MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)
T E S I S
OLEH
ANDRY MAHYAR 097005008/ HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
No 15 Tahun 2002, tentang tindak pidana pencucian uang yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya Undang – Undang No 25 tahun 2003. Peran PPATK sebagai suatu badan yang dibentuk guna melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana pencucian uang mendapat perluasan dengan lahirnya Undang – Undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi 1. Peran pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) secara yuridis dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang . 2. Hambatan pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Kerangka teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah menggunakan teori Criminal Policy (teori penanggulangan kejahatan), dengan melihatnya dari dua pendekatan yakni pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan nonpenal (pendekatan diluar hukum pidana). Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif,yang bersumberkan dari data-data kepustakaan (library research).
Hasil penelitian ini adalah bahwa Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang berperan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang mendapat perluasan kewenangan dengan lahirnya Undang – Undang No 8 tahun 2010 yakni dengan diberikannya kewenangan kepada PPATK untuk melakukan penghentian sementara transaksi keuangan yang mencurigakan,. Hambatan - hambatan yang dialami PPATK dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Pertama hambatan dari segi Undang – Undang yang sering sekali mengalami perubahan, Kedua hambatan dari segi penegak hukum yang belum memiliki sumberdaya manusia yang cukup mempuni dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, Ketiga hambatan dari segi budaya hukum adalah kurangnya kesadaran hukum dari semua kalangan dalam mematuhi peraturan yang telah digariskan guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang
transactions is an indication of money laundering, was born simultaneously with the enactment of Law - Law No. 15 of 2002, on money laundering which is then enhanced with the birth of Laws No 25 year 2003. INTRAC role as a body set up to conduct prevention and combating of money laundering have expanded with the birth of Law - Law No. 8 of 2010 on Preventing and combating money laundering.
Issues raised in this study include 1. The role of central reporting and analysis of financial transactions (INTRAC) juridically in preventing and combating money laundering. 2. Barriers to the central reporting and analysis of financial transactions (INTRAC) in preventing and combating money laundering.
Theoretical framework that is used as a knife analysis in this study was to use the theory of Criminal Policy (the theory of crime prevention), with a view of the two approaches namely penal approach (application of criminal law) and non penal approach (the approach beyond the criminal law). This study uses normative research methods, which is sourched from the data library (library research).
The results of this study is that the Center for Financial Transaction Reporting and Analysis (INTRAC) that play a role in preventing and combating money laundering authorities have expanded with the birth of Laws No. 8 of 2010 is namely by granting authority to the INTRAC to perform temporary halt suspicious financial transactions ,. Barriers - barriers that prevent the INTRAC in preventing and combating money laundering is the first obstacle in terms of the Acts that often changes, two barriers in terms of law enforcement that do not have adequate human resources well in enforcing the law against money laundering, the three barriers in terms of legal culture is the lack of legal awareness of all circles in complying with regulations that have been outlined to prevent money laundering
“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERAN PUSAT PELAPORAN DAN
ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK) DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)". Sholawat beriring salam penulis hadiahkan kepada Pimpinan
besar Baginda Rosulullah MUHAMMAD SAW, yang telah membawa kita dari alam
kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh
gelar Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU)
Medan. Dalam menyelesaikan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan
dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karenanya sudah selayaknya penulis
menyampaikan untaian terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Dan untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan tersebut penulis haturkan kepada:
1. Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu DTM&H, M.Sc (CTM). Sp.A (K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti pendidikan di program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H, selaku Komisi pembimbing yang telah
banyak memberikan arahan, motivasi dan membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku komisi pembimbing yang dengan sangat
perhatian dan sabar selalu memberikan arahan, masukan dan motivasi kepada
penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini
6. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku komisi pembimbing yang dengan
sangat sabar selalu memberi masukan, motivasi dan membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini.
7. Dr. T. Keizerina Devi. A, SH, CN, M.Hum, selaku penguji, yang telah
memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini
8. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, selaku penguji yang telah banyak memberikan
masukan kepada penulis guna menyelesaikan penulisan tesis ini.
9. Terima kasih juga penulis Ucapkan kepada seluruh rekan – rekan se almamater
hususnya rekan – rekan di kelas Reguler B angkatan 2009 dan rekan – rekan di
kelas Hukum Pidana, yang telah banyak memberikan bantuan, masukan serta
motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
Disamping itu sujud bakti penulis serta rangkaian ucapan ta’zim penulis
sembari mengucapkan Terima Kasih yang tak terhingga Kepada Ayahanda
ANDINA SASMITA, SH, ANDHIKA YULIA ADHA DAN ANDHINY LARASATI yang selalu membantu dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan
perkuliahan penulis.
Selanjutnya ucapan terima kasih juga penulis rangkaikan kepada Istri tercinta
SITI HADIAH MAHDALENA,SE, dan kedua bidadari kecil penulis SARAH HAFIZAH RIZQIA DAN ZAHRA RIZQIA, yang selama ini selalu memberikan
pengorbanan yang besar serta sabar dalam mendampingi dan memotivasi penulis
dalam menyelesaikan perkuliahan pada Program studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara, Mudah – mudahan ALLAH menjadikan kalian sebagai
istri dan anak – anak yang sholeha
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, maka guna
menyempurnakan pengetahuan kita bersama penulis memohon agar kiranya dapat
diberikan masukan, saran serta keritik yang membangun agar dapat penulis jadikan
acuan dalam meyempurnakan tulisan penulis. Akhiru Kalam “WALLAHU
KHOIRURROZIQIN”
Medan, Juni 2011 Penulis
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A...Latar Belakang ... 1
B...Permasala han ... 14
C...Tujuan Penelitian ... 14
D...Manfaat Penelitian ... 15
E...Keaslian Penelitian ... 15
F...Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 16
1...Kerangka Teori ... 16
2...Konsepsi ... 39
G...Metode Penelitian ... 41
1...Jenis Penelitian ... 41
2...Sumber Data ... 41
TRANSAKSI KEUANGAN DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING )... 44
A...Tindak Pidana Pencucian Uang ... 44
1...Pengertian ... 44
2...Tahap – Tahap Pencucian Uang ... 49
3...Modus Pencucian Uang ... 50
4...Perkemba ngan Pencucian Uang ... 54
B...Pe ran PPATK Dalam Mencegah dan Memberantas Pencucian
Uang ... 64
1...Fungsi PPATK ... 64
2...Wewenan g PPATK ... 65 vi
3...Pemeriksa an Dan Penghentian Sementara ... 66
4...Be ntuk – Bentuk Penyedia Jasa Keuangan Identifikasi Dan
Pelaporan Transaksi Keuangan Bagi Penyedia Jasa
C...Pe rluasan Peran PPATK Menurut Undang – Undang Nomor 8
Tahun 2010 ... 78
BAB III HAMBATAN YANG DIALAMI PUSAT PELAPORAN
DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK) DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) ... …...102
A...Ha mbatan Dari Segi Undang – Undang ...102
B...Ha mbatan Dari Segi Polisi, Jaksa Dan Para Hakim Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang ...110
1...Ha mbatan Polisi Dalam Melakukan Investigasi Terhadap
Perkara Pencucian Uang ...110
2...Ha mbatan Jaksa Dan Problem Pembuktian Dalam Perkara
Tindak Pidana Pencucian Uang ...115
3...Ha mbatan Hakim Dalam Menuntaskan Perkara Pencucian
Uang ...117
C...Ha mbatan Dari Segi Budaya Hukum ...120
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ...126
DAFTAR PUSTAKA ...129
AML : Anti Money Laundering
BAP : Berita Acara Penyidik
CIFOR : Center For International Forestry Research
DJLK : Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan
FIU : Financial Intelligence Unit
KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi
LTKM : Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
LTKT : Laporan Transaksi Keuangan Tunai
LPUT : Laporan Pembawaan Uang Tunai
PPATK : Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan
PTPPU : Pusat Tindak Pidana Pencucian Uang
PJK : Penyedia Jasa Keuangan
TPPU : Tindak Pidana Pencucian Uang
TEG : The Egmont Group
No 15 Tahun 2002, tentang tindak pidana pencucian uang yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya Undang – Undang No 25 tahun 2003. Peran PPATK sebagai suatu badan yang dibentuk guna melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana pencucian uang mendapat perluasan dengan lahirnya Undang – Undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi 1. Peran pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) secara yuridis dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang . 2. Hambatan pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Kerangka teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah menggunakan teori Criminal Policy (teori penanggulangan kejahatan), dengan melihatnya dari dua pendekatan yakni pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan nonpenal (pendekatan diluar hukum pidana). Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif,yang bersumberkan dari data-data kepustakaan (library research).
Hasil penelitian ini adalah bahwa Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang berperan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang mendapat perluasan kewenangan dengan lahirnya Undang – Undang No 8 tahun 2010 yakni dengan diberikannya kewenangan kepada PPATK untuk melakukan penghentian sementara transaksi keuangan yang mencurigakan,. Hambatan - hambatan yang dialami PPATK dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Pertama hambatan dari segi Undang – Undang yang sering sekali mengalami perubahan, Kedua hambatan dari segi penegak hukum yang belum memiliki sumberdaya manusia yang cukup mempuni dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, Ketiga hambatan dari segi budaya hukum adalah kurangnya kesadaran hukum dari semua kalangan dalam mematuhi peraturan yang telah digariskan guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang
transactions is an indication of money laundering, was born simultaneously with the enactment of Law - Law No. 15 of 2002, on money laundering which is then enhanced with the birth of Laws No 25 year 2003. INTRAC role as a body set up to conduct prevention and combating of money laundering have expanded with the birth of Law - Law No. 8 of 2010 on Preventing and combating money laundering.
Issues raised in this study include 1. The role of central reporting and analysis of financial transactions (INTRAC) juridically in preventing and combating money laundering. 2. Barriers to the central reporting and analysis of financial transactions (INTRAC) in preventing and combating money laundering.
Theoretical framework that is used as a knife analysis in this study was to use the theory of Criminal Policy (the theory of crime prevention), with a view of the two approaches namely penal approach (application of criminal law) and non penal approach (the approach beyond the criminal law). This study uses normative research methods, which is sourched from the data library (library research).
The results of this study is that the Center for Financial Transaction Reporting and Analysis (INTRAC) that play a role in preventing and combating money laundering authorities have expanded with the birth of Laws No. 8 of 2010 is namely by granting authority to the INTRAC to perform temporary halt suspicious financial transactions ,. Barriers - barriers that prevent the INTRAC in preventing and combating money laundering is the first obstacle in terms of the Acts that often changes, two barriers in terms of law enforcement that do not have adequate human resources well in enforcing the law against money laundering, the three barriers in terms of legal culture is the lack of legal awareness of all circles in complying with regulations that have been outlined to prevent money laundering
Pemegang peranan kunci dari mekanisme pemberantasan tindak pidana
pencucian uang di Inonesia ada di tangan Pusat Pelaporan Transaksi Analisis
Keuangan selanjutnya disingkat PPATK. Karena, jika PPATK tidak menjalankan
fungsinya dengan benar, maka efektivitas dari pelaksanaan Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak akan tercapai.1
Secara Yuridis memerangi tindak pidana pencucian uang diawali dengan
diundangkannya Undang-Undang No.15 Tahun 2002, Undang-Undang No. 25 Tahun
2003 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
(UU TPPU).2 PPATK merupakan Lembaga independen yang diberi tugas dan
wewenang dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
Dua tugas utamanya yaitu: mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang
dan membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak
pidana asal (predicate crimes).
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang menciptakan kewajiban
pelaporan yang harus disampaikan kepada PPATK, yaitu: 1.Laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan, 2. Laporan Transaksi Tunai sejumlah Rp 500.000.000
dalam satu kali atau beberapa kali transaksi dalam satu hari, 3. Laporan pembawaan
1
Ivan Yustiavandana, Arman Nefi dan Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang Di Pasar Modal, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm 219
2
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm 153
uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia berupa rupiah
sejumlah seratus juta rupiah atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara
dengan itu harus melaporkan kepada Dirjen Bea Cukai.3
PPATK memiliki kewenangan terbatas yang diberikan Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2003, ini
membuat PPATK hanya sebagai pusat pelaporan, sehingga PPATK kurang mampu
berperan optimal dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang.
Undang-Undang TPPU membentuk badan khusus untuk pencucian uang, yang
disebut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merupakan
suatu lembaga independent yang bertanggung jawab kepada Presiden. PPATK
berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia dan dalam hal diperlukan dapat
dibuka perwakilan PPATK didaerah. PPATK menurut Pasal 18 ayat 1 dibentuk
dengan Undang Nomor 15 Tahun 2002. Dengan diundangkannya
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang itu maka seketika
itu juga lahir pula PPATK. Kemudian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Kemudian dalam
Undang–Undang No 8 tahun 2010 secara tegas mengamanatkan dalam Pasal 44 Ayat
(1) Huruf I dan pada Pasal 65 Ayat (1) bahwa PPATK dapat meminta penyedia jasa
keuangan untuk menghentikan sementara baik sebahagian maupun seluruhnya
transaksi keuangan yang mencurigakan.
Upaya mendukung implementasi penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang (UU TPPU), diperlukan peran serta Pengguna Jasa Keuangan,
masyarakat, dan pemerintah untuk memberikan informasi-informasi penting kepada
PPATK dan aparat penegak hukum terkait dugaan tindak pidana pencucian uang yang
terjadi di bidang kehutanan.
Hal ini mengingat salah satu faktor penting dalam keberhasilan pendeteksian
dugaan tindak pidana tersebut adalah dengan ketersediaan informasi, data atau
keterangan mengenai pelaku dan pihak yang terlibat dalam rantai kejahatan
dimaksud. Eksistensi pencucian uang dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa
kejahatan (besar) tetap hidup.4 Kejahatan dan tindak pidana pencucian uang bagaikan
dua sisi mata uang, selalu berdampingan, saling membutuhkan dan tidak mungkin
dilepaskan satu sama lainnya.
Informasi yang disusun dan disampaikan ke PPATK adalah informasi intelijen
yang bersifat rahasia. PPATK akan merahasiakan identitas pemberi informasi sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang TPPU. Tindak lanjut dari informasi yang
disampaikan sepenuhnya akan menjadi tanggungjawab PPATK sesuai dengan tugas
dan kewenangan PPATK yang diamanatkan oleh Undang-Undang TPPU. 4
Dalam hal ini tidak ada kewajiban bagi PPATK untuk melaporkan perkembangan
penanganan kasus secara individual kepada pihak pemberi informasi.5
4
Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, dan Adiwarman, Op.,cit, hlm 6 5
PPATK guna memperoleh data-data dan informasi tambahan serta konfirmasi terkait
dengan informasi yang disampaikan. PPATK akan merahasiakan identitas pihak
pemberi informasi agar tidak dapat diketahui oleh pihak-pihak yang tidak
berkepentingan.
Penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan rezim
pencucian uang merupakan paradigma baru penegakan hukum yang lebih berorientasi
pada pengejaran harta kekayaan hasil kejahatan (proceeds of crime). Pendekatan
follow the money ini lebih mudah dilakukan karena hasil kejahatan merupakan titik
terlemah dari suatu rantai kejahatan. Melalui pentrasiran aliran dana ini juga dapat
dengan mudah ditemukan aktor intelektual dari suatu kejahatan. Untuk kasus-kasus
pembalakan liar yang merupakan salah satu bentuk yang paling menonjol dari tindak
pidana kehutanan, misalnya pentrasiran aliran dana akan mudah untuk mengetahui
para cukong (pemilik uang) yang berdiri dibalik pembalakan liar.6
langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah, pertama sudah tentu harus
dikatakan bahwa perbuatan pencucian itu adalah tindak pidana. Jadi kriminalisasi dari
perbuatan pencucian uang itu ini dilakukan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun
2002. Sebelumnya, pemerintah Republik Indonesia juga sudah meratifikasi konvensi
PBB tahun 1988 tentang Illicit traffic of narcotics, drugs and psychotropic
substances. Hasil-hasilnya sudah kita ratifisir, dimana untuk pertama kalinya dalam
konvensi international dinyatakan bahwa tindak pidana pencucian uang itu
merupakan suatu crime atau tindak pidana dan negara-negara diminta untuk
menyatakan hal tersebut sebagai suatu crime.7 Tindakan lainnya yang dilakukan
pemerintah, misalnya pembentukan lembaga "Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan" yang didirikan bersamaan dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2002
Tentang Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, yang sekarang sudah mulai
beroperasi. Diharapkan dengan adanya lembaga ini bukan saja pemerintah akan
mudah mendeteksi tindak pidana pencucian uang, tapi lembaga yang baru ini juga
dapat membantu penegakan hukum oleh law enforcement agency yang berkaitan
dengan predicate crime itu sendiri misalnya korupsi, penyuapan dan lain-lain. Jadi
PPATK bisa membantu penegakan hukum sekaligus mendeteksi money laundering
itu sendiri.
Upaya lain dari pemerintah, misalnya dikeluarkannya peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan ini misalnya melarang pembelian saham bank dengan uang
money laundering, dilarang mendirikan bank dengan tujuan pencucian uang,
kemudian kita juga telah menandatangani memorandum of understanding dengan
Thailand untuk meningkatkan upaya-upaya memberantas tindak pidana pencucian
uang, karena kejahatan ini merupakan transnational crime, sehingga diperlukan juga
kerjasama international dengan lembaga-lembaga di luar. Satu lagi yang hampir
terlupa yaitu pemerintah dalam hal ini menteri keuangan dan ketua Bapepam
termasuk juga BI, sebelumnya telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan mengenai
prinsip mengenal nasabah atau know your customer principal.8
Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, telah memberi manfaat yang nyata bagi lembaga keuangan di dalam
mendukung kegiatan bisnis dan meningkatkan pelayanan jasa keuangan kepada
masyarakat luas. Di sektor perbankan misalnya, pemanfaatan teknologi telah
memungkinkan ditawarkannya jasa keuangan yang lebih bervariatif dan menarik
termasuk melayani transaksi-transaksi keuangan yang melintasi batas negara. Jasa
pemindahan dana melalui wire transfer yang ditawarkan oleh bank-bank seperti jasa
internet banking (cyber/electronic banking) dan electronic fund transfer
memungkinkan nasabah perbankan memindahkan dananya dari rekening mereka di
satu bank ke bank lain di seluruh dunia dalam waktu yang sangat singkat.9
Kegiatan pencucian uang ini telah menjadi kegiatan kejahatan transnasional.
Proses pencucian oleh para pencuci uang tidak hanya dilangsungkan terbatas dalam
wilayah satu negara tertentu saja, tetapi harus dilakukan keluar dari negara di mana
uang hasil kejahatan diperoleh, yaitu dari kejahatan yang dilakukan oleh negara
tersebut dan masuk ke dalam wilayah negara lain, bahkan kebeberapa negara lain.
Hasil kejahatan itu dapat diupayakan oleh para pencuci uang yang bersangkutan
menjauh dari sumbernya.10
8
info.illog@ppatk.go.id. Diakses pada hari senin, Tanggal 3 Januari 2011 9
Ibid 10
Perkembangan teknologi canggih tersebut ibarat ”pisau bermata dua”, di satu
sisi memberikan manfaat yang luar biasa terhadap kualitas layanan jasa keuangan, di
sisi lain meningkatkan risiko karena dengan semakin beragamnya instrumen/produk
keuangan menjadi daya tarik para pelaku kejahatan memanfaatkan lembaga keuangan
sebagai sarana maupun sasaran kejahatannya.11
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang,
disebutkan kejahatan-kejahatan atau tidak pidana yang merupakan sumber uang yang
nanti dicuci. Dalam Undang-Undang disebutkan 15 macam tindak pidana dalam
bahasa Inggris disebut dengan predicate crimes atau predicate offenses yang terdiri
dari tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga
kerja, penyelundupan imigran, perbankan, narkotika psikotropika, perdagangan
budak, wanita dan anak-anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme,
pencurian, pengelapan dan penipuan. Seluruhnya ada 15 macam tindak pidana. Jadi
tindak pidana itu walaupun terjadi di luar negeri, kemudian hasilnya uangnya dibawa
ke sini untuk dikaburkan, disembunyikan asal usulnya sehingga muncul seolah-olah
uang yang sah , juga dapat dituntut berdasarkan Undang-Undang ini. Karena kita
mengatur demikian luas sehingga dimanapun juga terjadinya pidana itu dapat dituntut
dengan Undang-Undang disini kalau memang hasilnya dibawa ke Indonesia atau
orang yang bersangkutan lari ke Indonesia. Tapi hal ini dengan catatan, disana harus
11
merupakan tindak pidana, disini juga merupakan tindak pidana yang kita kenal
dengan istilah double criminal. 12
Istilah pencucian uang pertama sekali dikenal di Amerika Serikat pada Tahun
1930-an dimana pencucian uang dimasukkan dalam kategori kejahatan. Istilah
“money laundering” ditujukan pertama sekali pada tindakan mafia yang
mempergunakan uang hasil kejahatan yang berasal dari pemerasan, penjualan illegal
minuman keras dan perjudian serta pelacuran dengan cara membeli Perusahaan
Pencucian Pakaian (Laundramat).13
Money Laundering dapat diistilahkan dengan Pencucian Uang atau pemutihan
uang, Pendulangan Ulang atau disebut juga dengan Pembersihan Uang dari hasil
transaksi gelap (kotor). Money Laundering Merupakan salah satu aspek perbuatan
kriminal. Dikatakan demikian karena sifat kriminalitas Money Laundering ialah
berkaitan dengan latar belakang dari perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap,
haram atau kotor, lalu sejumlah uang kotor ini dikelola dengan aktifitas-aktifitas
tertentu dengan membentuk usaha, mentransfer atau mengkonversikannya ke Bank
atau valuta asing sebagai langkah untuk menghilangkan latar belakang dari dana
kotor tersebut.14
12
http://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/33_pembangunan-rezim-aml-dan-profesi-akuntan_x.pdf, di Akses pada hari senin tanggal, 28 Februari 2011
13
Erman Rajagukguk, Rezim Anti Pencucian Uang Dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, disampaikan pada Video Conference Nasional mengenai Undang-Undang Anti Pencucian Uang, kenali Nasabah Anda dan Pelaporan Transaksi Keuangan yang diselenggarakan PPATK, BI, UI, UGM, USU, UNDIP, UNAIR Dan elips (Di Jakarta: pada tanggal 29 Mei-Oktober 2004), hlm 1.
14
Pencucian uang merupakan sarana bagi pelaku kejahatan untuk melegalkan
uang hasil kejahatan dalam rangka menghilangkan jejak. Selain itu ternyata jumlah
uang yang dicuci sangat besar, ini artinya hasil kejahatan tersebut telah
mempengaruhi neraca keuangan nasional bahkan global dan menimbulkan kerugian
yang sangat besar. Bahaya selanjutnya pencucian uang membuat para pelaku
kejahatan terutama organizrd crime untuk mengembangkan jaringan dengan uang
yang telah dicuci tersebut. Selain itu membuat para pelaku kejahatan seperti korupsi,
narkotika dan kejahatan perbankan leluasa menggunakannya sehingga dengan
demikian kejahatan-kejahatan tersebut akan semakin marak.15
Praktek pencucian uang berpotensial mengganggu perekonomian baik
nasional maupun internasional karena membahayakan operasi yang efektif dari
perekonomian dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang buruk, terutama pada
Negara-negara tertentu. Praktek pencucian uang dapat menyebabkan fluktuasi yang
tajam pada nilai tukar dan suku bunga, selain itu uang hasil dari pencucian uang hasil
dari pencucian uang dapat saja beralih dari satu negara yang perekonomian baik ke
negara yang perekonomian kurang baik. Sehingga secara perlahan-lahan dapat
menghancurkan finansial dan menggurangi kepercayaan publik kepada sistem
15
finansial, yang dapat mendorong kenaikan resiko dan ketidakstabilan dari sistem itu
yang berakibat pada berkurangnya angka pertumbuhan dari ekonomi dunia.16
Kejahatan money laundering itu sangat potensial dalam mempengaruhi atau
mengganggu perekonomian baik nasional maupun internasional karena
membahayakan efektifitas operasional sistem perekonomian dan bisa menimbulkan
kebijakan ekonomi yang buruk, terutama pada negara-negara tertentu.17
Kegiatan pencucian uang ini telah menjadi kegiatan kejahatan transnasional.
Proses pencucian oleh para pencuci uang tidak hanya dilangsungkan terbatas dalam
wilayah satu negara tertentu saja, tetapi harus dilakukan keluar dari negara di mana
uang hasil kejahatan diperoleh, yaitu dari kejahatan yang dilakukan oleh negara
tersebut dan masuk ke dalam wilayah negara lain, bahkan kebeberapa negara lain.
Hasil kejahatan itu dapat diupayakan oleh para pencuci uang yang bersangkutan
menjauh dari sumbernya.18
Pemicu dari tindak pidana pencucian uang sebenamya adalah suatu tindak
pidana atau aktivitas kriminal, seperti perdagangan gelap narkotika, korupsi dan
penyuapan. Kegiatan money laundering ini memungkinkan para pelaku tindak pidana
untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul sebenarnya dari suatu dana atau
16
Bismar Nasuition, Pemahaman Undang-Undang Anti Pencucian Uang Untuk Membentuk Rezim Anti Money Laundering Di Indonesia, disampaikan pada Workshop Pemahaman Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dibidang Kepabeanan yang diselenggarakan atas kerjasama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Wilayah I Medan dengan Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, (Medan: tanggal 2 Februari 2005), hlm 1
17
Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering Di Indonesia, (Bandung: Books Terrace & Library, 2008), hlm 2 .
18
akhimya dapat menikmati dan menggunakan hasil tindak pidananya secara bebas
seolah-olah tampak sebagai hasil kegiatan yang sah llegal dan selanjutnya
mengembangkan lagi tindak pidana yang dilakukannya. Dengan semakin berkembang
hasil tindak pidana dan tindak pidana itu sendiri, mereka dapat mempunyai pengaruh
yang kuat di bidang ekonomi atau politik yang sudah tentu dapat merugikan orang
banyak.
Michel Camdessus, mantan Managing Director International Monetary Fund
memperkirakan volume dari cross-border money laundering sekitar dua sampai lima
perseen dari Gross Domestic Product dunia yang diperkirakan mendekati USD600
milliar.19 Sebagian dari jumlah tersebut yang cukup substansial terjadi di Amerika
Serikat.
Berbagai negara, seperti di negara-negara berkembang masalah money
laundering ini sudah diatur dalam Undang-Undang yang menyatakan perbuatan ini
sebagai tindak pidana dan menghukum para pelakunya. Dalam Black’s Law
Dictionary, money laundering diartikan sebagai berikut:
Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced. 12
Perkembangan berikutnya pengertian money laundering dimuat dalam
berbagai literatur maupun peraturan yang diberlakukan oleh beberapa negara dan
19
adalah pengertian yang dikuat dalam the United Nation Convention Against Illicit
Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988 yang kemudian
diratifikasi di Indonesia dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1997. Secara lengkap
pengertian money laundering tersebut adalah:
The convention or transfer of properly, knowing that such properly is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of parlicipation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the properly or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of properly, knowing that such properly is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of parlicipation in such an offence or offences.20
Money Laundering merupakan metode untuk menyembunyikan,
memindahkan, dan menggunakan dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak
pidana, tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan
kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di
atas, maka money laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset
(pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi
bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Melalui money laundering
pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah
menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.
Pencegahan dari pemberantasan kegiatan money laundering dapat dilakukan
melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan
tindakan administratif. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap
negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang
sebagai suatu tindak pidana dan mengambil langkah-Iangkah agar pihak yang
berwajib dapat mengindentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil
perdagangan obat bius.
Adapun pokok-pokok yang diatur dalam Undang-Undang dimaksud antara
lain adalah sebagai berikut:21
1. Pengaturan cara perbuatan pencucian uang.
2. Pengertian kegiatan pencucian uang, dan tindak
pidana yang merupakan sumber pencucian uang (predicate crimes), yaitu tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan, tindak pidana yang berkaitan dengan perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perjudian, atau terorisme. Di dalam predicate crimes tersebut tidak termasuk tindak pidana pemalsuan seperti pemalsuan uang dan penggelapan pajak (tax evasion).
3. Pelaku tindak pidana pencucian uang dapat
dikenakan sanksi pidana dan denda.
4. Lembaga keuangan wajib melaporkan transaksi
keuangan yang mencurigakan dan transaksi keuangan yang berjumlah paling sedikit Rp.100.000.000, (seratus juta rupiah) dengan ancaman denda pidana untuk kesengajaan tidak melaporkan.
5. Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (KPTPPU).
14
6. Kewajiban nasabah deposan (perorangan
maupun koperasi) untuk menyampaikan identitas secara lengkap dan benar tennasuk untuk nasabah bank, reksa dana dan perusahaan efek.
7. Perlindungan hukum bagi pelapor dan saksi.
21
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, sebagai berikut:
1. Bagaimana peran pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK)
secara yuridis dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang (money laundering)?
2. Hambatan apa saja yang dialami oleh pusat pelaporan dan analisis transaksi
keuangan (PPATK) mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang (money laundering)?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui peran pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan
(PPATK) secara yuridis dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang (money laundering)?
2. Mengetahui Hambatan apa saja yang dialami oleh pusat pelaporan dan
analisis transaksi keuangan (PPATK) dalam mencegah dan memberantas
tindak pidana pencucian uang (money laundering)?
15
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara
teoritis dalam pengembangan ilmu hokum khususnya dalam bidang hokum
pidana mengenai penanganan kasus (money laundering).
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Aparat penegak hukum agar dapat mengetahui bagaimana
tindakan penegakan hukum dalam penanganan kasus (money laundering).
b. Bagi pemerintah sebagai sumbangan pemikiran terhadap
pembaharuan hukum pidana dalam perumusan perundang-undangan yang
berkaitan dengan (money laundering).
E. Keaslian Penelitian
Ada beberapa judul tentang money laundering namun tentang Peran PPATK
belum pernah diteliti. Jadi penelitian yang akan saya buat adalah dengan judul
“Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) Dalam Mencegah Dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang
(Money Laundering)” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis.22
Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut
Criminal Policy. Istilah ini agaknya kurang pas kalau diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia sebagai “kebijakan krinimal,” karena seolah-olah mencari suatu kebijakan
untuk membuat kejahatan (kriminal).23
Menurut Sudarto, pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan
kriminal, yaitu:24
a. dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas
dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum
yang berupa pidana;
b. dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi
dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari
pengadilan dan polisi;
17
c. dalam arti paling luas (yang beliau ambit dari
Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui
22
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, CV. (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm 27 23
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm 50-51 24
penelitian ini adalah teori “Kebijakan Kriminal” (Criminal Policy).
Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa "modern criminal science"
terdiri dari tiga komponen "Criminology", "Criminal Law" dan "Penal Policy".
Kemukakan olehnya, bahwa "Penal Policy" adalah suatu ilmu sekaligus seni
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi
ped o ma n t i d a k h a n y a k e p a d a p e mb u a t u n d a n g - u n d a n g , t e t a p i j u g a
k e pada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.25
Mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi
mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada t e m p a t b a g i
s u a t u i l m u p e n g e t a h u a n y a n g m e n g a m a t i d a n menyelidiki fenomena
legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan
praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama
tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi
sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama
25
untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan
berpikiran maju (progresif) lagi sehat.
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu
perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak
pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya, kebijakan
kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan
menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari
“kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya.26
Istilah “kebijakan" dalam tulisan ini diambil dari istilah "policy" (Inggris) atau
“politiek" (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah
“kebijakan hukum pidana" dapat pula disebut dengan istilah "politik hukum pidana”.
Dalam kepustakaan asing istilah "politik hukum pidana" ini sering dengan
berbagai istilah, antara lain "penal policy", "criminal law atau
"strafrechtspolitiek".27 Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik
hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum.28
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari
politik maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto,”Politik Hukum” adalah: 19
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
26
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, (Bandung: Citra Aditya, 2005), hlm 23
27
Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.cit., hlm 27 28
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Pertanyaan tentang kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu
perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada
atau belum ditemukan. Berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan
yang masuk dalam kategori cybercrime sebagai tindak pidana sebagaimana diulas
dalam buku tersebut, ada beberapa tanggapan yang hendak dikemukakan, yaitu:29
1. Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang
berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan
tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum
yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Sebenarnya
dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika
digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang
mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi
perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khsusus belum diatur dalam
undang-undang. Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan
cybercrime dalam perundangan tersendiri di luar KUHP atau
undang-undang khusus lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini,
para hakim belum sepakat mengenai kategori beberapa perbuatan. Misalnya
carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kategori penipuan, ada pula
yang memasukkan dalam kategori pencurian. Untuk itu sebetulnya perlu
dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi
agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam
KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan.
2. Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus
berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP, dapat pula dilakukan
tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. Akan tetapi proses antara
membuat amandemen KUHP dengan membuat undang-undang khusus hampir
sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan sistem
hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak, menyebabkan
munculnya bermacam-macam undang-undang khusus.
3. Kriminalisasi juga terkait dengan persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi
materi/substansi dan harmonisasi eksternal (internasional/global) –lihat hal.
43-44. Mengenai harmonisasi substansi, bukan hanya KUHP yang akan terkena
dampak dari dibuatnya undang-undang tentang cybercrime. Kementerian
Komunikasi dan Informasi mencatat ada 21 undang-undang dan 25 Rancangan
Undang-Undang yang akan terkena dampak dari undang-undang yang mengatur
cybercrime. Ini merupakan pekerjaan besar di tengah kondisi bangsa yang belum
stabil secara politik maupun ekonomi. Harmonisasi eksternal berupa penyesuaian
perumusan pasal-pasal cybercrime dengan ketentuan serupa dari negara lain,
dari negara lain. Ini menunjukkan bahwa persoalan harmonisasi merupakan
persoalan yang tidak berhenti dengan diundangkannya undang-undang yang
mengatur cybercrime, lebih dari itu adalah kerjasama dan harmonisasi dalam
penegakan hukum dan peradilannya.
4. Berkaitan dengan harmonisasi substansi, ada yang bagian yang tak disinggung
dalam buku tersebut, terutama mengenai jenis pidana. Mengingat cybercrime
merupakan kejahatan yang menggunakan atau bersaranakan teknologi komputer,
maka diperlukan modifikasi jenis sanksi pidana bagi pelakunya. Jenis sanksi
pidana tersebut adalah tidak diperbolehkannya/dilarang sipelaku untuk
menggunakan komputer dalam jangka waktu tertentu. Bagi pengguna komputer
yang sampai pada tingkat ketergantungan, sanksi atau larangan untuk tidak
menggunakan komputer merupakan derita yang berat. Jangan sampai terulang
kembali kasus Imam Samudera terpidana kasus terorisme Bom Bali I – yang
dengan leluasa menggunakan laptop di dalam selnya.
5. Setelah harmonisasi dilakukan, maka langkah yang selanjutnya adalah
melakukan perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara. Cybercrime dapat
dilakukan lintas negara sehingga perjanjian ekstradisi dan kerjasama dengan
negara lain perlu dilakukan terutama untuk menentukan yurisdiksi kriminal mana
yang hendak dipakai. Pengalaman menunjukkan karena ketiadaan perjanjian
ekstradisi, kepolisian tidak dapat membawa pelaku kejahatan kembali ke tanah air
6. Hal lain yang luput dari perhatian adalah pertanggungjawaban Internet
Service Provider (ISP) sebagai penyedia layanan internet dan Warung Internet
(Warnet) yang menyediakan akses internet. Posisi keduanya dalam cybercrime
cukup penting sebagai penyedia dan jembatan menuju jaringan informasi global,
apalagi Warnet telah ditetapkan sebagai ujung tombak untuk mengurangi
kesenjangan digital di Indonesia. Bentuk pertanggungjawaban pidana apa yang
mesti mereka terima jika terbukti terlibat dalam cybercrime. Apakah
pertanggungjawabannya dibebankan secara individual atau dianggap sebagai
suatu korporasi. Ini akan memiliki konsekuensi tersendiri.
Kebijakan penanggulangann kejahatan dapat dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan
nonpenal (pendekatan di luar hukum pidana),30 sebagaimana diuraikan dibawah ini:
a. Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy)
Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur "non penal” lebih
bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran
utamanya adalah menangani fakor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan yang pusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan
kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka
usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang
peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Menurut W.A. Bonger
30
menyatakan bahwa kebijakan criminal adalah merupakan kriminologi yang
diamalkan yakni tentang tindakan-tindakan yang harus diambil terhadap penjahat.31
Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab tirnbulnya kejahatan,
seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila
hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan
masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa
kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.
Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan
pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without
punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat
(community planning mental health), kesehatan mental masyarakat secara
nasional (national mental health), social worker and child welfare (kesejahteraan
anak dan pekerja sosial), serta penggunaan hukum civil dan hukum
administrasi (administrative & civil law).32
Berdasarkan berbagai keterangan di atas, maka telah diungkap bahwa
kejahatan berakar dari faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial
masyarakat itu sendiri. Oleh karena it u perl u la ngkah-l angka h
p en an gg ula ng an ya ng didasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di
dalam masyarakat (community crime prevention).33 Program-program yang dapat
31
W.A.Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982), hlm 1-2
32
Ibid, hlm 58 33
dilakukan oleh community crime prevention antara lain (1) pembinaan terhadap
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang; (2) pembinaan tenaga kerja; (3)
pendidikan; (4) rekreasi; (5) pembinaan mental melalui agama; dan (6) desain tata
ruang fisik kota.
Program pencegahan terhadap penyalahgunaan obat-obatan terlarang
dilakukan melalui pendekatan pembinaan terhadap pengguna atau pecandu
Napza (narkotika, psikotropika dan zat aditif). Pendekatan ini memperbolehkan
para pecandu untuk dibina sesuai dengan kebutuhan kesehatannya sampai
mereka memperoleh kembali statusnya kembali sebagai anggota masyarakat. Oleh
karena itulah, program pembinaan ini harus me l i p u t i s e c a r a k o m p r e h e n s i f d a r i
pr ogr a m pe mbi n a a n penyalahgunaan Napza ini yang harus tergabung
secara keseluruhan dalam suatu sistem pembinaan, yaitu: (1) pelayanan
(crisis center) bagi pecandu; (2) fasilitas dan personel pembinaan; (3) fasilitas dan
personel untuk program melawan kecanduan narkotika; (4) staff untuk
program community therapeutic yang seluruhnya atau sebagian besar
berasal dari mantan pengguna napza; (5) fasilitas pembinaan di tertutup
atau terbuka.
Tingginya arus urbanisasi di perkotaan menyebabkan lapangan
pekerjaan menjadi semakin sempit. Sementara tuntutan kehidupan menjadi sesuatu
yang mutlak harus dipenuhi. Pada akhirnya tuntutan dibidang perekonomian
dalam kehidupan sering menjadi faktor yang berkorelasi dengan
dapat berupa:34
1. memperluas kesempatan kerja bagi para pemuda;
2. memperluas kesempatan kerja bagi pelaku dan mantan pelaku kejahatan;
3. menghilangkan penghalang bagi mantan pelaku kejahatan untuk
bekela;
4. menciptakan program tenaga kerja publik;
5. memperluas kesempatan kerja bagi para mantan pemakai napza;
6. Usaha menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan
masyarakat di area yang miskin;
Pendidikan melalui lembaga sekolah dapat menggunakan pengaruhnya untuk
mencegah terjadinya kejahatan kepada siswa-siswanya melalui peningkatan kepekaan
siswa terhadap lingkungan kehidupannya, baik keluarga, kelompok belajar, maupun
lingkungan tempat tinggalnya. Lebih dari itu, sekolah harus melibatkan diri
dalam penanggulangan kejahatan mulai dari tahun-tahun ajaran baru dengan
cara mendata secara komprehensif informasi tentang siswa, baik berupa identitas
dan latar belakang kehidupan mereka. Dengan demikian diharapkan sekolah dapat
merumuskan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan siswanya. Oleh
karena itu, beberapa program yang dapat dilakukan sekolah antara lain:35
1. Mengadopsi program-program pelatihan guru untuk para orang tua
siswa;
34 Ibid 35
2. Mengajarkan dan menerapkan proses demokrasi dan sikap yang adil di
dalam aktivitas sekolah;
3. Menuntaskan kebutahurufan semenjak pendidikan dasar;
4. Menyediakan pelayanan bahasa khusus untuk siswa-siswa yang beda
budaya;
5. Mengembangkan program-program penyiapan karir di sekolah;
6. Menyediakan dukungan terhadap pelayanan yang efektif di sekolah;
7. Menawarkan program pendidikan altematif bagi siswa yang sering
berprilaku menyimpang;
8. Membuka sekolah seluas-luasnya untuk aktivitas kemasyarakatan;
9. Mengadopsi merit policy pelatihan dan promosi untuk guru-guru.
Kegiatan rekreasi juga dapat menjadi upaya pencegahan kejahatan. Rekreasi
adalah sesuatu yang sudah mentradisi bagi semua orang. Rekreasi dapat
memulihkan kembali kelelahan baik fisik maupun psikis seseorang dari aktivitas
pekerjaannya. Dalam konteks ini, rekreasi menjadi alternatif kegiatan positif dari
pada melakukan kejahatan, terutama bagi anak-anak muda. Hal ini dinyatakan lebih
lanjut oleh Chamelin:36
"Because recreation activities have a strong appeal for young people, delinquency is less likely to flourish in those community where opportunities for wholesome recreation are abundant and attractive, as opposed to cities or neighbourhoods where adequate facilities are lacking. Simpli put, young people angaged in recreation activities on the playground cannot at the same time be robbing a bank, breaking into a hone or perpetrating some other crime. "
36
masih untuk mereduksi terjadi kejahatan. Dalam konteks ini adalah bagaimana
menciptakan komunitas masyarakat yang religius sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masingmasing sehingga dapat mendorong anggota masyarakat
untuk tidak melakukan kejahatan. Selain itu juga, lembaga-lembaga keagamaan
mempunyai landasan yang kuat untuk melibatkan para anggotanya dalam
upaya penanggulangan kejahatan.37 Sedangkan komunitas-komunitas
keagamaan ini mendorong para anggota perkumpulannya yang tersebar diseluruh
belahan dunia untuk melakukan kegiatan penanggulangan kejahatan bekerjasama
dengan pihak-pihak terkait. Secara khusus, komunitas religius ini dapat melakukan:38
1. pendataan dan pendaftaran bagi komunitas-komunitas keagaaman
untuk berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan;
2. m e n d o r o n g l e m b a g a k e a g a m a a n u n t u k menginformasikan di
daerah masing-masing tentang permasalahan kejahatan;
3. mendata lembaga keagamaan yang mendukung upaya penanggulangan
kejahatan;
4. membuka fasilitas-fasilitas rumah ibadah untuk keperluan program
penanggulangan kejahatan;
5. mempromosikan partisipasi kelompok-kelompok keagamaan dalarn sistem
peradilan pidana.
37 Ibid 38
Penanggulangan kejahatan melalui desain lingkungan di atas mirip
dengan pendekatan situational crime prevention (selanjutnya disebut SCP).
Pendekatan SCP bertujuan untuk mempromosikan masyarakat bebas dari kejahatan (a
less criminal society) dengan cara membatasi ruang gerak pelaku kejahatan.
Strategi yang dilakukan berupa:
1. Penguatan pada target kejahatan (Target hardening) yang meliputi
penguncian pada steer mobil (steering column locks on cars) dan kamera anti
perampokan di bank (anti-robbery screen i n banks) serta lain-lain.
2. Mengontrol akses terhadap target kejahatan (controlling access to crime
target), meliputi pemagaran sekeliling perumahan untuk mencegah tindakan
perusakan.
3. Membelokan para pelaku dari target (deflecting offenders from targets),
meliputi memisahkan fans pada pertandingan bola kaki.
4. Mengontrol fasilitas untuk terjadinya kejahatan (controlling crime
facilitators), misalnya pasfoto di kartu kredit, password di mobile phone.
5. Pemeriksaan di tempat masuk dan tempat keluar (screening entranccs and
exits), misalnya pemeriksaan bagasi di bandara.
6. Pengawasan secara formal (formal surveillance), misalnya penggunaan
kamera pengawas di jalan raya dan lampu lalu lintas, alaram perampokan.
7. Pengawasan oleh pegawai (surveillance by employees), misalnya tempat
pembayaran dan lokasi parkir yang dapat dilihat oleh pegawai dan penggunaan
penerangan jalan, dan pengawasan tempat tinggal penduduk.39
Situational Crime Prevention seperti di atas dapat bekerja baik secara
reaktif terhadap persoalan yang timbul oleh kejahatan, maupun bersifat antisipasi
melalui analisas pengaruh yang dit i m b u l k a n d a r i k e j a h a t a n - k e j a h a t a n .
karena itu strategi penanggulangan kejahatan melalui Situational Crime Prevention
merupakan kerja yang dapat dilakukan secara lokal, nas i o n a l d a n b a h k a n
i n t e r n a s i o n a l y a n g m e m b u t u h k a n keterlibatan seluruh sektor meliputi instansi
pemerintah, swasta, dan pemerintah daerah.
b. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Istilah "kebijakan" berasal dari bahasa Inggris "policy"atau bahasa
Belanda "politiek". Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
dengan kata "politik", oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa
disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum
pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum
secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari imu hukum.
Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.40
Yang dimaksud dengan Politik hukum ialah kebijakan negara dengan
39 Ibid 40
perantaraan badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang
dikehendaki, yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Untuk hukum pidana melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.
Pembuatan undang-undang merupakan proses sosial dan politik yang sangat
penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena akan memberi bentuk dan
mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh
pengusaha untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tertentu. Dengan
demikian dapatlah dikatakan, bahwa undang-undang mempunyai dua
fungsi yaitu:41
1. fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai, dan
2. fungsi instrumental.
Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam
dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui
alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang
41
politik hukum adalah kebijaksanaan politi yang menentukan peraturan hukum
apa yang seharusnya berlaku m e n g a t u r b e r b a g a i h a l k e h i d u p a n
b e r m a s y a r a k a t d a n bernegara.43 Mahfud M.D., juga memberikan definisi
politi hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telat dilaksanakan
secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga m e n c a k u p p u l a p e n g e r t i a n
t e n t a n g b a g a i m a n a p o l i t i k mempengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum
itu. Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagaI pasal-pasal yang
bersffat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam
kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam
perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya.
Dalam tiap-tiap pembentukan hukum, permulaannya adalah suatu
perencanaan yang didasarkan pada situasi kenyataan kehidupan yang diarahkan ke
satu tujuan yang tidak yuridis, yaitu suatu kepentingan atau suatu nilai yang akan
dicapai diwaktu yang akan datang.44
Salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat moderen adalah
penggunaannya secara sadar oleh masyarakatnya. Disini hukum tidak hanya dipakai
42
Mahmud Mulyadi, Op.cit., 66 43
Solly Lubis, Serba Serbi Politik Dan Hukum, (Bandung: Mandara Maju, 1998) hlm 49 44
untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam
masyarakat melainkan juga untuk mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang
dikehendaki, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya.45
Sebagai teori pendukung dalam penulisan disertai ini digunakan teori sistem
hukum yang dikemukakan oleh Laurence Friedman. Menurut Laurance Friedman sistem
hukum meliputi 3 (tiga) elemen yaitu: struktur, substansi dan budaya hukum46 yang
dimaksudkan dengan sbuktur sistem hukum adalah: The structures of legal system
consist of elemen of this kind- the number and size of courts; their jurisdiction (that
is, what kind of cases they hear, and how and why), and modes of appeal from one
court to another. Structure also mean lou, and the legislature is organized... and so
on". (artinya jumlah dan ukuran pengadilan jenis yurisdiksi dan cara-cara banding
dari satu pengadilan kepada pengaditan lainnya. Struktur juga dapat berarti
bagaimana badan pembuat undang-undang diatur....dan sebagainya).
Substansi hukum diartikan" the actual rules, norms, and behaviour
patterns of people inside the system"(artinya aturan-aturan yang berlaku,
norma-norma dan pola-pola penilaian manusia di dalam sistem). Budaya hukum (legal
cultural) di artikan sebagai" people's attitude toward law and the legal system their
beliefs, values, ideas, and expectations, it is that part of the general culture which
concern the legal system"(artinya sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem
hukum kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai pandangan-pandangan/pikiran-pikiran,
45
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 206 46
dari pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindarkan atau disalahgunakan, tanpa budaya hukum, sistem hukum
adalah tidak berdaya ibarat ikan mati yang terletak dalam sebuah keranjang,
bukan ikan yang hidup berenang di dalam laut.
Ketiga unsur hukum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
yakni substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para
pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan serta hubungan-hubungan hukum.
Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu
dijalankan menurut ketentuan formalnya yaitu memperlihatkan bagaimana
pengadilan, pembuat hukum dan lain-lain badan serta proses hukum itu berjalan
dan dijalankan. Kultur hukum adalah unsur yang terpenting dalam sistem hukum
yakni tuntutan dan permintaan. Tuntutan datangnya dari rakyat atau para pemakai
jasa hukum. Dibelakang tuntutan itu, kecuali didorong oleh kepentingan, terlihat juga
faktor-faktor seperti ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai
hukum, kultur hukum mengandung potensi untuk dipakai sumber informasi guna
menjelaskan sistem hukum.47
Setiap sistem hukum moderen seyogianya, dengan berbagai cara,
mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan
orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan ‘dengan berbagai
47
cara’ karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu
sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai
pengaruh yang baik dalam konsep maupun implementasinya.48
Menurut Algra dan Van Duy Vendijk49 Teori sistem adalah "aliran
yang paling terpenting dalam positivisme hukum, yang intinva bahwa hukum adalah
suatu stelsel dari aturan yang berkaitan satu sama lain secara organis, secara piramida
dari norma-norma yang terbentuk secara hirarkhi". Sistem hukum merupakan
"kesatuan hakiki dan terbagi-bagi dalam bagian-bagian, di dalam mana setiap
masalah atau persoalan menemukan jawaban atau penyelesaiannya".50 Unsur
sistem adalah peraturan hukum (norma hukum) asas-asas hukum, yang menjadi
fundamen dan pengertian-pengertian hukum. Unsur sistem hukum itu
dibangun di atas tertib hukum, sehingga terdapat keharmonisan. dan dapat
dihindarkan tumpang tindih diantara masing-masing unsur-unsur tersebut. Kalau
terdapat konflik antara unsurunsur sistem hukum, maka solusinya adalah terletak
dalam sistem hukum itu sendiri. Yang menyelesaikan konflik di dalam sistem
hukum adalah asas hukum karena di dalam asas hukum itulah terdapat cita-cita,
pembentuk undang-undang. Cita-cita saja tidak cukup, apabila tidak didukung
oleh struktur kelembagaan dan budaya hukumnya. Berjalan atau tidaknya suatu
peraturan hukum adalah budaya hukum masyarakatnya.
48
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,(Jakarta: Kencana,2005), hlm 61
49
Algra N.E dan K. Van Duyvendijk, Mula Hukum, (Jakarta: Bina Cipta,1983), hlm 139 50
Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum
anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya,
posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.52 Oleh karena masyarakat
hukum itu berubah-ubah dari waktu ke waktu maka konsep budaya hukum substantif
sangat dipengaruhi oleh ide, gagasan, pemikiran, ekonomi, sosial dan politik yang
begitu cepat berubah yang tercermin dari perilaku hukurn substantif.53 Dari
sudut budaya hukum haruslah diarahkan pada pertanyaan-pertanyaan yang
dapat mengidentifikasi variabel-variabel dalam budaya hukum dan institusi
hukum yang mampu meningkatkan efektivitas hukum.54
Budaya hukum berhubungan dengan sikap dan perilaku. Betapa budaya dan
perilaku hukum menjadi faktor penentu vang penting. Cita-cita hukum,
tujuan pembangunan hukum, tidak dapat dicapai dengan mengabaikan
peranan dan sumbangan budaya hukum. Wibawa hukum melengkapi kehadiran
dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum memperlancar
bekerjanya hukum sehingga perilaku orang menjadi positif terhadap hukum.
51
Daniel S.Lev, Hukum dan Politik Hukum Di Indonesia Keseimbangan dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm 119
52
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar (Jakarta: Universitas Indonesia, 1997), hlm 19
53
Daniel S.Lev, Op.Cit, hlm 119 54
Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang rasional, tetapi
lebih daripada itu mengandung unsurunsur spiritual, yaitu kepercayaan,
kewibawaan hukum dapat dinimuskan sebagai suatu kondisi psikologis
masyarakat yang menerima dm menghormati hukum.55 Sektor budaya dikehendaki
untuk mampu mempertahankan asas-asas tertinggi yang mengatur kehidupan
masyarakat yang bersumber pada kebenaran jati sebagai salah satu kategori yang
menjadi lingkungan masyarakat.56
Teori- teori hukum memaparkan tiga hal tentang berlakunya hukum:
1. Kaidah hukum yang berlaku secara yuridis, apabila penentuannya
didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen) atau
menurut cara yang telah ditetapkan (W.Zevenbergen), atau apabila menunjukkan
hubungan terhadap keharusan suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A.Logemann);
2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif,
artinya diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang dibutuhkannya (A.A.G.
Peters), atau dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walauptLn tidak
diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan);
3. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, apabila kaidah hukum
tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.57
Jadi semakin jelas bahwa hukum tidak dapat dilihat semata-mata sebagai
55
Satjipto Rahardjo, Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum, (Jakarta: Makalah Pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII, BPHN,1997)
56
Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia SEbuah Pendekatan Lintas Disiplin, (Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan I, 2009), hlm 33
57
struktur masyarakat. Budaya hukum dengan sistem hukum dihubungkan lewat
tradisi hukum. Tradisi hukum yang dimaksudkan adalah suatu kumpulan sikap-sikap
yang dipengaruhi oleh sejarah yang berakar sangat mendalam mengenai sifat hukum,
peranan hukum dalam masyarakat dan pemerintahan, organisasi dan berjalannya
suatu sistem hukum dan mengenai cara hukum