• Tidak ada hasil yang ditemukan

”Nangkih” dan Gambaran Pernikahan Dini Pada Masyarakat Etnis Karo di Desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "”Nangkih” dan Gambaran Pernikahan Dini Pada Masyarakat Etnis Karo di Desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

“NANGKIH”DAN GAMBARAN PERNIKAHAN DINI PADA

MASYARAKAT ETNIS KARO DI DESA SUKA DAME,

KECAMATAN KUTALIMBARU, KABUPATEN DELI SERDANG

Oleh:

100901057 Febri Valentin Br S

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTA ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Febri Valentin br. Sembiring

NIM : 100901057

Departemen : Sosiologi

Judul : ”Nangkih” dan Gambaran Pernikahan Dini Pada

Masyarakat Etnis Karo di Desa Suka Dame,

Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Prof. Rizabuana M.Phil.,Ph.D

NIP.19610929 1986011002 NIP.196603181989032001

Dra. Lina Sudarwati

Dekan FISIP USU

(3)

ABSTRAK

Pernikahan dini di Indonesia bukan merupakan hal yang baru karena memang sudah ada sejak dulu, tetapi untuk di masa sekarang pernikahan di usia dini sudah mendapat pertentangan terutama bagi mereka yang menikah di usia sekolah. Orang tua pada masyarakat karo di desa Suka Dame juga menentang pernikahan dini, namun tetap banyak di jumpai mereka yang menikah dini di desa ini. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam tentang nangkih pada masyarakat Karo, untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung mereka memilih menikah dini dan untuk mengetahui makna pernikahan itu sendiri bagi mereka yang memilih menikah dini. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dan tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan kuesioner, serta studi kepustakaan.

(4)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis memanjatkan puji dan syukur Kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Adapun judul skripsi ini adalah “NANGKIH DAN GAMBARAN PERNIKAHAN

DINI PADA MASYARAKAT ETNIS KARO DI DESA SUKA DAME,

KECAMATAN KUTALIMBARU, KABUPATEN DELI SERDANG”. Penulisan

skripsi ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas

akhir untuk memperoleh gelar dan keserjanaan pada Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik. Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pembelajaran hidup yang

didapatkan penulis. Dimana penulis belajar mengenai kesabaran, ketekunan, dan

kedisplinan. Selain itu kemampuan dalam berpikir, menganalisa dan menulis terasah

oleh penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki

dalam proses menyelesaikan skripsi ini, dimulai dari penulisan proposal, penelitian

hingga penulisan hasil penelitian. Dimana sedikit banyak mendapat halangan dan

rintangan dalam tahap penyelesaiannya. Namun berkat bantuan dari berbagai pihak,

penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu dalam kesempatan

ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP USU.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi.

3. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.si selaku Seketaris Departemen Sosiologi.

4. Bapak Prof. Riza Buana, M.Phil, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik

dan Dosen Pembimbing Skripsi penulis, yang telah banyak meluangkan

waktu dan tenaga untuk membimbing, mengoreksi serta memberikan saran

dan nasehat demi perbaikan dan kemajuan skripsi ini.

5. Seluruh Staf dan Dosen pengajar di FISIP USU, terutama Departemen

Sosiologi yang telah banyak memberikan Ilmu Pengetahuan kepada penulis.

6. Bapak Darma Sinulingga selaku kepala Desa Suka Dame berserta ibu yang

(5)

7. Seluruh masyarakat Desa Suka Dame, terutama kepada mereka yang

bersedia menjadi informan dan mengisi kuesioner, penulis mengucapkan

terima kasih atas waktu yang telah diluangkan kepada penulis, dan juga

kepada bibi dan kila di kampung yang sedikit banyaknya membantu penulis

saat melakukan penelitian.

8. Rasa cinta dan hormat kepada kedua orang tua yang paling penulis kasihi di

dunia, yang selalu ada untuk penulis dengan segala cinta kasih, doa,

semangat dan pengorbanan yang tiada henti yang selalu diberikan, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Begitu juga kepada kedua abang,

Daniel Juniverson Sembiring dan Nugraha Adam Sembiring, berserta adik

Ester Sri Ulina br. Sembiring yang selalu memberikan semangat kepada

penulis.

9. Kepada teman-teman penulis sesama Sosiologi angkatan 2010 yang

seperjuangan, Hesti Ratnasari KK, Rospita Linda H, Anastasia Carolina Gtg,

Irma, Julia, Tertangta, Mba Uti, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat

disebutkan satu persatu, dan juga kepada senior angakatan penulis tahun

07,08, dan 09.

10.Kepada teman-teman sepermainan penulis lainnya kak Dewi, kak Berty, kak

Desi, kak Dina, Karlita, Yenni, Krisdayanti, Tuti, Kendy, Heri, Esra dan

yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang memberikan

semangat dan bantuan, serta doa kepada penulis.

11.Kepada iting (nenek) dan bibi penulis di Padang Bulan yang selalu

memberikan nasehat, doa dan perhatian lebih kepada penulis selama ini dari

bimbel, kuliah sampai dengan sekarang, sedikit banyaknya secara tidak

langsung memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi

ini.

12.Kepada berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang selama

ini memberikan kontribusi dan bantuan kepada penulis dalam perkulihaan

dan selama pembuatan skripsi.

Penulis menyadari bahwa bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak

terdapat kelemahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, penulis sangat menghargai

(6)

juga berharap skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembacanya.

Akhir kata penulis ingin mengucapkan kembali terima kasih kepada semua pihak

terkait bantuan dan kontribusinya akan penyelesaian skripsi ini.

Medan, Juni 2014

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……….….. i

KATA PENGANTAR……… ii

DAFTAR ISI………... v

DAFTAR TABEL………... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Perumusan Masalah……….………... 6

1.3 Tujuan Penelitian...………. 7

1.4 Manfaat Penelitian……….. 7

1.5 Defenisi Konsep……….. 8

1.6 Kerangka Teori……… 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernikahan Dini dan Penyebabnya……….………. 16

2.2 Pernikahan Dini dan Disfungsi dalam Keluarga………. 18

2.3 Pernikahan Dini Sebagai Media Peraih Kuasa dan Simbol Kemuliaan ……….……….… 22

2.4 Pernikahan Dini Sebagai Penghambat Pembangunan………..…. 24

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian………. 26

3.2 Lokasi Penelitian………. 26

3.2.1 Gambaran Umum Masyarakat Suka Dame……..……….. 28

3.2.1.1 Sejarah Desa………. 28

3.2.1.2 Demografi………. 30

3.2.1.3 Keadaan Sosial……….. 30

3.2.1.4 Keadaan Ekonomi………. 34

(8)

3.3 Unit Analisis Informan………..……….………... 35

3.3.1 Unit Analisis………..……….…….……… 35

3.3.2 Informan………..……….……….. 35

3.4 Tehnik Pengumpulan Data…………....………. 36

3.4.1 Data Primer……….. 36

3.4.2 Data Sekunder……..………..……….. 38

3.5 Interpretasi Data……….. 38

3.6 Jadwal Kegiataan………. 39

BAB IV MENGENAL KONSEP “NANGKIH” PADA MASYARAKAT KARO 4.1 Sistem Perkawinan dalam Masyarakat Karo………. 40

4.2 Konsep Perkawinan Ideal Pada masyarakat Karo di Desa Suka Dame………... 44

4.3 Adat “Nangkih” Sebagai Jalan Tengah Mengatasi Perkawinan di Desa Suka Dame……….. 46

4.4 Perkawinan Pada Pasangan yang Melakukan Adat “Nangkih” di Desa Suka Dame……….. 60

4.4.1 Upacara atau Kerja Adatnya……….. 60

4.4.2 Pemberkatan Dalam Gereja………...……… 63

BAB V HASIL DAN INTERPRETASI DATA PERNIKAHAN DINI DENGAN NANGKIH DI DESA SUKA DAME 5.1 Gambaran Umum Orang yang Menikah Dini di Desa Suka Dame……….……… 66

5.1.1 Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin………...……… 66

5.1.2 Distribusi Berdasarkan Umur…………....………..……… 67

5.1.3 Distribusi Berdasarkan Pendidikan……….……… 68

5.1.4 Distribusi Berdasarkan Mata Pencaharian……… 69

(9)

5.2.1 Faktor-Faktor Penyebab Orang Memilih Menikah Dini di

Desa Suka Dame .………... 71

5.2.2 Masa Pacaran Mereka yang Menikah Dini di Desa Suka Dame.. 73

5.2.3 Orang yang Menikah Dini dengan Cara Nangkih dan

Tidak Nangkih………...… 75

5.2.3.1 Pendapat Mereka yang Menikah Dini Tentang Nangkih.……... 76

5.2.3.2 Penyebab Orang Menikah Dini Dengan Cara Nangkih di

Desa Suka Dame……….……….. 78

5.2.3.3 Reaksi Orang tua Mengetahui Anaknya Nangkih………. 80

5.2.3.4 Perasaan Pertama Kali Bertemu Orang tua Setelah Nangkih… 81

5.2.3.5 Penyebab Orang tua Tidak Menyetujui Anaknya Menikah

Dini Sehingga Melakukan Nangkih……….…. 82

5.2.4 Kehidupan Ekonomi Orang yang Menikah Dini Berdasarkan

Pendapatan Dalam Sebulan……….. 84

5.2.4.1 Kecukupan Pendapatan Untuk Memenuhi Kebutuhan

Ekonomi Keluarga……….. 85

5.2.5 Kehidupan Pernikahan Orang yang Menikah Dini di Desa

Suka Dame Dilihat dari Frekuensi Berantam..……… 87

5.2.5.1 Hal yang Menjadi Pemicu Terjadinya Pertengkaran di Dalam

RumahTangga……….. 88

5.2.5.2 Langkah yang Diambil Sebagai Solusi Jika Terjadi

Pertengkaran di Dalam Rumah Tangga………..…………... 90

5.2.5.3 Keharmonisan Rumah Tangga Orang yang Menikah Dini.… 91

5.2.5.4 Perasaan Meyesal Orang yang Menikah Dini…..………….... 93

5.2.6 Pandangan Orang yang Menikah Dini Terhadap Usia

Menikah Ideal………. 94

5.2.6.1 Umur Ideal Seseorang Untuk Menikah………..… 97

5.2.7 Makna Pernikahan Bagi Orang yang Menikah Usia Dini

(10)

BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan……… 104

6.2 Saran………. 106

DAFTAR PUSTAKA……….. 108

LAMPIRAN 1 Hasil Wawancara Dengan Tokoh Agama, Tokoh Adat,

dan Orang tua……… 111

LAMPIRAN 2 Gambaran Keluarga yang Menikah Dini Dengan Cara

Nangkih………. 134

LAMPIRAN 3 Foto Orang yang Melakukan Nangkih dan Adatnya…….. 144

LAMPIRAN 4 Interview Guide……….…. 148

LAMPIRAN 5 Kuesioner……….... 150

LAMPIRAN 6 Peta Desa Suka Dame dan Perbatasannya……….……... 154

(11)

ABSTRAK

Pernikahan dini di Indonesia bukan merupakan hal yang baru karena memang sudah ada sejak dulu, tetapi untuk di masa sekarang pernikahan di usia dini sudah mendapat pertentangan terutama bagi mereka yang menikah di usia sekolah. Orang tua pada masyarakat karo di desa Suka Dame juga menentang pernikahan dini, namun tetap banyak di jumpai mereka yang menikah dini di desa ini. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam tentang nangkih pada masyarakat Karo, untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung mereka memilih menikah dini dan untuk mengetahui makna pernikahan itu sendiri bagi mereka yang memilih menikah dini. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dan tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan kuesioner, serta studi kepustakaan.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pernikahan dini di Indonesia bukanlah hal yang baru karena telah ada sejak

zaman dahulu, dimana pada saat itu pernikahan dini merupakan suatu hal yang

dianggap lumrah atau biasa oleh masyarakat yang hidup di awal abad 20 atau

sebelumnya. Bahkan pada saat itu, banyak dijumpai orangtua yang berlomba-lomba

menjodohkan anaknya terutama perempuan di usia sangat muda untuk dinikahkan

dengan orang yang menjadi pilihannya. Hal ini terjadi tidak terlepas dari budaya

patrilineal yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang cenderung

mengkelas duakan perempuan, dimana perempuan hanya dianggap sebagai

pelengkap hidup laki-laki. Sehingga pada saat itu jika perempuan tidak segera

menikah atau perempuan itu menikah di usia matang akan mendapat pandangan

buruk dan miring dari masyarakat sekitarnya (Wismono Pandhu, 2012).

Seiring perkembangan zaman, waktu dan pengetahuan yang dipengaruhi oleh

arus globalisasi yang melesat cepat dalam sepuluh tahun belakangan ini telah

mengubah cara pandang sebagian besar masyarakat terutama masyarakat di

perkotaan. Dimana pernikahan dini sudah dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan

mulai banyak mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak terutama dari badan

perlindungan anak karena dianggap menghancurkan hak dan masa depan anak.

Seperti kasus Lutfiana Ulfah yang baru berusia 12 tahun yang menikah dengan

Pujiono Cahyo Widianto yang berusia 44 tahun pada tahun 2008 yang mendapatkan

(13)

Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia yang sangat

muda atau masih di bawah umur. Menurut Kebijakan pemerintah tentang perilaku

reproduksi manusia ditegaskan dalam UU No. 10 Tahun 1992 menyebutkan bahwa

dalam menetapkan kebijakan upaya penyelenggara keluarga berencana, maka

perkawinan yang diizinkan bila perempuan sudah berusia 19 tahun dan laki-laki

berumur 21 tahun. Walaupun begitu, di Indonesia angka statistik pernikahan usia

dini dengan pengantin berumur di bawah umur 16 tahun secara nasional mencapai

seperempat, bahkan di beberapa daerah seperti Jawa Timur ada 39,43%, Kalimantan

Selatan 35,48%, Jambi 30,63%, Jawa Barat 36%, dll (Landung, 2009:89). Hal ini

menunjukkan bahwa fenomena pernikahan dini di Indonesia cukup tinggi. Di

Sumatera Utara pernikahan dini dapat dijumpai di daerah pedesaan dan perkotaan.

Menurut data BPS kota Medan tahun 2009, jumlah penduduk kota Medan pada

pertengahan tahun 2009 adalah 2.121.053 jiwa dan sebesar 30,75 % atau 652.241

jiwa adalah remaja berusia 10-24 tahun dan dari sensus tahun 2010, jumlah

penduduk kota Medan naik hingga 2,5 juta jiwa. Berdasarkan sensus penduduk yang

dilakukan BPS Sumut tahun 2010 juga menyebutkan 10 sampai 11% wanita usia

subur (WUS) menikah di usia 16 tahun pada 2010. Dari Kantor Kementerian Agama

menyebutkan bila di tahun 2006 kasus pernikahan usia dini yang dilaporkan

sebanyak 19 kasus, dan meningkat menjadi 42 kasus di tahun 2007, serta melonjak

lagi menjadi 68 kasus di tahun 2008, hingga desember 2010 diperkirakan maksimal

terjadi 50 kasus perkawinan di usia dini pada remaja.

Padahal usia ideal untuk perempuan menikah adalah 21-25 tahun, sedangkan

laki-laki 25-28 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut perempuan sudah

berkembang dengan baik dan kuat, secara psikologis sudah matang untuk menjadi

(14)

bawah 20 tahun akan berdampak pada kesehatan reproduksinya. Dimana perempuan

hamil berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar

dibandingkan perempuan yang berusia diatas 20 tahun dan perempuan hamil yang

berusia 15-19 tahun kemungkinannya dua kali lebih besar dibandingkan perempuan

yang berusia diatas 20 tahun (Rifiani Dwi, 2011:126)

Pernikahan dini lebih banyak terjadi di daerah pedesaan, dimana sebagian

besar dilakukan oleh kaum perempuan, sebagai dampak dari budaya patrilineal

dalam masyarakat desa yang masih kuat. Berdasarkan data SUPAS 2005 (Survei

Penduduk Antar Sensus, yaitu survei yang dilaksanakan BPS pada tahun-tahun yang

berakhiran dengan angka 5), tercatat perkawinan pertama wanita umur 19 tahun ke

bawah di pedesaan di Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1 Umur Perkawinan Pertama Wanita Umur 10-19 Tahun di Pedesaan Menurut SUPAS 2005

18 Tahun 3.292.704 12,04

19 Tahun 2.889.733 10,57

Total 18.452.221 67,48

Sumber: Thirwaty Arsal (2012)

Berdasarkan tabel 1.1 di atas terlihat bahwa usia seseorang menikah dini di

daerah pedesaan masih sangat tinggi yaitu mencapai 67,48%, dimana usia 16-18

tahun merupakan frekuensi terbesar perempuan melakukan pernikahan, dimana usia

ini termasuk ke dalam kategori usia dini karena perempuan secara biologis belum

siap reproduksi dan secara psikologi sosial juga belum memiliki kematangan emosi

(masih labil) dan bila dikaji secara sosiologi yaitu dari aspek peran dan statusnya,

(15)

status yang mereka terima ketika mereka sudah menikah. Perempuan yang berperan

sebagai istri dan ibu yang mengasuh anak dan peran laki-laki untuk bertanggung

jawab menafkahi keluarga dan membesarkan anak. Dimana keberhasilan mereka

dalam menjalankan perannya sangat berpengaruh terhadap berjalannya fungsi dari

sebuah keluarga, yaitu fungsi afeksi, sosilsasi, reproduksi, perlindungan, dan

lain-lain. Hal ini juga yang menyebabkan BKKBN menetapkan bahwa usia ideal

seorang perempuan untuk memasuki usia perkawinan untuk pertama kali adalah 21

tahun sedangkan untuk laki-laki 25 tahun.

Adapun perkawinan atau pernikahan dini yang terjadi di daerah perkotaan

kebanyakan disebabkan oleh adanya pergaulan bebas dan hamil di luar nikah,

sehingga untuk menutupinya dilakukan pernikahan. Sedangkan pada daerah

pedesaan pernikahan dini dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan pendidikan yang

rendah serta perjodohan dari orang tua (Muslihin, 2011). Secara tentatif, pernikahan

dini yang ada pada masyarakat etnis Karo di desa Suka Dame, Kecamatan

Kutalimbaru lebih disebabkan oleh adanya kemauan sendiri dari mereka yang ingin

menikah di usia yang sangat muda, dimana pernikahan usia dini merupakan pilihan

hidup mereka, yang artinya didasarkan oleh keinginan mereka tanpa ada paksaan

dari orang tua.

Dalam budaya karo, pernikahan dianggap sebagai suatu pertanda baik atau

kabar bagus, sehingga sebagian besar orang tua akan memberikan izin ketika

anaknya ingin menikah. Hal ini juga karena dianggap dapat menunjang

perekonomian keluarga karena ikut membantu mengolah ladang atau lahan pertanian

keluarga. Namun tidak semua pernikahan dalam masyarakat karo akan mendapatkan

restu dari orang tua, dimana beberapa dari mereka akan melakukan “nangkih” untuk

(16)

yang dibenarkan oleh adat (Tridah: 1990, 42), dimana laki-laki membawa

perempuan idamannya ke rumah anak beru untuk segera dinikahkan tanpa ada

pemberitahuan dan meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua, terutama orang

tua dari pihak perempuan. Nangkih dapat dikatakan sebagai suatu norma dalam

masyarakat Karo, dimana mereka yang ingin menikah namun tidak mendapat restu

dari orang tua dapat melakukan “nangkih” sebagai jalan pintasnya. Pernikahan yang

dilakukan secara nangkih biasanya pernikahan yang dianggap menyimpang oleh

masyarakat karena tidak sesuai dengan harapan masyarakat terutama orang tuanya.

Dimana adanya keinginan atau tindakan individual yang dianggap tidak sesuai

dengan harapan kelompok atau masyarakat. Salah satu pernikahan yang dianggap

menyimpang dalam masyarakat karo adalah pernikahan dini yang dilaksanakan di

usia yang sangat muda atau masih di usia sekolah.

Adapun mayoritas masyarakat Karo di desa Suka Dame berkerja dalam sektor

pertanian, dimana sebagian besar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan

sehari-hari mengandalkan hasil dari tanaman di ladang. Adapun jenis tanaman yang banyak

ditanam mereka adalah kelapa sawit, cokelat, karet, pinang, kopi, dan kelapa. Selain

itu masyarakat juga menanam tanaman buah seperti langsat, duku, rambutan, durian,

manggis, pepaya dan lain-lain serta beberapa sayuran seperti kacang, jambe, bewan,

dan sebagainya. Sebagian besar masyarakat di desa Suka Dame hidup dengan

sederhana. Hal ini dilihat dari bentuk rumah masyarakat yang masih sederhana dan

aktivitas mandi dan menyuci yang masih dilakukan di sungai.

Sekilas kondisi ekonomi masyarakat desa Suka Dame berada dalam ekonomi

menegah ke bawah, walaupun demikian rata-rata masyarakatnya memiliki

kemampuan untuk menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang SMA (Sekolah

(17)

tamatan SD dan SMP. Hal ini disebabkan minat kaum muda untuk sekolah yang

masih sangat rendah, dimana beberapa dari mereka lebih memilih menikah daripada

bersekolah. Sehingga banyak ditemukan dari mereka terutama perempuan yang

menikah di saat usia mereka masih belasan (di bawah umur 20 tahun) dan sudah

mempunyai anak.

Di daerah ini, sebagian besar dari pernikahan yang pasangan perempuannya

masih berada dalam usia sekolah sampai jenjang SMA, yaitu 19 tahun ke bawah.

Hal ini didasari pada keinginan sendiri tanpa paksaan orang tua, yang artinya banyak

dari mereka yang memilih menikah dari pada melanjutkan pendidikannya. Artinya

rendahnya minat pendidikan juga berdampak pada pernikahan dini yang terjadi di

masyarakat karo di desa Suka Dame, kecamatan Kutalimbaru.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah

pada penelitian ini adalah:

1. Apa sajakah faktor-faktor yang mendorong laki-laki dan perempuan di Desa

Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang lebih

memilih melakukan pernikahan dini?

2. Bagaimanakah sistem perkawinan “nangkih” dalam masyarakat etnis karo

khususnya yang terjadi di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru,

Kabupaten Deli Serdang?

3. Bagaimanakah makna nilai dan status sebuah pernikahan dini yang dilakukan

secara “nangkih” bagi laki-laki dan perempuan etnis Karo di desa Suka

(18)

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang ada, maka tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendukung laki-laki dan

perempuan melakukan pernikahan dini di Desa Suka Dame, Kecamatan

Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.

2. Untuk mengetahui secara mandalam bagaimana sistem perkawinan

“nangkih” pada masyarakat etnis karo di desa Suka Dame, kecamatan

Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang, karena banyak juga orang karo di

daerah lain terutama di perkotaan yang tidak mengetahui betul dengan apa

yang dimaksud dengan adat nangkih dalam masyarakat Karo.

3. Untuk mengetahui makna pernikahan secara “nangkih” bagi laki-laki dan

perempuan etnis karo yang telah melakukan pernikahan dini dan berkeluarga

di desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang .

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memberikan

sumbangan pengetahuan serta informasi yang lebih jelas tentang “nangkih”

dan makna pernikahan dini bagi masyarakat Keluarga etnis karo di desa

Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru ini.

b. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis

(19)

dapat bermanfaat sebagai referensi dan rujukan bagi peneliti lainnya yang

ingin mengangkat topik penelitian yang sama dengan peneliti.

1.5 Defenisi Konsep

1. Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan pada usia yang sangat

muda atau masih di bawah umur. Menurut BKKBN, pernikahan seharusnya

dilakukan di usia yang tepat atau ideal, dimana secara biologis, psikologis

maupun sosial sudah matang, yaitu usia 21 tahun untuk perempuan dan 25

tahun untuk laki-laki. Batas usia pernikahan yang masih dikategorikan

sebagai pernikahan dini di Indonesia dapat dilihat dalam Undang-Undang

No. 10 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan

kebijakan upaya penyelenggara keluarga berencana, dimana pernikahan

hanya diijinkan jika pihak pria mencapai umur 21 tahun dan pihak

perempuan umur 19 tahun, sehingga pernikahan dini menurut UU No. 10

Tahun 1992 adalah pernikahan yang dilakukan di bawah umur 19 tahun bagi

perempuan dan 21 tahun bagi laki-laki.

Adapun menurut lembaga dunia WHO (2006), pernikahan dini atau kawin

muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu

pasangannya masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia di

bawah 19 Tahun. Adapun pernikahan dini memiliki dampak yang sama pada

remaja puteri dan putra, dimana dampak tersebut meliputi fisik, intelektual

dan emosional. Remaja putra yang menikah akan mengalami hambatan

dalam pendidikan mereka, kebebasan pribadi dan gangguan emosional ketika

tidak siap menghadapi dunia pernikahan dengan bertambahnya tanggung

(20)

karena beresiko saat melahirkan ketika keadaan fisik dan mental belum siap

yang dapat berujung pada keguguran dan kematian (kristy, 2007).

Pernikahan dini merupakan fenomena yang juga terkait erat dengan nilai

sosial budaya dan agama yang hidup dalam masyarakat. dalam Agama Islam,

pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum

baligh (mimpi basah) bagi laki-laki atau belum mendapatkan menstruasi

pertama bagi perempuan. artinya agama tidak meihat umur, dimana jika

seseorang sudah baligh, maka ia sudah dapat menikah.

Adapun dalam penelitian ini konsep pernikahan dini yang dipakai adalah

konsep pernikahan yang berlaku secara formal di Indonesia sesuai dengan

UU perkawinan tentang batasan perkawinan 19 tahun untuk perempuan dan

21 tahun untuk laki-laki.

2. Nangkih ada pada masyarakat karo yang artinya laki-laki yang membawa lari

perempuan yang menjadi idaman hati ke rumah keluarganya yaitu anak beru

untuk segera dinikahkan. Nangkih dianggap sebagai sesuatu yang

menyimpang karena dilakukan disebabkan oleh adanya keinginan individual

atau pasangan yang ingin menikah tetapi ditentang oleh kelompok masyarkat

dalam hal ini keluarga karena dianggap tidak sesuai dengan harapan

keluarga. Dimana nangkih dalam masyarakat karo menjadi jalan pintas

mereka agar dapat segera melangsungkan pernikahan.

3. Pemaknaan atau makna adalah arti atau maksud yang tersimpul dari suatu

kata terhadap suatu obyek, baik fisik maupun abstrak. Makna berasal dari

diri seseorang melalui penafsiran yang terbentuk dari adanya interaksi atau

hubungan sosial, dimana makna terhadap suatu obyek tidaklah sama pada

(21)

Makna abstrak adalah makna yang tidak dapat dilihat berupa nilai, norma

dan status. Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Nilai adalah

sebuah konsep yang menunjuk kepada sesuatu yang dianggap berharga

dalam kehidupan. Menurut Anthony Giddens (1994) nilai adalah

gagasan-gagasan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tentang apa yang

dikehendaki, aa yang layak, dan apa yang baik dan buruk. Dimana nilai dapat

berubah seiring dengan adanya waktu, bila dikaji dengan sudut pandang

interaksionisme simbolik, perubahan nilai-nilai dalam masyarakat

dimungkinkan karena berlangsungnya proses interaksi dalam masyarakat.

Baik itu, interaksi antar anggota masyarakat atau dengan anggota masyarakat

lainnya. Adapaun nilai yag ingin dilihat dalam penelitian ini adalah nilai

sebuah pernikahan bagi kalangan masyarakat etnis karo baik laki-laki

maupun perempuan yang melakukan pernikahan dini.

Status adalah posisi atau kedudukan seseorang dalam suatu kelompok

masyarakat yang merupakan pencerminan hak dan kewajiban dalam tingkah

laku manusia. Dimana seseorang yang sudah menikah akan mengalami

perpindahan status baik itu untuk perempuan maupun laki-laki. Perpindahan

status perempuan di mulai dari seorang anak yang berubah statusnya menjadi

seorang istri dan bertambah statusnya menjadi seorang ibu ketik sdah

memiliki anak, sedangkan laki-laki perpindahan statusnya dimulai dari

seorang anak yang berubah statusnya menjadi seorang suami dan

bertambahnya statusnya menjadi seorang ayah ketika memiliki anak. Seperti

yang dikatakan sebelumnya perpindahan status ini dibarengi dengan

perpindahan peran mereka sesuai dengan status yang mereka terima. Adapun

(22)

perempuan sebagai istri dan ibu yang mengurusi urusan rumah tangga dan

mengasuh anak dan perah laki-laki sebagai suami dan ayah yang bertugas

mencari nafkah dan mendidik anak.

4. Keluarga adalah lembaga sosial paling kecil dan primer di dalam masyarakat,

dimana keluarga dibagi atas dua yaitu: keluarga inti dan keluarga luas.

Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang

belum menikah. Sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang terdiri dari

beberapa keluarga inti. Seseorang mendapatkan ikatan keluarga melalui dua,

yaitu ikatan darah dan ikatan perkawinan.

Ikatan perkawinan adalah ikatan yang dianggap suci atau sakral dimana

ikatan ini akan membentuk atau membentuk satu keluarga inti baru yang

akan mengikat tali persaudaraan diantara kedua keluarga luas mereka.

Seorang anak akan lepas dari keluarga intinya ketika ia memutuskan untuk

menikah dan membentuk keluarga inti yang baru. Dimana dalam penelitian

ini yang mau diteliti adalah keluarga dan perkawinan pada masyarakat karo.

Arti keluarga dan perkawinan dalam masyarakat karo sama seperti yang

dijelaskan diatas hanya saja perbedaannyanya terletak dari adatnya atau

budayanya dimana dalam masyarakat karo dikenal istilah perkawinan secara

nangkih dan pesta adatnya (erdemu bayu).

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Interaksionisme Simbolik

George Herbert Mead (Ritzer, 2011:51) dalam interaksionisme simbolik

mempelajari tindakan sosial suatu masyarakat dengan mempergunakan tehnik

(23)

tindakan sosial itu dari sudut aktor. Mead melihat bahwa diri atau self menjalani

internalisasi atau interpretasi subyektif atas realitas (obyektif) struktur yang lebih

luas, dimana orang tak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari

dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain,

tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri, dimana interaksi

dilakukan dengan bahasa ataupun isyarat.

Dalam interaksionisme simbolik terdapat tiga obyek pemaknaan (Margaret

Poloma, 2000:257), yaitu:

1. obyek fisik seperti meja, tanaman, atau mobil;

2. obyek sosial seperti ibu, guru, atau teman;

3. dan obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak atau peraturan.

Cara aktor atau individu melihat dan memaknai obyek-obyek yang ada

menjadi suatu acuan bagaimana mereka bertindak. Adapun dalam penelitian ini

mengarah pada obyek abstrak yaitu perkawinan atau pernikahan dini, dimana

dengan teori interaksionisme simbolik akan dikaji hal yang melatar belakangi

tindakan remaja yang memilih melakukan perkawinan atau pernikahan dini di usia

mereka yang masih sangat muda. Pemaknaan ataupun simbol-simbol yang ada tidak

bersifat universal atau sama di setiap masyarakat semua bergantung bagaimana

individu itu memaknai obyek-obyek yang ada melalui interaksi, dimana manusia

sebagai aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan, dan

mentransformir makna dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan

dan arah tindakannya.

Adapun Blumer melihat bahwa teori interaksionisme simbolik bertumpu pada

(24)

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada

pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna tersebut berasal dari interaksi seseorang dengan orang lain.

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial

berlangsung.

Blumer menjelaskan bahwa pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari

pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian

kelakukan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang

dipertimbangkan itu mencakup berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan,

tujuan dan sarana tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari

orang lain dan gambaran tentang diri sendiri. Masyarakat sebagai interaksionisme

simbolik terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian (self) mereka sendiri

(yakni membuat indikasi untuk diri mereka sendiri). Tindakan individu merupakan

suatu konstruksi yang keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan

penafsiran situasi dimana dia bertindak, sehingga kelompok atau tindakan kolektif

terdiri dari beberapa susunan ataupun kumpulan tindakan beberapa individu yang

disebabkan oleh penafsiran individu atau pertimbangan individu terhadap tindakan

lainnya.

Artinya Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna

yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di

tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta

menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut

menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136),

(25)

selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:

1. Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang

mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus

mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain,

2. Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari

penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme

simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan

tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan

3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,

dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan

tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif

dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses

pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

I.6.2 Penyimpangan atau Nonkonfromitas

Penyimpangan mengacu pada perilaku, cara-cara bertindak, sikap, keyakinan,

dan gaya yang melanggar norma-norma, aturan, etika dan harapan masyarakat.

Masyarakat telah berusaha agar setiap anggota masyarakatnya berperilaku sesuai

dengan harapan masyarakat, namun dalam tiap masyarakat ditemukan adanya

anggota masyarakat melakukan penyimpangan atau nonkonformitas.

Menurut para ahli sosiologi, penyimpangan bukan sesuatu yang melekat pada

bentuk perilaku tertentu, melainkan diberi ciri melalui defenisi sosial. Defenisi

tersebut dapat bersumber pada kelompok yang berkuasa dalam masyarakat atau pun

(26)

sosial dalam dilihat dari siyuasi-situasinya, dimana tercela tidaknya suatu perbuatan

tidak melekat pada perbuatan itu sendiri, melainkan tergantung pada defenisi sosial.

Contohnya, seseorang laki-laki dianggap melakukan penyimpangan bilamana ia

datang ke pesta ulang tahun dengan memakai baju renang, sedangkan busana

demikian dianggap wajar dipakai di kolam renang tetapi ketia pesta ulang tahunnya

di bertema renang dan diadakan di kolam renang atau tempat yang banyak airnya

maka laki-laki tersebut dianggap tidak menyimpang. Sama hal nya terkait dengan

penelitian yang akan diteliti, yaitu sebuah pernikahan dianggap tidak menyimpang

bila pernikahan ini dilakukan dengan izin dan restu dari orang tua ke dua belah

pihak tetapi pernikahan dianggap menyimpang apabila pernikahan tersebut

dilakukan tanpa mendapat restu dari orang tua, dimana terjadi karena tindakan

individu itu dianggap tidak sesuai dengan harapan dari kelompok atau masyarakat di

sekitarnya.

Merton mengindentifikasi lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi

tertentu, dimana tiga dari lima perilaku peran dalam menghadapi situasi tersebut

merupakan perilaku menyimpang, yaitu:

1. Inovasi atau innovation merupakan cara dimana perilaku mengikuti tujuan

yang ditentukan masyarakat (harapan) tetapi memakai cara yang dilarang

atau tidak dibenarkan oleh masyarakat.

2. Ritualisme merupakan kebalikan dari inovasi dimana perilaku tidak

mengikuti tujuan yang ditentukan oleh masyarakat (harapan) tetapi

memakai cara yang dibenarkan oleh masyarakat secara adat.

3. Retreatisme merupakan perilaku tidak mengikuti tujuan yang ditentukan

oleh masyarakat (harapan) dan juga memakai cara yang dilarang atau tidak

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pernikahan Dini dan Penyebabnya

Dalam penelitian pernikahan dini, pelaku yang berperan adalah remaja yang

baru atau telah menikah dan mereka yang sekarang sudah dikategorikan dewasa

tetapi dulunya menikah di usia dini saat masih remaja. Selain itu yang menjadi objek

penelitian adalah orang tua karena peran orang tua penting dalam mencegah dan

mendukung pernikahan dini pada anak. Seperti penelitian Umi Sambulah dan

Faridatul (2012) yang menemukan sebab-sebab pernikahan dini dalam masyarakat,

yaitu: pertama, adanya kekhawatiran orang tua terhadap perilaku anak. Dimana

orang tua akan segera menjodohkan ataupun menikahkan anaknya terutama

perempuan jika sudah menginjak besar (sudah haid). Hal ini dikarenakan adanya

ketakutan orang tua apabila anaknya menjadi perawan tua dan ketakutan apabila

anaknya melakukan hal-hal yang dapat mencemari nama baik keluarga. Kedua,

kesiapan diri. Dimana adanya perasaan mandiri yang ditandai dengan sudah bisa

mencari uang sendiri dan pengaruh dari berbagai film atau media yang lain menjadi

pendorong pasangan melakukan pernikahan dini.

Ketiga, mengurangi beban ekonomi keluarga. Dimana adanya kondisi

ekonomi keluarga kurang mampu menyebabkan orang tua menikahkan anaknya

pada usia muda karena beban keluarga akan berkurang satu, dimana anak yang

sudah menikah akan menjadi tanggung jawab suaminya. Selain itu, anak yang sudah

menikah diharapkan dapat membantu kehidupan orang tuanya. Keempat, rendahnya

kesadaran terhadap pentingnya pendidikan. Dimana orang tua yang berpendidikan

(28)

sempit sehingga jika ada yang menyukai anaknya langsung dinikahkan terutama

bagi anak perempuannya.

Hal ini didukung penelitian sebelumnya, Suryaningrum (2009) yang

menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi keluarga,

pendidikan orang tua dan perkerjaannya terhadap anak-anak yang dinikahkan lebih

dini. Dimana semakin rendah status ekonomi keluarga, pendidikan orang tua, dan

pekerjaannya maka semakin tinggi tingkat anak-anak yang dinikahkan pada usia

dini. Namun sebaliknya, semakin tinggi tingkat status ekonomi keluarga, pendidikan

orangtua dan pekerjaannya maka semakin rendah tingkat anak-anak yang dinikahkan

pada usia dini. Artinya penyebab utama pernikahan dini dalam masyarakat memiliki

hubungan yang signifikan dengan status ekonomi keluarga, pekerjaan dan

pendidikan orang tua yang rendah.

Adapun penelitian Juspin Landung, dkk (2009) juga menemukan selain

penyebab yang diutarakan peneliti lain, salah satu penyebab pernikahan dini atau

perkawinan di usia muda adalah adanya pola pengasuhan orang tua yang tidak

demokratis kepada anak sehingga anak tidak memiliki keleluasaan untuk dapat

menentukan pilihan terbaik bagi dirinya. Dimana anak saat menginjak usia remaja

melakukan pernikahan dini dengan dorongan untuk melepaskan diri atau terbebas

dari pengaruh orang tua.

Hal ini dari berbagai penelitian menemukan adanya kesalahan atau kekurangan

pahaman orang tua tentang masa remaja dan dewasa, dimana orang tua yang tidak

menganggap penting masalah usia anak yang dinikahkan, yang terpenting sudah aqil

(baliq), yaitu menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki. Dimana

(29)

dewasa baik bagi perempuan maupun laki-laki. Padahal aqil (baliq) bukanlah tanda

seseorang sudah dewasa tetapi tanda seseorang memasuki masa remaja atau transisi.

Adapun anggapan masyarakat ini muncul dari adanya perspektif agama yang

tidak membatasi usia seseorang untuk menikah, misalnya agama Islam yang dalam

perspektif hukumnya mengatakan bahwa pernikahan yang dilakukan pada usia

remaja atau muda, bukan usia tua hukumnya sunnah atau mandub, karena tidak ada

alasan menunda-nunda pernikahan selama tetap melangkah dengan iringan niat tulus

melaksanakan syariat Islam (Dwi Rifiani, 2011).

2.2 Pernikahan Dini dan Disfungsinya dalam Keluarga

Dalam beberapa penelitian sebelumnya, pernikahan dini dikatakan mampu

membantu ikatan suci dalam membentuk keluarga harmoni, dimana beberapa

peneliti menyakini bahwa pernikahan dini masih berfungsi dalam membangun

ikatan suci dan harmoni, seperti yang diungkapkan Sawardi (2009) dalam

penelitiannya yang menemukan bahwa pernikahan dini mampu membantu ikatan

suci keluarga karena mampu membangun rasa setia dan keberkahan yang di

pancarkan setelah terjadi jalinan pernikahan. Hal senada juga ditemukan oleh

Rofidah, dkk (2009), yang dalam penelitian mereka mendapati bahwa pernikahan

dini terbukti dapat menciptakan sikap arif terdapat pasangan nikah yang ditunjukkan

sikap menerima keadaan akan tingkat pendidikan, tingkat pekerjaan dan keadaan

ekonomi. Pasangan nikah muda mampu menerima segala kondisi pasangannya

sehingga terbentuk keluarga yang harmonis.

Namun, tidak semua pernikahan dini berjalan dengan harmonis, dimana

banyak kritikan yang ditempatkan pada mereka yang menikah di usia dini.

(30)

pernikahan dini mampu meruntuhkan ikatan suci berkeluarga. Disfungsi pernikahan

dini telah terbukti dengan ditemukannya keluarga yang berantakan dalam menjalani

tatanan yang harmoni. Keluarga yang tidak harmoni akan merujuk pada keluarga

yang broken home, dimana fungsi dari terbentuknya sebuah keluarga melalui

pernikahan atau perkawinan tidak dapat berjalan sesuai fungsinya. Adapun

fungsi-fungsi dari sebuah keluarga dari pernikahan dini yang tidak terpenuhi hingga sulit

membentuk keluarga harmonis adalah sebagai berikut:

a. Fungsi ekonomi, dimana mereka yang menikah dini cenderung berada

dalam ekonomi menengah ke bawah (miskin) sehingga sangat sulit untuk

memenuhi kebutuhan keluarga secara materi. Seperti yang diungkapkan

Ardhikari (1996) dalam penelitiannya, yang menemukan bahwa pernikahan

dini cenderung melahirkan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural

adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan seseorang

untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan

struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang

memungkinkan seseorang itu dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak

mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang

tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat

yang ada disekitarnya. Hal inilah yang terjadi pada pasangan pernikahan

dini, dimana mereka yang merupakan pasangan nikah dini atau muda

cenderung merupakan orang yang tidak terpelajar dan tidak terlatih,

sehingga tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak. Akibatnya

kebanyakan dari mereka berkerja sebagai buruh, pemulung, penggali pasir

(31)

b. Fungsi sosialisasi dan afeksi, dimana keluarga merupakan tempat pertama

anak bersosialisasi dan menerima afeksi atau kasih sayang dari orang

tuanya. Mereka yang menikah di usia muda cenderung susah untuk

menjaga dan memelihara anak-anaknya seperti orang tua yang menikah di

usia dewasa atau matang karena mereka sendiri cenderung berada dalam

posisi yang masih labil secara psikisnya, sehingga dalam adat, banyak

masyarakat yang telah meninggalkan tradisi menikah di usia muda. Seperti

penelitian Pasaribu (2009) yang menyimpulkan terjadi banyak pasangan

nikah yang meninggalkan tradisi pernikahan dini dengan alasan karena

berbuah pada rumitnya menjalin hubungan yang harmoni. Dimana

Pasaribu menemukan bahwa sekarang calon pasangan lebih suka

melestarikan adat perkawinan lain yaitu menikah pada usia diatas batas

yang telah mentradisi. Artinya masyarakat suku Pakpak Kelasen mulai

menyadari bahwa menikah di usia dini memberikan resiko yang lebih besar

tertutama dalam menjaga keharmonisan rumah tangga karena cenderung

mereka yang menikah usia muda berada pada masa yang labil sehingga

mereka mulai meninggalkan tradisi pernikahan dini. Zuklifi (2011) juga

menemukan bahwa masyarakat yang melakukan pernikahan usia dini

setelah menjalani kehidupan rumah tangga sulit untuk memberikan

sosialisasi nilai dan norma keluarga dan masyarkat karena mereka sendiri

menghadapi permasalahan seperti stress dan mudah marah yang sering

memicu terjadinya konflik. Stress di sini terjadi karena emosi mereka yang

masih labil dikarenakan adanya sikap egois yang masih tinggi dan adanya

pemikiran yang belum matang atau dewasa dalam menghadapi segala

(32)

penyesuaian karakter masing-masing dan komunikasi, sehingga mereka

terutama perempuan yang menikah dini sering mengalami gangguan pada

kesehatan psikologisnya, dimana mereka yang labil dan menjadi stress.

c. Fungsi reproduksi dan keturunan, dimana sebuah keluarga dibentuk

sebagai tempat melepaskan hawa nafsu dan menghasilkan anak sebagai

penerus keturunan dalam keluarga. Namun pada mereka yang menikah

muda, untuk alat reproduksi dan kehamilan bagi perempuan cenderung

beresiko lebih besar dibandingkan mereka yang menikah di usia yang

sudang matang. pernikahan dini bagi perempuan sangat perlu diperhatikan,

karena perempuan yang masih dalam pertumbuhan biasanya baik secara

fisik maupun biologis belum cukup matang untuk memiliki anak sehingga

rentan menyebabkan kematian anak dan ibu pada saat melahirkan. Selain

itu, perempuan dengan usia kurang dari 20 tahun yang menjalani

kehamilan sering mengalami kekurangan gizi dan anemia. Gejala ini

berkaitan dengan distribusi makanan yang tidak merata, antara janin dan

ibu yang masih dalam tahap proses pertumbuhan (Noveri Aisyaroh, 2010).

Hal ini juga diungkapkan Shawaky dan Milaat (2000) dalam penelitiannya

yang menemukan bahwa pernikahan dini bukan hanya menciptakan status

buruh, tetapi juga keguguran saat kehamilan, hingga kematian janin dan

kematian bayi. Banyak pasangan yang menikah muda terpaksa bekerja

sebagai buruh untuk menghidupi keluarganya baik itu buruh tani atau pun

buruh pabrik. Hal ini disebabkan tingkat pendidikan para pasangan

pernikahan dini rendah sehingga sulit mencari perkerjaan yang lebih baik.

Kehamilan usia muda dan kemiskinan menjadi pemicu tingginya tingkat

(33)

biologis organ produksi belum siap untuk melahirkan dan secara ekonomi

pasangan pernikahan dini tidak memiliki biaya sehingga sulit untuk

mencukupi gizi anak dan ibu hamil serta sulit untuk membiayai prosesi

kelahiran ibu di rumah sakit.

2.3 Pernikahan Dini Sebagai Media Peraih Kuasa dan Simbol Kemuliaan

Suhadi mengatakan beberapa penelitian menemukan bahwa pernikahan dini

adalah media peraih kuasa, dimana pernikahan dini terjadi karena pergulatan akan

kekuasaan dan pengendalian peran. Seperti penelitian Muda (2008) yang

menegaskan bahwa fenomena pernikahan dini bukanlah pilihan pasangan pengantin.

Muda lebih fokus pada kajiannya tentang pergulatan dalam mendapatkan status

sosial di suatu sistem sosial ketika terjadi pernikahan dini. Menurut Muda, anggota

masyarakat yang memiliki akses untuk mendapatkan status sosial, cenderung segera

melakukan pernikahan dini. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki relasi dan

status sosial dalam sistem sosial cenderung menunda dengan berbagai alasan dan

syarat yang rumit, seperti meminta untuk dibawakan barang mahal seperti emas,

perak, perhiasan, ternak dan sebagainya sebagai alat pertukaran anggota mereka

yang akan melangsungkan pernikahan dini (mahar). Dimana keluarga wanita akan

melihat calon besan atau menantunya. jika merupakan orang penting atau terhormat

di dalam masyarakat yang memiliki relasi dan status sosial yang tinggi maka mereka

akan mengizinkan anaknya menikah dini dengan tujuan agar dapat menaikkan

statusnya dalam masyarakat dan meraih kekuasaan dari relasi besannya yang kuat.

Dalam penelitian Wardhany (2009) juga menemukan bahwa kekuasaan

sebagai kado spesial saat menikahi perempuan di bawah umur, dimana dengan

(34)

sebelum menikah. Adapun Wardhany menemukan bahwa kekuasaan tersebut di

dapat oleh laki-laki dimana tanda-tanda kekuasaan pada saat menikah yaitu:

berprilaku agresif, berkepuasan, bebas meluap rasa jengkel, selalu menang sendiri,

rasa menekan, dan luapan kemarahan. Perempuan sebagai pihak yang tidak

mendapatkan kekuasaan selalu berada di bawah dan di tindas oleh laki-laki sehingga

tidak jarang pernikahan dini menciptakan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

kepada pihak perempuan dan anak.

Pernikahan dini memiliki relasi dengan kekuasaan juga dapat dilihat dalam

temuan Suhadi dengan penelitiannya pada masyarakat Baduy (2010) yang

menemukan bahwa masyarakat baduy hanya melakukan pernikahan endogami dan

menghindari pernikahan eksogami. Hal ini dikarenakan mereka yang melakukan

pernikahan eksogami akan kehilangan kekuasaan secara adat, dimana mereka harus

keluar dari mandala atau dilarang memasuki lagi daerah mandala (kawasan yang

dianggap suci) dan kehilangan hak sosial dan budaya istimewa prihal pemilikan

tanah adat, rumah dan upaca ritus hidup yang mampu menumbuhkan emosi, moral,

hingga ilmu kekebalan fisik. Akibatnya tidak diperbolehkan perkawinan eksogami,

banyak penduduk Baduy yang melakukan pernikahan dini untuk menjaga persatuan

dan tali persaudaraan agar tidak dapat diganggu oleh orang dari suku luar dan untuk

meneruskan garis keturunan masyarakat Baduy.

Selain hal yang telah diungkapkan di atas, pernikahan dini juga dianggap

sebagai simbol kemuliaan seperti penelitian Leleury (2010) tentang reproduksi

kemuliaan sebagai defenisi akan ritual perkawinan, dimana Leleury dalam

penelitiannya tentang kewajiban perkawinan levirat menyimpulkan bahwa tujuan

(35)

yang telah meninggal sehingga namanya tidak hilang. Pernikahan ini juga berperan

melanjutkan hak waris atau harta milik keluarga yang telah meninggal. Dengan

demikian, pernikahan akan secepatnya dilakukan jika ada keinginan untuk

mendapatkan keberlangsungan status sosial sebagai simbol.

2.4 Pernikahan Dini Sebagai Penghambat Pembangunan

Pertumbuhan penduduk yang tinggi mempersulit usaha dan pemerataan

kesejahteraan rakyat di bidang pangan, lapangan perkerjaan, pendidikan, kesehatan,

dan perumahan, karena semakin tinggi pertumbuhan penduduk semakin besar usaha

yang dibutuhkan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan rakyat. Selain itu,

suatu negara dapat dikatakan sebagai negara maju dengan pembangunan yang baik

dapat dilihat dari tingkat angka harapan hidupnya ysng tinggi. Angka harapan hidup

dapat dilihat dari tingkat kematian bayi yang rendah. Kartomo (1986) dalam

penelitiannya mengenai hubungan antara pendidikan dan fertilitas perempuan

menemukan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang perempuan maka semakin

sedikitlah mereka melahirkan anak. Dimana keranga analisa dari kartomo adalah

sebagai berikut:

Pendidikan wanita Peubah antara lainnya Fertilitas

Umur perkawinan

Kota/pedesaan Kohor Umur

Wanita (diagram A)

Dalam diagram ini Kartomo menggambarkan bahwa pendidikan

(36)

Pendidikan, umur perkawinan dan peubah-peubah antara fertilitas dan pola

perkawinan antara peubah-ubah ini dipengaruhi oleh kohor umur wanita dan juga

daerah tempat tinggalnya, kota atau pedesaan. Adapun kohor umur wanita berkaitan

dengan norma dalam masyarakat mengenai umur sewajarnya seorang wanita

menikah dan memperoleh pendidikan Dimana menurut Kartomo adanya pengaruh

signifikan antara pendidikan wanita dengan umur perkawinan dan jumlah kelahiran

anaknya. Perempuan yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA akan memiliki

anak yang lebih sedikit dibandingkan mereka yang menikah di usia SD, dan mereka

yang menikah setelah tamat SMA cenderung menikah di usia matang dan mencicipi

dunia perkerjaan terlebih dahulu. Sedangkan mereka yang menikah di usia dini

merupakan mereka yang cenderung hanya tamatan SD dan SMP. Dimana usia

perkawinan pertama merupakan faktor penting yang mempengaruhi fertilitas atau

kelahiran.

Adapun pernikahan dini dikatakan sebagai pengambat dari suatu

pembangunan karena pembangunan akan sulit berkembang jika pertumbuhan

penduduknya tidak dibarengi dengan pertumbuhan ekonominya, dimana

pertumbuhan penduduknya yang tinggi namun pertumbuhan ekonominya masih

rendah. Salah satu faktor pendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah

dengan pendidikan. Pendidikan mampu membentuk sumber daya manusia yang

berkualitas dan bersaing cepat dalam usia kerja. Namun seperti temuan Kartomo

(1986) dan Umi Sambullah (2011) bahwa mereka yang menikah di usia dini

terutama perempuan adalah mereka yang berpendidikan rendah sehingga pertubuhan

ekonomi masyarakatnya juga rendah, sedangkan tingkat pertumbuhannya tinggi

dimana perempuan menikah di usia subur sehingga kemungkinan hamil dan

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode

yang dimaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek

penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya

secara holistik dan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dalam bentuk

kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan

berbagai metode ilmiah (Maleong, 2006:6). Adapun pendekatan kualitatif yang akan

dilakukan, digunakan untuk menggambarkan bagaimana makna pernikahan usia dini

bagi masyarakat terutama bagi mereka yang melakukan pernikahan tersebut dan

makna nangkih bagi masyarakat etnis karo di kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten

Deli Serdang.

3.2 Lokasi Penelitian

Kecamatan Kutalimbaru merupakan wilayah yang termasuk bagian dari

Kabupaten Deli Serdang yang terdiri dari empat belas desa, yaitu desa Kuala

Laubicik, desa kutalimbaru, desa lau bakeri, desa Namo mirik, desa Namo Rambe

Julu, desa Pasar X, desa Perpanden, desa Sampe Cita, desa Sawit Rejo, desa Sei

Mericim, desa Silebo-lebo, desa Suka Dame, desa Suka Makmur dan desa Suka

Rende. Dimana beberapa desa ini, desa yang dipilih menjadi tempat lokasi penelitian

(38)

beberapa dusun atau kampung yang dipimpin oleh satu kepala dusun di setiap

dusunnya dan satu kepala desa di setiap desa.

Jumlah penduduknya di Kecamatan Kutalimbaru adalah 35.807 jiwa dengan

luas wilayah kurang lebih 33.138 ha yang dimana 70% berupa daratan yang

bertopografi berupa bukit-bukit yang banyak dijadikan masyarakat sebagai lahan

untuk berladang, bersawah dan berkebun. Sehingga mayoritas masyarakatnya

berkerja sebagai petani, dimana tanaman yang ditanam masyarakat berupa kelapa

sawit, cokelat, kopi, kelapa, durian, langsat, rambutan, papaya, manggis, dan

beberapa jenis sayuran serta padi dan jagung. Adapun jumlah penduduk desa Suka

Dame adalah 2.360, dengan laki-laki 1.204 orang dan perempuan 1.156 orang dan

luas wilayah adalah 2.367 ha. Dimana sebagian besar dari mereka bekerja di sektor

non formal seperti buruh bangunan, buruh tani, petani sawah dan sebagainya

sehingga secara profesinya masyarkat dikategorikan masyarakat yang berada pada

kelas ekonomi menengah ke bawah.

Adapun masyarakat di Suka Dame adalah masyarakat yang heterogen dan

berasal dari berbagai daerah yang berbeda-beda, dimana mayoritas penduduknya

berasal dari provinsi Sumatera Utara sehingga tradisi-tradisi musyawarah untuk

mufakat, gotong royong dan kearifan lokal yang lain sudah dilakukan masyarakat

dan hal tersebut secara efektif dapat menghindarkan adanya benturan-benturan antar

kelompok masyarakat. Mayoritas masyarakatnya yang berasal dari provinsi

Sumatera Utara adalah masyarakat etnis Karo. Dimana etnis Karo termasuk ke

dalam lima sub Batak, dimana sama dengan suku Batak lainnya, masyarakat Karo

menganut sistem patrilineal sehingga garis keturunan diambil dari Laki-laki (ayah).

(39)

utama. Dalam setiap perkenalan dalam masyarakat Karo terlebih dulu di

menanyakan Merga atau beru nya yang dilanjutkan dengan namanya.

Dari penjelasan singkat di atas adapun alasan pemilihan lokasi penelitian di

desa ini, yaitu:

1. Karena mayoritas masyarakatnya yang bersuku Karo sehingga dapat dikaji

pernikahan secara nangkih, karena nangkih merupakan bagian dari adat

perkawinan yang hanya terdapat di suku Karo.

2. Karena di tempat ini banyak ditemukan masyarakatnya yang menikah di usia

muda di bawah umur ideal menurut BKKBN yaitu 21 tahun bagi perempuan

dan 25 tahun bagi laki-laki bahkan beberapa diantara masyarakatnya masih

dapat ditemukan mereka yang menikah di usia dini yaitu 19 tahun ke bawah

untuk perempuan dan 21 tahun kebawah untuk laki-laki.

3.2.1Gambaran Umum Masyarakat dan Desa Suka Dame

3.2.1.1 Sejarah Desa

Desa Suka Dame adalah nama satu wilayah di Kecamatan Kutalimbaru,

Kabupaten Deli Serdang ini yang menurut beberapa tokoh masyarakat suka Dame,

dikenal karena Desa Suka Dame mempunyai wilayah yang luas dan dulunya

merupakan tempat perlindungan laskar melawan penjajahan Belanda.

Desa Suka Dame dulunya di kenal dengan nama Luning yang pada saat itu

dipimpin oleh seorang kepala Kampong (simanteki kuta) Ngejin Gurusinga

(1944-1951). Pada saat kepemimpinan Ngejin Gurusinga penduduk di kampung Luning

berkisar 35 Rumah Tangga, yang konon katanya lebih banyak mengungsi daripada

(40)

Pada tahun 1951 Kepala Kampung Ngejin Gurusinga wafat dan kampung

Luning pada saat itu digantikan oleh Tahan Keliat, sewaktu kepemimpinan kepala

kampung Tahan Keliat kampung Luning berpindah tempat dan berubah nama dari

Kampung Luning menjadi Desa Suka Dame. Dua tahun kepemimpinan marga Keliat

di Desa Suka Dame masyarakat itu kebanyakan berpenghasilan pertanian dan

membuat Gula Merahdari pohon Aren.

Pada tahun 1954 terjadi pemindahan kepala kampung dari marga keliat ke

Bapak Ngikut Sinulingga. Oleh karena marga perangin-angin lanjut usia. Pada saat

kepemimpinan Bapak Ngikut Sinulingga, masyarakat di Desa Suka Dame tidak

memiliki percobaan cara pertanian. Setelah itu digantikan oleh bapak Alam Tarigan

Sibero pada tahun 1966. Setelah itu digantikan oleh Bapak Meja Ginting selama

menjabat maka digantikan oleh Bapak Layasi atau Mesti Sinulingga pada tahun

1985, dan tahun 2003 digantikan oleh Bapak Doanta Sinulingga sampai sekarang.

Tabel 3.1

Sejarah Perkembangan desa

Tahun Kejadian Yang Baik Kejadian Yang Buruk

1944 Simantek Kuta (pendiri desa)

yang bernama Ngejin Gurusinga menjadi kepala Desa pertama

Penjajahan Jepang

1946-1951 Dibentuk tempat pelatihan

masyarakat samacam sekolah SD (3lokal) yang pembinaannya dari transmigrasi sendiri. Yang berlanjut pada Pembangunan Rumah sekolah SD

Kurangnya tenaga

pengajar dan fasilitas

sekolah

1952-1984 Pembangunan Jambur (tempat

diadakan acara adat dan musyawarah masyarakat)

Salah pembangunan ada jambur yang terlalu tinggi dan ada jambur yang terlalu rendah

1985 Pembangunan PUSKESDES

(puskesmas Kesehatan Desa)

Kurangnya Tenaga Medis yang Profesional

1987 Pembanguna Kantor Desa

(41)

3.2.1.2Demografi

Desa Suka Dame terletak di dalam wilayah Kecamatan Kutalimbaru,

Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara yang berbatasan dengan:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kwala Lau Bicik Kecamatan

Kutalimbaru dan Desa Salam Tani Kecamatan Pancur Batu

- Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Tanjung Beringin Kecamatan

Sibolangit

- Sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan/desa Namo Riam, Desa

Sugau, Bintang meriah, Kecamatan Pancur batu dan Desa

bingkawan/Buah Nabar Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desan Pasar X dan Desa Namo Mirik

Kecamatan Kutalimbaru Kabupatewn Deli Serdang

Luas wilayah Desa Suka Dame adalah 2.367 ha dimana 70% berupa daratan

yang bertopografi berbukit-bukit, iklim Desa Suka Dame sebagaimana desa-desa

lain di wilayah Indonesia mempunyai iklim kemarau dan penghujan, hal tersebut

mempunyai pengaruh langsung terhadap pola tanam pada lahan pertanian yang ada

di desa Suka Dame kecamatan Kutalimbaru.

3.2.1.3 Keadaan Sosial

Penduduk desa Suka dame berasal dari berbagai daerah yang berbeda-beda,

dimana mayoritas penduduknya berasal dari provinsi Sumatera Utara sehingga

tradisi-tradisi musyawarah untuk mufakat, gotong royong dan kearifan lokal yang

(42)

secara efektif dapat menghindarkan adanya benturan-benturan antar kelompok

masyarakat. Desa Suka Dame mempunyai jumlah penduduk sebanyak 2.360 jiwa,

yang terdiri dari laki-laki: 1.204 jiwa, perempuan: 1.156 jiwa dan terdapat dalam

662 KK yang terbagi dalam Sembilan wilayah dusun dengan perincian sebagai

berikut

Tingkat pendidikan Masyarakat Desa Suka Dame dapat dilihat pada tabel di

bawah ini:

Karena Desa Suka Dame merupakan desa pertanian maka sebagian besar

penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, data selengkapnya dapat dilihat

(43)

Tabel 3.4

Profesi/ Pekerjaan Masyarakat Suka Dame

Petani Pedagang PNS Buruh TNI Pegawai

Swasta

Tukang

425 KK 80 KK 107 KK 120 KK 5 KK 90 KK 2 KK

Penggunaan tanah di Desa Suka Dame sebagian besar di peruntukkan untuk

tanah pertanian, sawah dan perkebunan. Sisanya untuk (tanah kering/ lahan tidur)

yang merupakan bangunan dan fasilitas-fasilitas lainnya. Selain itu juga ada yang

menggunakan lahan untuk tempat berternak, dimana hewan yang diternakkan adalah

ayam, itik, kambing, sapi, kerbau, dan ikan.

Adapun jumlah kepemilikan hewan ternak oleh penduduk Desa Suka Dame

kecamatan Kutalimbaru adalah sebagai berikut:

Tabel 3.5

Keluarga yang memiliki Ternak

Ayam/itik Kambing Sapi Kerbau Ikan

1 KK 4 KK 30 KK 20 KK 2 KK

Kondisi sarana dan prasarana umum desa Suka Dame secara garis besar

jumlah sarana dan prasara yang ada sangat minim dan belum memadai untuk

menunjang perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya. Dimana sarana untuk

mendapatkan pendidikan sangat minim, dimana hanya tersedia dua sekolah Dasar

(SD) dan tidak ada sekolah untuk Menengah Pertama (SMP) dan Menengah Atas

(SMA).

Desa Suka Dame memiliki Sembilan balai desa dan satu kantor desa, dimana

(44)

beserta dengan Sembilan kepala dusunnya serta ada sembilan pos kamling untuk

menjaga keamanan masyarakat yang di lakukan penjagaan secara bergantian. Selain

itu, di desa ini juga ada satupuskesmas pembantu untuk pelayanan masyarakat desa

akan kesehatan. Namun hal ini masih dianggap sangat kurang hanya terdapat di

dusun satu yang sangat jauh jangkauanya untuk masyarakat dusun lain seperti

dusun IX.

Adapun desa ini di aliiri oleh sungai, dimana masyarakatnya melakukan

aktivitas seperti mandi, menyuci, dan lain-lain di sungai. Adapun sebagian besar

masyarakat tidak memiliki kamar mandi dan MKS dimana mereka semua

mengandalkan air sungai untuk aktivitas sehari-harinya. Selain itu masyarakat juga

menggunakan air sungai untuk membuat kincir air sebagai pembangkit listrik,

dimana di beberapa kampong mereka tidak memakai sumber listrik PLN tetapi

memakai listrik dari kincir air pembangkit listrik untuk listrik rumah mereka.

Adapun setiap penduduk dikenakan biaya Rp. 25.000,00 per bulannya di setiap

rumah.

Secara tripologi pemukiman masyarakat di desa Suka Dame terbagi atas dua

yaitu yang pertama masyarakat desa membuat permukiman di pinggir jalan, yang

artinya mengikuti jalan desa dimana masyarakatnya membagun desa tepat di

pinggir jalan dan rumahnya berhadapan, dimana sama-sama menghadap jalan

seperti yang ada di dusun I, II, III, dan V dimana semua rumah berada di pinggir

jalan. Adapun jalan di desa ini terbagi dua dimana ada jalan Koral (sudah diaspal)

sebanyak tiga buah dan jalan yang masih berbentuk tanah sebanyak lima buah.

Beberapa masyarakat lainnya seperti dusun IV, VIII, dan IX di desa Suka Dame ini

(45)

berkumpul dan membentuk sebuah permukiman bersama yang ditengah-tengahnya

dibangun sebuah los atau jambur untuk masyarakat jika melakukan kegiatan adat

atau lainnya yang disebut juga dengan balai desa.

3.2.1.4Keadaan Ekonomi

Kondisi ekonomi masyarakat desa Suka dame secara kasat mata terlihat jelas

perbedaannya antara Rumah Tangga yang berkategori miskin, sangat miskin, sedang

dan kaya. Hal ini disebabkan karena mata pencahariannya di sektor usaha yang

berbeda-beda. Dimana sebagian besar berada pada sector non formal seperti buruh

bangunan, buruh tani, petani sawah dan sebagainya. Sedangkan sebagian kecilnya

berada di sector formal seperti PNS, guru, Tenaga Medis, TNI/POLRI dan

sebagainya.

3.2.1.5 Kondisi Pemerintahan Desa

Seperti yang dituliskan sebelumnya pembagian wilayah desa Sukadame ada

Sembilan dusun, dimana masing-masing dusun tidak ada pembagian wilayah secara

Khusus. Jadi setiap dusun mempunyai wilayah pertanian dan perkebunan. Adapun

dari semua dusun yang menjadi pusat desa adalah dusun I (satu) dengan alasan

Dusun ini lebih dekat dengan kota sehingga lebih padat penduduknya dibandingkan

dengan dusum lainnya. Setiap dusun yang ada dipimpin oleh kepala dusun.Adapun

desa Suka Dame dipimpin oleh 1 (satu) orang Kepala Desa yang dimana dalam

menjalankan tugas, peranan dan kewajibannya, beliau di bantu oleh 1 (satu) orang

(1)

(46)

seketaris desa, 1 (satu) orang bendahara desa, 3 (tiga) orang kepala seksi dan 9

(sembilan) orang kepala dusun. Dimana desa juga memiliki badan Pemusyawaratan

Desa (BPD)yang diketuai oleh Bapak Darma.(1)

3.3 Unit analisis dan Informan

3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek

penelitian (Arikunto, 1999:22). Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah

mereka yang melakukan pernikahan dini di desa Suka Dame, Kecamatan

Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang dan mereka yang mengerti dan mengetahui

betul adat perkawinan “nangkih” dalam masyarakat Karo.

3.3.2 Informan

Informan adalah orang yang diwawancarai, dimana informan merupakan orang

yang dianggap menguasai, dan memahami data, informasi, ataupun fakta-fakta dari

suatu objek penelitian. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

1. Orang-orang yang menikah di usia dini yaitu di bawah batas usia 19 tahun

untuk perempuan dan 21 tahun untuk laki-laki, dimana mereka yang

menjadi informan maksimal usia pernikahannya adalah sepuluh tahun dan

melakukan nangkih.

2. Orang-orang yang mengerti dan memahami betul tentang nangkih dalam

Gambar

Tabel 3.1 Sejarah Perkembangan desa
Tabel 3.5 Keluarga yang memiliki Ternak
Tabel 5.2 Komposisi Berdasarkan Umur atau Usia
Tabel 5.3 Komposisi Berdasarkan Pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian bahwa sosial budaya pernikahan usia dini pada masyarakat di Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang dari aspek usia menikah pada rentang

Hasil penelitian bahwa sosial budaya pernikahan usia dini pada masyarakat di Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang dari aspek usia menikah pada rentang

Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Universitas Sumatera Utara.. Konstruksi Gender daam Masyarakat Sebagai Suatu Bentuk Politik Seksual

Disimpulkan bahwa ada hubungan pernikahan dini dengan tumbuh kembang balita, dimana semakin muda usia menikah maka semakin rentan terjadinya gangguan tumbuh kembang

Agar peneliti dan pembaca dapat mengetahui bagaimana pengaruh pernikahan usia muda terhadap kondisi sosial dan munculnya kekerasan simbolik bagi pasangan usia muda masyarakat

Faktor ekonomi masih menjadi alasan para pelaku pernikahan usia dini untuk menikah pada usia yang sangat muda, hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh

(47,8%) wanita yang menikah satu tahun terakhir menikah pada usia dini, lebih dari separoh (61,2%) memiliki tingkat pengetahuan rendah tentang pernikahan dini,

pengetahuan tentang pernikahan usia dini perlu ditanamkan sejak dini pada setiap remaja terutama remaja yang masih muda. Karena dengan mengetahui pernikahan usia