S K R I P S I
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
HIRMAWATI FANNY TAMPUBOLON NIM: 110200242
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melenghapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
HIRMAWATI FANI{Y TAMPUBOLON
IIIIM: fi4200242
Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW
Disetujui OIeh
Kefua Departemen Hukum Keperdataan
Dosen Pembimbing II
\
r(
-
__ aI
g__--\-
3Muhammad Husni. SH.. MH. NrP. 19580202 1988031004
$,q
ll,.tt;,t-t*$r,
nuNrP. I 96603031985081001
95008081980021001
MEDAN
2015
F'AKULTAS
IIT]KT'M
--LTNwERsTTAssuMATERAUTARA
t
ka
CH
ffi
il."w*
G'
lrlAlv'lA NIX,{
: HItu\,{ AWATI FAI{N Y TAN,IPUBOLOI{ : i 10200242
jiiul;L
Siiiiipsi
: FEF.Lil-iDLilliGA}liiiliKUivi
KREDiTUR FEir{EGAiriC.TAN{i}iA}.i BERI,]PA
HAK
TANGGI-iNGAN YA}{GfuTEI'iGALAh,{I
T;OIIC{J
A,(,4.T}-;IiR{:
DALAMPER-iAiiii;ri''i i{R.EDi
I
iSTUi}i FADn FT.
tsaiiKMAidDrRr (PERSERO). TBK CABANG MEDAIi) Dengan ini rnenyatakan:
i.
iiafuwaisi
skripsi yang saya tuiis tersebuiiii
atas adaiair benar tidakmerupakan ciplakan dari skripsi atai.r karya ilmiah orang laitr.
2.
Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan rnakasegaia akibat hukurn yar.lg iiulbui nrenjacii tanggung jarvab sa5.'a.
Dernikian pemvataan ini sa.va buat dengan setrenam-_va tanpa ada paksaan atau
tekanan dari pihak marlapun.
rtrR\.{&\li l\T1 I_AN},iY T
vi
Di dalam pelaksanaan kredit dengan jaminan berupa hak tanggungan bisa
saja terjadi force majeure sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
kreditur karena obyek jaminan yang diperjanjikan telah musnah. Di dalam skripsi permasalahan yang dibahas adalah akibat musnahnya obyek jaminan yang
mengalami force majeure dalam hak tanggungan, perlindungan hukum bagi
kreditur terhadap jaminan berupa hak tanggungan yang mengalami force majeure,
upaya penyelesaian kredit terhadap jaminan berupa hak tanggungan yang
mengalami force majeure.
Metode penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif. Dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yaitu melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum serta berbagai literatur yang berkaitan dengan perlindungan hukum kreditur pemegang jaminan berupa
hak tanggungan yang mengalami force majeure dalam perjanjian kredit kemudian
didukung dengan penelitian lapangan (field research) dilaksanakan dengan
wawancara di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Medan dan wawancara dengan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Alat pengumpul data yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah melalui studi dokumen, bukti empiris tidak mendalam dengan melakukan wawancara, dan metode studi pustaka (library research). Metode analisis data menggunakan metode kualitatif, yaitu data yang didapat disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa musnahnya obyek jaminan
berupa Hak Tanggungan yang disebabkan force majeure tidak menyebabkan
hapusnya utang debitur. Selanjutnya perlindungan hukum bagi kreditur pemegang jaminan berupa hak tanggungan adanya pencantuman klausula di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang menyebutkan bahwa debitur wajib untuk mengasuransikan obyek jaminan hak tanggungan tersebut sebagai uang ganti kerugian bagi kreditur apabila obyek jaminan itu musnah disebabkan karena
force majeure. Upaya penyelesaian kredit yang dilakukan oleh kreditur adalah melakukan upaya damai (pendekatan personal), yaitu kreditur meminta kepada debitur untuk mengganti obyek jaminan yang telah musnah dengan obyek jaminan yang baru dan debitur tetap membayar utangnya, namun apabila tidak berhasil dapat melalui somasi lewat pengadilan.
Kata Kunci: Hak Tanggungan, Force Majeure, Jaminan
Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.
Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.
Maha Esa atas segala kemurahan dan rahmat-Nya yang diberikan kepada penulis,
sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaiakan
penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.
Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk
meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di
mana hal tersebut merupakana kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin
menyelesaikan perkuliahannya.
Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan “PERLINDUNGAN
HUKUM KREDITUR PEMEGANG JAMINAN BERUPA HAK
TANGGUNGAN YANG MENGALAMI FORCE MAJEURE DALAM
PERJANJIAN KREDIT”. Skripsi ini membahas tentang obyek jaminan hak
tanggungan yang mengalami force majeure.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan sehingga penulis
berharap agar semua pihak dapat memeberikan masukan berupa kritik dan saran
yang membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan
lebih sempurna lagi ke depannya.
Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak yang dengan ikhlas memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dan
doa sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini,
Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum, DFM, sebagai Pembantu
Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.H., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. H. Hasyim Purba, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen
Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen
Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak Muhammad Hayat, S.H.,, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak membantu penulis dalam memberi masukan, arahan, serta
bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.
8. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II
banyak membantu penulis dalam memberi masukan, arahan, serta
bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.
9. Ibu Dra. Zakiah, M.Pd. sebagai Dosen Penasehat Akademik penulis
selama masa perkuliahan.
10.Seluruh Saf Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
data yang diperlukan dalam penyelesaian skripsi ini.
12.Keluarga Tercinta yang telah memberikan doa, semangat, dan dukungan
yang begitu besar yang tiada hentinya kepada penulis.
13.Teman-teman penulis khususnya angkatan 2011 yang telah memberikan
semangat dan motivasi selama penulis mengerjakan skripsi ini.
Medan, 4 Maret 2015
iv
KATA PENGANTAR ... ...i
DAFTAR ISI ... ...iv
ABSTRAK ... ...vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... ...1
B. Permasalahan... ...5
C. Tujuan Penelitian ... ...6
D. Manfaat Penelitian ... ...6
E. Metode Penelitian... ...7
F. Keaslian Penulisan ... ...12
G. Sistematika Penulisan ... ...13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ... ...15
1. Pengertian Umum Perjanjian ... ...15
2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian ... ...17
3. Asas-Asas Perjanjian ... ...20
4. Prestasi dan Wanprestasi ... ...23
B. Pengaturan Perjanjian Kredit Perbankan Pada Umumnya ... ...26
v
B. Hak Tanggungan atas Hak atas Tanah ... ...54
C. Force Majeure dan Akibat-Akibat Hukumnya ... ...83
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PEMEGANG JAMINAN
BERUPA HAK TANGGUNGAN YANG MENGALAMI FORCE
MAJEURE (STUDI PADA PT. BANK MANDIRI (PERSERO),
TBK CABANG MEDAN)
A. Akibat Musnahnya Obyek Jaminan yang Mengalami Force Majeure
dalam Hak Tanggungan pada PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk
Cabang Medan ...89
B. Perlindungan Hukum Bagi Kreditur terhadap Jaminan Berupa Hak
Tanggungan yang Mengalam Force Majeure pada PT. Bank Mandiri
(Persero), Tbk Cabang Medan ...93
C. Upaya Penyelesaian Kredit terhadap Jaminan Berupa Hak
Tanggungan yang Mengalami Force Majeure pada PT. Bank
Mandiri (Persero), Tbk Cabang Medan ...94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... ...98
B. Saran ... ...100
DAFTAR PUSTAKA ... ...101
1 A. Latar Belakang
Pembangunan Nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang
dilaksanakan bangsa Indonesia tujuannya untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Guna mencapai
tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus senantiasa memperhatikan
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan berbagai unsur pembangunan,
termasuk di bidang ekonomi dan keuangan.
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya terkadang mengalami
kesulitan baik karena keterbatasan dana ataupun sebab yang lain. Namun, dalam
hal keterbatasan dana, sekarang dapat diatasi dengan kredit sehingga dapat
dikatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan kegiatan
ekonomi ataupun pertumbuhan kegiatan usaha suatu perusahaan dengan
perkreditan. Hal ini disebabkan karena dunia perbankan ataupun lembaga
keuangan bukan bank merupakan mitra usaha bagi perusahaan ataupun orang
pribadi.1
Dewasa ini kegiatan kredit sangat erat hubungannya dengan para pelaku
bisnis, dimana masing-masing pihak memiliki alasan dan tujuan tersendiri dalam
1 http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-maria4.pdf (oleh Maria Kaban) diunduh pada
memberikan kredit dengan tujuan untuk memperoleh bunga dari pokok
pinjamannya. Sedangkan bagi pihak debitur atau pihak yang meminjam uang,
alasannya karena tidak memilki dana yang cukup untuk memenuhi
kebutuhannya.2
Di dalam pelaksanaan kredit pada umumnya dilakukan dengan
mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat tersebut terdiri dari
perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang dan dengan perjanjian tambahan
berupa perjanjian pemberian jaminan oleh pihak debitur. Pada dasarnya,
pemberian kredit oleh bank diberikan kepada siapa saja yang memilki
kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui suatu perjanjian
utang piutang di antara kreditur dan debitur.3
Bagi perbankan, setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada
pengusaha selalu mengandung risiko. Oleh karena itu, perlu unsur pengamanan
dalam pengembaliannya. Unsur pengamanan (safety) adalah suatu prinsip dasar
dalam peminjaman kredit selain unsur keserasian (suitability) dan keuntungan
(profitability). Bentuk pengamanan kredit dalam praktik perbankan dilakukan
dengan pengikatan jaminan.4
Secara garis besar, dikenal dua macam bentuk jaminan yaitu jaminan
perorangan dan jaminan kebendaan. Salah satu jenis jaminan kebendaan yang
dikenal dalam hukum positif adalah Jaminan Hak Tanggungan.
2 http://silapcity.blogspot.com/2009/03/pengertian-kredit.html diunduh pada tanggal 21 Oktober 2014.
3 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 1.
Hak tanggungan merupakan lembaga jaminan dengan tanah sebagai
obyeknya, sehingga sudah bisa kita duga, bahwa ia merupakan hak jaminan
kebendaan yang merupakan bagian daripada Hukum Jaminan pada umumnya.
Karena obyeknya adalah benda, khususnya benda yang berupa tanah.5
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain atau yang lazim disebut
sebagai Kreditur Preferent.
Perlindungan dan pemberian kepastian hukum yang seimbang dalam
Undang-Undang Hak Tanggungan diberikan kepada Kreditur, Debitur, maupun
Pemberi Hak Tanggungan dan pihak ketiga yang terkait. Hal ini dapat dilihat dari
pernyataan bahwa Hak Tanggungan mempunyai ciri sebagai “Hak Kebendaan”
(sebagaimana dalam ketentuan sebelumnya dipunyai oleh lembaga hipotik) yaitu
dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga, selalu mengikuti bendanya di tangan
siapa pun benda itu berada (“droit de suit”), mudah dan pasti pelaksanaan
eksekusinya serta memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada
krediturnya.6
Dalam Pasal 20 ayat 1 UUHT menyebutkan bahwa apabila debitur cidera
janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek yang
dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak
mendahulu daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan
atau kreditur pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah.
Peristiwa cidera janji atau wanprestasi yang dilakukan oleh debitur
menyebabkab obyek jaminan hak tanggungan dapat dilelang untuk melunasi
utangnya kepada debitur, akan tetapi bagaimana jika obyek jaminannya tersebut
musnah disebabkan oleh peristiwa force majeure yang dapat mengganggu
jalannya pelunasan utang debitur.
Force Majeure sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau
peristiwa yang tak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa
tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur
tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.7
Dalam Pasal 1244 KUHPerdata menyebutkan bahwa dalam hal ini,
kejadian-kejadian yang merupakan force majeure tersebut tidak pernah terduga
6 Eugenia Liliawati Muljono, Tinjauan Yuridis UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dalam Kaitannya dengan Pemberian Kredit oleh Perbankan, Harvarindo, Jakarta, 2003, hlm. 2.
oleh para pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak dapat menduga sebelumnya
akan adanya peristiwa tersebut, maka seyogianya hal tersebut harus sudah
dinegoisasikan diantara para pihak.
Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure
tersebut tidak termasuk ke dalam asumsi dasar (basic assumption) dari para pihak
ketika perjanjian tersebut dibuat. Dengan demikian, berdasarkan kemungkinan
adanya force majeure tersebut haruslah diberikan perlindungan hukum yang jelas
terhadap kreditur pemegang jaminan hak tanggungan atas kredit yang telah
diberikannya kepada debitur tersebut.
Dengan uraian di atas tersebut, penulis memilih skripsi dengan judul
“Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak
Tanggungan yang Mengalami Force Majeure dalam Perjanjian Kredit (Studi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Medan)”.
A. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Apa akibat musnahnya obyek jaminan yang mengalami force majeure
dalam hak tanggungan pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang
Medan?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi kreditur terhadap jaminan
berupa hak tanggungan yang mengalami force majeure pada PT. Bank
3. Bagaimana upaya penyelesaian kredit terhadap jaminan berupa hak
tanggungan yang mengalami force majeure pada PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk Cabang Medan?
B. Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui akibat yang timbul dari musnahnya suatu obyek
jaminan hak tanggungan yang disebabkan karena force majeure dalam
sebuah perjanjian kredit pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang
Medan.
b. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi kreditur pemegang
jaminan hak tanggungan yang disebabkan karena force majeure pada
PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Medan.
c. Untuk mengetahui upaya penyelesaian kredit yang dilakukan oleh bank
sebagai kreditur terhadap obyek jaminan hak tanggungan yang
mengalami force majeure pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk
Cabang Medan.
C. Manfaat Penelitian
Kegiatan penulisan ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara
teoritis maupun secara praktis.
Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan
pengembangan pengetahuan dan wawasan serta kajian lebih lanjut bagi
pembaca yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang masalah
hukum jaminan khususnya mengenai jaminan hak tanggungan.
2. Secara Praktis
Secara praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi lembaga
jaminan hak atas tanah yaitu hak tanggungan.
D. Metode Penelitian
Untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang baik dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka harus didukung dengan
fakta-fakta/dalil-dalil yang akurat yang diperoleh dari suatu penelitian. Penelitian pada
dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati
dengan teliti terhadap sesuatu obyek yang mudah terpegang di tangan.8
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk
memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang merupakan kekuatan pemikiran, pengetahuan manusia
senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis, akan berkembang terus atas
dasar penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pengasuh-pengasuhnya. Hal itu
terutama disebabkan oleh karena penggunaan ilmu pengetahuan bertujuan agar
manusia lebih mengetahui dan mendalami.9
Metode merupakan suatu penelitian yang dilakukan oleh manusia,
merupakan logika dari penelitian ilmiah, studi terhadap prosedur dan teknik
penelitian, maupun sistem dari prosedur dan teknik penelitian.10. Adapun metode
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalahyuridis
normatif. Penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif dilakukan dengan
meneliti bahan pustaka atau data sekunder dahulu dengan melakukan penelusuran
terhadap norma-norma hukum serta berbagai literatur yang berkaitan dengan
perlindungan hukum kreditur pemegang jaminan berupa hak tanggungan yang
mengalami force majeure dalam perjanjian kredit kemudian dilanjutkan dengan
mengadakan penelitian terhadap data primer dengan penelitian lapangan (field
research) dilaksanakan di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, Medan dengan melakukan wawancara dengan pihak bank dan juga dengan melakukan
wawancara kepada PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) selaku pejabat yang
berwenang di dalam membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan, dengan cara
mengajukan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas pada skripsi ini.
2.Sumber Data
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1984, hlm.30.
Materi dalam skripsi ini diambil dari data sekunder dan didukung dengan
data primer penelitian lapangan (field research) yang dilaksanakan
dengan wawancara kepada pihak PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk,
Medan, yaitu Bapak Arif Budi Agustanto selaku Team Leader dan Ibu
Elvianna Khairi selaku Proffesional Staff, serta melakukan wawancara
dengan Bapak Nofril, S.H. selaku Notaris/PPAT di Medan.
Adapun data sekunder yang dimaksud terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah dokumen-dokumen hukum yang
mengikat dan diterapkan oleh pihak yang berwenang seperti
peraturan perundang-undangan. Dalam penulisan skripsi ini antara
lain menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
serta bahan hukum primer lainnya yang terkait dengan pembahasan
skripsi ini.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian
terkait jaminan hak tanggungan, seperti hasil kajian
seminar-seminar, jurnal-jurnal, buku-buku, makalah-makalah, serta karya
tulis ilmiah lainnya maupun tulisan-tulisan yang terdapat pada
jaminan hak tanggungan dan hal lainnya yang ada kaitnya dengan
pembahasan pada skripsi ini sebagai bahan acuan didalam
penulisan skripsi ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yang digunakan didalam penulisan skripsi ini
adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, kamus bahasa
umum, kamus hukum, ensiklopedia hukum serta bahan-bahan lain
diluar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk
melengkapi data di dalam penulisan skripsi ini.
3. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpul data yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini
adalah melalui studi dokumen, bahan pustaka, serta penelitian lapangan
(field research). Bahan pustaka yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen
dan teori yang berkaitan dengan penelitian ini serta bukti empiris tidak
mendalam dengan melakukan wawancara.
Penelitian lapangan (field research) dilaksanakan di PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk, Medan dengan melakukan wawancara dengan pihak
bank dan juga dengan melakukan wawancara kepada PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah) selaku pejabat yang berwenang di dalam
sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas
pada skripsi ini.
4. Analisis Data
Di dalam penulisan skripsi ini menggunakan analisis kualitatif. Metode
analisis data menggunakan metode kualitatif, yaitu data yang didapat
disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif
untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dengan cara
mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan dan mensintesiskan
data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan
menemukan pola, hubungan-hubungan, dan memaparkan
temuan-temuan mengenai perlindungan hukum kreditur pemegang jaminan
berupa hak tanggungan yang mengalami force majeure dalam
perjanjian kredit dalam bentuk deskripsi naratif yang bisa dimengerti
dan dipahami oleh orang lain.
Dalam penulisan skripsi, metode pendekatan yang digunakan
yaitu secara deskriptif, dimulai dengan analisis terhadap perjanjian
kredit perbankan sesuai dengan masalah yang diteliti. Spesifikasi suatu
penelitian bisa dicapai sampai tahap deskriptif atau inferensial.
Penelitian deskriptif apabila hanya menggambarkan keadaan obyek,
sebaliknya penelitian inferensial tidak hanya melukiskan, tetapi dengan
keyakinan tertentu mengambil kesimpulan-kesimpulan. Selanjutnya,
menghadapi persoalan khusus atau tindakan praktis dengan kejadian
tertentu.11
Dengan spesifikasi demikian, diharapkan penulisan skripsi ini
dapat mendeskripsikan mengenai perlindungan hukum kreditur
pemegang jaminan berupa hak tanggungan yang mengalami force
majeure dalam perjanjian kredit berdasarkan permasalahan yang diteliti.
E. Keaslian Penulisan
Skripsi ini merupakan karya asli dari penulis. Menelusuri kepustakaan
telah banyak karya ilmiah dan hasil penelitian tentang jaminan hak tanggungan,
namun berdasarkan uji bersih yang dilakukan, penelitian dengan judul
“Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan berupa Hak Tanggungan yang
Mengalami Force Majeure dalam Perjanjian Kredit (Studi Pada PT. Bank
Mandiri, Tbk Cabang Medan)” hingga saat ini belum ada. Dengan demikian,
keaslian judul penulis dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis.
Berdasarkan hasil pemeriksaan judul di Perpustakaan Fakultas Hukum
USU terdapat 4 (empat) judul yang mirip dengan judul penulis, yaitu :
1. Tinjauan yuridis terhadap penyelesaian wanprestasi debitur atas perjanjian
kredit Bank dengan jaminan Hak Tanggungan Studi pada PT. Bank
Negara Indonesia, Tbk SKC Polonia Medan (Alexander Johannes M.
Simanjuntak 080200278).
2. Pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan pada PT.
Bank Perkreditan Rakyat Solider Badan Kredit Kecamatan Pancur Batu
Kabupaten Deli Serdang (E. Daylon Sitanggang 070200347).
3. Perjanjian kredit serta kaitannya dengan hak tanggungan UU No. 4 Tahun
1996 (Albert Pangaribuan 920200009).
4. Segi-segi hukum perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan
(Helinda Y. Lubis 920200707).
F. Sistematika Penulisan
Agar materi dalam skripsi ini dapat diikuti dan dimengerti dengan baik,
maka skripsi ini tersusun secara sistematis yakni di mana masing-masing
bab dibagi atas beberapa bagian sub bab dan berkaitan satu dengan yang
lainnya.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan membahas mengenai Latar Belakang,
Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT
PERBANKAN
Dalam bab ini akan membahas mengenai Tinjauan Umum tentang
Umumnya, dan Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Baku Antara
Debitur dan Kreditur. Tinjauan Umum tentang Perjanjian meliputi
Pengertian Umum Perjanjian, Asas-Asas Perjanjian, Syarat
Syahnya suatu Perjanjian, Prestasi dan Wanprestasi.
BAB III PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN
Dalam bab ini akan membahas mengenai Pengertian dan Konsep
Teoritis Hukum Jaminan, Hak Tanggungan atas Hak atas Tanah,
dan Force Majeure dan Akibat-Akibat Hukumnya.
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PEMEGANG
JAMINAN BERUPA HAK TANGGUNGAN YANG
MENGALAMI FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN KREDIT (STUDI PADA PT. MANDIRI, TBK MEDAN)
Dalam bab ini akan membahas mengenai Akibat Musnahnya
Obyek Jaminan yang Mengalami Force Majeure dalam Hak
Tanggungan, Perlindungan Hukum Bagi Kreditur terhadap Jaminan
Berupa Hak Tanggungan yang Mengalami Force Majeure, dan
Upaya Penyelesaian Kredit terhadap Jaminan Berupa Hak
Tanggungan yang Mengalami Force Majeure.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini akan membahas mengenai Kesimpulan dan Saran
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
1. Pengertian Umum Perjanjian
Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, dimana didalamnya juga
mengatur tentang perikatan. Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka,
artinya memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian
yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari
kata “overeenkomst” dalam bahasa Belanda atau istilah ”agreement” dalam
bahasa Inggris. Di dalam Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu
persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Menurut Prof. Subekti, S.H., yang dimaksud dengan “Perjanjian” adalah
suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau di mana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini,
timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
Menurut Prof. Subekti, S.H., yang dimaksud dengan “Perikatan” adalah
suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.12 Pihak-Pihak yang ada dalam
suatu perjanjian disebut sebagai subyek perjanjian yang terdiri dari manusia dan
badan hukum.
Jadi, istilah “hukum perjanjian” berbeda dengan istilah “hukum perikatan”.
Karena dengan istilah “perikatan” dimaksudkan sebagai semua ikatan yang diatur
dalam KUH Perdata, jadi termasuk juga baik perikatan yang terbit karena
undang-undang maupun perikatan yang terbit dari perjanjian. Dalam hal ini jika dengan
hukum perikatan, termasuk baik perikatan yang terbit dari undang-undang
maupun perikatan yang terbit karena undang-undang, maka dengan hukum
perjanjian, yang dimaksudkan hanya terhadap perikatan-perikatan yang terbit dari
perjanjian saja. Sedangkan hukum yang berlaku terhadap perjanjian pada
prinsipnya adalah KUH Perdata.13
Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang
membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan,
disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan
persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat
12 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 1.
dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama
artinya.14
Pihak-pihak yang ada dalam suatu perjanjian disebut sebagai subyek
perjanjian yang terdiri dari manusia dan badan hukum.
2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat15 :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat sahnya perjanjian di atas, dapat dibagi dalam 2 (dua)
kelompok, yaitu16 :
1. Syarat Subyektif
Adalah suatu syarat yang menyangkut pada subyek perjanjian apabila
yang menyangkut pada subyek ini tidak dipenuhi, maka salah satu pihak
dapat meminta supaya perjanjian tersebut dibatalkan. Pihak yang dapat
meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberiksan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Syarat
subyektif terdiri dari :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Maksud dari kata sepakat adalah tercapainya persetujuan kehendak
antara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuat itu.
Kata sepakat itu dinamakan juga perizinan, artinya bahwa kedua
belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian harus bersepakat.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah
cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh
undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.
Berkaitan dengan hal ini, Pasal 1330 KUH Perdata menemukan tentang
orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian, yaitu :
- Orang-orang yang belum dewasa;
- Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
- Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang
dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi hal ini sudah
dihapuskan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963
tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia. Bahwa Mahkamah Agung
menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang
suatu isteri untuk melakukan suatu perbuatan hukum dan untuk
menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya
2. Syarat Obyektif
Adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian, yang meliputi
suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila syarat ini tidak
dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan. Syarat obyektif terdiri dari :
a. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian. Obyek
perjanjian biasanya berupa barang atau benda. Menurut Pasal 1332
KUH Perdatan menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat
menjadi pokok persetujuan-persetujuan.
Selain itu dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan
bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Jadi penentuan obyek perjanjian sangatlah penting untuk
menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian
jika timbul perselisihan dalam pelaksanaannya.
b. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian. Menurut
pengertiannya, “sebab causa” adalah isi dan tujuan perjanjian,
dimana hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan
Sedangkan dalam Pasal 1335 KUH Perdata menyebutkan bahwa
suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Berkaitan dengan hal ini, maka akibat yang timbul dari perjanjian
yang berisi sebab yang tidak halal adalah batal demi hukum. Dengan
demikian tidak dapat memenuhi pemenuhannya di depan hukum.17
3. Asas-Asas Perjanjian
Menurut Salim H.S. didalam Hukum Kontrak atau Hukum Perjanjian,
dikenal adanya 5 (lima) asas penting, yaitu18 :
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Asas Kebebasan Berkontrak memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk :
(a) membuat atau tidak membuat perjanjian,
(b) mengadakan perjanjian dengan siapapun,
(c) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya,
(d) menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis dan lisan.
17Ibid., hlm. 20
b. Asas Konsensualisme
Asas Konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas
Konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal tetapi cukup dengan
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat kedua
belah pihak. Asas Konsesualisme yang dikenal dalam KUH Perdata
adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
c. Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Survanda)
Asas Pacta Sunt Servanda disebut juga dengan Asas Kepastian
Hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya
sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas Pacta
Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah
Namun dalam perkembangannya, Asas Pacta Sunt Servanda diberi
arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan
sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan nudus pactum
sudah cukup dengan sepakat saja.
d. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)
Asas Iktikad Baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata menyebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik.
Asas Iktikad Baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur
dan debitur, harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan dan keyakinan teguh atau kemauan baik para pihak.
Asas ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
(a) Iktikad Baik Nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku
yang nyata dari subjek perjanjian.
(b)Iktikad Baik Mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan
keadilan, dengan dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai
keadaan atau membuat penilaian yang tidak memihak menurut
norma-norma yang obyektif.
e. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas Kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal
1340 KUH Perdata.
Pasal 1315 menyebutkan bahwa pada umumnya seseorang tidak
dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya
sendiri.
Pasal 1340 menyebutkan bahwa perjanjian hanya berlaku antara
pihak yang membuatnya.
Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya sebagaimana diatur
dalam Pasal 1317 KUH Perdata menyebutkan bahwa dapat pula
perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu
perjanjian dibuat untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.
Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya mengatur
perjanjian untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli
warisnya atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
Pasal 1317 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk kepentingan
pihak ketiga, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata mengatur
perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli waris, dan
orang-orang yang memperoleh hak darinya.
3. Prestasi dan wanprestasi
Suatu perjanjian dapat menimbulkan prestasi dan kontra prestasi bagi para
pihak dari perjanjian tersebut. Prestasi (performance) dari suatu perjanjian adalah
dalam suatu perjanjian oleh kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk
itu. Jadi, memenuhi prestasi dalam perjanjian adalah ketika para pihak memnuhi
janjinya.19
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, maka prestasi dari
suatu perjanjian terdiri dari :
1. Memberikan sesuatu;
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu.
Suatu perjanjian dapat dikatakan dilaksanakan dengan baik apabila para
pihak telah memenuhi syarat yang telah diperjanjikan. Namun demikian pada
kenyataannya, sering dijumpai bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian tidak
dapat berjalan dengan baik karena salah satu pihak wanprestasi. Dapat pula
dikemukakan, bahwa ia lalai atau alpa atau ingkar janji atau bahkan melanggar
perjanjian dengan melakukan suatu hal yang tidak boleh dilakukan.
Pengertian wanprestasi, yang kadang-kadang disebut juga dengan istilah
“cidera janji” adalah kebalikan dari pengertian prestasi. Dalam bahasa Inggris
disebut dengan “default” atau “nonfulfillment” atau “breach of contract”. Yang
dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban
sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut dalam
kontrak yang bersangkutan.20
19 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Rajawali Pers Jakarta, 2014, hlm. 207.
Menurut pendapat R. Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang
debitur dapat berupa21 :
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang wanprestasi ada 4 (empat)
macam, yaitu22 :
1. membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau membayar ganti
rugi;
2. pembatalan perjanjian;
3. peralihan risiko;
4. membayar biaya perkara jika sampai diperkarakan di pengadilan.
Debitur yang dituduh lalai atau wanprestasi oleh krediturnya dapat
melakukan pembelaan guna mencegah terjadinya eksekusi obyek jaminan atau
menghindari kewajiban membayar ganti rugi. Pembelaan debitur dapat meliputi 3
(tiga) macam, yaitu23 :
21 Subekti, Op.Cit., hlm. 45. 22Ibid.
1. Debitur mengajukan alasan adanya keadaan memaksa (force majeure/overmacht) sehingga debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
2. Debitur mengajukan alasan bahwa pihak kreditur juga telah lalai
melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian, misalnya kreditur terlambat
mencairkan kredit.
3. Debitur mengajukan alasan bahwa pihak kreditur telah menetapkan
aturan kredit yang tidak wajar misalnya menetapkan bunga dan denda
yang terlalu tinggi atau menetapkan syarat agunan yang terlalu ketat.
B. Pengaturan Perjanjian Kredit Perbankan pada Umumnya
Yang dimaksud dengan perkreditan adalah suatu penyediaan uang atau
yang dipersamakan dengannya, yang didasari atas perjanjian pinjam-meminjam
antara pihak kreditur (bank, perusahaan atau perorangan) dengan pihak debitur
(peminjam), yang mewajibkan pihak debitur untuk melunasi hutangnya dalam
jangka waktu tertentu, di mana sebagai imbalan jasanya, kepada pihak kreditur
(pemberi pinjaman) diberikan hak untuk mendapatkan bunga, imbalan atau
pembagian hasil keuntungan selama masa kredit tersebut berlangsung.24
Istilah kredit dapat didefinisikan dalam beberapa golongan, yaitu :
1. Berdasarkan Etimologis
Kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu “credere” yang berarti
kepercayaan (trust atau faith). Dengan demikian istilah kredit memiliki arti
khusus, yaitu meminjamkan uang (atau penundaan pembayaran). Apabila
orang mengatakan membeli secara kredit maka hal itu berarti si pembeli
tidak harus membayarnya pada saat itu juga.25
2. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
a. Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain,
yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil
keuntungan.
b. Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunsai utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
c. Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (disebut PBI 7/2005)
menyebutkan bahwa penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga, termasuk :
- Cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
- Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
- Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.”
3. Berdasarkan Pendapat Ahli
Raymond P. Kent dalam bukunya Money and Banking mengatakan
bahwa kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atas kewajiban
untuk melakukan pembayaran pada waktu yang diminta atau pada waktu
yang akan datang karena penyerahan barang-barang sekarang.26
Menurut O.P. Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi
(misalnya uang, barang) dengan batas prestasi (kontra prestasi) akan
terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern
adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat
kredit yang menjadi pembahasan.27
Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima
kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan
saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan
atas komponen-komponen kepercayaan risiko, dan pertukaran ekonomi
pada masa-masa mendatang.28
Peraturan tentang perkreditan atau regulasi perkreditan di sektor
perbankan secara nasional diatur dalam UU Perbankan dan Peraturan Bank
Indonesia. Di samping itu, pengaturan perkreditan juga diatur secara internal di
masing-masing bank dalam bentuk Pedoman Perkreditan atau Peraturan
Perkreditan.29
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan di dalam Pasal 8 ayat (2) secara
tegas meyebutkan bahwa Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan Pedoman
Perkreditan dan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pedoman Perkreditan yang harus ada di masing-masing Bank Umum,
berdasarkan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) dari UU Nomor 10 Tahun 1998, harus
memuat aturan tentang :
27 H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 123.
28Ibid.
a. Perjanjian kredit harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;
b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
nasabah debitur untuk melunasi utangnya. Keyakinan tersebut harus
berdasarkan hasil penilaian terhadap Prinsip 5-C (Character, Capacity,
Capital, Collateral, dan Condition of Economy);
c. Bank wajib menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
d. Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan
persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
e. Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur atau
pihak terafiliasi;
f. Bank wajib menetapkan aturan tentang cara-cara penyelesaian sengketa.
Regulasi Perkreditan di sektor Perbankan juga diatur oleh Bank Indonesia
yang berwenang untuk melakukan pengawasan bank di Indonesia. Berdasarkan
SK Direksi BI No. 27/162/KTP/DIR tanggal 31 Maret 1995 kepada setiap bank
diwajibkan untuk memiliki kebijakan perkreditan secara tertulis, yang
sekurang-kurangnya memuat atau mengatur prinsip kehati-hatian dalam perkreditan,
organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi
dan administrasi kredit, pengawasan, dan penyelesaian kredit bermasalah.30
Melalui ketentuan tersebut diharapkan bank mempunyai panduan yang
jelas sebagai pedoman pelaksanaan perkreditannya. Dengan demikian risiko yang
mungkin timbul sedini dapat dideteksi dan dikendalikan sedini mungkin,
sekaligus dapat menghindari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang
dalam pemberian kredit. Dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang
dengan sengaja melanggar pedoman perkreditan, sesuai Pasal 49 ayat (2) huruf b
UU No. 10/1998 dapat diancam pidana penjara 3 hingga 8 tahun serta denda Rp 5
miliar hingga Rp 10 miliar.31
Unsur kredit yang paling esensial adalah “Kepercayaan” dari bank/kreditur
terhadap nasabah peminjam/debitur. Kepercayaan tersebut timbul karena
dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh
debitur, antara lain : jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau
agunan, dan lain-lain.32
Dalam buku “Dasar-Dasar Perkreditan” karya Drs. Thomas Suyatno
mengemukakan unsur-unsur kredit terdiri atas33 :
a. kepercayaan;
b. tenggang waktu;
c. tingkat risiko (degree of risk);
d. pestasi dan obyek kredit.
31Ibid.
32 Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 99.
Menurut CH. Gatot Wardoyo, bahwa perjanjian kredit mempunyai
beberapa fungsi, yaitu34 :
1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian
kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya
perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan
barang jaminan;
2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan hak
dan kewajiban di antara kreditur/bank dengan nasabah/debitur;
3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring
kredit.
Dalam prakteknya saat ini, secara umum ada 2 (dua) jenis kredit yang
diberikan oleh bank kepada para nasabahnya, yaitu35 :
1. Kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaannya, berupa :
a. Kredit Produktif
Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang
menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahanya. Untuk
kredit jenis ini terdapat 2 (dua) kemungkinan, yaitu :
- Kredit modal kerja, yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai
kebutuhan usaha-usaha, termasuk guna menutupi biaya produksi
dalam rangka peningkatan produksi atau penjualan.
34 S. Mantayborbir, Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hlm. 89.
- Kredit investasi, yaitu kredit yang diberikan untuk pengadaan
barang modal maupun jasa yang dimaksudkan untuk menghasilkan
suatu barang ataupun jasa bagi usaha yang bersangkutan.
b. Kredit Konsumtif
Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang perorangan
untuk memenuhi kebutuhan konsumtif masyarakat umumnya (sumber
pengembaliannya dari fixed income debitur).
2. Kredit ditinjau dari segi jangka waktunya, berupa :
a. Kredit Jangka Pendek
Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang diberikan dengan tidak
melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun.
b. Kredit Jangka Menengah
Kredit jangka menengah, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka
waktu lebih dari 1 (satu) tahun tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.
c. Kredit Jangka Panjang
Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka
waktu 3 (tiga) tahun.
C. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Baku Antara Debitur dan Kreditur
Perjanjian kredit dari bank (selaku kreditur) kepada nasabah (selaku
debitur) harus selalu didasari adanya perjanjian kredit antara kedua belah pihak.
Perjanjian, terutama asas-asas Hukum Perjanjian dan syarat sahnya suatu
perjanjian.36
Pemberian kredit dari Bank kepada Debitur, selain harus didasari oleh
adanya unsur kepercayaan, juga harus didasari oleh adanya sebuah kontrak
perjanjian kredit yang bersifat tertulis dan pada umumnya perjanjian kredit
tersebut diikat dengan sebuah akta notaris agar kepastian hukumnya lebih
terjamin.37
Menurut Prof. Subekti, S.H., pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa
di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu
hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian
itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.38
Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut Pasal
1313 KUH Perdata, perjanjian atau persetujuan diartikan sebagai perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih. Hubungan antara dua orang tersebut adalah suatu hubungan hukum di mana
hak dan kewajiban di antara para pihak tersebut dijamin oleh hukum.39
36 Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 102. 37Ibid. hlm. 103
38 Subekti, Op.Cit. hlm.1.
Perjanjian kredit antara Debitur dengan Bank terdiri dari 2 (dua) macam
perjanjian, yaitu :
1. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Pokok
Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok yang bersifat riil, yan diikuti
dengan perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan (accessoir).
Pengertian “riil” berarti perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang
oleh pihak Bank kepada Debitur.40
Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan umumnya
berbentuk perjanjian baku (standard contarct), karena bentuk perjanjiannya
telah disediakan pihak bank sebagai kreditur, sedangkan pihak debitur hanya
mempelajari dan memahami dengan baik.41
Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa klausula baku adalah
setiap aturan atau ketentuan dan syarat yang telah dipersiapkan atau
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
konsumen.
Dari pengertian tersebut, tampak bahwa isi perjanjian dengan klausula
baku ditetapkan secara sepihak oleh kreditur, ini menunjukkan hukum yang
berlaku pada perjanjian itu adalah hukum kreditur. Sekaligus juga
menunjukkan pihak yang berkedudukan sosial dan ekonominya kuat
seolah-olah yang berwenang menetukan isi perjanjian.42
Dalam perjanjian baku, pihak debitur hanya dalam posisi menerima
atau menolak tanpa ada kemungkinan melakukan negosiasi atau tawar
menawar. Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang
ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban menandatangani perjanjian
kredit, tetapi apabila debitur menolak maka ia tidak perlu menandatangani
perjanjian kredit tersebut.43
Perjanjian baku ini diperlukan untuk memenuhi kedudukan yang
sifatnya praktis dan kolektif. Pada tahap ini, kedudukan calon nasabah debitur
sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang diajukan dan
ditetapkan oleh pihak kreditur, karena jika tidak demikian, maka calon
nasabah debitur tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksud.44
Perjanjian kredit, walaupun umumnya berbentuk perjanjian baku,
tetapi bentuk perjanjian baku tersebut tidak mengingkari asas kebebasan
berkontrak, sepanjang tetap menegakkan asas-asas umum perjanjian seperti
penetapan syarat-syarat yang wajar dengan menjunjung keadilan, dan adanya
keseimbangan para pihak sehingga menghilangkan upaya penekanan kepada
pihak lainnya.45
42 Gatot Supramo, Perjanjian Utang Piutang, Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 20. 43 Hermansyah, Op.Cit., hlm. 67.
Rumusan perjanjian baku dalam perjanjian kredit harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu46 :
1. tidak ada unsur kecurangan;
2. tidak ada unsur pemaksaan akibat ketidakseimbangan kekuatan
para pihak;
3. tidak ada syarat perjanjian yang hanya menguntungkan secara
sepihak;
4. tidak ada risiko yang hanya dibebankan secara sepihak;
5. tidak ada pembatasan hak untuk menggunakan upaya hukum.
Perjanjian kredit yang bersifat baku tidak boleh bertentangan dengan
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Pelaku usaha, sesuai Pasal 18, dilarang membuat klausula baku
yang mencantumkan hal-hal sebagai berikut :
a. Pelaku usaha dilarang membuat aturan baru, aturan tambahan,
dan/atau aturan selanjutnya yang dibuat secara sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
(Pasal 18 ayat (1) huruf g).
b. Pelaku usaha dilarang membuat klausula yang menyatakan bahwa
konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran (Pasal 18
ayat (1) huruf h).
c. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti (Pasal 18 ayat (2)).
Pelanggaran terhadap ketentuan di atas dapat berakibat perjanjian
baku tersebut dinyatakan batal demi hukum (Pasal 18 ayat (3)). Disamping
itu, semua pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausul baku yang
bertentangan dengan Pasal 18 agar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Pasal 18 ayat (4)).
2. Perjanjian Jaminan sebagai Perjanjian Tambahan
Pemberian kredit dari bank kepada debitur, sebagaimana pemberian
kredit pada umumnya, disamping harus didasarkan adanya perjanjian
kredit sebagai perjanjian pokok, juga harus diikuti pembuatan perjanjian
jaminan sebagai perjanjian tambahan (accessoir).47
Perjanjian jaminan digolongkan sebagai perjanjian accessoir karena
perjanjian tersebut bersifat perjanjian tambahan atau ikutan yang
pemberlakuannya mengikuti perjanjian pokok yang mendasarinya. Perjanjian
jaminan berkaitan dengan pengikatan jaminan atau agunan kredit yang
umumnya diikat dengan akta notaris yang bersifat baku dan bersifat
eksekutorial.48
Sifat eksekutorial dari perjanjian jaminan mengandung konsekuensi
jika debitur melakukan wanprestasi maka bank dapat mengajukan
permohonan eksekusi agunan melalui Ketua Pengadilan Negeri tanpa harus
melalui proses peradilan biasa yang panjang dan berbelit-belit. Perjanjian
jaminan dibuat pihak bank sebagai salah satu upaya untuk melaksanakan
prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit sehingga kelak ada jaminan
pengembalian kredit bank yang utuh.49
40
HAK TANGGUNGAN
A.Pengertian dan Konsep Teoritis Hukum Jaminan
Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa pemberian kredit.
Pemberian kredit merupakan pemberian pinjaman uang oleh bank kepada anggota
masyarakat yang umumnya disertai dengan penyerahan jaminan kredit oleh
debitur (peminjam). Terhadap penerimaan jaminan kredit tersebut terkait dengan
berbagai ketentuan hukum jaminan.50
Bank sebagai badan usaha yang wajib dikelola berdasarkan prinsip
kehati-hatian tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku agar dapat mengamankan
dan melindungi kepentingannya. Jaminan kredit yang diterima bank dari debitur
termasuk sebagai salah satu obyek yang berkaitan dengan kepentingan bank.
Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai jaminan yang baik dan
berharga sehingga akan dapat memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain dengan
memperhatikan aspek hukum yang terkait termasuk aspek hukum jaminan.51
Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling atau
security of law. Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang Lembaga Hipotek dan Jaminan Lainnya, yang diselenggarakan di Yogyakarta,
50 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 70.
pada tanggal 20 sampai tanggal 30 Juli 1977, disebutkan bahwa hukum jaminan,
meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan.
Pengertian hukum jaminan ini mengacu pada jenis jaminan, bukan pengertian
hukum jaminan. Definisi ini menjadi tidak jelas, karena yang dilihat hanya dari
penggolongan jaminan.52
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, mengemukakan bahwa hukum jaminan
adalah53 :
“Mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian, kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah, besar, dengan jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah”.
J. Satrio mengartikan hukum jaminan adalah54 :
“Peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang
kreditur terhadap debitur”.
Salim H.S. mendefinisikan hukum jaminan adalah55 :
“Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum
antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan
pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit”.
52H. Salim HS., Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 21
53 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminana di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perseorangan, Liberty OffSet, Yogyakarta, 2007, hlm. 5.
54 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.3.
Ruang lingkup hukum jaminan di Indonesia mencakup berbagai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
penjamin utang yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia. Dalam hukum
positif di Indonesia terdapat peraturan perundang-undangan yang sepenuhnya
mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjamin utang. Materi (isi)
peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang secara
khusus mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang, antara
lain mengenai prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-lembaga jaminan, objek
jaminan utang, penanggung utang dan sebagainya.
Beberapa ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata dan KUH Dagang
mengatur sepenuhnya atau berkaitan dengan penjaminan utang. Disamping itu
terdapat pula undang-undang tersendiri yaitu UU No. 4 Tahun 1996 dan UU No.
42 Tahun 1999 yang masing-masing khusus mengatur tentang lembaga jaminan
dalam rangka penjaminan utang. Sehubungan dengan berbagai peraturan
perundang-undangan tersebut di atas lebih lanjut dapat dikemukakan beberapa
ketentuan hukum jaminan.56
Dalam KUH Perdata tercantum beberapa ketentuan yang terdapat
digolongkan sebagai hukum jaminan. Hukum jaminan dalam ketentuan KUH
Perdata adalah sebagaimana yang terdapat pada Buku Kedua yang mengatur
tentang prinsip-prinsip hukum jaminan, yaitu57 :
1. Kedudukan Harta Pihak Peminjam
Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak
peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya
merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya.
Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa semua harta pihak
peminjam, baik yang berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari merupakan
jaminan atas perikatan utang pihak peminjam.
Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu
ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang pokok
dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak
yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya.
Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata sering pula dicantumkan
sebagai salah satu klausula dalam perjanjian kredit perbankan. Ketentuan
Pasal 1131 KUH Perdata yang dicantumkan sebagai klausula dalam
perjanjian kredit bila ditinjau dari isi (materi) perjanjian, disebut sebagai
isi yang naturalia. Klausula perjanjian yang tergolong sebagai isi yang
naturalia merupakan klausula fakultatif, artinya bila dicantumkan sebagai
isi perjanjian akan lebih baik, tetapi bila tidak dicantumkan, tidak menjadi
masalah kecacatan perjanjian karena hal (klausula) yang seperti demikian
2. Kedudukan Pihak Pemberi Pinjaman
Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan
bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas 2 (dua)
golongan, yaitu :
(a) yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang
masing-masing;
(b) yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman
yang lain berdasarkan suatu perat