• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan"

Copied!
261
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

LINA WARLINA. Model of Pollution Impact for Policy Design in Controlling

Dioxin/furan (Case study : Metal (Ferrous and Non Ferrous) Industry in Cilegon)

ERLIZA NOOR, as Chairman; AKHMAD FAUZI. RUDY C. TARUMINGKENG. and

SURJONO H. SUTJAHJO. as Members of the Advisory Committee.

Industrial development, not only produces positive impact, but also the negative

ones, that is the existence of pollution. Metal industy produce dioxin/furan air pollution

that POP’s (Persistent Organic Pollutans) group. Dioxin/furan adversely affect living

organism, both long term or short term.

This research generally aim at developing a model of the impact of dioxin/furan

pollution on environment, social and economy, in order to provide inputs upon the policy

governance in controlling dioxin/furan pollution. Specific steps were executed for to

estimate/calculate the emission of dioxin/furan discharged from metal industry;

development dynamic model and computing the level of emission impact of dioxin/furan

on social, economy and environment factors; analyzing and calculating economic loss on

the impact of dioxin/furan pollution; and establishing the concept of the policy for

decreasing dioxin/furan pollution. The methods used in this research were the emission

factor, dispersion method, system dynamics and Multi Criteria Decision Analysis

(MCDA).

The result of the research showed that the dioxin/furan emission in the assessed

area had reached 9.38–13.54 gTEQ per year for the annual production as much as

1.874– 2.152 millions ton. Based on the simulation outcome, provided that if there was

no emission reduction policy, the result would be an emission increase of 278% from

1995 up to the end of 2025, a decrease in the air quality by 0.45–0.49; 1,092 potential

cancer cases, as well as the social cost of Rp. 5.86–358.16 billions. However, by the

emission reduction of 46.1%, there would be a significant improvement.

Based on MCDA analysis, the best alternative policy is environmental-based

policy, compared to “Do Nothing” and “economic-based policy”. Environmental-based

policy, that are control and reduction of dioxin/furan emission may be conducted by

Command and Control (CAC) and Economic Instrument (EI) policy system. On CAC,

there should be emission standard to be determined, as well as ambient concentration and

the utilized technology; while on IE, there should be a penalty for the industry going

beyond the limit.

(2)

MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

UNTUK PENATAAN RUANG

DALAM KERANGKA

PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN

(Studi Kasus Kabupaten Bandung)

LIA WARLINA

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Bandung) merupakan karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2007

Lia Warlina

(4)

ABSTRAK

LIA WARLINA. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Bandung). Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, RALDI H KOESTOER dan HARTRISARI HARDJOMIDJOJO.

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam skala global, nasional maupun lokal, mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung baik secara lokal, nasional maupun global. Penyebab dan dampak perubahan ruang berbeda-beda di setiap wilayah bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga diperlukan suatu simulasi dan analisis. Model perubahan penggunaan lahan yang memprediksi penggunaan di masa mendatang, dapat dijadikan suatu masukan untuk kegiatan penataan ruang.

Tujuan penelitian adalah untuk membangun model perubahan penggunaan lahan untuk konsep penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di wilayah Kabupaten Bandung. Tahapan penelitian adalah dengan melakukan pemodelan spasial menggunakan CLUE-S (Conversion of Land Use Change and its Effect at small regional extent) dengan waktu simulasi 20 tahun. Selanjutnya, dilakukan perhitungan tingkat keberlanjutan dengan menggunakan

Wellbeing Index. Hasil kedua tahap ini, selanjutnya dijadikan input dalam analisis prospektif dengan metode lokakarya.

Pemodelan CLUE-S menggunakan enam skenario, yang merupakan kombinasi dari demand module dan spatial policy. Hasil terbaik adalah skenario ke enam dengan skenario demand module setengah nilai perubahan penggunaan lahan eksisting dan spatial policy cagar alam dan kawasan lindung. Hasil dari analisis keberlanjutan pembangunan wilayah, menunjukkan wilayah kajian tidak berkelanjutan. Analisis prospektif memberikan hasil tujuh faktor yang menjadi faktor kunci yaitu kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, perencanaan, tingkat pendapatan masyarakat, status kepemilikan lahan, kebijakan pemerintah dan alokasi dana pembangunan. Berdasarkan faktor kunci tersebut diperoleh skenario agak optimis untuk berkelanjutan dari penataan ruang. Faktor kunci yang perlu didorong agar skenario yang terjadi lebih optimal adalah tingkat pendidikan. Implikasi skenario agak optimis memberikan dampak positif pada perubahan penggunaan lahan untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Model perubahan penggunaan lahan dan informasi tingkat berkelanjutan wilayah dapat merupakan pelengkap dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai produk dari perencanaan wilayah. Perencanaan wilayah tersebut merupakan bagian dari penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan.

(5)

ABSTRACT

LIA WARLINA. Land use change modeling for spatial use management in term of regional sustainable development (with special reference to Bandung Region). Under the direction of HADI S ALIKODRA, RALDI H KOESTOER and HARTRISARI HARDJOMIDJOJO.

Land use change in global, national and local scale has direct impact. The causes and impact of the changes are different in each region and depend on factors influenced. So that, simulation is required to predict future land use change. The future land use information will be beneficial to be applied for spatial use management.

The objective of the study was to build land use change model for spatial use management in term of regional sustainable development in Bandung region. The first step was spatial modeling using CLUE-S (Conversion of Land Use Change and its Effect at small regional extent) with time frame of 20 years. The next step was sustainability analysis using well being index. The result of the two steps, then, became an input for prospective analysis workshop.

The CLUE-S model used six scenarios those were combinations of demand module and spatial policy. The best scenario was scenario six, with demand module a half of existing land use change rate and spatial policy by protected area and preserving area. The result of sustainability analysis showed that Bandung regional development was not sustainable. Prospective analysis gave seven key factors i.e. population density, educational level, planning, income, land tenure, policy and development fund allocation. Based on these factors, scenario rather optimistic was chosen for sustainable spatial use management. The factor that must be drove or pushed was educational level. The implication of the scenario will give positive impact to the sustainable spatial use management. Land use change model and regional sustainability information can complement spatial regional planning.

(6)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(7)

MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

UNTUK PENATAAN RUANG

DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN

WILAYAH YANG BERKELANJUTAN

(Studi Kasus Kabupaten Bandung)

LIA WARLINA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R

B O G O R

(8)

Judul Disertasi : Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

(Studi Kasus Kabupaten Bandung ) Nama Mahasiswa : Lia Warlina

NIM : P. 026010161

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua

Dr. Raldi Hendro Koestoer, MSc. APU Anggota

Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam & Lingkungan

Dr. Ir.Surjono H. Sutjahjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia yang dilimpahkanNya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan, meskipun waktu penyelesaiannya lebih lama daripada waktu yang seharusnya. Penelitian dilakukan sejak Januari 2004 sampai Januari 2006. Tema yang dipilih adalah pemodelan spasial dengan judul disertasi: Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Bandung).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing juga kepada Dr. Raldi Hendro Koestoer, MSc, APU dan Dr. Ir. Hartrisari H Hardjomidjojo, DEA selaku anggota komisi pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada Tom Veldkamp dan Peter Verburg dari Wageningen University, yang telah memberikan ijin untuk menggunakan software CLUE-S. Penghargaan yang sama disampaikan kepada Hari Tri Budianto, MS dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia, yang telah membantu memproses data citra dan GIS. Penulis mengucapkan terima kasih pula untuk Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bandung yang telah memfasilitasi kegiatan lokakarya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2007

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 26 Agustus 1961 sebagai anak sulung dari lima bersaudara, dari pasangan Kamulyan Agma dan Almarhumah Wangsih Sali. Pendidikan sarjana ditempuh pada jurusan Agrometeorologi Institut Pertanian Bogor, dan lulus pada tahun 1984. Pada tahun 1991 selama satu tahun mengikuti program post graduate diploma dalam Agricultural Sciences di Melbourne University. Tahun 1998 mengikuti program pasca sarjana pada ilmu geografi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia, dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2001 mengikuti program S3 pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) dengan peminatan Kebijakan Manajemen Lingkungan (KML).

Sejak tahun 1986, penulis telah menjadi pegawai negeri di lingkungan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah IV, dipekerjakan pada Sekolah Tinggi Pertanian Bandung sampai tahun 1993. Sejak tahun 1994 dipekerjakan pada Institut Teknologi Adityawarman (ITA) Bandung. Sejak tahun 2002 mengajar pada jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL . . . xi

DAFTAR GAMBAR . . . xiii

DAFTAR LAMPIRAN . . . xv

I. PENDAHULUAN . . . 1

1.1. Latar Belakang . . . 1

1.2. Tujuan Penelitian . . . 4

1.3. Kerangka Pemikiran . . . 5

1.4. Manfaat Penelitian . . . 7

1.5. Novelty. . . 7

II. TINJAUAN PUSTAKA . . . 8

2.1. Sistem dan Model. . . 8

2.2.Analisis Prospektif dan Kaitannya dengan Strategi. . . 10

2.3. Tata Ruang . . . . . . 13

2.3.1. Konsep Analisis Keruangan. . . .. . . 13

2.3.2. Penataan Ruang dan Regulasi Tata Ruang. . . 16

2.4. Penggunaan Lahan dan Pemodelan Perubahannya . . . 18

2.4.1. Penggunaan Lahan . . . 18

2.4.2. Model Perubahan Penggunaan Lahan . . . 20

2.4.2.1. Conversion of Land Use and its Effect (CLUE) . . . 21

2.4..2.2. Conversion of Land Use & its Effect at Small regional Extent (CLUE-S) . . . 25 2.5. Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan. . . 30

2.5.1. Pembangunan Berkelanjutan . . . .. . . 30

2.5.2. Metode-metode Analisis Keberkelanjutan . . . .. . . 31

2.5.2.1. Sustainable Development Indicators. . . 31

2.5.2.2. Ecological Footprint . . . 32

2.5.2.3. Environmental Sustainability Index . . . 34

2.5.2.4. Wellbeing Index (Indeks Kesejahteraan) . . . 35

III. METODE PENELITIAN . . . 39

(12)

3.2. Formulasi Permasalahan. . . 39

3.3. Rancangan Penelitian. . . 41

3.3.1. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan. . . 43

3.3.1.1. Metode Pengumpulan Data . . . 43

3.3.1.2. Pelaksanaan Pemodelan . . . 45

3.3.1.2. Metode Analisis Data . . . 48

3.3.2. Penghitungan Indeks Keberlanjutan Kabupaten Bandung . . . 49

3.3.3. Analisis Prospektif untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan. . . 51 3.3.3.1. Metode Pengumpulan Data . . . 51

3.3.3.2. Metode Analisis Data . . . 51

3.4. Definisi Operasional. . . 53

IV. KEADAAN UMUM. . . 54

4.1. Regulasi Penataan Ruang . . . 54

4.2. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung . . . 55

4.3. Penggunaan Lahan Eksisting Kabupaten Bandung . . . . . . 57

4.4. Keadaan Sosial Ekonomi dan Geofisik Wilayah. . . . . . . 59

V. HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 62

5.1.. Model Perubahan Penggunaan Lahan. . . . . . 62

5.2. Pembangunan Wilayah Berkelanjutan . . . 76

5.3. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk. Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan. . . 80 5.3.1. Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan . . . 80 5.3.2 Implikasi Skenario dan Rekomendasi pada. Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan di Kabupaten Bandung. . . 86 5.3.3 Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk. Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan di Kabupaten Bandung. . . 90 VI. KESIMPULAN DAN SARAN . . . 95

6.1. Kesimpulan . . . 95

6.2. Saran . . . 96

DAFTAR PUSTAKA . . . 97

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1 Penggunaaan Lahan di Indonesia Tahun 1993 -1997 (000 ha) . . . 19 2 Klasifikasi Model Perubahan Penggunaan Lahan (Briassoulis 2000) 21 3 Kelas penggunaan lahan dan variabel yang digunakan dalam

pemodelan CLUE di Pulau Jawa (Verburg et al.1999) . . . 24

4 Pengklasifikasian ulang penggunaan lahan di Pulau Sibuyan,

Filipina (Soepboer 2001) . . . 27

5 Faktor driver pada penelitian perubahan penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina (Soepboer 2001) . . .

27

6 Ecological Footprint Dunia dan Indonesia tahun 2001 (Wackernagel

et.al. 2004) . . . 33

7 Nilai dan peringkat wellbeing index Indonesia (Prescott-Allen 2001) 37 8 Kekuatan dan Kelemahan Metode-metode Pengkajian Keberlanjutan

(CSD 2001, Wackernagel & Rees 1996, Bell & Morse 2003, Prescott-Allen 2001) . . .

38

9 Metode Pengumpulan Data Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan (Kabupaten Bandung) . . .

46

10 Matriks konversi setiap penggunaan lahan (Verburg et al. 2002) . . . 47 11 Nilai stabilitas (Verburg et al. 2002) . . . 47 12 Persentase luas perubahan penggunaan lahan di Wilayah Kabupaten

Bandung (Hasil analisis) . . . 48

13 Penentuan skor untuk indikator dalam perhitungan Wellbeing Index (Omar 2003, Prescott-Allen 2001) . . . .. . .

50

14 Standar Nilai dari Wellbeing/Stress Index (WSI) (Omar 2003, Prescott-Allen 2001) . . .

51

15 Luas Penggunaan Lahan Eksisting Kabupaten Bandung (Hasil analisis). . .

59

16 Jumlah dan Kepadatan Penduduk di wilayah Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung pada tahun 2003 (BPS 2003). . .

61

17 Distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam persen Kabupaten Bandung tahun 2001, 2002, 2003 (BPS 2003) . . .

62

18 Skenario-skenario yang digunakan dalam pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan wilayah Kabupaten Bandung. . .

(14)

19 Hasil analisis regresi logistik biner untuk nilai β dari penggunaan lahan . . .

65

20 Hasil analisis regresi logistik biner untuk nilai Exp (β) dari penggunaan lahan . . .

66

21 Perhitungan Wellbeing Index (Indeks Kesejahteraan). . . 77 22 Indeks keberlanjutan Kabupaten Bandung . . . 77 23 Faktor dan karakteristik faktor yang terlibat pada penataan ruang

dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (Hasil analisis) . 81

24 Keadaan faktor kunci pada penyusunan startegi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan. . .

84

25 Skenario penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung. . .

85

26 Hasil penelitian skenario untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung . .

(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1 Kerangka pemikiran penataan ruang dalam kerangka pembangunan

wilayah yang berkelanjutan (modifikasi dari Verburg et al.2002, Prescott-Allen 2001, dan UU No. 24 tahun 1992) . . .

6

2 Tahapan dari Analisis Prospektif (Hatem 1993) . . . 11 3 Tahapan pembangunan skenario (Godet et al. 1999) . . . 12 4 Jenis data spasial dalam analisis keruangan (Martin 1991) . . . 14 5 Dua bentuk tidak beraturan dalam bentuk raster dan vektor (Martin

1991) . . . 14

6 Struktur Umum dari Model CLUE (Veldkamp et.al. 2000) . . . 22 7 Hasil Pemodelan dengan CLUE di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp

& Bouma. 1999) . . . 23

8 Perbedaan Skala Aplikasi dan Struktur Data dari CLUE dan CLUE-S (Verburg et al. 2002) . . .

24

9 Tradeoff diantara tiga tujuan utama dari sustainable development (Munasinghe 1993) . . .

31

10 Nilai Environmental Sustainability Index Indonesia (Yale Center for Environmental Law and Policy 2005) . . . . . .

35

11 Keberlanjutan yang dimetaforakan oleh sebuah telur (Prescott-Allen 2001). . .

36

12 Barometer Keberlanjutan dari beberapa negara termasuk Indonesia (Prescott-Allen 2001). . .

37

13 Peta Kabupaten Bandung sebagai lokasi studi . . . 40 14 Tahapan penelitian (Modifikasi dari Verburg et al 2002 dan

Prescott-Allen 2001) . . . 42

15 Diagram penentuan skor pengaruh antar faktor . . . 52 16 Grafik tingkat ketergantungan dan pengaruh untuk posisi

faktor-faktor pada analisis prospektif (Godet 1999). . . 52

17 Pembagian Zona Metropolitan Bandung (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat 2005) . . .

58

18 Peta penggunaan lahan eksisting wilayah Bandung tahun 2003 (interpretasi citra) . . .

(16)

19 Grafik jumlah penduduk Kabupaten Bandung dan seluruh wilayah Bandung (Kota Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung) tahun 1983- 2003 (BPS 1983-2003). . .

61

20 Simulasi pemodelan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 sampai 2023 dengan skenario pertama. . .

67

21 Simulasi pemodelan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 sampai 2023 dengan skenario kedua. . .

68

22 Simulasi pemodelan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 sampai 2023 dengan skenario ketiga. . .

70

23 Simulasi pemodelan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 sampai 2023 dengan skenario keempat . . .

71

24 Simulasi pemodelan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 sampai 2023 dengan skenario kelima . . .

72

25 Simulasi pemodelan perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 sampai 2023 dengan skenario keenam. . .

74

26 Barometer keberlanjutan untuk wilayah Kabupaten Bandung (Hasil perhitungan) . . .

78

27 Hubungan kualitas hidup dengan daya dukung lingkungan alamiah (Chambers 2002). . .

79

28 Hasil perhitungan tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan . . .

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Indikator dari Pembangunan yang Berkelanjutan (CSD 2001) . . . . . 104

2 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah & Kepadatan Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi (BPS 2003) . . . 107

3 Persentase tingkat pendidikan di Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi (BPS 2003) . . . 108 4 Persentase kondisi tempat tinggal rumah tangga di Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi (BPS 2003) . . . 109 5 Persentase penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian dan non pertanian di Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi (BPS 2003) . . . 110 6 Variabel dependen & independen . . . 111

7 Peta sosial ekonomi wilayah . . . 112

8 Peta geofisik, iklim dan aksesibilitas . . . . 113

9 Peta geologi binari . . . 114

10 Peta binari untuk jenis tanah . . . 115

11 Spatial policy yang digunakan pada pemodelan dengan CLUE-S . . . 116

12 File demand.in 1 dan 2 . . . 117

13 Matriks Regulasi Tata Ruang (Hasil inventarisasi) . . . 118

14 Perhitungan Wellbeing Index untuk wilayah Kabupaten Bandung . . 122

(18)
(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepedulian masyarakat dunia terhadap kerusakan lingkungan baik global maupun regional akibat adanya pembangunan ditandai dengan diselenggarakannya Konferensi Stockholm tahun 1972, dengan tema hanya satu bumi. Sepuluh tahun kemudian digagas konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan ini merupakan konsep upaya pemenuhan kebutuhan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumberdaya tanpa mengurangi potensi generasi selanjutnya untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut (Grunkemeyer & Moss 1999).

Pembangunan adalah mengelola sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sejalan dengan perkembangan teknologi maka kebutuhan konsumsi untuk kebutuhan manusia meningkat. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Paul dan Holdren tahun 1972 (Gans & Jost 2005) yang mengemukakan IPAT model. Berdasarkan IPAT model ini maka Impact (dampak) merupakan perkalian dari Population (penduduk) dengan Affluence (kemakmuran) dan Technology

(teknologi), atau IPAT = Population X Affluence X Technology (Chambers, Simmon & Wackernagel 2002). Menurut model ini, dampak lingkungan merupakan hasil perkalian dari jumlah penduduk atau konsumen, dengan tingkat konsumsi (affluence) dan tingkat teknologi.

Lahan merupakan sumberdaya alam yang mendukung kehidupan, yang merupakan permukaan terluar dari bumi. Sifat biofisik lahan yang menggambarkan tujuan penggunaan lahan disebut land use atau guna lahan, atau penggunaan lahan (Briassoulis 2000). Penggunaan lahan disebut pula sebagai penggunaan tanah, yang menurut Sandy (1999) merupakan terminologi yang sama dengan penggunaan ruang atau tata ruang.

(20)

Pulau Jawa. Perkembangan penduduk kota terjadi dengan laju dan jumlah yang lebih tinggi di wilayah pinggir kota-kota besar, daripada di pusatnya (core), yang berakibat pada lahan pertanian yang subur di pinggiran kota beralih fungsi menjadi kawasan perkotaan (Firman 2004).

Sementara itu, permasalahan lahan di Indonesia, adalah terdapatnya konflik pertanahan antar pihak seperti antara lembaga pemerintah dan rakyat, antara rakyat dengan lembaga tertentu, antara rakyat dengan investor, diantara rakyat sendiri bahkan diantara lembaga pemerintah. Konflik terjadi di hampir semua sektor seperti industri, pariwisata, pertambangan, kehutanan dan sebagainya. Masalah kedua adalah, kepemilikan lahan terkonsentrasi pada sekelompok orang. Masalah ketiga adalah lemahnya jaminan perlindungan kepemilikan lahan, terutama pada golongan miskin (Solihin 2004).

Perubahan penggunaan lahan di Indonesia cukup tinggi, yaitu 1.000.000 hektar per tahuan merupakan permasalahan yang berdampak pada kerusakan lingkungan (BKTRN 2003). Aspek penggunaan lahan atau tata ruang merupakan aspek yang penting, karena itu perlu dilakukan suatu studi atau penelitian yang mengkaji aspek tersebut agar dapat menentukan strategi atau langkah untuk mengantisipasi dampak-dampak yang mungkin terjadi.

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam skala global, nasional maupun lokal, mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung baik secara lokal, nasional maupun global. Penyebab dan dampak perubahan ruang berbeda-beda di setiap wilayah bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga diperlukan suatu simulasi dan analisis. Masalah penggunaan lahan adalah masalah keruangan atau spasial, sehingga pendekatan analisisnya perlu dengan analisis spasial. Kegiatan penataan ruang merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kegiatan penataan ruang ini memerlukan analisis spasial dan analisis non spasial.

(21)

melampaui daya dukungnya. Penelitian yang dilakukan adalah dengan pendekatan kondisi sumberdaya alam (lahan) melalui pemodelan perubahan penggunaan lahan. Berdasarkan dengan pemodelan yang digunakan, dilakukan perkiraan penggunaan lahan dimasa mendatang. Penggunaan lahan yang diduga tersebut berdasarkan pada gambaran penggunaan lahan di masa lalu dihubungkan dengan faktor penyebab terjadi perubahan penggunaan lahan.

Perencanaan tata ruang bertujuan untuk mengalokasikan ruang guna memenuhi kebutuhan pembangunan di masa depan. Hasil pembangunan tersebut diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat. Tolok ukur keberhasilan pembangunan yang diperoleh manusia adalah human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (UNDP 2004). Tolok ukur ini, hanya berorientasi kepada manusia (antropocentris). Pada penelitian ini, pendekatan untuk melihat hasil pembangunan tidak hanya dilihat pada aspek manusia saja, tetapi aspek lingkungan (ekosistem). Karena itu, dicari pendekatan yang dapat menggambarkan keadaan tersebut.

Otonomi yang diberikan kepada daeah (kabupaten dan kota) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, memberikan kewenangan kepada kabupaten dan kota. Kewenangannya tersebut adalah dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan, serta menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang. Dampak positif dari kewenangan ini adalah kabupaten dan kota berlomba untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). PAD menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan yang berakibat pada adanya ketimpangan antara desa dan kota serta terjadi peningkatan (semakin intensif) eksploitasi sumberdaya alam.

(22)

spasial ini meliputi tidak efisiennya penggunaan lahan tertentu, penggunaan lahan tidak sesuai dengan peruntukkan serta tingginya konversi kawasan tidak terbangun menjadi terbangun. Permasalahan tata ruang ini berdampak pada permasalahan lingkungan seperti banjir, kekeringan, erosi, longsor dan turunnya muka air tanah. Bila permasalah lingkungan tersebut tidak dikaji secara menyeluruh maka kondisi wilayah Kabupaten Bandung akan semakin parah.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dilakukan penelitian dengan judul “Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan”. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah menganalisis secara spasial perubahan penggunaan lahan, melakukan simulasi perubahannya berdasarkan skenario yang telah ditetapkan. Hasil pemodelan ini digunakan sebagai masukan dalam pengembangan penataan ruang wilayah. Aspek non spasial dalam penataan ruang wilayah dilakukan dengan menganalisis keberlanjutan pembangunan wilayah. Pada bagian akhir penelitian, para stakeholder dilibatkan dalam menentukan faktor kunci dari faktor yang telah diperoleh pada penelitian awal (spasial dan non spasial), para stakeholder menambahkan pula faktor yang belum teridentifikasi. Hasil dari pertemuan dengan para stakeholder adalah faktor kunci yang memegang peranan penting dalam penelitian.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk membangun model perubahan penggunaan lahan untuk konsep penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di wilayah Kabupaten Bandung. Tujuan penelitian di atas dapat dicapai melalui tujuan-tujuan antara yang meliputi:

1. Mengevaluasi kesenjangan rencana tata ruang wilayah dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan.

2. Membangun model perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung dengan menggunakan beberapa skenario.

3. Menganalisis tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah.

(23)

1.3. Kerangka Pemikiran

Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Tata ruang dapat ditunjukan atau digambarkan dengan penggunaan lahan. Penggunaan lahan aktual merupakan informasi yang penting dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan tahun-tahun sebelumnya bila dioverlay atau ditumpang susunkan dengan penggunaan lahan aktual, dapat memberikan informasi perubahan penggunaan lahan. Metode overlay ini menggunakan geographic information system (GIS). Informasi ini tidak dapat memprediksi dimana dan seberapa perubahan yang mungkin dimasa mendatang. Verburg et al. (2002) menggabungkan GIS dengan analisis sistem dinamis untuk memodelkan perubahan penggunaan lahan. Pemodelan ini menggunakan data sosial ekonomi serta biofisik wilayah yang telah dispasialkan dan dengan menggunakan skenario yang telah ditetapkan dapat diprediksi penggunaan lahan dimasa mendatang.

Informasi atau data sosial ekonomi wilayah yang ada dapat menggambarkan pembangunan wilayah dengan menggunakan human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (UNDP 2004). Bila informasi biogeofisik wilayah ini disandingkan dengan informasi pembangunan maka gambaran pembangunan wilayah menjadi lebih lengkap tidak hanya dari aspek manusia saja tetapi sudah melihat aspek lingkungan (Prescott-Allen 2001). Pembangunan wilayah berkelanjutan dianalisis dengan mempelajari aspek sosial ekonomi dan biogeofisik wilayah melalui analisis keberlanjutan. Hal ini dapat memberikan gambaran tingkat keberlanjutan pembangunan dari wilayah yang dianalisis. Informasi tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah merupakan informasi penting dalam penataan ruang.

(24)

Pembangunan wilayah

yang berkelanjutan Model perubahan

penggunaan lahan

Penggunaan lahan aktual

Sosek wilayah

Biogeofisik wilayah

Analisis keberlanjutan (sustainability)

Simulasi dengan skenario

Penggunaan lahan mendatang

Tingkat keberlanjutan pembangunan

wilayah

Penataan Ruang

RTRW

Kedua aspek spasial dan non spasial dalam penataan ruang akan dibahas bersama para stakeholder. Pembahasan meliputi faktor yang ditemukan dalam penelitian awal pada aspek spasial (perubahan penggunaan lahan) dan aspek non spasial (pembangunan wilayah, analisis keberlanjutan, regulasi tata ruang dan kelembagaan), akan menjadi faktor penting atau ada faktor lain yang belum termasuk. Keseluruh faktor yang teridentifikasi, dikaitkan dengan kegiatan penataan ruang untuk membangun konsep penataan ruang dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan. Kerangka pemikiran tersebut diatas digambarkan dalam bentuk diagram (Gambar 1).

(25)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan adalah terhadap ilmu pengetahuan, para stakeholders dan pemerintah.

− Bagi ilmu pengetahuan agar dapat menambah khasanah ilmu bidang lingkungan terutama penataan ruang dan pembangunan wilayah berkelanjutan. − Bagi stakeholder dalam pengambilan keputusan pada penataan ruang dalam

kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan.

− Bagi Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan acuan untuk menetapkan suatu kebijakan.

1.5. Novelty (Kebaruan)

Novelty atau kebaruan dari penelitian ini terdapat pada pendekatan

(approach) yang digunakan dan objek penelitian. Pendekatan yang dilakukan

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem dan Model

Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. (Eriyatno 1999). Berdasarkan definisi ini tergambarkan bahwa dalam sistem terdapat elemen-elemen / unsur-unsur, ada hubungan keterkaitan dan ada tujuan-tujuan. Usaha untuk menggambarkan, menganalisis, menyederhanakan atau menunjukkan sistem dapat ditunjukkan oleh model berdasarkan pada teori. Model yang baik harus dapat menggambarkan sifat penting dari sistem yang dimodelkan. Model merupakan pengganti dari suatu sistem yang nyata. Model digunakan bila bekerja dengan pengganti tersebut lebih mudah dibandingkan dengan sistem aktual. Contoh model adalah: cetak biru arsitekur suatu gedung, grafik pekerjaan analisis ekonomi (Ford 1999).

Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik (sebab akibat). Karena model merupakan abstraksi dari suatu realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap bila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas itu sendiri (Marimin 2005).

(27)

Model matematik melibatkan fungsi dan angka dalam menggambarkan sistem, model ini sering disebut dengan model komputer atau model numerik. Di lain pihak bila solusi analitis yang akan diperoleh dapat digambarkan dengan kombinasi dari berbagai fungsi matematis dasar, model ini disebut dengan model analitis. Model matematis ini dapat dikelompokan dalam dua bagian yaitu model statis dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu. Model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model (Eriyatno 1999).

Penyelesaian suatu permasalahan yang mempunyai tiga karakter yaitu kompleks, dinamik, dan probabilistik disarankan untuk menggunakan pendekatan sistem. Kompleks mengandung arti interaksi antar elemen cukup rumit. Sedangkan dinamik berarti faktornya berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan. Sementara probabilistik adalah diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.

Penelitian dengan pendekatan sistem meliputi delapan unsur yaitu: (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) suatu tim yang multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non-kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimisasi, dan (8) aplikasi komputer. Metode dengan pendekatan sistem pada prinsipnya melalui enam tahap yaitu: analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial & politik, dan penentuan kelayakan secara ekonomi dan finansial. Keenam langkah ini umumnya dilakukan dalam suatu kesatuan yang disebut dengan analisis sistem (Djojomartono 1993).

(28)

dan jangka pendek (Forrester 1995). Berdasarkan kajian pustaka tersebut, dapat dijelaskan bahwa model merupakan representasi dari sistem yang kompleks. Aspek penataan ruang, pembangunan wilayah dan masalah perkotaan dapat dianalisis dengan pendekatan sistem. Aspek penataan ruang dapat dikategorikan sistem sosial, sehingga pendekatannya menggunakan metode soft system bukan sistem fisik atau hard system. Salah satu tool untuk analisis pada soft system ini adalah analisis prospektif (Godet 1999).

2.2. Analisis Prospektif dan Kaitannya dengan Strategi

Analisis prospektif adalah suatu cara atau pendekatan untuk menganalisis beragam kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan, berdasarkan situasi saat ini. Analisis prospektif tidak sama dengan peramalan karena situasi saat ini tidak dapat digunakan untuk meramal masa depan.

La prospective berasal dari Bahasa Perancis yang bila diterjemahkan ke

dalam Bahasa Inggris menjadi a preactive and proactive approach atau bila diterjemahkan dalam satu kata yang sepadan adalah foresight karena kata

proactivity jarang digunakan (Godet 1999). Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “tinjauan ke masa depan”. Pendekatan prospektif menekankan pada proses-proses evolusi jangka panjang, sehingga dimensi waktu menjadi salah satu unsurnya. Analisis prospektif ini adalah salah satu dari metoda dengan pendekatan sistem atau pendekatan holistik.

Tujuan dari analisis prospektif adalah : (1) untuk mendefinisikan tujuan pembangunan jangka panjang dari sistem yang dipelajari, (2) untuk menentukan strategi yang akan diikuti agar sistem mencapai tujuan. Strategi berupa rangkaian keputusan yang penting untuk mencapai tujuan dan dugaan untuk memperkirakan interaksi yang mungkin sebagai akibat dari setiap keputusan; dan (3) untuk menterjemahkan strategi kedalam perencanaan, tujuan umum dan strategi yang muncul dari analisis prospektif yang berguna untuk menentukan prioritas dalam proses perencanaan (Treyer 2003)

(29)

langkah yang harus dilakukan dalam analisis prospektif, yaitu: (1) mengidentifikasi faktor penentu di masa depan, (2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama, serta (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan.

Gambar 2 di atas menggambarkan tahapan analisis prospektif yang dikemukakan oleh Hatem (1993). Tampak bahwa terdapat tiga langkah utama

Desain organisasi Lingkungan, ekonomi,

teknologi, sosial, politik

Pembatasan sistem

Variabel kunci

Cara analisis:

− Kecenderungan

− Perubahan

− Pelaku-pelaku Konstruksi dasar

Hipotesa dasar pada evolusi variabel dan strategi pelaku

Merinci skenario Memilih kemungkinan di masa depan

Memilih strategi tindak

Skenario

− Pembangunan

− Citra

Strategi tindak

(30)

dalam tahapan analisis prospektif yaitu membangun dasar, merinci skenario dan memilih strategi tindak. Selanjutnya secara lebih eksplisit adalah penjelasan mengenai tahapan dalam pembangunan skenario yang diungkapkan oleh Godet et al (1999). Skema dari tahapan ini digambarkan pada Gambar 3 berikut.

Workshop Prospektif Masalah dirumuskan Sistem diperiksa

Mencari variabel kunci (internal –eksternal) retrospective, tren, pelaku kunci

Arah dan tujuan strategis Posisi pelaku Keseimbangan kekuatan Pemusatan dan pencaran

Memindai kemungkinan Preferensi dan kekecualian

Kriteria pemilihan

Pertanyaan kunci di masa depan Gugusan kemungkinan dari hipotesis

Skenario Rute Citra Ramalan

Lima tujuan dari metode Relevansi

Koheren Hal yang masuk akal

Kepentingan Transparansi Analisis Struktural

Metode Micmac

Analisis dari strategi pelaku Metode Mactor

Analisis morfologi Metode Morphol

[image:30.612.168.506.151.650.2]

Pertanyaan Pakar Metode Smic-Prob-Expert

(31)

2.3. Tata Ruang dan Pembangunan Wilayah

2.3.1. Konsep Analisis Keruangan

Ruang (space) dalam ilmu geografi di definisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata 1992). Analisis keruangan atau spatial analysis

mempelajari perbedaan lokasi dalam hal sifat-sifat pentingnya. Dalam analisis ini data yang digunakan disebut data spasial yang pemanfaatannya meliputi data titik (point data) dan data bidang (areal data). Analisis spasial merupakan metode kuantitatif untuk melihat keragaman sesuatu secara spasial. Sistem informasi geografis merupakan sistem automatisasi untuk menangani data spasial. Sistem ini dapat merangkum intelegensi informasi secara geografis (keruangan). Dalam sistem informasi geografis, objek yang ada dalam ruang geografis ditunjukan oleh dua jenis informasi. Pertama, berkaitan dengan lokasi yang disebut dengan data spasial, dan yang kedua berkaitan dengan identitas dari karakter dari objek tersebut yang disebut dengan data atribut (Unwin 1981).

Data spasial merupakan penggambaran objek dalam ruang. Objek dalam ruang tersebut diklasifikasikan ke dalam empat jenis yaitu titik, garis, area dan permukaan. Data atribut dapat ditunjukan dengan nominal, ordinal, interval dan skala rasio. Gambar 4 berikut ini menggambarkan jenis data spasial.

Informasi geografis tentang lingkungan disajikan dalam bentuk peta, analog dan digital. Peta analog merupakan penggambaran secara nyata dari kondisi dunia. Kualitas fisik dari garis dan area (panjang, tebal, warna dan sebagainya) digunakan untuk menggambarkan kondisi feature dari alam. Lokasi absolut dari ruang didefinisikan dalam sistem koordinat (x,y) yang tidak berkaitan dengan objek yang dipetakan.

(32)

skala dan proyeksi yang sudah tetap, simbol yang digunakan adalah garis merah yang lebarnya menggambarkan lebar jalan. Perubahan peta hanya dapat dilakukan dengan survey dan pencetakan peta ulang. Dalam bentuk digital jalan tersebut digambarkan oleh suatu seri koordinat, dan data atribut tentang nama jalan, lebar dan sebagainya (Martin 1991).

Kelas Objek TITIK GARIS AREA PERMUKAAN

DIMENSI 0 1 2 3

Contoh Titik Patok

+ Titik 6188

Ruas Jalan Kavling lahan Penampakan fisik wilayah

[image:32.612.130.513.185.422.2]

Dalam pemodelan spasial, terdapat dua kategori struktur data dari area yaitu vektor dan raster. Vektor merupakan struktur data yang berdasarkan pada koordinat, sedangkan raster merupakan struktur data yang berdasarkan pada sel. Gambar 5 berikut ini adalah penggambaran dari suatu bentuk tidak beraturan dalam bentuk raster dan vektor.

Plot 25

B2120

DAS 3A

[image:32.612.272.380.582.694.2]

vektor raster

Gambar 4 Jenis data spasial dalam analisis keruangan (Martin 1991)

(33)

Sistem informasi geografis (SIG) merupakan informasi yang berhubungan dengan lokasi-lokasi tertentu. Secara harfiah sistem informasi geografis mengandung tiga kata yaitu sistem, informasi dan geografis. Sistem mengandung arti suatu lingkungan tempat data untuk dikelola dan ditanyai. Informasi, berarti ada kemungkinan untuk menggunakan sistem untuk menanyakan pertanyaan data basis geografis, dan memperoleh informasi dunia geografis. Geografis berarti sistem yang digunakan berkaitan erat dengan ukuran dan skala geografis, dan merujuk pada sistem koordinat dari lokasi dari permukaan bumi.

Hampir semua penelitian atau penyajian informasi yang bersifat keruangan (spasial) menggunakan teknik sistem informasi geografis. Penentuan lokasi yang terbaik untuk suatu kegiatan tertentu, penentuan persebaran atau distribusi suatu unit kegiatan, dan penentuan pola jaringan adalah merupakan cotoh penggunaan atau aplikasi dari SIG.

Von Thunnen adalah ilmuwan pertama pada tahun 1926 mengamati dan membuat konsep tentang wilayah pertanian di Jerman dalam aspek keruangan. Aspek yang menjadi perhatiannya adalah pola keruangan (persebaran) dari komoditas pertanian dan lokasi pasar, sehingga diperoleh model umum penggunaan lahan di wilayah pedesaan yang menggambarkan wilayah-wilayah penghasil produk pertanian yang mengelilingi pasar. Model ini menggambarkan pola spasial yang paling efisien dari berbagai jenis komoditas pertanian dan penggunaan lahan. Von Thunen mengemukakan bahwa harga sewa lahan hanya bergantung pada faktor jarak (Nugroho & Dahuri 2004).

(34)

mengakibatkan pertumbuhan pemukiman secara linier (Glasson 1974, Nugroho & Dahuri 2004).

2.3.2. Penataan Ruang dan Regulasi Tata Ruang

Menurut Sandy (1999), penggunaan ruang adalah sama dengan penggunaan tanah. Istilah penataan ruang sama dengan penataan penggunaan tanah, tata ruang adalah sama dengan tata guna tanah. Tetapi ruang tidak bisa dilekati dengan hak, tanah yang dapat dilekati oleh hak, jadi terdapat hak atas tanah. Sedangkan menurut UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataaan Ruang, yang dimaksud dengan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Sedangkan penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang.

(35)

Soefaat (2003) mengungkapkan lembaga penataan ruang yang pertama di Indonesia adalah Balai Tata Ruangan dan Pembangunan (BTRP) yang didirikan pada tahun 1947. Lembaga penataan ruang kemudian berubah menjadi Jawatan Tata Kota dan Daerah (1960an), kemudian menjadi Jawatan Tata Ruang Kota dan Daerah kemudian mejadi Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah. Kemudian tahun 1994 menjadi Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Perdesaan (BTPP). Pada tahun 2003 menjadi Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum.

Secara umum, terdapat tiga undang-undang yang menjadi payung dalam mengatur tata-ruang di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Banyak pihak yang berpendapat bahwa undang-undang pokok-pokok agraria ini sudah saatnya direvisi. Salah satu yang telah melakukan kajian adalah Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) yang telah melakukan diskusi pertanahan nasional dalam rangka pembahasan RUU Pertanahan Nasional. Undang-undang pokok-pokok agraria ini memberikan kewenangan yang besar kepada negara (pemerintah) yang dapat disalahgunakan; adanya hak ulayat tidak mendapat kepastian hukum, hak atas tanah amat dibatasi pada hak hak perseorangan. Perusahaan dan kelompok masyarakat tidak berhak memiliki tanah. Demikian pula dengan adanya paradigma baru pada pemerintahan Indonesia, yaitu pengalihan kewenangan kepada daerah dengan UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka dibutuhkan perubahan peraturan, kebijakan dan administrasi pertanahan, termasuk penyelarasan UUPA. Hal yang sama terjadi pada UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang yang kurang relevan dengan kondisi pemerintahan Indonesia saat ini dengan adanya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan terhadap daerah (Renyansih & Budisantoso 2003).

(36)

yang harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk masyarakat setempat. Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka materi kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi: (1) Kerangka sistem perencanaan; (2) Prinsip, tujuan, kebijakan strategis; (3) Panduan penataan ruang kabupaten/kota; (4) Institusi, program dan prosedur untuk menyiapkan dan melaksanakan rencana tata ruang dan kebijakan penataan ruang; (5) Peraturan, ketentuan dan standar pengelolaan SDA; (6) Strategi sektoral penataan ruang (seperti kawasan lindung, hutan, pertambangan); (7) Indikator untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan penataan ruang.

2.4. Penggunaan Lahan dan Pemodelan Perubahannya

2.4.1. Penggunaan Lahan

Istilah penggunaan lahan atau land use sering diikuti dengan istilah land

cover atau tutupan lahan. Terdapat perbedaan yang prinsip dalam kedua

peristilahan tersebut. Land cover atau tutupan lahan merupakan keadaan biofisik dari permukaan bumi dan lapisan di bawahnya. Land cover menjelaskan keadaan fisik permukaan bumi sebagai lahan pertanian, gunung atau hutan. Land cover

adalah atribut dari permukaan dan bawah permukaan lahan yang mengandung biota, tanah, topografi, air tanah dan permukaan, serta struktur manusia. Sedangkan land use adalah tujuan manusia dalam mengeksploitasi land cover

(Lambin et al. 2003).

Land use atau penggunaan lahan menggambarkan sifat biofisik dari lahan

(37)
[image:37.612.128.522.275.544.2]

Briassoulis (2000) menyebutkan bahwa selama 300 tahun terakhir perubahan penggunaan lahan secara global, telah secara signifikan mencemaskan, dan penyebab utamanya adalah manusia. Sejak tahun 1700 an jumlah populasi manusia selalu meningkat mencapai lima milyar pada tahun 2000 an. Terdapat penurunan luas hutan satu milyar hektar selama 300 tahun dan areal untuk pertanian bertambah satu milyar hektar lebih. Keadaan perubahan penggunaan lahan secara global hampir mirip dengan keadaan di Indonesia. Data perubahan penggunaan lahan di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Penggunaan Lahan di Indonesia Tahun 1993-1997 (000 Ha)

Tahun No Penggunaan

Lahan 1993 1994 1995 1996 1997

Rata-rata perubahan

per tahun

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1 Permukiman 5.142 5.005 5.155 5.291 5.331 47

2 Lahan kering & padang rumput

13.789 13.137 13.257 13.515 13.664 -31

3 Tambak & kolam

483 606 604 622 635 38

4 Lahan kosong 7.160 6.920 6.967 7.335 7.577 104

5 Perkebunan 20.778 22.552 23.390 23.934 24.149 843

6 Sawah 8.499 8.439 8.484 8.519 8.490 -2

7 Hutan lindung 29 29 29 34 29 0,003

8 Hutan suaka & hutan wisata

19 19 19 19 19 -0.021

9 Hutan produksi 62 62 62 58 62 -0,032

10 Hutan produksi yang dapat dikonversi

19 19 19 8 36 4

TOTAL * 55.985 56.893 57.448 51.113 59.998 1.003

Keterangan: * artinya total luas lahan yang digunakan di Indonesia sampai tahun tersebut, data ini tidak termasuk Maluku dan Irian Jaya. Sumber: Statistik Indonesia 1994, 1995, 1996, 1997, 1998; Badan Pusat Statistik. [http://www.bktrn.bappenas.go.id/produk/buletin/buletin4/bulletin4.shtml]

(38)

Luas perubahan rata-rata secara total adalah sejuta hektar per tahun. Hal ini mengggambarkan tingkat perubahan ruang yang cukup tinggi yaitu sekitar 1,7%.

Kedua contoh di atas merupakan tujuan dari analisis penggunaan lahan yang berupa deskripsi. Deskripsi ini dapat ditunjukkan dalam bentuk grafik atau tabel. Secara umum Briassoulis (2000) menunjukkan bahwa analisis perubahan penggunaan lahan mempunyai tujuan-tujuan yang berbeda. Tujuan dari analisis untuk perubahan penggunaan lahan adalah dalam bentuk: deskripsi atau penjelasan, explanation (eksplanasi), prediksi, impact assessment (kajian dampak), prescription (resep) dan evaluasi.

Selanjutnya penyebab dari perubahan penggunaan lahan adalah adanya faktor-faktor (driving factors) seperti: faktor demografi (tekanan penduduk), faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, policy (kebijakan), institusi, budaya dan biofisik. Analisis perubahan penggunaan lahan mencari penyebab (driver) perubahan land use dan dampak (lingkungan dan sosio ekonomi) dari perubahan land use. Penyebab dari perubahan penggunaan adalah lima alasan yaitu kelangkaan sumberdaya; perubahan kesempatan akibat pasar; intervensi kebijakan dari luar; hilangnya kapasitas adaptasi dan meningkatnya kerentanan; perubahan dalam organisasi sosial dalam akses sumberdaya dan dalam tingkah laku (Lambin et al. 2003).

2.4.2. Model Perubahan Penggunaan Lahan

Secara umum Briassoulis (2000) menggambarkan klasifikasi pemodelan untuk analisis penggunaan lahan dan perubahannya. Model-model ini dikelompokkan ke dalam lima kelompok besar yaitu model statistik dan ekonometrik, model interaksi spasial, model optimisasi, model terpadu

(intergrated model) dan pendekatan model lainnya. Tabel 2 berikut ini

(39)
[image:39.612.129.513.105.406.2]

Tabel 2 Klasifikasi Model Perubahan Penggunaan Lahan (Briassoulis 2000)

Kategori Modeling Model Contoh Penggunaannya

Model Statistik dan Ekonometrik ƒ Model Regresi Linier

ƒ Model Ekonometrik (EMPIRIC) ƒ Model Multinomial Logit

ƒ Model Analisis Korelasi Canonical Model Interaksi Spasial ƒ Model Potensial

ƒ Model Intervening Opportunities ƒ Model Gravity/ Interaksi Spasial

Model Optimisasi ƒ Model Program Linier- single & multiobjective ƒ Program Dinamik

ƒ Pemograman Tujuan, Pemograman Hirarki, Problem Linier dan Kuadratik, Model Non Linier Program ƒ Model Utility-Maximization

ƒ Model Pengambilan Keputusan Multi Objective/ Multi Kriteria

Model Terpadu (Integrated Models) ƒ Model Tipe Ekonometrik Terpadu

ƒ Model Gravity-Interaksi Spasial Based dan Tipe Lowry Terpadu

ƒ Model Simulasi :

¾ Model Simulasi Level Urban/Metropolitan ¾ Model Simulasi Level Regional, contoh CLUE

(Conversion Landuse Change and Its Effect) ¾ Model Simulasi Level Global

Model Pendekatan Lainnya ƒ Pendekatan Pemodelan Berorientasi Ilmu Pengetahuan Alam

ƒ Pemodelan Perubahan Landuse Markov ƒ Pemodelan Perubahan landuse Berbasis GIS

2.4.2.1. Conversion of Land Use and its Effect (CLUE)

Conversion of Land Use and its Effect atau CLUE (Veldkamp et al. 2001) merupakan pendekatan empiris yang dilakukan dengan studi kasus antara lain di

Atlantic Zone (Costa Rica), China, Ekuador, Honduras dan Pulau Jawa. Model ini merupakan model terpadu, secara spasial nyata, dinamis dan berdasarkan pada sosial ekonomi dan lingkungan. Terdapat dua tahap dalam pemodelan dengan CLUE; yaitu yang pertama adalah analisis pola penggunaan lahan eksisting dan lampau untuk menentukan variabel paling penting dari aspek biogeofisik dan sosial ekonomi; yang kedua adalah menggunakan hasil tahap pertama menentukan skenario untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan.

(40)

produktivitas. Perubahan permintaan nasional tahunan mengakibatkan perubahan penggunaan lahan propinsi (level grid). Perubahan di wilayah propinsi di modelkan dalam suatu modul alokasi multi skala. Kerangka pikir dari model CLUE disajikan pada Gambar 6.

Verburg, Veldkamp dan Bouma (1999) mengaplikasikan model CLUE untuk mensimulasikan kondisi tekanan penduduk terhadap perubahan penggunaan lahan di Pulau Jawa. Adanya tekanan penduduk di Pulau Jawa telah menyebabkan ekspansi dan intensifikasi lahan pertanian di Pulau Jawa. Hal ini berlanjut dengan semakin banyak juga pengubahan lahan pertanian menjadi areal

Permintaan untuk komoditas pertanian

konsumsi

Ekspor/ impor

produktivitas

Pertumbuhanpenduduk

Perubahan penggunaan

lahan

Kondisi biofisik dan sosio-ekonomi

Level nasional

[image:40.612.197.511.185.567.2]

Level grid

(41)

permukiman dan industri. Data yang digunakan dalam pemodelan ini adalah dengan mengagregasikan enam jenis penggunaan lahan. Keenam jenis penggunaan lahan adalah ladang berpindah (shifting cultivation), sawah (paddy field), kebun dan tegalan (dry agriculture), permukiman dan industri (housing dan surroundings) dan perkebunan (estate) dan lainnya (others). Hasil pemodelan ditunjukkan pada Gambar 7 berikut.

Kelas penggunaan lahan dan variabel yang digunakan dalam menjelaskan persebaran penggunaan lahan di Jawa disajikan pada Tabel 3 berikut. Dari hasil simulasi tampak ada 4 kategori hasil yaitu penurunan tinggi (strong decrease), penurunan sedang (slight decrese), hampir tidak ada perubahan (little change) dan peningkatan (increase). Pada jenis ladang berpindah tampak bahwa terdapat penurunan tinggi di bagian barat Pulau Jawa. Untuk areal tanaman pangan perubahannya relatif lebih banyak. Keempat kategori hampir terdapat di seluruh pulau. Pada areal persawahan penurunan areal diperkirakan lebih banyak di bagian utara dan penurunan yang terjadi tinggi dan sedang. Penggunaan lahan untuk pemukiman meningkat di sebagian besar wilayah pulau terutama bagian barat. Pada lahan perkebunan terdapat baik penurunan maupun peningkatan, tetapi peningkatan yang terjadi lebih banyak.

Gambar 6.

Hasil Simulasi dari Perubahan Penggunaan Lahan di Jawa pada tahun 1994-2010 (Verburg et.al, 1999)

(42)
[image:42.612.129.521.123.696.2]

Tabel 3 Kelas penggunaan lahan dan variabel yang digunakan dalam pemodelan CLUE di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp dan Bouma1999)

Variabel Deskripsi Sumber

Penggunaan lahan

Perladangan berpindah Lahan pertanian merupakan hasil penebangan hutan rakyat, atau hutan alam, kemudian ditanami dengan tanaman pangan tahunan

Sawah Lahan sawah beririgasi dan sawah tadah hujan Kebun dan tegalan Kebun dan lahan pekarangan biasanya ditanami

palawija

Permukiman dan industri Lahan untuk pemukiman dan sarana serta prasarana Perkebunan Perkebunan rakyat dan negara, meliputi karet, kelapa

sawit, teh, kopi, tebu, kelapa, tembakau, kapas, coklat dan rempah-rempah

Hutan dan lainnya Hutan dan lainnya yang meliputi padang rumput, rawa, kolam, lahan yang diberakan, danau dan jalan.

BPS (1979, 1994)

Demografi

Kepadatan penduduk Kepadatan total populasi (jiwa per km2) BPS (1971, 1980, 1990,1995)

Kepadatan penduduk pedesaan Kepadatan populasi yang diklasifikasikan sebagai pedesaan (jiwa per km2)

Fraksi populasi pedesaan Fraksi dari total populasi yang diklasifikasikan sebagai pedesaan

Kapadatan tenaga kerja Kepadatan penduduk berumur di atas 10 tahun yang bekerja

Kepadatan tenaga kerja di bidang pertanian

Kepadatan penduduk berumur di atas 10 tahun yang bekerja di bidang pertanian

Fraksi tenaga kerja di bidang pertanian

Fraksi dari total tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian

Ekonomi dan infrastruktur

Produk domestik regional bruto Produk domestik bruto pada harga yang berlaku (juta rupiah)

BPS (1996)

Jarak ke kota terdekat Jarak langsung ke kota terdekat (m) Peta topografi Jarak ke sungai terdekat Jarak langsung ke sungai utama terdekat (m) ESRI (1993) Jarak ke jalan terdekat Jarak langsung ke jalan utama terdekat (m) ESRI (1993) Iklim

Cahaya matahari Persen waktu tidak berawan Cramer

Kisaran presipitasi Perbedaan antara presipitasi bulan terbasah dan bulan terkering (mm)

(data lapangan)

Total presipitasi Rata-rata presipitasi tahunan (mm) (data lapangan)

Rata-rata temperatur Rata-rata temperatur tahunan (0C) (data lapangan)

Jumlah bulan basah Jumlah bulan dengan presipitasi lebih dari 50 mm (bulan)

(data lapangan)

Zona aroklimatik Zonasi agroklimatik berdasarkan presipitasi musiman Oldeman (1975) Geomorfologi

Rata-rata ketinggialn (altitude) Rata-rata elevasi (m dpl) USGS (1996) Kisaran ketinggian (altitude) Kisaran ketinggian dalam grid berdasarkan 1 km DEM USGS (1996) Rata-rata slope (kemiringan) Rata-rata slope (berdasarkan 1km DEM) USGS (1996) Unit geologi Klasifikasi berdasarkan batuan induk CSAR/FAO (1959) Tanah

(43)

2.4.2.2. Conversion of Land Use & its Effect at Small regional extent (CLUE-S)

Verburg et al. (2002) mengembangkan pemodelan spasial untuk perubahan penggunaan lahan pada areal lebih kecil dari nasional atau propinsi. Model ini dinamakan Conversion of Land Use and Its Effect at Small regional extent atau CLUE-S. Pada pemodelan dengan CLUE-S ini beberapa konsep digunakan berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan yaitu konektivitas, stabilitas dan resilience. Konektivitas merupakan suatu istilah yang menentukan/ menjelaskan bahwa lokasi-lokasi mempunyai hubungan spasial misalnya suatu jarak tertentu satu sama lain. Stabilitas merupakan karakter suatu jenis penggunaan lahan tertentu untuk terkonversi. Resilience atau daya lenting merupakan kapasitas menyangga dari suatu ekosistem atau masyarakat dalam menerima gangguan.

Model CLUE-S ini merupakan gabungan dari pemodelan empiris, analisis spasial dan model dinamis. Analisis spasial menggunakan teknik overlaying dari sistem informasi geografis atau geographic information system (GIS). Hubungan antara penggunaan lahan dan faktor-faktornya menggunakan regressi logistik.

Model CLUE-S ini telah diterapkan di DAS Selangor (Malaysia), Pulau Sibuyan (Filipina), dan Propinsi Bac Kan (Vietnam) selain itu juga telah dilakukan untuk menggambarkan faktor aksesibilitas sebagai driver dari perubahan penggunaan lahan di Kabupaten San Mariano (Filipina). Keuntungan penggunaan model ini adalah pertimbangan secara eksplisit untuk memfungsikan sistem land use secara keseluruhan.

(44)

pusat hutan terdekat pada tahun 1999), tanah alluvial (tanah muda bertekstur halus), fluvisol (tanah bersifat fluvic), lapisan tanah, tanah dangkal (tanah yang bersifat erosif dan slope yang curam), kelas kesesuaian ahan, kepadatan penduduk (penduduk per km2), tenaga kerja sektor pertanian.

Hasil dari pemodelan ini menggambarkan bahwa permintaan untuk wilayah urban meningkat dari tahun 1999 sampai 2014. Hasil simulasi menunjukkan persebaran wilayah urban akan menyebar dari selatan sampai ke utara sampai perbatasan Kuala Lumpur. Perkembangan ini seperti suatu koridor yang membentang sepanjang jalan utama sampai ke bagian barat Semenanjung Malaysia. Hal ini tergambar dari hasil perhitungan bahwa driving factor yang paling kuat adalah jarak terhadap pusat pemukiman dan jarak terhadap jalan. Sebagai kesimpulan adalah bahwa Model CLUE-S ini telah berhasil diaplikasikan di DAS Selangor.

Aplikasi CLUE-S di Pulau Sibuyan (Filipina). Tujuan penelitian aplikasi CLUE-S di Pulau Sibuyan adalah untuk mengaplikasikan program ini secara realistis dan untuk menganalisis kinerjanya. Data dengan menggunakan ukuran sel 250 m2, pada time-frame 15 tahun yaitu dari 1997 sampai 2012. Kelas penggunaan lahan adalah hutan, kelapa, rumput, padi dan lainnya yang merupakan hasil reklasifikasi (pengklasifikasian ulang). Tabel 4 berikut ini menunjukkan hasil pengklasifikasian ulang penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina (Soepbroer 2001). Pengklasifikasian ulang dilakukan dari 15 kelas penggunaan lahan menjadi lima kelas penggunaan lahan.

(45)
[image:45.612.131.514.120.405.2]

Tabel 4 Pengklasifikasian ulang penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina (Soepboer 2001)

Kelas awal Klasifikasi baru Area (ha) % total area Pantai

Sungai Mangrove Area terbangun

Lainnya 29518.75 4

Kelapa, mono-crop 100%

Kelapa/ semak 100% Kelapa/ semak 90%

Kelapa 7237.5 16

Hutan 100% Hutan 90% Hutan 80%

Hutan 5243.75 65

Rumput 100% Rumput 95% Rumput 90%

Rumput 1400 12

Padi non- irigasi Padi irigasi

Padi 1762.5 3

Tabel 5 Faktor driver pada penelitian perubahan penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina (Soepboer 2001)

Driver Penjelasan Kepadatan penduduk Menggunakan fungsi focal dari 5 sel (jiwa/ km2)

Batuan diorit Batuan ultramafik Batuan metamorfik Geologi

Sedimen Tidak ada erosi Erosi kecil Erosi

Erosi sedang

Elevasi Digital elevation model/ DEM (m) Slope Diturunkan dari DEM (derajat) Aspect Diturunkan dari DEM (derajat) Jarak ke jalan (m)

[image:45.612.128.516.466.677.2]
(46)

Hasil pemodelan dengan CLUE-S di Pulau Sibuyan ini memberikan gambaran yang baik untuk sistem yang kompleks di wilayah yang relatif lebih kecil. Hasil pemodelan spasial menggambarkan adanya pembangunan sepanjang kaki pegunungan. Di bagian utara padang rumput dan perkebunan kelapa akan berkembang ke bagian barat. Pertanaman padi terkonsentrasi di tiga lokasi yaitu di bagian utara pulau, sepanjang pantai utara dan disepanjang pantai barat.

Aplikasi CLUE-S untuk Pemodelan Aksesibilitas. Aksesibilitas merupakan salah satu penyebab dari terjadinya perubahan penggunaan lahan. Pada penelitian ini, Witte (2003) melakukannya dengan mengaplikasikan CLUE-S model. Klasifikasi dari jaringan jalan sebagai unsur dari aksesibilitas adalah satu level untuk jalan negara, propinsi, kabupaten, kecamatan dan setapak; dua level untuk seluruh musim dan musim kemarau; tiga level untuk jalan kaki atau kerbau atau sepeda motor, roda enam, dan seluruh jenis kendaraan.

Pengukuran yang dilakukan merupakan kombinasi dari pengukuran berdasarkan infrastruktur dan pengukuran berdasarkan aktivitas. Digunakan pula pengukuran origin dan destination untuk mengkaji aksesibilitas yang eksplisit secara spasial. Penelitian ini memberikan hasil bahwa 3 tipe aksesibilitas berdasarkan waktu tempuh memberikan dampak terbesar terhadap perubahan penggunaan lahan, yaitu waktu tempuh ke pasar, untuk kegiatan membeli dan menjual hasil pertanian ke pasar; waktu tempuh ke jalan terdekat, untuk menggunakan mode transportasi tercepat; waktu tempuh ke kota terdekat, terdapat kenyataan bahwa lebih banyak penduduk tinggal di kota dari pada di ladang atau di kebunnya.

(47)

Perbedaan antara pemodelan dengan menggunakan CLUE dan CLUE-S adalah dalam aspek skala dan representasi data disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8 tersebut terlihat bahwa CLUE diaplikasikan untuk skala luas (nasional atau benua) dengan resolusi kasar (lebih besar dari 1 km x 1 km), data penggunaan lahan diperoleh dengan sensus atau survey. Jenis penggunaan lahan ditetapkan dengan persentase. Sedangkan, CLUE-S, diaplikasikan untuk wilayah lebih kecil dalam skala lokal atau regional. Data yang diperlukan dengan resolusi halus (kurang dari 1 km x 1 km). Data penggunaan lahan diperoleh dari pengideraan jauh (remote sensing) atau citra.

− Skala wilayah nasional sampai benua

− Data dengan resolusi kasar (> 1x1 km)

− Data land use diperoleh dari sensus atau survey

− Skala wilayah lokal dan regional

− Data dengan resolusi halus (< 1x1 km)

− Data land use diperoleh dari peta atau citra penginderaan jauh

CLUE CLUE-S

Persentase dari land use dalam sel grid

Land use yang dominan dalam sel

Representasi data: 2

[image:47.612.132.524.281.656.2]

Informasi dari sub-pixel dari land use Representasi data :1 Land use dominan

Gambar 8 Perbedaan Skala Aplikasi dan Struktur Data dari CLUE dan CLUE-S (Verburg et al. 2002)

(48)

2.5. Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan

2.5.1. Pembangunan Berkelanjutan

Istilah berkelanjutan merupakan penterjemahan dari kata sustainable yang berasal dari terminologi sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Istilah pembangunan berkelanjutan dipopulerkan oleh World Commission on

Environment Development pada tahun 1987. Pada awalnya merupakan laporan

dengan judul Our Common Future dikenal sebagai Brundtland Report, yang menyatakan masalah lingkungan global merupakan akibat dari kemiskinan di Selatan dan pola konsumsi serta produksi yang tidak sustainainable di Utara. Laporan ini berisi strategi untuk memperhatikan aspek lingkungan pada pembangunan dan dikenal dengan istilah sustainable development. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu konsep upaya pemenuhan kebutuhan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumberdaya tanpa mengurangi potensi generasi yang akan datang untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Oleh karena itu konsep pembangunan berkelanjutan adalah pertukaran (trade off) antara generasi kini dengan generasi mendatang dalam pemanfaatan sumberdaya guna peningkatan kesejahteraan (Bell & Morse 2003).

(49)

Bila Munashinge menentukan tiga tujuan yaitu ekonomi, ekologi dan sosial, Commission on Sustainable Development (CSD) menentukan empat dimensi untuk mengkaji tingkat keberlanjutan suatu pembangunan. Menurut CSD (2001) empat dimensi tersebut adalah dimensi ekonomi, lingkungan, sosial dan institusional dalam menentukan indikator keberlanjutan suatu pembangunan. Dalam pengkajiannya setiap dimensi memiliki tema, yang terdiri dari sub tema, yang dijabarkan lebih detail dalam indikator.

2.5.2. Metode-metode Analisis Keberlanjutan

Beberapa metode telah dikembangkan untuk menganalisis keberlanjutan antara lain Sustainable Development Indicators (SDI); Ecological Footprint (EF);

Environmental Sustainability Index (ESI) dan Wellbeing Index (WI)

2.5.2.1. Sustainable Development Indicators

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa menurut CSD (2001) terdapat empat dimensi yaitu dimensi ekonomi, lingkungan, sosial dan institusional dalam menentukan indikator keberlanjutan suatu pembangunan. Dalam pengkajiannya

Tujuan Ekonomi Efisiensi/ pertumbuhan

Tujuan Sosial Pengentasan kemiskinan/

Persamaan

Tujuan Ekologi Sumberdaya alam

- Pengkajian

lingkungan

- Valuasi - Internalisasi

- Partisipasi - Konsultasi - Pluralism - Redistribusi

pendapatan

[image:49.612.183.503.88.305.2]

- Employment - Bantuan

(50)

setiap dimensi memiliki tema, yang terdiri dari sub tema, yang dijabarkan lebih detail dalam indikator. Tabel Lampiran 1 berikut menyajikan kerangka kerja CSD untuk tema dan indikator keberlanjutan.

2.5.2.2. Ecological Footprint (EF)

Ecological footprint adalah jumlah total dari luas permukaan bumi yang diperlukan untuk mendukung tingkat konsumsi dari wilayah tersebut dan menyerap produk limbahnya. Dengan diketahuinya ecological footprint suatu wilayah maka dapat diperkirakan tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah tersebut. EF mengukur seberapa area bioproduktif (baik lahan maupun air) dari suatu populasi dibutuhkan agar menghasilkan secara berkelanjutan seluruh sumberdaya yang dikonsumsi dan menyerap limbah yang timbul. EF merupakan alat untuk mengukur dan menganalisis konsumsi sumber daya dan output limbah

dalam konteks kapasitas memperbaharui dan regenerasi dari alam (biokapasitas).

Hal ini menggambarkan pengkajian kuantitatif dari area produktif secara biologis

(jumlah alam) yang dibutuhkan untuk menghasilkan sumberdaya (pangan, energi,

dan materi) dan untuk menyerap limbah individu, kota, wilayah atau negara

(Venetoulis, Chazan, Gaudet 2004).

Biokapasitas (BC) mengukur suplai bioproduktif yaitu produksi biologis dari area, yang merupakan agregasi dari beragam ekosistem. EF dan BC biasanya disajikan bersama-sama, seperti dalam Footprint of Nations dan Living Planet Report. Area bioproduktif merupakan area dengan produksi biologis sekitar 16% dari permukaan bumi (Lewan 2000).

Perhitungan EF saat ini diukur dengan global hektar. Satu global hektar adalah satu hektar dari ruang produktif secara biologis berdasarkan rata-rata produktivitas dunia. Hasil pengukuran terbaru (tahun 2001), biosfer memiliki 11.3 milyar hektar area produktif secara biologis (Global Footprint Network 2004).

(51)

yaitu : konsumsi = produksi + impor – ekspor. Tahap kedua adalah dengan mendug

Gambar

Gambar 3  Tahapan pembangunan skenario (Godet et al. 1999)
Gambar 4  Jenis data spasial dalam analisis keruangan (Martin 1991)
Tabel 1  Penggunaan Lahan di Indonesia Tahun 1993-1997 (000 Ha)
Tabel 2   Klasifikasi Model Perubahan Penggunaan Lahan (Briassoulis 2000)
+7

Referensi

Dokumen terkait

a. Importir Umum.Yaitu perusahaan pemegang API Umum yang dapat mengimpor barang bukan limbah yang tidak diatur Tata Niaga Impornya. Importir Umum Limbah. Yaitu importir umum

Melalui Sekolah-sekolah Lapangan Pemuliaan Tanaman yang diperkenalkan semenjak tahun 2002, petani tidak hanya belajar tentang pengetahuan dan praktik persilangan, tetapi

Tulisan ini menganalisa perubahan yang terjadi pada Majalah Liberty Di Surabaya Tahun 1987-1993, Dari Majalah Wanita Ke Majalah

jarak antara unsur-unsur dalam ruang dimensi tiga... Kita akan membahas jarak antara: titik

Stvarno kazalo k-ta prema diferenca, 28 šibko ločene množice, 56 algoritem 5 × 5, 71 alternirajoča projekcija, 55 bazne funkcije, 15 centri, 17 funkcija tanke plošče, 19, 21,

Terdapat hubungan antara pemahaman nilai toleransi antarsuku dengan sikap siswa dalam lingkungan sosial di SMP Negeri 2 Pringsewu, hal ini dilihat dari besaran

Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai adalah (1) untuk mengetahui miskonsepsi apa yang ada pada mahasiswa kaitannya dengan bilangan real, selanjutnya