• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

HIRMAWATI FANNY TAMPUBOLON NIM: 110200242

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melenghapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

HIRMAWATI FANI{Y TAMPUBOLON

IIIIM: fi4200242

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Disetujui OIeh

Kefua Departemen Hukum Keperdataan

Dosen Pembimbing II

\

r(

-

__ aI

g__

--\-

3

Muhammad Husni. SH.. MH. NrP. 19580202 1988031004

$,q

ll,.tt;,t-t*$r,

nu

NrP. I 96603031985081001

95008081980021001

MEDAN

2015

F'AKULTAS

IIT]KT'M

--LTNwERsTTAssuMATERAUTARA

t

ka

CH

ffi

il."w*

G'

(3)

lrlAlv'lA NIX,{

: HItu\,{ AWATI FAI{N Y TAN,IPUBOLOI{ : i 10200242

jiiul;L

Siiiiipsi

: FEF.Lil-iDLilliGA}li

iiliKUivi

KREDiTUR FEir{EGAiriC

.TAN{i}iA}.i BERI,]PA

HAK

TANGGI-iNGAN YA}{G

fuTEI'iGALAh,{I

T;OIIC{J

A,(,4.T}-;I

iR{:

DALAM

PER-iAiiii;ri''i i{R.EDi

I

iSTUi}i FADn FT.

tsaiiK

MAidDrRr (PERSERO). TBK CABANG MEDAIi) Dengan ini rnenyatakan:

i.

iiafuwa

isi

skripsi yang saya tuiis tersebui

iii

atas adaiair benar tidak

merupakan ciplakan dari skripsi atai.r karya ilmiah orang laitr.

2.

Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan rnaka

segaia akibat hukurn yar.lg iiulbui nrenjacii tanggung jarvab sa5.'a.

Dernikian pemvataan ini sa.va buat dengan setrenam-_va tanpa ada paksaan atau

tekanan dari pihak marlapun.

rtrR\.{&\li l\T1 I_AN},iY T

(4)

vi

Di dalam pelaksanaan kredit dengan jaminan berupa hak tanggungan bisa

saja terjadi force majeure sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi

kreditur karena obyek jaminan yang diperjanjikan telah musnah. Di dalam skripsi permasalahan yang dibahas adalah akibat musnahnya obyek jaminan yang

mengalami force majeure dalam hak tanggungan, perlindungan hukum bagi

kreditur terhadap jaminan berupa hak tanggungan yang mengalami force majeure,

upaya penyelesaian kredit terhadap jaminan berupa hak tanggungan yang

mengalami force majeure.

Metode penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif. Dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yaitu melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum serta berbagai literatur yang berkaitan dengan perlindungan hukum kreditur pemegang jaminan berupa

hak tanggungan yang mengalami force majeure dalam perjanjian kredit kemudian

didukung dengan penelitian lapangan (field research) dilaksanakan dengan

wawancara di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Medan dan wawancara dengan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Alat pengumpul data yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah melalui studi dokumen, bukti empiris tidak mendalam dengan melakukan wawancara, dan metode studi pustaka (library research). Metode analisis data menggunakan metode kualitatif, yaitu data yang didapat disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa musnahnya obyek jaminan

berupa Hak Tanggungan yang disebabkan force majeure tidak menyebabkan

hapusnya utang debitur. Selanjutnya perlindungan hukum bagi kreditur pemegang jaminan berupa hak tanggungan adanya pencantuman klausula di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang menyebutkan bahwa debitur wajib untuk mengasuransikan obyek jaminan hak tanggungan tersebut sebagai uang ganti kerugian bagi kreditur apabila obyek jaminan itu musnah disebabkan karena

force majeure. Upaya penyelesaian kredit yang dilakukan oleh kreditur adalah melakukan upaya damai (pendekatan personal), yaitu kreditur meminta kepada debitur untuk mengganti obyek jaminan yang telah musnah dengan obyek jaminan yang baru dan debitur tetap membayar utangnya, namun apabila tidak berhasil dapat melalui somasi lewat pengadilan.

Kata Kunci: Hak Tanggungan, Force Majeure, Jaminan



Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU. 

Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU. 

(5)

Maha Esa atas segala kemurahan dan rahmat-Nya yang diberikan kepada penulis,

sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaiakan

penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk

meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di

mana hal tersebut merupakana kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin

menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan “PERLINDUNGAN

HUKUM KREDITUR PEMEGANG JAMINAN BERUPA HAK

TANGGUNGAN YANG MENGALAMI FORCE MAJEURE DALAM

PERJANJIAN KREDIT”. Skripsi ini membahas tentang obyek jaminan hak

tanggungan yang mengalami force majeure.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan sehingga penulis

berharap agar semua pihak dapat memeberikan masukan berupa kritik dan saran

yang membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan

lebih sempurna lagi ke depannya.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapat bantuan dari

berbagai pihak yang dengan ikhlas memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dan

doa sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini,

(6)

Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum, DFM, sebagai Pembantu

Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.H., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasyim Purba, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen

Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen

Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Muhammad Hayat, S.H.,, selaku Dosen Pembimbing I yang telah

banyak membantu penulis dalam memberi masukan, arahan, serta

bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

8. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II

banyak membantu penulis dalam memberi masukan, arahan, serta

bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

9. Ibu Dra. Zakiah, M.Pd. sebagai Dosen Penasehat Akademik penulis

selama masa perkuliahan.

10.Seluruh Saf Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(7)

data yang diperlukan dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Keluarga Tercinta yang telah memberikan doa, semangat, dan dukungan

yang begitu besar yang tiada hentinya kepada penulis.

13.Teman-teman penulis khususnya angkatan 2011 yang telah memberikan

semangat dan motivasi selama penulis mengerjakan skripsi ini.

Medan, 4 Maret 2015

(8)

iv

KATA PENGANTAR ... ...i

DAFTAR ISI ... ...iv

ABSTRAK ... ...vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... ...1

B. Permasalahan... ...5

C. Tujuan Penelitian ... ...6

D. Manfaat Penelitian ... ...6

E. Metode Penelitian... ...7

F. Keaslian Penulisan ... ...12

G. Sistematika Penulisan ... ...13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ... ...15

1. Pengertian Umum Perjanjian ... ...15

2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian ... ...17

3. Asas-Asas Perjanjian ... ...20

4. Prestasi dan Wanprestasi ... ...23

B. Pengaturan Perjanjian Kredit Perbankan Pada Umumnya ... ...26

(9)

v

B. Hak Tanggungan atas Hak atas Tanah ... ...54

C. Force Majeure dan Akibat-Akibat Hukumnya ... ...83

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PEMEGANG JAMINAN

BERUPA HAK TANGGUNGAN YANG MENGALAMI FORCE

MAJEURE (STUDI PADA PT. BANK MANDIRI (PERSERO),

TBK CABANG MEDAN)

A. Akibat Musnahnya Obyek Jaminan yang Mengalami Force Majeure

dalam Hak Tanggungan pada PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk

Cabang Medan ...89

B. Perlindungan Hukum Bagi Kreditur terhadap Jaminan Berupa Hak

Tanggungan yang Mengalam Force Majeure pada PT. Bank Mandiri

(Persero), Tbk Cabang Medan ...93

C. Upaya Penyelesaian Kredit terhadap Jaminan Berupa Hak

Tanggungan yang Mengalami Force Majeure pada PT. Bank

Mandiri (Persero), Tbk Cabang Medan ...94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... ...98

B. Saran ... ...100

DAFTAR PUSTAKA ... ...101

(10)

1 A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang

dilaksanakan bangsa Indonesia tujuannya untuk mewujudkan masyarakat adil dan

makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Guna mencapai

tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus senantiasa memperhatikan

keserasian, keselarasan, dan keseimbangan berbagai unsur pembangunan,

termasuk di bidang ekonomi dan keuangan.

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya terkadang mengalami

kesulitan baik karena keterbatasan dana ataupun sebab yang lain. Namun, dalam

hal keterbatasan dana, sekarang dapat diatasi dengan kredit sehingga dapat

dikatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan kegiatan

ekonomi ataupun pertumbuhan kegiatan usaha suatu perusahaan dengan

perkreditan. Hal ini disebabkan karena dunia perbankan ataupun lembaga

keuangan bukan bank merupakan mitra usaha bagi perusahaan ataupun orang

pribadi.1

Dewasa ini kegiatan kredit sangat erat hubungannya dengan para pelaku

bisnis, dimana masing-masing pihak memiliki alasan dan tujuan tersendiri dalam

1 http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-maria4.pdf (oleh Maria Kaban) diunduh pada

(11)

memberikan kredit dengan tujuan untuk memperoleh bunga dari pokok

pinjamannya. Sedangkan bagi pihak debitur atau pihak yang meminjam uang,

alasannya karena tidak memilki dana yang cukup untuk memenuhi

kebutuhannya.2

Di dalam pelaksanaan kredit pada umumnya dilakukan dengan

mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat tersebut terdiri dari

perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang dan dengan perjanjian tambahan

berupa perjanjian pemberian jaminan oleh pihak debitur. Pada dasarnya,

pemberian kredit oleh bank diberikan kepada siapa saja yang memilki

kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui suatu perjanjian

utang piutang di antara kreditur dan debitur.3

Bagi perbankan, setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada

pengusaha selalu mengandung risiko. Oleh karena itu, perlu unsur pengamanan

dalam pengembaliannya. Unsur pengamanan (safety) adalah suatu prinsip dasar

dalam peminjaman kredit selain unsur keserasian (suitability) dan keuntungan

(profitability). Bentuk pengamanan kredit dalam praktik perbankan dilakukan

dengan pengikatan jaminan.4

Secara garis besar, dikenal dua macam bentuk jaminan yaitu jaminan

perorangan dan jaminan kebendaan. Salah satu jenis jaminan kebendaan yang

dikenal dalam hukum positif adalah Jaminan Hak Tanggungan.

2 http://silapcity.blogspot.com/2009/03/pengertian-kredit.html diunduh pada tanggal 21 Oktober 2014.

3 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 1.

(12)

Hak tanggungan merupakan lembaga jaminan dengan tanah sebagai

obyeknya, sehingga sudah bisa kita duga, bahwa ia merupakan hak jaminan

kebendaan yang merupakan bagian daripada Hukum Jaminan pada umumnya.

Karena obyeknya adalah benda, khususnya benda yang berupa tanah.5

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,

yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan

pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak

berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk

pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain atau yang lazim disebut

sebagai Kreditur Preferent.

Perlindungan dan pemberian kepastian hukum yang seimbang dalam

Undang-Undang Hak Tanggungan diberikan kepada Kreditur, Debitur, maupun

Pemberi Hak Tanggungan dan pihak ketiga yang terkait. Hal ini dapat dilihat dari

pernyataan bahwa Hak Tanggungan mempunyai ciri sebagai “Hak Kebendaan”

(sebagaimana dalam ketentuan sebelumnya dipunyai oleh lembaga hipotik) yaitu

dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga, selalu mengikuti bendanya di tangan

siapa pun benda itu berada (“droit de suit”), mudah dan pasti pelaksanaan

(13)

eksekusinya serta memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada

krediturnya.6

Dalam Pasal 20 ayat 1 UUHT menyebutkan bahwa apabila debitur cidera

janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek yang

dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak

mendahulu daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan

atau kreditur pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah.

Peristiwa cidera janji atau wanprestasi yang dilakukan oleh debitur

menyebabkab obyek jaminan hak tanggungan dapat dilelang untuk melunasi

utangnya kepada debitur, akan tetapi bagaimana jika obyek jaminannya tersebut

musnah disebabkan oleh peristiwa force majeure yang dapat mengganggu

jalannya pelunasan utang debitur.

Force Majeure sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau

peristiwa yang tak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa

tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur

tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.7

Dalam Pasal 1244 KUHPerdata menyebutkan bahwa dalam hal ini,

kejadian-kejadian yang merupakan force majeure tersebut tidak pernah terduga

6 Eugenia Liliawati Muljono, Tinjauan Yuridis UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dalam Kaitannya dengan Pemberian Kredit oleh Perbankan, Harvarindo, Jakarta, 2003, hlm. 2.

(14)

oleh para pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak dapat menduga sebelumnya

akan adanya peristiwa tersebut, maka seyogianya hal tersebut harus sudah

dinegoisasikan diantara para pihak.

Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure

tersebut tidak termasuk ke dalam asumsi dasar (basic assumption) dari para pihak

ketika perjanjian tersebut dibuat. Dengan demikian, berdasarkan kemungkinan

adanya force majeure tersebut haruslah diberikan perlindungan hukum yang jelas

terhadap kreditur pemegang jaminan hak tanggungan atas kredit yang telah

diberikannya kepada debitur tersebut.

Dengan uraian di atas tersebut, penulis memilih skripsi dengan judul

“Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak

Tanggungan yang Mengalami Force Majeure dalam Perjanjian Kredit (Studi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Medan)”.

A. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Apa akibat musnahnya obyek jaminan yang mengalami force majeure

dalam hak tanggungan pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang

Medan?

2. Bagaimana perlindungan hukum bagi kreditur terhadap jaminan

berupa hak tanggungan yang mengalami force majeure pada PT. Bank

(15)

3. Bagaimana upaya penyelesaian kredit terhadap jaminan berupa hak

tanggungan yang mengalami force majeure pada PT. Bank Mandiri

(Persero) Tbk Cabang Medan?

B. Tujuan Penelitian

Yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui akibat yang timbul dari musnahnya suatu obyek

jaminan hak tanggungan yang disebabkan karena force majeure dalam

sebuah perjanjian kredit pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang

Medan.

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi kreditur pemegang

jaminan hak tanggungan yang disebabkan karena force majeure pada

PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Medan.

c. Untuk mengetahui upaya penyelesaian kredit yang dilakukan oleh bank

sebagai kreditur terhadap obyek jaminan hak tanggungan yang

mengalami force majeure pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk

Cabang Medan.

C. Manfaat Penelitian

Kegiatan penulisan ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara

teoritis maupun secara praktis.

(16)

Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan

pengembangan pengetahuan dan wawasan serta kajian lebih lanjut bagi

pembaca yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang masalah

hukum jaminan khususnya mengenai jaminan hak tanggungan.

2. Secara Praktis

Secara praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi lembaga

jaminan hak atas tanah yaitu hak tanggungan.

D. Metode Penelitian

Untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang baik dan dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka harus didukung dengan

fakta-fakta/dalil-dalil yang akurat yang diperoleh dari suatu penelitian. Penelitian pada

dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati

dengan teliti terhadap sesuatu obyek yang mudah terpegang di tangan.8

Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk

memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu

pengetahuan yang merupakan kekuatan pemikiran, pengetahuan manusia

senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis, akan berkembang terus atas

dasar penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pengasuh-pengasuhnya. Hal itu

(17)

terutama disebabkan oleh karena penggunaan ilmu pengetahuan bertujuan agar

manusia lebih mengetahui dan mendalami.9

Metode merupakan suatu penelitian yang dilakukan oleh manusia,

merupakan logika dari penelitian ilmiah, studi terhadap prosedur dan teknik

penelitian, maupun sistem dari prosedur dan teknik penelitian.10. Adapun metode

yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalahyuridis

normatif. Penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif dilakukan dengan

meneliti bahan pustaka atau data sekunder dahulu dengan melakukan penelusuran

terhadap norma-norma hukum serta berbagai literatur yang berkaitan dengan

perlindungan hukum kreditur pemegang jaminan berupa hak tanggungan yang

mengalami force majeure dalam perjanjian kredit kemudian dilanjutkan dengan

mengadakan penelitian terhadap data primer dengan penelitian lapangan (field

research) dilaksanakan di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, Medan dengan melakukan wawancara dengan pihak bank dan juga dengan melakukan

wawancara kepada PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) selaku pejabat yang

berwenang di dalam membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan, dengan cara

mengajukan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan yang

dibahas pada skripsi ini.

2.Sumber Data

9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1984, hlm.30.

(18)

Materi dalam skripsi ini diambil dari data sekunder dan didukung dengan

data primer penelitian lapangan (field research) yang dilaksanakan

dengan wawancara kepada pihak PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk,

Medan, yaitu Bapak Arif Budi Agustanto selaku Team Leader dan Ibu

Elvianna Khairi selaku Proffesional Staff, serta melakukan wawancara

dengan Bapak Nofril, S.H. selaku Notaris/PPAT di Medan.

Adapun data sekunder yang dimaksud terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah dokumen-dokumen hukum yang

mengikat dan diterapkan oleh pihak yang berwenang seperti

peraturan perundang-undangan. Dalam penulisan skripsi ini antara

lain menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,

serta bahan hukum primer lainnya yang terkait dengan pembahasan

skripsi ini.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian

terkait jaminan hak tanggungan, seperti hasil kajian

seminar-seminar, jurnal-jurnal, buku-buku, makalah-makalah, serta karya

tulis ilmiah lainnya maupun tulisan-tulisan yang terdapat pada

(19)

jaminan hak tanggungan dan hal lainnya yang ada kaitnya dengan

pembahasan pada skripsi ini sebagai bahan acuan didalam

penulisan skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yang digunakan didalam penulisan skripsi ini

adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan dari

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, kamus bahasa

umum, kamus hukum, ensiklopedia hukum serta bahan-bahan lain

diluar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk

melengkapi data di dalam penulisan skripsi ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpul data yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini

adalah melalui studi dokumen, bahan pustaka, serta penelitian lapangan

(field research). Bahan pustaka yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen

dan teori yang berkaitan dengan penelitian ini serta bukti empiris tidak

mendalam dengan melakukan wawancara.

Penelitian lapangan (field research) dilaksanakan di PT. Bank Mandiri

(Persero) Tbk, Medan dengan melakukan wawancara dengan pihak

bank dan juga dengan melakukan wawancara kepada PPAT (Pejabat

Pembuat Akta Tanah) selaku pejabat yang berwenang di dalam

(20)

sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas

pada skripsi ini.

4. Analisis Data

Di dalam penulisan skripsi ini menggunakan analisis kualitatif. Metode

analisis data menggunakan metode kualitatif, yaitu data yang didapat

disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif

untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dengan cara

mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan dan mensintesiskan

data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan

menemukan pola, hubungan-hubungan, dan memaparkan

temuan-temuan mengenai perlindungan hukum kreditur pemegang jaminan

berupa hak tanggungan yang mengalami force majeure dalam

perjanjian kredit dalam bentuk deskripsi naratif yang bisa dimengerti

dan dipahami oleh orang lain.

Dalam penulisan skripsi, metode pendekatan yang digunakan

yaitu secara deskriptif, dimulai dengan analisis terhadap perjanjian

kredit perbankan sesuai dengan masalah yang diteliti. Spesifikasi suatu

penelitian bisa dicapai sampai tahap deskriptif atau inferensial.

Penelitian deskriptif apabila hanya menggambarkan keadaan obyek,

sebaliknya penelitian inferensial tidak hanya melukiskan, tetapi dengan

keyakinan tertentu mengambil kesimpulan-kesimpulan. Selanjutnya,

(21)

menghadapi persoalan khusus atau tindakan praktis dengan kejadian

tertentu.11

Dengan spesifikasi demikian, diharapkan penulisan skripsi ini

dapat mendeskripsikan mengenai perlindungan hukum kreditur

pemegang jaminan berupa hak tanggungan yang mengalami force

majeure dalam perjanjian kredit berdasarkan permasalahan yang diteliti.

E. Keaslian Penulisan

Skripsi ini merupakan karya asli dari penulis. Menelusuri kepustakaan

telah banyak karya ilmiah dan hasil penelitian tentang jaminan hak tanggungan,

namun berdasarkan uji bersih yang dilakukan, penelitian dengan judul

“Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan berupa Hak Tanggungan yang

Mengalami Force Majeure dalam Perjanjian Kredit (Studi Pada PT. Bank

Mandiri, Tbk Cabang Medan)” hingga saat ini belum ada. Dengan demikian,

keaslian judul penulis dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis.

Berdasarkan hasil pemeriksaan judul di Perpustakaan Fakultas Hukum

USU terdapat 4 (empat) judul yang mirip dengan judul penulis, yaitu :

1. Tinjauan yuridis terhadap penyelesaian wanprestasi debitur atas perjanjian

kredit Bank dengan jaminan Hak Tanggungan Studi pada PT. Bank

Negara Indonesia, Tbk SKC Polonia Medan (Alexander Johannes M.

Simanjuntak 080200278).

(22)

2. Pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan pada PT.

Bank Perkreditan Rakyat Solider Badan Kredit Kecamatan Pancur Batu

Kabupaten Deli Serdang (E. Daylon Sitanggang 070200347).

3. Perjanjian kredit serta kaitannya dengan hak tanggungan UU No. 4 Tahun

1996 (Albert Pangaribuan 920200009).

4. Segi-segi hukum perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan

(Helinda Y. Lubis 920200707).

F. Sistematika Penulisan

Agar materi dalam skripsi ini dapat diikuti dan dimengerti dengan baik,

maka skripsi ini tersusun secara sistematis yakni di mana masing-masing

bab dibagi atas beberapa bagian sub bab dan berkaitan satu dengan yang

lainnya.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan membahas mengenai Latar Belakang,

Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode

Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

PERBANKAN

Dalam bab ini akan membahas mengenai Tinjauan Umum tentang

(23)

Umumnya, dan Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Baku Antara

Debitur dan Kreditur. Tinjauan Umum tentang Perjanjian meliputi

Pengertian Umum Perjanjian, Asas-Asas Perjanjian, Syarat

Syahnya suatu Perjanjian, Prestasi dan Wanprestasi.

BAB III PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN

Dalam bab ini akan membahas mengenai Pengertian dan Konsep

Teoritis Hukum Jaminan, Hak Tanggungan atas Hak atas Tanah,

dan Force Majeure dan Akibat-Akibat Hukumnya.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PEMEGANG

JAMINAN BERUPA HAK TANGGUNGAN YANG

MENGALAMI FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN KREDIT (STUDI PADA PT. MANDIRI, TBK MEDAN)

Dalam bab ini akan membahas mengenai Akibat Musnahnya

Obyek Jaminan yang Mengalami Force Majeure dalam Hak

Tanggungan, Perlindungan Hukum Bagi Kreditur terhadap Jaminan

Berupa Hak Tanggungan yang Mengalami Force Majeure, dan

Upaya Penyelesaian Kredit terhadap Jaminan Berupa Hak

Tanggungan yang Mengalami Force Majeure.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan membahas mengenai Kesimpulan dan Saran

(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN

A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian

1. Pengertian Umum Perjanjian

Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, dimana didalamnya juga

mengatur tentang perikatan. Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka,

artinya memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian

yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

kata “overeenkomst” dalam bahasa Belanda atau istilah ”agreement” dalam

bahasa Inggris. Di dalam Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu

persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Menurut Prof. Subekti, S.H., yang dimaksud dengan “Perjanjian” adalah

suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau di mana

dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini,

timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.

Menurut Prof. Subekti, S.H., yang dimaksud dengan “Perikatan” adalah

suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana

(25)

lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.12 Pihak-Pihak yang ada dalam

suatu perjanjian disebut sebagai subyek perjanjian yang terdiri dari manusia dan

badan hukum.

Jadi, istilah “hukum perjanjian” berbeda dengan istilah “hukum perikatan”.

Karena dengan istilah “perikatan” dimaksudkan sebagai semua ikatan yang diatur

dalam KUH Perdata, jadi termasuk juga baik perikatan yang terbit karena

undang-undang maupun perikatan yang terbit dari perjanjian. Dalam hal ini jika dengan

hukum perikatan, termasuk baik perikatan yang terbit dari undang-undang

maupun perikatan yang terbit karena undang-undang, maka dengan hukum

perjanjian, yang dimaksudkan hanya terhadap perikatan-perikatan yang terbit dari

perjanjian saja. Sedangkan hukum yang berlaku terhadap perjanjian pada

prinsipnya adalah KUH Perdata.13

Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang

membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan

yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa

perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan,

disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan

persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat

12 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 1.

(26)

dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama

artinya.14

Pihak-pihak yang ada dalam suatu perjanjian disebut sebagai subyek

perjanjian yang terdiri dari manusia dan badan hukum.

2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat15 :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

3. Mengenai suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat sahnya perjanjian di atas, dapat dibagi dalam 2 (dua)

kelompok, yaitu16 :

1. Syarat Subyektif

Adalah suatu syarat yang menyangkut pada subyek perjanjian apabila

yang menyangkut pada subyek ini tidak dipenuhi, maka salah satu pihak

dapat meminta supaya perjanjian tersebut dibatalkan. Pihak yang dapat

meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang

memberiksan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Syarat

subyektif terdiri dari :

(27)

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Maksud dari kata sepakat adalah tercapainya persetujuan kehendak

antara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuat itu.

Kata sepakat itu dinamakan juga perizinan, artinya bahwa kedua

belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian harus bersepakat.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah

cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh

undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.

Berkaitan dengan hal ini, Pasal 1330 KUH Perdata menemukan tentang

orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian, yaitu :

- Orang-orang yang belum dewasa;

- Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

- Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang

dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang

membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi hal ini sudah

dihapuskan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963

tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan

Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia. Bahwa Mahkamah Agung

menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang

suatu isteri untuk melakukan suatu perbuatan hukum dan untuk

menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya

(28)

2. Syarat Obyektif

Adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian, yang meliputi

suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila syarat ini tidak

dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula

tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu

perikatan. Syarat obyektif terdiri dari :

a. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian. Obyek

perjanjian biasanya berupa barang atau benda. Menurut Pasal 1332

KUH Perdatan menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat

menjadi pokok persetujuan-persetujuan.

Selain itu dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan

bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu

barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Jadi penentuan obyek perjanjian sangatlah penting untuk

menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian

jika timbul perselisihan dalam pelaksanaannya.

b. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian. Menurut

pengertiannya, “sebab causa” adalah isi dan tujuan perjanjian,

dimana hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan

(29)

Sedangkan dalam Pasal 1335 KUH Perdata menyebutkan bahwa

suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu

sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Berkaitan dengan hal ini, maka akibat yang timbul dari perjanjian

yang berisi sebab yang tidak halal adalah batal demi hukum. Dengan

demikian tidak dapat memenuhi pemenuhannya di depan hukum.17

3. Asas-Asas Perjanjian

Menurut Salim H.S. didalam Hukum Kontrak atau Hukum Perjanjian,

dikenal adanya 5 (lima) asas penting, yaitu18 :

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya.

Asas Kebebasan Berkontrak memberikan kebebasan kepada para

pihak untuk :

(a) membuat atau tidak membuat perjanjian,

(b) mengadakan perjanjian dengan siapapun,

(c) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya,

(d) menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis dan lisan.

17Ibid., hlm. 20

(30)

b. Asas Konsensualisme

Asas Konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)

KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat

sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas

Konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian

pada umumnya tidak diadakan secara formal tetapi cukup dengan

adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan

persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat kedua

belah pihak. Asas Konsesualisme yang dikenal dalam KUH Perdata

adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

c. Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Survanda)

Asas Pacta Sunt Servanda disebut juga dengan Asas Kepastian

Hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini

merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya

sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi

terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas Pacta

Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah

(31)

Namun dalam perkembangannya, Asas Pacta Sunt Servanda diberi

arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan

sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan nudus pactum

sudah cukup dengan sepakat saja.

d. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)

Asas Iktikad Baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH

Perdata menyebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan

iktikad baik.

Asas Iktikad Baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur

dan debitur, harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan

kepercayaan dan keyakinan teguh atau kemauan baik para pihak.

Asas ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :

(a) Iktikad Baik Nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku

yang nyata dari subjek perjanjian.

(b)Iktikad Baik Mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan

keadilan, dengan dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai

keadaan atau membuat penilaian yang tidak memihak menurut

norma-norma yang obyektif.

e. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas Kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa

(32)

perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal

1340 KUH Perdata.

Pasal 1315 menyebutkan bahwa pada umumnya seseorang tidak

dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya

sendiri.

Pasal 1340 menyebutkan bahwa perjanjian hanya berlaku antara

pihak yang membuatnya.

Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya sebagaimana diatur

dalam Pasal 1317 KUH Perdata menyebutkan bahwa dapat pula

perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu

perjanjian dibuat untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian kepada

orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.

Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya mengatur

perjanjian untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli

warisnya atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Pasal 1317 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk kepentingan

pihak ketiga, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata mengatur

perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli waris, dan

orang-orang yang memperoleh hak darinya.

3. Prestasi dan wanprestasi

Suatu perjanjian dapat menimbulkan prestasi dan kontra prestasi bagi para

pihak dari perjanjian tersebut. Prestasi (performance) dari suatu perjanjian adalah

(33)

dalam suatu perjanjian oleh kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk

itu. Jadi, memenuhi prestasi dalam perjanjian adalah ketika para pihak memnuhi

janjinya.19

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, maka prestasi dari

suatu perjanjian terdiri dari :

1. Memberikan sesuatu;

2. Berbuat sesuatu;

3. Tidak berbuat sesuatu.

Suatu perjanjian dapat dikatakan dilaksanakan dengan baik apabila para

pihak telah memenuhi syarat yang telah diperjanjikan. Namun demikian pada

kenyataannya, sering dijumpai bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian tidak

dapat berjalan dengan baik karena salah satu pihak wanprestasi. Dapat pula

dikemukakan, bahwa ia lalai atau alpa atau ingkar janji atau bahkan melanggar

perjanjian dengan melakukan suatu hal yang tidak boleh dilakukan.

Pengertian wanprestasi, yang kadang-kadang disebut juga dengan istilah

“cidera janji” adalah kebalikan dari pengertian prestasi. Dalam bahasa Inggris

disebut dengan “default” atau “nonfulfillment” atau “breach of contract”. Yang

dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban

sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut dalam

kontrak yang bersangkutan.20

19 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Rajawali Pers Jakarta, 2014, hlm. 207.

(34)

Menurut pendapat R. Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang

debitur dapat berupa21 :

a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikan;

c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang wanprestasi ada 4 (empat)

macam, yaitu22 :

1. membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau membayar ganti

rugi;

2. pembatalan perjanjian;

3. peralihan risiko;

4. membayar biaya perkara jika sampai diperkarakan di pengadilan.

Debitur yang dituduh lalai atau wanprestasi oleh krediturnya dapat

melakukan pembelaan guna mencegah terjadinya eksekusi obyek jaminan atau

menghindari kewajiban membayar ganti rugi. Pembelaan debitur dapat meliputi 3

(tiga) macam, yaitu23 :

21 Subekti, Op.Cit., hlm. 45. 22Ibid.

(35)

1. Debitur mengajukan alasan adanya keadaan memaksa (force majeure/overmacht) sehingga debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya.

2. Debitur mengajukan alasan bahwa pihak kreditur juga telah lalai

melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian, misalnya kreditur terlambat

mencairkan kredit.

3. Debitur mengajukan alasan bahwa pihak kreditur telah menetapkan

aturan kredit yang tidak wajar misalnya menetapkan bunga dan denda

yang terlalu tinggi atau menetapkan syarat agunan yang terlalu ketat.

B. Pengaturan Perjanjian Kredit Perbankan pada Umumnya

Yang dimaksud dengan perkreditan adalah suatu penyediaan uang atau

yang dipersamakan dengannya, yang didasari atas perjanjian pinjam-meminjam

antara pihak kreditur (bank, perusahaan atau perorangan) dengan pihak debitur

(peminjam), yang mewajibkan pihak debitur untuk melunasi hutangnya dalam

jangka waktu tertentu, di mana sebagai imbalan jasanya, kepada pihak kreditur

(pemberi pinjaman) diberikan hak untuk mendapatkan bunga, imbalan atau

pembagian hasil keuntungan selama masa kredit tersebut berlangsung.24

Istilah kredit dapat didefinisikan dalam beberapa golongan, yaitu :

1. Berdasarkan Etimologis

(36)

Kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu “credere” yang berarti

kepercayaan (trust atau faith). Dengan demikian istilah kredit memiliki arti

khusus, yaitu meminjamkan uang (atau penundaan pembayaran). Apabila

orang mengatakan membeli secara kredit maka hal itu berarti si pembeli

tidak harus membayarnya pada saat itu juga.25

2. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

a. Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain,

yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka

waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil

keuntungan.

b. Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain

yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunsai utangnya setelah

jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

(37)

c. Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005

tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (disebut PBI 7/2005)

menyebutkan bahwa penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak

peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu

dengan pemberian bunga, termasuk :

- Cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah

yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;

- Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;

- Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.”

3. Berdasarkan Pendapat Ahli

Raymond P. Kent dalam bukunya Money and Banking mengatakan

bahwa kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atas kewajiban

untuk melakukan pembayaran pada waktu yang diminta atau pada waktu

yang akan datang karena penyerahan barang-barang sekarang.26

Menurut O.P. Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi

(misalnya uang, barang) dengan batas prestasi (kontra prestasi) akan

terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern

(38)

adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat

kredit yang menjadi pembahasan.27

Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima

kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan

saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan

atas komponen-komponen kepercayaan risiko, dan pertukaran ekonomi

pada masa-masa mendatang.28

Peraturan tentang perkreditan atau regulasi perkreditan di sektor

perbankan secara nasional diatur dalam UU Perbankan dan Peraturan Bank

Indonesia. Di samping itu, pengaturan perkreditan juga diatur secara internal di

masing-masing bank dalam bentuk Pedoman Perkreditan atau Peraturan

Perkreditan.29

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan di dalam Pasal 8 ayat (2) secara

tegas meyebutkan bahwa Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan Pedoman

Perkreditan dan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan

yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pedoman Perkreditan yang harus ada di masing-masing Bank Umum,

berdasarkan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) dari UU Nomor 10 Tahun 1998, harus

memuat aturan tentang :

27 H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 123.

28Ibid.

(39)

a. Perjanjian kredit harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;

b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan

nasabah debitur untuk melunasi utangnya. Keyakinan tersebut harus

berdasarkan hasil penilaian terhadap Prinsip 5-C (Character, Capacity,

Capital, Collateral, dan Condition of Economy);

c. Bank wajib menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau

Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

d. Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan

persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

e. Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur atau

pihak terafiliasi;

f. Bank wajib menetapkan aturan tentang cara-cara penyelesaian sengketa.

Regulasi Perkreditan di sektor Perbankan juga diatur oleh Bank Indonesia

yang berwenang untuk melakukan pengawasan bank di Indonesia. Berdasarkan

SK Direksi BI No. 27/162/KTP/DIR tanggal 31 Maret 1995 kepada setiap bank

diwajibkan untuk memiliki kebijakan perkreditan secara tertulis, yang

sekurang-kurangnya memuat atau mengatur prinsip kehati-hatian dalam perkreditan,

organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi

dan administrasi kredit, pengawasan, dan penyelesaian kredit bermasalah.30

(40)

Melalui ketentuan tersebut diharapkan bank mempunyai panduan yang

jelas sebagai pedoman pelaksanaan perkreditannya. Dengan demikian risiko yang

mungkin timbul sedini dapat dideteksi dan dikendalikan sedini mungkin,

sekaligus dapat menghindari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang

dalam pemberian kredit. Dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang

dengan sengaja melanggar pedoman perkreditan, sesuai Pasal 49 ayat (2) huruf b

UU No. 10/1998 dapat diancam pidana penjara 3 hingga 8 tahun serta denda Rp 5

miliar hingga Rp 10 miliar.31

Unsur kredit yang paling esensial adalah “Kepercayaan” dari bank/kreditur

terhadap nasabah peminjam/debitur. Kepercayaan tersebut timbul karena

dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh

debitur, antara lain : jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau

agunan, dan lain-lain.32

Dalam buku “Dasar-Dasar Perkreditan” karya Drs. Thomas Suyatno

mengemukakan unsur-unsur kredit terdiri atas33 :

a. kepercayaan;

b. tenggang waktu;

c. tingkat risiko (degree of risk);

d. pestasi dan obyek kredit.

31Ibid.

32 Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 99.

(41)

Menurut CH. Gatot Wardoyo, bahwa perjanjian kredit mempunyai

beberapa fungsi, yaitu34 :

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian

kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya

perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan

barang jaminan;

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan hak

dan kewajiban di antara kreditur/bank dengan nasabah/debitur;

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring

kredit.

Dalam prakteknya saat ini, secara umum ada 2 (dua) jenis kredit yang

diberikan oleh bank kepada para nasabahnya, yaitu35 :

1. Kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaannya, berupa :

a. Kredit Produktif

Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang

menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahanya. Untuk

kredit jenis ini terdapat 2 (dua) kemungkinan, yaitu :

- Kredit modal kerja, yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai

kebutuhan usaha-usaha, termasuk guna menutupi biaya produksi

dalam rangka peningkatan produksi atau penjualan.

34 S. Mantayborbir, Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hlm. 89.

(42)

- Kredit investasi, yaitu kredit yang diberikan untuk pengadaan

barang modal maupun jasa yang dimaksudkan untuk menghasilkan

suatu barang ataupun jasa bagi usaha yang bersangkutan.

b. Kredit Konsumtif

Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang perorangan

untuk memenuhi kebutuhan konsumtif masyarakat umumnya (sumber

pengembaliannya dari fixed income debitur).

2. Kredit ditinjau dari segi jangka waktunya, berupa :

a. Kredit Jangka Pendek

Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang diberikan dengan tidak

melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun.

b. Kredit Jangka Menengah

Kredit jangka menengah, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka

waktu lebih dari 1 (satu) tahun tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.

c. Kredit Jangka Panjang

Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka

waktu 3 (tiga) tahun.

C. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Baku Antara Debitur dan Kreditur

Perjanjian kredit dari bank (selaku kreditur) kepada nasabah (selaku

debitur) harus selalu didasari adanya perjanjian kredit antara kedua belah pihak.

(43)

Perjanjian, terutama asas-asas Hukum Perjanjian dan syarat sahnya suatu

perjanjian.36

Pemberian kredit dari Bank kepada Debitur, selain harus didasari oleh

adanya unsur kepercayaan, juga harus didasari oleh adanya sebuah kontrak

perjanjian kredit yang bersifat tertulis dan pada umumnya perjanjian kredit

tersebut diikat dengan sebuah akta notaris agar kepastian hukumnya lebih

terjamin.37

Menurut Prof. Subekti, S.H., pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa

di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu

saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu

hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian

itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.38

Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang

mengandung janji-janji kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut Pasal

1313 KUH Perdata, perjanjian atau persetujuan diartikan sebagai perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih. Hubungan antara dua orang tersebut adalah suatu hubungan hukum di mana

hak dan kewajiban di antara para pihak tersebut dijamin oleh hukum.39

36 Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 102. 37Ibid. hlm. 103

38 Subekti, Op.Cit. hlm.1.

(44)

Perjanjian kredit antara Debitur dengan Bank terdiri dari 2 (dua) macam

perjanjian, yaitu :

1. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Pokok

Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok yang bersifat riil, yan diikuti

dengan perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan (accessoir).

Pengertian “riil” berarti perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang

oleh pihak Bank kepada Debitur.40

Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan umumnya

berbentuk perjanjian baku (standard contarct), karena bentuk perjanjiannya

telah disediakan pihak bank sebagai kreditur, sedangkan pihak debitur hanya

mempelajari dan memahami dengan baik.41

Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa klausula baku adalah

setiap aturan atau ketentuan dan syarat yang telah dipersiapkan atau

ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan

dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi

konsumen.

Dari pengertian tersebut, tampak bahwa isi perjanjian dengan klausula

baku ditetapkan secara sepihak oleh kreditur, ini menunjukkan hukum yang

berlaku pada perjanjian itu adalah hukum kreditur. Sekaligus juga

(45)

menunjukkan pihak yang berkedudukan sosial dan ekonominya kuat

seolah-olah yang berwenang menetukan isi perjanjian.42

Dalam perjanjian baku, pihak debitur hanya dalam posisi menerima

atau menolak tanpa ada kemungkinan melakukan negosiasi atau tawar

menawar. Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang

ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban menandatangani perjanjian

kredit, tetapi apabila debitur menolak maka ia tidak perlu menandatangani

perjanjian kredit tersebut.43

Perjanjian baku ini diperlukan untuk memenuhi kedudukan yang

sifatnya praktis dan kolektif. Pada tahap ini, kedudukan calon nasabah debitur

sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang diajukan dan

ditetapkan oleh pihak kreditur, karena jika tidak demikian, maka calon

nasabah debitur tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksud.44

Perjanjian kredit, walaupun umumnya berbentuk perjanjian baku,

tetapi bentuk perjanjian baku tersebut tidak mengingkari asas kebebasan

berkontrak, sepanjang tetap menegakkan asas-asas umum perjanjian seperti

penetapan syarat-syarat yang wajar dengan menjunjung keadilan, dan adanya

keseimbangan para pihak sehingga menghilangkan upaya penekanan kepada

pihak lainnya.45

42 Gatot Supramo, Perjanjian Utang Piutang, Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 20. 43 Hermansyah, Op.Cit., hlm. 67.

(46)

Rumusan perjanjian baku dalam perjanjian kredit harus memenuhi

beberapa syarat, yaitu46 :

1. tidak ada unsur kecurangan;

2. tidak ada unsur pemaksaan akibat ketidakseimbangan kekuatan

para pihak;

3. tidak ada syarat perjanjian yang hanya menguntungkan secara

sepihak;

4. tidak ada risiko yang hanya dibebankan secara sepihak;

5. tidak ada pembatasan hak untuk menggunakan upaya hukum.

Perjanjian kredit yang bersifat baku tidak boleh bertentangan dengan

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen. Pelaku usaha, sesuai Pasal 18, dilarang membuat klausula baku

yang mencantumkan hal-hal sebagai berikut :

a. Pelaku usaha dilarang membuat aturan baru, aturan tambahan,

dan/atau aturan selanjutnya yang dibuat secara sepihak oleh pelaku

usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya

(Pasal 18 ayat (1) huruf g).

b. Pelaku usaha dilarang membuat klausula yang menyatakan bahwa

konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan

terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran (Pasal 18

ayat (1) huruf h).

(47)

c. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak

atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas

atau yang pengungkapannya sulit dimengerti (Pasal 18 ayat (2)).

Pelanggaran terhadap ketentuan di atas dapat berakibat perjanjian

baku tersebut dinyatakan batal demi hukum (Pasal 18 ayat (3)). Disamping

itu, semua pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausul baku yang

bertentangan dengan Pasal 18 agar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Pasal 18 ayat (4)).

2. Perjanjian Jaminan sebagai Perjanjian Tambahan

Pemberian kredit dari bank kepada debitur, sebagaimana pemberian

kredit pada umumnya, disamping harus didasarkan adanya perjanjian

kredit sebagai perjanjian pokok, juga harus diikuti pembuatan perjanjian

jaminan sebagai perjanjian tambahan (accessoir).47

Perjanjian jaminan digolongkan sebagai perjanjian accessoir karena

perjanjian tersebut bersifat perjanjian tambahan atau ikutan yang

pemberlakuannya mengikuti perjanjian pokok yang mendasarinya. Perjanjian

jaminan berkaitan dengan pengikatan jaminan atau agunan kredit yang

umumnya diikat dengan akta notaris yang bersifat baku dan bersifat

eksekutorial.48

Sifat eksekutorial dari perjanjian jaminan mengandung konsekuensi

jika debitur melakukan wanprestasi maka bank dapat mengajukan

(48)

permohonan eksekusi agunan melalui Ketua Pengadilan Negeri tanpa harus

melalui proses peradilan biasa yang panjang dan berbelit-belit. Perjanjian

jaminan dibuat pihak bank sebagai salah satu upaya untuk melaksanakan

prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit sehingga kelak ada jaminan

pengembalian kredit bank yang utuh.49

(49)

40

HAK TANGGUNGAN

A.Pengertian dan Konsep Teoritis Hukum Jaminan

Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa pemberian kredit.

Pemberian kredit merupakan pemberian pinjaman uang oleh bank kepada anggota

masyarakat yang umumnya disertai dengan penyerahan jaminan kredit oleh

debitur (peminjam). Terhadap penerimaan jaminan kredit tersebut terkait dengan

berbagai ketentuan hukum jaminan.50

Bank sebagai badan usaha yang wajib dikelola berdasarkan prinsip

kehati-hatian tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku agar dapat mengamankan

dan melindungi kepentingannya. Jaminan kredit yang diterima bank dari debitur

termasuk sebagai salah satu obyek yang berkaitan dengan kepentingan bank.

Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai jaminan yang baik dan

berharga sehingga akan dapat memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain dengan

memperhatikan aspek hukum yang terkait termasuk aspek hukum jaminan.51

Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling atau

security of law. Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang Lembaga Hipotek dan Jaminan Lainnya, yang diselenggarakan di Yogyakarta,

50 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 70.

(50)

pada tanggal 20 sampai tanggal 30 Juli 1977, disebutkan bahwa hukum jaminan,

meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan.

Pengertian hukum jaminan ini mengacu pada jenis jaminan, bukan pengertian

hukum jaminan. Definisi ini menjadi tidak jelas, karena yang dilihat hanya dari

penggolongan jaminan.52

Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, mengemukakan bahwa hukum jaminan

adalah53 :

“Mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian, kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah, besar, dengan jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah”.

J. Satrio mengartikan hukum jaminan adalah54 :

“Peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang

kreditur terhadap debitur”.

Salim H.S. mendefinisikan hukum jaminan adalah55 :

“Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum

antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan

pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit”.

52H. Salim HS., Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 21

53 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminana di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perseorangan, Liberty OffSet, Yogyakarta, 2007, hlm. 5.

54 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.3.

(51)

Ruang lingkup hukum jaminan di Indonesia mencakup berbagai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan

penjamin utang yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia. Dalam hukum

positif di Indonesia terdapat peraturan perundang-undangan yang sepenuhnya

mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjamin utang. Materi (isi)

peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang secara

khusus mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang, antara

lain mengenai prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-lembaga jaminan, objek

jaminan utang, penanggung utang dan sebagainya.

Beberapa ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata dan KUH Dagang

mengatur sepenuhnya atau berkaitan dengan penjaminan utang. Disamping itu

terdapat pula undang-undang tersendiri yaitu UU No. 4 Tahun 1996 dan UU No.

42 Tahun 1999 yang masing-masing khusus mengatur tentang lembaga jaminan

dalam rangka penjaminan utang. Sehubungan dengan berbagai peraturan

perundang-undangan tersebut di atas lebih lanjut dapat dikemukakan beberapa

ketentuan hukum jaminan.56

Dalam KUH Perdata tercantum beberapa ketentuan yang terdapat

digolongkan sebagai hukum jaminan. Hukum jaminan dalam ketentuan KUH

Perdata adalah sebagaimana yang terdapat pada Buku Kedua yang mengatur

tentang prinsip-prinsip hukum jaminan, yaitu57 :

(52)

1. Kedudukan Harta Pihak Peminjam

Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak

peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya

merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya.

Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa semua harta pihak

peminjam, baik yang berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak,

baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari merupakan

jaminan atas perikatan utang pihak peminjam.

Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu

ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang pokok

dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak

yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya.

Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata sering pula dicantumkan

sebagai salah satu klausula dalam perjanjian kredit perbankan. Ketentuan

Pasal 1131 KUH Perdata yang dicantumkan sebagai klausula dalam

perjanjian kredit bila ditinjau dari isi (materi) perjanjian, disebut sebagai

isi yang naturalia. Klausula perjanjian yang tergolong sebagai isi yang

naturalia merupakan klausula fakultatif, artinya bila dicantumkan sebagai

isi perjanjian akan lebih baik, tetapi bila tidak dicantumkan, tidak menjadi

masalah kecacatan perjanjian karena hal (klausula) yang seperti demikian

(53)

2. Kedudukan Pihak Pemberi Pinjaman

Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan

bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas 2 (dua)

golongan, yaitu :

(a) yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang

masing-masing;

(b) yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman

yang lain berdasarkan suatu perat

Referensi

Dokumen terkait

“ Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Baru Dalam Pelaksanaan Pengambilalihan Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan ” dengan tepat pada waktunya guna memenuhi

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada Bank SUMUT, dalam praktiknya kalau kredit debitur macet, kreditur tidak cepat-cepat mengeksekusi jaminan, namun biasanya

Mengenai penyelesaian wanprestasi antara pihak debitur dan kreditur ada 3 (tiga) macam cara atau model yaitu (1) Penyelesaian internal antara pihak debitur dan

Dari hasil wawancara tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam melakukan penyelesaian kredit macet pihak Bank NTB Cabang Lotim akan melakukan upaya penyelamatan kredit

Sekalipun kreditur separatis dapat mengeksekusi haknya atas jaminan hutang debitur seolah-olah tidak terjadi kepailitan namun kreditur separatis tetap tunduk kepada

dalam suatu perjanjian oleh kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR APABILA KREDIT YANG DIBERIKAN DENGAN JAMINAN PURCHASING ORDER KEPADA DEBITUR MENGALAMI WANPRESTASI ... Antisipasi yang dilakukan

Temuan kedua, terdapat kelemahan perlindungan hukum kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit sehubungan keadaan memaksa force mejaure akibat covid 19 sehingga belumlah berkeadilan