ANALISIS YURIDIS ATAS JUAL LEPAS TANAH ADAT DAN KENDALA PENDAFTARANNYA : STUDI PADA TANAH ADAT SUKU PAK PAK DI
KABUPATEN PAK – PAK BHARAT
TESIS
Oleh :
OLIFIA BANUREA 097011089
MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAK
Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang penting sebagai kebutuhan manusia. Kebutuhan akan tanah untuk daerah yang sedang berkembang selalu mengalami peningkatan seoalah – olah tanah menjadi barang yang sangat berharga. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh Negara diarahkan dengan mempertahankan Hak Atas Tanah Ulayat, agar terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulisan ini bertujuan untuk megetahui pelaksanaan jual lepas tanah adat suku Pakpak di Kabupaten Pak – Pak Bharat perkembangan yang terjadi dalam pelaksanaan pelepasan tanah marga suku Pakpak proses peralihan hak milik adat menjadi hak milik perseorangan dan kendala dalam proses pendaftarannya.
Metode pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan yuridis sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang meneliti data sekunder terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan mengadakan penelitian data primer di lapangan. Adapun sumber data faktor yuridisnya adalah UUPA No.5 tahun 1960, Peraturan Pelaksanaan lainnya berkaitan dengan tanah dan hasil wawancara dengan Ketua Lembaga Adat Sulang Silima dan pihak lainnya yang berkaitan dengan jual lepas tanah adat marga di Pak – Pak Bharat.
Masyarakat adat di Pak – Pak Bharat merupakan persekutuan hukum adat teritoriall dan geneologis. Keberadaannya masih diakui serta masih mempertahankan pemerintahan adat dan sangat tergantung pada tanah Hak Ulayat. Perbuatan hukum pelepasan hak dilaksanakan dengan pelepasan adat dan dibuatnya surat pelepasan yang disaksikan oleh ketua Lembaga adat Sulang Silima. Pelaksanaan jual lepas didasarkan pada pelepasan adat dan proses pendaftaran tanahnya didasarkan dengan mekanisme yang telah baku berlaku sesuai dengan ketentuan pendaftaran tanah.
Dari data yang dianalisis diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan jual jual lepas tanah marga yang ada di Pak – Pak Bharat mengalami perubahan dimana yang paling berpengaruh sekarang ini adalah Lembaga adat Sulang Silima sebagai penentu dalam permasalahan tanah. dan dalam pelaksanaan jual lepas dilakukan dengan sepengetahuan Sulang Silima dan Kepala Desa sebagai saksi tanpa dilakukan di depan PPAT sementara/Camat dan jarang dilanjutkan pendaftaran ke Kantor Pertanahan Pak – Pak Bharat.Adapun hambatan dalam pelaksanaannya adalah karena keengganan masyarakat adatnya dan Lembaga Sulang Silima untuk menerima peraturan yang berlaku yaitu UU No.5 tahun 1960 dan PP no.24 tahun 1997.
ABSTRACT
Land as a gift from the God has an important function for human’s needs. The need for the land in the developing areas always increases as if the land is a precious property. The authority and use of land by the state are directed by defending the right to communal land to establish social justice for all of the people of Indonesia.
The purpose of this study was to find out the implementation of selling the communal land belongs to the Pak-Pak living in Pak-Pak Barat District, to find out the development occurred in releasing the communal land belongs to Pak-Pak tribe, to look at the process of right transfer from adat property into the individual’s, and to find out the constraints existed in its registration process.
This study employed a sociological juridical approach, an approach to study secondary data which is then continued by conducting research on primary data on the field. The sources of juridical data were UUPA No. 5/1960, the other regulations implemented on the land, and the results of the interviews with the Chairman of Sulang Silima Adat Institution and other parties related to the selling of the communal land of Pak-Pak Barat tribe.
The community of Pak-Pak Barat was an alliance of territorial and genealogical traditional law. Their existences were still recognized and they still maintained their local administration, and they were really dependent on the rights to communal land. The legal deeds of releasing their rights were conducted by issuing the Letter of Land Release witnessed by the Chairman of Sulang Silima Adat Institution. The implementation of selling was done based on traditional land release ceremony and the process of land registration was based on standard mechanism in accordance with the stipulation on land registration.
The results of this study showed that the implementation of selling the land belongs to the clans living in Pak-Pak Barat experienced changes in which the most influential adat institution today was Sulang Silima as decision maker on land problems. The selling of land must be known and approved by Sulang Silima and Head of Village as the witness, not before the ad- interim PPAT (Land Act Issuing Official)/Head of Subdistrict and was rarely registered to Pak-Pak Barat Land Office. The constraints faced in the implementation of land registration were that the adat community and Sulang Silima Adat Institution were reluctant to accept the existing Law No.5/1960 and Government Regulation No.24/1997.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat dan hidayatNYa serta kasihNya yang luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS YURIDIS ATAS JUAL LEPAS TANAH ADAT DAN PENDAFTARANNYA : STUDI PADA TANAH ADAT SUKU PAK-PAK DI KABUPATEN PAK-PAK BHARAT”. Tesis ini merupakam persyaratan akademik untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Program Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan, perhatian dan masukan kepada Penulis .
Pembimbing Utama yang dengan penuh perhatian memberi bimbingan dan saran kepada Penulis.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan masukan yang sangat membangun kepada Penulis
5. Bapak Prof.Dr.Syafruddin Kalo,SH,MHum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan menyumbangkan pikiran serta memberikan petunjuk dalam pengarahan materi ilmiah.
6. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan masukan yang sangat membangun kepada Penulis.
8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10. Kepada yang terhormat dan terkasih kedua orangtua Penulis Jansen Banurea,SE dan Elisabeth Samosir dan yang terkasih orang tua kedua bagiku dr.Agustina Samosir buat kesempatan yang telah diberikan kepada Penulis dan buat segala perhatian, kasih sayang dan segala sesuatu yang diberikan kepada penulis
11. Buat adik – adik tersayang drg.Feby Banurea, Deny Banurea, Benhard Martin Pasaribu, Venissha Claudia Pasaribu dan Johan Nicholas Pasaribu buat semangat dan dukungan yang diberikan dan tempat penulis berbagi cerita.
12. Buat teman – teman yang selalu melewati hari bersama sama Lestriana (k.Inez), Syahrani, Laila Hayati (k.Laila) dan Afnida Novriani.
Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini. Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
DAFTAR ISI
Abstrak ………. i
Kata Pengantar ……….. ii
Daftar Isi ……….iii
Daftar Istilah ………... iv
Daftar table ……… v
BAB I. Pendahuluan A. Latar Belakang ……… 1
B. Perumusan masalah ………...12
C. Tujuan Penelitian ………...………. 12
D. Manfaat Penelitian ...………...12
E. Keaslian Penelitian ………... 13
F. Kerangka teori dan Konsepsi .………... 14
G. Metode Penelitian ………... 24
H. Sumber Data ………... 25
I. Pengumpulan Data……… ……….. 26
J. Analisis Data ………..……….. 27
BAB II Syarat – Syarat Jual Lepas Tanah Adat di Pak – Pak Bharat. A. Profil Singkat Kabupaten Pak–Pak Bharat dan Masyarakat Pak-Pak 1. Kondisi Wilayah Pak-Pak Bharat ………. ….. 28
3. Peranan Kepala Adat di Pak-Pak Bharat ……… 36 B. Struktur Kepemilikan Tanah Marga atau Tanah Adat di Pak-Pak Bharat ….... 39 C. Jual Beli dalam Hukum Adat ……… ……… 41 D. Jual Beli Tanah Adat menurut UUPA ……… 45 E. Syarat – Syarat Proses Terjadi Jual Lepas Tanah Adat di Pak-Pak Bharat ….. 50
BAB III
Peralihan Hak Milik Adat Menjadi Hak Perseorangan di Pak – Pak Bharat A. Hak Atas Tanah
1. Hak – Hak Tanah Adat sebelum UUPA ………. 60 B. Hak Atas Tanah Menurut UUPA ……… 69 C. Hak Perseorangan Pada Masyarakat Pak – Pak ……….. 72 D. Peralihan Hak Milik Adat menjadi Hak Perseorangan di Pak – Pak Bharat .. 73 BAB IV
Proses Pendaftaran Tanah dan Kendala Pendaftaran Tanah di Kabupaten Pak – Pak Bharat
A. Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah
D. Hambatan – Hambatan Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Yang Berasal Dari Jual Beli Menurut Hukum Adat di Kabupaten Pak – Pak Bharat………. ……… 103 BAB V
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan………. 108 B. Saran ………... 110
Daftar Pustaka ………. 112
DAFTAR ISTILAH
Beschikkingsrecht : Hubungan antara persekutuan dan tanah itu sendiri.
Hak ulayat : Hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) Genealogis : Keturunan
Lebbuh/Kuta : Kampung, atau Desa
Pertaki : Kepala desa/Kepala Kampung
Komunal : Dikuasai bersama/Persekutuan
perisang – isang : Anak paling besar
perekur –ekur : Anak paling bungsu
pertulang tengah : Anak tengah
perpunya ndiadep : Anak boru
perbetekken : Teman satu marga
Religio-magis : artinya hubungan ini bukan antara individu dengan tanah saja tetapi juga antara
sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan Hukum adat
(rechtsgemeentsschap ) di dalam hungan dengan tanah adat.
Tanah marga : Istilah tanah ulayat di Kabupaten
Pak – Pak Bharat
DAFTAR TABEL
ABSTRAK
Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang penting sebagai kebutuhan manusia. Kebutuhan akan tanah untuk daerah yang sedang berkembang selalu mengalami peningkatan seoalah – olah tanah menjadi barang yang sangat berharga. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh Negara diarahkan dengan mempertahankan Hak Atas Tanah Ulayat, agar terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulisan ini bertujuan untuk megetahui pelaksanaan jual lepas tanah adat suku Pakpak di Kabupaten Pak – Pak Bharat perkembangan yang terjadi dalam pelaksanaan pelepasan tanah marga suku Pakpak proses peralihan hak milik adat menjadi hak milik perseorangan dan kendala dalam proses pendaftarannya.
Metode pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan yuridis sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang meneliti data sekunder terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan mengadakan penelitian data primer di lapangan. Adapun sumber data faktor yuridisnya adalah UUPA No.5 tahun 1960, Peraturan Pelaksanaan lainnya berkaitan dengan tanah dan hasil wawancara dengan Ketua Lembaga Adat Sulang Silima dan pihak lainnya yang berkaitan dengan jual lepas tanah adat marga di Pak – Pak Bharat.
Masyarakat adat di Pak – Pak Bharat merupakan persekutuan hukum adat teritoriall dan geneologis. Keberadaannya masih diakui serta masih mempertahankan pemerintahan adat dan sangat tergantung pada tanah Hak Ulayat. Perbuatan hukum pelepasan hak dilaksanakan dengan pelepasan adat dan dibuatnya surat pelepasan yang disaksikan oleh ketua Lembaga adat Sulang Silima. Pelaksanaan jual lepas didasarkan pada pelepasan adat dan proses pendaftaran tanahnya didasarkan dengan mekanisme yang telah baku berlaku sesuai dengan ketentuan pendaftaran tanah.
Dari data yang dianalisis diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan jual jual lepas tanah marga yang ada di Pak – Pak Bharat mengalami perubahan dimana yang paling berpengaruh sekarang ini adalah Lembaga adat Sulang Silima sebagai penentu dalam permasalahan tanah. dan dalam pelaksanaan jual lepas dilakukan dengan sepengetahuan Sulang Silima dan Kepala Desa sebagai saksi tanpa dilakukan di depan PPAT sementara/Camat dan jarang dilanjutkan pendaftaran ke Kantor Pertanahan Pak – Pak Bharat.Adapun hambatan dalam pelaksanaannya adalah karena keengganan masyarakat adatnya dan Lembaga Sulang Silima untuk menerima peraturan yang berlaku yaitu UU No.5 tahun 1960 dan PP no.24 tahun 1997.
ABSTRACT
Land as a gift from the God has an important function for human’s needs. The need for the land in the developing areas always increases as if the land is a precious property. The authority and use of land by the state are directed by defending the right to communal land to establish social justice for all of the people of Indonesia.
The purpose of this study was to find out the implementation of selling the communal land belongs to the Pak-Pak living in Pak-Pak Barat District, to find out the development occurred in releasing the communal land belongs to Pak-Pak tribe, to look at the process of right transfer from adat property into the individual’s, and to find out the constraints existed in its registration process.
This study employed a sociological juridical approach, an approach to study secondary data which is then continued by conducting research on primary data on the field. The sources of juridical data were UUPA No. 5/1960, the other regulations implemented on the land, and the results of the interviews with the Chairman of Sulang Silima Adat Institution and other parties related to the selling of the communal land of Pak-Pak Barat tribe.
The community of Pak-Pak Barat was an alliance of territorial and genealogical traditional law. Their existences were still recognized and they still maintained their local administration, and they were really dependent on the rights to communal land. The legal deeds of releasing their rights were conducted by issuing the Letter of Land Release witnessed by the Chairman of Sulang Silima Adat Institution. The implementation of selling was done based on traditional land release ceremony and the process of land registration was based on standard mechanism in accordance with the stipulation on land registration.
The results of this study showed that the implementation of selling the land belongs to the clans living in Pak-Pak Barat experienced changes in which the most influential adat institution today was Sulang Silima as decision maker on land problems. The selling of land must be known and approved by Sulang Silima and Head of Village as the witness, not before the ad- interim PPAT (Land Act Issuing Official)/Head of Subdistrict and was rarely registered to Pak-Pak Barat Land Office. The constraints faced in the implementation of land registration were that the adat community and Sulang Silima Adat Institution were reluctant to accept the existing Law No.5/1960 and Government Regulation No.24/1997.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk
manusia itu sendiri, sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan
kelanjutan kehidupannya. Oleh sebab itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota
masyarakat. Sangat berartinya tanah bagi kehidupan manusia dan juga bagi suatu
Negara dibuktikan dengan diaturnya secara konstitusional dalam Undang - Undang
Dasar 1945 Pasal 33 ayat ( 3 ) bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Ketentuan pasal tersebut kemudian menjadi landasan filosofi terhadap pengaturan
tanah di Indonesia yang secara yuridis diatur dalam Undang – Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan
Undang - Undang Pokok Agraria ( UUPA).
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat karena
merupakan satu – satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang
bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah kadang – kadang akan
menjadi lebih menguntungkan, dipandang dari segi ekonomis misalnya sebidang
setelah api padam ataupun setelah pemboman selesai tanah tersebut akan muncul
kembali, tetap berwujud tanah seperti semula, kalau dilanda banjir, misalnya setelah
airnya surut, tanah muncul kembali sebagai sebidang tanah yang lebih subur dari
semula. Kecuali itu adalah suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal
keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan, merupakan tempat dimana para
warga yang menginggal dunia dikuburkan.
Oleh karena itu antara persekutuan dengan tanah yang diduduki tersebut
mempunyai hubungan yang erat sekali yang bersifat religio-magis. Hubungan yang
erat dan religio-magis ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk
menguasai tanah tersebut, memanfaatkan, memungut hasil dari tumbuh – tumbuhan
yang hidup diatas tanah tersebut, juga berburu terhadap binatang – binatang yang
hidup disitu.
Hak persekutuan atas tanah ini disebut dengan hak pertuanan atau hak ulayat,
yang oleh Van Vollenhoven disebut “beschikkingsrecht” yaitu hubungan antara
persekutuan dan tanah itu sendiri.1
Hak ulayat dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan atas
tanah yang didiami, sedangkan dalam pelaksanaanya dilakukan oleh persekutuan itu
sendiri oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan. Wilayah kekuasaan
persekutuan itu adalah merupakan milik persekutuan yang pada asanya bersifat tetap
1
dimana perpindahan hak milik atas wilayah ini tidak diperbolehkan, yang dalam
kenyataannya terdapat pengecualian – pengecualian.2
Beschikkingsrecht ataupun hak ulayat ini berlaku keluar dan kedalam,
dikatakan berlaku keluar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak
diperbolehkan turut menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan
persekutuan yang bersangkutan, orang luar dapat menggunakan tanah wilayah
persekutuan tersebut apabila telah mendapat izin dari pihak persekutuan yang
berwenang dan memberikan ganti rugi, dikatakan berlaku kedalam karenapersekutuan
sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan bersama – sama
sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat tersebut dengan memetik hasil dari
tanah tersebut beserta segala tumbuhan dan binatang yang hidup diatasnya. Hak
persekutuan ini hakekatnya membatasai kebebasan usaha atau kebebasan gerak para
warga persekutuan sebagai perseorangan yang dilakukan untuk kepentingan
persekutuan tersebut.
Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak dari persekutuan atas
tanah yang didiami, sedangkan pelaksanaannya dilakukan baik oleh persekutuan itu
sendiri, maupun oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan.
Terjadinya hak milik perorangan atas tanah persekutan atau hak ulayat
dikarenakan perorangan dengan keluarganya membuka tanah hutan lingkungan hak
ulayat marga atau kampung, untuk tanah perladangan, sampai menjadi tempat
kediaman atau tempat usaha pertanian yang tetap dengan penanaman tanam
2
tumbuhan. Perbuatan membuka tanah untuk tempat kediaman sehingga menjadi
tempat kediaman sementara yang merupakan perbuatan sepihak yang menimbulkan
hak atas tanah bagi yang membukanya, yang mana oleh Soerjono Soekanto
diistilahkan dengan hak wenang pilih.3
Di daerah – daerah orang membuka tanah dimulai dengan memberi tanda
pada tanahnya tersebut, yaitu tanda akan membuka tanah, yang biasanya berupa tanda
silang atau bambu yang dipasang dipohon yang apabila dilihat dari kejauhan tanda
tersebut kelihatan, dengan adanya tanda tersebut maka timbullah hak untuk
mengusahakan sebidang tanah ( hak membuka tanah).
Jika tanah tersebut terus dibuka dan dijadikan tanah perladangan yang
ditanami, maka akan terjadi hak pakai atau hak mengusahakan tanah. Untuk
menjadikan tanah itu hak milik perorangan, maka tanah itu haruslah dikerjakan terus
menerus akan tetapi jika tanah itu dibiarkan terbengkalai menjadi semak belukar atau
kembali menjadi hutan, maka hak miliknya hilang dan yang tertinggal hanyalah hak
untuk mengusahakannya kembali, yang mana hak ini juga akan hilang apabila bidang
tanah tersebut telah berubah menjadi hutan dan tanah itu kembali menjadi milik hak
ulayat.
Hak milik perorangan atas tanah adat dapat ditingkatkan menjadi hak milik
perorangan milik adat tetap apabila diatas tanah itu ditanami tumbuh – tumbuhan
3
berupa tanaman keras ( pohon buah – buahan, karet, kelapa, kopi dan sebagainya)
sehingga menjadi sebuah tanah ladang ataupun tanah kebun.
Selain dari pembukaan tanah hak milik perorangan atas tanah ulayat juga
terjadi dikarenakan adanya warga persekutuan yang dengan izin kepala desa atau
kepala persekutuannya membuka tanah wilayah persekutuan dengan menggarap
tanah itu timbullah suatu hubungan antara individu dengan tanah dan juga hubungan
religio - magis antara warga yang bersangkutan dengan tanah yang dikerjakannya
tersebut.
Hak milik perorangan tanah adat dari seorang warga persekutuan yang
membuka dan mengerjakan tanah itu sepenuhnya dengan ketentuan wajib
menghormati hak ulayat marga atau kampungnya, kepentingan orang lain yang
memiliki tanah dan juga peraturan peraturan adat. Hak milik perorangan atas tanah ini
berarti bahwa pemiliknya berkuasa penuh atas tanah yang bersangkutan seperti
halnya menguasai rumah, ternak ataupun hal lain yang dimilikinya secara utuh.
Dengan berubahnya status tanah adat menjadi hak milik adat, maka hubungan
antara masyarakat dengan tanah tersebut lepas. Lepas disini dalam arti pemilik tanah
telah bebas menentukan sendiri kegunaan tanah tersebut. Namun Soepomo
berpendapat bahwa hak milik atas tanah meliputi kekuasaan untuk bertindak sebagai
yang berhak sepenuhnya atas tanah, dengan mengingat beberapa kewajiban terhadap
masyarakat yang harus diperhatikan oleh pemiliknya.4
4
Sehingga tergambar bahwa meskipun pemilik tanah berkuasa penuh terhadap
sebidang tanah, namun masih terikat beberapa hak masyarakat. Adapun hak–hak
masyarakat yang dimaksud adalah seperti memberikan hak pengembalaan ternak atau
membolehkan sedikit tanahnya dibuat jalan yang semuanya merupakan untuk
kepentingan umum. Hal tersebut di atas sesuai dengan ketentuan dalam UUPA, di
mana dalam UUPA setiap hak milik selalu terkandung hak masyarakat sehingga tidak
ada kemutlakan hak sebagaimana terdapat dalam hak eigendom sebelum berlakunya
UUPA. Dalam pasal 20 ayat (1) menyebutkan : “Hak milik adalah hak turun temurun
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan pasal 6”.5
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Purnadi dan A Ridwan Hakim
menyebutkan bahwa hak milik adat adalah suatu hak atas sebidang tanah tertentu
yang dipegang oleh perorangan yang terletak dalam wilayah hak ulayat suatu
masyarakat adat yang bersangkutan, tanah yang dikuasai dengan hak milik dalam
hukum adat tersebut berupa sawah dan beralih turun temurun.
Dalam pasal tersebut telah mengandung makna seseorang dalam
memiliki dan mempergunakan tanah harus mengingat kepentingan umum.
6
Peralihan tanah tersebut dapat dilakukan dengan pewarisan ataupun dengan
pemberian hibah atau dengan melakukan transaksi – transaksi yang dilakukan dengan
pengoperan ataupun penyerahan dengan disertai pembayaran kontan dari pihak lain
5
Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960
6
saat itu juga. Pada umumnya yang menjadi sebab seseorang pemilik tanah melakukan
transaksi itu adalah kebutuhan akan uang, apabila tidak dapat memperoleh pinjaman
uang, maka dilakukan transaksi tanah.
Dalam hukum tanah perbutan hukum ini disebut transaksi jual yang dapat
dibedakan atas 3 (tiga) jenis :
1. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat untuk selama – lamanya atau disebut jual lepas.
2. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan bahwa yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan pembayaran sejumlah uang disebut jual gadai.
3. Pembayaran tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian, bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu – dua tahun atau bebrapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik tanah semula disebuat jual tahunan.7
Transaksi tanah dimana terjadi pemilik tanah selaku penjual menyerahkan
bidang tanahnya kepada pihak lain sebagai pembeli selama lamanya dengan
pembayaran sejumlah uang secara tunai atau dengan cicilan maka perbuatan tersebut
disebut Jual – Lepas. Kebanyakan di masa lampau jual – lepas tanah ini berlaku
dengan tertulis dibawah tangan, dengan atau tanpa kesaksian perangkat desa. Pada
masa sekarang jual – lepas dilakukan harus dengan kesaksian perangkat desa.
Dalam kebiasaan masyarakat kalaupun terjadi jual lepas tanah harus terlebih
dahulu menuruti ketentuan “ hak terdahulu” yakni orang yang mau menjual tanah
tidak begitu saja dapat menjualnya kepada siapa saja. Akan tetapi harus
mendahulukan penjualan itu kepada kerabatnya yang terdekat atau keluarga satu
marganya. Bila tidak ada kawan satu kerabat yang hendak membelinya, maka dia
7
harus menjualnya kepada orang sekampungnya dan apabila juga tidak ada yang
membelinya, pemilik tanah harus mencari orang yang berdekatan dengan tanah di
mana tanah tersebut berada, tetangganyalah yang didahulukan. Bila juga tetangga
yang berdekatan itu tidak ada yang membelinya, barulah dia dapat menjual lepaskan
kepada siapa saja yang mau membelinya. Hal ini supaya tidak diketahui bahwa telah
terjadi jual lepas tanah.8
Sifat jual lepas ini terang dan tunai, yang artinya terang diketahui oleh
tetangga, kerabat dan juga kepala persekutuan atau kepala adat dan dilakukan
pembayarannya pada saat itu juga, jika pembayaran belum lunas maka sisa
pembayaran yang belum lunas itu merupakan hutang pembeli kepada penjual.
Sehubungan hal tersebut di atas, Imam Soetiknyo memberi pengertian
“terang” yang menjelaskan bahwa pengalihan hak atas tanah menurut adat, harus
dengan dukungan (medewerking) Kepala Suku/Masyarakat hukum/Desa agar
perbuatan itu terang dan sahnya (rechtsgeldigheid) ditanggung Kepala
Suku/Masyarakat Hukum/Desa tersebut. Selain daripada itu Kepala Adat juga harus
menjamin agar hak-hak ahli waris, para tetangga (buren recht) dan hak sesama suku
tidak dilanggar apabila tanah hak milik adat tersebut akan di lepas atau dijual akad.9
Penguasaan tanah di Kabupaten Pakpak Bharat pada umumnya merupakan tanah
adat yang lahir dari penguasaan secara turun temurun atas bagian dari tanah ulayat,
8
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Cetakan Pertama (Medan; Pustaka Bangsa Press,2003) halaman 127
9
tanah menurut hukum Adat Pakpak adalah milik marga – marga Pakpak yang ada
salah satunya adalah marga Banurea, yang berada di bawah kekuasaan, pengawasan,
kewenangan penyelenggaraan Kepala Kappung yaitu Pertaki (Sulang Silima).
Kepemilikan atas tanah adat di Pakpak Bharat awalnya oleh karena pembukaan hutan
yang dibuat sebagai perkampungan (lebbuh) oleh Kepala Adat,lalu tanah itu
digunakan untuk kepentingan bersama masyarakat kampung (lebbuh) itu dan
kepentingan pribadi. Adapun dalam perkembangan tanah kampung (lebbuh) itu
terjadi peralihan dengan sistem pewarisan atau hibah. Transaksi karena gadai dan
jual - beli tanah adat atau yang disebut dengan jual - lepas.
Dalam pelaksanaan jual – lepas yang terjadi di Pakpak Bharat sering tidak dengan
proses yang ditentukan masyarakat adat, hukum adat, juga dalam melakukan
perbuatan pengalihan hak tanah adat tidak lagi melihat kepentingan dan martabat
marganya oleh karena “hak terdahulu” tidak lagi diutamakan dalam pelaksanaan
Jual – Lepas banyak daripada masyarakat hukum adat di Kabupaten Pakpak Bharat
Selain itu juga jual – lepas yang dilakukan terkadang tanpa sepengetahuan ahli waris
sebenarnya dari tanah tersebut, yang akhirnya peristiwa tersebut menimbulkan
permasalahan tanah di Pakpak Bharat, yang mana terjadi tumpang tindih
kepemilikan penguasaan tanah dan ketidakpastian pemilik tanah hak adat yang
sebenarnya pada akhirnya menimbulkan kerugian pada masyarakat hukum adat
sendiri selain itu banyak dari para marga asli yang seharusnya berada di tanah
kampungya sendiri tidak memiliki tanah di kampungnya sendiri melainkan menyewa
ataupun membeli tanah dari marga lainnya dan berada diluar tanah marganya sendiri.
Apabila sesuatu hak terjadinya menurut hukum adat, maka prosesnya pada
pembukaan tanah ulayat masyarakat adat setempat melalui proses yang lama. Untuk
keperluan pendaftaraan hak diperlukan suatu surat keputusan pengakuan hak dari
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional setempat atau Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/ Kota sebagai penetepan Pemerintah. Pendaftaraan hak
mempunyai arti dan fungsi di samping sebagai alat pembuktian yang kuat juga
merupakan syarat lahirnya hak atas tanah tersebut.
”Di dalam ketentuan pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan setiap peralihan hak atas tanah melalui jual-beli, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT). “Dalam UUPA juga menentukan bahwa setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan pasal 19 ayat (1) UUPA yang merupakan pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak konsumen dari masyarakat”.10
Dari ketentuan di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa setiap dilakukan
peralihan hak atas tanah harus dibuat akta oleh dan di hadapan PPAT. Hal ini
10
dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi
para pihak.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaraan Tanah
disebutkan tujuan pendaftaran tanah adalah memberikan jaminan kepastian hukum
dan perlindungan terhadap hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah. Dalam
peraturan tentang pendaftaraan tanah dan aturan pelaksanaannya diatur tentang proses
peralihan hak atas tanah dan pendaftaraannya, yang berakhir dengan terbitnya
sertifikat. Oleh karena itu kekuataan sertifikat akan tergantung dari keabsahan
perbuatan hukumnya.
Perbuatan hukum yang melandasi peralihan hak cacat maka akan berakibat cacat pula
kekuataan hukum sertifikatnya, Jual beli tanah hak ulayat dengan pelepasan adat
sering dilakukan dengan tidak sesuai hukum adat dan peraturan perundang –
undangan yang berlaku. Masalah sengketa perkara tanah di Kota Salak disebabkan
tidak memenuhi persyaratan dan prosedur yang telah ditentukan dalam jual – lepas
tanah sehingga menjadi terhambat dalam proses pendaftaran tanah tersebut di BPN (
Badan Pertanahan Nasional) Kabupaten Pak – Pak Bharat.
Dari permasalahan tersebut diatas dapat diasumsikan bahwa dalam pelaksanaan Jual
– Lepas tanah yang terjadi di Pakpak Bharat sekarang ini telah mengalami perubahan
oleh orang luar yang mana pada akhirnya akan menyebabkan menghilangnya tanah
marga tersebut secara perlahan – lahan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam penulisan tesis ini adalah :
1. Bagaimanakah syarat – syarat proses terjadinya jual lepas tanah yang terjadi di
Pakpak Bharat apakah masih menurut ketentuan Hukum Adat?.
2. Bagaimanakah proses peralihan hak milik adat menjadi hak perseorangan di
Pak –Pak Bharat?
3. Apakah kendala yang terjadi dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah adat
di Kabupaten Pak-Pak Bharat?.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah syarat-syarat proses terjadinya jual lepas yang
terjadi di Pakpak Bharat masih menurut ketentuan Hukum Adat.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses Hak Adat di Pak – Pak Bharat bisa
menjadi hak milik adat.
3. Untuk mengetahui apakah kendala yang terjadi dalam pendaftaran peralihan
hak atas tanah adat di Kabupaten Pakpak Bharat.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis ,
sebagai berikut :
1. Manfaat secara teoritis
a. Diharpkan dapat berguna bagi masyarakat yang akan melakukan
proses jual lepas tanh hak ulayat dengan proses pelepasan adat.
b. Menjadi bahan informasi bagi para masyarakat terhadap proses jual
lepas tanah ulayat
c. Menjadi bahan informasi bagi masyarakat untuk informasi dalam
pelaksanaan pendaftaran tanah.
2. Manfaat secara praktis
a. Menjadi bahan masukan bagi masyarakat hukum adat terhadap hak
dan kewajiban mengenai hak atas tanah ulayat
E. Keaslian Penelitian
Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai Tanah Ulayat, namun
sejauh ini berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan khususnya
dilingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan dan Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan belum ada penelitian sebelumnya dengan judul :
“ Analisis Yuridis Atas Jual Lepas Tanah Adat dan Kendala Pendaftaraannya Studi
Namun dalam penelusuran kepustakaan, penulis ada menemukan beberapa tesis
karya mahasiswa, yang mengangkat masalah jual beli tanah namun permasalahan dan
bidang kajiannya sangat berbeda, yaitu:
1. Tesis atas nama Cut Ida Khairani NIM : 027011009 dengan judul Analisis
Pelaksanaan Jual Beli Tanah Milik Adat Pada Masyarakat Aceh. (Studi Di
Kabupaten Aceh Barat). Permasalahan : Bagaimana pelaksanaan jual beli milik
adat dalam masyarakat Aceh Barat, Apa faktor penyebab jual beli tanah milik
adat dilakukan di hadapan PPAT dan tidak di daftarkan ke Kantor Pertanahan dan
Apa peranan pihak terkait dalam upaya memberikan pemahaman tentang
pentingnya kekuatan pembuktian jual beli tanah milik adat.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan mengapa gejala
spesifik terjadi atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan
menghadapkannya pada fakta – fakta yang dapat menunjuk kan ketidak
benarannya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir – butir
pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan ( problem ) yang
menajadi bahan perbandingan, pegangan teoritis,11
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir – butir pendapat, teori,tesis
mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan,
11
pegangan teoritis12
Kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan aliran teori hukum dari
kubu neo posivisme yang menyatakan Hukum itu cermin Rasionalitas dan Otoritas.
Salah satu penganut teori ini adalah Max Weber, dimana ia menggunakan ukuran
tingkat rasionalitas dan model kekuasaan untuk mengkonstruksi teorinya tentang
hukum. Dalam ranah rasionalitas teori Weber berbunyi : “ Tingkat rasionalitas sebuah
masyarakat akan menentukan warna hukum dalam masyarakat itu”. Disini Weber
membagi tiga tingkat rasionalitas yakni : (i) substansif rasionalitas, (ii) substansif
dengan sedikit kandungan rasional, (iii) rasional penuh.yang digunakan dalam
pennelitian ini adalah tingkat rasionalitas yang kedua yaitu substansif dengan sedikit
kandungan rasional, dimana pada tipe kedua ini dimiliki oleh masyarakat tradisi yang
bertopang pada adat dan kebiasaan tradisonal, dimana hukum mewajah dalam bentuk
informal rasional ( berupa aturan hukum yang serba informan).
. Teori diperlukan untuk menerangkan atau menjelaskan gejala
spesifik atau prose tertentu terjadi, kerenanya suatu teori haruslah diujui dengan
mengahadapkan pada fakta – fakta untuk menunjukkan kebenarannya.
13
Selain adanya teori aliran hukum neo positivism juga menuju adanya kepastian
hukum yang oleh Roscue Pound dikatakan bahwa adanya kepastian hukum
memungkinkan adanya “Predictability”.14
12
Ibid.,halaman 27
Dengan demikian kepastian hukum
13
Bernad L Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Penerbit Genta Publishing, Yogyakarta 2010,hal
14
mengandung dua pengertian , yang pertama adanya aturan yang bersifat umum
membuat individu mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan
dan kedua berupa pengamanan bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan yang bersifat umum individu dapat mengetahui apa saja yang
boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Sedangkan menurut
ajaran dogmatis tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin kepastian hukum,
yang diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang membuktikan suatu aturan
hukum semata – mata untuk kepastian hukum.
Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arah serta
menjelaskan gejala yang diamati, karenanya penelitian ini diarahkan pada ilmu
hukum neo positif yang berlaku yaitu tentang adanya hukum tanah adat dan transaksi
tanah yang berlaku dalam masyarakat adat.
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, karena
merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan
bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah terkadang tidak menguntungkan
dari segi ekonomis. Kecuali itu, adalah suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat
tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan, merupakan tempat di mana
para warga yang meninggal dunia dikuburkan; dan sesuai dengan kepercayaan
merupakan pula tempat tinggal para dewa-dewa pelindung dan tempat roh para leluhur
dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang sangat erat sekali; hubungan
yang bersumber pada pandangan yang bersifat religio-magis.
Pasal 5 UUPA yang menyatakan sebagai berikut :
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatunya dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama”. 15
Dari ketentuan Pasal 5 dapat dikatakan bahwa hukum adat yang merupakan dasar hukum
agraria itu haruslah hukum adat yang :
a. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa.
b. Tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia
c. Tidak bertentangan dengan UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya
d. Mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
Hak ulayat disebut juga sebagai hak purba (Djojodigeon), hak pertuanan (Soepomo)
yaitu hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum adat (sehingga sifatnya
merupakan hak bersama) untuk menguasai seluruh tanah beserta segala isinya dalam
15
lingkungan wilayah persekutuan tersebut yang merupakan hak atas tanah yang
tertinggi dalam hukum adat.16
Hukum tanah di Indonesia didasarkan pada Hukum Adat. Hal ini terdapat dalam
Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang berbunyi :
Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada Hukum Agama.17
Hak perseorangan atas tanah dibatasai oleh hak ulayat, sebagai seorang warga
persekutuan, maka tiap individu mempunyai hak untuk :18
1. Mengumpulkan hasil – hasil hutan
2. Memburu binatang liar
3. Mengambil hasil dari pohon – pohon yang tumbuh liar
4. Membuka tanah dan kemudian mengrjakan tanah itu
5. Mengusahakan tanah untuk diurus
16
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat suatu Pengantar, penerbit Bina Cipta Bandung . 1988, halaman.35
17
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Penerbit Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi 2004, Halaman 7
18
Jadi seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah untuk
mengerjakan tanah itu terus menerus dan menanam pohon itu di atas tanah itu,
sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu.
Dalam kehidupan sehari – hari sering dijumpai transaksi atas tanah seperti
adanya seseorang yang menjual tanahnya, menyewa tanahnya, mengadaikan tanahnya
ataupun perbuatan – perbuatan hukum lainnya yang berkaitan dengan tanah guna
mendapatkan kontraprestasi yang berupa uang. Di dalam hukuma adat transaksi tanah
itu juga sering dilakukan.
Untuk mengungkap problematika pada permasalahan, diajukan beberapa teori dan
konsep untuk menjelaskan suatu persoalan yang kita hadapi dalam masyarakat
Hukum Adat. Konsep dan teori yang berhubungan dengan pemindahan hak atas tanah
adat (ulayat) melalui jual lepas yang sering dilakukan masyarakat adat, pemindahan
hak tanah hak ulayat merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemilik
tanah dengan pelepasan adat kepada orang lain.
Menjual tanah adat berarti menyerahkan hak atas tanah adat dengan menerima ganti
rugi ( pago – pago ) tertentu berbentuk uang tunai, dalam istilah hukum adat, jual beli
dimaksudkan adalah jual lepas mutlak, jual lepas mutlakyaitu dengan
dijualnya/diserahkannya atas suatu bidang tanah, maka melepaskan pula segala hak
atas bidang tanah tersebut, sehingga perpindahan dari tangan penjual kepada pembeli
Dalam penyerahan bidang tanah tersebut, pada saat itu diterima secara langsung
pembayaran uangnya secara sekaligus tanpa dicicil.
Soepomo menyatakan bahwa: kata "jual" sebagai istilah hukum adat tidak sama
artinya dengan kata "Verkopen" sebagai istilah hukum barat. Verkopen adalah suatu
perbuatan hukum yang besifat obligatoir artinya verkoper berjanji dan wajib
mengoperkan barang yang diverkoop kepada pembeli dengan tidak dipersoalkan
apakah harga itu dibayar kontan atau tidak.19
Sehubungan perbuatan hukum jual beli tanah dengan pelepasan adat dikuatkan oleh
para saksi dapat dinyatakan sah menurut adat yang utama tidak menyimpang dari
ketentuan sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum lainnya, namun apabila
dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 26, perbuatan
hukum tersebut harus ditindaklanjuti dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan
PPAT, dengan demikian jual beli tersebut sah adanya.
Namun belum resmi sebagaimana diamanatkan UUPA. Berkaitan dengan hal tersebut
Boedi Harsono memberikan Pernyataan bahwa:
"Dalam hukum adat, "Jual beli tanah" bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut "perjanjian obligatoir". Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya, harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan. Dalam hukum adat tidak ada pengertian penyerahan yuridis sebagai pemenuhan kewajiban hukum penjual, karena apa yang disebut "jual beli tanah " itu
19
adalah penyerahan hak atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada saat yang sama membayar penuh kepada penjual harga yang telah disetujui bersama.20
Dalam suatu perbuatan hukum pemindahan hak terhadap tanah ulayat seyogyanya
harus mendasarkan diri pada peraturan yang lebih tinggi, agar adanya harmonisasi
pelaksanaan hukum di dalam masyarakat adat maupun masyarakat umum sehingga
tidak saling bertentangan.
Vant Kant mengatakan bahwa hukum bertujuan untuk menjaga kepentingan tiap – tiap manusia supaya kepentingan – kepentingan itu tidak diganggu. Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat.21 Untuk menjamin bahwa suatu jual beli itu sah, maka harus dilakukan secara terang, suatu perbuatan hukum jual beli dilakukan secara terang, jika dilaksanakan dengan sepengetahuan pimpinan persekutuan atau kepala desa yang sekaligus bertindak sebagai saksi dan menjamin sahnya perbuatan hukum jual beli tersebut.
Menurut Hilman Hadikusuma
”Bagi masyarakat adat dalam tata cara jual beli tanah, bukan unsur subjektif atau objektif tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada kesepakatan (bulat mufakat) tunai dan tidak tercela, yang dimaksud tidak tercela yaitu masyarakat lingkungannnya tidak ada yang mempersoalkan, tidak ada yang merasakan terjadinya perjanjian itu tidak baik. Sebaliknya walaupun perjanjian itu dibuat dihadapan Kepala Kampung jika masyarakat mempersoalkan, menganggap hal itu tidak baik, maka perjanjian itu sebenarnya tidak sah.22
Berdasarkan sistem dan tata cara jual beli menurut hukum adat dapat disimpulkan
bahwa syarta-syarat sahnya suatu perbuatan hukum jual beli tanah menurut hukum
adat yaitu adanya objek daripada jual beli berupa tanah dan uang/harga, adanya kata
20
Boedi Harsono, Op. Cit. halaman. 29
21
CST Kansil, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,2002, halaman 44 – 45.
22
sepakat para pihak (penjual dan pembeli) dan adanya saksi-saksi yang menyaksikan
perbuatan hukum jual beli itu
Mengenai pendaftaran terhadap tanah yang berasal dari tanah milik adat, Muhammad Yamin menyebutkan
”Khusus pendaftaran tanah yang berasal dari tanah hak milik adat maka pemohon mengajukan permohonan pengakuan hak/konversi dengan melampirkan tanda bukti haknya seperti yang dimaksud dalam UUPA, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun 1970 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
26/DDA/1996 kemudian oleh Kepala Pertanahan Kabupaten/Kotamdaya permohonan tersebut diumumkan selama 2 (dua) bulan berturut-turut di Kantor Kepala Desa dan Kantor Camat untuk memberikan kemungkinan pihak lain mengajukan keberatan-keberatan atas permohonan pendaftaran tersebut. Bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan telah lewat, maka permohonan pengukuran hak tersebut diteruskan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi untuk diterbitkan Surat
Keputusan pengakuan haknya”.23
Berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku, maka semua tanah yang
berada dalam Wilayah Rrpublik Indonesia harus terdaftar, dengan tujuan pokok
sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undang – Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria yaitu :
1. Meletakkan dasar – dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasioanl yang
akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan
keadilan bagi Negara dan rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan
makmur.
2. Meletakkan dasar – dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
hukum pertanahan.
23
3. Meletakkan dasar – dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak
– hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Masyarakat yang akan melakukan peralihan hak atas tanah karena jual lepas sangat
berpengaruh dalam proses pendaftaran Akta PPAT dan meminimalisir penyimpangan
Jual Lepas tanah Hak Ulayat dengan cara pendaftaran tanah di Kota Salak.
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
disebut dengan operational definition.24 Pentingnya definisi operasional adalah untuk
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu
istilah yang dipakai. 25
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus
didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil
penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
1. Tanah adalah Bagian permukaan bumi yangmerupakan suatu bidang yang
terbatas.26
24
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1997), halaman 10
25
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumetera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, halaman 35
26
2. Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang
mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah
tersebut.
3. Tanah Ulayat merupakan tanah wilayah masyarakat hukum adat tertentu
4. Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat
hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya
yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang
bersangkutan sepanjang masa (Lebensraum).27
5. Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus – menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi: pengumpulan,
pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang – bidang dan satuan –
satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang –
bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak – hak tertentu yang membebaninya.28
6. Kepala Adat menurut Soepomo adalah bapak masyarakat, dia mengetuai
persekutuan sebagai ketua sebagai keluarga besar, dia adalah pemimpin dalam
pergaulan persekutuan.29
27
Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jakarta : Djambatan, 2003 halaman. 185 - 186
28
Pasal 1 angka 1 PP No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 29
7. Jual Lepas merupakan suatu perbuatan pemindahan dan penyerahan suatu bidang
tanah beserta hak – haknya untuk selama – lamanya kepada pembeli dengan cara
yang konkrit.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Sifat Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan yuridis sosiologis, yaitu
suatu pendekatan yang meneliti data sekunder terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan
mengadakan penelitian data primer.
Pendekatan Penelitian dalam penulisan hukum ini bersifat deskriptif analitis yaitu
suatu penulisan yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala – gejala lainnya dan dilakukan analisi yang
dimaksudkan untuk menggambarkan peraturan pertanahan yang berlaku.30
2. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan perkembangan Pak – Pak Bharat yang terpusat di Desa Salak 1
dan Desa Salak 2, maka yang menjadi lokasi penelitian ini terletak di Kecamatan
Salak Kabupaten Pak – Pak Bharat Propinsi Sumatera Utara.
H. Sumber Data
30
Untuk memperoleh data yang akurat dan objektif, maka dalam penelitian ini
dilakukan dua cara pengumpulan data, yaitu data primer dan data sekunder. Data
tersebut dapat diperoleh melalui:
1. Data Primer
Data primer ini diperoleh dengan cara mengadakan penelitian lapangan dengan
mengadakan wawancara. yaitu cara untuk memperoleh informasi dengan cara
bertanya secara langsung kepada responden yang telah ditetapkan sebelumnya. Tipe
wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara
yang dilakukan dengan tidak dibatasi oleh waktu dan daftar urutan pertanyaan, tetapi
tetap berpegang pada pokok penting permasalahan yang sesuai dengan tujuan
wawancara. Wawancara tidak terstruktur ini dimaksudkan agar memperoleh jawaban
spontan dan gambaran yang lugas tentang masalah yang diteliti. Sifat wawancara
yang dilakukan adalah wawancara terbuka, artinya wawancara yang subjeknya
mengetahui bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui maksud dan tujuan
wawancara tersebut. Narasumber tersebut dipilih dari berbagai instansi dengan
pertimbangan bahwa data yang diperoleh akan bersifat objektif dan tidak memihak.
Hasil wawancara, baik dari pihak Pemerintah, masyarakat hukum adat maupun
praktisi diharapkan akan membedakan uraian fakta dan data mengenai Kebijakan
Negara dalam pelaksanaan jual beli Tanah Hak Ulayat dengan pelepasan adat dan
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Pak – Pak Bharat yang telah
melakukan jual lepas tanah pada kurun waktu 2009 – 2011. Sampel diambil 10% dari
populasi, diperkirakan ada 10 orang dari total 5 desa yang terdapat di Kecamatan
Salak masing – masing 2 kepala keluarga dari setiap desa.
Untuk melengkapi data penelitian yang telah diambil dari wawancara masyarakat,
juga dilakukan wawancara dengan para narasumber yaitu:
1. Tokoh Adat 2 orang
2. Badan Pertanahan Nasional 1 orang
3. Kepala Desa 1 orang
4. Camat 1 orang
2. Data Sekunder
1. Bahan hukum sekunder, yaitu buku, makalah, dan artikel dari internet yang
berkaitan dengan penelitian; Bahan hukum sekunder diperoleh melalui
buku-buku yang berkaitan dengan judul tulisan, artikel, makalah, dan artikel yang
diperoleh melalui internet.
2. Bahan hukum tertier, yaitu kamus hukum, eksiklopedia dan kamus bahasa.
I. Pengumpulan Data.
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta
dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh
a. Studi Lapangan dilakukan dengan pedoman wawancara kepada para pihak yang
dianggap sangat berkompeten dalam bidang pertanahan dan berwenang untuk
memberikan penjelasan berkaitan dengan materi yang menajadi objek penelitian
anatara lain instansi – instansi terkait dengan masalah tanah adat seperti Kantor
Badan Pertanahan Kabupaten Pak – Pak Bharat, Lembaga Adat serta masyarakat
adat itu sendiri.
b. Studi kepustakaan ( library research ) yaitu pengumpulan data dengan melakukan
penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer.
J. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurut data ke dalam pola,
kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.31
Data yang dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan
selanjutnya dianalisis secara kualitatif, yaitu metode analisi yang mengelompokkan
dan menyeleksi data yang diperoleh dari lapangan menurut kualitas dan
kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori – teori yang diperoleh dari
kepustakaan, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.
31
Kemudian berdasarkan analisa tersebut ditarik kesimpulan dengan menggunakan
BAB II
SYARAT – SYARAT JUAL LEPAS TANAH ADAT DI PAK – PAK BHARAT
A. Profil Singkat Kabupaten Pak–Pak Bharat Dan Masyarakat Pak-Pak 1. Kondisi Wilayah Pak – Pak Bharat
Kabupaten Pak-Pak Bharat sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Dairi
terletak di Pantai Barat Sumatera yaitu 2, 00 – 3,00 LU 96,00 – 98,30 BT dan berada
pad ketinggian 250 – 1400 m diatas permukaan laut. Kabupaten Pak – Pak Bharat
juga memiliki batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Kecamatan Silima Punggapungga, Lae Parira, Sidikalang
Kabupaten Dairi.
2. Sebelah Selatan : Kecamatan Tara Bintang, Kabupaten Humbang Hasundutan
dan Kecamatan Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah.
3. Sebelah Timur : Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi dan Kecamatan
Harian Kabupaten Tobasa.
4. Sebelah Barat : Kabupaten Aceh Singkil Propinsi Nangroe Aceh Darrusalam.
Sebenarnya Pak-Pak Bharat bukan wilayah baru, Kabupaten yang mengambil
3 (tiga) Kecamatan dari Dairi mengambil nama sub wilayah suku Pak – Pak.
Kabupaten Pak – Pak Bharat secara administratif memiliki 8 (delapan)
Kecamatan yakni Kecamatan Salak, Kecamatan Kerajaan, KecamataSitellu n Tali
Urang Jehe, Kecamatan Tinada, Kecamatan Siempat Rube, Kecamatan Sitellu Tali
wilayah Kabupaten 1.218,30 KM2 ( 121.830 Ha) atau 1,76 % dari luas Propinsi
Sumatera Utara. Dari luas wilayah tersebut 63.974 Ha diantaranya merupakan lahan
yang efektif dan 53.156 Ha merupakan lahan yang belum dioptimalkan, yang
beriklim sedang, dengan rata – rata suhu 280
Penduduk Kabupaten Pak-Pak Bharat berjumlah 36.972 jiwa yang terdiri dari 18.216
jiwa laki – laki dan 18.756 jiwa perempuan
C dengan curah hujan per tahun sebesar
311 MM.
32
Sebagai Kabupaten yang sedang berkembang banyak pembangunan yang terjadi di
daerah Pak – Pak Bharat hal ini sangat terlihat di ibukota Kabupatennya yaitu Kota
Salak, dan kebutuhan akan tanah di kota itu sangatlah tinggi oleh karena banyak dari
pegawai pemerintahan kabupaten tersebut berasal dari luar daerah Pak – Pak dan
kebanyak dari mereka berdomisili di Kota Salak, selain faktor itu juga banyak dari
pihak luar yang datang ke daerah itu untuk berusaha dan membangun sarana
prasarana yang membantu perkembangan daerah itu misalnya pembagunan
perkantoran, hotel,dan sebagainya oleh karena pembangunan ini lah praktek jual
lepas (pelepasan hak) banyak terjadi di Kota Salak yaitu mencakup desa Salak 1 dan
desa Salak 2 menurut keterangan dari Kepala Desa Salak 2 sejak tahun 2009 – 2011 . Pada umumnya mereka tinggal di
daerah pedesaan dan pencaharian utamanya adalah dengan bertani, dan merupakan
Kabupaten yang memiliki penduduk paling sedikit dari seluruh Kabupaten/ kota di
Propinsi Sumatera Utara.
3232
sudah terjadi 73 kasus jual lepas ( pelepasan hak ) sedangkan di desa Salak 1 ada 60
kasus jual lepas ( pelepasan hak )33
Kota Salak yang terdapat di Kecamatan Salak merupakan Ibukota Kabupaten
yang terdiri dari 5 (lima) desa yaitu Desa Salak 1 (satu), Desa Salak 2 (dua),
Boangmanalu Salak, Penangalan binangaboang dan Kuta Tinggi. Dari ke 5 (lima)
desa ini Desa Salak 1 (satu) dan Salak 2 (dua) yang paling banyak melakukan praktek
Jual Lepas atau dalam pelaksanaannya di daerah ini lebih sering disebut dengan
Pelepasan Hak.
sedangkan di tiga desa lain yang ada di
Kecamatan Salak jarang sekali dilakukan praktek jual lepas tanah ini dikarenakan
jaraknya yang jauh dari pusat kota Salak dan susahnya transportasi sehingga tidak
banyak yang berminat. Oleh karena itu untuk sampel penelitian ini hanya dilakukan
di ke-2 (dua) desa yaitu Desa Salak 1 dan Desa Salak 2 yang terdapat di Kecamatan
Salak .
34
a. Desa Salak 1 (satu)
Sebab di kedua desa inilah pembangunan sangat pesat terjadi dan
juga merupakan jantung Kota Salak. Adapun luas wilayah kota ini seluas 730 ha (
tujuh ratus tiga puluh hektar) kepadatan penduduk yang terdiri dari laki – laki 3.571
orang dan perempuan 3.640 orang. Desa Salak 1 (satu) dan Desa Salak 2 (dua)
masing – masing memiliki 5 (lima) dusun yaitu:
- Dusun Pasar
33
Wawancara Kepala Desa Salak 2 E.Padang (24 Juli 2011)
34
- Dusun Pelnas
- Dusun Permangu
- Dusun Lae cilum
- Dusun Gunung Meriah
b. Desa Salak 2 (dua)
- Dusun 1 Pasar Salak
- Dusun 2 Barisan
- Dusun 3 Napa Sengkut
- Dusun 4 Persabahen
- Dusun 5 Kuta Kettang
Walaupun di Pak – Pak Bharat pada saat ini sedang melaksanakan pembangunan
tetapi pembangunannya belum begitu merata dapat dilihat pembangunan hanya
terpusat di Kota Salak, sehingga banyak tanah yang belum dimanfaatkan secara
maksimal, masih banyak tanah yang ditumbuhi belukar dan bergunung terjal yang
merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat Pak – Pak.
2. Keadaan Masyarakat Hukum Adat Pakpak
Suku Pakpak terdiri atas 5 (lima) suak yaitu simsim, keppas,pegagan, boang
dan kelasen. Dibawah suak terdapat kuta (kampung) yang dipimpin oleh Pertaki atau
kappung (kepala kampung). Pada umumnya Pertaki atau kappung (kepala kampung)
juga merupakan raja adat sekaligus sebagai panutan di kampungnya, disamping itu
berkaitan dengan pengolaha kuta (kampung), penegakan hukum, ketertiban dan
disiplin. Disetiap kuta ada Sulang Silima sebagai pembantu Pertaki yang terdiri dari
perisang – isang, perekur –ekur, pertulang tengah, perpunya ndiadep dan
perbetekken (anak paling besar,anak tengah, anak paling kecil, anak perempuan dan
teman satu marga)
Meski struktur pemerintahan yang seperti ini sudah tidak dipakai lagi karena
dianggap tidak relevan karena pengaturan daerah termasuk desa – desa di seluruh
Indonesia diatur secara nasional melalui perundang – undangan, Undang - Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintaha Daerah yang sudah mengatur secara tegas
mengenai desa, keluruhan, dusun dan lingkungan dan semuanya tidak berdasarkan
hukum adat Pakpak, tetapi masih tetap dipertahankan sebagai sumber hukum adat
budaya Pakpak.
Secara tradisional wilayah komunitasnya disebut tanah Pakpak, hampir 90%
(Sembilan puluh persen) penduduk di wilayah Pak-Pak Bharat beretnis Pakpak maka
penduduknya bisa dikategorikan homogen Walaupun tanah Pakpak itu terpisah secara
administratif, tetapi secara geografi tidak terpisah satu sama lain karena berbatasan
langsung walaupun hanya bagian – bagian kecil dari wilayah kabupaten tertentu,
kecuali Kabupaten Pak-Pak Bharat menjadi sentra utama masyarakat suku Pak-Pak.
Kesatuan komunitas terkecil yang umum dikenal hingga saat ini disebut
Lebbuh dan Kuta. Lebuh merupakan bagian dari Kuta yang dihuni oleh klan kecil
sementara kuta adalah gabungan dari lebbuh – lebbuh yang dihuni oleh suatu klen
Jadi setiap Lebbuh dan Kuta dimiliki oleh klen atau marga tertentu dan
dianggap sebagai penduduk asli, sementara marga tentu dikategorikan sebagai
pendatang. Selain itu orang Pakpak menganut prinsip Patrilineal dalam
memperthitungkan garis keturunan dan pembentukan klen (kelompok
kekerabatannya) yang disebut marga.
Marga – marga yang ada dalam suku Pakpak diklasifikasikan menjadi 5
(lima) bagian besar yakni Pakpak Simsim, Pakpak Boang, Pakpak Keppas, Pakpak
Pegagan, dan Pakpak Kelasen., masing – masing sub ini dibedakan berdasarkan hak
ulayat marga.
Marga – marga Pakpak yang termasuk Pakpak Simsim misalnya : marga
Berutu, Tinadang, Padang, Bancin, Manik, Sitakar, Kebeaken, Lembeng, dan Cibro,
Boangmanalu, Padang Batanghari, Solin, Tendang dan Banurea. Marga Pak-Pak
Keppas misalnya : marga Ujung, Angkat Bintang, Capah, Kudadiri, Brampu, dan
Maha, Sinamo, Pardosi. Marga Pakpak Kelasen misalnya : marga Tumangger,
Tinambunen, Kesogihen, Meka, Maharaja, Gajah Brasa, Sikettang dan Mungkur .
Marga Pak-Pak yang termasuk Pakpak Boang misalnya : Saraan dan Sambo Marga
Pakpak yang termasuk Pakpak Pegagan misalnya : marga Lingga, Mataniari dan
Manik.35
Kota Salak yang dulunya pada saat masih menjadi bagian dari Kabupaten
Dairi hanyalah sebuah desa kecil yang mana tanahnya merupakan hak ulayat dari Masing – masing sub marga ini dibedakan berdasarkan hak ulayat marganya
dan identitasnya adalah marga yang dimilikinya.
35
marga Banurea, setelah Pak – Pak Bharat memisahkan diri dan menjadi Kabupaten
Desa Salak ini lah yang sangat mempunyai potensi sebagai Ibukota. Kota Salak
sekarang bukan lagi seperti pada saat menjadi sebuah desa luas wilahnya pun
bertambah yang dulunya hanya dimiliki oleh tanah ulayat marga Banurea tetapi juga
ada tanah ulayat marga Boangmanalu dan Bancin walaupun begitu 80 (delapan
puluh) % dari luas Kota Salak sekarang adalah tanah marga Banurea dan berada di
Desa Salak 1 (satu) dan Desa Salak 2 (dua), oleh karena itu praktek Jual Lepas atau
Penyerahan Hak sangat banyak dilakukan di Desa Salak 1 dan Salak 2 yang tanahnya
dimiliki oleh marga Banurea dikarenakan di tanah ulayat marga Banurea inilah terjadi
banyak pembangunan.
Marga Banurea sendiri terdiri dari 8 (delapan) bagian yaitu :
1. Banurea Mabar
2. Banurea Kutagugung
3. Banurea Perira
4. Banurea Kutakettang
5. Banurea Kutarimbaru
6. Banurea Boangjati
7. Banurea Telangke
8. Banurea Lebuh tendang36
36
Masing masing marga ini memiliki Lebbuh (perkampungan) nya sendiri dan
bebas untuk menggunakan dan mengusahakan setiap tanah yang ada di seluruh
wilayah kekuasaan marga Banurea yang mana setiap Lebbuh (perkampungan)
dipimpin oleh Pertaki atau kappung ( kepala kampung). Walaupun ada sub bagiannya
tetapi diatasnya itu juga ada satu Pertaki atau Kappung yang dipilih dari sub
marganya untuk menjadi pemimpin marga itu secara kesatuan.
Jadi dapat dilihat bahwa seluruh suku Pakpak di Kabupaten Pak – Pak Bharat
adalah anggota masyarakat hukum adat yang mempunyai kekayaan, wilayah sendiri
yang dipimpin oleh Pertaki atau Kappung ( Kepala Kampung) dan memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam Persekutuan Hukum Adat.
Bushar Muhammad menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat yang bersifat territorial adalah : Masyarakat yang disusun berdasarkan lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu dan oleh sebab itu merasa bersama – sama merupakan kesatuan dalam hubungan kekerabatan karena adanya ikatan para mereka masing – masing dengan tanah tempat tinggal mereka. Landasan – landasan yang akan mempersatukan para anggota masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat territorial adalah ikatan orang dengan anggota masyarakat masing – masing dengan tanah yang didiaminya, sejak kelahirannya.37
Masyarakat hukum adat Pakpak mempunyai hubungan kekerabatan dengan
adanya keterikatan dengan tanah tempat tinggal sejak kelahirannya bersama – sama
membentuk suatu kesatuan atas lingkungan daerah tersebut, sehingga dapat dikatakan
bahwa masyarakat hukum adat Pakpak sebagai masyarakat hukum adat bersifat
37