SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat – syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Oleh :
YURISTA ARINI
NIM : 070200355
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA (DAGANG)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat – syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Oleh :
YURISTA ARINI NIM : 070200355
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA (DAGANG)
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Perdata (Dagang) Universitas Sumatera Utara
(DR. Hasyim Purba, SH,M.Hum) NIP. 196603031985081001
DISETUJUI OLEH DISETUJUI OLEH
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
Rahmat dan Karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul : PEMBERDAYAAN MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MENURUT PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008”.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana penerapan dan pemberdayaan mediasi di pengadilan negeri dalam penyelesaian sengeketa perdata menurut peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dengan menghubungkan dengan teori-teori dalam hukum perdata yang penulis pelajari selama ini apakah dapat digunakan dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan.
Dari mulai perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah mendapat banyak bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak antara lain sebagai berikut:
menyelesaikan penulisan skripsi ini serta atas perjuangan orang tua penulis dalam membiayi penulis selama berlajar di fakultas hukum Universitas sumatera utara sehingga penulis dapat sampai kepada tahap penyelesaian penulisan karya ilmiah ini, Hanya ALLA SWT yang dapat membalas kebaikan kalian semua.
3. Kepada Pimpinan Fakultas Hukum, bapak Dekan Prof. DR. Runtung, SH, M.Hum, beserta para Pembantu Dekan, dan Bapak Dosen Pembimbing I Bapak M. Husni, SH,M.Hum. dan Bapak pembimbing II, Bapak Malem Ginting, SH.M.Hum, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan arahan dari bapak kepada saya guna menyelesaikan penulisan skripsi ini, kepada para seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis ucapkan terimakasih atas ilmu yang diberikan kepada penulis dan bantuan kepada penulis selama belajar di Fakultas Hukum, penulis yakin suatu saat ilmu yang diberikan akan berguna. 4. Kepada sahabat-sahabat ku Puti lenggo geni , Fauzi ichwana siregar, Desi
Semoga ALLAH SWT senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua yang telah disebutkan maupun pihak yang tidak disebutkan diatas. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari bentuk sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang akan membuat penulis lebih baik dimasa depan. Semoga penulisan skripsi ini berguna baik untuk penulis dan menjadi ilmu yang berguna bagi masyarakat.
Medan, 15 September 2011
Eksistensi mediasi sebagai salah satu pilihan penyelesaian sengketa semakin berkembang pesat, hal tersebut terbukti dengan adanya pengaturan tentang mediasi yang secara parsial diatur dalam berbagai Undang-undang. Dalam perkembangannya, semula mediasi merupakan pilihan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan dengan tujuan memperoleh kesepakatan yang dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral (mediator). Namun demikian, sejak tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Selanjutnya terhadap materi SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, MARI menyempurnakannya dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, selanjutnya MARI melakukan revisi dengan mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Permasalahan yang saya bahas dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan.
Dari hasil penelitian skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa pengaturan penyelesaian sengketa hanya diatur dengan HIR, RBG, KUHPerdata dan peraturan Mahkamah Agung sebagai implementasi dari keseluruhan peraturan tersebut. Dengan adanya mediasi, maka para pihak yang berperkara dapat dengan mudah dan tidak memakan waktu yang lama dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak. Hanya saja, sangat sulit untuk menjalankan hasil keputusan dari kedua belah pihak apabila salah satu diantara para pihak tidak mau melaksanakan hasil mediasi yang telah dicapai.
Maka untuk menjadikan mediasi yang memiliki hasil yang baik,maka dipilihlah hakim yang memiliki pengalaman dan integritas serta itikad baik dari masing-masing para pihak yang bersengketa.
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
1) Tinjaun Tentang Sengketa di Pengadilan ... 13
a. Kewenangan Peradilan Umum ... 13
b. Bentuk Penyelesaian Sengeketa ... 14
c. Gugatan Perdata ... 15
BAB II TAHAPAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2008 A. Sejarah Penyelesaian Alternatif Sengketa ... 23
B. Tinjaun Umum Terhadap Penyelesaian Sengketa ... 29
C. Tahapan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2008 . 40 BAB III MANFAAT PRAKTEK MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI BERDASARKAN PERMA NO.1 TAHUN 2008 A. Dasar Hukum Mediasi Di Indonesia Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata ... 44
B. Teori-Teori Mediasi ... 49
BAB IV FAKTOR MEMPENGARUHI TERLAKSANA ATAU TIDAKNYA PERDAMAIAN MELALUI LEMBAGA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI
A. Penyelesaian Sengketa Menurut sistem Hukum Indonesia .... 56
B. Penyelesaian sengketa Perdata Menurut Perma No. 1 Tahun
2008 ... 62
C. Faktor Mempengaruhi Terlaksana Atau Tidaknya
Perdamaian Melalui Lembaga Mediasi Di Pengadilan Negeri 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 77 B. Saran ... 78
Eksistensi mediasi sebagai salah satu pilihan penyelesaian sengketa semakin berkembang pesat, hal tersebut terbukti dengan adanya pengaturan tentang mediasi yang secara parsial diatur dalam berbagai Undang-undang. Dalam perkembangannya, semula mediasi merupakan pilihan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan dengan tujuan memperoleh kesepakatan yang dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral (mediator). Namun demikian, sejak tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Selanjutnya terhadap materi SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, MARI menyempurnakannya dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, selanjutnya MARI melakukan revisi dengan mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Permasalahan yang saya bahas dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan.
Dari hasil penelitian skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa pengaturan penyelesaian sengketa hanya diatur dengan HIR, RBG, KUHPerdata dan peraturan Mahkamah Agung sebagai implementasi dari keseluruhan peraturan tersebut. Dengan adanya mediasi, maka para pihak yang berperkara dapat dengan mudah dan tidak memakan waktu yang lama dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak. Hanya saja, sangat sulit untuk menjalankan hasil keputusan dari kedua belah pihak apabila salah satu diantara para pihak tidak mau melaksanakan hasil mediasi yang telah dicapai.
Maka untuk menjadikan mediasi yang memiliki hasil yang baik,maka dipilihlah hakim yang memiliki pengalaman dan integritas serta itikad baik dari masing-masing para pihak yang bersengketa.
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana telah di rumuskan
secara konstitusional dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (rechtstaat) dan
bukan negara yang mendasarkan diri kepada kekuasaan belaka (machtstaat).
Esensi sebagai negara hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus
menempatkan segala aspek kehidupan secara hukum untuk dilaksanakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa
pengecualian. Karena itu hukum dalam negara hukum mempunyai posisi yang
supreme atau insrumen pengendali dan pengarah utama yang menjadi pedoman
dan harus dipatuhi oleh setiap orang dan/atau subyek hukum melalui penegakan
hukum.
Dalam pergaulan di masyarakat dimana yang berbeda kita hidup di tengah
individu-individu yang berbeda tabiat dan kepentingan,perselisihan atau konflik
tentunya sulit di hindari. Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang sepele,
dan tidak mempunyai akibat hukm apapun,seperti perbedaan pendapat dengan
istri/suami tentang penentuan waktu keberangkatan ke luar kota atau bisa pula
merupakan persoalan serius dan mempunyai akibat hukum, misalnya tentang
batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang telah dibuat
Suatu perselisihan itu muncul kepermukaan, terkualifikasi menjadi suatu
sengketa, antara lain di sebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa
berhak atas apa yang diperselisihkan. Sebab dari yang berselisih merasa bersalah
dan mengerti bahwa ia tidak berhak atas sesuatu yang berselisih merasa bersalah
dan mengerti bahwa ia tidak berhak atas sesuatu yang di perselisihkan, maka
perselisihan itu dianggap tidak ada atau berakhir tatkala ketidakbenarannya
disadari.
Di dalam pergaulan masyarakat, kedamaian adalah merupakan idaman
setiap anggota masyarakat. Kedamaian akan terwujud antara lain kalau aneka
kepentingan yang berbeda dari masing-masing anggota masyarakat tidak saling
berbenturan. Pertentangan kepentingan itulah yang menimbulkan
perselisihan/persengketaan dan untuk menghindari gejala tersebut, mereka
mencari jalan untuk mengdakan tata tertib,yaitu dengan membuat ketentuan atau
kaedah hukum,yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat,agar dapat
memperahankan hidup bermasyarakat. Dalam kaedah hukum yang di tentukan
itu,setiap orang iharuskan untuk bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga
kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi. Apabila
kaedah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan di kenakan
sanksi atau hukuman.
Adapun yang dimaksudkan dengan kepentingan seperti tersebut di atas
adalah hak-hak dan kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materil.
Hukum perdata (materil) itu menjelma dalam undang-undang atau ketentuan yang
selayaknya berbuat atau tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat
tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam
masyarakat.Ketentuan-ketentuan seperti ; “Siapa yang mengambil barang milik
orang lain dengan niat untuk dimiliki sendiri secara melawan hukum….dan
sebagainya”,”siapa yang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang
lain diwajibkan mengganti kerugian kepada orang lain tersebut”,itu semuanya
merupakan pedoman atau kaedah yang pada hakekatnya bertujuan untuk
melindungi kepentingan orang.1
Pelaksanaan dari hukum perdata (materil) dapat berlangsung secara
diam-diam diantara para pihak yang berinteraksi,tanpa harus melalui instansi resmi.
Namum acapkali terjadi hukum perdata (materil) itu dilanggar, sehingga ada
pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di
dalam masyarakat. Dalam hal ini maka hukum materil perdata yang telah
dilanggar itu haruslah dipertahankan dan ditegakkan.
Untuk melaksanakan hukum perdata (materil) terutama dalam hal ada
pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum perdata (materil)
dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan hukum lain, yaitu yang
disebut hukum formil atau hukum acara perdata.
Hukum acara perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan
melaksanakan dan memperthankan atau menegakan hukum perdata materil
dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam
1
mempertahankan dan menegakan hukum perdata materil itu terjadi melalui
peradilan. Cara inilah yang disebut dengan litigasi.
Pada dasarnya dalam cara Litigasi, inisiatif berekara ada pada diri orang
yang berpekara (dalam hal ini penggugat). Dengan kalimat lain ada atau tidak
adanya sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang
merasa,bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para
penggugat.2
Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik
yang cukup tajam,baik dari praktisi maupun teoritis hukum. Peran dan fungsi
peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overload). Lamban
dan buang waktu (waste of time). Biaya mahal (very expensive) dan kurang
tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlamapu
formalistik (formalistic) dan terlamapu teknisi (technically).
Kritik tajam terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya
yang dianggap terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of
time), mahal (very expensive) dan kurang tanggap ( unresponsive ) terhadap
kepetingan umum serta dianggap terlampau formalistik ( formalistic ) dan
terlampau teknis ( technically ) menurut pada masa sekarang bersifat mendunia. 3
Sama – sama mendapat lontaran kritik di semua Negara. Itu sebabnya masalah
peninjauan kembali pada perbaiakn sistem peradilan kea rah yang efektif dan
efisien, terjadi diman – mana. Sistem peradilan Inggris dianggap lambat dan
mahal (delay dan expensive)sehingga penyelesaian perkara yang dihasilakan
2
Soetjipto Rahardjo, Perumusan Hukum Indonesia, (Bandung : Alumni ,1978), hlm. 6
3
M. Yahya Harahap, BEBErapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
dianggap putusan yang tidak adil (injustice). Bahkan muncul kritik yang
mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan tidak adil (civil
procedure was neither efficient no fair).4
Berbagai kelemahan yang melekat pada badan pegadilan dalam
menyelesaikan sengketa perdata, baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun
tidak singkatnya karena peradilan dirasa tidak dapat mengakomodasikan harapan
masyarakat pencari keadilan, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain
atau institusi lain untuk menyelesaikan sengekta mereka. 5
Alternatif penyelesaian sengketa muncul sebagai gejala sosial dalam
masyarakat yang tidak percaya kepada lembaga peradilan untuk menyelesaikan
sengketa mereka. Metode ini sudah dikenal secara universal dapat memenuhi
harapan masyarakat dalam menyelesaikan sengketa. Di negara maju misalnya,
penyelesaian sengketa melalui alternative penyelesaian sengketa atau alternative
Dispute Resolution bahkan menjadi klausul (Pasal) yang selalu dicantumkan
dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, sehingga jika ternyata muncul
perselisihan di kemudian hari, maka para pihak akan menyelesaiakn melalui
lembaga alternatif penyelesaian sengketa tersebut (tidak melalui pengadilan ).
Dari hal ini dapat kita cermati bahwa alternatif penyelesaian sengketa atau ADR
telah menjadi strategi preventif untuk mencegah “terjebaknya” para pihak dalam
proses ”gugat menggugat” di lembaga peradilan.6
4
Ibid.
5
Munir Fuady, Hukum Arbitrase Modern , (Bandung, PT. Citra Adyta Bhakti, 2008), hlm. 23.
6
Di Indonesia dengan dikeluarkannya Undang – Undang No.30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, metode penyelesaian
sengketa secara alternative ( non- litigasi ) tersebut menjadi dapat digunakan
secara legal (resmi) dalam praktek penyelesaian sengketa perdata di masyarakat.
Ada beberapa bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang umum
digunakan,seperti :
1. Negosiasi (penyelesaian melalui perundingan secara bipartite /
dua pihak ),
2. Mediasi / Konsiliasi (negosiasi dengan dibantu oleh pihak ketiga,
mediaor/ konsiliator),dan
3. Arbitrase ( penyelesaian melalui pemeriksaandan putusan oleh
Abiter ).
Alternatif penyelesaian sengketa yang paling potensial digunakan adalah
Arbitrase. Hal ini itu dikarenakan keberadaan arbitrase sebagai salah satu
alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang
dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesiabersamaan dengan dipakainya
Reglementop de rechtsvordering (RV) dan Het Herzeiene Indonesisch reglement
(HIR) ataupun Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten
Buiten Java en Madura(RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam Pasal 615
s/d 651 reglement of de rechtsverordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang
ini sudah tidak diberlakukan lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor
Menurut Prof. Subekti 7, bagi dunia perdagangan atau bisnis,penyelesaian
sengketa lewat arbitrase atau perwarisan, mempunyai bebrapa keuntungan yaitu
bahwa ia dilakukan ;
1. Dengan cepat
2. Oleh ahli, dan
3. Secara rahasia
Namun praktek di lapangan menunjukan bahwa arbitrase dirasa kurang
begitu efektif untuk menyelesaikan sengketa tanpa maslah. Di samping ia masih
berpotensi menyisakan pertentangan antara para pihak yang berengketaan, karena
prosesnya yang tak ubahnya seperti berpekara di pengadilan, arbitrase juga
bermasalah dalam hal eksekusi (pelaksanaan) putusan yang dikeluarkan oleh
arbiter (wasit/hakim jurinya). Yang pada akhirnya berdampak kompleks, dimana
bagi para pihak kesepakatan berdamai tidak dicapai, sementara sengekta juga
semakin tajam. Di samping bagi pengadilan bertamabah tugasnya, sementara
kasus-kasus yang ada di pengadilan belum terselesaiakan, akhirnya menimbulkan
apa yang disebut penumpukan perkara. Jika hal ini sudah terjadi, maka bukan
tidak mungkin akan menimbulkan rasa tidak percaya yang tinggi dari masyarakat
para pencai keadilan, karena pengadilan dianggap tidak dapat memnuhi harapan
ideal mereka akan hukum (das sollen).
Hal ini tersebut menunjukan bahwa sebenarnya keberadaan pengadilan
sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang resmi dalam suatu negara tetap
dibutuhkan, meskipun ia memiliki banyak kekurangan dalam beberapa aspek.
7
Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi
masih dapat diandalkan, anataralain berhukum dan masyarakat demokrasi masih
dapat diandalkan, antara lain berperan sebagai berikut :8
1. Peradilan berperan sebagai katup penekan ( pressure vakatlve ) atas
segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat, dan pelanggaran
ketertiban umm.
2. Peradilan masih tetap diharpkan berperan sebagai last resort atau
tempat terakhir kebenaran dan keadilan, sehingga peradilan masih
tetap diandalkan sebagi badan yang berfungsi menegakkan kebenaran
dan keadilan (to enforce the truth and enforce justice).
3. Disamping itu, tempat dan kedudukan peradilan masih dihargai
sebagai badan atau institusi yang memiliki fungsi istimewa (serve a
very special function ).
Dalam kedudukan istimewa yang demikian, JR. Spencer9 mengataka
bahwa putusan yang dijatuhkan pengadilan diibaratkan seperti “putusan Tuhan”
atau the judgement was of god. Pendapat yang menganggap putusan pengadilan
sebagai the judgement of the God sudah lama berakar dalam kehidupan manusia.
Masyarakat Yunani menyebutkan sebagai judicium die.
8
M . Yahya Harahap, beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa ( Bndung : PT . Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 237. Juga terdapat dalam makalahnya yang berjudul “ Mencari sistem Peradilan yang Efektif dan efisien” yang disampaikan pada Seminar Akbar 50 tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Dasar Pembangunan Hukum Nasional dalam PJP II. Jakarta, 18 – 21 Juli 1985.
9
Dengan fakta tersebut kemudian muncullah suatu ide baru dalam hal
penyelesaian sengketa perdata dengan win–win solution yang menggunakan
pengadilan sebagai mediator dan sekaligus dapat berperan sebagai katup penekan
yang diharapkan tidak hanya lebih efektif dan efisien bagi para pihak yang
bersengketa, tapi juga bagi pengadilan yang bertugas menyelesaikan sengeketa
mereka, dalam hal mengurangi penumpukan perkara yang dapat berimplikasi
kompleks tersebut. Pemikiran baru tersebut adalah dengan mengefektifkan suatu
pola penyelesaian sengketa dengan jalan berunding diantara pihak yang
bersengketa dan kepentingan yang sebenarnya masing – masing mereka atas suatu
hal yang disengketakan dalam terminologi yang lebih netral.
Metode tersebut adalah modifiksi dari model pnyelesaian sengketa
alternative mediasi, yang lazimnya disebut mediasi di pengadilan, atau lazim juga
disebut Mediation – Arbitration atau dalam bahasa inggris disebut “court annexed
mediation”. Jadi jika sebelumnya yang dikenal publik mediasi itu hanya
merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sekarang sudah
berkembang menjadi dapat dilakukan di dalam pengailan.
Di Indonesia dasar hukum untuk pemberlakuan metode tersebut melalui
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 tentang prosudur mediasi
dipengadilan. Latar belakang lahirya Perma ini yang pertama adalah sebagai salah
satu upaya untuk membantu lembaga pengailan dalam rangka mengurangi beban
penumpukan perkara. Kedua, adanaya kesdaran akan pentingnya sistem hukum di
Indonesia untuk menyediakan akses seluas mungkin kepada para pihak yang
diasumsikan sebagai proses yang lebih efisien dan tidak memuakan waktu
dibandingkan proses pengadilan.10
Dalam Perma Nomor 2 Tahun 2003 diatur bahwa mediasi bisa
dilaksanakan di dalam dan diluar pengadilan. Jika proses mediasi dilaksanakan
diruang pengadilan dan menggunakan mediator yang dipilih dari daftar yang
dimiliki pengadilan, maka pelaksanaannya tidak dipungut biaya. Tetapi jika
proses mediasi dilaksanakan di luar pengadilan, maka para pihak harus bersepakat
mengenai tempat, biaya dan honorarium mediator yang diperlukan.
Eksistensi mediasi sebagai salah satu pilihan penyelesaian sengketa
semakin berkembang pesat, hal tersebut terbukti dengan adanya pengaturan
tentang mediasi yang secara parsial diatur dalam berbagai Undang-undang. Dalam
perkembangannya, semula mediasi merupakan pilihan penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan dengan tujuan memperoleh kesepakatan yang dibantu
oleh pihak ketiga yang bersifat netral (mediator). Namun demikian, sejak tahun
2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mengeluarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Selanjutnya terhadap
materi SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, MARI menyempurnakannya dengan
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, selanjutnya MARI melakukan revisi
dengan mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
10
Majelis Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), Mediasi sebagai Alternatif
Sejauh ini, Dalam hal tertunggaknya perkara dan ketidakpuasan para
pencari keadilan terhadap putusan pengadilan. MA mencoba mengintegrasikan
proses penyelesaian sengketa alternatif (non litigasi ) dalam hal ini mediasi ke
dalam proses peradilan (litigasi). Yaitu dengan menggunakan proses mediasi
untuk mencapai perdamaian pada tahap upaya damai di persidangan dan hal inilah
yang biasa disebut dengan lembaga damai dalam bentuk mediasi atau lembaga
mediasi.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan sebuah
penelitian dengan judul “ Pemberdayaan Mediasi di Pengadilan Negeri Dalam
Penyelesaian Sengketa Perdata Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor
1 tahun 2008”.
B. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa rumusan masalah yang akan
penulis teliti, yakni:
1. Bagaimana tahapan mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata di
pengadilan berdasarkan Perma No. 1 tahun 2008?
2. Apa Manfaat praktek mediasi di Pengadilan Negeri sesuai dengan Perma
No.1 tahun 2008?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi terlaksana atau tidaknya perdamaian
C. Tujuan Penelitian
Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian penulis lakukan adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui tahapan mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata
di pengadilan berdasarkan Perma No. 1 tahun 2008.
2. Untuk mengetahui Manfaat praktek mediasi di pengadilan sesuai dengan
yang diamanatkan oleh Perma No. 1 tahun 2008.
3. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi terlaksana atau tidaknya
perdamaian melalui lembaga mediasi di Pengadilan Negeri.
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis
lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis.
Penulisan Skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang
mediasi, sebagai slah sat bentuk alternative penyelesaian sengeketa di luar
pengadilan yang telah melembaga menjadi suatu alternatif yang bersifat
“mandatory” bagi seluruh hakim pengadilan Indonesia dalam upaya
melaksanakan tugas mereka memutus sengketa perdata.
2. Secara praktis.
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi
Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.
b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan
c. Skripsi ini dapat dijadikan pedoman dan bahan rujukan bagi rekan
mahasiwa, praktissi hukum ,pemerintah, serta masyarakat yang
bersengketa dalam rangka memperdayaakaan lembaga mediasi untuk
menyelesaikan sengeketa perdata yang mereka hadapi.
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang yang telah penulis telusuri dan penulis ketahui mengenai karya
ilmiah skripsi yang terdapat di lingkungan Fakultas Hukum Unversitas Sumatera
Utara, bahwa penulisan skripsi yang mengangkat mediasi sebagai topic
pembahasannya adalah belum pernah ada sebelumnya. Dengan demikian,dengan
melihat permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini,
maka penulisa dapat menyatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan murni karya
asli penulis.
F. Tinjaun Pustaka
1) Tinjaun Tentang Sengketa di Pengadilan
a. Kewenangan Peradilan Umum
Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan untuk mengadili yang
dimiliki oleh peradilan umum (pengadilan negeri). Kewenangan peradilan umum
dibagi menjadi dua, yakni:
Peradilan umum berwenang untuk mendili perkara pidana dan perdata
sesuai dengan pasal 50 UU No. 2 tahun 1986 Jo UU No. 8 tahun 2004
tentang perubahan atas UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum.
2). Kewenangan Relatif
Pengadilan Umum (Negeri) memiliki daerah hukum yang terbatas, karena
sesuai dengan pasal 2 UU No. 8 tahun 2004 tentang perubahan atas UU
No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum, kedudukan pengadilan negeri
berkedudukan di ibukota kabupaten/kota sehingga daerah hukumnya
hanya meliputi wilayah kabupaten/kota tersebut.
b. Bentuk Penyelesaian Sengeketa
Menurut Fathahillah AS penyelesaian sengketa dalam praktenya memiliki
dua macam metode, yaitu :11
1) Proses Peradilan/ajudikasi,
- Litigasi (Proses pengadilan) - Arbitrase
2) Proses Konsensual / Non-Ajudikasi
- Alternatif Penyelesaian Sengeketa
Alternatif Penyelesaian Sengeketa saat ini menjadi pilihan yang efektif dan efisien sebab memiliki beberapa bentuk yang memberikan pilihan berbeda bagi para pihak.
Menurut Yahya Harahap, dalam penyelesaian sengeketa terdapat beberapa bentuk penyelesaian diluar pengadilan, antara lain:12
a. Mediasi (mediation) melalui sistem kompromi diantara para pihak,
sedangkan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediaotor hanya sebagai penolong dan fasilitator;
11
Fatahillah A.S. Pelatihan Mediator, (Jakarta, Indonesian Institute For Conflict Transformation, 2004), hlm. 14.
12
b. Konsiliasi melalui konsiliator, dimana pihak ketiga yang bertindak sebagai konsiliator berperan merumuskan perdamaian (konsiliasi), tetapi keputusan tetap ditangan para pihak;
c. Expert Determination, menunjukkan seorang ahli memberi
penyelesaian sengeketa yang menentukan oleh karena itu keputusan yang diambilnya mengikat para pihak.
d. Mini trial
Para pihak sepakat menunjuk seorang advisor yang akan bertindak untuk memberikan opini kepada kedua belah pihak, opini tersebut diberikan advisor setelah mendengar permasalahan sengketa dari kedua belah pihak, opini yang berisi kelemahan masing-masing pihak serta member pendapat cara penyelesaian sengekata yang harus ditempuh para pihak.
c. Gugatan Perdata
Dalam proses penyelesaian perkara perdata melalui jalur pengadilan
adalah mengenai pengajuan gugatan. Pengajuan gugatan harus memperhatikan
hal-hal yang diatur dalam pasal 118 HIR/142 RBG yang mengatakan:13
1) Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk ke pengadilan negeri
harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada ketua pengadilan di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya tempat tinggal sebetulnya;
2) Jika tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat kediamanan tergugat. Hal ini dapat dilihat dari rumah tempat kediamannya.
3) Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat tinggal salah seorang dari para tergugat, terserah pilihan dari penggugat, jadi penggugat yang menentukan dimana akan mengajukan gugatannya.
4) Apabila pihak tergugat ada dua orang yaitu yang seorang misalnya adalah
yang berhutang dan yang lain penjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri pihak yang berhutang sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan bahwa secara analogis dengan ketentuan tersebut, apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda, gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat.
13
5) Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal penggugat.
6) Jika gugatan itu tentang benda tidak bergerak, dapat juga diajukan kepada ketua pengadilan negeri dimana barang tetap itu terletak. Jika benda tidak bergerak itu terletak dalam beberapa daerah hukum pengadilan negeri, maka gugatan diajukan kepada ketua salah satu pengadilan negeri menurut pilihan penggugat.
HIR dan RBG tidak mengatur tentang prasyarat mengenai isi pada
gugatan. Isi pada gugatan diatur dalam Pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan
pada pokoknya memuat, antara lain:
1. Identitas para pihak, meliputi nama, tempat tinggal, dan pekerjaan.
Dalam praktek sering juga dicantumkan agama, umur, status.
2. Posita atau fundamentum petendi yaitu dalil-dalil konkret tentang
adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan
daripada tuntutan.
3. Petitum (tuntutan), dalam praktek tuntutan/petitum terdiri dari dua
bagian, tuntutan primer dan tuntutan sekunder.
Misalnya, tuntutan primer:
- Menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa dalam
keadaan baik dan kosong kepada penggugat;
- Menyatakan sah dan berhaga sita jaminan atas tanah sengeketa
Misalnya tuntutan sekunder:
- Jika majelis hakim berpendapat lain, mohon memberikan putusan
yang adil dan benar
d. Putusan Hakim
Untuk memberikan putusan terhadap suatu perkara merupakan tugas
seorang hakim. Putusan itu dituntut suatu keadilan dan untuk itu hakim
melakukan konstatering peristiwa yang dihadapi, mengkualifikasi dan
mengkonstitusinya. Jadi bagi hakim dalam mengadili suaut perkara yang
dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan
hukumnya adalah suatu alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah
peristiwanya.14
Putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki
kedudukan yang sangat penting di seluruh sistem hukum yang berdasarkan prinsip
konstitusionlisme.15 Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap wajib
dipatuhi oleh para pihak baik dalam perkara perdata maupun pidana.
Di dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan
hukumnya, sehingga siapapun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan
cukup mempunyai alasan yang objektif atau tidak. Disamping itu, pertimbangan
hakima adalah penting dalam pembuatan memori banding dan memori kasasi.16
Putusan hakim menurut sifatnya dapat dibagi kedalam 3 macam, yaitu:17
1. Putusan Declaratoir;
Yaitu putusan yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum.
2. Putusan Consitutif
Yaitu putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru.
14
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: tata cara dan proses persidangan, ( Jakarta, Sinar Grafika, 2003), hlm. 79.
15
Mhd. Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta, Pradya Paramita, 2002), hlm. 106.
16
R. Soeroso, Loc.cit.
17
3. Putusan Condemnatoir
Yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
Dari ketiga maca putusan hakim diatas, hanya ada satu putusan yang
didalamnya mengandung suatu penghukuman dan dapat dilakukan eksekusi bagi
para pihak yang kalah, yaitu putusan condemnatoir, sedangkan putusan declatoir
dan putusan constitutive tidak perlu adanya eksekusi.
2) Tinjaun Tentang Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki
kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses
mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau
konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus,
maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau
penyelesaian selama proses mediasi berlangsung maka segala sesuatunya harus
memperoleh persetujuan dari para pihak.
Mediasi Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung No. 2
Tahun 2003 (PERMA No. 2 Th. 2003).
Pasal 1 butir ke-7 Perma No. 1 tahun 2008 menyebutkan bahwa Mediasi
adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
Mediasi adalah salah satu penyelesaian sengketa secara damai. Mediasi
ada 2 jenis: yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi dari dalam
pengadilan, ditangani oleh hakim pengadilan tersebut yang tidak menangani
perkaranya. sedangkan mediasi di luar pengadilan, ditangani oleh mediator
swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen.
Seorang sarjana Amerika, Stephen R. Marsh memberikan batasan tentang
Mediasi di Pengadilan. Ia menyebutkan ada 3 (tiga) batasan mengenai mediasi di
Pengadilan, yaitu :
There are three different definitions of Court Annexed Mediation
1. The narrowest definition is mediation that has been specifically ordered by a Court.
2. The middle ground is mediation that occurs per general court
order (e.g. standing orders tha all family law cases will be mediated before a trial date is set).
3. The most expansive definition is the mediation of any and all
matters that will of necessity be litigated (e.g damage to minors, divorce actions ).18
Penyelesaian sengketa dengan proses mediasi adalah penyelesaian perkara
yang dilakukan oleh pihak ketiga (mediator), tanpa melalui persidangan. Pihak
ketiga dalam hal ini tidak memutuskan perkaranya. Mediator hanya berusaha
mengadakan pendekatan kepada para pihak untuk meminimalkan perbedaan
pendapat dalam kasus yang dihadapi untuk mencapai suatu kesepakatn diantara
mereka menuju pada pemecahan yang saling menguntungkan (win win solution).
Mediator hanya berperan untuk membantu para pihak mencapai penyelesaian
sengketa. Untuk itu mediator dapat secara langsung dan rahasia berkomunikasi
22
dengan para pihak dan bekerja bersama sama untuk mencapai suatu
kesepakatan.19
Tujuan mediasi pada dasarnya agar orang yang bersengketa (yang
mengajukan perkara ke pengadilan) bisa berdamai dengan hasil sama sama
senang. Perma Nomor 1 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (2) yang mewajibkan setiap
hakim, agar mendamaikan pihak yang berperkara sebelum melanjutkan proses
persidangan, harus melalui tahap mediasi dulu, apabila tidak menempuh prosudur
mediasi maka menurut Perma ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR
dan/atau Pasal 154 RBG, yang berakibat putusan batal demi hukum.
3) Metode Penelitian
1. Tipe atau Jenis Penelitian
Penelitian Hukum adalah suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan menganalisanya. Berdasarkan ruang
lingkup dan identifikasi masalah sebagaimana diuraikan dimuka, maka metode
penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode yuridis-normatif.
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian skripsi
ini adalah dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library research) guna
mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat, tulisan para ahli dan juga untuk
19
memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan formal maupun melalui
naskah resmi yang ada.20
Bahan ilmiah yang diperoleh dari studi kepustakaan yang dipergunakan
dalam penelitian ini berupa:
a) Bahan hukum primer, seperti, UUD 1945,Ketetapan MPR, Peraturan
Perundang-undangan, Peraturan Mahkamah Agung yang terkait
dengan penelitian ini;
b) Bahan hukum sekunder seperti karya ilmiah, jurnal hukum, dan hasil
penelitian hukum (disertasi, tesis) putusan pengadilan, serta
kepustakaan yang berkaitan dengan penelitan ini;
c) Bahan hukum tersier, seperti, kamus hukum, pendapat para ahli
hukum, dan ensiklopedia.
Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan
menganalisis data secara mendalam dan kemudian dilakukan penelusuran
terhadap Perma No 1 tahun 2008 berjalan efektif dalam pelaksanaannya di
pengadilan.
4) Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan dan penjabaean penulisan, penelitian ini
akan dibagi menjadi Enam Bab dengan komposisi sistematika penulisan sebagai
berikut:
20
BAB I : Pendahuluan
Memuat latar belakang Penulisan, Rumusan Pemasalahan, tujuan
dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II :Tahapan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Di
Pengadilan Negeri Berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008.
Bab ini memuat sejarah penyelesaian sengketa, tinjauan umum
tentang penyelesaian sengketa dan Tahapan Mediasi Dalam
Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri berdasarkan
PERMA No. 1 Tahun 2008.
BAB III :Manfaat Praktek Mediasi Di Pengadilan Negeri Berdasarkan Perma
No.1 Tahun 2008.
Memuat tentang Dasar Hukum Mediasi Di Indonesia Sebagai
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata ,Teori-Teori Mediasi
serta Manfaat Mediasi Dalam Menyelesaikan Suatu Sengketa
Perdata.
BAB IV :Faktor Mempengaruhi Terlaksana Atau Tidaknya Perdamaian
Melalui Lembaga Mediasi Di Pengadilan Negeri.
Memuat tentang Penyelesaian Sengketa Menurut sistem Hukum
Indonesia, Penyelesaian sengketa Perdata Menurut Perma No. 1
Tahun 2008 dan Faktor Mempengaruhi Terlaksana Atau Tidaknya
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Memuat kesimpulan dan saran penulis sebagai hasil dari analisis
BAB II
TAHAPAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2008
A. Sejarah Penyelesaian Alternatif Sengketa
Penyelesaian sengketa yang lambat akan dapat mengganggu kinerja
pebisnisdalam menggerakan roda perekonomian serta memerlukan biaya yang
relative besar. Untuk itu dibutuhkan institusi baru yang lebih efisien dan efektif
dalam menyelesaiakn sengketa bisnis. Kemudian lahirlah lembaga arbitrase yang
mengakomodir kelemahan – kelemhan litigasi, yang merupakan siklus kedua
penyelesaian sengketa.21
Perkembangan arbitrase ditandai dengan lahirnya Jay Teaty pada Tahun
1794, yang merupakan perjanjan antara Amerika dan Inggris . perjanjian tersebut
bertujuan untuk menanggulangi perselisihan yang terjadi antara warga mereka.
Cara penyelesaian lama yang didasarkan pada sistem saluran diplomatik sering
mengecewakan. Penyelesaian cenderung dipengaruhi kepentingan politik
(political consideration ). Cara dan sistem inilah yang berbentuk “missed
commission” yang berfungsi untuk menyelesaiakn sengketa dagang secara
hukum. Cara penyelesaian lama yang berkarakter politik dan diplomatik digeser
kearah sistem penyelesaian yang berkarakter yuridis. Mixed commissions
berkembang dan menjadi cikal bakal arbitrase nasional dan internasional, dimana
masing–masing negara mengakuinya sebagai extra judicial, penyelesaian
sengketa dilakukan berdasarkan rule yang disepakati, putusan langsung final and
21
binding, serta putusan dapat dipaksakan sengketa dagang. Pada mulanya apa yang
diharapkan dapat dipenuhi arbitrase. Penyelesaian sengeketa berjalan cepat, tidak
formalistic, dan lebih ringan dari litigasi. Untuk memperluas peran arbitrase
tersebut, maka disepakati berbagai konvensi internasional mengenai arbitrase. 22
Perkembangan arbitrase ditujukan mengatasi kontraksi atau kebekuan
(contraction ) yang dialami litigasi, ternyata arbitrase sendiri mengalami penyakit
yang hampir sama. Penumpukan kasus sengketa mengalir. Cara penyelesaian
arbitrase mengalami kontraksi karena cenderung formalistic meniru pola litigasi.
Biaya yang dibebankan sangat mahal. Sebaliknya, kecepatan perkembangan
perdagangan yang mengarah kepada “ free trade” dan “free competition” dalam
suasana global competition, memerlukan perlindungan dengan enyelesaian
sengketa yang segera, sehingga dapat dipertahankan efisiensinya.
Dengan sendirinya sistem penyelesaian sengketa dagang memerlukan siklus
baru, karena siklus litigasi dan arbitrase tidak memadai. Jika perubahannya
dilakukan melalui jalur legislative, tidak mungkin. Lambatnya langkah legislative
mengubah sistem litigasi dan arbitrase melalui ketentun perundang – undangan,
bias menghambat laju perkembanngan ekonomi dan perdagang.23
Berdasarkan alasan itu, masyarakat mengambil inisiatif untuk
memperkenalkan dan mengembangkan “dispute resolutuion” yang mereka
anggap cocok diperluas untuk menggeser peran litigasi dan aribitrase. Sejak
Tahun 1980 – an telah berkembng bermacam pilihan penyelesaian sengketa
bisnis, karena penyelesaian tidak memerlukan aturan formal, pemyelesaian segera
22
M. Yahya Harahap, Op. cit ., hlm 226 – 227
23
(immedeatly) dan cepat (quick), memberi kepuasan dan harapan, biaya harus
ringan demi efisiensi, hasil yang diinginkan berisi penyelesaian sengketa untuk
melangkah ke depan, bukan mempermasalahkan masa lalu, dan penanganannya
diserahkan kepada profesioanal oleh orang yang betul – betul ahli (expert). 24
Istilah Alternative Dispute Resolution ( ADR ) pertama kalinya lahir di
Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada Tahun 1976, yaitu ketika
“ Chief Justice Warren Burger” mengadakan “ the Rescoe E. Pound Confrence
on the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administratration of Justice” (
Pound Conference ) di Saint Paul, Minesota. Para akdemisi, para anggota
pengadilan, dan para public interest lawyer, secara bersama – sama mencari cara –
cara baru dalam menyelesaiakn konflik, Pada Tahun 1976 itu pula American Bar
Association ( ABA ) mengakui secra resmi gerakan Alternative Dispute
Resolution ( ADR ) dan membentuk suatu komisi khusus untuk penyelesaian
sengketa ( Special Committee on Dispute resolution ). 25
Konsep tersebut merupakan jawaban atas ketidakpuasan ( disatifaction )
yang muncul di masyarakat Amerika Serikat terhadp sistem peradilan mereka.
Ketidakpuasan tersebu bersumber pada persoalan – persoalan waktu yang
dibutuhkan sangat lama dan biaya yang mahal, serta dirgukan kemampuannya
menyelesaikan secra memuaskan kasus – kasus yang bersifat rumit. Kerumitan
dapat disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan persoalan – pesoalan
ilmiah ( scientifically complicated ) atau dapat juga disebabkan banyaknya serta
luasnya stake holders yang harus terlibat.
24
Ibid.,hlm. 228
25
Pada intinya Alternative Dispute Resolution ( ADR ) dikembangkan oleh
para praktisi hukum maupun para akademis sebagai cara penyelesaian sengketa
yang lebih memiliki akses keadilan. 26 Sementara itu di Jepang sebenarnya jauh
sebelum peresmian Alternative Dispute Resolution ( ADR ) yang dilakukan oelh
Asociation Bar of America ( ABA ) tersebut diatas, pada zaman Tokugawa telah
diterapkan “kpnsiliasi” ( chotei ) sebagai penyelesaian sengketa alternatif.
Selanjutnya ditungkan dalam bentuk Undang – undang Konsiliasi Perdata atau “
Minji Chotei Ho “ pada Tahun 1951. 27
Disamping itu, baik di China dan Jepang juga sudah sejak lam mengenal
“mediasi” sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur
masyarakat Cina yang tidak suka Pengadilan sebagai tempat penyelesian
sengketa. Di sini sengketa – sengketa perdata diselesaikan melalui mediator.
Untuk periode yang cukup panjang di zaman Cina kuno terdapat kontroversi
anatar kaum “Confucius” dan “legalist” mengenai bagaimana mengatur
masyarakat, Di satu pihak, kaum Confuciu menekankan pentingnya ditegakkan
prinsip – prinsip berdasarkan moral ( LI ), sedangkan kaum Legalist memandang
perlunya aturan – aturan hukum tertulis yang pasti ( FA ).28
Sementara itu di Indonesia terdapat beragam metode pengambilan
keputusan dan penyelesaian sengketa, baik tradisional maupun metode dari luar
26
Mas Achmad Sentosa, 1995. Alternative Dispute Resolution ( ADR ) di Bidang
lingkungan Hidup. Makalah disampaikan dalam forum Dialog Tentang Alternative Dispute Resolution ( ADR ) yang diselenggarakan oleh Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan
The Asia Foundation, Jakarta : Departemen Kehakiman dan The Asia Foundation, hlm. I
27
Hide Tanake, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo:University of Tokyo Press, 1988), hlm, 492
28
yang salah satunya mengisyaratkan akan penyelesaian sengketa melalui
Alternative Dispute Resolution ( ADR ) di luar badan pengadilan.
Metode tersebut dapat dibagi dalam 2 ( dua ) prosedur sebagai berikut: 29
1. Prosedur Administratif atau Prosedur Yudisial
Dalam prosedur ini sanksi dari pihka ketiga dapat berupa rekomendasi atau keputusan yang mengikat. Prosedur ini berakar pada proses pengadilan pada zaman kerjaan, kesultanan, adat setempat, atau pemuka adat desa, setya prosedur administrative pengadilan zaman colonial Belanda.
2. Proses Konsensus Sukarela (Consensually – Based Approaches)
Dalam proses ini para pihak mengembangkan penyelesaian yang dapat dierima bersama. Proses ini berakar dari sistem pengaturan sendiri ( self governing system ) yang dapat ditemukan di Negara kepulauan kita. Ada beberapa persamaan lain yang ditemukan pada masyarakat Indonesia, yaitu :
a. Pertama banyak sengketa yang diselesIn melalui prosedur
yudisial, dimana ada otoritas dari pengambil keputusan, seperti pemuka adat yang memfasilitasi sebuah pertemuan antar pihak yang bersengketa dan membantu bernegosiasi dengan memakai standar ( criteria ) adat atau kerangja penyelesaian menurut sarn pemuka adat.
b. Kedua, banyak suku yang masih mempertahnkan prosedur
consensus sukarela untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk “Consensually – Based” dapat diartikan ke dalam bentuk musyawarah untuk mencapai mufakat ( consensus )
Di Indonesia sendiri proses penyelesaian melalui Alternative Dispute
Resolution ( ADR ) bukanlah sesuatu yang baru dalam nilai – nilai budaya bangsa
kita yang berjiwa kooperatif. Nilai kooperatif dan komptomi dalam penyelesaian
sengketa muncul dimana saja Indonesia. Pada masyarakat Batak yang relative
memiliki nilai “litigious”, masih mengandalkan forum runggun adat, yang intinya
29
Mas Achmad Sentosa, Palembang Alternatuve Dispute Resolution ( ADR ) di
Indonesia, Makalah pada kuliah umum Alternative Dispute Resolution ( ADR ). Fakultas Hukum
penyelesaian sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan. Di Minangkabau
dikenal dengan adanya lembaga hakim perdamaian, yang secara umum berperan
sebagai mediator dan konsiliator. Konsep prmbuatan keputusan dalam pertemuan
desa pada suku Jawa tidak didasarkan atas suara mayoritas, tetapi dibuat oleh
keseluruhan yang hadir sebagai suatu kesatuan.
Perlu disadari bahwa secara historis, kultur masyarakat Indonesia sangat
menjunjung tinggi pendekatan konsesus. Pengembanagan keputusan secara
tradisional dan penyelesaian sengketa secra adat. Alasan cultural bagi eksentensi
dan pengembangan Alternative Dispute Resolution ( ADR ) di Indonesia
tampaknya lebih kuat dibandingkan alasan ketidakefisienan proses peradilan
dalam menangani sengketa.30
Apabila melihat latar belkang pendayagunaan Alternative Dispute
Resolution ( ADR ) di Amerika Serikat sebagai resperentasi Negara industry dan
ekonomi maju dan Negara – Negara yang menganut akar budaya non –
konfronatif yang pada umumnya dimiliki oleh Negara – Negara yang sedang
berkembang, terdapat sedikit perbedaan. Latar belakang pendayagunaan
Alternative Dispute Resolution (ADR ) di Negara maju disebabkan ketidakpuasan
terhadap sistem pengadilan, sedangkan Negara – Negara yang menganut akar
budaya non – konfrontatif adalah melestarikan budaya non – adversarial menuju
masyarakat yang lebih stabil (social stability), sekaligus akses pada keadilan
(proses pemeriksaan yang cepat, berbiaya ringan dan tidak asing bagi
30
masyarakat). Sistem pengadilan dianggap institusi yang tidak memenuhi
kebutuhan di atas.
Bila menyimak sejarah perkembangan Alternative Dispute Resolution
(ADR) di Negara tempat pertama kali dikembangkan (Amerika Serikat),
pengembangan Alternative Dispute Resolution (ADR) dilatarbelakangi oleh
kebutuhan sebagai berikut :
a. Mengurangi kemaceta di pengadilan, banyaknya kasus yang diajukan ke
pengadilan, menyebabkan proses pengadilan sering kali berkepanjangan,
sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang
kurang memuaskan ;
b. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa;
c. Memperlancar serta memperluas akses pengadilan ;
d. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang
menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dan
memuaskan.31
B. Tinjaun Umum Terhadap Penyelesaian Sengketa
Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “Conflict” dan
“Dispute”. Keduakosa kata tersebut pada umumnya sama –sama mengandung
pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak
atau lebih, tetapi secara khususkeduanaya dapat dibedakan. Kosa kata conflict
31
sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosa kata
“dispute” dapat diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa”.
Konflik dapat diartikan sebagai suatu situasi dimana 2 (dua) pihak atau
lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi
sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan
tidak puas atau keprihatinan. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi
sebuah sengketa, bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa
tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak ynag
dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak Lain.
Dari penjelasan tentang pengertian konflik diatas, dapatlah diaartikan
Sengketa merupakan keadaan dimana pihak yang merasa dirugikan atas konflik
yang terjadi dengan pihak lain menyatakan ketidakpuasaannya tersebut dengan
jalan melakukan suatu perbuatan tertentu.
Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan peredebatan yang
berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan mencapai kesepakatan.
Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusanya jaur komunikasi yang
sehat, sehingga masing – masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan
nasib ataupun kepentingan pihak lainnya.
Untuk mencegah hal tersebut,maka diperlukan suatu pola penyelesaian
sengketa yang efektif. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak
untuk dapat dilakukannya proses penyelesaian sengketa adalah bahwa para pihak
yang bersengketa harus sama – sama memperhatikan atau menjunjung tinggi hak
pencarian titik temu (common guard) baru dapat berjalan. Jika tanpa kesadaran
tentang pentingnya langkah ini, proses penyelesaian sengketa tidak akan berjalan
dalam arti yang sebenarnya.
Ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian
sengketa, yaitu ;
1. Kepentingan ( Interest )
2. Hak – hak ( Rights ), dan
3. Status kekuasaan ( power).
Ada beberapa dinamika penyelesian sengketa dalam kehidupan
masyarakat dunia, yaitu :32
1. Proses adjudikasi (Adjudicative Processes )
a. Litigasi (Litigation)
Litigasi adalah proses gugatan atas sesuatu konflik yang diritulisasikan
untuk menggantikan konflik sesungguhnya, di mana para pihak
memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang
bertentangan. Litigasi merupakan proses yang sanagat dikenal (familiar)
bagi para lawyer, dengan karakteristik adanya pihak ketiga yang
mempunyai kekuatan untuk memutuskan ( impose ) solusi diantara para
pihak yang bersengketa. Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan
peradilan (court and admninistrative proceedings).
32
b. Arbitrase (Arbitration)
Di dalam arbitrase, para pihak menyetujui untuk menyelesaikan
sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat
keputusan. Arbitrase adalah salah satu bentuk adjudikasi privat. Dalam
beberapa hal arbitrase mirip dengan adjudikasi publik dan sama – sama
memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan.
Perbedaan arbitrase dengan litigasi melalui pengadilan adalah
dilibatkannya litigasi sengketa pribadi dalam arbitrase. Sifat pribadi dari arbitrase
memberikan keuntungan – keuntungan melebihi adjudikasi melalui pengadilan
negri. Arbitrase pada dasarnya menghindari melalui Pengadilan Negeri. Dalam
kaitan ini, dibandingkan dengan adjusikasi publik, arbitrase lebih memberikan
kebebasan, pilihan, otonom dan kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa.
Arbitrase dapat lebih cepat dan murah dibandinkan dengan adjudikasi
public karena para pihak secara efektif memilih hakim mereka. Mereka tidak
perlu antri meunggu pemeriksaan perkaranya oleh pengadilan. Pada sebagianbesar
yurisdiksi, hal tersebut betul – betul merupakan suatu penantian yang panjang.
Arbitrase juga cenderung lebih informal dibandingkan adjudikasi publik,
prosedurnya tidak begitu kaku dan lebih dapat menyesuaikan. Karena arbitrase
tidak sering mengalamipenundaan dan prosedur pada umumnya lebih sederhana,
2. Proses Konsensus (Consensus Processes)
a. Ombudsman
Ombudsman adalah sebutan unuk suatu badan atau institusi yang
tugasnya meng –investigasi keberatan dan mencegah terjadinya sengekta
para pihak atau memfasilitaskan pemecahan masalahnya. Metode yang
digunakan dalam ombudsman adlah investigai, publikasi, dan
rekomendasi.
b. Pencari Fakta Bersifat Netral ( Neutral Fact Findinga )
Fact finding sering disebut sebagai neutral fact finding atau pencari fakta
yang bersifat netral. Dalam beberapa perkara yang benar – benar rumit,
para pihak sebenarnya tidak bersengketa mengenai hukum ataupun
mengenai penerapan hukum terhadap fakta – fakta, namum mereka
bersengketa mengenai objektivitas fakta – fakta. Ha ini kadangkala
merupakan perkara dengan perosoalan – pesoalan teknis atau ilmu yang
kompleks.
c. Alternative Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution)
ADR merupakan alternative penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar
pengadilan (ordinary court). Hal ini akan saya jelaskan lebih lanjut pada
pembahasan tersendiri dalam skripsi ini.
3. Proses Adjudikasi Semu ( Quasi Adjudicatory Processes )
Di amerika serikat, alternatif penyelesaian sengketa merupakan bidang
yang paling berkembang. Berbagai macam proses yang dirancang diterapkan
alternatife yang tersedia dan tidak hanya menyerahkannya kepada pengadilan. Hal
ini mengurangi beban perkara di pengadilan . para pihak yang berpekara mencari
cara penyelesaian yang menguntungkan baginya. Dengan demikian mereka dapat
menghindari hasil pemeriksaan yang merugikan .
Proses – proses berikut ini dirancang untuk memberikan suatu pandangan
yang lebih objektif terhadap sengekta kepada pihak yang berepekara dibandingkan
apabila mereka merancangnya sendiri.33
a. Mediasi – Arbitrase ( Med – Arb 34)
b. Persidangan Mini ( Mini Trial )35
c. Pemeriksaan Juri secra Sumir ( Summary Jury Trial 36)
d. Evaluasi Netral Secara Dini ( Early Neutral Evaluation )37
33
Sudargo Gautama, Arbitrase Dan Mediasi ( Hak Milik Intelektual ) WIPO, (Bandung PT. Citra Aditya Bhakti, 1996), hlm. 96
34
Mediasi – Arbitrase adalah proses penyelesain sengketa campuran yang dilakukan setelah proses mediasi tidak berhasil. jika para pihak tidak mencapai kesepakatan secara mediasi, mereka dapat melanjutkan pada proses penyelesaian sengekta secara arbitrase
35
Pemeriksaan mini hampir sama dengan pemeriksaan juri secara sumir, bedanya hanya Tanpa ada juri penasehat ( advisory jury ). Dalam proses ini pengacara membuat suatu presentasi ringkas mengenai perkara masing–masing pihak dihadapan suatu panel yang terdiri atas wakil masing–masing pihak untuk merundingkan dan menyelesaikan perkara tersebut
36
Model pemeriksaan ini merupakan adaptasi dari beberapa konsep persidangan mini
(mini trial concepts ). Dalam pemeriksaan juri secara sumir, pengacara membuat suatu presentasi
ringkas tentang perkara mereka dihadapan juri penasehat, bukan juri adjudikasi. Juri memberikan perimbangan atas infprmasi – informasi yang dipresentasikan pengacara. Para pihak memepertahankan hak pemeriksaan mereka. Apabila mereka tidak memperoleh suatu penyelesaian, mereka dapat menyidangkan perkaranya. Jadi pemeriksaan juri secara sumir merupakan suatu sarana yang dimaksudkan untuk menghemat waktu pengadilan dan sumber daya. Yang lebih penting lagi, proses ini mirip dengan proses litigasi penuh, karena para pihak hars mempersipakan perkara mereka secara utuh seolah – olah mereka akan menyidangkannya.
37
Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 ( dua )
proses. Proses penyelesaian sengketa tertua ialah melalui Proses Litigasi di dalam
pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui
kerjasana (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan
kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan
bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,
membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan
diantara oihak yang bersengketa. Sebaliknya melalui proses di luar pengadilan
menghasilkan kesepakatan yang bersifat “wi–win solution”, dijamin kerahasian
sengketa para pihak, dihindari keterlambatan yang diakibatkan karena prosedural
dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam
kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Akan tetapi, di negara – negara
tertentu proses peradilan dapat lebih cepat.
Salah satu kelebihan proses non- litigasi ini terletak pada sifat
kerahasiannya karena persidangan dan bahkaan hasil keputusan pun tidak
dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan
dengan Alternative Dispute Resoulution ( ADR ) .38
Ada yang mengatakan kalau Alternative Dispute Resoulution ( ADR ) ini
merupakan siklus gelombang ketiga penyelesaian sengketa bisnis. Penyelesaian
sengketa bisnis pada era globalisasi dengan cir “ moving quickly “, menuntut
cara–cara yang informal procedure and be put in motion quickly’. Sejak Tahun
1980 di berbagai Negara Alternative Dispute resolution ( ADR) dikembagka
38
sebagai jalan terobosan alternative atas kelemahan penyelesaian litigasi dan
arbitrase, mengakibatkan terkurasnya sumber daya, dana, waktu , pikiran dan
tenaga eksekutif, malahan menjerumuskan usaha kea rah kehancuran. 39 Atas
dasar itulah dicarikan pilihan lainnya dalam menyelesaikan sengketa di luar
proses litigasi.
Alternative Dispute Resolution ( ADR ) merupakan suatu istilah asing yang
perlu dicarikan padanannya dlam bahasa Indonesia. Berbgai istilah dalam bahasa
Indonesia telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak, seperti
Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanise Alternatif Penyelesaian Sengketa
(MAPS), Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) di luar pengadilan, dan mekanisme
penyelesain sengketa secara kooperatif. 40 Serta ada juga yang mengartikan
dengan pengelolaan konflik secra kooperatif ( cooperation conflict management ).
Dengan demikian dilihat dari beberapa peristilahan di atas, maka sesungguhnya
Alternative Dispute Resoulution ( ADR ) merupakan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang dilakukan secra damai.
Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur secara panjang lebar
tentang arbitrase, memperlihatkan kepada kita bahwa sebenarnya undang –
undang tersebutjuga menekankan kepada penyelesaian sengketa alternatif
berbentuk mediasi (dengan pemakaian tenaga ahli). Bahkan tidak menutup
kemungkinan penyelesaian sengketa melalui alternatif – alternatif lain. 41
39
M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian
Sengketa, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997) hlm. 280 - 281 40
Suyud Margono, Alternative Dispute resolution ( ADR ) dan Arbitrase, J(akarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 35 – 36.
41
Pasal 6 Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur mengenai
pilihan penyelesaian sengketa melalui musyawarah para pihak yang bersengketa,
dibawah title “ Alternatif Penyelesaian Sengketa”; yang marupakan terjemahan
dari Alternative Dispute Resolution ( ADR ). Pengertian Alternative Dispute
Resolution ( ADR ) di sini adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesain sengketa
di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dengan Alternative
Dispute Resolution ( ADR ) dalam perspektif Undang – Undang Nomor 30 Tahun
199 itu adalah suatu pranata penyelesain sengketa di laur pengadilan berdasarkan
kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara
litigasi di pengadilan.
Penggunaan pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut
bukan suatu yang harus dilakukan atau dijalankan terlebih dahulu. Hukum melalui
Undang – undang Nomor 30 Tahun1999 telah menyediakan beberapa pranata
Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) secara damai yang dapat ditempuh para
pihak untuk menyelesaiakan sengketa atau beda pendapat perdata mereka, apakah
mendayagunakan pranata konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi,atau penilaian
ahli. Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) di luar pengadilan hanya dapat
ditempuh bila para pihak menyepakati penyelesaian melalui pranata Pilihan
Sengketa atau beda pendapat yang dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) hanyalah sengketa atau beda
pendapat di bidang perdata saja. Penyelesaian dalam bentuk perdamaian ini hanya
akan mencapai tujuan dan sasarannya bila didasarkan pada itikad baik di antara
para pihak yang bersengketa atau berbeda pendapat dengan mengesampingkan
penyelesaian sengketa secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Pertama, penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui Pilihan
Penyelesaian Sengketa (PPS) diselesaikan dalam penemuan langsung oleh para
pihak ( negoisasi ) sebagai tahap pertama. Dalam waktu paling ama 14 (empat
belas ) hari sejak negosiasi (perundingan) dilakukan, para pihak harus sudah dapat
mengambil putusan yang dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Seandainya
penyelesian sengketa melalui perundingan tadi tidak menghasilkan apa–apa, maka
atas kesepakatan tertuli, para pihak menujukanatau meminta bantuan seseorang
atau lebih penasehat ahli maupun seorang mediator untuk menyelesaikan sengketa
atau beda pendapat para pihak. Penasehat ahli atau mediator ini di berikan
kesempatan selama 14 ( empat belas ) hari untuk menyelesaiakan sengeketa atau
beda pendapat para pihak sejak hari ditunjukannya.
Cara demikian ini tidak juga berhasil mencapai kata sepakat atau mediator
tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka dapat ditempuh
penyelesaian sengketa tahap ketiga, yakni dengan menunjukan seorang mediator
lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa permintaan par
pihak yang bersengketa. Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah