalam pengailan.

Di Indonesia dasar hukum untuk pemberlakuan metode tersebut melalui

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 tentang prosudur mediasi

dipengadilan. Latar belakang lahirya Perma ini yang pertama adalah sebagai salah

satu upaya untuk membantu lembaga pengailan dalam rangka mengurangi beban

penumpukan perkara. Kedua, adanaya kesdaran akan pentingnya sistem hukum di

Indonesia untuk menyediakan akses seluas mungkin kepada para pihak yang

(19)

diasumsikan sebagai proses yang lebih efisien dan tidak memuakan waktu

dibandingkan proses pengadilan.10

Dalam Perma Nomor 2 Tahun 2003 diatur bahwa mediasi bisa

dilaksanakan di dalam dan diluar pengadilan. Jika proses mediasi dilaksanakan

diruang pengadilan dan menggunakan mediator yang dipilih dari daftar yang

dimiliki pengadilan, maka pelaksanaannya tidak dipungut biaya. Tetapi jika

proses mediasi dilaksanakan di luar pengadilan, maka para pihak harus bersepakat

mengenai tempat, biaya dan honorarium mediator yang diperlukan.

Eksistensi mediasi sebagai salah satu pilihan penyelesaian sengketa

semakin berkembang pesat, hal tersebut terbukti dengan adanya pengaturan

tentang mediasi yang secara parsial diatur dalam berbagai Undang-undang. Dalam

perkembangannya, semula mediasi merupakan pilihan penyelesaian sengketa

melalui proses perundingan dengan tujuan memperoleh kesepakatan yang dibantu

oleh pihak ketiga yang bersifat netral (mediator). Namun demikian, sejak tahun

2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mengeluarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan

Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Selanjutnya terhadap

materi SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, MARI menyempurnakannya dengan

mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003

tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, selanjutnya MARI melakukan revisi

dengan mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan.

       10

Majelis Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), Mediasi sebagai Alternatif

(20)

Sejauh ini, Dalam hal tertunggaknya perkara dan ketidakpuasan para

pencari keadilan terhadap putusan pengadilan. MA mencoba mengintegrasikan

proses penyelesaian sengketa alternatif (non litigasi ) dalam hal ini mediasi ke

dalam proses peradilan (litigasi). Yaitu dengan menggunakan proses mediasi

untuk mencapai perdamaian pada tahap upaya damai di persidangan dan hal inilah

yang biasa disebut dengan lembaga damai dalam bentuk mediasi atau lembaga

mediasi.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan sebuah

penelitian dengan judul “ Pemberdayaan Mediasi di Pengadilan Negeri Dalam

Penyelesaian Sengketa Perdata Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor

1 tahun 2008”.

B. Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa rumusan masalah yang akan

penulis teliti, yakni:

1. Bagaimana tahapan mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata di

pengadilan berdasarkan Perma No. 1 tahun 2008?

2. Apa Manfaat praktek mediasi di Pengadilan Negeri sesuai dengan Perma

No.1 tahun 2008?

3. Faktor apa saja yang mempengaruhi terlaksana atau tidaknya perdamaian

(21)

C. Tujuan Penelitian

Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian penulis lakukan adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui tahapan mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata

di pengadilan berdasarkan Perma No. 1 tahun 2008.

2. Untuk mengetahui Manfaat praktek mediasi di pengadilan sesuai dengan

yang diamanatkan oleh Perma No. 1 tahun 2008.

3. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi terlaksana atau tidaknya

perdamaian melalui lembaga mediasi di Pengadilan Negeri.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis

lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis.

Penulisan Skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang

mediasi, sebagai slah sat bentuk alternative penyelesaian sengeketa di luar

pengadilan yang telah melembaga menjadi suatu alternatif yang bersifat

“mandatory” bagi seluruh hakim pengadilan Indonesia dalam upaya

melaksanakan tugas mereka memutus sengketa perdata.

2. Secara praktis.

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi

Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan

(22)

c. Skripsi ini dapat dijadikan pedoman dan bahan rujukan bagi rekan

mahasiwa, praktissi hukum ,pemerintah, serta masyarakat yang

bersengketa dalam rangka memperdayaakaan lembaga mediasi untuk

menyelesaikan sengeketa perdata yang mereka hadapi.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang telah penulis telusuri dan penulis ketahui mengenai karya

ilmiah skripsi yang terdapat di lingkungan Fakultas Hukum Unversitas Sumatera

Utara, bahwa penulisan skripsi yang mengangkat mediasi sebagai topic

pembahasannya adalah belum pernah ada sebelumnya. Dengan demikian,dengan

melihat permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini,

maka penulisa dapat menyatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan murni karya

asli penulis.

F. Tinjaun Pustaka

1) Tinjaun Tentang Sengketa di Pengadilan

a. Kewenangan Peradilan Umum

Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan untuk mengadili yang

dimiliki oleh peradilan umum (pengadilan negeri). Kewenangan peradilan umum

dibagi menjadi dua, yakni:

(23)

Peradilan umum berwenang untuk mendili perkara pidana dan perdata

sesuai dengan pasal 50 UU No. 2 tahun 1986 Jo UU No. 8 tahun 2004

tentang perubahan atas UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum.

2). Kewenangan Relatif

Pengadilan Umum (Negeri) memiliki daerah hukum yang terbatas, karena

sesuai dengan pasal 2 UU No. 8 tahun 2004 tentang perubahan atas UU

No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum, kedudukan pengadilan negeri

berkedudukan di ibukota kabupaten/kota sehingga daerah hukumnya

hanya meliputi wilayah kabupaten/kota tersebut.

b. Bentuk Penyelesaian Sengeketa

Menurut Fathahillah AS penyelesaian sengketa dalam praktenya memiliki

dua macam metode, yaitu :11

1) Proses Peradilan/ajudikasi,

- Litigasi (Proses pengadilan) - Arbitrase

2) Proses Konsensual / Non-Ajudikasi

- Alternatif Penyelesaian Sengeketa

Alternatif Penyelesaian Sengeketa saat ini menjadi pilihan yang efektif dan efisien sebab memiliki beberapa bentuk yang memberikan pilihan berbeda bagi para pihak.

Menurut Yahya Harahap, dalam penyelesaian sengeketa terdapat beberapa bentuk penyelesaian diluar pengadilan, antara lain:12

a. Mediasi (mediation) melalui sistem kompromi diantara para pihak,

sedangkan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediaotor hanya sebagai penolong dan fasilitator;

       11

Fatahillah A.S. Pelatihan Mediator, (Jakarta, Indonesian Institute For Conflict Transformation, 2004), hlm. 14.

12

(24)

b. Konsiliasi melalui konsiliator, dimana pihak ketiga yang bertindak sebagai konsiliator berperan merumuskan perdamaian (konsiliasi), tetapi keputusan tetap ditangan para pihak;

c. Expert Determination, menunjukkan seorang ahli memberi

penyelesaian sengeketa yang menentukan oleh karena itu keputusan yang diambilnya mengikat para pihak.

d. Mini trial

Para pihak sepakat menunjuk seorang advisor yang akan bertindak untuk memberikan opini kepada kedua belah pihak, opini tersebut diberikan advisor setelah mendengar permasalahan sengketa dari kedua belah pihak, opini yang berisi kelemahan masing-masing pihak serta member pendapat cara penyelesaian sengekata yang harus ditempuh para pihak.

c. Gugatan Perdata

Dalam proses penyelesaian perkara perdata melalui jalur pengadilan

adalah mengenai pengajuan gugatan. Pengajuan gugatan harus memperhatikan

hal-hal yang diatur dalam pasal 118 HIR/142 RBG yang mengatakan:13

1) Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk ke pengadilan negeri

harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada ketua pengadilan di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya tempat tinggal sebetulnya;

2) Jika tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat kediamanan tergugat. Hal ini dapat dilihat dari rumah tempat kediamannya.

3) Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat tinggal salah seorang dari para tergugat, terserah pilihan dari penggugat, jadi penggugat yang menentukan dimana akan mengajukan gugatannya.

4) Apabila pihak tergugat ada dua orang yaitu yang seorang misalnya adalah

yang berhutang dan yang lain penjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri pihak yang berhutang sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan bahwa secara analogis dengan ketentuan tersebut, apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda, gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat.

       13

(25)

5) Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal penggugat.

6) Jika gugatan itu tentang benda tidak bergerak, dapat juga diajukan kepada ketua pengadilan negeri dimana barang tetap itu terletak. Jika benda tidak bergerak itu terletak dalam beberapa daerah hukum pengadilan negeri, maka gugatan diajukan kepada ketua salah satu pengadilan negeri menurut pilihan penggugat.

HIR dan RBG tidak mengatur tentang prasyarat mengenai isi pada

gugatan. Isi pada gugatan diatur dalam Pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan

pada pokoknya memuat, antara lain:

1. Identitas para pihak, meliputi nama, tempat tinggal, dan pekerjaan.

Dalam praktek sering juga dicantumkan agama, umur, status.

2. Posita atau fundamentum petendi yaitu dalil-dalil konkret tentang

adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan

daripada tuntutan.

3. Petitum (tuntutan), dalam praktek tuntutan/petitum terdiri dari dua

bagian, tuntutan primer dan tuntutan sekunder.

Misalnya, tuntutan primer:

- Menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa dalam

keadaan baik dan kosong kepada penggugat;

- Menyatakan sah dan berhaga sita jaminan atas tanah sengeketa

Misalnya tuntutan sekunder:

- Jika majelis hakim berpendapat lain, mohon memberikan putusan

yang adil dan benar

(26)

d. Putusan Hakim

Untuk memberikan putusan terhadap suatu perkara merupakan tugas

seorang hakim. Putusan itu dituntut suatu keadilan dan untuk itu hakim

melakukan konstatering peristiwa yang dihadapi, mengkualifikasi dan

mengkonstitusinya. Jadi bagi hakim dalam mengadili suaut perkara yang

dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan

hukumnya adalah suatu alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah

peristiwanya.14

Putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki

kedudukan yang sangat penting di seluruh sistem hukum yang berdasarkan prinsip

konstitusionlisme.15 Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap wajib

dipatuhi oleh para pihak baik dalam perkara perdata maupun pidana.

Di dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan

hukumnya, sehingga siapapun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan

cukup mempunyai alasan yang objektif atau tidak. Disamping itu, pertimbangan

hakima adalah penting dalam pembuatan memori banding dan memori kasasi.16

Putusan hakim menurut sifatnya dapat dibagi kedalam 3 macam, yaitu:17

1. Putusan Declaratoir;

Yaitu putusan yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum.

2. Putusan Consitutif

Yaitu putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru.

       14

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: tata cara dan proses persidangan, ( Jakarta, Sinar Grafika, 2003), hlm. 79.

15

Mhd. Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta, Pradya Paramita, 2002), hlm. 106.

16

R. Soeroso, Loc.cit.

17

(27)

3. Putusan Condemnatoir

Yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.

Dari ketiga maca putusan hakim diatas, hanya ada satu putusan yang

didalamnya mengandung suatu penghukuman dan dapat dilakukan eksekusi bagi

para pihak yang kalah, yaitu putusan condemnatoir, sedangkan putusan declatoir

dan putusan constitutive tidak perlu adanya eksekusi.

2) Tinjaun Tentang Mediasi

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan

atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki

kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses

mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau

konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus,

maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau

penyelesaian selama proses mediasi berlangsung maka segala sesuatunya harus

memperoleh persetujuan dari para pihak.

Mediasi Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah

Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung No. 2

Tahun 2003 (PERMA No. 2 Th. 2003).

Pasal 1 butir ke-7 Perma No. 1 tahun 2008 menyebutkan bahwa Mediasi

adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

(28)

Mediasi adalah salah satu penyelesaian sengketa secara damai. Mediasi

ada 2 jenis: yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi dari dalam

pengadilan, ditangani oleh hakim pengadilan tersebut yang tidak menangani

perkaranya. sedangkan mediasi di luar pengadilan, ditangani oleh mediator

swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen.

Seorang sarjana Amerika, Stephen R. Marsh memberikan batasan tentang

Mediasi di Pengadilan. Ia menyebutkan ada 3 (tiga) batasan mengenai mediasi di

Pengadilan, yaitu :

There are three different definitions of Court Annexed Mediation

1. The narrowest definition is mediation that has been specifically ordered by a Court.

2. The middle ground is mediation that occurs per general court

order (e.g. standing orders tha all family law cases will be mediated before a trial date is set).

3. The most expansive definition is the mediation of any and all

matters that will of necessity be litigated (e.g damage to minors, divorce actions ).18

Penyelesaian sengketa dengan proses mediasi adalah penyelesaian perkara

yang dilakukan oleh pihak ketiga (mediator), tanpa melalui persidangan. Pihak

ketiga dalam hal ini tidak memutuskan perkaranya. Mediator hanya berusaha

mengadakan pendekatan kepada para pihak untuk meminimalkan perbedaan

pendapat dalam kasus yang dihadapi untuk mencapai suatu kesepakatn diantara

mereka menuju pada pemecahan yang saling menguntungkan (win win solution).

Mediator hanya berperan untuk membantu para pihak mencapai penyelesaian

sengketa. Untuk itu mediator dapat secara langsung dan rahasia berkomunikasi

       22

(29)

dengan para pihak dan bekerja bersama sama untuk mencapai suatu

kesepakatan.19

Tujuan mediasi pada dasarnya agar orang yang bersengketa (yang

mengajukan perkara ke pengadilan) bisa berdamai dengan hasil sama sama

senang. Perma Nomor 1 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (2) yang mewajibkan setiap

hakim, agar mendamaikan pihak yang berperkara sebelum melanjutkan proses

persidangan, harus melalui tahap mediasi dulu, apabila tidak menempuh prosudur

mediasi maka menurut Perma ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR

dan/atau Pasal 154 RBG, yang berakibat putusan batal demi hukum.

3) Metode Penelitian

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Penelitian Hukum adalah suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum tertentu, dengan menganalisanya. Berdasarkan ruang

lingkup dan identifikasi masalah sebagaimana diuraikan dimuka, maka metode

penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode yuridis-normatif.

Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian skripsi

ini adalah dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library research) guna

mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat, tulisan para ahli dan juga untuk

       19

(30)

memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan formal maupun melalui

naskah resmi yang ada.20

Bahan ilmiah yang diperoleh dari studi kepustakaan yang dipergunakan

dalam penelitian ini berupa:

a) Bahan hukum primer, seperti, UUD 1945,Ketetapan MPR, Peraturan

Perundang-undangan, Peraturan Mahkamah Agung yang terkait

dengan penelitian ini;

b) Bahan hukum sekunder seperti karya ilmiah, jurnal hukum, dan hasil

penelitian hukum (disertasi, tesis) putusan pengadilan, serta

kepustakaan yang berkaitan dengan penelitan ini;

c) Bahan hukum tersier, seperti, kamus hukum, pendapat para ahli

hukum, dan ensiklopedia.

Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan

menganalisis data secara mendalam dan kemudian dilakukan penelusuran

terhadap Perma No 1 tahun 2008 berjalan efektif dalam pelaksanaannya di

pengadilan.

4) Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dan penjabaean penulisan, penelitian ini

akan dibagi menjadi Enam Bab dengan komposisi sistematika penulisan sebagai

berikut:

       20

(31)

BAB I : Pendahuluan

Memuat latar belakang Penulisan, Rumusan Pemasalahan, tujuan

dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,

metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II :Tahapan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Di

Pengadilan Negeri Berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008.

Bab ini memuat sejarah penyelesaian sengketa, tinjauan umum

tentang penyelesaian sengketa dan Tahapan Mediasi Dalam

Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri berdasarkan

PERMA No. 1 Tahun 2008.

BAB III :Manfaat Praktek Mediasi Di Pengadilan Negeri Berdasarkan Perma

No.1 Tahun 2008.

Memuat tentang Dasar Hukum Mediasi Di Indonesia Sebagai

Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata ,Teori-Teori Mediasi

serta Manfaat Mediasi Dalam Menyelesaikan Suatu Sengketa

Perdata.

BAB IV :Faktor Mempengaruhi Terlaksana Atau Tidaknya Perdamaian

Melalui Lembaga Mediasi Di Pengadilan Negeri.

Memuat tentang Penyelesaian Sengketa Menurut sistem Hukum

Indonesia, Penyelesaian sengketa Perdata Menurut Perma No. 1

Tahun 2008 dan Faktor Mempengaruhi Terlaksana Atau Tidaknya

(32)

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Memuat kesimpulan dan saran penulis sebagai hasil dari analisis

(33)

BAB II

TAHAPAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2008

A. Sejarah Penyelesaian Alternatif Sengketa

Penyelesaian sengketa yang lambat akan dapat mengganggu kinerja

pebisnisdalam menggerakan roda perekonomian serta memerlukan biaya yang

relative besar. Untuk itu dibutuhkan institusi baru yang lebih efisien dan efektif

dalam menyelesaiakn sengketa bisnis. Kemudian lahirlah lembaga arbitrase yang

mengakomodir kelemahan – kelemhan litigasi, yang merupakan siklus kedua

penyelesaian sengketa.21

Perkembangan arbitrase ditandai dengan lahirnya Jay Teaty pada Tahun

1794, yang merupakan perjanjan antara Amerika dan Inggris . perjanjian tersebut

bertujuan untuk menanggulangi perselisihan yang terjadi antara warga mereka.

Cara penyelesaian lama yang didasarkan pada sistem saluran diplomatik sering

mengecewakan. Penyelesaian cenderung dipengaruhi kepentingan politik

(political consideration ). Cara dan sistem inilah yang berbentuk “missed

commission” yang berfungsi untuk menyelesaiakn sengketa dagang secara

hukum. Cara penyelesaian lama yang berkarakter politik dan diplomatik digeser

kearah sistem penyelesaian yang berkarakter yuridis. Mixed commissions

berkembang dan menjadi cikal bakal arbitrase nasional dan internasional, dimana

masing–masing negara mengakuinya sebagai extra judicial, penyelesaian

sengketa dilakukan berdasarkan rule yang disepakati, putusan langsung final and

       21

(34)

binding, serta putusan dapat dipaksakan sengketa dagang. Pada mulanya apa yang

diharapkan dapat dipenuhi arbitrase. Penyelesaian sengeketa berjalan cepat, tidak

formalistic, dan lebih ringan dari litigasi. Untuk memperluas peran arbitrase

tersebut, maka disepakati berbagai konvensi internasional mengenai arbitrase. 22

Perkembangan arbitrase ditujukan mengatasi kontraksi atau kebekuan

(contraction ) yang dialami litigasi, ternyata arbitrase sendiri mengalami penyakit

yang hampir sama. Penumpukan kasus sengketa mengalir. Cara penyelesaian

arbitrase mengalami kontraksi karena cenderung formalistic meniru pola litigasi.

Biaya yang dibebankan sangat mahal. Sebaliknya, kecepatan perkembangan

perdagangan yang mengarah kepada “ free trade” dan “free competition” dalam

suasana global competition, memerlukan perlindungan dengan enyelesaian

sengketa yang segera, sehingga dapat dipertahankan efisiensinya.

Dengan sendirinya sistem penyelesaian sengketa dagang memerlukan siklus

baru, karena siklus litigasi dan arbitrase tidak memadai. Jika perubahannya

dilakukan melalui jalur legislative, tidak mungkin. Lambatnya langkah legislative

mengubah sistem litigasi dan arbitrase melalui ketentun perundang – undangan,

bias menghambat laju perkembanngan ekonomi dan perdagang.23

Berdasarkan alasan itu, masyarakat mengambil inisiatif untuk

memperkenalkan dan mengembangkan “dispute resolutuion” yang mereka

anggap cocok diperluas untuk menggeser peran litigasi dan aribitrase. Sejak

Tahun 1980 – an telah berkembng bermacam pilihan penyelesaian sengketa

bisnis, karena penyelesaian tidak memerlukan aturan formal, pemyelesaian segera

       22

M. Yahya Harahap, Op. cit ., hlm 226 – 227

23

(35)

(immedeatly) dan cepat (quick), memberi kepuasan dan harapan, biaya harus

ringan demi efisiensi, hasil yang diinginkan berisi penyelesaian sengketa untuk

melangkah ke depan, bukan mempermasalahkan masa lalu, dan penanganannya

diserahkan kepada profesioanal oleh orang yang betul – betul ahli (expert). 24

Istilah Alternative Dispute Resolution ( ADR ) pertama kalinya lahir di

Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada Tahun 1976, yaitu ketika

“ Chief Justice Warren Burger” mengadakan “ the Rescoe E. Pound Confrence

on the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administratration of Justice” (

Pound Conference ) di Saint Paul, Minesota. Para akdemisi, para anggota

pengadilan, dan para public interest lawyer, secara bersama – sama mencari cara –

cara baru dalam menyelesaiakn konflik, Pada Tahun 1976 itu pula American Bar

Association ( ABA ) mengakui secra resmi gerakan Alternative Dispute

Resolution ( ADR ) dan membentuk suatu komisi khusus untuk penyelesaian

sengketa ( Special Committee on Dispute resolution ). 25

Konsep tersebut merupakan jawaban atas ketidakpuasan ( disatifaction )

yang muncul di masyarakat Amerika Serikat terhadp sistem peradilan mereka.

Ketidakpuasan tersebu bersumber pada persoalan – persoalan waktu yang

dibutuhkan sangat lama dan biaya yang mahal, serta dirgukan kemampuannya

menyelesaikan secra memuaskan kasus – kasus yang bersifat rumit. Kerumitan

dapat disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan persoalan – pesoalan

ilmiah ( scientifically complicated ) atau dapat juga disebabkan banyaknya serta

luasnya stake holders yang harus terlibat.

       24

Ibid.,hlm. 228

25

(36)

Pada intinya Alternative Dispute Resolution ( ADR ) dikembangkan oleh

para praktisi hukum maupun para akademis sebagai cara penyelesaian sengketa

yang lebih memiliki akses keadilan. 26 Sementara itu di Jepang sebenarnya jauh

sebelum peresmian Alternative Dispute Resolution ( ADR ) yang dilakukan oelh

Asociation Bar of America ( ABA ) tersebut diatas, pada zaman Tokugawa telah

diterapkan “kpnsiliasi” ( chotei ) sebagai penyelesaian sengketa alternatif.

Selanjutnya ditungkan dalam bentuk Undang – undang Konsiliasi Perdata atau “

Minji Chotei Ho “ pada Tahun 1951. 27

Disamping itu, baik di China dan Jepang juga sudah sejak lam mengenal

“mediasi” sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur

masyarakat Cina yang tidak suka Pengadilan sebagai tempat penyelesian

sengketa. Di sini sengketa – sengketa perdata diselesaikan melalui mediator.

Untuk periode yang cukup panjang di zaman Cina kuno terdapat kontroversi

anatar kaum “Confucius” dan “legalist” mengenai bagaimana mengatur

masyarakat, Di satu pihak, kaum Confuciu menekankan pentingnya ditegakkan

prinsip – prinsip berdasarkan moral ( LI ), sedangkan kaum Legalist memandang

perlunya aturan – aturan hukum tertulis yang pasti ( FA ).28

Sementara itu di Indonesia terdapat beragam metode pengambilan

keputusan dan penyelesaian sengketa, baik tradisional maupun metode dari luar

       26

Mas Achmad Sentosa, 1995. Alternative Dispute Resolution ( ADR ) di Bidang

lingkungan Hidup. Makalah disampaikan dalam forum Dialog Tentang Alternative Dispute Resolution ( ADR ) yang diselenggarakan oleh Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan

The Asia Foundation, Jakarta : Departemen Kehakiman dan The Asia Foundation, hlm. I

27

Hide Tanake, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo:University of Tokyo Press, 1988), hlm, 492

28

(37)

yang salah satunya mengisyaratkan akan penyelesaian sengketa melalui

Alternative Dispute Resolution ( ADR ) di luar badan pengadilan.

Metode tersebut dapat dibagi dalam 2 ( dua ) prosedur sebagai berikut: 29

1. Prosedur Administratif atau Prosedur Yudisial

Dalam prosedur ini sanksi dari pihka ketiga dapat berupa rekomendasi atau keputusan yang mengikat. Prosedur ini berakar pada proses pengadilan pada zaman kerjaan, kesultanan, adat setempat, atau pemuka adat desa, setya prosedur administrative pengadilan zaman colonial Belanda.

2. Proses Konsensus Sukarela (Consensually – Based Approaches)

Dalam proses ini para pihak mengembangkan penyelesaian yang dapat dierima bersama. Proses ini berakar dari sistem pengaturan sendiri ( self governing system ) yang dapat ditemukan di Negara kepulauan kita. Ada beberapa persamaan lain yang ditemukan pada masyarakat Indonesia, yaitu :

a. Pertama banyak sengketa yang diselesIn melalui prosedur

yudisial, dimana ada otoritas dari pengambil keputusan, seperti pemuka adat yang memfasilitasi sebuah pertemuan antar pihak yang bersengketa dan membantu bernegosiasi dengan memakai standar ( criteria ) adat atau kerangja penyelesaian menurut sarn pemuka adat.

b. Kedua, banyak suku yang masih mempertahnkan prosedur

consensus sukarela untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk “Consensually – Based” dapat diartikan ke dalam bentuk musyawarah untuk mencapai mufakat ( consensus )

Di Indonesia sendiri proses penyelesaian melalui Alternative Dispute

Resolution ( ADR ) bukanlah sesuatu yang baru dalam nilai – nilai budaya bangsa

kita yang berjiwa kooperatif. Nilai kooperatif dan komptomi dalam penyelesaian

sengketa muncul dimana saja Indonesia. Pada masyarakat Batak yang relative

memiliki nilai “litigious”, masih mengandalkan forum runggun adat, yang intinya

       29

Mas Achmad Sentosa, Palembang Alternatuve Dispute Resolution ( ADR ) di

Indonesia, Makalah pada kuliah umum Alternative Dispute Resolution ( ADR ). Fakultas Hukum

(38)

penyelesaian sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan. Di Minangkabau

dikenal dengan adanya lembaga hakim perdamaian, yang secara umum berperan

sebagai mediator dan konsiliator. Konsep prmbuatan keputusan dalam pertemuan

desa pada suku Jawa tidak didasarkan atas suara mayoritas, tetapi dibuat oleh

keseluruhan yang hadir sebagai suatu kesatuan.

Perlu disadari bahwa secara historis, kultur masyarakat Indonesia sangat

menjunjung tinggi pendekatan konsesus. Pengembanagan keputusan secara

tradisional dan penyelesaian sengketa secra adat. Alasan cultural bagi eksentensi

dan pengembangan Alternative Dispute Resolution ( ADR ) di Indonesia

tampaknya lebih kuat dibandingkan alasan ketidakefisienan proses peradilan

dalam menangani sengketa.30

Apabila melihat latar belkang pendayagunaan Alternative Dispute

Resolution ( ADR ) di Amerika Serikat sebagai resperentasi Negara industry dan

ekonomi maju dan Negara – Negara yang menganut akar budaya non –

konfronatif yang pada umumnya dimiliki oleh Negara – Negara yang sedang

berkembang, terdapat sedikit perbedaan. Latar belakang pendayagunaan

Alternative Dispute Resolution (ADR ) di Negara maju disebabkan ketidakpuasan

terhadap sistem pengadilan, sedangkan Negara – Negara yang menganut akar

budaya non – konfrontatif adalah melestarikan budaya non – adversarial menuju

masyarakat yang lebih stabil (social stability), sekaligus akses pada keadilan

(proses pemeriksaan yang cepat, berbiaya ringan dan tidak asing bagi

       30

(39)

masyarakat). Sistem pengadilan dianggap institusi yang tidak memenuhi

kebutuhan di atas.

Bila menyimak sejarah perkembangan Alternative Dispute Resolution

(ADR) di Negara tempat pertama kali dikembangkan (Amerika Serikat),

pengembangan Alternative Dispute Resolution (ADR) dilatarbelakangi oleh

kebutuhan sebagai berikut :

a. Mengurangi kemaceta di pengadilan, banyaknya kasus yang diajukan ke

pengadilan, menyebabkan proses pengadilan sering kali berkepanjangan,

sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang

kurang memuaskan ;

b. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa;

c. Memperlancar serta memperluas akses pengadilan ;

d. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang

menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dan

memuaskan.31

B. Tinjaun Umum Terhadap Penyelesaian Sengketa

Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “Conflict” dan

“Dispute”. Keduakosa kata tersebut pada umumnya sama –sama mengandung

pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak

atau lebih, tetapi secara khususkeduanaya dapat dibedakan. Kosa kata conflict

       31

(40)

sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosa kata

“dispute” dapat diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa”.

Konflik dapat diartikan sebagai suatu situasi dimana 2 (dua) pihak atau

lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi

sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan

tidak puas atau keprihatinan. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi

sebuah sengketa, bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa

tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak ynag

dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak Lain.

Dari penjelasan tentang pengertian konflik diatas, dapatlah diaartikan

Sengketa merupakan keadaan dimana pihak yang merasa dirugikan atas konflik

yang terjadi dengan pihak lain menyatakan ketidakpuasaannya tersebut dengan

jalan melakukan suatu perbuatan tertentu.

Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan peredebatan yang

berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan mencapai kesepakatan.

Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusanya jaur komunikasi yang

sehat, sehingga masing – masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan

nasib ataupun kepentingan pihak lainnya.

Untuk mencegah hal tersebut,maka diperlukan suatu pola penyelesaian

sengketa yang efektif. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak

untuk dapat dilakukannya proses penyelesaian sengketa adalah bahwa para pihak

yang bersengketa harus sama – sama memperhatikan atau menjunjung tinggi hak

(41)

pencarian titik temu (common guard) baru dapat berjalan. Jika tanpa kesadaran

tentang pentingnya langkah ini, proses penyelesaian sengketa tidak akan berjalan

dalam arti yang sebenarnya.

Ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian

sengketa, yaitu ;

1. Kepentingan ( Interest )

2. Hak – hak ( Rights ), dan

3. Status kekuasaan ( power).

Ada beberapa dinamika penyelesian sengketa dalam kehidupan

masyarakat dunia, yaitu :32

1. Proses adjudikasi (Adjudicative Processes )

a. Litigasi (Litigation)

Litigasi adalah proses gugatan atas sesuatu konflik yang diritulisasikan

untuk menggantikan konflik sesungguhnya, di mana para pihak

memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang

bertentangan. Litigasi merupakan proses yang sanagat dikenal (familiar)

bagi para lawyer, dengan karakteristik adanya pihak ketiga yang

mempunyai kekuatan untuk memutuskan ( impose ) solusi diantara para

pihak yang bersengketa. Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan

peradilan (court and admninistrative proceedings).

       32

(42)

b. Arbitrase (Arbitration)

Di dalam arbitrase, para pihak menyetujui untuk menyelesaikan

sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat

keputusan. Arbitrase adalah salah satu bentuk adjudikasi privat. Dalam

beberapa hal arbitrase mirip dengan adjudikasi publik dan sama – sama

memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan.

Perbedaan arbitrase dengan litigasi melalui pengadilan adalah

dilibatkannya litigasi sengketa pribadi dalam arbitrase. Sifat pribadi dari arbitrase

memberikan keuntungan – keuntungan melebihi adjudikasi melalui pengadilan

negri. Arbitrase pada dasarnya menghindari melalui Pengadilan Negeri. Dalam

kaitan ini, dibandingkan dengan adjusikasi publik, arbitrase lebih memberikan

kebebasan, pilihan, otonom dan kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa.

Arbitrase dapat lebih cepat dan murah dibandinkan dengan adjudikasi

public karena para pihak secara efektif memilih hakim mereka. Mereka tidak

perlu antri meunggu pemeriksaan perkaranya oleh pengadilan. Pada sebagianbesar

yurisdiksi, hal tersebut betul – betul merupakan suatu penantian yang panjang.

Arbitrase juga cenderung lebih informal dibandingkan adjudikasi publik,

prosedurnya tidak begitu kaku dan lebih dapat menyesuaikan. Karena arbitrase

tidak sering mengalamipenundaan dan prosedur pada umumnya lebih sederhana,

(43)

2. Proses Konsensus (Consensus Processes)

a. Ombudsman

Ombudsman adalah sebutan unuk suatu badan atau institusi yang

tugasnya meng –investigasi keberatan dan mencegah terjadinya sengekta

para pihak atau memfasilitaskan pemecahan masalahnya. Metode yang

digunakan dalam ombudsman adlah investigai, publikasi, dan

rekomendasi.

b. Pencari Fakta Bersifat Netral ( Neutral Fact Findinga )

Fact finding sering disebut sebagai neutral fact finding atau pencari fakta

yang bersifat netral. Dalam beberapa perkara yang benar – benar rumit,

para pihak sebenarnya tidak bersengketa mengenai hukum ataupun

mengenai penerapan hukum terhadap fakta – fakta, namum mereka

bersengketa mengenai objektivitas fakta – fakta. Ha ini kadangkala

merupakan perkara dengan perosoalan – pesoalan teknis atau ilmu yang

kompleks.

c. Alternative Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution)

ADR merupakan alternative penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar

pengadilan (ordinary court). Hal ini akan saya jelaskan lebih lanjut pada

pembahasan tersendiri dalam skripsi ini.

3. Proses Adjudikasi Semu ( Quasi Adjudicatory Processes )

Di amerika serikat, alternatif penyelesaian sengketa merupakan bidang

yang paling berkembang. Berbagai macam proses yang dirancang diterapkan

(44)

alternatife yang tersedia dan tidak hanya menyerahkannya kepada pengadilan. Hal

ini mengurangi beban perkara di pengadilan . para pihak yang berpekara mencari

cara penyelesaian yang menguntungkan baginya. Dengan demikian mereka dapat

menghindari hasil pemeriksaan yang merugikan .

Proses – proses berikut ini dirancang untuk memberikan suatu pandangan

yang lebih objektif terhadap sengekta kepada pihak yang berepekara dibandingkan

apabila mereka merancangnya sendiri.33

a. Mediasi – Arbitrase ( Med – Arb 34)

b. Persidangan Mini ( Mini Trial )35

c. Pemeriksaan Juri secra Sumir ( Summary Jury Trial 36)

d. Evaluasi Netral Secara Dini ( Early Neutral Evaluation )37

       33

Sudargo Gautama, Arbitrase Dan Mediasi ( Hak Milik Intelektual ) WIPO, (Bandung PT. Citra Aditya Bhakti, 1996), hlm. 96

34

Mediasi – Arbitrase adalah proses penyelesain sengketa campuran yang dilakukan setelah proses mediasi tidak berhasil. jika para pihak tidak mencapai kesepakatan secara mediasi, mereka dapat melanjutkan pada proses penyelesaian sengekta secara arbitrase

35

Pemeriksaan mini hampir sama dengan pemeriksaan juri secara sumir, bedanya hanya Tanpa ada juri penasehat ( advisory jury ). Dalam proses ini pengacara membuat suatu presentasi ringkas mengenai perkara masing–masing pihak dihadapan suatu panel yang terdiri atas wakil masing–masing pihak untuk merundingkan dan menyelesaikan perkara tersebut

36

Model pemeriksaan ini merupakan adaptasi dari beberapa konsep persidangan mini

(mini trial concepts ). Dalam pemeriksaan juri secara sumir, pengacara membuat suatu presentasi

ringkas tentang perkara mereka dihadapan juri penasehat, bukan juri adjudikasi. Juri memberikan perimbangan atas infprmasi – informasi yang dipresentasikan pengacara. Para pihak memepertahankan hak pemeriksaan mereka. Apabila mereka tidak memperoleh suatu penyelesaian, mereka dapat menyidangkan perkaranya. Jadi pemeriksaan juri secara sumir merupakan suatu sarana yang dimaksudkan untuk menghemat waktu pengadilan dan sumber daya. Yang lebih penting lagi, proses ini mirip dengan proses litigasi penuh, karena para pihak hars mempersipakan perkara mereka secara utuh seolah – olah mereka akan menyidangkannya.

37

(45)

Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 ( dua )

proses. Proses penyelesaian sengketa tertua ialah melalui Proses Litigasi di dalam

pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui

kerjasana (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan

kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan

bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,

membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan

diantara oihak yang bersengketa. Sebaliknya melalui proses di luar pengadilan

menghasilkan kesepakatan yang bersifat “wi–win solution”, dijamin kerahasian

sengketa para pihak, dihindari keterlambatan yang diakibatkan karena prosedural

dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam

kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Akan tetapi, di negara – negara

tertentu proses peradilan dapat lebih cepat.

Salah satu kelebihan proses non- litigasi ini terletak pada sifat

kerahasiannya karena persidangan dan bahkaan hasil keputusan pun tidak

dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan

dengan Alternative Dispute Resoulution ( ADR ) .38

Ada yang mengatakan kalau Alternative Dispute Resoulution ( ADR ) ini

merupakan siklus gelombang ketiga penyelesaian sengketa bisnis. Penyelesaian

sengketa bisnis pada era globalisasi dengan cir “ moving quickly “, menuntut

cara–cara yang informal procedure and be put in motion quickly’. Sejak Tahun

1980 di berbagai Negara Alternative Dispute resolution ( ADR) dikembagka

       38

(46)

sebagai jalan terobosan alternative atas kelemahan penyelesaian litigasi dan

arbitrase, mengakibatkan terkurasnya sumber daya, dana, waktu , pikiran dan

tenaga eksekutif, malahan menjerumuskan usaha kea rah kehancuran. 39 Atas

dasar itulah dicarikan pilihan lainnya dalam menyelesaikan sengketa di luar

proses litigasi.

Alternative Dispute Resolution ( ADR ) merupakan suatu istilah asing yang

perlu dicarikan padanannya dlam bahasa Indonesia. Berbgai istilah dalam bahasa

Indonesia telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak, seperti

Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanise Alternatif Penyelesaian Sengketa

(MAPS), Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) di luar pengadilan, dan mekanisme

penyelesain sengketa secara kooperatif. 40 Serta ada juga yang mengartikan

dengan pengelolaan konflik secra kooperatif ( cooperation conflict management ).

Dengan demikian dilihat dari beberapa peristilahan di atas, maka sesungguhnya

Alternative Dispute Resoulution ( ADR ) merupakan penyelesaian sengketa di luar

pengadilan yang dilakukan secra damai.

Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur secara panjang lebar

tentang arbitrase, memperlihatkan kepada kita bahwa sebenarnya undang –

undang tersebutjuga menekankan kepada penyelesaian sengketa alternatif

berbentuk mediasi (dengan pemakaian tenaga ahli). Bahkan tidak menutup

kemungkinan penyelesaian sengketa melalui alternatif – alternatif lain. 41

       39

M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian

Sengketa, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997) hlm. 280 - 281 40

Suyud Margono, Alternative Dispute resolution ( ADR ) dan Arbitrase, J(akarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 35 – 36.

41

(47)

Pasal 6 Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur mengenai

pilihan penyelesaian sengketa melalui musyawarah para pihak yang bersengketa,

dibawah title “ Alternatif Penyelesaian Sengketa”; yang marupakan terjemahan

dari Alternative Dispute Resolution ( ADR ). Pengertian Alternative Dispute

Resolution ( ADR ) di sini adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda

pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesain sengketa

di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau

penilaian ahli. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dengan Alternative

Dispute Resolution ( ADR ) dalam perspektif Undang – Undang Nomor 30 Tahun

199 itu adalah suatu pranata penyelesain sengketa di laur pengadilan berdasarkan

kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara

litigasi di pengadilan.

Penggunaan pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut

bukan suatu yang harus dilakukan atau dijalankan terlebih dahulu. Hukum melalui

Undang – undang Nomor 30 Tahun1999 telah menyediakan beberapa pranata

Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) secara damai yang dapat ditempuh para

pihak untuk menyelesaiakan sengketa atau beda pendapat perdata mereka, apakah

mendayagunakan pranata konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi,atau penilaian

ahli. Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) di luar pengadilan hanya dapat

ditempuh bila para pihak menyepakati penyelesaian melalui pranata Pilihan

(48)

Sengketa atau beda pendapat yang dapat diselesaikan oleh para pihak

melalui Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) hanyalah sengketa atau beda

pendapat di bidang perdata saja. Penyelesaian dalam bentuk perdamaian ini hanya

akan mencapai tujuan dan sasarannya bila didasarkan pada itikad baik di antara

para pihak yang bersengketa atau berbeda pendapat dengan mengesampingkan

penyelesaian sengketa secara litigasi di Pengadilan Negeri.

Pertama, penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui Pilihan

Penyelesaian Sengketa (PPS) diselesaikan dalam penemuan langsung oleh para

pihak ( negoisasi ) sebagai tahap pertama. Dalam waktu paling ama 14 (empat

belas ) hari sejak negosiasi (perundingan) dilakukan, para pihak harus sudah dapat

mengambil putusan yang dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Seandainya

penyelesian sengketa melalui perundingan tadi tidak menghasilkan apa–apa, maka

atas kesepakatan tertuli, para pihak menujukanatau meminta bantuan seseorang

atau lebih penasehat ahli maupun seorang mediator untuk menyelesaikan sengketa

atau beda pendapat para pihak. Penasehat ahli atau mediator ini di berikan

kesempatan selama 14 ( empat belas ) hari untuk menyelesaiakan sengeketa atau

beda pendapat para pihak sejak hari ditunjukannya.

Cara demikian ini tidak juga berhasil mencapai kata sepakat atau mediator

tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka dapat ditempuh

penyelesaian sengketa tahap ketiga, yakni dengan menunjukan seorang mediator

lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa permintaan par

pihak yang bersengketa. Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada petani tentang teknologi PTT padi sawah, sehingga akan dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi

Pengujian yang dilakukan adalah pengujian terhadap daftar fungsi aplikasi yang telah dijabarkan pada Bab III dan terhadap tujuan dibuatnya aplikasi ini, yakni melakukan

dengan menurunnya ekspresi MMP 9. Penurunan MMP 9 ini menunjukkan berkurangnya degradasi matrix metalloproteinase dalarn arti berkurangnya kerusakanyang terjadi pada

Pada hasil pengukuran panjang luka sayat pada setiap kelompok mencit yang dilakukan setiap hari pada waktu yang sama, didapatkan bahwa kelompok yang dipajan dengan ozon

Pengamatan panen meliputi angka kerapatan panen, kriteria matang buah, produksi per pemanenan, proses kegiatan panen, dan kebutuhan tenaga kerja panen serta

Usaha-usaha memperkirakan kebutuhan investasi untuk mencapai sasaran laju pertumbuhan ekonomi tertentu dalam suatu perencanaan pembangunan dilakukan melalui konsep ineremental

Selanjutnya, Penulis menyarankan kepada pembaca untuk mengembangkan hasil modifikasi pada Tugas Akhir ini agar mendapatkan metode iterasi baru dengan orde konvergensi tinggi dan