dengan Mahasiswa non Aktivis
Oleh
Ahmad Baihaqqi NIM: 101070023002
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi
FAKUL TAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERll (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKi/:\RTA
dengan Mahasiswa non Aktivis
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh
AHMAD BAIHAQI NIM : 101070023002
DI Bawah Bimbingan
FAKULTAS PSIKOLOGI
Gセ@
'
UNIVER.SITAS !SLAM
neセeri@(UIN)
セ@
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA; Perbedaan lntensitas antara
Mahasiswa Aktivis dengan Mahasiswa non Aktivis" telah diajukan dalam munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Mei 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Penguji I;'\,
·.
\1 .·
Ora. Nett II/I. Si.
NIP: 150 21
Jakarta, :28 Mei 2007
Sidang Munaqasyah,
Anggota:
Pembantu Dekan/
Sekretaris Merangkap 11\nggota,
Ora. Zahrotun Nihayah, II/I. Si. NIP: 150 238 773
1
Penguji I!;
agar engkau tidak terus dalam kelapangan, d:an Dia
melepaskanmu dari keduanya agar engkau terbebas dari
sesuatu selain- Nya"
{Kitab al-Hikam, lbn 'Atha 'ii/ah)
(B) Mei 2007
(C) Ahmad Baihaqqi
(0) "PERILAKU PROSOSIAL MAHASISWA UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA; Perbedaan lntensitas antara Mahasiswa Aktivis dengan Mahasiswa non Aktivis"
(E) Halaman xiv +
118
(F) Antusiasme mahasiswa di dalam melakukan aksi-aksinya, baik yang berorientasi politik maupun yang murni berorientasi sosial, menjadikan mahasiswa memiliki nilai perilaku prososial yang baik di mata
masyarakat. Akan tetapi jika pada kenyataannya di dalam kelompok mahasiswa itu sendiri terdapat berbagai tipe-tipe mahasiswa yang dalam penelitian ini dikerucutkan menjadi dua ォ。エ・セゥッイゥL@ yakni
mahasiswa aktivis dan mahasiswa non aktivis, apal<ah penilaian yang baik mengenai perilaku prososial pada mahasiswa tersebut al<an tetap ada? Sedangkan para peneliti sosial menemukan sebuah fakta bahwa pada dasarnya mahasiswa aktivis lebih memiliki service oriented yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa non aktivis. Selain itu juga apakah perbedaan tipe tersebut juga
menyangkut delapan aspek perilaku prososial yang dalam hal ini terdiri dari perilaku menolong, berbagi, bekerjasama, menyumbang,
berderma, jujur, peduli dan perhatian terhadap hak dan kesejahteraan orang lain?
Dari gambaran latar belakang tersebut mal<a tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan intensitas di dalam berperilaku prososial antara mahasiswa aktivis 、・ョQセ。ョ@ mahasiswa non aktivis? Selain itu juga apakah perbedaan terSE!but juga
menyangkut delapan aspek perlaku prososial?
Subjek yang dijadikan sampel di dalam peneltian ini adalah mereka para mahasiswa-mahasiswa aktivis yang tergabung di dalam
organisasi BEM (Sadan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas dan
Pendekatan yang digunakan adalah dengan meng£1unakan
pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif komparatif. lnstrumen yang digunakan adalah dengan menggunakan kuisioner dengan purpossive sample sebagai teknik pengambilan datanya.
Dari hasil pengujian data yang dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 10.0 for Windows, penulis mendapatkan hasil ketidak adanya keberbedaan secara umum pada intensitas perilaku prososial antara mahasiswa aktivis dengan mahasiswa non al<tivis di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun jika pengujian dilakukan secara spesifik, keberbedaan tersebut terjadi pada dua komponen perilaku prososial, yaitu perilaku menolong dan
bekerjasama. Berdasarkan hasil sebaran kuisioner, skor intensitas perilaku prososial tertinggi pada dua komponen tersebut dimiliki oleh mahasiswa aktivis. Hal ini membuktikan bahwa pemn organisasi cukup penting di dalam menaikkan intensitas perilaku rnenolong dan
bekerjasama pada para mahasiswa. Oleh sebab itulah, penulis dalam hal ini menyarankan kepada penelitian selanjutnya agar mencari tahu apakah hubungan tersebut bermakna positif atau ュセァ。エゥヲ@ di dalamnya, karena bisa jadi para mahasiswa aktivis yang memiliki skor lebih baik daripada yang non aktivis memang memiliki kepribadian yang
prososial sebelum ia aktif di dalam organisasi.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Yang berkuasa atas segala sesuatu, syukur yang tak henti-hentinya atas segala nikmat yang telah diberikan dan atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang tetap istiqomah di jalan-Nya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat selesai tanpa adanya bimbingan dan dukungan yang penuh ketulusan, baik secara moril maupun materiil dari semua pihak oleh karena itu dalam
kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Oekan Fakultas Psikologi yang juga merupakan dosen pembimbing 1 penulis di dalam menyelesaikan skripsi ini, lbu Hj. Ora. Netty Hartati, M. Si. Terima kasih atas ilmu, bimbingan dan motivasinya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Gazi Saloom, M. Si selaku pembimbing 2 yang :sudah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberi arahan serta motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 3. Bapak Ors. Choliluddin AS, MA selaku dosen penasehat akademik
penulis. Terima kasih atas bimbingan dan motivasi yang diberikan selama ini.
4. Seluruh dosen beserta staf-stafnya yang telah membantu dan
kehidupan, lbu Bapak saya mencintaimu, saya akan membahagiakanmu dan memberikan yang terbaik untukmu. Terima kasih, ya Allah lindungilah dan sayangilah kedua orangtuaku, Amin.
6. Saudara-saudara kandungku yang tercinta beserta keluarga-keluarganya yang selalu memberikan keceriaan dan semangat pada penulis.
7. Para Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah yang telah sudi memberikan waktunya untuk menjadi sampel di dalam penelitian ini, khususnya kepada BEM Universitas, BEM-BEM Fakultas dan 4 opganisasi ekstra kampus (IMM, HMI, PMll dan KAMM!) beserta fungsionarisnya. Mohon maaf jika penulis tidak bisa menyebutkan namanya satu persatu, karena biarlah Allah sajalah yang mencatatnya.
8. Teman-teman seperjuanganku; Ki Agus "Kaizen", Eko ''Kubik Leadership", Bud-Jeng "Ayah/Abu", Sholeh 'The Big Guy", Good Man, i2P, Adib
"Pa'Oe", Adit, Suryana, ldham, A'as "Bakso Meteor", "Den" Bagoes, Fahri (aim.), dan teman-teman angkatan 2001 lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas
kebersamaannya.Mari kita menjadi sukses, karena sukses adalah hak kita.
9. Teman-teman ex-BEMF Psikologi 2003-2004, IMAMUPSI, FP21, LOK Korfak, dan Komunitas Bahasa. Kalian telah membesarkanku semua!! 10.Sahabatku yang baik, A.P Hanum, yang telah mau menemaniku di tengah
gelapnya badai dan teriknya tantangan.
13. Saudara-saudaraku lainnya yang telah berjasa membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Mahon maaf jika ada kealpaan di dalamnya.
Akhirnya, semoga Allah SWT membalas semua kebaikkan saudaraku semua dan ilmu yang ada bertambah serta bermanfaat dan membawa berkah di dunia rnaupun di akhirat kelak. Amin. Tiada gading yang retak, karena memperbaiki diri adalah sebuah hal yang mutlak.
Jakarta, 22 Mei 2007
Halaman Judul
Lem bar Persetujuan . . . .. . . .. . . ... ... . . ... . . .. . . .. . . .. . . .. . .. . .... ii
Lem bar Pengesahan . . . .. . . .. . .. . . . ... . .. . .. . . .. .. . ... . . .. . .. . .. . . . ... . .. . . . .. . . .. .. iii
Motto ... iv
Abstrak ... v
Kata Pengantar ... vii
Daftar lsi ... xi
Daftar Tabel ... xiii
Daftar Gambar ... .. ... .... ... .... .... .... ... .. ... ... ... .. xiv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... ... 1
1.2. ldentifikasi Masalah ... ... 12
1.3.
1.4
1.51.6
Pembatasan dan Perumusan Masalah ... ... ... 131.3.1. Pembatasan Masalah ... ... 13
1.3.2. Perumusan Masalah ... 14
Tujuan Penelitian ... ... ... 15
Manfaat Penelitian . . . .. . . . .. . . .. . . .. . . .. . . ... . . .. 15
Teknik dan Sistematika Penulisan
... 16
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Teoritik ... 18
2.1.1. Perilaku Prososial ... 19
2.1.2. Mahasiswa ... 48
2.1.3 Mahasiswa Aktivis ... ... 59
3.1. Jenis Penelitian ··· 85
3. 1.1 Pendekatan dan Metode Penelitian . . . 85
3.1.2 Definisi Variabel dan Operasional Variabel ... 86
3.2. Pengambilan Sampel .. .. . .... ... ... 88
3.2.1. Populasi dan Sampel ... ... ... ... ... 88
3.2.2 Teknik Pengambilan Sampel ... 89
3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 90
3.3.1. Metode dan lnstrumen Penelitian ... 90
3.3.2. Teknik Uji lnstrumen Penelitian ... 92
3.4 Teknik Analisa Data ... 93
3.5 Prosedur Penelitian ... 94
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Subjek .... ... ... ... ... .. ... . 96
4.2 Presentasi dan Analisa Data ... 101
4.2.1 Uji instrumen penelitian ... 101
4.2.2 Uji persyaratan ... 105
4.2.3 Uji hipotesis ... ... ... ... .. .. ... .... 107
4.3 Pembahasan Hasil Pengujian Hipotesis ... ... ... 111
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1. 5.2. 5.3.
Kesimpulan Diskusi Saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPI RAN
[image:11.595.29.439.95.505.2]1. Tabel distribusi item pada tiap-tiap komponen perilaku
prososial 91
2. Tabel gambaran umum subjek berdasarkan jenis kelamin ... 96
3. Tabel gambaran umum subjek berdasarkan fakultas ... ... 97
4. Tabel gambaran umum subjek berdasarkan semester... 100
5. Tabel hasil pengujian butir item tes ... 102
6. Tabel posisi butir item yang valid pada indikator perilaku prososial . . . .. . . .. . . 103
[image:12.595.31.435.149.485.2]Judul Gambar Halaman
1. Bagan Perbedaan lntensitas Perilaku Prososial pada
1.1
Latar Belakang Masalah
Banyaknya aksi-aksi mahasiswa baik yang dilakukan di dalam kampus maupun di luar kampus cukup menjadi bahan sorotan para pengkaji ilmuwan sosial maupun pada ilmuwan lainnya. Terlebih apabila ternyata aksi tersebut ternyata menimbulkan dampak sosial yang cukup besar pada masyarakat di sekitarnya, seperti yang terjadi pada aksi reformasi di tahun 1998 dimana pada aksi tersebut mahasiswa berhasil menumbangkan rezim kekuasaan Orde Baru yang ditandai dengan turunnya presiden RI Suharto pada 21 Mei
1998.
Aksi tersebut sebenarnya adalah puncak dari keprihatinan mahasiswa melihat penderitaan masyarakat yang begitu berat akibat tempaan krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1997
disamping kegeramannya melihat para elit-elit politik dan
Disamping aksi-aksi sosial yang berorientasi pada politik, adapula
aksi-aksi murni sosial mahasiswa yang sering kita juga saksikan di
pinggir-pinggir jala.1 maupun di dalarn lingkungan l<ampus. Seperti
dengan membangun posko penyaluran bantuan untuk para korban
bencana alam, atau hanya sekedar untuk mengadakan kegiatan
sunatan massal atau kegiatan bakti sosial lainnya di daerah
pedataman.
Dari beberapa contoh kasus di alas kita bisa melihat betapa
antusiasme mahasiswa di dalam menolong dan membantu warga
masyarakat yang sedang membutuhkan bantuan begitu besar.
Sehingga secara eksplisit dapat diartikan bahwa perilaku yang
ditampilkan oleh mahasiswa tersebut seperti yang dikatakan oleh
Wrightman L.S & Deaux K (1984), adalah merupakan ciri dari
kedelapan jenis perilaku prososial pada manusia yang diantaranya
adalah menolong, berbagi, berkerjasama, bertindak jujur,
menyumbang, dermawan memperhatikan hak dan kesejahteraan
orang lain serta peduli terhadap kondisi sesama.
Secara definisi, David 0. Sears (1985) berpendapat bahwa
perilaku prososial adalah sebuah bentuk tindakan yang dilakukan
memperdulikan motif-motif si penolong. Dalam hal ini ada beberapa
teori atau alasan yang menyebabkan mengapa perilaku itu bisa
terjadi pada diri seseorang. Alasan yang pertama clijelaskan pada teori sosiobiologi yang menyanclarkan bahwa perilaku tersebut sebenarnya berasal dari insting genetik yang di bawa oleh individu dari zaman dahulu hingga sekarang. Pendukung teori ini di
dasarkan pada teori evolusi Darwin yang meyakini adanya proses seleksi alam pada setiap makhluk hidup sehingga setiap jenis makhluk hidup harus bisa menolong jenisnya sendiri agar tidak
punah.
Akan tetapi pada perkembangannya kemudian teed ini dikritik oleh teori evolusi sosial yang menyebutkan bahwa faktor sosial jauh lebih penting dibandingkan dengan faktor biologis di dalam
menentukan perilaku prososial (0. Sears et.all, 1985). Hal tersebut
saja atau ternyata teori tersebut tidak dapat diterapkan pada contoh
yang ekstrim seperti menolong individu asing yan9 sedang mengalami kesulitan (0. Sears et.all, 1985).
Berdasarkan studinya, Campbell mengemukakan bahwa teori evolusi sosial ini di buat berdasarkan keyakinan bahwa karena
adanya manfaat yang begitu besar yang bisa di dapatkan di dalam perilaku ini sehingga masyarakat kemudian menerima perilaku ini sebagai bagian dari aturan atau norma sosial pada maf'yarakat itu sendiri. Adapun norma-norma tersebut meliputi norma tanggung jawab sosial, norma timbal balik serta norma keadilan sosial (0.
Sears et.all, 1985).
Norma tanggung jawab sosial menentukan bagairnana kita seharusnya membantu orang lain yang bergantung pada kita. Seperti orang tua yang diharapkan memelihara anak-anaknya, guru yang memfasilitasi kepandaian pada murid-muridnya, rekan kerja yang membantu pekerjaan kita dan lain-lain. Terkadang aturan ini
orang dalam keadaan darurat yang mengetahui bahwa orang lain yang berada dalam keadaan bahaya atau mengalami Iuka fisik yang parah, agar sedapat mungkin tanpa mer:nbahayakan dirinya sendiri atau orang lain, memberikan bantuan yang layak bagi orang tersebut" (0. Sears et.all, 1985).
Sedangkan pada norma timbal balik menyatakan bahwa kita harus menolong orang lain yang telah menolong kita. Artinya apabila kita diperlakukan layak pada orang maka kita harus memperlakukan orang tersebut secara layak pu!a. Di dalam bukunya, (The 7 Habits of Highly Effective People) Stephen Covey (1993) menyebutnya hal itu sebagai Hukum Utama yang termasuk ke dalam Etika Karakter. Pcmbuktian mengenai pernyataan ini dilakukan oleh Regan (1968) terhadap beberapa subjek mahasiswa yang diminta untuk membeli
sebuah tiket penyelenggaraan amal. Di dalam hasil penelitian
tersebut Regan mendapati intensitas membeli tiket yang lebih besar pada si penjual yang memberi minuman Coke (sejenis minuman ringan bersoda) dibandingkan dengan si penjual yang tidak
memberinya minuman Coke terlebih dahulu (0. Sears et.all, 1985). Hal ini disebabkan karena orang yang diberi minuman Coke \
.,
Disamping itu adapula norma keadilan sosial yang memiliki prinsip bahwa dua orang yang memberikan andil yang sama dalam suatu tugas harus mene:ima ganjaran yang sama pula dengan apa yang dikerjakannya (0. Sears et.all, 1985). Hasil pernyataan ini didukung dengan hasil eksperimen yang di!akukan o!eh Berscheid & Waister pad a tahun 1967. Di dalam eksperimennya tersebut kedua subjek diberikan suatu permainan dan pasangan yang menjadi lawan bo<mainnya tersebut, tanpa membuat suatu kesalahan, kehilangan
ua11g atau barang berharga lainnya sementara subjek yang satunya
lagr memperoleh kemenangan yang besar dan mendapatkan sejumlah uang yang banyak. Di akhir permainan subjek yang menang diberi kesempatan untuk memberikan sejumlah uang kepada pasang::rnnya yang kalah. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan hasil kecenderungan yang kuat untuk memberikan
sebagian dari hasil kemenangan kepada yang kalah (dan kehilangan uang secara tidak disengaja) walaupun subjek yang menjadi pemenang tersebut menang secara sah. Akan tetapi dalam
kondisi di mana keduanya sama-sama menang, l<ecil
Disamping teori-teori di alas, masih ada beberapa teori dan pendapat lain yang mendukung terjadinya perilaku prososial itu sendiri seperti pada teori belajar prososial yang menekankan pada reward and punishment (0. Sears et.all, 1985), faktor internal yang diantaranya termasuk faktor pola asuh pada anak, jenis kelamin dan faktor agama serta faktor eksternal yang termasuk diantaranya
faktor kehadiran orang lain serta faktor desakan waktu (Sarwono, 2002).
Sekarang yang menjadi permasalahannya adalah bukan faktor
mana yang paling dominan di dalam proses pengambilan keputusan pada diri mahasiswa untuk melakukan aksi-aksi prososialnya melainkan apakah perilaku prososial tersebut akan
mengalami perbedaan intensitas apabila di dalam kelompok
mahasiswa itu sendiri ternyata terdapat dua jenis tipe yang berbeda
dalam hal ini.
Kedua jenis tipe yang dimaksud adalah tipe mahasiswa aktivis dengan tipe mahasiswa non aktivis. Secara etimologi pengertian kata aktivis itu sendiri sebenarnya berasal dari kata aktif yang
maupun dalam bekerja (Poerwadarminta, 1993). Sedangkan secara definisi kata aktivis pada kamus Bahasa Indonesia berarti orang yang mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan tertentu
(Brataatmaja, 1995). Jadi apabila kedua kata tersebut digabung dengan kata mahasiswa maka mahasiswa aktivis yang dimaksud
adalah mahasiswa yang menjadi pendorong terjadinya kegiatan-kegiatan tertentu di dalam maupun di luar kampus. Pengertian yang sebaliknya dilekatkan pada mahasiswa yang termasuk pada
kategori non aktivis.
Apabila definisi kata aktivis yang dimaksud adalah seperti yang
telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, maka yang termasuk kategori mahasiswa aktivis yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah mahasiswa-mahasiswi yang tergabung di dalam organisasi kemasyarakatan I kemahasiswaan yang ada di dalam
lingkungannya. Hal itu disebabkan karena pertama, yang memiliki kewenangan dan kemampuan penuh untuk mengadakan
aktivitas-aktivitas secara luas baik di dalam maupun di luar kampus dalam
hal ini adalah organisasi-organisasi yang terdaftar secara sah dan diakui oleh pihak kampus setempat. Kedua, pada lazimnya
suatu organisasi tertentu untuk memperkenalkan serta
mempublikasikan eksistensi organisasi tersebut di dalam kampus.
Jadi pada intinya, tidak ada kegiatan yang dilakukan oleh
mahasiswa di dalam maupun di luar kampus tanpa membawa
nama bendera organisasi atau label komunitas tertentu yang
dikelola oleh maha3iswa tersebut.
Pengertian serupa yang menyatakan bahwa mahasiswa aktivis
adalah merupakan mahasiswa yang aktif di dalam
organisasi-orga11isasi kemahasiswaan I kemasyarakatan jug21 diperkuat oleh
pernyataan Sjahrir (Syuaib, 1987) yang menyatakan bahwa
mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang selain giat di dalam
studinya mereka juga giat di dalam kelompok-kelompok diskusi dan
tergabung dalam lembaga-lembaga swadaya masyarakat maupun
organisasi-organisasi intra maupun ekstra kampus.
Biasanya aktivitas-aktivitas kegiatan organisasi kemahasiswaan
yang diadakan oleh mahasiswa aktivis berkisar pada orientasi
pengembangan akademik pada konsentrasi fakultas mahasiswa
yang bersangkutan seperti dengan mengadakan seminar-seminar,
pelatihan atau workshop yang terkait dengan bidangnya. Adapun
budaya, hoby maupun keagamaan. Tidak jarang aktivitas nyata
yang dilakukannya tersebut terkadang berwujud dalam bentuk aksi
rnassa seperti deMontrasi. Oleh sebab itulah tidak sedikit dari para
aktivis mahasiswa yang menjadi korban perpolitikan di suatu negeri
di mana pemerintahannya sangat represif di dalarn menangani
aksi-aksi massa seperti belakangan yang terjadi pada tahun 1998
yang dikenal dengan "Tragedi Semanggi".
Dari uraian yang telah dijabarkan tersebut penulis melihat bahwa
:c1:? f:ec:enderungan dan kesempatan untuk memiliki intensitas
perilaku prososial yang lebih besar pada tipe mahasiswa yang
pertama, yaitu pada tipe mahasiswa aktivis. Hal itu disebabkan
karena pada pada saat ia memutuskan untuk bekerja sama
dengan orang lain dalam suatu wadah organisasi dibutuhkan
nilai-ni!::i etika dalam berinteraksi yang termasuk di dalamnya juga
adalah merupakan indikator dari perilaku prososial, seperti nilai
kejujuran dan tolong menolong. Disamping itu juga apabila ternyata
organisasi yang dipilihnya adalah organisasi yang berorientasi pada
nilai sosial dan politik, nilai-nilai perilaku prososial yang akan
direalisasikan juga akan semakin lebih banyak pula diterapkan di
dalamnya, seperti kegiatan advokasi warga yang l1ak-haknya
Asurnsi-asurnsi rnengenai lebih tingginya perilaku prososial pada rnahasiswa aktivis tersebut juga di dukung dengan adanya
penelitian yang dilakukan oleh L. C Baird pada tahun 1964. Di dalarn penelitiannya yang dilakukan di beberapa perguruan tinggi di Arnerika Serikat ia rnenernukan bahwa mahasiswa aktivis lebih
independen, artistik, ekspresif dan lebih service oriented
(berorientasi pelayanan) dibandingkan dengan rnahasiswa non aktivis.
Sedangkan di dalam negeri sendiri, Sarwono (197'8) di da!am bukunya tentang "Perbedaan antara Pemimpin dan Aktivis dalam G8rakan Prates Mahasiswa". Menyebutkan bahwa mahasiswa ;:;ktivis iebih sGring merasakan ketidak tenangan karena hal-hal yang bersinggungan dengan kebijaksanaan pemerintah dan keadaan masyarakat pada umumnya dibandingkan dengan
mahasiswa pada non aktivis dimana ketidak tenangan akan timbul
jika ada permasalahan pada keluarganya.
dalam setiap kampus memiliki tipologi lingkungan serta atmosfer yang berbeda dalam ha! ini. Seperti halnya pada kampus
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki kondisi dan lingkungan yang memiliki latar belakang sosiologis yang lslami mengingat ha!-hal yang dipelajarinya berkaitan dengan agama Islam ditambah lagi banyak dari para mahasiswanya yang
berasal dari kalangan pesantren. Bisa jadi intensitas perilaku prososial antara tipe mahasiswa aktivis dengan tipe non aktivisnya adalah sama mengingat Gallup (1984) di dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor agama memilki peran yang cukup besar
di dalam proses pengambilan keputusan pada seseorang untuk berperilaku prososial.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, yakni men9enai ada atau tidaknya perbedaan intensitas mahasiswa di dalarn berperilaku prososial diantara kalangan tipe mahasiswa aktivis dengan
kalangan tipe mahasiswa non aktivis maka dibuatlah penelitian ini.
1.2 ldentifikasi Masalah
1. Apakah ada perbedaan intensitas perilaku prososial di antara mahasiswa aktivis dengan mahasiswa yang non aktivis? 2. Apakah ada perbedaan ciri I indikator perilaku atau bentuk
perilaku prososial antara mahasiswa aktivis dengan mahasiswa non aktivis?
1 3 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. 3. 1 Pembatasan Masalah
I. Perbandingan intensitas perilaku prososial adalah perbandingan
besarnya frekuensi atau aktivitas perilaku prosososial pada seseorang yang diwakili oleh jumlah skor yang di dapat melalui
セヲ_ョケ・「。イ。ョ@ alat tes skala intensi perilaku prososial.
Jonis d<Jn bentuk perilaku prososial yang akan dinilai di dalam penelitian ini adalah segala bentuk perilaku menolong, berbagi,
bekerjasama, bertindak jujur, menyumbang, dermawan, memperhatikan hak dan kesejahteraan orang lain serta
mempunyai kepedulian terhadap sesama.
>.
Mahasiswa aktivis UIN Jakarta adalah sekelornpok mahasiswa yang masih belajar di perguruan tinggi UIN Jakarta dan masih tercatat sebagai peserta yang belajar di perguruan tinggi UIN Jakarta yang terdiri dari angkatan tahun 2003 sampai denganumum atau koordinator I kepala bidang dari suatu organisasi
intrn maupun ekstra yang masih terdaftar aktif di lingkungan
i;ampus UiN J:-ikarta yaitu BEMU, BEMF, HMI, PMll, IMM serta
KAMMI.
-l. Mahasiswa non aktivis yang dimaksud ada!ah seke!ompok
rnahasiswa UIN Jakarta yang rnasih terdaftar aktif sebagai
nlah35iswa 2kan tetapi tidak aktif di organisasi rnanapun di
lingkungan UIN Jakarta.
1.2.2 Perurnusan Masalah
Dari pernbatasan rnasalah di alas rnaka perurnusan masalah di
r10112m penelitian ini akan dirumuskan sebagai berikut:
·:. ,A,pc:kah ada porbedaan intensitas di dalarn berperilaku prososial
antara mahasiswa aktivis dengan mahasiswa non aktivis?
2. Apakah ada perbedaan ciri I indikator perilaku atau bentuk
perilaku prososial antara mahasiswa aktivis dengan mahasiswa
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan intensitas di dalam berperilaku prososial pada mahasiswa aktivis dengan mahasiswa yang bukan aktivis, serta untuk mengetahui apakah ada perbedaan ciri I indikator perilaku atau bentuk
perilaku prososial antara mahasiswa aktivis dengan mahasiswa non
aktivis di lingkungan kampus UIN Jakarta.
1.4 Manfaat Penelitian 1.Teoritis
Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan pada studi perilaku mahasiswa khususnya yang berkaitan dengan perilaku prososial. 2. Praktis
Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan informasi atau
1.5 Teknik dan Sistematika Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku standar pedoman penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun untuk sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :
BAB 1 PENDAHULUAN, yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta teknis dan sistematika penulisan skripsi.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
PENELITIAN, yang meliputi kajian teoritik tentang mahasiswa, aktivis dan perilaku prososial. Disusul dengan kajian tentang keterkaitan di antara dua variabel penelitian (perilaku mahasiswa dengan perilaku prososial) yang terangkum dalam kerangka berpikir serta perumusan hipotesis penelitian yang diambil berdasarkan kerangka berpikir.
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN, yang meliputi jenis penelitian,
pengambilan sampel, pengumpulan data dan teknik analisa data.
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN , yang meliputi kesimpulan yang dinyatakan baik secara deskriptif maupun analitis. Pada bagian ini juga akan dijelaskan implikasi apa yang akan ditarik dari hasil kesimpulan
tersebut. Sedangkan pada bogian diskusi penulis penulis akan
memberikan argumentasi teoritis terhadap hasil pengujian hipotesis. Adapun pada bagian saran penulis akan memuat pandangan dan
2.1 Deskripsi Teoritik
BAB2
KAJIAN PUSTAKA
Di dalam deskripsi teoritik ini penulis akan menjabarkan definisi mengenai perilaku prososial, bentuk-bentuknya, teori-teori yang mempengaruhi timbulnya perilaku prososial, motif dan perkembangan perilaku prososial,
perilaku prososial dalam Islam, cara mengukur perilaku prososial serta
penelitian-penelitian yang berkaitan dengannya. Adapun pada sub bab berikutnya penu\is akan mendeskripsikan mahasiswa aktivis secara terpisah dengan mendeskripsikan apa itu mahasiswa beserta karakteristik yang menyertainya, tipe-tipe- mahasiswa disusul dengan definisi mahasiwa aktivis itu sendiri beserta latar belakang yang menyebabkan mahasiswa menjadi seorang aktivis.
Pada sub bab berikutnya penulis akan menjabarkan bebHrapa organisasi kemahasiswaan yang terkait dengan penelitian ini dengan terlebih dahulu
Dari beberapa variabel tersebut, penulis akan merangkumnya menjadi satu bentuk kerangka berpikir yang kemudian membentuk hipotesis di dalam penelitian ini.
2.1.1 Perilaku Prososial
Manusia sebagai mahluk sosial tidaklah akan dapat hidup seorang diri di
dalam lingkungannya. Hal itu disebabkan karena ketika ia akan menjalani
kehidupannya, ia akan bertemu dan berinteraksi dengan manusia-manusia lain di dalam lingkungannya tersebut. lnteraksinya ini biasanya terjadi ketika
manusia ingin memenuhi kebutuhan di dalam hidupnya. Biasanya yang terjadi di dalam suatu interaksi adalah adanya suatu saat dimam:: manusia membutuhkan bantuan orang lain untuk menolong dirinya maupun
kelompoknya. Perilaku seseirang di dalam memberikan bantuan kepada orang lain maupun kelompoknyan inilah yang kemudian kita kenal dengan isitilah perilaku prososial.
A. Definisi Perilaku Prososial
Hal itu seperti yang dikemukakan oleh E. Staub (1978) ya1ng menyatakan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang menguntungkan orang lain, (yang dinilai) baik dari keuntungan yang dihasilkan (dari perilaku tersebut) maupun dari pengorbanan yang diberikan oleh si penolong, yang mungkin dalam hal ini begitu beragam dalam tingkatan m;:iupun jenisnya.
Dari definisi di atas Wispe menambahkan bahwa perilaku prososial adalah merupakan segala bentuk perilaku yang mempunyai konsekuensi sosial positif yang diwujudkan dalam bentuk pemberian bantuan fisik maupun psikis terhadap orang lain. "Prosocial behavior is that has positi11e social
consequences - that contributes to the physical or psychological well-being of another person" (Wrightsman & Deaux, 1981).
Dalam hal ini Batson & Coke (1981), Karylowsky (1981), Eisenberg (1986) dan Barnett (1987), membagi perilaku prososial menjadi clua, yaitu perilaku prososial yang murni (genuine) serta perilaku prososial instrumental. Perilaku prososial yang murni (ger:uine) dapat disebut jug a sebagai perilaku altruistik,
terperangkap di dalam kobaran api kemudian ュ・ョァィゥャ。ョセQ@ begitu saja setelah si korban selamat.
Gambaran mengenai perilaku prososial yang genuine sebenarnya adalah
gambaran definisi perilaku prosososial yang diberikan oleh Baron dan Bryne ( 1994) yang dalam hal ini menyatakan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang ditujukan untuk memberi keuntungan terhadap orang lain
walaupun tampak tidak ada keuntungan yang jelas bagi orang yang menolong, dan bahkan menimbulkan resiko pada si penolong.
"Prosocial behavior is action that benefits others but have no obvious
benefits for the person carrying them out, and which som<'01times involves risk
for the prosocia/ person".
Sedangkan gambaran perilaku prososial yang instrumental ditandai dengan adanya orientasi terhada1• keuntungan diri sendiri walaupun membawa keuntungan pula terhadap orang lain. Contohnya seperti pada seorang karyawan yang memberikan sebuah sumbangan amal pada acara amal yang
Luasnya definisi mengenai perilaku prososial yang menc;akup tindakan serta motif-motif si penolong secara tidak langsung digambarkan oleh 0. Sears et.al, (1985) yang menyebutkan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain tanpa melihat dan mempedulikan motif-motif si penolong.
Berdasarkan definisi-definisi dan pendapat yang telah diberikan oleh para tokoh di atas maka yang menjadi acuan serta indikator perilaku prososial
pada penelitian ini adalah berupa segala jenis bentuk perilaku yang
menguntungkan dan bermanfaat bagi orang lain atau kelompok lain, yang mempunyai konsekuensi sosial positif serta tidak bertentangan dengan norma-norma sosial, yang perwujudannya diwujudkan dalam bentuk
pemberian bantuan fisik maupun psikis tanpa memperdulikan motif-motif si
penolong.
B. Bentuk-bentuk Perilaku Prososial
Sama seperti halnya pada definisi perilaku prososial, bentuk-bentuk ·atau
orang lain serta mengungkapkan simpati adalah termasuk bagian dari
perilaku prososial.
Sedangkan Wispe (Zanden, 1984) memasukan perilaku simpati, kerjasama, membantu, berderma dan altruisme sebagai bentuk-bentuk dari perilaku prososial.
Adapun Deaux, K. & Wrightsman, L. S. (1984) menyebutkan sedikitnya ada delapan komponen yang terdapat pada perilaku prososia:I itu sendiri, yaitu
menolong, berbagi, bekerjasama, bertindak jujur, menyumbang, dermawan, memperhatikan hak dan kesejahteraan orang lain serta rnemiliki kepedulian terhadap orang lain sebagai bagian dari tindakan perilaku prososial.
Dari ketiga konsep di alas, penulis akan memakai delapan komponen bentuk perilaku prososial versi Deaux, K. & Wrightsman, L. S. di dalam penelitian ini karena pada item perilaku memperhatikan kesejahteraan orang lain serta
C. Teori-teori yang Mernpengaruhi Tirnbulnya Perilaku Prososial
Ada beberapa rnacarn teori yang rnenyebutkan tentang bagairnana perilaku prososial itu dapat terbentuk. Teori-teori tersebut rneliputi :
a. Teori sosiobiologi
Yakni suatu teori yang rnendasarkan konsep pernikirannya pada teori evolusi. Teori ini tentu dicetuskan oleh Charles Darwin (1871) yang
kernudian disusul oleh Hall (1960) dan Wilson (1971). Menurut teori ini, perilaku prososial yang terjadi pada suatu individu adalah rnerupakan
perilaku yang diwariskan dari nenek rnoyang individu tersebut. Artinya, pewarisan perilaku tersebut dihantarkan rnelalui g•en-gen yang dirniliki
oleh si pernbawa sifat yang kernudian diteruskan kernbali kepada keturunannya. Teori ini rnengandalkan dasar pernikirannya pada perilaku setiap hewan yang selalu berusaha rnelindungi keturunannya dari serangan predator. Hal inilah yang kernudian rnelahirkan suatu
bentuk kecenderungan biologis yang kemudian terdokumentasikan melalui bentuk ger> pada makhluk hidup tersebut (0. Sears et.all,
1985).
b. Teori evolusi sosial
sosiobiologi mempunyai banyak kelemahan-kelemahan seperti studinya yang selama ini hanya dipraktel<an pada hewan. Disamping itu juga teori sosiobiologi hanya membatasi エゥョ、。セセ。ョ@ altruisme individunya hanya pada satu golongan keturunannya saja seperti
induk ayam yang hanya melindungi anaknya saja atau induk burung yang hanya menjagai telurnya dari serangan predator. Akan tetapi teori ini tidak dapat menjelaskan pada beberapa contoh yang ekstrem seperti menolong individu asing yang sedang memerlukan bantuan I
pertolongan. Oleh sebab itulah Donald Campbell (0. Sears et.all, 1985) dalam hal ini mengeluarkan teori evolpsi sosial untuk menjawab
pertanyaan tersebut.
Menurut teori ini, rnanusia secara bertahap mengembangkan kemampuan, keyakinan serta teknologinya untuk menunjang
kesejahteraan hidup mereka. Dari hal tersebut manusia membutuhkan interaksi yang berkala guna memenuhi kebutuhannya. Dikala interaksi itu terjadi, perilaku prososial hadir dan membantu proses dari interaksi itu sendiri. Dan karena dianggap menguntungkani di dalam proses
berinteraksi maka perilaku prososial dianggap menjadi suatu norma
1. Norma tanggung jawab sosial
Norma ini menentukan bahwa seharusnya kita membantu orang lain yang bergantung kepada kita. Seperti orang tua yang
diharapkan memelihara anak-anaknya, seorang guru yang
diharapkan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada muridnya atau seorang pelatih yang mengurus anggota regunya. Aturan ini
biasanya termaktub di dalam ajaran-ajaran afjama. Bahkan terkadang norma ini dikeluakan dalam bentuk hukum, seperti undang-undang di negara bagian Minnesota yang mewajibkan " Setiap orang yang mengetahui bahwa ada orang lain yang
sedang berada dalam keadaan bahaya atau rnengalami Iuka fisik yang parah, agar sedapat mungkin tanpa membahayakan dirinya atau orang lain untuk memberikan bantuan yang layak kepada orang tersebut" (0. Sears et.all, 1985).
2. Norma timbal balik
Norma ini secara sederhana menyatakan bahwa kita harus
penelitian dibandingkan dengan yang tidak dib1:ilikan minuman.
Adapun faktor-faktor situasi yang mendukung clibalasnya
perbuatan tadi juga turut dipertimbangkan. Mis:alnya sebuah studi
yang dilakukan oleh Greenberg dan Frisch (0. Sears et.all, 1985)
yang menyimpulkan bahwa bantuan yang lebih besar lebih sering
dibalas dibandingkan dengan bantuan yang lebih kecil.
Kesimpulan lainnya menunjukkan bahwa keberadaan motif yang
ditampilkan oleh si penolong juga turut 「・イー・ョセQ。イオィ@ di dalam norma timbal balik ini. Upaya membalas pertolongan leih mungkin
terjadi bila bantuan awal dipersepsi sebagai sesuatu yang
diberikan secara sengaja dan sukarela.
Masih berkaitan dengan norma timbal balik, sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Goranson dan Berkowitz (0. Sears et.all,
1985) menyimpulkan bahwa subjek yang dibantu oleh seseorang
cenderung untuk membalas perbuatan orang tmsebut, tetapi
cenderung tidak menawarkan bantuan kepada orang lain.
3. Norma Keadilan Sosial
Norma ini memberikan aturan tentang keadilan dan pembagian
sumber daya secara adil. Salah satu prinsip keadilan yang diyakini
prinsip ini, dua orang yang rnernberikan andil yang sarna dalam suatu tugas harus rnenerirna ganjaran yang sa1rna. Bila salah seorang menerima lebih dari yang lain maka ia akan mengalami tekanan untuk mencoba mernulihkan keadaan dengan mengulangi pembagian ganjaran tersebut (0. Sears et.all, 1985).
Sebuah telaah eksperimen telah dilakukan oleh Berscheid dan
Waster pada tahun1967. Di dalarn penelitiannya tersebut mereka mengamati sepasang subjek yang sedang melakukan sebuah permainan yang salah satu dari subjek tersebut adalah teman dari peneliti itu sendiri yang sudah direkayasa. Di clalam perrnainannya tersebut subjek yang sudah direkayasa, tanpa terlihat sebuah kesalahan yang disengaja, kehilangan sejumlah uang dan barang-barang lainnya sementara subjek yang menjadi pasangannya
meraih kemenangan yang besar. Pada akhir permainan, subjek
yang menjadi pemenangnya (subjek sebenarnya) di beri kesempatan untuk memberikan sejurnlah オ。ョセj@ kepada
pasa,ngannya yang kalah. Dari hasil penelitian tersebut ternyata didapatkan kecenderungan yang besar subjek yang menjadi pemenang untuk memberikan sebagaian dari hasil kemenanganya
kemungkinan kecenderungan subjek untuk memberikan hasil kemenangannya kepada pemain yang lain (0. Sears et.all, 1985).
c. Teori Belajar Pros•.isial
Di dalam teori ini terdapat dua prinsip belajar yang dipergunakan di dalam pembentukan perilaku prososial pada diri individu, yakni proses belajar melalui peniruan serta proses belajar melalui efek ganjaran (reward) dan hukuman (punishment).
Banyak studi yang dilakukan untuk menguji kebenaran dari hipotesis tersebut. Salah satunya seperti yang dilakul<an oleh Midlarsl<y, Bryan dan Brickman di tahun 1973 pada subjek anal< perempuan berumur enam
tahun. Di dalam penelitian tersebut, subjel< diminta untul< memainl<an suatu permainan untuk memperolah l<eping logam yang dapat ditukarkan dengan permen dan mainan. Akan tetapi sebelum permainannya dimulai, subjek diminta untul< memperhatikan seorang model dewasa yang
memainl<an permainan tersebut. Di dalam kelompofc pertama, model yang mementingkan diri sendiri memasukl<an keping-keping yang
dimenangkannya tersebut ke dalam pundi-pundi yang bertulisl<an "uang
saya". Dan di dalam kelompok yang kedua, model yang murah hati
Selesai permainan, kedua kelompok tadi di dorong oleh si peneliti untuk memikirkan perasaan anak-anak terlantar yang akan senang
mendapatkan hadiah dari keping-keping logam yang sudah dimenangkan oleh subjek tersebut. Dari hal ini didapatkan hasil bahwa subjek dari kelompok kedua lebih banyak memberikan keping ャッセゥ。ュョケ。@
dibandingkan dengan kelompok pertama yang di pegang oleh model yang
mementingkan dirinya sendiri (0. Sears et.all,
1985).
Pada penelitian lainnya dilakukan oleh Moss dan p。セQ・@ pada tahun
1972
dengan menggunakan subjek pejalan kaki. Di dalam eksperimennyatersebut subjek yang sedang berjalan diberhentikan oleh seorang wanita cantik yang ingin menanyakan sebuah alamat. Adapun setelah diberikan keterangan jalan yang diberikan, jawaban dari si wanita tersebut yang pertama adalah "terima kasih, saya benar-benar mengerti" dan yang kedua "saya tidak mengerti apa yang Anda katakan, tetapi tidak apa-apa, saya akan bertanya kepada orang lain". Ketika subjek melanjutkan
perjalanannya ia melihat seorang wanita lain menjatuhkan tasnya secara tidak sengaja tanpa ia ketahui. Dari hasil penelitian tHrsebut ternyata
90
berupa "saya tidak mengerti", terbukti hanya hanya 40 persen saja dari subjek yang memberikan pertolongan (0. Sears et.all, 1985).
Selain berdasarkan teori yang telah dipaparkan diatas, Sarwono (2002) memaparkan bahwa perilaku prososial sebenarnya juga ditentukan oleh dua faktor penting, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
--1. F aktor Internal
Disebut sebagai faktor internal karena proses terjadinya keputusan untuk
berperilaku prososial berasal dari dalam individu itu sendiri. Adapun faktor tersebut dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :
a. Pola Asuh.
Peranan orang tua sangatlah besar di dalam menentukan
karakter anak dimasa yang akan datang. Diyakini orang tua yang biasa memberi contoh perilaku prososial kepada anaknya dan dalam lingkungan kelurga akan mendukung terbentuknya perilaku prososial. b. Perasaan dalam diri (suasana hati)
Ada sejumlah bukti yang membuktikan bahwa seseorang akan
memberikan pertolongan bila mereka sedang berada dalam suasana hati yang baik. Misalnya, seperti penelitian yang dilakukan oleh lsen dan Simmonds (Sarwono, 2002) yang menemukan kecenderungan
tempat telepon, diberi kue gratis di perpustakaan kampus, berhasil menyelesaikan beberapa tugas kampus atau setelah mendengarkan musik yang menyejukkan hati.
c. Faktor kepribadian
Beberapa studi menunjukkan bahwa ada beberapa ciri kepribadian tertentu yang mendorong orang untuk memberikan pertolongan dalam beberapa situasi akan tetapi tidak dalam situasi yang lain. Seperti
pada studi yang dilakukan oleh Gergen dan Meter (Sarwono, 2002) yang menemukan bahwa ada beberapa orang yang mempunyai kecenderungan tinggi untuk menjadi seorang pengasuh dan mau secara sukarela untuk memberi nasehat tentang masalah pribadi pada temannya akan tetapi untuk keterlibatan bantuan pada tugas-tugas yang lain seperti menyiapkan materi pelajaran dan membantu tugas penelitian, kecenderungan tersebut menjadi berkurang.
d. Agama
Gallup (1984) menemukan bahwa 12% dari orang Amerika Serikat yang tergolong taat beragama 45% diantara mereka membantu dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat sosial, seperti membantu anak miskin, rumah sakit dan panti jompo. Sementara digolongan orang yang tidak ta at beragama persentase untuk mau terlibat di dalam
e. Jenis kelamin
Goldberg (Sarwono,2002) menyimpulkan bahwa dari pengamatannya terhadap lebih d<.ri 6300 orang pejalan kaki di Boston dan Cambridge, Amerika Serikat, ternyata 1,6% dari jumlah tersebut menyumbang kepada peminta-minta jalanan.Dan diantara para penyumbang itu, laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
2. Faktor Eksternal
Disebut sebagai faktor eksternal karena dorongannya dipengaruhi oleh faktor yang terjadi di luar diri si penolong. Adapun faktor tersebut meliputi hal sebagai berikut:
a. Kehadiran orang lain
Dari sejumlah penelitian yang dilakukan, ternyata adanya kehadiran orang lain di dalam suatu situasi darurat malah menghambat seseorang untuk berperilaku prososial. Hal ini diketahui melalui seran£1kaian penelitian yang dilakukan oleh Darley dan Latane (0. Searsr et.al, 1985), yang
kemudian mereka namakan proses tersebut dengan nama efek penonton (bystander effect).
subjek yang terdiri dari beberapa orang (diantaranya teman si peneliti) memiliki kecenderungan yang kecil untuk melaporkan kasus pencurian tersebut ke penjaga toko dibandingkan dengan ウオ「ェ・セZ@ yang hanya sendiri saja yang melihat. Hal tersebut terjadi, seperti yang dikatakan oleh Darley dan Latane, disebabkan oleh tiga faktor. Faktor yang pertama disebabkan karena adanya penyebarar. tanggung jawab untuk melakukan tindakan
prososial tersebut. Perasaan bersalah karena tidak mt3laporkan atau melakukan sesuatu yang bersifat memberi bantuan akan terasa lebih besar pada seseorang yang sendirian saja di tempat s;uatu peristiwa jika dibandingkan dengan adanya beberapa orang lain di tempat tersebut.
Faktor yang kedua adalah adanya ambiguitas di dalam
menginterpretasikan sesuatu di dalam situasi yang benar-benar darurat. Pendapat tersebut dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang sama.
Di dalam penelitiannya tersebut peneliti memancing subjek untuk masuk
menggangu tersebut dibandingkan dengan subjek yan!l duduk sendiri di dalam ruangan tersebut.
Faktor ketiga yang terdapat pada kekuatan efek penonton adalah
perasaan takut dinilai. Hal itu berawal dari asumsi bahwa jika ada orang lain yang sedang memperhatikan perilaku kita, mungkin kita akan
berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan apa yang menurut kita diharapkan oleh orang lain dengan menambahkan kesan yang baik pula. Oleh sebab itu, Darley dan Latane berpendapat bahwa dalam kasus
lambatnya respon yang diberikan oleh subjek untuk melaporkan
keberadaan asap yang menggangu pada situasi subjek sedang bersama dengan beberapa orang disebabkan karena subjek takut mereka akan tampak merasa sangat bodoh atau pengecut disaat subjek lainnya (yang sebenarnya rekayasa peneliti) duduk diam dan tenang-tenang saja (0. Searsr et.al, 1985).
b. Desakan waktu
ke gedung di sampingnya secara individual untuk mengerjakan suatu tugas sedangkan kelompok lainnya diminta tanpa ditekankan waktu yang terburu-buru untuk dapat sampai kesana. Ditengah jalan, secara terpisah dalam situasi penelitian, kedua kelompok tadi menemui seorang
mahasiswa yang sedang batuk-batuk dan mengerang sambil tergeletak di pingyir jalan. Hasil yang mengejutkan menunjukkan bahwa hanya 40 persendari subjek yang dikondisikan untuk pergi terburu-buru menolong
mahasiswa sakit tersebut sedangkan 65 persen subjek yang tidak
dikondisikan untuk pergi terburu-buru menolong mahasiswa sakit tersebut (0. Sears et.al, 1985).
D. Motif Perilaku Prososial
Didalam menjalani kehidupan, setiap manusia memiliki motivasi untuk melakukan sesuatu hal. Begitu juga dalam menunjukkan perilaku prososial sudah dipastikan terdapat banyak faktor yang memotifasinya, sebagai
contoh, dikarenakan adanya pengharapan akan diperlakukan yang sama di lain waktu disaat membutuhkan bantuan dan pertolongan orang lain, adanya
Staub (1978) rnengernukakan bahwa pada dasarnya terdapat tiga motif yang rnendasari seseorang rn0lakukan tindakan prososial, yaitu self-gain, beliefs, dan empathy.
1. Self gain
Adalah keinginan untuk rnernperoleh penghargaan sosial dan rnenghindari kritik atau celaan yang datang dari linnkungan sosial karena tidak rnelakukan perbuatan rnenolong tersebut. Rasa takut
akan dinillai buruk oleh orang lain, rnernungkinkan seseorang
berusaha rnelakukan apa yang rnenurutnya diharapkan oleh orang lain dan rnernberikan kesan yang baik.
2. Beliefs
Adalah nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma yang sudah
terinternalisasi dalam diri dan berkembang dalam perjalanan hidup
seseorang. lnternalisasi ini akan menghasilkan self reward, positive
effect, dan enchanced self esteem pada diri seseorang. Beliefs
berasal dari apa yang dilihat dan diyakini pada suatu ajaran agama
atau stereotip yang sudah ada pada masyarakat. Berawal dari hal
inilah kemudian terbentuklah suatu ide atau gagasan mengenai sifat
atau karakteristik umum suatu objek, orientasi terhadap nilai-nilai,
keyakinan dan norma-norma yang telah terinternalisasi yang kemudian
mendorong timbulnya perilaku prososial yang menimbulkan rasa
kepuasan dan keseimbangan (equilibirium) pada diri seseorang di
dalam kehidupan sosialnya.
3. Empathy
Empathy atau empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang
dialami oleh orang lain. Freshbach (1978) berpendapat bahwa empati
adalah sejenis pemahaman perspektif yang mengacu pada respon
emosi yang dianut bersama dan dialami seseoran£1 ketika ia
Dalam hal ini empati terdiri dari dua komponen, yaitu kognitif dan komponen afektif (emosi). Komponen kognitiftesebut adalah
kemampuan mengidentifikasikan dan melabelkan keadaan perasaan orang lain dan kemampuan mengasumsikan perspt:Jktif orang lain.
Sedangkan komponen afektif adalah kapasitas untuk meresponsifkan emosi tersebut ke objek yang dituju.
E. Dinamika Perkembangan Perilaku Prososial
Menurut Kevin (1995) secara umum perkembangan perilaku prososial manusia terbagi menjadi empat periode penting, yaitu :
1. Masa kanak-kanak awal atau usia pra sekolah (2-5 tahun)
Yaitu usia dimana anak-anak menunjukkan perilaku prososialnya karena alasan praktis dan merasa butuh akan kehadiran orang lain. Adapun menurut Hurlock (1980) pertimbangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut sebenarnya dilandasi untuk
mendapatkan akibat-akibat secara fisik dari perbuatan tersebut atau karena ingin mendapatkan pujian.
2, Masa kanak-kanak akhir atau usia sekolah
3. Masa remaja (adolescence)
Masa ini adalah masa di mana penuh pertimbangan bagi remaja untuk
berperilaku prososial. Di satu sisi remaja sedang 「Qセイォッューイッュゥ@ untuk mengembangkan ego sosialnya オョセオォ@ bersentuhan dengan realitas sosialnya sedangkan di sisi lain remaja sedang mencoba-coba untuk melakukan sesuatu yang lain dari yang biasanya ia1 lakukan pada masa kanak-kanak. Sehingga orientasi prososial pada masa ini menjadi tidak begitu jelas karena ada sebagian remaja yang
menunjukkan kecenderungan perilaku prososial yang tinggi serta ada
pula yang menunjukkan kecenderungan yang rendah (Yarrow, 1983) Yang menjadi catatan di dalam masa perkembangan remaja ini adalah
individu menjadi lebih pengertian namun mereka juga menjadi lebih sensitif terhadap hubungan antar pribadi. Hal itulah yang kemudian mempengaruhi pertimbangan remaja untuk menolong seseorang dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
4. Masa dewasa
F. Pengukuran Perilaku Prososial
Seperti yang telah dikutip oleh Hartati (1997) di dalam tesisnya, para ahli dalam hal ini menggunakan dua metode yang berbeda di dalam mengukur
perilaku prososial itu sendiri. Seperti yang dilakukan oleh Mayer & Mulherin serta Weiner yang menggunakan metode non eksperimental di dalam pengambilan datanya serta Bryan, Staub, Yarraw & Zahn VVaxler dan
Rheingold yang dalam hal ini menggunakan metode eksperimen di laboratorium.
Pada pendekatan metode non eksperimental terdapat tiga cara, yaitu :
1. Pendekatan dengan menggunakan alat tes proyektif.
[image:54.595.21.427.229.493.2]Alat tes yang digunakan biasanya dengan menggunakan TAT (Thematic Apperception Test} di mana subjek biasanya di tes melalui serangkaian
gambar yang kemudian di telaah berdasarkan tema yang dideskripsikan
dari gambar-gambar tersebut dengan kategori perilaku prososial. 2. Pendekatan kuisioner
Biasanya subjek akan diberi beberapa inventaris pertanyaan yang menanyakan tentang apa yang akan dikerjakan seseorang pada situasi tertentu serta tindakan apa yang lebih disukai untuk dilaksanakan. 3. Pendekatan observasi
Sedangkan pada rnetode eksperirnental, Staub (
197
4) dalarn hal inirnenggunakan pendekatan activating potential of situation dan personal goal di dalarn proses pengukurannya. Pada proses activating potential of situation subjek di desain sedernikian rupa untuk rnelahirkan bebera1pa respon yang
kernudian diukur dan dirnasukkan pada kategori tindakan perilaku prososial. Sedangkan proses pengukuran pada personal goal Staub dalarn hal ini
rnenggunakan 2 cara. Cara yang pertarna adalah dengan c:ara rnengukur urutan goals yang dirniliki pada individu dengan jalan イョ・ョセQオォオイ@ urutan nilai.
Nilai dalarn hal ini dibakukan secara norrna sehingga rnenjadi nilai yang stabil (Staub,
1978).
Cara yang kedua adalah dengan cara rnengukur jaringan kognisi yang
berhubungan dengan personal goals. Ada tiga dirnensi perasaan dalarn hal
ini yang akan di ukur, yaitu :
1.
Dirnensi perasaan positif terhadap keberadaan ッイ。ョQセ@ lain di lingkungannya.2. Dirnensi perhatian terhadap kesejahteraan orang lain.
Dari kedua pendekatan metode tersebut, penulis di dalam penelitian ini menggunakan metode non-eksperimental di dalam proses pengambilan
datanya. Adapun alat yang akan digunakan berupa kuisioner yang di adopsi
dari skala intensitas prososial yang dibuat oleh Retno Leylani Dewi (1995) pada skripsinya yang merujuk pada konsep 8 komponen bentuk perilaku
prososial versi Wrightman LS dan Deaux K (1981).
G. Penelitian-penelitian yang Berhubungan dengan Perilaku Prososial
lsen dan Simmonds (0. Sears et.all, 1985) menernukan bahwa ada
kecenderungan yang besar untuk menolong apabila suasana hati orang tersebut dalam keadaan senang. Hal itu dibuktikan dengan
eksperimen-eksperimennya di mana subjek sebelum diukur respon prososialnya, subjek dikondisikan (tanpa ia ketahui) menemukan sekeping uang di tempat telepon umum, diberi kue gratis di perpustakaan kampus, berhasil rnenyelesaikan beberapa tugas kampus atau setelah mendengarkan musik yang
menyejukkan hati.
Adapun Gallup (Sarwono, 2002) di dalam penelitiannya menemukan bahwa 12% dari orang Amerika Serikat yang tergolong taat beragama 45% diantara
orang yang tidak taat beragama persentase untuk mau terlibat di dalam aksi-aksi sosial tersebut berkisar hanya sekitar 22%.
Sedangkan Goldberg (Sarwono,2002) menyimpulkan bahwa dari
pengamatannya terhadap lebih dari 6300 orang pejalan kaki di Boston dan Cambridge, Amerika Serikat, ternyata 1,6% dari jumlah tersebut
menyumbang kepada peminta-minta jalanan. Dan diantara para penyumbang itu, laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Di dalam negeri sendiri penelitian yang berkaitan tentang perilaku prososial dilakukan oleh Dian Uswatun Hasanah (2004) yang meneliti tentang
perbedaan perilaku prososial pada anak-anak yang tinggal di rumah dan di panti asuhan. Dari hasil penelitiannya tersebut didapatkan hasil yang
menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan perilaku prososial antara laki-laki
dan perempuan baik yang tinggal di rumah maupun di panti asuhan. Adapun
tingkat perilaku prososial anak perempuan yang tinggal di panti asuhan lebih tinggi daripada laki-laki yang sama-sama tinggal di panti asuhan sedangkan tingkat perilaku prososial laki-laki yang tinggal di rumah lebih tinggi daripada anak perempuan yang sama-sama tinggal di rumah. Terakhir, tingkat perilaku prososial anak perempuan yang tinggal di panti asuhan lebih tinggi daripada
di panti asuhan serta di rumah, peneliti tidak mendapatkan perbedaaan yang signifikan di dalamnya.
G. Perilaku Prososial dalam Islam
Perillaku prososial di dalam agama-agama, sebagaimana yang yang telah diajarkan oleh pembawanyci, hampir memiliki makna yang sama dan bersifat
universal di setiap orang. Oleh sebab itulah Gallup (Sarwono, 2002) dalam
hal ini memasukkan faktor agama sebagai penyebab timbulnya perilaku
prososial pada seseorang, seperti yang terlihat pada penelitiannya di tahun 1984 dimana 12% dari orang Amerika Serikat yang tergolong taat beragama 45% diantara mereka membantu dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat sosial, seperti membantu anak miskin, rumah sakit dan panti jompo.
Sementara digolongan orang yang tidak taat beragama persentase untuk mau terlibat di dalam aksi-aksi sosial tersebut berkisar hanya sekitar 22%.
"Maka berikanlah kepada kerabat yang dekat akan haknya, demikian pu/a
kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. /tu Jebih baik
bagi orang yang mencari keridhaan Allah, dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung."
Atau ayat-ayat lain di dalam surat Al-Quran yang selalu meinempatkan posisi shalat dengan zakat. Hal itu membuktikan bahwa menjaga hubungan baik dengan Allah SWT sama pentingnya dengan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Oleh sebab itulah anjuran untuk berzakat sama halnya dengan mendirikan shalat, yakni sama-sama memiliki nilai pahala yang wajib dan berdosa apabila meninggalkannya.
Disamping wajib hukumnya untuk berbuat baik dengan saling
tolong-menolong terhadap sesama manusia, Islam juga mengajarkan untuk berbuat baik terhadap binatang. Seperti yang telah diteranQkan dalam suatu riwayat hadist, bahwa sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda:
"Suatu ketika ada seorang laki-laki sedang berjalan. Ketika ia merasa sangat
ha us, ia menemukan se/:>uah sumur yang kemudian ia menuruninya serta
min um disana. Tidak seberapa jauh ia melihat seekor anjing yang
menju/ur-julurkan lidahnya karena kehausan seperti apa yang dialaminya. Kemudian
laki-laki itu memenuhi tempat aimya itu lalu diminumkannya tempat air itu
Kemudian dikatakan kembali oleh Rasulullah bahwa Allah SWT menerima amal baik laki-laki tersebut dan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Mendengar perkataan tersebut para sahabat bertanya kepada Rasullah, "Ya
Rasu/ullah, sesungguhnya apakah kita ini bisa mendapatkan pahala di dalam
memperlakukan binatang?" Rasulullah menjawab, " Pada sega/a sesuatu yang memi!iki jantung yang masih segar ada pahala." (Al-Ghazali, 1997)
Dari cuplikan hadist di atas, kita bisa memahami betapa Islam sangat menghargai sekali makhluk hidup. Oleh sebab itulah Islam sendiri dijuluki sebagai agama rahmatan Iii 'alamin, yakni agama yang membawa rahmat
bagi seluruh alam.
Kaitanya dengan perilaku prososial, dalam hal ini kita bisa melihat betapa Islam sangat menganjurkan sekali jika tidak ingin dikatakan wajib, untuk menolong orang yang sedang membutuhkan bantuan atau mengalami masalah. Sampai-sampai orang tersebut diperangi jika ia tidak ingin menolong sesamanya melalui zakat yang dibebani kepacla setiap muslim
2.1. 2 Mahasiswa
Mitos mengenai kejayaan mahasiswa di dalam ュ・ョァオウオョセQ@ perubahan struktur sosial sudah cukup dikenal oleh warga masyarakat. Aksi-aksinya
yang mendorong perubahan tersebut membuat para mahasiswa dikenal sebagai agent of change yang dipercaya tidak membawa misi kepentingan
praktis apapun selain perubahan untuk semua dan berjangka panjang. Untuk mengetahui lebih lanjut siapakah mereka, karakteristik apa saja yang
menyertainya serta tipe-tipe yang menjadi bagian dari dirinya, sub bab ini
akan mendeskripsikan pertanyaan tersebut.
A. Definisi
Mahasiswa menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah pelajar yang belajar di perguruan tinggi (Poerwadarminta, 1993). Definisi ini didukung
dengan adanya peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi yang mendefinisikan mahasiswa sebagai peserta didik
yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi (Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, 1995). Namun demikian, definisi エ・イウゥセ「オエ@ menurut penulis masih terbata_s pada definisi formal yang kaitannya erat dengan masalah administratif saja.
kelompok masyarakat yang relatif murni, belum mempunyai kepentingan serta ikatan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu. Adapun daya kepeloporannya setara dengan kaum intelektual. Bahkan dalam ungkapan yang lebih populer dan cenderung menjadi sebuah mitos,
mahasiswa menjadi sebuah bagian dari kekuatan moral (moral force) pada kelompok masyarakat.
Sarwono (1978) di dalam tesisnya menambahkan bahwa peran mahasiswa di dalam perjuangannya tidak hanya terbatas pada kritik dan kontrol sosial saja. Melainkan bisa juga menjadi kekuatan politik yang mampu merangsang terjadinya perubahan struktur sosial dan politik di negara yang bersangkutan.
Dari gambaran-gambaran dan ungkapan di alas maka dapatlah disimpulkan bahwa mahasiswa adalah sebuah sosok pelajar yang idealis yang menjadi bagian dari kelompok masyarakat. Fungsi merel<a disamping menjalankan kritik dan kontrol sosial, mobilitas pergerakannya pun bisa menjadi kekuatan politik yang amat dahsyat sehingga mampu mempengaruhi struktur dan tatanan sosial politik di suatu negara. Tidak heran jil<a dengan idealismenya
B. Karakteristik Mahasiswa
Di dalam studinya Sarwono (1978) memaparkan bahwa ada beberapa karakteristik yang melekat pada diri seorang mahasiswa yang
dalam hal ini dapat dilihat dengan menggunakan dua macam cara. Cara yang pertama dapat dilihat dengan ciri kepemudaannya sedangkan cara yang kedua dapat dilihat dari segi keintelektualitasannya.
Pada ciri kepemudaannya, beliau membaginya kembali menjadi dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama terletak pada tema sentral dari kesadaran dan perilakunya sendiri sedangkan sudut pandang yang kedua
mahasiswa dapat dilihat dari perkembangan dan tingkah laku di tingkat perkembangannya.
Sudut pandang pertama mengenai tema sentral dari kesadaran dan perilaku pada pemuda, dalam hal ini pemuda dihadapkan pada ketegangan antara dirinya dengan lingkungan dimana ia tinggal (tension between self and
society). Hal ini disebabkan karena adanya dorongan atau hasrat yang begitu
bersangkutan menjadi lebih berorientasi pada pemikiran-pemikiran dan hasratnya saja.
Pada sudut pandang yang kedua mengenai perkembangan dan tingkah laku pada pemuda. Hurlock (1980) dalam hal ini mernasukan para pemuda ke dalam masa dewasa awal yang dimulai pada usia 18 tahun sampai dengan usia 40 tahun. Di masa ini individu biasanya mengalami masa ketegangan emosional. Hal itu disebabkan karena pemuda harus ュ・ョAセィ。、。ーゥ@ dan menyelesaikan permasalahan di dunia nyatanya secara sendiri. Selain itu
juga masa ini juga disebut sebagai masa.perubahan nilai dimana pada masa ini para pemuda I pemudi mulai merubah nilai yang dianggap memberontak pada waktu remaja (antisosial) menjadi nilai yang lebih idealis dan prososial agar dirinya dapat lebih diterima oleh masyarakat dengan alasan
pertimbangan tertentu. Seperti untuk pertimbangan harga diri, karier dan image.
Cara yang kedua untuk melihat karakteristik yang melekat pada mahasiswa
adalah dengan cara menilai dari segi keintelektualitasannya di dalam berpikir. Hal itu disebabkan karena mahasiswa adalah calon sarjana di mana
keterlibatannya di dalam dunia perguruan tinggi diharapkan dapat mampu
Knopelmacher, seperti yang dikutip oleh Sarwono ( 1978), tidak semua sarjana atau orang yang pernah atau sedang duduk di bangku perguruan tinggi dapat disebut sebagai seorang intelektual. Ada beberapa syarat yang perlu dimiliki oleh seorang intelektual, seperti :
1.
Sifat kritis pada kenyataan. Hal itu disebabkan karena paraintelektualis hidup dalam dunia idea. Sehingga apabiia ada kenyataan yang tidak sesuai dengan hal idealnya maka para ka1um intelektualis
akan mengkritiknya dengan harapan adanya perubahan pada alam nyata sehingga mendekati hal-hal yang bersifat ideal.
2. Sangat berminat pada nasib orang lain terlebih pada masalah moral dan politiknya.
3. Mampu menyatakan ide-ide atau pendirian-pendirian moral maupun
politiknya dalam bentuk lisan maupun tulisan.
C. Tipe-tipe Mahasiswa
Sebelum memasuki gambaran mengenai definisi mahasiswa aktivis, baiknyalah perlu diketahui pula tipe-tipe dari mahasiswa itu sendiri. Perlu diketahui pula penamaan tipe ini tidaklah dimaksudkan untuk menilai bahwa
tipe yang satu lebih baik dari tipe yang lainnya dan begitu juga dengan
perilaku mereka yang berkaitan dengan respon mereka terhadap apa yang terjadi di lingkungan di mana mereka tinggal khususnya yang berkaitan dengan bidang sosial, politik, ekonomi dan kebudayasin.
Pendapat mengenai pengaktegorian tipe-tipe mahasiswa ini salah satunya dilakukan oleh Selo Soemarjan (1999) di dalam bukunya "Perjuangan
Refonnasi". Dalam hal ini beliau membagi tipe tersebut ke dalam 5 kelompok.
Kelompok yang pertama disebut sebagai kelompok Idea/is Konfrontatif.
Mereka adalah mahasiswa yang aktif di kelompok-kelompok diskusi atau lembaga-lembaga swadaya mahasiswa I masyarakat. Ke[Jiatan mereka senantiasa bernuansa pemikiran kritis mengenai perkembangan politik,
ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, serta teori-teori yang mendasarinya. Merekapun aktif dalam demonstrasi-demonstrasi memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas. Ciri khas perjuangan mereka adalah non kooperatif. Mereka secara terang-terangan menentang pemerintah. Meskipun secara
kuantitas jumlah mereka tidak terlalu banyak, keberadaan mereka di kampus cukup menonjol. Se_bagian dari mereka mempunyai penampilan yang unik
seperti berambut gondrong, mengenakan sandal, membawa tas ransel yang penuh dengan buku dan pakaian. Kebanyakan mereka aktif di dalam
organisasi ekstra kampus. Hal itu disebabkan penilaian mereka bahwa
yang terlalu dorninan. Karena itu rnereka aktif dalarn organisasi luar karnpus seperti WALHI, PRO (Partai Rakyat Dernokratik), ALDER/\ (Aliansi
Dernokratik Rakyat Merdeka) dan sebagainya.
Kelornpok ini bersikap tidak rnenerirna atau dalam arti rnenolak posisi
pernerintah dikarenakan keyakinan rnereka bahwa pernerintah yang berkuasa saat itu tidak sesuai dengan norrna, nilai dan prinsip-prinsip
kemasyarakatan secara universal seperti prinsip-prinsip dernokrasi keadilan dan HAM.
Kelompok kedua disebut sebagai kelornpok Idea/is Rea/istis. Seperti halnya pada kelompok pertama, kelompok ini juga terdiri alas rnahasiswa yang aktif di berbagai kelornpok-kleornpok diskusi atau lernbaga-lernbaga swadaya mahasiswa I rnasyarakat.
Mereka banyak rnenggagas ide-ide perbaikan kehidupan berbangsa dan
tersebut untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan mereka mengenai
pemerintahan yang demokratis.
Perbedaannya dengan kelompok pertama adalah dari cara perjuangannya yang cenderung kompromistis dan kooperatif. Mereka tidak secara terang-terangan menentang pemerintah tetapi berusaha mencari jalan tengah ur.tuk mengatasi permasalahan politik di negaranya. Kelompok ini biasanya
tergabung dalam organisasi-organisasi seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan kelompok Cipayung lainnya.
Kelompok yang ketiga disebut sebagai kelompok Oportunis. Berbeda dengan kelompok satu dan dua, kelompok ini adalah para mahasiswa yang memiliki
kecenderungan untuk mendukung program-program pemerintah dan Golkar. Mereka aktif di dalam organisasi kepemudaan di luar kampus yang dekat dengan kekuasaan, seperti KNPI, Pemuda Pancasila (PP) dan organisasi underbouw Golkar lainnya. Mereka sadar dan mengerti tentang kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya saat itu dan mereka mengambil posisi untuk mendukung kenyataan yang ada dengan tujuan agar mendapatkan
keuntungan bagi dirinya. Alasan yang tidak dapat disembu11yikan adalah agar terjadi mobilitas vertikal pada diri mereka yakni bahwa suatu saat mereka
Hal menarik pada kelompok yang ketiga adalah keberpih•3kannya pada penguasa. Perilaku politik kelompok ini ditunjukkan dengan melakukan counter aksi dengan tujuan mendukung pemerintahan berkuasa.
Dari ketiga kelompok yang telah dijelaskan sebelumnya dapat disebut sebagai kelompok mahasiswa yang sadar politik. Yang dimaksud dengan sadar politik di sini adalah para mahasiswa memahami pHrmasalahan
ekonomi, sosial dan politik bangsa yang kemudian menentukan cara mereka di dalam merespon kondisi sosial politik tadi.
Dua kelompok selanjutnya yang akan dijelaskan pada tulisan berikutnya dapat digolongkan sebagai kelompo