• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Filamen Sutera Liar (Attacus atlas) Pada Suhu Dan Waktu Perebusan Kokon Yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kualitas Filamen Sutera Liar (Attacus atlas) Pada Suhu Dan Waktu Perebusan Kokon Yang Berbeda"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS FILAMEN SUTERA LIAR (

Attacus atlas

)

PADA

SUHU DAN WAKTU PEREBUSAN KOKON

YANG BERBEDA

SKRIPSI ERLIYANI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

ERLIYANI. D14051324. 2011. Kualitas Filamen Sutera Liar (Attacus atlas) pada Suhu dan Waktu Perebusan Kokon yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. B. N. Polii, SU

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS

Ulat sutera liar Attacus atlas memiliki banyak keunggulan dan berpotensi untuk dibudidayakan serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi dibandingkan dengan jenis ulat sutera lainnya, antara lain ulat sutera murbei (Bombyx mori) karena bersifat polifagus (makan dan hidup pada berbagai pohon inang) dan polivoltin (memiliki beberapa generasi dalam satu tahun). Serangga ini dapat menghasilkan kokon penghasil sutera dengan ciri khas warna yang unik. Faktor penting dalam pengolahan kokon menjadi filamen adalah proses perebusan kokon yang bertujuan untuk melepaskan filamen fibroin yang direkatkan oleh serisin sehingga memungkinkan filamen sutera diurai.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan di Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dari bulan Juni sampai dengan November 2009. Tujuannya adalah memperoleh informasi tentang kualitas filamen berdasarkan panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, daya urai kokon serta permukaan filamen sutera A. atlas pada perlakuan suhu perebusan kokon 70, 80, dan 90 oC pada waktu 30 dan 60 menit. Dalam percobaan ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3x2 dengan tujuh kali ulangan, dengan 42 unit percobaan (kokon).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan waktu perebusan kokon tidak berbeda nyata, baik terhadap panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen maupun daya urai kokon (P>0,05). Berdasarkan nilai rataan, perlakuan perebusan kokon dengan suhu 80 oC selama 30 menit cenderung menghasilkan panjang filamen terbaik. Tebal filamen terbesar cenderung dihasilkan pada perlakuan suhu 70 oC selama 30 menit. Perlakuan perebusan kokon pada suhu 80 oC selama 60 menit menghasilkan rataan bobot filamen, persentase bobot filamen dan daya urai kokon yang cenderung lebih tinggi dari perlakuan suhu lainnya. Berdasarkan pengamatan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope), diketahui permukaan filamen yang paling baik secara umum juga dihasilkan dari perlakuan suhu 80 oC selama 60 menit.

(3)

ABSTRACT

The Quality of Attacus atlas Silk Filament on Different Temperature and Time of Cocoon Boiling

Erliyani, B. N. Polii, and A. M. Fuah

Attacus atlas is known as wild silkworm that produces cocoon and the cocoon produces silk which has a great economic potential. By procedure, the process for producing silk went through several steps: firstly, cocoon was boiled for obtaining silk filament which will determine the quality of silktread produced. The aim of this research was to assess the quality of silk filament on the different temperature and time of cocoon boiling treatments. Factorial randomized completely design was used in this study, using two treatments, i.e. boiling temperature 70, 80, and 90 oC and boiling time 30 and 60 minutes with seven replications. Parameter measured were length of filament, weight of filament, filament thickness, filament percentage, reelability of cocoon and visual observation using SEM (Scanning Electron Microscope). The results indicates that the treatment had no significant difference (P>0,05) on the length of filament, weight of filament, filament thickness, and its percentage including the reelability of cocoon. Based on the visual observation, each treatment showed different morphological characteristics of filament.

(4)

KUALITAS FILAMEN SUTERA LIAR (

Attacus atlas

)

PADA

SUHU DAN WAKTU PEREBUSAN KOKON

YANG BERBEDA

ERLIYANI

D14051324

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Judul : Kualitas Filamen Sutera Liar (Attacus atlas) pada Suhu dan Waktu Perebusan Kokon yang Berbeda

Nama : Erliyani

NIM : D14051324

Menyetujui:

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. B. N. Polii, SU) (Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS) NIP. 19480402 198003 2 001 NIP. 19541018 197903 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri M. Agr.Sc) NIP. 19591212 198603 1 004

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 April 1987 di Magelang, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak tunggal, dari pasangan Bapak Sardi dan Ibu Sri Bandiyah.

Pendidikan kanak-kanak diselesaikan di TK Tunas Satria Jakarta pada tahun 1992-1993, dilanjutkan dengan pendidikan dasar di SD Negeri Pondok Pinang 02 Jakarta pada tahun 1993-1999. Penulis menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat pertama pada tahun 2002 di SLTP Negeri 87 Jakarta, kemudian dilanjutkan ke SMA Negeri 29 Jakarta dan lulus pada tahun 2005.

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Kualitas Filamen Sutera Liar (Attacus atlas)pada Suhu dan Waktu Perebusan Kokon yang Berbeda”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Filamen sutera yang berkualitas baik dapat dihasilkan jika bahan baku berupa kokon sutera memiliki kualitas yang baik, di samping proses dan metode perebusan kokon untuk menghasilkan produk yang memenuhi standar permintaan pasar. Salah satu faktor penentu yang perlu diperhatikan adalah suhu dan lama proses perebusan kokon. Informasi tentang hal ini masih terbatas sehingga perlu dilakukan kajian tentang suhu yang cocok dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk proses perebusan kokon untuk memperoleh produk filamen sutera yang berkualitas baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. “Tak ada gading yang tak retak” dan manusia penuh dengan kelemahan, demikian juga halnya dengan skripsi ini yang masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini di masa yang akan datang. Penulis berharap agar skripsi ini tidak hanya sebagai pelengkap di perpustakaan, tetapi lebih dari itu dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Semoga Tuhan selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Bogor, Februari 2011

(8)
(9)

viii Persentase Bobot Filamen ...

Daya Urai Kokon ... Permukaan Filamen ... KESIMPULAN DAN SARAN ...

Kesimpulan ... Saran ... UCAPAN TERIMA KASIH ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

30 31 34 38 38 38 39 40 42

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Serat Kokon Sutera Bombyx mori ... 2. Komposisi Asam Amino Kokon Bombyx mori ... 3. Klasifikasi Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss (BKKTF) ... 4. RataanPanjang Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas

Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (m) …...

5. RataanBobot Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas

Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (g) ………….…...

6. RataanTebal Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas

Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (denier) …...…… 7. RataanPersentase Bobot Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus

atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (%) …...……. 8. RataanDaya Urai Kokon Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas

Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (%) ……….... 9. RataanDaya Urai Kokon Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas

Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (m) ………..……...

9 10 25 26 27

29 30

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Siklus Hidup Attacus atlas ... 2. Kokon Attacus atlas dan Bombyx mori ... 3. Lubang di Bagian Anterior pada Kokon Attacus atlas ... 4. Penampang Membujur Filamen Sutera …...

5. Penampang Melintang Filamen Sutera ………...….. 6. Alat Urai Sederhana ... 7. Prosedur Pengolahan Kokon hingga Penguraian Filamen ... 8. Kulit Kokon Attacus atlas ... 9. Serat Sutera yang Masih Mengandung Serisin ………...………... 10. Hasil Pengamatan Filamen Sutera Attacus atlas dengan SEM

(Scanning Electron Microscope) pada Perbesaran 2000 X ...…....

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Ragam Panjang Filamen …... 2. Analisis Ragam Bobot Filamen ………....…….…...……... 3. Analisis Ragam Tebal Filamen ………...….. 4. Analisis Ragam Persentase Bobot Filamen …………...

5. Analisis Ragam Daya Urai Kokon …………...…………...……... 6. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada

Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon Suhu 70 oC selama 30 menit ... 7. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada

Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon Suhu 70 oC selama 60 menit ... 8. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada

Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon Suhu 80 oC selama 30 menit ... 9. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada

Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon Suhu 80 oC selama 60 menit ... 10. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada

Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon Suhu 90 oC selama 30 menit ... 11. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak berabad-abad yang lalu, manusia sudah mengenal kain sutera untuk kebutuhan sandangnya. Cina merupakan negara yang menguasai perdagangan sutera dan sutera memegang peranan penting dalam perekonomian pada zaman itu. Hingga saat ini sutera digunakan sebagai bahan sandang yang bernilai ekonomi tinggi. Bahan sutera memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan bahan sandang lainnya, yaitu ringan, bahan tidak mudah kusut, mempunyai daya menahan panas dan meresap air, tidak cepat pudar karena mempunyai daya menahan warna yang kuat, dan sutera tidak mudah menjalarkan api. Selain memiliki nilai ekonomi dan kualitas tinggi, kain sutera mempunyai nilai estetika yang tinggi dan terkadang menentukan status bagi pemakainya pada kelompok masyarakat tertentu karena produk dari sutera memperlihatkan keindahan dan keanggunan bagi pemakainya.

Ulat sutera yang telah lama dikembangkan di Indonesia adalah ulat sutera jenis Bombyx mori. Seiring dengan perkembangan serikultur khususnya di Indonesia, saat ini sudah mulai dikembangkan budidaya ulat sutera alam asli Indonesia, yaitu ulat sutera liar Attacus atlas. Jenis ini merupakan serangga holometabola, yang mengalami metamorfosis sempurna dan memiliki bentuk tubuh yang berbeda antara anak dengan dewasa. Fase anak berbentuk ulat/larva berwarna putih kehijauan dan dilapisi tepung putih seperti bedak sedangkan dewasa berbentuk seperti kupu-kupu/imago berwarna cokelat kemerahan dengan bentangan sayap mencapai 20 cm.

Keunggulan A. atlas diantaranya merupakan hewan asli Indonesia yang penyebarannya mulai dari Aceh hingga ke Papua dan dapat beradaptasi terhadap iklim atau keadaan mikroklimat di Indonesia. Di alam, A. atlas mampu hidup pada suhu 24-30oC dengan kelembaban 60%-80%. Kemampuan beradaptasi pada kondisi lingkungan tropis, bagi Indonesia merupakan keuntungan karena tidak perlu lagi dilakukan penyesuaian lingkungan seperti pada pemeliharaan B. mori. Ulat sutera liar ini bersifat polifagus (makan dan hidup pada berbagai pohon inang) dan

(14)

2 faktor penting dalam industri persuteraan. Kokon diproses menghasilkan filamen yang berbentuk untaian sutera yang tipis dan kemudian dipintal menjadi benang.

Penguraian filamen sutera pada A. atlas lebih sulit jika dibandingkan dengan

B. mori karena intensitas putusnya lebih besar, tidak seperti B. mori yang umumnya hanya satu kali putus. Kondisi ini disebabkan filamen A. atlas lebih rapuh dan mengandung serisin yang lebih banyak dibanding B. mori. Serisin merupakan zat penyusun lapisan luar filamen sutera, berfungsi sebagai perekat yang menempelkan lembaran-lembaran fibroin menjadi satu dan sekaligus melindungi fibroin. Satu helai filamen sutera terdiri dari dua utas fibroin yang dilapisi dan direkatkan oleh serisin (Lucas et al.,1978). Fibroin dan serisin merupakan protein yang terkandung di dalam serat sutera. Serisin pada kokon dihilangkan dengan perebusan agar filamen fibroin dapat diurai. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), perebusan kokon bertujuan untuk melepaskan filamen fibroin yang direkatkan oleh serisin dengan jalan memasak kokon dengan air panas atau uap panas sehingga kulit kokon mengembang, menjadi lunak dan memungkinkan filamen sutera dapat diurai. Serisin pada kokon B. mori

dapat dilarutkan dengan air panas, berbeda dengan kokon A. atlas yang cukup sulit jika hanya dengan air panas sehingga diperlukan larutan khusus dengan campuran bahan kimia. Aini (2009) melaporkan bahwa perebusan kokon A. atlas dapat dilakukan menggunakan larutan khusus yang terdiri atas campuran bahan kimia berupa: sabun netral, NaOH, teepol dan air pada suhu konstan 80 oC.

(15)

3 menghasilkan filamen dengan kualitas yang tidak berbeda sehingga waktu perebusan diharapkan dapat lebih singkat untuk mencegah kerusakan yang mungkin terjadi pada filamen. Dalam rangka efisiensi perlu dicari suhu dan waktu perebusan yang tepat sehingga dengan kombinasi suhu dan waktu yang optimum diharapkan juga dapat menghasilkan filamen sutera dengan kualitas yang terbaik.

Tujuan

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Sutera

Sutera yang telah diolah menjadi bahan tekstil memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya. Dari karakteristiknya keistimewaan kain sutera antara lain: ringan, kepadatan sutera relatif lebih ringan bila dibandingkan dengan wool atau katun; tidak mudah kusut, karena sifat sutera yang liat dan elastis; serta mempunyai daya menahan panas dan meresap air (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, 1992). Gusa et al. (2002) menyatakan bahwa apabila benang sutera telah ditenun, hasilnya adalah sehelai kain yang tidak hanya indah melainkan juga mempunyai sifat-sifat yang baik, diantaranya bersifat higroskopis, ringan tetapi kuat dan awet. Pori-pori yang terdapat pada sutera akan menyebabkan kenyamanan dan tidak panas saat baju dipakai. Selain itu, sutera memiliki daya menahan warna yang kuat sehingga warna tidak cepat pudar dan sutera bersifat seperti wool, jika kontak dengan api tidak akan menjalarkan api, sutera akan hangus dan mengkerut serta tidak mudah menimbulkan kebakaran (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, 1992). Sutera yang selama ini dikenal berasal dari ulat sutera Bombyx mori, namun sekarang telah berhasil dilakukan budidaya penghasil sutera lokal, yakni ulat sutera Attacus atlas. Bila B. mori hanya bisa mengkonsumsi satu jenis pakan saja (daun murbei) dan menghasilkan filamen yang berwarna putih atau kuning, A. atlas bisa mengkonsumsi pakan yang bervariasi, seperti daun sirsak, daun teh, daun alpukat, daun durian, daun kenari, atau daun srikaya sehingga warna filamennya juga bervariasi dari cokelat tua, cokelat keputihan dan cokelat kehitaman. Keragaman warna filamen sutera A. atlas dapat menambah kekayaan warna alami sutera dan tidak perlu dilakukan pewarnaan (Solihin et al., 2010).

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Taksonomi

(17)

5 mengalami banyak siklus atau hidup beberapa generasi dalam satu tahun dan termasuk serangga polifagus, artinya serangga ini dapat memakan banyak jenis tumbuhan. Menurut Peigler (1989), A. atlas dapat hidup dan memakan sekitar 90 jenis tumbuhan dari 48 famili. Menurut Mulyani (2008), suhu dan kelembaban dalam ruangan pemeliharaan larva adalah 24-28 oC dan 46%-78%. Kondisi ini sesuai untuk pemeliharaan maupun pengokonan. Adapun klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989), sebagai berikut:

Ordo : Lepidoptera Super famili : Bombycoidea Famili : Saturniidae Sub famili : Saturniinae Genus : Attacus

Spesies : Attacusatlas

Siklus Hidup

A. atlas termasuk serangga holometabola, yaitu mengalami metamorfosis sempurna atau mengalami siklus kehidupan mulai dari fase telur–larva–pupa–imago. Siklus hidup A. atlas dapat dilihat pada Gambar 1. Stadium telur berlangsung selama 1-4 minggu, larva 40-75 hari, sedangkan pupa 4-10 minggu (Awan, 2007).

Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas

(18)

6 Telur. Telur berukuran panjang 2,7 mm, lebar 2,3 mm dan tinggi 2,1 mm. Bentuk telur ulat sutera liar adalah oval dan agak datar atau gepeng, bentuk khas yang dimiliki oleh semua famili Saturniidae (Peigler, 1989). Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang telah kawin maupun yang tidak. Telur yang dapat menetas menjadi larva adalah telur yang dibuahi oleh imago jantan. Telur memiliki kerabang yang halus dan biasanya diselimuti cairan berwarna kemerahan hingga cokelat yang berfungsi untuk melekatkan telur pada daun atau ranting (Awan, 2007).

Larva. Stadium larva terbagi dalam enam tahapan instar, setiap instar ditandai dengan pergantian kulit (moulting) pada larva. Instar pertama berlangsung selama 4-5 hari, instar kedua sampai instar keempat juga memiliki masa yang sama dengan instar pertama yaitu selama 4-5 hari, instar kelima berlangsung selama 6-8 hari dan instar keenam berlangsung selama 8-10 hari. Instar keenam memiliki waktu yang lebih lama karena pada instar keenam adalah tahapan larva akan berubah menjadi pupa dan akan mengokon (Awan, 2007).

Pupa. Stadium pupa merupakan stadium yang paling penting dalam perkembangan metamorfosis dari larva menjadi imago. Dalam stadium ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Oleh karena itu stadium pupa tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna, karena dapat menyebabkan kegagalan dalam proses pengokonan bahkan kemungkinan besar akan menyebabkan kematian (Awan, 2007).

Imago. Imago keluar melalui lubang pada ujung anterior kokon yang telah terbentuk

(19)

7 betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur yang steril yang tidak dapat menetas menjadi larva (Awan, 2007).

Pakan Ulat Sutera Liar Attacus atlas

A. atlas termasuk serangga polifagus yang dapat hidup pada 90 golongan tumbuhan dari 48 famili yang bisa dimakan (Peigler, 1989). Salah satu jenis pakan utama di daerah Purwakarta adalah tanaman teh (Camellia sinensis) yang merupakan salah satu komoditas penghasil produk minuman penyegar. Tanaman teh ditanam di hampir 30 negara, terdiri dari sekitar 82 spesies dan dikonsumsi hampir di seluruh dunia, termasuk genus Camellia dari famili Theaceae yang dibedakan dalam beberapa varietas Cina, Assam, Cambodia dan hibrida-hibridanya. Jenis yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah Sinensis (Camellia sinensis var. sinensis) dan

Assamica (Camellia sinensis var. assamica) serta hibrid yang merupakan hasil persilangan antara jenis Sinensis dengan jenis Assamica. Tanaman teh dapat ditanam di tanah dengan pH yang rendah yaitu 4,0–5,5 dan dengan curah hujan 1.250– 5.000 mm yang merata sepanjang tahun (Nurachman, 2006). Awan (2007) menyatakan bahwa pakan daun teh memiliki kandungan nutrisi, terutama kadar air yang cukup dan komponen kimia yang sangat disukai oleh ulat sutera, sehingga

A. atlas dapat mengkonsumsi pakan dengan baik, dapat memanfaatkan pakan (daya cerna) yang banyak, bobot badan yang besar, produksi dan kualitas kokon yang lebih baik.

Kokon

Pembentukan Kokon

(20)

8 (1975), kelenjar sutera bagian anterior berukuran kecil dan bermuara pada alat di bagian bawah mulut larva yang disebut spineret. Bila serat sutera telah memenuhi kelenjar, maka serat sutera secara berangsur-angsur dialirkan ke spineret, dikeluarkan dan ulat sutera mulai mengokon.

Pembentukan kokon pada A. atlas dimulai ketika larva instar enam mulai mengeluarkan serat sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun, yang akan digunakan untuk melekatkan kokon. Serat-serat yang terbentuk ini berfungsi untuk menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan mengering, bagian ini biasanya disebut sebagai floss. Setelah menguatkan daun agar tidak jatuh, larva akan meneruskan pembuatan kokon pada daun tersebut, bagian inilah yang biasanya digunakan untuk dipintal menjadi benang dan biasa disebut sebagai kulit kokon tanpa floss. Pembentukan kokon ini dilakukan larva hingga terbentuk kokon sempurna (kulit kokon utuh) yaitu kulit kokon dengan floss (Awan, 2007).

(21)

9 untuk membentuk kokon masih cukup banyak sehingga bobot kulit kokon yang dihasilkan tinggi (Mulyani, 2008).

Kandungan dan Karakteristik Kokon

Kokon dibentuk dari serat-serat sutera, yakni serat double yang terdiri dari fibroin (C15H26N5O6) dan serisin (C15H23N5O8) (Samsijah dan Andadari, 1992). Satu helai filamen sutera terdiri dari dua utas fibroin yang dilapisi dan direkatkan oleh serisin (Lucas et al.,1978). Sihombing (1999) menyatakan bahwa fibroin dan serisin merupakan serangkaian asam-asam amino yang terdiri atas: glisin, alanin, dan serin bersama asam-asam amino yang lain diantaranya asam aspartat, asam glutamat, fenilalanin, lisin, oksiprolin, prolin, dan tirosin. Fibroin adalah polipeptida yang dibangun dari empat asam amino utama, yaitu glisin (43,5%), alanin (29,9%), serin (10,7%), dan tirosin (4,8%) (Hamamura, 2001). Serisin merupakan zat yang menyusun lapisan luar filamen sutera, berfungsi sebagai perekat yang menempelkan lembaran-lembaran fibroin menjadi satu dan sekaligus melindungi fibroin (Lucas et al., 1978). Serisin adalah anyaman dari polipeptida yang dapat lunak dalam air panas, yang komposisi asam aminonya dicirikan dengan kandungan serin yang tinggi (Rui, 1998). Komposisi serat kokon sutera B. mori dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Serat Kokon Sutera Bombyx mori

Komposisi Kandungan (%)

Fibroin 70 - 80

Serisin 20 - 30

Materi lilin 0,4 – 0,8

Karbohidrat 1,2 – 1,5

Pigmen 0,2 (approx)

Bahan anorganik 0,7 (approx) Sumber : Rui, 1998

Sama halnya dengan kokon B. mori, kokon A. atlas juga mengandung serisin dan fibroin. Unsur lainnya adalah lilin, garam-garam mineral dan zat warna lain (pigmen) alam berwarna kekuningan (Awan, 2007).

(22)

10 sutera dibangun dari rantai panjang polipeptida yang merentang sepanjang poros serat. Distribusi asam amino dalam serat sutera sangat unik, sebagian besar rantai polipeptida dibangun dari tiga asam amino: glysin, alanin dan serin. Terdapat juga asam amino yang lain dalam jumlah yang sedikit. Komposisi asam amino disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Asam Amino Kokon Bombyx mori

Asam Amino Serisin (%) Fibroin (%)

(23)

11 melepas ikatan kovalen pada atom hidrogen sehingga ikatan glysin terlepas. Serisin merupakan protein yang memiliki kandungan asam amino glysin dan alanin dalam jumlah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan fibroin. Terlepasnya ikatan glysin menyebabkan serin yang merupakan asam amino hidrofilik dapat larut dengan mudah sehingga serisin larut dalam perebusan kokon.

Berbeda dengan kokon B. mori yang berukuran kecil dan berwarna putih atau kuning, kokon A. atlas memiliki keunikan tersendiri, yaitu berukuran lebih besar dengan variasi warna filamen dari cokelat muda sampai cokelat tua keemasan. Lapisan pertama bagian terluar adalah lembaran daun kering yang digunakan untuk menempel pada batang atau tangkai tanaman bagian ini mudah dilepas, lapisan kedua adalah selapis tipis rangkaian serat. Lapisan ketiga adalah lapisan keras yang terdiri dari rajutan sutera yang padat dan kompak (Faatih, 2005). Perbandingan kokon

A. atlas dan B. mori dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kokon Attacus atlas dan Bombyx mori

Sumber: Koleksi Pribadi

A. atlas membentuk kokon dengan lubang di bagian anterior (Gambar 3) sehingga akan memudahkan saat imago keluar, sedangkan B. mori membentuk kokon yang tertutup rapat sehingga jika imago keluar maka akan merusak kokonnya. Oleh karena itu terdapat perbedaan pada proses pemanenan kokon, pada B. mori

panen kokon dilakukan sebelum imago keluar dari kokon sedangkan pada A. atlas

(24)

12 imago/ngengatnya untuk kelangsungan hidupnya. Ghosh (2004) menyatakan bahwa hal yang istimewa pada kokon A. atlas, yaitu ketika sudah waktunya untuk keluar dari kokon, imago akan melubangi atau merusak dinding serisin tanpa merusak filamen fibroin sutera pembentuk kokon.

Gambar 3. Lubang di Bagian Anterior pada Kokon Attacus atlas

Sumber: Koleksi Pribadi

Kokon yang berkualitas baik ditentukan oleh beberapa faktor antara lain bibit ulat sutera, teknik pemeliharaan, temperatur, kelembaban dan proses pengokonan (Sampe, 1991). Syarat kokon B. mori yang baik adalah sehat (tidak cacat), bersih, bagian dalamnya (pupa) tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokon keras dan terbukti kalau ditekan sedikit berat sedangkan kokon yang berkualitas rendah adalah kokon rangkap, kokon berlubang, kokon kotor di bagian dalam, kotor di bagian luar, kulit kokon tipis, kokon berbentuk aneh, kokon berbulu, kulit kokon berlapis dan kokon berlekuk (Samsijah dan Andadari, 1992). Menurut Awan (2007), kokon cacat pada kokon A. atlas adalah kokon ganda, kokon berlubang, kokon tipis, dan kokon berkerut.

Perebusan Kokon

(25)

13 dihasilkan dari kokon A. atlas terputus-putus namun filamen tersebut dapat disambung kembali pada saat pemintalan.

Kokon A. atlas tidak dapat diproses dengan pemrosesan yang biasa digunakan untuk kokon B. mori karena kandungan protein serisin yang membungkus filamen fibroin relatif lebih banyak dan sangat lengket (Solihin et al., 2010). Perebusan kokon A. atlas menggunakan larutan khusus, yang terdiri atas campuran bahan kimia berupa: air 1 liter, sabun netral 20 g/liter, teepol 2 cc/liter, dan NaOH 0,5–3 g/liter. Selama proses perebusan kokon, suhu air harus dijaga agar tetap stabil. Suhu yang digunakan untuk perebusan tersebut adalah 80oC. Setelah perebusan, kulit kokon dicuci dengan tiga tahap pencucian, yaitu pencucian dengan air panas (± 70oC), pencucian dengan air hangat (± 40oC), dan pencucian dengan air dingin (Aini, 2009). Menurut Supitawati (1999), zat kimia yang digunakan untuk perebusan kokon A. atlas antara lain zat asam kuat atau basa kuat. Berdasarkan sifat-sifat serat kokon sutera, serat kokon sutera lebih sensitif terhadap alkali daripada terhadap asam. Jika serat kokon sutera dimasukkan dalam larutan alkali kuat, serisinnya dapat larut, dan untuk mencegah terbentuknya alkali bebas maka digunakan sabun.

Kualitas Filamen

(26)

14 1. Panjang filamen, ditentukan dengan cara mengurai satu kokon tunggal menggunakan kincir alat urai (reel/haspel). Panjang filamen sutera B. mori

bervariasi menurut varietas ulat sutera (Atmosoedarjo et al., 2000). Awan (2007) menyatakan bahwa panjang filamen sutera A. atlas adalah 83,61 m/kokon, sedangkan Aini (2009) melaporkan ukuran panjang filamen yang lebih besar, berkisar antara 293-413,80 m/kokon.

2. Bobot filamen, ditentukan dengan mengurai satu kokon tunggal menggunakan kincir alat urai kokon. Bobot filamen proporsional dengan berat kulit kokon. Berat filamen sutera B. mori berkisar antara 80%-90% dari berat kulit kokon (Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Awan (2007), bobot filamen sutera A. atlas yang telah didomestikasi yaitu sebesar 7,17±0,87 g/kokon. Aini (2009) menyatakan bahwa rataan bobot filamen sutera A. atlas

berkisar antara 0,2486–0,3724 g/kokon.

3. Tebal filamen, dihitung dalam satuan denier. Tebal filamen sutera B. mori

berkisar antara 2,5-3,5 denier (Atmosoedarjo et al., 2000). Budhiarti (2000) menyatakan bahwa filamen sutera B. mori ras Jepang memiliki ketebalan 2,5052±0,1171 denier atau jika diamati secara mikroskopis sebesar 18–22 µ. 4. Persentase bobot filamen, yaitu persentase berat filamen terhadap berat kulit

kokon tanpa floss (Atmosoedarjo et al., 2000). Budhiarti (2000) menyatakan bahwa persentase bobot filamen sutera B. mori galur murni yaitu sebesar 15,80%.

5. Daya urai kokon (reelability), menunjukkan kemudahan mengurai filamen dari kokon. Daya urai kokon B. mori sangat tergantung pada varietas ulat sutera, suhu dan kelembaban semasa pengokonan, terutama kelembabannya. Selain itu, alat pengokonan juga sangat berpengaruh terhadap daya urai kokon (Atmosoedarjo et al., 2000). Yuanita (2007) menyatakan bahwa daya urai kokon B. mori berkisar antara 60,63%-67,85% untuk kokon pupa jantan dan 52,69%-70,36% untuk kokon pupa betina.

(27)

15 kehalusan filamen serta pengamatan morfologi filamen dengan menggunakan mikroskop elektron. Penampang membujur filamen A. atlas dan B. mori

secara umum dapat dilihat pada Gambar 4. Filamen B. mori agak membulat, sedangkan filamen A. atlas lebih pipih. Dilihat dari ukuran, filamen A. atlas

lebih lebar bila dibandingkan dengan filamen B. mori. Banyak kristal yang terlihat menempel pada filamen A. atlas. Penampang melintang juga hampir sama (Gambar 5), seluruhnya memperlihatkan kenampakan pori-pori. Pori-pori yang terdapat pada filamen sutera akan menyebabkan kenyamanan dan tidak panas saat baju dipakai (Gusa et al., 2002).

(a) (b)

Gambar 4. Penampang Membujur Filamen Sutera: a) Attacus atlas dengan Perbesaran 500 X; b) Bombyx mori dengan Perbesaran 500 X

Sumber: Gusa et al., 2002

(a) (b)

Gambar 5. Penampang Melintang Filamen Sutera: a) Attacus atlas dengan Perbesaran 2096 X; b) Bombyx mori dengan Perbesaran 1060 X

Sumber: Gusa et al., 2002

(28)

16 a. Bobot kulit kokon utuh, yaitu bobot kokon yang ditimbang setelah kulit kokon utuh dibersihkan dari kotoran dan kulit pupanya. Bobot kulit kokon utuh A. atlas dari perkebunan teh di daerah Purwakarta memiliki ukuran berkisar antara 0,2-1,86 g/kokon dengan rataan sebesar 0,68 ± 0,24 g/kokon (Baskoro, 2008).

b. Bobot floss, yaitu bobot lapisan terluar dari kulit kokon utuh. Bobot

floss berkaitan dengan energi yang dikeluarkan A. atlas selain untuk memproduksi kulit kokon yang dapat dipintal menjadi benang. Bobot

floss ini akan semakin besar jika tempat pengokonan juga besar, hal ini menyebabkan larva harus mengeluarkan energi yang besar untuk membuat kerangka (floss). Bobot floss kokon A. atlas dari Purwakarta adalah sebesar 0,18 ± 0,005 g/kokon (Baskoro, 2008).

c. Bobot kulit kokon tanpa floss, yaitu bobot kulit kokon utuh setelah dikurangi bobot floss. Kulit kokon tanpa floss adalah bagian yang biasanya dipintal menjadi benang (Awan, 2007). Kulit kokon tanpa

(29)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan yaitu pada bulan Juni sampai dengan November 2009.

Materi

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari Baskoro (2008) tentang karakteristik kulit kokon segar Attacus atlas. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kokon ulat sutera liar A. atlas yang berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Kokon tersebut disimpan sejak Januari 2008 pada suhu ruang berkisar antara 20-25 oC. Bahan-bahan kimia yang digunakan pada proses penguraian filamen sutera diantaranya air, soda kaustik (NaOH) dalam bentuk kristal, sabun cuci batangan (merk Surya), dan cairan teepol. Alat-alat yang digunakan adalah timbangan digital (kapasitas 200 gram dengan ketelitian 0,01), jangka sorong digital, gelas ukur, penangas air, termometer, stopwatch, alat urai sederhana, pita ukur, logam baja berbentuk silinder, double tip yang berlapis karbon, alat vakum, alat coating, SEM(Scanning Electron Microscope JSM-5310-LV) serta peralatan masak yang digunakan selama proses penguraian filamen berlangsung.

Prosedur

Tahap Persiapan

Dalam penelitian ini digunakan kokon yang telah disortir dari kokon cacat sehingga yang diperoleh adalah kokon dengan kondisi yang baik atau tidak cacat. Kokon tersebut dibersihkan dari kotoran dan kulit pupa kemudian dipisahkan dari

floss. Kokon cacat yaitu kokon ganda, kokon berlubang, kokon tipis, dan kokon berkerut dipisahkan dan tidak digunakan dalam penelitian ini.

(30)

18 Penguraian filamen menggunakan alat urai yang dibuat secara sederhana. Alat tersebut dibuat dengan desain yang sangat sederhana, tanpa kincir seperti lazimnya kincir alat urai (reel/haspel), tetapi tetap berdasarkan prinsip kerja alat urai. Alat ini dibuat dengan menggunakan bahan kayu, besi, dan pipa. Kayu sebagai kerangka alat agar alat tersebut dapat berdiri dengan tegak, besi sebagai penahan pipa sekaligus sebagai pemutar agar alat urai dapat berputar pada porosnya, dan pipa sebagai tempat penempelan filamen, pada saat alat tersebut diputar pipa yang tertahan pada besi juga berputar, dan sekaligus filamen dapat terurai dan menempel pada pipa. Dimensi alat tersebut yaitu: pipa dengan panjang 10 cm dan diameter 1,84 cm, besi dengan panjang 18,5 cm dan diameter 0,58 cm, kayu sebagai penopang dengan panjang 8,5 cm, lebar 2,2 cm, dan tinggi 17 cm, kayu sebagai alas dengan panjang 16 cm, lebar 10 cm dan tebal 0,4 cm, kayu sebagai pemutar dengan panjang 8 cm, lebar 4 cm, dan tebal 0,4 cm, kayu sebagai pegangan dengan panjang 5 cm dan diameter 1,8 cm, wadah kokon dengan tinggi 7,5 cm dan diameter 7 cm. Alat urai sederhana dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Alat Urai Sederhana Sumber: Koleksi Pribadi

(31)

19 panjang filamen kurang akurat, waktu yang dibutuhkan untuk penguraian filamen lebih lama dan tenaga yang dikeluarkan juga lebih besar.

Perlakuan yang diberikan adalah suhu dan waktu perebusan kokon, yaitu pada suhu 70, 80, dan 90 oC dengan waktu 30 dan 60 menit sehingga diperoleh enam kombinasi taraf perlakuan dengan ulangan tujuh kali sehingga total sampel yang digunakan berjumlah 42 buah kokon. Perebusan kokon dikondisikan agar homogen, yaitu menggunakan alat yang sama dan komposisi larutan perebusan yang sama.

Larutan yang digunakan untuk perebusan terdiri atas campuran dengan perbandingan air 1 liter, NaOH 0,5 g, sabun cuci batangan 20 g, dan larutan desinfektan teepol 2 cc. Tujuan penggunaan soda kaustik (NaOH) dalam perebusan kokon untuk mengoptimalkan pelarutan serisin sehingga memudahkan proses penguraian filamen. Selain larut dalam air panas, serisin juga larut dalam alkali kuat, pada penelitian ini digunakan NaOH yang merupakan golongan alkali kuat. Supitawati (1999) menyatakan bahwa serisin dapat larut jika serat kokon sutera dimasukkan dalam larutan alkali kuat, kemudian untuk mencegah terbentuknya alkali bebas maka digunakan sabun. Selain itu, sabun juga berfungsi untuk membersihkan dan membuat kokon menjadi licin sehingga memudahkan dalam proses penguraian filamen. Teepol dalam larutan perebusan kokon digunakan sebagai bahan desinfektan.

(32)

20 Gambar 7. Prosedur Pengolahan Kokon hingga Penguraian Filamen

Tahap Pengumpulan Data

Data bobot floss dan bobot kulit kokon tanpa floss didapat dengan cara menimbang floss dan kulit kokon tanpa floss menggunakan timbangan digital. Kulit kokon tanpa floss selanjutnya direbus. Setelah proses perebusan, dilakukan

Pembilasan dengan air hangat (60 oC)

Pembilasan dengan air dingin (23 oC)

Penirisan

Pemanasan sampai suhu tertentu (70, 80, dan 90 oC)

Penguraian

Persiapan larutan perebusan (air 1 liter, NaOH 0,5 g, sabun cuci batangan 20 g, dan teepol 2 cc

 Pembersihan kulit kokon dari floss  Penimbangan kulit

kokon tanpa floss

 Persiapan bahan

 Penimbangan

bahan

Perebusan kokon selama waktu

(33)

21 penguraian filamen sutera satu persatu sampai filamen dalam satu kokon habis atau kokon sudah tidak dapat diurai lagi, sambil dihitung jumlah putaran pipa dan jumlah kali putus selama penguraian satu kokon tersebut. Data jumlah kali putus digunakan untuk mendapatkan reelability (daya urai kokon). Panjang filamen sutera diukur dengan menghitung jumlah putaran pipa kemudian dikalikan dengan keliling pipa tersebut. Setelah kokon diurai dan diukur panjang filamennya, kemudian dilanjutkan dengan penimbangan filamen sutera dari satu buah kokon dengan menggunakan timbangan digital. Data-data yang diperoleh digunakan untuk mengetahui tebal filamen dan persentase bobot filamen dengan menggunakan rumus.

Tahap selanjutnya adalah pengamatan keadaan permukaan filamen dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). SEM adalah alat untuk melihat benda yang sangat kecil dalam bentuk stereo dengan skala perbesaran tinggi. Prinsip kerja alat ini adalah sebagai berikut: apabila suatu pancaran elektron diiradiasi pada permukaan spesimen, interaksi antara pancaran elektron dan atom-atom yang dikandung oleh spesimen akan memberikan bermacam-macam informasi. Apabila kita melakukan scanning pada suatu permukaan spesimen dengan fokus pancaran elektron yang tepat, informasi akan diperoleh dari setiap titik scanning.

Informasi yang diperoleh dari permukaan spesimen diubah ke dalam bentuk signal elektrik, dikuatkan, disalurkan ke Cathode Ray Tube (CRT) dan ditayangkan dalam bentuk gambar (Budhiarti, 2000).

Persiapan spesimen:

 Mempersiapkan logam baja berbentuk silinder, double tip yang berlapis karbon, dan filamen sutera.

 Lekatkan double tip karbon di salah satu sisi logam baja kemudian sampel filamen sutera ditempelkan di atasnya.

 Spesimen yang telah siap kemudian divakum selama 10 menit.  Spesimen selanjutnya disepuh dengan menggunakan emas (coating).

(34)

22 Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh suhu perebusan kokon (70, 80, dan 90 oC) dan waktu perebusan kokon (30 dan 60 menit) adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dalam percobaan faktorial 3x2 dengan tujuh kali ulangan. Model matematika yang digunakan dalam rancangan penelitian ini adalah:

Yijk = μ + αi + βj+ αβij + εijk Keterangan :

Yijk : hasil pengamatan kualitas filamen sutera pada ulangan ke-k dengan perebusan pada suhu ke-i dan waktu ke-j

μ : rataan umum

αi : pengaruh perebusan dengan suhu ke-i βj : pengaruh perebusan dengan waktu ke-j

αβij : interaksi metode perebusan kokon dengan perebusan pada suhu ke-i dan waktu ke-j

εijk

i

: galat percobaan pada ulangan ke-k dengan perebusan pada suhu ke-i dan waktu ke-j

: suhu perebusan kokon (i=70, 80, 90 oC) j : waktu perebusan kokon (j=30, 60 menit) k : ulangan (k:7)

Data diolah dengan analisis ragam (Analysis of Variance = ANOVA). Jika pada analisis ragam didapatkan hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1995).

Peubah yang Diamati

1. Bobot kulit kokon tanpa floss, yaitu bobot kulit kokon utuh dikurangi bobot floss

dalam satuan gram. Kulit kokon tanpa floss diperoleh setelah floss yang membungkus kulit kokon utuh dikelupas hingga bersih dan tidak tersisa lapisan pembungkus kokon. Data bobot kulit kokon tanpa floss digunakan untuk mengetahui persentase bobot filamen setelah penguraian.

(35)

23 2. Panjang filamen, adalah total lembaran-lembaran filamen yang terurai dari satu kokon dalam satuan meter. Panjang filamen diperoleh dengan menggunakan rumus: menimbang filamen menggunakan timbangan digital setelah proses penguraian. 4. Tebal filamen, dihitung dengan menggunakan rumus yang dipakai untuk

menghitung ketebalan filamen sutera Bombyx mori, yaitu: Tebal filamen sutera (denier) =

Ketebalan filamen sutera B. mori dihitung dalam satuan denier, jika panjang 450 m dan berat 0,05 g maka ketebalannya 1 denier (Katsumata, 1964).

5. Persentase bobot filamen, yaitu persentase berat filamen terhadap berat kulit kokon tanpa floss (Atmosoedarjo et al., 2000). Persentase bobot filamen (Atmosoedarjo et al., 2000). Daya urai kokon dihitung dengan rumus:

Daya urai kokon (%) = x 100%

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Filamen Sutera

Beberapa atribut yang berperan pada penentuan kualitas filamen sutera diantaranya panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, dan daya urai kokon. Sebagai informasi tambahan, sebelum penguraian filamen dilakukan pengukuran bobot kulit kokon tanpa floss. Pengamatan juga dilakukan terhadap permukaan filamen dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope).

Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss

Kulit kokon tanpa floss diperoleh setelah floss yang membungkus kulit kokon utuh dikelupas hingga bersih dan tidak tersisa lapisan pembungkus kokon. Kulit kokon utuh, floss, dan kulit kokon tanpa floss dapat dilihat pada Gambar 8. Rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebesar 0,46±0,08 g/kokon. Semakin besar bobot kulit kokon tanpa floss diharapkan semakin panjang filamen yang akan diperoleh.

(a) (b) (c) Gambar 8. Kulit Kokon Attacus atlas: a) Kulit Kokon Utuh;

b) Floss; c) Kulit Kokon Tanpa Floss

(37)

25 Tabel 3. Klasifikasi Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss (BKKTF)

BKKTF (g) Grade Frekuensi Persentase dari Populasi (%)

> 0,66 A 0 0

0,55-0,66 B 7 16,67

0,45-0,54 C 18 42,86

0,31-0,44 D 16 38,09

< 0,3 E 1 2,38

Baskoro (2008) melaporkan bahwa rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang diperoleh dari 250 sampel kokon adalah sebesar 0,50±0,2 g/kokon dan tergolong kedalam grade C dengan jumlah terbesar yaitu 21,2% dari populasi. Selain itu ditemukan juga grade A sebesar 19,2%; grade B 19,6%; grade D 20% dan grade E 20% dari populasi. Nilai rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang kecil disebabkan karena kulit kokon utuh yang diperoleh dari perkebunan teh di daerah Purwakarta juga memiliki bobot dan kualitas yang rendah. Nilai standar deviasi yang besar menunjukkan tingkat keragaman yang tinggi karena kokon diperoleh dari alam yang konsumsi pakan pada fase larva tidak teratur, suhu tidak terkontrol serta terjadi stress lingkungan sehingga ulat sutera liar ini membutuhkan energi yang besar untuk memproduksi kokon. Selain itu, juga disebabkan karena tidak diketahui dengan jelas apakah kulit kokon yang diambil adalah berasal dari ngengat jantan atau ngengat betina karena kulit kokon yang diambil dan dijadikan sebagai materi penelitian adalah kokon yang sudah kosong atau sudah tidak ada pupanya. Pada umumnya ukuran kulit kokon ngengat betina lebih besar dibandingkan dengan ngengat jantan, tetapi tidak selalu kokon yang lebih kecil adalah kokon ngengat jantan. Terkadang kokon dari ngengat betina yang kecil sama dengan atau bahkan lebih kecil dari kokon ngengat jantan.

Panjang Filamen

(38)

26 filamen yang dihasilkan. Rataan panjang filamen sutera A. atlas yang dihasilkan dari penelitian ini disajikan dalam Tabel 4.

Tabel4.RataanPanjang Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (m)

(39)

27 relatif lebih banyak dan sangat lengket jika dibandingkan dengan B. mori sehingga lebih sulit untuk diuraikan. Awan (2007) menyatakan bahwa pada B. mori panjang benang yang diperoleh dengan menggunakan alat pintal tradisional (hand spund) juga tidak mencapai ribuan meter. Hal yang sama ternyata berlaku juga pada kokon

A. atlas sehingga perlu diupayakan alat pintal yang lebih baik untuk memaksimalkan panjang benang yang diperoleh.

Bobot Filamen

Bobot filamen merupakan berat filamen terurai dari satu kokon tunggal. Bobot filamen sebanding dengan panjang filamen dan tebal filamen. Semakin besar panjang filamen yang dihasilkan, semakin besar pula bobot filamen tersebut. Data pada Tabel 5 menunjukkan rataan bobot filamen sutera A. atlas.

Berdasarkan hasil analisis statistik, rataan bobot filamen yang dihasilkan yaitu sebesar 0,06 g, tidak berbeda nyata pada semua perlakuan walaupun ada kecenderungan nilai bobot filamen yang lebih tinggi yaitu pada perlakuan perebusan kokon dengan suhu 80oC, baik dengan waktu 30 maupun 60 menit serta pada suhu 70 oC selama 60 menit. Hal ini sejalan dengan pernyataan Aini (2009) yang menyatakan bahwa bobot filamen yang diberi perlakuan waktu perebusan kokon satu jam pada suhu perebusan 80 oC tidak berbeda dengan waktu perebusan 2 jam, namun perlakuan waktu satu jam cenderung menghasilkan bobot filamen yang lebih besar. Tabel 5. Rataan Bobot Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan

Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (g)

Menurut Awan (2007), bobot filamen sutera A. atlas yang telah didomestikasi yaitu sebesar 7,17±0,87 g/kokon. Aini (2009) menyatakan bahwa rataan bobot filamen sutera A. atlas berkisar antara 0,2486–0,3724 g/kokon. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai bobot filamen lebih rendah dari penelitian Aini (2009) karena

Suhu Waktu Rataan

30 menit 60 menit

70oC 0,04 ± 0,03 0,07 ± 0,06 0,06 ± 0,05

80oC 0,07 ± 0,05 0,07 ± 0,02 0,07 ± 0,03

90oC 0,05 ± 0,04 0,06 ± 0,04 0,06 ± 0,04

(40)

28 panjang filamen yang dihasilkan dari penelitian ini juga lebih rendah. Selain itu kemungkinan bobot kulit kokon yang digunakan dalam penelitian ini lebih rendah sehingga bobot filamen yang dihasilkan juga lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Aini (2009). Sementara itu jika dibandingkan dengan hasil penelitian Awan (2007), nilai bobot filamen lebih rendah tetapi nilai panjang filamen lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan ketebalan filamen yang berbeda atau filamen hasil penelitian ini lebih tipis jika dibandingkan dengan penelitian Awan (2007). Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena kokon yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari alam, berbeda dengan Awan (2007) yang menggunakan kokon hasil pemeliharaan dalam ruang pemeliharaan dengan kondisi pemberian pakan pada fase larva yang teratur, suhu yang terkontrol pada saat pemeliharaan larva dan pada saat pengokonan serta stress lingkungan yang minimal. Kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap produksi serat sutera, selain faktor biologis ulat sutera misalnya genetik, ukuran kelenjar sutera, bobot badan larva, dan bahkan penyakit. Kemungkinan lain adalah perbedaan metode perebusan kokon seperti pengadukan, stabilitas suhu, dan posisi kulit kokon pada saat perebusan (terendam atau tidak). Metode perebusan dapat mempengaruhi keadaan kulit kokon setelah proses perebusan sehingga berpengaruh pada proses penguraian filamen. Perbedaan metode pada penguraian filamen juga dapat menyebabkan perbedaan hasil. Menurut Budisantoso (1993), cara memintal, alat pemintal yang digunakan, serta keterampilan orang yang memintal sangat berpengaruh terhadap mutu benang sutera yang dihasilkan. Semakin besar persentase kulit kokon yang dapat diurai menjadi filamen maka semakin banyak filamen yang dihasilkan dan semakin besar pula bobot filamen tersebut.

Tebal Filamen

(41)

29 dan waktu yang berbeda dengan variasi terutama pada perlakuan waktu perebusan 30 menit. Rataan ketebalan filamen yang diperoleh yaitu sebesar 3,60±1,88 denier. Tabel 6. Rataan Tebal Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan

Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (denier)

Ketebalan filamen dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya suhu dan kelembaban udara pada saat pemeliharaan ulat, serta suhu pada saat pengokonan. Ukuran filamen berbeda sesuai dengan bagian dari kokon, lazimnya lebih besar pada lapisan luar dibanding dengan lapisan dalam kulit kokon. Selain itu, perbedaan tingkat kehalusan/ketebalan filamen dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya keterampilan saat menarik dan menguraikan filamen, serta penyimpanan kokon basah (setelah direbus). Kokon sebaiknya disimpan pada wadah plastik dan saat penguraian sebaiknya sesekali dicelupkan pada air agar terjaga kelembabannya sehingga filamen lebih mudah ditarik dan diurai. Proses penguraian filamen akan lebih baik jika menggunakan sistem yang juga diterapkan pada penguraian filamen

B. mori yaitu menggunakan sistem penguapan (boiling up). Alat urai (reeling) pada

B. mori dilengkapi dengan penguapan (boiling up) untuk mempermudah mendapatkan ujung-ujung filamen. Suhu air panas untuk penguapan sebaiknya disesuaikan dengan suhu perebusan kokon berkisar antara 70-90 oC, sehingga kokon hasil perebusan juga tidak perlu dibilas dengan air hangat dan air dingin. Selanjutnya filamen diuraikan dan digulung pada pipa alat urai dengan kecepatan yang dijaga agar tetap konstan, misalnya dengan kecepatan maksimal 2 putaran/detik. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), kehalusan/ketebalan filamen B. mori berkisar antara 2,5-3,5 denier.

Hasil pengamatan menggunakan SEM terhadap filamen sutera A. atlas

memperlihatkan bahwa filamen memiliki ketebalan 41,8-87,3 µ, lebih tinggi dari filamen sutera B. mori ras Jepang (2,5052±0,1171 denier) atau (18–22 µ) (Budhiarti,

(42)

30 2000). Filamen sutera A. atlas lebih tebal berdasarkan perhitungan menggunakan rumus ketebalan filamen B. mori maupun dengan pengamatan permukaan filamen menggunakan SEM. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa penilaian kualitas atau grade benang sutera didasarkan pada International Classification Table for Raw Silk. Kategori pertama untuk benang 18 denier ke bawah, kategori kedua untuk benang berkisar antara 19-33 denier dan kategori ketiga untuk benang 34 denier ke atas. Ketebalan filamen yang lebih besar pada A. atlas merupakan keuntungan karena hanya diperlukan sedikit filamen untuk mencapai tingkat ketebalan atau denier yang sesuai dengan standar. Misalnya untuk mencapai ketebalan 36 denier, hanya diperlukan 10 helai filamen A. atlas sedangkan pada

B. mori diperlukan 14-15 helai filamen. Persentase Bobot Filamen

Persentase bobot filamen merupakan nilai persentase yang diperoleh dari perbandingan bobot filamen terhadap bobot kulit kokon tanpa floss. Semakin besar bobot filamen yang dihasilkan dari sebutir kokon, semakin besar persentase bobot filamennya, dengan asumsi nilai bobot kulit kokon tanpa floss adalah sama besar. Tabel 7 menunjukkan rataan persentase bobot filamen sutera A. atlas. Berdasarkan hasil analisis statistik, didapatkan bahwa perlakuan suhu dan waktu perebusan kokon menghasilkan persentase bobot filamen yang tidak berbeda nyata dengan nilai rataan sebesar 13,38% dengan kecenderungan yang lebih baik yaitu pada perlakuan perebusan kokon dengan suhu 80 oC.

Tabel 7. Rataan Persentase Bobot Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas

Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (%)

Nuraeni (1993) menyatakan bahwa secara komersial persentase bobot filamen B. mori adalah lebih dari 15%. Pernyataan ini diperkuat oleh Budhiarti

Suhu Waktu Rataan

30 menit 60 menit

70oC 9,08 ± 6,39 14,31 ± 11,43 11,70 ± 9,30 80oC 15,71 ± 7,86 16,53 ± 5,02 16,12 ± 6,35

90oC 9,62 ± 7,40 14,99 ± 8,93 12,31 ± 8,36

(43)

31 (2000) yang menyatakan bahwa persentase bobot filamen sutera B. mori galur murni yaitu sebesar 15,80%. Hal ini menunjukkan bahwa jika menggunakan standar yang diterapkan pada B. mori tersebut, maka filamen sutera A. atlas hasil perebusan kokon pada suhu 80 oC baik selama 30 maupun 60 menit memiliki kualitas yang baik secara komersial atau memiliki tingkat efisiensi yang baik. Namun demikian, standar tersebut kurang tepat jika diterapkan pada A. atlas karena kokon A. atlas berukuran lebih besar dengan bobot yang juga lebih besar daripada kokon B. mori sehingga perlu diupayakan penentuan standar untuk persentase bobot filamen A. atlas.

Semakin besar persentase bobot filamen yang dihasilkan, semakin besar keuntungan yang dapat diperoleh, mengingat benang sutera adalah komoditi utama usaha persuteraan alam.

Daya Urai Kokon

Daya urai kokon (reelability) menunjukkan kemudahan mengurai filamen dari kokon. Daya urai kokon dicirikan dengan intensitas putus filamen. Semakin besar intensitas putus filamen maka akan semakin rendah daya urai kokon tersebut dan semakin rendah kualitasnya. Daya urai kokon dihitung dengan menggunakan rumus dan dengan cara manual serta disajikan dalam persentase (Tabel 8) dan dalam satuan meter (Tabel 9). Tabel 8 menunjukkan rataan daya urai kokon sutera A. atlas

berdasarkan perhitungan menggunakan rumus daya urai kokon sutera B. mori.

Tabel8.RataanDaya Urai Kokon Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (%)

Berdasarkan hasil analisis statistik, didapatkan bahwa setiap perlakuan perebusan kokon menghasilkan daya urai kokon yang tidak berbeda nyata. Rataan daya urai kokon yang dihasilkan sebesar 1,18%.

Suhu Waktu Rataan

30 menit 60 menit

70oC 1,24 ± 0,79 1,01 ± 0,52 1,13 ± 0,65

80oC 0,94 ± 0,33 1,49 ± 1,08 1,22 ± 0,82

90oC 1,06 ± 0,26 1,34 ± 0,36 1,20 ± 0,33

(44)

32 Rumus daya urai kokon sutera B. mori kurang tepat jika digunakan untuk menghitung daya urai kokon A. atlas karena intensitas atau jumlah putus filamen

A. atlas jauh lebih besar daripada filamen B. mori. Penguraian kokon B. mori pada umumnya hanya satu kali putus sedangkan pada A. atlas lebih banyak karena filamen yang lebih rapuh. Hal ini menyebabkan daya urai kokon A. atlas jauh lebih kecil daripada daya urai kokon B. mori. Yuanita (2007) menyatakan bahwa daya urai kokon B. mori berkisar antara 60,63%-67,85% untuk kokon pupa jantan dan 52,69%-70,36% untuk kokon pupa betina. Daya urai kokon A. atlas dalam penelitian ini juga dihitung dengan cara manual berdasarkan panjang filamen untuk setiap satu kali putus. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel9.

Tabel9.RataanDaya Urai Kokon Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (m)

Rataan daya urai kokon A. atlas yaitu 1,81 m, artinya rataan panjang filamen untuk setiap satu kali putus adalah 1,81 m. Perlakuan perebusan pada suhu 80 oC selama 60 menit cenderung menghasilkan daya urai kokon yang besar. Besarnya nilai tersebut dapat disebabkan karena perlakuan perebusan kokon pada suhu 80 oC selama 60 menit diduga dapat melarutkan serisin lebih banyak sehingga filamen lebih mudah terurai dan filamen sutera jarang putus. Aini (2009) menyatakan bahwa kandungan serisin yang masih tinggi membuat banyak filamen masih saling menyatu (dicirikan dengan kulit kokon yang masih keras), sehingga sulit untuk diuraikan.

Penguraian filamen yang sulit menyebabkan banyak filamen putus. Semakin besar intensitas putus yang terjadi selama proses penguraian filamen, semakin rendah daya urai kokon tersebut. Menurut Lucas et al. (1978), serisin merupakan zat yang menyusun lapisan luar filamen sutera, berfungsi sebagai perekat yang menempelkan lembaran-lembaran fibroin menjadi satu dan sekaligus melindungi fibroin. Serisin dapat larut dalam air panas dan larutan alkali pada saat perebusan kokon, sedangkan

(45)

33 fibroin bersifat tidak larut dalam air sehingga pada saat penguraian filamen, fibroin dapat diuraikan dengan mudah menjadi filamen sutera. Serisin yang tidak larut secara sempurna dan masih tersisa pada kulit kokon akan menyebabkan fibroin sulit diuraikan dan akan terlihat pada saat penguraian filamen. Penguraian filamen secara terus menerus dengan intensitas putus yang rendah, pada akhirnya ketika putus akan menyisakan serat sutera yang tidak dapat diurai. Serat sutera tersebut kaku, terlihat banyak filamen yang masih saling menyatu karena masih mengandung serisin (Gambar 9).

Gambar 9. Serat Sutera yang Masih Mengandung Serisin

(46)

34 dapat menyebabkan kondisi kembali seperti semula, protein yang bersifat reversibel akan memperoleh kembali strukturnya sehingga penguraian filamen sulit dilakukan. Permukaan Filamen

Pengamatan filamen menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) dimaksudkan untuk melihat pengaruh perebusan kokon terhadap kualitas filamen, meliputi keadaan permukaan filamen, kerusakan yang mungkin terjadi setelah perebusan, dan ukuran filamen. Hasil pengamatan menunjukkan setiap filamen memiliki karakteristik tersendiri. Pengamatan dengan perbesaran 2000 X menunjukkan permukaan filamen bervariasi dalam hal kehalusan permukaan dan ketebalan filamen. Hasil pengamatan filamen sutera menggunakan SEM dapat dilihat pada Gambar 10.

Filamen hasil perebusan kokon pada suhu 70 oC selama 30 menit menunjukkan adanya serat yang tampak seperti sisa-sisa pelarutan. Tampak pada Gambar 10a, permukaan filamen tertutup lapisan yang menempel di beberapa bagian dan tampak seperti serat yang mengelupas sebagian. Serat tersebut diduga merupakan serisin yang belum terlarut sempurna dan masih menempel pada permukaan filamen. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lebar sampel sutera adalah 118,2 µ. Terlihat juga dalam gambar tersebut, kedua filamen sutera masih saling menyatu karena serisin belum terlarut sempurna. Satu helai filamen sutera merupakan gabungan dua utas fibroin yang dilapisi dan direkatkan oleh serisin. Serisin tersebut tidak larut secara sempurna ketika dipanaskan sehingga filamen sutera belum terpisah. Lebar sampel sutera yang juga menunjukkan ketebalan filamen pada gambar ini (Gambar 10a) berasal dari dua utas filamen.

(47)

35

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 10. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon: a) Suhu 70 oC selama 30 menit; b) Suhu 70 oC selama 60 menit; c) Suhu 80 oC selama 30 menit; d) Suhu 80 oC selama 60 menit; e) Suhu 90 oC selama 30 menit; f) Suhu 90 oC selama 60 menit

(48)

36 lebih kasar (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa secara mikroskopis, karakteristik filamen dapat berbeda walaupun perlakuan yang diberikan sama, bahkan sampel berasal dari filamen yang sama. Perbedaan karakteristik tersebut dapat terjadi karena masih ada penumpukan serisin pada suatu bagian dari filamen yang panjang. Selain serisin, juga terdapat materi lilin, karbohidrat atau bahan anorganik lainnya yang mungkin masih menempel pada permukaan filamen sehingga dapat terdeteksi jika diamati dengan SEM. Ketebalan filamen sutera berdasarkan pengamatan permukaan filamen ini adalah sebesar 52,8 µ.

Kokon yang diberi perlakuan perebusan pada suhu 80 oC selama 60 menit menghasilkan filamen sutera yang lebih baik. Terlihat pada Gambar 10d, permukaan filamen sangat halus dan hampir tidak ditemukan kerusakan. Berdasarkan pengamatan ini juga diperoleh ketebalan filamen sutera adalah sebesar 52,8 µ sama dengan filamen hasil perebusan kokon pada suhu 80 oC selama 30 menit. Hal ini menunjukkan bahwa perebusan kokon pada suhu 80 oC menghasilkan filamen dengan ketebalan yang lebih stabil, artinya filamen tidak mengalami pengkerutan atau penyusutan serta tidak memuai menjadi lebih tebal.

Perebusan kokon pada suhu 90 oC selama 30 menit menghasilkan filamen dengan permukaan cukup halus. Pengamatan pada filamen ini juga menunjukkan pada bagian lain ditemukan filamen yang terpecah menjadi bercabang. Filamen tersebut bukan merupakan dua filamen yang tergabung menjadi satu, melainkan satu buah filamen yang terpecah dan bercabang menjadi dua bagian, sehingga pada bagian lain tampak filamen yang lebih tipis karena merupakan pecahan dari filamen yang tebal (Lampiran 10). Hasil menunjukkan ketebalan filamen ini (Gambar 10e) adalah sebesar 87,3 µ.

Kokon hasil perebusan pada suhu 90 oC selama 60 menit menghasilkan filamen yang tidak sempurna. Hasil menunjukkan terlihat di beberapa bagian tampak serabut filamen yang mengelupas. Terlihat juga permukaan filamen mengalami kerusakan yaitu terlihat permukaan yang kasar dan di bagian lain terlihat permukaan filamen mengerut dan menyusut sehingga tampak seperti cekungan. Berdasarkan pengamatan ini, diketahui ketebalan filamen adalah sebesar 41,8 µ.

(49)

37 perbesaran yang sama. Ketebalan filamen yang dihasilkan dari sebutir kokon dapat berbeda-beda, umumnya filamen dari lapisan luar kokon lebih tebal jika dibandingkan dengan lapisan dalam kokon. Oleh karena itu, pengamatan sampel menggunakan SEM sebaiknya menggunakan sampel yang berasal dari bagian yang sama dari masing-masing kokon, misalnya sampel diambil dari lapisan pertama kokon yang umumnya lebih tebal.

Perlakuan perebusan pada suhu 80oC cenderung menunjukkan hasil yang lebih baik karena lebih bersih dan tidak ditemukan kerusakan, perlakuan perebusan pada suhu 90 oC terlihat bersih tetapi mengalami kerusakan, sebaliknya perlakuan perebusan pada suhu 70 oC terlihat permukaan yang tidak bersih. Perebusan kokon pada suhu yang terlalu tinggi menyebabkan permukaan filamen rusak dan mungkin hancur. Berdasarkan pengamatan permukaan filamen, sebenarnya terlihat perubahan fisik filamen akibat pemanasan, sehingga permukaan filamen dapat dijadikan acuan dalam penentuan kualitas filamen.

Hasil pengamatan menggunakan SEM pada filamen sutera A. atlas

memperlihatkan bahwa filamen memiliki ketebalan 41,8-87,3 µ. Budhiarti (2000) menyatakan bahwa filamen sutera B. mori ras Jepang memiliki ketebalan 18–22 µ. Menurut Gusa et al. (2002), jika dilihat dari ukuran filamen, filamen A. atlas lebih lebar bila dibandingkan dengan ukuran filamen B. mori. Filamen B. mori kelihatan membulat, sedangkan filamen A. atlas lebih pipih, tetapi filamen A. atlas dan B. mori

(50)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Tingkat suhu perebusan kokon 70, 80 dan 90 oC serta lama waktu perebusan kokon 30 dan 60 menit dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen maupun daya urai kokon. Hasil analisis menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan persentase bobot filamen dan daya urai kokon pada perebusan kokon dengan suhu 80oC selama 60 menit. Dalam penelitian ini, perebusan pada suhu 80oC selama 60 menit dinilai paling baik karena serisin dapat larut dan filamen tidak mengalami kerusakan akibat suhu yang terlalu panas. Hasil ini didukung dengan pengamatan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) yang menunjukkan permukaan filamen yang paling baik secara umum dihasilkan dari perlakuan suhu 80oC selama 60 menit.

Saran

1. Perlu diupayakan pembuatan alat urai yang praktis dan mampu menguraikan filamen dengan baik sehingga diperoleh hasil dengan panjang yang maksimal. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai metode penguraian filamen menggunakan

penguapan (boiling up) tanpa adanya pembilasan dengan air dingin.

(51)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun dalam rangka melengkapi tugas akademik dan merupakan salah satu syarat meraih gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan kepada Ir. B. N. Polii, SU dan Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS selaku Pembimbing Skripsi

karena dengan sepenuh hati dan penuh kesabaran telah membimbing, membagi pengalaman dan meluangkan waktu selama penelitian serta penyusunan skripsi ini. Kepada Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si dan Ir. Widya Hermana, M.Si selaku dosen penguji

yang telah memberikan saran-saran dalam penulisan skripsi serta kepada Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu H. S., MS sebagai Pembimbing Akademik atas bimbingan

yang diberikan, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis haturkan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada orang tua tercinta, ayah Sardi dan ibu Sri Bandiyah, karena dengan pengorbanan moril dan materil membiayai studi hingga selesai dan atas doa restunya yang senantiasa mengiringi gerak langkah Penulis hingga saat ini. Terima kasih atas inspirasi, motivasi, semangat dan kasih sayang yang telah diberikan. Tiap patah kata beliau adalah doa, tiap langkah kakinya adalah usaha dan pengorbanan, dan tiap tetes keringatnya adalah perjuangan demi putri tercintanya.

Kepada Ibu Endang selaku peneliti dan Mba Yuni selaku teknisi Laboratorium SEM Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI atas bantuannya selama kegiatan penelitian, dan seluruh teknisi Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan, pada kesempatan ini penulis juga sampaikan ucapan terima kasih, jasa-jasa Bapak/Ibu tidak akan pernah dilupakan. Teman satu tim penelitian diantaranya Fitri, Ninu, Anggies dan Ferry, terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama penelitian. Terakhir Penulis ucapkan terima kasih kepada IPTP’ers 42 atas pertemanannya serta kepada Civitas akademika Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Amin.

Bogor, Februari 2011

Gambar

Gambar 6.  Alat Urai Sederhana
Gambar 7. Prosedur Pengolahan Kokon hingga Penguraian Filamen
Gambar 8.  Kulit Kokon Attacus atlas: a) Kulit Kokon Utuh;
Tabel 3. Klasifikasi Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss (BKKTF)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis peningkatan keunggulan bersaing berbasis knowgledge management melalui intellectual capital dan inovasi, dengan konsep

Berdasarkan hasil penelitian maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi

Hasil penelitian: 40 foto rontgen panoramik yang mengalami impaksi molar ketiga rahang bawah di RSGM UMY pada bulan Januari sampai dengan Mei 2016 Didapatkan

Pada saat pemasukan dokumen karya, dokumen administrasi dan teknis dimasukan kedalam 1 sampul luar yang diberi keterangan “Sayembara Desain Tugu Kilometer Nol di

[r]

Rumusannya, pendapat Quesenbery (2004) menunjukkan bahawa elemen kebolehgunaan adalah penting dalam kajian penterjemahan teks teknikal bagi mengekalkan atau memantapkan kualiti

Hasil penelitian menunjukkan: (1) pendekatan problem solving berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi belajar dalam pembelajaran IPA di SMPN 2 Mlati Kabupaten