• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik pemekaran wilayah studi kasus: proses pembentukan kota Tengerang Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Politik pemekaran wilayah studi kasus: proses pembentukan kota Tengerang Selatan"

Copied!
219
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK PEMEKARAN WILAYAH

STUDI KASUS PROSES PEMBENTUKAN KOTA

TANGERANG SELATAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Muhammad Rifki Pratama

105033201143

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAKS

Muhammad Rifki Pratama

Politik Pemekaran Wilayah: Proses Pembentukan Kota Tangerang Selatan

Dengan berusaha melakukan konsentrasi dalam pemekaran wilayah. Secara

umum skripsi ini mengingatkan kepada penulis khususnya, dan kepada insan

akademisi dan segenap masyarakat pada umumnya, bahwa pemekaran wilayah

adalah sesuatu yang memiliki tujuan penting bagi sebuah daerah dalam suatu

Negara, baik secara teori maupun secara praktiknya. Dalam ilmu politik, ada hal

yang lebih penting dari pada sekedar memikirkan bagaimana cara berkuasa, yaitu

bagaimana melakukan kesejahteraan sosial kepada seluruh rakyat. Begitu juga

dalam

mengejawantahkan

azas demokrasi, yang mengembalikan segala

sesuatunya kepada rakyat, artinya demokrasi juga mencita-citakan kesejahteraan

sosial sebagai unsur penting dalam menjalankan roda pemerintahan sebuah

negera. Hal yang sama juga diinginkan dalam konsep pemekaran wilayah, dengan

upaya meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat, secara otomatis juga

sedang melakukan upaya mensejahterakan masyarakat.

Dalam pemekaran wilayah dan pembentukan Kota Tangerang selatan yang

terekam dalam skripsi ini, penulis sedikit-banyak berusaha menguraikan

proses-prosesnya, baik secara adminstratif maupun secara politik, bagaimana wacana

tersebut secara langsung disosialisasikan kepada masyarakat Tangerang di lima

kecamatan yang hendak menjadi Kota Tangerang selatan. Ternyata memunculkan

berbagai polemik, pro dan kontra, baik ditingkatan

grace root

maupun ditingkatan

pemerintahan, karena pada umumnya wacana pemekaran wilayah adalah sebuah

aspirasi yang sedikit disuarakan oleh masyarakat, karena memang pada intinya

yang dibutuhkan masyarakat adalah sebuah hidup yang sejahtera (berkecukupan

secara sandang, papan dan pangan). Jadi untuk mensejahterakan masyarakat,

pemekaran wilayah bukanlah sesuatu yang urgent.

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta

alam. Tiada daya dan upaya melainkan berkat uluran tangan-Nya. Tiada karya

atau cipta melainkan inspirasi dari-Nya. Karena keagungan dan kebesaran-Nya

dapat menyelesainkan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga kepada Nabi

Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir

masa.

Perkenankanlah penulis dalam kesempatan ini menyampaikan pada

mereka-mereka yang terkasih. Pertama penulis sampaikan terima kasih yang tak

terkatakan keada kedua orang tua Ayahda H. M. Abduh dan Ibunda Hj. Isma

Gustiari Semoga rahmat Allah SWT terlimpahkan kepadanya. Amin. Jika tanpa

uluran tangannya, cintanya, motivasinya dan kasih sayangnya penulis tidak akan

dapat menempuh jalan hidup ini dalam fase kehidupan di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta serta berkat beliau yang telah memberikan dukungan hingga skripsi ini

dapat terselesaikan.

Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada

Bapak Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik (FISIP). Kepada Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag selaku ketua

jurusan Ilmu Politik, M. Zaki Mubarak, S. Ip. M. Si, selaku sekretaris Ilmu Politik

dan Joharotul Jamilah S. Ag, M. Si, yang pernah menjabat sebagai sekretaris

sementara untuk Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) Faktultas Ilmu

(7)

Kepada Bapak Drs. Agus Nugraha, M.Si., selaku dosen pembimbing yang

tak terhingga telah memberikan bimbingan, kritikan, saran dan motivasi yang

membangun dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Seluruh Dosen dan segenap staf-stafnya di FISIP dan Usuluddin dan

Filsafat (FUF) serta Dosen pengajar pada Program Studi PPI dari awal hingga

proses akhir penulis menjalani belajar di bangku kuliah hingga sekarang. Semoga

apa yang beliau-beliau telah berikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah

SWT dan mudah-mudahan bermanfaat untuk diri penulis khususnya serta pada

orang lain pada umumnya sehingga menjadi keberkahan hingga akhir hayat,

Amin.

Terimakasih untuk adik-adik tercinta Nabila Putri, Insy Rafida Amalia dan

Muhammad Riziq Faturrahaman yang selalu memberikan motivasi untuk penulis

agar segera menyelesaikan skripsi ini.

Juga tidak lupa penulis haturkan terima kasih kepada teman-teman

seperjuangan Gus Udin, Gus Luthfi, Gus Zaky, Bos Luthfillah, Habib Oky, Akang

Ali, Akang Cikal, Abang Arif, Kaka Rifki, Mas Hendi, Abang Ivan, Teteh Annisa

(Nze), Mpo Musyrifah, Mba Othul, Mpo Sahla, Mba Fitri, Teteh Selvi, Teteh

Syifa, Uni Inke, Teteh Komala dan semua teman-teman PPI “05” yang telah

memberikan banyak bantuan hingga skripsi ini dapat terselesaikan, tanpa

semangat dan motivasi yang mereka berikan penulis tidak akan pernah sempurna

dalam penulisan. Dengan motivasi, kritikan, semangat dan saran menjadi penulis

bersemangat mencoba menyelesaikan skripsi ini.

Penulis ucapakan terimakasih kepada Bapak Drs. KH. Zarkasih Nur selaku

(8)

Djambek sebagai Ketua FORMATS yang telah bersedia menjadi nara sumber

dalam memberikan informasi mengenai pembentukan Kota Tangerang Selatan

yang penulis butuhkan untuk penyusunan skripsi ini.

Untuk Rieza Corry Nurficha penulis ucapakan terimakasih atas

doa-doanya dan sebagai inspirator serta motivator penulis yang selalu setia menemani

penulis untuk menyusun skripsi ini.

Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Muhammad Fatahillah S.Sos

atas bantuan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Semoga apa yang mereka telah berikan hingga terselesainya skripsi ini

mendapat barokah dan balasan yang setingkat juga dengan terselesainnya skripsi

ini, semoga bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi semua pada

umumnya, terutama untuk jurusan tercinta Pemikiran Politik Islam (PPI) Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terakhir penulis mengharapkan kesudian pembaca bila terdapat kekeliruan

dan kesalahan pada skripsi ini. Karena hanya ini yang bisa penulis berikan semoga

di hari datang akan ada pembaharuan tentang skripsi ini.

Jakarta, 28 Oktober 2010

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

...i

DAFTAR ISI

...iii

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah...1

B.

Pembatasan

dan

Perumusan

Masalah...6

C.

Tujuan

Penelitian...7

D.

Manfaat

Penelitian...7

E.

Metodelogi

Penelitian...8

F.

Sistematika

Penulisan...9

BAB II KONSEP DAN TEORI PEMEKARAN WILAYAH

A.

Desentralisasi

dan

Otonomi

Daerah……...13

1.

Pengertian

Otonomi

Daerah...14

2.

Pengertian

Pemekaran

Wilayah...16

B.

Filosofi

Pemekaran

(10)

C.

Tujuan

Pemekaran

Wilayah...21

D.

Syarat

dan

Aturan

Hukum

Pemekaran

Wilayah...23

E.

Manfaat

Pemekaran

Wilayah...26

BAB III PROFIL KOTA TANGERANG SELATAN

A.

Kondisi

Sosiografis,

Politik,

Ekonomi...31

1.

Kondisi

Geografis...33

2.

Kondisi

Politik...36

3.

Kondisi

Ekonomi...38

B.

Sejarah

Terbentuknya

Kota

Tangerang

Selatan...40

1.

Wacana

Pembentukan

Kota

Tangerang

Selatan...42

2.

Faktor

Pendukung

terbentuknya

Tangerang

Selatan...45

BAB IV PROSES

PEMEKARAN

DAN

PEMBENTUKAN

KOTA

(11)

A.

Langkah

Awal

Menuju

Tangerang

Selatan...50

1.

DPRD Tangerang dan Dinamika Pemekaran Tangerang

Selatan...51

2.

Respon

Pemerintah

Provinsi

Terhadap

Pemekaran

Tangsel...58

B.

Proses

Pembentukan

Kota

Tangerang

Selatan...61

1.

Tahap

Pembahasan

Rencana

Undang-undang...62

2.

Morathorium

dan

Pembentukan

Kota

tangerang

Selatan...65

C.

Polemik

Struktur

Pemerintahan

Tangerang

Selatan...69

D.

Tangerang

Selatan

Milik

Siapa?...74

BAB V PENUTUP

A.

Kesimpulan...

...76

B.

Kritik

Dan

Saran...77

DAFTAR PUSTAKA

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di bagi dalam daerah,

provinsi, kabupaten, dan kota diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus segala

bentuk kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat dalam ikatan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Sampai pada tahun 1998, wilayah NKRI dibagi kedalam 27 Provinsi.

Namun demikian, berdasarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat mengenai

demokratisasi dan pemekaran wilayah, saat ini di Indonesia telah di bagi dalam 33

Provinsi baru juga di ikuti dengan adanya 349 daerah kabupaten dan 91 kota

dalam satu provinsi yang mengalami pemekaran. Dengan demikian daerah dapat

berprakarsa sesuai dengan potensi daerah yang dimiliki dan dapat

mengembangkan semua yang menjadi potensi daerah dalam rangka memajukan

kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengedepankan menjaga persatuan dan

kesatuan bangsa

1

.

Salah satu topik sentral pasca reformasi yang menjadi perdebatan adalah

permasalahan otonomi daerah. Karena adanya desakan dari daerah yang menuntut

untuk mendapatkan kewenangan yang lebih luas, maka pemerintah pusat

mengeluarkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut telah

menghadirkan paradigma baru terhadap Pemerintah Daerah, untuk bisa mengurus

1

(13)

dan menyelenggarakan pemerintahan daerah di Indonesia yang berbasis otonomi

luas. Karena terdapatnya kebebasan bagi daerah dalam mengatur dan menggali

potensi daerah-daerah tersebut, hal ini dilakukan dalam rangka menyelenggarakan

nilai-nilai demokrasi, yang menghargai pluralitas yang di dalamnya terdapat

keanekaragaman pemerintahan dan berbagai macam ide-ide briliant dari para

pemerintah daerah guna membangun Indonesia yang lebih maju.

2

Berawal dari perdebatan panjang mengenai Pemerintahan Daerah yang

tercantum dalam Undang-undang tersebut, kini perdebatan mengenai otonomi

daerah menghasilkan sebuah proses aspirasi dari masyarakat untuk mendapatkan

otonomi penuh bagi daerah pemerintahannya. Proses pemekaran terjadi begitu

pesat dan cenderung tidak terkendali.

3

Upaya pemekaran wilayah dipandang

sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan

kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran

wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan

pemerintah daerah dalam memberikan kemudahan layanan pemerintah sehingga

meningkatkan

efektifitas

penyelenggaraan

pemerintah

dan

pengelolaan

pembangunan.

4

Penambahan daerah otonom ini merupakan fenomena yang layak dikaji

ulang. Sebab, pemekaran atau penambahan daerah otonom yang banyak terjadi di

beberapa daerah di Indonesia sekarang ini tidak di dukung oleh Sumber Daya

2

Eko Prasojo dkk, Blue Print Otonomi Daerah Indonesia, dalam M. Zaki Mubarak dkk,

(jakarta: Yayasan Harkat Bangsa, PGRI, dan European Union, 2006), h. 117-119. Lihat juga Prof.

Dr. Djohermansyah Djohan, lanskap Otonomi Daerah: Analisa dan Kritik, Dalam Indra J. Piliang

dkk, (jakarta: Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan European Union, 2007), h. 153-154.

3

Terdapat 7 propinsi, 135 Kabupaten dan 32 kota yang terbentuk sebagai hasil pemekaran

sesuai dengan daftar yang dikeluarkan oleh DPD pada September 2007(DRSP, 2007).

4

Ermaya Suradinata, Pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka untuk meningkatkan

(14)

manusia (SDM) yang baik, akibatnya yang terjadi adalah tersendatnya roda

pemerintahan daerah dan carut-marutnya tata pemerintahan, mencermati

fenomena pemekaran wilayah di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru hingga

memasuki pemerintahan sekarang. Secara teoritis, harus diakui bahwa kebijakan

pemerintah untuk memekarkan beberapa daerah di Indonesia telah menambah

angka permasalahan baru terutama dalam proses penyusunan Undang-undang dan

sistem ketatanegaraan kita saat ini. Kebijakan untuk melakukan pemekaran daerah

merupakan suatu tuntutan masyarakat yang merasa daerahnya dieksplorasi dan di

eksploitasi pusat secara berlebihan. Oleh karena itu, hal ini lah yang

melatarbelakangi dan juga bisa dikatakan memaksa masyarakat dan pemerintah

daerah untuk segera melakukan dan menyelenggarakan pemekaran wilayah,

dengan segera mengajukan proposal dan berkas-berkas yang berkaitan dengan

pemekaran daerahnya.

5

Pemekaran wilayah di beberapa daerah di Indonesia harus diakui sebagian

besar lebih bernuansa politik, hal ini terjadi karena beberapa alasan, sebagian

berpendapat sebagai ekspansif kekuasaan politik saja, ada sebagian juga yang

beralasan sebagai perluasan karir politik. Selebihnya bisa dikatakan dalam rangka

mengibarkan bendera partai yang dianut. Jika mau dikatakan, hal ini lah yang

sebenarnya menghambat proses pemekaran wilayah itu sendiri, karena penilaian

layak atau tidaknya sebuah calon daerah otonom baru selama ini dilakukan oleh

Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), namun oknum dan para elit

politik daerah tersebut justru ditengarai menjadi konsultan pemekaran daerah

otonom baru yang sebenarnya tak layak. Karena itu, restrukturisasi DPOD dan

5

Wendra Yunaldi, SH, MH, Analisis Pemekaran Daerah, di muat pada tanggal 18 Mei

2008, artikel ini di akses pada tanggal 15 februari, 2010 dari

(15)

Tim pemekaran wilayah setempat diperlukan dengan mengisinya dari kalangan

profesional dan yang independen dan memiliki kemampuan luas tentang otonomi

daerah, dengan demikian hal ini diharapkan mampu merekomendasikan kepada

DPR dan Presiden tentang layak tidaknya sebuah calon daerah baru disahkan.

Proses ini juga untuk menghindari dijadikannya isu pemekaran wilayah sebagai

alat politik untuk bagi-bagi kekuasaan di daerah.

6

Banyaknya pemekaran wilayah yang didorong oleh derasnya tekanan

politik dan perebutan kekuasaan. Tekanan kuat dari daerah itu di respon positif

oleh pemerintah pusat, padahal dalam taraf proses pemekaran tersebut, setidaknya

telah banyak memberikan beban terhadap pemerintahan pusat, beban yang

fundamental adalah beban finansial penyelenggaraan pemerintahannya. Di

setujuinya pemekaran wilayah dapat juga dimaknai bahwa akan adanya sebuah

keharusan pemerintah pusat untuk mengalirkan dana ke pemerintah daerah yang

baru. Dengan tersedianya jaminan politik bahwa pemerintah pusat akan

mencukupi segala kebutuhan setidaknya pemerintahan daerah yang baru di

bentuk, karena daerah tersebut mendapatkan dana perimbangan, dan dalam hal

khusus tertentu, berhak pula mendapatkan dana otonomi khusus. Pemaknaan

sempit ini lah yang kini sebenarnya menjadi beban dan problem bagi pemerintah

daerah baru juga bagi pemerintah pusat. Seharusnya jika ingin ditinjau secara

politik, para pemerintah daerah yang baru di bentuk tersebut dapat menjadikan

daerahnya sebagai arena baru bagi perjuangan eksponen politik setempat, seperti

tokoh agama, pewaris pemerintahan tradisional, dan meningkatkan pelayanan

6

Menata Ulang Pemekaran Daerah, dalam M. Zaid Wahyudi dan Susie berindra, di akses

dari situs

(16)

publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, di samping

sebagai sarana pendidikan politik di tingkat daerah.

7

Tangerang selatan, sebagai kota otonom baru yang tengah berkembang

ditengah gejolak globalisasi, sebuah pemekaran yang natural berkembang atas

dasar segenap aspirasi masyarakat, penulis mencoba berangkat memberanikan diri

untuk sedikit mengurai keindahan dalam pemekaran Tangerang Selatan, berangkat

dari kesadaran akan kebutuhan daerah, Tangerang Selatan mencoba

mempromosikan diri untuk layak menjadi sebuah kota otonom, bukan berangkat

atas dasar kekecewaan yang pernah ada dari salah satu pihak tentunya, seperti

yang banyak dilakukan oleh daerah pemekaran lainnya, semoga saja apa yang

dilakukan oleh masyarakat Tangerang Selatan berbuah layak Gorontalo yang lebih

dulu menjadi daerah otonom.

Kota Tangerang Selatan adalah wilayah otonom di Provinsi Banten.

Wilayah ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Berawal dari

keinginan warga di wilayah selatan untuk mensejahterakan masyarakat. Pada

tahun 2000, beberapa tokoh dari kecamatan-kecamatan mulai menyebut-nyebut

Cipasera sebagai wilayah otonom, namun karena sosialisasi yang mungkin kurang

maksimal di lingkungan masyarakat dan sama sekali tidak mendapatkan dukungan

pemerintah kabupaten Tangerang pada saat itu, serta Provinsi Banten. Dan pada

27 Desember 2006 dengan segenap upaya dan memanfaatkan momentum

PILKADA Tangerang, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten

Tangerang menyetujui terbentuknya Kota Tangerang Selatan. Calon kota otonom

ini terdiri atas tujuh kecamatan, yakni, Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok

7

(17)

Aren, Cisauk, dan Setu. Wilayah ini berpenduduk sekitar 966.037 jiwa. Sebagai

sebuah kota otonom baru, yang telah diresmikan pada tanggal 29 September 2008,

melalui Undang-undang nomor 51 tahun 2008, dan dengan menggunakan sistem

self ditermined

” diharapkan mampu menjadi sebuah kota otonom baru yang

benar, yang berusaha membangun daerahnya secara merata, dan juga bisa

memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya, dan diharapkan mampu

menjadi contoh bagi daerah-daerah yang serupa dengan Tangerang Selatan.

Selama ini, Tangerang Selatan telah menyumbang sekitar 50% dari

Pendapatan asli Daerah (PAD) yang dihasilkan oleh kabupaten Tangerang. Sebut

saja, PAD kabupaten Tangerang pada tahun 2006 sebesar Rp 180 Miliar.

Separuhnya, sekitar Rp 90 Miliar di sumbang oleh Tangerang Selatan. Kini pusat

pemerintahan Tangerang Selatan telah ditetapkan di kecamatan Ciputat.

Alasannya, secara historis dan letak geografis, Ciputat adalah aset besar bagi PAD

Tangerang selatan. Selain itu, Ciputat dulunya juga memiliki kantor Wedana yang

menempati area seluas dua hektar di jalan Maruga, kelurahan Serua Indah

8

. Dari

uraian di atas, penulis melihat ini adalah sebuah permasalahan yang menarik yg

layak untuk dikaji dan dikembang untuk bahan skripsi.

B.

Pembatasan Dan Perumusan Masalah

1.

Pembatasan Masalah

Berdasarkan latarbelakang masalah diatas maka penulis hanya membatasi

masalah pada kajian politik pemekaran wilayah dalam proses pembentukan

8Djoko Loekito, Sejarah Terbentuknya Kota Tangerang Selatan Dari Kota Cipasera ke

Kota Tangerang Selatan, dalam website

(18)

Tangerang Selatan pada tahun 2006-2009. Agar pembahasan dalam skripsi ini

lebih terfokus dan tidak melebar, maka pembahasan masalah dalam skripsi ini

akan dibatasi hanya pada persoalan-persoalan politik dalam upaya

menyelenggarakan kota tangerang Selatan.

2.

Perumusan Masalah

Berangkat dari persoalan di atas, maka penulisan skripsi ini akan

dirumuskan sebagai berikut:

a.

Faktor-faktor yang mendasari tuntutan pemekaran wilayah di Kabupaten

Tangerang?

b.

Bagaimana tarik-menarik elit politik dalam proses pemekaran?

c.

Bagaimana nuansa politik dalam proses pembentukan Kota Tangerang Selatan?

C.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan

khusus. Tujuan umum tersebut antara lain:

1.

Untuk mengetahui dinamika yang berlangsung dalam proses politik pemekaran

wilayah Tangerang Selatan.

2.

Dan untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan dalam pemekaran Tangerang

Selatan.

3.

Dan untuk mengetahui beberapa implikasi politik pasca pemekaran wilayah

Tangerang Selatan.

Sedangkan tujuan khususnya dari penelitian ini adalah untuk

menyelesaikan tugas akhir dari program sarjana (S1) pada jurusan Pemikiran

(19)

D.

Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat penelitian dari penulisan skripsi ini adalah:

a.

Secara akademis, diharapkan dapat memperkaya khazanah kepustakaan

perpolitikan, khususnya mengenai wacana otonomi daerah dan pemekaran

wilayah, karena semakin luasnya kajian tentang demorasi.

b.

Secara praktis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi segenap aparat dan

pemerintah daerah tangerang Selatan dalam menyelenggarakan program yang

sedang dilaksanakannya.

c.

Secara subtansial, sebenarnya manfaat penulisan skripsi ini diharapkan mampu

memberikan pelajaran penting terhadap masyarakat modern saat ini, bahwa

pemekaran wilayah memang penting untuk mendekatkan jarak antara

pemerintah dan masyarakatnya, dan lebih dapat melakukan pemberdayaan

manusia di tingkatan daerah. Namun pemekaran wilayah merupakan bukan

jalan terakhir dari dari beberapa tujuan tersebut, karena efeknya jika

pemekaran wilayah ini gagal dimaksimalkan, maka masyarakat sendiri lah

yang akan merasakannya.

E.

Metodelogi Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe kualitatif,

Prosedur penelitian ini menghasilkan data yang deskriptif, yaitu menggambarkan

dan menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang sedang di teliti.

Agar dapat menghadirkan sesuatu yang baru bagi kajian politik Islam saat ini.

1.

Teknik Pengumpulan Data

(20)

a.

Studi literatur (kepustakaan) dan dokumentasi, yaitu mencari dan

mengumpulkan data mengenai masalah-masalah yang bersangkutan melalui

literatur buku, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain yang berkaitan

dengan objek yang sedang di teliti.

b.

Wawancara, dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi melalui tanya

jawab dengan pelaku sejarah dan pihak-pihak yang terkait.

9

Dalam hal ini K.

H. Zarkasyi Noer selaku Ketua Presidium Pemekaran Tangerang Selatan,

adalah tokoh penting dalam proses pemekaran Tangsel, posisinya sebagai ketua

Presidium adalah menjembatani kinerja pemerintah daerah dengan pusat, agar

terjadinya sebuah hubungan yang dapat mendukung proses pemekaran

tersebut. Selain itu, H. Amien Djambek, adalah salah satu tokoh penting juga

yang kurang banyak diketahui masyarakat Tangsel pada umumnya, padahal

beliau merupakan salah satu penggerak penting dalam proses pemekaran

Tangsel, posisinya sebagai Ketua Umum FORMAT (Forum Membangun

Tangerang Selatan) dimana 80% anggotanya adalah aparatur pemerintahan

disektor kelurahan dan kecamatan, sehingga koordinasi antara para pengerak

dan pelopor pemekaran ini dengan segenap aparatur pemerintahan yang berada

di sector kelurahan dan kecamatan senantiasa terjaga.

2.

Teknik Analisa Data

Adapun teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analysis

, yaitu suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat

gambaran terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun dengan cara

9

(21)

memberikan interpretasi terhadap data-data tersebut. Dengan menggunakan teknik

ini, peneliti berharap dapat memberikan gambaran yang sistematis, faktual, aktual,

dan akurat mengenai mengenai fakta-fakta seputar peran serta elit politik daerah

dan masyarakat dalam mewujudkan pemekaran wilayah Tangerang Selatan.

Untuk pedoman penulisan skripsi ini penulis menggunakan buku pedoman

terbitan UIN jakarta sebagai

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,

Disertasi)

yang diterbitkan oleh Center for Quality Development Assurance

(CEQDA) UIN Syarif Hidayatullah jakarta 2007 sebagai pedoman penulisan

dengan disesuaikan dari pengarahan dosen pembimbing skripsi.

F.

Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pembahasan penulisan yang lebih sistematis maka

penulis menyusun kedalam lima bab, dengan penjelasan sebagai berikut:

Bab pertama berisikan pendahuluan, pembatasan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metodelogi penelitian dan sistematika penulisan.

Kemudian dilanjutkan dengan bab kedua yang membahas “Konsep dan

teori Pemekran Wilayah”, dengan sub judul pengertian otonomi daerah dan

pemekaran wilayah, kemudian menjelaskan tentang filosofi pemekaran wilayah,

syarat-syarat dan ketentuan hukum pemekaran wilayah, juga tujuan dan manfaat

pemekaran wilayah.

Kemudian dilanjutkan dengan bab ketiga yang membahas sejarah kota

Tangerang Selatan, yang menjelaskan di mulai dari kondisi geografis, politik,

budaya, dan ekonomi Tangerang Selatan, kemudian menjelaskan pula sejarah

(22)

pemekaran daerah di kabupaten Tangerang, di mulai dengan isu CIPASERA

(Ciputat, Pamulang, Serpong dan Pondok Aren) pada tahun 2000, dan dilanjutkan

presidium persiapan kota Tangerang Selatan.

Selanjutnya diteruskan oleh bab keempat, yang membahas proses

pemekaran dan pembentukan kota Tangerang Selatan, yang meliputi faktor-faktor

apa saja yang menjadikan terbentuknya kota Tangerang Selatan, kemudian

dilanjutkan dengan judul berikutnya yaitu mengenai peranan pemerintah dan elite

politik daerah dalam proses pembentukan Tangerang Selatan, dengan di mulai

terbentuknya faksi-faksi yang mendukung dan menolak terbentuk Tangerang

Selatan, yang tak terlepas dari keterlibatan partai-partai politik daerah, yang

menuai pro dan kontra baik dari tingkat masyarakat hingga tingkat DPR-RI,

setelah terbentuk dan diresmikannya kota Tangerang Selatan, ternyata hal ini tidak

kemudian selesai dengan mudah. Karena ternyata hal tersebut diakhiri dengan

pembagian kue kekuasaan yang menuai polemik poltik di tingkat kabupaten dan

pemerintah provinsi yang merasa berjasa dalam proses pemekaran kota Tangerang

Selatan.

Dan terakhir, adalah bab kelima, yang meliputi kesimpulan dan

(23)

BAB II

KONSEP DAN TEORI PEMEKARAN WILAYAH

Pemerintahan selain memiliki misi menyelenggarakan pelayanan publik,

juga memiliki misi lainnya yang memang diperlukan masyarakat, tetapi tidak

dapat disediakan oleh organisasi lain. Seperti terjaminnya pemenuhan kepentingan

masyarakat yang dapat dilihat dari fungsi pengaturan kehidupan masyarakat, baik

yang menyangkut pengaturan persaingan maupun pengaturan terhadap

perlindungan masyarakat.

10

Keberadaan Pemerintah diperlukan untuk memenuhi kepentingan

masyarakat, karena organisasi pemerintah mmemiliki kenerja dalam rangka

mengemban misi yang diamanatkan oleh masyarakat itu sendiri, dan sekaligus

mempertanggungjawabkan

kinerjanya

kepada

masyarakat.

Keberadaan

pemerintahan, ada bukan karena untuk melayani kebutuhannya pribadi. Akan

tetapi, untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan

setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi

mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, birokrasi publik berkewajiban dan

bertanggungjawab untuk memberikan layanan publik yang baik dan profesional.

Namun yang terjadi pada Daerah-daerah saat ini sungguh berbeda, yang terjadi

antara pemerintah dan masyarakatnya adalah terbentangnya jarak yang begitu

jauh, sehingga keterbukaan antara pemerintah dan masyarakat tidak lagi

memenuhi pelayanan publik tersebut.

11

10

Agus Dwiyanto, Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Makalah yang

disampaikan dalam seminar kinerja organisasi pelayanan publik, FISIPOL UGM, 1995.

(24)

A.

Desentralisasi dan Pemekaran Wilayah

Berbicara tentang pemekaran wilayah, tentu saja tidak dapat terlepas dari

teori desentralisasi sebagai wujud dari tuntutan akan penerapan prinsip-prinsip

demokrasi dalam kehidupan bernegara, khususnya ditingkat daerah, karena salah

satu prinsip demokrasi yang sjalan dengan ide desentralisasi adalah adanya

partisipasi dari masyarakat. Agar masyarakat dan elit politik daerah mampu

mengembangkan daerahnya sendiri dan mempunyai kewenangan lebih untuk

daerahnya

12

.

Dalam pengertiannya, desentralisasi memiliki dua definisi, pertama,

desentralisasi yang diterjemahkan sebagai pengalihan tugas operasional dari

pemerintah pusat ke pemerintah lokal. Kedua, desentralisasi yang digambarkan

sebagai pendelegasian atau devolusi kewenangan pembuatan keputusan kepada

pemerintah yang tingkatnya lebih rendah. Dengan demikian, pada dasarnya

desentralisasi sungguh tak jauh bedanya dengan pemekaran wilayah yang

berkembang pada saat ini, yang merupakan sebagai wahana pemberdayaan

masyarakat daerah. Lalu kemudian apa yang membuat masyarakat dan pemerintah

lokal meminta lebih setelah diberikan otonomi daerah oleh pemerintah pusat,

tentu saja hal ini menjadi pertanyaan besar bagi penulis khususnya ketika hendak

mengkaji pemekaran wilayah.

Ternyata setelah dikaji lagi lebih mendalam, selain desakan atas

gelombang

euphoria

saat reformasi, pemicu derasnya pemekaran wilayah adalah

dekrit presiden pada tahun 1959, yang segala sesuatunya harus dikembalikan

12

Meizar Malanesia, makalah yang disampaikan dalam Program TKL khusus, dalam

sekolah pasca sarjana/ S3, Desentralisasi dan Demokrasi, dalam

http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/09145/meizar_malanesia.pdf, yang diposting oleh

(25)

kepada UUD 1945 dan pancasila, namun pasca reformasi muncullah UU no

22/1999 yang lebih mencerminkan kebinekhaan ketimbang ketunggal ikaannya,

namun dalam perkembangannya UU No 22/1999 ini direvisi menjadi UU No

32/2004, yang dinilai banyak kalangan sebagai bentuk resentralisasi soekarnois,

jelas saja berbagai desakan pemakaran wilayah semakin membanjir di DPR,

pasalnya makna desentralisasi bukan saja berkisar pada adanya kewenangan untuk

melakukan pemerintahannya sendiri, namun telah bergeser kepada dorongan

untuk memperoleh perlakuan yang lebih adil baik dari pemerintah pusat maupun

dari pemerintah induk, karena memang system desentralisasi yang mengacu pada

pemerintahan induk justru dalam hal ini lebih berkesan sebagai eksploitator asset

dan sumberdaya daerah setempat, imbasnya adalah rakyat sendiri lah yang kurang

mendapatkan perlakuan yang adil dari pemerintah induk yang lebih memiliki

control terhadap daerahnya

13

.

B.

Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah

Diskersi (keleluasaan) bagi daerah dalam mengatur dan mengurus segala

urusan rumah tangga sebuah daerah pemerintahan adalah sebuah paradigma baru

dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahaan daerah yang muncul setelah

adanya UU No. 22/1999. Karena hal tersebut sangat mengapresiasi sebuah

pluralitas, dan juga demokrasi, yang membuka ruang keterlibatan masyarakat

lokal dalam segenap proses penyelenggaraan pemerintahan daerah.

14

13

Kerjasama Percik dan USAID Democratic ReformSupport Program (DRSP) dan Desentralization Support Facility (DSF), Proses dan Implikasi Sosial-Politik: Studi Kasus di Sambas dan Buton, (Pustaka Percik, 2007), h. 4-8.

14

(26)

Saat ini Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak

diberlakukannya UU No. 22/1999 telah terdapat 4 provinsi, 98 kabupaten atau

kota daerah otonom. Dan tepat pada tahun 2009, genap sewindu sudah kebijakan

otonomi daerah dan desentralisasi fiskal digulirkan di Tanah Air, namun dalam

prakteknya hanya menyisakan segudang persoalan. Terdapat beberapa provinsi

dan kabupaten/kota yang menunjukkan kinerja yang mengagumkan (

high

performers

) dalam pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

15

Akan

tetapi, untuk wilayah-wilayah otonom lain, kondisi sebaliknya yang terjadi.

Angka kemiskinan tak banyak berubah, dari seluruh jumlah provinsi yang ada di

Indonesia, ada 15 provinsi yang mengalami penurunan kemiskinan, sementara 18

provinsi mencatat peningkatan persentase penduduk miskin, namun penurunannya

hanya bersifat fluktuatif “ada masa dimana kemiskinan kembali terulang diangka

semula”. Sebuah distorsi dari segi pemaknaan dan praktek telah menodai nama

“otonomi daerah”, oleh karena itu penulis melihat hal ini penting untuk dikaji

kembali, terutama mengenai pemaknaan otonomi daerah dan pemekaran wilayah.

Agar tidak terjadinya distorsi otonomi kembali dalam pemahaman kita saat ini.

1.

Pengertian Otonomi Daerah

Masyarakat indonesia sebenarnya tidak asing dengan otonomi daerah.

Sejak zaman kemerdekaan, para pendiri republik Indonesia ini telah merumuskan

tentang desentralisasi dan otonomi daerah untuk mengelola indonesia yang terdiri

dari pulau-pulau dan masyarakat yang majemuk dan menjalin keberbedaan jenis.

Oleh karena itu, konsep otonomi daerah sedari merdeka telah dirumuskan secara

15 “Sewindu Otonomi Daerah Masih Jauh dari Tujuan”, Kompas, Jumat-22- Mei-2009. H

(27)

matang, walaupun dalam perkembangannya mengalami perubahan definisi,

namun hal tersebut sama sekali tidak mengurangi nilai-nilai subtantif. Otonomi

daerah secara luas memiliki arti kewenangan sisa (residu) berada di tangan pusat

(seperti pada negara federal). Sedangkan secara nyata otonomi berarti

kewenangan menyangkut hal-hal yang diperlukan, tumbuh dan hidup, serta

berkembang, dan akhirnya disebut bertanggung jawab, karena kewenangan yang

diserahkan harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi, yaitu dengan

peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat agar semakin baik,

serta menjaga hubungan yang baik antara pemerintah pusat dan daerah.

16

Dalam pengertian secara teoritis, otonomi daerah adalah sesuatu yang

memberi wujud khas pada kelompok masyarakat tertentu, menjadi bagian integral

dari organisasi negara yang berada di bawah hukum pemerintah daerah dengan

batas-batas geografis tertentu. Namun dalam dimensi politik, otonomi daerah

mencakup aspek-aspek geografis, sosial, dan demografi yang membedakan suatu

komunitas secara konkrit atau abstrak yang membentuk identitas dan landasan

bersama sebagai suatu kesatuan atau entitas politik. Dan dalam kacamata

ekonomi, Faisal H. Basri menambahkan, bahwa otonomi yang hakiki adalah

berpijak pada landasan kerangka negara federal, yang memungkinkan daerah

mampu memanfaatkan segenap keunikan dan keunggulan semaksimal mungkin,

sehingga daerah tersebut mampu menghadapi persaingan global, mengingat

otonomi yang hakiki niscaya akan memberikan peluang bagi daerah untuk

memiliki tempat dalam pasar bebas. Semakin mampu suatu daerah menopang

terbentuknya kompetensi yyang semakin kuat di bidang harga dan kualitas pada

16

(28)

kalangan pengusahanya, semakin mampu daerah tersebut menyejahterakan

rakyatnya melalui pengaktualisasian potensi keunikan dan keunggulan yang

dimiliki daerahnya.

17

Sedangkan dalam perspektif demokrasi pada era reformasi otonomi daerah

telah mendorong perubahan paradigma otonomi daerah, yang jauh lebih baik dan

lebih maju, ketimbang pardigma lama yang dibangun secara sentralistik oleh Orde

Baru. Namun demikian, paradigma yang baru, masih berjalan formalistik di atas

kertas, yang notabene diikuti dengan meluasnya pemahaman keliru terhadap

konsep otonomi daerah, sehingga menyebabkan praktik otonomi daerah yang

bermasalah.

18

Diawali dengan mengkaji ulang konsep otonomi daerah menuju otonomi

daerah yang

original

dan

authentic

sekaligus bermakna, bukan sekedar otonomi

yang legal formal, akan tetapi lebih pada ke arah yang subtantif. Otonomi daerah

adalah arena kemandirian dan tanggung jawab (bukan semata kesewenangan)

daerah dalam mengelola rumah tangga daerah yang berbasis pada masyarakat

lokal, kemandirian untuk membentuk pemerintahan sendiri (bukan dalam artian

negara federal), mengambil keputusan sendiri, dan mengelola sumber daya

sendiri. Dengan kata lain, otonomi daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan

daerah secara mandiri yang di kelola secara demokratis. Oleh karena itu, otonomi

daerah tidak bisa dianggap sederhana menjadi masalah penyerahan urusan

kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, karena otonomi

daerah sebetulnya berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah, sehingga

17Indra J. Piliang, Dendi Ramdani. Dkk, Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi, (Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa, 2003). H. ix-x.

18

(29)

diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang sejumlah prakarsa dan

kemandirian dalam iklim demokrasi. Namun demikian, pelaksanaan otonomi

daerah ini harus juga dilakukan secara bersama-sama dengan pemahaman atas

esensi dan pengertian otonomi masyarakat di daerah.

19

2.

Pengertian Pemekaran Wilayah

Sejak otonomi daerah diberlakukan, proses pemekaran terjadi begitu pesat

dan cenderung tidak terkendali. Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai

sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas

dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga

merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah

dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan

efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan. Namun

bagaimana pemekaran sendiri secara definisinya.

Secara umum pemekaran wilayah adalah pembentukan wilayah

administratif baru di tingkat provisi maupun kota dan kabupaten dari induknya.

Pada dasarnya secara definisi pemekaran daerah adalah bentuk usaha dari

pemerintah kabupaten dalam melakukan pemerataan dan pembagian wilayah ke

tingkat yang lebih merata dan rapih, agar tidak terjadinya tumpang tindih, baik

secara administratif, maupun secara sumber potensi alam yang ada di daerah.

Landasan hukum terbaru untuk pemekaran daerah di Indonesia adalah UU No 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selain itu juga UU no 32 tersebut

19

(30)

menyantumkan tentang pengertian daerah, yaitu penggabungan beberapa daerah

atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah atau lebih

untuk kemudian membentuk pemerintahan sendiri. Untuk itu, harus memenuhi

syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

20

Sedangkan dari perspektif kewilayahan, terminologi “pemekaran” menurut

Profesor Eko Budihardjo merupakan istilah yang salah kaprah karena dalam

“pemekaran” wilayah yang terjadi bukan pemekaran tetapi lebih tepat penciutan

atau penyempitan wilayah, Dari perspektif kewilayahan memang istilah

“pemekaran” tidak tepat digunakan mengingat dengan “pemekaran” suatu daerah

justru mengalami penyempitan bukan perluasan wilayah. Dalam melihat

pemekaran daerah banyak perspektif yang bisa digunakan antara lain perspektif

hukum dan kebijakan, perspektif penataan wilayah, perspektif politik administrasi

pemerintahan, dan lain-lain.

21

Sedangkan jika dilihat dari perspektif politik admistrasi pemerintahan

pusat, pemekaran wilayah merupakan penambahan jumlah daerah baru (kota,

daerah, provinsi, atau desa). Dengan penambahan daerah baru, maka semakin

besar pula beban yang harus ditanggung oleh pemerintah pusat, seperti

penambahan jumlah kepala daerah dan semua struktur yang ada di bawahnya, dan

hal demikian tersebut membutuhkan biaya rutin setiap bulan dan tahunnya.

22

Namun hal demikian kiranya kurang begitu berpengarung, artinya kita juga harus

memperhatikan potensi daerah juga yang dimiliki daerah pemekaran baru ini.

20

Bakor Cipasera, Menuju Kota Cipasera, (Ciputat: copyright proposal Tangsel, 2005), h. 12.

21

Lihat Herudjati Purwoko, dkk, Desentralisasi Dalam perspektif Lokal, (Salatiga: Pustaka Percik, 2004), H. 49.

22

Lihat Frans M. Parera, dkk, Demokrasi Dan Otonomi, Mencegah Disintegrasi Bangsa,

(31)

Oleh karena itu, substansi dari pemekaran wilayah adalah masyarakat memiliki

kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri demi tercapainya cita-cita

bersama untuk mewujudkan masyarakat yang aman, adil, makmur dan sejahtera.

23

C.

Filosofi Pemekaran Wilayah

Sebuah perkembangan dan kabar yang menggembiran ketika melihat

hadirnya daerah-daerah otonom baru, secara pasti telah memperlihatkan sebuah

kesadaran masyarakat tentang arti penting kehadiran suatu pemerintahan yang

otonom untuk menata dan mengembangkan daerahnya. Karena secara substansi

adanya ide tentang pemekaran wilayah adalah untuk mensejahterakan seluruh

lapisan masyarakat daerah, dengan adanya pemerintahan daerah yang diharapkan

mampu berhubungan dan berkomunikasi baik dengan para masyarakat,

diharapkan mampu mendengarkan seluruh aspirasi masyarakat, dan berusaha

mewujudkan secara bersama-sama. Namun dalam proses perjalanannya ide

tentang pemekaran wilayah banyak yang memanfaatkannya secara sepihak untuk

kepentingan pribadi ataupun kelompok, bukan kepentingan seluruh masyarakat

yang termasuk di dalamnya. Pemaknaan pemekaran wilayah kini telah berubah

arah, dan parahnya lagi pemekaran wilayah kini juga dapat menjadi komoditas

politik, yang dilakukan oleh elite-elite untuk mewujudkan ambisi politiknya,

misalnya oleh elite yang gagal dalam pilkada. Isu-isu dimarginalkannya satu etnis

oleh etnis lain dikomodifikasi sedemikian rupa dan direproduksi terus menerus

oleh elite politik untuk mempercepat proses pemekaran. Pemekaran menjadi alat

perjuangan politik yang justru mengesampingkan kepentingan rakyat. Itulah

23

(32)

sebabnya meskipun di beberapa daerah pemekaran dirasakan manfaatnya antara

lain dengan adanya peningkatan pelayanan publik tetapi di beberapa tempat belum

membuahkan hasil yang signifikan.

24

Tidak semua pemekaran wilayah berhasil dengan cepat, politik

desentralisasi itu senyatanya lebih banyak dilahirkan dari motif reaktif dan tarik

ulur kepentingan sehingga kian jauh dari orientasi kesejahteraan dan pemerataan

kemakmuran rakyat. Pemekaran wilayah menjadi kian problematis karena

kegagalan itu berakibat langsung ke jantung realitas masyarakat. Sebut saja

disintegrasi, ketidakjelasan wilayah, dilema kepemimpinan daerah, dan

meningkatnya kemiskinan menjadi warna dominan kegagalan pemekaran wilayah.

Hasil pemekaran daerah yang tidak diimbangi dengan kesiapan infrastruktur dan

suprastruktur pada gilirannya menghasilkan daerah miskin baru yang masih

membutuhkan subsidi kepada daerah induk. Kondisi pemekaran wilayah yang

semakin mengkhawatirkan ini mesti disikapi secara bijak oleh pemerintah dan

DPR. Oleh karena itu, selain moratorium, harus pula dilakukan langkah strategis

lain dalam mengamankan jaringan ekonomi dan sosial masyarakat di daerah

pemekaran baru, agar orientasi dan filosofi pemekaran daerah tetap dalam cita-cita

utama bagi pemerintah daaerah baru yang telah dilantik.

25

Selain untuk mensejahterakan rakyat, dan memberikan pembangunan

daerah yang merata, pemekaran wilayah memiliki filosofi penting bagi

kelangsungan perkembangan pemekaran daerah,

yaitu dapat

menjaga

24Slamet Luwihono, salah seorang staff peneliti P2PL (Pusat Penelitian Politik Lokal)

yang menulis dalam situs

http://www.percik.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=86&Itemid=1, yang di posting pada Rabu, 17 September, 2008, dan di kutip pada tanggal 11 Mei 2010.

(33)

keanekaragaman budaya dan adat daerah, yang merupakan bagian penting dalam

terjalinnya rasa persatuan dan kesatuan masyarakat daerah, sebagaimana yang

tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat 2 yang kalimatnya sebagai berikut:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Dan yang lebih penting lagi adalah dengan menjaga entitas-entitas

masyarakat daerah dari semakin merebaknya globalisasi dan budaya

westernisasi

.

Oleh karena itu, dengan adanya cita-cita pemekaran wilayah di sejumlah daerah di

indonesia, juga diharapkan mampu menjaga keanekaragaman tersebut. Walaupun

nantinya ada perubahan budaya, diharapkan perubahan tersebut, tidak terlalu

signifikan dan berpengaruh dilingkungan daerah tersebut, dan diharapkan pula

budaya-budaya yang masuk mampu membawa kebaikan bersama bagi masyarakat

daerah.

26

Substansi-substansi tersebutlah yang semestinya menjadi filosofi bersama

untuk melakukan pemekaran wilayah. Jika hal ini ditanamkan dan tetap menjadi

orientasi utama bagi para penyelenggara pemekaran wilayah. Maka niscaya

daerah pemekaran wilayah baru akan menuai hasil yang mampu membangun

daerah tersebut kearah kemajuan yang lebih baik. Untuk meletakkan cita-cita

pemekaran pada relnya, pemerintah baru harus melakukan pembenahan di level

kebijakan saja belumlah cukup. Pembenahan juga harus dilakukan pada level

kesadaran politik para elite terutama yang ingin menjadi pelayan publik supaya

tidak menjadikan pemekaran sebagai komoditas politik semata. Menjadi pekerjaan

26Komite Persiapan Pembentukan Daerah Otonom Kota Cipasera Bidang Penelitian dan

Pengembangan, Kajian Awal Tentang: Peningkatan Status Wilayah Cipasera Menjadi Daerah

(34)

rumah kita bersama untuk meluruskan semangat pemekaran pada jalur semula

yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, prinsip-prinsip tersebutlah yang

kemudian hari diharapkan mampu menjadi fondasi dasar filosofi bagi para

penggagas pemekaran wilayah di berbagai daerah.

27

D.

Tujuan Pemekaran Wilayah

Sesuai dengan filosofinya, tujuan pemekaran wilayah juga sangat mulia

yang mengacu pada keinginan sejumlah manusia lokal yang secara sadar ingin

meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat daerah melalui pemerintahan daerah

yang otonom. Selayaknya pemekaran wilayah, atau pembentukan pemerintahan

otonom baru tidaklah diartikan sebagai pengalihan kekuasaan pusat semata, akan

tetapi harus dipahami sebagai wujud dari demokrasi yang sebenar-benarnya, yang

kemudian mampu mendorong tumbuhnyasebuah kemandirian pemerintahan

sendiri, karena otonomi ddaerah sebetulnya berarti otonomi masyarakat di

daerah-daerah, yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang sejumlah praakarsa

dan kemandirian dalam iklim lembaga demokrasi.

28

Dengan demikian, daerah dapat berprakarsa sesuai dengan potensi daerah

yang dimiliki dan dapat mengembangkan semua yang menjadi potensi daerah

dalam rangka memajukan kesejahteraan rakyat dengan tetap mengedepankan

kepentingan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pembentukan daerah juga

pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna

mempercepat terwujudnya kesejateraan masyarakat, pelaksanaan pembangunan

27 Indra J. Piliang, dalam artikel seminar Otonomi daerah yang diselenggarakan oleh

CSIS, "Kapok Dengan Otonomi?", (jakarta, 21 Mei 2003), h. 2.

(35)

perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, dan peningkatan hubungan

yang serasi antara pusat dan daerah sesuai dengan pertumbuhan kehidupan

demokrasi nasional.

29

Namun yang terpenting sebagai langkah awal daerah otonom baru adalah

dengan berusaha mewujudkan distribusi pertumbuhan ekonomi yang yang serasi

dan merata antar daerah, mewujudkan distribusi kewenangan yang sesuai dengan

kesiapan pemerintah dan masyarakat lokal, menciptakan ruang politik bagi

pemberdayaan dan partisipasi politik institusi-institusi politik lokal, serta

mewujudkan distribusi layanan publik yang mudah dijangkau oleh masyarakat,

dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi fungsi pemerintahan daerah.

30

E.

Syarat Dan Aturan Hukum Pemekaran Wilayah

Secara normatif, segala sesuatu yang berhubungan dengan Negara dan

politik tertanam sebuah syarat dan aturan hukum yang sifatnya mengikat untuk

dillaksanakan oleh siapapun, terlebih lagi terkait dengan pemekaran wilayah yang

sifatnya lebih urgen. Karena dalam beberapa kasus wilayah perbatasan saja bisa

menyulut konflik antar daerah. Oleh karena itu, dalam hal ini hadirlah UU No. 32

dan 33 tahun 2004, dan PP No. 78 tahun 2007, sebagaimana dijelaskan dalam UU

29Prof. Dr. Sadu Wasistiono, Ms, Pemaparan lanjutan Suplemen Penelitian Studi Kelayakan pemekaran Wilayah Tangerang Selatan, (Ciputat: pemerintah Daerah kabupaten Tangerang, 2007), h. 2.

30M. Zaki Mubarak, dkk, Blue PrintOtonomi Daerah Di Indonesia”, (Jakarta: The YHB center, 2008), h. 170-172. Dan dalam buku ini pula dijelaskan tentang tujuan pemekaran wilayah, yang dikutip dari PP No. 129/2000, yang menyatakan bahwa kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui enam point penting sebagai berikut:

1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat

2. Percepatan kehidupan pertumbuhan kehidupan demokrasi

3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah

4. Percepatan pengelolaan potensi daerah

5. Peningkatan keamanan dan ketertiban

(36)

No. 32/2004, Pasal 5, bahwa pembentukkan daerah harus memenuhi syarat

adminstratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif untuk kabupaten

atau kota meliputi adanya persetujuan DPR-D kabupaten atau kota dan Bupati

atau Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPR-D provinsi dan Gubernur

serta rekomendasi Menteri dalam Negeri. Sementara itu, syarat teknis meliputi

faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang meliputi faktor kemampuan

ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,

pertahanan, keamanan dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan

terselenggaranya otonomi daerah. Sedangkan syarat fisik meliputi sedikitnya ada

lima kabupaten atau kota untuk pembentukan provinsi, lima kabupaten atau kota

untuk pembentukan kabupaten, dan lima kecamatan untuk pembentukan kota, dan

wilayah yang akan menjadi ibu kota, beserta sarana dan prasarana pemerintah.

31

Kajian terhadap prosedur pemekaran wilayah dalam penjabarannya telah

tertuang dalam PP No. 129/2000 yang meliputi beberapa aspek penting yang

harus dilaksanakan dalam pemekaran wilayah otonom. Prosedur

pertama

yang

harus dilakukan adalah, aspirasi masyarakat, karena dampak dan akibat dari

pemekaran wilayah ini pula yang kemudian akan dikembalikan atau berdampak

pada masyarakat itu sendiri, adanya dukungan dari beberapa orang anggota

pemerintahan daerah dan masyarakat daerah setempat untuk memekarkan diri dari

daerah otonom induknya. Dan keinginan politik pemerintah daerah cukup

direpresantikan dengan persetujuan kepala daerah dan DPR-D, sedangkan

keinginan politik masyarakat yang direpresentasikan dengan berbagai tanda

tangan dari tokoh masyarakat dianggap telah cukup memperlihatkan adanya

(37)

keinginan politik dari masyarakat yang bersangkutan, yang dipermudah dengan

tidak dipersyaratkannya jajak pendapat (cara plebisit atau kajian akademis) untuk

melakukan pemekaran wilayah, karena dianggap cara plebisit terlalu rumit, mahal

dan beresiko untuk dijadikan sebagai media menggalang pendapat masyarakat.

Oleh karena itu, syarat-syarat dan ketentuan diatas telah dianggap sah-sah saja.

Akan tetapi hal inilah justru yang menjadi unsur kelemahan PP No. 129/2000,

dengan prosedur pemekaran yang terlalu longgar menyebabkan keinginan politik

masyarakat dengan mudah saja dipolitisir sebagai kemauan orang banyak atau

masyarakat daerah.

32

Unsur

kedua

, dengan membentuk badan atau lembaga yang dengan siap

segera mempersiapkan segala kebutuhan untuk pemekaran wilayah tersebut, yang

beranggotakan para tokoh masyarakat dan para penggagas pemekaran. Dalam

banyak hal lembaga ini lah yang kemudian hari menjadi sebuah bentuk

representasi dari keinginan politik masyarakat untuk mengusulkan pemekaran,

dan lembaga ini pulalah yang kemudian berurusan langsung keatas, kebawah, dan

yang berhubungan langsung dengan pihak eksekutif, legislatif daerah maupun

pusat. Walaupun hadirnya badan atau lembaga ini dalam sejumlah daerah

pemekaran tidak tercantum dalam PP No. 129/2000, namun hal tersebut bukan

berarti larangan akan adanya lembaga tersebut.

33

Unsur ketiga yang harus ditempuh dalam prosedur pemekaran wilayah

adalah harus di dukung oleh penelitian awal yang diselenggarakan oleh

pemerintah daerah, dari segi pengamatan lapangan, yang kemudian akan

32Ibid, Blue Print "Otonomi Daerah Di Indonesia", (Jakarta: The YHB center, 2008), h. 146-147.

(38)

menjelaskan tentang kriteria kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya,

sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, rentang kendali dan lain-lain.

Unsur keempat, bagian final dan kesimpulan dari segenap penelitian yang

ada dalam unsur ketiga, yang kemudian dapat merumuskan persetujuan

pemekaran wilayah, yang dilakukan secara bersama-sama dalam praktiknya, oleh

DPR-D, pemerintah daerah dan masyarakat daerah, dan dalam selanjutnya hal ini

dilakukan untuk menghidari konflik politik antara pemerintah daerah dengan

masyarakatnya, akibat dari prosedur pemekaran wilayah ini, karena memang hal

ini sangat sensitif dan rawan konflik. Oleh karena itu hal ini diperlukannya sikap

kebersamaan antara DPR-D, Pemerintah daerah dan masyarakat.

34

Sejujurnya, memang banyak ketentuan yang mengindikasikan gahwa

prosedur yang harus ditempuh untuk menetapkan pemekaran wilayah harus

melalui proses panjang dan rumit, yang melibatkan banyak orang, juga banyak

kalangan, yang menuntut akurasi persyaratan teknis subtantif, seperti kelayakan

pembangunan ekonomi, pelayanan publik dan lain-lain.

Dari beberapa syarat dan aturan hukum tentang pembentukan daerah

otonom baru, maka syarat yang lebih penting kemudian adalah dapat menjamin

adanya peningkatan kesejahteraan dan kehidupan masyarakat daerah dan dapat

menjamin keselarasan hubungan antara daerah melalui kerja sama antara daerah

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencegah ketimpangan antar

daerah, mencegah disintegrasi, serta tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Selebihnya mengenai persyaratan pemekaran wilayah yang

telah diatur oleh UU No 32/2004 akan penulis cantumkan dalam lembar lampiran.

(39)

F.

Manfaaat Pemekaran Wilayah

Perlu diakui, bahwa pemekaran wilayah dalam hal ini memberikan

dampak dan manfaat yang positif bagi seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah

daerah, dengan adanya cita-cita dan UU No. 32/2004, mengenai otonomi daerah

dan pemekaran wilayah, setidaknya telah memberikan semangat baru bagi elit

politik dan masyarakat daerah untuk membangun daerahnya kearah yang lebih

baik, mampu bersaing dengan daerah maju yang lainnya. Perlu diakui bahwa

terbukanya prinsip otonomi daerah yang luas utuh dan bertanggung jawab dengan

suntikan dana awal dari pusat cukup memicu sejumlah kalangan daerah untuk

kembali bangkit, dan tergerak untuk menghidupkan kembali daerahnya, walaupun

tidak bisa dinafikkan, kalau dari sebagian mereka ada yang mengharapkan

suntikan dana awal dari pusat tersebut masuk ke dalam kantong-kantong pribadi

mereka, dan mengharapkan kekuasaan baru. akan tetapi, setidaknya paling tidak

mereka telah menjalankan dan melaksanakan cita-cita menjsejaterakan rakyat

melalui cita-cita pemekaran wilayah.

35

Selain itu juga dengan adanya pembentukan daerah baru, masyarakat akan

semakin bergairah dan berkembang karena lahir tuntutan baru untuk membangun

daerahnya, akan memicu motivasi terjadinya efektifitas birokrasi serta pelayanan

publik yang lebih terjangkau, terarah dan terencana, karena sasaran yang dituju

semakin jelas dan cakupannya lebih mudah. Karena selama ini sering terjadi

birokrasi yang panjang dan bertele-tele, efek yang dihasilkan adalah, kejenuhan

masyarakat terhadap pelayanan pemerintahan itu sendiri, yang dikarenakan terlalu

banyak wilayah dan penduduk yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,

(40)

namun dengan adanya pembentukan daerah baru, hal ini menjadi lebih mudah dan

terkendali, dan hal ini juga diharapkan mampu mendekatkan dan mengembalikan

kepercayaan masyarakat terhadap negara, karena bahwa sesungguhnya negara

masih peduli terhadap masyarakat melalui pemerintah daeran dan konsep

pemekaran wilayah. Selain itu juga, dengan hadirnya lembaga baru juga akan

mendorong masyarakat untuk membentuk lembaga-lembaga swadaya yang baru,

lembaga keagamaan, pendidikan, dan organisasi kemasyarakatan yang berbasis

penggalian potensi sumberdaya manusia. Dengan kata lain, masyarakat

mempunyai kesempatan yang sangat luas untuk membangun dan mengelola

daerah.

36

Dan manfaat yang lain adalah, terciptanya sarana pendidikan politik bagi

pemerintah daerah, sehingga diharapkan mampu menciptakan sebuah formulasi

yang segar guna membantu mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat

daerah, sehingga tidak terjadi sebuah pemekaran yang memiliki motif lain dalam

daerah tersebut dan tetap menjaga keutuhan budaya masyarakat daerah tersebut.

37

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik benang merah dan dianalisa

kembali, bahwa pemekaran wilayah pada tataran konsep dan cita-cita adalah

sesuatu yang sangat mulia, berangkat dari kebutuhan perut yang lapar dengan

bahasa “mewujudkan kesejateraan masyarakat” para penggagas pemekaran

wilayah berusaha membangkitkan gairah masyarakat untuk kembali bangun dan

membangun diri dan daerahnya menjadi yang lebih baik, menjadi sebuah manusia

yang mapan dan merata.

(41)

Akan tetapi pemekaran wilayah dalam perkembangannya mengalami

banyak kendala, dimulai dari oknum yang tidak bertanggung jawab yang berusaha

memanfaatkan subsidi dan kucuran dana yang terus mengalir dalam terbentuknya

dari otonom baru, juga berusaha merubah cita-cita pemekaran wilayah itu sendiri,

dan parahnya lagi jika ada oknum-oknum yang dengan sengaja memanfaatkan

sejumlah aset dan potensi daerah yang ada untuk kepentingan segelintir orang atau

kepentingannya pribadi. Dan hasilnya kini, dapat kita lihat tidak sedikit daerah

pemekaran daerah baru belum bisa bangkit dan membangun daerah menjadi lebih

baik, bahkan hal ini dikabarkan, justru semakin jumlah keluarga miskin semakin

bertambah setiap tahunnya, dan hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah

dalam hal ini ada yang salah dalam konsep pemekaran wilayah, atau kondisi

daerah yang memang untuk digerakkan dalam sektor ekonomi? Namun bukan hal

itu yang menjadi kendala, satu yang ingin menjadi statement penulis dalam

penutupan bab dua ini adalah, diperlukannya pengawasan terhadap daerah

pemekaran baru dalam beberapa tahun, kemudian dilakukannya evaluasi data, dari

hal ini dapat diketahui, sesungguhnya faktor apa yang menjadi kendala sebuah

daerah pemekaran baru menjadi tidak berkembang sebagaimana yang telah

dicita-citakan dan di gagas oleh sejumlah masyarakat daerah. Dan terakhir,

dibutuhkannya sebuah tindak lanjut yang serius dari sejumlah elemen masyarakat

(42)

BAB III

PROFIL KOTA TANGERANG SELATAN

Cipasera adalah akronim dari Kecamatan Ciputat, Cisauk, Pamulang,

Pagedangan, Serpong, Dan Pondok Aren di Kabupaten Tangerang, Cipasera inilah

yang menjadi embrio terlahirnya kota Tangerang Selatan di kemudian hari.

Wilayah yang berada tepat samping ibu kota Jakarta ini, dengan batas wilayahnya

yakni daerah Pasar Jumat yang melingkari terminal Lebak Bulus, juga wilayah

yang memiliki fungsi penting sebagai penyangga (

buffer

) beban berat arus

urbanisasi yang memadati kota Metropolitan. Kini wilayah Tangerang Selatan

tengah tumbuh dan berkembang menjadi wilayah perkotaan, karena adanya efek

dari membanjirnya arus urbanisasi dari Jakarta yang dengan cepat merambat ke

wilayah Tangerang Selatan, akibatnya adalah pertumbuhan pembangunan dan

kebutuhan ekonomi masyarakat urban yang harus dipenuhi oleh Pemerintah

Kabupaten Tangerang.

38

Permasalahan kemudian muncul ketika Pemerintah Daerah Kabupaten

Tangerang Tidak mampu mengatasi problem pertumbuhan dan pembangunan

masyarakat, yang dikarenakaan selain letak pusat Pemerintahan Daerah yang

berada

Referensi

Dokumen terkait

[r]

7 Selanjutnya, “(3) Anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari 1 (satu) partai politik yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk 1 (satu) fraksi

(2) Mutasi Biodata bagi yang penduduk Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang telah dicatat sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, diterbitkan Kartu Keluarga dan

(2) Pemberian suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencoblos salah satu Calon Kepala Desa dalam surat suara, yang selanjutnya Pemilih memasukkan

yang telah dicatat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, diterbitkan Kartu Keluarga dan atau Kartu Tanda Penduduk serta Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk Tetap bagi

(1) Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) adalah unsur masyarakat yang dipilih berdasarkan musyawarah Pemerintah Desa, BPD dan tokoh masyarakat dan

(1) Saksi Calon dalam penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2), merupakan warga Desa yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap serta harus

(1) Kepala Desa menyusun rancangan Peraturan Desa tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8