• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK ) Dalam Mencegah Dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK ) Dalam Mencegah Dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

T E S I S

OLEH

ANDRY MAHYAR 097005008/ HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

No 15 Tahun 2002, tentang tindak pidana pencucian uang yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya Undang – Undang No 25 tahun 2003. Peran PPATK sebagai suatu badan yang dibentuk guna melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana pencucian uang mendapat perluasan dengan lahirnya Undang – Undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi 1. Peran pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) secara yuridis dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang . 2. Hambatan pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

Kerangka teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah menggunakan teori Criminal Policy (teori penanggulangan kejahatan), dengan melihatnya dari dua pendekatan yakni pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan nonpenal (pendekatan diluar hukum pidana). Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif,yang bersumberkan dari data-data kepustakaan (library research).

Hasil penelitian ini adalah bahwa Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang berperan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang mendapat perluasan kewenangan dengan lahirnya Undang – Undang No 8 tahun 2010 yakni dengan diberikannya kewenangan kepada PPATK untuk melakukan penghentian sementara transaksi keuangan yang mencurigakan,. Hambatan - hambatan yang dialami PPATK dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Pertama hambatan dari segi Undang – Undang yang sering sekali mengalami perubahan, Kedua hambatan dari segi penegak hukum yang belum memiliki sumberdaya manusia yang cukup mempuni dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, Ketiga hambatan dari segi budaya hukum adalah kurangnya kesadaran hukum dari semua kalangan dalam mematuhi peraturan yang telah digariskan guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang

(3)

transactions is an indication of money laundering, was born simultaneously with the enactment of Law - Law No. 15 of 2002, on money laundering which is then enhanced with the birth of Laws No 25 year 2003. INTRAC role as a body set up to conduct prevention and combating of money laundering have expanded with the birth of Law - Law No. 8 of 2010 on Preventing and combating money laundering.

Issues raised in this study include 1. The role of central reporting and analysis of financial transactions (INTRAC) juridically in preventing and combating money laundering. 2. Barriers to the central reporting and analysis of financial transactions (INTRAC) in preventing and combating money laundering.

Theoretical framework that is used as a knife analysis in this study was to use the theory of Criminal Policy (the theory of crime prevention), with a view of the two approaches namely penal approach (application of criminal law) and non penal approach (the approach beyond the criminal law). This study uses normative research methods, which is sourched from the data library (library research).

The results of this study is that the Center for Financial Transaction Reporting and Analysis (INTRAC) that play a role in preventing and combating money laundering authorities have expanded with the birth of Laws No. 8 of 2010 is namely by granting authority to the INTRAC to perform temporary halt suspicious financial transactions ,. Barriers - barriers that prevent the INTRAC in preventing and combating money laundering is the first obstacle in terms of the Acts that often changes, two barriers in terms of law enforcement that do not have adequate human resources well in enforcing the law against money laundering, the three barriers in terms of legal culture is the lack of legal awareness of all circles in complying with regulations that have been outlined to prevent money laundering

(4)

“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERAN PUSAT PELAPORAN DAN

ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK) DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)". Sholawat beriring salam penulis hadiahkan kepada Pimpinan

besar Baginda Rosulullah MUHAMMAD SAW, yang telah membawa kita dari alam

kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh

gelar Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU)

Medan. Dalam menyelesaikan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan

dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karenanya sudah selayaknya penulis

menyampaikan untaian terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya

kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Dan untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan tersebut penulis haturkan kepada:

1. Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu DTM&H, M.Sc (CTM). Sp.A (K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk mengikuti pendidikan di program Pasca Sarjana Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

(5)

Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H, selaku Komisi pembimbing yang telah

banyak memberikan arahan, motivasi dan membantu penulis dalam

menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku komisi pembimbing yang dengan sangat

perhatian dan sabar selalu memberikan arahan, masukan dan motivasi kepada

penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini

6. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku komisi pembimbing yang dengan

sangat sabar selalu memberi masukan, motivasi dan membantu penulis dalam

menyelesaikan penulisan tesis ini.

7. Dr. T. Keizerina Devi. A, SH, CN, M.Hum, selaku penguji, yang telah

memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini

8. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, selaku penguji yang telah banyak memberikan

masukan kepada penulis guna menyelesaikan penulisan tesis ini.

9. Terima kasih juga penulis Ucapkan kepada seluruh rekan – rekan se almamater

hususnya rekan – rekan di kelas Reguler B angkatan 2009 dan rekan – rekan di

kelas Hukum Pidana, yang telah banyak memberikan bantuan, masukan serta

motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

Disamping itu sujud bakti penulis serta rangkaian ucapan ta’zim penulis

sembari mengucapkan Terima Kasih yang tak terhingga Kepada Ayahanda

(6)

ANDINA SASMITA, SH, ANDHIKA YULIA ADHA DAN ANDHINY LARASATI yang selalu membantu dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan

perkuliahan penulis.

Selanjutnya ucapan terima kasih juga penulis rangkaikan kepada Istri tercinta

SITI HADIAH MAHDALENA,SE, dan kedua bidadari kecil penulis SARAH HAFIZAH RIZQIA DAN ZAHRA RIZQIA, yang selama ini selalu memberikan

pengorbanan yang besar serta sabar dalam mendampingi dan memotivasi penulis

dalam menyelesaikan perkuliahan pada Program studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara, Mudah – mudahan ALLAH menjadikan kalian sebagai

istri dan anak – anak yang sholeha

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, maka guna

menyempurnakan pengetahuan kita bersama penulis memohon agar kiranya dapat

diberikan masukan, saran serta keritik yang membangun agar dapat penulis jadikan

acuan dalam meyempurnakan tulisan penulis. Akhiru Kalam “WALLAHU

KHOIRURROZIQIN”

Medan, Juni 2011 Penulis

(7)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A...Latar Belakang ... 1

B...Permasala han ... 14

C...Tujuan Penelitian ... 14

D...Manfaat Penelitian ... 15

E...Keaslian Penelitian ... 15

F...Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 16

1...Kerangka Teori ... 16

2...Konsepsi ... 39

G...Metode Penelitian ... 41

1...Jenis Penelitian ... 41

2...Sumber Data ... 41

(8)

TRANSAKSI KEUANGAN DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING )... 44

A...Tindak Pidana Pencucian Uang ... 44

1...Pengertian ... 44

2...Tahap – Tahap Pencucian Uang ... 49

3...Modus Pencucian Uang ... 50

4...Perkemba ngan Pencucian Uang ... 54

B...Pe ran PPATK Dalam Mencegah dan Memberantas Pencucian

Uang ... 64

1...Fungsi PPATK ... 64

2...Wewenan g PPATK ... 65 vi

3...Pemeriksa an Dan Penghentian Sementara ... 66

4...Be ntuk – Bentuk Penyedia Jasa Keuangan Identifikasi Dan

Pelaporan Transaksi Keuangan Bagi Penyedia Jasa

(9)

C...Pe rluasan Peran PPATK Menurut Undang – Undang Nomor 8

Tahun 2010 ... 78

BAB III HAMBATAN YANG DIALAMI PUSAT PELAPORAN

DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK) DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) ... …...102

A...Ha mbatan Dari Segi Undang – Undang ...102

B...Ha mbatan Dari Segi Polisi, Jaksa Dan Para Hakim Dalam

Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang ...110

1...Ha mbatan Polisi Dalam Melakukan Investigasi Terhadap

Perkara Pencucian Uang ...110

2...Ha mbatan Jaksa Dan Problem Pembuktian Dalam Perkara

Tindak Pidana Pencucian Uang ...115

3...Ha mbatan Hakim Dalam Menuntaskan Perkara Pencucian

Uang ...117

C...Ha mbatan Dari Segi Budaya Hukum ...120

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ...126

(10)

DAFTAR PUSTAKA ...129

(11)

AML : Anti Money Laundering

BAP : Berita Acara Penyidik

CIFOR : Center For International Forestry Research

DJLK : Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan

FIU : Financial Intelligence Unit

KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi

LTKM : Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan

LTKT : Laporan Transaksi Keuangan Tunai

LPUT : Laporan Pembawaan Uang Tunai

PPATK : Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan

PTPPU : Pusat Tindak Pidana Pencucian Uang

PJK : Penyedia Jasa Keuangan

TPPU : Tindak Pidana Pencucian Uang

TEG : The Egmont Group

(12)

No 15 Tahun 2002, tentang tindak pidana pencucian uang yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya Undang – Undang No 25 tahun 2003. Peran PPATK sebagai suatu badan yang dibentuk guna melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana pencucian uang mendapat perluasan dengan lahirnya Undang – Undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi 1. Peran pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) secara yuridis dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang . 2. Hambatan pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

Kerangka teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah menggunakan teori Criminal Policy (teori penanggulangan kejahatan), dengan melihatnya dari dua pendekatan yakni pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan nonpenal (pendekatan diluar hukum pidana). Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif,yang bersumberkan dari data-data kepustakaan (library research).

Hasil penelitian ini adalah bahwa Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang berperan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang mendapat perluasan kewenangan dengan lahirnya Undang – Undang No 8 tahun 2010 yakni dengan diberikannya kewenangan kepada PPATK untuk melakukan penghentian sementara transaksi keuangan yang mencurigakan,. Hambatan - hambatan yang dialami PPATK dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Pertama hambatan dari segi Undang – Undang yang sering sekali mengalami perubahan, Kedua hambatan dari segi penegak hukum yang belum memiliki sumberdaya manusia yang cukup mempuni dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, Ketiga hambatan dari segi budaya hukum adalah kurangnya kesadaran hukum dari semua kalangan dalam mematuhi peraturan yang telah digariskan guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang

(13)

transactions is an indication of money laundering, was born simultaneously with the enactment of Law - Law No. 15 of 2002, on money laundering which is then enhanced with the birth of Laws No 25 year 2003. INTRAC role as a body set up to conduct prevention and combating of money laundering have expanded with the birth of Law - Law No. 8 of 2010 on Preventing and combating money laundering.

Issues raised in this study include 1. The role of central reporting and analysis of financial transactions (INTRAC) juridically in preventing and combating money laundering. 2. Barriers to the central reporting and analysis of financial transactions (INTRAC) in preventing and combating money laundering.

Theoretical framework that is used as a knife analysis in this study was to use the theory of Criminal Policy (the theory of crime prevention), with a view of the two approaches namely penal approach (application of criminal law) and non penal approach (the approach beyond the criminal law). This study uses normative research methods, which is sourched from the data library (library research).

The results of this study is that the Center for Financial Transaction Reporting and Analysis (INTRAC) that play a role in preventing and combating money laundering authorities have expanded with the birth of Laws No. 8 of 2010 is namely by granting authority to the INTRAC to perform temporary halt suspicious financial transactions ,. Barriers - barriers that prevent the INTRAC in preventing and combating money laundering is the first obstacle in terms of the Acts that often changes, two barriers in terms of law enforcement that do not have adequate human resources well in enforcing the law against money laundering, the three barriers in terms of legal culture is the lack of legal awareness of all circles in complying with regulations that have been outlined to prevent money laundering

(14)

Pemegang peranan kunci dari mekanisme pemberantasan tindak pidana

pencucian uang di Inonesia ada di tangan Pusat Pelaporan Transaksi Analisis

Keuangan selanjutnya disingkat PPATK. Karena, jika PPATK tidak menjalankan

fungsinya dengan benar, maka efektivitas dari pelaksanaan Undang-Undang Tindak

Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak akan tercapai.1

Secara Yuridis memerangi tindak pidana pencucian uang diawali dengan

diundangkannya Undang-Undang No.15 Tahun 2002, Undang-Undang No. 25 Tahun

2003 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

(UU TPPU).2 PPATK merupakan Lembaga independen yang diberi tugas dan

wewenang dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Dua tugas utamanya yaitu: mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang

dan membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak

pidana asal (predicate crimes).

Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang menciptakan kewajiban

pelaporan yang harus disampaikan kepada PPATK, yaitu: 1.Laporan Transaksi

Keuangan Mencurigakan, 2. Laporan Transaksi Tunai sejumlah Rp 500.000.000

dalam satu kali atau beberapa kali transaksi dalam satu hari, 3. Laporan pembawaan

1

Ivan Yustiavandana, Arman Nefi dan Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang Di Pasar Modal, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm 219

2

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm 153

(15)

uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia berupa rupiah

sejumlah seratus juta rupiah atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara

dengan itu harus melaporkan kepada Dirjen Bea Cukai.3

PPATK memiliki kewenangan terbatas yang diberikan Undang-Undang

Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2003, ini

membuat PPATK hanya sebagai pusat pelaporan, sehingga PPATK kurang mampu

berperan optimal dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian

uang.

Undang-Undang TPPU membentuk badan khusus untuk pencucian uang, yang

disebut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merupakan

suatu lembaga independent yang bertanggung jawab kepada Presiden. PPATK

berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia dan dalam hal diperlukan dapat

dibuka perwakilan PPATK didaerah. PPATK menurut Pasal 18 ayat 1 dibentuk

dengan Undang Nomor 15 Tahun 2002. Dengan diundangkannya

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang itu maka seketika

itu juga lahir pula PPATK. Kemudian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002

disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Kemudian dalam

Undang–Undang No 8 tahun 2010 secara tegas mengamanatkan dalam Pasal 44 Ayat

(1) Huruf I dan pada Pasal 65 Ayat (1) bahwa PPATK dapat meminta penyedia jasa

keuangan untuk menghentikan sementara baik sebahagian maupun seluruhnya

transaksi keuangan yang mencurigakan.

(16)

Upaya mendukung implementasi penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana

Pencucian Uang (UU TPPU), diperlukan peran serta Pengguna Jasa Keuangan,

masyarakat, dan pemerintah untuk memberikan informasi-informasi penting kepada

PPATK dan aparat penegak hukum terkait dugaan tindak pidana pencucian uang yang

terjadi di bidang kehutanan.

Hal ini mengingat salah satu faktor penting dalam keberhasilan pendeteksian

dugaan tindak pidana tersebut adalah dengan ketersediaan informasi, data atau

keterangan mengenai pelaku dan pihak yang terlibat dalam rantai kejahatan

dimaksud. Eksistensi pencucian uang dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa

kejahatan (besar) tetap hidup.4 Kejahatan dan tindak pidana pencucian uang bagaikan

dua sisi mata uang, selalu berdampingan, saling membutuhkan dan tidak mungkin

dilepaskan satu sama lainnya.

Informasi yang disusun dan disampaikan ke PPATK adalah informasi intelijen

yang bersifat rahasia. PPATK akan merahasiakan identitas pemberi informasi sesuai

dengan ketentuan dalam Undang-Undang TPPU. Tindak lanjut dari informasi yang

disampaikan sepenuhnya akan menjadi tanggungjawab PPATK sesuai dengan tugas

dan kewenangan PPATK yang diamanatkan oleh Undang-Undang TPPU. 4

Dalam hal ini tidak ada kewajiban bagi PPATK untuk melaporkan perkembangan

penanganan kasus secara individual kepada pihak pemberi informasi.5

4

Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, dan Adiwarman, Op.,cit, hlm 6 5

(17)

PPATK guna memperoleh data-data dan informasi tambahan serta konfirmasi terkait

dengan informasi yang disampaikan. PPATK akan merahasiakan identitas pihak

pemberi informasi agar tidak dapat diketahui oleh pihak-pihak yang tidak

berkepentingan.

Penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan rezim

pencucian uang merupakan paradigma baru penegakan hukum yang lebih berorientasi

pada pengejaran harta kekayaan hasil kejahatan (proceeds of crime). Pendekatan

follow the money ini lebih mudah dilakukan karena hasil kejahatan merupakan titik

terlemah dari suatu rantai kejahatan. Melalui pentrasiran aliran dana ini juga dapat

dengan mudah ditemukan aktor intelektual dari suatu kejahatan. Untuk kasus-kasus

pembalakan liar yang merupakan salah satu bentuk yang paling menonjol dari tindak

pidana kehutanan, misalnya pentrasiran aliran dana akan mudah untuk mengetahui

para cukong (pemilik uang) yang berdiri dibalik pembalakan liar.6

langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah, pertama sudah tentu harus

dikatakan bahwa perbuatan pencucian itu adalah tindak pidana. Jadi kriminalisasi dari

perbuatan pencucian uang itu ini dilakukan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun

2002. Sebelumnya, pemerintah Republik Indonesia juga sudah meratifikasi konvensi

PBB tahun 1988 tentang Illicit traffic of narcotics, drugs and psychotropic

substances. Hasil-hasilnya sudah kita ratifisir, dimana untuk pertama kalinya dalam

konvensi international dinyatakan bahwa tindak pidana pencucian uang itu

(18)

merupakan suatu crime atau tindak pidana dan negara-negara diminta untuk

menyatakan hal tersebut sebagai suatu crime.7 Tindakan lainnya yang dilakukan

pemerintah, misalnya pembentukan lembaga "Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan" yang didirikan bersamaan dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2002

Tentang Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, yang sekarang sudah mulai

beroperasi. Diharapkan dengan adanya lembaga ini bukan saja pemerintah akan

mudah mendeteksi tindak pidana pencucian uang, tapi lembaga yang baru ini juga

dapat membantu penegakan hukum oleh law enforcement agency yang berkaitan

dengan predicate crime itu sendiri misalnya korupsi, penyuapan dan lain-lain. Jadi

PPATK bisa membantu penegakan hukum sekaligus mendeteksi money laundering

itu sendiri.

Upaya lain dari pemerintah, misalnya dikeluarkannya peraturan-peraturan

yang berkaitan dengan ini misalnya melarang pembelian saham bank dengan uang

money laundering, dilarang mendirikan bank dengan tujuan pencucian uang,

kemudian kita juga telah menandatangani memorandum of understanding dengan

Thailand untuk meningkatkan upaya-upaya memberantas tindak pidana pencucian

uang, karena kejahatan ini merupakan transnational crime, sehingga diperlukan juga

kerjasama international dengan lembaga-lembaga di luar. Satu lagi yang hampir

terlupa yaitu pemerintah dalam hal ini menteri keuangan dan ketua Bapepam

(19)

termasuk juga BI, sebelumnya telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan mengenai

prinsip mengenal nasabah atau know your customer principal.8

Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, telah memberi manfaat yang nyata bagi lembaga keuangan di dalam

mendukung kegiatan bisnis dan meningkatkan pelayanan jasa keuangan kepada

masyarakat luas. Di sektor perbankan misalnya, pemanfaatan teknologi telah

memungkinkan ditawarkannya jasa keuangan yang lebih bervariatif dan menarik

termasuk melayani transaksi-transaksi keuangan yang melintasi batas negara. Jasa

pemindahan dana melalui wire transfer yang ditawarkan oleh bank-bank seperti jasa

internet banking (cyber/electronic banking) dan electronic fund transfer

memungkinkan nasabah perbankan memindahkan dananya dari rekening mereka di

satu bank ke bank lain di seluruh dunia dalam waktu yang sangat singkat.9

Kegiatan pencucian uang ini telah menjadi kegiatan kejahatan transnasional.

Proses pencucian oleh para pencuci uang tidak hanya dilangsungkan terbatas dalam

wilayah satu negara tertentu saja, tetapi harus dilakukan keluar dari negara di mana

uang hasil kejahatan diperoleh, yaitu dari kejahatan yang dilakukan oleh negara

tersebut dan masuk ke dalam wilayah negara lain, bahkan kebeberapa negara lain.

Hasil kejahatan itu dapat diupayakan oleh para pencuci uang yang bersangkutan

menjauh dari sumbernya.10

8

info.illog@ppatk.go.id. Diakses pada hari senin, Tanggal 3 Januari 2011 9

Ibid 10

(20)

Perkembangan teknologi canggih tersebut ibarat ”pisau bermata dua”, di satu

sisi memberikan manfaat yang luar biasa terhadap kualitas layanan jasa keuangan, di

sisi lain meningkatkan risiko karena dengan semakin beragamnya instrumen/produk

keuangan menjadi daya tarik para pelaku kejahatan memanfaatkan lembaga keuangan

sebagai sarana maupun sasaran kejahatannya.11

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang,

disebutkan kejahatan-kejahatan atau tidak pidana yang merupakan sumber uang yang

nanti dicuci. Dalam Undang-Undang disebutkan 15 macam tindak pidana dalam

bahasa Inggris disebut dengan predicate crimes atau predicate offenses yang terdiri

dari tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga

kerja, penyelundupan imigran, perbankan, narkotika psikotropika, perdagangan

budak, wanita dan anak-anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme,

pencurian, pengelapan dan penipuan. Seluruhnya ada 15 macam tindak pidana. Jadi

tindak pidana itu walaupun terjadi di luar negeri, kemudian hasilnya uangnya dibawa

ke sini untuk dikaburkan, disembunyikan asal usulnya sehingga muncul seolah-olah

uang yang sah , juga dapat dituntut berdasarkan Undang-Undang ini. Karena kita

mengatur demikian luas sehingga dimanapun juga terjadinya pidana itu dapat dituntut

dengan Undang-Undang disini kalau memang hasilnya dibawa ke Indonesia atau

orang yang bersangkutan lari ke Indonesia. Tapi hal ini dengan catatan, disana harus

11

(21)

merupakan tindak pidana, disini juga merupakan tindak pidana yang kita kenal

dengan istilah double criminal. 12

Istilah pencucian uang pertama sekali dikenal di Amerika Serikat pada Tahun

1930-an dimana pencucian uang dimasukkan dalam kategori kejahatan. Istilah

“money laundering” ditujukan pertama sekali pada tindakan mafia yang

mempergunakan uang hasil kejahatan yang berasal dari pemerasan, penjualan illegal

minuman keras dan perjudian serta pelacuran dengan cara membeli Perusahaan

Pencucian Pakaian (Laundramat).13

Money Laundering dapat diistilahkan dengan Pencucian Uang atau pemutihan

uang, Pendulangan Ulang atau disebut juga dengan Pembersihan Uang dari hasil

transaksi gelap (kotor). Money Laundering Merupakan salah satu aspek perbuatan

kriminal. Dikatakan demikian karena sifat kriminalitas Money Laundering ialah

berkaitan dengan latar belakang dari perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap,

haram atau kotor, lalu sejumlah uang kotor ini dikelola dengan aktifitas-aktifitas

tertentu dengan membentuk usaha, mentransfer atau mengkonversikannya ke Bank

atau valuta asing sebagai langkah untuk menghilangkan latar belakang dari dana

kotor tersebut.14

12

http://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/33_pembangunan-rezim-aml-dan-profesi-akuntan_x.pdf, di Akses pada hari senin tanggal, 28 Februari 2011

13

Erman Rajagukguk, Rezim Anti Pencucian Uang Dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, disampaikan pada Video Conference Nasional mengenai Undang-Undang Anti Pencucian Uang, kenali Nasabah Anda dan Pelaporan Transaksi Keuangan yang diselenggarakan PPATK, BI, UI, UGM, USU, UNDIP, UNAIR Dan elips (Di Jakarta: pada tanggal 29 Mei-Oktober 2004), hlm 1.

14

(22)

Pencucian uang merupakan sarana bagi pelaku kejahatan untuk melegalkan

uang hasil kejahatan dalam rangka menghilangkan jejak. Selain itu ternyata jumlah

uang yang dicuci sangat besar, ini artinya hasil kejahatan tersebut telah

mempengaruhi neraca keuangan nasional bahkan global dan menimbulkan kerugian

yang sangat besar. Bahaya selanjutnya pencucian uang membuat para pelaku

kejahatan terutama organizrd crime untuk mengembangkan jaringan dengan uang

yang telah dicuci tersebut. Selain itu membuat para pelaku kejahatan seperti korupsi,

narkotika dan kejahatan perbankan leluasa menggunakannya sehingga dengan

demikian kejahatan-kejahatan tersebut akan semakin marak.15

Praktek pencucian uang berpotensial mengganggu perekonomian baik

nasional maupun internasional karena membahayakan operasi yang efektif dari

perekonomian dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang buruk, terutama pada

Negara-negara tertentu. Praktek pencucian uang dapat menyebabkan fluktuasi yang

tajam pada nilai tukar dan suku bunga, selain itu uang hasil dari pencucian uang hasil

dari pencucian uang dapat saja beralih dari satu negara yang perekonomian baik ke

negara yang perekonomian kurang baik. Sehingga secara perlahan-lahan dapat

menghancurkan finansial dan menggurangi kepercayaan publik kepada sistem

15

(23)

finansial, yang dapat mendorong kenaikan resiko dan ketidakstabilan dari sistem itu

yang berakibat pada berkurangnya angka pertumbuhan dari ekonomi dunia.16

Kejahatan money laundering itu sangat potensial dalam mempengaruhi atau

mengganggu perekonomian baik nasional maupun internasional karena

membahayakan efektifitas operasional sistem perekonomian dan bisa menimbulkan

kebijakan ekonomi yang buruk, terutama pada negara-negara tertentu.17

Kegiatan pencucian uang ini telah menjadi kegiatan kejahatan transnasional.

Proses pencucian oleh para pencuci uang tidak hanya dilangsungkan terbatas dalam

wilayah satu negara tertentu saja, tetapi harus dilakukan keluar dari negara di mana

uang hasil kejahatan diperoleh, yaitu dari kejahatan yang dilakukan oleh negara

tersebut dan masuk ke dalam wilayah negara lain, bahkan kebeberapa negara lain.

Hasil kejahatan itu dapat diupayakan oleh para pencuci uang yang bersangkutan

menjauh dari sumbernya.18

Pemicu dari tindak pidana pencucian uang sebenamya adalah suatu tindak

pidana atau aktivitas kriminal, seperti perdagangan gelap narkotika, korupsi dan

penyuapan. Kegiatan money laundering ini memungkinkan para pelaku tindak pidana

untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul sebenarnya dari suatu dana atau

16

Bismar Nasuition, Pemahaman Undang-Undang Anti Pencucian Uang Untuk Membentuk Rezim Anti Money Laundering Di Indonesia, disampaikan pada Workshop Pemahaman Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dibidang Kepabeanan yang diselenggarakan atas kerjasama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Wilayah I Medan dengan Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, (Medan: tanggal 2 Februari 2005), hlm 1

17

Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering Di Indonesia, (Bandung: Books Terrace & Library, 2008), hlm 2 .

18

(24)

akhimya dapat menikmati dan menggunakan hasil tindak pidananya secara bebas

seolah-olah tampak sebagai hasil kegiatan yang sah llegal dan selanjutnya

mengembangkan lagi tindak pidana yang dilakukannya. Dengan semakin berkembang

hasil tindak pidana dan tindak pidana itu sendiri, mereka dapat mempunyai pengaruh

yang kuat di bidang ekonomi atau politik yang sudah tentu dapat merugikan orang

banyak.

Michel Camdessus, mantan Managing Director International Monetary Fund

memperkirakan volume dari cross-border money laundering sekitar dua sampai lima

perseen dari Gross Domestic Product dunia yang diperkirakan mendekati USD600

milliar.19 Sebagian dari jumlah tersebut yang cukup substansial terjadi di Amerika

Serikat.

Berbagai negara, seperti di negara-negara berkembang masalah money

laundering ini sudah diatur dalam Undang-Undang yang menyatakan perbuatan ini

sebagai tindak pidana dan menghukum para pelakunya. Dalam Black’s Law

Dictionary, money laundering diartikan sebagai berikut:

Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced. 12

Perkembangan berikutnya pengertian money laundering dimuat dalam

berbagai literatur maupun peraturan yang diberlakukan oleh beberapa negara dan

19

(25)

adalah pengertian yang dikuat dalam the United Nation Convention Against Illicit

Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988 yang kemudian

diratifikasi di Indonesia dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1997. Secara lengkap

pengertian money laundering tersebut adalah:

The convention or transfer of properly, knowing that such properly is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of parlicipation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the properly or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of properly, knowing that such properly is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of parlicipation in such an offence or offences.20

Money Laundering merupakan metode untuk menyembunyikan,

memindahkan, dan menggunakan dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak

pidana, tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan

kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di

atas, maka money laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset

(pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi

bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Melalui money laundering

pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah

menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.

(26)

Pencegahan dari pemberantasan kegiatan money laundering dapat dilakukan

melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan

tindakan administratif. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap

negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang

sebagai suatu tindak pidana dan mengambil langkah-Iangkah agar pihak yang

berwajib dapat mengindentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil

perdagangan obat bius.

Adapun pokok-pokok yang diatur dalam Undang-Undang dimaksud antara

lain adalah sebagai berikut:21

1. Pengaturan cara perbuatan pencucian uang.

2. Pengertian kegiatan pencucian uang, dan tindak

pidana yang merupakan sumber pencucian uang (predicate crimes), yaitu tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan, tindak pidana yang berkaitan dengan perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perjudian, atau terorisme. Di dalam predicate crimes tersebut tidak termasuk tindak pidana pemalsuan seperti pemalsuan uang dan penggelapan pajak (tax evasion).

3. Pelaku tindak pidana pencucian uang dapat

dikenakan sanksi pidana dan denda.

4. Lembaga keuangan wajib melaporkan transaksi

keuangan yang mencurigakan dan transaksi keuangan yang berjumlah paling sedikit Rp.100.000.000, (seratus juta rupiah) dengan ancaman denda pidana untuk kesengajaan tidak melaporkan.

5. Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang (KPTPPU).

14

6. Kewajiban nasabah deposan (perorangan

maupun koperasi) untuk menyampaikan identitas secara lengkap dan benar tennasuk untuk nasabah bank, reksa dana dan perusahaan efek.

7. Perlindungan hukum bagi pelapor dan saksi.

21

(27)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan, sebagai berikut:

1. Bagaimana peran pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK)

secara yuridis dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian

uang (money laundering)?

2. Hambatan apa saja yang dialami oleh pusat pelaporan dan analisis transaksi

keuangan (PPATK) mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian

uang (money laundering)?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui peran pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan

(PPATK) secara yuridis dalam mencegah dan memberantas tindak pidana

pencucian uang (money laundering)?

2. Mengetahui Hambatan apa saja yang dialami oleh pusat pelaporan dan

analisis transaksi keuangan (PPATK) dalam mencegah dan memberantas

tindak pidana pencucian uang (money laundering)?

15

(28)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara

teoritis dalam pengembangan ilmu hokum khususnya dalam bidang hokum

pidana mengenai penanganan kasus (money laundering).

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

a. Aparat penegak hukum agar dapat mengetahui bagaimana

tindakan penegakan hukum dalam penanganan kasus (money laundering).

b. Bagi pemerintah sebagai sumbangan pemikiran terhadap

pembaharuan hukum pidana dalam perumusan perundang-undangan yang

berkaitan dengan (money laundering).

E. Keaslian Penelitian

Ada beberapa judul tentang money laundering namun tentang Peran PPATK

belum pernah diteliti. Jadi penelitian yang akan saya buat adalah dengan judul

“Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan

(PPATK) Dalam Mencegah Dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang

(Money Laundering)” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di

(29)

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan

perbandingan, pegangan teoritis.22

Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut

Criminal Policy. Istilah ini agaknya kurang pas kalau diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia sebagai “kebijakan krinimal,” karena seolah-olah mencari suatu kebijakan

untuk membuat kejahatan (kriminal).23

Menurut Sudarto, pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan

kriminal, yaitu:24

a. dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas

dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum

yang berupa pidana;

b. dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi

dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari

pengadilan dan polisi;

17

c. dalam arti paling luas (yang beliau ambit dari

Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui

22

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, CV. (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm 27 23

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm 50-51 24

(30)

penelitian ini adalah teori “Kebijakan Kriminal” (Criminal Policy).

Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa "modern criminal science"

terdiri dari tiga komponen "Criminology", "Criminal Law" dan "Penal Policy".

Kemukakan olehnya, bahwa "Penal Policy" adalah suatu ilmu sekaligus seni

yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan

peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi

ped o ma n t i d a k h a n y a k e p a d a p e mb u a t u n d a n g - u n d a n g , t e t a p i j u g a

k e pada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada

para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.25

Mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi

mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada t e m p a t b a g i

s u a t u i l m u p e n g e t a h u a n y a n g m e n g a m a t i d a n menyelidiki fenomena

legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan

praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama

tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi

sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama

25

(31)

untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan

berpikiran maju (progresif) lagi sehat.

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu

perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak

pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya, kebijakan

kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan

menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari

“kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya.26

Istilah “kebijakan" dalam tulisan ini diambil dari istilah "policy" (Inggris) atau

“politiek" (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah

“kebijakan hukum pidana" dapat pula disebut dengan istilah "politik hukum pidana”.

Dalam kepustakaan asing istilah "politik hukum pidana" ini sering dengan

berbagai istilah, antara lain "penal policy", "criminal law atau

"strafrechtspolitiek".27 Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik

hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum.28

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari

politik maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto,”Politik Hukum” adalah: 19

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

26

Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, (Bandung: Citra Aditya, 2005), hlm 23

27

Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.cit., hlm 27 28

(32)

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Pertanyaan tentang kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu

perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada

atau belum ditemukan. Berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan

yang masuk dalam kategori cybercrime sebagai tindak pidana sebagaimana diulas

dalam buku tersebut, ada beberapa tanggapan yang hendak dikemukakan, yaitu:29

1. Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang

berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan

tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum

yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Sebenarnya

dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika

digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang

mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi

perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khsusus belum diatur dalam

undang-undang. Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan

cybercrime dalam perundangan tersendiri di luar KUHP atau

undang-undang khusus lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini,

para hakim belum sepakat mengenai kategori beberapa perbuatan. Misalnya

(33)

carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kategori penipuan, ada pula

yang memasukkan dalam kategori pencurian. Untuk itu sebetulnya perlu

dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi

agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam

KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan.

2. Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus

berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP, dapat pula dilakukan

tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. Akan tetapi proses antara

membuat amandemen KUHP dengan membuat undang-undang khusus hampir

sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan sistem

hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak, menyebabkan

munculnya bermacam-macam undang-undang khusus.

3. Kriminalisasi juga terkait dengan persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi

materi/substansi dan harmonisasi eksternal (internasional/global) –lihat hal.

43-44. Mengenai harmonisasi substansi, bukan hanya KUHP yang akan terkena

dampak dari dibuatnya undang-undang tentang cybercrime. Kementerian

Komunikasi dan Informasi mencatat ada 21 undang-undang dan 25 Rancangan

Undang-Undang yang akan terkena dampak dari undang-undang yang mengatur

cybercrime. Ini merupakan pekerjaan besar di tengah kondisi bangsa yang belum

stabil secara politik maupun ekonomi. Harmonisasi eksternal berupa penyesuaian

perumusan pasal-pasal cybercrime dengan ketentuan serupa dari negara lain,

(34)

dari negara lain. Ini menunjukkan bahwa persoalan harmonisasi merupakan

persoalan yang tidak berhenti dengan diundangkannya undang-undang yang

mengatur cybercrime, lebih dari itu adalah kerjasama dan harmonisasi dalam

penegakan hukum dan peradilannya.

4. Berkaitan dengan harmonisasi substansi, ada yang bagian yang tak disinggung

dalam buku tersebut, terutama mengenai jenis pidana. Mengingat cybercrime

merupakan kejahatan yang menggunakan atau bersaranakan teknologi komputer,

maka diperlukan modifikasi jenis sanksi pidana bagi pelakunya. Jenis sanksi

pidana tersebut adalah tidak diperbolehkannya/dilarang sipelaku untuk

menggunakan komputer dalam jangka waktu tertentu. Bagi pengguna komputer

yang sampai pada tingkat ketergantungan, sanksi atau larangan untuk tidak

menggunakan komputer merupakan derita yang berat. Jangan sampai terulang

kembali kasus Imam Samudera terpidana kasus terorisme Bom Bali I – yang

dengan leluasa menggunakan laptop di dalam selnya.

5. Setelah harmonisasi dilakukan, maka langkah yang selanjutnya adalah

melakukan perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara. Cybercrime dapat

dilakukan lintas negara sehingga perjanjian ekstradisi dan kerjasama dengan

negara lain perlu dilakukan terutama untuk menentukan yurisdiksi kriminal mana

yang hendak dipakai. Pengalaman menunjukkan karena ketiadaan perjanjian

ekstradisi, kepolisian tidak dapat membawa pelaku kejahatan kembali ke tanah air

(35)

6. Hal lain yang luput dari perhatian adalah pertanggungjawaban Internet

Service Provider (ISP) sebagai penyedia layanan internet dan Warung Internet

(Warnet) yang menyediakan akses internet. Posisi keduanya dalam cybercrime

cukup penting sebagai penyedia dan jembatan menuju jaringan informasi global,

apalagi Warnet telah ditetapkan sebagai ujung tombak untuk mengurangi

kesenjangan digital di Indonesia. Bentuk pertanggungjawaban pidana apa yang

mesti mereka terima jika terbukti terlibat dalam cybercrime. Apakah

pertanggungjawabannya dibebankan secara individual atau dianggap sebagai

suatu korporasi. Ini akan memiliki konsekuensi tersendiri.

Kebijakan penanggulangann kejahatan dapat dilakukan melalui dua

pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan

nonpenal (pendekatan di luar hukum pidana),30 sebagaimana diuraikan dibawah ini:

a. Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy)

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur "non penal” lebih

bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran

utamanya adalah menangani fakor-faktor kondusif penyebab terjadinya

kejahatan yang pusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang

secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan

kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka

usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang

peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Menurut W.A. Bonger

30

(36)

menyatakan bahwa kebijakan criminal adalah merupakan kriminologi yang

diamalkan yakni tentang tindakan-tindakan yang harus diambil terhadap penjahat.31

Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab tirnbulnya kejahatan,

seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila

hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan

masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa

kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.

Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan

pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without

punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat

(community planning mental health), kesehatan mental masyarakat secara

nasional (national mental health), social worker and child welfare (kesejahteraan

anak dan pekerja sosial), serta penggunaan hukum civil dan hukum

administrasi (administrative & civil law).32

Berdasarkan berbagai keterangan di atas, maka telah diungkap bahwa

kejahatan berakar dari faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial

masyarakat itu sendiri. Oleh karena it u perl u la ngkah-l angka h

p en an gg ula ng an ya ng didasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di

dalam masyarakat (community crime prevention).33 Program-program yang dapat

31

W.A.Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982), hlm 1-2

32

Ibid, hlm 58 33

(37)

dilakukan oleh community crime prevention antara lain (1) pembinaan terhadap

penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang; (2) pembinaan tenaga kerja; (3)

pendidikan; (4) rekreasi; (5) pembinaan mental melalui agama; dan (6) desain tata

ruang fisik kota.

Program pencegahan terhadap penyalahgunaan obat-obatan terlarang

dilakukan melalui pendekatan pembinaan terhadap pengguna atau pecandu

Napza (narkotika, psikotropika dan zat aditif). Pendekatan ini memperbolehkan

para pecandu untuk dibina sesuai dengan kebutuhan kesehatannya sampai

mereka memperoleh kembali statusnya kembali sebagai anggota masyarakat. Oleh

karena itulah, program pembinaan ini harus me l i p u t i s e c a r a k o m p r e h e n s i f d a r i

pr ogr a m pe mbi n a a n penyalahgunaan Napza ini yang harus tergabung

secara keseluruhan dalam suatu sistem pembinaan, yaitu: (1) pelayanan

(crisis center) bagi pecandu; (2) fasilitas dan personel pembinaan; (3) fasilitas dan

personel untuk program melawan kecanduan narkotika; (4) staff untuk

program community therapeutic yang seluruhnya atau sebagian besar

berasal dari mantan pengguna napza; (5) fasilitas pembinaan di tertutup

atau terbuka.

Tingginya arus urbanisasi di perkotaan menyebabkan lapangan

pekerjaan menjadi semakin sempit. Sementara tuntutan kehidupan menjadi sesuatu

yang mutlak harus dipenuhi. Pada akhirnya tuntutan dibidang perekonomian

dalam kehidupan sering menjadi faktor yang berkorelasi dengan

(38)

dapat berupa:34

1. memperluas kesempatan kerja bagi para pemuda;

2. memperluas kesempatan kerja bagi pelaku dan mantan pelaku kejahatan;

3. menghilangkan penghalang bagi mantan pelaku kejahatan untuk

bekela;

4. menciptakan program tenaga kerja publik;

5. memperluas kesempatan kerja bagi para mantan pemakai napza;

6. Usaha menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan

masyarakat di area yang miskin;

Pendidikan melalui lembaga sekolah dapat menggunakan pengaruhnya untuk

mencegah terjadinya kejahatan kepada siswa-siswanya melalui peningkatan kepekaan

siswa terhadap lingkungan kehidupannya, baik keluarga, kelompok belajar, maupun

lingkungan tempat tinggalnya. Lebih dari itu, sekolah harus melibatkan diri

dalam penanggulangan kejahatan mulai dari tahun-tahun ajaran baru dengan

cara mendata secara komprehensif informasi tentang siswa, baik berupa identitas

dan latar belakang kehidupan mereka. Dengan demikian diharapkan sekolah dapat

merumuskan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan siswanya. Oleh

karena itu, beberapa program yang dapat dilakukan sekolah antara lain:35

1. Mengadopsi program-program pelatihan guru untuk para orang tua

siswa;

34 Ibid 35

(39)

2. Mengajarkan dan menerapkan proses demokrasi dan sikap yang adil di

dalam aktivitas sekolah;

3. Menuntaskan kebutahurufan semenjak pendidikan dasar;

4. Menyediakan pelayanan bahasa khusus untuk siswa-siswa yang beda

budaya;

5. Mengembangkan program-program penyiapan karir di sekolah;

6. Menyediakan dukungan terhadap pelayanan yang efektif di sekolah;

7. Menawarkan program pendidikan altematif bagi siswa yang sering

berprilaku menyimpang;

8. Membuka sekolah seluas-luasnya untuk aktivitas kemasyarakatan;

9. Mengadopsi merit policy pelatihan dan promosi untuk guru-guru.

Kegiatan rekreasi juga dapat menjadi upaya pencegahan kejahatan. Rekreasi

adalah sesuatu yang sudah mentradisi bagi semua orang. Rekreasi dapat

memulihkan kembali kelelahan baik fisik maupun psikis seseorang dari aktivitas

pekerjaannya. Dalam konteks ini, rekreasi menjadi alternatif kegiatan positif dari

pada melakukan kejahatan, terutama bagi anak-anak muda. Hal ini dinyatakan lebih

lanjut oleh Chamelin:36

"Because recreation activities have a strong appeal for young people, delinquency is less likely to flourish in those community where opportunities for wholesome recreation are abundant and attractive, as opposed to cities or neighbourhoods where adequate facilities are lacking. Simpli put, young people angaged in recreation activities on the playground cannot at the same time be robbing a bank, breaking into a hone or perpetrating some other crime. "

36

(40)

masih untuk mereduksi terjadi kejahatan. Dalam konteks ini adalah bagaimana

menciptakan komunitas masyarakat yang religius sesuai dengan agama dan

kepercayaannya masingmasing sehingga dapat mendorong anggota masyarakat

untuk tidak melakukan kejahatan. Selain itu juga, lembaga-lembaga keagamaan

mempunyai landasan yang kuat untuk melibatkan para anggotanya dalam

upaya penanggulangan kejahatan.37 Sedangkan komunitas-komunitas

keagamaan ini mendorong para anggota perkumpulannya yang tersebar diseluruh

belahan dunia untuk melakukan kegiatan penanggulangan kejahatan bekerjasama

dengan pihak-pihak terkait. Secara khusus, komunitas religius ini dapat melakukan:38

1. pendataan dan pendaftaran bagi komunitas-komunitas keagaaman

untuk berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan;

2. m e n d o r o n g l e m b a g a k e a g a m a a n u n t u k menginformasikan di

daerah masing-masing tentang permasalahan kejahatan;

3. mendata lembaga keagamaan yang mendukung upaya penanggulangan

kejahatan;

4. membuka fasilitas-fasilitas rumah ibadah untuk keperluan program

penanggulangan kejahatan;

5. mempromosikan partisipasi kelompok-kelompok keagamaan dalarn sistem

peradilan pidana.

37 Ibid 38

(41)

Penanggulangan kejahatan melalui desain lingkungan di atas mirip

dengan pendekatan situational crime prevention (selanjutnya disebut SCP).

Pendekatan SCP bertujuan untuk mempromosikan masyarakat bebas dari kejahatan (a

less criminal society) dengan cara membatasi ruang gerak pelaku kejahatan.

Strategi yang dilakukan berupa:

1. Penguatan pada target kejahatan (Target hardening) yang meliputi

penguncian pada steer mobil (steering column locks on cars) dan kamera anti

perampokan di bank (anti-robbery screen i n banks) serta lain-lain.

2. Mengontrol akses terhadap target kejahatan (controlling access to crime

target), meliputi pemagaran sekeliling perumahan untuk mencegah tindakan

perusakan.

3. Membelokan para pelaku dari target (deflecting offenders from targets),

meliputi memisahkan fans pada pertandingan bola kaki.

4. Mengontrol fasilitas untuk terjadinya kejahatan (controlling crime

facilitators), misalnya pasfoto di kartu kredit, password di mobile phone.

5. Pemeriksaan di tempat masuk dan tempat keluar (screening entranccs and

exits), misalnya pemeriksaan bagasi di bandara.

6. Pengawasan secara formal (formal surveillance), misalnya penggunaan

kamera pengawas di jalan raya dan lampu lalu lintas, alaram perampokan.

7. Pengawasan oleh pegawai (surveillance by employees), misalnya tempat

pembayaran dan lokasi parkir yang dapat dilihat oleh pegawai dan penggunaan

(42)

penerangan jalan, dan pengawasan tempat tinggal penduduk.39

Situational Crime Prevention seperti di atas dapat bekerja baik secara

reaktif terhadap persoalan yang timbul oleh kejahatan, maupun bersifat antisipasi

melalui analisas pengaruh yang dit i m b u l k a n d a r i k e j a h a t a n - k e j a h a t a n .

karena itu strategi penanggulangan kejahatan melalui Situational Crime Prevention

merupakan kerja yang dapat dilakukan secara lokal, nas i o n a l d a n b a h k a n

i n t e r n a s i o n a l y a n g m e m b u t u h k a n keterlibatan seluruh sektor meliputi instansi

pemerintah, swasta, dan pemerintah daerah.

b. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Istilah "kebijakan" berasal dari bahasa Inggris "policy"atau bahasa

Belanda "politiek". Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan

dengan kata "politik", oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa

disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum

pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum

secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari imu hukum.

Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.40

Yang dimaksud dengan Politik hukum ialah kebijakan negara dengan

39 Ibid 40

(43)

perantaraan badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang

dikehendaki, yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa

yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Untuk hukum pidana melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.

Pembuatan undang-undang merupakan proses sosial dan politik yang sangat

penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena akan memberi bentuk dan

mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh

pengusaha untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tertentu. Dengan

demikian dapatlah dikatakan, bahwa undang-undang mempunyai dua

fungsi yaitu:41

1. fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai, dan

2. fungsi instrumental.

Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan

peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam

dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui

alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang

dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang

41

(44)

politik hukum adalah kebijaksanaan politi yang menentukan peraturan hukum

apa yang seharusnya berlaku m e n g a t u r b e r b a g a i h a l k e h i d u p a n

b e r m a s y a r a k a t d a n bernegara.43 Mahfud M.D., juga memberikan definisi

politi hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telat dilaksanakan

secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga m e n c a k u p p u l a p e n g e r t i a n

t e n t a n g b a g a i m a n a p o l i t i k mempengaruhi hukum dengan cara melihat

konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum

itu. Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagaI pasal-pasal yang

bersffat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam

kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam

perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya.

Dalam tiap-tiap pembentukan hukum, permulaannya adalah suatu

perencanaan yang didasarkan pada situasi kenyataan kehidupan yang diarahkan ke

satu tujuan yang tidak yuridis, yaitu suatu kepentingan atau suatu nilai yang akan

dicapai diwaktu yang akan datang.44

Salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat moderen adalah

penggunaannya secara sadar oleh masyarakatnya. Disini hukum tidak hanya dipakai

42

Mahmud Mulyadi, Op.cit., 66 43

Solly Lubis, Serba Serbi Politik Dan Hukum, (Bandung: Mandara Maju, 1998) hlm 49 44

(45)

untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam

masyarakat melainkan juga untuk mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang

dikehendaki, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya.45

Sebagai teori pendukung dalam penulisan disertai ini digunakan teori sistem

hukum yang dikemukakan oleh Laurence Friedman. Menurut Laurance Friedman sistem

hukum meliputi 3 (tiga) elemen yaitu: struktur, substansi dan budaya hukum46 yang

dimaksudkan dengan sbuktur sistem hukum adalah: The structures of legal system

consist of elemen of this kind- the number and size of courts; their jurisdiction (that

is, what kind of cases they hear, and how and why), and modes of appeal from one

court to another. Structure also mean lou, and the legislature is organized... and so

on". (artinya jumlah dan ukuran pengadilan jenis yurisdiksi dan cara-cara banding

dari satu pengadilan kepada pengaditan lainnya. Struktur juga dapat berarti

bagaimana badan pembuat undang-undang diatur....dan sebagainya).

Substansi hukum diartikan" the actual rules, norms, and behaviour

patterns of people inside the system"(artinya aturan-aturan yang berlaku,

norma-norma dan pola-pola penilaian manusia di dalam sistem). Budaya hukum (legal

cultural) di artikan sebagai" people's attitude toward law and the legal system their

beliefs, values, ideas, and expectations, it is that part of the general culture which

concern the legal system"(artinya sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem

hukum kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai pandangan-pandangan/pikiran-pikiran,

45

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 206 46

(46)

dari pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum

digunakan, dihindarkan atau disalahgunakan, tanpa budaya hukum, sistem hukum

adalah tidak berdaya ibarat ikan mati yang terletak dalam sebuah keranjang,

bukan ikan yang hidup berenang di dalam laut.

Ketiga unsur hukum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

yakni substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para

pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan serta hubungan-hubungan hukum.

Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu

dijalankan menurut ketentuan formalnya yaitu memperlihatkan bagaimana

pengadilan, pembuat hukum dan lain-lain badan serta proses hukum itu berjalan

dan dijalankan. Kultur hukum adalah unsur yang terpenting dalam sistem hukum

yakni tuntutan dan permintaan. Tuntutan datangnya dari rakyat atau para pemakai

jasa hukum. Dibelakang tuntutan itu, kecuali didorong oleh kepentingan, terlihat juga

faktor-faktor seperti ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai

hukum, kultur hukum mengandung potensi untuk dipakai sumber informasi guna

menjelaskan sistem hukum.47

Setiap sistem hukum moderen seyogianya, dengan berbagai cara,

mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan

orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan ‘dengan berbagai

47

(47)

cara’ karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu

sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai

pengaruh yang baik dalam konsep maupun implementasinya.48

Menurut Algra dan Van Duy Vendijk49 Teori sistem adalah "aliran

yang paling terpenting dalam positivisme hukum, yang intinva bahwa hukum adalah

suatu stelsel dari aturan yang berkaitan satu sama lain secara organis, secara piramida

dari norma-norma yang terbentuk secara hirarkhi". Sistem hukum merupakan

"kesatuan hakiki dan terbagi-bagi dalam bagian-bagian, di dalam mana setiap

masalah atau persoalan menemukan jawaban atau penyelesaiannya".50 Unsur

sistem adalah peraturan hukum (norma hukum) asas-asas hukum, yang menjadi

fundamen dan pengertian-pengertian hukum. Unsur sistem hukum itu

dibangun di atas tertib hukum, sehingga terdapat keharmonisan. dan dapat

dihindarkan tumpang tindih diantara masing-masing unsur-unsur tersebut. Kalau

terdapat konflik antara unsurunsur sistem hukum, maka solusinya adalah terletak

dalam sistem hukum itu sendiri. Yang menyelesaikan konflik di dalam sistem

hukum adalah asas hukum karena di dalam asas hukum itulah terdapat cita-cita,

pembentuk undang-undang. Cita-cita saja tidak cukup, apabila tidak didukung

oleh struktur kelembagaan dan budaya hukumnya. Berjalan atau tidaknya suatu

peraturan hukum adalah budaya hukum masyarakatnya.

48

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,(Jakarta: Kencana,2005), hlm 61

49

Algra N.E dan K. Van Duyvendijk, Mula Hukum, (Jakarta: Bina Cipta,1983), hlm 139 50

(48)

Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum

anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya,

posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.52 Oleh karena masyarakat

hukum itu berubah-ubah dari waktu ke waktu maka konsep budaya hukum substantif

sangat dipengaruhi oleh ide, gagasan, pemikiran, ekonomi, sosial dan politik yang

begitu cepat berubah yang tercermin dari perilaku hukurn substantif.53 Dari

sudut budaya hukum haruslah diarahkan pada pertanyaan-pertanyaan yang

dapat mengidentifikasi variabel-variabel dalam budaya hukum dan institusi

hukum yang mampu meningkatkan efektivitas hukum.54

Budaya hukum berhubungan dengan sikap dan perilaku. Betapa budaya dan

perilaku hukum menjadi faktor penentu vang penting. Cita-cita hukum,

tujuan pembangunan hukum, tidak dapat dicapai dengan mengabaikan

peranan dan sumbangan budaya hukum. Wibawa hukum melengkapi kehadiran

dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum memperlancar

bekerjanya hukum sehingga perilaku orang menjadi positif terhadap hukum.

51

Daniel S.Lev, Hukum dan Politik Hukum Di Indonesia Keseimbangan dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm 119

52

Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar (Jakarta: Universitas Indonesia, 1997), hlm 19

53

Daniel S.Lev, Op.Cit, hlm 119 54

(49)

Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang rasional, tetapi

lebih daripada itu mengandung unsurunsur spiritual, yaitu kepercayaan,

kewibawaan hukum dapat dinimuskan sebagai suatu kondisi psikologis

masyarakat yang menerima dm menghormati hukum.55 Sektor budaya dikehendaki

untuk mampu mempertahankan asas-asas tertinggi yang mengatur kehidupan

masyarakat yang bersumber pada kebenaran jati sebagai salah satu kategori yang

menjadi lingkungan masyarakat.56

Teori- teori hukum memaparkan tiga hal tentang berlakunya hukum:

1. Kaidah hukum yang berlaku secara yuridis, apabila penentuannya

didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen) atau

menurut cara yang telah ditetapkan (W.Zevenbergen), atau apabila menunjukkan

hubungan terhadap keharusan suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A.Logemann);

2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif,

artinya diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang dibutuhkannya (A.A.G.

Peters), atau dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walauptLn tidak

diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan);

3. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, apabila kaidah hukum

tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.57

Jadi semakin jelas bahwa hukum tidak dapat dilihat semata-mata sebagai

55

Satjipto Rahardjo, Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum, (Jakarta: Makalah Pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII, BPHN,1997)

56

Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia SEbuah Pendekatan Lintas Disiplin, (Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan I, 2009), hlm 33

57

(50)

struktur masyarakat. Budaya hukum dengan sistem hukum dihubungkan lewat

tradisi hukum. Tradisi hukum yang dimaksudkan adalah suatu kumpulan sikap-sikap

yang dipengaruhi oleh sejarah yang berakar sangat mendalam mengenai sifat hukum,

peranan hukum dalam masyarakat dan pemerintahan, organisasi dan berjalannya

suatu sistem hukum dan mengenai cara hukum

Referensi

Dokumen terkait

• Syed Naquib al-Attas menyatakan bahawa kedatangan Islam ke alam Melayu adalah dibawa oleh orang Arab sama ada melalui perdagangan atau dakwah yang dibawa oleh para ahli sufi

Pada tahun 1998, AQUA (yang berada di bawah naungan PT Tirta Investama) melakukan langkah strategis untuk bergabung dengan Group DANONE, yang merupakan salah satu kelompok

4) Pendengar RRI Jayapura mempunyai tingkat kesukaan yang cukup tinggi terhadap program-program yang disiarkan oleh RRI meskipun dalam beberapa hal mereka

Alasan orang patuh serta taat pada pemegang otoritas berdasarkan prilaku yang diambil begitu saja (taken for granted). Alasannya, karena sejak dahulu juga seperti itu,

Oleh karena itu, penulis berniat untuk melakukan penelitian dengan judul: “Analisis Pengaruh Employee Stock Ownership Program (ESOP) Terhadap Kinerja dan Nilai Perusahaan

Perbuatan Gagasan.. Ary Ginanjar dalam bukunya ESQ mengatakan bahwa pembentukan karakter tidak hanya sebatas menetapkan visi dan misi saja akan tetap aktualisasi dari

[r]

Penyalagunaan yang terjadi pada uang elektronik sangat mudah terjadi, karena sistem keamanan yang belum bisa melindungi pemegang kartu uang elektronik, dimana pada