• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perbandingan Manajemen Sumberdaya Dan Kesejahteraan Keluarga Pada Keluarga Miskin Dan Tidak Miskin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Perbandingan Manajemen Sumberdaya Dan Kesejahteraan Keluarga Pada Keluarga Miskin Dan Tidak Miskin"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

LINA NAJWATUR RUSYDI. Comparation Analysis of Family Resource Management and Family Well-Being on Poor and Prosperous Family. Under direction of EUIS SUNARTI and MEGAWATI SIMANJUNTAK.

Poverty is one of the problems in Indonesia. To overcome poverty, Indonesian government creates many programs, such as Program Keluarga Harapan (PKH), Program Pemberdayaan Peran Keluarga, Kelompok Usaha Bersama (KUBE), etc. But any support from the government wouldn’t give good impact to family’s living if it isn’t well-managed. The research was conducted to analyze the comparation rate of family resource management and family well-being in poor family and prosperous family in Laladon Village, Bogor. The society in this village has various social demography characteristic. Family resource management is important to increase the well-being of the poor family or to increase value and productivity for the prosperous family. The results show that there was a difference between poor family characteristics and prosperous family. Based on types of problem that had been around, poor family claimed that housing aspect was the major problem whereas prosperous family claimed that self developing aspect was major problem. Prosperous family’s life goal was fulfilled by the spiritual necessity whereas poor family’s life goal was fulfilled by housing necessity. Human resource management of prosperous family was better than poor family, whereas time management and financial management in two groups were distinct. Physical well-being of prosperous family was better than poor family, whereas social well-being and psychological well-being in two groups were’nt distinct. Family resource management was related to physical well-being. So that, the government was expected to include family resource management as substance in family effort and resistance program.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebanyak 189 negara mendeklarasikan Millenium Development Goals

(MDGs) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan

Bangsa-bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat pada September 2000. MDGs

merupakan komitmen bersama negara-negara maju dan negara-negara

berkembang dalam menangani permasalahan utama pembangunan termasuk di

dalamnya kemiskinan dan hak asasi manusia (HAM). Dalam KTT tersebut

seluruh perwakilan negara yang hadir sepakat untuk menurunkan proporsi

penduduk yang pendapatannya kurang dari US$ 1 per hari menjadi setengahnya

antara periode 1990-2015. Dengan kata lain, salah satu nota kesepakatan MDGs

adalah menanggulangi kemiskinan.

Berdasarkan data pada tahun 2008, jumlah penduduk miskin di Indonesia

mencapai 15.4 persen dari jumlah penduduk nasional Indonesia. Sebagian besar

penduduk miskin (63.5%) berada di daerah pedesaan. Provinsi Jawa Barat

berada pada urutan ketiga dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di

Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebanyak 15.2 persen

penduduk miskin Indonesia berada di Jawa Barat dengan proporsi terbesar

(50.8%) di wilayah pedesaan (Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat

2009).

Dalam pengertian umum dan sederhana, miskin diartikan sebagai kondisi

yang tidak berkecukupan secara ekonomi, khususnya berkenaan dengan

kebutuhan konsumsi dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Dalam

cakupan yang lebih luas, pengertian kemiskinan juga meliputi ketidakmampuan

memenuhi kebutuhan dasar lainnya seperti gizi, kesehatan, pendidikan, air

bersih, dan transportasi (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan

Ekonomi Sosial 2006). Secara umum, ada dua kategori kemiskinan, yaitu

kemiskinan relatif dan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin

karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau

seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan disteribusi

pendapatan. Adapun kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan

ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan,

sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa

(3)

miskin adalah penduduk yang memiliki rataan pengeluaran per kapita per bulan

dibawah Garis Kemiskinan (BPS 2008).

Sebagai salah satu negara yang menandatangani nota kesepakatan

MDGs, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi angka kemiskinan. Upaya

pengentasan kemiskinan diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan

pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan peluncuran program-program

pengentasan kemiskinan. Pada hakikatnya program-program pengentasan

kemiskinan merupakan program peningkatan kesejahteraan keluarga seperti

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Tabungan Keluarga

Sejahtera (Takesra), Kredit Usaha Keluarga Pra Sejahtera (Kukesra), Kelompok

Usaha Bersama (KUBE), dan lain-lain (Sunarti 2010).

Menurut Suharto (2005) orang miskin bukanlah orang yang pasif melainkan

manajer seperangkat aset yang ada di seputar diri dan lingkungannya. Sebesar

apa pun bantuan pemerintah atau sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga, jika

tidak diatur secara baik dalam manajemen sumberdaya keluarga, maka tidak

akan efektif. Hasil penelitian Firdaus dan Sunarti (2009) menunjukkan bahwa

terdapat hubungan nyata antara manajemen keuangan dengan kesejahteraan

keluarga. Semakin baik manajemen keuangan, maka semakin baik pula

kesejahteraan keluarga. Dengan demikian, manajemen sumberdaya keluarga

menjadi hal penting dalam kehidupan keluarga, baik pada keluarga miskin

maupun tidak miskin. Bagi keluarga miskin, manajemen sumberdaya perlu

dilakukan agar keluarga tersebut dapat mencapai tingkat kesejahteraan yang

lebih baik. Adapun bagi keluarga tidak miskin, manajemen perlu dilakukan agar

sumberdaya yang sudah ada ditingkatkan nilai atau produktivitasnya. Manajemen

sumberdaya keluarga dikatakan berhasil jika keluarga dapat mencapai tujuan

dengan menggunakan sumberdaya yang ada. Secara umum, tujuan dari

keluarga adalah terciptanya kesejahteraan keluarga. Sebagai suatu output,

Sunarti (2001) mengelompokkan kesejahteraan keluarga ke dalam tiga jenis,

yaitu kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis.

Saat ini penelitian mengenai manajemen sumberdaya keluarga pada

keluarga tidak miskin masih sangat sedikit. Selain itu, belum ada penelitian yang

menganalisis hubungan manajemen sumberdaya keluarga dengan

kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis. Oleh

karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti manajemen sumberdaya keluarga pada

(4)

sumberdaya keluarga pada keluarga miskin. Selanjutnya, menganalisis

hubungan manajemen sumberdaya keluarga dengan kesejahteraan fisik, sosial,

dan psikologis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

umum manajemen sumberdaya keluarga yang dilakukan oleh keluarga miskin

dan tidak miskin dan hubungannya dengan kesejahteraan untuk kemudian

dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan program pemberdayaan dan

ketahanan keluarga yang tepat, baik bagi keluarga miskin ataupun tidak miskin.

Rumusan Masalah

Keluarga merupakan institusi terkecil dari sebuah masyarakat (basic unit of

society) yang memiliki delapan fungsi, yaitu: 1) fungsi agama; 2) fungsi sosial

budaya; 3) fungsi cinta kasih; 4) fungsi perlindungan; 5) fungsi reproduksi; 6)

fungsi sosialisasi dan pendidikan; 7) ekonomi; dan 8) fungsi pemeliharaan

lingkungan. Kondisi suatu keluarga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh

lingkungan di luar keluarga yaitu mesosistem, eksosistem, dan makrosistem.

Dengan demikian, keberfungsian keluarga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh

ketiga sistem tersebut. Keluarga berkualitas akan mempengaruhi dan

dipengaruhi oleh lingkungan yang berkualitas, begitu pula sebaliknya. Agar

fungsi keluarga dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan pengelolaan

keluarga yang baik, termasuk pengelolaan sumberdaya keluarga.

Manajemen sumberdaya keluarga adalah penggunaan sumberdaya

keluarga dalam usaha atau proses mencapai sesuatu yang dianggap penting

oleh keluarga. Ada tiga komponen dalam proses manajemen, yaitu input, proses,

dan output. Input merupakan segala sesuatu yang dimiliki atau dapat diakses

oleh keluarga dan ditransformasi dalam sebuah proses untuk mencapai tujuan.

Proses terdiri atas perencanaan dan implementasi. Adapun output adalah segala

sesuatu yang dihasilkan dari sistem manajemen (Deacon dan Firebaugh 1988).

Bagi keluarga miskin, keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh sebuah

keluarga menyebabkan perlunya suatu pengelolaan yang baik agar tujuan hidup

yang diinginkan dapat tercapai (Iskandar 2003). Bagi keluarga tidak miskin

pengelolaan sumberdaya diperlukan agar sumberdaya yang ada dioptimalkan

fungsi produksinya agar kesejahteraan keluarga kian meningkat.

Sebagai proses yang dinamis, salah satu dari karakteristik manajemen

adalah tidak kaku, artinya, proses manajemen yang dilakukan dapat disesuaikan

(5)

karena itu, setiap keluarga memiliki pola manajemen yang berbeda-beda. Begitu

pula yang terjadi pada keluarga miskin dan tidak miskin.

Keluarga tidak miskin diduga memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi,

pendapatan dan jumlah aset yang lebih besar, tingkat masalah yang lebih rendah

serta tujuan keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan keluarga miskin. Oleh

karena itu, keluarga tidak miskin diduga menerapkan manajemen sumberdaya

keluarga yang lebih baik dibandingkan keluarga miskin. Penerapan manajemen

yang lebih baik diduga menciptakan kesejahteraan keluarga yang lebih baik pula.

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat perbedaan karakteristik keluarga, masalah yang

dirasakan, dan tujuan keluarga yang hendak dicapai antara keluarga

miskin dan tidak miskin?

2. Apakah terdapat perbedaan manajemen sumberdaya manusia,

manajemen waktu, dan manajemen keuangan antara keluarga miskin dan

tidak miskin?

3. Apakah terdapat perbedaan kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis

pada keluarga miskin dan tidak miskin?

4. Apakah terdapat hubungan antara manajemen sumberdaya manusia,

waktu, dan keuangan dengan karakteristik contoh serta masalah

keluarga?

5. Apakah terdapat hubungan antara kesejahteraan fisik, sosial, dan

psikologis dengan karakteristik contoh, masalah keluarga, manajemen

sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan?

Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan

manajemen sumberdaya keluarga dan kesejahteraan keluarga pada keluarga

miskin dan tidak miskin. Adapun tujuan khususnya, adalah:

1. Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, masalah yang dirasakan,

dan tujuan keluarga yang hendak dicapai antara keluarga miskin dan

tidak miskin

2. Menganalisis manajemen sumberdaya manusia, manajemen waktu, dan

manajemen keuangan antara keluarga miskin dan tidak miskin

3. Menganalisis kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis pada keluarga

(6)

4. Menganalisis hubungan antara manajemen sumberdaya manusia, waktu,

dan keuangan dengan karakteristik keluarga serta masalah keluarga

5. Menganalisis hubungan antara kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis

dengan karakteristik keluarga, masalah keluarga, manajemen

sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi bagi institusi

pendidikan yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

menerapkan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu mengabdi pada

masyarakat. Selanjutnya, bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan

wawasan baru bagaimana sebaiknya mengelola sumberdaya keluarga untuk

mencapai tujuan keluarga. Akhirnya, bagi pemerintah, penelitian ini memberikan

gambaran bagaimana pengelolaan sumberdaya keluarga pada masyarakat

miskin dan tidak miskin dan bagaimana hubungan antara manajemen dengan

kesejahteraan sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam

(7)

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Keluarga

Menurut Soekanto (1990), keluarga kecil (nuclear family) merupakan

kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, isteri beserta anak-anaknya yang

belum menikah. Sedangkan menurut Saleha (2003) keluarga merupakan satuan

dasar dari sumberdaya manusia yang berperan dalam masyarakat pada

berbagai bentuk kegiatan. Sebagai satuan dasar, maka keluarga merupakan

instansi pertama yang memberikan pengaruh terhadap sosialisasi diri dan

pembentukan pribadi manusia (Soedarsono 1997). Hal ini senada dengan yang

dikemukakan oleh Sunarto (2006) bahwa keluarga sebagai wahana utama dan

pertama untuk 1) mengembangkan potensi keluarga; 2) mengembangkan aspek

sosial dan ekonomi keluarga; dan 3) penyemaian cinta kasih sayang. Rice dan

Tucker mengelompokkan fungsi keluarga dalam dua bagian, yaitu fungsi

ekspresif dan fungsi instrumental. Fungsi ekspresif berkaitan dengan pemenuhan

kebutuhan emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi

anak, sedangkan fungsi instrumental berkaitan dengan manajemen sumberdaya

untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui a) prokreasi dan sosialisasi

anak serta b) dukungan dan pengembangan anggota keluarga. Adapun fungsi

keluarga menurut Roberta Berns yaitu fungsi reproduksi, sosialisasi/pendidikan,

penetapan peran sosial, dukungan ekonomi, dan dukungan emosi (Sunarti

2001). Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk membahas

keluarga,diantaranya adalah teori struktural fungsional dan sosial konflik.

Teori Struktural Fungsional

Teori ini mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial yang

menjadi sumber adanya struktur masyarakat. Struktur masyarakat tersebut

menciptakan fungsi dan peran yang berbeda-beda dalam masyarakat. Dengan

kata lain, teori ini memandang bahwa keseimbangan dalam masyarakat akan

terwujud jika masyarakat mampu menjalankan kehidupan sesuai dengan peran

dan fungsinya masing-masing. Teori ini muncul sebagai kritikan terhadap sosial

konflik yang menginginkan kehidupan egaliter (tanpa struktur).

Perspektif fungsionalisme dicetuskan oleh August Comte (Megawangi

2001) yang menginginkan terciptanya kesepakatan/konsensus dalam

(8)

melahirkan teori pembagian kerja (division of labor). Menurutnya, masyarakat

bersatu jika memiliki kesadaran akan kebersamaan. Kesadaran kebersamaan

didefinisikan sebagai sebuah kepercayaan yang diterima oleh rata-rata individu

(common beliefs) yang dapat menyatukan seluruh sistem kemasyarakatan. Asas

rasionalitas dan self-interest justru dapat menciptakan persaingan, penipuan dan

kekacauan sosial. Maka, Emile Durkheim menganggap penting diciptakan suatu

mekanisme untuk menginstitusionalisasi peraturan moral dan nilai sehingga

menjadi common values atau nilai-nilai atau norma-norma yang dipegang atau

disakralkan oleh masyarakat.

Tokoh lain yang berperan dalam mengembangkan teori struktural

fungsional yaitu Talcott Parsons. Parsons mencetuskan “teori aksi sukarela”

(voluntaristic theory of action). Menurutnya, tidak ada seseorang yang ‘dipaksa’

untuk melakukan sesuatu karena seseorang bertindak sesuatu berdasarkan

keputusannya sendiri. Keputusan ini dipengaruhi oleh kondisi situasional di

sekitarnya dan kondisi normatif yang berlaku di masyarakat. Setiap tindakan

disebut “unit aksi” (unit act) yang dilakukan oleh satu aktor atau lebih. Dalam

konteks sosial, beberapa unit aksi dapat bergabung menjadi satu “sistem aksi”

dimana setiap aktor mempunyai peran sesuai dengan kondisi situasional dan

norma-norma yang diyakininya.

Konsep kesatuan aksi tersebut dapat terlaksana jika memenuhi dua syarat

berikut: 1) sebuah sistem sosial harus mempunyai komponen aktor dalam jumlah

yang memadai, dimana tingkah lakunya dimotivasi oleh tuntutan-tuntutan peran

yang diatur oleh sistem sosialnya; dan 2) sistem sosial harus dapat menolak

pengaruh budaya yang dapat mempengaruhi ketertiban sistem sosialnya, atau

yang dapat menimbulkan deviasi dan konflik. Untuk memenuhi syarat tersebut,

maka diperlukan proses institusionalisasi agar pola relasi yang stabil antar aktor

yang mempunyai status dan peran berbeda, dapat terwujud. Melalui proses

institusionalisasi ini, maka proses internalisasi norma, kebiasaan, dan peran

dapat dilakukan sehingga dapat menghasilkan kepribadian aktor yang dapat

menghasilkan pola relasi sosial yang stabil yang akan menciptakan ketertiban

sosial. Proses internalisasi norma inilah yang membuat seseorang merasa

“sukarela” dalam melakukan sesuatu.

Perspektif struktural fungsional menyebutkan bahwa keseimbangan dalam

keluarga dapat tercapai bila terdapat struktur keluarga. Ada tiga elemen utama

(9)

sosial dimana ketiganya saling berkaitan. Kehidupan seseorang dalam sebuah

sistem sosial (dalam hal ini keluarga) tidak terlepas dari perannya yang

diharapkan karena satus sosialnya. Peran ini berfungsi sebagai menjamin

kelangsungan hidup sebuah sistem. Inilah yang dimaksud dengan keterkaitan

antara aspek struktural dan fungsional dalam keluarga.

Keluarga dapat dipandang sebagai sebuah sistem dimana memiliki pola

interaksi yang hampir sama dengan sistem sosial. Teori struktural fungsional

memandang bahwa keberfungsian keluarga dapat terlaksana jika memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut: 1) Adanya diferensiasi peran; 2) Adanya alokasi

solidaritas; 3) Adanya alokasi ekonomi; 4) Adanya alokasi politik; dan 5) Adanya

alokasi integrasi dan ekspresi. Pembagian peran dalam keluarga bisa dilakukan

dengan mempertimbangkan umur, gender, status ekonomi dan politik dari setiap

anggota keluarga. Alokasi solidaritas merupakan disteribusi relasi antar anggota

menurut cinta, kekuatan, dan intensitas. Alokasi ekonomi menunjukkan adanya

disteribusi barang dan jasa untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berkaitan

dengan pembagian peran anggota keluarga dalam fungsi produksi, distribusi,

dan konsumsi dalam keluarga. Alokasi politik menunjukkan distribusi kekuasaan

dalam keluarga dan penanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga.

Adapun alokasi integrasi dan ekspresi merupakan distribusi teknik atau cara

untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang

memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.

Teori Sosial Konflik

Landasan teori sosial konflik adalah prinsip materialisme yang

menyebutkan bahwa asal segala sesuatu adalah substansi materi, termasuk

manusia. Kesadaran dan ruh manusia berasal dari adanya gerakan-gerakan

partikel dalam otak. Prinsip materialisme menyatakan bahwa pada dasarnya

manusia bersifat egois. Apapun yang dilakukan manusia semata-mata demi

memenuhi kepentingan pribadinya saja. Oleh karena itu kehidupan masyarakat

diwarnai dengan pola relasi dominasi dan penindasan.

Salah satu tokoh yang berperan dalam pengembangan teori ini adalah Karl

Marx. Menurut Marx pola relasi antar manusia didorong oleh motivasi material

dan ekonomi. Teori Marx meluas dengan semakin gencarnya kritikan terhadap

Kapitalisme yang selalu mempertahankan status quo. Adanya masyarakat yang

(10)

berkuasa dipandang akan selalu menindas kelompok yang dikuasai agar

kepentingannya dapat terpenuhi.

Menurut teori sosial konflik, keluarga terdiri atas suami sebagai kaum

borjuis yang selalu menindas kaum proletar yaitu isteri. Pembagian ini

didasarkan pada adanya fakta bahwa suami seringkali berkuasa dan menindas

isteri dalam aspek ekonomi, seksual, dan pembagian properti dalam keluarga.

Keluarga yang ideal dalam perspektif sosial konflik adalah keluarga yang

berlandaskan companionship atau persahabatan yang hubungannya horizontal

(Megawangi 2001). Keluarga yang berstruktur justru menimbulkan konflik

keluarga yang berkepanjangan.

Kemunculan kaum feminis yang mengharapkan adanya “kebebasan bagi

wanita” didasarkan pada teori ini. Mereka menuntut adanya penghapusan sistem

patriarkat dalam keluarga. Bahkan mereka berupaya menghilangkan institusi

keluarga atau paling tidak defungsionalisasi keluarga. Salah satu contoh

defungsionalisasi keluarga adalah mengurangi peran keluarga dalam

pengasuhan anak.

Kesejahteraan Keluarga

Menurut UU No. 52 tahun 2009 ketahanan dan kesejahteraan keluarga

adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta

mengandung kemampuan fisik-materil guna hidup mandiri dan mengembangkan

diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan

kebahagiaan lahir dan batin (www.hsph.harvard.edu). Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga, yaitu

berdasarkan pendekatan objektif dan subjektif. Pendekatan objektif diturunkan

dari data kuantitatif yang diperoleh dari angka-angka yang langsung dihitung dari

aspek yang telah ditelaah. Pendekatan subjektif diperoleh dari persepsi

masyarakat tentang aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan

perkembangan dari aspek kesejahteraan (Iskandar 2007).

Menurut Syarief dan Hartoyo dalam Fahmi (2008), faktor-faktor yang

mempengaruhi kesejahteraan keluarga antara lain faktor ekonomi, budaya,

teknologi, keamanan, kehidupan beragama, dan kepastian hukum. Hasil

penelitian Fahmi (2008) menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi

keluarga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, usia isteri, tingkat

pendidikan suami, pengeluaran total keluarga, frekuensi perencanaan kegiatan

(11)

BKKBN membagi keluarga dalam lima tahapan, yaitu Keluarga Pra

Sejahtera (Pra KS), Keluarga Sejahtera I (KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II),

Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus).

Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS I) termasuk dalam

kategori miskin. Ada lima indikator yang harus dipenuhi agar suatu keluarga

dikategorikan sebagai Keluarga Sejahtera I, yaitu: 1) Anggota keluarga

melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masing-masing; 2) Seluruh

anggota keluarga pada umumnya makan 2 kali sehari atau lebih; 3) Seluruh

anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda di rumah, sekolah, bekerja

dan bepergian; 4) Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah; dan 5) Bila

anak sakit atau PUS (Pasangan Usia Subur) ingin mengikuti KB pergi ke

sarana/petugas kesehatan serta diberi cara KB modern. Adapun suatu keluarga

termasuk Keluarga Pra-Sejahtera jika tidak memenuhi salah satu dari lima

indikator tersebut (BPS 2008).

BPS mengukur kesejahteraan keluarga dengan menghitung pola konsumsi

keluarga. Keluarga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk

konsumsi makanan mengindikasikan keluarga yang berpenghasilan rendah.

Makin tinggi tingkat penghasilan keluarga, makin kecil proporsi pengeluaran

untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran keluarga, maka semakin tinggi

tingkat kesejahteraannya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa keluarga

akan semakin sejahtera jika persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih

kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan.

Sunarti (2001) melakukan penelitian ketahanan keluarga dengan

menggunakan pendekatan sistem (input-proses-output). Hasilnya ditemukan

faktor laten ketahanan keluarga, yaitu ketahanan fisik, sosial, dan psikologis.

Ketahanan fisik mencakup kesejahteraan fisik, ketahanan sosial mencakup

kesejahteraan sosial, dan ketahanan psikologis mencakup kesejahteraan

psikologis. Kesejahteraan fisik menggambarkan kondisi tingkat pemenuhan

kebutuhan fisik seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan.

Adapun kesejahteraan sosial dicerminkan dari persepsi dan harapan terhadap

lingkungan yang merupakan hasil dari suatu rangkaian proses interaksi sosial.

Sedangkan, kesejahteraan psikologi terukur dari frekuensi emosi tertentu,

harapan terhadap masa datang, tingkat kepuasan, konsep diri, dan kepedulian

(12)

Masalah Keluarga

Suami isteri akan membuat harapan-harapan saat memulai kehidupan

berumah tangga. Jika dalam perjalanan kehidupan keluarga mereka mengalami

kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan, maka pada saat itulah muncul

masalah. Menurut Burgess dan Locke (1980) perbedaan latar belakang keluarga,

gaya pengasuhan yang didapatkan, dan perbedaan pandangan tentang peran

masing-masing anggota keluarga dapat menimbulkan konflik.

Blood (1972) menyebutkan bahwa krisis dalam keluarga bisa disebabkan

oleh gangguan eksternal atau pergesekan internal keluarga. Gangguan eksternal

dapat muncul dari adanya orang asing di rumah, misalnya seorang anak akan

menganggap ayah atau ibu tiri mereka sebagai orang asing. Pertemanan yang

terlalu dekat dengan lawan jenis dari luar keluarga juga dapat memicu konflik.

Oleh karena itu, gangguan eksternal dapat muncul jika keluarga terlalu terbuka

terhadap orang-orang di luar keluarga.

Konflik internal muncul ketika terjadi pergesekan antara salah satu anggota

keluarga dengan anggota keluarga yang lainnya. Menurut Taylor (2002), konflik

keluarga yang paling banyak terjadi adalah konflik internal. Meskipun seseorang

menghabiskan waktu lebih banyak di luar rumah (berada di tempat kerja atau

berkumpul dengan komunitasnya), namun pada hakikatnya mereka tinggal

dengan keluarga dan akan kembali ke rumah. Lewicki, Saunders, dan Minton

membagi konflik keluarga dalam 4 level, yaitu: 1) konflik intrapersonal (konflik

karena adanya dua ‘kubu’ pemikiran dalam diri seseorang); 2) konflik

interpersonal (konflik antar anggota keluarga); 3) konflik intragroup (terbentuknya

kubu-kubu dalam internal keluarga); dan 4) konflik intergroup (perselisihan

keluarga dengan komunitas di luar keluarga). Menurut Burgess dan Locke

(1960), konflik interpersonal diantaranya adalah konflik orangtua-anak dan konflik

suami-isteri. Konflik anak biasanya berkaitan dengan perilaku anak, gangguan

emosional, dan keremajaan. Konflik yang terjadi antara orangtua-anak

menunjukkan ketidakmampuan orangtua dalam membangun hubungan

demokratis dengan anak. Adapun konflik suami isteri bersumber dari hubungan

kasih sayang, seks, perbedaan pola budaya, peran sosial, kesulitan ekonomi,

dan adanya persahabatan yang saling menguntungkan. Goldsmith

mengelompokkan tiga area interaksi suami isteri yang merupakan sumber konflik

(13)

konflik keluarga bisa berupa frustasi, penolakan, pengkhianatan, dan rendahnya

self esteem (Sunarti 2001).

Sunarti (2001) melakukan studi ketahanan keluarga dengan menggunakan

pendekatan input-proses-output. Masalah yang dirasakan oleh seseorang

merupakan komponen proses yang akan mempengaruhi kesejahteraan keluarga.

untuk mendapatkan kesejahteraan keluarga (output), keluarga harus mampu

menanggulangi masalah (proses) dengan menggunakan sumberdaya yang

dimiliki (input). Masalah ada yang bersifat fisik dan non fisik. Masalah fisik

mencakup kondisi ekonomi, kesehatan, dan peristiwa kehilangan materi. Adapun

masalah non-fisik berupa konflik dengan suami, keluarga, kesulitan pengasuhan

anak, dan peristiwa kehilangan.

Tujuan Keluarga

Tujuan didefinisikan sebagai hasil akhir yang dituju dari suatu tindakan,

biasanya berkaitan dengan tenggat waktu, pencapaian prestasi, penyelesaian,

dan kesuksesan. Orientasi tujuan masuk ke dalam proses manajemen melalui

sistem personal yang berasal dari nilai yang dianut. Semakin absolut nilai yang

dianut seseorang, makin spesifik tujuan hidupnya. Misalnya, jika ketertarikan

musik seseorang hanya pada musik country dan barat, maka keinginan untuk

menyaksikan pertunjukan langsung menjadi fokus tujuannya. Seseorang yang

menikmati semua jenis musik, memiliki lebih banyak alternatif pilihan untuk

memenuhi keinginannya (Deacon dan Firebaugh 1988).

Nilai berkembang menjadi tujuan melalui berbagai cara, seperti

pengalaman, pengetahuan baru, informasi timbal balik, dan perubahan

lingkungan. Misalnya, nilai akan kesehatan diwujudkan ke dalam tujuan untuk

meningkatkan vitalitas fisik (Deacon dan Firebaugh 1988). Ada tiga tipe tujuan,

yaitu: 1) berdasarkan waktu (tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang); 2)

berdasarkan peran (pribadi, profesional, keluarga, dan masyarakat); dan 3) jenis

(tujuan primer dan sekunder).

Manajemen Sumberdaya Keluarga

Deacon dan Firebaugh (1988) mendefinisikan sumberdaya sebagai segala

sesuatu yang berada dalam kontrol keluarga yang dapat memenuhi tuntutan

keluarga atau menghantarkan keluarga untuk mencapai tujuan. Sumberdaya

dapat berasal dari dalam keluarga atau merupakan hasil interaksi keluarga

(14)

bisa memenuhi keinginan (Gross et al 1973). Dengan demikian segala sesuatu

yang ada di sekitar kita dapat digolongkan menjadi sumberdaya jika dapat

diakses dan sudah diketahui potensi atau kegunaannya.

Berdasarkan jenisnya, sumberdaya dibagi menjadi dua, yaitu sumberdaya

manusia dan sumberdaya materi (Deacon dan Firebaugh 1988). Sumberdaya

manusia mencakup keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan anggota

keluarga. Terdapat tiga aspek sumberdaya manusia, yaitu aspek kognitif, afektif,

dan psikomotorik. Keberfungsian ketiga aspek sumberdaya manusia tersebut

dipengaruhi oleh energi yang dimiliki manusia dan kemampuannya untuk

mengelola waktu. Sumberdaya energi dan waktu digolongkan sebagai

sumberdaya non-manusia/materi. Dengan demikian, terdapat kaitan yang erat

antara sumberdaya manusia dan sumberdaya materi.

Sumberdaya materi mencakup barang/benda, jasa, waktu, dan energi

(Deacon dan Firebaugh 1988). Waktu sifatnya tetap, tidak bisa ditambah,

dikurangi atau diakumulasi. Penggunaan waktu yang efektif berkaitan dengan

pencapaian kesejahteraan psikologis. Energi merupakan sesuatu yang

fundamental bagi kelangsungan hidup manusia karena manusia selalu

membutuhkan energi dalam setiap aktivitas. Sumberdaya energi dapat dihasilkan

oleh manusia sendiri melalui proses konsumsi pangan atau berasal dari

lingkungan seperti energi matahari, energi angin, dan lain-lain.

Manajemen merupakan alat dasar (basic tool) utnuk mencapai tujuan

dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia. Suatu proses manajemen

dikatakan berhasil jika mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Dengan

melakukan manajemen kehidupan seseorang bisa teratur dan efektif (Deacon

dan Firebaugh 1988). Menurut Gross dan Crandall (1973) sumberdaya keluarga

terdiri atas serangkaian pengambilan keputusan dalam penggunaan sumberdaya

keluarga untuk mencapai tujuan keluarga. Dengan kata lain, manajemen

sumberdaya keluarga mencakup semua bentuk perilaku untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan. Sistem manajemen menunjukkan saling ketergantungan

dan saling keterhubungan di antara sistem keluarga dengan sistem di

sekelilingnya karena manajemen dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan.

Input mencakup zat, energi, sumberdaya, keinginan, dan informasi yang

dapat ditransformasi untuk mencapai tujuan tertentu (Deacon dan Firebaugh

1988). Proses manajemen mencakup perencanaan dan pelaksanaan.

(15)

masa depan. Pelaksanaan merupakan aktivitas menjalankan perencanaan.

Pelaksanaan juga mencakup pengawasan terhadap aktivitas. Salah satu ciri

manajemen adalah tidak kaku atau dinamis. Oleh karena itu, merupakan

kelaziman jika selama proses manajemen mengalami berbagai penyesuaian dan

adaptasi. Di akhir proses pelaksanaan, ada evaluasi yang menilai pencapaian

tujuan (output). Tujuan dalam manajemen sumberdaya keluarga bisa berasal dari

tujuan masing-masing anggota keluarga atau keluarga secara keseluruhan.

Tujuan memberikan arahan bagi proses manajemen. Adapun standar yaitu

ukuran atau kriteria untuk mengukur kapasitas dan cara yang akan ditempuh

untuk mencapai tujuan (Nickell dan Dorsey 1960). Secara umum hasil dari

proses manajemen yaitu tercapainya tujuan dengan menggunakan sumberdaya

yang ada.

Manajemen Sumberdaya Manusia

Manajemen sumberdaya manusia dalam penelitian ini merupakan

pembagian tugas dalam keluarga demi keberfungsian keluarga dalam memenuhi

aspek pangan, perumahan, pengasuhan, pendidikan, dan pengasuhan.

Pembagian kerja dalam rumah tangga dapat dilihat dengan menggunakan empat

hipotesis, yaitu: 1) resource and power hypothesis; 2) time availability hypothesis;

3) sex-role hypothesis; dan 4) preference-for-housework hypothesis. Resource

and power hypothesis menyatakan bahwa semakin besar kontribusi pendapatan

suami bagi keluarga, maka semakin besar tanggung jawab isteri dalam urusan

rumah tangga. Sebaliknya, semakin besar kontribusi pendapatan isteri bagi

keluarga, maka semakin kecil tanggung jawab isteri dalam urusan rumah tangga.

Time availability hypothesis menyatakan bahwa seorang isteri yang bekerja

memiliki alokasi waktu dan tanggung jawab yang lebih sedikit untuk mengerjakan

pekerjaan rumahtangga dibandingkan dengan isteri yang tidak bekerja. Sex-role

hypothesis menyebutkan bahwa persepsi gender mempengaruhi pembagian

kerja. Adapun preference-for-housework hypothesis menyatakan bahwa

preferensi (ketertarikan) suami dan isteri pada jenis pekerjaan tertentu

mempengaruhi pembagian kerja dalam keluarga. Secara umum, seorang isteri

menyukai aktivitas domestik seperti mengasuh anak dan merapikan rumah,

sedangkan ketertarikan suami pada aktivitas domestik lebih rendah dibandingkan

(16)

Manajemen Waktu

Manajemen waktu adalah suatu cara dalam menggunakan dan mengelola

waktu agar aktivitas dapat berjalan efektif dan efisien. Output dari manajemen

waktu adalah jika waktu yang digunakan dapat mencapai tujuan individu dan

keluarga. Dalam mengelola waktu diperlukan kemampuan untuk menempatkan

posisi diri kita dalam lingkungan. Dengan kata lain, aktivitas individu akan

disesuaikan dengan orang lain, baik dalam aspek pemenuhan pangan,

pekerjaan, istirahat, atau rekreasi (Nickell dan Dorsey 1960).

Sebagai aktivitas manajemen, manajemen waktu terdiri atas aktivitas

perencanaan, pengawasan, dan evaluasi. Menurut Gross dan Crandall (1973),

terdapat tiga tipe perencanaan waktu, yaitu: 1) List a job; 2) Series of project; dan

3) Schedule. List a job adalah perencanaan waktu dengan cara membuat daftar

aktivitas kegiatan yang akan dilakukan, disertai dengan kata-kata motivasi

sehingga bersemangat untuk mencapai target yang sudah ditentukan. Pada

perencanaan series of project, daftar aktivitas kegiatan disertai dengan urutan

waktu, namun tidak ada batas waktu yang jelas. Adapun, dalam tipe

perencanaan yang ketiga, daftar aktivitas disertai dengan urutan waktu dan

perkiraan waktu yang diperlukan untuk mengerjakan aktivitas tersebut.

Langkah-langkah dalam menyusun schedule adalah; 1) membuat daftar semua aktivitas,

kemudian dikelompokkan menjadi aktivitas fleksibel dan tidak fleksibel; 2)

memperkirakan waktu yang diperlukan untuk menjalankan setiap aktivitas; 3)

menyesuiakan total perkiraan waktu yang diperlukan dengan waktu yang

tersedia; 4) menyusun urutan waktu; 5) tuliskan perencanaan; dan 6) jika

terdapat aktivitas yang berkaitan dengan orang lain, maka komunikasikan hal

tersebut kepada orang yang dimaksud.

Perencanaan waktu disusun sedemikian rupa dengan mengalokasikan

waktu tidak terduga (emergencies time). Kemampuan seseorang dalam

melakukan penyesuaian dalam pengelolaan waktu merupakan aspek penting

dalam melakukan manajemen waktu (Nickell dan Dorsey 1960). Salah satu cara

untuk meningkatkan kepekaan terhadap waktu adalah dengan membuat daftar

aktivitas yang harus dilakukan dalam waktu yang cukup singkat. Misalnya

merencanakan untuk mengerjakan laporan praktikum dalam waktu setengah jam.

Jika ternyata waktu yang diperlukan lebih dari setengah jam, maka yang harus

dilakukan adalah mengubah konsepsi bahwa mengerjakan laporan praktikum

(17)

digunakan sebagai pengontrol waktu adalah bulletin board, yaitu papan yang

berisi daftar aktivitas beserta perkiraan waktu yang diperlukan. Alat bantu lainnya

adalah time record, yaitu mencatat setiap penggunaan waktu. Dengan cara ini,

seseorang dapat memeriksa proporsi dalam menggunakan waktu. Adapun

evaluasi dilakukan dengan memeriksa ketepatan metode yang digunakan,

kesesuaian pengambilan keputusan yang diambil dengan nilai yang dianut serta

ketepatan pencapaian target (Gross dan Crandall 1973).

Manajemen Keuangan Keluarga

Manajemen pendapatan atau manajemen keuangan adalah kegiatan

merencanakan, mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi penggunaan

pendapatan (Nickell dan Dorsey 1960). Menurut Firdaus dan Sunarti (2009),

manajemen keuangan keluarga mencakup komunikasi bagaimana menggunakan

pendapatan. Ketersediaan sumberdaya lain, seperti waktu dan sumberdaya

manusia, penting dalam melakukan manajemen keuangan karena sumberdaya

tersebut mempengaruhi bagaimana penggunaan keuangan untuk mencapai

tujuan (Deacon dan Firebaugh 1988). Sebagai suatu sistem, manajemen

keuangan mencakup tiga aspek, yaitu input, proses, dan output. Aspek input

mencakup tujuan, keinginan, kebutuhan, dan resiko ekonomi. Penentuan tujuan

dan penetapan budget merupakan tahap perencanaan dalam proses manajemen

keuangan. Bagi keluarga yang baru menikah, tujuan utama dalam penetapan

budget adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai harga barang

dan jasa. Bagi keluarga yang menggunakan kartu kredit, maka yang menjadi

tujuan utama adalah menjaga batas kartu kredit sesuai dengan kemampuan

finansial mereka (Gross dan Crandall 1973). Ada empat langkah yang dilakukan

dalam menetapkan budget, yaitu: 1) memperkirakan jumlah uang yang tersedia;

2) memperkirakan pengeluaran; 3) membandingkan keperluan dengan

sumberdaya yang tersedia; dan 4) mengevaluasi perencanaan dan implementasi

secara menyeluruh.

Penelitian-Penelitian Terdahulu

Samon (2005) meneliti pelaksanaan manajemen keuangan pada dua

populasi, yaitu keluarga nelayan dan keluarga petani tambak. Dari hasil

penelitian ditemukan bahwa pengeluaran terbesar keluarga nelayan adalah

pangan, sebaliknya pengeluaran terbesar keluarga petani tambak adalah non

pangan. Jika suatu keluarga memiliki pengeluaran terbesar untuk pangan, maka

(18)

keluarga nelayan tergolong keluarga miskin dan keluarga petani tambak

termasuk keluarga sejahtera. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan

manajemen keuangan, baik keluarga nelayan maupun petani tambak masih

tergolong rendah.

Hasil penelitian Firdaus dan Sunarti (2009) menunjukkan bahwa semakin

besar jumlah anggota keluarga, maka semakin tinggi tekanan ekonomi dan

semakin rendah kesejahteraannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, makin baik

pula manajemen keuangan keluarga sehingga kesejahteraannya semakin

meningkat. Meskipun demikian hanya sedikit (12.6%) keluarga yang memiliki

manajemen dalam kategori baik. Hal ini membuktikan bahwa jenjang pendidikan

yang tinggi belum pasti memiliki manajemen keluarga yang baik. Terbatasnya

keuangan keluarga dan terbatasnya tindakan pilihan untuk menggunakan uang,

menyebabkan pengelolaan keuangan menjadi sederhana.

Hasil penelitian Sunarti (2001) menunjukkan bahwa masalah yang paling

banyak dihadapi oleh keluarga adalah masalah ekonomi keluarga (50-60%) yang

mencakup kekurangan uang untuk membeli pangan, biaya anak sekolah, dan

untuk pelayanan kesehatan. Masalah perkawinan yang terjadi adalah konflik

suami isteri (40%), bahkan terdapat 10 persen contoh yang mengetahui

suaminya selingkuh. Pada umumnya contoh merasa tertekan dengan kejadian

tersebut, namun ada contoh yang mencoba menekan perasaan tersebut dengan

berusaha memahami kejadian dan kondisi sulit yang dialami suaminya.

Saleha melakukan penelitian sumberdaya keluarga pada keluarga nelayan

di Bontang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas domestik seperti

mengurus anak dan pemeliharaan rumahtangga banyak dilakukan oleh isteri.

Meskipun demikian, aktivitas mendampingi anak belajar lebih banyak dilakukan

oleh suami. Hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa pendidikan suami lebih

memadai dalam melakukan pendampingan belajar. Selain itu, keterlibatan suami

dalam merawat anak yang sakit, cukup tinggi yaitu sebesar 78.3 persen. Hal ini

karena mereka menyadari pentingnya kesehatan sehingga harus ditangani

dengan lebih serius bersama-sama. Adapun untuk aktivitas publik dalam sektor

ekonomi dan sosial kemasyarakatan, terdapat pembagian peran antara suami

dan isteri. Dalam sektor ekonomi, aktivitas persiapan melaut dan pemasaran

hasil laut banyak dilakukan oleh suami, sedangkan isteri banyak terlibat dalam

aktivitas pengolahan hasil ikan. Dalam sektor sosial kemasyarakatan, isteri lebih

(19)

sedangkan suami lebih banyak menghadiri kegiatan gotong royong. Suami dan

isteri secara bersama-sama banyak menghadiri kegiatan sosial kemasyarakatan

seperti acara selamatan (Saleha 2003).

Hasil penelitian Kusumo dan Simanjuntak (2009) menyebutkan bahwa

keluarga berpenghasilan rendah belum merasa puas dengan sumberdaya fisik

yang dimiliki karena hanya dapat memenuhi separuh dari harapan contoh atau

dengan kata lain sumberdaya tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan

keluarga. Meskipun demikian secara umum keluarga berpenghasilan rendah

merasa puas dengan sumberdaya non fisik yang tersedia. Kepuasan sangat

berhubungan dengan bagaimana keluarga tersebut mengatur pendapatannya

untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Menurut Iskandar (2003) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

manajemen sumberdaya keluarga terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan

eksternal. Faktor internal meliputi jumlah anggota keluarga, usia kepala keluarga,

usia isteri, pendidikan kepala keluarga dan isteri, pendidikan, dan kepemilikan

aset, sedangkan faktor eksternal berupa lokasi tempat tinggal. Keluarga miskin

membiarkan tujuan hidup mengalir seperti apa adanya, sedangkan keluarga

yang tidak miskin memiliki perencanaan agar tujuan hidup dapat dicapai. Pada

keluarga miskin dan tidak miskin, sebagian besar tugas seorang ibu adalah

mengurus anak dan keluarga. Meskipun demikian, suami juga berperan dalam

kegiatan domestik (pengasuhan anak) walaupun dengan rataan alokasi waktu

yang jauh lebih sedikit.

Suandi (2007) meneliti mengenai modal sosial dan kesejahteraan ekonomi

keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial, seperti tingkat

partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi lokal, dan

keterpercayaan masyarakat berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan

ekonomi objektif keluarga. Selain itu, manajemen keuangan dan manajemen

anggota keluarga pun berpengaruh positif terhadap kesejahteraan ekonomi

objektif. Adapun karakteristik sosio-demografi, seperti pendidikan suami dan

pendidikan non-formal suami tidak berpengaruh signifikan. Meskipun demikian,

karakteristik sosio-demografi tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan

ekonomi subjektif keluarga. Begitu pula dengan manajemen sumberdaya

keluarga dan faktor modal sosial, tidak berpengaruh terhadap tingkat

(20)

Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa manajemen keuangan

pada keluarga miskin maupun keluarga tidak miskin tergolong rendah. Meskipun

terdapat kecenderungan semakin tinggi jenjang pendidikan maka sumberdaya

keluarga semakin baik, namun jenjang pendidikan yang tinggi belum pasti

memiliki manajemen keluarga yang baik. Faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap manajemen sumberdaya keluarga, yaitu besar keluarga, usia suami,

usia isteri, pendidikan suami, pendidikan isteri, kepemilikan aset, dan lokasi

tempat tinggal. Karakteristik sosio-demografi, modal sosial, dan manajemen

sumberdaya keluarga berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesejahteraan

objektif keluarga. Masalah yang paling banyak dirasakan oleh keluarga yaitu

(21)

KERANGKA PEMIKIRAN

Sumberdaya keluarga adalah segala sesuatu yang dimiliki keluarga yang

dapat digunakan untuk mencapai tujuan keluarga. Sumberdaya yang dimiliki

keluarga merupakan input dalam proses manajemen sumberdaya keluarga. Oleh

karena itu, karakteristik keluarga yang mencakup karakteristik demografi (usia

suami-isteri dan besar keluarga), sosial (jenjang pendidikan dan lama

pendidikan), ekonomi (pendapatan, pengeluaran, pekerjaan, kepemilikan utang

dan rasio utang terhadap aset) merupakan input bagi proses manajemen. Selain

itu, masalah keluarga yang ingin diselesaikan menjadi tujuan bagi keluarga yang

akan menjadi input juga bagi proses manajemen.

Proses manajemen berlangsung jika ada perencanaan, pelaksanaan, dan

pengendalian atas penggunaan input serta evaluasi terhadap tindakan

manajemen secara keseluruhan. Dalam penelitian ini, manajemen sumberdaya

keluarga yang diteliti adalah manajemen sumberdaya manusia, manajemen

waktu, dan manajemen keuangan. Manajemen sumberdaya manusia mengacu

pada pembagian tugas dan tanggung jawab suami-isteri demi keberfungsian

keluarga dalam aspek pangan, perumahan, pengasuhan, pendidikan, dan

kesehatan. Manajemen waktu mencerminkan kemampuan keluarga

menggunakan waktu dengan efektif dan efisien. .Adapun manajemen keuangan

mencerminkan kemampuan keluarga mengelola sumberdaya materi yang

dimiliki.

Manajemen sumberdaya keluarga dikatakan berhasil jika keluarga dapat

mencapai tujuan dengan menggunakan sumberdaya yang ada. Secara umum,

tujuan dari keluarga adalah terciptanya kesejahteraan keluarga. Pada penelitian

ini indikator kesejahteraan yang digunakan adalah indikator kesejahteraan yang

dikembangkan oleh Sunarti, meliputi kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis

(Sunarti 2001). Kesejahteraan fisik mencerminkan ketahanan ekonomi keluarga

karena keluarga mampu memenuhi kebutuhan fisik seperti pangan, perumahan,

pendidikan, dan kesehatan. Kesejahteraan sosial berkaitan dengan persepsi dan

harapan seseorang terhadap lingkungan sosialnya. Adapun kesejahteraan

psikologis diukur berdasarkan intensitas emosi tertentu, konsep diri, dan

kepedulian suami. Secara ringkas, kerangka pemikiran dapat dilihat pada

(22)

Gambar 1 Kerangka berpikir manajemen sumberdaya keluarga pada keluarga miskin dan tidak miskin

OUTPUT

Kesejahteraan Keluarga:

 Kesejahteraan Fisik

 Kesejahteraan Psikologis

 Kesejahteraan Sosial

PROSES

Manajemen Waktu

Manajemen Sumberdaya Manusia Manajemen Keuangan

Karakteristik Keluarga:

1. Demografi

- Usia suami & isteri -Besar keluarga 2. Sosial

- Jenjang Pendidikan - Lama Pendidikan 3. Ekonomi

- Pendapatan - Pengeluaran - Pekerjaan

- Rasio utang terhadap aset

 Masalah Keluarga

 Tujuan Keluarga

(23)

METODE PENELITIAN

Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study,

artinya data penelitian dikumpulkan pada satu periode waktu tertentu. Penelitian

dilaksanakan di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Provinsi

Jawa Barat. Lokasi penelitian ini dipilih dengan menggunakan metode purposive

dengan pertimbangan Desa Laladon memiliki masyarakat dengan kondisi sosial

ekonomi yang cukup heterogen. Penelitian ini berlangsung dari bulan Agustus

2010 sampai dengan Februari 2011. Dalam kurun waktu tersebut, peneliti

melakukan pengumpulan, pengolahan, dan analisis data serta menyusun laporan

penelitian.

Populasi dan Teknik Penarikan Contoh

Populasi penelitian adalah seluruh keluarga miskin dan tidak miskin di

Desa Laladon. Desa Laladon tidak memiliki data penduduk miskin, namun

memiliki data penduduk penerima BLT. Dana BLT diberikan kepada penduduk

yang memenuhi kriteria kemiskinan BPS, yaitu keluarga dinyatakan miskin

apabila pengeluaran per kapita per bulannya di bawah garis kemiskinan. Oleh

karena itu, data BLT 2008 digunakan sebagai acuan menentukan keluarga tidak

miskin.

Berdasarkan data BLT, RW 03 merupakan RW terbanyak penerima BLT

yaitu sebanyak 98 keluarga. Oleh karena itu RW 03 dipilih untuk kemudian

ditentukan contoh dari keluarga miskin. Sedangkan keluarga tidak miskin berasal

dari RW 10 karena RW 10 tidak memiliki satu pun keluarga miskin. RW 10 terdiri

atas 124 keluarga sehingga total populasi penelitian adalah 222 keluarga.

Contoh penelitian ini yaitu isteri dengan karakteristik sebagai berikut: 1)

masih memiliki suami; dan 2) memiliki anak minimal usia sekolah. Penentuan

karakteristik contoh mengacu pada instrumen penelitian (kuesioner). Pada

kuesioner terdapat pertanyaan-pertanyaan yang menanyakan peran dan fungsi

suami sehingga untuk menjaga keakuratan jawaban, contoh harus memiliki

suami saat penelitian dilakukan. Selain itu terdapat pertanyaan yang berkaitan

dengan peran orangtua terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan anak

(24)

dilakukan. Jumlah contoh minimal ditentukan menggunakan rumus Slovin

dengan tingkat kesalahan 10 persen, yaitu:

Dengan demikian jumlah contoh yang diperoleh yaitu:

Adapun jumlah contoh dari setiap RW diperoleh dengan menggunakan

sistem proporsi dengan perhitungan sebagai berikut:

Keterangan: nRw 03/Rw 10 = populasi penelitian (RW 03 dan RW 10)

N Rw 03/Rw 10 = jumlah contoh penelitian (RW 03 dan RW 10)

Ntotal = populasi penelitian

n = jumlah contoh penelitian

Dengan demikian didapatkan jumlah contoh di setiap RW yaitu sebagai berikut:

Berdasarkan perhitungan rumus di atas, maka didapatkan 31 orang contoh

dari RW 03 (keluarga miskin) dan 39 orang contoh dari RW 10 (keluarga tidak

miskin). Di tengah pengumpulan data penelitian, terdapat 2 contoh keluarga tidak

miskin drop out karena tidak berkenan diwawancara. Dengan demikian, total

seluruh contoh adalah 68 orang. Proses penarikan contoh dilakukan secara acak

menggunakan teknik simple random sampling. Secara ringkas teknik penarikan

contoh dapat dilihat pada bagan berikut:

N n= 1+ Ne2

Keterangan:

n= ukuran sampel

N= ukuran populasi

e= persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan

yang masih bisa ditolerir yaitu 10%

222

n= = 70 orang 1+ 222 (0.1)2

70

N RW 03= × 98 = 31 orang 222

70

N RW 10= × 124 = 39 orang 222

n RW 03/RW 10 N RW 03/RW 10= × n

(25)

Gambar 2 Bagan penarikan contoh

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer didapatkan dari hasil wawancara kepada contoh terpilih

dengan menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder didapatkan dari

Kantor Kelurahan Desa Laladon dan literatur-literatur terkait.

Kuesioner untuk mengukur manajemen sumberdaya manusia merupakan

kuesioner yang dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan menggunakan

construct dari Diktat Manajemen Sumberdaya Manusia karya Suprihatin

Guhardja dan kawan-kawan. Kuesioner yang mengukur manajemen waktu

merupakan kuesioner yang dikembangkan sendiri dengan menggunakan

konstrak dari Nickell dan Dorsey (1960), sedangkan kuesioner yang mengukur

manajemen keuangan merupakan kuesioner yang dimodifikasi dari kuesioner

manajemen keuangan Firdaus dan Sunarti (2009) dan Simanjuntak (2010).

Adapun kuesioner yang mengukur kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan

kesejahteraan psikologis merupakan kuesioner yang diadopsi dari Sunarti

(2001).

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang sudah dikumpulkan diolah melalui proses entrying, editing,

coding, cleaning, dan dianalisis menggunakan program lunak komputer. Analisis

yang digunakan untuk menganalisis data yaitu uji deskriptif, uji beda Independent Purposive

Purposive

Purposive

Random Sampling

Desa Laladon

RW 10 (KTM)

n2=31 n1=39

RW 03 (KM) Kecamatan

(26)

sample T-Test, dan uji korelasi Pearson. Uji deskriptif digunakan untuk

mengetahui nilai minimum-maksimum, rataan, dan standar deviasi variabel

penelitian. Selain itu uji deskriptif juga digunakan untuk mengetahui sebaran

contoh pada kedua kelompok contoh berdasarkan kategori tertentu. Uji beda

digunakan untuk menganalisis perbedaan karakteristik contoh, masalah, tujuan

keluarga, penerapan manajemen sumberdaya keluarga, dan kesejahteraan

keluarga antara keluarga miskin dan tidak miskin. Uji korelasi digunakan untuk

menguji hubungan antarvariabel. Selanjutnya data yang disajikan dijelaskan

secara deskriptif. Dalam tabel pembahasan, contoh keluarga miskin diberi label

KM, sedangkan contoh keluarga tidak miskin diberi label KTM. Variabel

penelitian, skala, dan kategori dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Variabel penelitian, skala, dan kategoriyang digunakan

Variabel Penelitian Skala Kategori

1. Karakteristik Keluarga

a. Usia Rasio Berdasarkan Hurlock (1980)

[1] Dewasa awal: 18-40 tahun; [2] Dewasa madya: 41-60 tahun; [3] Dewasa akhir: >60 tahun

b. Besar Keluarga Rasio Berdasarkan Hurlock (1980)

[1] Keluarga kecil (≤4 orang); [2] [7] Pegawai swasta; dan [8] Lain-lain e. Pendapatan Rasio Berdasarkan UMR Bogor (2010)

1. Rendah (≤ Rp 971 200)

2. Sedang (Rp 971 201-Rp 1 942 401) 3. Tinggi (> Rp 1 942 402)

f. Pengeluaran Rasio Berdasarkan GK BPS Jawa Barat (2009) 1. Sangat miskin (≤ Rp 105 863)

2. Miskin (Rp 105 864-Rp 211 727) 3. Hampir miskin (Rp 211 728-Rp 317

590)

4. Tidak miskin (>Rp 317 590) g. Rasio Utang Rasio [1] ≤ 50%; dan [2] > 50%

(27)

(66.7%-Variabel Penelitian Skala Kategori

100%)

b. Manajemen Waktu (skor) Rasio [1] Rendah (0%-33.3%); [2] Sedang (33.4%-66.6%); dan [3] Tinggi

(66.7%-a. Kesejahteraan Fisik (skor) Rasio [1] Rendah (0%-33.3%); [2] Sedang (33.4%-66.6%); dan [3] Tinggi

(66.7%-Pada saat melakukan pengolahan, data variabel masalah, sumberdaya

manusia, sumberdaya waktu, sumberdaya keuangan, kesejahteraan fisik,

kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis diubah ke dalam bentuk rasio

dengan cara skoring. Adapun rumus skoring, yaitu:

nilai total-nilai minimum

Skor= × 100%

nilai maksimum-nilai minimum

Setelah mendapatkan skor setiap variabel, selanjutnya skor dikelompokkan

menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Untuk menentukan cut off

tingkat masalah, sumberdaya manusia, sumberdaya waktu, sumberdaya

keuangan, kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan

psikologis, maka perlu dicari interval kelasnya dengan menggunakan rumus:

(28)

Dengan demikian, cut off bagi masalah keluarga, manajemen keuangan,

manajemen waktu, manajemen sumberdaya manusia, kesejahteraan fisik,

kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis yaitu:

a. Rendah : 0%– 33.3%

b. Sedang : 33.4% – 66.6%

c. Tinggi : 66.7% – 100%

Definisi Operasional

Contoh adalah isteri yang memiliki keluarga utuh dan memiliki anak minimal berusia sekolah.

Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lainnya yang hidup dari pengelolaan

sumberdaya yang sama.

Lama pendidikan adalah waktu yang diperlukan contoh dalam menempuh pendidikan formal.

Pekerjaan keluarga adalah pekerjaan utama suami dan isteri yang bernilai ekonomi.

Pendapatan keluarga adalah jumlah uang yang diterima oleh keluarga, baik dari semua anggota keluarga yang bekerja ataupun pemberian rutin.

Pendididikan adalah pendidikan formal yang ditempuh oleh contoh.

Pengeluaran adalah jumlah total semua pengeluaran pangan dan non pangan keluarga.

Tujuan keluarga adalah hal yang ingin dicapai keluarga dalam jangka pendek, menengah, dan panjang

Manajemen sumberdaya keluarga adalah pengelolaan sumberdaya yang dilakukan keluarga, mencakup manajemen waktu, manajemen keuangan,

dan manajemen sumberdaya manusia.

Manajemen keuangan adalah kegiatan merencanakan, mengevaluasi, dan membicarakan penggunaan sumberdaya berupa uang yang dimiliki untuk

memenuhi kebutuhan dan tujuan keluarga.

Manajemen waktu adalah kegiatan merencanakan penggunaan waktu dan melaksanakannya untuk mencapai tujuan keluarga.

Manajemen sumberdaya manusia adalah kegiatan mengelola dengan cara membagi-bagi pekerjaan keluarga kepada anggota keluarga.

(29)

Kesejahteraan keluarga adalah kondisi ideal keluarga, mencakup kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis.

Kesejahteraan fisik adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi aspek pangan, sandang, kesehatan, pendidikan, dan perumahan.

Kesejahteraan sosial adalah persepsi dan harapan contoh dalam hubungannya dengan lingkungan sosial.

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten

Bogor, Jawa Barat. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Sindang Barang,

sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Padasuka, sebelah Barat

berbatasan dengan Desa Ciherang, dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa

Ciomas Rahayu. Desa Laladon berada pada ketinggian 500 m di atas

permukaan laut dengan curah hujan rataan 200 mm per tahun. Adapun jarak

Desa Laladon ke pusat pemerintahan (orbitasi) relatif dekat, yaitu 2.5 km ke

pusat pemerintahan kecamatan, 20 km ke pemerintahan Kabupaten atau Kota

Bogor, 60 km ke ibukota negara, dan 120 km ke ibukota provinsi.

Desa Laladon terdiri atas 43 RT dan 10 RW yang dihuni oleh 2 540 kepala

keluarga. Dengan demikian kepadatan penduduk Desa Laladon adalah sebesar

0.996 per km2. Adapun jumlah penduduk Desa Laladon sebesar 10 155 yang

terdiri atas laki-laki sebesar 5 126 jiwa dan perempuan sebesar 5 029 jiwa. Lebih

dari separuh (67.1%) penduduk Desa Laladon adalah usia produktif (15-60

tahun). Namun hanya sebesar 36.8 persen yang bekerja, sedangkan sebesar

50.7 persen belum bekerja/pengangguran, dan sisanya masih bersekolah

(12.4%). Mata pencaharian terbesar penduduk Desa Laladon adalah pegawai

swasta sebesar 1 767 jiwa, diikuti dengan buruh jahit sebesar 228 jiwa dan

pemilik tanah sawah sebesar 364 jiwa. Adapun buruh tani jumlahnya hanya 74

jiwa, buruh industri sebanyak 22 orang, dan supir angkot sebanyak 44 orang.

Berdasarkan data demografi Desa Laladon, tingkat pendidikan penduduk

usia produktif Desa Laladon adalah tamat SD sebanyak 1 151 jiwa, tamat SLTP

1 141 jiwa, tamat SMU 3 616 jiwa, tamat akademi (D1-D3) sebanyak 239 jiwa,

dan tamat S1-S3 sebanyak 426 jiwa. Fasilitas pendidikan Desa Laladon cukup

lengkap mulai dari pendidikan pra sekolah sampai sekolah menengah atas

dengan rincian sebagai berikut: 3 buah TK, 3 buah SD/MI, 1 buah SMP/MTS,

dan 3 buah SMA/MA. Selain itu, Desa Laladon memiliki 2 buah pesantren. Desa

Laladon memiliki penduduk yang cukup heterogen karena dihuni oleh beberapa

etnis, yaitu Sunda (9 071 jiwa), Jawa (761 jiwa), Betawi (229 jiwa), Minang (8

(31)

Karakteristik Keluarga Usia

Pada penelitian ini, pembagian rentang usia menggunakan pendapat

Hurlock (1980), yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun),

dan dewasa akhir (>60 tahun). Hasil uji deskriptif menunjukkan bahwa usia

contoh berkisar antara 28-70 tahun. Rataan usia pada keluarga miskin lebih

tinggi daripada rataan usia pada keluarga tidak miskin. Rataan pada keluarga

miskin sebesar 48.58 tahun, sedangkan rataan pada keluarga tidak miskin

sebesar 36.08 tahun (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa usia contoh keluarga

miskin lebih tua dibandingkan keluarga tidak miskin.

Tabel 2 Sebaran usia contoh dan statistiknya

Usia KM (n=31) KTM (n=37) Total (n=68)

n % n % n %

Dewasa awal (18-40 tahun) 6 19.4 31 83.8 37 54.4

Dewasa madya (41-60 tahun) 21 67.7 6 16.2 27 39.7 Dewasa akhir (>60 tahun) 4 12.9 0 0.0 4 5.9 Min-max (tahun) 29-70 28-47 28-70 Rataan ± SD (tahun) 48.58±9.36 36.08±4.51 41.78±9.46

Nilai uji p 0.000**

** nyata pada p<0.01

Sebanyak dua pertiga contoh (67.7%) pada keluarga miskin berada pada

kategori usia dewasa madya sedangkan pada keluarga tidak miskin sebagian

besar contoh (83.8%) berada pada kategori usia dewasa awal. Hasil uji beda

rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara usia contoh

pada keluarga miskin dengan keluarga tidak miskin.

Adapun usia suami contoh berkisar antara 29-79 tahun. Pada keluarga

miskin, lebih dari separuh (54.8%) suami contoh berada pada kategori usia

dewasa madya, sedangkan pada keluarga tidak miskin lebih dari separuh

(56.8%) suami contoh berada pada kategori usia dewasa awal (Tabel 3). Hasil uji

beda rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara

usia suami pada keluarga miskin dengan keluarga tidak miskin. Rataan suami

contoh pada keluarga tidak miskin lebih rendah dibandingkan dengan keluarga

miskin. Rataan keluarga tidak miskin sebesar 39.59 tahun, sedangkan rataan

keluarga miskin sebesar 55.74 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usia suami

keluarga miskin lebih tua dibandingkan keluarga tidak miskin. Meskipun demikian

usia pasangan pada keluarga miskin dan tidak miskin berada pada masa

(32)

kekayaan dan human capital income meningkat sehingga kesejahteraan

keluarga akan lebih baik.

Tabel 3 Sebaran usia suami contoh dan statistiknya

Usia KM (n=31) KTM (n=37) Total (n=68)

n % n % % n

Dewasa awal (18-40 tahun) 4 12.9 21 56.8 25.0 36.8 Dewasa madya (41-60 tahun) 17 54.8 16 43.2 33.0 48.5

Dewasa akhir (>60 tahun) 10 32.3 0 0.0 10.0 14.7 Min-max (tahun) 34-79 29-51 29-79 Rataan ± SD (tahun) 55.74±12.52 39.59±5.61 46.96±12.36

NIlai uji p 0.000**

** nyata pada p<0.01

Pendidikan

Sebanyak tiga perempat contoh (67.7%) keluarga miskin tidak tamat SD

(Tabel 4). Hal ini disebabkan karena keluarga miskin tidak memiliki biaya untuk

melanjutkan sekolah sehingga putus sekolah. Jenjang pendidikan contoh pada

keluarga tidak miskin cukup beragam yaitu mulai dari tamat SD hingga lulus

S1-S3. Persentase terbesar contoh keluarga tidak miskin berjenjang pendidikan

Diploma (D1-D3) sebesar 35.1 persen. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan nyata jenjang pendidikan antara kedua kelompok

contoh.

Tabel 4 Sebaran jenjang pendidikan contoh dan koefisien uji bedanya

Jenjang pendidikan KM (n=31) KTM (n=37) Total (n=68)

n % n % n %

Tidak sekolah 3 9.7 0 0.0 3 4.4 Tidak tamat SD 21 67.7 0 0.0 21 30.9

Tamat SD 7 22.6 1 2.7 8 11.8 Tamat SMP 0 0.0 1 2.7 1 1.5 Tamat SMA 0 0.0 11 29.7 11 16.2 DIPLOMA (D1-D3) 0 0.0 13 35.1 13 19.1 S1-S3 0 0.0 11 29.7 11 16.2

NIlai uji p 0.000**

** nyata pada p<0.01

Lebih dari tiga perempat (71.0%) jenjang pendidikan suami pada keluarga

miskin tidak tamat SD (Tabel 6), sedangkan pada keluarga tidak miskin, tiga

perempat (67.6%) suami lulusan S1-S3. Menurut Rachmawati (2009), semakin

tinggi pendidikan maka semakin baik keadaan sosial ekonomi dan kemandirian

keluarga. Semakin tinggi pendidikan, maka semakin besar peluang kesempatan

untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik dengan pendapatan yang lebih

Gambar

Tabel 2  Sebaran usia contoh dan statistiknya
Tabel 4  Sebaran jenjang pendidikan contoh dan koefisien uji bedanya
Tabel 5  Sebaran jenjang pendidikan suami contoh dan koefisien uji bedanya
Tabel 7  Sebaran lama pendidikan suami contoh dan statistiknya
+7

Referensi

Dokumen terkait

a. Untuk mengetahui pelaksanaan SISMIOP dalam administrasi pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat telah berjalan sesuai dengan

Malah kami memohon daripada-Mu Ya Allah dengan penuh ketaakulan agar majlis anugerah ini akan menjadi katalis dan sumber inspirasi kepada pelajar-pelajar lain supaya

Based on the results of teacher responses to the suitability aspect between the content with the curriculum and the graphic aspectsof the in- teractive e-book based

Pada ke-empat kategori bangunan didominasi dengan bentuk lantai yang sudah mengalami perubahan secara keseluruhan, baik dari material, bentuk, dan warna pada

Untuk mencari konsentrasi yang setara dengan efektivitas antibakteri Povidone iodine 10%, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian efektivitas antibakteri ekstrak metanol

Varietas benih berukuran besar, Bromo memiliki kandungan lemak dan protein yang rendah (Balitkabi 2013), bobot biji 100 butir lebih tinggi dibandingkan dengan Grobogan, Argomulyo,

Program komputer yang dikembangkan dalam rangka untuk mendiagnosis kesulitan belajar siswa secara komputerais telah dapat digunakan dan memberikan hasil yang

Dollar Circle, 1 Year Team Elite Platinum, 8 Year Team Elite), Dean Nguyen (1 Million Dollar Circle, 3 Year Team Elite Platinum, 7 Year Team Elite), Jennifer Solco (Blue