PELANGGARAN HAK ATAS KEKEBALAN DIPLOMATIK PEJABAT MISSI DIPLOMATIK OLEH NEGARA PENERIMA
SKRIPSI
Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
MILA LAILYANA 110200068
Departemen Hukum Internasional
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PELANGGARAN HAK ATAS KEKEBALAN DIPLOMATIK PEJABAT MISSI DIPLOMATIK OLEH NEGARA PENERIMA
SKRIPSI
Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
MILA LAILYANA 110200068
Departemen Hukum Internasional
Diketahui/Disetujui oleh :
Ketua Departemen Hukum Internasional
(Dr. Chairul Bariah, SH., M.Hum NIP. 195612101986012001
)
Pembimbing I Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim.
Syukur alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
Setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan program S1 pada Universitas Sumatera
Utara diwajibkan menyusun karya tulis/skripsi sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku.
Untuk memenuhi kewajiban tersebut, maka penulis menyusun skripsi yang
diberi judul : PELANGGARAN HAK ATAS KEKEBALAN DIPLOMATIK
PEJABAT MISSI DIPLOMATIK OLEH NEGARA PENERIMA.
Berpedoman pada judul tersebut, penulis menyadari di dalam pelaksanaan
penulisan karya tulis / skripsi ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan
hambatan. Namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing
maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Saya menyadari sepenuhnya
bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan dalam hal penelitian skripsi
ini. Maka dari tiu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dimasa yang akan dating.
Dalam penelitian skripsi ini menerima banyak bantuan, bimbingan dan
motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang sangat berjasa
dan membantu penulis baik itu hal-hal kecil maupun besar serta terus
memberikan jalan yang baik bagi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik dan benar.
6. Bapak Dr. Sutiarnoto S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah sangat
membantu penulis dalam penulisan skripsi ini serta telah meluangkan waktu,
tenaga dan pemikiran dalam membantu penulis.
7. Bapak Arif, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta telah banyak meluangkan waktu
8. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H, M.hum, selaku Sekretasis Departemen Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan banyak pelajaran tentang kesabaran dan keikhlasan dalam proses
penulisan skripsi ini.
9. Bapak Alwan, S.H, M.Hum selaku dosen wali
10.Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis ketika duduk di bangku
perkuliahan.
11.Terima kasih tak terhingga kepada Ayahanda penulis, H. Bustamam Ganie, S.E
dan Ibunda tercinta, Drs. Hj, Sri Handriaty yang menjadi motivasi utama serta
selalu meluangkan baik materi, waktu, dan tenaga untuk mendengarkan keluh
kesah penulis dalam menulis skripsi ini dan telah menjadi suatu pencerah bagi
penulis untuk tetap terus melangkah lebih baik dari hari ke hari dan menjadi
sosok yang harus tetap rendah hati.
12.Kepada abang, kakak dan adik penulis Dr. Meutia Wardhanie Ganie, Al Hamidy
M.I.T, Mochammad Siddiq Bustamam terima kasih atas doa-doanya serta
saran-saran yang terus mendukung penulis sampai saat ini.
13.Kepada Nenek dan Atok H. Saman Bakrie dan Hj. Hamidah terima kasih sudah
menjaga, memberikan perhatian serta menggantikan peran orang tua penulis
14.Kepada Keluarga besar H. M. Ganie dan H. Saman Bakri terima kasih buat
motivasi dan doa yang telah di berikan selama ini.
15.Kepada sahabat terbaik penulis, Kathy Carissa Bangun, terima kasih dari awal
memulai perkuliahan wanita ini selalu menjadi orang yang memiliki segudang
nasihat, canda, dan saran kepada penulis. Dan akhirnya kita dapat keluar dari
kampus ini ca!.
16.Teman yang luar biasa dari pertama masuk kuliah, orang-orang yang memiliki
segudang cerita dan kisah serta tingkah dan kepribadian unik dari masing-masing
individu. Merekalah, Fikri Rizki, Syahnaz Miyagi Munira, Nur Aqmarina, Cyndi
Fransisca Ulina Hutagalung, Astri Ramadhani Sipahutar, Merico Sitorus,
Abdurrahman Harit’s Ketaren, Calvin Benyamin Panjaitan, Muhammad Fauzan
Akmal Zaldy, Sarah Diva, Michael Benhard Marhain Sipayung, Yogi Ar
Chaniago, Ayu Sabena, Ryan Pranata, Alif Oemry S.H, Syaid Mustafa Siregar
S.H dan sangat banyak lagi teman-teman luar biasa di luar sana yang tidak bisa
penulis sebutkan satu per satu..
17.Terima kasih teman-teman Grup A stambuk 2011 Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
18.Serta ucapan terima kasih kepada Mahasiswa ILSA (International Law Student
Association) 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang sangat luar
biasa memberikan kesan selama di Beijing serta kesan yang indah dalam kegiatan
19.Dan juga kepada teman-teman penulis lainnya yang berada di dalam maupun di
luar wilayah Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Medan, Februari 2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... viii
ABSTRAK ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penulisan ... 7
D. Keaslian Penulisan ... 8
E. Tinjauan Kepustakaan ... 9
F. Metode Penelitian ... 19
1. Jenis Pendekatan ... 19
2. Data Penelitian ... 20
3. Teknik Pengumpulan Data ... 21
4. Analisis Data ... 22
G. Sistematika Penulisan ... 22
BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK A. Sejarah Hubungan Diplomatik ... 25
C. Teori-Teori Kekebalan Diplomatik ... 38
D. Hak Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik ... 43
E. Mulai dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik ... 53
F. Praktek Negara Penerima Dalam Penerapan Kekebalan DIplomatik Terhadap Anggota Missi Diplomatik ... 57
BAB III BENTUK-BENTUK PELANGGARAN ATAS KEKEBALAN DIPLOMATIK A. Pelanggaran Terhadap Gedung Perwakilan Diplomatik ... 63
B. Pelanggaran Kebebasan Komunikasi ... 67
C. Penistaan Lambang Bendera ... 72
D. Penangkapan dan Penahanan Terhadap Staf Missi Diplomatik ... 80
BAB IV PENYELESAIAN KASUS PENANGKAPAN STAF DIPLOMAT INDIA OLEH KEPOLISIAN AMERIKA SERIKAT A. Latar Belakang Kasus Penangkapan Diplomat India oleh Kepolisian Amerika Serikat ... 87
B. Tanggapan Pihak India atas Kasus Penangkapan Diplomat India di Amerika Serikat ... 91
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 100
B. Saran ... 102
ABSTRAKSI
Negara sama dengan halnya manusia sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan manusia lain untuk dapat terus hidup, mereka tidak bisa memisahkan dirinya dengan manusia lain. Begitu juga dengan negara tidak ada satu negarapun dapat membebaskan diri dari keterlibatannya dengan negara lain. Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan terhadap banyaknya kasus-kasus pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan anggota missi diplomatik yang dilakukan oleh negara penerima serta bagaimana hubungan diplomatik antar negara. Beberapa pelanggaran yang sering terjadi adalah adanya pelanggaran terhadap kekebalan gedung perwakilan diplomatik, pelanggaran kebebasan komunikasi, serta terjadinya penangkapan serta penahanan diplomat di negara penerima.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan penelitian kepustakaan (library research) atau penelitian normatif yaitu dengan upaya penyelesaian dan pengumpulan data-data dan berbagai macam buku, pendapat sarjana, kamus, eniklopedia dan literatur hukum internasional maupun hubungan politik internasional yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Serta metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normative yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari perundangan putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.
Hak kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki seorang diplomat diatur dalam Konvensi Wina 1961, yaitu: Kekebalan terhadap yurisdiksi pidana, Kekebalan terhadap yurisdiksi perdata, Kekebalan terhadap perintah pengadilan setempat, Kekebalan dalam mengadakan komunikasi, Kekebalan gedung dan tempat kediaman perwakilan diplomatik. Banyak kasus mengenai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik oleh negara penerima. Salah satunya yaitu dilakukannya penangkapan oleh kepolisian Amerika Serikat terhadap diplomat India (Devyani Khobragade). Amerika Serikat tidak seharusnya menangkap dan menahan diplomat India dengan tuduhan penipuan Visa pembantu rumah tangga sang diplomat. Penanganan dan penyelesaian kasus itu seharusnya dapat dilakukan dengan cara damai bukan dengan penangkapan dan penahanan seperti itu. Putusan Hakim Distrik Amerika Serikat menutup kasus Devyani Khobragade dengan alasan kekebalan diplomatik. Hakim menemukan, Khobragade memiliki kekebalan luas dari apa yang didakwakan padanya.
ABSTRAKSI
Negara sama dengan halnya manusia sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan manusia lain untuk dapat terus hidup, mereka tidak bisa memisahkan dirinya dengan manusia lain. Begitu juga dengan negara tidak ada satu negarapun dapat membebaskan diri dari keterlibatannya dengan negara lain. Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan terhadap banyaknya kasus-kasus pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan anggota missi diplomatik yang dilakukan oleh negara penerima serta bagaimana hubungan diplomatik antar negara. Beberapa pelanggaran yang sering terjadi adalah adanya pelanggaran terhadap kekebalan gedung perwakilan diplomatik, pelanggaran kebebasan komunikasi, serta terjadinya penangkapan serta penahanan diplomat di negara penerima.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan penelitian kepustakaan (library research) atau penelitian normatif yaitu dengan upaya penyelesaian dan pengumpulan data-data dan berbagai macam buku, pendapat sarjana, kamus, eniklopedia dan literatur hukum internasional maupun hubungan politik internasional yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Serta metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normative yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari perundangan putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.
Hak kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki seorang diplomat diatur dalam Konvensi Wina 1961, yaitu: Kekebalan terhadap yurisdiksi pidana, Kekebalan terhadap yurisdiksi perdata, Kekebalan terhadap perintah pengadilan setempat, Kekebalan dalam mengadakan komunikasi, Kekebalan gedung dan tempat kediaman perwakilan diplomatik. Banyak kasus mengenai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik oleh negara penerima. Salah satunya yaitu dilakukannya penangkapan oleh kepolisian Amerika Serikat terhadap diplomat India (Devyani Khobragade). Amerika Serikat tidak seharusnya menangkap dan menahan diplomat India dengan tuduhan penipuan Visa pembantu rumah tangga sang diplomat. Penanganan dan penyelesaian kasus itu seharusnya dapat dilakukan dengan cara damai bukan dengan penangkapan dan penahanan seperti itu. Putusan Hakim Distrik Amerika Serikat menutup kasus Devyani Khobragade dengan alasan kekebalan diplomatik. Hakim menemukan, Khobragade memiliki kekebalan luas dari apa yang didakwakan padanya.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan hidup di dunia sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial yang memberikan pengertian bahwa manusia memiliki kebutuhan dan
kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia
yang lain.1
Bermula dari konsep manusia sebagai makhluk sosial maka terjadilah
hubungan antar negara. Tidak ada satu negara di dunia ini yang dapat membebaskan
diri dari keterlibatannya dengan negara lain. Karena suatu negara memiliki
kepentingan di wilayah negara lain maka diciptakanlah suatu hubungan. Dalam
rangka menjalin hubungan antar bangsa untuk merintis kerjasama dan persahabatan
perlu dilakukan pertukaran missi diplomatik.
Walaupun manusia sebenarnya dilahirkan seorang diri tetapi dalam
kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari manusia lain.
Hampir semua negara pada saat ini diwakili di wilayah negara-negara asing
oleh perutusan-perutusan diplomatik dan stafnya. Missi-missi diplomatik tersebut
sifatnya permanen, meskipun dalam kenyataan pejabat-pejabat yang berdinas dapat
berubah-ubah dari waktu ke waktu. Sejalan dengan perkembangan yang terjadi
1
Galang Dea Alfarisi, Manusia Sebagai Makhluk Sosial, Sumber :
selama ratusan tahun, lembaga perwakilan diplomatik telah menjadi sarana utama
dengan mana melakukan hubungan antar negara-negara.2
Perwakilan diplomatik merupakan wakil resmi untuk mewakili negara asalnya
dalam melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara penerima atau suatu
organisasi internasional. Perwakilan diplomatik di suatu negara ini di kepalai oleh
seorang duta dari suatu negara yang diangkat melalui surat pengangkatan atau surat
kepercayaan (letter of credentials). Dimulai sejak abad ke-16 dan 17 dimana
negara-negara di Eropa sudah mulai melakukan pertukaran duta-duta besarnya secara
permanen dan hal ini sudah dianggap umum pada saat itu, hal mengenai kekebalan
dan keistimewaan diplomatik sudah dapat diterima dalam praktik negara-negara. Dan
pada abad ke-17 sudah dianggap sebagai suatu kebiasan internasional. Selanjutnya
pada pertengahan abad ke-18 aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai
kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan termasuk harta milik,
gedung perwakilan, dan komunikasi diplomat.3
Tugas perwakilan diplomatik secara umum adalah untuk mewakili
kepentingan negara pengirim di negara penerima dan menjadi penghubung antar
pemerintahan kedua negara. Berdasarkan pada Pasal 3 Konvensi Wina 1961, tugas
seorang perwakilan diplomatik meliputi:
4
2
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, 2000, Halaman : 563
3
Febi Hidayat, Pertanggungjawaban Negara Atas Pelanggatan Hak Kekebalan Diplomatik Ditinjau Dari Aspek Hukum Internasional (Studi Kasus Penyadapan KBRI di Myanmar Tahun 2004), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas 2011, Halaman: 5
4
Roy Sanjaya, Tugas Perwakilan Diplomatik, sumber :
1. Mewakili negara pengirim dinegara penerima (representasi).
2. Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya
di negara penerima dalam batas-batas yang diperkenankakn oleh hokum
internasional (proteksi).
3. Melakukan perudingan dengan pemerintah negara penerima (negoisasi).
4. Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan
perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada negara pengirim.
5. Meningkatkan hubungan persahabatan antara dua negara serta
mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, perwakilan diplomatik memerlukan
hak kekebalan dan keistimewaan demi kelancaran sang diplomat melaksanakan
tugasnya di negara penerima.
Pada mulanya pelaksanaan pemberian kekebalan diplomatik bagi para
diplomat pada hakekatnya merupakan hasil sejarah diplomasi yang sudah lama sekali
dimana pemberian semacam itu dianggap sebagai kebiasaan internasionanl. Sesuai
dengan aturan-aturan kebiasaan dalam hukum internasional, para diplomat yang
mewakili negara-negara sering memilliki kekebalan yang kuat dari yurisdiksi negara
pengirim. Kekebalan-kekeban ini sering diberikan secara jelas dalam undang-undang
maupun peraturan negara pengirim, dan kadang-kadang diberikan juga lebih banyak
dari yang sudah ditentukan dalam hukum internasional.5
5
Alasan-alasan untuk memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan kepada
para diplomat di negara penerima adalah:6
1. Para diplomat adalah wakil-wakil negara;
2. Mereka tidak dapat menjalankan tugas secara bebas kecuali mereka diberikan
kekebalan-kekebalan tertentu. Jelas bahwa jika mereka tetap bergantung
kepada good-will pemerintah mereka mungkin terpengaruholeh
pertimbangan-pertimbangan keselamatan perorangam;
3. Jelaslah pula bahwa jika terjadi gangguan pada komunikasi mereka dengan
negaranya, tugas mereka tidak dapat berhasil.
Kekebalan dibedakan dengan keistimewaan. Disatu pihak kekebalan yang
diberikan baik kepada gedung perwakilan Diplomatik maupun para pejabat
diplomatik beserta keluarganya membuat mereka tidak bisa diganggu gugat oleh
aparat keamanan negara penerima serta harus dilindungi dan dicegah dari semua
ganguan. Lain pihak keistimewaan yang juga dinikmati oleh perwakilan diplomatik
dan para diplomat dan keluarganya tersebut menyangkut pembebasan mereka dari
semua beaya masuk, pungutan dan pajak-pajak baik untuk barang bergerak maupun
barang tidak bergerak, biaya-biaya lainnya, termasuk bea masuk untuk pembelian
barang-barang yang diimport.7
6
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Penerbit Alumni Bandung, 2005, Halaman 56.
7
Kekebalan diplomatik yang melekat pada pejabat diplomatik berdasarkan
pada Konvensi Wina Tahun 1961 secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 5
kelompok yaitu:
1. Kekebalan terhadap yurisdiksi pidana;
2. Kekebalan terhadap yurisdiksi perdata;
3. Kekebalan terhadap perintah pengadilan setempat;
4. Kekebalan dalam mengadakan komunikasi;
5. Kekebalan gedung dan tempat kediaman perwakilan diplomatik.
Seiring daengan perkembangannya di dalam dinamika hubungan diplomatik
kejadian yang tidak dapat dihindari yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan hukum internasional, terutama yang berkaitan dengan
perlindungan pejabat diplomatik.8 Salah satu pelanggaran yang tidak jarang terjadi
berkaitan dengan kekebalan diplomatik adakah perlakuan atau kegiatan yang tidak
menyenangkan dari pihak negara penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut
ditempatkan.9
Meningkatnya sejumlah kejahatan serius yang dilakukan terhadap perutusan
dan misi-misi diplomatik seperti pembunuhan dan penculikan para perutusan serta
serangan-serangan yang diajukan terhadap gedung-gedung kedutaan, menyebabkan
dilakukkannya pengesahan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
8 Mohammad Firdaus kurnia, Tanggung Jawab Pemerintah Libya Terhadap Seranngan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Benghazi Libya Tahun 2012, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2013, Halaman : 9
tanggal 14 Desember 1973, atas Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman
atas kejahatan-kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi secara Internasional,
termasuk wakil-wakil Diplomatik (Convention on the Prevention and Punishment of
Crimes against Internationally Protected Persons, including Diplomatik Agents).
Meskipun telah ada konvensi tersebut, serangan-serangan terhadap gedung-gedung
kedutaan dan kejahatan-kejahatan kekerasan dan lain-lain yang dilakukan terhadap
personil diplomatik masih terus terjadi sampai saat ini, masih banyak pula
tindakan-tindakan kekerasan yang mengancam keselamatan para diplomat didalam
menjalankan tugas diplomatiknya. walaupun memang agak berkurang.10
10
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, 2000, Halaman : 569
Banyak
kasus mengenai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik oleh negara penerima.
Salah satunya yaitu dilakukannya penangkapan oleh kepolisian Amerika Serikat
terhadap diplomat India Devyani Khobragade. Kasus ini bermulai dari Khobragade
melakukan pemalsuan infomasi pengajuan izin tinggal (visa) pembantunya yaitu
Sangeeta Richard. Khobragade dituduh telah memperkerjakan Sangeeta Richard dan
membayar upah dibawah upah minimal yang ditetapkan oleh hukum Amerika
Serikat. Upah minimal yang telah ditetapkan oleh Amerika Serikat sebesar US$ 9,75
per jamnya sementara Khobragade memasukkan angka manipulasi ke dalam visa
sebesar US$ 10 per jam agar Sangeeta menmperoleh visa A-3. Atas hal tersebutlah
pada tanggal 11 Desember 2013 Khobragade didakwa dengan penipuan visa. Pada
Amerika Serikat, Khobragade ditangkap setelah mengantar anaknya di sekolah.
Perlakuan polisi federal saat penangkapan itu memicu kemarahan di India.
Khobragade mengaku ia mendapat perlakuan seperti penjahat brutal meski sudah
berulang kali menyatakan bahwa dirinya adalah diplomat yang dilindungi kekebalan
diplomatik.11
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari penjelasan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah
yang dapat dipaparkan antara lain :
1. Bagaimana praktek negara penerima dalam penerapan kekebalan diplomatik
terhadap anggota missi diplomatik?
2. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran atas kekebalan diplomatik oleh negara
penerima terhadap staf missi diplomatik?
3. Bagaimana penyelesaian kasus penangkapan staf diplomat India oleh
kepolisian Amerika Serikat?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui praktek negara penerima dalam penerapan kekebalan
diplomatik terhadap anggota missi diplomatik.
11
Politik Indonesia, AS Usir Diplomat India Devyani Khobragade, sumber:
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran atas kekebalan diplomatik oleh
negara penerima terhadap staf missi diplomatik.
3. Untuk mengetahui penyelesaian kasus penangkapan staf diplomat India oleh
kepolisian Amerika Serikat.
Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa
manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penuliisan skripsi ini adalah:
1. Secara teoritis
Memberikan pemahaman akan adanya prinsip-prinsip yang harus diaati dalam
hubungan diplomatik yang dilaksanakan antar negara sesuai dengan Konvensi
Wina 1961 dan 1963 dan menambah pengetahuan kita bersama dalam
mendalami dan mempelajari hukum internasional secara umum dan hukum
diplomatik secara khusus tentang pelanggaran kekebalan diplomatik.
2. Secara praktis
Agar skripsi ini dapat menjadi kajian bagi praktisi hukum internasional
terutama dalam bidang hukum diplomatik karena dalam hubungan
diplomatikyang dilaksanakan oleh negara-negara harus mematuhi
prinsip-prinsip hubungan diplomatik yang telah ada dan diakui secara internasional
sehingga kita menjadi lebih kritis terhadap pelanggarana-pelanggaran yang
dilakukan terhadap prinsip-prinsip hubungan diplomatik.
Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Pelanggaran Hak Atas
Kekebalan Diplomatik Pejabat Missi Diplomatik Oleh Negara Penerima” belum
pernah ada ditulis sebelumnya.
Khusus yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak administrator
bagian atau jurusan hukum internasional.
E. Tinjauan Kepustakaan
Meningkatnya kerja sama antarnegara dalam menggalang perdamaian dunia
demi kesejahteraan manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial maka
tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat pula. Pengaturan
diplomatik kodifikasi hukum diplomatik memang tidak begitu pesat sebelum
didirikannya badan PBB.
Hampir semua negara pada saat ini diwakili di wilayah negara-negara asing
oleh perutusan-perutusan diplomatik dan stafnya. Langkah-langkah utama dalam
membangun misi diplomatik permanen adalah mengangkat kepala misi, memperoleh
tempat untuk misi dan tempat tinggal untuk kepala, mengangkat staf dan
menempatkan staf tersebut di tempat sarana praktis dari operasi, seperti komunikasi
prosedur yang lebih rumit diperlukan untuk penunjukkan daripada untuk diplomat
lainnya.12
Dewasa ini sebagi landasan yuridis untuk membuka hubungan diplomatik
antarnegara dapat kita pergunakan ketentuan pasal 2 Konvensi Wina 1961 yang
menggariskan : “the establishment of diplomatik relations between states, and of
permanent diplomatik missions, take place by mutual consent.”
Pasal 2 konvensi ini hanya menyatakan syarat – syarat terbentuknya suatu
hubungan diplomatik itu sendiri, Berdasarkan pasal tersebut, dapat kita lihat bahwa
kesepakatan bersama (mutual consent) merupakan syarat mutlak berdirinya suatu
hubungan diplomatik, baik oleh antar negara maupun oleh suatu misi diplomatik yang
permanen.
Hubungan diplomatik antarnegara dapat diadakan dengan perhubungan
persahabatan antarpemerintah mereka dalam bentuk apapun, tetapi hubungan
diplomatik tetap dianggap ada, hanya dengan didirikannya misi diplomatik, atau lebih
baik dengan pertukaran misi diplomatik.
Sebelum kita memahami tugas dan fungsi perwakilan diplomatik berdasarkan
Konvensi Wina 1961, maka ada baiknya pula kita melihat dan memahami beberapa
pendapat sebagaimana yang dikemukakan dibawah ini:
12
Menurut Oppenheim-Lauterpacht, pada pokoknya hanya terdapat tiga tugas
yang wajib dilakukan oleh perwakilan diplomatik yaitu: negotiation, observation, dan
protection.13
Dalam hal negosiasi, Ia harus mengemukakan pandangan dan kepentingan
negaranya terhadap situasi ataupun perkembangan dunia pad saat itu kepada negara
penerima.
Dalam observation, Ia harus mampu mengemukakn secara seksama atas
segala kejadian di negara penerima yang mungkin dapat mempengaruhi kepentingan
nasional negaranya. Bahkan jika dianggap perlu melapporkan tentang hal-hal tersebut
kepada pemerintah negaranya.
Dalam hal proteksi, Ia harus mampu memberi perlindungan kepada diri dan
badan hukum maupun harta benda warga negaranya dan termasuk pula dengan
kepentinan negaranya dengan memperhatikan dan mengindahkan
pengaturan-prngaturan hukum internasional dalam tersebut.
Fungsi-fungsi atau tugas-tugas yang akan dilakukan oleh misi sudah diakui
secara umum diabad-abad lampau, dan telah dirumuskan di dalam Konvensi Wina
1961 tentang Hubungan Diplomatik, yang terdiri atas:14
13 Oppenheim-Lauterpacht, International Law, Vo1 8th edition, (London-New York:Longmans Green & Co, 1960), Halaman: 785-786.
14
1. Mewakili negara pengirim dalam negara penerima
2. Melindungi kepentingan-kepentingan dan warga-warga negara pengirim di
negara penerima di dalam batasbatas yang diizinkan oleh hukum internasional
3. Mengadakan negosiasi dengan pemerintah negara penerima
4. Menentukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum, keadaan, dan
perkembangan di negara penerima dan member laporan tentang itu kepada
pemerintah negara penerima.
5. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan penerima
dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan sosial mereka.
Agar diplomat dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik maka
diperlukan hak kekebalan dan keistimewaan di negara penerima maupun negara
ketiga. Hak kekebalan dan keistimewaan ini tidak hanya diperuntukkan untuk sang
diplomat saja tetapi untuk keluarga diplomat, anggota staf diplomat, maupun
pembantu diplomat. Adapun hak kekebalan dan keistimewaan tersebut adalah :
1. Kekebalan mengenai diri pribadi
Ketentuan tentang kekebalan pribadi diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina
1961. Yang menyatakan “the person of a diplomatic agent shall be inviolable.
He shall no be liable to any form of arrest or detention. The receiving state
shall terat him with due respect and shall the propriate steps to prevent and
attack on his person freedom or dignity”. Yang berarti bahwa pejabat
2. Kekebalan keluarga seorang wakil diplomatik
Ketentuan mengenai kekebalan keluara diplomatic terdapat dalam pasal 37
ayat 1 Konvensi Wina 1961. Yang menyatakan “the members of family of a
diplomatik agent forming part of his household shall, if they are not nationals
of the receiving state, enjoy the privileges and immunities specifies in article
29 to 36”. Yang artinya anggota keluarga dari seorang wakil diplomatik yang
merupakan bagian dari rumah tangganya, yang bukan berwarganegara
penerima akan meikmati hak-hak istimewa dan kekebalan sebagaimana diatur
dalam pasal 29 sampai 36.15
3. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi
Dalam pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 terdapat suatu ketentuaan yang
berbunyi sebagai berikut. “a diplomatic agent is not obliged to give as a
withness” maka seeorang wakil diplomatik tidak boleh diwajibkan untuk
menjadi saksi di muka pengadilan negara setempat, baik yang menyangkut
perkara perdata maupun menyangkut perkara pidana, dan administasi
4. Kekebalan korespondensi
Pasal 27 konvensi wina 1961 menjamin komunikasi bebas dari misi
perwakilan asing dengan maksud yang layak. Dimaksud dengan hak untuk
berhubungan bebas ini adalah hak seorang diplomatik untuk bebas dalam
kegiatan surat- menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam
perhubunngan komunikasi.
15
5. Kekebalan kantor perwakilan asing dan tempat kediaman seorang wakil
diplomatik
Secara jelas terdapat di dalam pasal 22 dan 30 Konvensi Wina 1961. Dapat
dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas kantor perwakilan dan tempat
kediaman secara tegas diakui oleh Konvensi Wina 1961.
6. Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu transit
7. Perjalanan karena force majeure
8. Pembebasan pajak-pajak
9. Pembebasan dari bea cukai dan bagasi
10.Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial
11.Pembebasan dari pelayanan pribadi, umum dan militer
12.Pembebasan dari kewarganegaraan.
Hak kekebalan dan keistimewaan diplomat ini dapat dinikmati para diplomat
setelah mereka memasuki wilayah negara penerima dalam rangka proses menempati
pos kedinasannya untuk melaksanakan fungsi resminya. Dan berakhirnya kekebalan
dan keistimewaan diplomatik ini jika para diplomat meninggalkan negara penerima,
atau pada saat berakhirnya suatu periode yang layak, akan tetapi kekebalan dan
keistimewaan akan terus ada sampai saat berakhirnya periode yang dimaksud
tersebut, bahkan dalam hal terjadinya konflik bersenjata antara negara penerima
Menurut J.G Starke, sebuah pejabat missi diplomatik dapat berakhir dengan
cara yang berbeda-beda diantaranya:16
1. Penarikan kembali (recall) perutusan itu oleh negara yang mengirimnya. Surat
penarikan kembali biasanya disampaikan kepada kepala negara atau kepala
menteri luar negeri dalam audensi yang resmi dan perutusan yang
bersangkutan akan menerima pengembalian Lettre de Recreance yang
memberitahukan penarikannya.
2. Pemberitahuan oleh negar apengirim kepada negara penerima bahwa tugas
perutusan itu telah berakhir (pasal 43 Konvensi Wina).
3. Permintaan oleh negara penerima agar perutusan ditarik kembali (recalled).
Negara tuan rumah tidak perlu memberikan penjelasan mengenai permintaan
tersebut (lihat Pasal 8 Konvensi Wina), akan tetapi seperti dalam kasus
permintaan Australia pada bulan Juni 1986 agar Atase Afrika Selatan kembali
negaranya, hal ini secara tegas dapat didasarkan atas suatu klaim tetang
tuduhan tindakakn yang tidak dapat diterima, dengan suatu batas waktu
tertentu untuk keberangkatanyya (sepuluh hari seperti yang ditanyakan dalam
permintaan Australia untuk pemulangan Atase yang dikemukakan di atas).
Walaupun penyebutan tentang batas waktu itu tidak secara etgas diisyaratkan
oleh Konvensi Wina.
16
4. Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya
oleh negara yang menerima, seperti pada waktu pecah perang antara negara
pengirim dan negara penerima.
5. Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim, jika perutusan
itu dinyatakan persona non grata dan apabila ia tidak ditarik kembali atau
tugas-tugasnya belum berakhir, bahwa negara penerima itu menolak
mengakuinya lagi sebagai anggota misi (pasal 9 dan 43 Konvensi Wina).
6. Tujuan misi tersebut telah terpenuhi.
7. Berakhirnya masa berlaku surat-surat kepercayaan yang diberikan hanya
untuk waktu terbatas.
Kekebalan diplomatik merupakan hal yang penting bagi wakil dari
negara-negara dalam melakukakn hubungannya dengan negara-negara lain dalam melakukan
diplomasi yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negara tersebut. Sehubungan dengan
itu terdapat 3 teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan dan
keistimewaan diplomatik luar negeri yaitu sebagai berikut:
1. Teori Ekstrateritorialitas (Exterritotiality Theory)
Teori ini menganggap bahwa meskipun para diplomat secara konkret
ada/tinggal di negara penerima, tetapi secara yuridis dianggap ada diluar
wilayah negara penerima yaitu tetap tinggal di negara pengirim. Sebagai
konsekuensi alur pemikiran tersebut, para anggota misi tidak tunduk dan tidak
pengirim. Dengan demikian, menurut teoori tersebut seluruh edun perwakilan
dam perabot yang ada didalamnya termasuk orang-orang yang mendiami
gedung perwakilan dianggap ada diluar wilayah negara penerima. Wilayah
tersebut dianggap sebagai perluasan dari wilayah negara pengirim.
2. Teori Diplomat Sebagai Wakil Negara Berdaulat atau Wakil Kepala Negara
(Representative Character)
Dalam bahasa Indonesia diartikan teori sifat seorang diplomat sebagai wakil
lnegara berdaulat, atau teori sifat perwakilan. Memnurut teori tersebut,
diplomat dianggap sebagai symbol atau lambang negara pengirim sekaligus
wakil negara pengirim di negara penerima karena itu segala perbuatan
diplomat harus dianggap sebagai perbuatan dari kepala negara atau setidaknya
dianggap sebagai pencerminan kehendak negara pengirim.
3. Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Neccesity Theory)
Menurut teori ini, hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatic perlu diberikan
kepada diplomat agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga
hasil pekerjaannya memuaskan negara penerima dan negara pengirim.
Anggota staf perwakilan diplomatik terdiri dari anggota staf diplomatik yaitu
mereka yang mempunyai gelar dari anggota atau kepangkatan diplomatik yang
melaksanakan tugas-tugas yang bersifat politis atau diplomatis yang memegang
paspor diplomatik dan anggota staf administrasi, teknis dan pelayanan dari
dan teknis yang pada umumnya memegang paspor dinas. Didalam lingkungan staf
diplomatik sendiri dibedakan dalam dua kategori17
1. Kategori pertama, staf diplomatik yang diangkat dari kementerian luar negeri
yang merupakan staf diplomatik karir yang mempunyai jenjang kepangkatan
dari pangkat diplomatik terendah.
:
a. Atase merupakan pangkat atau gelar diplomatik yang paling rendah
b. Sekretaris III
c. Sekretaris II
d. Sekretaris I
e. Counsellor
f. Minister Counsellor
g. Minister bisa disebut sebagai duta (bukan duta besar) dan merupakan
pangkat setingkat lebih rendah dari duta besar dan setingkat lebih tinggi
dari Minister Counsellor.
2. Kategori kedua adalah para pejabat diplomatik yang pengangkatannya berasal
dar kementerian-kementerian lain termasuk lembaga dan institusi-institusi
lainnya (sifatnya non-karir) yang di perbantuan kepada perwakilan diplomatik
dari negaranya. Kepangkatan kategori kedua ini karena pada umumnya
bersifat teknis, maka keoada mereka diberikakn satu status sebagai “Service
17
Attaches” yang namanya tergantung dari Kementerian, lembaga atau institusi
mana mereka berasal.
Negara penerima wajib menjaga keamanan dan keselamatan para diplomat
yang bertugas dinegaranya baik dari warga negara penerima maupun warga negara
asing. Tetapi pada saat sekarang ini makin banyak kasus pelanggaran kekebalan
diplomatik oleh negara penerima. Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah:
1. Pelanggaran terhadap gedung perwakilan diplomatik
2. Pelanggaran kebebasan komunikasi
3. Penistaan lambang negara
4. Penangkapan dan penaanan terhadap staf misi diplomatik.
Salah satu pelanggaran kasus yang menjadi perbincangan dunia internasional
saat sekarang ini adalah ditangkap dan ditahannya diplomat India Devyani
Khobragade di Amerika Serikat. Dengan tuduhan pemalsuan Visa pembantu rumah
tangganya. Didalam Visa pembantu Devyani yang bernama Sangeeta Richard
devyani membuat pernyataan akan membayar gaji sang pembanu dengan jumlah
US$10. Tetapi keyataannya tidak. Hal ini dilakukan Devyani agar Sangeeta
mendapatkan visa A-3, Dimana Visa A-3 tersebut merupakan visa non-imigran dan
memungkinkan pemegangnya untuk bekerja di mana saja di Amerika Serikat untuk
majikan tertentu.
F. Metode Penelitian
Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang dipakai sebagai
berikut :
1. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu
pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif.
Pendekatan yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data
primer atau data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan Yuridis
normatif merupakan penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah
bangunan sistem norma. Sitem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas,
norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta
doktrin (ajaran)18
Penelitian dalam skripsi ini adalag penelitian yuridis normatif. Penilitian
yuridis normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang
digunakan untuk memberikan justifikasi preskriptif tentang suatu peristiwa hukum,
sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat
kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem kaidah atau
atauran, sehingga penilitian hukum normatif adalah penelitian yang mempunyai objek
kajian tentang kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait
18
dengan suatu peristiwa hukum. yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data
sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Dokumen yang
dimaksud disini adalah dokumen yang terkait dengan hubungan internasional yang
mengatur tentang hubungan diplomatik dan hubungan konsuler antara lain: Konvensi
Wina 1961, Konvensi Wina 1963, Konvensi Wina 1975.
2. Data Penelitian
Sumber data dari penelitian ini berasal dari Library Research (penelitian
kepustakaan). Penelitian kepustakaan ini dilakukan terhadap berbagai macam sumber
bahan hukum yang dapat di klasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu :
a. Primary Resource atau Authoritative Records (Bahan Hukum Primer)
Merupakan berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya
mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, dalam tulisan ini antara lain
Konvensi Wina 1961
b. Secondary Resource atau Not authoritative Records (Bahan Hukum
Sekunder)
Merupakan bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap
bahan hukum primer. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian
tentang keputusan kasus diplomat India ditangkap oleh kepolisian Amerika Serikat
serta macam-macam pelanggaran hak atas kekebalan diplomatik di negara penerima
seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, dan lain-lain.
Merupakan bahan bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup
kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan
beberapa literatur asing.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara Library Research
(penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi
pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :
a. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak
maupun elektronik, serta dokumen-dokumen pemerintahan.
b. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.
c. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah
4. Analisis Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier
yang telah disusun secara sitematis sebelumnya, akan dianalisis dengan menggunakan
metode-metode sebagai berikut:19
a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus
(sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan
baru)yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang telah
diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan diteliti sedemkian rupa
sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir.
b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang
kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal
yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu
diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang
bersifat lebih khusus.
c. Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi) antara
satu sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam
melakukan penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam
19
menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari
skripsi ini. Adapun sistematika skripsi ini sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Yaitu menguraikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Praktek Negara Penerima Dalam Penerapan Kekebalan Diplomatik Terhadap Anggota Missi Diplomatik
Yaitu menguraikan tentang Sejarah Hubungan Diplomatik, Fungsi dan
Tujuan Pejabat Missi Diplomatik, Teori-Teori Kekebalan Diplomatik,
Hak Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik, Mulai
dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi
Diplomatik, dan Praktek Negara Penerima Penerapan Kekebalan
Diplomatik Terhadap Anggota Missi Diplomatik.
BAB III : Bentuk-Bentuk Pelanggaran Atas Kekebalan Diplomatik Oleh Negara Penerima Terhadap Staf Missi Diplomatik
Yaitu menguraikan tentang Pelanggaran Terhadap Gedung Perwakilan
Diplomatik, Pelanggaran Kebebasan Berkomunikasi. Penistaan
Lambang negara serta Penangkapan dan Penahanan Terhadap Staf
BAB IV : Penyelesaian Kasus Penangkapan Diplomat India Oleh Kepolisian Amerika Serikat
Yaitu menguraikan tentang Latar Belakang Kasus Peangkapan
Diplomat India Oleh Kepolisian Amerika Serikat, Tanggapan Pihak
India Atas Kasus Penangkapan Diplomat India, dan Tinjauan
Mengenai Penanganan dan Penyelesaian Kasus Penangkapan
Diplomat India oleh Kepolisian Amerika Serikat.
BAB V : Penutup
BAB II
PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK
A. Sejarah Hubungan Diplomatik
Meningkatnya kerja sama antar negara dalam menggalang perdamaian dunia
demi kesejahteraan manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial maka
tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat pula. Pengaturan
diplomatik khususnya perkembangan kodifikasi hukum diplomatik memang tidak
begitu pesat sebelum didirikannya badan Perwakilan Bangsa-Bangsa.20
Sampai dengan tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan
hubungan diplomatik berasal dari hukum kebiasaan. Pada Kongres Wina tahun 1815
raja-raja yang ikut dalam konferensi sepakat untuk mengodifikasi hukum kebiasaan
tersebut menjadi hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai dan mereka
hanya menghasilkan satu naskah saja yaitu hirarki diplomat yang kemudian
dilengkapi dengan protokol Aix-La-Chapelle pada tanggal 21 November 1818.
Kongres Wina dari segi substansi praktis tidak menambah apa-apa terhadap praktik
yang sudah ada sebelumnya selain menjadikannya sebagai hukum tertulis.21
20
Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Bandung: Bandar Maju, 1992, Halaman: 32.
21
Niam, Sejarah Hubungan Diplomatik Antar Negara,Sumber:
Kemudian pada tahun 1927 dalam kerangka Liga bangsa-bangsa (LBB)
diupayakanlah kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai
komisi ahli ditolak oleh dewan LBB tersebut. Alasannya yaitu belum waktunya untuk
merumuskan kesepakatan global mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan
diplomatik yang cukup kompleks. karena itu, memutuskan untuk tidak memasukkan
masalah tersebut dalam agenda konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada
tahun 1930 untuk kodifikasi hukum internasional.22
Disamping itu, di Havana pada tahun 1928 konferensi ke-6 organisasi
negara-negara amerika (OAS) menerima konvensi dengan nama Convention of Diplomatik
Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh 12 negara Amerika, kecuali Amerika Serikat
yang mendatangani saja dan tidak meratifikasi karena menolak ketentuan-ketentuan
yang menyetujui pemberian suaka politik. Mengingat sifatnya yang regional
implementasi konvensi ini tidak menyeluruh.
23
Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis
Umum PBB atas amanat pasal 13 Piagam PBB yang berbunyi sebagai berikut:24
“1. majelis umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulan-usulan (recoomendations) dengan tujuan: Memajukan kerjasama internasional di bidang politik, dan mendorong peningkatan dan pengembangan hukum internasional secara progresif dan pengodifikasiannya; Memajukan kerjasama internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan bidang-bidang kesehatan, dan membantu meningkatkan pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun agama.”
22 Ibid. 23
Ibid. 24
Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topik
pembahasan yang didalamnya juga termasuk topik hubungan diplomatik, terutama
mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun, pembahasan mengenai
hubungan diplomatik tidak mendapatkan prioritas.25
Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai akibat
perang dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik,
maka atas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum PBB pada tahun 1953 menerima
resolusi yang meminta Komisi Hukum Internasional memberikan prioritas untuk
melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.
Pada tahun 1954, Komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan
kekebalan diplomatik, dan sebelum berakhir 1959 Majelis Umum melalui resolusi
1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan suatu Konferensi Internasional
guna membahas maslah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan
keistimewaan diplomatik.26
Konferensi tersebut dinamakan “The United Nations Conference on
Diplomatik Intercourse and Immunities”, mengadakan sidangnya di Wina pada 2
Maret 1961–14 April 1961. Kota Wina dipilih dengan pertimbangan historis karena
kongres pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota tersebut
pada 1815. Konferensi ini dihadiri oleh delegasi dari 81 negara, 75 diantaranya
25 Ibid. 26
adalah anggota-anggota PBB dan enam lagi adalah delegasi dari badan-badan yang
berhubungan dengan Mahkamah Internasional.27
1. Vienna Convention on Diplomatik Relations,
Konferensi menghasilkan
instrumen-instrumen, yaitu:
2. Optional Protocol Concerning Aqcuisition of Nationality, dan
3. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.
Di antara ketiga instrumen tersebut Konvensi Wina tentang hubungan
diplomatik (Convention on Diplomatik Relations), 18 april 1961 merupakan yang
terpenting.28
Konvensi Wina 1961 diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan
hanya satu negara abstain. Pada 18 april 1961, wakil dari 75 negara menandatangani
Konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tiga tahun
kemudian, pada 24 april 1964, Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik ini
dinyatakan mulai berlaku. Kini hampir seluruh negara didunia telah meratifikasi
konvensi tersebut,termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU Nomor 1
Tahun 1982 pada 25 Januari 1982. Pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam
Konvensi Wina tersebut digarisbawahi oleh Mahkamah Internassional dalam kasus
United States Diplomatik and Consular Staff in Teheran melalui ordonansinya
tertanggal 15 Desember 1979, dan pendapat hukumnya (Advisory Opinion) tertanggal
27
Edy Suryono. Op.Cit Halaman : 37 28
24 Mei 1980. Konvensi wina ini merupakan kode diplomatik yang sebenarnya.
Walaupun hukum kebiasaan dalam konvensi ini tetap berlaku sepertii tersebut dalam
alinea terakhir mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai tambahan: “…that
the rules of customary international law should continue to govern question not
expressly regulated by the provisions of the present Convention.” 29
B. Fungsi dan Tujuan Pejabat Missi Diplomatik
Secara tradisional, fungsi pejabat missi diplomatik, baik duta besar maupun
pejabat diplomatiknya adalah untuk mewakili negaranya dan mereka itu bertindak
sebagai suara dari pemerintahnya disamping sebagai penghubung antara pemerintah
negara penerima dan negara pengirim. Mereka juga bertugas untuk melaporkann
mengenai keadaan dan perkembangan di negara dimana mereka di akreditasikan
termasuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan negaranya dan warga
negaranya di negara penerima.30
Fungsi pejabat missi diplomatik pada dasarnya hanya berhubungan dengan
persoalan politik, tetapi pada saat ini sulit bagi kita untuk memisahkakn antara politik
dengan aspek kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itulah fungsi
pejabat missi diplomatik lama kelamaan juga berubah, bukan hanya
menyelenggarakan hubungan politik saja, tetapi sudah jauh masuk ke bidang
29
Syahmin, Hukum Diplomatik, Rajagrafindo, Jakarta, 2008, Halaman : 16-17 30
perdagangan, keuangan, perindustrian dan lain sebagainya, yang sbenarnya
merupakan wewenang konsuler.
Pejabat missi diplomatik ada yang bersifat tetap (permanent), dan ada pejabat
missi diplomatik yang bersifat sementara (ad hoc). Lingkup fungsi pejabat missi
diplomatik sementara (ad hoc) sangat terbatas, begitu pula rentang waktu dan
urusannya misalnya dalam menghadiri konferensi antarnegara, menandatangani
perjanjian, melakukan negoisasi khusus.31
Fungsi pejabat missi diplomatik tetap (permanent) adalah melaksanakan
seluruh tugas yang dibebankan oleh negara pengirim dinegara penerima sesuai
dengan kesepakatan kedua negara sepanjang tidak bertentangan dengan Konvensi
Wina tahun 1961 dan konvensi lain yang berkaitan dengan hubungan diplomatik.
32
Article 3
Berikut ini beberapa fungsi pejabat missi diplomatik seperti yang tercantum dalam
Konvensi Wina 1961 :
1. The function of a diplomatik mission consist, inter alia, in: (a) Representing the sending state in the receiving state;
(b) Protecting in the receiving state the interests of the sending state and of its national, within the limits permitted by international law;
(c) Negotiating with the government of the receiving state;
(d) Ascertaining by all lawful means conditions and developments in the receiving state, and reposting thereon to the government of the sending state;
(e) Promoting friendly relations between the sending state and the receiving state, and developing their economic cultural and scientific relations.
31
Widodo, Hukum Kekebalan Diplomatik, Aswaja Presindo, Yogyakarta, 2009, Halaman: 50. 32
Fungsi pejabat missi diplomatik adalah sebagai berikut:
1. Mewakili negaranya dinegara penerima
Perwakilan diplomatik yang dibuka oleh suatu negara ke negara lain
merupakan suatu perwakilan yang permanen (permanent mission) dan
mempunyai tugas dan fungsi yang cukup beragam (ius representationis
omnimodo) yaitu hak keterwakilan sesuatu negara secara keseluruhan. Tugas
utama seorang duta besaar adalah untuk mewakili negara pengirim di negara
penerima dan untuk bertindak sebagai saluran hubungan yang resmi antara
pemerintah dari kedua negara. Disamping itu tujuan pokok dari pembukaan
hubungan diplomatik adalah untuk memudahkan hubungan resmi antara
negara dan para diplomatnya, dapat melakukan negosiasi dan menyampaikan
pandangan dari pemerintahnya mengenai berbagai maslah kepada negara
dimana dia diakreditasi.
Dengan demikian apa yang dilakukan oleh para diplomat dalam suatu
perwakilan diplomatik di negara penerima pada hakekatnya harus
mencerminkan kepentingan dari negara pengirim dan pemerintahnya. Mereka
harus menjaga harkat dan martabat serta kehormatan negaranya sebagai
negara yang berdaulat.33
33
2. Perlindungan terhadap kepentingan negara pengirim dan warga negaranya
Tugas kedua yang juga penting dari pejabat missi diplomatik adalah untuk
melindungi kepentingan dari negara pengirim dan kepentingan dari warga
negarnya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh
hukum internasional. Perlindungan itu harus pula diberikan oleh negara
penerima kepada para pejabat diplomatik dinegaranya. Bahkan negara ketiga
pun harus memberikan fasilitas dan perlindungan diplomatik kepada para
pejabat diplomatik yang sedang in transit di negara ketiga yang bersangkutan
(Pasal 46 Konvensi Wina 1961). Walaupun memiliki fungsi proteksi, bukan
berarti Duta Besar boleh langsung campur tangan dalam persoalan rumah
tangga negara penerima.34
Hanya saja jika warga negaranya meminta pertolongan, ia wajib
memberikannya dalam batas-batas kekuasaannya sejauh diperkenankan
hukum internasional. Sebagai contoh, warga negaranya dirugikan oleh suatu
badan atau lembaga dari negara penerima maka sang duta boleh memberikan
perlindungan diplomatik kepada mereka berupa tuntutan ganti rugi melalu
saluran diplomatik atau jika ada warga negaranya terlantar, duta dapat
memberikan pertolongan keuangan seandainya memang tersedia anggaran
untuk itu atau mengajak warga negaranya yang lain untuk mengulurkan
34
tangan untuk memulangkan yang bersangkutan dengan biaya yang akan
diperhitungkan kemudia secara gotong royong.
3. Melakukan perundingan dengan negara penerima
Pejabat missi diplomatik juga mempunyai tugas untuk melakukan
perundingan mengenai berbagai masalah yang menjadi kepentingan
negaranya di negara penerima yang pada umumnya dilakukan oleh duta besar.
Perundingan-perundingan tersebut bukan saja menyangkut berbagai
permasalahan termasuk kerja sama bilateral baik dibidang politik, ekonomi,
perdagangan, kebudayaan, militer ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.
Disamping itu fungsi pejabat missi diplomatik juga untuk memberikan
penafsiran mengenai pendapat atau sikap negara pengirim serta mencari
dukungan mengenai setiap masalah dari negara penerima termasuk untuk
mengadakan konsultasi mengenai masalah-masalah internasional. Demikian
juga mengenai kekecewaan dan ketidak-puasan yang dialami oleh negara
pengirim terhadap sikap pemerintah negara penerima mengenai sesuatu
masalah. 35
4. Laporan perwakilan diplomatik kepada pemerintahnya
Fungsi perwakilan diplomatik lainnya yang juga penting adalah menyangkut
kewajiban untuk memberikan laporan kepada negaranya mengenai keadaan
dan perkembangan negara penerima dengan cara-cara yang tidak bertentangan
dengan hukum mengenai berbagai aspek baik politik, ekonomi, sosial, budaya
35
dan lain-lain . Dengan demikian perwakilan diplomatik memainkan peranan
yang penting bukan saja dalam menyampaikan informasi dari pemerintah
negara penerima kepada negaranya tetapi juga sebaliknya. pejabat missi
diplomatik tersebut juga harus secara aktif mengambil prakarsa dalam
mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dinegara penerima dan
menganalisanya sebelum menyampaikannya kepada pemerintah negara
pengirim. Didalam praktek hal itu bisa juga timbul masalah, karena beberapa
negara menurut undang-undangnya melarang adanya azas kebebasan dalam
informasi. Oleh karena itu bisa saja terjadi bahwa cara-cara untuk
memperoleh informasi itu dianggap biasa dan sah di satu negara, tetapi oleh
sesuatu negara lainnya bisa dilihat sebagai suatu tindak kriminal mata-mata.36
5. Meningkatkan hubungan dan kerjasama di berbagai bidang
Fungsi pejabat missi diplomatik juga mencakup hal yang penting seperti
kewajiban untuk meningkatkan hubungan persahabatan dengan negara
penerima dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu
pengetahuan. pejabat missi diplomatik juga bertugas untuk meningkatkan
hubungan ekonomi perdagangan atas dasar prinsip saling menguntungkan.
Duta besar sebagai kepala perwakilan diplomatik bertugas untuk
meningkatkan pengertian antara dua negara karena itu melibatkan bukan saja
yang berhubungan dengan pemerintah negara penerima tetapi juga dalam
rangka menjelaskan kebijakan dan sikap pemerintahnya dan pandangan
36
mereka terhadap rakyat dan negara melalui media dan dalam acara-acara yang
layak serta memberikakn pengertian terhadap pemerintah dan rakyat
mengenai maksud, harapan dan kehendak dari negaranya.37
Fungsi pejabat missi diplomatik ini menurut pasal 13 Konvensi Wina 1961
mulai berlaku apabila
“kepala missi diplomatik dianggap telah memulai tugasnya di negara penerima, baik saat ia menyerahkan surat-surat kepercayaannya maupun ia memberitahukan kedatangannya dan menyerahkan sebuah salinan asli surat kepercayannya kepada menteri luar negeri negara penerima, atau menteri lain yang ditunjuk untuk itu, sesuai denngan praktik yang berlaku di negara penerima yang akan diperlakukan secara seragam”
Urutan-urutan penyerahan surat-surat kepercayaan atau sebuah salinan asli
akan ditentukan oleh hati, tanggal, dan saat kedatangan kepala misi yang
bersangkutan.
Pada umumunya tugas seorang kepala missi diplomatik akan berakhir karena
telah habis masa jabatannya yang diberikan kepadanya. Tugas itu dapat pula berakhir
karena ia ditarik kembali recalled oleh pemerintah negaranya. Bisa juga berakhir
karena sang diplomat yang bersangkutan tidak disukai lagi persona non-garata. Jika
antara negara pengirim dan negara penerima terjadi perang, tugas seorang diplomat
juga kan terganggu (terhenti) dan ia biasanya dipanggil pulang. Kemudian, jika
kepala pemerintahan (presiden/raja/ratu) wafat, turun tahta, atau terjadi suksesi
kepemimpinan nasional, dapat pula menyebabkan berhentinya tugas missi diplomatik
seorang pejabat diplomatik, (pada saat sekarang, kematian kepala negara atau kepala
37
pemerintahan, tidak lagi dipergunakan sebagai alasan untuk menarik kembali kepala
perwakilannya diluar negeri)38
Menurut J.G Starke, sebuah pejabat missi diplomatik dapat berakhir dengan
cara yang berbeda-beda diantaranya:39
8. Penarikan kembali (recall) perutusan itu oleh negara yang mengirimnya. Surat
penarikan kembali biasanya disampaikan kepada kepala negara atau kepala
menteri luar negeri dalam audensi yang resmi dan perutusan yang
bersangkutan akan menerima pengembalian Lettre de Recreance yang
memberitahukan penarikannya.
9. Pemberitahuan oleh negar apengirim kepada negara penerima bahwa tugas
perutusan itu telah berakhir (pasal 43 Konvensi Wina).
10.Permintaan oleh negara penerima agar perutusan ditarik kembali (recalled).
Negara tuan rumah tidak perlu memberikan penjelasan mengenai permintaan
tersebut (lihat Pasal 8 Konvensi Wina), akan tetapi seperti dalam kasus
permintaan Australia pada bulan Juni 1986 agar Atase Afrika Selatan kembali
negaranya, hal ini secara tegas dapat didasarkan atas suatu klaim tetang
tuduhan tindakakn yang tidak dapat diterima, dengan suatu batas waktu
tertentu untuk keberangkatanyya (sepuluh hari seperti yang ditanyakan dalam
permintaan Australia untuk pemulangan Atase yang dikemukakan di atas).
38
Syahmin, Hukum Diplomatik, Raja grafindo, Jakarta, 2008, Halaman: 85 39
Walaupun penyebutan tentang batas waktu itu tidak secara etgas diisyaratkan
oleh Konvensi Wina.
11.Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya
oleh negara yang menerima, seperti pada waktu pecah perang antara negara
pengirim dan negara penerima.
12.Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim, jika perutusan
itu dinyatakan persona non grata dan apabila ia tidak ditarik kembali atau
tugas-tugasnya belum berakhir, bahwa negara penerima itu menolak
mengakuinya lagi sebagai anggota misi (pasal 9 dan 43 Konvensi Wina).
13.Tujuan misi tersebut telah terpenuhi.
14.Berakhirnya masa berlaku surat-surat kepercayaan yang diberikan hanya
untuk waktu terbatas.
Tujuan pejabat missi diplomatik, Menurut ketetapan Konggres Wina 1815 dan
Konggres Aux La Chapella 1818 (konggres Achen), pelaksanaan peranan perwakilan
diplomatik guna membina hubungan dengan negara lain dilakukan oleh
perangkat-perangkat berikut :40
a. Duta Besar Berkuasa Penuh (ambassador), adalah tingkat tertinggi dalam
perwakilan diplomatik yang mempunyai kekuasaan penuh dan luar biasa.
Ambassador ditempatkan pada negara yang banyak menjalin hubungan
timbale balik.
40
Ryeza, Menganalisis Fungsi Perwakilan Diplomatik, Sumber:
b. Duta (gerzant), adalah wakil diplomatik yang pangkatnya lebih rendah dari
duta besar, Dalam menyelesaikn segala persoalan kedua negara dia harus
berkonsultasi dengan pemerintah negaranya.
c. Menteri Residen, seorang menteri residen dianggap bukan wakil pribadi
kepala negara. Dia hanya mengurus urusan negara dan pada dasarnya tidak
berhak mengadakan pertemuan dengan kepala negara dimana dia berugas.
d. Kuasa Usaha (charge d’Affair). Dia tidak ditempatkan oleh kepala negara
kepada kepala negara tetapi ditempatkan oleh menteri luar negeri kepada
menteri luar negeri.
e. Atase-atase, adalah pejabat pembantu dari duta besar berkuasa penuh. Atase
terdiri atas dua bagian, yaitu:
1. Atase Pertahanan
Atase ini dijabat oleh seorang perwira militer yang diperbantukan departemen
Luar negeri dan ditempatkan di kedutaan besar negara bersangkutan, serta
diberi kedudukan sebagai seorang diplomat. Tugasnya adalah memberikan
nasehat di bidang militer dan pertahanan keamanan kepada duta besar
berkuasa penuh.
2. Atase Teknis
Atase ini dijabat oleh seorang pegawai negeri sipil tertentu yang tidak berasal
kedutaan besar untuk membantu duta besar. Dia berkuasa penuh dalam
melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan tugas pokok dari
departemennya sendiri. Misalnya Atase Perdagangan, Perindustrian,
Pendidikan Kebudayaan.41
C. Teori-Teori Kekebalan Diplomatik
Kekebalan Diplomatik merupakan hal yang penting bagi wakil dari
negara-negara dalam melakukan hubungannya dengan negara-negara lain. Dalam melakukan
diplomasi yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negara tersebut. Agar wakil-wakil
negara tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik dan efisien, maka para
wakil-wakil negara dalam berdiplomasi tersebut diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan.
Sehubungan dengan itu terdapat 3 teori mengenai landasan hukum pemberian
kekebalan dan keisitimewaan diplomatik luar negeri, yaitu sebagai berikut :
1. Teori Ekstrateritorialitas (Exterritotiality Theory)
Menurut teori ini, seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak
meninggalkan negaranya, ia hanya berada diluar wilayah negara penerima,
walaupun pada kenyataannya ia sudah jelas berada diluar negeri sedang
melaksanakan tugas-tugasnya dinegara dimana ia ditempatkan. Demikian juga
halnya gedung perwakilan, jadi pemberian kekebalan dan keistimewaan
diplomatik itu disebabkan faktor eksterritorialitas tersebut. Oleh karena itu,
seorang diplomat itu dianggap tetap berada dinegaranya sendiri, ia tidak
tunduk pada hukum negara penerima dan tidak dapat dikuasai oleh negara
penerima. Menurut teori ini seorang pejabat diplomatik tersebut adalah
dikuasai oleh hukum dari negara pengirim.42
Dalam praktiknya, teori eksterritorialitas sangat berat untuk diterima karena
dianggap tidak realistis. Teori ini hanya didasarkan atas suatu fiksi dan bukan
realita yang sebenarnya.43
Jadi, teori eksterritorialitas dalam arti, seorang wakil diplomatik dianggap
tetap berada di wilayah negaranya sendiri
44
Teori ini didalam kehidupan sangat sullit diterapkan, dan mayoritas ahli
hukum menyangkal kebenarannya. Kejanggalan teori tersebut dapat disimak
dalam ilustrasi berikut :
.
45
a. Seorang diplomat dalam kesehariannya sulit memaksakan diri untuk
melaksanakan ketentuan hukum negara pengirim di negara penerima,
misalnya diplomat Indonesia tidak dapat mengendarai mobil pribadi pada
jalan raya untuk jalur dua arah di negara Saudi Arabia dengan menerapkan
peraturan lalu lintas Indonesia. Apabila diplomat Indonesia
mengemudikan kendaraan di jalan lajur sebelah kiri maka pasti
42
Sigit Fahrudin, Hak istimewa Dan Kekebalan Diplomatik, sumber:
Januari 2015
43 Edy Suryono, dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Bandung, Angkasa, 1991. Halaman: 31
44
Syahmin, Op.Cit, Halaman: 117 45