• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Dan Identifikasi Nematoda Parasit Pada Tanaman Wortel (Daucus Carota L ) Asal Dataran Tinggi Malino, Gowa, Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi Dan Identifikasi Nematoda Parasit Pada Tanaman Wortel (Daucus Carota L ) Asal Dataran Tinggi Malino, Gowa, Sulawesi Selatan"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI NEMATODA PARASIT PADA

TANAMAN WORTEL (

Daucus carota

L.) ASAL DATARAN

TINGGI MALINO, GOWA, SULAWESI SELATAN

HISHAR MIRSAM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi dan Identifikasi Nematoda Parasit pada Tanaman Wortel (Daucus carota L.) Asal Dataran Tinggi Malino, Gowa, Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

HISHAR MIRSAM. Deteksi dan Identifikasi Nematoda Parasit pada Tanaman Wortel (Daucus carota L.) Asal Dataran Tinggi Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh SUPRAMANA dan GEDE SUASTIKA.

Kabupaten Gowa merupakan salah satu sentra penghasil wortel di Sulawesi Selatan. Salah satu kendala produksi wortel di Indonesia termasuk yang dihadapi petani-petani di Kabupaten Gowa ialah penyakit umbi bercabang. Genus nematoda parasit utama yang dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman wortel di daerah tropis, yaitu Meloidogyne, Pratylenchus, Rotylenchulus, Longidorus, dan Xiphinema. Beberapa penelitian terdahulu berhasil mengidentifikasi 4 spesies Meloidogyne yang menginfeksi tanaman wortel di beberapa sentra produksi wortel di Pulau Jawa yaitu M. incognita, M. hapla, M. javanica, dan M. arenaria. Gejala malformasi umbi berupa puru, umbi bercabang, dan lesio ditemukan pada umbi wortel di daerah Malino. Penyebab umbi bercabang pada tanaman wortel di dataran tinggi Malino di Kabupaten Gowa sampai saat ini belum diketahui. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk mengidentifikasi penyebab penyakit umbi bercabang di dataran tinggi Malino.

Penelitian ini bertujuan mengetahui beberapa genus nematoda parasit yang berasosiasi dengan tanaman wortel dengan tahapan: a) deteksi keberadaan nematoda pada jaringan akar, b) identifikasi morfologi berdasarkan karakter morfometrik dan karakter pola perennial masing-masing untuk mengetahui genus dan spesies nematoda utama yang berasosiasi dengan wortel di Malino, c) identifikasi molekuler untuk mempelajari tingkat kekerabatannya dengan isolat koleksi pada GenBank.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) Meloidogyne spp. memperlihatkan stadia perkembangan mulai dari telur, juvenil 1, 2, 3, dan 4, sampai dewasa melalui teknik pewarnaan nematoda pada jaringan akar; (b) tiga genus nematoda parasit, yaitu Meloidogyne, Rotylenchulus, dan Pratylenchus berhasil diidentifikasi berdasarkan karakter morfometrik. Tiga spesies nematoda parasit utama dari genus Meloidogyne yaitu M. incognita, M. arenaria, dan M. javanica berhasil diidentifikasi berdasarkan karakter pola perineal; (c) identifikasi secara molekuler dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik berhasil mengamplifikasi pita DNA M. incognita, M. arenaria, dan M. javanica dengan ukuran berturut-turut ± 999 pb, ± 420 pb, dan ± 450 pb sedangkan PCR dengan primer multipleks tidak berhasil mengamplifikasi pita DNA. Analisis runutan nukleotida menunjukkan isolat M. incognita asal Malino-Indonesia memiliki kekerabatan yang dekat dengan isolat asal Bangka-Indonesia, Cina, dan Malaysia dengan nilai homologi berkisar 99.2% - 100%. M. javanica memiliki hubungan yang sangat dekat isolat asal Cina, Brazil, India, Iran, Amerika, dan Spanyol dengan nilai homologi berkisar 98.1% - 99.2%. Runutan nukleotida M. arenaria asal Malino-Indonesia telah didaftarkan pada GenBank dengan nomor aksesi KP234264. Runutan ini menjadi data pertama yang tersedia di GenBank.

(6)

SUMMARY

HISHAR MIRSAM. Detection and Identification of Plant-Parasitic Nematodes on Carrot (Daucus carota L.) From Malino Highland, Gowa, South Sulawesi. Supervised by SUPRAMANA and GEDE SUASTIKA.

Gowa is one of the carrot production areas in South Sulawesi. Branced tuber disease is one of the cause of the decreasing carrot production in Gowa. Genera of the major plant-parasitic nematodes that associated with carrots in the tropics are Meloidogyne, Pratylenchus, Rotylenchulus, Longidorus, and Xiphinema. In Java, previous studies reported four species of Meloidogyne that caused branched tuber symptoms, that were M. incognita, M. hapla, M. javanica, and M. arenaria. Malformation symptoms such as root knot, branched tuber, and lesions were found on carrot in Malino. The cause of branched tuber on carrot in Malino Highland is not well understood. Therefore, a study to identify the cause of the branched tuber disease in Malino Highland is needed.

This study aimed to identify several plant-parasitic nematodes genera associated with diseased carrot with the following methods: (a) detect the presence of nematodes in the roots tissue, (b) identify plant-parasitic nematodes genera and species of major plant-parasitic nematodes based on morphometric measurement and perineal pattern, and (c) identify molecular characters to determine the phylogenetic relationship with reference isolates in GenBank.

Results of this study showed: (a) Meloidogyne live stages including eggs, juveniles, and females were found inside the infected roots; (b) three nematodes genera, that were Meloidogyne, Rotylenchulus, and Pratylenchus were identified based on morphometric measurement. In addition, three Meloidogyne species, which were M. incognita, M. arenaria, and M. javanica were recognized based on female perennial pattern; (c) the specific primers amplified three DNA bands, i.e. ± 999 bp of M. incognita, ± 420 bp of M. arenaria, and ± 450 bp of M. javanica, while a multiplex primer was failed to amplify DNA bands. Nucleotide sequence analysis showed M. incognita isolate of Malino-Indonesia was closely related to M. incognita isolate from Bangka-Indonesia, China, and Malaysia with homology values 99.2%-100%. M. javanica isolate of Malino-Indonesia was related to M. javanica from China, Brazil, India, Iran, United State, and Spain with homology values 98.1%-99.2%.. The nucleotide sequences of M. arenaria from Malino-Indonesia was submitted to GenBank with accession number KP234264, which was the first nucleotide sequence data in GenBank.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Fitopatologi

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI NEMATODA PARASIT PADA

TANAMAN WORTEL (

Daucus carota

L.) ASAL DATARAN

TINGGI MALINO, GOWA, SULAWESI SELATAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Supramana, MSi Ketua

Dr Ir Gede Suastika, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Fitopatologi

Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 06 Februari 2015 Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Deteksi dan Identifikasi Nematoda Parasit pada Tanaman Wortel (Daucus carota L.) Asal Dataran Tinggi Malino, Gowa, Sulawesi Selatan

Nama : Hishar Mirsam

NIM : A352120021

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih pada tesis ini adalah Deteksi dan Identifikasi Nematoda Parasit pada Tanaman Wortel (Daucus carota L.) Asal Dataran Tinggi Malino, Gowa, Sulawesi Selatan.

Penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih serta penghargaan sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua Ayahanda Mi’raje, SPd MSi dan Ibunda Nursam P, SPd yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik, mendoakan, memelihara, dan memberikan bimbingan serta pengorbanan yang sangat besar dalam kehidupan penulis, semoga ketulusan hati mereka dalam mendidik penulis mendapat balasan pahala dan limpahan rahmat dari Allah SWT. Kepada saudara/i yang saya banggakan Husnul Mirsam dan Selvita Febriana Mirsam yang senantiasa memberikan inspirasi dan motivasi kepada penulis.

2. Bapak Dr Ir Supramana MSi dan Dr Ir Gede Suastika MSc selaku dosen pembimbing dengan kesabaran dan keikhlasan dalam membimbing sehingga membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Fitopatologi IPB yang telah memberikan ilmu paling berharga selama penulis mengikuti proses kehidupan sebagai mahasiswa.

4. Rekan-rekan seperjuangan Fitopatologi 2012 yang sangat kompak dalam kebersamaannya, terima kasih atas arahan-arahan serta nasehat yang bersifat membangun bagi penulis baik dalam hal perkuliahan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

5. Rekan-rekan Laboratorium Nematologi Tumbuhan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan IPB khususnya Bapak Gatut Heru Bromo, Ibu Fitrianingrum K, dan Sari Nurulita yang selalu setia menemani dan membantu penulis selama penelitian berlangsung.

6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah mengamanahkan Beasiswa Unggulan DIKTI tahun 2012 jalur calon dosen kepada penulis selama menempuh studi.

7. Serta semua pihak yang namanya tidak tercantum juga telah memberikan andil secara ikhlas membantu penulis dalam berbagai hal.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa hasil dari karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran positif yang bersifat membangun dalam mengembangkan karya ini, sehingga dapat berguna bagi kita semua, insya Allah, Amin.

(13)

DAFTAR ISI

Deskripsi Tanaman Wortel (Daucus carota L) 3

Sistematika dan Biologi 3

Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter Morfologi 8 Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter Molekuler 10

3. METODE 11

Pewarnaan Meloidogyne spp. di dalam Jaringan 13

Identifikasi Gejala pada Tanaman Wortel 13

Identifikasi Morfologi 13

Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan PCR rDNA 14

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Kondisi Geografis Lokasi Pengembalian Sampel 17

Keadaan Pertanaman Wortel pada Lokasi Pengambilan Sampel 18 Gejala Penyakit oleh Meloidogyne spp. di Lapangan 19 Gejala Penyakit oleh Meloidogyne spp. pada Umbi Wortel 20 Keberadaan Meloidogyne spp. di dalam Jaringan Tanaman 21 Nematoda Parasit yang Berasosiasi dengan Tanaman Wortel 22

Meloidogyne 23

Rotylenchulus 24

Pratylenchus 25

Nematoda Lain 26

Identifikasi Morfologi Spesies Meloidogyne Melalui Pola Perineal 27 Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan PCR rDNA 28

(14)

Filogenetika Spesies Meloidogyne Berdasarkan Runutan Basa

Nukleotida 30

Pembahasan Umum 32

5. SIMPULAN DAN SARAN 34

Simpulan 34

Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 34

LAMPIRAN 41

(15)

DAFTAR TABEL

1. Pasangan primer yang digunakan untuk identifikasi spesies

Meloidogyne dengan teknik polymerase chain reaction 15 2. Program amplifikasi target DNA untuk masing-masing spesies

Meloidogyne dengan teknik polymerase chain reaction 16 3. Pengukuran morfometrik nematoda parasit juvenil 2 isolat Malino

berdasarkan formula J.G. de Man 23

4. Homologi runutan nukleotida spesies Meloidogyne asal Malino,

Sulawesi Selatan dengan isolat-isolat yang ada pada GenBank 30 DAFTAR GAMBAR

1. Scanning mikrograf elektron menunjukkan bentuk tubuh umum dari

Meloidogyne jantan, betina, dan 13 juvenil dua 4

2. Gejala penyakit Meloidogyne spp. 5

3. Morfologi R. parvus 6

4. Morfologi Pratylenchus spp. 7

5. Perbedaan pola sidik pantat M. incognita, M. hapla, M.javanica, dan

M. arenaria 10

6. Teknik pembuatan preparat semi permanen sidik pantat nematoda

betina Meloidogyne spp. 14

7. Peta administrasi Kelurahan Pattapang 17

8. Kondisi pertanaman wortel di Kelurahan Pattapang 19 9. Variasi gejala penyakit Meloidogyne spp. pada umbi wortel 21 10.Siklus hidup Meloidogyne spp. dalam jaringan akar 21

11.Ciri-ciri morfologi Meloidogyne spp. 23

12.Morfologi Meloidogyne juvenil 2 24

13.Morfologi Rotylenchulus juvenil 2 25

14.Morfologi Pratylenchus juvenil 2 26

15.Nematoda non-parasit hasil ekstraksi tanah dengan teknik

flotasi-sentrifugasi 27

16.Pola perineal Meloidogyne betina asal Malino-Indonesia, Sulawesi

Selatan 28

17.Hasil amplifikasi DNA Meloidogyne asal Malino, Sulawesi Selatan

pada 1% gel agarosa 29

18.Diagram DNA ribosom dan pembagian wilayah masing-masing gen

pengkode 29

19.Pohon filogenetik spesies M. incognita yang menginfeksi pertanaman wortel di dataran tinggi Malino, Sulawesi Selatan dengan analisis

UPGMA menggunakan program Bioedit 7.1.3. dan MEGA 6.06. 31 20.Pohon filogenetik spesies M. javanica yang menginfeksi pertanaman

wortel di dataran tinggi Malino, Sulawesi Selatan dengan analisis

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Ukuran tubuh Meloidogyne juvenil 2 berdasarkan pengukuran

morfometrik formula J.G. de Man 41

2. Ukuran tubuh Rotylenchulus juvenil 2 berdasarkan pengukuran

morfometrik formula J.G. de Man 41

3. Ukuran tubuh Pratylenchus juvenil 2 berdasarkan pengukuran

morfometrik formula J.G. de Man 42

4. Matriks identitas runutan nukleotida isolat M. incognita diperoleh

dengan menggunakan software Bioedit 7.1.3 42

5. Matriks identitas runutan nukleotida isolat M. javanica diperoleh

dengan menggunakan software Bioedit 7.1.3 42

(17)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wortel merupakan jenis sayuran umbi dari keluarga Umbelliferae yang dibudidayakan di daerah pegunungan dengan ketinggian sekitar 1 200 m di atas permukaan laut (dpl). Tanaman wortel memerlukan tanah yang berstruktur remah dengan kandungan bahan organik yang cukup tinggi. Keadaan tanah yang cocok untuk tanaman wortel adalah tanah yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik (humus), sirkulasi udara, dan tata airnya berjalan baik. Tanah berat akan mengakibatkan kematian akar karena kekurangan oksigen yang menyebabkan malformasi, percabangan, dan wortel terbelah (Williams et al. 1993).

Budidaya tanaman hortikultura saat ini semakin berkembang di Indonesia khususnya di daerah dataran tinggi Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, karena daerah ini memiliki iklim dan kelembaban yang sesuai untuk budidaya tanaman hortikultura. Kabupaten Gowa merupakan salah satu sentra produksi wortel terbesar di Sulawesi Selatan, dengan rata-rata luas panen 163 ha dan produksi berkisar antara 9489 ton sampai 15 637 ton (BPS Gowa 2013). Walaupun data tersebut menunjukkan peningkatan produksi dari tahun ke tahun, tetapi kualitas umbi yang dihasilkan rendah sehingga menurunkan harga jual di pasaran. Belum optimalnya produktivitas wortel tersebut dipengaruhi oleh penerapan teknologi produksi di tingkat petani masih sangat rendah serta adanya serangan hama dan penyakit yang semakin kompleks dan sulit dikendalikan.

Gejala penyakit oleh nematoda parasit yang sering ditemukan di lapangan yaitu bintil-bintil berukuran kecil hingga bentuk distorsi yang besar dan lesion/luka, terutama pada tanaman wortel. Berdasarkan peringkat atas pentingnya suatu nematoda parasitic pada daerah tropis di dunia, maka Meloidogyne spp. merupakan genus nematoda parasitik utama diikuti oleh Trichodorus spp. dan Xiphinema spp. (Noe et al. 1995). Merrifield (2000) menambahkan, beberapa nematoda yang dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman wortel yaitu Pratylenchus neglectus, P. crenatus, P. penetrans, P. thornei, Longidorus elongates, M. chitwoodi, M. hapla, dan X. americanum.

Salah satu kendala produksi wortel di Indonesia termasuk yang dihadapi petani-petani di Kabupaten Gowa ialah penyakit umbi bercabang yang disebabkan oleh nematoda puru akar (NPA), Meloidogyne spp. Beberapa penelitian terdahulu berhasil mengidentifikasi 4 spesies Meloidogyne yang menginfeksi tanaman wortel di beberapa sentra produksi wortel di Pulau Jawa yaitu M. incognita, M. hapla, M. javanica, dan M. arenaria (Hikmia et al. 2012, Taher et al. 2012, Halimah et al. 2013). Gejala malformasi umbi berupa puru, umbi bercabang, dan lesio ditemukan pada umbi wortel di daerah Malino.

(18)

2

dapat menyebabkan sistem perakaran mengalami disfungsi secara total. Pembentukan akar baru hampir tidak terjadi dan fungsi perakaran terhambat dalam menyerap dan menyalurkan air dan unsur hara ke seluruh bagian tanaman (Davis et al. 2005).

Nematoda puru akar secara morfologi sangat mirip satu dengan lain dan sulit diidentifikasi sampai tingkat spesies. Selain itu, beberapa spesies nematoda puru akar sering ditemukan bersamaan pada akar tanaman. Identifikasi pola perineal atau pola sidik pantat nematoda puru akar betina merupakan salah satu teknik identifikasi morfologi nematoda yang diperkenalkan oleh Eisenback et al. (1981). Selain identifikasi pola perineal, identifikasi dengan pendekatan biologi molekuler diyakini lebih cepat dan lebih akurat dibandingkan dengan identifikasi karakter morfologi dan pola perineal (Esbendshade dan Tirantaphyllou 1990). Salah satu teknik molekuler yang dilakukan yaitu dengan mengamplifikasi bagian DNA ribosom pada daerah Internal Transcribed Spacers (ITS) melalui teknik polymerase chain reaction (PCR) (Zijltra et al. 2000).

Kajian tentang identifikasi jenis nematoda parasit yang berasosiasi dan menginfeksi tanaman wortel di Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan perlu dilakukan. Identifikasi secara cepat dan akurat akan membantu dalam memahami spesies yang dominan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan nematoda pada tanah dan umbi, mengidentifikasi genus nematoda parasit yang berasosiasi dengan tanaman wortel, mengidentifikasi spesies Meloidogyne berdasarkan karakter morfologi dan molekuler, dan mempelajari tingkat kekerabatan spesies Meloidogyne berdasarkan karakter molekuler dengan analisis filogeni.

Hipotesis

Meloidogyne spp. diduga sebagai penyebab utama penyakit umbi bercabang pada pertanaman wortel di Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Manfaat Penelitian

(19)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Tanaman Wortel (Daucus carota L.)

Sistematika dan Biologi

Wortel (Daucus carota L.) termasuk famili Umbelliferae, berasal dari Eropa dan Mediterania (Tindall 1983). Klasifikasi tanaman wortel menurut CABI (2007), yaitu divisi: Embryophyta siphonogama; subdivisi: Angiospermae; kelas: Dicotyledoneae; ordo: Araliales; famili: Umbelliferae/Apiaceae; genus: Daucus; dan spesies: Daucus carota.

Tanaman wortel memiliki ciri-ciri umum, yaitu batangnya pendek dan berbentuk seperti piringan pada pertumbuhan awal dan akan memanjang pada pertumbuhan berikutnya, tandan bunga seperti karangan bunga berbentuk payung, bunganya bersifat hermaprodit, menyerbuk silang yang umumnya dilakukan oleh serangga (Edmond et al. 1957), bunga berwarna putih dan terdiri atas sepal dan petal masing-masing berjumlah lima, bakal buah berbulu dan buahnya berbentuk hampir bulat, panjang 3 mm – 4 mm dengan tepi berduri, kedudukan daun berseling dengan tangkai daun panjang dan membentuk pelepah pada pangkalnya (Tindall 1983). Wortel memiliki akar tunggang yang berubah bentuk dan fungsi menjadi umbi bulat panjang. Umbi wortel ini berwarna kuning sampai kemerah-merahan karena memiliki kandungan karotenoid yang tinggi (Adriani 1987).

Wortel tumbuh dengan baik pada tanah lempung berpasir yang dalam. Tanah yang berat menghambat pertumbuhan umbi (Hartmann et al. 1981). Tanah dengan pH 6 – 6.5 dan suhu lingkungan 16 – 24 oC baik untuk pertumbuhan umbi wortel. Suhu tinggi dapat mengakibatkan terhambatnya perkecambahan, penurunan kandungan ß-karoten, memucatnya warna umbi, dan berseratnya jaringan akar (Tindall 1983).

Wortel termasuk golongan tanaman berumbi yang bersifat biennial. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman jenis ini terbagi menjadi dua periode yaitu pertama pembentukan struktur penyimpanan makanan dan kedua pembentukan bunga, buah, dan biji. Periode perkembangan struktur penyimpanan diawali dengan perkembangan daun dan akar. Untuk perkembangan daun dan akar dibutuhkan karbohidrat diakumulasi di dalam organ penyimpan (Edmond et al. 1957).

Akar-akar wortel mulai menebal setelah mencapai kira-kira separuh panjang maksimalnya. Laju pembengkakan mula-mula kecil, kemudian bertambah besar dan mencapai maksimum pada kematangan biokimiawi. Setelah fase tersebut, pertumbuhan masih terus berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa pemanenan terlambat masih dibenarkan (Pantastico 1986).

Penyakit Utama Tanaman Wortel

(20)

4

dauci), busuk pangkal batang (Sclerotinia sclerotiorum), bercak daun Cercosprora (Cercospora carotae), dan nematoda puru akar (Meloidogyne spp.).

Nematoda Parasit Tanaman Wortel

Meloidogyne spp.

Sistematika. Genus nematoda parasitik tumbuhan yang penting pada umumnya termasuk ordo Tylenchida, tetapi ada beberapa yang termasuk ordo Dorylaimida (Agrios 2005). Adapun Klasifikasi Nematoda Meloidogyne spp. menurut (Luc et al. 1995) yaitu Filum: Nematoda; Kelas: Secernentea; Sub Kelas: Secernenteae; Ordo: Thylenchida; Famili: Meloidogynidae; dan Genus: Meloidogyne.

Morfologi. Morfologi dan anatomi penting dalam mempelajari taksonomi dan memahami fungsi fisiologisnya, interaksi dengan lingkungan, serta hubungan timbal balik dengan tanaman inangnya. Dalam satu siklus hidup Meloidogyne terjadi perubahan morfologisnya yaitu bentuk telur, larva (juvenil), dan dewasa (jantan dan betina). Nematoda puru akar betina bentuknya membulat seperti alpukat, berwarna putih kekuningan, diameter tubuh memanjang antara 440-1300 μm dan lebar 325-700 μm. Nematoda betina bersifat menetap (sedentary) dalam akar dan mempunyai dua buah indung telur (ovarium) (Mulyadi 2009).

Gambar 1 Scanning mikrograf elektron menunjukkan bentuk tubuh umum dari Meloidogyne jantan (kiri), betina (tengah), dan 13 juvenil dua (kanan). (sumber: Moens et al. 2009).

(21)

5 jantan berbentuk seperti cacing (vermiform) dengan panjang 1873 μm (Eisenback et al. 1981). Stilet jantan lebih panjang dibandingkan dengan stilet betina. Kerangka kepala nematoda jantan lebih kuat, dengan ekor pendek setengah melingkar. Jantan memiliki spikula yang kuat dan tidak mempunyai bursa (Luc et al. 2005).

Gejala Penyakit. Gejala penyakit NPA pada tajuk tanaman wortel dicirikan dengan tanaman yang mengerdil dan daun menguning (klorosis) yang menyebabkan berkurangnya vigor tanaman. Apabila tanaman terinfeksi pada masa pembibitan, maka produksi umbi akan sangat sedikit (Roberts dan Mullens 2002).

Gambar 2 Gejala penyakit Meloidogyne spp. 1, 4 dan 7 Gejala pada pertanaman (gejala sekunder), 2, 5, dan 6 gejala pada umbi tanaman (gejala primer), serta 3, 8, dn 9 gejala pada akar tanaman (gejala primer) (sumber: Widmer et al. 1999).

Karakteristik gejala akibat infeksi nematoda puru akar adalah terbentuknya puru atau bintil-bintil pada akar (Gambar 2) sebagai reaksi terhadap invasi dan dimakannya sel jaringan tanaman oleh nematoda parasitik tersebut. Puru berkisar antara puru yang kecil dan terpisah-pisah sampai akar yang mengalami distorsi serta hambatan pertumbuhan akar. Ukuran dan besarnya puru yang terjadi dapat memberi petunjuk spesies nematoda puru akar. Puru yang disebabkan M. hapla lebih kecil dan timbul hanya sebagian kecil dari sistem akar. M. incognita dan M. javanica dapat menyebabkan timbulnya puru yang besar (ekstensif) dan dapat menyerang 90% atau lebih dari sistem akar (Luc et al. 1995). Pada bagian akar tanaman yang terinfeksi terbentuk kanker (gall) atau bahkan busuk bila serangan sudah serius. Gejala umum yang dapat diamati adalah tanaman menjadi layu dan daun menguning akibat rusaknya perakaran. Pertumbuhan pada bagian atas tanaman menjadi terhambat.

(22)

6

dikelilingi oleh parenkim dan mudah diamati dengan mikroskop perbesaran lemah pada akar yang diberi zat warna (Luc et al. 1995).

Rotylenchulus spp.

Sistematika. Nematoda bentuk ginjal, R. reniformis menyebar luas di seluruh daerah tropis dan sub-tropis, dan merupakan parasit obligat pada berbagai tanaman pertanian (Kinloch 1998). Rotylenchulus spp. termasuk dalam ordo Tylenchida, sub-ordo Tylenchina, super famili Tylenchidea, famili Hoplolaimidae, sub-famili Rotylenchulinae (Dropkin 1991).

Morfologi. Nematoda R. reniformis bersifat seksual dimorfik, tubuhnya berbentuk cacing dan berukuran kecil (0.23-0.64 mm) (Luc et al. 1993). Daerah bibir menonjol, konoid dan tidak berlekuk terhadap tubuhnya; kerangka daerah bibir bersklerotin yang kuat. Panjang stilet 12 sampai 15 m (Dropkin 1991). Esofagusnya mempunyai median bulbus yang tumbuh baik; lubang saluran kelenjar esofagus dorsal terdapat pada bagian posterior basal stilet (0.6-1.9 kali panjang stilet); kelenjarnya tumbuh baik dan bagian lateralnya yang panjang menjorok ke daerah usus. Vulvanya terdapat di daerah posterior tubuhnya (V = 58-72%); bibir vulvanya tidak menonjol. Mempunyai dua saluran genital, masing-masing melekuk dua kali. Ekornya berbentuk kerucut dan ujungnya tumpul (Gambar 3) (Luc et al. 1993).

Gambar 3 Morfologi R. parvus. A, jantan, ujung kepala; B, juvenil, ujung kepala; C, betina dewasa, ujung kepala; D, ekor jantan; E, ekor juvenil; F, betina yang belum dewasa; G, betina dewasa; H-I, ekor betina belum dewasa; J, ekor betina dewasa (sumber: CABI 2007).

(23)

7 demikian infeksi oleh nematoda bentuk ginjal menghambat pembentukan akar sekunder dan sistem akar sangat lambat berkembang. Di Hawaii, daun-daun tanaman yang terinfeksi kurang tegak daripada daun-daun tanaman yang sehat, berwarna kemerahan, dan tampak pertumbuhannya terhambat. Gejala pada daun sama seperti kekuranagn hara atau air. Serangan berat dapat menimbulkan tanaman rebah dan mati (Caswell et al. 1993).

Pratylenchus spp.

Sistematika. Pratylenchus dikelompokkan ke dalam filum Nematoda, kelas Secernentea, ordo Tylenchida, sub ordo Tylenchina, super famili Tylenchoidea, family Pratylenchidae, dan sub family Pratylenchinae (Singh 2009).

Morfologi. Morfologi Pratylenchus, sampai pada tingkat genus mudah dideterminasi, tetapi identifikasi sampai tingkat spesies relatif lebih sulit. Khusus untuk P. brancyurus memiliki ciri morfologi yang khas sehingga relatif mudah untuk diidentifikasi. Pratylenchus memiliki panjang tubuh rata-rata sekitar 330-950 µ m. Stilet juvenil pendek dan kecil berukuran 13.5-15.5 µm. Posterior ekor jelas yang dibatasi oleh daerah anal, panjangnya 30-37 µm, berbentuk kerucut, dengan ujung crenate, dan kadang-kadang terdapat suatu subventral. Kelenjar esophagus tumpang-tindih yang panjangnya 35-37 µm. Kelenjar esofagus terdapat di bagian dorsal sepanjang 3 µ m (Gambar 4) (Torne 1961). Genus ini sangat mudah dikenali karena bagian ujung anterior kepalanya mendatar, kerangka kuat, mempunyai stilet pendek dan mempunyai otot, panjangnya 14-20 µm dengan basal knob yang jelas (Zuckerman et al. 1971).

Gambar 4 Morfologi Pratylenchus spp. (a) Nematoda jantan dan betina P. penetrans, (b) daerah esofagus pada nematoda dewasa P. neglectus (sumber: Dropkin 1991).

(24)

8

Gejala yang ditimbulkan oleh P. brachyurus dan P. coffeae berupa lesio akar berwarna gelap pada bagian akar yang terinfeksi. Infeksi yang berat mengakibatkan pertumbuhan akar primer dan sekunder terhambat. Pertumbuhan daun berkurang karena vigor tanaman menurun. Daun menjadi kuning kemudian merah, akar kehilangan turgiditasnya, dan akhirnya layu. Namun, gejala tersebut dapat diakibatkan oleh kekurangan nutrisi dan defisiensi air (CABI 2007).

Nematoda ini ditemukan dalam akar dan tanah dalam semua stadia. Telur yang menetas dapat menghasilkan juvenil stadia dua diletakkan berkelompok dalam akar atau tanah. Ketika kondisi tidak mendukung, nematoda ini pindah ke dalam akar tanaman lain. Populasi pada tanah menurun pada saat menyerang akar baru pada akhir musim semi atau pada awal musim panas pada daerah iklim sedang. Mereka kembali ke dalam tanah pada akhir musim panas dan awal musim gugur saat akar berkurang (Shurtleff dan Averre 2000).

Identifikasi Nematoda Parasit Tanaman

Metode lama yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi nematoda adalah membandingkan ciri-ciri morfologi spesimen dengan kunci identifikasi dan beberapa literatur. Metode ini dilakukan dengan pembuatan preparat nematoda pada gelas objek dan selanjutnya diidentifikasi dengan mikroskop. Sebanyak 5–10 preparat nematoda juvenil, betina dewasa, dan jantan digunakan untuk memastikan identifikasi karena beberapa ciri yang membedakan bersifat kuantitatif dan terdapat keragaman antar sepesies (Shivas dan Beasley 2005).

Identifikasi nematoda parasit tanaman sampai tingkat genus dapat dilakukan berdasarkan karakter morfologi. Beberapa spesies nematoda sulit diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi dan morfometrik. Oleh karena itu, identifikasi berdasarkan karakter morfologi diperkuat dengan karakter molekuler dan biokimia. Identifikasi karakter biologi molekuler beberapa nematoda memerlukan informasi runutan DNA untuk mengetahui spesies nematoda tersebut. Penelitian kemotaksonomi menunjukkan adanya jenis kriptik, yaitu jenis yang tidak dapat dibedakan berdasarkan sifat morfologinya. Walaupun demikian, dimungkinkan untuk mencari kembali perbedaan morfologi untuk mendukung data biomolekuler (Shivas dan Beasley 2005).

Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter Morfologi

Identifikasi dilakukan berdasarkan bentuk, ciri-ciri anatomi dan jumlahnya termasuk dimorfisme seksual secara morfologi, ukuran, serta rasio ukuran morfometrik. Kunci identifikasi menunjukkan ciri-ciri yang mendiagnosis genus dan spesies. Kunci identifikasi juga dapat digunakan dengan bantuan aplikasi komputer yang telah tersedia. Dua contoh yang menggunakan program-program berbeda adalah genus nematoda tanaman (www.lucidcentral.org) dan nematoda Australia (www.ento.csiro.au) (Shivas dan Beasley 2005).

(25)

9 ketergantungan pada strategi manajemen nematoda non-kimia. Secara tradisional, identifikasi dan deskripsi spesies Meloidogyne didasarkan pada morfologi pola perineal dan didukung oleh karakteristik morfologi lain dari betina, juvenil (J2), dan jantan (Singh 2009).

Chitwood (1949) dalam Singh (2009) menggunakan pengamatan detail morfologi (pola perineal, morfologi stilet, dan jarak dari knob stilet ke dorsal esofagus pembukaan kelenjar untuk membedakan M. Hapla dan M. incognita var. acrita dan Karssen (2002) juga menggunakan pengamatan tersebut untuk membedakan M. arenaira, M. exigua, M. incognita, dan M. javanica. Pola perineal dari spesies Meloidogyne terdiri dari ujung ekor, fasmid, garis lateral, anus, dan vulva yang dikelilingi oleh lipatan kutikula atau striae (Hirschmann 1985). Pola Perineal telah banyak digunakan dalam identifikasi spesies sejak tahun 1949 ketika Chitwood menggunakannya sebagai karakter identifikasi (Karssen dan van Aelst 2001).

Pola perineal digunakan sebagai salah satu karakter penting dalam identifikasi spesies karena alasan berikut. Pertama, pola perineal ini stabil dan tidak berubah secara signifikan (Eisenback 1985; Hirschman 1985). Kedua, betina relatif lebih besar ukurannya serta mudah untuk ditemukan dalam jaringan yang terinfeksi dan persiapan untuk pengamatan mikroskopik cahaya dibandingkan jantan yang sulit ditemukan, ukuran juvenil yang lebih kecil, dan sulit untuk persiapan pengamatan mikroskopik (Eisenback 1985). Ketiga, penemuan mikroskop scanning electron dan peningkatan teknik mikroskop cahaya sekarang memungkinkan gambaran ciri-ciri morfologi yang lebih akurat.

Kehadiran beberapa keragaman dalam pola perineal antara individu dari spesies yang sama (Eisenback 1985; Hirschmann 1985, Hussey 1985; Karssen dan van Aelst 2001) dan keahlian yang bervariasi dari peneliti yang menggambarkan pola perineal (Karssen 2002) membatasi keakuratan identifikasi spesies hanya berdasarkan pola perineal. Selain itu, identifikasi spesies berdasarkan karakter morfologi dan morfometrik membutuhkan banyak keterampilan (Hooper et al. 2005) dan banyak waktu. Jika menggunakan karakteristik morfologi, populasi campuran tidak mudah terdeteksi dalam jumlah spesimen yang besar dan harus dideteksi dengan teknik identifikasi yang lebih akurat.

(26)

10

stria bercabang di dekat garis lateral dengan bagian stria atas lebih mendatar (Gambar 5D) (Eisenback et al. 1981).

Gambar 5 Perbedaan pola perineal M. incognita (A), M. hapla (B), M.javanica (C), dan M. arenaria (D) (sumber: Eisenback et al. 1981).

Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter Molekuler

Keakuratan identifikasi spesies akan lebih baik jika karakter morfologi dilengkapi dengan karakter taksonomi lain seperti sitology, biokimia, dan fisiologi (Hirschman 1985). Karakter biokimia, sitology, dan reproduksi juga telah digunakan pada penelitian yang memfokuskan pada respon inang dan mekanisme parasitisme (Williamson dan Hussey 1996; Abad et al. 2003).

Metode-metode DNA berdasarkan runutan pemeriksaan fragmen dan sejenisnya telah dikembangkan untuk memecahkan beberapa tantangan identifikasi dan diagnosa suatu spesies. Sebagian peneliti mengandalkan pada ekstraksi dan amplifikasi DNA dari spesies nematoda, sedangkan yang lainnya dapat mendeteksi dan menghitung jenis-jenis tertentu dalam sampel tanah. Kendalanya adalah identifikasi hanya terbatas pada suatu spesies tunggal atau kelompok spesies yang kecil dan validasi mungkin dapat dilakukan dengan penarikan contoh yang terbatas pada keragaman antar spesies (Shivas dan Beasley 2005).

Prosedur yang dilakukan pada teknik PCR untuk identifikasi nematoda dimulai dengan proses ekstraksi DNA Meloidogyne yang dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain; (1) metode minipreparation yang dilakukan oleh Cenis (1993) untuk mengekstraksi jumlah DNA yang cukup banyak dari nematoda betina dewasa; (2) metode bufer lisis; dan (3) metode air steril yang menggunakan air steril untuk mengekstraksi DNA nematoda.

Beberapa genom telah berhasil digunakan dalam identifikasi spesies

Meloidogyne. Ribosomal DNA repeat units (rDNA) yang terdiri dari internal transcribed spacer (ITS 1 dan ITS 2) telah digunakan untuk karakterisasi spesies

Meloidogyne (Blok et al. 1997, Wiliamson et al. 1997, Zijlstra 1997, Zijltra et al. 2000). Sikuen gen yang mengkode protein yang lain juga dapat digunakan dalam identifikasi spesies jika diketahui proteinnya (Tesarova et al. 2004).

Reaksi replikasi pada proses PCR dijelaskan menurut Yuwono (2006). Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA

templete (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal. Denaturasi DNA dilakukan dengan suhu 95 °C selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 °C sehingga primer akan “menempel” (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Suhu 55 °C yang digunakan untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi.

(27)

11 dimulai dari ujung 3” masing-masing primer. Sintesis molekul DNA baru ini disebut juga dengan proses ekstensi yang terjadi pada suhu 72 oC. Setelah proses tersebut, satu untai DNA ganda akan berlipat jumlahnya menjadi dua untai DNA. Proses ini terjadi berulang kali, mulai dari denaturasi, penempelan, dan sintesis. Suhu pada proses denaturasi dan ekstensi bersifat tetap, masing-masing pada suhu 95 oC dan 72 oC, sedangkan suhu penempelan (anealing) bergantung pada panjang atau pendeknya primer (Muladno 2010). Siklus PCR yang dilakukan untuk nematoda (NPA) pada wortel sebanyak 45 kali (Kurniawan 2010).

3

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013 – Desember 2014. Pengambilan sampel dilakukan pada pertanaman wortel di Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Perbanyakan nematoda dilakukan di Rumah Kaca Cikabayan IPB. Isolasi dan identifikasi nematoda di Laboratorium Nematologi Tumbuhan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan 10 tahap kegiatan, yaitu (1) survei dan pengambilan sampel, (2) pendataan, (3) perbanyakan nematoda, (4) ektraksi nematoda dari tanah terinfestasi, (5) pembuatan preparat semipermanen, (6) pewarnaan Meloidogyne spp. di dalam jaringan, (7) identifikasi gejala, (8) identifikasi morfologi, (9) identifikasi molekuler, dan (10) analisis runutan nukleotida.

Survei dan Pengambilan Sampel

Survei dilakukan secara acak di beberapa kebun wortel milik petani di Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Lokasi pengambilan sampel terletak 1700 m di atas permukaan air laut. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif (purposive sampling), yaitu memilih sampel berdasarkan kriteria spesifik gejala penyakit tanaman. Sampel yang diambil berupa umbi bergejala dan tanah terinfestasi nematoda parasit. Sampel disimpan dalam kantung plastik secara terpisah dan dibungkus dengan pelepah pisang, kemudian ditata dalam cooling box.

Pendataan

(28)

12

wilayah serta keberadaaan gejala penyakit di lahan pengamatan. Semua informasi tersebut akan diperoleh langsung melalui pengamatan lapangan dan berasal dari Dinas Pertanian Sulawesi Selatan.

Perbanyakan Nematoda

Nematoda diperbanyak pada tanaman tomat yang ditanam pada medium tanah yang berasal dari pertanaman wortel di daerah Malino. Tanaman tomat dipelihara pada rumah kaca dan penyiraman dilakukan sesuai dengan kondisi media tanamnya. Penyiraman tidak dilakukan pada saat tanah masih dalam kondisi lembab. Penyiraman yang dilakukan secara rutin akan menyebabkan eksudat akar larut di dalam tanah sehingga nematoda tidak akan menyerang akar tanaman. Setelah tanaman tomat berumur 4–5 minggu, dilakukan pencucian akar dengan air mengalir. Selanjutnya dilakukan pemotongan puru akar dan akar rambut berpuru. Puru akar yang diperoleh digunakan untuk pengamatan jaringan dan ekstraksi DNA.

Ekstraksi telur dari akar dilakukan untuk memperoleh massa telur nematoda yang nantinya akan digunakan untuk perbanyakan nematoda. Perbanyakan dilakukan dengan menginfestasikan massa telur nematoda pada bibit tanaman tomat yang ditanam dengan medium tanah steril.

Ekstraksi Nematoda dari Tanah

Metode Flotasi Sentrifugasi. Sampel tanah dipisahkan dari gumpalan. Tanah yang halus diambil sebanyak 100 mL dan dicampurkan dengan 800 mL air dalam ember A, lalu diendapkan selama 1 menit. Air dari ember A disaring ke dalam ember B dengan menggunakan saringan kasar. Air dalam ember B disaring di atas saringan bertumpuk dengan posisi miring 30o, yaitu berturut-turut saringan 20 mesh dan 400 mesh. Substrat tanah dan nematoda yang tertinggal di saringan 400 mesh dituang ke dalam tabung sentrifus. Substrat disentrifugasi selama ± 5 menit dengan kecepatan 1 500 rpm, kemudian supernatan dibuang. Endapan ditambahkan dengan larutan gula 40% dan diaduk sampai merata. Selanjutnya disentrifugasi selama ± 1 menit dengan kecepatan 1 700 rpm. Supernatan yang terbentuk disaring dengan saringan 500 mesh dan dibilas dengan air yang mengalir sehingga diperoleh suspensi nematoda, lalu dimasukkan dalam botol koleksi untuk diamati dan diidentifikasi (Caveness dan Jensen 1955).

Metode Baerman. Tanah sebanyak 25 g ditempatkan di atas saringan kecil yang dilapisi kertas saring. Saringan tersebut diletakkan tepat di atas gelas penampung yang berisi air. Dasar saringan diusahakan menyentuh permukaan air di dalam gelas penampung sampai tanah tergenang, lalu diinkubasi selama 48 jam. Suspensi yang terkumpul kemudian disaring menggunakan saringan 500 mesh dan dimasukkan dalam tabung koleksi nematoda. Nematoda dalam suspensi diamati dan dihitung di bawah mikroskop stereo (Flegg dan Hooper 1970).

Pembuatan Preparat Semipermanen

(29)

13 parafin meleleh kembali dan cover glass merekat bersama parafin. Pinggir cover glass direkatkan dengan kuteks transparan.

Pewarnaan Meloidogyne spp. di dalam Jaringan

Pewarnaan Meloidogyne dalam jaringan akar mengacu pada metode yang dilakukan oleh Richard S. Hussey (Zuckerman et al. 1985). Puru akar direndam dalam kloroks 5% selama 10 menit dan dibilas dengan air hingga tak berbau. Puru akar kemudian direndam dalam acid fuchsin dan dipanaskan hingga mendidih. Akar rambut berpuru dibilas dengan air, kemudian direndam dengan glyserin dicampur dengan dua tetes HCl dan dipanaskan sampai warna merah pudar. Puru akar diletakkan di gelas preparat cekung, kemudian diamati stadia nematoda yang ada dengan menggunakan mikroskop. Hal ini digunakan untuk melihat siklus hidup nematoda yang berada di dalam akar.

Identifikasi Gejala Penyakit pada Tanaman Wortel

Wortel yang terinfeksi oleh nematoda umumnya memiliki gejala yang terlihat pada tajuk, ditandai dengan menguningnya daun di sekitar tajuk, layu, dan tanaman menjadi kerdil. Pertumbuhan tanaman menjadi tidak maksimal akibat adanya gangguan saluran pengangkut nutrisi (xilem dan floem) (Agrios 2005). Individu tanaman yang terinfeksi tidak dapat tumbuh secara optimal sehingga terlihat berbeda dengan tanaman yang tidak terinfeksi. Selain itu, tanaman bergejala akan memperlihatkan keadaan umbi yang mengalami malformasi.

Kegiatan identifikasi gejala penyakit pada pertanaman wortel dilakukan terhadap tanaman bergejala pada bagian tajuk (di atas permukaan tanah) dan terhadap perakaran tanaman. Gejala pada bagian tajuk yang diamati berupa tinggi tanaman (kerdil), warna daun (menguning, klorosis), dan kelayuan pada siang hari, sedangkan gejala pada bagian perakaran (umbi) berupa bentuk, ukuran puru, dan keberadaan akar rambut (hairy root).

Identifikasi Morfologi

Pengamatan secara morfologi dilakukan dengan melihat ciri dari tiap fase perkembangan nematoda tersebut. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan mendokumentasikan dengan menggunakan kamera. Identifikasi dilakukan dengan mengacu pada buku identifikasi nematoda yaitu: buku Plant Parasitic Nematodes : a Pictorial Key to Genera (May et al. 1996) dan dengan mencocokkan beberapa gambar – gambar pada beberapa literatur.

(30)

14

Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter Pola Parenial. Nematoda betina dewasa diambil dari puru pada jaringan atau akar. Puru tersebut diletakkan dalam cawan sirakus yang telah diisi sedikit air. Puru yang tunggal akan lebih mudah dari pada puru yang banyak isi nematoda betinanya. Jaringan akar yang menutupi nematoda betina disobek dengan pisau bedah dan jarum bedah untuk mengeluarkan nematode betina dewasa. Kutikula pada bagian leher betina nematoda dipotong dan tubuh betina ditekan dengan kuat hingga isi tubuhnya keluar. Bagian tubuh yang tersisa ditetesi asam laktat 45% dalam cawan petri. Asam laktat membantu menghilangkan isi tubuh yang masih melekat pada kulit setelah dikeluarkan isi tubuhnya. Bagian pertengahan tubuh dipotong dengan pisau bedah. Pisau bedah harus dalam keadaan tajam. Kulit bagian depan dan bagian pantat nematoda diangkat dari tetesan asam laktat.

Gambar 6 Teknik pembuatan preparat semi permanen pola peineal nematoda betina Meloidogyne spp. (sumber: Saavendra et al. 1997)

Bagian pantat nematoda ditempatkan pada tempat yang datar atau gelas obyek. Bagian samping dari pantat nematoda yang terlalu lebar dipotong keseluruhan hingga menyisakan bagian pantatnya. Sidik pantat dipindahkan ke gelas obyek yang telah ditetesi dengan gliserin. Bagian muka sidik pantat diarahkan menghadap ke atas. Gelas objek ditutup dengan cover glass secara perlahan. Gliserin sebaiknya ditetesi dengan tetesan yang sedikit saja. Gliserin yang terlalu banyak dapat diserap dengan kertas penyerap. Bagian sisi cover glass ditutup dengan perekat dan preparat diberi label. Preparat permanen sidik pantat nematoda dilihat di bawah mikroskop dan diamati ciri morfologinya untuk menentukan spesies nematoda (Gambar 6). Identifikasi dilakukan mengikuti panduan A guide to the four most common species of root knot nematodes (Meloidogyne species) with a pictorial key (Eisenback et al. 1981; Shurtleff dan Averre 2005).

Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan PCR rDNA

(31)

15 Ekstraksi DNA nematoda betina dewasa menggunakan metode Zijlstra (2000) yang telah dimodifikasi. Nematoda betina sebanyak 10-20 ekor dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 mL. Bufer ekstrak (200 mM Tris HCl pH 8.0, 25 mM EDTA pH 8.0, dan 0.5% SDS) sebanyak 150 μL ditambahkan ke dalam tabung dan nematoda digerus sampai halus dengan menggunakan cornical grinder steril.

Proses selanjutnya adalah penambahan larutan kloroform : isoamilakohol= 24:1 sebanyak 1:1 terhadap bufer dan dicampurkan hingga homogen dengan cara divorteks selama 3-5 menit. Suspensi yang terbentuk disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 11 000 rpm. Supernatan hasil sentrifugasi, diambil secara hati-hati dan dipindahkan ke dalam tabung mikro yang baru. Sodium asetat (CH3COONa 3M; pH 5.2) ditambahkan ke dalam supernatan dengan perbandingan 1:10 dan dicampur hingga homogen. Isopropanol sebanyak 2:3 volume supernatant ditambahkan untuk presipitasi DNA dan dicampur hingga homogen. Selanjutnya, tabung diinkubasi pada suhu -20 oC selama 1 malam (overnight). Suspensi kemudian disentrifugasi pada kecepatan 12 000 rpm selama 15 menit. Cairan dalam tabung dibuang dan pelet (endapan DNA) yang terbentuk dicuci dengan etanol 80% sebanyak 500 μL untuk ektraksi puru dan 150 μL untuk ektraksi nematoda betina, kemudian dilanjutkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 12 000 rpm selama 15 menit. Cairan alkohol yang digunakan untuk mencuci pelet dibuang dan endapan DNA dikeringkan. Bufer TE ditambahkan pada tabung mikro sebanyak 30-100 μL sesuai dengan ketebalan endapan DNA.

Amplifikasi DNA Nematoda. Amplifikasi DNA menggunakan mesin Thermo Cycle PCR. Primer yang digunakan merupakan primer spesifik spesies untuk M. incognita, M. javanica, dan M. arenaria, dan primer multipleks untuk M. hapla, M. chitwoodi, dan M. fallax (Tabel 1).

Tabel 1 Pasangan primer yang digunakan untuk identifikasi spesies Meloidogyne dengan teknik polymerase chain reaction

Setiap reaksi PCR yang menggunakan primer spesifik spesies terdiri atas 12.5 μL 2x Go Taq®Green Master mix (Promega), 1 μL primer Forward 10 μM, 1

μL primer Reverse 10 μM, 2 μL templat DNA, dan 8.5 μL air bebas nuklease sehingga volume menjadi 25 μL. Reaksi PCR yang menggunakan primer multipleks spesies terdiri atas 12.5 μL 2x Go Taq®Green Master mix (Promega), 1

μL primer forward JMV1 10 μM, 1 μL primer reverse JMV2 10 μM, 1 μL primer

M. javanica rdna2 TTGATTACGTCCCTGCCCTT ± 450 Araujo-Filho

(32)

16

reverse JMV hapla 10 μM, 2 μL templat DNA, dan 7.5 μL air bebas nuklease sehingga volume menjadi 25 μL.

Program amplifikasi DNA disesuaikan dengan primer yang digunakan dan spesies yang akan dideteksi. Amplifikasi DNA melalui tiga tahapan yaitu denaturasi, annealing, dan ekstensi, yang diawali pradenaturasi dan diakhiri ekstensi akhir (Tabel 2).

Tabel 2 Program amplifikasi target DNA untuk masing-masing spesies Meloidogyne dengan teknik polymerase chain reaction

Tahap

Amplifikasi a,b

Suhu (oC); waktu (detik) M. incognita M. arenaria M. javanica

M. hapla, M.

Ekstensi akhir 72;600 72;420 72;120 72;420

a

Suhu penyimpanan hasil amplifikasi 4oC setelah tahap polimerisasi akhir.

b

Amplifikasi dilakukan sebanyak 35 kali, 35 kali, 30 kali, dan 45 kali berturut-turut untuk M. incognita, M. arenaria, M. javanica, dan (M hapla,M. chitwoodi, M. fallax).

Elektroforesis DNA Nematoda. Proses elektroforesis memerlukan empat komponen yaitu, 1) bufer, 2) zat padat atau medium “gel”. 3) arus listrik, dan 4) alat untuk memvisualisasikan molekul pada medium setelah elektroforesis. TAE dan TBE adalah bufer standar yang dapat membufer daya untuk banyak aplikasi. Gel agarosa murni yang digunakan biasanya pada konsentrasi 1% sampai 3%. Gel agaros digunakan untuk memisahkan asam nukleat (DNA dan RNA) dan partikel lain dari molekul, tetapi umumnya bukan untuk protein. Gel agarosa dilelehkan dengan microwave atau pemanas lain, kemudian dituangkan ke dalam papan cetakan. Proses elektroforesis memerlukan muatan kutub (kutub positif dan negatif) untuk menggerakan sampel melalui gel agarosa, sehingga arus DC dibutuhkan sebagai tenaga elektromotor untuk mendorong beban partikel negatif melalui gel menuju kutub positif. Tegangan yang digunakan diantaranya 50 dan 300 V, walaupun tegangan 100 V juga bisa digunakan dalam banyak aplikasi. Molekul DNA yang dipisahkan dalam gel agarosa mudah divisualisasikan melalui pewarnaan (zat warna) seperti methylene blue atau melalui pewarnaan fluorescent seperti ethidium bromide (Trigiano et al. 2008).

(33)

17 kemudian ke dalam air steril selama 3 menit. Visualisasi dilakukan dengan menggunakan transluminator UV dan didokumentasi dengan kamera.

Analisis Runutan Nukleotida. Produk amplifikasi dikirim ke FirstBase (Malaysia) untuk perunutan nukleotida. Hasil perunutan, dianalisis menggunakan program basic local alignment search tool (BLAST) dengan program optimasi untuk mendapatkan urutan basa DNA yang terdapat dalam situs national center for biotechnology information (NCBI). Runutan nukleotida yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan penyejajaran berganda ClustalW pada perangkat lunak Bioedit sequence alignment editor versi 7.1.3. Hubungan kekerabatan antar isolat dikonstruksi menggunakan perangkat lunak molecular evolutionery genetic analysis versi 6.06 (MEGA6) dengan bootstrap 1000 kali ulangan.

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Geografis Lokasi Pengambilan Sampel

Kecamatan Tinggimoncong merupakan salah satu daerah dataran tinggi di Kabupaten Gowa dengan luas wilayah 142.87 km2. Kecamatan Tinggimoncong memiliki 7 (tujuh) desa/kelurahan dan dibentuk berdasarkan PERDA No. 7 Tahun 2005. Kelurahan Pattapang merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Tinggimoncong yang memiliki lahan pertanian hortikultura paling luas dan dijadikan lokasi pengambilan sampel (BPS Gowa 2013).

(34)

18

Pengambilan sampel dilakukan pada tiga lingkungan di Kelurahan Pattapang, yaitu lingkungan Buluballea, Lembanna, dan Kampung Baru (Gambar 7). Secara geografis lokasi pengambilan sampel terletak pada titik koordinat antara 5 derajat 10 menit LS – 5 derajat 20 menit LS dan 119 derajat BT – 20 derajat BT. Topografi Kecamatan Tinggimoncong berada pada dataran tinggi dengan ketinggian berkisar antara 400 – 1750 meter dpl. Lokasi penelitian berada pada ketinggian ± 1750 meter dpl.

Keadaan Pertanaman Wortel pada Lokasi Pengambilan Sampel

Budidaya hortikultura khususnya sayur-sayuran menjadi pilihan yang paling populer di Kelurahan Pattapang dan sekitarnya. Kesesuaian dengan karakteristik wilayah dan persyaratan tempat tumbuh serta pertimbangan kebutuhan pasar yang luas, menjadikan usahatani sayur-sayuran menjadi pilihan sebagian besar masyarakat karena mampu memberikan hasil yang besar dan relatif cepat dibandingkan komoditas lain. Salah satu tanaman hortikultur yang banyak dibudidayakan adalah tanaman wortel.

Penanaman wortel yang mengandalkan hujan dimulai akhir bulan Februari (musim tanam I) dan panen terakhir (musim tanam II) pada akhir bulan Juni. Hal ini disebabkan karena bulan Juni telah masuk musim kemarau, sedangkan pertanaman sayuran sangat tergantung pada ketersediaan air. Sebagian lahan yang mempunyai sumber air dapat melakukan penanaman 3 kali dalam setahun. Penanaman dimulai akhir bulan Februari (musim tanam I) dan panen terakhir (musim tanam III) pada akhir bulan November. Pada bulan Desember dan bulan Januari petani tidak melakukan penanaman karena resiko kegagalan yang sangat tinggi.

Benih wortel yang digunakan oleh petani adalah varietas lokal. Benih berasal dari perbanyakan generatif yang dilakukan oleh petani sendiri. Petani membungakan tanaman tua sampai menghasilkan biji yang siap untuk dijadikan benih tanaman wortel. Pengolahan lahan umumnya dilakukan secara tradisional. Lahan yang sempit dan mempunyai kemiringan yang tinggi masih menggunakan cangkul. Beberapa petani menggunakan traktor dalam mengolah lahannya dengan alasan kekurangan waktu dan tenaga kerja. Dampak dari penggunaan alat berat, selain akan menggemburkan tanah dan membolak-balikan tanah sampai pada kedalaman 20 cm, namun pada waktu yang bersamaan roda traktor menyebabkan terjadinya pemadatan tanah dan berbagai efek negatif lainnya sehingga akan terjadi kerusakan struktur tanah. Pengolahan tanah dilakukan dengan mnggemburkan tanah sedalam 20-25 cm dan membuat bedengan dengan ukuran lebar 80-90 cm, tinggi 15-20 cm, serta panjangnya disesuaikan dengan luas lahan.

(35)

19 setelah sebar) dilakukan penjarangan untuk mengatur jarak tanam. Tanaman wortel menuntut persyaratan kondisi lahan yang tidak tergenang/berdrainase baik. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, petani di musim hujan pada lahan miring menanam wortel dengan membuat bedengan/guludan searah lereng. Selain itu, untuk menjaga kondisi aerasi tanah agar tetap baik, di antara bedengan dibuat parit atau saluran drainase, sedangkan di musim kemarau bedengan dibuat searah kontur, dengan alasan agar air tidak mengalir atau terbuang. Pemeliharan tanaman wortel pada umumnya dilakukan dengan penyiraman secara rutin sesuai kebutuhan. Penggunaan bahan kimia sintetik seperti pupuk kimia dan pestisida untuk pemeliharaan tanaman wortel sangat tinggi. Penyemprotan fungisida dilakukan 2-3 kali seminggu. Pada umumnya, petani menggunakan pupuk sintetik seperti urea, NPK, dan ZA pada awal pengolahan lahan karena petani menganggap bahwa dengan menggunakan pupuk sintetik tersebut tanaman mereka akan terhindar dari hama dan penyakit. Panen dilakukan setelah umur tanaman sekitar 100-120 hari dengan cara mencabut tanaman dan memisahkan umbi dari batang dan daun.

Gejala Penyakit oleh Meloidogyne spp. di Lapangan

Gejala penyakit oleh Meloidogyne spp. di pertanaman wortel pada tiap lokasi pengambilan sampel pada umumnya sama yaitu terdapat spot-spot, tanaman kerdil, daunnya menguning, dan tanaman yang bergejala mudah tercabut (Gambar 8). Menurut Bird (1972), gejala tanaman di atas permukaan tanah menyebabkan tanaman menjadi kerdil, daunnya pucat, dan layu. Pada musim panas, tanaman yang terserang nematoda akan mengalami kekurangan mineral. Penyakit puru akar ini menyebabkan bunga dan buah akan berkurang atau mutunya menjadi rendah. Intensitas penyakit yang tinggi menyebabkan kerusakan perakaran dan terganggunya penyerapan unsur hara, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat dan berat serta tanaman menjadi kecil.

Gambar 8 Kondisi pertanaman wortel di Kelurahan Pattapang. a) Gejala tanaman oleh Meloidogyne spp. dan b) pertanaman wortel sehat. Lingkaran merah merupakan gejala spot-spot karena pertumbuhan tanaman tidak merata.

Serangan berat pada akar menyebabkan pengangkutan air dan unsur hara terhambat, tanaman mudah layu, khususnya dalam keadaan panas dan kering, pertumbuhan tanaman terhambat atau kerdil, dan daun mengalami klorosis akibat defisiensi unsur hara. Infeksi pada akar oleh Meloidogyne spp. pada tanaman stadia generatif menyebabkan produksi bunga berkurang (Toto et al. 2003).

(36)

20

Nematoda puru akar (NPA) menyebabkan terganggunya sistem perakaran sehingga tanaman wortel kerdil dan mengalami klorosis. Akar tanaman yang terinfeksi nematoda tidak mampu menyerap nutrisi dan hara dengan baik. Hal ini didukung oleh penelitian Wardhiany et al. (2014) yang menunjukkan penetrasi nematoda pada akar menyebabkan akar tidak mampu menyerap nutrisi dan akhirnya berdampak pada pertumbuhan tanaman, selain itu kemampuan nematoda untuk mentransfer hara penting dari tajuk tanaman menuju ke akar tanaman, sehingga mengganggu metabolisme dalam sel, karena menghambat fotosintesis pada tanaman. Selanjutnya, Hussey (1985) menyatakan bahwa Meloidogyne spp. dapat memindahkan 10% total senyawa fosfor dan karbon yang berasal dari tajuk ke bagian akar tanaman untuk kepentingan aktifitas nematoda dalam menyelesaikan siklus hidupnya. Pemindahan hara fosfor dan karbon tersebut mengakibatkan pucuk tanaman lambat tumbuh sehingga tanaman kerdil, selain itu hara yang dipindahkan ke akar digunakan oleh nematoda ini untuk menyelesaikan siklus hidupnya sehingga akar kekurangan nutrisi dan tidak berkembang dengan baik.

Serangan nematoda dapat mempengaruhi proses fotointesis, transpirasi, dan status hara tanaman. Akibatnya pertumbuhan tanaman terhambat, warna daun kuning klorosis dan akhirnya tanaman mati. Selain itu, serangan nematoda dapat menyebabkan tanaman lebih mudah terserang patogen lain seperti cendawan, bakteri, dan virus. Akibat serangan nematoda dapat menghambat pertumbuhan tanaman, mengurangi produktivitas, dan kualitas produksi (Melakeberhan et al. 1987).

Gejala Penyakit oleh Meloidogyne spp. pada Umbi Wortel

Meloidogyne spp. merupakan nematoda primer pada tanaman wortel yang mampu menginfeksi umbi sehingga umbi mengalami malformasi, umbi menjadi membulat pendek, bercabang, dan berpuru (Nunez et al. 2008). Gejala serupa telah dilaporkan oleh Kurniawan (2010), Hikmia et al. (2012), Taher et al. (2012) pada beberapa sentra produksi wortel di Pulau Jawa, yakni umbi bercabang, umbi pendek membulat, umbi pecah, dan umbi berambut (hairiness). Hasil survei pada lokasi penelitian menemukan variasi gejala berupa malformasi umbi dengan beberapa tipe gejala, yaitu 1) umbi bercabang, 2) agak bulat dan bercabang, 3) pendek dan membulat, serta 4) pecah (Gambar 9). Infeksi Meloidogyne spp. menyebabkan umbi tanaman wortel menjadi bercabang (forking) (Tanaka et al. 1997), membulat dengan ukuran lebih pendek, dan membentuk akar rambut yang cukup banyak (hairiness) (Vrain 1982). Variasi gejala malformasi dapat disebabkan oleh perbedaan varietas tanaman, strain nematoda, dan umur tanaman saat terinfeksi.

(37)

21 menyebabkan puru pada permukaan umbi. Gejala yang paling sering ditemukan yaitu lesi coklat pada korteks dan kadang-kadang dalam empelur.

Gambar 9 Variasi gejala penyakit Meloidogyne spp. pada umbi wortel. a, f, g bercabang; d, h agak bulat dan bercabang; c, e pendek membulat; dan b pecah.

Keberadaan Meloidogyne spp. di dalam Jaringan Tanaman

Meloidogyne spp. memperlihatkan stadia perkembangan mulai dari telur, juvenil 1, 2, 3, dan 4, sampai dewasa. Telur berada di permukaan jaringan akar tanaman sampai stadia juvenil 2. Juvenil 1 berada dalam cangkang telur sampai mengalami pergantian kulit pertama menjadi juvenil 2. Juvenil 2 akan aktif bergerak mencari jaringan akar tanaman untuk melakukan penetrasi. Setelah berhasil masuk, nematoda akan mengalami pergantian kulit kedua dan ketiga menjadi juvenil 3 dan 4 di dalam jaringan tanaman. Meloidogyne betina dewasa akan menetap pada jaringan akar tanaman yang terinfeksi (giant cell) (Gambar 10).

(38)

22

Hasil pengamatan menunjukkan masing-masing tahapan dari siklus hidup mulai dari telur, juvenile, 1, 2, 3, 4 da fase dewasa, namun pada fase dewasa tidak ditemukan atau tidak terlihat nematoda jantan. Hal ini dikarenakan jantan tidak hidup pada jaringan akar seperti halnya nematoda betina. Menurut Dropkin (1991), siklus hidup Meloidogyne spp. dimulai dari telur yang diletakkan di dalam kantung yang gelatinus untuk melindungi dari kekeringan dan jasad renik yang dapat merusak telur. Kantung telur yang baru terbentuk biasanya tidak berwarna dan menjadi cokelat setelah tua. Telur-telur mengandung zigot sel tunggal apabila baru diletakkan. Embrio berkembang menjadi larva yang mengalami pergatian kulit pertama (J1) di dalam telur tersebut. Di dalam telur tersebut juvenile 1 menetap dan menyebabkan pertumbuhan sel-sel yang akan menjadi makanannya. Juvenil 1 akan melakukan pergantian kulit yang kedua (J2) dan ketiga (J3) dengan cepat tanpa makan, selanjutnya menjadi jantan atau betina dewasa. Pada juvenile 2 dan 3 alat kelamin tidak terlihat karena belum berkembang. Ukuran juvenile 3 lebih besar dibandingkan juvenile 2. Nematoda jantan dewasa berbentuk memanjang (vermiform) di dalam kutikula stadium juvenil 4 dan muncul dari jaringan akar, sedangkan nematoda betina dewasa berbentuk seperti pir (peariform), terlihat pula ciri masing-masing jenis kelamin. Nematoda betina akan menetap pada jaringan terinfeksi (Giant Cell) sebagai sumber nutrisinya sampai menghasilkan telur. Nematoda betina tersebut terus menerus menghasilkan telur selama hidupnya. Lama siklus hidupnya bervariasi tergantung pada inang dan kondisi lingkungannya. Meloidogyne spp. betina dewasa akan tetap berada dalam ukuran membengkak (peariform), sedangkan jantan dewasa dari ukuran membengkak akan kembali ke ukuran semula dan hidup di luar akar serta tidak menginfeksi akar.

Nematoda Parasit yang Berasosiasi dengan Tanaman Wortel

(39)

23 Tabel 3 Pengukuran morfometrik nematoda parasit juvenil 2 isolat Malino

berdasarkan formula J.G. de Man

Parameter

Ukuran Nematoda (µm)

Meloidogyne Rotylenchulus Pratylenchus

Rerata±Sd Kisaran Rerata±Sd Kisaran Rerata±Sd Kisaran

PT 305.87±12.22 247.99-397.72 269.72±6.22 234.4-305.25 302.63±9.15 270.17-356.14

PS 9.53±0.13 8.99-10.09 7.33±0.35 5.47-8.63 9.97±0.22 9.11-11.00

PEs 43.83±1.15 39.09-50.39 45.47±1.59 36.64-53.35 39.54±0.63 36.77-42.31

PEk 14.27±0.64 11.41-17.90 19.73±0.55 17.06-21.73 18.32±0.45 16.92-19.89

DA 6.76±0.14 6.11-7.46 7.64±0.31 5.97-8.94 7.11±0.34 5.99-8.84

DM 10.67±0.36 8.73-12.18 12.43±0.15 11.41-13.16 10.50±0.30 9.14-11.45

DP 3.30±0.13 2.52-3.99 6.93±0.10 6.45-7.56 5.74±0.45 4.59-7.99

Keterangan: Sd, standar deviasi; PT, panjang tubuh; PS, panjang stilet; PEs, panjang esofagus; PEk, panjang ekor; DA, diameter anterior; DM, diameter maksimum; dan DP, diameter posterior.

Meloidogyne

Telur Meloidogyne berbentuk oval memanjang dan bening. Meloidogyne betina dewasa berbentuk seperti buah pir dengan leher yang pendek dan posterior membulat, tidak berwarna, dan tidak memiliki ekor (Gambar 11). Meloidogyne jantan dewasa berbentuk vermiform, agak ramping, stilet relatif panjang, dan memiliki spikula (alat reproduksi).

Gambar 11 Ciri-ciri morfologi Meloidogyne spp.. a, telur; b, jantan; dan c, betina.

Hasil Pengukuran morfometrik Meloidogyne juvenil 2 diperoleh panjang rata-rata tubuh total 305.87 µm ±12.22, panjang rata-rata stilet 9.53 µm ±0.13, panjang rata-rata esofagus 43.83 µm ±1.15, panjang rata-rata ekor 14.27 µm ±0.64, diameter rata-rata tubuh anterior 6.76 µm ±0.14, diameter rata-rata tubuh maksimum 10.67 µm ±0.36, dan diameter rata-rata tubuh posterior 3.32 µm ±0.13 (Tabel 3). Tubuh Meloidogyne bervariasi tergantung dari spesies. Fase istirahat Meloidogyne juvenil 2 memperlihatkan bentuk tubuh yang relatif lurus, tipe bibir tidak set-off atau tidak memiliki lengkungan bibir dan dilengkapi stilet yang relatif panjang dengan tipe stomato stylet, anulasi halus, dan ujung ekor terlihat bergerigi (Gambar 12). Ukuran tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh Hunt et al. (2005) bahwa Meloidogyne juvenil 2 memiliki pajang tubuh total berkisar antara 0.3 mm dan 0.7 mm atau sekitar 300 µ m dan 700 µ m, stilet relatif panjang, dan bentuk ekor yang sangat khas.

(40)

24

perisikel (Dropkin 1991). Tanaman wortel merupakan salah satu inang bagi nematoda Meloidogyne spp. (Agrios 2005). Infeksi NPA pada tanaman wortel dapat dideteksi dari gejala yang timbul pada tajuk dan perakaran. Lahan yang terinfeksi nematoda dapat terlihat pula dari kondisi tanaman di lahan, ditandai dengan adanya pertumbuhan dan tinggi tanaman yang tidak merata pada pertanaman atau disebut juga dengan gejala botak pada pertanaman.

Gambar 12 Morfologi Meloidogyne juvenil 2. a) tubuh, b) permukaan tubuh, c) bagian tubuh anterior, dan d) bagian tubuh posterior.

Meloidogyne spp. pada umumnya didapatkan pada berbagai tipe tanah, namun demikian kerusakan berat umumnya terjadi di daerah dengan tipe tanah ringan atau berpasir. Nematoda puru akar tumbuh dan berkembang normal pada pH tanah antara 6.4- 7.0. Pada pH tanah dibawah 5.2 pertumbuhan dan perkembangannya terhambat (Mulyadi 2009).

Rotylenchulus

(41)

25 inang, sedangakan dua per tiga tubuh bagian posterior berada di luar akar. Nematoda ini tidak memiliki pembatas daerah infeksi sebagaimana nematoda puru akar. Daerah infeksi untuk nematoda betina dewasa tidak terbatas pada ujung akar dan memarasit pada setiap titik sepanjang akar (Starr 1998).

Gambar 13 Morfologi Rotylenchulus juvenil 2. a) tubuh, b) permukaan tubuh, c) bagian tubuh anterior, dan d) bagian tubuh posterior

Rotylenchulus menyebar luas di seluruh daerah tropis dan sub-tropis dan merupakan parasit obligat pada berbagai tanaman pertanian (Kinloch 1998). Pada umumnya, Rotylenchulus menyukai tanah bertekstur baik dan populasi terbesar berada pada kedalaman 0 sampai 15 cm (Westphal et al. 2003). Nematoda ini dapat menghambat pembentukan akar sekunder dan sistem akar sangat lambat berkembang. Gejala pada daun sama seperti kekuranagn hara atau air. Serangan berat dapat menimbulkan tanaman rebah dan mati (Caswell et al. 1993). Nematoda ini toleran terhadap suhu yang ekstrim dan dapat hidup dalam jangka waktu yang panjang tanpa inang. Penelitian Heald et al. (1988) menunjukkan bahwa populasi nematoda Rotylenchulus di Lousiana, Teksas, dan Poerto Riko dapat hidup selama 6 bulan tanpa inang pada suhu -5 oC, -1 oC, 4 oC, dan 25oC. Populasi Rotylenchulus spp. mampu hidup sampai 2 tahun di tanah yang diberakan. Nematoda tersebut mampu hidup selama periode bera dalam stadium telur atau stadium larva an-hidrobiotik tergantung pada kelengasan tanah.

Pratylenchus

Gambar

Tabel 1 Pasangan primer yang digunakan untuk identifikasi spesies Meloidogyne
Gambar 7 Peta administrasi Kelurahan Pattapang (Sumber: Badan Pusat Statistik
Gambar 8 Kondisi pertanaman wortel di Kelurahan Pattapang. a) Gejala tanaman
Gambar 9 Variasi gejala penyakit Meloidogyne spp. pada umbi wortel. a, f, g
+7

Referensi

Dokumen terkait