• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pola Makan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)Siswa SMAN 2 Balige yang Tinggal di Kost

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Pola Makan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)Siswa SMAN 2 Balige yang Tinggal di Kost"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

F

UNIV

SKRIPSI

oleh

Elisabeth N A L 111101079

FAKULTAS KEPERAWATAN

NIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

F

UNIV

SKRIPSI

oleh

Elisabeth N A L 111101079

FAKULTAS KEPERAWATAN

NIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)
(5)

NIM : 111101079

Program Studi : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2015

ABSTRAK

Siswa sebagai bagian dari masyarakat dan khususnya sebagai generasi penerus bangsa diharapkan memiliki perilaku hidup sehat. Aktivitas serta kehidupan sosial siswa sangat mempengaruhi perilaku hidup sehatnya termasuk pola makan sehari-hari. Siswa yang tinggal di kost cenderung memiliki pola makan yang tidak teratur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola makan yang meliputi jenis makanan, jumlah konsumsi energi dan protein, serta frekuensi makan dengan Indeks Massa Tubuh siswa yang tinggal di kost. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 2 Balige pada bulan April 2015 sampai dengan bulan Mei 2015. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 70 orang dengan teknik total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan formulir yang terdiri dari formulir data demografi, Food Recall 24 Hours, Food Frequency Questionnaire (FFQ), serta pengukuran berat dan tinggi badan. Hasil penelitian menunjukkan 38,6% responden dengan susunan jenis makanan kurang lengkap, 60% responden dengan tingkat konsumsi energi sangat rendah, 85,7% responden dengan tingkat konsumsi protein sangat tinggi, 62,9% responden dengan frekuensi makan rendah, dan 84,3% responden memiliki IMT normal. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan jenis makanan dengan IMT (p=0,058); tidak ada hubungan jumlah konsumsi energi dengan IMT (p=0,392); tidak ada hubungan jumlah konsumsi protein dengan IMT (p=0,937); dan tidak ada hubungan frekuensi makan dengan IMT (p=0,109). Disarankan kepada SMAN 2 Balige untuk dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan agar mengadakan penyuluhan terkait pola makan yang baik sesuai kebutuhan usia remaja serta peran orang tua dalam membina anaknya sehingga kebutuhan gizi harian siswa dapat terpenuhi.

(6)

Study Program : S1 (Undergraduate) Nursing

Academic Year : 2015

ABSTRACT

Students as a part of a society and the nation young generation are expected to have healthy life behavior. Students’ social activity influences their healthy life behavior, including their daily dietary pattern. Students who stay in boarding houses tend to have bad eating pattern. The objective of the research was to find out the correlation of dietary pattern which included the type of food, the amount of energy and protein consumption, and dietary frequency with BMI (Body Mass Index) of students who stayed in boarding houses. The research was conducted at SMAN 2 Balige from April to May, 2015. It used descriptive correlation design. The samples were 70 students as the respondents, taken by using total sampling technique. The data was gathered by using for about demographic data, Food Recall 24 Hours, Food Frequency Questionnaires (FFQ), followed by weighing and measuring height. The result of the research showed that 38.6% of the respondents had incomplete types of food, 60% of the respondents had very low level of energy consumption, 85.7% of the respondents had very high protein consumption, 62.9% of the respondents had low dietary frequency, and 84.3% of the respondents had normal BMI. The result of statistic test, using Spearman test, showed that there was no correlation between the type of food and BMI (p = 0.058), there was no correlation between the amount of energy consumption and BMI (p = 0.392), there was no correlation between the amount of protein consumption and BMI (p = 0.937), and there was no correlation between dietary frequency and BMI (p = 0.109). It is recommended that the school management cooperate with health care providers in providing counseling related to teenagers’ good dietary pattern. The role of parents should be needed to foster their children so that the need in students’ daily nutrition can be fulfilled.

(7)

Esa karena atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Skripsi yang

berjudul “Hubungan Pola Makan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada

Siswa SMAN 2 Balige yang Tinggal di Kost” ini merupakan salah satu syarat

untuk mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan.

Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis telah mendapat

banyak dukungan, bimbinga, saran serta motivasi dari berbagai pihak. Pada

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya

kepada:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Farida Linda Sari Siregar, S.Kep, M.Kep selaku Dosen Pembimbing yang

telah meluangkan waktu, memberikan arahan, masukan, serta motivasi kepada

penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd selaku Dosen Penguji I dan ibu Reni

Asmara Ariga, S.Kp, MARS selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan

banyak saran dan masukan kepada penulis.

4. Bapak Iwan Rusdi, S.Kp, MNS selaku Dosen Pembimbing Akademik selama

(8)

penelitian.

7. Rasa cinta dan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua

penulis, J. Lumbantoruan dan L. Silitonga serta seluruh keluarga yang telah

memberikan dukungan setiap saat baik secara moril dan materi serta kasih

sayang yang tulus dan doa yang senantiasa diberikan kepada penulis.

Di dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini peneliti menyadari masih

terdapat kelemahan dan kesalahan. Oelh karena itu, penulis sangat mengharapkan

saran dan kritik yang membangun untuk skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa

melimpahkan rahmat-Nya kepada kita. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini

bermanfaat bagi dunia keperawatan khususnya bagi pembaca.

Medan, Juli 2015 Penulis,

(9)

Halaman pernyataan orisinalitas ...ii

3. Pertanyaan penelitian ... 6

4. Tujuan penelitian

1. 1. 3. Frekuensi Makan... 14

1.2 . Pola Makan Remaja... 15

1.3 . Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Remaja ... 16

1.4 . Makanan yang Baik dan Sehat ... 19

2. Kebutuhan Zat Gizi pada Remaja 2. 1. Energi ... 21

2. 1. 1. Sumber Energi ... 22

2. 1. 2. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Total Energi ... 22

2. 2. Protein ... 23

2. 2. 1. Fungsi Protein ... 24

2. 2. 2. Sumber Protein ... 26

(10)

3.4 . IMT Remaja... 30

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Penelitian... 32

2. Definisi Operasional ... 33

3. Hipotesis ... 35

BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain penelitian ... 36

2. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling 2.1. Populasi ... 36

2.2. Sampel dan Teknik Sampling... 36

3. Lokasi dan waktu... 37

4. Pertimbangan etik ... 37

5. Instrumen penelitian ... 38

6. Validitas dan Reliabilitas... 40

7. Rencana Pengumpulan Data ... 41

8. Analisa Data ... 42

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil penelitian 1.1. Demografi responden ... 45

1.2. Pola makan responden 1.2.1. Jenis makanan... 46

1.2.2. Jumlah konsumsi energi ... 46

1.2.3. Jumlah konsumsi protein... 47

1.2.4 Frekuensi makan... 47

1.3. Indeks Massa Tubuh Responden... 48

1.4. Hubungan jenis makanan dengan Indeks Massa Tubuh ... 49

1.5. Hubungan jumlah konsumsi energi dengan Indeks Massa Tubuh ... 49

1.6. Hubungan jumlah konsumsi protein dengan Indeks Massa Tubuh ... 50

1.7. Hubungan freuensi makan dengan Indeks Massa Tubuh... 50

2. Pembahasan 2.1. Pola makan responden 2.1.1. Jenis makanan... 50

2.1.2. Jumlah konsumsi energi ... 52

2.1.3. Jumlah konsumsi protein... 53

2.1.4. Frekuensi makan... 53

(11)

2.6. Hubungan frekuensi makan dengan Indeks Massa Tubuh... 57

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan... 59

2. Saran... 60

DAFTAR PUSTAKA... 62

LAMPIRAN- LAMPIRAN Lampiran 1. Penjelasan tentangpenelitian...65

Lampiran 2.Informed consent...66

Lampiran 3. Instrumen penelitian...67

Lampiran 4. Hasil uji reliabilitas...70

Lampiran 5. Hasil uji normalitas data...71

Lampiran 6. Hasil analisis univariat...74

Lampiran 7. Hasil analisiscrosstabs...78

Lampiran 8. Hasil analisis bivariat...80

Lampiran 9. Master tabel uji reliabilitas...81

Lampiran 10. Master tabel pengumpulan data...82

Lampiran 11. Jadwal penelitian...85

Lampiran 12. Anggaran dana penelitian...86

Lampiran 13. Lembar bukti bimbingan...87

Lampiran 14. Riwayat hidup...89

Lampiran 15. Lembar terjemahan abstrak...90

Lampiran 16. Surat ijin survey awal...91

Lampiran 17. Surat persetujuan komisi etik...92

Lampiran 18. Surat uji reliabilitas dan pengambilan data...93

(12)

Tabel 2.1. Bahan- bahan Pengganti Makanan Pokok ...13

Tabel 2.2. Bahan- bahan Pengganti Sumber Protein ...14

Tabel 2.3. Angka Kecukupan Gizi Rata- rata yang Dianjurkan (Per Orang Per Hari)28 Tabel 2.4. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut WHO ...29

Tabel 3.1. Definisi Operasional ...33

Tabel 5. 1. Distribusi Demografi Responden ...45

Tabel 5. 2. Distribusi Karakteristik Jenis Makanan Responden ...46

Tabel 5. 3. Distribusi Jumlah Energi Responden ...47

Tabel 5. 4. Distribusi Jumlah Protein Responden ...47

Tabel 5. 5. Distribusi Frekuensi Makan Responden ...48

Tabel 5. 6. Distribusi Indeks Massa Tubuh Responden ...48

Tabel 5. 7. Hubungan Jenis Makanan dengan Indeks Massa Tubuh ...49

Tabel 5. 8. Hubungan Jumlah Konsumsi Energi dengan Indeks Massa Tubuh ...49

Tabel 5. 9. Hubungan Jumlah Konsumsi Protein dengan Indeks Massa Tubuh ...50

(13)
(14)

NIM : 111101079

Program Studi : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2015

ABSTRAK

Siswa sebagai bagian dari masyarakat dan khususnya sebagai generasi penerus bangsa diharapkan memiliki perilaku hidup sehat. Aktivitas serta kehidupan sosial siswa sangat mempengaruhi perilaku hidup sehatnya termasuk pola makan sehari-hari. Siswa yang tinggal di kost cenderung memiliki pola makan yang tidak teratur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola makan yang meliputi jenis makanan, jumlah konsumsi energi dan protein, serta frekuensi makan dengan Indeks Massa Tubuh siswa yang tinggal di kost. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 2 Balige pada bulan April 2015 sampai dengan bulan Mei 2015. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 70 orang dengan teknik total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan formulir yang terdiri dari formulir data demografi, Food Recall 24 Hours, Food Frequency Questionnaire (FFQ), serta pengukuran berat dan tinggi badan. Hasil penelitian menunjukkan 38,6% responden dengan susunan jenis makanan kurang lengkap, 60% responden dengan tingkat konsumsi energi sangat rendah, 85,7% responden dengan tingkat konsumsi protein sangat tinggi, 62,9% responden dengan frekuensi makan rendah, dan 84,3% responden memiliki IMT normal. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan jenis makanan dengan IMT (p=0,058); tidak ada hubungan jumlah konsumsi energi dengan IMT (p=0,392); tidak ada hubungan jumlah konsumsi protein dengan IMT (p=0,937); dan tidak ada hubungan frekuensi makan dengan IMT (p=0,109). Disarankan kepada SMAN 2 Balige untuk dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan agar mengadakan penyuluhan terkait pola makan yang baik sesuai kebutuhan usia remaja serta peran orang tua dalam membina anaknya sehingga kebutuhan gizi harian siswa dapat terpenuhi.

(15)

Study Program : S1 (Undergraduate) Nursing

Academic Year : 2015

ABSTRACT

Students as a part of a society and the nation young generation are expected to have healthy life behavior. Students’ social activity influences their healthy life behavior, including their daily dietary pattern. Students who stay in boarding houses tend to have bad eating pattern. The objective of the research was to find out the correlation of dietary pattern which included the type of food, the amount of energy and protein consumption, and dietary frequency with BMI (Body Mass Index) of students who stayed in boarding houses. The research was conducted at SMAN 2 Balige from April to May, 2015. It used descriptive correlation design. The samples were 70 students as the respondents, taken by using total sampling technique. The data was gathered by using for about demographic data, Food Recall 24 Hours, Food Frequency Questionnaires (FFQ), followed by weighing and measuring height. The result of the research showed that 38.6% of the respondents had incomplete types of food, 60% of the respondents had very low level of energy consumption, 85.7% of the respondents had very high protein consumption, 62.9% of the respondents had low dietary frequency, and 84.3% of the respondents had normal BMI. The result of statistic test, using Spearman test, showed that there was no correlation between the type of food and BMI (p = 0.058), there was no correlation between the amount of energy consumption and BMI (p = 0.392), there was no correlation between the amount of protein consumption and BMI (p = 0.937), and there was no correlation between dietary frequency and BMI (p = 0.109). It is recommended that the school management cooperate with health care providers in providing counseling related to teenagers’ good dietary pattern. The role of parents should be needed to foster their children so that the need in students’ daily nutrition can be fulfilled.

(16)

1. Latar Belakang

Masa remaja atauadolescence adalah waktu terjadinya perubahan- perubahan

yang berlangsung cepat dalam hal pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial atau

tingkah laku. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak menuju ke

masa dewasa dan disertai dengan perkembangan semua aspek atau fungsi untuk

memasuki masa dewasa (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Data dari Kemenkes RI tahun

2013, estimasi jumlah penduduk remaja Indonesia usia 15-19 tahun berkisar

11.000.000 orang dari 248.422.956 keseluruhan penduduk Indonesia, dan jumlah

penduduk remaja usia 15-19 tahun di Sumatera Utara berkisar 700.000 orang dari

13.391.231 keseluruhan penduduk provinsi Sumatera Utara.

Menurut Hidayat (2009), nutrisi adalah salah satu komponen penting yang

menunjang kelangsungan proses tumbuh kembang. Selama masa tumbuh kembang,

anak sangat membutuhkan zat gizi seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral,

vitamin, dan air. Apabila kebutuhan tersebut tidak atau kurang terpenuhi, maka

proses tumbuh kembang selanjutnya dapat terhambat.

Remaja sebagai generasi penerus sudah seharusnya mendapatkan pembinaan

dan peningkatan taraf kesehatan agar proses tumbuh kembangnya dapat berlangsung

(17)

berlangsung optimal adalah zat gizi yang harus dicukupi oleh makanan sehari- hari.

Kelompok umur remaja juga menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang

disebut “adolescence growth spurt”, sehingga memerlukan zat- zat gizi yang relatif besar jumlahnya (Sediaoetama, 2006).

Menuju masa remaja banyak perubahan yang terjadi karena bertambahnya

massa otot, bertambahnya jaringan lemak dalam tubuh juga terjadi perubahan

hormonal, sehingga mempengaruhi kebutuhan gizi dan makanan mereka.

Meningkatnya aktivitas, kehidupan sosial, dan kesibukan remaja akan mempengaruhi

kebiasaan makan mereka sehingga pola konsumsi makanan sering tidak teratur,

sering jajan, sering tidak makan pagi dan sama sekali tidak makan siang (Adriani &

Wirjatmadi, 2012).

Dari total sampel, 24% dari remaja yang kelebihan berat badan atau obesitas,

hampir semua remaja sering mengkonsumsi minuman gula manis (90%) dan rendah

asupan buah dan sayuran (74%). Lebih dari 25% dari seluruh sampel jarang makan

malam, dan juga mengkonsumsi makanan ringan yang tinggi lemak / garam, atau

gula-gula sepulang sekolah. Hampir seperempat melaporkan sarapan (24%) dan

makan siang (24%) tidak teratur pada hari sekolah, sementara remaja lebih sedikit

(13%) makan makanan yang digoreng sepulang sekolah. Konsumsi sarapan biasa (p

<0,05), snack pagi (p <0,05) dan makan siang (p <0,05) secara signifikan terkait

(18)

yang digoreng dan gula-gula lebih rendah pada responden dengan IMT yang lebih

tinggi (Wateet al., 2013).

Sizer & Whiteney (2006 dalam Tarigan, 2013) mengatakan remaja lebih

mudah menerima pengaruh globalisasi, pengaruh pola makan “kebarat- baratan” (Eropa) dengan tinggi lemak, tinggi kalori dan rendah serat menjadi makanan yang

menarik misalnya junk food atau fast food, yang apabila dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama dan dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan kegemukan.

Kalori tinggi pada fast food yang relatif tidak mahal, tersedia dimana saja, sering diiklankan dan sangat lezat berhubungan dengan obesitas. Sesudah masa growth spurt, biasanya remaja akan lebih memperhatikan penampilan dirinya terutama

remaja putri. Mereka seringkali terlalu ketat dalam pengaturan pola makan dalam

menjaga penampilannya sehingga dapat menyebabkan kekurangan gizi (Adriani &

Wirjatmadi, 2012).

Pada saat ini Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi

kurang dan masalah gizi lebih. Pada masalah gizi kurang terdapat kesalahan pangan

terutama terletak pada ketidakseimbangan komposisi makanan yang tidak mencukupi

kebutuhan tubuh. Sementara masalah gizi lebih komposisi makanan yang dikonsumsi

melebihi apa yang diperlukan tubuh (Detsyanaet al., 2009).

Pola makan menurut Lie Goan Hong (1985 dalam Matondang, 2007) adalah

berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan

(19)

suat kelompok masyarakat tertentu. Pola makan yang tidak baik akan menyebabkan

masalah pada status gizinya. Makan dan pola makan mengandung aspek budaya,

etnik, agama, sosial, dan ekonomi. Karena itu unsur kenikmatan, kesantaian,

nilai-nilai, tabu, halal dan sebagainya juga terkait dalam keseimbangan pola makan

(Soekirman, 2000).

Gizi lebih menyebabkan kegemukan atau obesitas yang merupakan salah satu

faktor risiko dalam terjadinya penyakit degeneratif, seperti hipertensi atau tekanan

darah tinggi, penyakit- penyakit diabetes, jantung koroner, hati, dan kantung empedu

(Almatsier, 2005).

Kekurangan gizi secara umum (makanan kurang dalam kuantitas dan kualitas)

menyebabkan gangguan pada proses- proses seperti: pertumbuhan, protein digunakan

sebagai zat pembakar sehingga otot- otot menjadi lembek dan rambut mudah rontok;

produksi tenaga, kekurangan energi berasal dari makanan, menyebabkan seseorang

kekurangan tenaga untuk bergerak, bekerja, dan melakukan aktivitas. Orang menjadi

malas, merasa lemah, dan produktivitas kerja menurun; pertahanan tubuh, daya tahan

terhadap tekanan atau stres menurun. Sistem imunitas dan antibodi berkurang,

sehingga orang mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk, dan diare; struktur dan

fungsi otak, kurang gizi pada usia muda dapat berpengaruh terhadap perkembangan

mental, dengan demikian kemampuan berpikir menurun; perilaku, baik anak- anak

maupun orang dewasa yang kurang gizi menunjukkan perilaku tidak tenang. Mereka

(20)

Indeks Massa Tubuh (IMT/BMI) merupakan rasio berat badan (BB) / tinggi

badan (TB)2 (kg/m2) yang dinyatakan dalam tabel normogram. Prevalensi gemuk

pada remaja usia 13-15 tahun sebesar 10,8 persen, terdiri atas 8,3 persen gemuk dan

2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Sementara di Sumatera Utara, prevalensi remaja

putri usia 6-14 tahun dengan berat badan kurang yaitu 9,7% dan Berat Badan lebih

11,8% (Riskesdas, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Medan oleh

Matondang (2007), tingkat prevalensi anak kategori kurus sebesar 25,6%, kategori

normal 69,8%, dan kategori gemuk sebesar 4,7% dengan rata- rata kecukupan energi

yang baik (60,5%) dan kecukupan protein yang baik (93,0%).

Berdasarkan fenomena yang ada di SMAN 2 Balige, ada banyak siswa/i yang

berstatus sebagai anak kost dan mempunyai kebiasaan makan yang kurang baik

seperti makan dua kali sehari (tidak sarapan pagi karena telat bangun atau tidak selera

dan tidak makan siang karena tidak sempat) dan mengkonsumsi makanan yang dibeli

dari luar atau dimasak sendiri oleh siswa tersebut sehingga asupan gizinya tidak

terpenuhi dengan baik. Hal ini dipengaruhi oleh terbatasnya uang saku dan padatnya

aktivitas di sekolah seperti kegiatan belajar yang padat, ekstrakurikuler, tugas

kelompok, les, dan kegiatan di OSIS. Selain itu belum pernah ada penelitian

sebelumnya dilakukan di tempat ini. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang hubungan pola makan dengan Indeks Massa Tubuh

(21)

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti merumuskan masalah

penelitian yaitu bagaimana hubungan pola makan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)

pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost?

3. Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah hubungan antara pola makan meliputi jenis makanan, jumlah

konsumsi makanan, dan frekuensi makan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada

siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost?

4. Tujuan Penelitian

4.1 Tujuan Umum

Yang menjadi tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan pola makan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada siswa SMAN 2

Balige yang tinggal di kost.

4.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui gambaran pola makan meliputi jenis makanan pada

siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost.

b. Untuk mengetahui gambaran pola makan meliputi jumlah konsumsi

(22)

c. Untuk mengetahui gambaran pola makan meliputi jumlah konsumsi

protein pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost.

d. Untuk mengetahui gambaran pola makan meliputi frekuensi makan

pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost.

e. Untuk mengetahui gambaran Indeks Massa Tubuh (IMT) pada siswa

SMAN 2 Balige yang tinggal di kost.

f. Untuk mengetahui hubungan antara jenis makanan dengan Indeks

Massa Tubuh (IMT) pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost.

g. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah konsumsi energi dengan

Indeks Massa Tubuh (IMT) pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal

di kost.

h. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah konsumsi protein dengan

Indeks Massa Tubuh (IMT) pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal

di kost.

i. Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi makan dengan Indeks

Massa Tubuh (IMT) pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost.

5. Manfaat Penelitian

5.1 Bagi Pendidikan Keperawatan

Digunakan sebagai pengembangan ilmu khususnya bidang ilmu keperawatan

anak terkait dengan hubungan pola makan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)

(23)

5.2 Bagi Pelayanan Keperawatan

Memberikan informasi kepada perawat khususnya bidang keperawatan anak

dalam memperhatikan pola makan yang tepat pada remaja khususnya pendidikan

kesehatan bagi para siswa untuk menanggulangi masalah pola makan dan gizi pada

remaja.

5.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Sebagai sumber informasi bagi peneliti selanjutnya terkait dengan pola makan

(24)

1. Pola Makan

1.1 Definisi Pola Makan

Pengertian pola makan menurut Lie Goan Hong (1985 dalam Matondang,

2007) adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan

jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan mempunyai ciri

khas untuk suat kelompok masyarakat tertentu. Pendapat lain mengatakan pola makan

adalah gambaran mengenai jenis makanan dan frekuensi makan yang dikonsumsi dan

berlaku berulang-ulang dan terus-menerus (Mulia, 2010). Sementara Baliwati (2004

dalam Okviani, 2011) mengatakan bahwa pola makan atau pola konsumsi pangan

adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok

orang pada waktu tertentu.

Dari beberapa pendapat yang berbeda, dapat diartikan secara umum bahwa

pola makan adalah cara atau perilaku yang digunakan seseorang atau sekelompok

orang dalam memilih dan menggunakan bahan pangan dalam konsumsi pangan setiap

hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan, dan frekuensi makan.

(25)

kuantitatif dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sedangkan

data kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan cara seseorang maupun keluarga

dalam memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhan gizi.

Handjani (1996 dalam Sari, 2012) mengemukakan pengertian pola makan

yaitu tingkah laku manusia atau sekelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan

akan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan pilihan makanan yang

menggambarkan konsumsi makan harian meliputi jenis makanan, jumlah makanan,

dan frekuensi makan.

1. 1. 1 Jenis Makanan

Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna,

dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang.

Menyediakan variasi makanan merupakan salah satu cara untuk mengatasi rasa bosan

yang mengurangi selera makan. Variasi menu yang tersusun oleh kombinasi bahan

makanan yang diperhitungkan dengan tepat akan memberikan hidangan sehat baik

secara kualitas dan kuantitas.

Jenis makanan yang dikonsumsi remaja dapat dikelompokkan menjadi dua

yaitu makanan utama dan makanan selingan (Sediaoetama, 2006):

a. Makanan Utama

Makanan utama adalah makanan yang dikonsumsi seseorang berupa makan

pagi, makan siang, dan makan malam yang terdiri dari makanan pokok, lauk- pauk,

(26)

1) Makanan Pokok

Makanan pokok adalah makanan yang dianggap memegang peranan paling

penting dalam susunan hidangan. Pada umumnya makanan pokok berfungsi sebagai

sumber utama kalori atau energi (kalori) dalam tubuh dan memberi rasa kenyang.

Bahan makanan pokok di Indonesia dapat berupa beras (serealia), akar dan umbi,

serta ekstrak tepung seperti sagu.

2) Lauk- pauk

Pada umumnya lauk- pauk merupakan sumber utama protein di dalam

hidangan yang berfungsi sebagai zat pembangun. Berdasarkan sumbernya, lak- pauk

digolongkan menjadi dua yaitu lauk- pauk hewani seperti daging, ikan, telur, dan

sebagainya dan lauk- pauk tumbuhan seperti kacang- kacangan dan hasil olahan

kacang seperti tempe dan tahu.

3) Sayur dan buah

Kedua bahan makanan ini termasuk bahan nabati dan umumnya meruapakan

penghasil vitamin dan mineral, namun ada juga beberapa jenis sayur dan buah yang

menghasilkan energi dalam jumlah yang cukup berarti.

4) Minuman

Minuman merupakan cairan yang dikonsumsi yang tidak terbatas waktunya,

atau yang mengiringi makanan selingan seperti air putih, es, jus, teh, dsb.

b. Makanan Selingan

Makanan selingan adalah makanan kecil yang dibuat sendiri maupun yang

(27)

1) Makanan selingan berbentuk kering, seperti keripik, pop corn, kacang telur,

dsb.

2) Makanan selingan berbentuk basah, seperti lemper, kue basah, tahu isi, dsb.

3) Makanan selingan berbentuk kuah, seperti mi ayam, bakso, empek- empek,

dsb.

Salah satu syarat susunan menu adalah bervariasi, artinya jenis bahan

makanan yang digunakan dalm hidangan harus berganti- ganti setiap harinya. Untuk

itu perlu diketahui bahan makanan pengganti bagi setiap kelompok makanan

(makanan pokok, lauk- pauk, sayur dan buah) (Sediaoetama, 2006).

1. 1. 2 Jumlah Makanan

Jumlah atau porsi makanan merupakan ukuran maupun takaran makanan yang

dikonsumsi pada tiap kali makan (Sediaoetama, 2006). Jumlah (porsi) standar bagi

remaja adalah sebagai berikut:

a. Makanan pokok berupa nasi, roti tawar, dan mi instant. Jumlah makanan pokok

antara lain: nasi 100 gram, roti tawar 50 gram, mi instant ukuran besar 100

gram dan ukuran kecil 60 gram.

b. Lauk- pauk, terdiri dari golongan hewani dan tumbuhan dengan jumlah:

daging 50 gram, telur 50 gram, ikan 50 gram, tempe 50 gram (2 potong), tahu

100 gram (2 potong).

c. Sayur, merupakan bahan makanan yang berasal dari tumbuh- tumbuhan.

(28)

d. Buah, merupakan suatu hidangan yang disajikan setelah makanan utama

sebagai pencuci mulut. Porsi untuk buah ukuran buah 100 gram, dan ukuran

potongan 75 gram.

e. Makanan selingan, biasanya dihidangkan antara waktu makan pagi ke makan

siang, dan antara makan siang ke makan malam. Jumlah untuk makanan

selingan tidak terbatas jumlahnya (bisa sedikit atau banyak).

f. Minuman, tiap jenis minuman berbeda- beda tapi pada umumnya umlah atau

ukuran untuk air putih dalam sehari lima kali atau lebih gelas (2 liter per hari),

sedangkan untuk susu 1 gelas (200 gram).

Berikut daftar pengganti bahan makanan pokok dan lauk- pauk:

Tabel 2.1 Bahan- bahan Pengganti Makanan Pokok

Bahan pengganti Berat (gram) Uk. Rumah Tangga

Beras (nasi) 50 (100) ¾ gelas

Jagung 100 ¾ gelas

Roti putih (terigu) 80 4 iris

Mi kering (terigu) 50 1 gelas

Mi basah 100 1 gelas

Singkong 100 1 potong

Ubi jalar 150 1 potong/ biji

Kentang 200 2 biji

Talas 200 1 biji

Sagu (tepung) 40 7 sdm

(29)

Tabel 2.2 Bahan- bahan Pengganti Sumber Protein

Bahan pengganti Berat (gram) Uk. Rumah Tangga

Hewani Daging sapi 50 1 potong

Daging ayam 50 1 potong

Hati sapi 50 1 potong

Babat 60 2 potong

Ikan segar 50 1 potong

Ikan teri 25 3 sdm

Ikan asin 25 1 potong

Telur ayam 60 1-2 butir

Telur bebek 60 1 butir

Nabati Tahu 100 2 potong

Tempe 50 2 potong

Oncom 50 2 potong

Kacang kedelai 25 2 ½ sdm

Kacang hijau 25 2 ½ sdm

Kacang tanah 20 2 sdm

Sumber: Sediaoetama (2006)

1. 1. 3 Frekuensi Makan

Pola makan yang baik dan benar untuk anak ialah yang mengandung

karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Sebagai contoh pola makan sehari 3

kali yaitu makan pagi, selingan siang, makan siang, selingan sore, makan malam, dan

sebelum tidur. Makanan selingan sangat diperlukan, terutama jika porsi makanan

utama yang dikonsumsi anak pada saat makan pagi, makan siang dan makan malam

(30)

nafsu makan remaja pada saat menyantap makanan utama berkurang akibat

kekenyangan oleh makanan selingan (Sari, 2012).

1. 2. Pola Makan Remaja

Sizer & Whitney (2006 dalam Tarigan, 2013) mengemukakan bahwa pada

masa remaja kebiasaan makan menjadi lebih buruk, dan remaja sering kali tidak

mengkonsumsi nutrisi yang mereka butuhkan. Remaja lebih memilih makanan yang

tinggi kadar lemak jenuh dan natriumnya, dan rendah akan fiber. Khusus untuk

remaja perempuan banyak yang melakukan diet, hal ini perlu diperhatikan karena

akan mempengaruhi masukan zat- zat gizi. Tubuh yang langsing sering menjadi

idaman bagi para remaja terutama wanita remaja. Hal ini sering menjadipenyebab

masalah karena untuk memelihara kelangsingan tubuh mereka menerapkan

pembatasan makanan secara keliru (Adriani & Wirjatmadi, 2012).

Kelompok umur remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang

disebut “adolescence growth spurt”, sehingga memerlukan zat- zat gizi yang relatif besar jumlahnya. pada remaja laki- laki kegiatan jasmaniah sangat meningkat, karena

biasanya pada umur inilah perhatian untuk sport sedang tinggi- tingginya, seperti

atletik, mendaki gunung, sepak bola, hiking, dan sebagainya. Pada remaja perempuan

mulai terjadi menarche dan mensis disertai pembuangan sejumlah Fe. Remaja putri

kelompok ini sering sangat sadar akan bentuk badannya, sehingga banyak yang

membatasi konsumsi makanannya. Bahkan banyak yang berdiit tanpa nasihat atau

(31)

ditentukan sendiri berdasarkan pendengaran dari kawannya yang tidak kompeten

dalam soal gizi dan kesehatan, sehingga terjadi berbagai gejala dan keluhan yang

sebenarnya merupakan gejala- gejala kelainan gizi (Sediaoetama, 2006).

Meningkatnya aktivitas, kehidupan sosial dan kesibukan para siswa yang

tergolong dalam usia remaja akan mempengaruhi kebiasaan makan mereka. Pola

konsumsi makanan sering tidak teratur, sering jajan, sering tidak makan pagi dan

sama sekali tidak makan siang. Pada umumnya tidak makan pagi atau sarapan juga

merupakan kebiasaan para siswa terutama yang bertempat tinggal di kos. Padahal

sarapan sangat bermanfaat bagi setiap orang (Adriani & Wirjatmadi, 2012).

Berikut ini karakteristik perilaku makan yang dimiliki remaja: kebiasaan tidak

makan pagi dan malas minum air putih; gadis remaja sering terjebak dengan pola

makan tak sehat, menginginkan penurunan berat badan secara drastis bahkan sampai

gangguan pola makan; kebiasaan mengemil makanan cemilan yang rendah gizi (

kurang kalori, protein, vitamin dan mineral ) seperti makanan ringan, kerupuk dan

chips; kebiasaan makan makanan siap saji, ( fast food ) komposisi gizinya tidak seimbang yaitu terlalu kandungan energinya, seperti pasta, fried chicken, dan biasanya juga disertai dengan mengonsumsi minuman bersoda yang berlebihan (Sari,

2012).

1. 3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Remaja

Menurut Nurachmah (2001) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola

(32)

a. Budaya

Budaya cukup menentukan jenis makanan yang sering dikonsumsi. Demikian

pula letak geografis mempengaruhi makanan yang diinginkan. Sebagai contoh: nasi

untuk orang- orang Asia dan Orientalis, paste ( pasta) untuk orang- orang Italia, curry

(kari) untuk orang- orang India merupakan jenis makanan pokok, selain makanan

tradisional lain yang mulai ditinggalkan. Makanan laut banyak disukai oleh

masyarakat sepanjang pesisir Amerika Utara. Sedangkan penduduk Amerika bagian

selatan lebih mengutamakan makanan goreng- gorengan.

b. Agama/ kepercayaan

Agama/ kepercayaan juga mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsi.

Sebagai contoh: agama Islam dan Yahudi Orthodox mengharamkan daging babi.

Agama Roma Katolik melarang makan daging setiap hari, dan beberapa aliran agama

(protestan) melarang pemeluknya untuk mengkonsumsi teh, kopi atau alkohol.

c. Status ekonomi dan sosial

Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makan turut dipengaruhi oleh

status ekonomi dan sosial. Sebagai contoh: orang miskin dan menengah ke bawah di

desa tidak sanggup membeli makanan jadi yang mahal, buah dan sayuran yang

mahal. Pendapatan akan membatasi seseorang untuk mengkonsumsi ikan dan daging

yang bermutu. Demikian pula kelompok sosial berpengaruh terhadap kebiasaan

makan. Misalnya, kepala ikan dan siput sangat disukai oleh beberapa kelompok

(33)

d. Personal preference

Hal- hal yang disukai dan tidak disukai sangat berarti dan berpengaruh

terhadap kebiasaan makan seseorang. Orang seringkali memulai kebiasaan

makanannya, sejak dari masa kanak- kanak sampai masa dewasa. Misalnya: ayah

tidak suka makan kari, begitu juga anak laki- lakinya. Ibu suka kerang, demikian pula

dengan anak perempuannya.

Perasaan suka dan tidak suka seseorang terhadap makanan tergantung

asosiasinya terhadap makanan tersebut. Anak- anak yang suka mengunjungi kakek

dan neneknya akan ikut menyukai acar karena mereka sering dihidangkan acar. Lain

lagi dengan anak yang tidak suka omelan bibinya, akan tumbuh perasaan tidak suka

terhadap ayam goreng yang dimasak bibinya.

e. Rasa lapar, nafsu makan dan rasa kenyang

Rasa lapar umumnya merupakan sensasi yang tidak menyenangkan karena

berhubungan dengan kekurangan makanan. Sebaliknya, nafsu makan merupakan

sensasi yang menyenangkan berupa keinginan seseorang untuk makan. Sedangkan

rasa kenyang merupakan perasaan puas karena telah memenuhi keinginannya untuk

makan. Pusat pengaturan dan pengontrolan mekanisme lapar, nafsu makan dan rasa

kenyang dilakukan oleh sistem saraf pusat, yaitu pada hipotalamus. Kurang nafsu

makan dikenal dengan istilah anoreksia yang merupakan salah satu gangguan makan

(34)

f. Kesehatan

Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan makan. Sariawan

atau gigi yang sakit seringkali membuat individu memilih makanan yang lembut.

Tidak jarang orang dengan kesulitan menelan mencoba untuk memilih menahan rasa

lapar daripada makan.

Pola makan mengandung aspek budaya, etnik, agama, sosial, dan ekonomi.

Karena itu unsur kenikmatan, kesantaian, nilai- nilai, tabu dan sebagainya juga terkait

dalam keseimbangan pola makan (Soekirman, 2000).

1. 4. Makanan yang Baik dan Sehat

Keadaan gizi seseorang dipengaruhi oleh makanan yang dimakannya.

Makanan adalah kebutuhan pokok manusia, tidak ada manusia yang hidup tanpa

makan. Meskipun demikian, orang yang makan cukup kenyang belum tentu sehat.

Hal ini disebabkan meskipun orang tersebut memenuhi dalam jumlah, tetapi tidak

mengandung zat- zat yang diperlukan tubuh sesuai kebutuhan.

Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) yang dikeluarkan oleh Direktorat

Gizi Depkes tahun 1995 (Almatsier, 2005) menguraikan tiga belas dasar yang

diharapkan dapat digunakan masyarakat sebagai pedoman praktis untuk mengatur

makanan sehari- hari yang seimbang dan aman guna mencapai dan mempertahankan

status gizi dan kesehatan yang optimal yaitu makanlah aneka ragam makanan;

makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi; makanlah makanan sumber

(35)

sampai seperempat dari kebutuhan energi; gunakan garam beriodium; makanlah

makanan sumber zat besi; berikan ASI saja kepada bayi sampai umur empat bulan;

biasakan makan pagi; minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya; lakukan

kegiatan fisik dan olahraga secara teratur; hindari minum minuman beralkohol;

makanlah makanan yang aman bagi kesehatan; dan bacalah label pada makanan yang

dikemas.

Santoso (2004 dalam Matondang, 2009) berpendapat makanan yang

dianjurkan untuk dikonsumsi adalah makanan yang seimbang, terdiri atas: sumber zat

tenaga misalnya nasi, roti, mie, bihun, jagung, ubi, singkong, tepung- tepungan, gula,

dll; sumber zat pembangun misalnya ikan, telur, ayam, daging, susu,

kacang-kacangan, tahu, tempe, dll; dan sumber zat pengatur misalnya sayuran dan

buah-buahan terutama yang berwarna hijau dan kuning.

Kebiasaan makan yang baik akan mencerdaskan seseorang, meningkatkan

kondisi kesehatan tubuh, dan menghasilkan gairah atau semangat kerja yang tinggi.

Yang dimaksud dengan kebiasaan makan yang baik adalah:menyukai makanan yang

bergizi; waktu makan yang teratur karena makan teratur dapat membuat alat

pencernaan bekerja secara teratur, dan pola makan harus sesuai dengan siklus

pencernaan dan kemampuan fungsi pencernaan; menghindari makanan yang dapat

merugikan kesehatanantara lain penggunaan bumbu penyedap seperti vetsin, siklamat

yang disebut sari manis sebagai pengganti gula pada minuman. Hal lain yang perlu

(36)

supaya suasana makan selalu tenang, sehingga makan pun dapat dilakukan dengan

tidak tergesa- gesa (Ginting, 2003).

2. Kebutuhan Zat Gizi pada Remaja

Kebutuhan nutrisi/ gizi pada masa remaja perlu mendapat perhatian karena

beberapa alasan berikut yaitu kebutuhan akan nutrisi yang meningkat karena adanya

peningkatan pertumbuhan fisik dan perkembangan; berubahnya gaya hidup dan

kebiasaan makan pada masa ini berpengaruh pada kebutuhan dan asupan zat gizi/

nutrient; dan kebutuhan khusus nutrient perlu diperhatikan pada kelompok remaja

yang memiliki aktivitas olahraga, mengalami kehamilan, gangguan perilaku makan,

retriksi asupan makan, konsumsi alkohol, obat- obatan maupun hal- hal lain yang

biasa terjadi pada remaja (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

2. 1 Energi

Energi diartikan sebagai suatu kapasitas untuk melakukan pekerjaan. Salah

satu cara untuk mengukur energi yaitu melalui pembentukan panas (Nurachmah,

2001). Menurut Roshdal (1983 dalam Nurachmah, 2001) jumlah energi yang

diperlukan untuk menaikkan suhu satu kilogram air sebesar satu derajat celcius

adalah satu kalori. Ukuran yang sering digunakan adalah kilokalori (1.000) kalori

atau dalam ilmu fisika menggunakan satuan joule atau kilojoule. Meskipun sistem

joule seringkali digunakan, satuan kalori adalah satuan energi yang sering dipakai

(37)

2. 1. 1 Sumber Energi

Martin & Coolidge (19678 dalam Nurachmah, 2001) menyebutkan sumber

energi untuk tubuh diperoleh dari masukan protein, karbohidrat dan lemak serta

bahan makanan yang disimpan dalam tubuh khususnya cadangan lemak dan alkohol.

2. 1. 2 Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Total Energi

Jumlah energi yang dibutuhkan seseorang tergantung pada usia, jenis kelamin,

berat badan dan bentuk tubuh. Balita biasanya membutuhkan energi lebih banyak

untuk pertumbuhan, hal ini disebabkan mereka sangat aktif. Individu berusia lanjut

membutuhkan sedikit energi. Pegawai kantor membutuhkan energi yang lebih rendah

daripada buruh yang menggunakan otot. Demikian pula pria lebih banyak

membutuhkan energi dibandingkan dengan wanita (Nurachmah, 2001).

Menurut Nurachmah (2001) ada beberapa faktor yang mempengaruhi

kebutuhan total energi, antara lain:

a. Usia

Karena terjadi penurunan kebutuhan energi pada saat istirahat dan ketika

beraktivitas seiring dengan bertambahnya usia maka total energi yang dibutuhkan

orang dewasa lebih rendah daripada anak- anak.

Selama periode pertumbuhan, tubuh lebih banyak membutuhkan energi.

Pertumbuhan tercepat terjadi pada usia dua tahun pertama, remaja dan kehamilan.

(38)

seorang wanita berusia 70 tahun hanya memerlukan 1800 kkal (Kozier & Erb, 1983

hal. 664).

b. Ukuran tubuh

Seseorang dengan ukuran tubuh yang besar mempunyai kebutuhan energi

total yang lebih besar daripada orang berbadan kecil.

c. Suhu lingkungan

Suhu kamar di bawah 20oC/ 68 F meningkatkan kebutuhan energi.

d. Kehamilan

Kehamilan meningkatkan BMR wanita. Ibu hamil membutuhkan energi yang

lebih banyak sebagai sumber kekuatan untuk melakukan aktivitas fisik.

2. 2 Protein

Protein adalah fondasi sel pada manusia. Protein merupakan zat pembangun

jaringan tubuh. Protein terutama terdapat pada otot dan kelenjar, organ- organ dalam,

otak, syaraf, kulit, rambut, kuku, enzim- enzim, dan hormon. Protein merupakan

bahan nutrisi paling esensial bagi pertumbuhan sel dan jaringan tubuh (Nurachmah,

2001).

Sementara menurut Almatsier (2005), protein adalah bagian dari semua sel

hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh

adalah protein. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat- zat gizi dan darah,

(39)

2. 2. 1 Fungsi Protein

Sediaoetama (2006) menguraikan fungsi protein yaitu sebagai zat pembangun;

berfungsi dalam pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan; menggantikan sel- sel yang

mati dan aus terpakai; berfungsi dalam mekanisma pertahanan tubuh melawan

berbagai mikroba dan zat toksik lain; sebagai zat pengatur, protein mengatur

proses-proses metabolisma dalam bentuk enzim dan hormon; salah satu sumber utama

energi, bersama- sama dengan karbohidrat dan lemak; dan juga dalam bentuk

kromosom, protein berperan dalam menyimpan dan meneruskan sifat- sifat keturunan

dalam bentuk genes.

Berikut fungsi protein menurut Almatsier (2005):

a. Pertumbuhan dan pemeliharaan

Pertumbuhan atau penambahan otot hanya mungkin bila tersedia cukup

campuran asam amino yang sesuai termasuk untuk pemeliharaan dan perbaikan.

Tubuh sangat efisien dalam memelihara protein yang ada dan menggunakan kembali

asam amino yang diperoleh dari pemecahan jaringan untuk membangun kembali

jaringan yang sama atau jaringan lain.

b. Pembentukan ikatan- ikatan esensial tubuh

Hormon- hormon seperti tiroid, insulin, dan epinefrin adalah protein,

demikian pula berbagai enzim. Ikatan- ikatan ini bertindak sebagai katalisator atau

(40)

c. Mengatur keseimbangan air

Distribusi cairan di dalam intraseluler, ekstraseluler, dan intravaskuler harus

dijaga dalam keadaan seimbang atau homeostatis. Keseimbangan ini diperoleh

melalui sistem kompleks yang melibatkan protein dan elektrolit. Penumpukan cairan

di dalam jaringan dinamakan edema dan merupakan tanda awal kekurangan protein.

d. Memelihara netralitas tubuh

Protein tubuh bertindak sebagai buffer, yaitu bereaksi dengan asam dan basa

untuk menjaga pH pada taraf konstan.

e. Pembentukan antibodi

Kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap bahan- bahan

racun dikontrol oleh enzim- enzim yang terutama terdapat di dalam hati. Dalam

keadaan kekurangan protein kemampuan tubuh untuk menghalangi pengaruh toksik

bahan- bahan racun ini berkurang.

f. Mengangkut zat- zat gizi

Mengangkut zat- zat gizi dari saluran cerna melalui dinding saluran cerna ke

dalam darah, dan darah ke jaringan- jaringan, dan melalui membran sel ke dalam

sel-sel. Kekurangan protein menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi

zat-zat gizi.

g. Sumber energi

Protein ekuivalen dengan kerbohidrat, karena menghasilkan 4 kkal/protein.

Namun protein sebagai sumber energi relatif lebih mahal, baik dalam harga maupun

(41)

2. 2. 2 Sumber Protein

Secara umum dikenal dua jenis protein, yaitu protein hewani yang berasal dari

hewan dan protein nabati yang berasal dari tumbuhan. Protein hewani dapat diperoleh

dari berbagai jenis makanan seperti ikan, daging, telur dan susu. Jenis ikan berprotein

tinggi antara lain: bandeng, kakap, mas, selar, udang, ikan asin, dan teri. Dari daging

antara lain: ayam, babi, kambing, kerbau, sapi, hati, usus, dan babat. Jenis susu

berprotein tinggi antara lain: susu sapi, susu bubuk skim, susu bubuk murni, susu

kerbau, dan susu kambing. Protein nabati terutama berasal dari kacang- kacangan

serta bahan makanan yang terbuat dari kacang, seperti: kacang tanah, kacang hijau,

kacang kedelai, kacang merah, oncom, tahu, dan tempe (Nurachmah, 2001).

2. 2. 3 Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Protein

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kebutuhan protein setiap individu

berbeda- beda (Nurachmah, 2001), antara lain:

a. Ukuran tubuh

Orang yang mempunyai ukuran tubuh yang besar membutuhkan protein yang

lebih banyak.

b. Usia

Protein yang dibutuhkan pada masa pertumbuhan, 2-3 kali lebih tinggi

(42)

c. Jenis kelamin

Karena jumlah lemak lebih banyak dan masa otot pada wanita lebih kecil

maka kebutuhan protein sedikit lebih rendah daripada laki- laki dengan usia dan berat

yang sama.

d. Kehamilan dan laktasi

Ibu hami dan ibu menyusui lebih banyak membutuhkan protein bagi

pertumbuhan fetus dan produksi ASI.

2. 3 Kecukupan Gizi yang Dianjurkan

Angka Kecukupan Gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowences (RDA) adalah taraf konsumsi zat- zat gizi esensial, yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Angka

Kecukupan Gizi yang dianjurkan di Indonesia adalah AKG yang ditetapkan pada

Widya Karya Pangan dan Gizi Nasional tahun 1998. Tujuan penetapan AKG ini

adalah untuk acuan perencanaan makanan dan menilai tingkat konsumsi makanan

individu/ masyarakat (Almatsier, 2005).

Kebutuhan kalori pada remaja pria usia 16-19 tahun yang dianjurkan oleh

Widya Karya Pangan dan Gizi Nasional tahun 1998 adalah 2500 Kkalori, sedangkan

pada remaja putri usia 16-19 tahun adalah 2000 Kkalori. Untuk kebutuhan protein

pada remaja pria usia 16-19 tahun adalah 66 gram, sedangkan pada remaja putri usia

(43)

Tabel 2.3 Angka Kecukupan Gizi Rata- rata yang Dianjurkan (Per Orang Per

3. Indeks Massa Tubuh (IMT)

3. 1 Definisi IMT

Indeks massa tubuh adalah indeks berat dibagi tinggi yang mudah dan sering

digunakan untuk menentukan berat badan kurang, berat badan lebih, atau obesitas

(WHO, 2013). Sementara Lisbet (2004 dalam Rakhmawati, 2009) mengatakan Indeks

Massa Tubuh (IMT) merupakan cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta

berkorelasi tinggi dengan massa lemak tubuh. Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut

Bandini et al. (2011 dalam Tarigan, 2013) juga diartikan sebagai berat dalam

kilogram yang dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat.

Meskipun IMT sering dianggap sebagai indikator kegemukan tubuh,itu adalah

ukuran pengganti lemak tubuh karena mengukur kelebihan berat badan daripada

kelebihan lemak. IMT adalah pengukuran lemak tubuh yang sederhana, murah, dan

noninvasif. Dibandingkan dengan metode yang lain, IMT hanya mengandalkan tinggi

badan dan berat badan dan dengan peralatan yang tepat, seseorang dapat menghitung

(44)

usia, jenis kelamin, etnis, dan massa otot dapat mempengaruhi hubungan antara IMT

dan lemak tubuh. IMT juga tidak membedakan antara kelebihan lemak, otot, atau

massa tulang, juga tidak memberikan indikasi distribusi lemak diantara tiap individu

(CDC, 2009).

3. 2 Klasifikasi IMT

Untuk orang dewasa yang berusia 20 tahun keatas, IMT diinterpretasi

menggunakan kategori status berat badan standard yang sama untuk semua umur bagi

pria dan wanita. Untuk anak-anak dan remaja, intrepretasi IMT spesifik terhadap usia

dan jenis kelamin (CDC, 2009).

Indeks Massa Tubuh menurut WHO NCHS dalam Z-score dibagi menjadi 5

yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.5 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut WHO

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Sangat kurus Z-score = < -3

Kurus Z-score = < -2 sampai -3

Normal Z-score = -2 sampai +1

Gemuk Z-score = > +1 sampai +2

Obes Z-score = > +2

(45)

3. 3 Pengukuran IMT

Berat badan yang telah diukur terlebih dahulu dengan timbangan dan tinggi

badan diukur dengan alat pengukur tinggi badan, kemudian hasil pengukuran

dimasukkan ke dalam rumus.

IMT

=

( )

( )

Metode ini dapat digunakan sebagai penentu obesitas dan non obesitas yang

tidak menimbulkan sakit, tidak memiliki efek samping, dan dapat digunakan untuk

memantau jangka-panjang diet seseorang (Hasiana, 2013).

Utari (2007 dalam Yoanda, 2014) mengemkakan bahwa IMT mempunyai

keunggulan utama yakni menggambarkan lemak tubuh yang berlebihan, sederhana

dan dapat digunakan dalam penelitian populasi berskala besar. Pengukurannya hanya

membutuhkan dua hal yakni berat badan dan tinggi badan, yang keduanya dapat

dilakukan secara akurat oleh seseorang dengan sedikit latihan. Akan tetapi IMT

memiliki kelemahan yaitu tidak bisa membedakan berat yang berasal dari lemak dan

berat dari otot atau tulang. IMT juga tidak dapat mengidentifikasi distribusi lemak

tubuh, sehingga beberapa penelitian menyatakan bahwa standar cut off point untuk mendefinisikan obesitas berdasarkan IMT mungkin tidak menggambarkan risiko

yang sama untuk konsekuensi kesehatan pada semua ras atau kelompok etnis.

3. 4 IMT Remaja

IMT dihitung dengan cara yang sama untuk orang dewasa dan anak-anak,

(46)

tergantung pada usia atau jenis kelamin, sementara untuk anak-anak dan remaja yang

berusia antara 2 sampai 20 tahun, IMT ditafsirkan relatif terhadap usia dan jenis

kelamin anak. Usia dan jenis kelamin dipertimbangkan karena jumlah lemak tubuh

yang berubah sesuai dengan usia dan jumlah lemak tubuh yang berbeda antara

perempuan dan laki- laki (CDC, 2011). IMT berdasarkan usia ditentukan bagi

seorang individu yang menunjukkan posisi relative nilai IMT anak diantara

(47)

1. Kerangka Konsep

Penelitian ini dilakukan untuk mendapat gambaran tentang bagaimana

hubungan pola makan yang meliputi jumlah makanan, jenis makanan, dan

frekuensi makan dengan IMT menurut Handjani (1996 dalam Sari, 2010).

Variabel independen Variabel dependen

Pola Makan

Skema 3.1 Kerangka konsep penelitian Jenis makanan

Jumlah makanan

(Energi)

Indeks Massa Tubuh

Frekuensi makan Jumlah makanan

(48)

2. Definisi Operasional

Tabel 3. 1 Definisi Operasional

Variabel Definisi

Operasional

Alat Ukur Hasil Ukur Skala

(49)
(50)

3. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah gagal menolak Ho yang artinya

menunjukkan tidak adanya hubungan antara pola makan meliputi jenis makanan,

jumlah makanan, dan frekuensi makan dengan Indeks Massa Tubuh pada siswa

SMAN 2 Balige yang tinggal di kost, dimana:

Ho : 1) Tidak ada hubungan antara pola makan meliputi jenis makanan dengan IMT

pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost.

2) Tidak ada hubungan antara pola makan meliputi jumlah konsumsi energi

dengan IMT pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost.

3) Tidak ada hubungan antara pola makan meliputi jumlah konsumsi

protein dengan IMT pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost.

4) Tidak ada hubungan antara pola makan meliputi frekuensi makan dengan

(51)

1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi dengan

menggunakan desain cross-sectional yang dilakukan pada waktu dan subjek yang sama untuk menggambarkan bagaimana hubungan pola makan dengan Indeks Massa

Tubuh (IMT) pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost.

2. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2012). Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

siswa kelas X dan kelas XI SMAN 2 Balige T.A 2014/2015 yang tinggal di kost.

Setelah melakukan survey awal ke SMAN 2 Balige pada November 2014, diperoleh

jumlah siswa kelas X dan kelas XI yang aktif bersekolah di SMAN 2 Balige dan

tinggal di kost adalah 70 orang.

4.2.2 Sampel dan Teknik Sampling

Dikarenakan populasi yang menjadi objek penelitian berjumlah kurang dari

100, maka seluruh populasi dijadikan sampel dalam penelitian ini (Arikunto 2010).

(52)

yaitu suatu metode pengambilan sampel dengan menjadikan seluruh jumlah populasi

menjadi sampel.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMAN 2 Balige yang beralamat di Jalan Kartini

Soposurung Balige. SMAN 2 Balige memiliki total 25 kelas dengan 8 kelas untuk

kelas X yang terbagi atas 7 kelas IPA dan 1 kelas IPS, 9 kelas untuk kelas XI yang

terbagi atas 7 kelas IPA dan 2 kelas IPS, dan 8 kelas untuk kelas XII yang terbagi atas

6 kelas IPA dan 2 kelas IPS. Sekolah ini memiliki akreditasi B (baik) dengan

kegiatan belajar- mengajar yang berlangsung dari Senin sampai Sabtu dimulai pukul

07.30 WIB sampai 14.00 WIB. Sekolah ini memiliki berbagai kegiatan

ekstrakurikuler seperti paduan suara, Paskibra, Pramuka, sepak bola, KIR, dan

olimpiade. Sekolah ini dipilih karena didapatkan bahwa banyak siswa di SMAN 2

Balige yang tinggal di kost dan mempunyai kebiasaan makan yang kurang baik

seperti makan dua kali sehari (tidak sarapan pagi karena telat bangun dan tidak selera,

tidak makan siang karena tidak sempat) dan mengkonsumsi makanan yang dibeli dari

luar atau dimasak sendiri oleh siswa tersebut sehingga asupan gizinya tidak terpenuhi

dengan baik. Hal ini dipengaruhi oleh terbatasnya uang saku dan padatnya aktivitas di

sekolah seperti kegiatan belajar yang padat, ekstrakurikuler, tugas kelompok, les, dan

(53)

4. Pertimbangan Etik

Perkembangan etik dimulai dari proses administrasi penelitian yaitu setelah

mendapat persetujuan dari institusi pendidikan (Fakultas Keperawatan USU) dan izin

dari SMAN 2 Balige, selanjutnya peneliti melakukan beberapa langkah-langkah

penelitian mulai dari pertimbangan etik penelitian yang meliputi: kesediaan untuk

menjadi responden (Self determination), kemudian mendapat persetujuan dari

responden penelitian (Informed consent), lembar persetujuan ini diberikan kepada

responden yang akan diteliti yang sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditetapkan

dan disertai judul penelitian, bila responden tidak bersedia menjadi responden maka

peneliti tidak memaksa dan tetap menghargai hak-hak responden. Penelitian

dilakukan dengan menjaga kerahasiaan identitas responden (Anonimity), maka waktu

penelitian ini peneliti tidak mencantumkan nama responden, tetapi lembar tersebut

diberikan kode responden. Kerahasian informasi responden (Confidentiliaty) dijamin

oleh peneliti sebagai kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil

penelitian. Penelitian ini juga tidak menyakiti aspek biologis, psikologis, sosial dan

spiritual dari responden.

5. Instrumen Penelitian

Kuesioner tentang identitas adalah aspek data responden meliputi nomor

responden, usia, jenis kelamin, agama, suku, dan kelas.

Jenis dan jumlah makanan diidentifikasi dengan Formulir Food Recall 24

(54)

penelitian yang dilakukan dalam tujuh hari tidak berturut- turut. Data jenis makanan

dilihat dari formulir Food Recall 24 hours dengan mengidentifikasi kelengkapan

susunan jenis makanan dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah, dan susu.

Kemudian dikelompokkan menjadi 4 bagian (Sangat lengkap jika makanan terdiri

dari makanan pokok + lauk pauk + sayuran + buah + susu; Lengkap jika makanan

terdiri dari makanan pokok + lauk pauk + sayuran + buah; Kurang lengkap jika

makanan terdiri dari makanan pokok + lauk pauk + sayuran; Tidak lengkap jika

makanan terdiri dari makanan pokok + lauk pauk atau makanan pokok + sayuran).

Formulir Food Recall 24 Hours mengidentifikasi jumlah dari setiap jenis

makanan pada tiap waktu makan yang dibuat dalam ukuran rumah tangga kemudian

dikonversi ke dalam ukuran kkal untuk energi dan gram untuk protein dengan

menggunakan program komputer Nutri Survey. Hasilnya dibandingkan dengan

Angka Kecukupan Gizi rata- rata yang dianjurkan untuk remaja Indonesia dan

selanjutnya dikategorikan atas lima: (Sangat tinggi bila tingkat kecukupan > 115%;

Tinggi bila tingkat kecukupan 106 – 115%; Cukup/ sesuai standar bila tingkat kecukupan 95–105%; Rendah bila tingkat kecukupan 85–94%; Sangat rendah bila tingkat kecukupan < 85%).

Frekuensi makan diidentifikasi dengan Food Frequency Questionaire (FFQ)

yang diadopsi dari FFQ penelitian Desi Kristina T tahun 2010, frekuensi makan

(55)

diberi skor 4; < 3 x sehari diberi skor 3; 3 x seminggu diberi skor 2; dan < 3 x

seminggu diberi skor 1) dengan 26 daftar bahan makanan.

Frekuensi makan akan dikategorikan berdasarkan rumus statistika menurut

Hidayat (2009).

=

Dimana i merupakan panjang kelas dengan rentang (nilai tertinggi dikurangi nilai terendah). Dan hasil skoring frekuensi makan nilai tertinggi 104 dan nilai

terendah adalah 26, maka rentang kelas adalah 78 dengan 3 kategori banyak kelas,

sehingga diperoleh panjang kelas sebesar 26. Data untuk frekuensi makan

dikategorikan sebagai berikut: 26-52 adalah frekuensi makan rendah, 53-78 adalah

frekuensi makan sedang dan 79-104 adalah frekuensi makan tinggi. Dengan total skor

terendah 26 dan skor tertinggi 104.

Sementara untuk data Indeks Massa Tubuh (IMT) dilakukan pengukuran

tinggi badan dengan menggunakan microtoise dan untuk berat badan dengan

menggunakan timbangan injak. Kemudian menghitung IMT dengan menggunakan

rumus, lalu mengkategorikan ke dalam lima kelas (sangat kurus jika z-score = < -3,

kurus jika z- score = < -2 sampai -3, normal jika z- score = -2 sampai +1, gemuk jika

z- score = > +1 sampai +2, dan obesitas jika z- score = > +2) sesuai dengan IMT

(56)

6. Validitas dan Realibilitas

Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan

atau keabsahan suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu

mengukur apa yang diinginkan atau mampu mengungkapkan data dari variabel

yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan

sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang

validitas yang dimaksud (Arikunto, 2010). Uji validitas tidak dilakukan lagi pada

penelitian ini karena instrumen yang digunakan sudah baku.

Uji reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana

suatu alat pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti

sejauh mana alat tersebut tetap konsisten bila dilakukan beberapa kali dengan

menggunakan alat ukur yang sama (Notoadmodjo, 2012). Uji reliabilitas

dilakukan pada 20 orang responden siswa/i di SMAN 1 Balige yang memenuhi

kriteria sampel dan di luar sampel penelitian. Instrumen yang akan diuji yaitu

Food Recall 24 hours dan Food Frequency Questionnaire (FFQ) sebanyak 26

item bahan makanan. Penilaian instrumen menggunakan komputerisasi dengan

analisis Cronbach’s Alpha karena instrumen tersebut menggunakan skor dalam

rentangan tertentu. Suatu instrumen dikatakan reliabel bila r Alpha > r tabel.

Suatu instrumen dikatakan reliable jika memberikan nilai Cronbach’s Alpha >

(57)

Untuk variabel Indeks Massa Tubuh (IMT) tidak dilakukan uji

reliabilitas karena untuk memperoleh data pada variabel ini dilakukan pengukuran

tinggi badan dan berat badan dari responden.

7. Pengumpulan Data

Prosedur yang dilakukan dalam pengumpulan data yaitu pada tahap

awal peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi

pendidikan (Fakultas Keperawatan USU) kemudian mengirimkan permohonan

izin untuk meneliti di SMAN 2 Balige. Peneliti menentukan responden yang

sesuai dengan keperluan penelitian yang telah ditetapkan. Setelah mendapatkan

calon responden, selanjutnya peneliti menjelaskan kepada responden tersebut

tentang tujuan, manfaat dan cara pengisian kuesioner. Kemudian bagi calon

responden yang bersedia, diminta untuk menandatangani informed consent. Peneliti membagikan kuesioner kepada responden kemudian responden

menjawab, selanjutnya peneliti mengukur tinggi badan dan berat badan responden

dan mencatatnya. Selesai pengisian, peneliti memeriksa kelengkapan data. Jika

data yang kurang lengkap, data dapat langsung dilengkapi selanjutnya data yang

terkumpul dianalisa. Untuk pengumpulan data mengenai pola makan peneliti

membagikan kuesioner sebanyak tiga kali secara tidak berturut- turut dengan

selang waktu 2-3 hari, sementara untuk data IMT hanya dilakukan sekali

(58)

8. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul, dilakukan analisa data kembali dengan

memeriksa kuesioner apakah data dan jawaban sudah lengkap dan benar (editing).

Peneliti melakukan pengecekan jawaban kuesioner tentang kelengkapan

pengisian, terbaca dengan jelas, dan relevan dengan pertanyaan. Tahapediting ini dilakukan pada waktu dan tempat yang sama sehingga mempermudah melengkapi

data bila ada kekurangan.

Tahap kedua adalah pemberian kode (coding) berupa angka pada setiap

jawaban kuesioner. Pengkodean dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam

melakukan analisa data dan pengolahan data serta pengambilan keputusan yang

dimasukkan kedalam bentuk tabel. Tahap ketiga adalah mengelompokkan data

sesuai dengan tujuan penelitian (tabulating) ke dalam tabel- tabel yang telah

ditentukan.

Tahap selanjutnya adalah memasukkan data (entry) yang telah dikode ke

dalam komputer untuk dianalisis dengan menggunakan program statistik SPSS

versi 16.

Setelah semua data terkumpul, maka dilakukan analisa data dengan analisa

univariat dan bivariat. Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil

penelitian untuk memberikan gambaran karakteristik masing- masing variabel.

Analisa univariat akan ditampilkan berupa tabel persentase dan distribusi frekuensi

(59)

Analisa uji bivariat ini akan ditampilkan dalam bentuk tabel korelasi dimana

dalam tabel ini akan ditampilkan seberapa besar korelasi atau hubungan antara

variabel independen (pola makan) dengan variabel dependen (Indeks Massa Tubuh).

Untuk uji statistik korelasi menggunakan uji Spearman karena kedua variabel

menggunakan skala ordinal.

Menginterpretasikan nilai signifikan (p), jika nilai p kurang dari nilai alpa (<

0,05) berarti terdapat hubungan sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa hipotesa

alternatif (Ha) diterima dan dapat diinterpretasikan sebagai adanya hubungan pola

makan meliputi jumlah makanan dengan Indeks Massa Tubuh pada siswa SMAN 2

Balige yang tinggal di kost; adanya hubungan pola makan meliputi jenis makanan

dengan Indeks Massa Tubuh pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost; dan

adanya hubungan pola makan meliputi frekuensi makan dengan Indeks Massa Tubuh

pada siswa SMAN Balige yang tinggal di kost. Sebaliknya jika plebih dari nilai alpa (> 0,05) berarti hubungan yang tidak signifikan, maka hipotesa alternatif (Ha) ditolak.

Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai tidak ada hubungan antara pola makan

meliputi jumlah makanan dengan Indeks Massa Tubuh pada siswa SMAN 2 Balige

yang tinggal di kost; tidak ada hubungan antara pola makan meliputi jenis makanan

dengan Indeks Massa Tubuh pada siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kost; dan

tidak ada hubungan antara pola makan meliputi frekuensi makan dengan Indeks

Gambar

Tabel 2.1 Bahan- bahan Pengganti Makanan Pokok
Tabel 2.2 Bahan- bahan Pengganti Sumber Protein
Tabel 2.3 Angka Kecukupan Gizi Rata- rata yang Dianjurkan (Per Orang PerHari)
Tabel 2.5 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut WHO
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Antara Perilaku Makan dengan Indeks Massa Tubuh Pada Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Sidoarjo, Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Malang.. Djaka

HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN GRADE OSTEOARTRITIS (OA) SENDI.. LUTUT DI

Berdasarkan uraian diatas banyak faktor resiko yang dapat dimodifikasi yang mempengaruhi diabetes Mellitus, maka peneliti membatasi masalah hubungan pola makan dan

Suatu pernyataan mengatakan bahwa ketidakseimbangan pola makan atau asupan makanan dengan aktivitas jasmani maka indeks massa tubuh akan meningkat dan bisa masuk dalam

Analisis korelatif untuk mengetahui hubungan antara indeks massa tubuh dengan tes fungsi paru dilakukan uji Pearson, apabila distribusi data tidak normal maka

iv HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH IMT DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI MULIA 1 DAN TINJAUNNYA DARI SISI ISLAM Chintya RA1 , Karina Dewi2 , Siti Nur

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah pola makan, aktivitas fisik, dan tingkat stress mempengaruhi perubahan Indeks Massa Tubuh BMI yang dialami oleh Mahasiswa Aktif

Dengan hasil demikian terlihat bahwa siswi SMA Negeri 2 tabanan memiliki kebugaran jasmani dan indeks massa tubuh IMT yang normal dan sangat baik, dikarenakan siswi SMA Negeri 2 tabanan