• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola hubungan islam dan negara dalam pemikiran jaringan islam liberal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola hubungan islam dan negara dalam pemikiran jaringan islam liberal"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Pemikiran Politik Islam

Untuk Memenuhi Syarat Pencapaian Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh: Ihsan Maulana NIM: 104033201092

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Pemikiran Politik Islam

Untuk Memenuhi Syarat Pencapaian Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh: Ihsan Maulana NIM: 104033201092

Di Bawah Bimbingan

M. Zaki Mubarak. M. Si NIP: 197309272005011008

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul ”POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 November 2009. Skripsi telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada program Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 20 November 2009

Panitia Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota Sekertaris Merangkap Anggota

Dr. Hendro Prasetyo, MA Joharatul Jamilah, S. Ag, M. Si NIP: 196407191990031001 NIP: 196808161997032002

Anggota,

Penguji I Penguji II

Dr. Sirojuddin Aly, MA Dr. Nawiruddin, M. Ag NIP: 195406052001121001 NIP: 197201052001121003

Pembimbing

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 September 2009

Ihsan Maulana

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Allah Swt, yang telah melimpahkan berbagai nikmat dan karunia, dialah yang Maha Esa lagi Maha Kuasa. Dengan rahmat, inayah dan ridhanya juga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw, keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan baik dalam pengetahuan maupun dalam teknik penulisan, oleh karena itu dengan rendah hati dan lapang dada penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun bagi semua pihak. Akhir kata penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besaranya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Pertama-tama rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag, Selaku Sekertaris Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(6)

Terima kasih dari hati yang paling dalam kepada mereka yang sangat berjasa memberikan sumbangan moral maupun material yang terhingga nilainnya, yang begitu sabar dalam penantian, yaitu kedua orang tua penulis, (Alm) Bapak H. Muhammad Ali dan Ibu Hj. Marpuah, keduanya ikut terlibat langsung jatuh bangun dalam kehidupan penulis. Kakak-kakak dan abang-abang tercinta juga patut mendapat ucapan terima kasih. Mereka antara lain, (almh) Hj. Rokibah, S. Ag, Ahmad, Marwajih, Mardan, Rosyadah, Ismail, Muhammad Taufiq, S. Si, Siti Marliah, S. Ag, Siti Nazullah, Amd, S. Pd I, serta Sahruddin, SHI. (eka elrun ono) karena doa dan pengertian mereka, untuk mereka semua penulis persembahkan karya ini. Atra esterni ono thelduin.

Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Burhanuddin Muhtadi dan Abdul Hakim, yang telah membantu penulis dalam meminjamkan beberapa buku, majalah, serta koran yang penulis sangat perlukan, ucapan terima kasih pula penulis sampaikan atas wawancaranya secara langsung, sehingga penulis menemukan pemikiran Islam yang sangat signifikan.

(7)

Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam sebuah karya ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, serta mampu mengisi wawasan khazanah Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 28 Desember 2009

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian... 11

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG ISLAM DAN NEGARA A. Tiga Pendekatan Islam dan Negara... 13

1. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik... 15

2. Paradigma Islam Substantif ... 20

3. Paradigma Islam Sekularistik... 22

B. Islam dan Pluralisme ... 31

C. Hak Asasi Manusia ... 36

D. Formalisasi Syariat Islam ... 41

BAB III SEPUTAR JARINGAN ISLAM LIBERAL A. Latar Belakang Berdirinya JIL... 52

B. Visi, Misi dan Tujuan JIL ... 58

(9)

BAB IV TELAAH TERHADAP ISU WACANA PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL

A. Islam dan Sekularisme ( Negara Islam)... 66 B. Islam Pluralisme dan HAM (Negara Plural)... 71 C. Penerapan Syariat Islam di Indonesia... 79 BAB V PENUTUP

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wacana tentang agama dan negara, seolah tidak akan pernah ada habisnya. Dua institusi ini sangat penting bagi masyarakat, khususnya bagi yang berada dalam wilayah keduanya. Agama sebagai sumber etika moral mempunyai kedudukan yang sangat jelas karena berkaitan erat dengan prilaku seseorang dalam interaksi sosial kehidupannya dan agama dijadikan sebagai alat ukur atau pembenaran dalam setiap langkah kehidupan, baik terhadap sesama maupun dengan sumber agama tersebut.

Sedangkan negara merupakan sebuah bangunan yang mencakup seluruh aturan mengenai tata kemasyarakatan yang mempunyai wewenang dalam memaksakan setiap aturan yang dibuatnya kepada masyarakat. Di sini, bisa saja aturan yang dibuat oleh negara sejalan dengan apa yang menjadi sumber acuan masyarakat (agama), tetapi bisa juga berlawanan atau tidak sejalan dengan agama, tergantung bagaimana sistem yang dianut oleh seluruh negara tersebut, yang kemudian menimbulkan benturan-benturan antara agama dan negara.

(11)

sangat besar tentang dimana posisi agama dalam negara. Bermacam argumentasi telah muncul dalam rangka menjawab persoalan dan perdebatan ini.

Banyak upaya yang telah dilakukan para intelektual muslim dalam rangka pencarian konsep tentang relasi agama dan negara pada dasarnya mengandung dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan. ”Bagaimana bentuk negara Islam?”. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu mengenai negara.

Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara (menekankan aspek praktis dan substansial), yakni mencoba menjawab pertanyaan. ”Bagaimana isi negara menurut Islam?”. pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar tentang etika dan moral.

Sebagimana Munawir Sjadzali mengatakan bahwa persoalan ini banyak di perbincangkan oleh beberapa kalangan. Pertama, mereka yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, kalangan ini mengacu kepada sistem politik Islam yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan Empat Sahabatnya.

(12)

hanya mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dan berbudi pekerti baik. Nabi Muhammad menurut kalangan ini tidak pernah mendirikan dan menjadi kepala negara.

Ketiga, mereka menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap yang di dalamnya mengatur sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya, sebagaimana pengertian Barat. Menurut mereka Islam merupakan ajaran totalitas, tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja, karena itu menurut mereka, dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan dalam artian teori yang lengkap, namun disana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.1

Perdebatan mengenai hubungan Islam dan negara telah melahirkan tiga kelompok besar dalam kalangan peneliti.2 Pertama, dengan tegas menolak adanya hubungan antara agama dan negara dalam hal ini adalah Islam, kelompok ini beranggapan bahwa agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda dan bertolak belakang. Agama sama sekali tidak membicarakan persoalan negara dengan jelas, kelompok ini disebut dengan kelompok sekuler. Kedua, mereka yang mengasumsi bahwa agama dan negara mempunyai ikatan erat yang tidak dapat dipisahkan. Kelompok ini sering disebut kelompok formalis. Ketiga, mereka yang mengambil jalan tengah yang mencoba mencari titik temu antara kedua kelompok tersebut.

Terlepas dari kelompok-kelompok tersebut apakah dalam Islam sekaligus dalam kitab suci Al-quran di perintah dan di tuntut untuk mendirikan negara atau

1

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-PRESS, 1993), h. 1-2.

2

(13)

tidak, kenyataannya banyak kalangan Islam politik (yang me\nginginkan penyatuan antara agama dan negara) membutuhkan sebuah sistem kenegaraan yang Islami, karena bagaimanapun, untuk mengamankan suatu kebijaksanaan diperlukan suatu kekuatan (institusi politik). Untuk menegakkan keadilan dan menjaga perdamaian, diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu organisasi politik atau negara.3

Banyak faktor yang membuat kalangan yang menolak Islam sebagai negara atau tidak menyukai Islam disatukan dengan negara dengan berbagai banyak alasan, faktor tersebut lebih kepada bahwa Islam belum dapat diterima oleh kalangan masyarakat secara utuh, masih adanya ketakutan dengan Islam jika mempunyai keterkaitan dengan negara dengan jargon syariat Islam yang banyak kalangan mengatakan tidak ideal diterapkan dalam konteks negara Indonesia dan lain sebagainya.

Di lain pihak banyak kalangan yang sepakat dengan penyatuan antara Islam dan negara, paling tidak Islam harus mempunyai andil dalam negara. Beragam potret aliran maupun mazhab baik dalam soal fikih, tasawuf, ilmu kalam maupun cabang ilmu Islam lainnya, merupakan bukti bahwa Islam tidaklah monolitis.4

Penafsiran dua istilah tersebut akan terus menerus menjadi persoalan dan perdebatan antara kalangan yang setuju dan yang tidak setuju secara tegas bahwa Islam terlepas dari negara. Dalam penafsiran antara Islam dan negara, sebagaimana yang penulis katakan tadi adalah kalangan yang setuju bahwa Islam tidak dipisahkan dengan konteks negara. Penafsiran yang lain mengatakan Islam dan negara merupakan dua entitas yang terpisah dan harus dipisahkan. Sedangkan pandangan yang paling moderat pun juga ada, pandangan moderat menegaskan, meski Islam dan negara merupakan persoalan yang berbeda namun kedunya

3

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1981), h. 8-9.

4

(14)

mempunyai kaitan yang sifatnya substansial yang akan selalu ada.5 Perbedaan disini akan selalu ada dalam menafsirkan segala sesuatu dan mewarnai dunia keislaman.

Para pemikir politik Islam sepakat bahwa hubungan antara Islam dan politik dalam makna negara, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Dari aspek manapun, definisi politik selalu di postulasikan terkait dengan Islam. Ada dua dimensi dalam hubungan Islam dengan negara, yaitu dimensi the art of government (seni dalam memerintah) dan dimensi struggle for power (perjuangan untuk meraih kekuasaan). Jika politik didefinisikan dalam konteks the art of government, menurut Abdul Rasyid Moten, sudah dapat diketahui adanya hubungan antara Islam dan negara, bahkan negara tidak dapat dilepaskan dari Islam dalam formulasi Al-Quran, hal ini masuk kedalam lingkup amar ma’ruf nahyi munkar (memerintahkan yang baik dan mencegah yang munkar). Dalam formulasi sosiologis berarti adanya keharusan bagi setiap umat Islam, dengan berpedoman kepada nilai-nilai keislaman, berpartisipasi dalam mengoreksi jalannya pemerintahan.6 Begitu juga jika politik di definisikan sebagai struggle for power, maka tak ada kontradiksi antara Islam dan negara.7 Sebagaimana diketahui, titik akhir dari struggle for power adalah formasi kekuasaan politik.

Para pemikir Islam kontemporer, terutama Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Qutb dan al-Maududi, telah bayak mengemukakan pandangannya bahwa Islam adalah suatu agama yang tidak mengurusi masalah agama semata, Islam sekaligus mengurusi masalah kenegaraan. Dalam arti lain, bahwa negara merupakan wacana keagamaan yang berimplikasi kepada suatu keterkaitan antara kedunya.

5

Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, h.6.

6

Abdul Rasyid Moten, Political Science an Islamic Perspective (London: Macmalian Press, 1996), h. 20.

7

(15)

Kalau dalam konteks politik Indonesia sebenarnya perdebatan sekaligus pergulatan hubungan antara Islam dan negara sudah berlangsung. Dalam proses awal pembentukan sebuah negara, ketika itu persoalan yang paling krusial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah menyepakati bentuk dasar sebuah negara. Dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) permasalahan pokok yang dibahas ketika itu antara lain persoalan bentuk negara, ini juga menyangkut masalah hubungan agama dengan negara.

Dari kelompok pembela dasar Islam, juru bicara terkemuka adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH. Ahmad Sanusi, Kahar Muzakkar, Muhammad Natsir dan KH. A. Wachid Hasyim. Dalam kelompok ini pihak Islam bersatu menghadapi pihak nasionalis. Gagasan tentang suatu bentuk negara berdasarkan Islam telah muncul kepermukaan, sejak Indonesia masih di bawah kekuasaan Jepang.8

Kemudian pergolakan ini berlanjut ketika umat Muslim berusaha memformalisasikan Islam dalam konteks negara Islam sebagai dasar agama tentu tidak dapat diterima oleh kalangan nasionalis sekuler. Demikian pula dengan kelompok Islam politik tetap gigih untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Perdebatan Soekarno dengan Muhammad Natsir tentang hubungan agama (Islam) dengan negara terekam dalam panji Islam9, perdebatan ini akan terus menerus tidak ada habisnya.

Perdebatan yang sama terjadi dalam sidang konstituante di Bandung pada tahun 1956-1959. Voting yang dilakukan majelis, yang bertugas membuat UUD baru. Ini tidak dapat menetapkan dasar negara antara pilihan pancasila dan Islam. Saat itu terjadi perdebatan antara pancasila dan Islam. Partai-partai Islam seperti Masyumi dan NU memperjuangkan negara demokrasi berdasarkan Islam. Dan

8

Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002), h. viii

9

(16)

partai nasionalis seperti PNI dan Partai Komunis bersatu mempertahankan pancasila sebagai dasar negara.10

Perdebatan ini kembali mewarnai politik Indonesia, ketika Soeharto berkuasa bagaimana ketika itu partai Islam yang mengusung Islam sebagai dasar negara tidak diberikan ruang gerak yang signifikan. Soeharto tidak mau membiarkan partai Islam memimpin Indonesia dengan alasan mencoba mendirikan negara Islam dan jargon Syariat Islam. Lengsernya Soeharto masih saja perdebatan ini dibahas, perdebatan yang terjadi tidak banyak bergeser dari apa yang diperdebatkan Soekarno dan Natsir, jadi tidak memuat persoalan-persoalan baru.

Piagam Jakarta adalah salah satu perdebatan yang menarik pada masa reformasi, banyak ketika itu partai Islam mencoba mengangkat kembali piagam Jakarta yang semula juga pernah diperdebatkan, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan PBB (Partai Bulan Bintang), kedua partai ini mencoba mengangkat tema yang sudah lama dibahas, kedua partai ini mencoba mempermasalahkan kembali persoalan-persoalan yang menyangkut masalah agama dan negara, mereka mencoba menjadikan syariat Islam sebagai salah satu hukum negara.

Usulan itu berawal dari keinginan F-PPP dan F-PBB dalam rapat panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR yang bertugas menyiapkan amandemen pasal-pasal UUD 1945 untuk sidang tahunan MPR tahun 2000. Sidang tersebut mencuat persoalan piagam Jakarta dan syariat Islam di Indonesia, catatan atas kontroversi amandemen pasal 29 UUD 1945. Ketegangan itu berakhir ketika MPR memutuskan untuk menunda pembahasan beberapa pasal sensitif dalam rangka amandemen. Alasan penundaan ini secara formal adalah keterbatasan waktu sidang. Tetapi ini

10

(17)

sebenarnya menunjukkan bahwa masalah itu memang bukan permaslahan yang mudah bagi perumusan bangunan negara Indonesia.

Pada konteks kekinian muncul HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang mencoba mengangkat persoalan-persoalan klasik, yang tidak jauh seputar hubungan Islam dan negara mereka mencoba memperjuangkan bentuk Khilafah Internasional. Ini adalah bagian dari kalangan kelompok yang memaknai keterkaitan hubungan Islam dan negara, disamping banyak juga yang menolak argumentasi tersebut.

Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan suatu jaringan yang membahas tentang masalah-masalah keislaman. Keterkaitan agama (Islam) dan negara salah satu topik pembahasan yang akan tidak henti-hentinya diperdebatkan, baik dari kalangan yang pro dan yang kontra.

Mengenai pembahasan Islam dan negara, JIL menjelaskan bahwa kalau umat Islam mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa sebuah pemahaman yang benar, evaluatif, kritis dan rasional akan menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama politik semata dalam konteks negara. Bahkan, porsi politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil, itupun berkaitan dengan kepentingan banyak orang yang berarti kepentingan rakyat kecil (lower class in the society), bukan pada tatanan model-model politik. Oleh karena itu negara (politik) dan agama (Islam) suatu yang terpisah. Dan, sesungguhnya pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar negara.11

Sebagian orang percaya bahwa politik dalam makna negara merupakan bagian dari agama. Karena itu, ia harus diatur sesuai dengan ajaran agama.

11

(18)

Sementara sebagian lagi percaya bahwa politik merupakan urusan duniawi dan tidak ada hubungannya dengan agama. Ini adalah masyarakat yang sudah terdoktrinasi dengan istilah “Islam adalah agama sekaligus negara”.12 Dengan demikian sering kali menimbulkan dilema termasuk dalam munculnya berbagai pemikiran dan pemahaman tentang Islam yang tidak saja berbeda, namun bertolak belakang bahkan berbenturan.

Jaringan Islam Liberal (JIL) turut berbicara dan meramaikan perdebatan antara Islam dan negara. Banyak artikel, buku dan jurnal yang telah di terbitkan sebagai bagian dari kepedulian dan kontribusi dalam mencari jalan keluar dalam persoalan perdebatan yang sangat lama. Dengan demikian berbagai penjelasan baik yang setuju dan tidak setuju diatas mengantarkan saya untuk mengetahui dan mengetengahkan pokok-pokok persoalan yang cukup signifikan, sejauh mana pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL) mewarnai persoalan antara Islam dan negara.

Pandangan yang sangat kritis inilah yang menarik perhatian penulis untuk memahami lebih lanjut hubungan Islam dan negara menurut JIL. Disamping itu, penulis juga akan mencoba mencari letak argumentasi JIL tentang hubungan Islam dan negara. Untuk itu, penulis tertarik untuk mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: Pola Hubungan Islam dan Negara dalam Pemikiran Jaringan Islam Liberal.

12

(19)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam proposal skripsi ini dibatasi pada pembahasan sekitar hubungan Islam dan negara menurut Jaringan Islam Liberal (JIL) serta isu wacana global pemikiran JIL

Dengan pembatasan masalah seperti ini, maka yang akan penulis permasalahkan pada penulisan ini adalah bagaimana pola hubungan Islam dan negara dalam pemikiran Jaringan Islam Liberal dan isu wacana global pemikiran JIL

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara jelas rumusan ideal menurut JIL soal hubungan Islam dan negara. Serta melakukan analisis kritis terhadapnya. Sementara tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan secara rinci pemikiran JIL tentang hubungan Islam dan negara.

2. Untuk mengetahui wacana-wacana yang selama ini JIL serbarkan gagasan-gagasannya ke publik.

3. Untuk mengetahui konsep yang ideal tentang hubungan Islam dan negara.

(20)

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan menelaah buku-buku, majalah, artikel-artikel dan juga jelajah dunia maya (internet) yang penulis anggap relevan dengan pokok permaslahan.

Sebagai data pendukung dan pelengkap skripsi, penulis juga akan melakukan wawancara lansung atau tidak langsung dengan aktivis JIL. Dari wawancara ini diharapkan mampu menemukan pemikiran kritis JIL terkait dengan hubungan Islam dan negara.

Tentu saja, pengumpulan data, pembahasan masalah dan penulisan dalam skripsi ini di sesuaikan dengan standar penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) yang di terbitkan Center for Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang akan di uraikan secara ringkas, dari masing-masing bab sebagi berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan, yang memuat tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.

(21)

Bab ketiga, akan dibahas singkat tentang Jaringan Islam Liberal (JIL), Latar Belakang Berdirinya JIL, Visi, Misi, Tujuan Berdirinya JIL serta Perkembangan dan Program JIL.

Bab keempat, membahas tentang isu wacana pemikiran Jaringan Islam Liberal (JIL), yang di dalamnya terdapat penjelasan mengenai Islam dan Sekularisme, Islam Pluralisme dan HAM serta Penerapan Syariat Islam di Indonesia.

(22)

BAB II

BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG ISLAM DAN NEGARA

A. Tiga Pendekatan Hubungan Islam dan Negara

Perdebatan mengenai hubungan negara dan agama telah menjadi persoalan yang cukup krusial, apakah negara bagian dari agama ataukah sebaliknya. Pertanyaan adalah, apakah negara ada hubungannya dengan agama dalam konteks Islam. Wacana atau istilah relasi antara Islam (Agama) dan negara tentu mewarnai perdebatan fiqh siyasah (fiqih politik) dalam Islam. Peristiwa ini bisa jadi dikarenakan keniscayaan sebuah konsep negara dalam pergaulan hidup masyarakat di wilayah tertentu. Suatu negara memerlukan sesuatu institusi apakah itu Islam atau hal lain untuk mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan secara bersama-sama untuk mencapai suatu cita-cita dan keinginan. Otoritas politik memiliki urgensi yang harus ada yang terwakilkan untuk memerlukan konsep negara, sehingga dirasa perlu oleh sebagian kaum Muslimin untuk memerlukan konsep negara yang berhubungan dengan agama dan berinstitusi dengan Islam itu sendiri.

(23)

ketika itu ada Masyumi dan sekarang muncul HTI (Hizbut Tahrir Indoneia). Historitas negara agama tersebut dapat disebut sebagai alternataif yang bisa dilakukan dan diwujudkan oleh kalangan Islam politik untuk menjadikan syariat sebagai sistem kenegaraan.

Kalau kita melihat dari kaca mata dunia sampai saat ini tidak ada satupun negara yang menjadi acuan bagi negara lain, tidak ada representasi negara Islam. Banyak pemikiran Islam itu tidak lepas dari pengaruh dunia Barat. Pada masa modern, ekspansi, imprealisme dan kolonialisme Eropa kewilayah Islam tidak hanya menciptakan dis-integrasi politik (dis-integrartion of politic) Islam tapi lebih jauh menggoncangkan jati diri Islam.1

Perdebatan ini melahirkan tiga kelompok atau aliran, antara lain, Pertama, mereka yang secara tegas menginginkan penyatuan Islam dan negara. Kedua, mereka yang menginginkan isi dari negara bukan karena simbol dan formalnya saja. Ketiga, mereka yang memisahkan antara permasalahan agama (Islam) dan negara. Kelompok dan aliran tersebut semuanya mempunyai pandangan yang berbeda dalam memahami hubungan antara agama dan negara, tetapi dari ketiga pandangan tersebut mengakui peran penting negara dalam proses pencarian identitas negara, umat Islam ada yang meniru Barat dan ada pula yang menolak secara terang-terangan, tetapi menurut penulis tidak semua yang berasal dari Barat itu tidak baik pasti ada baiknya juga, tetapi ada juga yang bersikeras mengatakan bahwa Islam mempunyai konsep yang jelas.

Beragam macam pendukung dan penentang tentang relasi agama dan negara, ada yang ekstrim, ada yang moderat. Pendukung yang ekstrim, mereka yang mencoba menerapkan Islam sebagai institusi negara, mengubah sistem politik

1

(24)

menjadi khilafah atau negara Islam. Sementara ada juga yang memisahkan agama (Islam) dari konteks negara.

Pandangan, relasi atau hubungan antara agama dan negara menurut Kamaruzzaman menjadi dua gerakan. Pertama, gerakan fundamentalisme yaitu kalangan yang menginginkan adanya integrasi agama dan negara. Kedua disebut gerakan modernisme yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu, modernisme Islam dan modernisme sekuler. Modernisme Islam berpandangan bahwa agama dan negara di integrasikan namun tidak mempersoalkan jika umat Islam mencontoh Barat. Adapun kelompok modernisme sekuler, mereka memisahkan antara agama dan negara dan pada waktu bersamaan mencontoh gaya Barat dalam sistem kenegaraan.2

Di sini penulis mencoba menggambarkan beberapa pandangan yang ada dalam memahami hubungan antara agama dan negara, yang akan diklarifikasikan berdasarkan tiga paradigma yaitu, paradigma Islam formalistik, paradigma Islam substansif serta paradigma Islam sekularistik, penulis juga mengklasifikasi tokoh-tokoh yang berada dalam paradigma tersebut.

1. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik

Paradigma ini menginginkan pengintegrasian antara Islam dan negara. Karena Islam adalah agama yang serba lengkap yang mengatur masalah agama, negara dan masyarakat, dalam paradigma ini mereka mencoba menjelaskan bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dengan persoalan negara, tidak ada pemisahan layaknya agama Kristen dalam doktrin two sord-nya tersebut.

2

(25)

Paradigma ini menjelaskan bahwa antara Islam dan politik tidak dapat dipisahkan, sekiranya muncul dari pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala sesuatu, termasuk persoalan agama dan politik, syariat Islam, din wa daulah merupakan Istilah yang berhubungan dengannya. Dalam pandangan ini Islam merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna dan karenanya memilki sistem dan teori politik tersendiri.

Sistem pemerintahan dan politik yang bergariskan Islam tak lain hanya sistem yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan Khulafa Ar-Rasyidin. Kelompok ini secara spesifik terbagi lagi menjadi dua aliran, yakni tradisionalis dan fundamentalis. Kalangan tradisionalis adalah mereka yang tetap ingin mempertahankan tradisi pemerintahan ala Nabi dan empat sahabatnya, dengan tokoh sentralnya adalah Muhammad Rasyid Ridha. Kalangan fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial, sistem pemerintahan dan negara untuk kembali kepada konsep Islam secara total dan menolak konsep lainnya.3

Dengan begitu mereka mempunyai keyakian bahwa umat Islam mempunyai kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang berbentuk Islam, entah itu dengan kata apa, karena kepercayaan yang teguh bahwa antara Islam dan politik harus disatukan, banyak orang memberi penilaian terhadap kelompok ini sebagai penganut mazhab teokratis.4

Tokoh yang berada dalam paradigma ini adalah Muhammad Natsir, disamping banyak tokoh yang lain baik di luar maupun di dalam negeri. Faktor yang paling dominan yang melatar belakangi pemikiran Natsir tentang hal ini

3

Edward Bot, “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15 Desember 2008, h. 30.

4

(26)

adalah keyakinannya akan ajaran Al-Qur’an. Muhammad Natsir secara tegas dalam pidatonya tentang ”Islam sebagai dasar negara” menyatakan yakni “kehendak kami (saya dan Masyumi) sebagaimana yang sudah diketahui kita semua, supaya negara Republik Indonesia kita ini berdasarkan Islam.5

Natsir melihat adanya keterkaitan antara agama dan negara. Lembaga negara sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada, dan pikiran seperti ini nampaknya menguasai pandangan Natsir dalam pelaksanaan syariat Islam atau hukum-hukum Islam di Indonesia.

Menurut Natsir Islam dan negara merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan dan dipisahkan, oleh karena itu keterkaitan Islam dan negara sangat signifikan, kalau ada pembedaan antara keduanya, menurutnya itu karena pengaruh Barat. Barat yang mencoba menancapkan doktrin kedalam dunia Islam. Natsir memandang bahwa Islam meliputi dua aspek, yakni agama dan masyarakat politik. Islam tidak memisahkan persoalan rohani dan duniawi, melainkan mencakup dua segi, hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.6

Ahmad Suhelmi mengungkapkan bahwa pandangan Natsir tentang agama tertitik tolak dari pandangan bahwa agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara, bagi Natsir urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dalam menangani dan mengatur masalah sosio-politik umat, diantara prinsip-prinsip yang harus diikuti dan dihormati. Menurut Natsir adalah prinsip syura, tentang bagaimana mengembangkan dan menyesuaikan mekanisme syura,

5

Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, h. 8.

6

(27)

menurut Natsir semuanya bergantung kepada ijtihad umat Islam, karena Islam tidak menetapkan secara kaku dan pasti.7

Ia adalah demokrat yang bagus dan gigih, sekalipun tidak senang dengan praktik-praktik sistem demokrasi di Barat. ”Demokrasi bagus” akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman instelling-instelling demokrasi. Islam menurutnya adalah sintesis antara demokrasi dan otokrasi atau sistem politik diktatosial, tetapi bagaimana sintesis ini beroperasinya, Natsir tidak menjelaskan teorinya secara menyakinkan.8

Kemudian upaya ini juga terjadi pada gerakan yang dinamakan dengan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Suatu gerakan yang berideologikan Islam yang mempunyai tujuan mendirikan negara Islam yang di dalamnya berlaku hukum syariat Islam. Gerakan ini muncul pada tahun 1949-1962 yang melakukan konfrontasi dengan jalur peperangan lewat tentara yang mereka latih dengan mengambil teknik perjuangan gerilya. Tokoh yang melakukan gerakan ini antara lain, Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar dan Daud Beureureh.

Paradigma ini memahami bahwa Islam sebagai agama pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan, alasan seperti ini memunculkan sebuah sistem syariat secara langsung sebagai sebuah konstitusi negara, ada semacam kesadaran teologis yang sangat kental, bahwa syariat Islam dengan kesempurnaannya dapat menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi umat Islam.

Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa pengaruh aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa Islam merupakan sebuah agama yang serba lengkap yang mengurusi masalah keduniaan dan kenegaraan serta masalah politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem

7

Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002), h. ix-x.

8

(28)

ketatanegaraan Islam, sistem kenegaraan atau politik yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan Rasulullah dan empat sahabatnya.9

Para pendukung aliran ini secara tegas menolak adanya liberalisme, sekularisme dan ideologi-ideologi Barat lainnya, mereka mendukung adopsi yang komprehensif dari sumber-sumber illahiyah yang sakral sebagai suatu cara untuk mengakhiri hegemoni Barat dan sekaligus berupaya mengatasi berbagai masalah sulit yang dihadapi masyarakat Muslim.

Mereka menginginkan penyatuan agama dan negara, mereka beranggapan bahwa integrasinya agama dan negara juga dibangun atas contoh Nabi, yang sekaligus bertindak sebagai agamawan dan negarawan. Kekuasaan agama dan negara harus digabung dalam satu atap, sehingga memungkinkan syariat Islam bisa diterapkan dan komunitas Muslim terlindungi.

Pandangan yang menginginkan menyatunya agama dan negara menurut Zuhairi Misrawi dilatar belakangi oleh dua hal. Pertama, sebagai tawaran alternatif bagi kegagalan sistem sekuler, ini menjadi alasan yang sering disebut-sebut guna membangun masyarakat yang Islami. Kedua, penyatuan agama dan negara sebagai suatu resistensi terhadap modernitas.10

Dalam tulisannya itu ia mengatakan bahwa Yusuf Qardhawi adalah salah satu pemikir Muslim garda depan yang menyuarakan penyatuan agama dan negara, sebagai alternatif dari kegagalan sistem sekuler yang telah memporak-porandakan nilai dan moralitas. Menurut Qardhawi tegasnya, Islam mempunyai seperangkat

9

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-PRESS, 1993), h.1.

10

(29)

nilai dan pemikiran guna membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Al-Qur’an dan Sunnah rujukan utamanya.11

2. Paradigma Islam Substantif

Paradigma ini menolak pendapat bahwa antara agama dan negara itu disatukan, tetapi juga menolak adanya pemisahan secara total atau agama dan negara tidak dapat disatukan, paradigma ini terdiri dari kelompok yang mencoba mengetengahkan atau bisa dikatakan juga dengan kelompok yang mengambil jalan tengah, kelompok yang berada ditengah-tengah antara yang setuju dan tidak setuju dengan penyatuan agama dan negara.

Sebagaimana Munawir Sjadzali mengatakan bahwa kelompok ini menolak secara tegas bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa Islam terdapat sistem kenegaraan, tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Kelompok ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem kenegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.12

Ada yang mengatakan juga bahwa kelompok ini adalah kelompok modernis, kelompok yang memandang bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (termasuk pemerintahan dan negara) hanya pada tatanan nilai dan dasar-dasarnya saja dan secara teknis umat Islam bisa mengambil sistem lain yang dirasakan bernilai dan bermanfaat.13

11

Misrawi, Dalam Redaksi Islam Liberal, “Negara Syariat atau Negara Sekuler,

12

Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 2.

13

(30)

Mereka berpendapat bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (kemasyarakatan) hanya secara dasar-dasarnya saja, adapun secara teknis bisa mengadopsi sistem lain, yang dalam hal ini sistem “Barat” yang memperlihatkan kelebihannya. Paradigma ini biasanya di dukung oleh kaum modernis.

Kalau kita lihat dari dua paradigma sebelumnya, paradigma ini mencoba menyelaraskan agama dan politik (negara) tanpa harus memformulasikan ataupun memisahkan keduanya. Bagi mereka yang penting adalah substansinya. Paradigma ini juga bisa disebut dengan paradigma Islam substantif.

Adapaun tokoh yang berada dalam paradigma ini antara lain, Muhammad Abduh, Muhammad Husain Haikal, Adapun dalam konteks Indonesia ada, Muhammad Amien Rais, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan sebagainya.

Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak terdapat format hubungan agama dengan masalah kenegaraan dan bahwa Islam adalah murni sebagai sebuah doktrin politik. Meskipun demikian secara substansial keduanya sulit dipisahkan. Paradigma ini lebih menekankan nilai substansinya dari pada formal dan legalnya. Karena wataknya yang substansialis itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam), kecenderungan ini mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern, dimana negara bangsa merupakan salah satu unsur utamanya.

Refleksi kelompok ini dalam bidang politik, pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dan nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik.14

14

(31)

Negara tidak perlu menelusup masuk kedalam hubungan antara manusia dan tuhannya. Dengan kata lain negara tidak berhak mengintervensi kehidupan beragama seseorang. Tugas pemerintah dalam hal ini adalah sebagai penjaga perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan serta kenyamanan warganya. Dengan kata lain negara hanya mengurus sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan politik saja bukan ikut campur dalam masalah privat, yang terpenting dalam kelompok ini adalah menciptakan format kehidupan demokratis yang berkeadaban (civility) dan format kewargaan yang inklusif (inclusive citizenship) tanpa menelikung ajaran-ajaran normatif suatu agama hanya puas menerapkan hal-hal simbolik, tetapi hal-hal-hal-hal substansial yang menjadi inti agama tidak terwujud.

Dalam hal ini yang diinginkan oleh paradigma ini adalah jangan mementingkan formalnya saja tetapi substansinya. Kemudian kelompok ini menginginkan bagaimana antara ulama dan pemerintah (agama dan negara) bisa saling mengisi satu sama lain. Para ulama mengurusi masalah moral rakyatnya, kemudian pemerintah mengurusi masalah kesejahteraan, ketentraman dan perdamaian rakyat bisa tercapai.

Agama dan negara harus bisa berjalan bersamaan bahkan harus saling mendukung tanpa harus diformalisasikan dan di pisahkan, yang terpenting bagaimana nilai-nilai Islam dapat diimplelemtasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

3. Paradigma Islam Sekularistik

(32)

hidup ini memandang agama hanya berhubungan dengan masalah privat, dalam arti masalah-masalah pribadi. Oleh karena itu, urusan kemasyarakatan, seperti politik, ekonomi, kebudayaan, pengembangan ilmu dan teknologi modern, dalam pandangan sekularisme tidak dapat dan tidak perlu dikaitkan dengan agama.15

Sekularisme telah banyak digunakan dalam berbagi cara dalam sejumlah perspektif yang berbeda. Di negara-negara Protestan, sekularisme diartikan sebagai kebijakan memisahkan gereja dari negara. Di negara-negara Katolik, menekankan pembedaan antara orang awam dari kaum pendeta. Istilah tersebut menunjuk pada dua aspek yang sama, dan digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah dualitas, yaitu pertentangan atau pemisahan gereja dan negara.

Kata secular, seculer, seculare berarti temporal, sementara, tak abadi. Sekularisme adalah gerakan dalam masyarakat yang mencoba memisahkan urusan luar dunia dari dunia ini.16

Terminologi Islam dan sekularisme sering menjadi perdebatan yang tidak akan pernah usai, banyak kalangan intelektual Islam merujuk kepada sekularisme untuk mengartikan dan menjawab persoalan tentang agama (Islam) dengan negara, dan banyak pula yang secara tegas menolak konsep sekularisme dengan alasan ideologi tersebut berasal dari Barat dan berbahaya bagi Islam itu sendiri. Para sejarawan mendefinisikan sekularisme dalam suatu masyarakat atau budaya sebagai hal yang mengindikasikan ”penempatan” agama dalam masyarakat.17

Islam dan pengalaman Islam secara historis sangat berbeda dengan Kristen dan Barat. Kristen Romawai dan Protestan sama-sama mengakui, meskipun dengan

15

Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998), h. 75.

16

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 179.

17

(33)

interpretasi yang berbeda, pembedaan antara gereja dan negara serta wilayah kekuasaan mereka berbeda. Islam tidak mengakui ini, para teolog Islam membedakan antara urusan agama dan negara dalam kaitannya dengan upaya untuk mencapai keselamatan di akhirat dan hal yang hanya berkenaan dengan kehidupan pribadi di dunia ini. Meskipun demikian Islam tidak pernah mendefinisikan persoalan keagamaan dan politik sebagai dua institusi yang berbeda. Islam juga tidak mempunyai institusi kependetaan yang dapat dipisahkan dari institusi politik.

Islam tidak mengalami reformasi analog seperti reformasi Protestan di dunia Kristen Barat. Gerakan reformasi Islam, sebelum kedatangan pengaruh Barat, bertujuan memurnikan Islam dari bid’ah dengan jalan memperkuat otoritas Islam atas masyarakat serta memastikan kepatuhan total terhadap hukum-hukum, hal ini berbeda dengan tujuan Protestan yang bermaksud memurnikan agama dengan memisahkan dari negara.

Sekularisme sering kali dikaitkan dengan era pencerahan di Eropa dan memainkan peranan utama dalam peradaban Barat. Prinsip utama pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat dan Fasisme di Prancis, didasarkan dari sekularisme. Kelompok sekuler percaya bahwa Islam dan politik harus dipisahkan dan tidak mungkin antara keduanya disatukan. Bagi mereka, Islam adalah sistem keagamaan, tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan politik atau pemerintahan, pola pemisahan agama dan negara ini menolak eksistensi ”negara agama” juga kaitan dengan hukum keagamaan

(34)

analisis yang penuh optimis atas nilai-nilai Barat, dan mengukuhkannya sebagai konsep Islam. Singkatnya arus ini tidak memberikan peluang kepada warisan politik Islam untuk berkembang atau berevolusi.18

Ada dua macam sekularisme, yaitu, sekularisme objektif dan sekularisme subjektif. Sekularisme objektif terjadi bila secara struktural atau institusional terdapat pemisahan antara agama dan lembaga-lembaga lain. Sedangkan sekularisme subjektif terjadi bila pengalaman sehari-hari tidak dapat lagi dipatahkan dalam agama, ada pemisahan antara pengalaman hidup dengan pengalaman keagamaan. Sekularisme objektif dalam politik diwujudkan dalam pemisahan antara agama dan negara.19

Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama (Islam) dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterkaitan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.

Secara umum sekularisme dipahami sebagai upaya untuk memisahkan agama dari urusan-urusan dunia. Dan telah jadi anggapan umum bahwa hasil utama sekularisme dalam konteks Kristen Barat adalah pemisahan gereja dan negara. Dan dalam konteks Islam sekularisme juga dianggap sebagai prasyarat bagi keberhasilan demokratisasi masyarakat termasuk dalam masyarakat muslim.

Sekularisme sebetulnya adalah istilah netral untuk menunjuk kepada konsep tentang pemisahan agama dan negara. Istilah ini pertamakali di perkenalkan oleh

18

Ahmad Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syahab (Jakarta: Citra, 2006), h. 1.

19

(35)

George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas keagamaan dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri, negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja.

Sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di Barat, kaum sekular menekankan adanya keterpisahan yang nyata diantara keduanya, bagi mereka Islam dan politik merupakan dua hal yang sangat berbeda. Mendirikan negara bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari pengaruh agama. Karena itu, menempatkan agama disatu pihak dan politik (negara) dipihak lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan Islam dan negara.

Sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan totalitas antara agama dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterkaitan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar negara. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.

Dalam pengalaman sejarah Eropa, proses sekularisme hidup perdampingan dengan intersifikasi keagamaan pada tingkat personal dan rakyat, sekularisme sering kali selalu dikaitkan dengan pengalaman sejarah bangsa Eropa dan memainkan peranan penting dalam peradaban Barat.

(36)

menerbitkan bukunya yang berjudul al-Islam wa ushul al-hukmi (Islam dan dasar-dasar pemerintahan) pada tahun 1925 yang berisi penolakan secara tegas tentang doktrin yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus Allah kedunia dengan membawa misi ganda (double mission), dunia dan akhirat.20 Dalam artian Nabi Muhammad hanya membawa risalah kenabian an sich tanpa ada sangkut pautnya dengan kehidupan temporal (negara). Peristiwa sekularisme juga terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, baik oleh adanya intervensi Barat secara langsung maupun tidak langsung.

Yang membuat kasus Turki menjadi penting adalah kompleksitas persoalan yang menjadi latar belakang peristiwa sekularisme. Sebagai negara yang makin demokratis dan ingin menjunjung kebebasan (liberalisme) berserikat, Turki memberi saluran dan mengakomodasi berbagai aliran politik, agar maistream politik yang demokratis itu semakin diterima dan mengakar. Yang terjadi adalah, politik Islam itu sangat menguat serta berpotensi mengubah sistem politik Turki yang demokratis dan sekuler itu sendiri.

Bagi pembela demokrasi, kasus Turki mengangkat kembali dilema sistem demokrasi, yaitu bagaimana sebenarnya mengakomodasi berbagai politik kepentingan dan aliran masyarakat, namun tetap menjaga agar politik kepentingan dan aliran itu tidak cukup kuat untuk menggoyahkan sistem demokrasi.

Sebagaimana kita mengetahui bahwa Turki dihidupi oleh dua peradaban besar di dunia yang terus menerus tumbuh dan berinteraksi, yakni peradaban Barat dan Peradaban Islam. Kemal Attaturk adalah peletak kebudayaan Barat yang terpenting di Turki modern, ia mengubah politik Islam di Turki yang mewarisi dari Ottoman Empire menjadi politik nasional demokrasi seperti di Barat dengan

20

(37)

berbagai kebijakan yang radikal.21 Di tingkat eksekutif dan legislatif, Attaturk menghapuskan kesultanan dan kekhalifahan Islam di tahun 1924, menghapuskan kementrian, pengadilan dan berbagai gelar keagamaan, mengadopsi sistem hukum sekuler Swiss tahun 1926 dan mendeklarasikan Turki sebagai negara republik yang sekuler dalam amandemen konstitusi tahun 1937.

Lebih jauh dari itu, Turki juga merubah pendidikan nasional yang bercorak keagamaan menjadi pendidikan model Barat sejak tahun 1926, huruf resmi berbahasa Arab juga diubah menjadi bahasa Latin di tahun 1928. bahasa resmi Nasional Turki di bersihkan dari pengaruh Persia dan Arab dan menjaga perifikasi bahasa ini dengan mendirikan Turkish Linguistic Society, tahun 1932. bahkan panggilan solat diganti dari bahasa Arab menjadi bahasa Turki. Emansipasi wanita digalakkan dengan mengaktifkan mereka di dunia politik.22 Namun bagaimanapun juga peradaban Islam lebih lama mengakar, kecenderungan Islamisasi terus hidup dengan menggunakan atribut modern dan juga dihasilkan oleh pendidikan Barat yang modern juga.

Sebagaimana Turki, kemudian datang Iran yang ketika itu Dinasti Pahlevi (1925-1979) merupakan periode sekuler, ketika upaya-upaya untuk memaksakan tatanan modernisasi negara pada akhirnya menyulut perlawanan masa yang dipelopori dan dimotori oleh tokoh-tokoh agama syiah yang otoritasnya belum pernah secara penuh ditumpas.

21

Denny JA, dkk, Negara Sekuler: Sebuah Polemik (Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 2000), h. 4.\

22

(38)

Sekularisme sebagai suatu yang impor dari asing dihubungkan dengan pengaruh Amerika yang berlangsung secara gradual terhadap Iran dan terhadap penguasa kedua Pahalevi, Muhammad Reza Syah.23

Kedua peristiwa tersebut merupakan peristiwa sekularisme di negara Muslim yang ketika itu banyak yang menentang dengan perlawanan. Kalau dalam konteks Indonesia, salah satu proklamator kita Soekarno, ia adalah salah seorang Muslim yang mendukung pemisahan antara agama dan negara, ketika itu banyak orang yang menganggap sebagai sekularis. Soekarno mengungkapkan bahwa agama (Islam) harus dipisahkan oleh negara, karena Indonesia dari sudut pandangan populasi bukanlah negara yang dihuni oleh 100 persen Muslim. Dengan kenyataan itu tentu kalau Islam dijadikan dasar negara akan terjadi diskriminasi terhadap pemeluk agama yang lain.

Menurut Soekarno, agama merupakan masalah spiritual dan pribadi sedangkan kehidupan bernegara adalah masalah dunia temporal dan kemasyarakatan. Bertolak dari asumsi ini Soekarno menilai bahwa aplikasi ajaran agama hanyalah tanggung jawab pribadi setiap Muslim dan sama sekali bukan masalah yang harus diurus oleh negara dan pemerintah.24

Cak Nur berpendapat bahwa negara Islam itu tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan konsep negara Islam tidak ada dalam sejarah Islam serta sebuah bentuk apologis umat Islam terhadap ekspansi pemikiran dan politik Barat terhadap dunia Islam selama beabad-abad.25

23

Jhon. L Espositto, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 1999), h. 134.

24

Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 59

25

(39)

Menurut An-Naim pemisahan antara agama dan negara tidak berarti bahwa Islam menurunkan ketingkat privat karena prinsip-prinsip Islam, sebetulnya masih bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi kebijakan atau undang-undang negara. Namun, pengajuan ini harus didukung oleh public reason yang berarti bahwa berbagai argumen bisa diperdebatkan oleh semua warga negara tanpa harus merujuk pada keyakinan agama.26

Paradigma ini berpendapat bahwa negara bukan merupakan suatu kewajiban agama, dalam pengertian bahwa agama sama sekali tidak menyebut kewajiban mendirikan negara. Namun tidak pula mewajibkan untuk mengabaikannya, melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum Muslim.

Para pembaru sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan agama dari politik (negara) karena bagi mereka Islam hanya terbatas pada moral dan pribadi. Paradigma ini selalu memisahkan Islam (agama) dengan urusan pemerintahan, karena mereka berkeyakinan bahwa Islam tidak mengatur masalah keduniaan termasuk pemerintahan dan negara.27 tokoh yang terkenal yang menyuarakan secara lantang adalah Ali Abd Ar-Raziq, Thaha Husain, Abdullahi Ahmed An-Naim serta Soekarno dalam konteks Indonesia. Mereka semua menentang penyatuan antara agama (Islam) dan negara.

Dari ketiga paradigma tersebut, JIL dalam hal ini berada pada paradigma Islam sekularistik, karena menurutnya entitas kenegaraan dan keagamaan harus dipisahkan, mereka memberi gagasan tentang sekularisme sebagai sesuatu yang harus dijalankan dalam negara atau pemerintah.

26

Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Penerjemah Sri Murniati (Jakarta: Mizan, 2007), h. 78.

27

(40)

B. Islam dan pluralisme

Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan zaman pencerahan (enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern, yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsikuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata diluar gereja, munculah suatu fahan yang dikenal dengan ”Liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi dan keragaman (pluralism).

Islam sendiri sebagai agama yang universal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak, kebebasan (liberalism) dan mengakui adanya agama yang plural. Pluralisme agama menurut Islam adalah hukum atau aturan tuhan (law of God) yang tidak akan berubah, tidak akan dilawan dan diingkari. Ungkapan ini bagi sebagian orang menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme, karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan agama masing-masing.

Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya paham ”pluralisme agama”, penyebaran paham ini di Indonesia sangat meluas. Istilah pluralisme agama atau pengakuan seorang sebagai pluralis dalam konteks teologi, bisa ditelusuri pada catatan harian Ahmad Wahib salah satu penulis gerakan Islam liberal di Indonesia, disamping M. Dawam Raharjo dan Djohan Effendi.

(41)

kalangan tokoh agama atau akademisi Muslim yang melontarkan pahan semacam ini.

Gagasan penyamaan agama, oleh sebagian kalangan kemudian di populerkan dengan istilah Pluralisme Agama yang dikembangkan sampai ke level operasional kehidupan sosial. Seperti penghalalan perkawinan antar agama dan sebagainnya. Gagasan ini juga secara tidak terlalu tepat distandarkan pada ide Trancendent Unity of Religion yang secara sistematis dikembangkan oleh Frieth Ohof Schoon. Dengan gagasan ”pluralisme agama” itu, maka tidak boleh ada ”truth claim”, bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan gagasan ini, maka masing-masing agama tidak dibolehkan mengklaim memiliki kebenaran mutlak, karena masing-masing mempunyai metode, jalan atau bentuk untuk mencapai tuhan.

Ide Trancendent Unity of Religion sendiri berpendapat, bahwa semua agama adalah sama, esensinya adalah sama, sebab agama itu didasarkan kepada sumber yang sama. Bentuknya bisa berbeda, karena manifestasi yang berbeda ketika menanggapi yang mutlak.

(42)

perbedaan intensitas pemahaman dan pelaksanaan yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.28

Nurcholish sangat menyadarai bahwa masyarakat Indonesia sangat pluralistik, baik dari segi etis, adat-istiadat maupun agama. Dari segi agama, selain Islam realitas menunjukkan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat berkembang subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Itulah sebabnya masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi sangat penting. Namun demikian ia tetap optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini, Islam telah membuktikan kemampuannya secara menyakinkan, seperti dinyatakan dalam urainnya sebagai berikut:

”Kenyataan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam disebut sebagai dukungan karena Islam adalah agama yang pengalamannya dalam melaksanakan toleransi dan pluralisme adalah unik dalam sejarah agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu kurang lebih nampak jelas dan nyata pada berbagai masyarakat dunia, dimana agama Islam merupakan anutan mayoritas agama-agama lain, tidak mengalami kesulitan berarti, tapi sebaliknya dimana mayoritas bukan Islam dan kaum Muslim menjadi minoritas, mereka ini selalu mengalami kesulitan yang tidak kecil, kecuali di negara-negara demokratis Barat. Disana umat Islam sejauh ini masih memperoleh kelebihan beragama yang menjadi hak mereka”.29

Fakta bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan apresiasi terhadap pluralisme, sangat kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula mencerminkan tekad demi berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Intinya adalah Indonesia mempunyai pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragaman aliran politik dan keagamaan, sejak zaman pra kemerdekaan hingga setidaknya ia melihat ideologi negara pancasilalah yang sudah memberi kerangka dasar bagi masyarakat Indonesia dalam masalah pluralisme keagamaan.

28

Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), h. iv.

29

(43)

Masalah dasar pluraslime yang dikembangkan Cak Nur sering menuai kontroversi dari kalangan intelektual Muslim lainnya, bahkan MUI sekalipun. Cak Nur menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan memperoleh manfaat yang sangat besar dalam usaha transformasi sosial menuju demokrasi, keterbukaan demi keadilan itu, jika pluralisme dapat ditanamkan dan dijalankan oleh setiap Muslim yang merupakan agama mayoritas bangsa Indonesia, oleh karena itu ia dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada jalan lagi bagi umat Muslim khususnya Indonesia untuk menjalankan pluralisme untuk membuat negeri, bangsa ini maju, makmur, kuat dan modern sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia.

Pluralisme, sebagimana halnya seluruh fenomena dan mazhab pemikiran, memiliki sifat pertengahan (moderat/adil), keseimbangan juga mempunyai sisi yang ekstrim, baik yang melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan. Sisi pertengahan (keadilan) serta keseimbangannyalah yang dapat memelihara hubungan antara kemajemukan perbedaan dan pluralitas serta faktor kesamaan, pengikat dan kesatuan. Sementara itu, dis-integrasi dan kacau balau ditimbulkan oleh “sikap ekstrem memusuhi menyempal”, yang tidak mengakui dan tidak memiliki faktor pemersatu, juga oleh sikap “penyeragaman” (yang mengingkari kekhasan dan perbedaan), yaitu, sikap ekstrem represif dan otoriter “yang menafihkan perbedaan masing-masing pihak dan keunikannya.30 Islam sendiri hanya mengakui “ketunggalan” (yang tidak mempunyai sisi parsial dan bentuk yang plural).

Muhammad Fathi Osman mengatakan bahwa pluralisme adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan, makannya menurutnya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan

30

(44)

perasaan pribadi, sementara koeksistensi semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme menuntut untuk melakukan kerjasama, memahami agama lain demi kebaikan bersama, setiap manusia wajib memiliki hak dan kesempatan untuk menikmatinya, setiap manusia memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas dan kepentingan.31

Ini menandakan bahwa pluralisme sangat memegang teguh prinsip-prinsip keagamaan sesuai dengan agama masing-masing, memiliki rasa toleransi keagamaan baik individu maupun golongan, membiarkan setiap manusia menggunakan dan menikmati hak-haknya tersebut.

Pluralisme mempunyai arti bahwa kelompok-kelompok kecil (minoritas society) dapat berperan serta secara penuh, dan setara dengan kelompok-kelompok besar (majoritas society) dalam lingkup masyarakat yang majemuk, sembari mempertahankan ideologi dan identitas serta perbedaan yang khas. Pluralisme hampir layaknya sebuah agama dilindungi oleh negara dan hukum, pada awalnya pluralisme hanya mengacu kepada masalah-masalah tertentu antara lain, perbedaan agama dan suku, tetapi lebih lanjut pluralisme mengasumsi berbagai macam keyakinan, kelembagaan dan komunitas yang seyogyanya muncul berbarengan dan menikmati pengakuan dan perlakuan yang sama.

Kelompok mayoritas dalam hal ini adalah Islam, seperti pemeluk agama lain yang menjadi mayoritas di sebuah negara, harus hidup dengan kalangan minoritas (Muslim harus bisa hidup dengan kalangan minoritas) dalam suatu negeri tertentu. Penduduk Muslim dari suatu negeri dapat memiliki perbedaan-perbedaan kesukuan

31

(45)

dan doktrinal dalam diri mereka sendiri ataupun dengan kaum Muslim lain diseluruh dunia.

Non-Muslim yang berada dalam negara yang berpenduduk Muslim mayoritas harus dilakukan oleh kaum Muslim dan pemerintah setempat dengan baik dan adil, martabat dan hak-hak mereka harus dijamin meskipun harus dilindungi oleh hukum Islam dan pemerintahan. Begitupun juga dengan non-Muslim yang merupakan penduduk tidak tetap dalam negara Islam juga berhak terhadap martabat diri dan keamanan yang dilindungi oleh hukum Islam sekalipun, kemudian non-Muslim dapat memperoleh pekerjaan di negara mayoritas non-Muslim sekalipun menjabat sebagai menteri (wazir).32

C. Hak Asasi Manusia

Selain pluralisme yang merupakan isu global ada juga isu-isu lain yang penting diketahui dan banyak dibahas oleh kalangan intelektual diantaranya adalah. Pertama, Environment, lingkungan merupakan masalah yang perlu dibahas oleh negara, kemudian masalah ini menjadi masalah yang serius bagi semua negara demi menjaga kepentingan alam (nature). Kedua, Free Trede, hal ini merupakan hak manusia tanpa harus ikut campur negara dan dibahas oleh kekuasaan negara, negara hanya boleh mengatur undang-undang perdagangan bebas. Ketiga, Public Health Service, isu flu babi merupakan suatu bentuk penyakit yang mengganggu kesehatan masyarakat dan merupakan perhatian seluruh dunia internasional sembari mencari permasalahannya disamping banyak pula penyakit-penyakit yang menggaggu kesehatan manusia. Keempat, Emansipasi Wanita, pada dasawarsa ini muncul tren wanita boleh mengimami laki-laki, pemberontakan kaum wanita dalam mencari

32

(46)

kehidupan dunia, yang memunculkan pendapat bahwa wanita sama dengan laki-laki dan tidak boleh ditempatkan sebagai subordinasi kaum laki-laki. Kelima, Human Right, ini merupakan isu global yang terakhir yang harus diperjuangkan oleh bangsa-bangsa dan harus dilindungi oleh negara, sehingga negara tidak berhak menghapus demi kepentingan kekuasaan.

Semua manusia dilahirkan bebas (live for liberty) dan sama dalam martabat dan hak-hak asasi, dan bahwa setiap manusia berhak terhadap semua hak dan kebebasan yang telah disebutkan itu, tanpa perbedaan dalam bentuk apapun juga, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin lebih jauh lagi tentang agama dan kepercayaan.33 Hak asasi manusia adalah suatu karunia yang diberikan Tuhan kepada umat manusia begitu ia dilahirkan, jadi sudah merupakan hukum kodrat.34

Masalah HAM merupakan masalah yang sangat penting secara politik dan dipandang dari segi ideologi, adat istiadat dan terutama sekali kemajuan warga negara. Masalah ini merupakan suatu masalah yang tidak hanya memberikan inspirasi kepada para politik, organisasi-organisasi keagamaan, tetapi juga manusia secara pribadi dalam melaksanakan kebebasan.35 Lebih jauh Peter R. Baehr mengatakan bahwa semua negara menghormati hak asasi manusia dan kebebasan, termasuk kebebasan berfikir, berpendapat, beragama atau berkeyakinan, bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa bahkan agama sekalipun.36

Pengertian hak dalam berbagai bahasa dan menurut bangsa-bangsa barangkali tidak akan sama disebabkan oleh perbedaan budaya, tradisi dan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, namun substansi hak yang merupakan

33

Peter Davies, Hak-hak Asasi Manusia. Penerjemah A. Rahman Zainuddin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 33.

34

Davies, Hak-hak Asasi Manusia, h. viii

35

Antonio Cassese, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah. Penerujemah A. Rahman Zainuddin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. xxiii.

36

(47)

kebenaran yang diperjuangkan oleh setiap orang maupun kelompok masyarakat pasti tidak akan banyak berbeda dan memiliki kesamaan yang sangat besar. Perbedaan faham tentang hak tentu dilatar belakangi oleh cara pandang mereka terhadap kebenaran.

Secara bahasa, hak asasi manusia dalam bahasa Inggris disebut Human Right dan dalam bahasa Arab disebut Huququl Insan. Right dalam bahasa Inggris berarti: hak, kebenaran, kanan,37 sedangkan hak dalam bahasa Arab berarti: lawan kebatilan, keadilan, bagian serta nasib.

Secara terminologi yang disebut dengan hak menurut Shalahuddin Hamid adalah kebenaran yang diperjuangkan kewenangannya dan menjadi milik individu dan kelompok sesuai dengan cara pandang terhadap kebenaran baik berupa materi maupun non materi.38

Hak asasi manusia yang sering disebut orang Indonesia dengan HAM menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusi. Selama ini HAM masuk kedalam sistem internasional yang dibakukan dengan Declaration of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948. pembahasan tentang HAM akan berpengaruh besar terhadap perubahan struktur nilai universal yang sudah ditetapkan dalam sistem internsioanal. Pembahasan ini penting untuk dituangkan dalam wacana akademis maupun wacana dialogis antara bangsa dengan alasan bahwa sejauh ini HAM dikembangkan dan dikendalikan oleh PBB yang belum mengakomodasi nilai-nilai bangsa-bangsa secara sempurna. Deklarasi tersebut masih kental dengan peradaban dan kebudayaan Eropa dan Amerika yang punya perbedaan yang sangat signifikan dengan budaya-budaya dan kepercayaan di negara-negara lain, seperti negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga.

37

Jhon M. Echols dan Hasan Shadili, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996).

38

(48)

Banyak sebagian kalangan intelektual Muslim mengklaim bahwa Islam sebagai agama terbesar di dunia dan di Indonesia mengatur segala aspek kehidupan manusia, begitu juga dengan permaslahan HAM. Harmonisasi antara tradisi Islam (Islamic trade) dengan konsep HAM (Human Right Concepth) adalah sesuatu yang niscaya, sehingga hukum Islam pra modern yang menghambat kemungkinan itu haruslah ditafsir ulang.39

Dalam Islam, konsep HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam, karena dalam sistem demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang spesial. Bahkan HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu.40 fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM.

Keagungan ajaran Islam sebagaimana banyak kalangan intelektual Muslim tercermin dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Perbuatan manusia yang berhubungan dengan Allah, manusia maupun alam semesta tidak satupun lepas dari aspek ibadah, hal tersebut memahamkan agar manusia tidak sewenang-wenang, berbuat tidak adil, berbuat zalim terhadap sesama manusia dan tidak memperdulikan kepentingan umum, yang semua ini bahwa Islam menganjurkan yang baik dan mencegah yang buruk, melalui HAM Islam sangat toleran dan membela terhadap kezaliman.

Konsep HAM antara pandangan Barat dan pandangan Islam cukup berbeda. Barat memandang realitas keagamaan dalam pandangan filsafat, sosiologis,

39

Budhy Munawar Rahman “ HAM dan Persoalan Relativisme Budaya” dalam Komaruddin Hiadayat dan Ahamd Gaus AF, (ed), Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 47.

40

Referensi

Dokumen terkait

Menurut para ulama, makna kedua hadits ini bukan berarti semua perkara yang baru adalah urusan agama tergolong bid‟ah, karena mungkin ada perkara baru dalam

orientasikan pada upaya memahami detail-detail hukuman tersebut, maka pembahasan pun tidak disinggung secara rinci, kecuali pada beberapa bagian yang secara sengaja dibicarakan

Kementerian Kesehatan RI (2014) menyatakan bahwa Lauk pauk terdiri dari pangan sumber protein hewani dan pangan sumber protein nabati. Kelompok Pangan lauk pauk sumber

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka penelitian ini difokuskan pada soal sertifikasi kompetensi P1 operasi

Ketika tingkat harga meningkat 100 persen dari harga berlaku variabel kualitas layanan secara konsisten merupakan variabel yang secara signifikan berpengaruh positif

Membimbing anak mengamati video tutorial roti susu karakter yang telah di share bu guru di WAG.. (

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan

Fasilitas yang ada dalam perancangan galeri ini adalah ruang pamer sebagai ruang utama, resepsionis, ruang souvenir, ruang workshop sebagai tempat pelatihan