• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara"

Copied!
412
0
0

Teks penuh

(1)

UNTUK PENINGKATAN ROSOT KARBON

DI SULAWESI TENGGARA

RR. CITRA RAPATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

dalam tesis saya yang berjudul:

ALOKASI OPTIMAL PENGGUNAAN SUMBERDAYA LAHAN KRITIS

UNTUK PENINGKATAN ROSOT KARBON DI SULAWESI TENGGARA

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara

jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2008

Rr. Citra Rapati

(3)

ABSTRAK

RR. CITRA RAPATI. 2008. Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua dan RIZALDI BOER sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Perubahan iklim adalah fenomena global akibat Gas Rumah Kaca (GRK) yang tengah menjadi perhatian dunia pada saat ini karena merupakan ancaman serius yang dampaknya meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, berubahnya dinamika serangan hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil dan punahnya keanekaragaman hayati. Untuk mengatasi permasalahan ini secara bersama-sama disepakati Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang kemudian tindak lanjut pengaturan pelaksanaan komitmen tersebut dituangkan dalam Protokol Kyoto. Salah sat mekanisme yang mengatur penurunan emisi GRK dalam Protokol Kyoto ialah mekanisme pembangunan bersih yang biasa disebut dengan Clean Development Mechanism (CDM). Indonesia memiliki potensi cukup besar untuk menurunkan emisi GRK lewat CDM, salah satunya di sektor kehutanan. Salah satu wilayah yang cukup potensial dan cukup luas untuk pelaksanaan kegiatan CDM kehutanan ialah daerah sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), Sulawesi Tenggara.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui alokasi optimal penggunaan sumberdaya lahan kritis dengan sistem agroforestri untuk peningkatan rosot karbon di Sulawesi Tenggara. Untuk menjawab tujuan tersebut, perlu diketahui luas lahan layak Kyoto untuk ikut dalam kegiatan CDM, kondisi sistem pertanian yang ada, pemilihan alternatif sistem agroforestri dengan pendekatan analisis finansial dan analisis sensitivitas serta mengetahui berapa alokasi sumberdaya lahan optimal digunakan analisis program tujuan ganda.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa daerah sekitar TNRAW memiliki potensi lahan layak Kyoto seluas 45 416 ha. Sistem pertanian yang ada hanya memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar TNRAW sebesar 27.81% per tahun. Alternatif sistem agroforestri yang paling layak secara finansial adalah kombinasi tanaman Jati (Tectona grandis sp.), Mete (Anacardium occidentale), Jagung (Zea mays L.) dan Pisang (Musa sp.) pada tiap kelas lereng. Analisis sensitivitas yang dilakukan menunjukkan parameter yang paling berpengaruh terhadap perubahan NPV dan BCR adalah suku bunga dan luas lahan. Kendala implementasi alternatif sistem agroforestri potensial diantaranya keuangan, ketersediaan tenaga kerja dan aksesibilitas. Hasil analisis program tujuan ganda menunjukkan solusi optimal baru menggunakan 13.1% dari lahan yang tersedia.

(4)

ABSTRACT

RR. CITRA RAPATI. 2008. Optimum Allocation of Critical Land Resources Through Agroforestry System to Enhance Carbon Sink in South East Sulawesi (BONAR M. SINAGA as Chairman and RIZALDI BOER as Member of the Advisory Committe)

Climate change is a global phenomenon caused by the increase of Green House Gases (GHG) concentration in the atmosphere. This has been a world concern as it has serious threat to human kind. Climate change may lead to decrease of food production, water shortage, increase of sea level, etc. To cope with this problem, parties under United National agreed to establish a climate change convention (UNFCCC). Further arrangement for the implementation of the commitment under the convention is elaborated in Kyoto Protocol. One of mechanisms under the Kyoto Protocol that regulate GHG emissions by industrialized countries is clean development mechanism (CDM). Indonesia has big potential to implement CDM activities on forestry sector. One of potential region in Indonesia for implementing forestry CDM is areas surrounding Rawa Aopa Watumohai National Park (RAWNP), South East Sulawesi.

The objective of the study in general is to assess optimum allocation of critical land resources for the development of agroforestry system in enhancing carbon sink in South East Sulawesi. In this regards, it is important to know the area of eligible land for implementing carbon sink project under CDM and also existing agriculture system, and potential agroforestry systems to be implemented in the study area. The selection of potential agroforestry system suitable for the study area is facilitated by using financial and sensitivity analysis approaches. The optimum allocation of critical land resources for the carbon sink project was assessed using the Multiple Goal Programming.

The results of this study suggest that eligible area for carbon sink project under CDM near RAWNP is about 45 416 ha. The current agricultural system can cover only about 27.81% of the total community need per year. The most appropriate agroforestry system based on the financial analysis approach is a system that combines teak (Tectona grandis sp.), cashew (Anacardium occidentale), corn (Zea mays L.) and banana (Musa sp.) in each land use system. From sensitivity analysis, it was suggested that the most significant parameters that affect NPV and BCR are interest rate and land size. The main constraints for the the implementation of the alternative agroforestry system are financial, human resources and accesibility. From analysis of Multiple Goal Programming, it was indicated that optimal solution only use about 13.1% of the available land .

(5)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

(6)

ALOKASI OPTIMAL PENGGUNAAN SUMBERDAYA

LAHAN KRITIS DENGAN SISTEM AGROFORESTRI

UNTUK PENINGKATAN ROSOT KARBON

DI SULAWESI TENGGARA

RR. CITRA RAPATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara

Nama Mahasiswa : Rr. Citra Rapati

NRP : A151030051

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Disetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir.Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSi

Ketua Anggota

Diketahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir.Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(8)

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN .... ... .. viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Kerangka Pemikiran ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Konvensi Perubahan Iklim ... 13

2.2. Clean Development Mechanism (CDM) ... 14

2.3. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) ... 19

2.4. Agroforestri ... 21

2.5. Analisis Kelayakan Proyek dan Analisis Sensitivitas ... 30

2.6. Program Tujuan Ganda ... 32

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 36

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 36

3.2. Batasan Penelitian ... 36

3.3. Metode Pengambilan Sampel ... 36

3.4. Penentuan Data dan Sumber Data ... 37

3.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 38

3.5.1. Inventarisasi Lahan Layak untuk CDM ... 38

3.5.2. Identifikasi Sistem Pertanian Lokal dan Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat ... 38

(9)

ii

3.5.4. Identifikasi Kendala-Kendala Implementasi Alternatif Sistem

Agroforestri Potensial ... 41

3.5.5. Analisis Optimasi Penggunaan Lahan ... 41

3.5.5.1. Persamaan-Persamaan Fungsi Program Tujuan Ganda ... 41

3.5.5.2. Asumsi-Asumsi Penyusun Koefisien Input Analisis Program Tujuan Ganda ... 43

3.5.5.3. Analisis Postoptimal ... 46

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 49

4.1. Kondisi Biofisik ... 49

4.1.1. Kondisi Tanah ... 49

4.1.2. Keadaan Iklim ... 49

4.2. Kondisi Sosial Ekonomi ... 50

4.2.1. Kependudukan ... 50

4.2.2. Penggunaan Lahan ... 51

4.2.3. Tingkat Pendidikan ... 52

4.2.4. Mata Pencaharian ... 53

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

5.1. Luas Lahan Layak Kyoto di Dalam dan Sekitar TNRAW Berdasarkan Kelas Kelerengan ... 54

5.2. Sistem Pertanian dan Perekonomian Masyarakat di Sekitar TNRAW ... 59

5.2.1. Pendapatan Masyarakat dari Sektor Pertanian dan Peranannya Terhadap Pendapatan Total Masyarakat ... 60

5.2.2. Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Sekitar TNRAW ... 64

5.3. Alternatif Sistem Agroforestri Potensial untuk Dikembangkan di Dalam dan Sekitar TNRAW ... 66

5.3.1. Kelayakan Sistem Agroforestri di Sekitar TNRAW ... 72

5.3.2. Dampak Perubahan Potensi Karbon, Harga Karbon, Biaya Transaksi, Tingkat Suku Bunga dan Luas Lahan terhadap Kelayakan Usaha ... 79

5.4. Kendala-kendala Implementasi Alternatif Sistem Agroforestri Potensial .... 91

(10)

iii

5.5.1. Optimalisasi Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis ... 92

5.5.2. Peningkatan Initial Front Payment (IFP) ... 98

5.5.3. Peningkatan Initial Front Payment (IFP) dan Ketersediaan Tenaga Kerja ... 102

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 108

6.1. Kesimpulan ... 108

6.2. Saran ... . 109

DAFTAR PUSTAKA ... . 110

(11)

UNTUK PENINGKATAN ROSOT KARBON

DI SULAWESI TENGGARA

RR. CITRA RAPATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

dalam tesis saya yang berjudul:

ALOKASI OPTIMAL PENGGUNAAN SUMBERDAYA LAHAN KRITIS

UNTUK PENINGKATAN ROSOT KARBON DI SULAWESI TENGGARA

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara

jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2008

Rr. Citra Rapati

(13)

ABSTRAK

RR. CITRA RAPATI. 2008. Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua dan RIZALDI BOER sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Perubahan iklim adalah fenomena global akibat Gas Rumah Kaca (GRK) yang tengah menjadi perhatian dunia pada saat ini karena merupakan ancaman serius yang dampaknya meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, berubahnya dinamika serangan hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil dan punahnya keanekaragaman hayati. Untuk mengatasi permasalahan ini secara bersama-sama disepakati Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang kemudian tindak lanjut pengaturan pelaksanaan komitmen tersebut dituangkan dalam Protokol Kyoto. Salah sat mekanisme yang mengatur penurunan emisi GRK dalam Protokol Kyoto ialah mekanisme pembangunan bersih yang biasa disebut dengan Clean Development Mechanism (CDM). Indonesia memiliki potensi cukup besar untuk menurunkan emisi GRK lewat CDM, salah satunya di sektor kehutanan. Salah satu wilayah yang cukup potensial dan cukup luas untuk pelaksanaan kegiatan CDM kehutanan ialah daerah sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), Sulawesi Tenggara.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui alokasi optimal penggunaan sumberdaya lahan kritis dengan sistem agroforestri untuk peningkatan rosot karbon di Sulawesi Tenggara. Untuk menjawab tujuan tersebut, perlu diketahui luas lahan layak Kyoto untuk ikut dalam kegiatan CDM, kondisi sistem pertanian yang ada, pemilihan alternatif sistem agroforestri dengan pendekatan analisis finansial dan analisis sensitivitas serta mengetahui berapa alokasi sumberdaya lahan optimal digunakan analisis program tujuan ganda.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa daerah sekitar TNRAW memiliki potensi lahan layak Kyoto seluas 45 416 ha. Sistem pertanian yang ada hanya memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar TNRAW sebesar 27.81% per tahun. Alternatif sistem agroforestri yang paling layak secara finansial adalah kombinasi tanaman Jati (Tectona grandis sp.), Mete (Anacardium occidentale), Jagung (Zea mays L.) dan Pisang (Musa sp.) pada tiap kelas lereng. Analisis sensitivitas yang dilakukan menunjukkan parameter yang paling berpengaruh terhadap perubahan NPV dan BCR adalah suku bunga dan luas lahan. Kendala implementasi alternatif sistem agroforestri potensial diantaranya keuangan, ketersediaan tenaga kerja dan aksesibilitas. Hasil analisis program tujuan ganda menunjukkan solusi optimal baru menggunakan 13.1% dari lahan yang tersedia.

(14)

ABSTRACT

RR. CITRA RAPATI. 2008. Optimum Allocation of Critical Land Resources Through Agroforestry System to Enhance Carbon Sink in South East Sulawesi (BONAR M. SINAGA as Chairman and RIZALDI BOER as Member of the Advisory Committe)

Climate change is a global phenomenon caused by the increase of Green House Gases (GHG) concentration in the atmosphere. This has been a world concern as it has serious threat to human kind. Climate change may lead to decrease of food production, water shortage, increase of sea level, etc. To cope with this problem, parties under United National agreed to establish a climate change convention (UNFCCC). Further arrangement for the implementation of the commitment under the convention is elaborated in Kyoto Protocol. One of mechanisms under the Kyoto Protocol that regulate GHG emissions by industrialized countries is clean development mechanism (CDM). Indonesia has big potential to implement CDM activities on forestry sector. One of potential region in Indonesia for implementing forestry CDM is areas surrounding Rawa Aopa Watumohai National Park (RAWNP), South East Sulawesi.

The objective of the study in general is to assess optimum allocation of critical land resources for the development of agroforestry system in enhancing carbon sink in South East Sulawesi. In this regards, it is important to know the area of eligible land for implementing carbon sink project under CDM and also existing agriculture system, and potential agroforestry systems to be implemented in the study area. The selection of potential agroforestry system suitable for the study area is facilitated by using financial and sensitivity analysis approaches. The optimum allocation of critical land resources for the carbon sink project was assessed using the Multiple Goal Programming.

The results of this study suggest that eligible area for carbon sink project under CDM near RAWNP is about 45 416 ha. The current agricultural system can cover only about 27.81% of the total community need per year. The most appropriate agroforestry system based on the financial analysis approach is a system that combines teak (Tectona grandis sp.), cashew (Anacardium occidentale), corn (Zea mays L.) and banana (Musa sp.) in each land use system. From sensitivity analysis, it was suggested that the most significant parameters that affect NPV and BCR are interest rate and land size. The main constraints for the the implementation of the alternative agroforestry system are financial, human resources and accesibility. From analysis of Multiple Goal Programming, it was indicated that optimal solution only use about 13.1% of the available land .

(15)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

(16)

ALOKASI OPTIMAL PENGGUNAAN SUMBERDAYA

LAHAN KRITIS DENGAN SISTEM AGROFORESTRI

UNTUK PENINGKATAN ROSOT KARBON

DI SULAWESI TENGGARA

RR. CITRA RAPATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(17)

Judul Tesis : Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara

Nama Mahasiswa : Rr. Citra Rapati

NRP : A151030051

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Disetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir.Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSi

Ketua Anggota

Diketahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir.Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(18)

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN .... ... .. viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Kerangka Pemikiran ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Konvensi Perubahan Iklim ... 13

2.2. Clean Development Mechanism (CDM) ... 14

2.3. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) ... 19

2.4. Agroforestri ... 21

2.5. Analisis Kelayakan Proyek dan Analisis Sensitivitas ... 30

2.6. Program Tujuan Ganda ... 32

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 36

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 36

3.2. Batasan Penelitian ... 36

3.3. Metode Pengambilan Sampel ... 36

3.4. Penentuan Data dan Sumber Data ... 37

3.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 38

3.5.1. Inventarisasi Lahan Layak untuk CDM ... 38

3.5.2. Identifikasi Sistem Pertanian Lokal dan Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat ... 38

(19)

ii

3.5.4. Identifikasi Kendala-Kendala Implementasi Alternatif Sistem

Agroforestri Potensial ... 41

3.5.5. Analisis Optimasi Penggunaan Lahan ... 41

3.5.5.1. Persamaan-Persamaan Fungsi Program Tujuan Ganda ... 41

3.5.5.2. Asumsi-Asumsi Penyusun Koefisien Input Analisis Program Tujuan Ganda ... 43

3.5.5.3. Analisis Postoptimal ... 46

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 49

4.1. Kondisi Biofisik ... 49

4.1.1. Kondisi Tanah ... 49

4.1.2. Keadaan Iklim ... 49

4.2. Kondisi Sosial Ekonomi ... 50

4.2.1. Kependudukan ... 50

4.2.2. Penggunaan Lahan ... 51

4.2.3. Tingkat Pendidikan ... 52

4.2.4. Mata Pencaharian ... 53

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

5.1. Luas Lahan Layak Kyoto di Dalam dan Sekitar TNRAW Berdasarkan Kelas Kelerengan ... 54

5.2. Sistem Pertanian dan Perekonomian Masyarakat di Sekitar TNRAW ... 59

5.2.1. Pendapatan Masyarakat dari Sektor Pertanian dan Peranannya Terhadap Pendapatan Total Masyarakat ... 60

5.2.2. Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Sekitar TNRAW ... 64

5.3. Alternatif Sistem Agroforestri Potensial untuk Dikembangkan di Dalam dan Sekitar TNRAW ... 66

5.3.1. Kelayakan Sistem Agroforestri di Sekitar TNRAW ... 72

5.3.2. Dampak Perubahan Potensi Karbon, Harga Karbon, Biaya Transaksi, Tingkat Suku Bunga dan Luas Lahan terhadap Kelayakan Usaha ... 79

5.4. Kendala-kendala Implementasi Alternatif Sistem Agroforestri Potensial .... 91

(20)

iii

5.5.1. Optimalisasi Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis ... 92

5.5.2. Peningkatan Initial Front Payment (IFP) ... 98

5.5.3. Peningkatan Initial Front Payment (IFP) dan Ketersediaan Tenaga Kerja ... 102

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 108

6.1. Kesimpulan ... 108

6.2. Saran ... . 109

DAFTAR PUSTAKA ... . 110

(21)

iv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Luas Lahan yang Tersedia pada Tahun 1990 dan 2000 untuk Kegiatan

Penambatan Karbon ... 4

2. Tipe Kegiatan Penambatan Karbon Hutan dan Lahan yang Tersedia (dihitung dari data tahun 1990) ... 18

3. Kandungan Karbon di Lima Jenis Pool Karbon pada Sistem Agroforestri Kebun (home garden agroforestry) Umur Rata-rata 13.4 Tahun ... 31

4. Jenis Data dan Sumber Data pada Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara ... 37

5. Analisis Postoptimal Alokasi Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara ... 46

6. Jumlah Responden yang Diwawancarai di Desa Contoh ... 51

7. Statistik Penggunaan Lahan di Kab. Bombana dan Konawe Selatan ... 52

8. Statistik Pendidikan di Kecamatan Contoh di Sekitar TNRAW ... 53

9. Jenis-jenis Mata Pencaharian Masyarakat di Sekitar TNRAW ... 53

10. Luas Lahan Berdasarkan Kelas Lereng di Dalam dan Sekitar TNRAW ... 55

11. Luas Lahan Layak Kyoto di Dalam dan Sekitar TNRAW Tahun 2001 ... 57

12. Luas Lahan Kyoto Berdasarkan Kelas Kelerengan Dalam dan Sekitar TNRAW ... 58

13. Aktivitas Ekonomi Utama Masyarakat di Sekitar TNRAW ... 59

14. Sistem Pertanian di Sekitar TNRAW ... 60

15. Sumber-Sumber Pendapatan Masyarakat dan Kontribusinya dalam Pendapatan Total ... 63

16. Kontribusi Pendapatan Sektor Pertanian terhadap Pendapatan Total ... 64

(22)

v

18. Persentase Pendapatan Total Rata-rata Terhadap Pengeluaran Total Rata-rata Pada Tahun 2004 ... 66

19. Luas Lahan Layak Kyoto di Sekitar TNRAW Berdasarkan Kelas

Kelerengan ... 68

20. Klasifikasi Jenis Tanaman Preferensi Masyarakat ... 68

21. Potensi Rosot Karbon Sistem Agroforestri per Hektar Selama 30 Tahun ... 73

22. Pendapatan, Biaya dan Keuntungan Pengusahaan Pola Tanam dengan Sistem Agroforestri ... 74

23. Pola Tanam Terbaik pada Tiap Kelas Lereng Berdasarkan Keuntungan ... 76

24. Pola Tanam Kurang Baik pada Tiap Kelas Lereng Berdasarkan

Keuntungan ... 77

25. Analisis Finansial Pengusahaan Pola Tanam dengan Sistem Agroforestri di Sekitar TNRAW ... 79

26. Potensi Rosot Karbon Tanaman Penyusun Sistem Agroforestri ... 81

27. Persentase Perubahan Nilai NPV dan BCR Akibat Perbedaan Potensi Karbon ... 82

28. Persentase Perubahan Nilai NPV dan BCR Akibat Perubahan Harga Karbon ... 83

29. Persentase Perubahan Nilai NPV dan BCR Akibat Perubahan Biaya

Transaksi ... ... 84

30. Analisis Sensitivitas Pengaruh Perubahan Tingkat Suku Bunga terhadap NPV ... 86

31. Analisis Sensitivitas Pengaruh Perubahan Tingkat Suku Bunga terhadap BCR ... 87

32. Analisis Sensitivitas Pengaruh Perubahan Luas Lahan terhadap NPV ... 89

33. Analisis Sensitivitas Pengaruh Perubahan Luas Lahan terhadap BCR ... 90

34. Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem

Agroforetri di Sekitar TNRAW ... 94

(23)

vi

36. Nilai Sisa Pemakaian Sumberdaya dalam Alokasi Optimal Lahan Kritis ... 97

37. Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri di Sekitar TNRAW dengan Peningkatan Initial Front Payment (IFP) ... 99

38. Pencapaian Tujuan Pendapatan dan Jasa Lingkungan Rosot Karbon di Sekitar TNRAW dengan Peningkatan Initial Front Payment (IFP) ... 100

39. Nilai Sisa Pemakaian Sumberdaya dalam Alokasi Optimal Lahan Kritis dengan Peningkatan Initial Front Payment (IFP) ... 101

40. Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri di Sekitar TNRAW dengan Peningkatan Initial Front Payment (IFP) dan Tenaga Kerja ... 103

41. Pencapaian Tujuan Pendapatan dan Jasa Lingkungan Rosot Karbon di Sekitar TNRAW dengan Peningkatan Initial Front Payment (IFP) dan Tenaga Kerja ... 104

(24)

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran : Proses Penelitian Alokasi Optimal Penggunaan Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara ... 10

2. Definisi Hutan Sesuai SK Menteri Kehutanan No. 14/2004 dan

Kesepakatan COP 8 untuk Kriteria Pelaksanaan Proyek CDM ... 54

3. Peta Kelas Lereng di Dalam dan Sekitar TNRAW Tahun 2001 ... 56

4. Peta Lahan Layak yoto di Dalam dan Sekitar TNRAW ... 57

5. Peta Lahan Layak Kyoto Berdasarkan Kelas Lereng di Dalam dan Sekitar TNRAW ... 58

6. Persentase Responden Menurut Jenis Tanaman Tahunan yang Biasa

Ditanam ... 67

7. Pemanfaatan Lahan untuk Kelas Lereng I ... 70

8. Pemanfaatan Lahan untuk Kelas Lereng II ... 71

9. Pemanfaatan Lahan untuk Kelas Lereng III ... 71

10. Pemanfaatan Lahan untuk Kelas Lereng IV ... 72

11. Persentase Permasalahan Berdasarkan Informasi Responden ... 91

(25)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng I dengan

Kombinasi Jati, Kakao, Jagung dan Padi gogo ... 114

2. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng I dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 117

3. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng I dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Pisang ... 120

4. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng I dengan

Kombinasi Akasia, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 123

5. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng II dengan

Kombinasi Jati, Kakao, Jagung dan Padi gogo ... 126

6. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng II dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 129

7. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng II dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Pisang ... 132

8. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng II dengan

Kombinasi Akasia, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 135

9. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng III dengan

Kombinasi Jati, Kakao, Jagung dan Padi gogo ... 138

10. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng III dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 141

11. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng III dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Pisang ... 144

12. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng III dengan

Kombinasi Akasia, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 147

13. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng IV dengan

Kombinasi Jati, Kakao, Jagung dan Padi gogo ... 150

14. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng IV dengan

Kombinasi Jati, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 153

15. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng IV dengan

(26)

ix

16. Analisis Finansial Sistem Agroforestri untuk Kelas lereng IV dengan

Kombinasi Akasia, Mete, Jagung dan Padi gogo ... 159

17. Analisis Sensitivitas Pengaruh Potensi Karbon Terhadap NPV ... 162

18. Analisis Sensitivitas Pengaruh Potensi Karbon Terhadap BCR ... 163

19. Analisis Sensitivitas Pengaruh Harga Karbon Terhadap NPV ... 164

20. Analisis Sensitivitas Pengaruh Harga Karbon Terhadap BCR ... 165

21. Analisis Sensitivitas Pengaruh Biaya Transaksi Terhadap NPV ... 166

22. Analisis Sensitivitas Pengaruh Biaya Transaksi Terhadap BCR ... 167

23. Analisis Sensitivitas Pengaruh Tingkat Suku Bunga Terhadap NPV ... 168

24. Analisis Sensitivitas Pengaruh Tingkat Suku Bunga Terhadap BCR ... 169

25. Analisis Sensitivitas Pengaruh Luas Lahan Layak Kyoto Terhadap NPV dan BCR ... 170

26. Input dan Output Analisis Program Tujuan Ganda Solusi Optimal Basis ... 171

27. Input dan Output Analisis Postoptimal Anggaran 35% Initial Front

Payment (IFP) ... 173

28. Input dan Output Analisis Postoptimal Anggaran 50% Initial Front

Payment (IFP) ... 175

29. Input dan Output Analisis Postoptimal Anggaran 35% Initial Front

Payment (IFP) dan Peningkatan Tenaga Kerja 20% ... 177

30. Input dan Output Analisis Postoptimal Anggaran 50% Initial Front

Payment (IFP) dan Peningkatan Tenaga Kerja 50% ... 179

31. Input dan Output Analisis Postoptimal Anggaran 100% Initial Front Payment (IFP) dan Peningkatan Tenaga Kerja 100% ... 181

(27)

1.1. Latar Belakang

Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan

manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

lahan dan kehutanan. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah

Kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2) yang memiliki kontribusi terbesar

berasal dari negara industri. Gas ini memiliki kemampuan menyerap panas yang

berasal dari radiasi matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi. Penyerapan ini

telah menyebabkan pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim.

Sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai

terpanjang kedua di dunia, dengan jumlah penduduk yang besar dan kemampuan

ekonomi yang terbatas, Indonesia berada pada posisi yang sangat rentan terhadap

dampak perubahan iklim bagi lingkungan dan kehidupan bangsa Indonesia.

Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan

air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan

laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil dan punahnya keanekaragaman hayati

(Kementerian Lingkungan Hidup 2004).

Perubahan iklim merupakan sebuah ancaman serius. Karena itu diperlukan

usaha bersama yang harus dilakukan secara global. Untuk itu dibentuklah sebuah

konvensi yang dikenal dengan Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa)

untuk Perubahan Iklim, tahun 1992 yang dikenal dengan sebutan UNFCCC

(United Nations Framework Convention on Climate Change). Tujuan utama

UNFCCC adalah menstabilkan konsentrasi GRK di lapisan atmosfer pada tingkat

(28)

tidak ada target waktu untuk pencapaian penurunan emisi maka pada pertemuan

tahunan ketiga tahun 1997 disepakati Protokol Kyoto (Murdiyarso 2003).

Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim mengatur penurunan emisi GRK akibat kegiatan

manusia sehingga dapat menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer dan tidak

membahayakan sistem iklim bumi. Protokol Kyoto menetapkan aturan mengenai

tata cara, target, mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta prosedur

penaatan dan penyelesaian sengketa (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004).

Negara-negara maju (Annex 1) telah diwajibkan untuk melakukan

kegiatan pengurangan dampak (mitigasi) perubahan iklim dengan menekan emisi

CO2 sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode komitmen I tahun

2008-2012. Di dalam Protokol Kyoto terdapat tiga mekanisme fleksibilitas yang

dapat digunakan untuk membantu negara-negara Annex B mengurangi emisi

GRK. Selain upaya domestik, ketiga mekanisme tersebut adalah Joint

Implementation (JI), Emissions Trading (ET), dan Clean Development Mechanism

(CDM).

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tim di bawah koordinasi

Kementrian Lingkungan Hidup, potensi Indonesia untuk melakukan kegiatan

CDM cukup tinggi. Diperkirakan potensi Indonesia untuk melakukan penurunan

emisi dan menyerap karbon mencapai 175 juta ton. Bila satu ton karbon dihargai 2

dollar AS (harga minimal), total penerimaan sektor industri dan kehutanan

Indonesia melalui kegiatan ini bisa mencapai 350 juta dollar AS. Jumlah sebesar

itu terbagi dua, yaitu 125 juta ton dari sektor energi dan industri, serta 50 juta ton

(29)

memungkinkan negara maju berinvestasi di negara berkembang untuk mencapai

target penurunan emisinya. Di sisi lain, negara berkembang berkepentingan

menjaga program pembangunan berkelanjutan (Kementerian Lingkungan Hidup

2001).

Menurut Murdiyarso (2003), Indonesia dengan luas hutan terbesar ketiga

di dunia, bisa berperan penting untuk mengurangi emisi dunia melalui kegiatan

carbon sink. Hal ini bisa terjadi jika hutan yang ada dijaga kelestariannya dan

melakukan penanaman (afforestasi) pada kawasan bukan hutan (degraded land).

Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak (degraded forest) dengan

cara penghutanan kembali (reforestasi). Afforestasi bisa dilakukan di kawasan

yang bukan merupakan hutan sejak (base year) 50 tahun lalu sedangkan

reforestasi pada kawasan hutan yang dikategorikan rusak hingga 31 Desember

1989 (atau sejak tahun 1990).

Berdasarkan ketentuan di atas maka lahan yang layak untuk CDM ialah (i)

lahan yang sejak 50 tahun digunakan untuk kegiatan non-kehutanan seperti

kegiatan pertanian, dan (ii) lahan hutan yang sejak 31 Desember 1989 sudah

bukan merupakan hutan. Dengan demikian maka sebelum proyek CDM

dilaksanakan, pengusul proyek harus menyediakan dokumen yang mendukung

bahwa lahan yang akan digunakan memenuhi salah satu dari kriteria di atas.

Pendekatan yang paling baik ialah membuktikan bahwa lahan yang digunakan

memenuhi kriteria

Hasil National Strategy Study (MOE 2002) menunjukkan bahwa

lahan-lahan yang diperkirakan potensial untuk CDM (lahan-lahan Kyoto) ialah lahan-lahan-lahan-lahan

(30)

alang-alang, lahan terbuka atau semak belukar, atau lahan lahan pertanian yang

sudah diusahakan sejak 50 tahun yang lalu. Sebagian lahan bekas perladangan

berpindah yang mengalami degradasi kemungkinan juga memenuhi kriteria lahan

Kyoto. Dengan pertimbangan tersebut, kemungkinan luas lahan yang layak untuk

CDM mencapai 30 juta ha (Tabel 1).

Tabel 1. Luas Lahan yang Tersedia pada Tahun 1990 dan 2000 untuk Kegiatan Penambatan Karbon

No. Jenis lahan 1990

Luas (Ha)

2000 Luas (Ha)

1. Lahan kritis1 4 898 000 15 411 798

2. Lahan pertanian dan sawah2 8 112 883 8 106 356 3. Lahan bera/terlantar3 9 823 175 10 260 492

4. Alang-alang1 3 219 648 2 424 469

5. Bekas perladangan berpindah/pekarangan/kebun3 12 718 787 12 768 711

Total lahan4 38 772 493 48 971 826

Sumber: MOE (2002). 1Berdasarkan definisi Kyoto kemungkinan besar lahan-lahan tersebut bukan hutan sehingga layak dijadikan sebagai lahan untuk kegiatan CDM. 2Sebagian besar lahan ini 50 tahun sebelumnya mungkin masih berupa hutan; 3Lahan-lahan tersebut berpotensi untuk berubah kembali menjadi hutan secara alami sehingga menjadi tidak layak untuk kegiatan CDM. 4Ada kemungkinan bahwa sebagian lahan ini saat ini sudah kembali menjadi hutan.

Kurang memadainya kondisi keuangan negara saat ini, memerlukan

penggalangan sumber pendanaan alternatif guna mendukung pembangunan

kehutanan dan perkebunan, dimana rehabilitasi dan konservasi merupakan

program prioritas. Clean Development Mechanism (CDM) adalah salah satu

sumber pendanaan luar negeri yang dapat diarahkan untuk mendukung program di

atas (Kompas 2001).

CDM merupakan peluang memperoleh dana luar negeri untuk mendukung

program-program prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi

(31)

1. Pembangunan hutan tanaman pada lahan hutan yang rusak,

2. Rehabilitasi areal bekas kebakaran,

3. Rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut,

4. Agroforestri,

5. Penerapan RIL (Reduced Impact Logging),

6. Peningkatan permudaan alam,

7. Perlindungan terhadap forest reserve yang rawan perambahan,

8. Perlindungan terhadap hutan yang rawan kebakaran dan perambahan

Roshetko et al (2002) menyatakan bahwa sistem agroforestri memiliki

keanekaragaman hayati yang tinggi dan menghasilkan jenis produk yang beragam

baik kayu maupun non-kayu. Kandungan biomasanya juga tinggi sehingga

pembangunan sistem agroforestri pada lahan-lahan kritis dan terlantar selain dapat

memperlambat terjadinya pemanasan global juga memberikan dampak yang

positif terhadap lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah

Aktivitas manusia yang telah menyebabkan terjadinya pemanasan global

telah berlangsung bertahun-tahun dan apabila tidak ada usaha pengurangan laju

pemanasan global dengan peningkatan penyerapan karbon maupun pengurangan

pelepasan karbon maka permasalahan lingkungan di dunia seperti banjir, tanah

longsor, perubahan iklim dan bencana alam lainnya diperkirakan akan semakin

meningkat.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang telah meratifikasi

(32)

sumberdaya lahan yang dapat dikembangkan untuk peningkatan rosot karbon

sektor kehutanan melalui CDM sekitar 30 juta ha. Namun demikian kajian lebih

detil untuk mengindentifikasi lokasi dan luasan lahan yang layak untuk CDM

terutama di wilayah Indonesia Timur, seperti Provinsi Sulawesi Tenggara di

sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) belum ada. Oleh

karena itu perlu dilakukan kajian tentang ketersediaan lahan kritis yang layak

untuk kegiatan CDM di sekitar TNRAW, Sulawesi Tenggara.

Salah satu bentuk kegiatan CDM adalah pembangunan sistem agroforestri.

Sistem agroforestri sudah dikenal dan dilakukan oleh sebagian masyarakat desa

sekitar TNRAW disamping sistem pertanian lainnya. Namun demikian analisis

tentang sistem mana yang paling baik untuk dikembangkan sesuai dengan

kebutuhan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta memenuhi aturan CDM

juga belum ada. Disamping itu kendala untuk pelaksanaan sistem agroforestry

yang potensial seperti modal, ketersediaan tenaga kerja dan pemasaran dan

sebagainya juga belum dikaji secara mendalam.

Berdasarkan uraian mengenai permasalahan yang akan diangkat dalam

penelitian ini maka dapat dirumuskan masalah yaitu :

1. Berapa besar luas lahan kritis yang layak untuk CDM di sekitar TNRAW,

Sulawesi Tenggara.

2. Bagaimana sistem pertanian masyarakat lokal dan apakah dapat memenuhi

kebutuhan hidup masyarakat.

3. Bagaimana alternatif sistem agroforestri yang dapat dikembangkan di wilayah

(33)

masyarakat) dan kesesuaian lahan dan apakah layak diusahakan secara

finansial.

4. Kendala-kendala apa saja yang dapat menghambat pengembangan alternatif

sistem agroforestri yang diajukan.

5. Bagaimana alokasi penggunaan lahan kritis optimal dengan sistem agroforestri

untuk peningkatan pendapatan masyarakat dan rosot karbon dengan CDM

dengan kendala-kendala yang ada di lapangan.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Inventarisasi lahan kritis yang layak untuk kegiatan CDM di sekitar kawasan

TNRAW, Sulawesi Tenggara.

2. Identifikasi sistem pertanian masyarakat lokal di sekitar TNRAW dan struktur

pendapatan dan pengeluaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup.

3. Menentukan alternatif sistem agroforestri berdasarkan kondisi sosial ekonomi

(preferensi masyarakat) dan kondisi fisik lahan yang mungkin dikembangkan

di sekitar TNRAW dan menganalisis kelayakan finansial terhadap alternatif

sistem agroforestri.

4. Mengidentifikasi kendala-kendala dalam implementasi alternatif sistem

agroforestri .

5. Mengalokasikan penggunaan lahan kritis optimal dengan sistem agroforestri

untuk peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan rosot karbon

(34)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan untuk Pemerintah Daerah dalam pengembangan

wilayah khususnya untuk rehabilitasi lahan kritis dan peningkatan sosial

ekonomi masyarakat sekitar hutan.

2. Bagi masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan apabila hasil

penelitian dapat diaplikasikan.

3. Bagi dunia akan meningkatkan kualitas lingkungan dan mereduksi efek gas

rumah kaca.

1.5. Kerangka Pemikiran

Bumi merupakan tempat makhluk-makhluk ciptaan Tuhan beraktivitas

selama berabad-abad dimana manusia sebagai penguasa diberi kebebasan untuk

memanfaatkan sumberdaya demi memenuhi kebutuhannya. Tetapi akibat

pemanfaatan yang berlebihan maka terjadi ekses-ekses yang merugikan manusia

itu sendiri, diantaranya pemanasan global. Pemanasan global terjadi akibat

peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di lapisan atmosfer bumi yang

dihasilkan dari kegiatan manusia yang berhubungan dengan pembakaran bahan

bakar fosil (minyak, gas, dan batubara).

Perubahan iklim merupakan sebuah ancaman serius. Kerangka pemikiran

penelitian ini yang disajikan pada Gambar 1 menggambarkan salah satu usaha

(35)
[image:35.612.147.519.79.588.2]

Gambar 1. Kerangka Pemikiran : Proses Penelitian Alokasi Optimal Penggunaan Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara

Aktivitas Manusia

Pemanasan Global

UNFCCC

Protokol Kyoto

JI CDM ET

Kehutanan Energi

Inventarisasi Lahan Kritis Layak CDM

Alternatif Sistem Agroforestri untuk Lahan Kritis dan Analisis Kelayakan Finansialnya

Alokasi Optimal Penggunaan Sumberdaya Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara Identifikasi Sistem Pertanian Lokal dan

Struktur Pendapatan dan Pengeluaran.

• Kondisi Sosial Ekonomi • Kondisi

Kesesuaian Lahan

(36)

Usaha bersama menghadapi ancaman perubahan iklim harus dilakukan

oleh semua negara di seluruh dunia. Untuk itu dibentuklah sebuah konvensi yang

dikenal dengan Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) untuk Perubahan

Iklim, tahun 1992. Dikenal dengan UNFCCC (United Nations Framework

Convention on Climate Change). Pertemuan tahunan ke tiga tahun 1997

menghasilkan perjanjian internasional yang disebut Protokol Kyoto. Di dalam

Protokol Kyoto terdapat tiga mekanisme fleksibilitas yang dapat digunakan untuk

membantu negara-negara Annex B mengurangi emisi GRK. Selain upaya

domestik. Ketiga mekanisme tersebut adalah Joint Implementation (JI), Emissions

Trading (ET) dan Clean Development Mechanism (CDM).

Secara umum, CDM merupakan kerangka yang memungkinkan negara

maju berinvestasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan

emisinya. Ada 2 sektor yang termasuk dalam CDM yaitu sektor energi dan

Kehutanan. Indonesia dengan luas hutan terbesar ketiga di dunia, bisa berperan

penting untuk mengurangi emisi dunia melalui kegiatan carbon sink.

Kawasan Timur Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang dapat

berfungsi untuk peningkatan rosot karbon (carbon sink) namun belum banyak

penelitian tentang penilaian potensi Kawasan Timur Indonesia untuk mengurangi

emisi dunia melalui kegiatan CDM di antaranya di kawasan TNRAW. Oleh

karena itu perlu dilakukan identifikasi lahan kritis yang layak untuk kegiatan

CDM di sekitar TNRAW.

Agar dapat menetapkan sistem apa yang paling sesuai untuk diterapkan

(37)

masyarakat lokal dan menganalisis apakah sistem tersebut dapat memenuhi

kebutuhan hidup masyarakat.

Sistem agroforestri sebagai salah satu kegiatan CDM juga telah menjadi

salah satu sistem pertanian yang telah dikenal dalam kehidupan sebagian

masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu system agroforestri dapat dijadikan salah

satu alternative dalam permasalahan ini dengan berdasarkan penilaian aspek sosial

ekonomi dan penilaian kondisi fisik lahan dapat diusulkan beberapa alternatif

pola tanam dengan sistem agroforestri yang dapat dikembangkan di sekitar

TNRAW.

Dalam penerapan alternatif sistem agroforestri yang diusulkan diduga

akan ada kendala-kendala seperti modal untuk investasi awal, tenaga kerja dan

pemasaran produk pertanian. Oleh karena itu harus diketahui apakah alternatif

sistem agroforestri dapat diterapkan jika masyarakat menggunakan modal

swadana. Apabila tidak maka kegiatan CDM dapat dijadikan salah satu sumber

dana, oleh karena itu perlu dilakukan penghitungan biomassa untuk menentukan

kemampuan alternatif sistem agroforestri yang diusulkan untuk meningkatkan

rosot karbon sehingga dapat diketahui berapa besar kemampuan menyerap emisi

karbon dari sistem agroforestri yang diusulkan dan dapat dihitung nilai jualnya.

Namun agar suatu kegiatan dapat diikutsertakan dalam kegiatan CDM maka ada

beberapa tahap mulai dari pengajuan usulan proyek sampai dengan disetujuinya

proyek yang membutuhkan dana yang disebut dengan biaya transaksi. Dengan

adanya biaya transaksi maka nilai nominal bersih yang diterima adalah nilai jual

dikurangi oleh biaya transaksi. Besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan tetap

(38)

Oleh karena itu perlu dihitung berapa luas lahan kritis optimal yang dapat dikelola

dengan alternatif sistem agroforestri yang diusulkan dengan kendala-kendala yang

ada. Sehingga masyarakat di sekitar TNRAW dapat meningkatkan

(39)

2.1. Konvensi Perubahan Iklim

Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain

suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai

sektor kehidupan manusia. Perubahan fisik ini tidak hanya terjadi sesaat. tetapi

dalam kurun waktu yang cukup panjang. Perubahan ini terjadi karena adanya

perubahan komposisi kimia gas-gas yang terdapat di atmosfer. yang disebut

sebagai gas rumah kaca (Kementerian l.ingkungan hidup 2001)

Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas-gas yang mempunyai kemampuan

menyerap radiasi gelombang panjang dan memancarkan lagi ke permukaan bumi

dalam bentuk energi panas. Dalam konteks isu perubahan iklim (konvensi) maka

yang dimaksud dengan GRK adalah yang diakibatkan oleh manusia.

Salah satu gas rumah kaca yang memberikan kontribusi terbesar terhadap

efek rumah kaca adalah CO2 karena tingkat emisinya yang sangat tinggi. Gas CO2

menyumbang 50% dari efek rumah kaca. Sumber CO2 yang dilepaskan ke

atmosfer terutama berasal dari kegiatan manusia yaitu penggunaan bahan bakar

fosil dan perubahan penggunaan lahan atau deforestasi. Jumlah yang lebih kecil

berasal dari hasil proses industri (Sobar 2004).

Isu perubahan iklim pertama kali dibicarakan dalam agenda politik pada

pertengahan decade 1980. Berdasarkan laporan pertama Intergovernmental Panel

on Climate Change (IPCC) bahwa terjadi perubahan iklim yang menunjukkan

adanya dampak negatif terhadap semua aspek kehidupan manusia. Oleh karena

(40)

meluncurkan Kerangka Kerja Konvensi perubahan Iklim (United Nation

Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) dan membentuk Komite

Negoisasi Antar Negara (Intergovernmental Negotiating Committee, INC)

(Kementerian Lingkungan Hidup 2001).

Konvensi Perubahan Iklim telah berlaku dan mengikat secara hukum sejak

tanggal 21 maret 1994 setelah diratifikasi lebih dari 50 negara. Tujuan utamanya

adalah untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang tidak

membahayakan sistem iklim. Tingkat konsentrasi tersebut harus dicapai dalam

kurun waktu tertentu agar ekosistem dapat beradaptasi secara alamiah, produksi

pangan tidak terancam dan tercapainya pembangunan berkelanjutan. Indonesia

telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No.6 tahun 1994

(Kementerian Lingkungan Hidup 2001).

Dalam rangka pelaksanaan komitmen tersebut pada Konferensi Para Pihak

(Conference of The Parties/COP) ketiga di Kyoto disepakati adanya aturan

pelaksanaan yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memberikan 3

mekanisme penurunan emisi kepada Negara Annex B yaitu Joint Implementation

(JI), Clean Development Mechanism (CDM) dan Emission Trading (ET)

(Kementerian Lingkungan hidup 2001).

2.2. Clean Development Mechanism (CDM)

Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan

bersih merupakan salah satu bentuk pasar dari perdagangan karbon. Pada

mekanisme ini memungkinkan keterlibatan negara-negara berkembang terutama

(41)

dilakukan melalui kegiatan “carbon sink”, keanekaragaman hayati dan

pengelolaan hutan yang berkelanjutan (Siringoringo 2000).

Ada 2 mekanisme yang layak dilakukan untuk kegiatan CDM yaitu

afforestasi yang bisa dilakukan di kawasan yang bukan merupakan hutan sejak

(base year) 50 tahun lalu dan reforestasi pada kawasan hutan yang dikategorikan

rusak hingga 31 Desember 1989 (atau sejak tahun 1990 yang menghasilkan

Temporary Certified Emission Reduction (tCER) yang dapat dilakukan negara

berkembang bekerja sama dengan negara Annex 1 yang punyai kewajiban untuk

mengurangi emisi gas rumah kacanya (Forner 2006) .

Jumlah emisi GRK yang diturunkan atau diserap oleh proyek CDM

kemudian disertifikasi yang disebut dengan Certified Emission Reduction (CER)

yang digunakan oleh negara maju untuk memenuhi komitmen mereka

(Boer 2000).

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan proyek AR-CDM

(Afforestation-Reforestation CDM), Menteri Kehutanan sudah mengeluarkan Surat Keputusan

No. 14/2004 tentang Tata cara Pelaksanaan Proyek CDM Kehutanan. SK ini

ditujukan untuk membantu para pemangku kepentingan yang berminat dalam

membuat usulan proyek AR-CDM, khususnya untuk mengatasi beberapa

hambatan peraturan seperti PP34/2002 dan juga hal lain yang terkait dengan

masalah kepemilikan lahan dan kontribusi proyek terhadap pembangunan

berkelanjutan. Sebagai upaya mempercepat proses untuk mendapatkan

persetujuan dari KOMNAS MPB, pengembang proyek menyampaikan konsep

proyek atau proposal kepada Departemen Kehutanan melalui Sekretariat MPB di

(42)

Kehutanan akan menilai sumbangan proyek terhadap pembangunan berkelanjutan

dari sudut pandang kehutanan. Apabila proyek dinilai sudah memenuhi kriteria

pembangunan berkelanjutan, maka Menteri Kehutanan akan mengeluarkan

rekomendasi bahwa proyek dapat memenuhi ketentuan tersebut. Selanjutnya

pengembang proyek menyusun atau menyempurnakan desain proyek CDM atau

PDD (Project Design Document) dan menyerahkannya ke KOMNAS MPB untuk

diproses lebih lanjut dengan memberikan satu copy ke Menteri Kehutanan.

Sesuai dengan keputusan yang dibuat di COP9 untuk periode komitmen

pertama (2008-2012), CDM mengadopsi definisi hutan sebagai lahan yang

luasnya antara 0.05-1.0 ha yang penutupan tajuknya antara 10-30% dan pohon

yang ada pada lahan tersebut berpotensi untuk tumbuh mencapai ketinggian

antara 2-5. Dikarenakan kriteria yang digunakan dalam penentuan hutan

berdasarkan keputusan COP memiliki selang, maka tiap negara peratifikasi harus

menetapkan nilai yang dipilih dari selang tersebut. Indonesia, sebagai negara

peratifikasi, melalui SK Menteri Kehutanan No. 14/2004 menentukan nilai yang

dipilih untuk luas lahan, penutupan tajuk dan tinggi pohon berturut-turut adalah

0.25 ha, 30% dan 5 m. Sesuai kriteria ini dan kesepakatan COP8, maka daerah

potensial CDM adalah daerah bukan hutan sejak tahun 1989. Dengan ketentuan

lahan yang bukan hutan adalah lahan dengan luas minimal 0.25 ha, penutupan

tajuk kurang dari 30% dan tinggi pohon secara potensial tidak akan melebihi 5 m.

Berdasarkan kriteria ini lahan yang potensial untuk menjadi daerah CDM adalah

lahan terbuka, belukar, semak/alang-alang, pertanian lahan kering dan padi sejak

(43)

Hasil National Strategy Study menunjukkan bahwa lahan-lahan yang

diperkirakan potensial untuk CDM (lahan Kyoto) ialah lahan-lahan terlantar atau

lahan kritis yang sudah ada sejak tahun 1990 baik dalam bentuk alang-alang,

lahan terbuka atau semak belukar, atau lahan pertanian yang sudah diusahakan

sejak 50 tahun yang lalu. Sebagian lahan bekas perladangan berpindah yang

mengalami degradasi kemungkinan juga memenuhi kriteria lahan Kyoto

(MOE 2002).

Ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang, dan bahkan

muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit

atau berlereng curam. Tingkat produkivitas rendah yang ditandai dengan

tingginya tingkat keasaman tanah, kekahatan hara P, K, C, N dan Mg, rendahnya

kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa dan kandungan bahan organik,

tingginya kadar Al dan Mn, yang dapat meracuni tanaman dan peka terhadap

erosi. Selain itu, pada umumnya lahan kritis ditandai dengan vegetasi alang-alang

yang mendominasi dengan sifat-sifat antara lain : memiliki ph tanah relatif rendah

yaitu 4.8 – 5.2 mengalami pencucian tanah tinggi, ditemukan rhizoma dalam

jumlah banyak dan menjadi hambatan mekanik dalam budidaya tanaman, terdapat

reaksi zat alelopati dari akar rimpang alang-alang yang menyebabkan gangguan

pertumbuhan tanaman budidaya pada lahan tersebut (Hakim et al. 1991).

Di Indonesia studi yang mengevaluasi teknologi mitigasi (jumlah karbon

bersih yang dapat diserap) di sektor kehutanan sudah dilakukan sejak tahun 1990

an (DNM Norway and MSE Indonesia 1993; Adi et al. 1999; Boer et al. 1999;

Fuad 2000; Boer 2001). Berdasarkan hasil kajian tim NSS, dari total pasar karbon

(44)

mampu menyerap pasar karbon sebesar 36 juta ton CO2 per tahun (MOE, 2002).

Dari 36 juta ton tersebut, sektor kehutanan akan menyerap sebesar 28 juta ton CO2

per tahun, dan sisanya oleh sektor energi. Untuk mencapai potensi tersebut, luas

lahan yang ditanami diperkirakan sekitar 0.5 sampai 1.0 juta hektar per tahun.

Secara ringkas kegiatan kehutanan di Indonesia yang dapat dimasukkan ke

dalam kategori layak untuk CDM dapat dilihat pada Tabel 2. Potensi mitigasi

atau kemampuan menyerap karbon dari lahan-lahan ini melalui kegiatan proyek

CDM diperkirakan mencapai 3.5 juta ton karbon dalam kurun waktu 40 tahun atau

[image:44.612.133.509.354.636.2]

setara dengan 7.5 juta ton CO2 per tahun.

Tabel 2. Tipe Kegiatan Penambatan Karbon Hutan dan Lahan yang Tersedia (dihitung dari data tahun 1990).

Penggunaan dan penutup lahan Standart C/ha Tipe kegiatan potensial untuk penambatan karbon Lahan potensial yang tersedia untuk mitigasi (Ha) Potensi Mitigasi (tC/ha) Total potensi mitigasi (tC)

1 2 3 4 5 6 (4 x 5)

Lahan kritis 5 Reboisasi 4 898 000 199 947 702 000 Lahan kritis 5 Hutan tanaman/ HTI

(Timber estate)1 1 889 000 48 90 672 000

Bera 37 Hutan

Kemasyarakatan 9 823 175 109 1 070 726 075 Alang-alang 10 Penghijauan 3 219 648 278 895 062 144 Perladangan

berpindah 11 Agroforestri

(45)

Potensi lahan yang tersedia untuk kegiatan mitigasi tersebar di seluruh

Indonesia termasuk daerah Sulawesi di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa

Watumohai, Sulawesi Tenggara.

2.3. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW)

Kelompok hutan Rawa Aopa Watumohai seluas 105 194 ha ditetapkan

sebagai taman nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 756/Kpts-11/90

pada tanggal 17 Desember 1990. Sebelum menjadi taman nasional kelompok

hutan Rawa Aopa Watumohai terdiri dari Taman Buru Gunung Watumohai seluas

50.000 ha (SK Menteri Pertanian No. 648/Kpts/Um/10/1976 tanggal 15 Oktober

1976), dan Suaka Margasatwa Rawa Aopa seluas 55 560 ha (SK Menteri

Kehutanan No. 138/Kpts-11/1985 tanggal 11 Juni 1985).

Latar belakang penetapannya sebagai taman nasional adalah karena

kelompok hutan tersebut memiliki berbagai tipe ekosistem, antara lain ekosistem

hutan bakau (mangrove), hutan pantai, savanna, hutan hujan pegunungan rendah

dan ekosistem rawa, yang menjadi habitat berbagai jenis hidupan liar yang perlu

dibina kelestariannya untuk dapat dimanfaatkan bagi kepentingan ilmu

pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, rekreasi, dan pariwisata.

Setelah dikelola selama beberapa waktu melalui Proyek Pengembangan

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, maka pada tahun 1997 status TN Rawa

Aopa Watumohai telah ditingkatkan menjadi Unit Taman Nasional berdasarkan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185/Kpts-11/1997 tanggal 31 Maret 1997

(tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman

(46)

Batas-batas wilayah, di sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Tirawuta

(Kab. Kolaka), sebelah Timur dengan Kec. Lambuya dan Tinanggea (Kab.

Kendari), sebelah Barat dengan Kec. Ladongi (Kab. Kolaka), dan di sebelah

Selatan berbatasan dengan Kec. Rumbia (Buton). Panjang batasnya ± 336 674 km,

dengan jumlah pal batas keliling 4 158 buah

TNRAW terletak pada ketinggian 0-980 m (dpl), dengan topografi

bervariasi mulai dari datar, bergelombang, berbukit, dan bergunung, dengan

puncak tertinggi Gunung Mendoke (980 m dpl). Kelerengan 0 hingga 40 %, dan

jenis tanahnya Podzolik coklat merah kekuning-kuningan. Berdasarkan klasifikasi

iklim menurut Schmidt-Fergusson iklimnya termasuk tipe C di bagian Utara dan

D di bagian Selatan, dengan curah hujan tahunan bervariasi antara 1.500 sampai

2.000 mm. Bulan-bulan kering jatuh pada bulan Juli, Agustus, Oktober, dan

Nopember. Suhu berkisar antara 20° hingga 33° C, dengan kelembaban 80%.

TNRAW memiliki potensi keragaman jenis flora yang tersebar di keempat

tipe vegetasi, yaitu vegetasi hutan mangrove, vegetasi savana, vegetasi rawa, dan

vegetasi hutan hujan pegunungan rendah. Menurut hasil eksplorasi flora yang

dilaksanakan oleh Balai Kebun Raya Purwodadi-LIPI pada bulan Juni 1993

berlokasi di Gunung Watumohai dan sekitarnya diperoleh data vegetasi yang

terdiri atas 89 suku/famili, 257 marga/genus, dan 323 jenis/species tumbuhan.

Permasalahan yang dihadapi TNRAW berupa perburuan gelap (poaching), dengan

satwa buru yang digemari adalah rusa/jonga. Peralatan buru mulai dari yang

tradisional (jerat) hingga senjata api. Untuk mengatasi gangguan ini, dilaksanakan

penjagaan gerbang masuk/keluar kawasan, patroli, serta penyuluhan. Para

(47)

tumbuh tunas-tunas muda yang disukai rusa, sehingga para pemburu tinggal

menunggu di tempat tersebut. Pembakaran ini seringkali menyebabkan

terbakarnya areal dalam jumlah yang luas. Permasalahan lain berupa pemungutan

rotan, pengambilan bahan tambang, penyerobotan kawasan, serta claim beberapa

kelompok masyarakat atas tanah di dalam kawasan sebagai tanah leluhur

(IDRAP 2006).

Permasalahan yang terjadi di TNRAW di atas berdasarkan pengamatan di

lapangan terjadi akibat kondisi ekonomi sekitar Taman Nasional yang kurang baik

dengan pendapatan yang rendah. Widaningsih dan Djakamihardja (1991)

menyatakan untuk maksud peningkatan pendapatan petani di satu sisi, dan tetap

terjaminnya kelestarian (tidak terjadi degradasi) lahan di sisi lain, maka sistem

pertanaman campuran (agroforestry) lebih tepat dilakukan di tempat itu. Boer

(2001) memperkuat penyataan di atas dengan menyatakan bahwa untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dapat dikembangkan sistem Perhutanan

Sosial yang kebanyakan diprogramkan di daerah transmigrasi atau daerah

penyangga (antara hutan dan lahan masyarakat) termasuk agroforestri dengan

menanam jenis tanaman kayu, buah-buahan dan pangan.

2.4. Agroforestri

Satjapradja (1981) telah mengumpulkan beberapa pengertian agroforestri

yang kemudian memberikan batasan umum sebagai suatu bentuk pemanfaatan

lahan secara optimal pada suatu tapak yang mengusahakan produksi biologis

berdaur pendek dan berdaur panjang (komoditi pertanian dan kehutanan),

(48)

secara serentak maupun berurutan di dalam dan/atau di luar kawasan hutan, untuk

kesejahteraan masyarakat.

Agroforestri dapat dikategorikan dalam multiple cropping, yaitu

intensifikasi penanaman dalam dimensi waktu dan ruang dengan menanam dua

atau lebih jenis tanaman pada lahan yang sama dalam satu tahun. Selanjutnya

disebutkan bahwa perhatian penting dalam multiple cropping adalah penyediaan

makanan bagi keluarga, menghasilkan makan dengan investasi modal yang

minimum, meminimumkan resiko, dan menyebar pendapatan dan persediaan

makanan sepanjang tahun Mandagi (2000).

Nair (1989a) mendefinisikan agroforestri sebagai suatu sistem budidaya

yang terdiri dari tanaman pohon dan non pohon yang tumbuh dalam asosiasi

tertutup, dalam satu kesatuan kehutanan dan agronomis. Tujuannya adalah untuk

memaksimumkan produksi dalam jangka panjang. Hasil yang diperoleh sekaligus

berasal dari dua komponen tersebut yaitu tanaman pohon dan non pohon

(sekurang-kurangnya pakan ternak).

Berdasarkan struktur dan sifat komponennya, Nair (1984) membagi system agroforestri menjadi empat kelompok yaitu :

1. Agrisilvikultur, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran

pepohonan dan tanaman pertanian termasuk semak dan tanaman merambat.

Pelaksanaan sistem ini meliputi pemanfaatan lahan bera dalam area

perladangan berpindah (Shifting Cultifation), sistem tumpang sari, kebun

(Didominasi tanaman buah-buahan), penanaman sejajar garis kontur (Alley

(49)

2. Silvopastoral, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran

pepohonan, padang rumput dan hewan peliharaan (penggembalaan)

3. Agrosilvopastoral, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran

pepohonan, tanaman pertanian, padang rumput dan hewan peliharaan

(Penggembalaan). Pekarangan di sekitar tempat tinggal merupakan contoh

yang baik untuk agrosilvopastoral.

4. Agrosilvofishery, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran

pepohonan, tanaman pertanian dan ikan. Pelaksanaan sistem ini terutama

pada lahan mangrove.

Manfaat penerapan sistem agroforestri dapat dilihat dari keuntungan secara

ekologis atau lingkungan, keuntungan secara ekonomis dan keuntungan secara

sosial. Keuntungan secara ekologis dapat berupa (Nair 1989b; Chundawat dan

Gautam 1993; Lai 1995): (a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan

lindung dan suaka alam; (b) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan

hara dari kedalaman solum tanah ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran

tanaman pepohonan yang dalam; (c) penurunan dan pengendalian aliran

permukaan, pencucian hara, dan erosi tanah; (d) pemeliharaan iklim mikro seperti

terkendalinya temperatur tanah lapisan atas, pengurangan evaporasi dan

terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman; (e)

sistem ekologis terpelihara dengan lebih baik dengan terciptanya kondisi yang

menguntungkan dan populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah; (f) Penambahan

hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan dan

(g) terpeliharanya struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik

(50)

Secara ekonomis, sistem agroforestri sangat menguntungkan terutama

dalam hal (Nair 1989c; Chundawat dan Gautam 1993; Lai 1995): (a) peningkatan

keluaran dalam arti lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa

pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang; (b)

memperkecil kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah

satu komponen, masih dapat ditutupi oleh adanya hasil (panen) komponen lain;

dan (c) meningkatnya pendapatan petani, karena input yang diberikan akan

menghasilkan output yang berkelanjutan.

Keuntungan secara sosial dari diterapkannya sistem agroforestri adalah

(Chundawat dan Gautam 1993; Lai 1995): (a) terpeliharanya standar kehidupan

masyarakat pedesaan dengan keberlanjutan pekerjaan dan pendapatan; (b)

terpeliharanya sumber pangan dan tingkat keseharian masyarakat karena

peningkatan kualitas dan keragaman produk pangan, gizi dan papan; dan (c)

terjaminnya stabilitas komunitas petani dan pertanian lahan kering sehingga dapat

mengurangi dampak negatif urbanisasi.

Selain kebaikan-kebaikan tersebut di atas, sistem agroforestri juga

memiliki kelemahan-kelemahan, baik secara ekologis atau lingkungan, maupun

secara sosial- ekonomis (Chundawat dan Gautam 1993). Kelemahan dari aspek

lingkungan antara lain: (a) kemungkinan terjadinya persaingan sinar matahari, air

tanah dan hara antara tanaman pohon (hutan) dengan tanaman pertanian/pangan

dan pakan; (b) kerusakan tanaman pangan pada saat dilakukan pemanenan

tanaman pohon (terutama saat penebangan kayu); (c) tanaman pohon secara

(51)

Kelemahan dari segi sosial-ekonomis antara lain (Chundawat dan Gautam,

1993): (a) terbatasnya tenaga kerja yang berminat di bidang pertanian, khususnya

dalam membangun sistem agroforestri; (b) terjadinya persaingan antara tanaman

pohon dengan tanaman pangan yang dapat menurunkan hasil tanaman pangan

(sumber gizi keluarga) dibandingkan pada penanaman dengan sistem monokultur;

(c) waktu yang cukup panjang untuk menunggu panen tanaman pohon dapat

mengurangi produksi sistem agroforestri tersebut; (d) sistem agroforestri diakui

lebih komplek sehingga lebih sulit diterapkan, apalagi dengan pengetahuan petani

yang terbatas dibandingkan pada sistem pertanian monokultur; dan (e)

keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan

dengan tanaman pohon atau sebaliknya, yang Iebih bemilai ekonomis.

Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya

kelemahan-kelemahan sistem agoforestri tersebut di atas dapat dikendalikan sebagian atau

seluruhnya dengan jalan (Nair I989c; Chundawat dan Gautam 1993): (a)

penggunaan pohon kacangan atau tanaman berbuah polong yang sedikit dalam

menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk tanaman pangan

dapat terpenuhi; (b) pemilihan tanaman pohon dengan sistem perakaran dalam,

sehingga mengurangi persaingan hara dan air dengan tanaman pangan di sekitar

permukaan atau tanah lapisan atas; dan (c) jarak tanaman pohon yang dibuat lebih

lebar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air tanah

dengar, tanaman pangan.

Tujuan akhir program agroforestri adalah juga meningkatkan kesejahteraan

rakyat petani terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan

(52)

dan berlanjut dengan memeliharanya (Departemen Kehutanan 1997). Beberapa

jenis tanaman yang cocok untuk ditanam dengan sistem agroforestri

(Mandagi 2000) :

a. Padi (Oryza sativa)

Padi gogo atau padi ladang termasuk dalam famili Gramineae. Padi gogo dapat

tumbuh pada keinggian 0.2-500 mdpl pada suhu 24°C – 26 °C. Distribusi CH

lebih penting dari CH total dimana kebutuhan CH adalah 100 mm/hari. Padi

ladang ditanam pada bulan November/Desember. Pemakaian pupuk adalah

100 kg urea dan 150 kg TSP. Produksi padi gogo lebih rendah daripada padi

sawah yaitu 2.1 ton/ha.

b. Jagung (Zea mays L.)

Jagung termasuk dalam famili Gramineae. Jagung dapat tumbuh pada

ketinggian 0 – 3700 mdpl pada daerah kering dengan CH 250 mm/tahun

sampai daerah basah dengan CH 5000 mm/tahun. Tanaman jagung dapat

tumbuh pada tanah pasir sampai tanah liat di daerah datar sampai lereng yang

curam. Sangat rentan terhadap udara dingin dan tidak cocok pada suhu

rata-rata di bawah 15°C. Kebutuhan pupuk adalah 200 kg urea, 200 kg TSP dan 50

kg KCL. Jagung ditanam pada dua musim pada bulan Oktober dan Februari

tapi kadangkala dapat ditanam pada bulan Juni. Varitas lokal membutuhkan

benih 40 -50 kg/ha, varitas unggul memerlukan 30 kg/ha. Umur panen jagung

(53)

c. Jambu mete (Anacardium occidentale)

Tanaman ini termasuk dalam famili Anacardiaceae. Jambu mete adalah

tanaman keras yang tahan terhadap kekeringan, tumbuh dengan subur pada

berbagai macam iklim dan kondisi tanah dan dapat tumbuh pada ketinggian

0 – 1 150 mdpl, tetapi paling baik di dataran rendah. Curah hujan

500 – 3 600 mm/tahun, paling baik pada tanah yang berpasir dengan drainase

yang baik namun juga bisa tumbuh pada perbukitan yang terlalu kering dan

berbatu untuk ditanami tanaman lain. Jarak tanam 3m x 3m, setelah berumur

10 tahun dapat dijarangkan sampai 6m x 6m. Pemanfaatan tanaman sela dapat

dilakukan sampai dua tahun. Hasil ekonomis dapat diperoleh setelah tahun

ketiga

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Pemikiran : Proses Penelitian Alokasi Optimal Penggunaan Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon di Sulawesi Tenggara
Tabel 2.  Tipe Kegiatan Penambatan Karbon Hutan dan Lahan yang Tersedia (dihitung dari data tahun 1990)
Tabel 7. Statistik Penggunaan Lahan di Kab. Bombana dan Konawe Selatan
Gambar 3. Peta Kelas Lereng di Dalam dan Sekitar TNRAW Tahun 2001
+7

Referensi

Dokumen terkait