• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Penyiapan Lahan Acacia crassicarpa Terhadap Serangan Penyakit Busuk Akar Putih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Penyiapan Lahan Acacia crassicarpa Terhadap Serangan Penyakit Busuk Akar Putih"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PENYIAPAN LAHAN

Acacia crassicarpa

TERHADAP SERANGAN PENYAKIT

B

USUK AKAR PUTIH

SYAMSI FAUQO NURI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

DAMPAK PENYIAPAN LAHAN

Acacia crassicarpa

TERHADAP SERANGAN PENYAKIT

BUSUK AKAR PUTIH

SYAMSI FAUQO NURI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

RINGKASAN

Syamsi Fauqo Nuri (E14201029). Dampak Penyiapan Lahan Acacia crassicarpa terhadap Serangan Penyakit Busuk Akar Putih. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr dan Drs.Simon Taka Nuhamara, Ms

Kebakaran tahun 2002 di PT. SBA Wood Industries banyak meninggalkan tegakan mati, sisa-sisa tunggak mati atau batang-batang yang tumbang di lantai hutan. Di dalam tanah juga masih banyak terdapat sisa-sisa akar habis terbakar maupun bekas pembukaan hutan era HPH. Pada saat penyiapan lahan untuk penanaman dengan jenis yang sama yaitu Acacia crassicarpa (replanting) dengan sistem manual, sisa-sisa tunggul maupun sisa akar dan log-log yang terbakar masih ada di bawah permukaan tanah. Penyiapan lahan dengan sistem manual tersebut kurang efektif dalam membersihkan lahan sehingga sisa-sisa akar aatau tunggul tersebut menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya patogen penyebab penyakit atau menjadi alas makanan (base food) bagi patogen penyakit tersebut. Penyakit yang paling dominan di areal bekas terbakar PT. SBA wood Industries adalah penyakit busuk akar putih.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, sumber penyakit busuk akar putih intensitas serangan dan pola penyebaran penyakit busuk akar putih akibat kebakaran hutan dilakukan di areal hutan tanaman Acacia crassicarpa PT. SBA Wood Industries.

Data-data yang diambil dalam penelitian adalah data primer dan data skunder skunder. Data primer berupa pengukuran di lapangan yaitu pengukuran azimuth dan jarak jarak datar. Selain itu juga dilakukan pengamatan penyakit busuk akar putih pada setiapa pohon dalam tiap cunit contoh. Teknik yang digunakan adalah Stratified Random Sampling dengan Intensitas Sampling sebesar 0.02% .Pengambilan unit contoh diambil dengan menggunakan alokasi sebanding sebanyak 9 plot contoh, rinciannya 3 plot contoh pada umur tegakan < 2,5 tahun, 5 plot pada umur tegakan 2-2,5 tahun dan 1 plot contoh pada umur tegakan >2,5 tahun. Data sekunder yang diambil berupa peta area kerja, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kejadian kebakaran dan luas kebakaran tahun 2002, informasi tentang penyiapan lahan yang dilakukan pada areal bekas terbakar dan di areal penelitian, informasi mengenai penyakit busuk akar putih dan penyebarannya di PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries dan keadaan penyakit busuk akar putih di lokasi penelitian. Analisis data yang dilakukan umntuk mencari hubungan antara perbedaan umur tanam dengan intensitas serangan penyakit busuk akar putih menggunakan program Curve Expert.

(4)

adanya miselia atau hifa karena penyakit busuk akar putih terjadi akibat adanya kontak antar akar.

Kebakaran hutan tahun 2002 di PT. SBA Wood Industries banyak meninggalkan sisa-sisa akar di bawah permukaan, meskipun sudah dilakukan penyiapan lahan pembersihan sisa-sisa akar atau tunggul pohon mati kurang efektif hal inilah yang memungkinkan penyakit busuk akar putih dominan menyerang pada tegakan A. Crassisarpa. Pada lahan bekas terbakar biasanya terjadi peningkatan unsur hara makro dan mikro karena adanya sisa-sisa pembakaran serasah, ranting dan log kayu serta adanya abu menyebabkan jamur mudah tumbuh dan berkembang. Menurut Moore dan Lendecker (1972) jamur pelapuk kayu membutuhkan zat makanan yang terdiri dari unsur hara makro dan mikro. Sisa-sisa pembakaran tersebut digunakan oleh jamur sebagai substrat dan jamur memperoleh makanan dari sumber tersebut hingga jamur memperoleh tanaman yang dapat diinfeksi. Sebelum terjadinya kebakaran pH tanah yang terukur menurut informasi yang diperoleh memiliki pH yang rendah yaitu berkisar 3 karena sifat gambut yang asam. Setelah terjadinya kebakaran terjadi peningkatan pH tanah atau tanahnya tidak bersifat asam lagi yang menyebabkan jamur akar putih menyukai tanah tersebut karena jamur akar putih tidak menyukai tanah dengan suasana asam.

(5)

Judul : Dampak Penyiapan Lahan Acacia crassicarpa terhadap Serangan Penyakit Busuk Akar Putih

Nama : Syamsi Fauqo Nuri NIM : E14201029

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr Drs. Simon Taka Nuhamara, MS Ketua Anggota

Diketahui,

Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc

Ketua Departemen Manajemen Hutan

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 24 September 1983 sebagai anak dari tiga bersaudara, merupakan anak dari pasangan Bapak Windi Yogo Hariyanto dan Ibu Mulyati.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang berjudul Dampak Penyiapan Lahan Acacia crassicarpa terhadap Serangan Penyakit Busuk Akar Putih.Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak dibantu dan dibimbing oleh berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr, selaku dosen pembimbing skripsi pertama dan Bapak Drs. Simon Taka Nuhamara, MS, selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan sejak persiapan sampai terselesaikannya skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. E.G. Togu Manurung, MS selaku dosen penguji dari departemen Hasil Hutan dan Babak Ir. Agus Piyono Kartono, M.Si selaku dosen penguji dari Departemen KSH atas arahan, pengetahuan, dan bimbingannya.

3. Ibu, Bapak serta adiku Oji dan Zidane atas doa, kasih sayang, kebahagiaan, jerih payah, dan restunya senantiasa memberikan semangat bagiku.

4. Semua Karyawan PT. SBA Wood Industries yang telah memberikan bantuan selama penulis di lapangan.

5. Teman-teman terbaiku Epi, Erika, Mami Ira, Restu, Siti, Esin, Elen, Silvano, Rinto, Tohir, Papi Mukti, dan Eka atas doa, semangat persahabatannya.

6. Teman-teman BDH dan seluruh civitas THH, KSH dan MNH atas kekompakan, kebersamaan dan keceriaannya.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritikan yang membangun, sehingga skripsi ini benar-benar bermanfaat.

Bogor, 24 November 2005

(8)

DAFTAR ISI

Faktor-faktor yang Memepengaruhi Pertumbuhan Jamur... 15

Deskripsi tentang Acacia crassisarpa A. Cunn. Ex Benth ... 17

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Kejadian Kebakaran tahun 2002 ... 31

Kondisi Tegakan A. crassicarpa pada Lahan Bekas Terbakar dengan Berbagai Umur Tanam ... 34

Kemungkinan Berkembangnya Penyakit Busuk Akar Putih ... 34

Gejala dan Jenis Jamur Akar Putih ... 37

Tingkat Serangan penyakit Busuk Akar Putih ... Pola Penyebaran Penyakit Busuk Akar Putih ... 41

Solusi atau Pengendalian Penyakit ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 45

Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tingkat serangan dan gejala penyakit busuk akar putih ... 24 2. Kondisi rata-rata suhu, kelembaban, kecepatan angin, laju penjalaran

api, ketebalan bahan bakar, dan tinggi api pada saat kejadian kebakaran pada berbagai kondisi ... 3. Data areal HTI SBA Wood Industries yang terbakar... 28 4. Hasil penilaian tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar putih dalam tiap plot contoh pada areal bekas kebakaran tahun 2002 umur tanam kurang dari 2 tahun ... 5. Hasil penilaian tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar putih dalam tiap plot contoh pada areal bekas kebakaran tahun 2002 umur tanam 2-2,5 tahun ... 29 6. Hasil penilaian tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar putih dalam tiap plot contoh pada areal bekas kebakaran tahun 2002 umur tanam lebih dari 2,5 tahun ... 30 7. Rata-rata tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar putih per

umur tanam pada areal bekas kebakaran tahun 2002 tegakan

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Sisa tunggul pada area habis terbakar ... 2. Sisa-sisa akar yang tertinggal pada saat penyiapan lahan ... 3. Perakaran yang dibuka terlihata adanya rhizomorf berwarna putih ...

4. Badan buah jamur akar putih (Ganoderma sp) ... 27

5. Badan buah jamur Rigidoporus micoporus... 28

6. Kriteria pohon yang sehat atau tingkat 0 (Siregar et al, 2004)... 28

7. Kriteria pohon tingkat 1 (Awal) ... 29

8. Kriteria pohon tingkat 2 (Kritis) ... 29

9. Kriteria pohon tingkat 3 (Lanjut)... 30

(11)

DAMPAK PENYIAPAN LAHAN

Acacia crassicarpa

TERHADAP SERANGAN PENYAKIT

B

USUK AKAR PUTIH

SYAMSI FAUQO NURI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(12)

DAMPAK PENYIAPAN LAHAN

Acacia crassicarpa

TERHADAP SERANGAN PENYAKIT

BUSUK AKAR PUTIH

SYAMSI FAUQO NURI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

RINGKASAN

Syamsi Fauqo Nuri (E14201029). Dampak Penyiapan Lahan Acacia crassicarpa terhadap Serangan Penyakit Busuk Akar Putih. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr dan Drs.Simon Taka Nuhamara, Ms

Kebakaran tahun 2002 di PT. SBA Wood Industries banyak meninggalkan tegakan mati, sisa-sisa tunggak mati atau batang-batang yang tumbang di lantai hutan. Di dalam tanah juga masih banyak terdapat sisa-sisa akar habis terbakar maupun bekas pembukaan hutan era HPH. Pada saat penyiapan lahan untuk penanaman dengan jenis yang sama yaitu Acacia crassicarpa (replanting) dengan sistem manual, sisa-sisa tunggul maupun sisa akar dan log-log yang terbakar masih ada di bawah permukaan tanah. Penyiapan lahan dengan sistem manual tersebut kurang efektif dalam membersihkan lahan sehingga sisa-sisa akar aatau tunggul tersebut menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya patogen penyebab penyakit atau menjadi alas makanan (base food) bagi patogen penyakit tersebut. Penyakit yang paling dominan di areal bekas terbakar PT. SBA wood Industries adalah penyakit busuk akar putih.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, sumber penyakit busuk akar putih intensitas serangan dan pola penyebaran penyakit busuk akar putih akibat kebakaran hutan dilakukan di areal hutan tanaman Acacia crassicarpa PT. SBA Wood Industries.

Data-data yang diambil dalam penelitian adalah data primer dan data skunder skunder. Data primer berupa pengukuran di lapangan yaitu pengukuran azimuth dan jarak jarak datar. Selain itu juga dilakukan pengamatan penyakit busuk akar putih pada setiapa pohon dalam tiap cunit contoh. Teknik yang digunakan adalah Stratified Random Sampling dengan Intensitas Sampling sebesar 0.02% .Pengambilan unit contoh diambil dengan menggunakan alokasi sebanding sebanyak 9 plot contoh, rinciannya 3 plot contoh pada umur tegakan < 2,5 tahun, 5 plot pada umur tegakan 2-2,5 tahun dan 1 plot contoh pada umur tegakan >2,5 tahun. Data sekunder yang diambil berupa peta area kerja, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kejadian kebakaran dan luas kebakaran tahun 2002, informasi tentang penyiapan lahan yang dilakukan pada areal bekas terbakar dan di areal penelitian, informasi mengenai penyakit busuk akar putih dan penyebarannya di PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries dan keadaan penyakit busuk akar putih di lokasi penelitian. Analisis data yang dilakukan umntuk mencari hubungan antara perbedaan umur tanam dengan intensitas serangan penyakit busuk akar putih menggunakan program Curve Expert.

(14)

adanya miselia atau hifa karena penyakit busuk akar putih terjadi akibat adanya kontak antar akar.

Kebakaran hutan tahun 2002 di PT. SBA Wood Industries banyak meninggalkan sisa-sisa akar di bawah permukaan, meskipun sudah dilakukan penyiapan lahan pembersihan sisa-sisa akar atau tunggul pohon mati kurang efektif hal inilah yang memungkinkan penyakit busuk akar putih dominan menyerang pada tegakan A. Crassisarpa. Pada lahan bekas terbakar biasanya terjadi peningkatan unsur hara makro dan mikro karena adanya sisa-sisa pembakaran serasah, ranting dan log kayu serta adanya abu menyebabkan jamur mudah tumbuh dan berkembang. Menurut Moore dan Lendecker (1972) jamur pelapuk kayu membutuhkan zat makanan yang terdiri dari unsur hara makro dan mikro. Sisa-sisa pembakaran tersebut digunakan oleh jamur sebagai substrat dan jamur memperoleh makanan dari sumber tersebut hingga jamur memperoleh tanaman yang dapat diinfeksi. Sebelum terjadinya kebakaran pH tanah yang terukur menurut informasi yang diperoleh memiliki pH yang rendah yaitu berkisar 3 karena sifat gambut yang asam. Setelah terjadinya kebakaran terjadi peningkatan pH tanah atau tanahnya tidak bersifat asam lagi yang menyebabkan jamur akar putih menyukai tanah tersebut karena jamur akar putih tidak menyukai tanah dengan suasana asam.

(15)

Judul : Dampak Penyiapan Lahan Acacia crassicarpa terhadap Serangan Penyakit Busuk Akar Putih

Nama : Syamsi Fauqo Nuri NIM : E14201029

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr Drs. Simon Taka Nuhamara, MS Ketua Anggota

Diketahui,

Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc

Ketua Departemen Manajemen Hutan

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 24 September 1983 sebagai anak dari tiga bersaudara, merupakan anak dari pasangan Bapak Windi Yogo Hariyanto dan Ibu Mulyati.

(17)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang berjudul Dampak Penyiapan Lahan Acacia crassicarpa terhadap Serangan Penyakit Busuk Akar Putih.Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak dibantu dan dibimbing oleh berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr, selaku dosen pembimbing skripsi pertama dan Bapak Drs. Simon Taka Nuhamara, MS, selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan sejak persiapan sampai terselesaikannya skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. E.G. Togu Manurung, MS selaku dosen penguji dari departemen Hasil Hutan dan Babak Ir. Agus Piyono Kartono, M.Si selaku dosen penguji dari Departemen KSH atas arahan, pengetahuan, dan bimbingannya.

3. Ibu, Bapak serta adiku Oji dan Zidane atas doa, kasih sayang, kebahagiaan, jerih payah, dan restunya senantiasa memberikan semangat bagiku.

4. Semua Karyawan PT. SBA Wood Industries yang telah memberikan bantuan selama penulis di lapangan.

5. Teman-teman terbaiku Epi, Erika, Mami Ira, Restu, Siti, Esin, Elen, Silvano, Rinto, Tohir, Papi Mukti, dan Eka atas doa, semangat persahabatannya.

6. Teman-teman BDH dan seluruh civitas THH, KSH dan MNH atas kekompakan, kebersamaan dan keceriaannya.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritikan yang membangun, sehingga skripsi ini benar-benar bermanfaat.

Bogor, 24 November 2005

(18)

DAFTAR ISI

Faktor-faktor yang Memepengaruhi Pertumbuhan Jamur... 15

Deskripsi tentang Acacia crassisarpa A. Cunn. Ex Benth ... 17

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Kejadian Kebakaran tahun 2002 ... 31

Kondisi Tegakan A. crassicarpa pada Lahan Bekas Terbakar dengan Berbagai Umur Tanam ... 34

Kemungkinan Berkembangnya Penyakit Busuk Akar Putih ... 34

Gejala dan Jenis Jamur Akar Putih ... 37

Tingkat Serangan penyakit Busuk Akar Putih ... Pola Penyebaran Penyakit Busuk Akar Putih ... 41

Solusi atau Pengendalian Penyakit ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 45

Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tingkat serangan dan gejala penyakit busuk akar putih ... 24 2. Kondisi rata-rata suhu, kelembaban, kecepatan angin, laju penjalaran

api, ketebalan bahan bakar, dan tinggi api pada saat kejadian kebakaran pada berbagai kondisi ... 3. Data areal HTI SBA Wood Industries yang terbakar... 28 4. Hasil penilaian tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar putih dalam tiap plot contoh pada areal bekas kebakaran tahun 2002 umur tanam kurang dari 2 tahun ... 5. Hasil penilaian tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar putih dalam tiap plot contoh pada areal bekas kebakaran tahun 2002 umur tanam 2-2,5 tahun ... 29 6. Hasil penilaian tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar putih dalam tiap plot contoh pada areal bekas kebakaran tahun 2002 umur tanam lebih dari 2,5 tahun ... 30 7. Rata-rata tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar putih per

umur tanam pada areal bekas kebakaran tahun 2002 tegakan

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Sisa tunggul pada area habis terbakar ... 2. Sisa-sisa akar yang tertinggal pada saat penyiapan lahan ... 3. Perakaran yang dibuka terlihata adanya rhizomorf berwarna putih ...

4. Badan buah jamur akar putih (Ganoderma sp) ... 27

5. Badan buah jamur Rigidoporus micoporus... 28

6. Kriteria pohon yang sehat atau tingkat 0 (Siregar et al, 2004)... 28

7. Kriteria pohon tingkat 1 (Awal) ... 29

8. Kriteria pohon tingkat 2 (Kritis) ... 29

9. Kriteria pohon tingkat 3 (Lanjut)... 30

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Data deskripsi pohon pada umur tanam < 2 tahun di tegakan Acacia

crassicarpa lahan bekas terbakar tahun 2002 plot ke-1... 51 2. Data deskripsi pohon pada umur tanam < 2 tahun di tegakan Acacia

crassicarpa lahan bekas terbakar tahun 2002 plot ke-2... 53 3. Data deskripsi pohon pada umur tanam < 2 tahun di tegakan Acacia

crassicarpa lahan bekas terbakar tahun 2002 plot ke-3 ... 56 4. Data deskripsi pohon pada umur tanam 2-2,5 tahun di tegakan Acacia

crassicarpa lahan bekas terbakar tahun 2002 plot ke-1... 58 5. Data deskripsi pohon pada umur tanam 2-2,5 tahun di tegakan Acacia

crassicarpa lahan bekas terbakar tahun 2002 plot ke-2... 59 6. Data deskripsi pohon pada umur tanam 2-2,5 tahun di tegakan Acacia

crassicarpa lahan bekas terbakar tahun 2002 plot ke-3... 62 7. Data deskripsi pohon pada umur tanam 2-2,5 tahun di tegakan Acacia

crassicarpa lahan bekas terbakar tahun 2002 plot ke-4 ... 65 8. Data deskripsi pohon pada umur tanam 2-2,5 tahun di tegakan Acacia

crassicarpa lahan bekas terbakar tahun 2002 plot ke-5 ... 67 9. Data deskripsi pohon pada umur tanam lebih dari 2,5 tahun di

tegakan Acacia crassicarpa lahan bekas terbakar tahun 2002 plot

ke-1... 69 10. Peta sebaran pohon masing-masing plot pada umur tanam < 2 tahun,

(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan dan keanekaragaman hayatinya adalah sumber daya alam anugrah Tuhan untuk mendukung kehidupan manusia. Hutan yang dimiliki oleh Indonesia sangat berpotensi besar dalam mendukung kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Selain bermanfaat dalam mendukung berbagai kehidupan atau hayati dan pengaturan sistem air (hidrologi) bagi lingkungan sekitarnya, juga sangat berperan dalam mempengaruhi iklim global jika ditinjau dari kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon.

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dimaksudkan agar sebagian besar hutan alam yang kita miliki tetap dijaga kelestariannya dengan pengelolaan yang intensif dan tepat. Sebagian lahan hutan yang akan dikembangkan menjadi HTI pada waktu itu berbentuk lahan kosong yang tertutup padang alang-alang, belukar, hutan yang rusak akibat kebakaran atau sebab-sebab lain yang pada waktu itu masih berbentuk hutan alam bekas tebangan.

Perusak hutan yang cukup banyak merugikan adalah kebakaran. Terjadinya padang ilalang di banyak tempat di Indonesia terutama disebabkan oleh kebakaran hutan, baik karena alam ataupun karena api yang disengaja maupun yang tidak disengaja dibuat oleh manusia. Kebakaran karena penyebab alami (petir) belum pernah dilaporkan terjadi di Indonesia, sedang kebakaran karena keteledoran manusia sering terjadi di Indonesia.

(23)

menyerang adalah penyakit busuk akar putih. Penyakit busuk akar putih sendiri merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan karena selain mematikan pohon juga menyebabkan tertularnya penyakit ke pohon-pohon disekitarnya yang disebabkan oleh jamur akar putih. Pohon yang terkena penyakit tersebut akan mati atau tumbang dan apabila intensitas serangan penyakit tinggi nantinya akan sangat merugikan produktivitas hutan.

Dalam tulisan ini akan dipaparkan masalah yang berkaitan dengan serangan penyakit busuk akar putih pada areal bekas terbakar terkait dengan faktor penyiapan lahan sehingga nantinya diketahui pola penyebaran penyakit busuk akar putih. Selain itu dapat diketahui tingkat kerusakan dan keparahan yang diakibatkan oleh penyakit tersebut. Dari hasil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai pedoman atau langkah-langkah dalam pencegahan dan penaggulangan penyakit busuk akar putih untuk mengantisipasi kerugian yang ditimbulkan agar tidak terulang kembali.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sumber penyakit busuk akar putih, intensitas serangan dan pola penyebaran penyakit busuk akar putih akibat kebakaran hutan berdasar studi kasus yang dilakukan di areal hutan tanaman Acacia crassicarpa PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, Sumatera Selatan.

C. Manfaat Penelitian

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebakaran Hutan 1. Definisi

Peristiwa perubahan fisik dan kimiawi pada bagian tanaman (bahan bakar) akibat proses oksidasi (pemanasan) bahan bakar tersebut dengan melepaskan energi panas (Suratmo, 1979). Kebakaran atau api hanya bisa terjadi bila terdapat 3 unsur atau yang biasa disebut dengan segitiga api yaitu bahan bakar, oksigen atau udara, panas (suhu yang tinggi). Prinsip segitiga api ini merupakan dasar dalam penanggulangan kebakaran hutan (Sormin dan Hartono, 1986).

Menurut Brown dan Davis (1973) Proses pembakaran dalam kebakaran hutan secara sederhana dapat diterangkan secara reaksi kimia dan dapat dihubungkan dengan proses fotosintesis pohon sebagai berikut :

Prosos fotosintesis :

CO2 + H2O + energi panas matahari Selulosa + O2 Proses pembakaran dalam kebakaran hutan

Selulosa + O2 + energi dari api CO2 + H2O + energi dalam bentuk panas (suhu).

Menurut Brown dan Davis (1973), fase kebakaran hutan terdiri dari : 1. Fase pra pemanasan

Suhu bahan bakar naik sampai suatu titik yang disebut titik nyala. Pada fase ini panas diabsorbsi oleh bahan bakar dari sekelilingnya, belum terlihat adanya perubahan pada bahan bakar.

2. Fase Penguraian

Bahan bakar diurai menjadi beberapa macam zat yang dapat menyala berupa gas yang menyerupai minyak dan arang.

3. Fase Pembakaran

(25)

Brown & Davis (1973) membagi kebakaran hutan ke dalam 3 tipe, yaitu: 1. Kebakaran bawah (ground fire)

Api membakar bahan-bahan organik yang berada di bawah serasah. Bahan organik ini mempunyai sifat yang padat dengan tekstur halus dan bebas dari angin dan oksigen dari udara. Api kebakaran bawah tidak menyala dan kadang-kadang tidak berasap sehingga sulit diketahui Api menjalar sangat lambat atau pelan, api menjalar ke segala arah karena tidak terpengaruhi oleh angin sehingga kebakaran bawah berbentuk lingkaran. Panas yang ditimbulkan oleh kebakaran bawah akan menimbulkan kerusakan atau kematian pada akar tanaman yang dapat berarti kematian pula bagi tanaman tersebut.

2. Kebakaran permukaan (surface fire)

Api membakar serasah, tanaman bawah, semak-semak dan anakan-anakan. Serasah merupakan bahan yang sangat mudah terbakar. Biasanya segala macam kebakaran di hutan dimulai dengan kebakaran permukaan terlebih dahulu. Berhubung pada serasah dan tanaman-tanaman kecil di hutan cukup banyak oksigen dan terdapat pengaruh angin, maka kebakaran ini menyala dan menjalar dengan cepat, tetapi juga mudah padam. Karena pengaruh api di tempat terbuka maka menjalarnya api berbentuk lonjong atau ellips, api yang searah dengan angin akan menjalar dengan cepat, sedang yang berlawanan dengan arah angin menjalar dengan pelan atau mati.

3. Kebakaran tajuk (crown fire)

(26)

biasanya api yang jatuh dari tajuk menimbulkan kebakaran permukaan. Api menjalar searah dengan angin, karena pengaruh angin ada pada tajuk yang sudah besar.

2. Sumber Api

Menurut Saharjo (2003) dalam Suratmo et al (2003) sumber api dalam kebakaran hutan adalah faktor alam dan manusia.

1. Faktor alam a. Petir

Di beberapa negara seperti Amerika, Australia dan Kanada petir merupakan sumber apa yang paling potensial dan banyak merugikan. Kondisi cuaca yang berbeda dan kering membuat prosesnya berjalan baik, karena setelah petir tidak diikuti oleh hujan. Untuk Indonesia sendiri petir bukanlah penyebab kebakaran hutan, karena setelah petir berlangsung maka berikutnya yang terjadi adalah turunnya hujan. b. Batubara

Khusus untuk daerah Pulau Kalimantan, batubara semakin populer dijadikan sebagai sumber api. Namun untuk membuat batubara tersebut menyala harus ada ”starting point” sebagai sumber penyulutan, kalau tidak prosesnya akan lambat dan tidak sedahsyat yang dipikirkan orang. Akan sangat dipertanyakan keberadaannya jika batubara tidak terdapat di hutan.

c. Gesekan kayu

Dari hasil pengamatan di laboratorium menunjukan bahwa kebakaran hutan yang disebabkan oleh gesekan kayu tidak mungkin terjadi.

2. Faktor manusia a. Sengaja membakar

(27)

b. Puntung rokok dan anti nyamuk (padat)

Hasil penelitian di laboratorium dan uji lapangan menunjukan bahwa puntung rokok dan obat nyamuk tidak bisa dianggap sebagai penyulut api di lapangan, meskipun kadar air bahan bakar sampai 5% dan serasah alang-alang sebagai medianya. Tetapi kalau puntung rokok disambung dengan botol yang berisi minyak tanah atau satu bungkus korek api seperti yang sering ditemukan di lapangan, maka pernyataan tersebut menjadi benar.

c. Obor minyak tanah

Belakangan ini obor minyak tanah sudah terang-terangan digunakan sebagai sumber penyulut api di lapangan.

d. Konflik sosial

Disebabkan oleh status kepemilikan lahan garapan, pekerja lapangan yang tidak pernah dibayar penuh upahnya, kontraktor pelaksana memperdayai pekerja, dan hubungan yang tidak harmonis antara penduduk dengan pihak perusahaan.

e. Operasi pembalakan

Disebabkan pembukaan lahan dengan menggunakan api yang tidak terkontrol, api unggun, pembakaran sisa-sisa pohon atau cabang-cabang ranting, dan iseng (motif yang tidak jelas).

B. Penyiapan Lahan

(28)

Dalam penyiapan sebelu penanaman ada 4 hal yang perlu dilakukan pengaturan sebelum (Dephut , 1998), yaitu:

1. Pembersihan gulma/vegetasi pengganggu dan pengendalian kesuburan tanah

Semua jenis gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman harus dikeluarkan dari lahan penanaman agar tanaman bebas dari saingan gulma dan bahan-bahan pengganggu lainnya. Cara pembersihan faktor pengganggu tersubut dapat dilakukan dengan cara manual, kimia dan mekanis atau kombinasinya.

Terhadap sisa-sisa vegetasi yang berupa sisa-sisa pohon tidak dilakukan pembakaran. Sedangkan sisa daun, ranting dan kulit kayu ditinggal di areal penanaman atau dijadikan kompos. Tunggak pohon sebaiknya dikeluarkan dari petak tanaman. Pembersihan secara manual dapat dilakukan pada setiap kondisi areal mulai dari fisiogafi datar sampai dengan curam (kelerengan lapangan sampai dengan 25%). Caranya dengan menebas, mencincang dan memumpuk, dengan memotong pohon-pohon yang berdiameter kecil, semak dan belukar.

Pembersihan secara mekanis hanya dilakukan pada areal dengan kelerengan lapangan di bawah 15%, dengan menggunakan traktor (farm factor atau buldozer) yang dilengkapi dengan pisau pengupas tanah yang standar. Pada areal bervegetasi alang-alang tanpa adanya semak belukar maka pembersihan lahan dilakukan bersamaan dengan pembajakan. Sedangkan pada areal alang-alang yang bervegetasi belukar atau belukar murni atau hutan skunder pembersihan lahan dilakukan dengan cara mendorong vegetasi tersebut dengan traktor dan dikumpulkan di suatu tempat yang tidak digunakan sebagai areal penanaman termasuk biomas daun. Sisa-sisa tonggak dibongkar sampai ke akar-akarnya. Dalam pekerjaan ini diusahakan pendorong pada waktu traktor berjalan selalu di atas tanah.

(29)

tidak ada hujan dan angin kencang. Pohon kecil atau semak yang mengganggu penyemprotan dibersihkan terlebih dahulu. Penyemprotan utama dilakukan pada seluruh areal secara total atau jalur. Penyemprotan kedua hanya dilakukan seandainya penyemprotan pertama kurang sempurna. Kalau penyemprotan kedua belum sempurna dilakukan pengusapan (wiping) dengan lap/kain yang dibasahi herbisida.

2. Pengaturan kebutuhan cahaya

Kebutuhan tanaman pada waktu muda berbeda-beda. Pada umumnya jenis-jenis pohon yang tergolong intoleran atau secondary forest membutuhkan cahaya penuh, karena itu areal tanaman harus bebas dari naungan terbuka. Untuk itu diperlukan pembersihan lahan secara total. Sebaliknya pohon-pohon yang tergolong jenis-jenis pohon semi toleran memerlukan naungan pada waktu muda. Oleh karena itu dalam mempersiapkan lahannya untuk penanaman perlu diciptakan pre kondisi iklim mikro yaitu dengan menanam jenis-jenis pohon-pohon peneduh yang bertajuk ringan terlebih dahulu sebelum tanaman pokok ditanam. Atau kalau kondisi lapangannya terdiri dari semak belukar maka penyiapan lahannya dilakukan dalam bentuk jalur-jalur tanam yang lebarnya 2 – 3 m. 3. Perbaikan sifat fisik tanah

Pengolahan tanah perlu dilakukan untuk memperbaiki sifat fisik tanah. Areal yang memiliki kemiringan di bawah 10º pengolahan tanahnya dapat dilakukan secara mekanis. Pembajakan tanah dilakukan 2 kali sedalam 30 cm dan 1 – 2 minggu setelah pembajakan kedua dilaksanakan penggaruan satu kali.

4. Pengaturan drainase

(30)

C. Gambaran Hutan Rawa Gambut 1. Pembentukan dan Penyebaran

Menurut Hardjowigeno (1989), luas tanah gambut di Indonesia adalah 27 juta Ha yang tersebar di daerah rawa belakang dan pantai Sumatra, Kalimantan, Irian Jaya dan sedikit pulau lain. Dari luas tersebut sekitar 16,2 juta Ha kandungan bahan organiknya lebih dari 65% dan tebalnya lebih dari 1 meter, sedangkan 8.8 juta Ha lainnya lebih dari 2 meter.

Tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa generasi hutan sebelumnya. Terdiri dari material-material pekat tidak berbentuk, berwarna coklat tua sampai hitam. Masih sering dijumpai kulit kayu, ranting, daun, akar yang terurai sebagian dan mungkin bagian buah dan biji yang masih dikenal bercampur dengan bahan massa padatan seperti tunggal pohon, batang, cabang dalam berbagai tingkat terdekomposisi (Istomo, 1996).

2. Sifat dan Karakteristik

Widjaya-Adhi (1986) membagi gambut berdasarkan tingkat kematangan atau pelapukannya ke dalam bahan organik fibrik, hemik dan saprik. Fibrik adalah gambut yang tingkat pelapukannya terendah, 2/3 volumenya terisi serat. Tingkat kematangan hemik sedang dan kandungan seratnya 1/3 sampai 2/3 volumenya. Saprik adalah gambut yang paling lapuk, kurang dari 1/3 volumenya berupa serat.

Menurut Dai (1989), sebagian besar gambut masam (pH 3 sampai 5) dan dalam berkadar inorganik kurang dari 5%. Fraksi organik terutama terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan sedikit kandungan protein, lilin, tanin, resin, subresin dan lain-lain. Kadar abu merupakan petunjuk yang jitu mengenai keadaan tingkat kesuburan tanah gambut. Pada umumnya gambut dangkal (kurang dari 1 meter) yang termasuk bagian tepian kubah mempunyai kadar abu sekitar 15%, bagian lereng dengan kedalaman 1 sampai 3 meter berkadar 10% bahkan kurang dari 15%.

(31)

D. Penyakit Hutan 1. Gambaran Umum

Pohon dikatakan sakit apabila pada pohon tersebut terjadi perubahan proses fisiologis yang disebabkan oleh faktor-faktor penyebab penyakit sehingga jelas ditunjukan adanya gejala (Suratmo, 1974). Hal yang sama dikemukakan oleh Hadi (2001) bahwa tanaman hutan dikatakan sakit bila tanaman tersebut terjadi penyimpangan dalam proses-proses fisiologis yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bekerja secara terus-menerus hingga timbulah gejala yang dapat terlihat. Nuhamara et al (2002) mengemukakan yang disebut hutan sakit adalah hutan yang tidak dapat memenuhi fungsinya secara optimal sesuai dengan tata guna hutan yang ditetapkan.

Cara untuk mengetahui adanya penyakit hutan adalah dengan melihat adanya gejala atau tanda penyakit yang timbul di pohon. Menurut Suratmo (1974) gejala adalah kelainan atau penyimpangan dari keadaan normal yang ditunjukan oleh pohon atau tanaman. Suatu penyakit dapat menimbulkan gejala yang berbeda atau dapat pula sama dari pohon-pohon yang berbeda. Tanda dari suatu penyakit hutan merupakan bentuk vegetatif atau reproduktif dari patogen. Tanda dari suatu patogen kadang-kadang dapat dilihat dengan mata biasa tanpa alat pembesaran (makroskopik) dan kadang-kadang harus dilihat dengan alat pembesar (mikroskopik).

2. Penyebab Penyakit

Penyebab dari suatu tanaman hutan dapat dibagi menjadi 2 yaitu, penyebab yang disebabkan oleh patogen dan oleh faktor cuaca (Suratmo, 1974).

Faktor penyebab dari patogen atau makhluk hidup diantaranya : 1. Bakteri

Kalsifikasi bakteri terdiri dari tiga tipe, yaitu tipe coccus (berbentuk bulat), bacillus (berbentuk batang), dan spirilium (spiral). Pada umumnya hanya dari type bacillus yang dapat menyebabkan penyakit tanaman. 2. Jamur

(32)

pembagian batang, akar dan daun. Dengan tidak adanya klorofil maka jamur tidak dapat mengadakan transpirasi, respirasi dan fotosintesis. Dapat hidup sama baiknya di tempat gelap maupun terang, sinar matahari langsung tidak diperlukan.

3. Virus

Virus merupakan jamur yang berada antara benda mati dan benda hidup. Dikatakan benda mati karena dapat mengkristal. Sedang dikatakan hidup karena mampu berkembang biak dan melakukan proses-proses kehidupan lainnya.

Penggolongan atau klasifikasi virus sebagai patogen penyakit pohon didasarkan pada perbedaan-perbedaan dari gejalanya, cara penularannya, sifat-sifat fisik, sifat-sifat kimia, serologis, dan fenomena hambatan. Gejala penyakit pohon yang disebabkan oleh virus biasanya pelan dan sukar diketahui, misalnya terjadinya perubahan warna (daun), tumbuh kerdil, mengkriput/mengkriting dan lain-lain.

4. Tanaman tingkat tinggis

Tanaman tingkat tinggi ini sering dikenal dengan benalu, tetapi biasanya tidak banyak merugikan pada tanaman kehutanan, kecuali memang banyak jumlah individu benalu yang hidup menempel pada pohon, maka pohon itu sangat menderita sekali karena makanannya diambil terus oleh benalu-benalu tersebut.

Menurut Suratmo (1974), penyebab penyakit dilihat dari faktor cuaca adalah

1. Suhu tinggi dan rendah, suhu tinggi biasanya dilihat dari segi faktor penyinaran

2. Kelebihan atau kekurangan air 3. Angin

4. Tanah

(33)

E. Penyakit Busuk Akar Putih

Jamur busuk akar putih (Leoptocarpus lignosus (klot) Heim et Pat) mempunyai banyak sinonim. Jamur ini memiliki sekitar 35 nama, sedangkan nama ilmiah yang sering dipakai adalah Fomes lignosus (Klotzch), Fomes semitosus (Petch) dan Rigidopous microporus (Swartz) Van Ov. (Semangun, 1964).

Menurut Rahayu (1999) salah satu jenis penyakit yang menyerang jenis tanaman Akasia adalah penyakit busuk akar putih. Gejala yang ditimbulkan dari penyakit busuk akar putih biasanya terjadi pada tanaman yang masih muda. Pohon yang sakit daunnya menguning dan layu, sehingga akhirnya pohon menjadi gundul dan mati. Pada permukaan akar terdapat benang-benang (miselia) jamur berwarna putih yang tumbuh sepanjang akar. Rhizomorf bercabang banyak dan sering melebar seperti jala. Akar yang sakit membusuk dan menjadi kering. Kayu akar yang baru saja mati biasanya tetap keras, berwarna cokelat dan kadang agak kekelabuan. Pada pembusukan lebih lanjut, kayu berwarna putih atau krem, tetap padat, dan kering meskipun di tempat yang basah, namun kadang-kadang dapat hancur seperti bubur (Semangun, 1989).

Penyakit busuk akar putih disebabkan oleh jamur akar putih (Leptoporus lignosus atau Fomes lignosus) (Hadi & Nuhamara, 1980). Jamur ini membentuk badan buah seperti kipas tebal, agak berkayu, memiliki zona-zona pertumbuhan dan sering mempunyai struktur serta yang radier, dan tepinya tipis. Badan buah yang sudah tua umumnya ditumbuhi ganggang sehingga warnanya akan menjadi suram, permukaan atas berwarna cokelat kekuning-kuningan pucat, permukaan bawah berwarna cokelat kemerah-merahan dan tepinya menggulung ke bawah tidak kuning lagi (Rahayu, 1999).

(34)

akar-akar gulma atau akar tanaman bawah, jamur tidak mampu menginfeksi langsung pada akar sehat. Jamur akar putih dapat menular dengan perantara rhizomorf. Rhizomorf dapat menjalar sampai lebih kurang 180 cm, terutama sepanjang permukaan-permukaan yang keras. Tetapi rhizomorf hanya dapat mengadakan infeksi pada akar yang sehat bila masih bertumpu pada sepotong kayu yang menjadi alas makanannya. Setelah mencapai akar tanaman yang sehat, rhizomorf lebih dahulu tumbuh secara epifitik pada permukaan akar sampai agak lama sebelum mengadakan penetrasi ke dalam akar (Semangun, 1964).

Menurut Semangun (1964) dalam Rahayu (1999), pengendalian penyakit akar putih dapat dilakukan yaitu :

i. Untuk mencegah terjadinya penyakit, maka sebelum penanaman, pada waktu pembukaan tanah (land clearing), perlu dilakukan pembersihan tunggul dan sisa-sisa akar tanaman hutan secara teliti. Di dalam hutan biasanya banyak terdapat tumbuhan yang dapat menjadi inang jamur akar putih. Apabila mungkin, pada waktu land clearing sebelum dilakukan penebangan, sebaiknya pohon-pohon yang rentan diracun terlebih dahulu untuk mempercepat pembusukan tunggul dan akar-akarnya.

ii. Penanaman harus diusahakan menggunakan bibit yang sehat dan berkualitas baik agar tidak terinfeksi oleh jamur akar putih di persemaian. iii. Apabila ada tanaman yang sakit, sumber inokulumnya harus disingkirkan

dan dibinasakan.

iv. Pencegahan meluasnya penyakit dapat dilakukan dengan membuat selokan isolasi (parit isolasi) dan pembuatan leher akar secara bersama-sama, disamping perbaikan drainase.

F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur

1. Makanan

(35)

Moore dan Lendecker (1972) menyatakan bahwa jamur juga membutuhkan zat makanan yang terdiri dari unsur makro dan mikro. Unsur makro yang sangat dibutuhkan jamur adalah karbon, nitrogen, sedangkan unsur mikro berupa vitamin-vitamin. Unsur karbon sangat dibutuhkan sebagai energi. Unsur nitrogen dibutuhkan dalam proses sintesa asam amino yang menghasilkan protein guna membangun protoplasma.

2. Suhu

Masing-masing jenis jamur mempunyai suhu optimum lingkungan yang berbeda, tetapi jamur perusak kayu tumbuh dengan baik pada keadaan yang lembab dan hangat. Padlinurjaji (1979) menyatakan bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan jamur berkisar antara 27º C – 32°C dan suhu maksimal 43°C. Pertumbuhan akan terhambat apabila suhunya berada di luar batas suhu optimum. Apabila suhu meningkat terus diatas suhu optimum, maka jamur akan mati.

3. Kelembaban

Duncan (1960) diacu oleh Tambunan dan Nandika (1989) menyatakan bahwa tiap jenis jamur hidup dalam kelembaban yang berbeda-beda., tetapi hampir semua jamur dapat hidup pada substrat tidak jenuh air, terutama jenis-jenis yang tumbuh pada kayu atau tanah. Pertumbuhan maksimal untuk sebagian besar fungi terjadi pada kelembaban relatif antara 95 – 100 % dan pertumbuhan akan menurun atau berhenti pada kelembaban 80 –85 %. Sedikit fungi akan hidup pada kelembaban relatif 65 %.

4. Oksigen

(36)

5. Derajat Keasaman

Jenis-jenis jamur pelapuk kayu dapat hidup pada pH 4,5 – 5,5 dan batas minimum pertumbuhannya pada pH 2 (Tambunan dan Nandika, 1989).

6. Cahaya

Faktor cahaya kurang begitu berpengaruh terhadap petumbuhan jamur. Sebagian kecil jenis jamur membutuhkan cahaya dalam intensitas dan kualitas tertentu untuk bereproduksi secara normal, namun sebagian besar dapat tumbuh dalam keadaan gelap (Christensen, 1975). Justru intensitas cahaya yang tinggi cenderung memperlambat pertumbuhan jamur (Scheffer, 1973).

G. Deskripsi tentang Acacia crassisarpaA. Cunn. Ex Benth 1. Sifat Morfologi

Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth termasuk pohon yang mempunyai tinggi diatas 20 dan kadang-kadang bisa mencapai 30 m (Doran and Turnbull, 1997). Pohon ini mampu mencapai diameter batang lebih dari 50 cm, kulit batang berwarna gelap atau coklat abu-abu, kasar, beralur vertikal, kulit bagian dalam berwarna merah dan berserat. Berbunga majemuk yang terdiri dari sumbu sentral dengan bunga-bunga duduk, berwarna kuning terang, panjang 4 – 7 cm, tangkai yang menopang anak daun yang tebal, berkelamin ganda, panjang kelopak 0,5 – 0,7 mm, mahkota berkembang luas, glabrous, panjang 1,3 – 1,6 mm, 2 – 3 panjang kelopak; panjang benang sari 2 – 3 mm; ovari pendek (Hanum and Van der Maesen, 1997 dalam Novita 2000).

Rettob (1994) dalam Sumrahardi (2000) menyatakan bahwa A. crassicarpa merupakan tanaman tropik yang cepat pertumbuhannya pada

(37)

2. Persyaratan Tumbuh

Jenis Akasia ini dapat tumbuh dengan baik pada tanah dengan keasaman yang kuat (tanah podsolik merah kuning) dan pada tanah dengan drainase tidak sempurna yang bisa tergenang pada musim hujan dan akan kering pada musim kemarau, misalnya pada daerah rawa (Doran and Turnbull, 1997).

A. crassicarpa banyak dijumpai di daerah beriklim humid dan subhumid yang mempunyai suhu maksimum rata-rata pada musim panas sebesar 32 – 34ºC, suhu minimum rata-rata pada musim dingin sebesar 12º C - 21ºC dan suhu harian maksimum mencapai 32ºC. Kebanyakan daerah sebarannya adalah bebas kabut (frost) yang mempunyai selang rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1000 – 3500 mm (Doran and Turnbull, 1997).

3. Kegunaan

A. crassicarpa dapat digunakan sebagai pelindung dan naungan, fiksasi nitrogen udara dan perlindungan tanah dalam mencegah erosi. Kayunya dapat digunakan untuk kayu energi, baik kayu bakar maupun pembuatan arang dan untuk kontroksi berat, meubel bahan baku pembuatan kapal, lantai, veneer dan pulp (Doran and Turnbull, 1997).

(38)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Luas

Lokasi PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (SBAWI) terletak di Teluk Pulai, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan. Secara topografis dibatasi oleh : - Sebelah Utara : PT. Bumi Andalas Permai (BAP) dan ± 2 Km dari

arah laut (Selat Bangka) - Sebelah Selatan : Sungai Lebong Hitam - Sebelah Timur : PT. Bumi Andalas Permai

- Sebelah Barat : Sungai Lebong Hitam dan Sungai Lebon (Desa Lubuk Tapa) berbatasan dengan PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) dan PT. Bumi Andalas Permai (BAP) Secara geografis dibatasi oleh :

- Sebelah Utara : 02º 48' LS - Sebelah Selatan : 03º 21' LS - Sebelah Timur : 105º 34' BT - Sebelah Barat : 105º 56' BT

(39)

B. Tanah dan Geologi

Tanah di areal kerja PT. SBAWI terbentuk dari batuan alluvium yang merupakan horison A (horison terbasuh). Tanah mineral di areal ini mempunyai bahan induk pasir halus dan lempung setempat dari endapan rawa swamp deposit yang membentuk tiga group formasi geologi yaitu marin, kubah dan alluvial, di atas formasi ini terbentuk tanah gambut dengan berbagai ketebalan.

Menurut sisitem klasifikasi tanah Pusat Penelitian Tanah (PPT) 1992 di areal PT. SBAWI terdapat 3 jenis tanah yaitu organosol, gleisol dan alluvial.

1. Organosol dengan macam organosol hemik dan organosol saprik yang setara dengan dystric histosol (FAO-Unesco, 1974) atau menurut sistem taksonomi tanah USDA (Soil Survey, 1990) tergolong group topohemist, troposaprists atau sulfohemist (USDA, 1990).

2. Gleisol dengan macam gleisol hidrik atau gleisol dyistric yang setara dengan dystric gleisol (FAO-Unesco, 1974) atau hydraquents (USDA, 1990).

3. Alluvial dengan macam alluvial thinik atau alluvial fluvisols (FAO-Unesco, 1974) atau sulvaquents (USDA, 1990), alluvial gleik yang setara dengan dystric gleisols (FAO-Unesco, 1974) atau tropoquents (USDA, 1990).

Kelerengan pada areal PT. SBAWI tergolong datar (0-8%) areal ini secara keseluruhan merupakan areal rawa gambut, keadaan fisiografi di lokasi PT. SBAWI terdiri dari group alluvial dengan formasi hutan rawa yang selalu jenuh air di sepanjang pinggir sungai dan group kubah gambut dengan variasi kedalaman gambut antara 0,5-2,5 meter.

C. Iklim dan Curah Hujan

(40)

tertinggi pada bulan Maret sekitar 365 mm dan terendah pada bulan Agustus sekitar 70 mm yang memiliki ciri hujan kering yang tegas. Curah hujan rata-rata bulanan adalah sekitar 2.380 mm dengan jumlah hari hujan 144 hari.

D. Keadaan Hutan

(41)

IV. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada areal bekas kebakaran hutan tanaman industri tahun 2002 jenis Acacia crassicarpa umur tanam kurang dari 2 tahun, 2-2,5 tahun dan lebih dari 2,5 tahun di PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, Sumatera Selatan dari bulan Juni sampai bulan Juli 2005.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : peta area kerja, meteran gulung sepanjang 50 m, tali rafia, kompas, plastik, tambang, GPS, phiband, clinometer, kuas, gunting, parang, pisau, cangkul, kantong plastik, kamera, kalkulator, tally sheet, kertas label. Bahan yang digunakan adalah contoh tanah dan aquades untuk mengukur pH tanah.

C. Metode 1. Jenis data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung di lapangan berupa hasil pengukuran dan hasil pengamatan langsung di lapangan.

b. Data Sekunder

(42)

2. Cara Pengumpulan Data

Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada tegakan Acacia crassicarpa di areal hutan tanaman PT. SBA Wood Industries dengan masing-masing umur tanam, yaitu umur tanam 2 tahun, 2-2,5 tahun, dan lebih dari 2,5 tahun. Tegakan A. crassicarpa yang dijadikan objek penelitian sebelumnya merupakan areal bekas terbakar tahun 2002 yang kemudian ditanami kembali (replanting). Areal tersebut setelah terbakar ditumbuhi semak belukar dan alang-alang dan sebelum ditanami kembali dengan jenis yang sama yaitu A. crassicarpa dilakukan penyiapan lahan dengan cara manual dan penyemprotan.

Luas areal yang terbakar tahun 2002 dan sudah ditanami kembali dengan jenis A. crassicarpa adalah 4552.48 Ha. Luas areal untuk umur tanam kurang dari 2 tahun sebesar 1710.67 Ha, umur tanam 2-2,5 tahun sebesar 224.79 Ha, dan umur tanam lebih dari 2,5 tahun sebesar 598.02 Ha. Teknik sampling yang digunakan adalah Stratified Random Sampling dengan Intensitas Sampling 0,02%. Unit contoh yang digunakan berupa lingkaran berukuran 0,1 Ha atau dengan jari-jari 17,95 m. Banyaknya unit contoh yang diambil pada setiap tahun tanam menggunakan alokasi sebanding (propotional allocation), dengan rumus :

Dimana : nh = banyaknya unit contoh pada tahun tanam ke-h (h = 1, 2, 3, ....)

Nh = luas areal tahun tanam ke-h

N = total luas areal yang diteliti

n = total unit contoh dari seluruh tahun tanam

Dari rumus tersebut diperoleh 9 plot contoh dengan rincian 3 plot contoh untuk tegakan A. Crassicarpa umur tanam kurang dari 2 tahun, 5 plot contoh untuk umur tanam 2 – 2,5 tahun dan 1 plot untuk umur tanam lebih dari 2,5 tahun.

3. Pengambilan Data Lokasi Pohon

Data lokasi pohon terdiri dari posisi pohon (azimuth dan jarak horizontal). Data ini diambil untuk membuat peta sebaran pohon dalam unit/plot contoh yang nantinya untuk menghasilkan pola penyebaran penyakit

n N N

n h

(43)

busuk akar putih. Pengambilan data dilakukuan pada setiap pohon di dalam unit contoh/plot.

4. Pengamatan terhadap Penyakit Busuk Akar Putih, Pola Penyebaran, dan Serangannya

Pengamatan terhadap penyakit busuk akar putih dilakukan pada tiap plot contoh. Cara untuk mengetahui pohon yang terkena penyakit adalah dengan melihat gejala dan tanda-tanda yang timbul pada pohon yaitu, daun menguning dan rontok, akar tanaman busuk serta batang menjadi mati dan tumbang. Pengamatan terhadap penyakit akar putih dilakukan pada tiap pohon sehingga pola penyebaran serangan penyakit tersebut dapat diketahui. Selanjutnya dibuat peta sebaran pohon untuk masing-masing plot contoh dengan menggunakan skala 1 : 400.

Kriteria untuk pohon yang terserang penyakit busuk akar putih dapat dilihat dari bagian akarnya. Untuk bisa melihat kerusakan akarnya terlebih dahulu harus melihat akar yang terkena penyakit busuk akar putih secara langsung yaitu dengan menggali atau membongkar akar tersebut. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap kondisi pucuk daun, warna daun dan kondisi daun lainnya seperti daun layu atau tidak. Kriteria tingkat serangan dan gejala penyakit busuk akar putih disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat serangan dan gejala penyakit busuk akar putih (Ali, 1980). Tingkat

Pucuk banyak, warna daun hijau suram, posisi daun agak tegak (untuk A. crassicarpa, posisi daun beradaptasi dengan cahaya matahari untuk mendapatkan zat foton).

Pucuk sedikit, warna daun suram, permukaan daun kurang merata dan posisi daun agak mendatar. Umumnya akar masih terserang ringan, kadang-kadang daun masih tampak sehat, tetapi pada permukaan ditemukan benang-benang jamur.

Pucuk sedikit sekali, daun mulai terkulai atau layu. Benang-benang jamur umumnya telah menembus dan mengakibatkan pembusukan setempat pada sebagian perakaran.

(44)

5. Data Pendukung.

Pengambilan tanah pada plot contoh untuk diukur pHnya dengan menggunakan pH meter. Selain itu juga diambil data skunder mengenai pH tanah sebelum dan setelah terjadi kebakaran yang terjadi pada tahun 2002.

6. Analisis Data

1). Tingkat serangan penyakit busuk akar putih dalam setiap unit contoh dihitung dengan rumus yang dikemukakan oleh Towsend and Heuberger dalam Unterstenhofer (1976), yaitu :

Dimana : Yk = nilai pengamatan serangan penyakit busuk akar putih pada unit contoh ke-k

N = total jumlah pohon pada unit contoh ke-k

xi = jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi

tertentu

yi = nilai untuk klasifikasi tertentu

3 = nilai tertinggi dalam klasifikasi (Towsend and Heuberger dalam Unterstenhofer, 1976)

2). Rata-rata serangan penyakit busuk akar putih pada setiap umur tanam :

Dimana : = rata-rata tingkat serangan penyakit busuk akar putih pada umur tanam ke-h

Yk = nilai pengamatan pada unit contoh ke-k n = jumlah unit contoh pada setiap umur tanam 3) Rata-rata tingkat serangan penyakit busuk akar putih pada populasi

(45)

Nh = jumlah satuan pengamatan setiap umur tanam ke-h = rata-rata tingkat serangan penyakit busuk akar putih

pada umur tanam ke-h h = jumlah umur tanam

Untuk mengetahui apakah perbedaan umur tanam berhubungan dengan tingkat serangan penyakit busuk akar putih pada tegakan A. crassicarpa di areal bekas terbakar maka disusun analisis regeresi dengan menggunakan program curve expert model linear yang persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut :

y = a + bx Ket:

y = intensitas serangan penyakit busuk akar putih a = nilai pada saat garis regresi memotong sumbu x

b = besarnya perubahan y untuk setiap perubahan x sebesar satu satuan x = umur tanam

h Y

(46)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil dan Pembahasan

1. Kejadian Kebakaran tahun 2002

a. Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan

Kejadian kebakaran yang terjadi pada tahun 2002 sumber apinya berasal dari lokasi-lokasi dimana terdapat kegiatan penyiapan lahan (imas/tebang, buka jalur dan penanaman) sehingga dapat dijelaskan bahwa penyebab terjadinya kebakaran dikarenakan faktor kelalaian manusia. Berdasarkan data kondisi suhu, kecepatan angin dan kelembaban pada saat kejadian kebakaran yang disajikan pada Tabel 2 menunjukan areal-areal yang dilakukan penyiapan lahan memiliki tingkat kerawanan kebakaran yang tinggi. Hal ini dikarenakan suhu dan kecepatan angin sangat tinggi serta kelembaban yang relatif rendah. Selain itu kondisi areal secara umum memiliki bahan bakar terutama serasah yang tinggi dengan kadar air yang relatif sangat rendah dan banyak terdapat log-log kering baik yang terdapat di atas permukaan maupun di bawah permukaan gambut. Kondisi air gambut yang kering pada musim kemarau dan pola kanalisasi yang masih dalam tahap pembangunan. Adanya kebiasaan sonor (pembakaran lahan untuk penanaman padi) yang dilakukan oleh masyarakat sekitar pun menjadi salah satu penyebab timbulnya kebakaran di daerah ini.

Tabel 2. Kondisi rata-rata suhu, kelembaban, kecepatan angin, laju penjalaran api, ketebalan bahan bakar, dan tinggi api pada saat kejadian kebakaran pada berbagai kondisi

(47)

b. Tipe Kebakaran Hutan

Tipe kebakaran hutan tahun 2002 yang dijadikan lokasi penelitian adalah tipe kebakaran bawah (ground fire) dan kebakaran permukaan (surface fire). Intensitas kebakaran yang terjadi termasuk kebakaran berat, hal ini terlihat dari besarnya luas kebakaran yang terjadi yaitu menghilangkan sekitar 91,46% dari aset tanaman yang dimiliki oleh perusahaan, kondisi pohon yang terbakar mengalami kematian baik yang masih berdiri maupun yang sudah rebah ke lantai hutan. Luasan yang terbakar seluas 2.973,01 Ha dan sisa yang tidak terbakar adalah seluas 271,11 Ha (Tabel 3). Data mengenai areal PT. SBA Wood Industries yang terbakar selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Selain itu laju penjalaran api yang sangat tinggi dengan tinggi api sekitar 88 – 214 cm mengakibatkan meluasnya kebakaran. Laju penjalaran api dan tinggi lidah api pada saat terjadinya kebakaran disajikan pada Tabel 2. Kondisi asap yang sangat pekat juga mengindikasikan bahwa kebakaran tahun 2002 termasuk kebakaran berat.

Tabel 3. Data areal HTI SBA Wood Industries yang terbakar

Areal Tanaman (Ha) Areal Non Tanaman (Ha)

Th 1999 Th 2000 Th 2001 Th 2002 Semak

Belukar Imas/Tebang

Buka Jalur

6,95 1.372,78 176,70 1.416,58 1.327,34 675,07 147,37

Total areal Tanaman 2.973,01 Total Areal Non Tanaman 2.149,34 Grand Total 5.122,79

b. Kondisi Areal Setelah Terbakar

(48)

beberapa bulan setelah terbakar (biasanya sekitar 3 bulan) maka akan terjadi perubahan kembali sifat kimia gambut tersebut.

Pada areal setelah terbakar terdapat peningkatan beberapa unsur hara mikro dan makro karena adanya sisa pembakaran bahan bakar serasah, ranting dan log-log kayu. Selain itu di arealnya banyak terdapat sisa-sisa tunggul dan log-log yang terbakar di bawah permukaan tanah.

Gambar 1. Sisa yunggul pada area habis terbakar

(49)

Gambar 2. Sisa-sisa akar yang tertinggal pada saat penyiapan lahan

2. Kondisi Tegakan A. crassicarpa pada Lahan Bekas Terbakar dengan Berbagai Umur Tanam

Pada tegakan A. crassicarpa umur tanam kurang dari 2 tahun diambil 2 sampel tanah yaitu pada plot 1 dan 3 dengan masing-masing nilai pH sebesar 5.80 dan 4.95. Pada umur tanam 2-2,5 tahun diambil 3 sampel tanah untuk pengukuran pH tanahnya yaitu pada plot 2, 4 dan 5, masing-masing pHnya 5.95, 5.90 dan 6.00. Sedangkan untuk tahun tanam diatas 2,5 tahun hanya diambil satu contoh tanah yaitu pada plot 1 dan memiliki pH 6.25. Dari informasi yang diperoleh areal penelitian sebelum kebakaran memiliki pH 3 sampai 5.

3. Gejala dan Jenis Jamur Akar Putih

(50)

dan pada tempat yang terserang tersebut kulit akar mati, kemudian bagian kayu yang terserang menjadi lunak.

Gambar 3. Perakaran yang dibuka terlihat adanya rhizomorf berwarna putih (spesimen dari Nuhamara, 2004)

Penyebab penyakit busuk akar putih disebabkan oleh jamur akar putih. Nama ilmiahnya Rigidoporus microporus (Swartz:Fr.) van Ov., meskipun sekarang jamur tersebut terkenal dengan nama Fomes lignosus Klotzsch dan Rigidoporus microporus (Klotzsch) Imazeki. Menurut Van Overeem dan Weese (1924) dalam Semangun (1996) jamur akar putih mempunyai lebih dari kurang 35 nama lain (sinonim).

(51)

Gambar 4. Badan buah jamur akar putih (Ganoderma sp)

G

Gambar 5. Badan buah jamur Rigidoporus micoporus

Jamur akar putih sering membentuk tubuh buah pada leher akar tanaman sakit seperti yang ditunjukan pada Gambar 1 atau pada tunggul dan akar sakit yang terbuka. Jamur akar putih selain mengadakan infeksi yang akut yang meyebabkan gejala yang jelas juga dapat mengadakan infeksi kronis yang tidak menimbulkan gejala yang jelas, baru setelah dibongkar terlihat adanya rhizmorf jamur pada akar (Young, 1954 dalam Semangun, 1996).

4. Kemungkinan Berkembangnya Penyakit Busuk Akar Putih

(52)

tunggul maupun sisa akar dan log-log yang terbakar masih ada di bawah permukaan tanah. Penyiapan lahan dengan sistem manual kurang efektif dalam membersihkan lahan sehingga sisa-sisa log tersebut menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya patogen penyebab penyakit atau menjadi alas makanan (base food) bagi patogen penyakit tersebut. Dengan alas makanan tersebut jamur dapat menginfeksi tanaman yang sehat. Menurut Semangun (1996) spora diduga dapat disebarkan oleh angin dan dapat menimbulkan infeksi pada tunggul yang masih baru. Kemungkinan besar spora dapat tumbuh dan berkembang pada tunggul-tunggul pohon yang mati hingga sisa tunggul pohon ini menjadi terinfeksi dan penyebaran penyakit terjadi karena kontak dengan tunggul pohon yang telah terinfeksi melalui rhizomorf tetapi kemungkinanya kecil. Perkembangbiakan jamur akar putih terutama terjadi karena adanya miselia atau hifa karena penyakit busuk akar putih terjadi akibat adanya kontak antar akar.

(53)

Pada lahan bekas terbakar biasanya terjadi peningkatan unsur hara makro dan mikro karena adanya sisa-sisa pembakaran serasah, ranting dan log kayu serta adanya abu menyebabkan jamur mudah tumbuh dan berkembang. Menurut Moore dan Lendecker (1972) jamur pelapuk kayu membutuhkan zat makanan yang terdiri dari unsur hara makro dan mikro. Sisa-sisa pembakaran tersebut digunakan oleh jamur sebagai substrat dan jamur memperoleh makanan dari sumber tersebut hingga jamur memperoleh tanaman yang dapat diinfeksi. Sebelum terjadinya kebakaran, pH tanah yang terukur menurut informasi yang diperoleh memiliki pH yang rendah yaitu berkisar 3-5 karena sifat gambut yang asam. Setelah terjadinya kebakaran terjadi peningkatan pH tanah atau tanahnya tidak bersifat asam lagi yang menyebabkan jamur akar putih menyukai tanah tersebut karena jamur akar putih tidak menyukai tanah dengan suasana asam.

Jamur akar putih merupakan jamur saprofit penghuni tanah, tetapi apabila bertemu dengan akar tanaman akan menjadi parasit fakultatif. Jamur akar putih bertahan dalam tanah dengan cara membentuk rhizomorf. Sekali tanah terkontaminasi jamur akar putih seterusnya tanah tersebut akan dihuni oleh jamur akar putih dan akan menjadi ancaman untuk setiap penanaman baru. Peremajaan yang dilakukan berulang-ulang dari tanaman dengan jenis yang sama menyebabkan akumulasi sumber penyakit jamur akar putih dalam tanah (Soepena, 1995). Areal tempat dilakukannya penelitian merupakan areal bekas tanaman A. crassicarpa yang mengalami kebakaran tahun 2002 yang kemudian direplanting dengan jenis yang sama yaitu A. crassicarpa. Tegakan A. crassicarpa sebelum terbakar sudah terkontaminasi oleh jamur akar putih. Hal ini terlihat pada tegakan A. crassicarpa yang dijadikan area produksi benih banyak terdapat penyakit busuk akar putih. Area ini dulunya bukan merupakan salah satu area yang tidak terkena kebakaran hutan tahun 2002 tetapi mengalami kebakaran dan penebangan pada era HPH dulu.

Jamur akar putih adalah jasad yang polifag, yang dapat menyerang bermacam tumbuhan salah satunya adalah dari jenis Acacia spp (Semangun, 1996). Berdasarkan hasil prosiding di Subarjenji, Sumatera Selatan (1996),

(54)

A. crassicarpa di Sumatera Utara. Jamur tersebut menginfeksi pertanaman A. crassicarpa pada rotasi tahun ke-2. Gejala yang muncul antara lain terlihatnya rhizomorf yang berwarna putih.

5. Tingkat Serangan Penyakit Busuk Akar Putih

Hasil penilaian tingkat kerusakan pohon akibat penyakit busuk akar putih dalam setiap plot contoh per umur tanam pada areal bekas kebakaran

tahun 2002 disajikan pada Tabel 3, 4, dan 5. Tabel 4. Hasil penilaian tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar

putih dalam tiap plot contoh pada areal bekas kebakaran tahun 2002 umur tanam kurang dari 2 tahun

Tingkat serangan

Berdasarkan hasil pengamatan pada umur tanam kurang dari 2 tahun tingkat

serangannya masih rendah bahkan pada plot 1 nilainya 0%, sedang pada plot ke-2 dan

ke-3 nilainya bertambah berturut-turut 23.81%.

(55)

Gambar 7. Kriteria pohon tingkat 1 (Awal)

Gambar 8. Kriteria pohon tingkat 2 (Kritis)

(56)

Tabel 4. Hasil penilaian tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar putih dalam tiap plot ontoh pada areal bekas kebakaran tahun 2002 umur tanam 2 – 2.5 tahun

Hasil penilaian tingkat serangan penyakit busuk akar putih pada umur tanam 2 sampai 2,5 tahun memiliki nilai yang lebih besar dari pada umur tanam 2 tahun. Nilai serangan tertinggi ada di plot ke-5 sebesar 52.3%. 3 plot berikutnya yaitu pada plot 1,2, dan 4 memiliki tingkat serangan berturut-turut sebesar 41.9%, 31.95% dan 27.67%. Sedangkan pada plot ke-3 memiliki tingkat serangan sebesar 22.81%.

Tabel 5. Hasil penilaian tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar putih dalam tiap plot contoh pada areal bekas kebakaran umur tanam lebih dari 2,5 tahun

Kriteria serangan

Untuk tegakan A. crssicarpa dengan umur tanam lebih dari 2,5 tahun memiliki tingkat serangan sebesar 50.18%.

Rata-rata tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar putih per umur tanam pada areal bekas kebakaran tahun 2002 tegakan A. crassicarpa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata tingkat serangan pohon akibat penyakit busuk akar putih per umur tanam pada areal bekas kebakaran tahun 2002 tegakan A. crassicarpa di PT. SBA Wood Industries

(57)

Tingkat serangan pada umur tanam 2 tahun diperoleh rata-rata 12.68% dengan intensitas serangan kategori ringan, umur tanam 2 – 2,5 tahun 35.31% dan yang tertinggi nilai rata-rata serangannya adalah pada umur tanam lebih dari 2,5 tahun sebesar 50.18%. Untuk keseluruhan hasil analisa atau populasi serangan penyakit busuk akar putih di PT. SBA Wood Industries memiliki nilai intensitas serangan sebesar 32.72%.

Dari hasil analisis regresi program curve expert dengan model linear diperoleh persamaan y = a + bx

Intensitas serangan penyakit = -6,065 + 19,959062 Umur tanam R2 = 0,62

Dari persamaan diatas didapat nilai koefisien determinasi (R2) antara intensitas serangan penyakit busuk akar putih dengan umur tanam yaitu sebesar 0,62. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa 62% di antara keragaman dalam nilai intensitas serangan penyakit busuk akar putih dapat dijelaskan dengan nilai umur tanam.

(58)

2,5 tahun memiliki tingkat serangan jamur akar putih tertinggi, salah satu faktor penyebabnya tanah memilki pH 6,25 sehingga tanah tersebut optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan jamur akar putih. Pada umur tanam 2-2,5 tahun, tanahya memiliki pH yang beragam, meskipun ada yang sedikit di bawah pH netral (6-7) yaitu sekitar 5.95 atau 5.90 tapi tanah tersebut masih optimum untuk perkembangan jamur akar, hal ini terlihat intensitas serangannya sebesar 35,31%.

Serangan penyakit busuk akar putih paling banyak ditemukan pada plot 5 pada umur tegakan 2-2,5 tahun dan pada plot 1 pada umur tegakan lebih dari 2,5 tahun. Hal ini diduga ada hubungannya dengan sumber infeksi, kemungkinan besar sumber infeksi banyak terdapat di tempat tersebut.

Pada umur tanam kurang dari 2 tahun sedikit ditemukan jamur akar putih bahkan ada 1 plot yaitu pada plot ke-3 belum terkena penyakit busuk akar putih, hal ini disebabkan perkembangan perakarannya belum meluas, sedikitnya terdapat sumber infeksi. Untuk plot yang ke-3 yang tidak ditemukan jamur akar putih, kemungkinan besar disebabkan pada areal tersebut jamur akar masih bertahan pada sisa-sisa akar yang tertinggal dalam tanah. Menurut Napper (1932) dalam Semangun (1964) timbulnya penyakit akar pada pertanaman tergantung pada banyaknya sisa-sisa akar yang terinfeksi yang tertinggal dalam tanah pada waktu penanaman. Tunggul dan sisa-sisa akar yang tertinggal pada saat penyiapan lahan dapat merupakan sumber infeksi karena sisa akar selama enam bulan masih dalam keadaan baik dan lama setelah itu jamur masih dapat bertahan terus pada sisa akar yang sedang membusuk. Bahkan John (1958) dalam Semangun (1964) mengungkapkan jamur akar putih pada tanaman Karet dapat bertahan berturut-turut selama 6, 20 dan 40 bulan. Hal inilah mungkin yang menjadi penyebab mengapa jamur akar putih tidak ada pada plot ke-3 tapi sudah mulai terlihat pada plot 1.

(59)

tempat yang masih sehat (Soedarso, 1956 dalam Ali, 1980). Penggunaan fungisida setelah pemotongan akar yang sakit dapat mencegah infeksi ulang. Bahan kimia yang dapat digunakan adalah belerang. Kemungkinan untuk dapat disembuhkan kecil sekali apabila serangan telah mencapai tingkat 3. Untuk tingkat serangan lanjut atau berat dapat dilakukan penilikan daun atau inspeksi daun 3 bulan sekali. Jika dengan penilikan daun diketahui adanya tanaman yang sakit, maka tanaman di sekitarnya dilakukan penilikan akar, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi ke pohon-pohon yang ada di sekitarnya.

Berdasarkan hasil analisis regresi terdapat hubungan yang linear antara umur tanam dengan intensitas serangan penyakit busuk akar putih dengan kata lain semakin meningkatnya umur tanaman maka intensitas serangan penyakit busuk akar putih semakin meningkat pula. Menurut Semangun (1964) serangan jamur akar putih terutama terdapat dalam pertanaman muda, pada umumnya mulai dari tahun ke dua. Oleh karena itu jika kondisi ini dibiarkan berlangsung, bukan hal yang tidak mungkin tingkat serangannya akan terus meningkat (menjadi berat), sebab jamur merupakan organisme hidup yang dapat terus tumbuh dan berkembang bila didukung oleh iklim yang sesuai dan tersedianya bahan makanan yang cukup untuk kelangsungan hidupnya.

6. Pola Peyebaran Penyakit Akar Putih

Hasil penilaian pola penyebaran penyakit busuk akar putih di PT. SBA Wood Industries dalam tiap plot contoh per umur dapat dilihat pada Lampiran peta sebaran pohon 10 sampai 19.

(60)

terbuka atau berada di luar tanah (Young, 1954 dalam Semangun, 1964). Lebih jauh lagi Semangun (1964) mengemukakan rhizomorf hanya dapat mengadakan infeksi pada akar tanaman sehat bila masih berpegangan pada sepotong kayu yang menjadi persediaan makanannya. Biasanya setelah mencapai akar tanaman sehat, rhizomorf tumbuh sebagai epifit pada permukaan akar sebelum mengadakan penetrasi. Jamur tidak membentuk rhizomorf sebelum makanan dalam substratnya habis. Menurut John (1958) dalam Semangun (1964) pertumbuhan dan penetrasi jamur pada akar ke arah pangkal kurang lebih 2 kali lebih cepat dari pada ke arah ujung. Hal ini yang menyebabkan banyak ditemukan miselia-miselia jamur akar putih pada pangkal akar.

Seperti yang terlihat pada peta sebaran pohon banyak daerah yang kosong terutama yang ada di sekitar pohon yang terkena serangan 1 (awal), 2 (kritis) atau 3 (lanjut), contohnya plot 1, 5 pada umur tanam 2-2,5 tahun dan plot 1 pada umur tanam lebih dari 2,5 tahun. Hal ini disebabkan pada waktu penanaman sulit dilakukan karena banyak terdapat sisa-sisa akar atau sisa tunggul yang tidak terbawa saat penyiapan lahan. Tempat ini juga yang menyebabkan sumber inokulum sehingga pohon yang terletak dekat dengan daerah ini paling cepat terinfeksi jamur akar putih yang pada akhirnya pada umur tertentu pohon tersebut sudah mati atau hampir mati. Tetapi ada juga kekosongan terjadi di area yang pohonnya sehat atau tidak terkontaminasi jamur akar putih kemungkinan disebabkan akibat penyulaman yang gagal karena terdesak dengan pohon yang ada di kanan kirinya yang jauh lebih besar.

.Dari sepanjang penelitian yang saya lihat, penyakit busuk akar putih

Gambar

Tabel 1. Tingkat serangan dan gejala penyakit busuk akar putih (Ali, 1980).
Tabel 2. Kondisi rata-rata suhu, kelembaban, kecepatan angin, laju  penjalaran api, ketebalan bahan bakar, dan tinggi api pada saat  kejadian kebakaran pada berbagai kondisi
Tabel 3.  Data areal HTI SBA Wood Industries yang terbakar
Gambar 1. Sisa yunggul pada area habis terbakar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kombinasi ZPT B A1 mg/1 hingga 2 mg/1 dengan NAA atau 2,4-D 0,5 mg/1 merangsang pembentukan kalus 100%, tetapi tidak merangsang pembentukan tunas, kemungkinan karena kandungan

Al-Mara&lt;ghi&lt; adalah seorang ulama yang menguasai berbagai ilmu agama sehingga menyusun sebuah kitab tafsir dengan metode penulisan yang sistematis, dengan bahasa ringan

Prestasi belajar siswa merupakan salah satu indikator dari keberhasilan sebuah tujuan pembelajaran. Berbagai cara dilakukan oleh guru untuk meningkatkan prestasi

Berdasarkan hasil wawancara dengan pembudidaya, diketahui bahwa ikan nilem hijau dari daerah Bogor dan Kuningan berasal dari sumber induk yang sama yaitu daerah

bahwa dalam rangka optimalisasi pelaksanaan pemberlakuan dan pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Mainan yang diberlakukan secara wajib dengan Peraturan Menteri

a) Orientasi peran gender yaitu suami yang percaya pada peran egalitarian akan menerima lebih banyak tanggung jawab untuk kegiatan rumah tangga. Sebaliknya suami yang

Equipment– equipmentyangdirencanakan dalam Rancangbangun mekanisme penggerak pintu pagar lipat dengan menggunkan tali kawat baja (wire rope stell) adalah beban