• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Serapan Karbon di Hutan Rakyat Desa Dlingo Daerah Istimewa Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Serapan Karbon di Hutan Rakyat Desa Dlingo Daerah Istimewa Yogyakarta"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isu perubahan iklim merupakan salah satu isu lingkungan yang sedang banyak dibicarakan. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia dan Cerindonesia (2011) menyebutkan bahwa perubahan iklim adalah variasi rata-rata kondisi iklim di suatu tempat pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih). Isu perubahan iklim merupakan isu global yang mendorong negara-negara di dunia melakukan perundingan-perundingan terkait masalah perubahan iklim. Hasil dari Conference of Parties (COP ke-3) adalah Protokol Kyoto yang menegaskan bahwa negara-negara Annex 1 (pada umumnya negara maju/industri) yang dianggap bertanggung jawab terhadap perubahan iklim akan mengurangi emisi dari enam gas rumah kaca yaitu: karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitroksida (N2O), sulfurheksafluorida (SF6), perflurokarbon (PFC), dan hidrofluorokarbon (HFC) secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan laporan tahun 1990 untuk diterapkan pada

periode 2008─2012 (Uliyah dan Cahyadi 2011).

Peranan hutan dalam mencegah dan mengurangi emisi karbon dapat dilihat dari berbagai kemungkinan, yaitu: 1) Penggunaan energi dari biomassa kayu dan sisa-sisa industri kayu menggantikan bahan bakar fosil; 2) Penggantian bahan-bahan bangunan yang diproduksi dengan bahan-bahan bakar fosil dengan produk kayu; 3) Mengurangi kebakaran hutan dan emisi gas rumah kaca; 4) Mempertahankan penutupan hutan dan potensinya; 5) Pengaturan kegiatan manajemen hutan untuk menyerap tambahan CO2 di atmosfir; 6) Penangkapan dan penyimpanan karbon dalam pool karbon hutan dan penggunaan kayu dalam jangka panjang; dan 7) Mengembangkan pasar perdagangan karbon dan menciptakan insentif untuk kegiatan kehutanan yang mengurangi emisi industri dan penghasil polutan lainnya (Thomson 2008 diacu dalam Butarbutar 2009).

(2)

menyebutkan bahwa tantangan yang ditemui dalam perdagangan karbon adalah, menjadikan hutan dapat tetap berperan sebagai sumber perekonomian, menyumbang pada perbaikan hidup masyarakat sekitar hutan, terjaga kelestariannya, dan menyumbang pada penurunan emisi gas rumah kaca.

Hutan rakyat merupakan model pengelolaan hutan skala kecil yang

dibangun oleh masyarakat di lahan hak milik yang ditujukan untuk menghasilkan kayu. Selain secara ekonomis bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, keberadaan hutan rakyat juga dapat berpotensi dalam perdagangan karbon, oleh karena itu perlu penelitian untuk mengetahui kelayakan hutan rakyat dalam partisipasi perdagangan karbon.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memperoleh potensi tegakan jati di hutan rakyat Desa Dlingo.

2. Memperoleh potensi serapan karbon tegakan jati di hutan rakyat Desa Dlingo.

3. Mengetahui keuntungan pengelolaan hutan rakyat dalam mekanisme perdagangan karbon.

1.3 Manfaat

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

Hutan rakyat atau hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah (UU No. 41 Tahun 1999). Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal (Suharjito 2000).

Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi yang besar baik dilihat dari segi populasi pohon. Perkiraan potensi hutan rakyat mencapai luasan 1.568.415 hektar dengan potensi keseluruhan 39.416.557 m3 atau 7 juta m3 per tahun (Puslitbang 2006). Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2003, sekitar 50% dari luas hutan rakyat di Indonesia berada di pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena hutan rakyat telah lama dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakat secara tradisional dan turun-temurun. Meskipun luas hutan rakyat di pulau Jawa relatif lebih sempit dibandingkan dengan hutan rakyat di luar pulau Jawa, namun luasan di pulau Jawa berkisar 0,25─1 hektar per kepala keluarga. Hampir setiap kepala keluarga di pulau Jawa mempunyai hutan rakyat karena lokasi penanaman hutan rakyat di Jawa dilakukan di lahan-lahan pekarangan, kebun, talun, tegalan, dan lain-lain (Hindra 2006).

Pola penanaman dalam hutan rakyat yang biasa digunakan adalah pola campuran dengan Multi Purpose Tree Species (MPTS) seperti tanaman buah-buahan ataupun tanaman semusim (palawija) yang dimaksudkan untuk penanaman jangka pendek memenuhi kebutuhan hidup petani sambil menunggu tanaman kayunya dapat dipanen dengan jangka panjang. Hutan rakyat dengan pola campuran dengan MPTS biasanya dengan komposisi tanaman kayu-kayuan (70%) dan tanaman MPTS (30%). Komposisi ini diharapkan dapat memberikan kesinambungan dan kelestarian hasil (Hindra 2006).

(4)

sistem yang saling berkaitan yaitu meliputi sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hasil dan sub sistem pemasaran.

Pembangunan hutan rakyat dilakukan melalui empat sumber pembiayaan, yaitu program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), subsidi pemerintah melalui program Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR), Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR), dan swadaya. Sumber pembiayaan dua diantaranya yang terbesar adalah hutan rakyat dengan swadaya seluas 966.722 ha dan dengan dana GNRHL seluas 409.899 ha (Puslitbang 2006).

Sukadaryati (2006) menyebutkan bahwa GNRHL yang sudah dicanangkan sejak tahun 2003 menargetkan dapat menghijaukan lahan seluas 3 juta hektar dalam kurun waktu 5 tahun. Penanaman GNRHL dilakukan tidak hanya di hutan negara tetapi juga di hutan rakyat, termasuk hutan rakyat di Desa Dlingo.

Hasil sensus BPS tahun 2003 menunjukkan pohon yang banyak ditanam di hutan rakyat adalah jati, yaitu sebanyak 79,7 juta batang. Pohon jati ini banyak ditanam di pulau Jawa, yaitu sebanyak 50,1 juta batang. Walaupun pohon jati dipanen dengan jangka waktu panjang, namun karena harga jual kayunya yang tinggi sehingga banyak diminati oleh masyarakat untuk ditanam (Sukadaryati 2006).

2.2 Jati

Jati (Tectona grandis L.f.) terkenal sebagai kayu komersil bermutu tinggi, termasuk dalam famili Verbenaceae. Jati tumbuh dan menyebar alami di negara-negara India, Birma, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia, jati terdapat di beberapa daerah seperti Jawa, Muna, Buton, Maluku, dan Nusa Tenggara. Pohon jati cocok tumbuh di daerah musim kering agak panjang berkisar

3─6 bulan pertahun (Irwanto 2006).

(5)

Kayu jati banyak digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan. Beberapa kalangan masyarakat merasa bangga apabila tiang dan papan bangunan rumah serta perabotannya terbuat dari jati. Berbagai konstruksi pun terbuat dari jati seperti bantalan rel kereta api, tiang jembatan, balok dan gelagar rumah, serta kusen pintu dan jendela. Pada industri kayu lapis, jati digunakan sebagai finir muka karena memiliki serat gambar yang indah. Pada industri perkapalan, kayu jati sangat cocok dipakai untuk papan kapal yang beroperasi di daerah tropis (Irwanto 2006).

2.3 Biomassa dan Karbon

Brown (1997) diacu dalam Antoko (2011) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup yang dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha) (Whitten et al. 1984 diacu dalam Antoko 2011).

Menurut Hairiah dan Rahayu (2007) pada ekosistem daratan, karbon tersimpan dalam tiga komponen pokok, sebagai berikut:

1. Biomassa: massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.

2. Nekromasa: massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (seresah) yang belum terlapuk.

3. Bahan organik tanah: sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.

(6)

Menurut Sutaryo (2009) untuk menghitung biomassa terdapat empat cara utama, yaitu: 1). Sampling dengan pemanenan (Destructive sampling) secara in situ, 2). Sampling tanpa pemanenan (Non destructive sampling) dengan data pendataan hutan secara in situ, 3). Pendugaan dengan penginderaan jauh, dan 4). Pembuatan model.

Metode sampling tanpa pemanenan merupakan cara sampling dengan melakukan pengukuran tanpa melakukan pemanenan. Metode ini antara lain dilakukan dengan mengukur tinggi atau diameter pohon dan menggunakan persamaan alometrik untuk mengekstrapolasi biomassa. Alometrik didefinisikan sebagai suatu studi dari suatu hubungan antara pertumbuhan dan ukuran salah satu dari bagian organisme dengan pertumbuhan atau ukuran dari keseluruhan organisme. Penetapan persamaan alometrik yang akan dipakai dalam pendugaan biomassa merupakan tahapan penting dalam proses pendugaan biomassa. Setiap persamaan alometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lain. Pemakaian suatu persamaan yang dikembangkan di suatu lokasi tertentu, belum tentu cocok apabila diterapkan di daerah lain (Sutaryo 2009).

2.4 Perdagangan Karbon

Uliyah dan Cahyadi (2011) untuk mencapai target yang ditetapkan, Protokol Kyoto dilengkapi dengan mekanisme perdagangan emisi (emission trading),

penerapan bersama (joint implementation) dan mekanisme pembangunan bersih

(clean development mechanism).

Mekanisme CDM proyek-proyek berupa kegiatan aforestasi dan reforestasi,

selain itu juga memiliki persyaratan untuk kelayakan lahan proyek. Kegiatan

(7)

31 Desember 1989. Periode kredit tidak boleh melampaui masa berlaku operasional proyek, dan telah dimulai sejak tanggal pendaftaran yaitu tanggal 1 Januari 2000 dan sebelum 31 Desember 2005 (Cifor 2005).

Terbatasnya kegiatan di sektor kehutanan yang dapat didanai dari proyek CDM serta rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi, membuat beberapa negara berkembang mengusulkan mekanisme baru yang lebih berpihak kepada layanan jasa lingkungan berupa sumberdaya hutan yang telah mereka hasilkan. Saat ini telah disepakati mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) sebagai mekanisme baru dalam mencegah emisi dari terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Namun, negosiasi dari REDD baru akan ditetapkan setelah tahun 2012 yaitu pada saat periode komitmen pertama Protokol Kyoto berakhir (IFCA 2008 diacu dalam Antoko 2011).

Menurut Permenhut Nomor: P.30/Menhut-II/2009 pasal 22 ayat 1, sebelum ada keputusan internasional mengenai mekanisme REDD di tingkat internasional,

kegiatan REDD dilaksanakan melalui demonstration activity, peningkatan

kapasitas dan transfer teknologi, serta dan/atau perdagangan karbon sukarela.

Sekarang ini sudah berkembang mekanisme perdagangan karbon sukarela

(Voluntary Carbon Market) melalui pasar CCX (the Chicago Climate Exchange) dan OTC (Over the Counter). Voluntary carbon market (VCM) diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang secara umum dilakukan untuk mengurangi gas rumah

kaca melalui mekanisme yang tidak terikat dan berada di luar aturan yang

ditetapkan dalam Protokol Kyoto (Estrada et al. 2008 diacu dalam Antoko 2011).

Sekarang ini pasar karbon sukarela dalam negeri belum terbentuk, pengembang proyek dapat memasarkan pada pasar karbon sukarela di internasional. Pasar karbon sukarela semakin disukai dalam perdagangan karbon karena memiliki fleksibilitas terhadap jenis proyek dan dapat diikutsertakan

dibandingkan skema lain yang sudah ada, antara lain: fokus proyek kepada

keuntungan sosial dan lingkungan, proyek kehutanan dalam bentuk yang lebih

luas dan biaya transaksi yang relatif lebih murah dibandingkan skema lainnya

(Estrada et al. 2008 diacu dalam Antoko 2011).

Lampiran II Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 terdapat empat standar

(8)

yaitu Standar CCB, Standar Carbon Fix, Sistem dan standar Plan Vivo, dan

Voluntary Carbon Standard (AFOLU). Namun hanya sistem dan standar Plan

Vivo yang tidak ada ketentuan mengenai batasan waktu pendaftaran dan

pendaftaran dapat dilakukan secara online.

Tujuan dari Plan Vivo adalah untuk mensuplai kredit karbon dari

masyarakat desa di negara-negara berkembang yang mempromosikan

pembangunan berkelanjutan. Tipe proyek dapat berupa penghijauan/reboisasi,

agroforestri termasuk juga hutan rakyat. Plan Vivo mendukung kredit karbon

dengan tipe ex-ante (pembayaran di awal proyek). Tanggal dimulainya proyek Plan Vivo tidak ada batasan, tidak seperti skema perdagangan karbon yang ada

dalam Protokol Kyoto. Jangka waktu verifikasi direkomendasikan 3-5 tahun dan jangka waktu sertifikasi 3-18 bulan (Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009).

Berikut ini merupakan review persyaratan-persyaratan yang diperlukan

sebuah proyek dapat mengikuti skema VCM dengan standar Plan Vivo (Plan Vivo

2008; Kollmuss et al. 2008 diacu dalam Antoko 2011) sebagai berikut:

1. Plan Vivo diperuntukkan bagi proyek-proyek LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) skala kecil, hutan adat, hutan rakyat, hutan negara dimana masyarakat memiliki hak untuk mengelola, dan fokus kepada promosi

pengembangan berkelanjutan serta perbaikan terhadap kehidupan masyarakat

sekitar dan ekosistemnya.

2. Plan Vivo hanya mendukung kredit karbon dengan tipe ex-ante credits

(pembayaran di awal proyek) yang disebut dengan Plan Vivo Certificates.

3. Proyek Plan Vivo berlokasi di negara berkembang dimana tipe proyek yang di

dukung adalah restorasi hutan, agroforestri, hutan tanaman skala kecil, kebun

buah, kayu bakar, pengelolaan dan perlindungan hutan, konservasi tanah dan

perbaikan pertanian.

4. Proyek Plan Vivo tidak memiliki batasan minimum dan maksimum mengenai

ukuran karbon, namun demikian pada saat ini ukuran karbon yang

diperdagangkan antara 10.000-100.000 tonCO2/tahun.

(9)

6. Untuk menghindari kebocoran karbon (leakage) pada level proyek maka perlu dipastikan bahwa petani (producers) memiliki cukup lahan untuk bertani dan menanam pohon.

7. Petani (producers) yang menjual karbon melalui Plan Vivo harus menyetujui kontrak penjualan jangka panjang (long-term sale agreements) melalui koordinator proyek masing-masing negara. Selain itu petani juga harus

memiliki kontrak jangka panjang terhadap kepemilikan lahan yang mereka

ikutkan dalam proyek Plan Vivo.

8. Untuk menghindari double-counting terhadap karbon yang diperjualbelikan maka setiap sertifikat yang dikeluarkan oleh Plan Vivo Foundation memiliki

nomor seri unik yang dapat dilacak.

Peserta dari proyek adalah produsen dan masyarakat skala kecil di negara

berkembang. Mereka membuat perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan

dengan mengkombinasikan penggunaan lahan yang dilakukan dengan tambahan

aktivitas persyaratan dari proyek, yaitu: aforestasi/reforestasi, agroforestri,

restorasi hutan dan menghindari deforestasi. Penggunaan lahan berkelanjutan

didefinisikan dengan perencanaan penggunaan lahan yang konsisten dengan

persyaratan mata pencaharian, perlindungan tanah, daerah aliran sungai (DAS)

dan keanekaragaman hayati (Plan Vivo 2008).

Tahapan dari kegiatan proyek menurut Standar Plan Vivo 2008, sebagai

berikut:

1. Koordinator proyek mengidentifikasi kelompok target dari proyek yaitu

masyarakat atau kelompok petani yang bersedia untuk terlibat dan

membutuhkan proyek tersebut.

2. Produsen memperoleh pelatihan dan pengarahan dari teknis proyek untuk

mengidentifikasi aktivitas proyek yang mereka inginkan dan memulai untuk

merencanakan kegiatan.

3. Masing-masing produsen atau kelompok produsen menyusun rencana Plan

Vivo dan dievaluasi oleh koordinator proyek terkait dengan kesesuaian lahan

dan kecocokan dengan standar, modifikasi jika diperlukan dan terdaftar jika

(10)

4. Plan Vivo adalah sebuah rencana jangka panjang dari manajemen lahan yang

disusun oleh produsen. Plan Vivo menggabungkan kegiatan penyerapan atau

pengurangan emisi yang di danai dari penjualan Voluntary (or Verified) Emission Reductions (VERs) dalam bentuk sertifikat Plan Vivo.

5. Setelah Plan Vivo terdaftar, kredit karbon dari kegiatan penyerapan atau

pengurangan emisi dapat dihitung dengan spesifikasi teknis proyek.

6. Produsen membuat persetujuan penjualan dengan koordinator proyek untuk

kredit karbon. Persetujuan penjualan menempatkan kewajiban jangka panjang atas produsen untuk mengelola lahan menurut Plan Vivo mereka, dan menetapkan kapan monitoring akan dilaksanakan dan pembayaran dilakukan. 7. Monitoring pencapaian dilaksanakan oleh teknis proyek yang juga pemberian

saran dan dukungan untuk produsen. Jika target pencapaian telah tercapai, pembayaran akan dilakukan.

8. Pada akhir setiap Monitoring dan jadwal pembayaran proyek mengirimkan laporan tahunan ke Plan Vivo Foundation, untuk memastikan bahwa proyek berlanjut untuk operasi yang efektif dan secara transparan.

(11)

Gambar 1 Siklus proyek Plan Vivo.

Tahapan dari konsep proyek dari menghasilkan dan menjual sertifikat Plan Vivo dan menjadi terverifikasi secara independen (Plan Vivo 2008) sebagai berikut:

1. Project Idea Note (PIN), evaluasi dan registrasi dari konsep proyek. PIN mendefinisikan aspek utama dari proyek yang meliputi kelompok sasaran, kegiatan, areal proyek, tujuan dan sasaran proyek.

2. Project design: mengembangkan spesifikasi teknis dan Project Design Document (PDD). Spesifikasi teknis merupakan metodotologi proyek yang spesifik untuk aktivitas penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan di proyek Plan Vivo. PDD merupakan kompilasi dari semua kunci informasi pada struktur pemerintahan proyek yaitu desain teknis dan proses internal.

3. Validasi dan registrasi proyek mengikuti pilot sale dan siklus tahunan pertama. Validasi melibatkan kunjungan lapangan dari expert viewer yang dipilih oleh Plan Vivo Foundation, mengkonfirmasi proyek mengimplementasikan sistem sesuai dengan standar Plan Vivo. Mengikuti suksesnya peninjauan dari hasil validasi dan persetujuan dari spesifikasi teknis dan PDD, proyek akan masuk ke Plan Vivo Project Register. Setelah terdaftar, proyek dapat masuk ke kontrak penjualan untuk sertifikat Plan Vivo.

Identifikasi Kelompok Target

Identifikasi Aktivitas Perggunaan Lahan

Pelatihan dan Perencanaan

Evaluasi dan Pendaftaran Plan Vivo

Persetujuan Penjualan dan Penjualan Karbon

Monitoring Pembayaran

(12)

4. Penjualan karbon, laporan tahunan dan penerbitan sertifikat. Laporan tahunan memungkinan Plan Vivo Foundation untuk mengawasi proyek. Persetujuan dari laporan tahunan memicu untuk penerbitan sertifikat Plan Vivo.

5. Verifikasi pihak ketiga (Third party verification)

Verifikasi dilakukan oleh independen, organisasi pihak ketiga yang disebut verifier. Verifikasi dapat menguatkan nilai dari sertifikat Plan Vivo dan memastikan proyek telah sesuai dengan standar.

2.5 Biaya dan Pendapatan Skema Pasar Karbon Sukarela

Biaya dalam skema perdagangan karbon Plan Vivo hingga memperoleh

sertifikat Plan Vivo meliputi proses peninjauan Project Idea Note (PIN) dan validasi. Validasi terdiri dari beberapa proses yaitu: peninjauan Project Design Document (PDD), kunjungan lapangan, peninjauan spesifikasi teknis, peninjauan hasil validasi dan pendaftaran proyek (Plan Vivo 2012).

Hasil analisis Antoko (2011) pada penelitian di hutan rakyat kemenyan yang

ada di Tapanuli Utara menunjukkan bahwa dengan mengikuti skema karbon Plan

Vivo layak secara finansial. Pada model Kemenyan-Tanaman Campuran dengan

mengikuti skema karbon dengan harga karbon sebesar 6 USD/tonCO2, tingkat

suku bunga sebesar 2,54%/tahun dan biaya transaksi sebesar 40% mampu

memberikan peningkatan pendapatan bersih sebesar 195,50% dengan nilai NPV

sebesar Rp 40,09 juta/ha. Peningkatan pendapatan bersih terbesar, yaitu:

1.092,41% yang diperoleh pada saat harga karbon sebesar 10 USD/tonCO2,

tingkat suku bunga 7%/tahun dan biaya transaksi sebesar 40%. Pada model

Kemenyan-Karet dengan harga karbon sebesar 6 USD/tonCO2, tingkat suku

bunga sebesar 2,54%/tahun dan biaya transaksi 40% mampu memberikan

peningkatan pendapatan bersih sebesar 211,20% dan nilai NPV sebesar

1.191,40% diperoleh pada saat harga karbon sebesar 10 USD/tonCO2, tingkat

(13)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di hutan rakyat Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2012.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan, yaitu: pita ukur, haga hypsometer, tally sheet, perangkat keras (hardware) berupa seperangkat komputer dan alat tulis. Perangkat lunak (software) berupa program komputer untuk mengolah data yaitu Microsoft Excel. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tegakan hutan rakyat jati yang dimiliki masyarakat di lokasi penelitian.

3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian berupa data primer yang berupa data tegakan jati dan data sekunder yang meliputi:

1. Keadaan umum lokasi penelitian yang meliputi keadaan fisik lingkungan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat.

2. Keadaan fisik berupa tanah, topografi, serta jumlah penduduk secara keseluruhan.

3. Potensi ekonomi rumah tangga: status kepemilikan lahan, luas lahan yang dimiliki, luas hutan rakyat.

4. Pendapatan rumah tangga: sumber-sumber pendapatan dari hutan rakyat dan non hutan rakyat.

3.3.2 Metode Pengambilan Data

(14)

Dlingo II. Jumlah responden masing-masing kelompok tani diambil dengan intensitas sampling (IS) sebesar 10% dari jumlah anggota kelompok tani.

Data potensi tegakan dan potensi biomassa diukur dengan membuat petak ukur contoh atau plot. Plot yang digunakan adalah plot persegi panjang berukuran 20 m x 50 m (luas plot ukur 0,1 ha). Pengukuran dan pencatatan, meliputi: diameter setinggi dada (DBh), tinggi total pohon (Tt), jumlah pohon dalam plot, dan luas lahan.

Data pengelolaan tegakan diperoleh dari kegiatan wawancara. Wawancara bersifat semi terstruktur dengan bantuan daftar kuesioner. Data biaya pembangunan hutan rakyat merupakan data sekunder yang diperoleh dari Dinas setempat. Data sekunder dilakukan melalui pengutipan dan pencatatan data dari kantor desa dan instansi terkait. Selain itu juga melalui studi pustaka dengan cara mengamati, mempelajari atau mengutip laporan yang ada hubungannya dengan penelitian.

3.3.3 Pengolahan dan Analisis Data

Perhitungan kerapatan pohon dan volume tegakan dilakukan dengan tahapan kerja sebagai berikut:

1. Kerapatan pohon diperoleh dengan menjumlahkan seluruh pohon di dalam plot. Kemudian untuk mendapatkan kerapatan setiap hektarnya dibagi dengan luas plot tersebut.

2. Volume pohon diperoleh dengan memasukkan diameter dan tinggi pohon ke dalam persamaan volume, yaitu:

V= 0,25 x ߨ x D² x Tt x f

Diameter dan tinggi pohon yang disubstitusikan ke dalam persamaan adalah diameter dan tinggi pohon rata-rata dari hasil sampling.

(15)

3.3.4 Perhitungan Biomassa dan Potensi Karbon

Penghitungan biomassa persamaan alometrik yang sesuai dengan karakteristik lokasi pengukuran, meliputi: zona iklim, tipe hutan, dan jika memungkinkan nama jenis atau kelompok jenis (SNI 7724:2011).

Salah satu rumus yang banyak digunakan adalah persamaan umum, rumus tersebut sebagai berikut:

Persamaan kedua yang digunakan yaitu Ketterings et al. (2001). Rumus tersebut sebagai berikut:

B= 0,11 ߩ D2,62 Keterangan:

B = Biomassa pohon (kg/pohon)

D = Diameter pohon setinggi dada (cm)

ߩ = BJ kayu jati 0,67 (APHI dan Cerindonesia 2011)

Menurut SNI 7724:2011, penghitungan karbon dari biomassa menggunakan rumus sebagai berikut:

Cb = B x % C organik Keterangan:

Cb = Kandungan karbon dari biomassa (kg) B = Total biomassa (kg)

%C organik = Nilai persentase kandungan karbon, sebesar 0,47

Sebagai perbandingan dalam metode pendugaan karbon, data diameter dan tinggi pohon rata-rata dari hasil sampling disubstitusikan ke dalam persamaan alometrik yang telah diperoleh dari penelitian di hutan rakyat jenis jati di Desa Dengok, Kecamatan Playen, Gunungkidul. Persamaan ini diperoleh dari destruktif 15 pohon jati dan diperoleh nilai ragam 0,9524 (Saleh 2008) sebagai berikut:

Ctot= 0,1986 D2,13 Keterangan:

(16)

Selain itu data diameter dan tinggi pohon rata-rata hasil dari sampling disubstitusikan ke dalam persamaan yang telah diperoleh dari penelitian pohon jati di Perum Perhutani KPH Cepu, Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan dengan destruktif 24 pohon jati oleh Hendri (2001) diacu dalam Tiryana et al. (2011). Persamaan alometriknya sebagai berikut:

Y= 0,2759 D2,2227 Keterangan :

Y = Kandungan biomassa (kg/pohon) D = Diameter setinggi dada (cm)

Sesuai Project Idea Note (PIN) Plan Vivo, penyangga resiko (Risk Buffer) yaitu 10%. Akan tetapi penjualan hanya 70% dari karbon stok ex ante kredit, karena akan mempertahankan 20% untuk pengukuran biomassa dari Permanen Sample Plot (PSP) yang akan menunjukan jumlah sebenarnya dari stok karbon yang diperkirakan. Setelah pengukuran biomassa dilakukan dan dapat menunjukan stok karbon yang tepat, kemudian 20% dari kredit yang ditahan tersebut dapat dikeluarkan (Stilma 2012).

3.3.5 Biaya dan Pendapatan Perdagangan Karbon

Komponen biaya yang harus dikeluarkan jika petani akan mengikuti skema perdagangan karbon merupakan total biaya yang harus dikeluarkan untuk mengusahakan hutan rakyat seperti biaya operasional dan biaya tetap ditambah biaya untuk mengikuti skema karbon.

Menurut penelitian Antoko (2011) biaya transaksi dalam Plan Vivo antara lain: biaya registrasi dan validasi (sekali selama proyek), biaya monitoring (dilakukan setiap tahun selama proyek), biaya verifikasi (dilakukan setiap 5 tahun selama proyek berlangsung), dan biaya pengembangan dari proyek. Total keseluruhan biaya transaksi tersebut tidak lebih dari 40% total perolehan pendapatan dari penjualan sertifikat penurunan emisi Voluntary (or Verified) Emission Reductions (VERs).

(17)

tonCO2, ditambah dengan penambahan keuntungan bagi masyarakat dan ekosistem. Sertifikat ini diperdagangkan dan mengikuti aturan yang dikeluarkan oleh sebuah pasar karbon sukarela Plan Vivo. Komponen pendapatan diperoleh dari total hasil penjualan karbon sukarela ditambah dengan hasil penjualan hasil hutan rakyat (Antoko 2011).

Harga karbon yang digunakan dibuat skenario dengan harga jual karbon, yaitu: 10 USD/tonCO2, 15 USD/tonCO2 dan 20USD/tonCO2. Harga karbon ini pada dasarnya sangat tergantung kepada kesepakatan antara penjual dan pembeli jasa.

3.3.6 Perhitungan Keuntungan Perdagangan Karbon

Keuntungan hutan rakyat dalam skema perdagangan karbon sukarela ini diketahui dari pendapatan total, yaitu pendapatan kayu dan jasa karbon dikurangi dengan total biaya. Total biaya yaitu biaya pembangunan hutan rakyat, biaya pemeliharaan dan biaya skema karbon sukarela. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

ߨ = R - C Keterangan :

(18)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografis 4.1.1 Letak dan Luas

Secara administratif, pemerintahan Desa Dlingo termasuk dalam wilayah Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Dlingo berbatasan dengan Desa Temuwuh Dlingo di bagian utara, Desa Banyusoca Gunungkidul di bagian selatan, Desa Bleberan Gunungkidul di bagian timur dan Desa Muntuk Dlingo di bagian barat. Jarak Desa Dlingo kurang lebih 25 km dari ibukota Kabupaten Bantul atau 0,5 km dari ibukota Kecamatan Dlingo. Desa Dlingo memiliki luas 856,75 ha yang terbagi dalam 10 pedusunan yaitu Dusun Dlingo I, Dlingo II, Pokoh I, Pokoh II, Koripan I, Koripan II, Kebosungu I, Kebosungu II, Pakis I dan Pakis II (Desa Dlingo 2012).

4.1.2 Jenis Tanah dan Topografi

Wilayah Desa Dlingo memiliki kondisi tanah berupa perbukitan atau pegunungan karst dengan jenis tanah mediteran yang memiliki lapisan tanah tipis, berbatu dan kurang subur. Desa Dlingo terletak di dataran tinggi dengan

ketinggian 200─285 mdpl. Wilayah bagian timur yang membentang dari utara ke selatan lebih tinggi dari wilayah bagian barat dengan topografi berombak sampai berbukit sebesar 100% dari wilayahnya dengan kemiringan 25─40%. Pedusunan yang wilayahnya lebih rendah yang berada pada wilayah bagian timur dan selatan adalah Pokoh I, Pokoh II dan Kebosungu II, sedangkan Pedusunan di bagian barat dan utara yaitu Dlingo II, Pakis II sedangkan di bagian utara adalah Koripan I dan Koripan II.

(19)

4.1.3 Iklim dan Curah Hujan

Desa Dlingo memiliki tipe iklim C menurut Schmidt dan Ferguson dengan

curah hujan 1500─2000 mm/tahun. Suhu di Desa Dlingo berkisar antara 23─33

°C dengan kelembaban sedang.

4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk 4.2.1 Pola Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Desa Dlingo terbagi dalam berbagai penggunaan lahan yan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Pola penggunaan lahan

Jenis penggunaan Luas (ha) Persentase (%)

Sawah/pertanian 69,1 6,8

Ladang/tegalan 196,4 19,4

Pemukiman 321,0 31,7

Hutan rakyat 395,0 38,9

Lain-lain 32,2 3,2

Jumlah 1013,7 100,0

Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk hutan rakyat paling luas yaitu 395 ha atau 38% dari luas Desa Dlingo. Berikut ini Gambar 2 merupakan peta tata guna lahan dan sumberdaya alam dari Desa Dlingo.

(20)

4.2.2 Penduduk

Berdasarkan monografi Desa Dlingo pada tahun 2012 jumlah penduduk Desa Dlingo sebanyak 5.590 jiwa yang mencakup 1.772 kepala keluarga, terdiri dari 2.767 jiwa laki-laki (49,5%) dan 2.823 jiwa perempuan (50,5%). Jumlah penduduk tertinggi di Dusun Pakis II sebesar 751 jiwa dan terendah di Dusun Dlingo II yaitu sebesar 336 jiwa. Mayoritas penduduk Desa Dlingo beragama islam yaitu sebesar 5.580 jiwa dan 10 jiwa memeluk agama kristen/katolik.

4.2.3 Struktur Penduduk Berdasarkan Struktur Umur

Berdasarkan struktur umur, jumlah penduduk Desa Dlingo usia 0-14 tahun sebesar 1.179 orang, umur 15-24 tahun sebesar 893 orang, sedang usia 25-49 tahun sebesar 2.179 orang dan usia lanjut atau lebih dari 50 tahun berjumlah 1.339 orang sehingga jumlah total penduduk Desa Dlingo adalah 5.590 jiwa.

4.2.4 Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama penduduk Desa Dlingo adalah bertani. Selain bertani, mereka juga bekerja di pertukangan atau buruh bangunan. Mata pencaharian penduduk Desa Dlingo dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Mata pencaharian

Mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

Karyawan PNS 112 5,6

Sumber: Desa Dlingo 2012

4.2.5 Sarana dan Prasarana

(21)

Sarana pendidikan yang ada di Desa Dlingo terdiri dari 4 jenjang yaitu Paud, TK, SD, SMP dan SMA. Pendidikan Paud ada 10 buah dan menyebar di setiap dusun. Pendidikan TK ada 4 buah, pendidikan SD ada 5 buah, pendidikan SMP ada 2 buah dan pendidikan SMA hanya 1 buah.

Fasilitas peribadatan Desa Dlingo terdiri dari masjid dan langgar, sedangkan fasilitas peribadatan agama lain selain Islam tidak terdapat di Desa Dlingo karena bisa dikatakan bahwa hampir semua penduduk Desa Dlingo beragama Islam sehingga untuk penduduk non muslim peribadatan dilakukan di wilayah lain. Adapun jumlah masjid dan langgar yang ada di Desa Dlingo yaitu ada 1 masjid dan 38 langgar.

Sarana kesehatan yang ada di Desa Dlingo terdiri dari puskesmas dan posyandu. Adapun jumlah puskesmas dan posyandu yang ada di Desa Dlingo yaitu ada 1 buah puskesmas di Desa Koripan I dan 12 posyandu yang tersebar disetiap dusun.

Sarana perekonomian terdiri dari pasar, toko, warung dan pertokoan. Adapun jumlah pasar tradisional yaitu ada 1 buah yang berada di Dusun Koripan I, toko berjumlah 2 buah dan tersebar di Koripan I dan Dlingo I. Warung/kios menyebar disetiap dusun dengan jumlah total 84 warung di Desa Dlingo.

(22)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kegiatan GNRHL di Desa Dlingo

Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL)

dilakukan pada tahun 2003─2004 dan di Desa Dlingo sendiri dilakukan pada

tahun 2003. Proyek ini merupakan proyek nasional dibawah Kementrian Kehutanan dan untuk implementasi di lapangan, proyek GNRHL yang ada di Kabupaten Bantul dibawahi oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dipertahut) Kabupaten Bantul. Menurut Dipertahut Kabupaten Bantul, proyek GNRHL telah berhasil melakukan penanaman di lahan milik rakyat di Kabupaten Bantul seluas 2.450 ha dan salah satunya adalah di hutan rakyat Desa Dlingo. Luas hutan rakyat hasil dari GNRHL di Desa Dlingo yaitu 325 ha. Rincian mengenai luasan GNRHL masing-masing dusun dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Luas GNRHL masing-masing dusun di Desa Dlingo

No Nama Dusun Luas GNRHL (ha)

Dipertahut menyediakan bibit, pupuk, dan alat-alat untuk pengolahan dan perawatan tanaman seperti: cangkul, linggis, dan alat semprot secara gratis per kelompok tani. Pembagian dilakukan setelah pengajuan proposal oleh kelompok tani dan hanya dibagikan pada awal tahun sebelum dilakukan penanaman. Selain itu untuk kegiatan pembangunan hutan rakyat, petani diberikan upah berdasarkan satuan hari orang kerja (HOK) sebesar Rp 15.000/orang/hari.

(23)

pemiliknya dan tidak ditemukan kondisi hutan rakyat yang sesuai dengan rancangan. Disebabkan pola penanaman GNRHL menurut Dipertahut adalah pola penanaman pengkayaan yang sebelumnya sudah terdapat tanaman, maka tanaman baru sebagai tanaman pembatas maksimal 200 batang/ha.

5.2 Kondisi Hutan Rakyat

Untuk mengetahui kegiatan dari pengelolaan hutan rakyat di Desa Dlingo, dilakukan wawancara semi terstruktur menggunakan kuesioner dengan 35 responden pemilik hutan rakyat dari 3 dusun, yaitu: Pakis II, Pokoh II, dan Dlingo II. Lokasi GNRHL berada pada tanah yang miring dan tidak subur sehingga sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu dibuat terasering atau piringan dari batu yang disusun. Penanaman harus dilakukan pada saat awal musim penghujan karena jika musim kemarau tanah sangat kering.

5.2.1 Kondisi Sosial Ekonomi Petani Hutan Rakyat

Penduduk Desa Dlingo mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Dari 35 responden merupakan petani hutan rakyat, baik sebagai mata pencaharian pokok maupun hanya sampingan.

Petani Desa Dlingo selain mengelola hutan rakyat juga mengelola tanaman pertanian. Namun, bertani tanaman pertanian lebih diprioritaskan pengelolaannya karena memiliki hasil dengan jangka waktu yang lebih pendek tidak seperti hasil dari hutan rakyat. Selain itu, mereka juga memiliki pekerjaan sampingan karena hasil dari pertanian saja tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Pada umumnya, pekerjaan sampingan yang dilakukan yaitu sebagai pedagang, pengrajin mebel, dan sebagai tukang bangunan.

5.2.2 Sistem Pemilik dan Penggunaan Hutan Rakyat

(24)

Tujuan utama responden membudidayakan hutan rakyat berbeda-beda, sebagian besar responden beralasan untuk keperluan sendiri dan digunakan sebagai bahan baku mebel dan sebagian juga digunakan untuk investasi tambahan di masa depan. Harga kayu jati yang tinggi diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan untuk keperluan masa depan, seperti keperluan tambahan biaya pendidikan, atau kegiatan lainnya yang membutuhkan modal besar.

Sebelum dilakukan penanaman dari proyek GNRHL, lahan hutan rakyat tersebut berupa lahan kritis, tegalan, dan pekarangan. Pola penanaman GNRHL menurut Dipertahut yaitu dengan pola penanaman pengkayaan dengan sebelumnya sudah terdapat tanaman sehingga diperlukan penambahan tanaman dengan proyek GNRHL ini agar tanaman lebih produktif. Setelah penanaman GNRHL dilakukan, lahan hutan rakyat masyarakat ini ditumbuhi pohon jati dengan bentuk hutan rakyat yang berbeda-beda. Bentuk hutan rakyat jati di Desa Dlingo terdiri dari sistem monokultur jati, sistem campuran dengan tanaman kayu keras lainnya seperti mahoni, sonokeling, dan bentuk tumpangsari. Tumpangsari dilakukan dengan menggunakan jenis tanaman pertanian yaitu ketela, umbi-umbian dan tanaman pisang. Pemilihan tanaman keras campuran berdasarkan pertimbangan agar tidak mudah terserang penyakit dan variasi jenis di lahan miliknya, sedangkan pemilihan jenis tanaman pertanian berdasarkan pertimbangan kebutuhan untuk mendapatkan hasil panen jangka pendek untuk kebutuhan sehari-hari.

5.2.3 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat

Prabowo (1998) kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat meliputi pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran hasil. Kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat secara lebih rinci sebagai berikut:

1. Pengadaan Benih

GNRHL pengadaan dalam bentuk bibit bukan benih. Bibit diperoleh secara gratis dari Dipertahut melalui kelompok tani yang ditunjuk.

2. Penanaman

(25)

Daerah Desa Dlingo merupakan daerah yang memiliki tanah yang mudah kekeringan ketika musim kemarau, sedangkan tanaman jati sangat peka terhadap kekeringan pada awal masa tanam, sehingga penanaman dilakukan pada awal musim penghujan agar bibit yang ditanam mendapatkan air yang cukup. Sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu dibuat lubang tanam dengan jarak tanam 5m x 10m sesuai anjuran Dinas setempat, namun jarak tanam berbeda-beda tergantung dari kondisi lahan yang kosong di lapangan. Selanjutnya dilakukan pemupukan dengan pupuk organik sebesar 2,5 kg/pohon yang diperoleh secara gratis dari proyek GNRHL.

3. Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh petani diantaranya adalah penyulaman, pemupukan, dan penyemprotan. Semua kegiatan tersebut hanya dilakukan pada tahun pertama hingga tahun kedua, sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada petani dalam pengelolaannya. Namun sekarang ini kegiatan perawatan sudah tidak ada. Pemupukan dilakukan pada saat penanaman dengan pupuk organik sebesar 2,5 kg/pohon dan pupuk anorganik urea diberikan dua kali yaitu pada akhir musim penghujan pada tahun pertama dan kedua dengan masing masing sebesar 3 tablet/pohon. Penyulaman dilakukan pada tahun kedua setelah penanaman, sedangkan untuk kegiatan penjarangan yang seharusnya dilakukan pada tahun kelima tidak dilakukan.

4. Pemanenan

(26)

rendah karena kurangnya informasi tentang harga kayu dan harga dikuasai oleh tengkulak. Harga kayu jati juga bervariasi hanya berdasarkan perkiraan diameter, tidak ada patokan harga untuk per meter kayunya sehingga harga hanya berdasarkan tawar menawar antara penjual dan pembeli.

5. Pemasaran hasil

Pembeli kayu biasanya menggunakan kayunya untuk dibuat dalam bentuk kerajinan mebel. Sejauh ini tidak dilakukan pemasaran kayu log keluar dari desa, namun untuk pemasaran mebel sudah dipasarkan hingga keluar kabupaten, bahkan sampai ke luar jawa seperti Bali. Pengrajin mebel di Desa Dlingo cukup banyak, dalam satu dusun saja hampir setengah dari KK memiliki usaha mebel baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dipasarkan.

Pengelolaan hutan rakyat di Desa Dlingo didukung oleh keberadaan kelompok tani dan penyuluh kehutanan dari Dipertahut. Kelompok tani dan penyuluh berfungsi sebagai wadah bagi para petani pengelola hutan rakyat untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi anggota kelompok tani tentang cara mengelola hutan rakyat dengan benar. Selain itu, mereka juga dapat saling belajar dan berbagi pengalaman.

(27)

Tabel 4 Biaya pembuatan hutan rakyat

No. Jenis pekerjaan Biaya bahan/peralatan Biaya tenaga Total biaya

(rupiah)

a. pemancangan patok batas/ajir b. pembuatan papan nama c. pembuatan gubuk kerja d. pengadaan bahan, peralatan

325 ha

a. pembuatan dan pemasangan ajir b. pembuatan piringan dan lubang tanam c. langsir bibit

4. Angkutan bibit, pengamanan dan

pemeliharaan bibit

7 paket 1.100.000 7.700.000 7.700.000

5. Pengawasan/supervisi 7 paket 600.000 4.200.000 4.200.000

(28)

Tabel 4 biaya pembangunan hutan rakyat di Desa Dlingo dengan luasan 325 ha yaitu sebesar Rp 347.990.000 atau Rp 1.070.700/ha. Biaya pengelolaan hutan rakyat terdiri dari dua biaya utama yaitu: biaya pembangunan hutan rakyat dan biaya pemanenan hutan rakyat, akan tetapi petani tidak mengeluarkan biaya untuk pemanenan kayu. Biaya pengelolaan hutan rakyat terdiri dari biaya persiapan, pelaksanaan, pemeliharaan, angkutan bibit, pengamanan dan pemeliharaan bibit dan pengawasan/supervisi. Biaya ini tidak mempertimbangkan biaya pembelian bibit karena tidak ada anggaran biaya dari Dipertahut untuk pembelian bibit.

Walaupun tanaman dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa ada perlakuan pemeliharaan, namun petani masih menggunakan waktunya untuk mengunjungi tegakan jati miliknya. Tabel 5 merupakan perkiraan rata-rata penggunaan waktu dan biaya yang telah dikorbankan petani untuk pemeliharaan tanaman.

Tabel 5 Penggunaan waktu dan biaya petani untuk pemeliharaan tanaman

Tahun Rata-rata

(29)

hanya 1 jam. Biaya per jam yaitu perkiraan biaya sebesar Upah minimum Regional (UMR) pada tahun tersebut. Perkiraan biaya pemeliharaan yaitu sebesar Rp 4.296.000/petani atau sebesar Rp 171.850/petani/tahun. Jumlah petani di Desa Dlingo ini ada 729 orang dan luasan total hutan rakyat sebesar 325 ha, maka rata-rata kepemilikan lahan seluas 0,45 ha/petani sehingga biaya pemeliharaan sebesar Rp 9.546.700 /ha atau Rp 381.900/ha/tahun.

5.3 Deskripsi Tegakan Hutan Rakyat

Pendugaan potensi tegakan hutan rakyat data primer yang diperlukan yaitu data diameter dan tinggi pohon. Data diameter dan tinggi dilakukan dengan sampling 35 responden lahan hutan rakyat yang ada di Dusun Pakis II, Pokoh II dan Dlingo II. Pemilihan lokasi berdasarkan lokasi penanaman GNRHL yang dilakukan dusun tersebut. Pengukuran dilakukan secara sampling karena pertimbangan keterbatasan tenaga, kondisi tegakan dominan seumur dan luasan hutan rakyat hasil GNRHL mencapai 325 ha.

Pengukuran diameter dan tinggi total (TT) dilakukan pada semua pohon yang ada di dalam plot yang berukuran 0,1 ha yang akan mewakili setiap lahan responden. Tabel 6 menjelaskan kondisi tegakan hutan rakyat berdasarkan hasil pengukuran sampling.

Tabel 6 Kondisi tegakan hutan rakyat

Kelas diameter (cm)

Jumlah pohon Kerapatan

(N/ha)

Jumlah pohon hasil sampling sebanyak 35 lahan responden atau 3,5 ha ada 3.221 pohon. Dari hasil perhitungan, diperoleh diameter rata dan tinggi rata-rata hutan rakyat di Desa Dlingo hasil dari sampling berturut-turut adalah 9,45 cm dan 8,87 m. Kondisi tegakan hutan rakyat didominasi oleh tegakan yang

(30)

Kondisi tegakan walaupun memiliki umur tanam yang sama, namun memiliki diameter yang berbeda-beda. Kondisi tegakan yang berada pada lokasi tepi jalan atau tepi lahan cenderung memiliki pohon-pohon yang berdiameter besar. Hal itu disebabkan pohon-pohon yang berada di tepi mendapatkan sinar matahari yang cukup dan ada sebagian dari lahan mendapatkan perlakuan perawatan dari pemiliknya. Namun, dari 35 responden hanya 2 responden saja yang melakukan perawatan pada lahan hutan rakyatnya. Perawatan itu antara lain pemberian pupuk organik dari kotoran sapi dan pembersihan gulma.

Hasil dari sampling menunjukkan pertumbuhan pohon-pohon pada tegakan hutan rakyat hasil GNRHL Desa Dlingo memiliki pertumbuhan yang normal. Menurut penelitian Ginoga et al. (2005), pertumbuhan jati di KPH Saradan Jawa Timur pada umur 9 tahun berdiameter 9,73 cm sehingga tidak berbeda jauh dengan hasil dari penelitian ini sebesar 9,45 cm.

5.4 Potensi Volume Tegakan

Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus volume pohon jati dengan faktor angka bentuk jati 0,759 (Novendra 2008), diperoleh hasil volume terbesar yaitu pada diameter tegakan antara 10 cm sampai 15 cm dengan nilai terbesar 91,29 m3. Tabel 7 menunjukkan potensi volume tegakan hutan rakyat.

Tabel 7 Potensi volume tegakan berdasarkan kelas diameter

Kelas diameter (cm)

Jumlah pohon Kerapatan

(N/ha)

(31)

Selanjutnya riap tahunan diameter pohon dikalikan dengan daur yaitu 25 tahun sehingga diperoleh diameter pohon pada umur 25 tahun. Tinggi pohon pada akhir daur dihitung dengan cara yang sama dengan perhitungan riap diameter. Pendapatan yang diperoleh jika kayu dijual pada akhir daur dengan asumsi daur tebang 25 tahun sebesar Rp 2.156.000.000/ha dengan asumsi harga per m3 pohon jati adalah tetap. Keuntungan yang diperoleh yaitu dengan mengurangi pendapatan dari penjualan tegakan jati di akhir daur dengan biaya pembangunan tegakan hutan rakyat dan biaya pemeliharaan. Biaya pembangunan hutan rakyat adalah Rp 347.990.000 atau Rp 1.070.700/ha dan biaya pemeliharaan Rp 9.546.700/ha, sehingga keuntungan yang diperoleh dari hutan rakyat sampai akhir daur panen sebesar Rp 2.145.382.600/ha.

Perkiraan potensi volume umur 25 tahun dengan perhitungan tersebut menghasilkan nilai yang sangat besar, sementara tegakan yang tidak dilakukan penjarangan seharusnya memiliki pertumbuhan riap yang kecil karena persaingan antar pohon yang sangat ketat. Sehingga perhitungan potensi volume akhir daur dilakukan dengan menggunakan tabel tegakan jati bonita II dan diperoleh potensi volume sebesar 209,32 m3/ha. Pendapatan jika pada umur 25 tahun dilakukan penebangan yaitu sebesar Rp 683.018.000/ha. Keuntungan setelah pendapatan dikurangi biaya pembangunan hutan rakyat sebesar Rp 1.070.700/ha dan pemeliharaan Rp 9.546.700/ha yaitu sebesar Rp 672.400.600/ha.

5.5 Potensi Karbon

Metode pendugaan karbon tegakan dilakukan dengan empat persamaan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat perbedaan hasil dari masing-masing persamaan yang digunakan. Masing-masing persamaan dapat dibandingkan dari hasil pendugaan karbon dan dapat diketahui faktor-faktor penyebab perbedaan hasil pendugaan karbon dari persamaan-persamaan tersebut sehingga dapat ditentukan persamaan terbaik untuk pendugaan karbon hutan rakyat jati di Desa Dlingo ini.

(32)

sehingga diperoleh nilai volume tegakan diperoleh sebesar 23.364,25 m3 atau 71,89 m3/ha. Pendugaan biomassa pohon diperoleh dengan cara mengalikan volume dengan berat jenis kayu jati yaitu sebesar 0,67 (APHI dan Cerindonesia 2011) sehingga diperoleh kandungan biomassa sebesar 15.654,05 ton atau 48,17 ton/ha dan menurut SNI 7724:2011 sebesar 0,47 dari biomassa merupakan kandungan karbon sebesar 7.357,189 tonC atau 22,64 tonC/ha. Pada persamaan pertama pengukuran tinggi di lapangan cenderung mengakibatkan penyimpangan yang tinggi karena kesalahan dari pengukur dalam mengukur tinggi dengan hagahypsometer.

Metode kedua merupakan persamaan umum yang sering digunakan adalah rumus Ketterings et al. (2001). Persamaan ini dilakukan dengan cara mensubstitusikan diameter total tegakan dan memperhitungkan berat jenis kayu jati yaitu sebesar 0,67 (APHI dan Cerindonesia 2011) sehingga diperoleh nilai biomassa sebesar 12.869,211 ton atau 39,59 ton/ha. Menurut SNI 7724:2011, sebesar 0,47 dari biomassa merupakan kandungan karbon yaitu sebesar 6.048,53 tonC atau 18,61 tonC/ha.

Persamaan pertama dan persamaan kedua merupakan persamaan umum yang mudah diaplikasikan, bisa meminimalkan kesalahan pengukuran, serta cukup sederhana. Kelemahannya adalah kurang bisa mengakomodasi jumlah karbon selain biomassa atas pohon seperti jumlah karbon pada akar, daun dan tanah (Ginoga et al. 2005). Selain itu, kedua persamaan ini menggunakan pendekatan berat jenis yang memungkinkan peluang penyimpangan pada pemilihan berat jenis yang digunakan. Berat jenis jati berkisar antara 0,62 sampai dengan 0,75 (Purnamasari 2008), sedangkan berat jenis yang digunakan yaitu berat jenis rata-rata sebesar 0,67.

(33)

Metode ketiga dan keempat merupakan metode persamaan biomassa diperoleh dari hasil penelitian destruktif pohon jati di dua tempat, yaitu: Desa Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul dan Perum Perhutani KPH Cepu, Jawa Tengah. Persamaan alometrik C= 0,1986 D2,13 menggunakan sampel 15 pohon jati dengan kelas diameter 5-14 cm, 15-24 cm, dan 25 cm keatas, sedangkan persamaan C= 0,2759 D2,2227 x 0,47 merupakan persamaan hasil destruktif pohon jati di KPH Cepu, Jawa tengah menggunakan 24 pohon jati dengan tingkatan umur 2, 11, 22, 41, 45, 53, 70, dan 88 tahun. Kedua persamaan ini dipilih karena pertimbangan peluang kesalahan yang tinggi terhadap tinggi tegakan yang diambil di lapangan. Persamaan ketiga dipilih dengan alasan lokasi yang berdekatan dengan lokasi penelitian untuk Desa Dengok Kecamatan Playen Gunungkidul sehingga memungkinkan untuk kemiripan kondisi tanah, cuaca, ketinggian lokasi karena berada di lereng pegunungan seperti di hutan rakyat Desa Dlingo.

Persamaan alometrik hasil destruktif di KPH Cepu, Jawa Tengah dipilih untuk perbandingan terhadap perlakuan silvikultur antara tegakan jati di hutan rakyat yang kurang mendapat perlakuan silvikultur dengan tegakan jati di KPH Cepu yang mendapat perlakuan silvikultur secara intensif. Tabel 8 menyajikan hasil dari pendugaan karbon dari keempat persamaan tersebut.

Tabel 8 Persamaan pendugaan kandungan karbon

No. Metode persamaan Lokasi persamaan

diperoleh (Hendri 2001) diacu dalam Tiryana et al.

(34)

berdekatan dan sama-sama berada pada daerah pegunungan. Lokasi Kecamatan Dlingo sebelah timur berbatasan langsung dengan kecamatan Playen. Menurut AHPI dan Cerindonesia (2011), metode alometrik digunakan tergantung pada jenis atau curah hujan, untuk itu digunakan rumus sesuai dengan jenis atau curah hujan pada lokasi.

Lokasi Desa Dlingo memiliki curah hujan 1500─2000 mm/tahun, sedangkan Desa Dengok Kecamatan Playen Gunungkidul 2000─2100 mm/tahun.

Kedua tempat ini sama-sama berlokasi di daerah pegunungan karst yang berdekatan dengan ketinggian untuk Desa Dlingo yaitu 200─295 mdpl sedangkan

untuk Desa Dengok yaitu 200─300 mdpl. Dari hubungan diameter dan karbon,

persamaan ini diperoleh nilai ragam terbesar dibandingkan persamaan lainnya sebesar 0,895. Dari pertimbangan ini persamaan alometrik ketiga dipilih sebagai yang terbaik.

Hasil perhitungan dengan persamaan alometrik keempat yaitu alometrik dari pendugaan destruktif di perum perhutani, KPH Cepu, Jawa Tengah menunjukkan nilai yang lebih kecil daripada persamaan ketiga yaitu sebesar 7.962,5 ton atau 24,50 ton/ha. Seharusnya nilai dengan persamaan keempat lebih besar daripada persamaan ketiga, karena perlakuan silvikultur tanaman di Perhutani lebih intensif dibandingkan dengan perlakuan tanaman di hutan rakyat yang kurang bahkan tanaman dibiarkan tumbuh tanpa ada pemeliharaan lanjutan hingga akhir daur. Menurut Malsheimer et al. (2009) diacu dalam Butarbutar (2009) hutan yang dikelola akan menyerap karbon lebih banyak daripada hutan yang tidak dikelola Menurut Pramono et al. (2010) untuk mendapatkan tegakan jati yang menghasilkan kayu berkualitas tinggi, dipilih lahan yang memiliki kandungan kapur dan lempung-liat cukup tinggi, memiliki perbedaan musim kemarau dan musim penghujan yang nyata, berada pada ketinggian kurang dari 700 m dpl. Kondisi tanah di Desa Dlingo memiliki kandungan kapur yang tinggi yang dapat memacu pertumbuhan pada jati walaupun tidak dilakukan pemeliharaan.

(35)

Tabel 9 Potensi stok karbon tegakan hutan rakyat

Kelas diameter (cm)

Kerapatan (N/ha) Potensi karbon

per ha (tonC/ha)

Berdasarkan hasil pendugaan karbon dengan persamaan alometrik hasil destruktif 15 pohon jati di hutan rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Gunungkidul diperoleh potensi karbon terbesar yaitu pada kelas diameter antara 5 cm sampai dengan 10 cm sebesar 10,51 tonC/ha. Hal itu dikarenakan kelas diameter antara 5 cm hingga 10 cm memiliki kerapatan terbesar dibandingkan dengan kelas diameter lainnya. Total potensi karbon hutan rakyat dalam satu desa yang memiliki luasan 325 ha sebesar 9.460,75 tonC atau 29,11 tonC/ha. Estimasi serapan karbondioksida (CO2) dilakukan dengan persamaan yaitu: CO2 = 3,67 C (Rochmayanto et al. 2010). Potensi serapan karbondioksida diperoleh sebesar 34.720,95 tonCO2 atau 106,83 tonCO2/ha. Tabel 10 merupakan perkiraan potensi karbon, serapan karbondioksida dan jumlah sertifikat hutan rakyat Desa Dlingo jika di skemakan ke perdagangan karbon.

Tabel 10 Perkiraan potensi karbon, serapan karbondioksida dan jumlah sertifikat

Tahun proyek TonC/tahun TonCO2/tahun Jumlah sertifikat

1 2.380,979 8.738,19 8.738

(36)

bervariasi. Hutan dengan semua kelas umur dengan berbagai tipe mempunyai kapasitas penyerapan yang lebih besar dan penyimpanan karbon dalam jumlah besar juga, tetapi hutan campuran semua umur umumnya mempunyai kapasitas penyerapan karbon yang lebih besar dan penyimpanan juga karena leaf area (luas permukaan daun) yang lebih besar (Butarbutar 2009).

5.6 Biaya Kegiatan Perdagangan Karbon

Pendanaan untuk perdagangan karbon lewat pasar terbuka terdiri dari dua pasar, yaitu pasar wajib dan pasar sukarela. Tujuan dari perdagangan karbon ini diutamakan untuk menghasilkan sertifikat penurunan emisi. Sertifikat penurunan emisi yang dihasilkan dari pasar wajib CDM yaitu CER (certified emission reduction) sedangkan melalui pasar sukarela yaitu VER (verified emission Reduction). VER tidak dapat digunakan oleh negara pihak pembeli sebagai bagian dari pencapaian target penurunan emisi yang ditetapkan Protokol Kyoto, sedangkan CER dapat digunakan (APHI dan Cerindonesia 2011).

5.6.1 Pasar Wajib (Compliant Market)

Pasar karbon wajib contohnya yaitu clean development mechanism (CDM) atau mekanisme pembangunan bersih (MPB) yang periode komitmen dari tahun 2008 dan akan berakhir di tahun 2012 ini. Selain itu juga ada mekanisme penurunan emisi baru yaitu REDD (reducing emission deforestation and degradation). REDD belum ada mekanisme compliant yang jelas mengenai perdagangan dan pendanaannya karena baru akan dibahas setelah periode komitmen CDM berakhir. Namun, sekarang ini sudah banyak proyek percontohan REDD yang ada di Indonesia dan selama ini proyek yang berlangsung lebih kepada skema voluntary yang pihak investor atau pembeli yang berminat akan mendanai pelaksanaan demonstration activities REDD (APHI dan Cerindonesia 2011).

(37)
(38)

Tabel 11 Komponen dan besarnya biaya persiapan (mendapatkan Sertifikat penurunan emisi) skema CDM

No. Kegiatan Pelaksanaan Waktu Biaya ( juta rupiah) Keterangan

biaya

2 Penyusunan dokumen Rancangan

proyek (PDD)

Pemilik proyek 1 minggu-1

bulan

14,0 35,0 180,0 tetap

3 Surat keterangan Menhut Menhut Maks. 3 minggu 0 3,0 6,5 tetap

4 Penyerahan PDD kepada komnas CDM Pemilik proyek melalui

pos

0,3 0,02 0,3 tetap

5 Persetujuan oleh komnas CDM Komnas CDM,

sekretariat, tim teknis

0 2,0 4,33 tetap

6 Baseline-additonality Pemilik proyek 0 30,0 65,0 tetap

7 Monitoring dan evaluasi Tim independen 24,4 128,0 277,33 tetap

8 Sertifikasi, termasuk verifikasi dan validasi

Lembaga akreditasi nasional

6 bulan 400,0 400,0 400,0 tetap

9 Kerjasama dengan mahasiswa 0 20,4 44,2 variabel

10 Biaya pengurusan amdal Akreditor berdasarkan

keputusan gubernur

6 bulan-1 tahun 7,5 200,0 433,33 tetap

(39)

Tabel 12 Komponen dan besarnya biaya pelaksanaan kegiatan CDM

No. Tahap Kegiatan Institusi Biaya ( juta rupiah) Keterangan

biaya Cianjur

(17,5 ha)

NTB (150 ha)

Penelitian (325 ha)

1 Persiapan Desain pelaksanaan proyek Dirjen rehabilitasi lahan dan hutan 4,28 15,0 32,50 tetap

Pelatihan teknik petani HR Dinas kehutanan 24,45 0 24,45 tetap

2 Manajemen

proyek

Infrastruktur dan peralatan Pelaksana 14,14 344,1 745,55 variabel

3 Administrasi dan konsultasi ke

pusat

Pelaksana 20,10 200,4 434,20 tetap

4 Monitoring Inventarisasi serapan karbon

dan pengawasan area

Pelaksana 0 174,5 378,10 variabel

5 Evaluasi Koordinasi, monitoring dan

evaluasi

Dinas kehutanan/universitas 0 128,0 277,30 variabel

(40)

Menurut Ginoga (2007) biaya dalam skema CDM terdiri dari biaya persiapan dan biaya pelaksanaan CDM. Biaya persiapan terdiri dari sepuluh kegiatan yaitu surat kelayakan lahan untuk CDM, penyusunan dokumen rancangan proyek (PDD), surat keterangan menhut, penyerahan PDD kepada komnas CDM, baseline-additionality, monitoring dan evaluasi, sertifikasi termasuk verifikasi dan validasi, kerjasama dengan mahasiswa dan biaya pengurusan amdal. Adapun biaya pelaksanaan kegiatan CDM terdiri dari biaya persiapan, manajemen proyek, monitoring dan evaluasi.

Perkiraan biaya ini dilakukan dengan membandingkan luasan dengan biaya menurut penelitian Ginoga et al. (2008), sedangkan untuk biaya penyusunan dokumen rancangan proyek mengacu pada biaya CDM skala kecil menurut APHI dan Cerindonesia (2011) sebesar 20.000 USD atau Rp 180 juta.

5.6.2 Pasar Sukarela (Voluntary Market)

Biaya transaksi proyek Plan Vivo merupakan biaya yang dikeluarkan dari tahapan konsep, desain proyek, registrasi dan hingga biaya setelah proyek aktif. Pada penelitian ini, perkiraan biaya untuk biaya upah dan registrasi mengacu pada perkiraan biaya yang ada di website Plan Vivo. Biaya tersebut merupakan biaya resmi yang dikeluarkan pengembang proyek untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation, sedangkan biaya lainnya berdasarkan perkiraan pengeluaran dengan acuan proyek MPB sebelumnya.

(41)

Tabel 13 Biaya registrasi dan validasi proyek Plan Vivo

Proses Deskripsi Biaya

(juta rupiah)

Keterangan biaya

Review Project Idea Note (PIN) Review kegiatan dilakukan oleh Plan Vivo Foundation

6,75 tetap

Validasi:

Review Project Design Document Review kegiatan dilakukan oleh Plan Vivo

Foundation

4,5 tetap

Kunjungan lapangan Kunjungan ke lokasi proyek oleh Expert

Reviewer untuk menilai kapasitas dari koordinator proyek dan mengecek implementasi dari sistem.

72,0 estimasi berkisar atara 5.000-10.000 USD,

tergantung tarif dari Expert Reviewer. Biasanya untuk luasan <100 ha menggunakan expert reviewer.

Review spesifikasi teknis Review kegiatan dilakukan oleh Plan Vivo

Foundation dan Technical Advisory Panel

3,6 tetap

200/ spec, asumsi untuk 2 tech spec Review hasil validasi dan

registrasi proyek

Review dan finalisasi dari registrasi proyek oleh Plan Vivo Foundation

4,5 tetap

(42)

Tabel 14 Perkiraan biaya transaksi proyek Plan Vivo

Tahapan Proses Pelaksana Biaya

(juta rupiah)

Keterangan biaya

Tahapan konsep Project Idea note Koordinator proyek 32,50 tetap

Evaluasi pin dan registrasi Plan Vivo Foundation 6,75 tetap

Desain proyek spesifikasi teknis

baseline +additionality

AMDAL monitoring

project desain document (PDD)

Koordinator proyek dan mitra (lembaga penelitian, dukungan teknis eksternal)

Koordinator proyek

Kunjungan lapangan Kunjungan ke lokasi proyek oleh Expert Reviewer 72,00 variabel

Persetujuan spesifikasi teknis

Persetujuan PDD

PlanVivo Foundation dan Technical Advisory Panel

Persetujuan dari Host Country Koordinator proyek 4,33 tetap

Kerjasama dengan konsultan eksternal dan institusi-institusi lokal/riset

Survei biomass Studi baseline

Workshop dan training produsen Survei keanekaragaman hayati

Koordinator proyek dan mitra (lembaga penelitian, dukungan teknis eksternal)

44,20 variabel

Registrasi Validasi

Laporan validasi dan registrasi

Plan Vivo Foundation dan expert viewer yang dipilih Plan Vivo Foundation

Plan Vivo Foundation

3,60

4,50

tetap

tetap

Proyek aktif Laporan tahunan Koordinator proyek 4,50 tetap

Pendaftaran sertifikat Koordinator proyek 663,7356 variabel

Penerbitan sertifikat Plan Vivo Foundation 110,6226 variabel

Verifikasi pihak ketiga Third party verifier yang disetujui 66,70 tetap

(43)

Perkiraan biaya transaksi ini disesuaikan dengan urutan tahapan proyek Plan Vivo dari awal tahapan konsep hingga proyek telah aktif. Perkiraan biaya untuk evaluasi PIN dan registrasi, kunjungan lapangan, persetujuan spesifikasi teknis, persetujuan PDD, dan laporan validasi serta registrasi diperoleh dari biaya menurut Plan Vivo yang telah tercantum di website resmi Plan Vivo. Biaya-biaya tersebut merupakan biaya yang telah tercantum pada Tabel 12 dan dikategorikan dalam biaya registrasi dan validasi proyek Plan Vivo. Keseluruhan biaya tersebut sebesar 10.550 USD atau Rp 94.950.000.

Perkiraan biaya dari website Plan Vivo hanya mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation saja dan tidak mempertimbangkan biaya lain yang dikeluarkan diluar biaya untuk Plan Vivo Foundation. Perkiraan biaya untuk baseline dan additionality, amdal, kerjasama dengan konsultan eksternal dan institusi-institusi lokal/riset diperoleh biaya dari acuan biaya skema CDM yang berada pada Tabel10 dan Tabel 11. Biaya project desain document (PDD) mengacu pada biaya skema perdagangan karbon sukarela Voluntary Gold Standard (APHI dan Cerindonesia 2011) sebesar 7.500 USD atau Rp 67,5 juta, sedangkan biaya laporan tahunan besarnya diperkirakan sama dengan laporan validasi dan registrasi.

Skema Plan Vivo menurut Antoko (2011), biaya transaksi meliputi biaya registrasi dan validasi (dikeluarkan sekali untuk satu proyek karbon), biaya monitoring (dikeluarkan setiap tahun selama jangka waktu proyek karbon dan verifikasi (dikeluarkan setiap lima tahun selama jangka waktu proyek karbon). Biaya transaksi menurut Antoko (2011) ini hanya biaya yang dikeluarkan pengembang proyek untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation. Biaya tersebut tidak mempertimbangkan biaya lain diluar pembayaran resmi ke Plan Vivo Foundation seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

(44)

Biaya untuk upah penerbitan dan pendaftaran sertifikat berbeda-beda setiap tahunnya bergantung dari jumlah sertifikat. Upah sertifikat diperoleh dengan mengalikan jumlah sertifikat dengan upah per sertifikat yaitu sebesar 0,3 USD per sertifikat. Upah pendaftaran diperoleh dengan mengalikan jumlah sertifikat dengan upah per sertifikat yaitu 0,05 USD per sertifikat. Jumlah sertifikat mencerminkan jumlah tonCO2 setiap tahunnya, atau satu sertifikat setara dengan satu tonCO2. Upah penerbitan dan pendaftaran sertifikat berturut-turut sebesar Rp 663.735.600 dan Rp 110.622.600.

Terlihat perbedaan biaya yang sangat besar antara perkiraan biaya yang dikeluarkan oleh Plan Vivo Foundation sebesar Rp 91,35 juta atau Rp 0,281 juta/ha dan perkiraan biaya pada penelitian ini sebesar Rp 1.737,3682 juta atau Rp 5.345.800/ha. Namun perkiraan biaya transaksi ini tidak sepenuhnya sesuai dengan aplikasi di lapangan. Tidak menutup kemungkinan biaya transaksi dari setiap proyek berbeda-beda dan dipengaruhi oleh besar dan luasnya proyek. Namun, Plan Vivo memastikan bahwa biaya transaksi yang dikeluarkan dari proyek tidak akan lebih dari 40% dari total nilai proyek karbon.

Komponen biaya operasional hutan rakyat juga berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran proyek. Biaya operasional terdiri dari biaya pembangunan hutan, biaya pemeliharaan dan biaya pemanenan hutan rakyat. Dalam pemanenan kayu, petani tidak mengeluarkan biaya pemanenan sehingga pengeluaran hanya dilakukan pada kegiatan pembangunan hutan rakyat yaitu dari proyek GNRHL dan biaya pemeliharaan. Total biaya dalam skema perdagangan karbon yaitu sebesar Rp 14.892.500/ha yang merupakan penjumlahan biaya transaksi perdagangan karbon sebesar Rp 5.345.800/ha ditambah biaya pembangunan hutan rakyat sebesar Rp 347.990.000 atau Rp 1.070.700/ha dan biaya pemeliharaan sebesar Rp 9.546.700/ha.

5.7 Pendapatan dari Kegiatan Perdagangan Karbon Sukarela

(45)

setiap sertifikat yang dikeluarkan oleh Plan Vivo memiliki nomor seri unik yang dapat dilacak kepada setiap proyek dan produsen. Besar kecilnya pendapatan dari kredit karbon tergantung dari besaran atau luasan proyek dan jangka waktu kredit karbon yang disepakati antara peserta proyek dengan Plan Vivo Foundation (Kollmus et al. 2008 diacu dalam Antoko 2011).

Kredit karbon untuk proyek Plan Vivo yang sudah ada bervariasi tergantung dari kontrak penjualan proyek yang telah disepakati. Kredit karbon yang digunakan dalam penelitian ini dengan periode komitmen 15 tahun, sedangkan periode pengkreditan yang digunakan yaitu setiap tahun.

Proyek karbon yang diperjualbelikan tidak ada batasan mengenai minimum dan maksimum dari ukuran karbon sehingga tidak ada batasan minimal mengenai luasan dari proyek. Namun, ukuran karbon yang diperdagangkan antara

10.000─100.000 tonCO2/tahun (Kollmuss et al. 2008 diacu dalam Antoko 2011). Keseluruhan karbon yang ada dari lahan proyek yang diperoleh dari hasil perhitungan, tidak sepenuhnya dapat dijual. Sesuai Project Idea Note (PIN) Plan Vivo, penyangga risiko (Risk Buffer) yaitu 10%. Akan tetapi, penjualan hanya 70% dari karbon stok ex ante kredit karena akan mempertahankan 20% untuk pengukuran biomassa dari Permanen Sample Plot (PSP) yang akan menunjukan jumlah sebenarnya dari stok karbon yang diperkirakan. Setelah pengukuran biomassa dilakukan dan dapat menunjukan stok karbon yang tepat, kemudian 20% dari kredit yang ditahan tersebut dapat dikeluarkan (Stilma 2012).

(46)

Tabel 15 Pendapatan dari kredit karbon selama proyek perdagangan karbon

Tahun proyek

Pendapatan (rupiah)/ha

10 USD/tonCO2 15 USD/tonCO2 20 USD/tonCO2

1 1.693.828 2.540.742 3.387.655

12 5.193.222 7.789.832 10.386.443

13 5.480.585 8.220.877 10.961.169

14 5.769.443 8.654.165 11.538.886

15 6.060.046 9.090.069 12.120.092

Total 60.783.951 91.175.926 121.567.902

Tabel 16 menyajikan pendapatan, biaya dan keuntungan dari hutan rakyat yang diskemakan mengikuti perdagangan karbon sukarela standar Plan Vivo. Tabel 16 Pendapatan, biaya dan keuntungan dari perdagangan karbon

Karbon (rupiah)

10 USD/tonCO2 15 USD/tonCO2 20 USD/tonCO2

Pendapatan/ha 60.784.000 91.175.900 121.567.900

Biaya/ha 14.892.500 14.892.500 14.892.500

Keuntungan/ha 45.891.500 76.283.400 106.675.400

Tabel 16 menunjukkan bahwa keuntungan mengikuti skema perdagangan karbon dengan harga karbon 10 USD, 15 USD dan 20 USD mengalami keuntungan berturut-turut sebesar Rp 45.891.500/ha; Rp 76.283.400/ha dan Rp 106.675.400/ha dalam 15 tahun atau Rp 3.059.400/ha/tahun; Rp 5.085.600/ha/tahun dan Rp 7.111.700/ha/tahun. Keuntungan ini kecil disebabkan harga penjualan kredit karbon sendiri kecil dan biaya transaksi dalam perdagangan karbon yang mahal. Selain itu, keuntungan ini belum ditambah dengan keuntungan dari kayu yaitu sebesar Rp 672.400.600/ha.

(47)

Tabel 17 Distribusi keuntungan perdagangan karbon

Harga karbon (tonCO2)

Pendapatan (Rupiah)

Pemerintah 10% Petani 70% Pengembang 20%

10 USD 4.589.200 32.124.100 9.178.300

15 USD 7.628.300 53.398.400 15.256.700

20 USD 10.667.500 74.672.800 21.335.100

Proyek GNRHL yang berasal dari pemerintah, maka skema dari perdagangan karbon ini sebagai koordinator proyek yaitu pemerintah, sehingga pendapatan pemerintah sebesar 30% berasal dari distribusi untuk pemerintah sendiri sebesar 10% dan distribusi untuk pengembang proyek sebesar 20%. Menurut Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 untuk bagian pemerintah itu sendiri dibagi secara proporsional, yaitu: pemerintah pusat 40%, pemerintah provinsi 20% dan pemerintah kabupaten 40%.

Tabel 18 Distribusi pemerintah keuntungan perdagangan karbon

Harga karbon (tonCO2)

Pendapatan pemerintah (Rupiah)

Pusat 40% Provinsi 20% Kabupaten 40%

10 USD 1.835.700 917.840 1.835.700

15 USD 3.051.300 1.525.660 3.051.300

20 USD 4.267.000 2.133.500 4.267.000

Pendapatan ini tidak menutup kemungkinan akan bertambah karena menurut Plan Vivo (2008); Kollmuss et al. (2008) diacu dalam Antoko (2011) untuk menghindari kebocoran karbon (leakage) pada level proyek maka perlu dipastikan bahwa petani (producers) memiliki cukup lahan untuk bertani dan menanam pohon. Selain itu, koordinator proyek juga dapat menambahkan kelompok target atau produsen yaitu petani sehingga dengan penambahan jumlah produsen dan penambahan dengan penanaman akan menambah jumlah ton karbon yang dihasilkan setiap tahunnya. Metode dalam pengukuran karbon juga sangat berpengaruh untuk besar kecilnya serapan karbon, seperti tergantung dari persamaan alometrik yang dipilih.

(48)

Compliant market yang ada di Indonesia yaitu CDM dan mekanisme penurunan emisi REDD yang pengaturannya baru akan dibahas setelah periode komitmen CDM berakhir di tahun 2012. Dari perkiraan biaya baik CDM maupun REDD, terlihat bahwa kedua skema mandatory ini mengeluarkan biaya sangat besar. Selain itu, kegiatan dan tahapan untuk proyek skema ini sangat ketat dan rumit tidak seperti perdagangan karbon sukarela yang pengaturannya bergantung oleh masing-masing standar.

Perdagangan karbon sukarela dikembangkan bukan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca negara maju yang disepakati dalam protokol kyoto, tetapi merupakan target penurunan emisi yang dibuat oleh organisasi diluar aturan pemerintah secara sukarela. Selain itu, voluntary market memiliki proses validasi dan verifikasi tersendiri dan tidak ada kewajiban untuk mendapatkan approval dari host party atau negara tempat pelaksanaan proyek (APHI dan Cerindonesia 2011).

Salah satu standar skema perdagangan karbon sukarela adalah standar Plan Vivo. Plan Vivo merupakan proyek skala kecil di hutan adat, hutan rakyat maupun hutan negara yang masyarakat memiliki hak untuk mengelola dan fokus kepada promosi pengembangan berkelanjutan serta perbaikan terhadap kehidupan masyarakat sekitar dan ekosistemnya. Peserta dari proyek Plan Vivo yaitu produsen dan masyarakat skala kecil di negara berkembang (Plan Vivo 2008).

Luasan hutan rakyat yang ada di Indonesia sesuai dengan standar Plan Vivo karena tidak ada ketentuan minimal dari ukuran transaksi karbon. Proyek Plan Vivo yang saat ini telah berjalan untuk lahan yang terkecil yaitu proyek Plan Vivo Emiti Nibwo Buora, Tanzania seluas 130 ha dan Limay Community carbon project, Nicaragua seluas 155 ha, sedangkan lahan hutan rakyat jati dalam penelitian ini yaitu seluas 325 ha.

Gambar

Gambar 1 Siklus proyek Plan Vivo.
Tabel 1  Pola penggunaan lahan
Tabel 4  Biaya pembuatan hutan rakyat
Tabel 5 Penggunaan waktu dan biaya petani untuk pemeliharaan tanaman
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa petikan wawancara mendalam di atas dan hasil observasi di dapatkan adanya persamaan pendapat antara informan dengan key informan (kepala ruangan) yang menyatakan

Meski membaik dari triwulan sebelumnya, defisit transaksi berjalan triwulan IV-2014 tercatat lebih besar dibandingkan dengan defisit sebesar US$4,3 miliar (2,05% PDB)

Adalah h suatu hal suatu hal yang belum yang belum diket diketahui dengan ahui dengan baik mengapa bakteri baik mengapa bakteri gram-positif terlihat mampu berkolonisasi

Nilai ini sesuai dengan pernyataan bahwa pada umumnya proteinase dari organ pencernaan hewan laut mempunyai sifat unik, yaitu energi aktivitas Arrhenius yang rendah,

An Urban Optioneering Platform is proposed that will enable stakeholders to fluidly build and explore computable multi-perspective models, consisting of loosely coupled legacy

 Yield 10-years US Treasury note pada hari Kamis, 30 Agustus 2018 ditutup turun ke level 2,86% akibat inves- tor yang cenderung mencari safe haven akibat krisis di

Mengikuti jadwal perwalian untuk bimbingan akademik dengan Dosen Wali, dan melakukan bimbingan Tugas Akhir atau Kerja Praktik sesuai dengan waktu dan tempat yang

Menyusul dasar perlindungan korban tindak pidana melalui media cyber dan teknologi telekomunikasi, Penulis mendeskripsikan hasil penelitian berupa dasar perlindungan