• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Antara Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keterkaitan Antara Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah"

Copied!
364
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta menghapuskan kemiskinan, atau paling tidak mengurangi tingkat kemiskinan di negara atau wilayah tersebut. Tidak hanya negara yang relatif sudah maju (negara berkembang) saja yang melakukan kegiatan pembangunan, negara yang belum maju pun melakukan kegiatan pembangunan. Dalam suatu negara atau wilayah, pembangunan ekonomi menjadi sesuatu yang sangat penting karena ketika berbicara mengenai pembangunan ekonomi berarti di dalamnya terdapat sebuah proses pembangunan yang melibatkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan beberapa perubahan. Perubahan-perubahan itu antara lain mencakup perubahan struktur ekonomi (dari pertanian ke industri atau jasa) dan perubahan kelembagaan, baik lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan itu sendiri (Kuncoro, 1997).

(2)

dari angka pendapatan nasional selanjutnya dapat pula diperoleh ukuran turunannya, sepeti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita (Dumairy,1996).

Berhasil atau tidaknya proses pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara atau wilayah dapat dilihat dari perkembangan indikator-indikator perekonomian tersebut, apakah mengalami peningkatan atau penurunan. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan untuk daerah tertentu disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain PDRB, pendapatan per kapita juga salah satu konsep penting dalam perekonomian suatu Negara. Menurut Todaro (2003), produk nasional bruto per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu Negara.

(3)

Kapita Tanpa Minyak & Gas Enam Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan PDRB per kapita tanpa minyak dan gas enam provinsi di Pulau Jawa tahun 2005-2009 (ribu rupiah)

Provinsi

Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

DKI Jakarta 48.570 55.610 62.199 73.713 81.746 Jawa Timur 11.033 12.796 14.456 16.635 18.285

Jawa Barat 9.468 11.28 12.434 13.987 15.121

Banten 9.329 10.585 11.408 12.756 13.598

DI Yogyakarta 7.529 8.652 9.584 10.985 11.830

Jawa Tengah 6.372 7.565 8.419 9.543 10.416

Sumber: BPS

(4)

Tabel 2 Pertumbuhan ekonomi enam provinsi di Pulau Jawa tahun 2006-2010 perekonomian Provinsi Jawa Tengah ternyata hanya terpusat di beberapa daerah. Hal ini ditunjukkan dari PDRB per kapita di Jawa Tengah masih belum merata. Data BPS Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 menunjukkan hanya sekitar sepuluh kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang memiliki PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten dan kota lainnya memiliki PDRB per kapita kurang dari rata-rata di Jawa Tengah. Lima kabupaten dan kota yang memiliki PDRB per kapita tertinggi berturut-turut adalah Kabupaten Kudus, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, Kota Surakarta serta Kota Magelang dimana PDRB per kapita daerahnya jauh lebih tinggi dari kabupaten dan kota yang lainnya yaitu di atas Rp 17 juta per tahun. Sedangkan lima daerah yang memiliki PDRB per kapita terendah berturut adalah Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kebumen serta Kabupaten Demak. Daerah-daerah tersebut memiliki PDRB per kapita yang relatif sangat rendah dibandingkan yang lain yaitu hanya sekitar Rp 5 juta per tahun.

(5)

membangun perekonomian dengan memberdayakan potensi ekonomi di wilayahnya. Padahal di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah sudah diberi wewenang untuk mengelola potensi di daerah masing-masing. Wewenang ini yang seharusnya dapat dioptimalkan pemerintah daerah dalam membangun perekonomian daerah.

Tabel 3 PDRB per kapita tanpa minyak dan gas kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010

No Kabupaten/Kota PDRB per Kapita No Kabupaten/Kota PDRB per Kapita

1 Kudus 40.471.198 19 Jepara 8.310.082

2 Kota Semarang 27.891.154 20 Pati 7.880.407

3 Cilacap 24.030.196 21 Sragen 7.860.941

4 Kota Surakarta 19.908.672 22 Banjarnegara 7.712.477

5 Kota Magelang 17.806.644 23 Batang 7.454.500

6 Kota Pekalongan 13.516.524 24 Temanggung 7.154.116 7 Sukoharjo 12.025.057 25 Wonogiri 6.937.837

(6)

baik yang berasal dari dalam negeri (PMDN) maupun dari luar negeri (PMA) untuk mengembangkan perekonomian di suatu wilayah.

Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta.

Kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) terutama tercermin pada berbagai Peraturan Daerah (Perda), diantaranya perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Melalui APBD yang merupakan alat kebijakan utama, pemda membuat kebijakan pengeluaran untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik. Setelah fungsi pelayanan publik mendapatkan perbaikan kualitas maka tahapan berikutnya pada proses pembangunan berkelanjutan adalah penciptaan keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi daerah. Pengembangan usaha swasta harus menjadi motor penggerak ekonomi lokal karena APBD memiliki banyak keterbatasan dalam hal jumlah dan cakupan program pembangunan yang dapat dibiayainya (KPPOD 2007).

(7)

ekonomi daerah ini didasarkan pada survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada tahun 2007. Survei ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah di Indonesia. Pada tahun 2007, survei dilaksanakan di 243 kabupaten dan kota di 15 provinsi di Indonesia.

Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Namun, hasilnya sangat mengejutkan yakni hanya ada sedikit atau tidak ada hubungan yang signifikan antara tata kelola perekonomian daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal yang mendorong hasil ini dimungkinkan karena dalam penelitian tersebut menganalisis dampak tata kelola perekonomian daerah terhadap pertumbuhan secara agregat. Untuk menganalisis hal tersebut menggunakan skor indeks akhir serta sub-indeks tata kelola ekonomi daerah. Sementara ada 90 pertanyaan dari kuisioner yang ditanyakan kepada para responden memiliki skala pengukuran yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan analisis secara parsial yaitu menganalisis variabel-variabel yang ditanyakan kepada responden untuk mengetahui keterkaitan setiap indikator tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi.

1.2. Permasalahan

(8)

PDRB per kapita daerahnya jauh lebih tinggi dari kabupaten dan kota yang lainnya yaitu di atas Rp 17 juta per tahun. Peringkat daerah dengan PDRB per kapita tertinggi tahun 2007 tersebut sama dengan peringkan PDRB per kapita tahun 2010. Artinya, kelima daerah tersebut secara konsisten memiliki perekonomian yang lebih besar dari daerah lainnya. Sedangkan lima daerah yang memiliki PDRB per kapita tahun 2007 terendah berturut adalah Kabupaten Tegal, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Blora serta Kabupaten Grobogan. Daerah-daerah tersebut memiliki PDRB per kapita yang relatif sangat rendah dibandingkan yang lain yaitu hanya sekitar Rp 5 juta per tahun.

Tabel 4 PDRB per kapita dan indeks tata kelola ekonomi daerah lima kabupaten/kota tertinggi dan terendah di Jawa Tengah tahun 2007 Pering

(9)

kabupaten tertinggi kedua di Jawa Tegah ternyata menempati peringkat tata kelola ekonomi daerah terburuk kedua, setelah Kabupaten Kebumen. Tidak hanya itu, Kabupaten Wonosobo yang merupakan salah satu kabupaten dengan pendapatan per kapita terendah pun ternyata memiliki tata kelola ekonomi daerah terbaik di peringkat kelima. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai ketidaksesuaian dalam pelaksanaan pembangunan.

Baik buruknya tata kelola ekonomi daerah tergantung peran pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan di kabupaten/kota masing-masing. Di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah sudah seharusnya berlomba dalam meningkatkan perekonomian masing-masing. Salah satu peran yang utama dari pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah adalah melalui tata kelola ekonomi daerah.

Penelitian mengenai tata kelola ekonomi daerah ini didasarkan pada survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang disurvei oleh KPPOD di tahun 2007. Survei ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah di Indonesia. Pada tahun 2007, survei dilaksanakan di 243 kabupaten dan kota di 15 provinsi (KPPOD 2007).

Berdasarkan uraian diatas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

(10)

2. Bagaimana keterkaitan tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah?

3. Bagimana implementasi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Jawa Tengah?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penulis merumuskan tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kondisi tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah.

2. Menganalisis keterkaitan tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah.

3. Menganalisis implementasi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak sebagai berikut :

(11)

2. Bagi para penentu kebijakan di pemerintah Provinsi Jawa Tengah serta Pemerintah Daerah di Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dalam menambah pemahaman tentang aspek atau indikator dalam tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh terhadap PDRB per kapita. Pemahaman tersebut membantu penentu kebijakan untuk fokus dalam membuat kebijakan dalam meningkatkan meningkatkan perekonomian kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

3. Bagi para pemangku peran masyarakat serta LSM, penelitian ini diharapakan dapat digunakan sebagai alat advokasi kepada para pemimpin daerah untuk melakukan perbaikan tata kelola ekonomi daerah.

4. Bagi masyarakat umum, mahasiswa dan peneliti lain, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi, tambahan pengetahuan, dan sumber rujukan bagi penelitian terkait selanjutnya bagi peneliti yang berminat di bidang tata kelola ekonomi daerah.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini berdasar pada survei tata kelola ekonomi daerah yang dilakukan oleh KPPOD. Kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang disurvei di tahun 2007. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan data cross section dengan unit analisis kabupaten dan kota di Jawa Tengah pada tahun 2007.

(12)
(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Pembangunan Ekonomi

Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang. Sebagian ahli ekonomi mengartikan istilah ini sebagai pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan-perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi seperti mempercepat pertumbuhan ekonomi dan masalah pemerataan pendapatan. Hal ini dikenal sebagai economic development is growth plus change-yaitu pembangunan ekonomi (Sukirno, 2001).

Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian, yang kondisi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional bruto. Produk nasional bruto per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu negara (Todaro, 2003). Selanjutnya pembangunan ekonomi menurut Jhingan (2008) diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. Terdapat tiga elemen penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, yaitu:

(14)

b. Pembangunan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita. Sebagai suatu usaha, pembangunan merupakan tindakan aktif yang harus dilakukan oleh suatu negara dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita. Dengan demikian, sangat dibutuhkan peran serta masyarakat, pemerintah, dan semua elemen untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan. Hal ini dilakukan karena kenaikan pendapatan per kapita mencerminkan perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat.

c. Peningkatan pendapatan per kapita harus berlangsung dalam jangka panjang. Suatu perekonomian dapat dinyatakan dalam keadaan berkembang apabila pendapatan per kapita dalam jangka panjang cenderung meningkat. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa pendapatan per kapita harus mengalami kenaikan terus-menerus.

(15)

Pembangunan saat ini tidak lebih diukur dari suatu prestasi kuantitatif semata. Proses pembangunan pada dasarnya bukanlah sekedar fenomena ekonomi semata, namun memiliki perspektif yang luas. Dalam proses pembangunan dilakukan upaya yang bertujuan untuk mengubah struktur perekonomian ke arah yang lebih baik (Kuncoro, 1997).

2.1.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat (Sukirno, 2000). Jadi pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian serta kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh pertambahan faktor-faktor produksi baik dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah barang modal dan teknologi yang digunakan juga makin berkembang. Di samping itu tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk seiring dengan meningkatnya pendidikan dan keterampilan mereka.

(16)

kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah untuk mendorong aktivitas perekonomian domestik dapat dinilai efektifitasnya (Rustiono, 2008).

2.1.2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik

Menurut ekonom Klasik, Smith, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. Unsur pokok dari sistem produksi suatu negara ada tiga, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan stok modal.

Menurut Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik, pertumbuhan ekonomi bergantung pada faktor-faktor produksi (Sukirno, 2001). Persamaannya adalah :

Δ Y = f (ΔK, ΔL) Δ Y = tingkat pertumbuhan ekonomi

Δ K = tingkat pertambahan barang modal

Δ L = tingkat pertambahan tenaga kerja

2.1.3. Indeks Pembangunan Manusia

(17)

Probowoningtyas (2011) menyebutkan penghitungan IPM sebagai indikator pembangunan manusia memiliki tujuan penting, diantaranya:

1. Membangun indikator yang mengukur dimensi dasar pembangunan manusia dan perluasan kebebasan memilih.

2. Memanfaatkan sejumlah indikator untuk menjaga ukuran tersebut sederhana. 3. Membentuk satu indeks komposit daripada menggunakan sejumlah indeks

dasar.

4. Menciptakan suatu ukuran yang mencakup aspek sosial dan ekonomi.

Indeks tersebut merupakan indeks dasar yang tersusun dari dimensi berikut ini:

1. Umur panjang dan kehidupan yang sehat, dengan indikator angka harapan hidup;

2. Pengetahuan, yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah; dan

3. Standar hidup yang layak, dengan indikator PDRB per kapita dalam bentuk Purchasing Power Parity (PPP).

Konsep Pembangunan Manusia yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menetapkan peringkat kinerja pembangunan manusia pada skala 0,0 – 100,0 dengan katagori sebagai berikut :

1. Tinggi : IPM lebih dari 80,0

(18)

2.1.4. Pengeluaran Pemerintah

2.1.4.1. Pengeluaran Pemerintah Keynes

Identitas keseimbangan pendapatan nasional Y = C + I + G merupakan pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam perekonomian tertutup. Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional. Y merupakan pendapatan nasional, C merupakan pengeluaran konsumsi, dan G merupakan Pengeluaran Pemerintah. Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamati dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional (Dumairy,1997).

Inti dari kebijakan makro Keynes adalah bagaimana pemerintah bisa memengaruhi permintaan agregat. Dengan demikian, akan memengaruhi situasi makro agar mendekati posisi “Full Employment”-nya. Menurut Keynes untuk menghindari timbulnya stagnasi dalam perekonomian, pemerintah berupaya untuk meningkatkan jumlah pengeluaran pemerintah (G) dengan tingkat yang lebih tinggi dari pendapatan nasional sehingga dapat mengimbangi kecenderungan mengkonsumsi (C) dalam perekonomian.

2.1.4.2. Teori Wagner

(19)

Wagner mendasarkan pandangannya pada suatu teori yang disebut organic theory of state yaitu teori yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dengan masyarakat yang lain. Menurut Wagner, ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu : 1. Tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan

2. Kenaikan tingkat pendapatan masyarakat

3. Urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi 4. Perkembangan demografi

5. Ketidakefisienan birokrasi

Pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan hubungan antarindustri dan hubungan antarindustri dengan masyarakat akan semakin kompleks sehingga potensi terjadinya kegagalan eksternalitas negatif menjadi semakin besar. Namun teori Wagner memiliki kelemahan yaitu tidak didasari pada teori pemilihan barang-barang publik (Dumairy,1997).

2.1.5. Otonomi Daerah

(20)

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini meletakkan prinsip-prinsip baru agar penyelenggaraan otonomi daerah lebih sesuai dengan prinsip demokrasi, adanya peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan berdasarkan potensi dan keanekaragaman daerah. Undang-undang tersebut memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pemberian kewenangan ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Alasan penerapan kebijakan desentralisasi di berbagai negara umumnya adalah dalam rangka memperbaiki kinerja sektor publik demi mencapai kesejahteraan masyarakat dengan mendekatkan perencanaan. Selain itu, alasan desentralisasi lainnya adalah memperbaiki pelayanan kepada masyarakat. Alasan yang terakhir adalah untuk mendukung pembangunan ekonomi daerah, dengan menyerahkan sejumlah kewenangan pengelolaan pembangunan kepada pemerintah daerah secara otonom (Murwito, 2008).

(21)

Kemampuan prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat.

Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama: politik, ekonomi serta sosial dan budaya. Di bidang politik, otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka otonomi daerah harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Hal ini memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.

(22)

Di bidang sosial budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin. Pengelolaan otonomi yang baik ini demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial. Selain itu, tujuan lain di bidang sosial budaya adalah memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan sekitarnya.

Dalam era otonomi daerah, dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang di antaranya meliputi :

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan

b. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang c. Pengendalian lingkungan hidup.

2.1.6. Tata Kelola Pemerintahan

2.1.6.1. Pengertian Good Governance

(23)

alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Masyarakat Transparansi mendefinisikan Good Governance sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata „baik‟ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai

dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.

(24)

Sumber: Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah 2007

Gambar 1 Pola interaksi tiga pilar good governance.

Jelas bahwa good governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik kebaikan dari suatu governance lebih banyak berkaitan dengan kinerja pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan investasi untuk mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti pendidikan kesehatan dan infrastruktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu masyarakat warga yang kompeten dibutuhkan melalui diterapkannya sistem demokrasi, rule of law, hak asasi manusia, dan dihargainya pluralisme. Good governance sangat terkait dengan dua hal yaitu (1) good governance tidak dapat dibatasi hanya pada tujuan ekonomi dan (2) tujuan ekonomi pun tidak dapat dicapai tanpa prasyarat politik tertentu (Lalolo Krina, 2003).

2.1.6.2. Prinsip Good Governance

(25)

manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Sedangkan World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance adalah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum. Masyarakat Transparansi Indonesia menyebutkan sejumlah indikator seperti: transparansi, akuntabilitas, kewajaran dan kesetaraan, kesinambungan, partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum serta efektivitas dan efisiensi.

Jelas bahwa terdapat berbagai prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik. Berbagai prinsip ini berbeda dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun ada tiga prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

2.1.6.3. Tata Kelola Ekonomi Daerah

Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta.

(26)

investasi tertentu. Peranan sektor swasta di daerah dapat menjadi faktor penggerak produktivitas daerah yang mencerminkan keadaan berusaha yang baik. Berdasarkan hipotesa ini, keberadaan perusahaan di kabupaten/kota tertentu menjadi sangat penting (KPPOD, 2007).

Sumber: KPPOD 2007

Gambar 2 Faktor penggerak produktivitas perekonomian daerah.

(27)

keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi daerah. Pengembangan usaha swasta harus menjadi motor penggerak ekonomi lokal karena APBD memiliki banyak keterbatasan dalam hal jumlah dan cakupan program pembangunan yang dapat dibiayainya.

Berbagai bentuk kewenangan telah didesentralisasikan dari pemerintah pusat ke pemda. Dengan demikian, pemda berperan besar dalam hal meningkatkan kompetisi antarperusahaan di daerah bersangkutan dan mendorong berbagai inovasi yang berasal dari perkembangan praktek berusaha yang mendorong kepada penggunaan teknologi. Gambar 3 menggambarkan kemungkinan bentuk interaksi antara pihak eksekutif dalam hal ini pemda, pihak legislatif yaitu Dewa Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintah pusat yang mempengaruhi keadaan berusaha di daerah.

Konsep tata kelola ekonomi daerah menyoroti sejumlah kebijakan daerah terkait dunia usaha di kabupaten/kota Indonesia. Namun kebijakan terkait dunia usaha yang dihadapi pelaku usaha sehari-hari di daerah tidak hanya dibuat oleh pemda. Didalam interaksinya terdapat kebijakan pusat yang berlaku di daerah, pihak legislatif daerah, dan pihak eksekutif daerah. Interaksi diantara ketiganya sedikit-banyak memengaruhi keadaan berusaha di suatu daerah.

Sumber: KPPOD 2007

(28)

KPPOD merumuskan beberapa indikator yang memengaruhi keadaan tata kelola ekonomi daerah. Indikator tersebut dirumuskan menjadi variabel-variabel yang digunakan dalam sembilan aspek sebagai berikut: akses lahan, infrastruktur, perizinan usaha, kualitas peraturan di daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas bupati/walikota, interaksi pemda dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta (PPUS) serta keamanan dan penyelesaian konflik. Sembilan indikator itu yang dapat menggambarkan tata kelola ekonomi daerah.

2.1.7. Hubungan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi dengan IPM

Sumberdaya manusia merupakan faktor terpenting dalam perekonomian. Menurut Jhingan (2008), peningkatan GNP per kapita yang tinggi ternyata berkaitan erat dengan pengembangan faktor manusia sebagaimana terlihat dalam efisiensi atau poduktivitas yang melonjak di kalangan tenaga buruh. Menurut Todaro (2003), sumberdaya manusia dari suatu bangsa, bukan modal fisik atau sumber daya material, merupakan faktor paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa bersangkutan.

Laporan tahunan UNDP secara konsisten menunjukkan bahwa pembangunan manusia mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan pembangunan manusia tidak akan bertahan lama (sustainable). Agar berjalan positif dan berkelanjutan harus ditunjang oleh kebijakan sosial (social policy) pemerintah yang pro pembangunan manusia (sosial).

(29)

pendidikan formal yang diperoleh, maka produktivitas tenaga kerja akan semakin tinggi pula. Pendidikan memiliki pengaruh terhadap peningkatan output perekonomian karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Jika setiap orang memiliki penghasilan yang lebih tinggi karena pendidikannya lebih tinggi, maka pertumbuhan ekonomi penduduk dapat ditunjang.

Pembangunan sumberdaya manusia secara tepat untuk pembangunan ekonomi dapat dilakukan dengan cara berikut. Pertama, harus ada pengendalian atas perkembangan penduduk. Sumberdaya manusia dapat dimanfaatkan dengan baik apabila jumlah penduduk dapat dikendalikan dan diturunkan. Kedua, harus ada perubahan dalam pandangan tenaga buruh. Hanya tenaga buruh yang terlatih dan terdidik dengan efisiensi tinggi yang akan membawa masyarakat kepada pembangunan ekonomi yang tepat.

2.1.8. Hubungan Pendapatan per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomidengan

Belanja Pemerintah

Pengeluaran pemerintah merupakan seperangkat produk yang dihasilkan yang memuat pilihan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Pengeluaran pemerintah ini digunakan untuk menyediakan barang-barang publik dan pelayanan kepada masyarakat. Total pengeluaran pemerintah merupakan penjumlahan keseluruhan dari keputusan anggaran pada masing-masing tingkatan pemerintahan (pusat – provinsi – daerah) (Rustiono 2008).

(30)

dari titik A ke titik B, dan pendapatan meningkat dari Y1 ke Y2. Gambar 4

menunjukkan bahwa kenaikan belanja pemerintah mendorong adanya kenaikan dalam pendapatan yang lebih besar, yaitu ∆Y lebih besar dari ∆G. Rasio ∆Y/∆G disebut pengganda belanja pemerintah (Mankiw 2006).

Sumber: Mankiw (2000)

Gambar 4 Kenaikan belanja pemerintah dalam perpotongan Keynesian.

2.1.9. Hubungan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Tata

Kelola Pemerintahan

Hubungan tata kelola pemerintahan dengan peningkatan perekonomian hingga kini masih menjadi dilema. Namun, beberapa penelitian membuktikan bahwa ada hubungan kuat antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi. Rodrik et al (2004) meneliti hubungan institusi, integrasi ekonomi (perdagangan internasional) dan geografi terhadap pembangunan ekonomi di beberapa negara dengan menggunakan data cross section. Kualitas institusi ditemukan memiliki dampak yang lebih besar terhadap tingkat akumulasi modal fisik dibandingkan modal manusia. Semakin pentingnya peranan institusi mampu Pengeluaran, E

A B

Pendapatan, output, Y ∆Y

(31)

memberikan insentif yang lebih kuat bagi para pelaku ekonomi untuk berinvestasi sehingga akumulasi modal fisik meningkat yang akhirnya akan meningkatkan perekonomian.

Studi empiris lainnya dilakukan oleh Abdellatif (2003) menyimpulkan bahwa tata kelola pemerintahan berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Fakta menunjukkan ada hubungan yang signifikan secara statistik antara kebebasan politik (tata kelola pemerintahan yang demokratis) terhadap pertumbuhan. Dalam model yang digunakan, tata kelola pemerintahan yang demokratis memengaruhi pertumbuhan dengan menghambat tindakan korupsi dan menghendaki keterbukaan keuangan pemerintah kepada publik sehingga keuangan publik dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, tata kelola pemerintahan yang demokratis berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi hanya jika kualitas institusi meningkat. Jika tidak, tata kelola pemerintahan yang demokratis hanya memberikan dampak yang kecil terhadap pertumbuhan.

Kaufmann dan Kraay (2002) memperkuat pemikiran bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi dapat bersifat dua arah. Hasil penelitian tesebut ditemukan hubungan sebab akibat yang positif yang kuat dari tata kelola pemerintahan terhadap pendapatan per kapita. Hubungan positif yang kuat tersebut berasal dari tata kelola pemerintahan yang bagus ke pendapatan per kapita yang lebih tinggi.

2.2. Penelitian Terdahulu

(32)

sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari 205 kabupaten dan kota di Indonesia. Data mengenai tata kelola ekonomi daerah tahun 2007 yang diperoleh dari KPPOD, data Pendapatan Asli Daerah tahun 2006 diperoleh dari Departemen Keuangan RI serta Indeks Pebangunan Manusia (IPM) tahun 2005 dari Badan Pusat Statistik.

Dari pengujian secara ekonometri terlihat bahwa terdapat indikasi suatu daerah harus mencapai tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah tertentu agar tata kelola ekonomi mampu berdampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Selain itu, ditemukan indikasi bahwa tata kelola ekonomi daerah lebih cepat dirasakan dampaknya terhadap laju pertumbuhan pendapatan regional di wilayah kota dibandingkan dengan wilayah kabupaten.

Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa tata kelola ekonomi daerah kurang lebih memiliki efek yang sama terhadap proporsi penduduk miskin baik di wilayah kota maupun kabupaten. Mengingat masih terdapat kesenjangan dalam pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah yang ditunjukkan oleh masih banyak daerah yang belum mencapai nilai indeks tata kelola ekonomi tertentu, maka khususnya bagi daerah yang masih memiliki tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi yang kurang, perlu ditingkatkan kualitas tata kelola ekonomi di daerah tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dampak positif dari tata kelola ekonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat dapat dirasakan di daerah-daerah yang bersangkutan.

(33)

dengan mengunakan metode OLS. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di 25 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2007 yang diperoleh dari KPPOD serta data realisasi investasi Provinsi Jawa Barat tahun 2007 yang diperoleh dari Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah (BKPPMD) Provinsi Jawa Barat.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa secara keseluruhan pelaku usaha menilai iklim usaha di Provinsi Jawa Barat sudah cukup kondusif yang terlihat dari nilai indeks TKED yang berada di atas nilai 50 persen. Lima kabupaten dan kota yang memiliki iklim investasi paling kondusif di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Sumedang. Namun pada kenyataannya, iklim investasi tersebut kurang mampu mendorong realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah investasi tahun 2007 jika dibandingkan dengan jumlah investasi tahun 2006. Jika dilihat berdasarkan distribusi penyebaran investasi di Provinsi Jawa Barat, hanya ada 16 kabupaten dan kota yang mendapatkan realisasi investasi tersebut. Ada lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mendapatkan realisasi investasi terbesar, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Purwakarta.

(34)

pemda dan pelaku usaha, indikator program pengembangan usaha swasta, dan indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan indikator kapasitas dan integritas kepala daerah dan indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat.

McCulloch dan Malesky (2010) meneliti pengaruh tata kelola ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut merupakan data sekunder yang berasal dari dua sumber utama, yaitu data survei resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah. Pengukuran utama terhadap kinerja perekonomian adalah Produk Domestik Bruto (PDB) di tingkat daerah, baik termasuk minyak dan gas maupun tidak termasuk minyak dan gas.

(35)

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini menganalisis setiap variabel tata kelola ekonomi daerah. Sementara semua penelitian terdahulu menganalisis indeks dan sub-indeks tata kelola ekonomi daerah yang telah dibuat oleh KPPOD. Ada 90 variabel yang diuji korelasi dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya diambil variabel-variabel yang berhubungan signifikan yang akan dimasukan ke dalam model.

2.3. Kerangka Pemikiran

Peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi merupakan syarat perlu bagi pembangunan daerah. Meskipun bukan satu-satunya syarat bagi pembangunan, pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi dapat menjadi indikator yang cukup representatif. Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah sangat besar dalam hal meningkatkan kompetisi antarperusahaan di daerah bersangkutan dan mendorong berbagai inovasi yang berasal dari perkembangan praktek berusaha yang mendorong kepada penggunaan teknologi.

(36)

pemerintah daerah seharusnya mampu optimal dalam mengelola potensi daerahnya masing-masing. Hal ini dapat diwujudkan melalui tata kelola ekonomi yang baik oleh pemerintah daerah.

Selain pemerintah daerah, sektor swasta sangat menentukan perekonomian daerah. Sektor swasta berperan besar dalam menggerakkan kegiatan produksi barang dan jasa di daerah dengan cara menanamkan modal di daerah tersebut guna menghimpun sumber dana untuk membiayai kegiatan produksi tersebut. Investasi diyakini mampu menggerakan perekonomian di suatu daerah sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan masyarakat serta mengurangi kemiskinan.

(37)

Gambar 5 Bagan kerangka pemikiran.

Peningkatan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi merupakan syarat perlu pembangunanan

Perlu upaya pemerintah daerah dalam mendorong pembangunan ekonomi

Faktor-faktor yang memengaruhi PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi

PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi

Implementasi Kebijakan

Faktor-faktor lain (Belanja, IPM) Tata Kelola Ekonomi Daerah

Sembilan indikator: 1. Akses Lahan 2. Infrastruktur 3. Perizinan Usaha 4. Peraturan Daerah 5. Biaya Transaksi

(38)

2.4. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Diduga seluruh variabel dalam sembilan indikator tata kelola ekonomi daerah berpengaruh positif terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

2. Diduga belanja pemerintah berpengaruh positif terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

(39)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 yang diperoleh dari Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (KPPOD), data Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) diperoleh dari Kementerian Keuangan, serta Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, pertumbuhan ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diperoleh dari Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. Data sekunder lain yang masih terkait dalam penelitian ini diperoleh dari artikel, jurnal, skripsi dan tesis dari perpustakaan IPB, internet dan lembaga lainnya.

Tabel 5 Jenis dan sumber data

No Variabel Sumber Data Satuan Provinsi Jawa Tengah) Tahun 2007

Rupiah

2. Pertumbuhan Ekonomi BPS (PDRB Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah) Tahun 2007

persen 3. Belanja Modal

Pemerintah

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan

rupiah 4. Belanja Pendidikan

Pemerintah

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan

rupiah 5. Belanja Kesehatan Direktorat Jenderal Perimbangan

(40)

3.2. Definisi Operasional

Operasional data merupakan variabel-variabel pendukung yang digunakan dalam analisis. Varibel-variabel operasional data tersebut akan didefinisikan sebagai berikut.

1. PDRB per kapita adalah rasio PDRB atas harga berlaku terhadap jumlah penduduk dalam satuan rupiah.

2. Pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan PDRB atas harga konstan dari tahun 2006 hingga tahun 2007.

3. Belanja modal pemerintah adalah belanja pemerintah dalam APBD yang digunakan untuk pembelian/pembentukan aset tetap seperti gedung, jalan (infrastruktur) dan aset tetap lainnya dalam satuan rupiah.

3. Belanja pendidikan pemerintah adalah pengeluaran pemerintah dalam APBD yang ditujukan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan seperti pembelian buku, fasilitas jaringan internet sekolah, maupun gedung sekolah dalam satuan rupiah.

4. Belanja kesehatan pemerintah adalah pengeluaran pemerintah dalam APBD yang ditujukan dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan seperti fasilitas rumah sakit, peralatan medis dan obat-obatan maupun gedung rumah sakit dalam satuan rupiah.

(41)

6. Gov merupakan variabel tata kelola ekonomi daerah yang berhubungan secara signifikan dan sejalan dengan teori.

3.3. Metode Analisis Data

3.3.1. Analisis Deskriptif

Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna. Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan data-data kuantitatif secara ringkas dan sederhana.

Analisis deskriptif ini mengkaji secara eksploratif mengenai gambaran tentang tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan bantuan tabel dan grafik. Adapun pola hubungan antara tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita ditunjukkan dengan boxplot serta scatter plot.

3.3.2. Analisis Korelasi

(42)

menunjukkan derajat keeratan hubungan antara dua variabel dan arah hubungannya (+ atau -).

Nilai koefisien korelasi berkisar antara sampai +1, yang kriteria pemanfaatannya dijelaskan sebagai berikut:

 Jika, nilai r > 0, artinya telah terjadi hubungan yang linear positif, yaitu

makin besar nilai variabel X makin besar pula nilai variabel Y atau makin kecil nilai variabel X makin kecil pula nilai variabel Y.

 Jika, nilai r < 0, artinya telah terjadi hubungan yang linear negatif, yaitu

makin besar nilai variabel X makin kecil nilai variabel Y atau makin kecil nilai variabel X maka makin besar pula nilai variabel Y .

 Jika, nilai r = 0, artinya tidak ada hubungan antara variabel X dan variabel

Y.

 Jika, nilai r =1 atau r = -1, maka dapat dikatakan telah terjadi hubungan

linear sempurna, berupa garis lurus, sedangkan untuk r yang makin mengarah ke angka 0 (nol) maka garis makin tidak lurus.

Uji korelasi terdiri dari uji korelasi Pearson, uji korelasi Spearman dan uji korelasi Kendall.

3.3.2.1. Uji Korelasi Pearson

Korelasi Pearson digunakan untuk data dalam jumlah besar dan sebaran normal. Uji korelasi ini dilakukan untuk mengetahui korelasi data kuantitatif (interval atau rasio). Hipoteseis korelasi Pearson adalah sebagai berikut:

H0 : ρ1 = 0

(43)

Koefisien korelasi diformulasikan sebagai berikut:

r

xy

=

∑ ∑ ∑

√ ∑ ∑

(1)

r : Koefisien korelasi yang dicari  xy : Jumlah perkalian variabel x dan y  x : Jumlah nilai variabel x

 y : Jumlah nilai variabel y

 x2 : Jumlah pangkat dua nilai variabel x  y2 : Jumlah pangkat dua nilai variabel y

N : Banyaknya sampel

Jika rhitung≥ rtabel, maka tolak H0, artinya terdapat korelasi antara variabel

x dan variabel y.

3.3.2.2. Uji Korelasi Spearman

Korelasi Spearman dan Kendall digunakan untuk data dalam jumlah sedikit dan sebarannya tidak normal. Uji korelasi ini dilakukan untuk mengukur korelasi pada statistik non parametrik (data ordinal). Hipotesis korelasi Spearman adalah

H0: ρ1 = 0

H1: ρ1 ≠ 0

korelasi rank Spearman dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

rs = 1 –

(2)

dimana  di2 =  [(R(Xi) – R(Y))]2

(44)

Jika rs ≥ rtabel, maka tolak H0, artinya terdapat korelasi antara variabel x

dan variabel y.

3.3.3. Analisis Regresi Berganda

Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan tujuan untuk menganalisis keterkaitan hubungan yang signifikan antara sembilan indikator tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota Provinsi Jawa Tengah. Estimasi koefisien regresi dilakukan melalui metode Ordinary Least Square (OLS). Salah satu regresi dalam OLS adalah regresi linear berganda. Analisis regresi linear berganda menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variabel bebas) yang merupakan penyebab dan variabel Y (variabel tak bebas) yang merupakan akibat. Analisis linear berganda berfokus pada ketergantungan satu variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel penjelas (variabel bebas). Secara umum dapat dikatakan bahwa pemakaian metode OLS dalam menaksir parameter model linier berbentuk:

Yi= α0i+ α1x1i + α2x2i + …….+ αkxki+ εi (3)

Keterangan:

i = nomor pengamatan dari 1 sampai N untuk data populasi atau n untuk data contoh.

α0 = Intersep model regresi

αn = Koefisien kemiringan parsial

Xki = Pengamatan ke-i untuk peubah bebas Xk

Yi = Pengamatan ke-i untuk peubah bebas Y

(45)

Asumsi model OLS menurut Juanda (2009), yaitu:

i. Spesifikasi model ditetapkan seperti dalam persamaan (3)

ii. Peubah Xk merupakan peubah non-stokastik (fixed) , artinya sudah

ditentukan, bukan peubah acak. Selain itu, tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas Xk.

iii. a) Komponen sisaan εi mempunyai nilai harapan sama dengan nol dan

ragam konstan untuk semua pengamatan i. E(εi)=0 dan Var(εi)=σ²

b) Tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antar sisaan εi sehingga

Cov(εi,εj)=0, untuk i≠j.

c) Komponen sisaan menyebar normal.

Dalam terminologi statistika, asumsi (iii) ini biasa diringkas dengan simbol εi ~ N(0, σ²) yang artinya komponen εi menyebar Normal,

Bebas Stokastik, dan Identik, dengan nilai tengah sama dengan nol dan ragam konstan untuk i=1,2,...,n.

Semua asumsi di atas jika terpenuhi, maka penaksir OLS dari koefisien regresi adalah penaksir tak bias linear terbaik atau Best Linear Unbiased Estimator (BLUE).

3.4. Model Analisis Berganda

Model utama yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB per kapita kabupaten dan kota Provinsi Jawa Tengah adalah sebagai berikut:

(46)

Keterangan:

PDRBKAP: Pendapatan Domestik Regional Bruto per Kapita kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah tahun 2007 (rupiah)

BP : Realisasi Belanja Pendidikan Pemerintah kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 (rupiah)

BM : Realisasi Belanja Modal Pemerintah kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 (rupiah)

IPM : Indeks Pembangunan Manusia kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah tahun 2007 (rupiah)

Gov : Variabel tata kelola ekonomi daerah kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah tahun 2007

Sementara model utama yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut:

PE = β0i+ β 1ln_BKi + β 2 ln_BPi + β 3ln_IPMi + α4 GOVi + εi...(5)

Keterangan:

PE : Pertumbuhan ekonomi kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah tahun 2007 (rupiah)

BP : Realisasi Belanja Pendidikan Pemerintah kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 (rupiah)

BK : Realisasi Belanja Kesehatan Pemerintah kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 (rupiah)

(47)

Gov : Variabel tata kelola ekonomi daerah tahun 2007

Variabel yang akan dimasukan ke dalam model adalah variabel terpilih, yaitu variabel yang mempunyai korelasi yang signifikan dan sesuai teori ekonomi. Setelah itu, model tersebut dianalisis menggunakan kriteria-kriteria uji statistik dan uji ekonometrika agar model tersebut memenuhi persyaratan metode analisis OLS dan terbebas dari masalah-masalah autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas.

3.5. Uji Statistik Model

3.5.1. Pengujian Model dengan Menggunakan Uji F-Statistik

Uji F-statistik ini digunakan untuk menduga persamaan secara keseluruhan. Uji F-statistik menjelaskan kemampuan variabel bebas secara bersama dalam menjelaskan keragaman dari variabel terikat. Hipotesis yang diuji dari parameter pendugaan persamaan adalah variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat, hal ini disebut sebagai hipotesis nol (H0) dengan

mekanisme sebagai berikut: H0: α1= α2= … = αi = 0,

(tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan) H1 : minimal salah satu αi ≠ 0,

(paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat)

Untuk i = 1, 2, 3, …, n dan α = dugaan parameter

Statistik uji yang dilakukan dalam uji-F (Gujarati, 1993): �−ℎ� ��=

(48)

Keterangan:

R2 = Koefisien determinasi n = Banyaknya titik pengamatan k = Jumlah koefisien regresi dugaan

Dimana hasil dari F-hitung dibandingkan dengan F tabel (F-tabel = Fα(k-1, n-k)) dengan kriteria uji:

F-hitung > Fα(k-1, n-k), maka tolak H0

F-hitung ≤ Fα(k-1, n-k), maka terima H0

Langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian dimana F-hitung dari hasil analisis dibandingkan dengan F-tabel. Jika F-hitung > F-tabel maka tolak H0,

berarti minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel terikat. Jika F-hitung ≤ F-tabel maka terima H0, berarti

secara bersama-sama variabel yang digunakan tidak bisa menjelaskan secara nyata keragaman dari variabel terikat.

3.5.2. Pengujian Hipotesis Parameter Regresi (Uji t)

Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah masing-masing variabel bebas berpengaruh pada variabel terikatnya.

Hipotesis: H0: αi = 0,

(tidak ada pengaruh nyata variabel dalam persamaan) H1 : αi ≠ 0,

(49)

Uji statistik yang digunakan adalah uji-t:

-hitung=

β ̂

(7)

Keterangan:

β : Koefisien regresi parsial sampel

̂: Koefisien regresi parsial populasi

Sb : Simpangan baku koefisien dugaan

Dimana hasil dari t-hitung dibandingkan dengan t-tabel (t-tabel = tα/2 (n-k))

dengan kriteria uji:

t-hitung > tα/2 (n-k), maka tolak H0

t-hitung ≤ tα/2 (n-k), maka terima H0

Hasil yang didapatkan dari perbandingan tersebut jika thitung > t-tabel maka

tolak H0, berarti variabel signifikan berpengaruh nyata pada taraf nyata (α). Hasil

yang didapatkan dari perbandingan tersebut jika t-hitung ≤ t-tabel maka terima H0,

berarti variabel yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

3.5.3. Koefisien Determinasi (R-Squared) dan Adjusted R-Squared

Koefisien determinasi (R-Squared) dan Adjusted R-Squared digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel tak bebasnya dan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam model dapat menerangkan model tersebut. Menurut Gujarati (1993), terdapat dua sifat R-Squared, yaitu:

(50)

2. Batasnya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1, jika R2

bernilai 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan jika R2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel terikat dengan varibel bebas.

Nilai koefisien determinasi dapat dihitung sebagai berikut:

�2

=

=

= ∑

∑ (8)

Keterangan:

ESS : Jumlah kuadrat yang dijelaskan (Explained Sum Square) TSS : Jumlah kuadrat total (Total Sum Square)

(51)

3.6. Uji Ekonometrika

3.6.1. Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas adalah suatu penyimpangan asumsi OLS dalam bentuk varians gangguan estimasi yang dihasilkan oleh estimasi OLS yang tidak bernilai konstan. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketidakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai varian minimum (efisien). Menurut Gujarati (1993), jika terjadi heteroskedastisitas maka akan berakibat sebagai berikut:

1) Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator tidak efisien.

2) Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien. 3) Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians.

Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser, yang dilakukan pertama kali pada uji ini adalah mendapatkan residual (ut) dari regresi OLS, lalu regresikan nilai absolut dari ut (|ut|) terhadap variabel

bebas yang diperkirakan mempunyai hubungan yang erat. Uji ini menggunakan nilai probabilitas dari |ut|, jika hasil regresi siginifikan berarti terdapat masalah

heteroskedastisitas. Hipotesis :

H0: ρ = 0

(52)

Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heteroskedastisitas adalah sebagai berikut:

1. Probability |ut| < α, maka tolak H0

2. Probability |ut| > α, maka terima H0

Keterangan:

|ut| : Residual (galat)

Jika H0 ditolak maka terjadi heteroskedastisitas dalam model, sebaliknya

jika H0 diterima maka tidak ada heteroskedastisitas dalam model. Solusi dari

masalah heteroskedastisitas adalah mencari transformasi model asal sehingga model yang baru akan memiliki galat dengan varians yang konstan.

3.6.2. Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear yang sempurna antara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Tanda-tanda adanya multikolinearitas adalah sebagai berikut:

 Tanda tidak sesuai dengan yang diharapkan.

 R-squared-nya tinggi tetapi uji individu (uji t) tidak banyak bahkan tidak ada yang nyata.

 Korelasi sederhana antara variabel individu tinggi (rij tinggi).

 R2 lebih kecil dari rij2 menunjukkan adanya masalah multikolinearitas.

(53)

multikolinearitas. Sebaliknya, jika nilai VIF lebih besar dari sepuluh maka terdapat multikolinearitas dalam persamaan tersebut.

(54)

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Letak Geografis

Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Letak Provinsi Jawa Tengah berada di 5o40' hingga 8o30' Lintang Selatan dan antara 108o30' hingga 111o30' Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa). Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 263 Km dan dari Utara ke Selatan 226 Km (tidak termasuk pulau Karimunjawa). Luas wilayah Jawa Tengah tahun 2006 tercatat sebesar 3.254.412 hektar. Batas wilayah Jawa Tengah adalah sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Laut Jawa

- Sebelah Timur : Provinsi Jawa Timur

- Sebelah Selatan : Provinsi DIY dan Samudera Indonesia - Sebelah Barat : Provinsi Jawa Barat

(55)

Sampai dengan tahun 2006 Provinsi Jawa Tengah secara administratif terbagi dalam 35 Kabupaten/Kota, dimana terdapat 29 Kabupaten dan 6 Kota, yang terdiri dari 565 Kecamatan meliputi 7.804 desa dan 784 kelurahan. Kabupaten Cilacap merupakan Kabupaten terluas di Jawa Tengah dengan luas wilayah 213.851 hektar (6,57 persen dari luas Jawa Tengah), sedangkan kota terluas adalah Kota Semarang dengan luas 37.367 hektar (1,15 persen dari luas Jawa Tengah). Kota tersempit di Provinsi Jawa Tengah adalah Kota Magelang dengan luas 1.812 hektar (0,06 persen dari luas Jawa Tengah).

4.2. Kondisi Demografi Provinsi Jawa Tengah

Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 adalah sebesar 32.382.657 (Sensus Penduduk BPS, 2010). Jumlah penduduk tertinggi pada tahun 2010 yaitu Kabupaten Brebes sebanyak 1.733.869 jiwa (5,35 persen dari total penduduk Jawa Tengah). Jumlah penduduk terendah di Kota Magelang sebanyak 118.227 jiwa (0,37 persen total penduduk Jawa Tengah).

Tabel 6 Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk Jawa Tengah

Tahun Penduduk (jiwa) LPP (%)

1961 18.407.471 -

1971 21.865.263 1,74

1980 25.372.889 1,66

1990 28.520.643 1,18

2000 31.223.258 0,94

2010 32.382.657 0,37

Sumber: BPS Jateng

(56)

persen, setelah lima puluh tahun kemudian rata-rata laju pertumbuhan penduduk menurun menjadi 0,37 persen pada periode tahun 2000-2010.

Rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tahun 2010 tercatat 995,04 jiwa setiap kilometer persegi. Wilayah terpadat adalah Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan sekitar 11.341 setiap kilometer persegi sementara wilayah paling rendah tingkat kepadatan penduduk adalah Kabupaten Blora dengan 462 jiwa setiap kilometer persegi. Dengan demikian persebaran penduduk Jawa Tengah belum merata.

Perkembangan penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat dari rasio jenis kelamin, yaitu perbandingan antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan. Jumlah penduduk laki-laki relatif seimbang bila dibandingkan dengan penduduk perempuan, yaitu masing-masing sebesar 16.091.112 jiwa (49,69 persen) penduduk laki-laki dan 16.291.545 jiwa (50,31 persen) penduduk perempuan. Dengan demikian rasio jenis kelamin penduduk Jawa Tengah tahun 2010 sebesar 98,77. Struktur atau komposisi penduduk Jawa Tengah menurut golongan umur dan jenis kelamin menunjukkan bahwa penduduk laki-laki maupun penduduk perempuan proporsi terbesar adalah berada pada kelompok umur 16-64 tahun.

4.3. Kondisi Pembangunan Manusia

(57)

Sumber: BPS Jateng

Gambar 7 Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2009.

Dengan melihat perkembangan angka IPM tiap tahun, terjadi kemajuan yang dicapat Jawa Tengah dalam pembangunan manusia. angka IPM provinsi ini mengalami peningkatan dari 69,8 pada tahun 2005 menjadi 72,1 pada tahun 2009. Peningkatan IPM pada tahun 2009 banyak dipengaruhi oleh naiknya kualitas pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari rata-ata lama sekolah penduduk Jawa Tengah yang meningkat dari 6,9 tahu pada tahun 2008 menjadi 7,1 tahun pada tahun 2009.

Angka IPM Jawa Tengah relatif lebih baik dari pada provinsi lain di Indonesia. IPM Jawa Tengah masih lebih baik dari rata-rata IPM Indonesia. Peringkat IPM provinsi ini pun meningkat dari tahun 2005 sampai tahun 2010.

68,5 69 69,5 70 70,5 71 71,5 72 72,5

2005 2006 2007 2008 2009

(58)

4.4. Kondisi Sosial Budaya

4.4.1. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam hal peningkatan kualitas manusia. Indikator pendidikan yaitu angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah (RLS) digunakan sebagai variabel dalam menghitung IPM selain indikator kesehatan dan indikator ekonomi. AMH Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 berdasakan perhitungan BPS adalah sebesar 89,95 persen, angka tersebut meningkat dari tahun 2009 yaitu sebesar 89,46 persen. Sedangkan RLS tahun 2010 sebesar 7,24 tahun, meningkat dari angka tahun 2008 yang sebesar 7,07 tahun.

Menurut data BPS tahun 2010, penduduk berumur 15 tahun ke atas dengan tingkat pendidikan tertinggi SD berjumlah paling besar yaitu 58,03 persen. Sedangkan penduduk berumur 15 tahun keatas dengan pendidikan tertinggi SLTA dan Perguruan Tinggi sebesar 23 persen. Dilihat dari jumlah pendidikan tinggi, di Jawa Tengah terdapat 5 unit Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yaitu Universitas Diponegoro, Universitas Sebelas Maret, Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Negeri Semarang dan IAIN Walisongo serta 147 unit Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

4.4.2. Kesehatan

(59)

AHH Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 adalah sebesar 71,4 tahun. Hal ini berarti bahwa penduduk Provinsi Jawa Tengah rata-rata bisa mencapai usia 71,4 tahun.

Selain indikator tersebut, kondisi kesehatan masyarakat juga diantaranya dapat dilihat dari keadaan gizi balita, kondisi kesehatan ibu, kesehatan keluarga miskin dan kesehatan orang tua lanjut. Dilihat dari keadaan gizi balita, masih ada balita dengan status gizi buruk yang tentunya harus mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Daerah. Bayi dengan keadaan gizi buruk di Jawa Tengah tahun 2010 sebesar 3,3 persen. Sedangkan bayi dengan keadaan gizi kurang, baik dan lebih masing-masing sebesar 12,4 persen; 78,1 persen; 6,2 persen.

4.4.3. Agama

Berdasarkan komposisi penduduk menurut agama yang dipeluk, sebagian besar penduduk memeluk agama Islam. Sebesar 96,8 persen dari total penduduk Jawa Tengah memeluk agama tersebut. Penduduk selebihnya agama Kristen (1,62 persen), Katholik (1,2 persen), Budha (0,22 persen), Hindu ( 0,0008 persen).

4.5. Kondisi Perekonomian Jawa Tengah

(60)

Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat grafik berikut.

Sumber: BPS Jateng

Gambar 8 Pertumbuhan ekonomi provinsi Jawa Tengah tahun 2001-2010.

Gambar 8 menunjukkan pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah cenderung meningkat. Penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi di tahun 2009 yang diakibatkan oleh krisis global di tahun 2008. Meskipun mengalami pelambatan dibandingkan tahun 2008, perekonomian Jawa Tengah masih tumbuh sebesar 4,71 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 5,84 persen. Pada tahun 2010, kondisi perekonomian global maupun perekonomian Indonesia mulai pulih dari krisis global tahun 2008.

Tabel 7 menunjukkan bahwa dari sembilan sektor yang ada, pada tahun 2010 sektor industri pengolahan memiliki kontribusi terbesar yakni 61,8 persen dari total PDB Jawa Tengah. Dapat dikatakan bahwa sektor sekunder menjadi sektor utama dalam perekonomian Jawa Tengah. Sektor perdagangan, hotel dan restoran menempati posisi kedua terbesar setelah industri pengolahan dengan

0 1 2 3 4 5 6 7

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Pertumbuhan Ekonomi

(61)

persentase 25,63 persen dari total PDRB. Sektor pertanian yang merupakan sektor primer hanya memiliki persentase 6,2 persen dari total PDRB Jawa Tengah. Tabel 7 Produk domestik regional bruto menurut harga berlaku dan kontribusi

tiap sektor terhadap pembentukan produk domestik regional bruto tahun 2010

LAPANGAN USAHA PDRB

(Rp juta)

Persentase terhadap PDRB (persen)

1. PERTANIAN 5.766.724 6,19

2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 616.679 0,66

3. INDUSTRI PENGOLAHAN 57.528.939 61,80

a. Industri Migas 53.616.300 57,60

b. Industri Bukan Migas 3.912.639 4,20

4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 192.606 0,21

5. KONSTRUKSI 932.804 1,00

6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 23.856.567 25,63 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 1.589.963 1,70

a. Pengangkutan 1.459.674 1,56

b. Komunikasi 130.289 0,14

8. KEU. REAL ESTAT, & JASA

PERUSAHAAN 991.915 1,07

9. JASA-JASA 1.600.251 1,72

PDRB 93.076.453 100

Sumber: BPS Jateng (diolah)

(62)

Sumber: BPS Jateng

Gambar 9 PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah tahun 2001-2009.

4.6. Ketenagakerjaan

Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah yang termasuk dalam kategori bekerja pada tahun 2009 sebanyak 15.835.382 jiwa, turun menjadi 15.809.447 jiwa di tahun 2010. Jumlah pengangguran tahun 2008 sebanyak 1.227.308 jiwa meningkat di tahun 2009 sebesar 1.252.267. Pada tahun 2010, jumlah pengangguran sebanyak 1.046.883 jiwa mengalami penurunan dari 7,34 persen pada tahun 2009 menjadi 6,2 persen tahun 2010.

4.7. Tata Kelola Ekonomi Daerah

4.7.1. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah

Survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) ini menyajikan suatu gambaran yang sangat menarik mengenai dinamika pemerintahan daerah dan pengembangan iklim investasi di Indonesia setelah pelaksanaan otonomi daerah yang telah berlangsung sejak tahun 2001. Survei yang sudah dilaksanakan ketujuh

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Tahun

(63)

kalinya ini merupakan suatu program yang dilakukan KPPOD sejak tahun 2001 dengan dukungan The Asia Foundation. Cakupan wilayah survei bertambah dari tahun ke tahun, diawali dengan 90 kabupaten dan kota di tahun 2001, kemudian 134 kabupaten dan kota tahun 2002, dilanjutkan tahun 2003 meliputi 200 kabupaten dan kota, disusul 214 kabupaten dan kota di tahun 2004 dan 228 kabupaten dan kota tahun 2005, kemudian di 243 kabupaten dan kota 2007 dan yang terakhir tahun 2010 di 245 kabupaten dan kota di Indonesia.

Survei ini merupakan survei terbesar untuk survei sejenis di Indonesia, dan salah satu dari survei tata kelola ekonomi terbesar di dunia. Tujuan dari survei ini adalah untuk mendorong kompetisi antar daerah dan untuk menekankan pentingnya iklim investasi daerah di era desentralisasi. Survei ini diharapkan dapat menjadi basis bagi pemerintah daerah (pemda) kabupaten/kota untuk memrioritaskan reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerahnya. Selain itu, survei ini juga diharapkan dapat menciptakan iklim kompetisi antar kabupaten/kota yang sehat.

Gambar

Gambar 5  Bagan kerangka pemikiran.
Tabel 5  Jenis dan sumber data
Gambar 6  Wilayah kabupaten dan kota Provinsi Jawa Tengah.
grafik berikut.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan di atas, paling tidak ada dua alasan yang menjadi penting untuk dibahas dalam tulisan ini yaitu dimulai dari

Three alleles, each generated by primers OPB-14, OPA-17 and OPA-04 were present in sweet orange and absent in any genotypes belonging to citranges, while primer OPB-05 amplified

Percobaan kemampuan individu predator menekan populasi mangsa yang berbeda selama 3 hari menunjukkan bahwa jumlah predator yang digunakan memiliki korelasi positif

• Heuristik tidak menjamin selalu dapat memecahkan masalah, tetapi seringkali memecahkan masalah dengan cukup baik untuk kebanyakan masalah, dan seringkali pula lebih cepat

Prestasi kerja merupakan hasil yang dicapai oleh seseorang selama bekerja sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada karyawan tersebut yang didasarkan pada keterampilan yang

Salah satu penyebab penyalahgunaan obat adalah kurangnya pengetahuan.Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa kelas XI terhadap

Apabila pada suatu gugus input tertentu dapat dihasilkan output yang maksimum atau untuk meng- hasilkan kuantitas output tertentu cukup digunakan kuantitas input

e. Pada Penjurian Tahap II, Dewan Juri akan mengundang 5 finalis Kelompok Peserta untuk melakukan presentasi dihadapan Tim Dewan Juri yang sudah ditentukan oleh Penyelenggara.