• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYALAHGUNAAN NARKOBA OLEH ANGGOTA POLRI DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA (Studi Pada Polda Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENYALAHGUNAAN NARKOBA OLEH ANGGOTA POLRI DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA (Studi Pada Polda Lampung)"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

PENYALAHGUNAAN NARKOBA OLEH ANGGOTA POLRI DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

(Studi Pada Polda Lampung)

Oleh

ADI KURNIAWAN

Perang terhadap narkoba dikumandangkan. Aparat kepolisian menjadi tumpuan namun apabila dirasa kurang mampu, masyarakat tidak segan-segan untuk melakukan perbuatan menangkap dan menghakimi para pengedar. Penyalahgunaan narkoba di kalangan anggota Polri menambah penilaian negatif masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat banyak mendapatkan ketidakpuasan dari beberapa level institusi Polri, yang kadang kala berkaitan dengan kebijakan. Ketidakpuasan ini dapat berupa kurang baiknya pelayanan yang diberikan anggota Polri maupun perilaku dari oknum anggota Polri yang melakukan perilaku menyimpang. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah faktor penyebab penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh anggota Polri; dan (2) Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap anggota Polri yang melakukan penyalahgunaan Narkoba.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dan data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan mengkoreksi data, setelah data diolah yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.

(2)

Adi Kurniawan

terhadap tugas mereka sebagai anggota; c) Faktor ekonomi, sedangkan mengenai faktor ekonomi sebagai penyebab penyalahgunaan narkoba cukup besar pengaruhnya terhadap terjadinya penyalahgunaan narkoba, serta (2) Upaya penanggulangan terhadap anggota Polri yang melakukan penyalahgunaan Narkoba antara lain: a) Upaya pre-emtif, merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh Polda Lampung sedini mungkin dengan melakukan kegiatan mengawasi, mengarahkan, membentuk serta mendorong anggota Polri maupun masyarakat agar tidak melakukan penyalahgunaan narkoba; b) Upaya preventif, adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh Polda Lampung khususnya Dit Reserse Narkoba secara rutin dan berkesinambungan, dengan cara merazia tempat-tempat hiburan atau hotel-hotel serta melakukan test urine sewaktu-waktu kepada setiap anggota. c) Upaya Represif, dilakukan dengan cara menindak tegas anggota Polri yang kedapatan atau ketahuan melakukan penyalahgunaan narkoba sesuai peraturan yang berlaku. Upaya lainnya yang dilakukan yakni: a) Tindakan administrasi; b) Tindakan penjatuhan sanksi dari pelaksanaan hukum pidana.

(3)

A. Latar Belakang

Fenomena penyalahgunaan narkoba saat ini menjadi pembicaraan semua pihak dan semua orang khususnya orangtua. Perang terhadap narkoba dikumandangkan. Aparat kepolisian menjadi tumpuan namun apabila dirasa kurang mampu, masyarakat tidak segan-segan untuk melakukan perbuatan menangkap dan menghakimi para pengedar. Kasus tindak pidana narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia Tahun 2009-2011

No Kasus Tahun Jumlah

Jumlah 28.382 23.531 26.500 78.413 19.603

Sumber: Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim POLRI & BNN

(4)

2

Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan ujung tombak aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana dan pada sisi lain selaku pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Dalam proses penegakan hukum pidana di indonesia maka instansi terdepan yang seharusnya langsung berhadapan dengan pelanggar hukum pidana adalah pihak Kepolisian. Seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang ketentuan-ketentuan pokok kepolisian negara dan dimulai dengan pernyataan moral bahwa kepolisian negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia dan hukum negara.

Berdasarkan atas pertimbangan atau keyakinan yang ditekankan kepada moral pribadi, sehingga banyak anggota Polri menyalahgunakan tugas dan wewenangnya dengan cara tidak terpuji seperti pungutan liar, pemerasan, terlibat pencurian kendaraan bermotor baik ia selaku pelaku pencurian maupun sebagai penadah atau sekongkol perbuatan jahat, sampai dengan penyalahgunaan narkoba.

Saat ini masyarakat sudah mempunyai penilaian sendiri dan percaya bahwa ada oknum Polri yang memanfaatkan kesempatan untuk menyalahgunakan kewenangannya khususnya dalam kasus narkoba. Anggota Polri mempunyai kewenangan untuk melakukan penggeledahan dan penangkapan. Barang bukti hasil penggeledahan dan penangkapan itu disinyalir oleh masyarakat dimanfaatkan oleh oknum polisi untuk dirinya sendiri baik digunakan maupun diedarkan kembali.

(5)

ketidakpuasan dari beberapa level institusi Polri, yang kadang kala berkaitan dengan kebijakan. Ketidakpuasan ini dapat berupa kurang baiknya pelayanan yang diberikan anggota Polri maupun perilaku dari oknum anggota Polri yang melakukan perilaku menyimpang.

Penyalahgunaan narkoba di lingkungan anggota Polri merupakan suatu pelanggaran berat menurut penilaian organisasi. Sebagai petugas yang melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat, anggota Polri sangat diharapkan untuk tidak terlibat dalam pemakaian apalagi peredaran narkoba. Tetapi untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba yang terjadi di dalam organisasi Polri sangat sulit. Hal ini disebabkan karena di satu sisi dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, anggota Polri yang melakukan tindakan kriminal diadili melalui peradilan umum dan juga diadili melalui sidang kode etik kepolisian.

Penegakan hukum oleh Polri ada dua pilihan yang perlu dipertimbangkan yaitu pertama tindakan upaya paksa yang telah diatur secara rinci pasal demi pasal sampai pelimpahan umum sesuai proses hukum dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kedua adalah tindakan atas dasar pertimbangan atau keyakinan yang ditekankan kepada moral pribadinya terkadang tidak sesuai dengan tujuan hukum, bahkan bertentangan dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

(6)

4

penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi. Ketiga sistem penegakkan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa disebut aparatur negara (alat) penegak hukum yang mempunyai aturannya sendiri-sendiri.

Atas perbuatan-perbuatan tercela terutama penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh anggota Polri tersebut tidak akan pernah lepas dari pengamatan Pimpinan atau atasan yang bersangkutan, sehingga tidak sedikit anggota Polri yang diambil tindakan tegas mulai dari pidana penjara sampai dengan hukuman disiplin kode etik karena sesuai dengan UU No. 2 tahun 2002 dalam Pasal 29 menjelaskan bahwa anggota Polri tunduk pada keputusan Peradilan Umum selain itu anggota Polri tersebut diputus Sidang Komisi Kode Etik dilingkungan tempat ia bertugas.

Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika di dalam Pasal 111-126 dan Undang-undang No. 5 tahun 1997 di dalam Pasal 59-65 tentang Psikotropika dimana dalam pasal-pasal tersebut memuat sanksi bagi masyarakat yang menggunakannya termasuk anggota Polri yang saat ini tunduk pada hukum Sipil.

(7)

Polda Lampung); Ap (Polresta Bandarlampung); Al (Polres Lampung Selatan); Am (Polres Tulangbawang); Is dan Aw (Polres Lampung Tengah); Es (Polres Waykanan); serta Sp dan Iw (Polres Lampung Timur). Mereka terbukti menggunakan barang haram tersebut di Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling, Bandar Lampung (http://radarlampung.co.id, diakses tanggal 9 Juni 2011).

Pada Bulan November 2011 dari kesembilan oknum tersebut, dua oknum atas nama Aiptu Sp dan Bripka Iw anggota Polres Lampung Timur Polda Lampung yang telah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri secara bersama-sama, akhirnya dikenai sanksi berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari Kepolisian RI (hukuman kode etik) setelah sebelumnya divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang (pidana penjara). Sedangkan oknum yang lainnya ada yang sudah diproses dan ada yang sedang diproses.

Sesuai dengan kasus yang penulis dapat dari hasil Pra riset di Polda Lampung tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui adakah upaya penanggulangan yang dilakukan agar anggota Polri khususnya di Polda Lampung tidak melakukan penyalahgunaan narkoba ataukah hanya menghukum anggota yang terbukti melakukan penyalahgunaan narkoba tanpa adanya upaya penanggulangan. Karena upaya sekecil apapun akan sangat bermanfaat untuk menghindari adanya penyalahgunaan Narkoba yang dapat terjadi kapan saja.

(8)

6

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah:

a. Apakah faktor penyebab penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh anggota Polri ?

b. Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap anggota Polri yang melakukan penyalahgunaan Narkoba ?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Topik penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana yang ruang lingkupnya membahas tentang faktor penyebab penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh anggota Polri dan upaya penanggulangan terhadap anggota Polri yang melakukan penyalahgunaan Narkoba. Penelitian ini dilaksanakan di Kepolisian Daerah (Polda) Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :

a. Mengetahui faktor penyebab penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh anggota Polri.

(9)

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoritis, kegunaan penulisan ini adalah dalam rangka pengembangan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, juga untuk memperluas cakrawala pandang bagi pihak-pihak yang membutuhkan serta dapat menjadi masukan bagi Perundang-undangan di Indonesia nantinya.

b. Secara Praktis, kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan serta bentuk sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum pada umumnya, serta khususnya Kepolisian Daerah Lampung dan juga masyarakat.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teori merupakan konsep abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh penelitian (Soerjono Soekanto, 1986 : 124).

Keberadaan dan segala tingkah laku polisi dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum mendapat perhatian dan penilaian dari masyarakat. Masyarakat selalu menganggap semua aparat polri adalah profesional di bidang kepolisian.

(10)

8

ada lima masalah cukup serius yang dihadapi oleh pengemban profesi hukum, yaitu:

a. kualitas pengetahuan profesional hukum; b. terjadi penyalahgunaan profesi hukum;

c. kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis; d. penurunan kesadaran dan kepedulian sosial;

e. kontinuasi sistem yang sudah usang.

Berdasarkan lima masalah yang diungkapkan oleh Sumaryono di atas, permasalahan kedualah yang sering kali menjadi masalah yang paling banyak terjadi. Seperti penyalahgunaan narkoba, yang seharusnya anggota Polri memberikan contoh yang baik kepada masyarakat sebagai aparat penegak hukum. Namun, pada kenyataannya anggota Polri tersebut yang melanggar peraturan dengan memakai narkoba bahkan sampai mengedarkannya.

Sebenarnya ada beberapa sebab seseorang melakukan kejahatan. Teori dari A. Lacassagne (Soedjono Dirdjosisworo, 1982 : 29) beranggapan bahwa terjadinya kejahatan atau sebab timbulnya kejahatan meliputi:

a. Lingkungan yang memberi kesempatan akan timbulnya kejahatan; b. Lingkungan-lingkungan pergaulan yang memberi contoh atau tauladan; c. Lingkungan ekonomi (kemiskinan, kesengsaraan);

d. Lingkungan yang berbeda-beda (differential Association).

(11)

pelanggaran atau kejahatan maka ada 2 unsur yang harus bertemu yaitu niat untuk melakukan suatu pelanggaran/kejahatan dan kesempatan untuk melaksanakan niat tersebut. Jika hanya ada salah satu dan kedua unsur tersebut di atas maka tidak akan terjadi apa-apa, yaitu ada niat untuk melakukan pelanggaran/kejahatan tetapi tidak ada kesempatan untuk melaksanakan niat tersebut, maka tidak mungkin terlaksana pelanggaran/kejahatan itu. Lebih lanjut dijelaskan, sebaliknya walaupun ada kesempatan, tetapi tidak ada niat untuk melanggar maka juga tidak akan terjadi suatu pelanggaran. Jadi jelas kedua unsur, yaitu niat dan kesempatan adalah sangat penting dalam hal terjadinya pelanggaran.

Selain teori-teori di atas, terdapat pula teori-teori kriminologi yang dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kajahatan atau penyebab kejahatan. Teori-teori tersebut antara lain:

1. Teori Asosiasi Diferensial

Pola perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui pergaulan yang akrab. Tingkah laku jahat dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi, dan yang dipelajari dalam kelompok adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan yang mendukung perbuatan jahat (Soedjono Dirdjosisworo, 1982 : 108).

2. Teori Anomi

(12)

10

masyarakat, yang mengalami kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama yang eksplisit ataupun implisit mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan kerja sama (Romli Atmasasmita, 2007 : 33-34).

3. Teori Subkultur

Ada dua teori subkultur (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001 : 81-85), yaitu:

a. Teori delinquent subculture, yaitu teori yang dikemukakan oleh A.K. Cohen yang dalam penelitiannya dijelaskan bahwa perilaku delinkuen lebih banyak terjadi pada laki-laki kelas bawah dan mereka lebih banyak membentuk gang. Tingkah laku gang subkultur bersifat tidak berfaedah, dengki dan jahat. Terdapat alasan yang rasional bagi delinkuen subkultur untuk mencuri (selain mencari status kebersamaan) mencari kesenangan dengan menimbulkan kegelisahan pada orang lain. Mereka juga mencoba untuk meremehkan nilai-nilai kelas menengah.

(13)

kontrol sosial dan pencegahannya. Dalam teorinya Cloward dan Ohlin menyatakan bahwa timbulnya kenakalan remaja lebih ditentukan oleh perbedaan-perbedaan kelas yang dapat menimbulkan hambatan-hambatan bagi anggotanya, misalnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan sehingga mengakibatkan terbatasnya kesempatan bagi anggotanya untuk mencapai aspirasinya.

4. Teori konflik

Dimana masyarakat lebih bercirikan konflik daripada konsensus. Perspektif pluralis yang melihat masyarakat terdiri dari banyak kelompok, kalau perspektif konflik dalam suatu masyarakat terdapat dua kelompok yang saling berlomba untuk mendominasi masyarakat. George B Vold adalah orang pertama yang menghubungkan teori konflik dengan kriminologi. Menurut pendapatnya individu-individu terikat bersama dalam kelompok karena mereka makhluk social (social animals) dengan kebutuhan-kebutuhan yang sebaiknya dipenuhi melalui tindakan kolektif. Jika kelompok itu melayani anggotanya, ia akam terus hidup, tapi jika tidak maka kelompok lain akan mengambil alih (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 200l : 106).

5. Teori Kontrol Sosial

(14)

12

memandang setiap manusia merupakan makhluk yang memiliki moral yang murni. Oleh karena itu setiap orang memiliki kebebasan memilih berbuat sesuatu. Apakah ia akan berbuat menaati aturan yang berlaku ataukah melanggar aturan-aturan yang berlaku. Tindakan yang dipilih itu didasarkan pada ikatan-ikatan sosial yang telah dibentuk (Hendrojono, 2005: 99).

Menurut G.P. Hoefnagels (dalam Barda Nawawi Arief, 1996 : 42) upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application); b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa (influencing view of society on crime and punishment/mass media).

Jadi upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua yakni lewat jalur penal (hukum pidana) dan jalur non penal (bukan/diluar hukum pidana).

a. Penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive yaitu penindasan, pemberantasan, penumpasan yang dilakukan sesudah kejahatan dilakukan; b. Non Penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive, yaitu pencegahan,

penangkalan dan pengendalian yang dilakukan sebelum kejahatan terjadi.

(15)

defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) (Barda

Nawawi Arief, 1996 : 48).

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 132).

Untuk dapat memahami dan memudahkan serta menafsirkan berbagai teori yang ada dalam penelitian ilmiah ini, maka dapat ditentukan beberapa definisi konseptual yang berhubungan dengan yang akan diteliti, antara lain adalah:

a. Penyalahgunaan

Penyalahgunaan adalah proses, cara, perbuatan menyeleweng untuk melakukan sesuatu yang tidak sepatutnya atau menggunakan sesuatu tidak sebagaimana mestinya (Peter Salim dan Yenni Salim, 2002 : 188).

b. Polri

Polri adalah pejabat Kepolisian Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melaksanakan kekuasaan Negara dibidang Kepolisian, bertindak sebagai penyidik atau penyelidik dalam rangka sistem peradilan pidana dan sebagai pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (Mabes Polri, 1996 : 4).

c. Upaya

(16)

14

persoalan, mencari jalan keluar, dsb) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 1109).

d. Penanggulangan

Penanggulangan adalah usaha atau metode yang dipergunakan dalam menangani tindak pidana (Andi Hamzah, 1987 : 927)

E. Sistimatika Penulisan

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahanya yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yan dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

(17)

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini penulis membahas mengenai metode penelitian yang terdiri dari dari Pendekatan masalah, Sumber dan jenis data, Prosedur dan pengolahan data dan Analisa data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang gambaran umum penyalahgunaan Narkoba, faktor penyebab penyalahgunaan Narkoba, serta upaya penanggulangan terhadap anggota Polri agar tidak melakukan penyalahgunaan Narkoba.

V. P E N U T U P

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Fungsi, Tugas dan Wewenang Pokok Polri

Sebelum mengetahui fungsi serta tugas dan wewenang pokok Polri, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pengertian anggota Polri. Pengertian Anggota Polisi Negara Republik Indonesia diatur dalam Bab I ketentuan umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu Anggota Polisi Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

1. Fungsi

Kepolisia Negara Republik Indonesia mempunyai fungsi melaksanakan salah satu tugas fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penertiban hukum, perlindugan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

(19)

1. Fungsi Preventif untuk pencegahan, yang berarti bahwa polisi itu berkewajiban melindungi Negara beserta lembaga-lembaganya, ketertiban dan ketaatan umum, orang-orang dan harta bendanya, dengan jalan mencegah dilakukannya perbuatan-perbuatan pada hakikatnya dapat mengamcam dan membahayakan ketertiban dan ketentraman umum.

2. Fungsi Represif atau pengendalian, yang berarti bahwa polisi itu berkewajiban menyidik perkara-perkara tindak pidana dan menangkap pelaku-pelakunya dan kepada penyidik (yustisi) untuk penghukuman.

Sehubungan dengan kedua fungsi tersebut, maka dalam organisasi Kepolisian dibagi dua macam Kepolisian dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing yaitu:

a. Polisi Administratif

Polisi keamanan yang disebut juga dengan ”Service Publik ”, Polisi tertib, Polisi berseragam. Tugas Polisi ini pada umumnya memberikan pelayanan umum, bantuan atau penolongan kepada masyarakat, menegakkan hukum yang bersifat mengatur baik dari pusat maupun daerah dan menjaga ketertibaan. Mengingat tugasnya yang sangat luas maka tindakannya tidak selalu berdasar wetdelijk, tetapi cukup dengan rectdelijk. Sedangkan orientasinya adalah pelayanan dan kesetaraan, oleh karena itu pengawasannya ada pada pejabat-pejabat pemerintah baik dari pusat maupun daerah.

b. Polisi Peradilan atau Reserse

(20)

18

polisi ini disebut ”La Politice Judiciaire”. Mengingat tugasnya bersifat represif yang dilakukan secara rahasia dengan menggunakan teknik-teknik reserse seperti pengamatan, observasi maka polisi ini disebut polisi yang tidak beruniform. Karena dalam tugasnya selalu menggunakan pakaian preman, di Indonesia Polisi ini disebut Reserse (reserse kriminal, reserse narkotika).

Polisi peradilan berbeda tugasnya dengan polisi administratif. Polisi yudicial ini tindakannya selalu berdasarkan undang-undang (ketentuan-ketentuan hukum pidan dan kitab undang-undang hukum acara pidana). Polisi ini tugasnya ditujukan untuk menegakkan hukum pidana. Namun demikian Polisi mempunyai satu tujuan yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Keamanan dan ketertiban masyarakat telah diatur secara jelas dalam pasal 1 angka 5 UU No. 2 Tahun 2002 adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu syarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka mencapai tujuan nasional yang ditandai oleh terjaganya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuam membina dan mengembankangkan poensi dan kekuatan masyarakat dalam menyangkal, mencegah dan menanggulangi segalabentuk pelanngaran hukum dan bentuk-bentuk pelanggaran lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

2. Tugas dan Wewenang

(21)

dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.

Agar fungsi Kepolisian itu dapat terwujud maka polisi harus dilengkapi dengan tugas dan wewenang. Dalam pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 diatur mengenai tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun tugas Kepolisian adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat b. Menegakkan hukum

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat

Tugas Kepolisian tersebut dapat dikatakan berjalan apabila fungsi kepolisian terwujud, namun tugas pokok Kepolisian Negara tersebut diberikan kewenangan. Pasal 15 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian mengatur mengenai Kepolisian yaitu:

1. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a. meminta laporan dan atau pengaduan;

b. membantu menyelesaikan peselisihan warga masyarakat yang dapat mengganngu ketertiban umum;

c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengamcam persatuan dan kesatuan banggsa;

e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administatif kepolisian;

f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. melakukan tindakan pertama ditempat kejadian;

h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti;

j. menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional;

(22)

20

l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instasi lain, serta kegiatan masyarakat;

m. menerima dan menyipan barang teman untuk sementara waktu;

2. Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan pasal 15 ayat (2) mempunyai wewenang:

a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b. melaksanakan registrasi dan identifikasai kendraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi bermotor;

d. memberikan pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, an senjata tajam;

f. memberikan izin operasional dan dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa pengamanan;

g. memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisia khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan membrantas kejahatan internasional;

i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dan koordinasi instansi terkait;

j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian Internasional;

k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam ruang lingkup tugas kepolisian;

3. Tata cara pelaksanaan sebagaimana dimakasud dalam ayat (2) huruf a dan b diatur lebih lanjut dengan peraturan Pemerintah.

Penyelenggaraan tugas kepolisian Negara di bidang penegakan hukum pidana mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 16 yaitu:

1. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana diatur dalam pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

a. melakukan penangkapan, penggeledahan, penahanan, dan penyitaan;

(23)

c. membantu dan menghadapkan orang kepada penyidik dalamrangka penyidikan;

d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menayakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitan surat;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka maupun saksi;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan;

i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. memberikan petunjuk dan bantuan kepada penyidikm pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum dan;

l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2. Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf i adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dimaksud jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatan; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadan yang memaksa dan; e. menghormati hak asasi manusia.

Pada saat melaksanakan kewenangan tersebut Kepolisian Negara Republik Indonesia tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan kewenangannya.

B. Pengertian Narkoba dan Penggolongannya

(24)

22

Adiktif ) dan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya ). Istilah NAPZA lebih tepat karena di dalam singkatan tersebut terdapat psikotropika obat yang biasanya digunakan untuk gangguan kesehatan jiwa namun obat ini termasuk obat yang sering disalahgunakan dan dapat menimbulkan adiksi (Idries, 2000 : 3). Macam-macam Narkoba antara lain:

1. Narkotika

Istilah Narkotika yang dikenal di Indonesia berasal dari bahasa Inggris “Narcotics“ yang berarti obat bius, yang sama artinya dengan kata “Narcosis” dalam bahasa Yunani yang berarti menidurkan atau membiuskan. Pengertian Narkotika menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketegantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, narkotika digolongkan menjadi 3 yaitu narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III.

a. Narkotika golongan I

(25)

tanaman Papaver Somniferum L, Opium, Tanaman Koka (Daun Koka, Kokain Merah), Heroin,Morpin, dan Ganja.

b. Narkotika golongan II

Yang disebut narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Beberapa narkotika yang termasuk kedalam golongan II misalnya Alfasetilmetadol, Benzetidin, Betametadol.

c. Narkotika golongan III

Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Beberapa narkotika yang termasuk ke dalam golongan III misalnya Asetildihidrokodeina, Dokstropropoksifena, Dihidroko-deina, Etilmorfina dan lain-lain.

Narkotika Untuk Pengobatan Terdiri Dari : 1) Opium Obat

2) Codein

3) Petidin

4) Fenobarbital

2. Psikotropika

(26)

24

Narkotika tetapi mempunyai efek dan bahaya yang sama dengan Narkotika yang disebut dengan istilah Psikotropika (Satgas Luhpen Narkoba Mabes Polri, 2001 : 4). Dalam UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Psikotropika didefinisikan sebagai zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Psikotropika dibedakan menjadi 4 golongan yaitu : a. Psikotropika Golongan I

Adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contoh : LSD, MDMA, danMasealin. b. Psikotropika Golongan II

Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contoh :Amfetamin c. Psikotropika Golongan III

Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contoh : KelompokHipnotik Sedatif (Barbiturat). d. Psikotropika Golongan IV

(27)

dalam terapi dan atauuntuktujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contoh :Diazepam, Nitrazepam.

3. Bahan Berbahaya

Bahan berbahaya adalah bahan kimia meledak, mudah menyala atau terbakar, oksidator, reduktor, racun korosif, timbulkan iritasi, sentilasi luka dan nyeri, timbulkan bahaya elektronik, karsiogenik, teratogenik mutagenik, etiologik atau biomedik (Satgas Luhpen Narkoba Mabes Polri, 2001 : 5-6).

Bahan berbahaya diklasifikasikan dalam 4 (empat) kelas yaitu :

a. Kelas 1 : Dapat menimbulkan bahaya yang fatal dan luas secara langsung dan tidak langsung, karena sulit penanganan dan pengamanannya.

Contoh: Pestisida, DDT dan lain-lain.

b. Kelas 2 : Bahan yang sangat mudah meledak karena gangguan mekanik. Contoh : Minuman Keras, Spritus, Bensin dan lain-lain.

c. Kelas 3 : Bahan yang bersifat karsinogenik dan mutagenik. Contoh : Zat pewarna, atau pemanis makanan dan lain-lain. d. Kelas 4 : Bahan korosif sedang dan lemah.

Contoh : Kosmetik dan alat kesehatan.

C. Tindak Pidana Narkotika, Psikotropika dan Obat-obat Berbahaya (Narkoba)

1. Tindak Pidana Narkotika

(28)

26

No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dimana dalam undang-undang tersebut menyebutkan dengan jelas hal-hal yang tidak diperbolehkan dan sanksi-sanksi dalam pelanggaran ini. Pasal yang penting tentang Narkotika adalah Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 yang ketentuan pidananya sebagai berikut :

a. Pasal 111 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

b. Pasal 112 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

c. Pasal 113 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). d. Pasal 114 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

e. Pasal 115 ayat (1), menyatakan:

(29)

f. Pasal 116 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

g. Pasal 117 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

h. Pasal 118 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). i. Pasal 119 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

j. Pasal 120 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

k. Pasal 121 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

l. Pasal 122 ayat (1), menyatakan:

(30)

28

pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

m. Pasal 123 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

n. Pasal 124 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

o. Pasal 125 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

p. Pasal 126 ayat (1), menyatakan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Tindak Pidana Psikotropika

(31)

bahwa ecstacy termasuk golongan narkotika. Sebenarnya masalah ecstacy dapat diajukan kepengadilan dengan dasar hukum :

1. Pengedar atau Penjual

a. Pasal 80 (4b), 81 (2) dan UU Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, sanksi pidana 15 tahun dan atau denda Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

b. Pasal 204 KUHP, sanksi pidana 15 tahun menyebabkan orang mati sanksi pidana seumur hidup atau denda 20 tahun.

2. Sedangkan penindakan pada prinsipnya ketentuan pidana dalam UU Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika lebih berat dibandingkan dengan pidana obat keras :

a. Pasal 59, Barangsiapa :

1) Menggunakan psikotropika I selain dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) atau memproduksi dan / atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 atau

2) Mengedarkan psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau

3) Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan atau membawa psikotropika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (Seratus lima puluh juta rupiah). Dan paling banyak Rp. 750.000.000,- (Tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Jika tindak pidana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp. 75.000.000,- (Tujuh puluh lima juta rupiah). Jika pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda Rp. 5.000.000.000, (Lima Milyar) rupiah.

b. Pasal 62, Barangsiapa :

Secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan / atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah). 1) Membantu pengedar / pemakai seperti diskotik, pasal 55 atau 56

(32)

30

2) Penyelundup

Pasal 102 UU Nomor 7 tahun 1995 tentang kepabeanan sanksi pidana 8 tahun dandenda Rp. 500 juta.

3. Tindak Pidana Bahan Berbahaya

Landasan hukum bagi Polri untuk menangani kejahatan ini adalah Undang-undang

No. 23 Tahun 1992 Tentang Bahan Berbahaya. Pasal yang penting dalam

Undang-undang ini adalah sebagai berikut :

1. Pasal 82 (2) Hrf c

Memproduksi, mengedarkan kosmetika tanpa memenuhi standar persyaratan ancaman 5 tahun, denda 100 juta.

2. Pasal 82 (2) Hrf e

Memproduksi, mengedarkan bahan mengandung zat Adiktif tidak memenuhi standar ancaman 5 tahun, denda 100 juta.

3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No : 453 / MENKES / PEN / 1983 Tanggal 16 September 1983 Tentang Bahan-bahan Berbahaya.

D. Faktor yang Mempengaruhi Penyalahgunaan Narkoba

Menurut Djajoesman (1999 : 5-6) Penyalahgunaan narkoba pada umumnya dikarenakan zat-zat tersebut menjanjikan sesuau yang memberi rasa kenikmatan, kenyamanan, kesenangan dan ketenangan , walaupun hal itu sebenarnya dirasakan secara semu, adapun penyalahgunaan tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain :

1. Lingkungan Sosial

(33)

b. Kesempatan, karena kesibukan kedua orang tua maupun keluarga dengan kegiatannya masing-masing atau akibat broken home, kurang kasih sayang. Maka dalam kesempatan tersebut kalangan remaja berupaya mencari pelarian dengan cara menyalahgunakan narkotika, psikotropika dan obat-obat berbahaya.

c. Sarana dan prasarana, sebagai ungkapan rasa kasih sayang terhadap putra-putrinya terkadang orang tua memberikan fasilitas dan uang yang berlebihan, namun hal itu disalahgunakan untuk memuaskan segala keingintahuan dirinya antara lain berawal dari minuman keras kemudian menggunakan narkotika maupun psikotropika.

2. Kepribadian

a. Rendah diri, rasa rendah diri dalam pergaulan masyarakat, karena tidak dapat mengatasi perasaan tersebut maka untuk menutupi kekurangan dan agar dapat menunjukkan eksistensi dirinya, kemudian melakukan dengan cara menyalahgunakan narkotika, psikotropika maupun obat-obat berbahaya sehingga merasa mendapat apa yang diangan-angankan antara lain lebih aktif, lebih berani.

b. Emosional, emosi remaja pada umumnya masih labil apalagi pada masa pubertas, pada masa-masa tersebut biasanya ingin lepas dari ikatan aturan-aturan yang diberlakukan oleh orang tuanya, disisi lain masih ada ketergantungan dengan orang tua untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, sehingga hal itu berakibat timbulnya konflik pribadi.

(34)

32

pada gilirannya tanpa terasa bahwa dirinya telah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika, psikotropika maupun obat-obat berbahaya, karena hal itu apabila tidak dilakukan dirinya merasa tidak dapat mengimbangi perilaku dalam lingkungan dan dirinya merasa diasingkan.

E. Upaya Penanggulangan Kejahatan

Kejahatan merupakan gejala sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap masyarakat di dunia ini. Kejahatan dalam keberadaannya dirasakan sangat meresahkan, disamping itu juga mengganggu ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat berupaya semaksimal mungkin untuk menanggulangi kejahatan tersebut.

Upaya penanggulangan kejahatan telah dan terus dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan sambil terus menerus mecari cara paling tepat dan efektif untuk mengatasi masalah tersebut.

Menurut Barda Nawawi Arief (2007 : 77) bahwa:

“Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan/ upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat”.

Lanjut menurat Barda Nawawi Arief (2007 : 77) ,bahwa:

(35)

Lain halnya menurut Baharuddin Lopa (2001 : 16) bahwa “upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil beberapa langkah-langkah terpadu, meliputi langkah penindakan (represif) disamping langkah pencegahan (preventif).”

Langkah-langkah preventif menurut Baharuddin Lopa (2001 : 16-17) itu meliputi :

a) Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan.

b) Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

c) Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat.

d) Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih meningkatkan tindakan represif maupun preventif.

e) Meningkatan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para pelaksana penegak hukum.

(36)

34

Hal tersebut terkait dengan pandangan Jeremy Bentham (2006 : 307) bahwa yang mengemukakan bahwa “Tujuan hukuman adalah mencegah terjadinya kejahatan serupa, dalam hal ini dapat memberi efek jera kepada pelaku dan individu lain pun untuk berbuat kejahatan.”

F. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar Feit”.Strafbaar Feitterdiri dari 3 (tiga) kata yakniStraf, Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan (Adami Chazawi, 2002: 67).

Dibawah ini akan diberikan pendapat dari ahli hukum pidana mengenai rumusan tindak pidana antara lain:

a. Menurut D. Simon (dalam Sudarto, 1990 : 40) unsur-unsur strafbaar feit adalah:

1. perbuatan manusia (positif atau negatif : berbuat atau tidak berbuat atau mebiarkan),

2. diamcam dengan pidana (straafbaar gesteld), 3. melawan hukum (onrechtmatig),

4. dilakukan dengan kesalahan (wet schuld in verband stund),

(37)

b. Menurut Van Hamel (dalam Sudarto, 1990 : 41) unsur-unsur tindak pidana adalah:

1. perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, 2. melawan hukum,

3. dilakukan dengan kesalahan, dan 4. patut dipidana.

c. Sedangkan menurut H.B. Vos Hamel (dalam Sudarto, 1990 : 41) strafbaar feit hanya berunsurkan:

1. kelakuan (gedraging) manusia,

2. diancam pidana dalam undang-undang.

Diantara sarjana Indonesia tentunya ada yang memberikan pendapat mengapa memilih istilah tersebut sebagai terjemahan dari strafbaar dan feit yang kemudian diterjemahkan. Beberapa pendapat sarjana itu antara lain:

1. Pendapat Moeljatno dan Ruslan Saleh

Prof. Moeljatno (dalam E. Y Kanter dan S. R. Sianturi, 2002 : 206) : memakai istilah ”perbuatan pidana” dengan alasan dan pertimbangan sebagai berikut: a. Hukum, maka di hukum berarti: berech, diadili, yang sama sekali tidak

mesti berhubungan dengan straf, pidana karena perbuatan-perbuatan perdatapun diadili. Maka beliau memilih untuk memakai istilah pidana sehingga singkatan dari yang dapat dipidana.

(38)

36

2. Pendapat Utrecht

Utrect menunjukkuan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena istilah peristiwa itu meliputi perbuatan (handeling atau doen, positif) atau melalaikan (verzuim atau nalaku atau niet - doen, negatif) maupun akibatnya.

3. Pendapat Satochid

Satochid kartanegara (dalam E. Y Kanter dan S. R. Sianturi, 2002 : 206), Satochid memakai istilah perbuatan pidana, karena istilah tindak (tindakan), meliputi pengertian melakukan atau berbuat (actieve handeling) dan atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve handeling).

Kemudian para sarjana tersebut memberikan rumusan tehadap tindak pidana tersebut antara lain:

a. Moeljatno, memberikan rumusan terhadap tindak pidana sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tak boleh atau mengghambat akan tercapainya tata tertib dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh mayarakatn itu. Makna perbuatan pidana secara mutlakl yang termasuk unsur formil, yaitui mencocoki rumusan undang-undang dan unsur materiil yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek sifat melawan hukum (Moeljatno, 1995 : 17).

(39)

c. Wirjono Projodikoro, merumuskan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana dan pelaku itu harus dikatakan merupakan ”subjek”tindak pidana (Wirjono, 1996 : 45).

d. Komariah E.Saprdjaja, merumuskan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu (Chairul Huda, 2006: 25).

Sungguhpun telah banyak rumusan yang telah untuk memberikan batasan defenisi suatu tindak pidana, namun tentu perlu diperhatikan untuk menguraikan adanya unsur-unsur yang melatar belakangi pengertian tersebut. Seperti yang telah diuraikan di atas istilah tindak dari tindak pidana adalah merupakan singkatan dari tindakan atau penindakan. Artinya adalah orang yang telah melakukan suatu tindakan, sedangkan orang yang melakukan itu disebut petindak. Mungkin suatu tindakan dapat dilakukan oleh seseorang dari satu golongan jenis kelamin saja atau seseorang dari golongan yang bekerja pada negara/pemerintah/pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya, atau seseorang dari golongan lainnya. Jadi suatu status atau kwalifikasi seseorang petindak harus ditentukan apakah ia salah seorang dari ”barang siapa” atau seorang dari suatu golongan tertentu.

(40)

38

tindakan tersebut. Atau setidak-tidaknya oleh kepatutan masyarajkat memandang bahwa tindakan itu adalah tercela.

Bentuk hubungan kejiwaan itu dalam hukum pidan disebut kesengajaan an kealpaan. Dengan pendek dapat dikatakan kepada petindak adanya unsur kesalahan. Tindakan yang dilakukan itu haruslah bersifat melawan hukum, dari tindakan tersebut. Setiap tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat, baik yang langsung mauoun tidak langsung terkena tindakan itu.

Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang dipandang merugikan kepentingan umum disamping kepentingan perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Apabila penguasa itu tidak mau turun tangan maka tinakan-tindakan tersebut akan merupakan suatu kekacauan yang tidak akan habis-habisnya. Tidak dapat dijatuhkan pidana karena suatu perbuatan yang tidak termasuk dalm rumusan tindak piana. Ini tidak berarti bahwa selalu dapat dijatuhkan pidana kalau perbuatan itu tercamtum dalam rumusan tindak pidana (delik). Untuk itu diperlukan dua syarat sebagaimana yang telah disinggung di atas, yaitu sifat melawan hukum dan dapat dicela. Dengan demikian rumusan tindak pidana menjadi jelas.

(41)

berada diluar undang-undang atau yang tidak mtertulis. Pembuat undang- undang menjadikan sifat melawan hukum itu menjadi unsur-unsur yang tertulis. Dalam suatu ketentuan pidana, pembuat undang-undang tidak selalu merumuskan perbuatan yang dapat dipidana saja.

Seseorang melakukan suatu tindakan sesuai yang dikehendakinya, dan karenanya merugikan kepentingan umum/masyarakat termasuk kepentingan perseorangan. Lebih lengkap kiranya apabila harus ternyata bahwa tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat, waktu, dan keadaan ditentukan. Artinya dipandang dari suatu tempat, tindakan itu harus terjadi pada suatu tempat dimana ketentuan pidana Indonesia berlaku. Dipandang dari sudut waktu tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu tinakan yang perlu diancam dengan pidana (belum dalawarsa). Dipandang dari sudut keadaan tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan itu dipandang sebagai tindakan tercela. Dengan kata lain suatu tindakan yang dilakukan diluar jangkauan berlakunya ketentuan pidana Indonesia, bukanlah merupakan suatu ketentuan tindak pidana Indonesia.

Dalam perbuatan manusia bukanlah hanya sebatas mempunyai keyakinan atau niat tetapi hanya melakukukan saja dapat dipidana. Perbuatan yang jelas dapat dianggap sebagai perbuatan manusia dan perbuatan badan hukum. Dari uraian tersebut di atas secara ringkas dapatlah disusun unsur-unsur dari tindak pidana, yaitu:

1) Subjek, 2) Kesalahan,

(42)

40

4) Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan undang-undang dan terhadap pelanggarnya dikenakan pidana,

5) Waktu dan tempat keadaan.

Dengan demikian dapatlah dirumuskan pengertian dari tindak pidana berdasarkan unsur-unsur yang telah dijabarkan tersebut, yakni: Suatu tindakan atau perbuatan pada tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang atau yang diharuskan dengan pidana oleh undang-undang dimana perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum dan disertai dengan kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur formal meliputi :

• Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.

• Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.

• Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.

(43)

dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.

• Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.

Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :

• Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).

• Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.

(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin, maka penulis perlu mengadakan pendekatan masalah. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan masalah yaitu : langkah-langkah pendekatan untuk meneliti, melihat, menyatakan dan mengkaji yang ada pada objek penelitian, untuk itu penulis menggunakan 2(dua) cara :

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Penedekatan Normatif yaitu pendekatan dengan cara studi kepustakaan dengan menelaah kaidah-kaidah hukum, undang-undang, peraturan dan berbagai literatur yang kemudian dibaca, dikutip dan dianalisis selanjutnya disimpulkan.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan Empiris yaitu dengan meneliti serta mengumpulkan data primer yang telah diperoleh secara langsung pada objek penelitian melalui wawancara atau interview dengan responden atau nara sumber ditempat objek penelitian yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam pernelitian ini.

B. Sumber dan Jenis Data

(45)

diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1986 : 11).

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama (Soerjono Soekanto, 1984 : 12). Jadi data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan secara langsung pada obejek penelitian yang dituju yaitu Polda Lampung yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara.

2. Data Sekunder

Data Sekunder adalah yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini melaui studi kepustakaan. Data tersebut terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat Peraturan perundang-undangan. Adapun dalam penelitian ini bahan hukum yang penulis pergunakan yaitu :

1) Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. 2) Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 3) Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI.

4) Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(46)

44

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer, dalam hal ini yaitu terdiri dari :

1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia.

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia.

3) Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum Tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, terdiri dari literatur-literatur, media cetak, kamus dan lain-lain yang sesuai dengan objek permasalahan yang diangkat.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

(47)

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi yaitu Aparat Polda Lampung. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dari populasi, penulis melakukan metode wawancara kepada responden yang telah dipilih sebagai sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh responden.

Metode penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti yaitu menggunakan Metode Proporsional Purposive Sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan penunjukkan yang sesuai dengan wewenang atau keudukan sampel (Irawan Suhartono, 1999 : 89). Adapun sampel yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Dit Reserse Narkoba Polda Lampung 2 Orang b. Satuan Kerja Bidang Propam Polda Lampung 1 Orang c. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung 1 Orang d. Dosen Pidana Fakuktas Hukum Universitas Lampung 1 Orang +

Jumlah 5 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam penelitian didalam sebuah penelitian sangat tergantung dari tehnik pengumpulan data dan pengolahan data. Untuk maksud tersebut maka peneliti didalam menulis penelitian ini menggunakan tehnik pengumpulan dan pengolahan data sebagai berikut :

1. Prosedur Pengumpulan Data

(48)

46

a. Studi Kepustakaan

Untuk pengumpulan data sekunder penulis menggunakan studi kepustakaan (Library Research) dengan cara membaca, mempelajari, mengutip serta menelaah literatur-literatur yang menunjang peraturan perundang-undangan dan bacaan yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. b. Studi Lapangan

Pengumpulan data primer dilakukan melalui studi lapangan (Field Research) dengan cara menggunakan metode wawancara terhadap objek penelitian yaitu di Kepolisian Daerah Lampung.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data penelitian ini dilakukan dengan cara :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan penulisan yang akan dibahas.

b. Sistematisasi, yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis.

(49)

d. Tabulasi, yaitu penyusunan data ke dalam bentuk tabel yang telah diproses dan disusun ke dalam suatu pola tertentu agar sesuai dengan tujuan penulisan yang telah dibuat agar tersusun secara berurutan.

E. Analisis Data

(50)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh anggota Polri adalah :

a. Faktor Eksternal, yaitu berupa faktor lingkungan/ pergaulan, faktor pengawasan dan hukuman.

b. Faktor Internal, berupa faktor mental/ kelemahan moral dan kurangnya rasa tanggung jawab atau integritas.

c. Faktor Ekonomi, mengenai faktor ekonomi tentunya dengan maksud memperoleh keuntungan terhadap perbuatannya.

2. Upaya Penanggulangan terhadap Anggota Polri yang Melakukan Penyalahgunaan Narkoba antara lain :

a. Upaya Pre-Emtif, suatu upaya yang dilakukan oleh Polda Lampung sedini mungkin kepada anggota Polri Polda Lampung dengan melakukan kegiatan rutin berupa olahraga dan pembinaan rohani.

(51)

dengan cara merazia tempat-tempat hiburan atau hotel-hotel serta melakukan test urine.

c. Upaya Represif/Penal, dilakukan dengan cara menindak tegas para pelaku penyalahgunaan narkoba yang melibatkan anggota Polri baik langsung maupun tidak langsung sesuai dengan peraturan yang berlaku.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan untuk menanggulangi penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh anggota Polda Lampung adalah sebagai berikut :

1. Memberikan penyuluhan tentang peraturan-peraturan internal (Peraturan Pemerintah No. 1, 2 dan 3 tahun 2003) kepada seluruh anggota Polri di Jajaran Polda Lampung secara rutin dan berkesinambungan.

2. Menindak secara tugas dan tuntas terhadap anggota Polda Lampung yang melakukan penyalahgunaan Narkoba baik melalui proses pidana umum maupun proses secara internal Polri, agar memberikan efek jera kepada anggota Polri dan tidak ada keinginan untuk mencoba-coba narkoba.

3. Atasan yang berhak menghukum (Ankum) harus dapat bertindak tegas apabila menemukan atau mengetahui anggotanya telah melakukan penyalahgunaan narkoba agar selanjutnya dapat diproses sesuai hukum yang berlaku.

(52)

PENYALAHGUNAAN NARKOBA OLEH ANGGOTA POLRI DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

(Studi Pada Polda Lampung) (Skripsi )

Oleh Adi Kurniawan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(53)

Halaman ABSTRAK

RIWAYAT HIDUP MOTTO

PERSEMBAHAN SANWACANA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7

E. Sistimatika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Fungsi, Tugas dan Wewenang Pokok Polri ... 16

B. Pengertian Narkoba dan Penggolongannya ... 21

C. Tindak Pidana Narkoba... 25

D. Faktor yang Mempengaruhi Penyalahgunaan Narkoba ... 30

E. Upaya Penanggulangan Kejahatan ... 32

(54)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah... 42

B. Sumber dan Jenis Data... 42

C. Penentuan populasi dan Sampel... 44

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 45

E. Analisis Data ... 47

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 48

B. Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh anggota Polri ... 50

C. Upaya Penanggulangan terhadap Anggota Polri yang Melakukan Penyalahgunaan Narkoba... 61

V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

(55)

Oleh Adi Kurniawan

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(56)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

---. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Atmasasmita, Romli. 2007. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Refika Aditama. Bandung.

Bentham, Jeremy. 2006. Teori Perundang-undangan (Prinsip-prinsip Legalisasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana). Nuansa. Bandung.

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Dirdjosisworo, Soedjono. 1982.Penanggulangan Kejahatan. Alumni. Bandung.

Djajoesman, Nugroho. 1999. Memberantas Penyalahgunaan Narkoba. BP. Dharma Bhakti. Jakarta.

E. Y Kanter dan S. R. Sianturi. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Storia Grafika. Jakarta.

Hadjar, Ibnu. 1999. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan. Grafindo Persada. Jakarta.

Hamzah, Andi. 1987.Kamus Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Hendrojono. 2005. Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum. Srikandi. Surabaya.

Huda, Chairul. 2006.Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Prenada Media. Jakarta.

(57)

Bintang. Jakarta.

Mabes Polri. 1996. Rencana Induk Polri Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Jakarta.

Mabes Polri, Satgas Luhpen Narkoba. 2001. Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba. PT. Tempo Scan Pacific Tbk. Jakarta.

Moeljatno. 1993.Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

---. 1995. Perbuatan Pidana dan Pertanggunjawaban dalam Hukum Pidana. Yayasan Penebit Gajah Mada. Yogyakarta.

Poerwadarminta, W.J.S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta.

Salim, Peter dan Yenni Salim. 2002. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Publish Press. Jakarta.

Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa. 2001. Kriminologi. PT Rajagrafindo Perkasa. Jakarta.

Singarimbun, Masri. 1987.Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta.

Soekanto, Soejono. 1984.Penelitian Hukum Normatif.Rajawali Press. Jakarta. ---. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Sudarto. 1986.Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

---. 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Suhartono, Irawan. 1999.Metode Penelitian Sosial.Alumni. Bandung.

Sumaryono, E. 1995. Etika Profesi Hukum, Norma-norma Bagi Penegak Hukum. Kanisius. Yogyakarta.

Wirjono. 1996.Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Eresco. Jakarta.

Gambar

Tabel 1. Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia Tahun 2009-2011

Referensi

Dokumen terkait

Selain dipengaruhi oleh tekstur, jumlah air yang dapat digunakan oleh tanaman juga dipengaruhi oleh struktur, kandungan bahan organik, kedalaman tanah dan

A. 03 Senin BI 401 PERENCANAAN PENGAJARAN BI HARI Kode Hari dan Jam PBSI SEMESTER 3C Jumat Rabu Ruang Ruang Ruang Kamis Jum'at Rabu HARI Kode Hari dan Jam

Penelitian bertujuan menganalisa penyebab munculnya persamaan nomor sertipikat pada obyek tanah yang berbeda dan mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap

Nama-nama WNA yang berasal dari Asia Tenggara dan tercantum dalam Lampiran Keputusan dapat mengikuti kegiatan AICIS dan wajib mempresentasikan karya ilmiah

Dan urang dalam arti kriteria orang yang “ideal” dalam konstruksi nilai masyarakat Minangkabau, dalam pemaknaan ini, kata urang tidak berdiri sendiri, biasanya

METHODS OF TRANSLATI NG IDIOM“ IN A “HORT “TORY THE HOUND OF DEATH BY AGATHA CHRI“TIE INTO ANJING KEMATIAN BY TANTI LE“MANA..

[r]

After performing regression testing, the result shows that almost all variables are affecting employees’ attitude toward union membership except horizontal collectivism