KOMPOSISI KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN
TANAH PADA HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI
KOPI DI DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN
NAMANTERAN KABUPATEN KARO
SKRIPSI
ERNI FAUZIAH
090805003
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KOMPOSISI KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN
TANAH PADA HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI
KOPI DI DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN
NAMANTERAN KABUPATEN KARO
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
ERNI FAUZIAH
090805003
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul : Komposisi Komunitas Collembola
Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung Kecamatan Namanteran Kabupaten Karo
Kategori : Skripsi
Nama : Erni Fauziah
Nomor Induk Mahasiswa : 090805003
Program Studi : Sarjana (S1) Biologi
Departemen : Biologi
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Disetujui di Medan, April 2014
Komisi Pembimbing
Pembimbing 2, Pembimbing 1,
Drs. Nursal, M.Si Drs. Arlen H. J, M.Si. .
NIP. 196190319903199031002 NIP. 195810181990031001
Disetujui Oleh
Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,
PERNYATAAN
KOMPOSISI KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN
TANAH PADA HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI
KOPI DI DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN
NAMANTERAN KABUPATEN KARO
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, April 2014
PENGHARGAAN
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul
“Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung, Kecamatan Namanateran, Kabupaten Karo”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Arlen H. J, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan banyak bimbingan, masukan, motivasi dengan penuh kesabaran dari awal hingga akhir skiripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Erni Jumilawaty S.Si, M.Si selaku dosen penguji I dan Bapak Drs. M. Zaidun Sofyan, M.Si selaku dosen penguji II yang telah memberikan banyak saran dan arahan demi kesempurnaan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti M.S selaku Penasehat Akademik. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu. M.Sc. selaku Ketua Departemen Biologi dan Ibu Dr. Saleha Hanum M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi dan juga para dosen Departemen Biologi. Terimakasih juga kepada Ibu Roslina Ginting dan Abang Erwin selaku Pegawai Administrasi Departemen Biologi.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Alm. Ayahanda dan Ibunda tercinta (Mahran Nasution dan Nur Aini Nasution) yang telah melahirkan, membesarkan dan memberikan doa, perhatian serta cinta dan kasih sayangnya kepada penulis, serta kepada Abang, Kakak dan Adikku tercinta (Mahdi Syukur, Mahdaleni, S.Pd, Ikhsan Habibi) dan juga kepada Abangda Martua Muda Daulay, S.H, S.Hi sert seluruh keluarga besar atas do’a dan dukungan yang telah diberikan selama ini.
Ucapan terima kasih juga kepada teman seperjuangan : Zulfan, Afni, Riris, Rita, Fika, Rachmi, Fivin, Arfah, Zubeir, Siska, Zuwana, Hema, Anderson, Sepwin, Agustina, Febrin, Nora, Nuri, Opi, Novi, Ichip yang telah banyak membantu membantu penulis. Terima kasih juga kepada teman-teman stambuk 2009 yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, adik-adik stambuk 2010 (Inggin, Siti, Fitri, Aulia, Karina, Tari), 2011 (Nasir, Giordani, Juned, Nana, Siska, Tia), Terima kasih penulis ucapkan kepada Bang Z. Arico, Bang Mahya, Kak Iin, Kak Yanti, Kak Rivo yang telah membantu penulis di lapangan.
Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal Alamin
Medan, April 2014
KOMPOSISI KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN
TANAH PADA HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI
KOPI DI DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN
NAMANTERAN KABUPATEN KARO
ABSTRAK
Penelitian tentang “ Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung Kecamatan
Namanteran Kabupaten Karo” dilakukan pada bulan Mei-September 2013. Pengambilan sampel dilakukan pada 2 lokasi yaitu hutan sekunder dan groforestri kopi. Penempatan plot sampling dengan metode Purposive Random Sampling. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Pitfall Trap.. Dari hasil penelitian didapatkan 2 ordo, 5 famili dan 12 spesies. Nilai kepadatan total tertinggi pada hutan sekunder sebesar 121,417 individu/m2 sedangkan pada agroforestri kopi sebesar 109, 475 individu/m2. Nilai frekuensi kehadiran pada kedua lokasi relatif sama yaitu antara Aksidental dan Assesori. Collembola permukaan tanah yang memiliki nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% pada hutan sekunder yaitu Entomobrya sp.1., Lepidosira sp. dan Ptenorhix sp. Pada agroforestri kopi yaitu Entomobrya sp.2, Homidia sp., Pseudosinella sp. Komposisi spesies nilai tertinggi pada hutan sekunder adalah Lepidosira sp., dan pada agroforestri kopi yaitu Entomobrya sp.2 dan Pseudosinella sp.
Collembola Community Composition Ground on the Secondary
Forest and Coffee Agroforestry in the Village Kutagugung,
Namanteran Districts, Counties Karo
ABSTRACT
The research about “Collembola community composition ground on the secondary forest and coffee agroforestry in the village Kutagugung, Namanteran districts, counties Karo” has been done at Mei-September 2013. The taking of sample is done in two location they are secunder forest, coffee agroforestry. The technique sampling that is used is Purposive Random Sampling. The taking of sample is done by using Pitfall Trap method. The result of the research is found that the re are 2 ordo, 5 family and 12 species. The hignest total dense in secunder forest gained 121,417 individual/m2 while coffee groforestry gained 109, 475 individual/m2. The value of present frequency both location are between Accidental and Accesory. Collembola of the land surface which has value of KR >10 % and FK > 25 % in secunder forest are Entomobrya sp.1, Lepidosira sp. and Ptenothrix sp. in coffee agroforestry are Entomobrya sp.2, Homidia sp., Pseudosinella sp. The compotition of highest value species in secunder forest is Lepidosira sp. and in coffee agroforestry are Entomobrya sp.2, and Pseudosinella sp.
DAFTAR ISI
2.1 Komposisi Komunitas 5
2.2 Karakteristik Collembola 5
2.3 Klasifikasi Collembola
2.4 Peranan Collembola 8
2.5 Faktor yang Mempengaruhi Collembola 9
2.6 Habitat Collembola 10
2.7 Hutan 10
2.8 Agroforestri 11
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 13
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 13
3.2 Deskripsi Area 13
3.3 Alat dan Bahan 13
3.4 Metode Penelitian 14
3.5 Cara Kerja 14
3.5.1 Pengambilan Sampel Collembola 15 3.5.1.1 Metode PitfallTrap 16 3.5.2 Identifikasi Spesies Collembola Tanah 17 3.6 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah 17 3.6.1 pH, Kelembaban Tanah dan Suhu Tanah 18
3.6.2 Kadar Air Tanah 18
3.7 Analisis Data
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19
4.1 Jenis Collembola Permukaan Tanah yang Ditemukan pada Lokasi Penelitian
19
4.2 Kepadatan dan Kepadatan Relatif Collembola Permukaan Tanah
24
4.3 Frekuensi Kehadiran (Konstanta) Collembola Permukaan Tanah
25
4.4 Collembola Permukaan Tanah yang Memiliki Nilai KR(%) >10% dan FK(%) >25%
29
4.5 Komposisi Spesies Collembola Permukaan Tanah pada Lokasi Penelitian
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 34
5.1 Kesimpulan 34
5.2 Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 35
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
3.1 Alat yang Digunakan untuk Mengukur pH, Kelembaban
Tanah dan Suhu Tanah 6
3.2 Metode Pengukuran Kadar N, P, K dan C-organik 17
4.1 Collembol Permukaan Tanah yang Ditemukan pada Dua
Lokasi Penelitian 19
4.2 Nilai Kepadatan (ind/m2) dan Kepadatan Relatif (%) Collembola Permukaan Tanah pada Setiap Lokasi Penelitian
23
4.3 Nilai Frekuensi Kehadiran (%) dan Konstanta Collembola Permukaan Tanah pada Setiap Lokasi Penelitian
4.4 Nilai KR (%) > 10% dan FK (%) > 25% Collembola Permukaan Tanah yang Didapatkan pada Setiap Lokasi Penenlitian
24
4.5 Urutan Komposisi Masing-masing Collembola Permukaan Tanah pada Setiap Lokasi Penelitian
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
2.1 Morfologi Collembola 7
3.1 Lokasi Hutan Sekunder 7
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul Halaman
1 Peta Lokasi 39
2 Foto Kerja 40
3 Penempatan Plot pada Lokasi penelitian 41
4 Data Faktor Fisik-Kimia Tanah pada Lokasi Penelitian 42
5 Klasifikasi dan Deskripsi Spesies Collembola Permukaan Tanah
52
6 Data Jenis dan Jumlah Collembola Permukaan Tanah 53
KOMPOSISI KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN
TANAH PADA HUTAN SEKUNDER DAN AGROFORESTRI
KOPI DI DESA KUTAGUGUNG KECAMATAN
NAMANTERAN KABUPATEN KARO
ABSTRAK
Penelitian tentang “ Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung Kecamatan
Namanteran Kabupaten Karo” dilakukan pada bulan Mei-September 2013. Pengambilan sampel dilakukan pada 2 lokasi yaitu hutan sekunder dan groforestri kopi. Penempatan plot sampling dengan metode Purposive Random Sampling. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Pitfall Trap.. Dari hasil penelitian didapatkan 2 ordo, 5 famili dan 12 spesies. Nilai kepadatan total tertinggi pada hutan sekunder sebesar 121,417 individu/m2 sedangkan pada agroforestri kopi sebesar 109, 475 individu/m2. Nilai frekuensi kehadiran pada kedua lokasi relatif sama yaitu antara Aksidental dan Assesori. Collembola permukaan tanah yang memiliki nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% pada hutan sekunder yaitu Entomobrya sp.1., Lepidosira sp. dan Ptenorhix sp. Pada agroforestri kopi yaitu Entomobrya sp.2, Homidia sp., Pseudosinella sp. Komposisi spesies nilai tertinggi pada hutan sekunder adalah Lepidosira sp., dan pada agroforestri kopi yaitu Entomobrya sp.2 dan Pseudosinella sp.
Collembola Community Composition Ground on the Secondary
Forest and Coffee Agroforestry in the Village Kutagugung,
Namanteran Districts, Counties Karo
ABSTRACT
The research about “Collembola community composition ground on the secondary forest and coffee agroforestry in the village Kutagugung, Namanteran districts, counties Karo” has been done at Mei-September 2013. The taking of sample is done in two location they are secunder forest, coffee agroforestry. The technique sampling that is used is Purposive Random Sampling. The taking of sample is done by using Pitfall Trap method. The result of the research is found that the re are 2 ordo, 5 family and 12 species. The hignest total dense in secunder forest gained 121,417 individual/m2 while coffee groforestry gained 109, 475 individual/m2. The value of present frequency both location are between Accidental and Accesory. Collembola of the land surface which has value of KR >10 % and FK > 25 % in secunder forest are Entomobrya sp.1, Lepidosira sp. and Ptenothrix sp. in coffee agroforestry are Entomobrya sp.2, Homidia sp., Pseudosinella sp. The compotition of highest value species in secunder forest is Lepidosira sp. and in coffee agroforestry are Entomobrya sp.2, and Pseudosinella sp.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Kabupaten Karo secara geografis berada diantara 2050’-3019’ LU dan 970 –98038’
BT dengan luas 2.127,25 Km2 atau 2,97 persen dari luas Propinsi Sumatera Utara.
Kabupaten Karo terletak pada jajaran Bukit Barisan dan sebagian besar
wilayahnya merupakan dataran tinggi. Wilayah Kabupaten Karo berada pada
ketinggian 120-1.420 m di atas permukaan laut (BPS Karo, 2012). Selanjutnya
Ginting (2008) menjelaskan bahwa Kabupaten Karo dikenal sebagai daerah
penghasil berbagai sayur-sayuran, buah-buahan dan bunga-bungaan. Disamping
itu Kabupaten Karo memiliki hutan yang cukup luas, yaitu mencapai 129.749 ha
atau 60,99 persen dari luas Kabupaten Karo.
Hutan Gunung Sinabung merupakan hutan gunung dengan puncak
tertinggi di Sumatera Utara yaitu 2.370 m dpl. Gunung ini terletak di Kabupaten
Karo. Masyarakat sekitar memanfaatkan keindahan Gunung Sinabung sebagai
tempat wisata dan lahan di kaki gunung banyak dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian, perkebunan, peternakan dan lain sebagainya. Lahan yang digunakan
merupakan lahan hutan sekunder yang terdapat di hutan Gunung Sinabung
tersebut.
Hutan yang terdapat di Kabupaten Karo diantaranya adalah berupa hutan
lindung seluas ± 98.644,5 ha, hutan suaka alam seluas ± 7 ha, hutan produksi
terbatas ± 15.592 ha dan hutan produksi ± 15.592 ha (BPS Karo, 2012).
Selanjutnya dijelaskan bahwa hutan sekunder yang terdapat di Kabupaten Karo
dikembangkan untuk Agroforestri, diantaranya dengan menanami tanaman kopi,
jeruk, cabe, tomat, bawang dan sebagainya. Dimana yang paling banyak di tanam
adalah tanaman kopi karena tanaman kopi merupakan tanaman yang mudah di
rawat atau tanpa perlu perawatan yang khusus, misalnya pemberian pupuk dan
pestisida.
Sistem agroforestri kompleks singkatnya agroforestri adalah sistem-sistem
atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip ekosistem hutan
alam primer maupun sekunder. Sistem agroforestri kompleks bukanlah
hutan-hutan yang ditata lambat laun melalui transformasi ekosistem secara alami,
melainkan merupakan kebun-kebun yang ditanam melalui proses perladangan.
Kebun-kebun agroforestri dibangun pada lahan-lahan yang sebelumnya dibabati
kemudian ditanami dan diperkaya (Foresta et al., 2000).
Beralihnya sistem penggunaan lahan dari hutan alam menjadi lahan
pertanian, perkebunan atau hutan produksi atau hutan tanaman industri
mengakibatkan terjadinya perubahan jenis dan komposisi spesies di lahan
bersangkutan. Widianto et al., (2003) menjelaskan bahwa hal ini membawa
berbagai konsekuensi terhadap aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Konversi hutan
menjadi bentuk-bentuk penggunaan lahan lainnya akan menurunkan populasi
flora dan fauna tanah yang sensitif sehingga tingkat keanekaragaman hayati atau
biodiversitas berkurang, diantaranya adalah Collembola tanah.
Collembola umumnya dikenal sebagai organisme yang hidup di tanah
dan memiliki peran penting sebagai perombak bahan organik tanah. Dalam
ekosistem pertanian Collembola terdapat dalam jumlah yang melimpah.
Collembola pada ekosistem pertanian merupakan pakan alternatif bagi
berbagai jenis predator (Greenslade et al., 2000). Selain mendekomposisi
bahan organik, fauna tanah tersebut meningkatkan kesuburan dan memperbaiki
sifat fisik kimia tanah (Simanungkalit et al., 2006; Indriyati & Wibowo, 2008).
Penelitian mengenai Collembola dan peranannya belum banyak dilakukan
di Indonesia. Faktor penyebab kurang populernya Collembola di Indonesia antara
lain ukuran tubuh kecil, habitat berada dalam tanah dan peranan yang tidak
langsung dirasakan manusia. Akibatnya Collembola menjadi kurang dikenal
keragaman spesies, habitat, daerah sebaran dan sifat biologinya. Daerah yang
pernah dikoleksi Collembolanya di Indonesia adalah beberapa tempat di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, Sumatera Barat, Kalimantan,
Sulawesi dan Irian Barat (Suhardjono, 2006).
Mengingat jumlah Collembola yang banyak dan perannya sebagai
bioindikator dan monitoring suatu ekosistem, maka dilakukan penelitian mengenai
Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung, Kecamatan Namanteran, Kabupaten Karo”.
1.2. Permasalahan
Adanya alih-fungsi lahan hutan yang banyak digunakan sebagai lahan pertanian
serta perkembangan pertanian dengan konsep agroforestri yang dikembangkan di
Kabupaten Karo, akan memberikan pengaruh terhadap Collembola permukaan
tanah. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui bagaimanakah
Komposisi dan Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder
dan Agroforesti di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten
Karo.
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Komposisi Komunitas Collembola
Permukaan Tanah dan Collembola sebagai bioindikator pada Hutan Sekunder dan
Agroforestri Kopi di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten
Karo.
1.4.Hipotesis
Terdapat perbedaan Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah antara
lahan Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kuta Gugung, Kecamatan
Naman Teran, Kabupaten Karo.
1.5.Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang Komposisi dan
Komunitas Collembola pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Tanah
Karo, dan dapat digunakan sebagai informasi dan referensi bagi peneliti
selanjutnya.
BAB 2
2.1. Komposisi Komunitas
Komunitas adalah sistem kehidupan bersama dari sekelompok populasi organisme
yang saling berhubungan karena ada saling pengaruh satu dengan yang lainnya
dan berkaitan pula dengan lingkungan-lingkungan hidupnya. Dalam komunitas
organisme hidup saling berhubungan atau berinteraksi secara fungsional.
Komposisi organisme penyusun komunitas yang menempati suatu daerah dapat
ditulis berupa nama jenis penyusunnya, dan biasanya disusun dalam bentuk tabel.
Tabel komposisi organisme pada suatu lokasi biasanya disusun atas kelompokan
organisme itu berdasarkan taksonomi. Semua jenis organisme yang ditemukan
pada lokasi penelitian dilaporkan termasuk jenis yang jarang. Dalam meneliti
komposisi organisme penyusun komunitas, organisme yang jarang kepadatannya
bisa digunakan sebagai indikator dalam lokasi penelitian (Suin, 2002).
2.2. Karakteristik Collembola
Collembola berasal dari bahasa Yunani, yaitu colle (=lem) dan embolon (=piston).
Penamaan ini berdasarkan adanya tabung ventral (kolofor) pada sisi ventral ruas
abdomen pertama yang menghasilkan perekat (Hopkin, 1997). Collembola juga
dikenal dengan istilah Springtails (ekorpegas) karena mempunyai struktur (furka)
pada bagian ventral ruas abdomen keempat (Gambar 2.1). Saat istirahat furka
terlipat ke depan dan dijepit oleh gigi retinakulum. Retinakulum atau tenakulum
merupakan embelan berbentuk capit yang terdapat pada bagian ventral abdomen
ketiga. Ketika otot berkontraksi, furka kembali ke posisi tidak lentur kemudian
akan memukul substrat sehingga mendorong Collembola ke udara (Greenslade,
Gambar 2.1 Morfologi Collembola (Sumber : http://web.ipb.ac.id)
Collembola mempunyai ciri bentuk serangga muda dan dewasanya sama
dan biasanya dianggap sebagai serangga yang primitif, karena srtruktur anggota
tubuhnya relatif sederhana. Antena mempunyai 4-6 ruas, dapat lebih pendek dari
kepala atau lebih panjang dari seluruh tubuh dan memiliki saraf internal yang
mampu menggerakkan tiap segmen. Dibelakang antena terdapat sepasang mata
majemuk dan organ yang menyerupai cincin atau roset yang dikenal sebagai
sensor penciuman (Amir, 2008).
Collembola atau ekorpegas ini pada umumnya berukuran kecil, panjang
berkisar 0,1-9 mm. Sesuai dengan ukurannya maka ada yang mikroskopis tetapi
ada juga yang kasat mata, mudah dilihat dengan mata telanjang. Bentuk tubuh
Collembola bervariasi, ada yang gilik, oval, bundar atau pipih dorso-ventral.
Selain bentuk, warna tubuh juga bervariasi, yaitu dari putih, hitam dan bahkan ada
yang tidak berwarna. Beberapa kelompok ada yang polos, tetapi banyak pula yang
bercorak seperti bintik atau noda, garis atau mozaik tidak beraturan bentuk
coraknya. Warna dan letak corak bervariasi, pada bagian tubuh tertentu tergantung
kelompok taksonnya. Karena bervariasi, kadang-kadang ditemui spesies yang
sama memiliki corak pola corak warna berbeda, maka warna dan bentuk corak
tidak dapat dijadikan sebagai penciri pemiliknya, tetapi pada kelompok tertentu
dapat membantu. Permukaan tubuh Collembola bervariasi, ada yang licin,
2.3 Klasifikasi Collembola
Pada awalnya Collembola digolongkan di dalam takson Hexapoda dengan status
sebagai salah satu ordo dari kelas Insecta. Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan kegiatan penelitian, maka terjadi revisi kedudukan beberapa
takson. Ada takson yang berkembang sehingga naik jenjang, seperti Collembola
yang semula berstatus ordo berkembang dan terpisah dari Insecta dan menjadi
kelas tersendiri. Perubahan klasifikasi Hexapoda juga berpengaruh terhadap
klasifikasi Collembola. Dengan semakin banyaknya jenis yang dideskripsi,
Collembola menunjukkan keanekaragaman yang tinggi. Klasifikasi yang
dikemukakan oleh Gisin (1960) dan Chritiansen & Bellinger (1980-1981)
merupakan tatanan yang sederhana. Namun kesederhanaan tersebut akan
menimbulkan dampak terjadinya kompleks takson di bawah ordo karena di dalam
satu ordo akan mencakup kelompok famili, genus atau spesies yang cukup besar
(Suhardjono et al., 2012).
Klasifikasi yang telah ada dipertegas oleh Deharveng (2004) dan diperkuat
oleh Soto-Adames (2006). Dalam klasifikasi yang dibuat untuk membedakan
takson Deharveng (2004) memadukan banyak karakter taksonomi baru yang
semuanya berdasarkan ketoksasi bagian-bagian tubuh antena, tungkai, tergit, pola
S-seta pada tergit, bagian mulut, labrum, serta labium. Dari defenisi klas yang
diungkapkan Soto- Adames (2006) memperjelas bahwa Collembola memang
berbeda nyata dari anggota Arthropoda lainnya. Dengan klasifikasi yang baru ini,
maka kedudukan Collembola adalah klas yang mempunyai empat ordo yaitu
Poduromorpha, Entomobryomorpha, Symphypleona dan Neelipleona.
2.4. Peranan Collembola
Sebagai komponen ekosistem, Collembola mempunyai peran yang beranekaragam
bergantung pada jenis atau kelompoknya. Peran tersebut dapat sebagai perombak
bahan organik, penunjuk (indikator), perubahan keadaan tanah, penyeimbang
fauna tanah, pemangsa, hama dan/ atau penyerbuk. Pada umumnya Collembola
dikenal sebagai hewan tanah. Oleh karena itu, peran Collembola yang paling
menonjol adalah sebagai perombak bahan organik dalam tanah. Peran perombak
miselium, spora, bagian bangkai hewan, mayat atau kotoran dan bahan lain yang
sudah terfermentasi di dalam saluran pencernaannya (Suhardjono, 1992).
Sebagai pemakan jamur ternyata Collembola juga dapat dimanfaatkan
untuk mengendalikan penyakit tanaman pertanian akibat serangan jamur.
Keberadaannya di lahan pertanian dapat menekan serangan patogen tersebut
(Sabatini & Innocetti 2000). Selanjutnya Suhardjono et al., (2012) menjelaskan
bahwa Collembola telah dikenal dapat dimanfaatkan sebagai indikator hayati
tingkat kesuburan atau keadaan tanah. Peran ini sudah banyak dibahas
dimanfaatkan di kawasan Eropa dan Amerika, tetapi belum banyak diketahui di
Indonesia. Hal itu dimungkinkan karena beberapa jenis Collembola tertentu peka
terhadap unsur atau senyawa kimia tertentu di dalam tanah.
Collembola juga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator adanya ion-ion
racun dan logam berat. Ion racun dan logam berat yang terperangkap tidak
berpengaruh terhadap Collembola sendiri, karena akan hilang bersama dengan
proses pergantian kulit. Oleh karena itu, Collembola tanah diharapkan jasanya
sebagai penunjuk adanya pencemaran tanah oleh racun atau logam berat yang
terdapat di dalam tubuh Collembola. Pemeriksaan kandungan logam berat dan ion
racun ini pernah dilakukan di Belanda dan Amerika. Pemanfaatan jasa Collembola
sebagai bioindikator ini sangat dimungkinkan di Indonesia (Suhardjono, 1992).
2.5. Faktor yang Mempengaruhi Collembola
Kehidupan fauna tanah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan biotik dan
abiotik. Faktor lingkungan biotik adalah adanya organisme lain yang berada di
habitat yang sama, seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan fauna
lainnya (Suin, 2006).
Faktor abiotik dapat berupa faktor fisik dan kimia seperti pH, suhu,
kelembaban, keberadaan zat pencemar di dalam tanah, kedalaman tanah, serta
iklim atau musim. Suhu dan penguapan dapat mempengaruhi komunitas
Collembola. Selain faktor fisik dan kimia, faktor biotik juga berpengaruh terhadap
keberadaan Collembola. Vegetasi penutup merupakan faktor yang tidak dapat
diabaikan karena dapat mempengaruhi sifat keadaan tanah. Keanekaragaman
Curah hujan dapat berpengaruh tidak langsung terhadap sintasan
Collembola. Tingkat kematian akan lebih tinggi pada musim kering, karena
mereka tidak tahan terhadap kekeringan. Mereka peka terhadap perubahan
kelembaban tanah baik yang terjadi di atas permukaan maupun di dalam tanah
sendiri. Perubahan kelembaban sangat berkaitan dengan perubahan suhu di
lingkungan tanah dan sekitarnya. Manakala terjadi perubahan suhu dan atau
kelembaban di sekitar tempat hidupnya, mereka berusaha mempertahankan diri
dengan berpindah tempat ke lapisan tanah lebih dalam untuk mencapai
perlindungan. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok yang hidup di tajuk atau
di sela-sela lumut pohon, mereka mencari tempat persembunyian yang lebih
terlindung dari perubahan suhu dan kelembaban (Suhardjono et al., 2012).
2.6. Habitat Collembola
Berdasarkan habitatnya, fauna tanah ada yang digolongkan sebagai epigeon,
hemiedafon dan euedafon. Hewan epigeon hidup pada lapisan
tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon pada lapisan organik tanah dan
euedafon hidup pada tanah lapisan mineral (Suin, 2006).
Collembola dapat ditemukan di berbagai macam habitat dari tepi laut atau
pantai sampai pegunungan tinggi yang bersalju sekalipun. Setiap macam habitat
mempunyai komposisi keanekaragaman Collembola yang berbeda. Namun,
sebagian besar mereka hidup pada habitat yang berkaitan dengan tanah, seperti di
dalam tanah, permukaan tanah, serasah yang membusuk, kotoran binatang, sarang
binatang dan liang-liang. Habitat yang lain adalah vegetasi di atas permukaan
tanah terutama yang lembab dan hangat. Dalam hal ini Collembola dapat dijumpai
di antara lembar-lembar lumut, dedaunan, atau ranting-ranting perdu dan serasah
yang tertampung pada rumpun paku-pakuan yang menempel di batang pohon
(Suhardjono et al., 2012).
2.7. Hutan
Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 menjelaskan bahwa hutan adalah kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
lainnya tidak dapat dipisahkan yang terletak pada suatu kawasan. Kehutanan
merupakan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, dan hasil hutan
yang diselenggarakan secara terpadu. Pengurusan hutn bertujuan untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan lestari untuk kemakmuran
rakyat.
Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh
pohon-pohon yang menempati suatu tempat dimana terdapat hubungan timbal
balik antara tumbuhan tersebut dengan lingkungannya. Pepohonan yang tinggi
sebagai komponen dasar dari hutan memegang peranan penting dalam menjaga
kesuburan tanah dengan menghasilkan serasah sebagai sumber hara penting bagi
vegetasi hutan (Ewuise, 1990).
Hutan bukan semata-mata kumpulan pohon-pohon yang hanya
dieksploitasi dari hasil kayunya saja, tetapi hutan merupakan persekutuan hidup
alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks yang terdiri atas
pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan dan alam
lingkungannya (Arief, 2001).
Indriyanto (2008) menjelaskan bahwa hutan alam adalah hutan yang
terjadi melalui proses suksesi secara alam. Hutan alam ini dibagi atas dua jenis
sebagai berikut:
a. Hutan alam primer merupakan hutan alam asli yang belum pernah dilakukan
penebangan oleh manusia. Hutan itu dicirikan oleh pohon-pohon tinggi
berumur ratusan tahun yang tumbuh dari biji. Hutan alam primer mencakup
hutan perawan, hutan alam primer tua, dan hutan alam primer muda.
b. Hutan alam sekunder merupakan hutan asli yang pernah mengalami kerusakan
oleh kegiatan alam. Hutan itu dicirikan oleh pohon-pohon yang lebih rendah
dan kecil apabila dibandingkan dengan pohon-pohon pada hutan alam primer.
Akan tetapi, apabila umur pohon sudah mencapai ratusan tahun, hutan itu akan
sulit dibedakan dengan hutan alam primer, kecuali diketahui sejarah proses
suksesi yang terjadi. Hutan alam sekunder mencakup hutan vulkanogen, hutan
kebakaran alam, dan hutan penggembalaan alam.
Hutan sekunder merupakan hutan yang fase pertumbuhan dari keadaan
Sebagaimana halnya pada seluruh hutan lainnya, karakteristik-karaktristik dan
perkembanan hutan-hutan sekunder juga tergantung pada kondisi-kondisi spesifik
pertumbuhannya. Kondisi-kondisi spesifik tersebut mencakup tidak hanya
perkembangan dari pertumbuhan riap atau volume tegakan saja, melainkan juga
struktur dan komposisi tegakan. Kondisi-kondisi regional, serta oleh karakteristik
dan perkembangan hutan tersbut (Irwanto, 2006).
Zain (1992) menjelaskan bahwa hutan memiliki manfaat bagi kehidupan
manusia yaitu: berupa manfaat langsung dirasakan maupun yang tidak langsung.
Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin ekstensinya sehingga
dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari
hutan akan memberikan peranan nyata apabia pengelolaan sumberdaya alam
berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan
nasional bekelanjutan, yaitu pembangunan yang tetap memperhatikan
prinsip-prinsip konservasi.
Hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain: (1)
pengembangan dan penyediaan atmosfer yang baik dengan komponen oksigen
yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batu bara), (3) pengembangan dan
proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai
terhadap erosi, (5) penyediaan material bangunan, bahan bakar dan hasil hutan,
(6) manfaat penting lainnya seperti nilai estesis, rekreasi, kondisi alam asli dan
taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan
dengan pengelolaan hutan (Daniel et al., 1992).
2.8. Agroforestri
Agroforestri merupakan suatu sistem manajemen lahan yang berkelanjutan untuk
meningkatkan variasi hasil lahan dengan mengkombinasikan antara tanaman
pertanian dan tanaman hutan dan atau hewan secara simultan atau berurutan
dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang sesuai budaya
masyarakat setempat (Rauf, 2011).
Agroforestri merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan lahan
terdiri dari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan
agrofrestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat dengan hutan
dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai
batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai
hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi (Widianto et al., 2003).
Hairiah & Sitompul (2000) menjelaskan bahwa pada umumnya alih-guna
lahan hutan menjadi lahan Agroforestri baik monokultur maupun polikultur akan
menurunkan keanekaragaman biota tanah dan kualitas air. Pada lahan pertanian,
rendahnya jumlah dan diversitas dalam suatu luasan menyebabkan rendahnya
keragaman kualitas masukan bahan organik dan tingkat penutupan permukaan
tanah oleh lapisan serasah. Tingkat penutupan (tebal tipisnya) lapisan serasah
pada permukaan tanah berhubungan erat dengan laju dekomposisinya.
Alih-guna lahan dari hutan menjadi pertanian mengakibatkan timbulnya
aneka dampak. Sebagai salah satu sistem penggunaan lahan alternatif, agroforestri
memberikan tawaran yang cukup menjanjikan bagi pemulihan fungsi hutan yang
hilang setelah dialihgunakan. Namun perlu dipahami bahwa tidak semua fungsi
yang hilang itu dapat dipulihkan melalui penerapan agroforestri. Demikian pula
tidak semua sistem agroforestri dapat menghasilkan fungsi yang sama (baik
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2013 pada
hutan sekunder dan agroforestri kopi di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman
Teran, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Pelaksanaan determinasi dan
identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.
3.2. Deskripsi Area
Secara administratif lahan hutan sekunder dan agroforestri kopi terletak di Desa
Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera
Utara (peta lokasi pada Lampiran 1). Jarak antar kedua lokasi ± 50 m.
a. Lokasi I
Merupakan areal Hutan Sekunder yang terletak di hutan gunung Sinabung di Desa
Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera
Utara dan berada pada ketinggian 1400-1500 mdpl. Dengan vegetasi tanaman
Lauraceae (Neocinnamommum sp. dan Litsea sp.), Fagaceae (Castanopsis sp. dan
Lithocarpus sp.), Myrtaceae (Eugenia sp.), Euphorbiaceae (Macarangatanaria
sp. Anacardiaceae (Buchanania sp.), Clusiaceae (Garcinia sp), Moraceae (Ficus
sp.) dan Rubiaceae (Urophyllum sp.). Lokasi ini terletak pada 030 11’ 29,8” LU
0980 23’ 16,4” BT (Gambar 3.1). Sebelah Utara berbatasan dengan Ekosistem Leuser & Kabupaten Langkat, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan
Munte, sebelah Barat berbatasan dengan Ekosistem Leuser & Kecamatan Payung,
Gambar 3.1 Lokasi Hutan Sekunder
b. Lokasi II
Merupakan areal Agroforestri Kopi yang memiliki luas ± 1 ha. Lokasi ini terletak
pada titik koordinat 030 11’ 39,5”, LU 0980 23’ 25,6” BT, dengan luas
100x100m2. Lokasi agroforestri kopi berada pada ketinggian 1300-1400 mdpl.
Pada agroforestri ini jenis kopi yang ditanam adalah Coffea Arabica, jenis
tanaman lainnya yang terdapat pada lokasi ini adalah Capsicum annum, Capsicum
frutescens, Solanum lycopersicum, Musa Paradisiaca (Gambar 3.2). Sebelah Timur, sebelah Selatan, sebelah Utara berbatasan dengan Agroforestri yang lain
sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan jalan.
3.3. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Position System),
kamera digital, soil tester, soil thermometer, cangkul, parang, pacak, ember
plastik (diameter permukaan ± 16 cm), botol film, karet gelang, terpal, kantong
plastik, kertas grafik dilaminating, meteran, pensil, buku catatan, karung goni,
pinset. Sedangkan bahan yang digunakan adalah alkohol 70 % dan detergen.
3.4. Metode Penelitian
Penentuan lokasi plot sampling dilakukan dengan menggunakan metoda
Purposive Random Smpling pada dua lahan yang berbeda yaitu lahan Hutan
Sekunder dan Lahan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung, Kecamatan
Namanteran, Kabupaten Karo. Selanjutnya pengambilan sampel Collembola
dilakukan dengan metode Pit Fall Trap (Suin, 2002).
3.5.Cara Kerja
3.5.1. Pengambilan Sampel Collembola
3.5.1.1. Metode Pit Fall Trap
Pengambilan sampel Collembola diambil pada dua lokasi yaitu hutan sekunder
dan agroforesti kopi dengan menggunakan metode Pit Fall Trap, yaitu pada
masing-masing titik sampling ditentukan, ditempatkan dan ditanam perangkap.
Perangkap yang digunakan berupa ember plastik diameter permukaan ± 16 cm,
dasar 4,5 cm dan tinggi 15 cm sebanyak 25 ember, pada areal hutan sekunder dan
areal agroforestri kopi. Kemudian perangkap diisi alkohol 70% sebanyak ± 400
ml dan ditambahkan detergen. Perangkap dipasang di permukaan tanah yang telah
dilubangi sesuai ukuran ember plastik tersebut. Permukaan tanah yang berada di
dekat bibir ember plastik tersebut diratakan. Di atas perangkap dipasang atap atau
terpal plastik dengan tinggi kira-kira 25 sampai dengan 30 cm agar air hujan tidak
masuk ke dalam ember plastik tersebut. Jarak antara Pit Fall Trap yang satu
dengan yang lain paling dekat 10 m. Kemudian Pit Fall Trap dibiarkan selama 48
jam, yaitu dipasang pada pukul 08.00 WIB, dan diambil dua hari berikutnya pada
pukul 08.00 WIB. Hewan yang terperangkap dipindahkan ke dalam botol sampel
dengan alkoholnya. Selanjutnya botol sampel tersebut dibawa ke laboratorium
3.5.2. Identifikasi Spesies CollembolaTanah
Sampel Collembola permukaan tanah dibawa dari lapangan dikelompokkan sesuai
dengan kesamaan ciri-ciri morfologinya kemudian diawetkan dalam alkohol 70%.
Selanjutnya proses determinasi dan identifikasi dilakukan dengan memperhatikan
bentuk luar tubuhnya (morfologi) dengan bantuan Loup dan Mikroskop Stereo
serta menggunakan beberapa buku acuan sebagai berikut: Stepenson (1923),
Dindal (1990), Borror (1992), Gibb & Oseto (2006), Suin (2006), Nardi (2007),
Fayle & Hashimoto (2011), Suhardjono et al. (2012).
3.6. Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah 3.6.1. pH, Kelembaban Tanah dan Suhu Tanah
Pengukuran pH, kelembaban tanah dan suhu tanah dilakukan dilapangan dengan
menggunakan alat seperti yang terlihat pada Tabel 3.1 berikut:
Tabel 3.1. Alat Yang Digunakan Untuk Mengukur pH, Kelembaban Tanah dan Suhu Tanah
Parameter Satuan Alat yang digunakan
- pH - Soil Tester
- Kelembaban Tanah % Soil Tester
- Suhu Tanah °C Soil Thermometer
3.6.2.Kadar Air Tanah
Pengukuran kadar air tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Dasar dan Umum
(LIDA) USU. Tanah diambil dari lapangan mewakili tiap titik lalu dikompositkan
serta dibersihkan dari sisa tumbuhan dan fauna yang masih ada lalu kemudian
diaduk-aduk sampai rata dan diambil 20 gram untuk dianalisis. Selanjutnya
sampel tanah ini dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 2 jam sehingga
beratnya konstan dan ditentukan kadar air tanahnya dengan rumus berdasarkan
Standard Nasional Indonesia (SNI) sebagai berikut:
( A – B )
Kadar air tanah (%) = x 100% A
3.6.3. Kadar N, P, K dan C-organik
Pengukuran kadar N, P, K, dan C-organik dilakukan di Laboratorium Riset &
Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Tanah yang telah
dikompositkan lalu dibersihkan dari tumbuhan dan fauna yang masih ada.
Kemudian diambil sebagian untuk dianalisis dengan metode berikut:
Tabel 3.2. Metode Pengukuran Kadar N, P, K dan C-Organik
Parameter Satuan Metode
Jenis Collembola tanah dan jumlah individu masing-masing jenis yang didapatkan
dihitung nilai: Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR), Frekuensi
Kehadiran (FK) untuk mengetahui keanekaragaman Collembola tanahnya dengan
menggunakan rumus menurut Suin (2002) sebagai berikut:
a. Kepadatan Populasi (K)
Jumlah plot yang ditempati suatu jenis
FK = X 100 %
Jumlah total plot
Suin (2002), menerangkan nilai FK berdasarkan konstansinya sebagai berikut:
Nilai FK: 0-25% = Konstansinya Aksidental (sangat jarang) Nilai FK: 25-50% = Konstansinya Assesori (jarang)
d. Indikator Biotik
Indikator biotik ditentukan terhadap Collembola tanah yang memiliki nilai
KR>10% dan FK >25% yang menunjukkan bahwa Collembola tanah ini
karakteristik di dapat di areal tersebut, karena dapat hidup dan berkembangbiak
dengan baik (Suin, 2002).
e. Komposisi Komunitas
Komposisi komunitas ditentukan dengan cara mengurutkan nilai
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis Collembola Permukaan Tanah Yang Ditemukan Pada Lokasi Penelitian
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada Hutan Sekunder dan lahan
Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung, Kecamatan Namanteran, Kabupaten
Karo, ditemukan barbagai spesies Collembola permukaan tanah seperti yang
tercantum pada Tabel 4.1 berikut:
Tabel 4.1 Collembola Permukaan Tanah yang ditemukan pada Dua Lokasi Penelitian
Kelas Ordo Famili Spesies Lokasi
I II
Collembola Entomobryomorpha Entomobryidae Ascocyrtus sp. + -
Entomobrya sp. 1 + + Symphypleona Paronellidae Lepidonella sp. + + Dicyrtomidae Ptenothrix sp. + - Sminthuridae Sphyrotheca sp. + + 10 8
Keterangan : Lokasi I: Hutan Sekunder, Lokasi II: Agroforestri, (+): Ditemukan, (-): Tidak ditemukan
Pada Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa Collembola permukaan tanah yang ditemukan pada kedua lokasi terdiri dari 2 ordo, 5 famili dan 12 spesies.
Collembola permukaan tanah yang paling banyak ditemukan adalah pada hutan
sekunder yaitu 10 spesies dan 5 spesies tidak ditemukan pada agroforestri kopi
yaitu Ascocyrtus sp., Entomobrya sp.3, Lepidosira sp., Tomocerus sp., Ptenothrix
sp. Sedangkan pada agroforestri kopi ditemukan sebanyak 8 spesies dan 2 spesies
tidak ditemukan pada hutan sekunder yaitu Entomobrya sp.4 dan Pseudosinella
sp. Lebih sedikitnya spesies yang ditemukan pada agroforestri kopi disebabkan
menjadi agroforestri, sehingga dapat menurunkan keragaman vegetasi dan bahan
organik tanah lainnya, selain itu masukan makanan bagi fauna tanah khususnya
Collembola permukaan tanah juga akan menurun. Hal ini sesuai dengan yang
dinyatakan Prijono & Wahyudi (2009) bahwa pada umumnya lahan agroforestri
memiliki jumlah dan keragaman vegetasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan
hutan sehingga menyebabkan perbedaan serasah gugur, baik ditinjau dari jumlah
dan kualitas. Selanjutnya Munawar (2011) menambahkan ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi jumlah penambahan dan kehilangan Bahan Organik
Tanah (BOT). Faktor-faktor tersebut antara lain; pengelolaan tanah, tekstur tanah,
iklim, posisi lanskap dan juga tipe vegetasi.
Faktor lain yang mempengaruhi Collembola permukaan tanah lebih sedikit
pada agroforestri kopi adalah keadaan lokasi ini lebih terbuka daripada hutan
sekunder sehingga berpengaruh terhadap kenaikan suhu (Lampiran 4). Tingginya
suhu pada agroforestri menyebabkan kelembabannya rendah, sedangkan
Collembola lebih menyukai habitat yang lembab. Suin (2006) menjelaskan bahwa
naik dan turunnya suhu tanah sekecil apapun memiliki pengaruh yang cukup besar
dalam menentukan keberadaan dan kepadatan Collembola permukaan tanah pada
suatu areal. Selanjutnya Odum (1996) manambahkan kehidupan Collembola
permukaan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu tanah yang ekstrim
dapat mematikan Collembola permukaan tanah. Selain itu suhu tanah juga
mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi serta metabolisme Collembola
permukaan tanah. Tiap spesies Collembola permukaan tanah memiliki kisaran
suhu optimum.
Namun perbedaan jumlah Collembola permukaan tanah yang ditemukan
pada kedua lokasi terlihat tidak jauh berbeda. Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa alih guna lahan hutan menjadi agroforestri tidak begitu mengubah atau
merusak ekosistem. Dewi (2007) menjelaskan bahwa agroforestri dianggap
mampu mempertahankan biodiversitas fauna tanah termasuk diantaranya
Collembola. Selanjutnya Hairiah et al., (2000) menjelaskan bahwa agroforestri
merupakan salah satu sistem pengelolaan lahan hutan dengan tujuan untuk
mengurangi kegiatan perusakan hutan dan perambahan hutan, dimana
Data pada Tabel 4.1 juga memperlihatkan bahwa Collembola permukaan tanah yang paling banyak ditemukan pada kedua lokasi adalah dari famili
Entomobryidae yang terdiri dari 9 spesies. Lebih banyaknya Collembola
permukaan tanah dari famili ini disebabkan karena Entomobryidae merupakan
kelompok Collembola permukaan tanah yang memiliki jumlah spesies yang
paling banyak dengan penyebaran yang sangat luas. Hal ini sesuai dengan yang
dijelaskan Kanal (2004) dan Hadley (2007) bahwa Entomobryidae dikenal sebagai
jenis Collembola yang banyak ditemukan pada permukaan tanah, maupun pada
lapisan serasah dengan populasi yang tinggi sehingga berperan sebagai
dekomposer yang efektif.
4.2 Kepadatan dan Kepadatan Relatif Collembola Permukaan Tanah
Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, didapatkan Kepadatan dan
Kepadatan Relatif Collembola permukaan tanah seperti yang terlihat pada Tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2 Nilai Kepadatan (Individu/m2) dan Kepadatan Relatif (%) Collembola Permukaan Tanah Pada Setiap Lokasi Penelitian
No Spesies Lokasi I Lokasi II
Jumlah 121,417 100,000 109,475 100,000
Keterangan: Lokasi I= Hutan Sekunder, Lokasi II= Agroforestri, K= Kepadatan, KR=Kepadatan Relatif.
Pada Tabel 4.2 memperlihatkan nilai kepadatan total tertinggi didapatkan pada hutan sekunder dengan nilai 121,417 individu/m2, dan kepadatan total terendah
pada agroforestri kopi, yaitu 109,475 individu/m2. Tingginya nilai kepadatan total
spesies yang ditemukan juga tinggi ini berkaitan dengan faktor fisik-kimia tanah
pada hutan sekunder yang mendukung bagi kelangsungan hidup Collembola
permukan tanah, diantaranya adalah kelembaban tanah (50,20%), kadar air tanah
(34%), C/N (8,59%), P-tersedia (23,04 ppm) dan C-organik (4,81%) (Lampiran 4). Kadar air tanah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi Collembola permukaan tanah karena kadar air ini juga menentukan kelembaban dan suhu
tanah. Air sangat besar peranannya dalam hubungannya dengan kation-kation
dalam tanah, dekomposisi bahan organik dan kehidupan organisme tanah
diantaranya Collembola permukaan tanah (Suin 2006). Selanjutnya dijelaskan
bahwa pada tanah yang kadar airnya rendah, kepadatan makrofauna tanahnya juga
rendah begitu juga sebaliknya.
Kadar C-organik tanah juga memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap keberadaan dan kehadiran fauna tanah yang termasuk di dalamnya
adalah Collembola. Faktor makanan merupakan faktor yang penting dalam
menentukan bertambah atau berkurangnya jumlah individu makrofauna tanah.
Bahan organik tanaman merupakan sumber energi utama bagi kehidupan biota
tanah, khususnya makrofauna tanah (Suin 1997). Sehingga jenis komposisi bahan
organik tanaman menentukan kepadatannya (Hakim at al. 1986). Selanjutnya
Sugiyarto et al. 2007 juga menjelaskan semakin banyak bahan organik yang
tersedia maka jumlah individu Collembola permukaan tanah juga akan semakin
bertambah.
Nilai kepadatan (K) dan Kepadatan Relatif (KR) masing-masing spesies
Collembola permukaan tanah yang didapatkan juga menunjukkan hasil yang
berbeda-beda pada tiap lokasi. Nilai Kepadatan spesies tertinggi pada hutan
sekunder didapatkan pada Ascocyrtus sp., Entomobrya sp.1 dan Lepidosira sp.
dengan nilai K (13,933 individu/ m2) dan nilai KR tertinggi adalah Ascocyrtus sp.,
Entomobrya sp.2, Lepidosira sp. dan Ptenothrix sp. dengan nilai KR (11,475 %).
Sedangkan pada agroforestri kopi nilai K spesies tertinggi adalah Entomobrya
sp.2, Pseudosinella sp. dengan nilai K (17,914 individu/ m2) dan nilai KR
tertinggi yaitu Entomobrya sp.2 dan Pseudosinella sp. dengan nilai KR (16,364
%). Nilai Kepadatan spesies terendah pada hutan sekunder yaitu Entomobrya sp.2,
(8,197 %). Sedangkan pada agroforestri kopi nilai K terendah adalah Sphyrotheca
sp. dengan nilai K (11,943 individu/m2) dan nilai KR (10,909 %).
Hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa tinggi rendahnya nilai Kepadatan
total dan Kepadatan Relatif pada kedua lokasi ini disebabkan karena Collembola
permukaan tanah yang ditemukan memiliki kisaran toleransi dan daya dukung
yang berbeda-beda terhadap berbagai faktor fisik-kimia lingkungan sehingga
terdapat beberapa spesies yang ditemukan pada hutan sekunder tetapi tidak
ditemukan pada agroforestri kopi begitu juga sebaliknya. Sukarsono (2009)
menyatakan bahwa jenis-jenis fauna tanah yang kisaran toleransinya bersifat luas
terhadap banyak faktor lingkungan tertentu misalnya suhu, kelembaban dan
habitat maka akan memiliki sebaran yang luas dan jumlah yang banyak
dibandingkan dengan fauna tanah yang kisaran toleransinya bersifat sempit atau
toleran terhadap beberapa faktor lingkungan saja.
Pasokan makanan sebagai sumber energi juga turut mempengaruhi
keberadaan dan kepadatan fauna tanah. Pada kedua lokasi ini diduga pasokan
makanan yang tersedia terdapat perbedaan sehingga kepadatan fauna tanah yang
didapatkan juga berbeda. Suin (2006) menyatakan bahwa semua fauna tanah
bergantung pada material organik tanah sebagai penyedia energi bagi
kehidupannya. Handayanto & Hairiyah (2009) menambahkan masing-masing
fauna tanah memiliki ketergantungan yang berbeda terhadap lingkungan tanah
dalam hal pasokan energi dan nutrisi untuk pertumbuhannya. Sebagian besar
fauna tanah mendapatkan energi dan nutrisi langsung dari tanah, baik dari bahan
mineral, bahan organik atau dari biomassa hidup dalam tanah.
4.3. Frekuensi Kehadiran (Konstanta) Collembola Permukaan Tanah
Frekuensi kehadiran sering pula dinyatakan sebagai konstansi. Dari frekuensi
kehadiran atau konstansi itu, fauna tanah dapat dikelompokkan menjadi empat
golongan. Golongan aksidental (sangat jarang) bila konstansinya 0 – 25%,
golongan assesori (jarang) bila konstansinya 25 – 50%, golongan konstan (sering)
bila konstansinya 50 – 75%, dan golongan absolut (sangat sering) bila
kehadiran dan konstansinya untuk masing-masing Collembola permukaan tanah
yang ditemukan pada tiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Nilai Frekuensi Kehadiran (%) dan Konstansi Makrofauna Tanah Pada Setiap Lokasi Penelitian
No Spesies Lokasi I Lokasi II 11. Sphyrothecasp. 20 Aksidental 20 Aksidental 12. Tomocerus sp. 20 Aksidental - -
Keterangan: Lokasi I= Hutan Sekunder, Lokasi II= Agroforestri Kopi, FK= Frekuensi Kehadiran
Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa pada hutan sekunder ditemukan 7 spesies yang bersifat Aksidental dan 3 spesies bersifat Assesori. Pada agroforestri kopi
ditemukan 3 spesies yang bersifat Aksidental dan 4 bersifat Assesori. Frekuensi
kehadiran yang bersifat Konstan dan Absolut tidak ditemukan. Dari hasil ini dapat
diketahui bahwa tidak ada Collembola permukaan tanah yang mendominasi pada
kedua lokasi. Dengan perkataan lain, pada hutan sekunder dan agroforestri kopi
frekuensi kehadiran Collembola permukaan tanah relatif sama.
Keadaan ini diduga karena pada kedua lokasi tersebut merupakan areal
yang sudah terdapat kegiatan manusia. Dengan kegiatan-kegiatan yang terjadi di
dalamnya menyebabkan aktivitas Collembola permukaan tanah terganggu dan
frekuensi kehadirannya secara umum rendah. Yulipriyanto (2010) menjelaskan
berbagai kegiatan pertanian yang dapat menimbulkan gangguan biota tanah
diantaranya pembakaran (api), pemanenan, pengolahan, pemadatan, pengambilan
rumput, penyakit atau penggunaan pestisida. Frekuensi, banyaknya dan waktu
gangguan menentukan efeknya pada aktivitas organisme tanah.
Banyaknya Collembola permukaan tanah yang terdapat pada
masing-masing lokasi yang bersifat aksidental menunjukkan ataupun menggambarkan
agroforestri ini tidak begitu banyak menimbulkan dampak yang negatif bagi
ekosistem. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Hanafiah et al., (2005)
agroforestri berfungsi penting dalam mempertahankan konservasi tanah dan air,
juga berperan penting dalam mempertahankan kesuburan tanah dan pendapatan
petani. Selanjutnya Widianto et al. (2003) menambahkan bahwa agroforestri
memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan dibandingkan dengan
pertanian.
4.4 Kepadatan Relatif (KR%) >10% dan Frekuensi Kehadiran (FK%)>25% yang Didapatkan pada Setiap Lokasi Penelitian
Dari hasil analisis yang telah dilakukan didapatkan spesies Collembola permukaan
tanah yang cukup bervariasi memiliki nilai KR(%) >10% dan FK(%) >25% pada
setiap lokasi penelitian, seperti yang terlihat pada Tabel 4.4 berikut:
Tabel 4.4 Nilai KR(%) >10% dan FK(%) > 25% Collembola permukaan tanah yang Didapatkan pada Setiap Lokasi Penelitian
No Spesies Kepadatan Relatif, FK = Frekuensi Kehadiran
Dari Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa Collembola permukaan tanah yang memiliki nilai KR(%) > 10% dan FK (%) >25 % pada hutan sekunder didapatkan
sebanyak 3 spesies yaitu Entomobrya sp. 1, Lepidosira sp., Ptenothrix sp.
Sedangkan pada agroforestri kopi didapatkan sebanyak 4 spesies, yaitu
Entomobrya sp. 2 dan Pseudosinella sp., Homidia sp. dan Lepidonella sp.
Keadaan ini menunjukkan bahwa Collembola permukaan tanah tersebut
merupakan Collembola yang dapat hidup dan berkembang biak dengan baik pada
masing-masing lokasi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suin (2002)
menunjukkan bahwa hewan tanah tersebut merupakan jenis karakteristik di habitat
tersebut, dan dapat hidup serta berkembang biak dengan baik.
Banyaknya spesies Collembola permukaan tanah yang dapat hidup dan
berkembang biak dengan baik pada agroforestri kopi disebabkan karena pasokan
makanan sebagai sumber energi lebih tersedia atau memadai dibandingkan hutan
sekunder, dimana pada agroforestri kopi sedikit banyaknya sudah ada
penambahan pupuk sehingga sumber makanan pada lokasi tersebut bertambah.
Selain itu, faktor fisik-kimia terutama nilai kadar N-total pada agroforestri kopi
lebih tinggi dibandingkan hutan sekunder (Lampiran 3). Tingginya kadar N-total
dapat memberikan pengaruh terhadap Collembola permukaan tanah yang berada
di lokasi tersebut dan ketersediaan makanan atau nutrisi sebagai sumber energi
bagi Collembola permukaan tanah. Lee (1985) menjelaskan bahwa N-total
merupakan unsur pembentuk jaringan tubuh hewan. Selanjutnya Adianto (1993)
menambahkan bahwa kemampuan fauna tanah diantaranya Collembola
permukaan tanah untuk hidup dan berkembang dengan baik pada suatu habitat
sangat ditentukan oleh kondisi fisika, kimia dan biologi tanahnya serta tersedianya
bahan makanan yang dibutuhkannya.
Michael (1995) menyatakan bahwa secara alamiah penyebaran
hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan diatur oleh jumlah dan keragaman bahan yang
dibutuhkan oleh organisme tersebut serta faktor fisik dan batas toleransi
organisme terhadap komponen-komponen ini di lingkungan. Dalam hal ini terjadi
interaksi antara spesies tersebut dengan segala faktor lingkungan abiotik maupun
biotik. Dari lingkungannya spesies tersebut mendapat energi (sumber makanan)
untuk dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang biak. Keadaan faktor
lingkungan itulah yang menentukan kelimpahan spesies tersebut di lingkungan.
4.5 Komposisi Spesies Collembola Permukaan Tanah Lokasi Penelitian Komposisi spesies Collembola permukaan tanah pada masing-masing lokasi
penelitian diperoleh berdasarkan pengurutan nilai kepadatan relatif dari nilai
tertinggi sampai yang terendah didapatkan komposisi spesies yang bervariasi.
Komposisi Collembola permukaan tanah pada lokasi penelitian dapat dilihat pada
Tabel 4.5 UrutanKomposisi Masing-masing Collembola Permukaan Tanah pada Setiap LokasiPenelitian
No Spesies KR Lokasi I KR Lokasi II
1. Ascocyrtus sp. 11,475 % 2 - - 2. Entomobrya sp. 1 11,475 % 2 12,727 % 3 3. Entomobrya sp. 2 8,197 % 4 16,364 % 1 4. Entomobrya sp. 3 9,836 % 3 - - 5. Entomobrya sp. 4 - - 14,545 % 2 6. Homidia sp. 8,197 % 4 14,545 % 2 7 Lepidosira sp. 13,933 % 1 - - 8. Lepidonella sp. 8,197 % 4 14,545 % 2 9. Pseudosinella sp. - - 16,364 % 1 10. Ptenothrix sp. 11,475 % 2 - - 11. Sphyrothecasp. 9,836 % 3 10,909 % 4 12. Tomocerus sp. 8,197 % 4 - -
Keterangan:Lokasi I= Hutan Sekunder, Lokasi II= Agroforestri Kopi, KR= Kepadatan Relatif
Dari Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa pada hutan sekunder urutan komposisi Collembola permukaan tanah yang pertama dengan nilai KR 13,933 % adalah
Lepidosira sp. Sedangkan pada agroforestri kopi urutan pertama dengan nilai KR
16,364 % adalah Entomobrya sp.2 dan Pseudosinella sp. Dari hasil ini juga dapat
terlihat adanya perbedaan komposisi spesies antar lokasi penelitian, perbedaan ini
sangat ditentukan oleh kondisi fisik dan kimia lingkungan yang berbeda pada
kedua lokasi (Lampiran 3). Adianto (1993) menjelaskan fauna tanah sebagai
hewan invertebrata dan bersifat poikiloterm pada umumnya memiliki kisaran
toleransi yang sempit (eury) terhadap kondisi fisik-kimia lingkungannya, sehingga
daerah yang memiliki kondisi lingkungan yang berbeda juga komposisi fauna
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan terhadap “Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kuta
Gugung Kecamatan Namanteran Kabupaten Karo” dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
a. Ditemukan Collembola permukaan tanah pada lokasi penelitian yang terdiri
dari 2 ordo, 5 famili dan 12 spesies. Pada hutan sekunder ditemukan 1 ordo, 2
famili dan 10 spesies. Pada agroforestri kopi ditemukan 1 ordo, 3 famili dan 8
spesies.
b. Nilai kepadatan total tertinggi hutan sekunder sebesar 121,417 individu/m2
sedangkan kepadatan terendah pada agroforestri kopi sebesar 109,475
individu/m2.
c. Nilai frekuensi kehadiran pada kedua lokasi relatif sama yaitu antara
Aksidental dan Assesori.
d. Collembola permukaan tanah yang memiliki nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25%
pada hutan sekunder terdapat 3 spesies. Sedangkan pada agroforestri kopi
terdapat 4 spesies.
e. Komposisi spesies tertinggi pada hutan sekunder adalah Lepidosira sp. dengan
nilai KR 13,933 % dan pada agroforestri kopi komposisi tertinggi adalah
Entomobrya sp.2 dan Pseudosinella sp. dengan nilai KR 16,364%.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai komposisi komunitas
Collembola dimana Collembola ini merupakan hewan tanah yang mempunyai
peranan penting dalam perombakan bahan-bahan organik dalam tanah. Terutama
setelah Gunung Sinabung meletus penelitian ini sebaiknya dapat dilakukan untuk
DAFTAR PUSTAKA
Adianto.1993. Biologi Pertanian (Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati, DanInsektisida). Edisi ke-2.Alumni anggota IKAP. Bandung.
Amir, A. M. 2008. Peranan Serangga Ekor Pegas (Collembola) dalam Rangka Meningkatkan Kesuburan Tanah.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.Warta, Volume 14, Nomor 1 April 2008:16-17ISSN-0853-8204.
Arief, A. 2001.Hutan dan Kehutanan.Kanisius.Yogyakarta.
BPS Karo. 2012. Karo Dalam Angka 2012.
http://karokab.bps.go.id/publikasi/kda/2012/1 katalog_2012.pdf. Diakses pada 03 Januari 2013.
Christiansen, K & Bellinger, P. F. 1980-1981. The Collembola of North America. Grinell College, Grinell, lowa 50112.
Daniel, T. W., J. A. Helms, F. S. Baker. 1992. Prinsip-prinsip Silvinatural. Yogyakarta: Penerbit Universitas Gadjah Mada.
Deharveng, L. 2004. Recent Advances in Collembola systematic. Pedobiologia 48:415-433.
Dewi, W. S. 2007. Dampak Alih Guna Lahan Hutan menjadi Lahan Pertanian: Perubahan Diversitas Cacing Tanah dan Fungsinya dalam Mempertahankan Porimakro Tanah. Disertasi. Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang.
Ewuise, J. Y. 1990. Ekologi Tropika. Bandung: Penerbit ITB.
Foresta, A. H, Djatmoko, W. Michon, G. Kusworo. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan Agroforest Khas Indonesia. Grafika Desa Putera. Jakarta.
Ginting, M. 2008. Bagi Hasil Tanah Pertanian pada Masyarakat Karo.Pustaka bangsa press. Medan. hlm 66.
Gisin, H.1960. Collembolan Fauna Eropas. Museum d’Histoire Naturelle. Geneve: 318pp.
Greenslade. P. J. 1996. Collembola Di dalam: Naumann ID, ed The Insect of Autralia: A Textbook for Students and Research Workers vol 1 2nd ed. CSIRO. Melbourne: Melbourne Univ Pr.
Hadley, D. 2007. Order Collembola. http://www.insect.about.com/od/springtails. Diakses 20 September 2013.
Hanafiah KA, Napoleon A dan Nuni G. 2005. Biologi tanah ekologi dan makrobiologi tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Hairiah, K., S. R. Utami, D. Suprayogo, Widianto, S. M. Sitompul, Sunaryo, B. Lusiana, R. Mulia, M. Van Noordwijk and G. Cadish. 2000. Agroforestry on Acid Soils in Humid Tropics Managing Tree-Soil-Crop Interadictions. ICRAF. Bogor.
Hairiah, K. dan S.M. Sitompul. 2000. Assesment And Simulation Of Aboveground And Belowground Carbon Dynamics. APN/IC-SEA, Bogor.
Handayanto & Hairiah. 2009. Biologi Tanah, Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka Adipura. Yogyakarta. Arthropoda Tanah di Lahan Sawah Organik dan Konvensional pada Masa Bera. J.HPTTropika. 8(2):110-116.
Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya Hutan. Bumi aksara. Jakarta.
Irwanto. 2006. Dinamika dan Pertumbuhan Hutan Sekunder. UGM.Yogyakarta.hlm 2.
Kanal, A. 2004.Effects of fertilisation and edaphic properties on soil-assosiated Collembola in crop rotation.Agronomy Research 2(2):153-168.
Lee, K. E. 1985. Earthworm, Their Ecology and Relationship with Soil and Land Use.Academic Press.Australia.
Michael, P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.Diterjemahkan oleh Koestoer, Y. R. UI-Press. Jakarta.
Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Press. Bogor.
Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Tjahjono Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Peningkatan Biomassa Cacing Penggali Tanah P. Corethrurus dan Makroporositas Tanah). PRIMORDIA. 5 (3): 203-212.
Rauf, A. 2011.Sistem Agroforestry. Universitas Sumatera Utara: Medan.
Rahmadi C, Suhardjono YR, Andayani I. 2004. Collembola Lantai Hutan di Kawasan Hulu Sungai Tabalong Kalimantan Selatan.Biota IX:179-185.
Sabatini, M. A. & Innocetti, G. 2000.Functional relationship between Collembola and plant pathogenic fungi of agricultural soil.Pedobiolagia 44 (3-4): 467-475.
Simanungkalit, D. A. Suriadirkata, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor.
Suin, N. M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta
---2002. Metoda Ekologi. Padang: Penerbit Universitas Andalas Padang.
--- 2006. Ekologi Hewan Tanah. Edisi Ke-3. Bumi Aksara. Jakarta.
Sugiyarto., Efendi, M., Mahajoeno, E., Sugito, Y., Handayanto, E dan Agustina, L. 2007. Preferensi berbagai jenis makrofauna tanah terhadap sisa bahan organik tanaman pada intensitas cahaya berbeda. Biodiversitas.7(4): 96 – 100.
Sukarsono. 2009. Ekologi Hewan. UMM Press. Malang.
Suhardjono, Y. R. 1992. Fauna Collembola Tanah di Pulau Bali dan Pulau Lombok. (Disertasi S3). Jakarta: Universitas Indonesia. Program Pasca Sarjana.
Suhardjono, Y. R. 2006. Status taksonomi fauna di Indonesia dengan tinjauan khusus pada Collembola.Zoo Indonesia 15:67-86.
Suhardjono, Y. R., Deharveng. L., Bedos. A. 2012. Biologi Ekologi Klasifikasi Collembola (Ekorpegas). Vegamedia. Bogor. Hlm 21:59-60.
SNI 13-6793-2002 (Pd M 12-1998-03). 2005. Metode Pengujian Kadar Air, Kadar Abu dan Bahan Organik Dari Tanah Gambut dan Tanah Organik Lainnya.http://www.pu.go.id/satminkal/balitbang/sni/pdf/SNI%2003-6793-2002.pdf. [09 Maret 2013].
Yulipriyanto, H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaanya. Graha Ilmu. Yogyakarta.