• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produktivitas karkas dan non karkas sapi potong lokal berdasarkan tingkat perlemakan tubuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produktivitas karkas dan non karkas sapi potong lokal berdasarkan tingkat perlemakan tubuh"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS KARKAS DAN NON KARKAS

SAPI POTONG LOKAL BERDASARKAN

TINGKAT PERLEMAKAN TUBUH

MUHAMMAD ISMAIL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produktivitas Karkas dan Non Karkas Sapi Potong Lokal berdasarkan Tingkat Perlemakan Tubuh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD ISMAIL. Produktivitas Karkas dan Non Karkas Sapi Potong Lo-kal berdasarkan Tingkat Perlemakan Tubuh. Dibimbing oleh RUDY PRIYANTO dan HENNY NURAINI.

Populasi sapi potong lokal Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dengan tingkat pemotongan cenderung meningkat setiap tahunnya. Permasalahan utama di industri daging nasional adalah sangat beragamnya kondisi sapi yang dipotong di rumah pemotongan hewan, terutama tingkat perlemakan tubuh. Perbedaan tingkat perlemakan tubuh diduga berpengaruh terhadap produktivitas sapi potong lokal Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh tingkat perlemakan tubuh terhadap produktivitas karkas dan non karkas sapi potong lokal pada setiap ukuran kerangka. Penelitian menggunakan 144 ekor sapi potong lokal jantan dewasa yang berasal dari 18 rumah potong hewan pada sepuluh provinsi di Indonesia, terdiri atas 48 ekor sapi kerangka kecil (sapi bali dan sapi madura), 27 ekor sapi kerangka sedang (sapi peranakan ongole dan sapi sumba ongole), dan 69 ekor sapi kerangka besar (sapi silangan lokal).

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga taraf perlakuan yaitu tingkat perlemakan kurus, sedang, dan gemuk. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan analisa ragam dan diuji lanjut menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan.

Hasil penelitian menunjukkan semakin baik tingkat perlemakan tubuh, maka bobot potong, bobot karkas, dan persentase karkas semakin meningkat. Pengaruh tingkat perlemakan tubuh terhadap bobot dan persentase non karkas menunjukkan hasil yang bervariasi. Walaupun demikian, data menunjukkan peningkatan perle-makan tubuh akan diikuti peningkatan bobot komponen non karkas dan penu-runan persentase komponen non karkas.

Kondisi pemotongan sapi penelitian belum mencapai kondisi pemotongan yang optimal, baik dari segi proporsi maupun rataan bobot potongnya. Proporsi tingkat perlemakan tubuh ideal (kondisi gemuk) sebesar 19.44 % dari total ternak yang diamati. Rataan umum bobot potong sapi kerangka kecil, sedang, dan besar masing-masing yaitu 270.30, 354.78, dan 389.33 kg.

(5)

SUMMARY

MUHAMMAD ISMAIL. Carcass and Non Carcass Productivity of Local Beef Cattle based on Body Fatness Score. Supervised by RUDY PRIYANTO and HENNY NURAINI.

Indonesia has a potentially local beef cattle population which contributes markedly to the national beef production. The main problem of the cattle industry is the diverse condition of cattle fatness slaughtered at the processing plant. The differences in cattle fatness may influence productivity of the local beef cattle.

The study was aimed to evaluate the effect body fatness on carcass and non carcass productivity within each frame size of local beef cattle. This study used 144 male local beef cattle obtained from eighteen slaughter houses within ten provinces in Indonesia. They comprised 48 heads of small frame size cattle (bali and madura cattle), 27 heads of medium frame size cattle (ongole cross and sumba ongole cattle), and 69 heads of large frame size cattle (local crossbreed cattle).

The experiment used Completely Randomized Design. The collected data were then analyzed using analysis of variance and further between treatment differences were tested by Duncan Multiple Range Test.

The results showed that increased body fatness score would be followed by increased slaughter weights, carcass weights, and carcass percentages. The effect of body fatness on weights and percentages of non carcass components showed varying results. Nevertheless, it was suggested that increased fatness score would be followed by increased weights and decreased percentages of non carcass components.

The cattle used in this study have not reached optimal slaughtered point, both in proportion and average slaughter weight. Proportion of ideal body fatness level (fat condition) was 19.44 % from the total animal observed. General average of slaughter weight for small, medium, and large frame size 270.30 kg, 354.78 kg, and 389.33 kg, respectively

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

PRODUKTIVITAS KARKAS DAN NON KARKAS

SAPI POTONG LOKAL BERDASARKAN

TINGKAT PERLEMAKAN TUBUH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)
(11)

Judul Tesis : Produktivitas Karkas dan Non Karkas Sapi Potong Lokal berdasarkan Tingkat Perlemakan Tubuh.

Nama : Muhammad Ismail

NIM : D151114031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Rudy Priyanto Ketua

Dr Ir Henny Nuraini, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr Ir Salundik, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 adalah kajian potensi sapi potong lokal dengan judul Produktivitas Karkas dan Non Karkas Sapi Potong Lokal berdasarkan Tingkat Perlemakan Tubuh.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Rudy Priyanto dan Dr Ir Henny Nuraini, MSi selaku pembimbing, serta Prof Dr Ir Erika Budiarti Laconi, MS dan Dr Ir Salundik, MSi yang telah banyak memberi saran saat pengujian hasil pene-litian tesis. Penghargaan penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal peternakan dan Kesehatan Hewan dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah membantu pendanaan penelitian serta rekan-rekan Tim Survey Karkas Tahun 2012 yang telah membantu pengumpulan data.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Harry Herman Kabul, ibunda Siti Nurjanah, istriku Danirih SPt, kedua anakku Muhammad Aufa Fathurrahman dan Syauqi Khairul Azzam, serta seluruh keluarga besar Harry Herman Kabul dan (Alm.) Tjarwan atas segala do’a dan perhatian yang diberikan kepada penulis. Tak lupa terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh dosen ITP atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan, rekan-rekan Pasca ITP angkatan 2011 dan 2012, staf Laboratorium Ruminansia Besar, dan staf admi-nistrasi Pasca ITP atas dukungan dan kerja samanya selama penulis menye-lesaikan studi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Produktivitas 2

Karkas dan Non Karkas 3

Ukuran Kerangka Tubuh 4

Perlemakan Tubuh 5

3 METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Bahan 7

Alat 7

Prosedur Penelitian 7

Peubah Pengamatan 10

Analisis Data 10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 10

Produktivitas Karkas Sapi Potong Lokal 11

Produktivitas Non Karkas Sapi Potong Lokal 14

Upaya Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Lokal 18

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 20

LAMPIRAN 26

(14)

DAFTAR TABEL

1. Lokasi pengambilan data penelitian 6

2. Pengelompokkan ukuran kerangka sapi potong lokal 7 3. Kriteria kondisi perlemakan tubuh sapi potong 8 4. Produktivitas karkas sapi kerangka kecil berdasarkan perbedaan

ting-kat perlemakan tubuh 11

5. Produktivitas karkas sapi kerangka sedang berdasarkan perbedaan

tingkat perlemakan tubuh 11

6. Produktivitas karkas sapi kerangka besar berdasarkan perbedaan

ting-kat perlemakan tubuh 12

7. Bobot non karkas sapi kerangka kecil berdasarkan perbedaan tingkat

perlemakan tubuh 14

8. Bobot non karkas sapi kerangka sedang berdasarkan perbedaan

ting-kat perlemakan tubuh 15

9. Bobot non karkas sapi kerangka besar berdasarkan perbedaan tingkat

perlemakan tubuh 15

10.Persentase non karkas sapi kerangka kecil berdasarkan perbedaan

tingkat perlemakan tubuh 17

11.Persentase non karkas sapi kerangka sedang berdasarkan perbedaan

tingkat perlemakan tubuh 17

12. Persentase non karkas sapi kerangka besar berdasarkan perbedaan

tingkat perlemakan tubuh 17

DAFTAR GAMBAR

1. Hubungan ukuran kerangka, bobot badan, dan komposisi karkas pada

sapi steer 5

2. Area pengamatan evaluasi kondisi tubuh 6

3. Ternak yang digunakan penelitian 7

4. Derajat perlemakan tubuh pada ternak penelitian 8 5. Teknik pemotongan karkas yang berbeda di lokasi penelitian 9

DAFTAR LAMPIRAN

1. Borang penelitian survei produktivitas karkas dan non karkas sapi

potong lokal 26

2. Hasil analisis ragam produktivitas karkas sapi pada berbagai ukuran

kerangka 27

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan hewani yang sangat pen-ting dan bernilai strategis untuk mencukupi kebutuhan gizi masyarakat. Permin-taan daging sapi senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Ditjen PKH (2012) melaporkan konsumsi daging sapi pada tahun 2011 sebesar 0.417 kg per tahun dengan peningkatan 14.25 % dari tahun sebelumnya yaitu 0.367 kg per kapita per tahun.

Peningkatan konsumsi daging sapi direspon pemerintah dengan mengeluar-kan kebijamengeluar-kan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) Tahun 2014. PSDSK memiliki sasaran yaitu menurunkan impor sapi dan daging hingga 10 % dari kebutuhan konsumsi masyarakat (Kementan 2010).

Populasi sapi potong lokal Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Menurut BPS (2011) populasi sapi potong sebesar 14 824 373 ekor. Komposisi rumpun ternak yang dipelihara yaitu sapi bali sebesar 4 789 521 juta ekor (32.31 %), turunan ongole sebesar 4 281 602 juta ekor (28.88 %), silangan lokal se-besar 1 452 332 ekor (9.80 %), madura sebesar 1 285 690 ekor (8.67 %), serta lain-nya sebesar 3 015 228 ekor (20.34 %). Terkait lokasi penyebaran sebanyak 50.8 % berada di pulau Jawa, 18.38 % di pulau Sumatera, 14.18 % di Bali dan Nusa Tenggara, 12.08 % di pulau Sulawesi, dan 4.68 % tersebar di pulau Kali-mantan, Maluku, dan Papua.

Pemotongan sapi memiliki kecenderungan mengalami peningkatan secara nasional. Tahun 2011 pemotongan sapi mencapai 2.3 juta ekor dengan pening-katan sebesar 8.5 % dibandingkan tahun sebelumnya. Peningpening-katan tingkat pemo-tongan diharapkan beriringan dengan peningkatan produktivitas sapi yang dipo-tong.

Produktivitas sapi yang dipotong di rumah potong hewan dapat diukur dari rataan produksi daging untuk setiap unit ternak yang tercermin pada bobot potong, bobot karkas, dan persentase karkas (Fapet IPB 2012). Pusdatin (2012) mema-parkan bobot potong, bobot karkas, dan persentase karkas sapi potong lokal di In-donesia yaitu 348.14 kg, 180.18 kg, dan 51.54 %.

Permasalahan utama industri daging nasional adalah sangat beragamnya kondisi sapi potong lokal yang dipotong di rumah potong hewan, baik dari segi bangsa, umur, maupun tingkat perlemakan tubuh sapi. Keragaman tersebut diduga mempengaruhi produktivitas sapi potong lokal.

Evaluasi produktivitas sapi dapat dilakukan melalui beberapa metode diantaranya melalui penimbangan, penilaian perlemakan tubuh, dan ukuran ke-rangka. Ketiga metode tersebut merupakan cara evaluasi produktivitas yang relatif mudah dilakukan peternak. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan sepe-rangkat timbangan mekanik maupun digital. Penilaian perlemakan tubuh dila-kukan dengan pengamatan maupun perabaan struktur tulang dan perlemakan. Ukuran kerangka tubuh dilakukan dengan pengukuran tinggi badan sapi.

(16)

2

lokasi penelitian, kajian produktivitas didominasi pada sifat-sifat karkas, jenis rumpun ternak yang digunakan, dan kondisi perlemakan tubuh.

Keterbatasan data produktivitas sapi potong memerlukan suatu penelitian yang lebih komprehensif. Ruang lingkup yang perlu diperluas antara lain meliputi lokasi penelitian, tingkat perlemakan tubuh dari sapi yang dipotong, rumpun ter-nak yang diguter-nakan, serta kajian produktivitas karkas dan non karkas. Berdasar-kan hal tersebut, penelitian ini dilakuBerdasar-kan untuk memperoleh data yang lebih kom-prehensif dan diharapkan dapat dijadikan rujukan penyusunan kebijakan pengem-bangan sapi potong nasional.

Perumusan Masalah

Sapi potong lokal yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia memiliki struktur populasi ternak, karakteristik ukuran kerangka dan tingkat perlemakan tubuh yang khas. Kekhasan tersebut memerlukan kajian produktivitas, baik sifat-sifat karkas maupun non karkas. Tingkat perlemakan tubuh diduga dapat mem-pengaruhi produktivitas karkas dan non karkas pada setiap ukuran kerangka tubuh sapi potong lokal.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh tingkat perlemakan tubuh terhadap produktivitas karkas dan non karkas sapi potong lokal pada berba-gai ukuran kerangka tubuh.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat yaitu memperluas cakupan kajian produk-tivitas sapi potong lokal, sehingga diharapkan dapat melengkapi data penelitian yang telah ada dan dapat dijadikan rujukan penyusunan kebijakan pengembangan sapi potong nasional.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini yaitu melakukan pengamatan produktivitas baik sifat-sifat karkas maupun non karkas yang diperoleh dari beberapa rumah potong hewan (RPH) di Indonesia. Pengelompokkan sapi didasarkan pada ukuran kerangka tubuh, taraf perlakuan yang diuji yaitu tingkat perlemakan tubuh, serta peubah penelitian yang diamati yaitu sifat-sifat karkas dan non karkas.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Produktivitas

(17)

3 (Harmini et al. 2011). Soeparno (2005) mengemukakan bahwa berat karkas, jum-lah daging yang dihasilkan, kualitas daging dari karkas yang bersangkutan, serta potongan karkas yang dapat dijual merupakan faktor-faktor yang menentukan nilai produktivitas seekor ternak.

Penilaian produktivitas ternak bertujuan untuk menentukan kemajuan usaha maupun dasar penetapan strategi usaha yang akan dijalankan (Karnaen dan Arifin 2007). Metode penilaian produktivitas ternak menurut Littler (2007) dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu pendekatan pengamatan, perabaan, dan pengukuran terhadap lokasi kunci dari tubuh ternak hidup. Kriteria kunci yang dapat digu-nakan untuk penilaian produktivitas, yaitu bobot badan, umur, perlemakan tubuh, jenis kelamin, potensi perdagingan, rumpun bangsa, ukuran kerangka, maturitas, kekuatan struktur tubuh, dan temperamen ternak.

Penilaian produktivitas sapi untuk skala industri lebih terbatas, karena in-dustri daging menghindari pemotongan sapi yang berpotensi menghasilkan bobot karkas yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi (Troxel et al. 2009). Sapi yang sangat gemuk akan menurunkan produksi daging yang dapat dijual dan sapi yang sangat kurus akan mempercepat proses pendinginan karkas saat berada di ruang pendingin (McKiernan dan Sundstrom 2006).

Karkas dan Non Karkas

Karkas didefinisikan bagian dari tubuh sapi sehat yang telah disembelih secara halal, telah dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala dan kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor, serta lemak yang berlebih (BSN 2008). Hasil karkas dapat dinyatakan dalam bentuk bobot karkas, persentase karkas, maupun indeks perdagingan (Wiyatna 2007). Selain itu, menu-rut Strydom dan Smith (2005) hasil karkas dapat dinyatakan dalam bentuk kon-formasi karkas (skala 1-5), tingkat kerusakan (skala 1-3), kandungan lemak pada karkas (skala 0-6), dan tingkat umur ternak (skala A, AB, B, atau C).

Komponen utama dari karkas adalah tulang, daging, dan lemak (Aberle et al. 2001; Field dan Taylor 2008). Karakteristik karkas superior menurut Field dan Taylor (2008) yaitu proporsi tulang yang sedikit, proporsi daging (lean) yang tinggi, dan proporsi lemak dalam jumlah yang optimal sesuai permintaan pasar. Faktor yang mempengaruhi persentase karkas yaitu faktor ternak (jenis kelamin, rumpun/bangsa, umur, bobot badan, perlemakan tubuh, perototan, dan status ke-buntingan), golongan negara, luka memar pada karkas, dan prosedur menghasil-kan karkas (McKiernan et al. 2007).

Pada proses pemotongan ternak selain menghasilkan karkas, juga dihasilkan produk ikutan (by-product). Produk ikutan didefinisikan sebagai seluruh bagian tubuh ternak selain karkas yang bernilai ekonomis dan diperoleh dari proses pemotongan dengan nilai kegunaannya kurang dari produk utama (Aberle et al. 2001). Campbell dan Kenney (1994) mengklasifikasikan hasil ikutan dari pangan asal ternak menjadi tiga bagian, yaitu layak dimakan (edible), tidak layak dimakan (inedible), dan farmasi (pharmaceutical).

(18)

4

metabolik (kantung empedu, limpa, jantung, hati, paru-paru, dan ginjal), trim, darah, dan lemak (eksternal, ommental, dan mesenteris). Bagian non karkas yang dapat dikonsumi oleh masyarakat di Indonesia menurut Lestari et al. (2010) yaitu darah, kulit, kepala, ekor, dan organ dalam (hati, jantung, paru-paru, dan saluran pencernaan).

Ukuran Kerangka Tubuh

Ukuran rangka (frame size) didefinisikan sebagai cara spesifik identifikasi tipe kematangan tubuh dan penciri komposisi karkas pada bobot hidup yang sama (Field dan Taylor 2008). Komposisi karkas berupa tebal lemak punggung pada rusuk ke-12 dan ke-13 merupakan indikator tipe kematangan tubuh (Ziegler 2007). Cunningham et al. (2005) menjelaskan lemak punggung dengan ketebalan 13 mm pada karkas sapi berkualifikasi US Choice diperoleh dari bobot potong yang ber-beda.

Ukuran kerangka bangsa sapi diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berda-sarkan pengukuran tinggi pundak atau tinggi panggul (Field 2007). Pengukuran tinggi dilakukan dengan mengukur jarak tertinggi dari pundak/panggul dengan tanah dengan permukaan yang datar, badan berdiri tegak, kaki pada posisi simetris, dan kepala dalam posisi normal (Afolayan et al. 2002). Adapun pembagian ketiga kelompok tersebut yaitu kerangka kecil (dibawah 117.22 cm), sedang (117.22-123.88 cm), dan besar (diatas (117.22-123.88 cm).

McKiernan (2005) dan Littler (2007) mengurai karakteristik dari masing-masing ukuran kerangka adalah sebagai berikut :

a. Sapi kerangka kecil memiliki karakteristik yaitu berbadan dan kaki pendek, potensi kecepatan tumbuh lambat, gemuk pada umur muda (masak dini) dengan bobot potong yang rendah yaitu 200-300 kg, dan target bobot karkas yang diinginkan yaitu 150-200 kg.

b. Sapi kerangka sedang memiliki karakteristik yaitu ukuran tubuh lebih panjang, kecepatan tumbuh relatif lebih cepat, lebih mudah gemuk berbasis rumput dan bijian, umumnya gemuk pada bobot potong sekitar 300-600 kg, dan target bobot karkas yang diinginkan yaitu 200-350 kg.

c. Sapi kerangka besar memiliki karakteristik yaitu tumbuh dengan sangat cepat, sulit gemuk jika hanya berbasis rumput, gemuk pada usia lanjut (masak lambat) dengan bobot potong yang lebih berat yaitu diatas 600 kg, dan target bobot karkas yang diinginkan yaitu diatas 350 kg.

(19)

5

Gambar 1. Hubungan ukuran kerangka, bobot badan, dan komposisi karkas pada sapi steer (Sumber : Field dan Taylor 2008)

Gambar 1 menunjukkan adanya perbedaan komposisi lemak, otot, dan tu-lang untuk kerangka kecil, sedang, dan besar pada bobot hidup yang sama. Bobot potong optimal untuk mendapatkan kombinasi tulang, daging, dan lemak yang sesuai dengan permintaan pasar dari masing-masing ukuran kerangka akan berbeda-beda. Menurut Field dan Taylor (2008), sapi kerangka kecil memiliki bobot potong sekitar 408 kg, kerangka sedang sekitar 498 kg, dan kerangka besar sekitar 589 kg.

Perlemakan Tubuh

Perlemakan tubuh memiliki peran untuk mencocokkan ternak dengan kebu-tuhan pasar. Beberapa pasar mensyaratkan sejumlah lemak tertentu sebagai daya tarik penampilan pada pokok penjualan. Perlemakan tubuh sapi dapat diidentifi-kasi melalui tiga metode, yaitu pengamatan, perabaan, dan pengukuran. Rasby et al. (2007) menyatakan bahwa tingkat perlemakan tubuh dapat dilakukan melalui indikator pengamatan (visual) atau kombinasi pengamatan dan perabaan (palpasi) struktur tulang untuk menghitung perlemakan

Littler (2007) memaparkan secara pengamatan, sapi gemuk dicirikan dengan bagian rusuk tidak terlihat, pangkal ekor terlihat melunak, lemak disekitar ekor meningkat, otot di bagian kaki belakang terlihat berlipat akibat adanya lapisan lemak, dan ternak jarang bergerak. Area kunci yang dapat digunakan untuk estimasi tingkat perlemakan tubuh kondisi tubuh yaitu tulang belakang (tulang processus spinosus dan processus tranversus), pangkal ekor (tail head), tulang duduk (pin bones), tulang rusuk (ribs), tulang dada (brisket), tulang pinggul (hips bones) tulang bahu (shoulder), dan tulang (Parish dan Rhinehart 2008). Adapun ilustrasi dari area pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2.

Metode pengukuran yang dapat digunakan untuk menaksir perlemakan yaitu penggunaan real time ultrasound scanner (Littler 2007). Rachma dan Harada (2010) memaparkan bagian tubuh yang dipindai yaitu di antara rusuk keenam dan ketujuh bagian sisi kiri ternak. Lemak mengisi lapisan diantara kelompok otot dan didepositkan di area non muskular. Pola deposisi lemak dapat dipengaruhi oleh bangsa, jenis kelamin, dan manajemen pemeliharaan (Radunz 2012).

(20)

6

Gambar 2. Area pengamatan evaluasi kondisi tubuh (Parish dan Rhinehart 2008)

3

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap I dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2012 dan tahap II dilakukan pada bulan Mei-Juni-Agustus 2013. Pengum-pulan data dilakukan di 18 unit rumah potong hewan (RPH) yang tersebar di sepu-luh propinsi. Teknik pemilihan lokasi penelitian menggunakan metode purposive random sampling. Rincian lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Lokasi pengambilan data penelitian

No. Propinsi Nama RPH

1. Sumatera Utara a. RPH Kota Medan

b. RPH Kabupaten Karo

2. Lampung RPH Kota Metro

3. Banten a. RPH Bayur Kota Tangerang

b. RPH PT Agrisatwa Kabupaten Tangerang

4. DKI Jakarta RPH PD Darmajaya Kecamatan Cakung

5. Jawa Barat a. RPH PT Elders Kabupaten Bogor

b. UPTD RPH Kota Bogor

c. RPH Cibinong Kabupaten Bogor

6. Jawa Tengah a. RPH Kota Semarang

b. RPH Kota Salatiga

7. Jawa Timur a. RPH PT Surya Jaya Kota Surabaya

b. RPH PD Pegirian Kota Surabaya

8. Nusa Tenggara Barat a. RPH Banyumulek Kabupaten Lombok Barat b. RPH Pototano Kabupaten Sumbawa Barat 9. Kalimantan Selatan RPH Kota Banjarmasin

10. Sulawesi Selatan a. RPH Kota Makasar

b. RPH Kabupaten Gowa

Tulang belakang/Processus spinosus Rusuk :

- Rusuk depan

- Rusuk ruas ke-12 dan 13 Processus transversus

Tulang pinggul

Tulang duduk

Bahu

(21)

7 Bahan

Bahan yang digunakan adalah sapi potong lokal jantan dewasa yang di-tandai dengan adanya perubahan gigi seri minimal satu pasang (I1) sebanyak 144

ekor, terdiri atas 48 ekor sapi kerangka kecil (sapi bali dan madura), 27 ekor sapi kerangka sedang (sapi turunan ongole), dan 69 ekor sapi kerangka besar (sapi silangan lokal). Contoh ternak yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Ternak yang digunakan penelitian : (a) sapi bali, (b) sapi madura, (c) sapi turunan ongole, dan (d) sapi silangan lokal (Sumber : Dokumen-tasi Pribadi)

Alat

Peralatan yang digunakan yaitu seperangkat peralatan rumah potong hewan dan timbangan digital untuk menimbang bobot potong, bobot karkas, dan bobot non karkas.

Prosedur Penelitian

Penentuan Kelompok Ukuran Kerangka

Penentuan kelompik ukuran kerangka sapi potong lokal berdasarkan tinggi badan sapi dewasa hasil pengukuran beberapa penelitian dan kriteria tinggi badan menurut Field (2007). Pengelompokkan ukuran kerangka sapi potong lokal disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengelompokkan ukuran kerangka sapi potong lokal

Ukuran

Kecil < 117.22 Bali 112.55-115.74 Supriyantono et al. (2008) 109.88 Tonbesi et al. (2009) 102.40-108.80 Soares dan Dryden (2011)

106.97 Zurahmah dan The (2011)

Madura 116.20 Setiadi dan Diwyanto (1997)

114.36-115.91 Karnaen dan Arifin (2007) 114.80 Kutsiyah (2012)

Minimal 105 Kementan (2012) Sedang 117.22-123.88 Peranakan

Ongole

123.60-124.10 Hartati et al. (2009)

Besar > 123.88 Silangan

Lokal

128.00 Kutsiyah (2012) 138.54 Prabowo et al. (2012)

(22)

8

Penentuan Tingkat Perlemakan Tubuh

Area penilaian perlemakan tubuh mengacu pada McKiernan dan Sundstrom (2006) yaitu tulang rusuk (os costae), tulang belakang (os vertebratae), tulang panggul (os pelvis), tulang duduk (os ischii), pangkal ekor (os coccigeal), tulang dada (os sternum), dan bagian perut (abdominal). Kriteria tingkat perle-makan tubuh mengacu pada McKiernan dan Sundstrom (2006) dengan skala yang digunakan skala 2-6. Ilustrasi dan penjelasan tingkat perlemakan tubuh dari ternak penelitian dapat dilihat pada Gambar 4 dan Tabel 3.

Gambar 4. Derajat perlemakan tubuh pada ternak penelitian : (a) kurus, (b) se-dang, dan (c) gemuk (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Tabel 3. Kriteria kondisi perlemakan tubuh sapi potong

Katagori Deskripsi

Sangat Kurus

Tidak ada lemak di sekitar pangkal ekor. Tulang belakang lebih bulat, daerah tulang panggul dan rusuk terasa keras, dan tulang rusuk masih dapat terlihat (Skala 2).

Kurus Tulang rusuk membulat dan dapat dirasakan dengan menggunakan tekanan yang kuat untuk membedakan antar bagian. Di sekitar pangkal ekor mulai dapat dirasakan adanya lemak (Skala 3).

Sedang Tulang rusuk tidak teraba. Di sekitar tulang panggul tertutupi lemak. Di sekitar pangkal ekor terdapat gundukan kecil lemak yang terasa lunak saat disentuh (Skala 4).

Gemuk Tulang rusuk tidak teraba dan tampak bergelombang karena adanya lipatan lemak. Pangkal ekor dan tulang panggul hampir tertutupi lemak. Dada dan perut mulai terisi lemak sehingga daerah perut tampak persegi (Skala 5).

Sangat Gemuk

Tulang rusuk tidak teraba dan tampak bergelombang akibat adanya lipatan lemak. Pangkal ekor dan tulang panggul sepenuhnya tertu-tupi lemak. Dada dan perut terisi penuh, sehingga daerah perut tam-pak seperti balok. Mobilitas ternak berkurang (Skala 6).

Keterangan : McKiernan dan Sundstrom (2006) Prosedur Pemotongan dan Pengukuran Peubah

Proses penyembelihan dan pemotongan hingga menjadi karkas mengacu pada SNI mutu karkas dan daging (BSN 2008). Proses penyembelihan dilakukan secara halal dengan memotong bagian leher dekat tulang rahang bawah, sehingga oesophagus, vena jugularis, arteri carotis, dan trachea terpotong sempurna. Setelah sapi mati, proses pemotongan diawali dengan pemotongan kepala yang

(23)

9 dilakukan di antara tulang occipitalis dengan tulang atlas, kemudian ditimbang sebagai bobot kepala dan diamati perubahan gigi seri.

Pemotongan keempat kaki dilakukan diantara tulang carpus dan metacarpus untuk kaki depan, sedangkan untuk kaki belakang dilakukan diantara tulang tar-sus dan metatarsus. Keempat kaki tersebut, kemudian ditimbang sebagai bobot keempat kaki. Pengulitan dilakukan dengan membuat irisan dari anus hingga leher melewati bagian perut dan dada, kemudian dari arah kaki belakang dan kaki depan menuju irisan sebelumnya, kemudian kulit dilepas dan ditimbang sebagai bobot kulit basah. Pemisahan ekor dilakukan paling banyak dua ruas tulang belakang coccygeal terikut pada karkas dan kemudian ditimbang sebagai bobot ekor.

Tahap selanjutnya adalah pengeluaran jeroan (offal). Pengeluaran offal dilakukan dengan pembelahan tulang pubis, dilanjutkan dengan pembelahan abdomen, dan tulang sternum sehingga offal dapat dikeluarkan dengan mudah tanpa mengalami kerusakan atau robek. Offal merah berupa organ-organ meta-bolis meliputi jantung, trakea, paru-paru, ginjal, limpa, dan hati serta offal hijau kosong berupa saluran pencernaan yang telah dikeluarkan isi saluran pencernaan dan dipisahkan dari karkas meliputi esofagus, lambung, usus, dan lemak internal (ommental dan mesenteris). Organ-organ tersebut kemudian ditimbang sebagai bobot offal merah dan bobot offal hijau kosong.

Tahap terakhir yaitu pembelahan karkas dilakukan dengan membelah bagian tubuh sapi menjadi dua atau empat bagian yang simetris kemudian ditimbang sebagai bobot karkas. Fapet IPB (2012) melaporkan di dalam proses menghasil-kan karkas terdapat tujuh macam perbedaan teknik pemotongan. Ketujuh perbe-daan tersebut yaitu (a) pemotongan berdasarkan SNI mutu karkas dan daging sapi, (b) ekor terikut ke dalam karkas, (c) organ ginjal terikut ke dalam karkas, (d) pe-motongan ekor dilakukan mulai dari tulang sacralis bukan dari ruas ketiga tulang caudalis, (e) ekor dan organ reproduksi terikut ke dalam karkas, (f) kaki, paru-paru, jantung, dan ekor terikut ke dalam karkas, dan (g) pemisahan daging dari kerangka tubuh secara langsung (teknik prosot).

Perbedaan-perbedaan tersebut selanjutnya dikoreksi dengan mengacu pada SNI mutu karkas dan daging sapi untuk menghasilkan potongan karkas yang sama. Hal ini harus dilakukan karena menurut McKiernan et al. (2007), prosedur kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi persentase karkas. Contoh ilustrasi dari perbedaan teknik pemotongan disajikan Gambar 5.

Gambar 5. Teknik pemotongan karkas yang berbeda di lokasi penelitian : (a) pe-motongan berdasarkan SNI, (b) ekor terikut karkas, dan (c) teknik prosot (Sumber : Dokumentasi Kegiatan Survey Karkas Tahun 2012)

(24)

10

Peubah Pengamatan

Peubah yang diamati dalam penelitian ini yaitu :

1. Bobot potong. Bobot potong (kg) adalah bobot badan aktual sapi sesaat sebe-lum dipotong (Boggs dan Merkel 1984).

2. Bobot karkas dan persentase karkas. Bobot karkas (kg) adalah bagian dari tubuh sapi sehat yang telah disembelih secara halal, telah dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala dan kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor, serta lemak berlebih (BSN 2008a). Persentase karkas (%) adalah perhitungan berdasarkan perbandingan antara bobot karkas dibagi dengan bobot potong dikali 100 %.

3. Bobot dan persentase non karkas. Bobot non karkas (kg) adalah hasil penimbangan kulit basah, kepala, keempat kaki bawah, ekor, offal merah (hati, trakea, jantung, limpa, paru-paru, ginjal), offal hijau kosong (lambung yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum, serta usus yang telah dibuang dan dibersihkan dari isi saluran pencernaan setelah dipisahkan dari karkas). Persentase non karkas (%) adalah perhitungan berdasarkan perbandingan bo-bot organ-organ non karkas (kulit basah, kepala, ekor, keempat kaki bawah, offal merah, offal hijau kosong) dengan bobot karkas dikalikan 100 %.

Analisis Data

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan pada penelitian ini yaitu perbedaan tingkat perlemakan tubuh pada masing-masing ukuran kerangka sapi lokal jantan yang terdiri atas tiga taraf perlakuan yaitu kurus, sedang, dan gemuk.

Bentuk umum dari model linier aditif rancangan acak lengkap dijelaskan Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut :

Keterangan :

: Nilai pengamatan pada perlakuan tingkat perlemakan tubuh ke-i dan ulangan

ke-j

: Nilai tengah perlakuan (rataan umum)

: Pengaruh perlakuan tingkat perlemakan tubuh ke-i

: Pengaruh acak pada perlakuan kondisi perlemakan ke-i dan ulangan ke-j Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA). Perbedaan antar perlakuan diuji lanjut menggunakan Uji Jarak Ber-ganda Duncan.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

(25)

11 Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan merepresen- tasikan wilayah populasi. Talib dan Noor (2008) menyatakan bahwa pasar industri daging di Indonesia meliputi propinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Kali-mantan Timur, KaliKali-mantan Selatan, dan Sumatera Utara, sedangkan wilayah po-pulasi sapi lokal berasal dari Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.

Pemilihan sapi yang telah mengalami pergantian gigi seri minimal satu pa-sang (I1) didasarkan pada penelitian Pawere et al. (2012) yang menyatakan bahwa

sapi dengan poel 1 (I1) merupakan proporsi tertinggi untuk umur bakalan sapi

potong. Selain itu, pada umur tersebut diharapkan sapi potong lokal telah men-capai tingkat dewasa tubuh, ditandai kecepatan tumbuh komponen tulang me-lambat, sedangkan komponen otot dan lemak tumbuh relatif lebih cepat.

Sapi kerangka besar merupakan tipe kerangka tubuh yang dominan dipotong pada penelitian ini. Tercatat sebesar 69 ekor (47.92 %) merupakan sapi silangan lokal. Tingginya persentase sapi silangan yang mewakili sapi kerangka besar juga dilaporkan Fapet IPB (2012). Besaran proporsi sapi silangan yang dipotong di rumah potong hewan mencapai 59 %. Hal ini karena adanya pergeseran minat peternak. Sapi silangan diyakini peternak memiliki beberapa keunggulan antara lain kemampuan pertambahan bobot badan yang cepat, keuntungan finansial yang didapat peternak lebih tinggi, dan secara sosial dapat mengharumkan nama peternak yang memenangkan kontes ternak (Hadi dan Ilham 2002; Sodiq dan Setianto 2007).

Produktivitas Karkas Sapi Potong Lokal

Produktivitas ternak sebagai indikator kemajuan usaha dapat terlihat dari bobot badan, bobot karkas, maupun persentase karkas yang dihasilkan per satu ekor. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan tingkat perlemakan tubuh mem-pengaruhi produktivitas karkas sapi dengan ukuran kerangka yang berbeda. Pengaruh tingkat perlemakan tubuh terhadap produktivitas sapi pada setiap ukuran kerangka tubuh dapat dilihat pada Tabel 4 hingga Tabel 6.

Tabel 4. Produktivitas karkas sapi kerangka kecil berdasarkan perbedaan tingkat perlemakan tubuh

Peubah pengamatan Tingkat perlemakan tubuh Rataan umum

(n = 48) Kurus (n = 8) Sedang (n = 31) Gemuk (n = 9)

Bobot potong (kg) 213.44+62.92c 264.55+48.01b 340.67+48.32a 270.30+63.07 Bobot karkas (kg) 104.21+39.78c 137.48+29.93b 177.31+24.41a 139.40+37.38 Persentase karkas (%) 47.97+4.27b 51.78+3.27a 52.16+2.99a 51.22+3.64

a

Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Tabel 5. Produktivitas karkas sapi kerangka sedang berdasarkan perbedaan tingkat perlemakan tubuh

Peubah pengamatan Tingkat perlemakan tubuh Rataan umum

(n = 27) Kurus (n = 9) Sedang (n =8) Gemuk (n = 10)

Bobot potong (kg) 293.78+35.91b 305.25+34.73b 449.30+47.53a 354.78+83.56 Bobot karkas (kg) 150.04+18.53b 157.27+14.62b 240.82+28.03a 185.80+47.88 Persentase karkas (%) 51.12+3.21a 51.65+2.50a 53.57+1.69a 52.19+2.66

a

(26)

12

Tabel 6. Produktivitas karkas sapi kerangka besar berdasarkan perbedaan tingkat perlemakan tubuh

Peubah pengamatan Tingkat perlemakan tubuh Rataan umum

(n = 69) Kurus (n = 12) Sedang (n = 48) Gemuk (n = 9)

Bobot potong (kg) 348.83+71.40b 382.30+59.26b 480.78+59.00a 389.33+71.36 Bobot karkas (kg) 184.47+41.27b 201.81+31.84b 254.77+32.76a 205.70+38.88 Persentase karkas (%) 52.74+2.01a 52.80+2.63a 53.01+2.59a 52.82+2.49

a

Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Bobot Potong dan Bobot Karkas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat perlemakan tubuh memiliki pengaruh nyata terhadap bobot potong dan bobot karkas. Semakin baik tingkat perlemakan tubuh (kondisi gemuk), maka bobot potong dan bobot karkasnya semakin tinggi. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan secara struktural berupa peningkatan jumlah maupun luasan jaringan tubuh meliputi jaringan tulang, otot, lemak, organ-organ vital, dan jaringan terkait lainnya (Aberle et al. 2001). Peningkatan pada jaringan tulang, otot, dan lemak sebagai komponen karkas mengakibatkan peningkatan bobot potong senantiasa diikuti dengan peningkatan bobot karkas.

Rataan umum bobot potong sapi kerangka kecil, sedang, dan besar berdasar-kan Tabel 4 hingga Tabel 6 belum mencapai bobot potong yang optimal. Rataan umum bobot potong sapi kerangka kecil yaitu 270.30 kg (Tabel 4). Bobot ini berpeluang ditingkatkan mencapai bobot optimal yang direpresentasikan bobot potong kondisi gemuk yaitu 340.67 kg. Hasil ini ditunjang penelitian Yosita et al. (2012) dan Halomoan et al. (2001). Yosita et al.(2012) melaporkan sapi bali yang digemukkan secara intensif menghasilkan bobot potong sebesar 344.60 kg, se-dangkan Halomoan et al. (2001) melaporkan bobot potong optimal sapi madura untuk memenuhi kebutuhan pasar tradisional yaitu 338.07 kg. Bahkan, sapi bali jantan dewasa menurut Talib et al. (2002) memiliki potensi hingga bobot 395 kg.

Sapi kerangka sedang memiliki kondisi yang serupa dengan sapi kerangka kecil. Rataan umum bobot potong sapi kerangka sedang berdasarkan Tabel 5 yaitu 354.78 kg. Bobot ini berpeluang ditingkatkan mencapai 395.66 kg (Carvalho et al. 2010), 407.27 kg (Halomoan et al. 2001), 449.30 kg (rataan bobot potong kondisi gemuk), bahkan hingga mencapai 486.90 kg (Santi 2008).

Sapi kerangka besar memiliki pola yang berbeda dengan sapi kerangka kecil maupun kerangka sedang. Bobot potong dari rataan umum dan rataan kondisi gemuk sebesar 389.33 kg dan 480.78 kg (Tabel 6) masih dibawah potensi optimal seperti yang dilaporkan Santi (2008) dan Prabowo et al. (2012). Santi (2008) me-laporkan bahwa sapi silangan lokal memiliki potensi bobot potong mencapai 565.77 kg. Prabowo et al. (2012) melaporkan bobot potong sapi silangan lokal mampu mencapai bobot sebesar 714 kg melampaui bobot potong yang dilaporkan Santi (2008).

(27)

13 240.82 kg. Akan tetapi pola tersebut tidak tampak pada sapi kerangka besar. Baik rataan umum bobot karkas maupun rataan kondisi gemuk yaitu 205.70 dan 254.77 kg, keduanya masih berada dibawah bobot ideal yaitu diatas 350 kg. Target ideal dapat dicapai pada bobot potongnya mencapai 714 kg, yaitu 401 kg (Prabowo et al. 2012).

Kondisi bobot potong maupun bobot karkas belum mencapai kondisi opti-mal dikarenakan sebagian besar pelaku usaha peternakan sapi potong di Indone-sia merupakan peternak rakyat. Data BPS (2011) menunjukkan 99.809% dari 5.7 juta pelaku usaha merupakan peternak rakyat, 0.004 % merupakan perusahaan berbadan hukum, 0.175 % merupakan pedagang, dan 0.012 % pelaku usaha lain-nya seperti koperasi, yayasan, pesantren, lembaga penelitian, sekolah, dan seba-gainya. Ciri khas peternak rakyat yaitu (a) skala usaha relatif kecil (b) merupakan usaha rumah tangga (c) penerapan manajemen dan teknologi pemeliharaan masih konvensional, (d) seringkali ternak digunakan sebagai sumber tenaga kerja dan tabungan, (e) penguasaan lahan hijauan makanan ternak terbatas dan kebanyakan masih tergantung pada musim, dan (f) sistem penjualan ternak bersifat insidental saat membutuhkan dana tunai seperti menutupi biaya sekolah anak, biaya kesehatan, biaya awal musim tanam, dan kebutuhan lainnya (Yusdja dan Ilham 2006; Harmini et al. 2011).

Persentase Karkas. Hasil penelitian menunjukkan kondisi perlemakan tubuh berpengaruh nyata (p<0.05) hanya pada sapi kerangka kecil, sedangkan pada sapi kerangka sedang dan besar tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (p>0.05). Hal ini dikarenakan secara statistik jarak antar rataan yang cukup dekat dengan keragaman data yang cukup tinggi pada masing-masing kondisi perlemakan. Khusus keragaman data yang tinggi, faktor penilaian evaluator dan perlakuan sebelum penyembelihan diduga mempengaruhi data persentase karkas.

Evaluator yang terlatih dapat meningkatkan akurasi penilaian kondisi perle-makan tubuh yang cenderung bersifat subjektif (Neary danYager 2002). Sehingga, alternatif penilaian perlemakan yang lebih objektif seperti penggunaan real time ultrasound scanner dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi data (Littler 2007). Metode lainnya yang dapat digunakan untuk evaluasi kondisi perlemakan yaitu X-ray and computerized tomography (CT), nuclear magnetic resonance (NMR), dan video image analysis (Lawrence dan Fowler 2002)

Faktor perlakuan sebelum penyembelihan erat kaitannya dengan pemuasaan sapi. Pemuasaan sapi sebelum disembelih bertujuan selain untuk mempermudah proses penyembelihan, juga berperan memperoleh bobot tubuh kosong (empty bo-dy weight) yaitu bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kandung kemih, dan isi saluran urinaria (Williamson dan Payne 1993; Hafid dan Rugayah 2009). Hafid dan Rugayah (2009) melaporkan terjadi penurunan bobot badan sebesar 1.32-3.18 % pada sapi bali yang mendapatkan perlakuan pemuasaan selama 12-24 jam. McKiernan et al. (2007) memaparkan sapi yang dipuasakan selama 16 jam menunjukkan adanya penurunan bobot badan 8 % tetapi persentase karkasnya meningkat hingga 4 %.

(28)

14

Rataan persentase karkas pada masing-masing ukuran kerangka maupun kondisi perlemakan tubuh diatas 50 %, kecuali kondisi kurus pada sapi kerangka kecil sebesar 47.97 %. Rataan maksimal persentase karkas tercapai pada kondisi gemuk, yaitu 52.16 %, 53.57 %, dan 53.01 % untuk masing-masing sapi kerangka kecil, sedang, dan besar.

Persentase karkas berdasarkan rataan umum dan komparasi dengan bebe-rapa hasil penelitian dapat dibagi menjadi dua kondisi, yaitu telah mencapai kon-disi optimal dan berpotensi untuk ditingkatkan. Sapi kerangka sedang, persentase karkasnya telah mencapai kondisi optimal, sedangkan sapi kerangka kecil dan besar persentase karkasnya berpotensi untuk ditingkatkan.

Persentase karkas sapi kerangka sedang dikatagorikan telah mencapai kon-disi optimal dikarenakan memiliki rataan persentase yang relatif lebih baik dari pada rataan persentase karkas ukuran kerangka yang sama seperti dilaporkan Nga-diyono et al. (2008) dan Nusi et al. (2011) yaitu 50.69 % dan 51.27 %. Persentase karkas sapi kerangka kecil berpotensi ditingkatkan berdasarkan penelitian Tonbesi et al. (2009), Saka et al. (1997), dan Leo et al. (2012) yaitu 53.94 %, 54.40 %, dan 59.02 %. Persentase karkas sapi kerangka besar berpotensi ditingkatkan berdasar-kan penelitian Santi (2008) yaitu 56.95 %. Peningkatan persentase karkas dapat diperoleh melalui perbaikan manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan kon-sentrat yang mengandung energi tinggi (Ngadiyono 2004).

Produktivitas Non Karkas Sapi Potong Lokal

Hasil pemotongan ternak akan menghasilkan dua bagian utama yaitu karkas dan non karkas. Evaluasi produktivitas non karkas meliputi evaluasi bobot dan persentase non karkas, baik total maupun komponen non karkas. Komponen non karkas yang dievaluasi meliputi kepala, kulit basah, keempat kaki bawah, ekor, offal merah, dan offal hijau kosong.

Bobot Non Karkas. Bobot non karkas merupakan bagian dalam penilaian produktivitas ternak karena beberapa komponennya merupakan bahan pangan yang disukai masyarakat dan bernilai ekonomi tinggi (Lestari et al. 2010). Data Ditjen PKH (2012) mencatat volume importasi dan nilai ekonomis dari produk non karkas pada tahun 2011 mencapai 37 827 949 kg dan USD 87 154 225. Pengaruh perlemakan tubuh terhadap produktivitas bobot non karkas sapi potong lokal dapat dilihat pada Tabel 7 hingga Tabel 9.

Tabel 7. Bobot non karkas sapi kerangka kecil berdasarkan perbedaan tingkat per-lemakan tubuh

a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf uji 5% (Uji Jarak Berganda Duncan) Bobot non karkas

(kg)

Tingkat perlemakan tubuh Rataan umum

(n = 48) Kurus (n = 8) Sedang (n = 31) Gemuk (n = 9)

Kulit Basah 13.90+3.16c 20.00+4.26b 26.94+3.25a 20.28+5.51

Kepala 13.89+3.97b 15.37+2.97b 19.97+3.40a 15.99+3.74

Offal Merah 5.45+2.24c 8.14+2.19b 10.00+0.92a 8.04 + 2.42

Offal Hijau Kosong 11.63+3.92b 14.83+3.56a 15.93+3.74a 14.50+3.83

Keempat Kaki 4.99+0.94c 5.98+1.19b 7.09+0.36a 6.02+1.21

Ekor 0.86+0.22a 0.69+0.33a 0.63+0.08a 0.71+0.29

(29)

15 Tabel 8. Bobot non karkas sapi kerangka sedang berdasarkan perbedaan tingkat

perlemakan tubuh

a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf uji 5%

Tabel 9. Bobot non karkas sapi kerangka besar berdasarkan perbedaan tingkat perlemakan tubuh

a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf uji 5%

Hasil analisis statistik pada Tabel 7 hingga Tabel 9 menunjukkan semakin baik tingkat perlemakan tubuh yang diindikasikan dengan peningkatan bobot po-tong, maka bobot komponen maupun bobot total non karkas akan semakin me-ningkat (p<0.05). Hasil tersebut dikuatkan Liasari (2007) yang melaporkan bahwa sapi dengan bobot potong yang lebih tinggi akan menghasilkan organ non karkas yang semakin tinggi. Pertambahan bobot non karkas, pada kondisi perlemakan tubuh gemuk erat kaitannya dengan akumulasi nutrisi (Warriss 2000; Lestari et al. 2010) dan perubahan struktural jaringan tubuh (Aberle et al. 2001).

Kulit merupakan komponen non karkas yang diambil dari permukaan tubuh ternak, sehingga luasan kulit dapat menjadi indikator luas permukaan tubuh ternak. Bobot kulit basah meningkat seiring dengan peningkatan tingkat perlemakan tubuh dan bobot potong karena adanya perluasan jaringan kulit yang semakin membesar. Penambahan jaringan tersebut mengakibatkan bobot kulit bertambah berat, deposisi lemak semakin maksimal, dan bobot potong semakin besar. Pe-ningkatan tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hudallah et al. (2007).

Kepala merupakan salah satu komponen non karkas eksternal yang memiliki rataan bobot terbesar. Penyusun utama bobot kepala yaitu tulang, daging variasi, dan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bobot kepala mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan tingkat perlemakan tubuh. Hal ini berkenaan adanya penambahan luasan dan jumlah jaringan penyusun kepala, terutama lemak dan

Bobot non karkas (kg)

Tingkat perlemakan tubuh Rataan umum

(n = 27) Kurus (n = 9) Sedang (n = 8) Gemuk (n = 10)

Kulit Basah 28.19 + 4.53b 28.90 + 3.54b 34.65 + 6.11a 30.79 + 5.64

Kepala 15.63+2.85b 16.88+2.22ab 18.95+2.25a 17.23+2.77

Offal Merah 10.91+4.42b 9.37+2.44b 19.75+5.61a 13.73+6.41

Offal Hijau Kosong 15.17+4.46b 13.26+2.99b 22.47+6.01a 17.31+6.16

Keempat Kaki 8.06+0.82b 7.92+1.31b 9.31+0.78a 8.48+1.14

Ekor 0.96+0.24b 0.90+0.18b 1.19+0.20a 1.03+0.24

Total 78.92+12.76b 77.24+7.11b 106.33+16.37a 88.57+18.69

Bobot non karkas (kg)

Tingkat perlemakan tubuh Rataan umum

(n = 69) Kurus (n = 12) Sedang (n = 48) Gemuk (n = 9)

Kulit Basah 28.54+5.65b 30.24+5.98b 41.09+7.95a 31.36+7.22

Kepala 18.53+2.95b 20.10+3.28b 22.63+2.33a 20.16+3.28

Offal Merah 12.13+2.20b 13.33+3.51b 22.78+8.82a 14.35+5.43

Offal Hijau Kosong 22.84+4.57b 22.82+6.53b 28.30+4.40a 23.54+6.22

Keempat Kaki 8.50+1.23b 9.42+2.09b 12.11+2.01a 9.61+2.19

Ekor 1.04+0.19b 1.22+0.23a 1.37+0.20a 1.21+0.24

(30)

16

daging variasi. Daging variasi yang terdapat pada bagian kepala menurut yaitu otak, lidah, bibir (lips), daging pipi (cheek), dan kelenjar thymus (Aus-Meat 1998; Aberle et al. 2001).

Offal merah merupakan komponen non karkas yang sebagian besar terletak di rongga dada dan erat kaitannya dengan fungsi metabolisme tubuh. Semakin tinggi bobot tubuh sapi, maka bobot offal merah semakin berat.

Offal hijau kosong merupakan komponen non karkas yang tersusun atas saluran pencernaan dan dinamika bobotnya erat kaitan dengan aspek nutrisi. Bobot offal hijau kosong meningkat pada tingkat perlemakan tubuh gemuk erat kaitannya dengan jenis pakan yang dikonsumsi. Sapi dengan tingkat perlemakan tubuh gemuk diduga mengkonsumsi pakan yang berserat lebih tinggi diban-dingkan sapi dengan tingkat perlemakan tubuh sedang dan kurus. Suhubdy (2007) menyatakan bahwa ternak yang mengkonsumsi pakan berserat tinggi memiliki kapasitas lambung yang lebih besar. Selain itu, sapi dengan tingkat perlemakan gemuk memiliki cadangan energi berupa deposit lemak mesenterium dan omen-tum yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan sapi pada tingkat perlemakan sedang dan kurus. Aberle et al. (2001) menerangkan bahwa jaringan adiposa akan terus berkembang selama ternak tersebut dalam masa pertumbuhan hingga dewasa. Keempat kaki merupakan bagian alat gerak (ekstrimitas) depan dan belakang dari suatu ternak. Bobot keempat kaki bawah pada tingkat perlemakan tubuh gemuk merupakan bobot tertinggi dibandingkan kedua status lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan adanya peningkatan jumlah dan luasan jaringan tulang dan fungsi dari kaki sebagai penopang tubuh ternak agar aktivitas ternak ber-langsung normal.

Ekor merupakan komponen non karkas yang berada dibagian belakang (dorsal) dari tubuh sapi dan berfungsi sebagai mekasime perlindungan diri dari gangguan parasit eksternal seperti lalat. Ekor tersusun atas tulang, lemak, dan daging variasi. Bobot ekor pada tingkat perlemakan tubuh gemuk memiliki bobot yang tinggi erat kaitannya dengan penambahan jumlah dan luasan jaringan, ter-utama jaringan daging dan lemak. Penambahan kedua komponen tersebut meng-akibatkan peningkatan organ ekor berupa penambahan ukuran dimensi maupun bobot ekor.

Persentase Non Karkas. Persentase non karkas merepresentasikan proporsi relatif komponen non karkas terhadap bobot karkas. Pemilihan bobot karkas dika-renakan bobot karkas telah mengalami proses standarisasi. Berbeda dengan bobot potong, pada penelitian ini terdapat keragaman data bobot potong sebagai akibat dari tidak sama perlakuan sebelum pemotongan yang dilakukan jagal.

(31)

dibanding-17 kan bobot hidup. Adapun efek pengaruh tingkat perlemakan tubuh terhadap per-sentase non karkas sapi potong lokal dapat dilihat pada Tabel 10 hingga Tabel 12. Tabel 10. Persentase non karkas sapi kerangka kecil berdasarkan perbedaan

tingkat perlemakan tubuh

a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf uji 5%

Tabel 11. Persentase non karkas sapi kerangka sedang berdasarkan perbedaan tingkat perlemakan tubuh

a

Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Tabel 12. Persentase non karkas sapi kerangka besar berdasarkan perbedaan tingkat perlemakan tubuh

a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf uji 5%

Hasil analisis yang disajikan Tabel 10 hingga Tabel 12, data memperlihat-kan kecenderungan bahwa semakin baik tingkat perlemamemperlihat-kan tubuh, maka persen-tase komponen dan total non karkas akan semakin menurun (p<0.05). Hal ini

ka-Persentase non karkas (%)

Tingkat perlemakan tubuh Rataan umum

(n = 48) Kurus (n = 8) Sedang (n = 31) Gemuk (n = 9)

Kulit Basah 14.10+2.81a 14.80+2.67a 15.35+1.96a 14.79+2.55

Kepala 13.72+1.46a 11.39+1.77b 11.28+1.28b 11.76+1.84

Offal Merah 5.22+0.94a 6.03+1.57a 5.71+0.70a 5.83+1.37

Offal Hijau Kosong 11.34+0.96a 10.99+2.37ab 9.11+2.35b 10.69+2.29

Keempat Kaki 5.09+1.05a 4.41+0.67b 4.09+0.80b 4.46+0.81

Ekor 0.86+0.09a 0.49+0.15b 0.36+0.06c 0.53+0.20

Total 50.33+5.55a 48.11+5.37a 45.90+4.68a 48.06+5.34

Persentase non karkas (%)

Tingkat perlemakan tubuh Rataan umum

(n = 27) Kurus (n = 9) Sedang (n = 8) Gemuk (n = 10)

Kulit Basah 18.89+2.77a 18.41+2.03a 14.51+2.82b 17.12+3.23

Kepala 10.37+1.11a 10.76+1.28a 7.96+1.31b 9.59+1.75

Offal Merah 7.13+2.37ab 5.94+1.23b 8.20+2.08a 7.18+2.12

Offal Hijau Kosong 10.01+2.11a 8.50+2.14a 9.27+1.91a 9.29+2.06

Keempat Kaki 5.44+0.80a 5.05+0.76a 3.90+0.47b 4.75+0.95

Ekor 0.64+0.12a 0.57+0.08ab 0.50+0.08b 0.57+0.11

Total 52.47+3.95a 49.24+3.53a 44.33+6.40b 48.50+5.89

Persentase non karkas (%)

Tingkat perlemakan tubuh Rataan umum

(n = 69) Kurus (n = 12) Sedang (n = 48) Gemuk (n = 9)

Kulit Basah 15.65+1.95a 15.01+1.97a 16.14+2.65a 15.27+2.07

Kepala 10.21+1.25a 10.03+1.21a 9.02+1.51b 9.93+1.29

Offal Merah 6.64+0.59b 6.62+1.49b 8.97+3.30a 6.93+1.87

Offal Hijau Kosong 12.52+1.79a 11.26+2.63a 11.17+1.65a 11.47+2.42

Keempat Kaki 4.71+0.66a 4.69+0.87a 4.77+0.68a 4.70+0.80

Ekor 0.57+0.07a 0.62+0.13a 0.54+0.11a 0.60+0.12

(32)

18

rena setiap organ pada masing-masing ukuran kerangka tubuh memiliki pola pertumbuhan diferensial (differential growth) dan komponen non karkas merupa-kan tipe pertumbuhan masak dini (Ngadiyono et al. 2001; Hudallah et al. 2007; Likadja 2009; Widiarto et al. 2009; Lestari et al. 2010).

Organ-organ tipe pertumbuhan masak dini ditandai dengan kecepatan tum-buh cepat di awal fase pertumtum-buhan, kemudian melambat seiring mencapai fase dewasa tubuh. Saat sapi mencapai kedewasaan tubuh yang ditandai dengan pe-ningkatan komponen karkas (tulang, daging, dan lemak), maka persentase non karkasnya semakin menurun.

Upaya Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Lokal

Produktivitas sapi penelitian belum mencapai kondisi optimal. Proporsi tingkat perlemakan tubuh ideal (kondisi gemuk) pada penelitian sebesar 19.44 %, sedangkan, proporsi tingkat perlemakan sedang dan kurus sebesar 60.42 % dan 20.14 %. Tingginya proporsi sedang dilaporkan Prabowo et al. (2012) dan Sodiq dan Budiono (2012).

Hasil penelitian Prabowo et al. (2012), sapi yang dibudidayakan peternak memiliki rataan tingkat perlemakan tubuh sebesar nilai 3.87 (sedang-gemuk). Sodiq dan Budiono (2012) menyatakan bahwa kondisi tubuh sapi potong yang dominan terjadi pada pemeliharaan kelompok tani ternak di lima kabupaten di Jawa Tengah yaitu kondisi kurus untuk sapi peranakan ongole dan sumba ongole serta kondisi sedang untuk sapi peranakan simmental dan charolais.

Perbaikan sistem produksi berupa pemanfaatan sumber pakan lokal dan penguatan kelembagaan kelompok tani berperan sebagai penunjang keberhasilan usaha penggemukan dan pemberdayaan ekonomi peternak (Sodiq dan Setianto 2007). Pemanfaatan sumber pakan lokal diharapkan dapat menunjang kegiatan penggemukkan sapi potong lokal dan meningkatkan produktivitas ternaknya.

Berdasarkan hasil penelitian ini, sapi kerangka kecil terdapat selisih bobot potong antara kondisi gemuk dengan kondisi sedang dan kurus sebesar 76.12-127.33 kg atau peningkatannya setara dengan 28.77-59.61 %. Sapi kerangka se-dang terdapat selisih bobot potong antara kondisi gemuk dengan kondisi sese-dang dan kurus sebesar 144.05-155.52 kg atau peningkatannya setara dengan 47.19-52.94 %. Sapi kerangka besar terdapat selisih bobot potong antara kondisi gemuk dengan kondisi sedang dan kurus sebesar 98.48-131.95 kg atau peningkatannya setara dengan 25.76-37.83 %.

Penguatan kelembagaan kelompok tani ditujukan memangkas rantai perda-gangan daging sapi yang sangat panjang. Menurut Ilham dan Yusdja (2004), Winarso (2004), dan MB IPB (2013) pelaku usaha yang terlibat dalam perda-gangan daging sapi yaitu peternak, bandar/ belantik, pedagang pengumpul lokal (desa dan kecamatan), pedagang pengumpul besar (antar daerah), pedagang antar propinsi, jagal/pemotong/pedagang daging besar (wholesaler), pengecer daging sapi, dan konsumen. Panjangnya rantai usaha berpotensi menurunkan produk-tivitas sapi potong berupa penyusutan bobot hidup akibat perpindahan maupun perbedaan manajemen penanganan ternak di masing-masing lokasi pelaku usaha.

(33)

po-19 pulasi berjarak relatif jauh dan didominasi oleh perdagangan antar pulau menye-babkan potensi penyusutan bobot badan cukup tinggi. Ilham dan Yusdja (2004) melaporkan persentase penyusutan bobot badan sapi mencapai 9-12 %. Perbaikan infrastruktur seperti pelabuhan antar propinsi dan antar pulau, penyediaan fasilitas karantina ternak yang baik, perbaikan sarana jalan di daerah sentra populasi, dan penataan kembali moda transportasi kereta api dan kapal laut diharapkan dapat menunjang pengangkutan ternak dan meminimalkan penyusutan bobot badan.

Penentuan harga (pricing) perlu diperbaiki karena diduga menjadi faktor yang memotivasi peternak untuk meningkatkan produktivitas. Di Indonesia sistem penentuan harga berdasarkan penafsiran ternak hidup, bobot badan, dan bobot karkas. Teknik penafsiran ternak hidup, penentuan harga berdasarkan performa ternak, bersifat subjektif, sangat mengandalkan pengalaman dari peternak maupun pedagang dan berpotensi besar terjadi penyimpangan dalam penentuan harga (Suarda 2009).

Sistem penentuan harga berdasarkan bobot badan dan bobot karkas mere-presentasikan penentuan harga secara objektif karena dilakukan melalui penim-bangan. Namun demikian, kedua cara tersebut terdapat kekurangan. Penentuan harga berbasis bobot potong sangat dipengaruhi kondisi isi saluran pencernaan, isi kandung kemih, dan isi saluran urinaria saat penimbangan (McKiernan et al. 2007; Hafid dan Rugayah 2009). Sedangkan, penentuan harga berbasis bobot karkas terdapat kendala pada komponen daging yang memiliki nilai komersial yang sangat tinggi. Tulang dan lemak tidak dapat dijual secara komersial, kecuali sebagian kecil yang bernilai komersial seperti T-bone steak, iga panggang (rib roast), dan beberapa lemak yang ikut terjual bersamaan dengan otot (McIntyre 2004). Sistem penentuan harga alternatif yang dapat digunakan yaitu berbasis saleable beef yield dan estimated lean meat yield.

Terminologi saleable beef yield menurut Johnson et al. (1990) merupakan otot (lean) dan sejumlah lemak yang memiliki nilai komersial dalam perdagangan daging. Saleable beef yield dapat dinyatakan dalam bentuk bobot maupun persen.

Persentase daging yang dapat dijual dapat digunakan untuk mengetahui pro-porsi relatif dari otot, lemak, dan tulang yang dihasilkan seekor sapi. Propro-porsi relatif ketiga komponen tersebut menurut McIntyre (2004) yaitu otot sekitar 40-70 %, lemak sekitar 10-50 %, dan tulang sekitar 10-20 %. Dari ketiga komponen tersebut, komponen lemak yang harus dikendalikan oleh produsen. Peningkatan proporsi lemak mengakibatkan penurunan proporsi otot dan tulang.

Kendala utama dari penentuan harga berdasarkan saleable beef yield yaitu masih terdapat sejumlah lemak dan beberapa kasus terdapat tulang dalam jumlah kecil. Upaya mengatasi kendala tersebut yaitu menggunakan pendekatan esti-mated lean meat yield (ELMY). Terminologi estimated lean meat yield menurut Johnson dan Priyanto (1992) yaitu total komponen otot karkas yang diperoleh dari proses pemisahan (dissection) daging dari komponen lemak sub kutan, lemak intermuskular, dan jaringan ikat. ELMY dinyatakan dalam bentuk persentase. Perhitungan persentase ELMY menggunakan pendekatan regresi dari peubah tebal lemak P8 (P8 fat thickness/P8) dan bobot setengah karkas panas (hot side weight).

(34)

20

perbaikan lingkungan (Ngadiyono 2004). Luaran dari kegiatan tersebut yaitu menghasilkan sapi potong lokal yang adaptif dengan kondisi Indonesia namun memiliki kecepatan tumbuh yang relatif cepat.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Tingkat perlemakan tubuh yang semakin baik dari kondisi kurus menjadi kondisi sedang dan gemuk, mengakibatkan bobot potong, bobot karkas, dan persen-tase karkas akan semakin meningkat. Pengaruh kondisi perlemakan tubuh terhadap bobot dan persentase non karkas menunjukkan hasil yang bervariasi. Walaupun demi-kian, semakin baik tingkat perlemakan tubuh, bobot komponen non karkas semakin meningkat sedangkan persentase komponen non karkas semakin menurun.

Kondisi pemotongan sapi penelitian belum mencapai kondisi pemotongan yang optimal, baik proporsi maupun rataan umum bobot potong. Proporsi kondisi perlemakan tubuh yang ideal (kondisi gemuk) sebesar 19.44% dari total ternak yang diamati. Rataan umum bobot potong sapi kerangka kecil, sedang, dan besar masing-masing yaitu 270.30, 354.78, dan 389.33 kg.

Saran

Sapi potong lokal yang dipotong di rumah potong hewan disarankan me-lakukan penundaan pemotongan melalui aktivitas penggemukan yang terintegrasi dengan potensi pakan lokal dan penguataan kelembagaan petani. Penggunaan metode objektif disarankan digunakan dalam proses penentuan tingkat perle-makan tubuh. Perlu adanya penyeragaman manajemen kerja di rumah potong hewan untuk mendapatkan potongan karkas yang sama dan memudahkan evaluasi produktivitas. Perlu adanya penelitian lanjutan terkait distribusi daging, tulang, dan lemak pada masing-masing ukuran kerangka dan tingkat perlemakan tubuh sehingga dapat membantu pelaku usaha mendefinisikan tingkat perlemakan tubuh kurus, sedang, dan gemuk.

DAFTAR PUSTAKA

Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, Mills EW. 2001. Principle of Meat Science. Edisi ke-5. Iowa (US) : Kendall/Hunt.

Afolayan RA, Deland MPB, Rutley DL, Bottema CDK, Ewers AL, Ponzoni RW, Pitchford WS. 2002. Prediction of carcass meat, fat and bone yield across diverse cattle genotypes using live-animal measurements. Anim. Prod. Aust. 24: 13-16.

[Aus-Meat] Aus-Meat Limited. 1998. Handbook of Australian Meat. Edisi ke-6. Sydney (AU) : Australian Meat and Livestock Corporation.

(35)

21 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan

Kerbau 2011 (PSPK 2011). Jakarta (ID) : Badan Pusat Statistik.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2008. [SNI] Standarisasi Nasional Indonesia Nomor 3932 : 2008 tentang Mutu Karkas dan Daging Sapi. Jakarta (ID) : Badan Standarisasi Nasional.

Campbell RE, Kenney PB. 1994. Edible by-products from the production and processing of muscle foods. Di dalam : Kinsman DM, Kotula AW, Breidenstein BC, editor. Muscle Food. New York (US) : Chapman & Hall. Carvalho MC, Soeparno, Ngadiyono N. 2010. Pertumbuhan dan produksi karkas

sapi peranakan ongole dan simmental peranakan ongole jantan yang dipelihara secara feedlot. Buletin Peternakan 34(1): 38-46.

Cunningham M, Latour MA, Acker D. 2005. Animal Science and Industry. Edisi ke-7. New Jersey (US) : Pearson Prentice Hall.

[Ditjen PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Statsitik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID) : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

[Fapet IPB] Fakultas Peternakan Insitut Pertanian Bogor. 2012. Laporan Kegiatan: Survey Karkas 2012. Bogor (ID) : Fakultas Peternakan Insitut Pertanian Bogor.

Field TG. 2007. Beef Production and Management Decisions. Edisi ke-5. New Jersey (US) : Pearson Prentice Hall.

Field TG, Taylor RE. 2008. Scientific Farm Animal Production. Edisi ke-9. New Jersey (US) : Pearson Prentice Hall.

Hadi PU, Ilham N. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 21 (4):148-157.

Hafid H, Rugayah N. 2009. Persentase karkas sapi bali pada berbagai berat badan dan lama pemuasaan sebelum pemotongan. Di dalam : Sani Y, Natalia L, Brahmantiyo B, Puastuti W, Sartika T, Nurhayati, Anggraeni A, Matondang RH, Martindah E, Estuningsih SE, editor. Prosiding Seminar Nasional Tek-nologi Peternakan dan Veteriner 2009. Hal. 77-85.

Halomoan, F, Priyanto, R, Nuraini, H. 2001. Karakteristik ternak dan karkas sapi untuk kebutuhan pasar tradisional dan pasar khusus. Media Peternakan 24(2):12-17.

Harmini, Asmarantaka RW, Atmakusuma J. 2011. Model dinamis sistem keter-sediaan daging sapi nasional. Jurnal Ekonomi Pembangunan 12(1): 128-146. Hartati, Sumadi, Hartatik T. 2009. Identifikasi karakteristik genetik sapi

peranakan ongole di peternakan rakyat. Buletin Peternakan 33(2): 64-73. Haryoko I, Suparman P. 2009. Evaluation of carcass production of PO cattle

based on heart girth measurement, body condition score, and slaughter weight. Animal Production 11(1):28‐33.

(36)

22

Ilham N, Yusdja Y. 2004. Sistem transportasi perdagangan ternak sapi dan implikasi kebijakan di Indonesia [ulasan]. Analisis Kebijakan Pertanian 2(1):37-53.

Johnson ER, Meehan DP, Taylor DG, Ferguson DM. 1990. The validity of using saleable beef yield in the scientific assessment of carcass merit. Proc.Aust. Soc. Anim. Prod. 18:256-259.

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Keputusan Menteri Pertanian Re-publik Indonesia Nomor 19/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta (ID) : Kementerian Pertanian.

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2012. Penetapan Rumpun/Galur Ternak Indonesia Tahun 2010-2011. Jakarta (ID) : Kementerian Pertanian.

Kutsiyah F. 2012. Analisis pembibitan sapi potong di Pulau Madura. Wartazoa and carcass characteristics of integration (oil palm plantation) and feedlot finished bali cattle. J. Anim. Vet. Adv. 11 (18):3427-3430.

Lestari CMS, Hudoyo Y, Dartosukarno S. 2010. Proporsi karkas dan komponen-komponen nonkarkas sapi jawa di rumah potong hewan swasta Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes. Di dalam : Prasetyo LH, Natalia L, Iskandar S, Puastuti W, Herawati T, Nurhayati, Anggraeni A, Darmayanti NIPI, Estuningsih SE, editor. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peter-nakan dan Veteriner 2010. Hal. 296-300.

Liasari GH. 2007. Ukuran tubuh dan karakteristik karkas sapi hasil inseminasi buatan yang dipelihara secara intensif pada berbagai kategori bobot potong [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Likadja, JC. 2009. Persentase non karkas dan jeroan kambing kacang pada umur dan ketinggian wilayah yang berbeda di Sulawesi Selatan. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan 8(1):29-35.

Littler B. 2007. Live beef cattle assessment [internet]. [diacu 2 Agustus 2013]. Tersedia pada : http://www.dpi.nsw.gov.au/_data/assets/pdf_file/0008/ 148355/Live-beef- cattle-assessment.pdf.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Edisi ke-2. Bogor : IPB Pr.

Gambar

Gambar 1.  Hubungan ukuran kerangka, bobot badan, dan komposisi karkas pada
Gambar 2.  Area pengamatan evaluasi kondisi tubuh (Parish dan Rhinehart 2008)
Gambar 3.  Ternak yang digunakan penelitian : (a) sapi bali, (b) sapi madura, (c)
Gambar 5.  Teknik pemotongan karkas yang berbeda di lokasi penelitian : (a) pe-
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tehnik analisis data yang dipergunakan adalah Structural Equation Modeling (SEM). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Persepsi kemanfaatan berpengaruh positif

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “ Efektivitas Pendidikan Kesehatan dengan Media Kalender oleh

[r]

dan ekonomi serta daya saing kompetitif dan komparatif yang paling tinggi; (2) Keberlanjutan kemitraan petani tembakau virginia dengan perusahaan GG agar tetap

Penelitian yang dilakukan penulis, didasarkan dari data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang berada di Kabupaten Temanggung mengenai luas panen dan ketinggian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi, pH limbah, dan massa paling baik arang aktif dari arang kulit singkong dan tongkol jagung terhadap penurunan kadar COD dan

Penelitian ini betujuan untuk 1) mengetahui bagaimana tahap pengembangan multimedia interaktif sebagai alat bantu pembelajaran pada pembelajaran Problem Solving, 2)

Persentase tren dalam analisis ini menunjukkan perubahan data keuangan perusahaan dalam persen (%) untuk beberapa tahun berdasarkan suatu tahun dasar tertentu, dan