KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN
PERUBAHAN TARAF HIDUP RUMAHTANGGA PETANI
(Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting
dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor
Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
TRI LESTARI
DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
ABSTRACT
Conversion of agricultural land and changes in household living standards of farmers: a case of Housing Development by PT. X in Kampung Cibeureum Sunting and Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, West Java. The objectives of this study were: (1) identified household living standards of farmers after the land conversion, (2) analyzed the factors associated with land conversion rates by farmers. The research applied a quantitative approach which supported by qualitative information. The quantitative data were collected by using survey method on 35 farmers household . The results of this study showed that after the conversion of land, household living standard of farmers increased, especially for lower-class farmers households. Internal factors and external factors affect different for each of the farmers. In this study, the internal factors that affected the rate of land conversion is dependence on the land. Dependence of land only affect the conversion rate at the lower class farmers. External factors also have different effect on each among farmers. In this study, external factors which affected the conversion rate is the influence of neighborss, the influence of neighbors only affected the conversion rate at the lower-class farmers.
RINGKASAN
TRI LESTARI. Konversi Lahan dan Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga Petani. Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat (Di bawah bimbinganFREDIAN TONNY).
Perkembangan jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Perkembangan kedua hal tersebut menyebabkan permintaan akan lahan ikut meningkat, sedangkan kita tahu bahwa lahan yang tersedia jumlahnya terbatas. Hal ini pada akhirnya akan mendorong terjadinya konversi lahan untuk memenuhi kepentingan dari berbagai pihak.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan taraf hidup rumahtangga petani setelah terjadinya konversi lahan, dan Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yang dilengkapi dengan analisis data secara kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode survai, sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi. Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive) yaitu di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran yang terletak di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor Provinsi Jawa Barat. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni dan Juli 2009. Teknik sampling yang digunakan adalah Stratified random sampling. Data primer diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 13.0 for windows. Analisis hubungan dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah terjadinya konversi lahan, taraf hidup rumahtangga petani yang diukur melalui tingkat pendapatan rumahtangga, kondisi tempat tinggal, tingkat pendidikan, kondisi kesehatan, dan tingkat kepemilikan aset, mengalami perubahan. Pada rumahtangga petani lapisan bawah, tingkat pendapatan kategori rendah mengalami penurunan sebesar 19,1 persen, tingkat pendapatan kategori sedang dan tinggi mengalami peningkatan masing-masing sebesar 14,3 persen dan 4,8 persen. Kondisi seperti ini tentu saja lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum terjadinya konversi lahan. Pada rumahtangga petani lapisan menengah, tingkat pendapatan pada kategori rendah, sedang, dan tinggi, persentasenya tidak berubah antara sebelum dan sesudah konversi. Pada rumahtangga petani lapisan atas, tingkat pendapatan setelah konversi pada kategori rendah mengalami peningkatan sebesar 22,2 persen, tingkat pendapatan pada kategori sedang dan tinggi mengalami penurunan masing-masing sebesar 11,1 persen. Kondisi seperti ini tentu saja tidak menguntungkan bagi rumahtangga petani lapisan atas.
Setelah konversi lahan, tingkat pendidikan rumahtangga petani lapisan bawah pada kategori tinggi mengalami peningkatan sebesar 28,6 persen. Tingkat pendidikan rumahtangga petani lapisan menengah pada kategori tinggi, persentasenya tidak berubah. Tingkat pendidikan rumahtangga petani lapisan atas pada kategori tinggi, mengalami peningkatan sebesar 44,5 persen.
Sebelum dan sesudah konversi lahan, persentase tingkat kesehatan kategori tinggi, sedang, dan rendah pada masing-masing lapisan, memiliki persentase yang tetap.
Sebelum dan sesudah konversi lahan, tingkat kepemilikan aset tinggi hanya dimiliki oleh rumahtangga peatani lapisan atas dengan persentase yang tetap, yaitu 11,1 persen. Setelah konversi lahan, rumahtangga petani lapisan bawah dan lapisan menengah yang tingkat kepemilikan asetnya rendah mengalami peningkatan masing-masing sebesar 4,8 persen dan 20 persen, sedangkan tingkat kepemilikan aset sedang pada rumahtangga petani lapisan bawah dan menengah mengalami peningkatan masing-masing sebesar 4,8 persen dan 20 persen. Setelah konversi lahan, rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat kepemilikan aset rendah mengalami penurunan sebesar 11,1 persen, dan rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat kepemilikan aset sedang mengalami peningkatan sebesar 11,1 persen.
Faktor internal dan faktor eksternal berbeda-beda pengaruhnya bagi setiap lapisan petani. Dalam penelitian ini, faktor internal yang berpengaruh terhadap tingkat konversi lahan adalah ketergantungan terhadap lahan. Ketergantungan terhadap lahan hanya mempengaruhi tingkat konversi pada petani lapisan bawah. Faktor eksternal juga memiliki pengaruh yang berbeda-beda pada setiap lapisan petani. Dalam penelitian ini, faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat konversi petani adalah pengaruh tetangga, pengaruh tetangga hanya mempengaruhi tingkat konversi pada petani lapisan bawah.
Sebelum terjadinya konversi lahan, mayoritas mata pencaharian utama rumahtangga petani lapisan bawah di Kelurahan Mulyaharja adalah bertani dengan persentase sebesar 85,7 persen. Setelah konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani lapisan bawah yang mata pencaharian utamanya adalah bertani, tetap memiliki persentase paling tinggi yaitu sebesar 38,1 persen. Namun mengalami penurunan sebesar 47,6 persen yaitu dari 85,7 persen menjadi 38,1 persen.
Sebelum terjadinya konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki mata pencaharian utama bertani memiliki persentase paling tinggi, yaitu sebesar 100 persen. Setelah konversi lahan, rumahtangga petani lapisan menengah yang mata pencaharian utamanya adalah bertani tetap memiliki persentase paling tinggi, tetapi mengalami penurunan sebesar 60 persen, yaitu dari 100 persen menjadi 40 persen.
KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN
PERUBAHAN TARAF HIDUP RUMAHTANGGA PETANI
(Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting
dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor
Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
TRI LESTARI
I34054041
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:
Nama : Tri Lestari
NRP : I34054041
Judul : Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga
Petani: Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum
Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan
Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS
NIP. 19580214 198503 1 004
Mengetahui,
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Ketua
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
NIP. 19550630 198103 1 003
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga Petani: Kasus Pembangunan Perumahan X di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)” belum pernah diajukan pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Saya
juga menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri dan tidak
mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain
kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah.
Bogor, Januari 2010
Tri Lestari
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 25 September 1987. Penulis memasuki Sekolah Dasar pada tahun 1993 di SDN Cihideung Ilir IV Bogor. Pada
tahun 1999, penulis melanjutkan lagi ke Sekolah Menengah Pertama di SLTPN 1
Darmaga Bogor. Selanjutnya pada tahun 2002, penulis melanjutkan Sekolah
Menengah Atas di SMA KORNITA dan lulus tahun 2005.
Pada tahun 2005, penulis mendapatkan kesempatan belajar di Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Penulis diterima di Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Ekologi, dengan minor Manajemen Fungsional
Semasa kuliah, Penulis pernah mengikuti beberapa kepanitiaan, yaitu
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
telah memberikan rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Konversi Lahan Pertanian dan
Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga Petani (Kasus Pembangunan Perumahan X
di Kampung Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja,
Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat) di bawah bimbingan
Bimbingan Ir. Fredian Tonny, MS.
Penulisan skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor. Melalui skripsi ini, penulis mencoba untuk mengetahui
perubahan-perubahan yang terjadi akibat dari konversi lahan bagi taraf hidup
rumahtangga petani.
Penulis berharap semoga materi yang disampaikan dalam skripsi ini dapat
bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya.
Bogor, Januari 2010
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulisan skripsi ini tak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku pembimbing, terima kasih atas kesabaran, bimbingan dan waktu yang telah diberikan selama penyusunan.
2. Ir. Said Rusli, MA selaku penguji utama dalam ujian sidang skripsi, terima kasih atas saran yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini.
3. Ir. Anna Fatchiya selaku penguji wakil departemen, terima kasih atas saran yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini.
4. Kedua orang tua dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan baik berupa do’a, dukungan moril dan materil.
5. Pihak Kelurahan Mulyaharja, yang telah membantu dan memberikan banyak informasi.
6. M. Arya Wicaksono dan M. Reza Maulana selaku rekan seperjuangan, terima kasih atas bantuan dan informasi yang selalu diberikan.
7. Brian Adipradana, terima kasih karena selalu menemani ketika turun lapang dan selalu memberikan dukungan serta semangat dalam proses penyelesaian skripsi.
8. Idham Muhammad Husen, terima kasih karena telah membantu dalam proses mengolah data.
9. Rekan-Rekan KPM 42 (khususnya Tubagus, Linda, Novi, Ghea, Januar), terima kasih atas bantuan yang sudah diberikan.
10. Teman-teman selama kuliah di IPB, khususnya Pratiti, Roshy, Tuty, Arman, Ikhsan dan Indra.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah penduduk yang
besar. Jumlah penduduk ini terus bertambah setiap tahunnya. Sebagai gambaran,
tingkat kepadatan penduduk Indonesia pada tahun 2000 adalah 108 jiwa per
kilometer persegi, jumlah ini meningkat menjadi 116 orang per kilometer persegi
pada tahun 2005 (Data BPS, 2005).
Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, serta aktivitas pembangunan
dalam berbagai bidang tentu saja akan menyebabkan ikut meningkatnya
permintaan akan lahan. Permintaan akan lahan tersebut terus bertambah,
sementara lahan yang tersedia jumlahnya terbatas. Hal inilah yang mendorong
terjadinya konversi lahan pertanian ke non-pertanian.
Konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau
seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi
fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan
potensi lahan itu sendiri (Utomo dkk, 1992).
Konversi lahan pada dasarnya dapat dilakukan sendiri oleh petani atau
oleh pihak lain seperti swasta dan pemerintah. Konversi lahan yang dilakukan
oleh petani misalnya adalah dengan mengubah lahan sawah miliknya menjadi
rumah pribadi. Konversi lahan seperti ini biasanya meliputi area yang relatif
sempit. Konversi lahan yang dilakukan oleh swasta atau investor biasanya
digunakan untuk kegiatan pembangunan yang bersifat non-pertanian seperti
kawasan industri, kawasan perumahan dan lain sebagainya yang tentu saja
memerlukan area yang relatif luas. Sedangkan konversi lahan yang dilakukan oleh
dan lain lain. Hal ini membuktikan bahwa kepentingan atas tanah atau lahan tidak
terbatas di kalangan petani saja, tetapi juga melibatkan stakeholder seperti pemerintah dan swasta.
Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas
dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Menurut statistika BPS
(1989) setiap tahun kita kehilangan sampai sekitar 10.000 hektar sawah yang
berpengairan.1 Tahun 2008, luas lahan pertanian yang tersisa di Indonesia adalah
sebesar 7,7 juta hektar dengan laju konversi 110.000 hektar sawah per tahun.2
Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada
kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan
pertanian yang masih produktif.
Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk membatasi
terjadinya fenomena alih fungsi lahan, namun upaya ini tidak banyak berhasil
karena adanya kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah, peraturan
yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat
himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, serta ijin konversi merupakan
keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab
atas pemberian ijin konversi lahan (Irawan et al., 2000)3
Lahan pertanian dapat memberikan manfaat baik dari segi ekonomi, sosial
maupun lingkungan. Oleh karena itu, semakin sempitnya lahan pertanian akibat
konversi akan mempengaruhi segi ekonomi, sosial dan lingkungan tersebut. Jika
fenomena konversi lahan pertanian ke non-pertanian terus terjadi secara tak
terkendali, maka hal ini akan menjadi ancaman tidak hanya bagi petani dan
lingkungan, tetapi hal ini bisa menjadi masalah nasional.
Kelurahan Mulyaharja yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan
merupakan wilayah yang masih memiliki banyak lahan pertanian yang produktif.
Pemandangan pertama yang terlihat saat memasuki wilayah Mulyaharja adalah
1
Sediono M.P. Tjondronegoro. 1998. Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
2
Hermas E. Prabowo.Penyusutan Lahan Isu Utama Ketahanan Pangan.KOMPAS,4 Oktober 2008.http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/04/0145356/penyusutan.lahan.isu.utama.ketahan an.pangan. [diakses tanggal 09 Februari 2010].
3
puluhan petak sawah yang terhampar luas di samping kiri dan kanan. Belakangan
ini luasan lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja semakin berkurang. Hal ini
disebabkan oleh semakin maraknya fenomena konversi lahan pertanian menjadi
kawasan perumahan di wilayah tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka tujuan umum
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan taraf hidup rumahtangga
petani setelah konversi lahan
1.2 Perumusan Masalah
Lahan merupakan salah satu sumberdaya strategis yang ikut berperan
serta dalam menunjang kehidupan manusia. Seiring dengan berjalannya waktu,
permintaan akan lahan pun semakin meningkat yang disebabkan oleh
perkembangan jumlah dan aktivitas penduduk.
Berkembangnya kepentingan atas lahan oleh berbagai pihak tentu saja
akan berdampak pada peningkatan kebutuhan akan lahan. Kondisi seperti ini tentu
saja akan semakin mendorong terjadinya konversi lahan dari lahan pertanian ke
non pertanian demi terpenuhinya kepentingan-kepentingan yang muncul tersebut.
Pembangunan kawasan perumahan oleh PT X yang dimulai dari tahun
1994 merupakan salah satu bentuk konversi lahan yang terjadi di Kampung
Cibeureum Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja.
Pembangunan kawasan perumahan ini terjadi di area persawahan yang produktif
dan merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar warga sekitar.
Pembangunan kawasan perumahan ini tentu saja akan menimbulkan
perubahan-perubahan tersendiri bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya
pada sektor pertanian. Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kondisi taraf hidup rumahtangga petani sebelum dan sesudah
terjadinya konversi lahan?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konversi lahan yang
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk:
1. Menganalisis perubahan taraf hidup rumahtangga petani setelah terjadinya
konversi lahan.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konversi lahan yang
dilakukan oleh petani.
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan sarana yang berguna dalam
mengaplikasikan ilmu yang didapat selama masa perkuliahan
2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian
BAB II
PENDEKATAN KONSEPTUAL
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Agraria
Pengertian agraria menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960
(UU No.5 Tahun 1960) adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Sitorus (2002) menyatakan bahwa jenis-jenis sumber agraria meliputi:
1. Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari
pertanian dan peternakan.
2. Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan.
3. Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas
perhutanan.
4. Bahan tambang, yang terkandung di “tubuh bumi”
5. Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri.
Sitorus (2002) mengemukakan bahwa konsep agraria merujuk pada
berbagai hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria serta hubungan
antar manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.
Sitorus (2002) juga mengemukakan bahwa subjek agraria dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu komunitas, pemerintah dan swasta. Masing-masing subjek
agraria tersebut memiliki hubungan yang dapat dilihat melalui gambar berikut:
Komunitas
Swasta Pemerintah
Gambar.1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sumber: Sitorus 2002) Keterangan:
Hubungan teknis agraria Hubungan sosio agrarian
2.1.2 Konsep dan Definisi Lahan
Tanah atau lahan merupakan salah satu sumber daya yang penting dalam
kehidupan manusia karena setiap aktivitas manusia selalu terkait dengan tanah.
Tanah merupakan tanah (sekumpulan tubuh alamiah, mempunyai kedalaman lebar
yang ciri-cirinya mungkin secara langsung berkaitan dengan vegetasi dan
pertanian sekarang) ditambah ciri-ciri fisik lain seperti penyediaan air dan
tumbuhan penutup yang dijumpai (Soepardi, 1983dalamAkbar, 2008).
Utomo (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami yang
melandasi kegiatan kehidupan dan penghidupan, memiliki dua fungsi dasar,
yakni:
1. Fungsi kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan
maupun pedesaan, perkebunan hutan produksi dan lain-lain.
2. Fungsi lindung; kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup
sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa
yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.
Sihaloho (2004) membedakan penggunaan tanah ke dalam tiga kategori,
yaitu:
1. Masyarakat yang memiliki tanah luas dan menggarapkan tanahnya kepada
orang lain; pemilik tanah menerapkan sistem sewa atau bagi hasil.
2. Pemilik tanah sempit yang melakukan pekerjaan usaha tani dengan tenaga
3. Pemilik tanah yang melakukan usaha tani sendiri tetapi banyak memanfaatkan
tenaga kerja buruh tani, baik petani bertanah sempit maupun bertanah luas.
2.1.3 Konversi Lahan
Utomo dkk (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut
sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu
sendiri. Alih fungsi lahan berarti perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan,
disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan
meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi,
yaitu:
1. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu
lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi.
2. Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif,
sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai
tambah.
3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population
growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan
terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land
conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
5. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah
hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung.
6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan
keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil
7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai
faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi,
perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi
demografi.
Sumaryanto (1994) dalam Furi (2007) memaparkan bahwa jika suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian, segera lahan-lahan di sekitarnya akan
terkonversi dan sifatnya cenderung progresif.
Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi
pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga
faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan
pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi
maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah
tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan
daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan
pegunungan.
Konversi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan wilayah,
bahkan dapat dikatakan bahwa konversi lahan merupakan konsekuensi dari
perkembangan wilayah. Sebagian besar konversi lahan yang terjadi, menunjukkan
adanya ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih didominasi oleh pihak
kapitalis dengan mengantongi izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Terdapat tiga macam ketimpangan yang terjadi di Indonesia
(Cristo-doulou sebagaimana dikutip Wiradi, 2000), yakni:
1. Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah
Kepentingan/keberpihakan Pemerintah. Peran pemerintah mendominasi dalam
menentukan kebijakan peruntukan penggunaan lahan dan mendukung pihak
bermodal dan penguasaan lahan, sedangkan peran masyarakat rendah.
Terdapatnya indikasi kesenjangan, yakni tanah yang seharusnya diperuntukan
bagi pertanian rakyat digusur, sedangkan sektor non pertanian semakin
bertambah luas.
3. Ketimpangan atau Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria
Terjadi perbedaan persepsi dan konsepsi mengenai bermacam hak atas tanah,
yakni pemeritah dan pihak swasta yang menggunakan hukum positif dengan
penduduk yang berpegang pada hokum normatif/hukum adat.
2.1.4 Faktor Penyebab
Proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian
disebabkan oleh beberapa faktor. Kustiawan (1997) menyatakan bahwa
setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan
sawah yaitu:
1. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika
pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi.
2. Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi
sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor Kebijakan. Merupakan Aspek regulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi
lahan pertanian.
Pasandaran (2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah,
yaitu:
1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air
2. Dinamika pembangunan
3. Peningkatan jumlah penduduk
Pakpahan, et.al (1993) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung.
Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan
Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana
transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana
pemukiman dan sebaran lahan sawah.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat
petani, sebagaimana dikemukakan oleh Rusastra (1994) dalam Munir (2008) adalah sebagai pilihan alokasi sumber daya melalui transaksi yang dipengaruhi
oleh kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan
kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi
tanah, sehingga diperlukan kontrol agar sesuai dengan rencana tata ruang.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Munir (2008) di Desa
Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah,
dapat diketahui bahwa ada faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi
lahan. Faktor- faktor tersebut meliputi faktor internal petani dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat
pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat
ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh
tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan
pertanian.
Penelitian ini merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
konversi lahan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi
tingkat pendapatan rumahtangga, jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan
terhadap lahan, dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari
pengaruh tetangga, pengaruh investor, dan kebijakan pemerintah.
2.1.5 Konsep Petani
Wolf (1985) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan
yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme
sistematis seperti upeti, pajak, atau pasar bebas. Bahari (2002) dalam Munir (2008) menyatakan bahwa secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada
Menurut Shanin (1971) seperti yang dikutip oleh Subali (2005), terdapat
empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, selaku petani mereka menggantungkan hidup mereka kepada lahan. Bagi petani, lahan pertanian adalah
segalanya yakni sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan
pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi
status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial mereka kental.
Keempat, cenderung sebagai pihak selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang
mendominasi mereka.
2.1.6 Pelapisan Sosial
Luas sempitnya pemilikan tanah pertanian merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam sistem pelapisan sosial masyarakat desa pertanian. Smith dan
Zopf (1970: 278-281)dalam Tjondronegoro (1998) mengetengahkan adanya lima faktor yang determinan terhadap sistem pelapisan sosial masyarakat desa, yaitu:
1. Luas pemilikan tanah dan sejauh mana pemilikan itu terkonsentrasi di tangan
sejumlah kecil orang atau sebaliknya terbagi merata pada warga desa.
2. Pertautan antara sektor pertanian dan industri
3. Bentuk-bentuk pemilikan atau penguasaan tanah
4. Frekuensi perpindahan petani dari lahan pertanian satu ke lainnya
5. Komposisi rasial penduduk.
Sayogyo membagi masyarakat petani atas dasar kepemilikan lahan yang
dikuasainya di Jawa dalam tiga golongan, yaitu:4
1. Petani lapisan bawah (petani gurem dengan luas tanah < 0,5 ha)
2. Petani lapisan menengah (petani kecil dengan luas tanah antara 0,5 - 1,0 ha)
3. Petani lapisan atas (petani kaya, dengan luas tanah > 1,0 ha)
Penelitian ini merumuskan tiga kategori pelapisan sosial masyarakat petani
berdasarkan kepemilikan lahan, yaitu:
1. Petani lapisan bawah ( memiliki luas lahan < 0,25 ha)
4
2. Petani lapisan menengah (memeiliki luas lahan 0,25-0,5 ha)
3. Petani lapisan atas (memiliki luas lahan≥ 0,5 ha)
2.1.7 Taraf Hidup dan Kesejahteraan
Kata “taraf” dalam kamus besar bahasa Indonesia (1997) berarti mutu atau
kualitas. Jadi taraf hidup dapat diartikan sebagai suatu mutu hidup atau kualitas
hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat.
Sawidack (1985) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan kepuasan
yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima,
namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat
relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil
mengkonsumsi pendapatan tersebut.
BPS (2008) memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk
mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumah tangga mengingat sulitnya
memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan menghitung
pola konsumsi rumah tangga.
Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS
(1995), yaitu: kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan,
taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, sosial dan budaya
Kesejahteraan pedesaan menurut Mosher (1974) dalam Furi (2007) berarti
tingkat kepuasaan bagi penduduk pedesaan dan tidak mencakup
sumbangan-sumbangan yang menyenangkan bagi masyarakat pedesaan dari pihak luar, baik
pemerintah maupun swasta. Empat aspek kesejaheraan pedesaan yakni:
1. Tingkat kehidupan fisik keluarga pedesaan, yang sangat bergantung pada
penghasilan keluarga dan berarti bergantung pada perkembangan pertanian.
2. Kesejahteraan dan kegiatan-kegiatan bersama di desa, yaitu ketentraman dan
kegiatan kelompok yang meliputi hukum dan ketertiban, pendidikan,
kesehatan, dan kegiatan kelompok informal.
3. Kesempatan untuk ikut serta mengambil bagian dalam peristiwa-peristiwa
kekeluargaan dan kemasyarakatan.
4. Peraturan-peraturan dan Undang-Undang yang mengurus tentang hak-hak
Yosep (1996) mengemukakan dua pendekatan kesejahteraan, yakni:
1. Pendekatan makro, kesejahteraan dengan indikator-indikator yang telah
disepakati secara alamiah, sehingga ukuran kesehateraan masyarakat
berdasarkan data-data empiris suatu masyarakat.
2. Pendekatan mikro, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi
individu secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sejahtera.
Penelitian ini menggunakan beberapa indikator dalam mengukur taraf
hidup. Indikator yang digunakan adalah tingkat pendapatan, kondisi tempat
tinggal (perumahan), tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, tingkat kepemilikan
aset.
2.2 Kerangka Pemikiran
Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai secara
ekonomis. Saat ini, jumlah luasan tanah pertanian tiap tahunnya terus mengalami
pengurangan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari
adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan.
Hal tersebut mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat. Pada
akhirnya, terjadilah konversi lahan pertanian ke non pertanian seperti perumahan,
industri, dan lain sebagainya untuk memenuhi permintaan yang ada. Konversi
lahan yang terjadi tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak seperti pemerintah,
swasta dan komunitas (masyarakat).
Faktor Eksternal:
Pengaruh tetangga
Pengaruh swasta (investor) Kebijakan Pemerintah Faktor Internal:
Tingkat Pendapatan rumahtangga petani Jumlah tanggungan anggota keluarga Tingkat Ketergantungan pada lahan Tingkat Pendidikan
Konversi Lahan Pertanian
Taraf Hidup
Tingkat Pendapatan
Kondisi Tempat Tinggal (Perumahan) Tingkat Pendidikan
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga Petani Setelah Konversi Lahan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konversi Lahan.
Keterangan:
Mempengaruhi
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi seberapa besar tingkat konversi
lahan yang dipilih oleh petani diantaranya adalah faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal meliputi tingkat pendapatan rumahtangga petani,
jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan pada lahan, dan tingkat pendidikan.
Sedangkan faktor eksternal meliputi kebijakan pemerintah, pengaruh pihak swasta
(investor), dan pengaruh dari tetangga.
Setelah melihat keterkaitan antara kedua faktor tersebut dengan tingkat
konversi lahan yang dilakukan oleh petani, maka selanjutnya dapat dilihat pula
perubahan taraf hidup yang terjadi pada rumahtangga petani setelah konversi
lahan. Diduga bahwa konversi lahan memiliki hubungan dengan taraf hidup
rumahtangga petani. Dalam hal ini taraf hidup akan diukur melalui indikator yang
meliputi tingkat pendapatan, kondisi tempat tinggal (perumahan), tingkat
pendidikan, tingkat kesehatan, dan tingkat kepemilikan aset.
2.3 Hipotesis Penelitian 2.3.1 Hipotesis Umum
1. Ada hubungan antara faktor internal, yaitu: tingkat pendapatan rumah tangga
petani, jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan pada lahan, dan tingkat
2. Ada hubungan antara faktor eksternal, yaitu: kebijakan pemerintah, pengaruh
pihak swasta (investor), dan pengaruh tetangga dengan tingkat konversi lahan
yang dipilih petani.
3. Ada hubungan antara konversi lahan pertanian dengan perubahan taraf hidup
rumahtangga petani.
2.3.1 Hipotesis Khusus
1. Ada hubungan antara tingkat pendapatan rumahtangga petani dengan
besarnya tingkat konversi lahan.
2. Ada hubungan antara jumlah tanggungan rumahtangga petani dengan
besarnya tingkat konversi lahan.
3. Ada hubungan antara tingkat ketergantungan pada lahan rumahtangga petani
dengan besarnya tingkat konversi lahan.
4. Ada hubungan antara tingkat pendidikan rumahtangga petani dengan
besarnya tingkat konversi lahan.
5. Ada hubungan antara pengaruh tetangga dengan besarnya tingkat konversi
lahan.
6. Ada hubungan antara pengaruh swasta dengan besarnya tingkat konversi
lahan.
7. Ada hubungan antara kebijakan pemerintah dengan besarnya tingkat konversi
lahan.
8. Ada hubungan antara konversi lahan dengan perubahan taraf hidup
rumahtangga petani lapisan bawah.
9. Ada hubungan antara konversi lahan dengan perubahan taraf hidup
rumahtangga petani lapisan menengah.
10. Ada hubungan antara konversi lahan dengan perubahan taraf hidup
rumahtangga petani lapisan atas.
2.4 Definisi Operasional
1. Tingkat pendapatan rumahtangga adalah total pendapatan rumahtangga
responden yang diperoleh dari hasil penjumlahan antara pendapatan bersih
usaha tani (panen, buruh tani), pendapatan di luar usaha pertanian, dan
Pengukuran:
1. Tinggi : > Rp. 2.000.000
2. Sedang : Rp 1000.000-Rp 2.000.000
3. Rendah : < Rp 1000.000
2. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga selain
responden yang sampai saat ini masih menjadi tanggungan responden dalam
pemenuhan kebutuhan hidup.
Pengukuran:
1. Sedikit :≤ 4 orang 2. Banyak : > 4 orang
3. Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauh mana lahan dianggap
penting dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan
persentase pendapatan pertanian dari keseluruhan total pendapatan rumah
tangga responden.
Pengukuran:
1. Rendah : <0, 75 persen pendapatan tumah tangga
2. Tinggi :≥0,75 persen pendapatan rumah tangga
4. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang pernah dijalani
oleh responden.
Pengukuran:
1. Rendah : tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD
2. Tinggi : sedang sekolah, tidak tamat SMP/SMA, tamat SMP/SMA,
D3/S1
5. Luas lahan yang dimiliki adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh responden
dalam satuan hektar.
Pengukuran:
1. Sempit : <0,25 hektar
2. Sedang : 0,25-0,5 hektar
3. Luas :≥0,5 hektar
6. Usia adalah lama hidup responden mulai lahir sampai penelitian dilakukan
1. Dewasa awal : 18-29 tahun
2. Dewasa pertengahan : 30-50 tahun
3. Dewasa tua :≥ 50 tahun
7. Pengaruh tetangga adalah banyaknya rumahtangga petani yang mengkonversi
lahan pertanian di sekitar wilayah tempat tinggal responden.
Pengukuran:
1. Rendah :≤ 5 orang 2. Tinggi : > 5 orang
8. Pengaruh swasta (investor) adalah pengaruh yang diberikan oleh pihak yang
berkepentingan dengan lahan tersebut untuk mempengaruhi petani agar mau
mengkonversi lahan pertaniannya.
Pengukuran:
1. Rendah : skor 3-4
2. Tinggi : skor 5-6
9. Kebijakan pemerintah adalah ada atau tidaknya dukungan atau bantuan
pemerintah daerah setempat untuk mengembangkan sektor pertaniannya.
Pengukuran:
1. Rendah : skor 2
2. Tinggi : skor 3-4
10. Taraf hidup adalah mutu hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu
masyarakat yang dalam penelitian ini diukur melalui tingkat pendapatan
rumahtangga, jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan terhadap lahan, dan
tingkat pendidikan.
11. Kondisi perumahan (tempat tinggal) adalah keadaan fisik rumah yang
ditempati oleh responden.
Pengukuran:
1. Sederhana : dinding terbuat dari campuran tembok dan triplek, lantai
terbuat dari semen, mempunyai kamar mandi.
2. Bagus : dinding terbuat dari tembok, lantai terbuat dari keramik,
mempunyai kamar mandi.
12. Tingkat Kesehatan adalah kondisi/ keadaan jasmani rumahtangga responden.
1. Tinggi : memiliki kartu ASKES, berobat di puskesmas atau mempuyai
dokter pribadi.
2. Rendah : tidak memiliki ASKES, berobat di dukun.
14. Tingkat Kepemilikan aset adalah jumlah barang berharga yang dimiliki
rumah tangga petani
Pengukuran:
1. Tinggi : memiliki rumah, tanah, kendaraan, dan lebih dari lima jenis
barang elektronik.
2. Sedang: memiliki rumah, kendaraan, dan barang elektronik sejumlah lima
3. Rendah: memiliki rumah/sewa/kontrak dan memiliki kurang dari lima
jenis barang elektronik.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan dilengkapi dengan
data kualitatif sebagai tambahan. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan metode survai. Penelitian survai merupakan penelitian yang
mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpulan data yang lengkap (Singarimbun, 1989). Data kualitatif diperoleh
melalui wawancara mendalam dan observasi. Wawancara mendalam dilakukan
kepada informan untuk mendapatkan informasi lebih akurat. Dalam melakukan
wawancara mendalam, peneliti dibekali dengan panduan pertanyaan. Observasi
dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai lingkungan petani di lokasi
penelitian. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui faktor-faktor apa
saja yang berhubungan dengan tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani.
Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang
terjadi pada rumahtangga petani setelah adanya konversi lahan .
Penelitian ini dilaksanakan di dua Kampung, yaitu Kampung Cibeureum
Sunting dan Kampung Pabuaran yang terletak di Kelurahan Mulyaharja,
Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja
(purposive), dengan pertimbangan bahwa lokasi ini dulunya merupakan wilayah
pertanian dan sekarang sedang terkena pengembangan wilayah perumahan PT. X.
Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti melakukan observasi melalui
penelusuran kepustakaan hasil penelitian dari beberapa peneliti, artikel dari
internet, serta beberapa narasumber yang memberikan informasi mengenai
wilayah ini. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2009.
3.3 Teknik Pemilihan Responden
Subyek dalam penelitian ini terdiri dari informan dan responden. Informan
merupakan pihak yang dianggap banyak mengetahui tentang lingkungannya
sehingga dapat memberikan informasi lebih dalam, sedangkan responden
merupakan pihak yang memberi keterangan tentang dirinya. Dalam hal ini,
informan adalah pihak Kelurahan, Aparat Desa (RW, RT, Tokoh Masyarakat,
Kontak Tani). Pemilihan informan dilakukan dengan teknik “bola salju” (snow ball sampling). Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani. Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 35 rumahtangga petani pemilik
yang mengkonversi lahan.
Teknik sampling yang digunakan adalah Stratified random sampling. Teknik ini digunakan karena satuan elementer dalam populasi tidak homogen.
Dalam menggunakan teknik ini, responden dibagi menjadi tiga kategori pelapisan
sosial berdasarkan luas lahan yang dimiliki. Kategori pelapisan sosial tersebut
masing-masing adalah rumahtangga petani kelas bawah (memiliki luas lahan <
0,25 Ha), rumahtangga petani kelas menengah (memiliki luas lahan 0,25-0,5 Ha),
dan rumahtangga petani kelas atas (memiliki luas lahan > 0,5 Ha). Hal ini
dilakukan agar dampak konversi lahan terlihat jelas pada masing-masing kategori
pelapisan sosial.
Metode pengumpulan data digunakan untuk memperoleh data primer dan
data sekunder yang digunakan dalam menjawab pertanyaan penelitian. Data
primer diperoleh dari subyek penelitian yang terdiri dari informan dan responden.
Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi lapang, dan
pengisian kuesioner. Data sekunder merupakan dokumen-dokumen yang terkait
seperti data profil Kelurahan, agenda kegiatan, data kependudukan dan lain-lain.
Teknik pengambilan data yang dilakukan adalah pertama, melalui penelusuran
pustaka (buku, artikel, laporan penelitian, dokumen) yang relevan dengan kajian
penelitian. Kedua, wawancara mendalam dengan pihak kelurahan, aparat desa dan
warga setempat yang dianggap banyak mengetahui keadaan sekitar. Ketiga,
observasi sepanjang penelitian.
3.4.1 Observasi Lapang
Observasi lapang pertama kali dilakukan dengan mengunjungi lokasi
penelitian, kemudian mengamati kondisi wilayah tersebut. Peneliti mengunjungi
rumah beberapa aparat desa (RW, RT) untuk mengetahui berapa jumlah
rumahtangga petani dan lokasi tempat tinggalnya. Selain itu, peneliti mencari tahu
siapa saja orang-orang yang bisa dijadikan informan penelitian.
3.4.2 Pengisian Kuesioner
Kuesioner dibagikan kepada 35 rumahtangga petani. Dalam pengisian
kuesioner, peneliti tidak membiarkan kuesioner di isi sendiri oleh responden.
Kuesioner tetap dipegang oleh peneliti, kemudian peneliti menanyakan satu
persatu pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya kesalahan dalam pengisian, dan membantu responden yang kurang
mengerti dalam segi bahasa.
3.4.3 Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam dilakukan untuk mengetahui kondisi taraf hidup
rumahtangga petani sebelum terjadinya konversi lahan, proses terjadinya konversi
meliputi perubahan taraf hidup rumahtangga petani, perubahan mata pencaharian
dan lain-lain. Wawancara mendalam dilakukan dengan berkunjung ke rumah
responden, aparat desa dan kantor Kelurahan.
Peneliti menggunakan beberapa alat bantu dalam melakukan wawancara
mendalam, diantaranya adalah panduan pertanyaan danrecorder yang mendukung peneliti untuk membuat catatan harian yang merupakan data primer dalam
penelitian ini.
3.4.4 Penelusuran Dokumen
Penelusuran dokumen dilakukan untuk mendapatkan data-data seperti data
profil Kelurahan, arsip kegiatan, data kependudukan dan lain-lain Peneliti juga
melakukan penelusuran dokumen dengan pencarian data dan informasi dari
internet, buku, dan karya ilmiah (hasil penelitian) untuk mendukung analisis
dalam penelitian ini.
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan untuk memperoleh
informasi mengenai kondisi taraf hidup rumahtangga petani sebelum dan sesudah
terjadinya konversi, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan tingkat konversi. Teknik dan analisis data kualitatif dilakukan melalui tiga
tahap analisis yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Reduksi Data
Reduksi data terdiri dari proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan
dan transformasi data yang berupa catatan-catatan tertulis di lapangan selama
penelitian berlangsung. Reduksi data bertujuan untuk menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu.
Penyajian Data
Penyajian data dilakukan dengan cara menyusun sekumpulan informasi
agar mudah dalam proses penarikan kesimpulan. Penyajian data dalam penelitian
ini disajikan dalam bentuk teks naratif berupa catatan lapangan.
Penarikan kesimpulan yang mencakup verifikasi atas kesimpulan terhadap
data yang dianalisis agar menjadi lebih rinci. Data kuantitatif diolah dengan
proses editing, coding, scoring, entry, dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 13.0 for Windows. Uji statistik yang digunakan adalah tabulasi silang (crosstab) dan uji statistik Chi-Square. Hal ini
ditujukan untuk melihat adanya hubungan antara variabel-variabel dengan skala
nominal. Pemberian skor terhadap setiap pertanyaan dari masing-masing variabel,
kemudian nilai skor tersebut dijumlahkan. Selanjutnya dikategorikan dengan
menggunakan interval kelas.
Interval kelas dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
Interval kelas (Ik)= Skor Maksimum- Skor minimum
∑ kategori .
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1 Kelurahan Mulyaharja
Kelurahan Mulyaharja merupakan sebuah Kelurahan yang terletak di
Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan
penuturan informan, nama Mulyaharja berasal dari kata Mulya dan Harja. Mulya
yang berarti baik dan Harja yang berarti hati. Maka jika digabungkan Mulyaharja
berarti hati yang baik. Jarak Kelurahan ini dari ibukota kecamatan yaitu sekitar 5
kilometer yang membutuhkan waktu selama 20 menit sebagai waktu tempuhnya.
Sedangkan jarak dengan kotamadya yaitu 7 kilometer dengan waktu tempuh
kurang lebih 30 menit. Kelurahan Mulyaharja berbatasan langsung dengan
Kelurahan Cikaret di sebelah utara, Desa Sukaharja di sebelah selatan, Kelurahan
Pamoyanan di sebelah timur, dan Desa Sukamantri di sebelah barat.
Kelurahan Mulyaharja luasnya ± 477,005 hektar dengan jumlah penduduk
mencapai 13.366 jiwa. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani
adalah sebanyak 300 jiwa atau sebesar 4,06 persen. Wilayah Kelurahan
Mulyaharja beriklim sejuk dengan ketinggian 420 meter dari permukaan laut.
Penarikan kesimpulan yang mencakup verifikasi atas kesimpulan terhadap
data yang dianalisis agar menjadi lebih rinci. Data kuantitatif diolah dengan
proses editing, coding, scoring, entry, dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 13.0 for Windows. Uji statistik yang digunakan adalah tabulasi silang (crosstab) dan uji statistik Chi-Square. Hal ini
ditujukan untuk melihat adanya hubungan antara variabel-variabel dengan skala
nominal. Pemberian skor terhadap setiap pertanyaan dari masing-masing variabel,
kemudian nilai skor tersebut dijumlahkan. Selanjutnya dikategorikan dengan
menggunakan interval kelas.
Interval kelas dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
Interval kelas (Ik)= Skor Maksimum- Skor minimum
∑ kategori .
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1 Kelurahan Mulyaharja
Kelurahan Mulyaharja merupakan sebuah Kelurahan yang terletak di
Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan
penuturan informan, nama Mulyaharja berasal dari kata Mulya dan Harja. Mulya
yang berarti baik dan Harja yang berarti hati. Maka jika digabungkan Mulyaharja
berarti hati yang baik. Jarak Kelurahan ini dari ibukota kecamatan yaitu sekitar 5
kilometer yang membutuhkan waktu selama 20 menit sebagai waktu tempuhnya.
Sedangkan jarak dengan kotamadya yaitu 7 kilometer dengan waktu tempuh
kurang lebih 30 menit. Kelurahan Mulyaharja berbatasan langsung dengan
Kelurahan Cikaret di sebelah utara, Desa Sukaharja di sebelah selatan, Kelurahan
Pamoyanan di sebelah timur, dan Desa Sukamantri di sebelah barat.
Kelurahan Mulyaharja luasnya ± 477,005 hektar dengan jumlah penduduk
mencapai 13.366 jiwa. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani
adalah sebanyak 300 jiwa atau sebesar 4,06 persen. Wilayah Kelurahan
Mulyaharja beriklim sejuk dengan ketinggian 420 meter dari permukaan laut.
yang ada di Kelurahan Mulyaharja saat ini adalah sekitar 135 hektar. Kondisi
lahan pertanian di wilayah ini sangat subur, padi dan palawija merupakan tanaman
yang paling banyak ditanam di wilayah ini. Rumahtangga petani yang terdapat di
Kelurahan Mulyaharja jumlahnya sebanyak 220 keluarga. Saat ini, mayoritas
petani yang terdapat di Kelurahan Mulyaharja adalah buruh tani yang bekerja dari
pagi sampai dzuhur dan diberi upah harian sebesar Rp 25.000,-. Sebagian besar
lahan pertanian yang dimiliki oleh rumahtangga petani berasal dari warisan.
Dahulu, mata pencaharian penduduk Kelurahan Mulyaharja sebagian besar
adalah petani. Tradisi pertanian pun masih terasa di wilayah ini, sebelum
menanam dan pada saat panen biasanya petani sering mengadakan acara
selamatan agar proses menanam dan panen berjalan lancar. Selain itu, ada tradisi
yang dinamakan liuran. Liuran merupakan tradisi gotong royong diantara sesama petani dengan cara membantu pada saat menanam dan saat panen. Saat ini,
tradisi-tradisi seperti itu jarang ditemukan karena lahan pertanian jumlahnya
semakin berkurang.
Konversi lahan yang marak terjadi saat ini, menyebabkan banyak
penduduk Kelurahan Mulyaharja yang beralih profesi ke sektor non-pertanian,
[image:34.595.70.517.490.681.2]sepertihome industry, buruh, berdagang, pertukangan, ojek dan lain–lain.
Tabel 1. Mata Pencaharian Pokok Penduduk menurut Jenis Kelamin, 2009
Jenis Pekerjaan Laki-Laki
(orang)
Perempuan (orang)
Total (orang)
Petani 85 15 100
Buruh tani 215 185 400
Pegawai Negeri Sipil 135 70 205
Pengrajin industri rumahtangga 96 18 114
Pedagang keliling 95 27 122
Pembantu rumahtangga - 23 23
TNI 2 - 2
POLRI 15 - 15
Pengusaha kecil dan menengah 400 - 400
Karyawan swasta 1.025 750 1.775
Karyawan pemerintah 3 2 5
Jumlah 2.071 1.090 3.161
Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mulyaharja Tahun 2009
Tabel 1 di bawah, menunjukkan bahwa mayoritas petani yang ada di
yang berprofesi sebagai petani sebesar 100 orang. Meningkatnya jumlah buruh
tani merupakan akibat dari adanya konversi lahan. Setelah mengkonversi
lahannya, banyak rumahtangga petani yang kehilangan lahan dan kemudian
bekerja menjadi buruh tani pada lahan orang lain.
Kelurahan Mulyaharja terdiri dari 12 RW dan 55 RT. Dari 12 RW
tersebut, yang menjadi lokasi penelitian adalah RW 06 (Kampung Pabuaran) dan
RW 07 (Cibeureum Sunting).
Tabel 2 di bawah, menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kelurahan
Mulyaharja menganut agama Islam, yaitu sebanyak 12.909 orang. Sarana
peribadatan untuk penduduk yang beragama Islam tersedia cukup banyak, yaitu
26 masjid dan 42 musholla. Selain itu, terdapat pula pesantren yang digunakan
sebagai sarana mempelajari ilmu agama.
Tabel 2. Agama Penduduk Menurut Jenis Kelamin, 2009
Agama Laki-Laki (orang) Perempuan (orang) Total (orang)
Islam 7.477 5.432 12.909
Kristen 177 123 300
Katholik 75 45 120
Hindu 13 12 25
Budha 8 7 15
Khonghucu 9 3 12
Jumlah 7.759 5.622 13.381
Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mulyaharja Tahun 2009
Tabel 3. Tingkat Pendidikan Penduduk Menurut Jenis Kelamin, 2009
Tingkat Pendidikan Laki-Laki (orang)
Perempuan (orang)
Total (orang)
Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK 881 761 1.642
Usia 3-6 tahun yang sedang TK/play group 528 456 984
Usia 7-18 tahun yang tidak pernah sekolah 43 25 68
Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 1.490 1.283 2.773
Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah 71 60 131
Usia 18-56 tahun tidak tamat SD 179 171 350
Tamat SD/sederajat 3.333 3.102 6.435
Usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP 42 40 82
Usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA 358 380 738
Tamat SMP/sederajat 611 289 900
Tamat SMA/sederajat 951 199 1.150
Tamat D1/sederajat 80 40 120
Tamat S1/sederajat 40 30 70
Tamat SLB A 3 - 3
Total 8.611 6.836 15.447 Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mulyaharja Tahun 2009
Tabel 3 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk kelurahan Mulyaharja
adalah lulusan Sekolah Dasar (SD/sederajat), yaitu sebanyak 6.435 orang.
Walaupun sarana pendidikan di wilayah ini sudah tersedia sampai Sekolah
Menengah Pertama (SMP), tetapi faktor ekonomi ikut mempengaruhi. Setelah
lulus Sekolah Dasar (SD), penduduk Kelurahan Mulyaharja banyak yang
langsung bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
4.2 Kampung Pabuaran
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan, dapat diketahui
bahwa para leluhur menamai kampung ini dengan nama Pabuaran, yang berasal
dari kata buyar yang memiliki arti bubar, pecah atau terpisah-pisah. Mereka
meramalkan bahwa suatu saat kampung ini akan pecah. Hal ini terbukti jika
dikaitkan dengan kondisi kampung ini sekarang yang penduduknya terpisah-pisah
akibat maraknya konversi lahan yang menyebabkan banyak penduduk yang
pindah ke luar kampung. Sebagian besar lahan pertanian yang ada di Kampung
Pabuaran dimiliki oleh orang luar Kelurahan Mulyaharja, seperti yang berasal dari
Desa Sukaharja, Cikaret, Kota Batu, Pamoyanan dan lain-lain.
Dahulu, mayoritas penduduk di kampung ini bermata pencaharian sebagai
petani, tetapi sekarang jumlah lahan pertanian pun semakin berkurang karena
banyak lahan pertanian di wilayah ini sudah dimiliki oleh swasta, Jumlah petani
pun semakin berkurang. Walaupun masih ada yang bertahan pada sektor
pertanian, tapi jumlahnya sangat kecil dan mayoritas petani yang bertahan adalah
petani penggarap. Mereka ada yang menggarap lahannya sendiri, menggarap
lahan orang lain, dan menggarap lahan milik swasta yang belum dibangun.
Sebagian besar penduduk kampung ini beralih profesi ke sektor non-pertanian
sepertiHome Industry sandal, buruh, berdagang, ojek dan pertukangan.
Tahun 1994 PT X mulai memasuki kampung ini. PT X merupakan
perusahaan yang bergerak di bidang property. Dalam menjalankan usahanya, PT X membeli lahan-lahan yang ada di wilayah ini untuk dijadikan kawasan
pada awalnya murah, setelah PT X masuk menjadi Rp 25.000,- per meter,
sekarang harga tanah bisa mencapai Rp 250.000,- per meter tergantung letak
tanah. Semakin strategis maka semakin mahal. Oleh karena itu, banyak orang
tertarik untuk menjual tanahnya ke PT X.
Dalam upaya untuk membeli lahan yang ada di Kampung ini, PT X
menggunakan berbagai cara. PT X pada awalnya membeli lahan yang letaknya di
pinggir. Setelah negosiasi dilakukan dan jual beli berhasil dilaksanakan, kemudian
bagian pinggir-pinggir lahan tersebut ditembok tinggi. Hal ini menyebabkan
petani yang posisi lahannya berada di tengah-tengah akan terkurung. Sehingga
lama-kelamaan mereka yang lahannya terkurung pada akhirnya ikut menjual
lahannya.
PT X juga menggunakan jasa biong5 untuk menjalankan usahanya dalam mendapatkan lahan yang ada di sana. Biong mendatangi orang-orang yang memiliki lahan kemudian berusaha membujuk mereka agar mau menjual
lahannya. Jika usaha dari biong itu gagal, mereka akan datang terus menerus sampai orang yang punya lahan bersedia menjual lahannya.
Kampung Pabuaran pada awalnya memiliki 5 RT, tetapi sekarang jumlah
RT yang ada hanya 4, yaitu RT 01, RT 02, RT 03, RT 04 sedangkan RT 05 sudah
tidak ada karena lahannya sudah habis terkena konversi, sehingga penduduknya
sudah pindah. Penduduk RT 05 ada yang pindah ke RT lain, ada juga yang pindah
ke luar kampung. RT 01 terdiri dari 90 KK, RT 02 terdiri dari 54 KK, RT 03
terdiri dari 60 KK, RT 04 terdiri dari 15 KK (tadinya 57 KK).
Tingkat pendidikan penduduk Kampung Pabuaran mayoritas adalah
lulusan Sekolah Dasar. Pendapatan di sektor pertanian pun tergolong rendah.
Dahulu, walaupun pendapatan pada sektor pertanian tidak begitu tinggi, tapi orang
yang bermata pencaharian petani masih tergolong banyak. Tetapi sekarang, orang
banyak yang beralih profesi ke sektor non-pertanian sepertiHome Industry, buruh, berdagang, ojek, pertukangan dan lain-lain. Home Industry sandal adalah bidang usaha yang paling banyak ditemukan di Kampung ini. Mereka menjadikan
pertanian sebagai usaha sampingan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak A:
5
“Kalau di sini mah pertanian sekarang udah jarang soalnya ga ada penerusnya, lahannya juga udah ga ada. Paling juga tani kalo orderan sendal lagi sepi, tani cuma sampingan aja”
4.2 Kampung Cibeureum Sunting
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan, dapat diketahui
bahwa kampung ini dinamakan Cibeureum Sunting karena dulu di kampung ini
ada orang bernama Bapak Sunting. Bapak Sunting merupakan sesepuh di
Kampung ini. Ketika Bapak Sunting naik haji, namanya diganti menjadi
Sulaeman. Walaupun namanya sudah diganti, tetapi ketika orang-orang yang
berasal dari luar kampung ingin pergi ke kampung ini, mereka menyebutnya akan
pergi ke Cibeureum Sunting. Nama Bapak Sunting dijadikan sebagai nama
belakang kampung ini untuk memperjelas lokasi kampung tempat bapak Sunting
tinggal. Sampai pada akhirnya jadilah Cibeureum Sunting sebagai nama Kampung
ini,.
PT X mulai memasuki kampung ini sekitar tahun 1994. Sejak PT X masuk
ke Kampung ini, mayoritas warga yang tadinya bermata pencaharian sebagai
petani kini berubah. Warga yang bermata pencaharian sebagai petani jumlahnya
menjadi semakin sedikit karena lahan yang mereka miliki banyak yang dijual ke
PT X. Warga kampung ini banyak yang beralih ke sektor non-pertanian. Banyak
alasan yang menjadi latar belakang mengapa penduduk kelurahan Mulyaharja
menjual lahannya ke PT X, diantaranya adalah karena kebutuhan ekonomi, tergiur
dengan harga yang tinggi, rasa takut jika tidak menjual lahan maka lahannya akan
terkurung oleh PT X.6
Kampung Cibeureum Sunting terdiri dari 3 RT. RT 01 terdiri dari 83 KK,
RT 02 terdiri dari 71 KK, dan RT 03 terdiri dari 96 KK. Tingkat pendidikan
penduduk Kampung Cibeureum Sunting mayoritas adalah lulusan Sekolah Dasar.
Selain bertani, mata pencaharian lain yang dapat ditemukan di kampung ini adalah
Home Industry, buruh, berdagang, ojek, pertukangan dan lain-lain.
6
BAB V
TARAF HIDUP RUMAHTANGGA PETANI SEBELUM DAN
SESUDAH KONVERSI LAHAN
5.1 Tingkat Pendapatan Rumahtangga
Total pendapatan rumahtangga diperoleh dari hasil penjumlahan antara
pendapatan bersih usahatani (panen, buruh tani), pendapatan di luar usaha
pertanian, dan pendapatan anggota rumahtangga responden setiap bulan.
Pendapatan rumahtangga petani yang berasal dari sektor pertanian
jumlahnya tidak terlalu besar, apalagi bagi petani kelas bawah. Hal ini karena
luasan lahan yang mereka miliki jumlahnya relatif sempit. Walaupun pendapatan
di sektor pertanian tidak terlalu besar bagi sebagian warga, tetapi masih ada warga
yang tetap bertahan pada sektor ini. Hal ini karena mereka tidak memiliki keahlian
di luar usahatani. Selain bekerja di sektor pertanian, warga juga banyak yang
memiliki sumber pendapatan lain yang diperoleh melalui berdagang, buruh,
Tabel 4. Persentase Perbandingan Tingkat Pendapatan Rumahtangga Petani Berdasarkan Pelapisan Sosial Sebelum Terjadinya Konversi Lahan (B) dan Sesudah Terjadinya Konversi Lahan (A) di Kelurahan Mulyaharja7
Tingkat Pendapatan
Rendah Sedang Tinggi Total
Pelapisan
Sosial
B A B A B A B A
Atas 0 22,2 33,3 22,2 66,7 55,6 100 100
Menengah 40 40 60 60 0 22,2 100 100
Bawah 66,7 47,6 23,8 38,1 9,5 14,3 100 100
Rata-rata 45,7 40 31,4 37,1 22,9 22,9 100 100
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebelum terjadinya konversi lahan, mayoritas
rumahtangga petani yang ada di Kelurahan Mulyaharja memiliki tingkat
pendapatan rendah dengan persentase sebesar 45,7 persen dan paling banyak
ditempati oleh rumahtangga petani lapisan bawah dengan persentase sebesar 66,7
persen. Rumahtangga petani lapisan menengah, mayoritas memiliki tingkat
pendapatan yang sedang dengan persentase sebesar 60 persen. Rumahtangga
petani lapisan atas, mayoritas memiliki tingkat pendapatan yang tinggi dengan
persentase sebesar 66,7 persen. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi lapisan sosial, maka tingkat pendapatan akan semakin tinggi.
Semakin rendah lapisan sosial, maka tingkat pendapatan akan semakin rendah.
Setelah konversi lahan, persentase rumahtangga petani lapisan atas yang
memiliki tingkat pendapatan tinggi mengalami penurunan sebesar 11,1 persen,
yaitu dari 66,7 persen menjadi 55,6 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan
atas yang memiliki tingkat pendapatan sedang , juga mengalami penurunan
sebesar 11,1 persen, yaitu dari 33,3 persen menjadi 22,2 persen. Sedangkan
persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendapatan
rendah mengalami peningkatan yaitu dari 0 persen menjadi 22,2 persen.
Rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendapatan
tinggi, setelah konversi lahan persentasenya mengalami peningkatan dari 0 persen
menjadi 22,2 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang
memiliki tingkat pendapatan sedang , setelah konversi lahan tidak mengalami
7
perubahan yaitu tetap sebesar 60 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan
menengah yang memiliki tingkat pendapatan rendah, setelah konversi lahan
persentasenya juga tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sebesar 40 persen.
Rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendapatan
tinggi, setelah konversi lahan persentasenya mengalami peningkatan sebesar 4,8
persen, yaitu dari dari 9,5 persen menjadi 14,3 persen. Persentase rumahtangga
petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendapatan sedang , setelah konversi
lahan mengalami peningkatan sebesar 14,3 persen, yaitu dari 23,8 persen menjadi
38,1 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat
pendapatan rendah mengalami penurunan sebesar 19,1 persen, yaitu dari 66,7
persen menjadi 47,6 persen. Dengan kata lain, yang paling banyak diuntungkan
setelah adanya konversi adalah rumahtangga petani lapisan bawah, dan yang
paling banyak dirugikan setelah terjadinya konversi adalah rumahtangga petani
lapisan atas.
Setelah konversi lahan, tingkat pendapatan rumahtangga petani lapisan