LAMPIRAN
dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe
Fermentasi Tempe
Tempe
Tempe
Lampiran 7. Plastisimeter
Lampiran 9. Viskosimeter
Lampiran 10. Bunsen Pembakar
Lampiran 11. Oven PRI
Lampiran 12. Alat Creeper
Lampiran 13. Oven Pemanasan
Lampiran 14. Unit Infra Red
Lampiran 15. Wallace Punch Viskositas
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1989. Tahu Tempe, Pembuatan Pengawetan dan Pemanfaatan Limbah.
Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan IPB.
Astawan, M. 2008. Sehat dengan Tempe. Jakarta : Dian Rakyat
Bathnagar, S. M. 2004. Polymers (Chemistry and Technology of Polymers).Volume
2. New Delhi: S.Chand& Company LTD.
Blackley, D.C. 1997. Polymer Latices, Science and Technologie. 2 nd ed. Dordrecht,
Netherland : Kluwer Academic.
Buckle, dkk. 2007. Ilmu Pangan. Jakarta. UI – Press.
Dalimunthe, R. 1983. Kandungan Lateks serta kaitan nya dengan Pembuatan Barang
Jadi. Medan.
De Boer. 1952. Pengetahuan Praktis tentang Karet. Bogor. Balai Penyelidikan Karet
Indonesia.
Erry Wiryani. Analisis Kandungan Limbah Cair Pabrik Tempe. Semarang.
Laboratorium Ekologi dan Biosistematik Jurusan Biologi FMIPA UNDIP.
Goutara, B. D., dan Tjiptadi, W. 1985. Dasar Pengolahan Karet, Agroindustri. Bogor
:Institut Pertanian Bogor Press.
Junaidi, U. 1996. Penyadapan Tanaman Karet dalam Sapta Usaha Bina Tani. Anwar
Chairil(ed). Balai Penelitian Sumbawa.
Kartowardoyo,S. 1980. Penggunaan Wallace Plastimeter Untuk Penentuan
Karakteristik – Karakteristik Pematangan Karet Alam. Yogyakarta: UGM-Press.
Kasmidjo. 1990. Tempe, Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatan.
Semarang. Soegijapranata Press.
Loganathan, K.S. 1998. Rubber Engineering.New Delhi : Indian Rubber Institute.
Lovell, P.A. 1997. Emulsion Polymerization And Emulsion Polymers. New York :
John Wiley And Sons.
Manday, P.B. 2008. Pengaruh Penambahan Asam Formiat sebagai Kegunaan
terhadap Mutu Karet (Karya Ilmiah). Medan :USU
Nisandi. 2007. Pengolahan dan Pemanfaatan Sampah Organik menjadi Briket Arang
dan Asap Cair. Yogyakarta :Seminar Nasional Teknologi.
Ong, E.L., Lai, P., C. L., dan Ng, K.P. 1998.Standard Malaysian Glove Scheme
Technical Requitments. Malaysia Rubber Seminar, MRBs Malaysian
Economic and Technical Mission (Rubber) b Tehe Hon Primary Industries of
Malaysia to France, Germany and UK, for (25 Sept- 2 Oct 1998-KL)
Ompusunggu, M. 1987. Pengawetan Bahan Olah Lateks Kebun. Warta
Perkaretan.Medan : PusatPenelitian Perkebunan.
Reffrizon. 2003. Viscositas Mooney Karet Alam. Medan : USU Press.
Said, N I dan A. Herlambang. Teknologi Pengolahan Limbah Tahu Tempe Dengan
Proses Biofilter Anaerob dan Aerob Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi Jakarta.
Sarwono. 2005. Membuat Tempe dan Oncom. Cetakan 29. Jakarta : Penebar
Swadaya
Setyamidjaja, D. 1993. Karet.Cetakan ke 13.Yogyakarta : Kanisius.
Siregar, T. HS. 1995. Teknik Penyadapan Karet. Cetakan keenam.Yogyakarta :
Kanisius.
Spillane, J.J. 1989. Komoditi Karet. Cetakan 1.Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Stevens, M.P. 2001. Kimia Polimer. Cetakan Pertama. Jakarta : Pradnya Paramita.
Suparto, D. 2002. Pengetahuan tentang Lateks Hevea. Kursus Barang Jadi Lateks.
Bogor. Balai Penelitian Teknologi Karet.
Triwiyoso dan Siswantoro. 1995. In House Trainning Pengolahan Lateks Pekat dan
Karet Mentah. Balai Penelitian Perkebunan Bogor.
Stude Baker, M.L. 1984. The Rubber Compound and Its Composition.Science and
Technology of Rubbers. Academic Press.
Wadah Informasi dan Komunikasi Perkebunan Karet. 1991. Lateks. Palembang.
Pusat Penelitian Perkebunan Sembawa.
Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta : Penerbit
Andi
Wardoyo, S.T.H. 1975. Pengelolaan Kualitas Air.IPB. Bogor.
Winarno, F.G. 1984. Bahan Pangan Terfermentasi. IPB. Bogor.
Yayasan Karet. 1983. Penuntun Praktis Untuk Pembuatan Barang – Barang dari Karet Alam. Jakarta :Penerbit KINTA.
Zuhra, C. F. 2006. Karet.Medan : USU Repository.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Alat
- Alat Creper Shanghai
- Lab mill Spend Reducer
- Wallace Punch Spend Reducer
- Plastimeter Wallace
- Mooney viskosimeter Sondes
- Cawan Platina
- Pembakar Listrik Karl Kolb
- Oven Gallenkamp
- Muffle furnace Sybron Termolir
- Desikator
- Beaker Glass Pyrex
- Bunsen
- Gelas Ukur Pyrex
- Pipet Tetes
- Kaki Tiga
- Kawat Kasa
- Neraca Analitis
- Termometer
3.2. Bahan
- Lateks STIPAP, Sumatera Utara
- Limbah Cair Tempe
- Kertas Lakmus Indikator
- Kertas Sigaret
- Mineral Terpentin
- Curio Ts Sol 36%
-Amonia
-Asam Formiat
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1. Pengambilan limbah cair tempe
Diambil limbah cair tempe sebanyak 600 mL, kemudian dimasukkan ke dalam
wadah dan disaring limbah cair tempe lalu dimasukkan filtrat ke dalam beaker glass.
3.3.2 Pengambilan lateks
Diambil lateks sebanyak 1000 mL, kemudian disaring lateks, lalu dihomogenkan
lateks.
3.3.3. Pengambilan Asam Formiat sebagai control
Diukur Asam Formiat 67 % sebanyak 80 ml, kemudian diukur sebanyak 40 ml
sebagai kontrol penggumpal tanpa amonia, lalu diukur sebanyak 40 ml sebagai
kontrol penggumpal dengan amonia.
3.3.4. Pembuatan Amonia 2,5 % sebagai anti koagulan
Diukur 50 ml amonia 25 %, lalu dimasukkan kedalam labu takar 500 ml, kemudian
dihomogenkan, lalu diambil amonia 2,5 % sebanyak 10 ml.
3.3.5. Penggunaan limbah cair fermentasi tempe sebagai penggumpal lateks
tanpa penambahan amonia
Disediakan lateks sebanyak 1000 ml, kemudian masing-masing 100 ml lateks
dimasukkan ke dalam 10 mangkok penggumpal, untuk mangkok 1; ditambahkan
asam formiat sebanyak 40 ml, asam formiat digunakan sebagai kontrol, lalu untuk
mangkok ke 2 sampai ke 4 ditambahkan limbah cair tempe dengan variasi volume
penambahan 20 mL; 40 mL; dan 60 mL pada suhu 30oC, lalu untuk mangkok ke 5
sampai ke 7 ditambahkan limbah cair tempe dengan variasi volume penambahan 20
mL; 40 mL; dan 60 mL dengan suhu dinaikkan menjadi 350C , lalu untuk mangkok
ke 8 sampai ke 10 ditambahkan limbah cair tempe dengan variasi volume
penambahan 20 mL; 40 mL; dan 60 mL dengan suhu dinaikkan menjadi 400C,
kemudian masing-masing koagulum karet yang terbentuk digiling dengan alat creper
sebanyak enam kali gilingan dan dikeringkan 7 hari sehingga menghasilkan karet
kering, kemudian setelah itu masing-masing koagulum karet yang sudah kering
digiling dengan lab mill sebanyak tiga kali, lalu karet kering yang dihasilkan diuji
mutu karetnya yaitu Plastisitas Awal (Po), Plastisitas Retensi Indeks (PRI),
Viskositas Mooney, Kadar Abu, Kadar Kotoran, Kadar Karet Kering (KKK) sesuai
dengan ketentuan SIR (Standar Indonesia Rubber).
3.3.6. Penggunaan limbah cair fermentasi tempe sebagai penggumpal lateks
dengan penambahan amonia
Disediakan lateks kebun sebanyak 1000 ml, kemudian ditambahkan amonia 2,5 %
sebanyak 10 ml kedalam 1000 ml lateks kebun, lalu di diamkan selama 5 jam,
kemudian masing-masing 100 ml lateks dimasukkan ke dalam 10 mangkok
penggumpal, untuk mangkok 1; ditambahkan asam formiat sebanyak 40 ml, asam
formiat digunakan sebagai kontrol, lalu untuk mangkok ke 2 sampai ke 4
ditambahkan limbah cair tempe dengan variasi volume penambahan 20 mL; 40 mL;
dan 60 mL pada suhu 30oC, lalu untuk mangkok ke 5 sampai ke 7 ditambahkan
limbah cair tempe dengan variasi volume penambahan 20 mL; 40 mL; dan 60 ml
dengan suhu dinaikkan menjadi 350C , lalu untuk mangkok ke 8 sampai ke 10
ditambahkan limbah cair tempe dengan variasi volume penambahan 20 mL; 40 mL;
dan 60 mL dengan suhu dinaikkan menjadi 400C, kemudian masing-masing
koagulum karet yang terbentuk digiling dengan alat creper sebanyak enam kali
gilingan dan dikeringkan 7 hari sehingga menghasilkan karet kering, kemudian
setelah itu masing-masing koagulum karet yang sudah kering digiling dengan lab
mill sebanyak tiga kali, lalu karet kering yang dihasilkan diuji mutu karetnya yaitu
Plastisitas Awal (Po), Plastisitas Retensi Indeks (PRI), Viskositas Mooney, Kadar
Abu, Kadar Kotoran, Kadar Karet Kering (KKK) sesuai dengan ketentuan SIR
(Standar Indonesia Rubber).
3.4 Pengujian Mutu Karet
3.4.1. Penetapan nilai Plastisitas Awal (Po ) dan Plastisitas Retensi Index
(PRI)
Ditimbang sekitar 15 gram lateks yang sudah dikeringkan, lalu digiling dengan
gilingan laboratorium sebanyak tiga kali, lalu lembaran karet tersebut dilipat dua,
ditekan perlahan-lahan dengan telapak tangan.
Kemudian lembaran karet tersebut dipotong dengan alat wallace punch sebanyak
enam buah potongan uji dengan diameter 13 mm.
Adapun lembaran karet yang telah dipotong dengan alat Wallace punch dapat dilihat
pada gambar 3.1 sebagai berikut :
Gambar 3.1 Lembaran Karet Setelah Dipotong dengan Alat Wallace Punch
Untuk pengukuran plastisitas awal diambil potongan uji (1), sedangkan
potongan uji (2) untuk pengukuran plastisitas setelah pemanasan. Diletakkan
potongan uji (2) untuk pengukuran plastisitas setelah pengusangan di atas baki dan
dimasukkan ke dalam oven pada suhu 1400 C selama 30 menit. Lalu dikeluarkan
kemudian didinginkan sampai suhu kamar. Sementara potongan uji (1) sebanyak
tiga buah diletakkan satu persatu diantara dua lembar kertas sigaret yang berukuran
35 mm x 45 mm selanjutnya diletakkan di atas piringan plastimeter lalu piringan
plastimeter tersebut ditutup. Setelah ketukan pertama piringan bawah plastimeter
akan bergerak ke atas selama 15 detik dan menekan piringan atas. Dilanjutkan
sampai ketukan berakhir yang ditandai dengan angka jarum mikrometer berhenti
bergerak pada nilai plastisitas karet. Sedangkan potongan uji (2) setelah
pengusangan tadi diukur dengan cara yang sama dan tiga potongan uji dari setiap
contoh diambil angka rata-ratanya dan dibulatkan.
1
2
1
2
1
2
Plastisitas Retensi Index (PRI) dapat dihitung dengan persamaan 3.1 sebagai
berikut :
PRI =
× 100% (3.1)
Dimana:
Pa = Plastisitas setelah pemanasan
Po = Plastisitas sebelum pemanasan
3.4.2. Penetapan Viskositas Mooney
Sebelum pengukuran dilakukan, alat viskosimeter terlebih dahulu dipanaskan
selama 1 jam. Masing-masing lembaran contoh karet diambil 2 buah potongan uji
dengan menggunakan alat wallace punch sehingga ukuran diameternya sama
dengan ukuran diameter rotor lalu dimasukkan rotor ke contoh karet pertama yang
telah diberi lubang dengan gunting lalu dimasukkan bersama-sama ke stator bawah.
Contoh kedua diletakkan tepat di atas rotor kemudian ditutup stator atas dan setelah
tertutup stopwatch dihidupkan. Setelah tepat satu menit, dijalankan rotor. Setiap
setengah menit dilihat nilai viskositas pada alat penunjuk. Angka yang ditunjukkan
jarum mikrometer setelah menit keempat adalah nilai viskositas karet.
Nilai viskositas mooney dapat digunakan dengan menggunakan persamaan
3.2 sebagai berikut :
ML(1
+
4)'
×100
oC (3.2)
Dimana :
M = Pembacaan nilai viskositas setelah 4 menit
L = Besar rotor yang digunakan
1 = 1 menit waktu pemanasan
4 = Waktu 4 menit lamanya pengujian
100oC = Suhu pengujian
.
3.4.3. Penentuan Kadar Kotoran
Ditimbang sample sebanyak 10 gram, kemudian dimasukkan kedalam Erlenmeyer
yang telah diisi mineral terpentin sebanyak 230mL dan Curio Ts Sol 36% sebanyak
1,2 ml. Dipanaskan pada box infrared dengan suhu 255oC selama 2 jam dan selama
pemanasan diguncang beberapa kali sampai larut dengan baik. Sebelumnya saringan
ditimbang dalam keadaan kosong dan dicatat nomor saringannya. Setelah 2 jam
kemudian larutan disaring, kemudian dibilas Erlenmeyer dengan washing bottle
untuk membersihkan kotoran yang tinggal di dasar Erlenmeyer.Dikeringkan
saringan di dalam oven selama 1 jam sampai mencapai suhu kamar (100oC ) lalu
didinginkan saringan beserta kotoran. Kemudian ditimbang dan dicatat berat
saringan yang berisi kotoran kotoran.
Kadar kotoran dapat dihitung dengan persamaan 3.3 sebagai berikut :
Kadar kotoran = × 100% (3.3)
Dimana:
A = bobot saringan + kotoran
B = bobot saringan kosong
C = bobot contoh
3.4.4. Penetapan Kadar Abu
Ditimbang masing-masing 5 gram contoh karet yang telah diseragamkan lalu
dipotong-potong. Selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan platina yang telah
dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Masing-masing cawan yang berisi
karet kemudian dipindahkan di atas pembakar listrik/gas sampai tidak keluar
asap. Lalu pemijaran diteruskan di dalam tanur pada suhu 5500C selama dua jam
(sampai tidak berjelaga lagi). Didinginkan cawan yang berisi abu di dalam
desikator sampai suhu kamar selama 30 menit kemudian ditimbang.
Kadar abu dapat dihitung dengan persamaan 3.4 sebagai berikut :
Kadar Abu = × 100%
(3.4)
Dimana:
A = berat cawan platina + abu
B = berat cawan platina
C = berat contoh
3.4.5. Penentuan Kadar Karet Kering (KKK)
Ditimbang lateks untuk menentukan bobot lateks, kemudian digiling karet kering
25 kali dengan ketebalan 6,9 mm untuk membersihkan sampel dari kontaminan
seperti potongan kulit karet, lumut, daun, pasir dan sebagainya, lalu digulung hasil
gilingan dan ditimbang kembali untuk menentukan bobot karet kering.
Kadar karet kering dapat dihitung dengan persamaan 3.5 sebagai berikut :
KKK =
x 100% (3.5)
3.5 Bagan Penelitian
3.5.1 Penentuan limbah cair fermentasi tempe
Limbah Cair Tempe
Diambil limbah dari pabrik tempe
Dimasukkan ke dalam wadah
Ditutup rapat
Disaring
Limbah Tempe Residu
3.5.2. Pengambilan lateks kebun
Lateks Kebun
Diambil sebanyak 1000 mL
Disaring dengan ukuran 40 mesh
Dihomogenkan
Lateks Bersih
3.5.3. Pengambilan Asam Formiat sebagai control
Asam Formiat 67 %
Diukur sebanyak 40 ml sebagai kontrol tanpa menggunakan amonia
Diukur sebanyak 40 ml sebagai kontrol dengan menggunakan amonia
Diukur sebanyak 80 ml
Hasil
3.5.4. Pembuatan Amonia 2,5 % sebagai anti koagulan
Amonia 25 %
Diukur 50 ml
Dimasukkan kedalam labu takar 500 ml Dihomogenkan
Amonia 2,5 %
Diukur 10 ml
Hasil
3.5.5. Limbah cair fermentasi tempe digunakan sebagai penggumpal lateks
tanpa penambahan amonia
Lateks
Dimasukkan 100 mL kedalam mangkok penggumpal
Ditambahkan 20 mL limbah cair fermentasi tempe
Koagulum
Digiling dengan alat creeper sebanyak 6 kali
Creeper
Dikeringkan selama 7 hari
Karet Kering
Digiling dengan lab mill sebanyak 3 kali
Pengujian Mutu Karet Disesuaikan pada suhu 30oC
Catatan :
*Perlakuan yang sama diulang dengan variasi volume limbah tempe 40 dan 60
ml dan variasi suhu 300C; 350C; dan 400C.
3.5.6. Limbah cair fermentasi tempe digunakan sebagai penggumpal lateks
dengan penambahan amonia
Lateks
Dimasukkan 100 mL kedalam mangkok penggumpal
Ditambahkan 20 mL limbah cair fermentasi tempe
Koagulum
Digiling dengan alat creeper sebanyak 6 kali
Creeper
Dikeringkan selama 7 hari
Karet Kering
Digiling dengan lab mill sebanyak 3 kali
Pengujian Mutu Karet Disesuaikan pada suhu 30oC Ditambahkan 10 ml amonia 2,5 % Didiamkan selama 5 jam
Catatan :
*Perlakuan yang sama diulang dengan variasi volume limbah tempe 40 dan 60
ml dan variasi suhu 300C; 350C; dan 400C.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1 Hasil Pengujian Mutu Karet dalam Penetapan Nilai Plastisitas
Awal (Po) dan Plastisitas Retensi Indeks (PRI)
Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh penambahan limbah cair
fermentasi tempe terhadap lateks dengan perbandingan tanpa penambahan amonia
dan dengan penambahan amonia diperoleh nilai Plastisitas Awal (Po) dan
Plastisitas Retensi Indeks (PRI) yang di paparkan pada tabel 4.1 dan 4.2.
Tabel 4.1 Nilai Plastisitas Awal dan Plastisitas Retensi Indeks karet dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe tanpa Penambahan Amonia
Perlakuan Po Nilai
Tabel 4.2 Nilai Plastisitas Awal dan Plastisitas Retensi Indeks karet dengan
Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Penambahan
4.1.2 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan Viskositas Mooney
Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh penambahan limbah cair
fermentasi tempe terhadap lateks dengan perbandingan tanpa penambahan amonia
dan dengan penambahan amonia diperoleh nilai viskositas mooney yang di
paparkan pada tabel 4.3 dan 4.4.
Tabel 4.3 Nilai Viskositas Mooney dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe tanpa Penambahan Amonia
Perlakuan Menit Rata-rata
1.00' 1.30' 2.00' 2.30' 3.00' 3.30' 4.00'
Tabel 4.4 Nilai Viskositas Mooney dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Penambahan Amonia
Rata-4.1.3 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan Kadar Kotoran
Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh penambahan limbah cair
fermentasi tempe terhadap lateks dengan perbandingan tanpa penambahan amonia
dan dengan penambahan amonia diperoleh nilai kadar kotoran yang di paparkan
pada tabel 4.5 dan 4.6.
Tabel 4.6 Nilai Kadar Kotoran dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi
4.1.4 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan Kadar Abu
Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh penambahan limbah cair
fermentasi tempe terhadap lateks dengan perbandingan tanpa menggunakan amonia
dan menggunakan amonia diperoleh nilai kadar abu yang di paparkan pada tabel
4.7 dan 4.8
Tabel 4.7 Nilai Kadar Abu dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi
20 ml limbah cair tempe suhu 300C
5,0092 27,2171 27,2357 0,0186 0,372
40 ml limbah cair tempe suhu 300C
5,0034 27,6285 27,6482 0,0197 0,394
60 ml limbah cair tempe suhu 300C
5,0018 27,4558 27,4906 0,0348 0,695
20 ml limbah cair tempe suhu 350C
5,0096 28,9153 28,9389 0,0236 0,472
40 ml limbah cair tempe suhu 350C
5,0013 28,3379 28,3575 0,0196 0,392
60 ml limbah cair tempe suhu 350C
5,0001 28,1403 28,1810 0,0407 0,813
20 ml limbah cair tempe suhu 400C
5,0056 28,4998 28,5136 0,0138 0,276
40 ml limbah cair tempe suhu 400C
5,0038 29,9816 29,9831 0,0386 0,772
60 ml limbah cair tempe suhu 400C
5,0058 29,6246 29,6684 0,0438 0,875
Tabel 4.8 Nilai Kadar Abu dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Penambahan Amonia
20 ml limbah cair tempe suhu 300C
5,0036 28,2102 28,2169 0,0067 0,134
40 ml limbah cair tempe suhu 300C
5,0008 28,5529 28,6001 0,0236 0,472
60 ml limbah cair tempe suhu 300C
5,0076 28,3216 28,3513 0,0297 0,593
20 ml limbah cair tempe suhu 350C
5,0029 27,9328 27,9523 0,0195 0,390
40 ml limbah cair tempe suhu 350C
5,0081 27,0219 27,0577 0,0358 0,714
60 ml limbah cair tempe suhu 350C
5,0032 28,5410 28,5826 0,0416 0,832
20 ml limbah cair tempe suhu 400C
5,0037 28,5521 28,5644 0,0123 0,246
40 ml limbah cair tempe suhu 400C
5,0086 28,9174 28,9593 0,0419 0,837
60 ml limbah cair tempe suhu 400C
5,0017 27,2289 27,2739 0,0450 0,899
4.1.5 Hasil Pengujian Mutu Karet Dalam Penetapan Kadar Karet Kering
Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh penambahan limbah cair
fermentasi tempe terhadap lateks dengan perbandingan tanpa menggunakan amonia
dan menggunakan amonia diperoleh nilai kadar karet kering yang di paparkan
pada tabel 4.9 dan 4.10
Tabel 4.9 Nilai Kadar Karet Kering dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe tanpa Penambahan Amonia
Perlakuan Berat
20 ml limbah cair tempe suhu 300C
25,7172 156,6409 130,9237 36,1661 27,6238
40 ml limbah cair tempe suhu 300C
25,6523 174,9259 149,2376 36,0024 24,1242
60 ml limbah cair tempe suhu 300C
25,7475 187,4607 161,7132 35,4533 21,9237
20 ml limbah cair tempe suhu 350C
25,9300 157,1684 131,2384 37,4858 28,5631
40 ml limbah cair tempe suhu 350C
25,9833 175,9066 149,9233 37,3798 24,9326
60 ml limbah cair tempe suhu 350C
26,1581 188,3630 162,2049 35,8857 22,1237
20 ml limbah cair tempe suhu 400C
25,7135 157,5807 131,8672 37,9635 28,7892
40 ml limbah cair tempe suhu 400C
25,9384 176,0749 150,1365 37,6877 25,1023
60 ml limbah cair tempe suhu 400C
25,8632 188,2098 162,3466 37,1391 22,8764
Tabel 4.10 Nilai Kadar Karet Kering dengan Penggumpal Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan penambahan amonia
Perlakuan Berat
20 ml limbah cair tempe suhu 300C
25,7172 159,5626 133,8454 33,1370 24,7577
40 ml limbah cair tempe suhu 300C
25,6523 180,1100 154,4577 33,8499 21,9153
60 ml limbah cair tempe suhu 300C
25,7475 197,5670 171,8195 33,6451 19,5817
20 ml limbah cair tempe suhu 350C
25,9300 161,3002 135,3702 33,5382 24,7752
40 ml limbah cair tempe suhu 350C
25,9833 179,6984 153,7151 33,7363 21,9473
60 ml limbah cair tempe suhu 350C
26,1581 198,3482 172,1901 34,0281 19,7619
20 ml limbah cair tempe suhu 400C
25,7135 160,9802 135,2667 34,2845 25,3458
40 ml limbah cair tempe suhu 400C
25,9384 177,9580 152,0196 34,2816 22,5508
60 ml limbah cair tempe suhu 400C
25,8632 197,6376 171,7744 34,8219 20,2719
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaruh Variasi Limbah cair fermentasi tempe terhadap nilai
Plastisitas Awal (Po)
Penambahan limbah cair fermentasi tempe yang bervariasi dan suhu yang berbeda
dapat mempengaruhi nilai Plastisitas Awal (Po) yang digambarkan pada gambar di
bawah ini :
Gambar 4.1 Hubungan nilai Plastisitas Awal (Po) vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan penambahan Amonia
Gambar 4.2 Hubungan nilai Plastisitas Awal (Po) vs VolumeLimbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan Penambahan Amonia
Plastisitas Awal (Po) adalah plastisitas karet mentah yang langsung diuji tanpa
perlakuan khusus sebelumnya. Syarat uji minimum Po = 30 untuk semua jenis SIR.
tempe yang ditambahkan pada lateks memberikan nilai Po yang semakin rendah
dan suhu yang semakin tinggi mengakibatkan nilai Po yang juga semakin rendah.
Hal ini disebabkan karena konsentrasi senyawa anti oksidan alamiah dalam karet
semakin kecil, yang teradsorbsi ke dalam serum yang menjadikan nilai Po
menurun. Adanya lipid yang terdapat dalam lateks akan terhidrolisa menghasilkan
asam lemak bebas dan teradsorbsi ke dalam karet sehingga nilai Po menurun.
Di dalam lateks, selain hidrokarbon karet (polimer poliisoprena), terkandung juga
berbagai senyawa penting antara lain lipid dan protein. Lipid berperan sebagai
antioksidan, yakni bahan pencegah terjadinya oksidasi terhadap molekul karet.
Sedangkan protein, selain berfungsi sebagai penstabil sistem koloid lateks juga
berperan sebagai bahan yang mempercepat proses vulkanisasi pada pembuatan
barang jadi karet. Masuknya kontaminan ke dalam karet, akan merusak
bahan-bahan alami tersebut . Kontaminasi terhadap sesuatu produk diartikan sebagai
pencemaran. Dengan demikian kontaminan bisa didefinisikan sebagai zat
pencemar, karena berdampak buruk terhadap mutu (Riset, 2004).
Penambahan volume limbah cair fermentasi tempe tanpa penambahan
amonia dengan perbandingan 20:100 (v/v karet) dan suhu 30oC yang menghasilkan
nilai Plastisitas Awal yang maksimum sebesar 43. Sedangkan Penambahan volume
limbah cair fermentasi tempe dengan penambahan amonia dengan perbandingan
20:100 (v/v karet) dan suhu 30oC yang menghasilkan nilai Plastisitas Awal yang
maksimum sebesar 41.
4.2.2 Pengaruh Variasi Limbah Cair Fermentasi Tempe terhadap Nilai
Plastisitas Retensi Indeks (PRI)
Penambahan limbah cair fermentasi tempe yang bervariasi dan suhu yang berbeda
dapat mempengaruhi nilai Plastisitas Retensi Indeks (PRI) yang digambarkan pada
gambar di bawah ini :
Gambar 4.4 Hubungan nilai Plastisitas Retensi Indeks (PRI) vs VolumeLimbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan penambahan Amonia
Terjadinya reaksi oksidasi pada molekul karet dikarenakan adanya ikatan rangkap.
Oksidasi karet oleh udara (O2) terjadi pada ikatan rangkap yang akan berakhir
dengan pemutusan ikatan rangkap, sehingga rantai polimer akan semakin pendek.
Terjadinya pemutusan rantai polimer menyebabkan sifat viskositas dan PRI dan Po
karet menurun.(Ompusunggu, 1987).
Nilai PRI yang tinggi menunjukkan bahwa karet tahan terhadap oksidasi khususnya
pada suhu tinggi, sebaliknya karet dengan nilai PRI rendah akan peka terhadap
oksidasi dan pada suhu tinggi cepat lunak. Faktor utama yang mempengaruhi nilai
PRI adalah perimbangan prooksidan dan anti oksidan dalam karet (Wadah, 1991).
Kandungan ion – ion logam adalah zat pro-oksidasi yang dalam bentuk ion merupakan katalis reaksi oksidasi pada karet sehingga dalam jumlah yang melewati
batas konsentrasinya akan merusak mutu karet, sehingga oksidasi dipercepat dan
mengakibatkan nilai PRI karet menjadi rendah. Reaksi oksidasi yang menyebabkan
karet menjadi lunak. Limbah cair fermentasi tempe mengandung ion besi (Fe) yang
4.3 menunjukkan nilai PRI maksimum tanpa penambahan amonia pada
perbandingan variasi volume 20 mL dan suhu 30oC yaitu sebesar 68,216.
Sedangkan pada gambar 4.4 limbah cair fermentasi tempe dengan penambahan
amonia mengalami penurunan yaitu PRI maksimum pada perbandingan variasi
volume 20 mL dan suhu 30oC sebesar 63,415, dikarenakan adanya penambahan
amonia yang menyebabkan nilai PRI mengalami penurunan.
4.2.3 Pengaruh Variasi Limbah Cair Fermentasi Tempe terhadap Nilai
Viskositas Mooney
Penambahan limbah cair fermentasi tempe yang bervariasi dan suhu yang berbeda
dapat mempengaruhi nilai viskositas mooney yang digambarkan pada gambar di
bawah ini :
Gambar 4.5 Hubungan nilai Viskositas Mooney vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu tanpa penambahan Amonia
Gambar 4.6 Hubungan nilai Viskositas Mooney vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan menggunakan Amonia
Viskositas Mooney menunjukkan pangjangnya rantai molekul karet atau berat
molekul serta derajat pengikatan silang rantai molekulnya. Pada umumnya semakin
tinggi berat molekul (BM) hidrokarbon karet semakin panjang rantai molekul dan
semakin tinggi tahanan terhadap aliran, dengan kata lain karet nya semakin viskous
dan keras.
Apabila berat molekul tinggi maka viskositas mooney akan naik sehingga
karetmenjadi viskous dan keras sehingga energi yang dibutuhkan untuk melumat
karet sangat besar maka akan kurang menguntungkan maka hal itu tidak
dikehendaki oleh konsumen. Sebaliknya apabila viskositasnya rendah hidrokarbon
karet dengan berat molekul yang rendah membutuhkan energi yang lebih sedikit
jumlahnya, tetapi sifat fisika yang dihasilkan kurang baik.Oleh karena itu karet
alam dengan berat molekul yang medium dapat memberikan titik temu antara
energi yang hemat dengan sifat fisika yang unggul. Derajat pengikat silang rantai
molekul yang tinggi menyatakan semakin banyak reaksi ikatan silang (cross
linking reaction) yang terjadi, sehingga akan meningkatkan nilai viskositas
Penggumpalan dengan asam formiat menghasilkan nilai viskositas rendah
dibandingkan dengan cara mikrobiologi, panas maupun alami. Penggumpalan
secara alami menyebabkan nilai viskositas tinggi dan tidak seragam karena proses
penggumpalannya tidak serentak dan merata.
Pada gambar 4.5 menunjukkan bahwa nilai viskositas mooney tanpa penambahan
amonia dengan asam formiat yang lebih kecil sebesar 67,143%, sedangkan nilai
maksimum visoksitas mooney tanpa penambahan amonia pada volume 20 mL suhu
30C sebesar 79,714%. Sedangkan pada gambar 4.6 menunjukkan bahwa nilai
viskositas mooney tanpa penambahan amonia dengan asam formiat yang lebih
kecil sebesar 60,428%, sedangkan nilai maksimum visoksitas mooney tanpa
penambahan amonia pada volume 20 mL suhu 40C sebesar 80,285%. Dengan
adanya penambahan asam formiat menyebabkan nilai viskositas mooney semakin
kecil.
4.2.4 Pengaruh Variasi Limbah Cair Fermentasi Tempe terhadap Nilai Kadar
Kotoran
Penambahan limbah cair fermentasi tempe yang bervariasi dan suhu yang berbeda
dapat mempengaruhi nilai kadar kotoran yang digambarkan pada grafik di bawah
ini :
Gambar 4.7 Hubungan nilai Kadar Kotoran vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan penambahan Amonia
Gambar 4.8 Hubungan nilai Kadar Kotoran vs VolumeLimbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan penambahan Amonia
Kotoran adalah benda asing yang tidak larut dan tidak dapat melalui saringan 325
mesh. Adanya kotoran didalam karet yang relatif tinggi dapat mengurangi sifat
dinamika yang unggul darl vulkanisat karet alam antara lain kalor timbul dan
vulkanisat tipis Potongan uji untuk penetapan kadar kotoran perlu ditipiskan lagi
untuk memudahkan pelarutan. Potongan uji yang telah digiling ulang, dilarutkan
didalam pelarut yang mempunyai titik didih tinggi, disertai penambahan suatu zat
untuk memudahkan larutnya karet (rubber peptiser).
Pada gambar 4.7 menunjukkan bahwa kadar kotoran maksimum tanpa penambahan
amonia dengan perbandingan variasi volume 60 ml suhu 30C sebesar 0,129.
Sedangkan pada gambar 4.8 menunjukkan bahwa kadar kotoran maksimum dengan
penambahan amonia dengan perbandingan variasi volume 60 ml suhu 30C
sebesar 0,145. Melalui perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa semakin banyak
volume limbah cair tempe yang digunakan maka kadar kotoran semakin
meningkat. Untuk mengeluarkan zat pengotor tersebut diperlukan serangkaian
proses pengecilan dan pencucian yang banyak memerlukan air, listrik dan waktu
proses. Dengan demikian, kontaminan tidak hanya berpengaruh langsung terhadap
mutu produk, namun juga memerlukan biaya ekstrak untuk membersihkan nya.
4.2.5 Pengaruh Variasi Limbah Cair Fermentasi Tempe terhadap Nilai Kadar
Abu
Penambahan limbah cair fermentasi tempe yang bervariasi dan suhu yang berbeda
dapat mempengaruhi nilai kadar abu yang digambarkan pada grafik di bawah ini :
Gambar 4.9 Hubungan nilai Kadar Abu vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu tanpa penambahan Amonia
Gambar 4.10 Hubungan nilai Kadar Abu vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan penambahan Amonia
Kadar abu dalam karet mentah dapat mengurangi sifat-sifat dinamika yang baik
dari vulkanisasi karet alam. Didalam karet mentah terdiri dari oksida, fosfat,
karbonat, magnesium, natrium dan beberapa unsur lain dalam perbandingan yang
mentah yang dihasilkan tidak mengandung terlalu banyak zat-zat kimia anorganik
(Asmir Harun, 1984). Tingginya kadar abu dapat disebabkan beberapa faktor
seperti tanah yang mengandung kalsium tinggi, musim gugur (dimana daun akan
membusuk). Kadar abu ini dapat tinggi akibat perlakukan yang tidak dianjurkan
misalnya penggumpalan lateks dengan menggunakan ammonium sulfat
mengakibatkan kadar abu karet kering tinggi. Faktor pengolahan dapat
mempengaruhi kadar abu, dimana makin besar tinggkat pengolahan maka kadar
abu semakin rendah, misalnya lateks yang digumpalkan tanpa pengenceran
mempunyai kadar abu yang lebih tinggi dari pada dengan pengenceran. Dengan
kata lain semakin encer lateks yang digumpalkan maka semakin rendah kadar abu
karet yang diperoleh karena sebagian besar akan tercuci bersama serum
(Kartowardoyo, 1980).
Pada gambar 4.9 dan 4.10 tersebut, besarnya kadar abu dikarenakan adanya
kandungan senyawa yang terdapat dalam limbah cair fermentasi tempe. Dimana
semakin besar volume limbah cair tempe maka kadar abu semakin meningkat.
4.2.6 Pengaruh Variasi Limbah Cair Fermentasi Tempe terhadap Nilai Kadar
Karet Kering
Penambahan limbah cair fermentasi tempe yang bervariasi dan suhu yang berbeda
dapat mempengaruhi nilai kadar karet kering yang digambarkan pada grafik di
bawah ini :
Gambar 4.11. Hubungan nilai Kadar Karet Kering vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu tanpa menggunakan Amonia
Gambar 4.12. Hubungan nilai Kadar Karet Kering vs Volume Limbah Cair Fermentasi Tempe dengan Variasi Suhu dengan penambahan Amonia
Hasil penyadapan pohon karet berupa getah cair, KKK 20 – 40 %, biasanya 25 – 35 % di perkebunan besar dan 20 – 28 % di perkebunan karet rakyat. KKK tergantung pada musim,umur dan keadaan pohon, cara penyadapan dan lain lain.
Lateks kebun mutu I mempunyai KKK 28 % dan lateks kebun mutu II mempunyai
KKK 20%.
Pada gambar 4.11 KKK maksimum tanpa penambahan amonia pada volume 20
mL dan suhu 20C sebesar 28,5631 %. Sedangkan pada gambar 4.12 KKK
maksimum dengan penambahan amonia sebesar 25,3458 %. Hal ini terjadi
dikarenakan karena adanya penambahan amonia dalam limbah cair fermentasi
tempe yang bertindak sebagai anti koagulan, dimana lateks lebih lama menggumpal
dan mempengaruhi berat dari KKK tersebut.
Zat anti koagulan berupa amonia yang termasuk banyak digunakan. Apabila segala
sesuatunya dilakukan dengan benar dan cermat maka hasil yang didapat dengan
menggunakan amoniak akan memuaskan. Lateks yang akan diolah menjadi crepe
hendaknya tidak diberi amoniak secara berlebihan karena berpengaruh terhadap
warna crepe yang jadi nantinya. Dosis amoniak yang dipakai untuk mencegah
terjadinya prakoagulasi adalah 5-10 mL larutan amoniak 2,5% untuk setiap liter
lateks.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang kami lakukan, dapatlah diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa kandungan asam nitrat dalam limbah cair fermentasi tempe dapat
digunakan sebagai penggumpal lateks yang memenuhi Standar Indonesia
Rubber (SIR) yaitu SIR 20.
2. Mutu SIR dari lateks yang digumpalkan dengan limbah cair fermentasi
tempe pada volume 20 mL dan suhu 300C tanpa penambahan amonia
menghasilkan mutu karet yang memenuhi Standar Indonesia Rubber (SIR)
20.
3. Mutu SIR dari lateks yang digumpalkan dengan limbah cair fermentasi
tempe pada volume 20 mL dan suhu 300C dengan penambahan amonia
menghasilkan mutu karet yang memenuhi Standar Indonesia Rubber (SIR)
20.
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil yang diperoleh maka
disarankan kepada peneliti selanjutnya agar melakukan pengolahan terlebih
dahulu terhadap bahan penggumpal alami yang digunakan dan menambahkan
bahan pengawet pada lateks yang digunakan. Serta menggunakan uji – uji terhadap sifat fisik lain seperti kadar zat menguap, kadar nitrogen, ASHT dan
FTIR.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lateks
Tanaman karet (Hevea Brasiliensis) adalah tanaman yang tumbuh subur
padaiklimtropis. Tanaman ini dapat tumbuh subur pada temperatur rata-rata 80oF
(27oC) dan mengalami penurunan hujan tahunan sebanyak 80 inci (Blackley,
1997).
Karet alam yang berwujud cair disebut lateks. Lateks merupakan suatu
cairan yang berwarna putih atau putih kekuning-kuningan, yang terdiri atas
partikel karet dan bahan non karet yang terdispersi di dalam air (Triwiyoso,dkk.
1995).
Lateks karet alam yang diperoleh dari lateks Hevea brasiliensis
adalahberupa cairan putih seperti susu yang diperoleh dari proses penyadapan
batang pohon karet. Cairan ini mengandung 30-40% partikel-partikel hidrokarbon
karet yang terkandung di dalam serum dan mengandung partikel-partikel seperti
protein, karbohidrat dan lainnya (Ong et al,1998). Sementara itu, menurut
Goutara, et al (1985), lateks merupakan suatu sistem koloid dengan partikel karet
yang dilapisi oleh protein dan fosfolipid yang terdispersi di dalam air.
Lateks segar pada umumnya berupa cairan susu, tetapi kadang-kadang
sedikit berwarna, tergantung dari klon (varietas) tanaman karet. Lateks atau getah
karet terdapat di dalam pembuluh-pembuluh lateks yang letaknya menyebar secara
melingkar di bagian luar lapisan kambium. Lateks diperoleh dengan membuka
atau menyayat lapisan korteks. Penyayatan lapisan korteks tanaman karet dikenal
sebagai proses penyadapan, yaitu suatu tindakan membuka pembuluh lateks agar
lateks yang terdapat di dalam tanaman dapat keluar. Faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi lateks adalah penyadapan, arah dan sudut kemiringan
irisan sadap, panjang irisan sadap, letak bidang sadap, kedalaman irisan sadap,
frekuensi penyadapan dan waktu penyadapan. Lateks hasil penyadapan dikenal
dengan nama lateks kebun (Junaidi, 1996).
Lateks segar ketika baru disadap dari pohon bersifat sedikit basa atau
netral. Lateks segar dapat dengan cepat berubah menjadi asam akibat kerja
bakteri. Pembentukan asam organik menetralisasi muatan negatif pada partikel
karet dan lateks terkoagulasi secara otomotis. Akan tetapi hal ini harus dicegah,
biasanya dengan penambahan 0,7 % amoniak (Loganathan, 1998).
Telah diketahui bahwa material karet dalam aplikasinya tidak terdiri dari
komponen tunggal. Biasanya, ditambahkan satu atau lebih material dasar
(kompon) yang terdiri atas elastomer bersama dengan pemvulkanisasi, pengisi,
pemplastisasi, antioksidan, pigmen dan lain-lain. Bahan dasar yang diubah
menjadi karet pada campuran diatas terntunya adalah polimer, suatu bahan yang
memiliki massa molekul tinggi. Polimer jenis ini yang telah dikenal dan telah
lama digunakan adalah karet alam. Karet alam terdiri dari rantai linier
cis-1,4-poliisoprena yang bermassa molekul tinggi, yang terjadi secara alami sebagai
partikel koloid yang terdispersi pada lateks dari spesies tanaman tertentu. Sejauh
ini, spesies yang paling penting adalah Hevea brasiliensis. Ketertarikan yang
tinggi pada produksi karet alam terjadi pada akhir abad 19 dan awal abad 20
disebabkan perkembangan industry motor. Dari periode perang dunia I, terjadi
ketertarikan pada produksi karet sintetis sebagai alternatif karet alam. Polimer
karet tersebut dihasilkan dari polimerisasi monomer yang biasanya diperolehdari
minyak tanah (Lovell, 1997).
Faktor-Faktor yang mempengaruhi kualitas lateks yaitu :
1. Iklim
Musim hujan akan mendorong terjadinya prokogulasi, sedangkan musim
kemarau akan menyebabkan keadaan lateks tidak stabil.
2. Alat-alat yang digunakan untuk penyadapan, pengumpulan, dan pengangkutan.
Peralatan yang digunakan harus bersih untuk menjaga kualitas lateks.
3. Pengaruh pH
Pengaruh pH dapat terjadi karena adanya penambahan asam, basa ataupun
elektrolit sehingga membuat lateks tidak stabil dan menggumpal.
4. Pengaruh jasad renik
Jasad renik yang berasal dari udara maupun dari peralatan yang digunakan akan
menyerang karbohidrat terutama gula yang terdapat dalam serum lateks yang
menghasilkan asam sehingga membuat lateks menggumpal.
5. Pengaruh mekanis
Pengaruh mekanis ini dapat disebabkan oleh proses pengangkutan yang
menyebabkan guncangan-guncangan sehingga partikel akan bertubrukan satu
sama lain yang dapat menyebabkan terpecahnya lapisan pelindung, dan
mengakibatkan penggumpalan (Ompusunggu, 1987).
2.2 Komposisi Lateks
Secara fisiologis lateks merupakan sitoplasma dari sel-sel pembuluh lateks yang
mengandung partikel karet, lutoid, nukleus, mitokondria, partikel Frey Wessling,
dan ribosom. Selain partikel karet, di dalam lateks terdapat bahan-bahan bukan
karet yang berperan penting mengendalikan sifat lateks dan karetnya meskipun
dalam jumlah relatif kecil (Suparto, 2002).
Apabila lateks Hevea Brasiliensis dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 32.000
rpm selama 1 jam, maka akan terbentuk 4 (empat) fraksi :
1. Fraksi Karet
Fraksi karet terdiri dari partikel-partikel karet yang berbentuk bulat dengan
diameter 0,05 – 3 mikron (μ). Partikel karet diselubungi oleh lapisan pelindung
yang terdiri dari protein dan lipida dan berfungsi sebagai pemantap.
2. Fraksi Kuning
Fraksi ini terdiri dari partikel-partikel berwarna kuning yang mula-mula
ditemukan oleh Frey Wyssling, sehingga disebut partikel Frey Wyssling. Ukuran
partikel dan berat jenisnya lebih besar dari partikel karet dan bentuknya seperti
bola. Setelah pemusingan dilakukan, partikel Frey Wyssling biasanya terletak di
bawah partikel karet dan di atas fraksi dasar.
3. Fraksi Serum
Fraksi serum juga disebut fraksi C (centrifuge cerumi) mengandung sebagian
besar komponen bukan karet yaitu air, karbohidrat, protein, dan ion-ion logam.
4. Fraksi Dasar
Fraksi dasar biasanya terdiri dari partikel-partikel dasar. Partikel dasarmempunyai
diameter 2 - 5 mikron dan berat jenisnya lebih besar dari berat jenis karet,
sehingga pada saat pemusingan partikel-partikel dasar berkumpul di bagian bawah
atau dasar (Bhatnagar, 2004).
Komposisi lateks segar dari kebun dapat dilihat dalam tabel 2.1sebagai berikut :
Tabel 2.1 Komposisi Lateks Segar dari Kebun
Komponen Komposisi dalam
Lateks Segar (%)
Karet hidrokarbon 36
Protein 1,4
Karbohidrat 1,6
Lipida 1,6
Persenyawaan organik 0,4
Sumber: (Ompusunggu, 1987).
Komposisi lateks dalam karet kering dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut :
Tabel 2.2 Komposisi Lateks dalam Karet Kering
Komponen Komposisi dalam
Lateks Kering (%)
Karet hidrokarbon 92–94
Protein 2,5–3,5
Karbohidrat -
Lipida 2,5–3,2
Persenyawaan organik -
Persenyawaan anorganik 0,1-0,5
Air 0,3–1,0
Sumber: (Ompusunggu, 1987).
2.3 Sifat Lateks
Kualitas dan hasil produk karet alam sangat terkenal dan merupakan dasar
perbandingan yang baik untuk barang – barang karet buatan manusia.
Secara umum sifat – sifat lateks adalah sebagai berikut :
a. Sifat fisik
1. Warna setelah koagulasi putih hingga coklat.
2. Elatisitas lateks tersebut semakin bertambah setelah vulkanisasi.
3. Larut dalam benzen.
4. Tidak larut dalam air.
5. Sensitif terhadap perubahan temperatur.
6. Bila dipanaskan maka sifat fisiknya akan semakin baik.
b. Sifat kimia
1. Mudah teroksidasi oleh udara
2. Bila dibakar lateks alam akan berubah menjadi CO2 dan H2O
(Yayasan Karet, 1983).
Semua jenis karet adalah polimer tinggi dan mempunyai susunan kimia
yang berbeda dan memungkinkan untuk diubah menjadi bahan-bahan yang
bersifat elastis (rubberiness). Karet alam adalah suatu komoditi homogen yang
cukup baik. Karet alam mempunyai daya lentur yang tinggi, kekuatan tensil dan
dapat dibentuk dengan panas yang rendah. Daya tahan karet terhadap benturan,
gesekan dan koyakan sangat baik. Namun, karet alam tidak begitu tahan terhadap
faktor-faktor lingkungan, seperti oksidasi dan ozon. Karet alam juga mempunyai
daya tahan yang rendah terhadap bahan-bahan kimia seperti bensin, minyak tanah,
pelarut lemak (degreaser), pelumas sintetis, dan cairan hidrolik. Karena sifat fisik
dan daya tahannya, karet alam dipakai untuk produksi-produksi pabrik yang
membutuhkan kekuatan yang tinggi dan panas yang rendah (misalnya ban
pesawat terbang, ban truk raksasa dan ban – ban kendaraan) dan produksi –
produksi teknik lain yang memerlukan daya tahan yang sangat tinggi
(Spillane,J.J., 1989).
Sifat – sifat karet alam dapat dilihat pada tabel 2.3 sebagai berikut :
16 Ketahanan minyak/pelarut organik Rendah
17 Ketahanan abrasi Cukup
Sumber: (Studebaker, 1984).
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa karet alam mempunyai beberapa
kelebihan dibanding material lain, yaitu mempunyai kekenyalan yang tinggi
dengan kalor yang terjadi rendah, daya rekat cukup tinggi, ketahanan leleh cukup
tinggi, sangat elastis, mempunyai kekuatan tumbuk (Impact Strength) yang baik.
serta kuat tarik yang tinggi. Sedangkan kelemahan karet alam yaitu: relatif dapat
terdegradasi oleh sinar UV dan ozon karena mempunyai ikatan rangkap, serta
mudah mengalami pengembunan (swelling).
2.4 Penggumpalan Lateks
Penggumpalan lateks merupakan peristiwa perubahan sol menjadi gel. Proses
penggumpalan lateks dapat terjadi dengan sendirinya dan dapat pula karena
pengaruh dari luar seperti gaya mekanis (gesekan), listrik panas, enzim, asam,
maupun zat penarik air. Penggumpalan lateks dari luar atau disengaja untuk
mempercepat proses penggumpalan dan untuk memperoleh koagulum karet
dengan mutu yang lebih baik dengan cara yang lebih efisien dan lebih murah..
Penggumpalan lateks dilaksanakan 3-4 jam setelah penyadapan dilakukan. Untuk
memperoleh hasil karet yang bermutu tinggi, penggumpalan lateks hasil
penyadapan di kebun dan kebersihan harus diperhatikan.
Pembekuan atau koagulasi bertujuan untuk mempersatukan (merapatkan)
butir-butir karet yang terdapat dalam cairan lateks agar menjadi suatu gumpalan
atau koagulum. Perubahan lateks menjadi suatu koagulum membutuhkan bahan
pembeku (koagulan) seperti asam semut atau asam cuka. Lateks segar yang
diperoleh dari hasil penyadapan memiliki pH 6,5.
Proses penggumpalan (koagulasi) lateks terjadi karena muatan partikel
karet di dalam lateks, sehingga daya interaksi karet dengan pelindungnya menjadi
hilang. Partikel karet yang sudah bebas akan bergabung membentuk gumpalan.
Penurunan muatan dapat terjadi karena penurunan pH lateks, dengan menurunkan
pH hingga tercapai titik isoelektrik yaitu pH dimana muatan positif protein
seimbang dengan muatan negatif sehingga elektrokinetis potensial sama dengan
nol. Titik isoelektrik karet di dalam lateks kebun adalah pada pH 4,5 – 4,8
(tergantung jenis klon) (Manday, 2008).
Adapun hubungan antara pH dan muatan listrik pada lateks dapat dilihat
pada gambar 2.1 sebagai berikut :
Titik Isoelektrik
Daerah stabil
( + )
0 2 4 6 8 10
Daerah stabil
Daerah ( - )
Pembekuan
Gambar 2.1 Hubungan antara pH dan Muatan Listrik Sumber : (Manday, 2008)
Proses penggumpalan karet didalam lateks juga dapat terjadi secara
alamiah akibat aktivitas mikroba. Karbohidrat dan protein lateks menjadi sumber
energi bagi pertumbuhan mikroba dan diubah menjadi asam-asam lemak eteris
(asam formiat, asam asetat dan propionat). Semakin tinggi konsentrasi-
konsentrasi asam tersebut maka pH lateks akan semakin menurun dan setelah
tercapai titik isoelektrik karet akan menggumpal (Manday, 2008).
Kandungan protein yang terdapat dalam lateks segar berkisar antara 1,0 –
1,5 % dan sebagian dari protein tersebut teradsorbsi pada partikel karet, dan
sebagian larut dalam serum. Protein yang teradsorbsi pada permukaan partikel
karet berfungsi sebagai lapisan pelindung, dimana protein akan memberikan
muatan negatif yang mengelilingi partikel karet sehingga mencegah terjadinya
interaksi antara sesama partikel karet seperti digambarkan pada gambar 2.2.
1
Gambar 2.2. Partikel Karet dengan Lapisan Pelindung dan Molekul air
1. Partikel karet
2. Lapisan fosfolipid dan protein muatan negatif
3. Molekul air
Namun dengan adanya mikroorganisme maka protein tersebut akan terurai
sehingga lapisan pelindung partikel karet akan rusak dan terjadilah interaksi
antara partikel karet membentuk flokulasi atau gumpalan (Safitri, 2009).
Penambahan elektrolit yang bermuatan positif akan dapat menetralkan
muatan negatif, sehingga interaksi air dengan partikel karet akan rusak,
mengakibatkan karet menggumpal. Petani karet sering menggunakan tawas (Al3+)
sebagai bahan penggumpal lateks. Sifat penggumpalan lateks dengan tawas
kurang baik, karena dapat mempertinggi kadar kotoran dan kadar abu karet. Selain
itu semakin tinggi konsentrasi logam dapat mempercepat oksidasi karet oleh udara
yang menyebabkan terjadi pengusangan karet dan PRI menjadi rendah. Pada
pembuatan lump mangkok untuk bahan olah SIR 20 atau SIR 10 penggumpalan
secara alamiah sering dilakukan. Lateks dibiarkan menggumpal selama 24 jam,
kemudian besok harinya dipungut. Lump mangkok harus dideres setiap harinya,
agar variasi mutu bahan olah lump tersebut tidak terlalu besar (Manday, 2008).
Beberapa cara penggumpalan lateks dari luar antara lain:
1. Penurunan pH lateks
Penurunan pH lateks dapat dilakukan dengan penambahan larutan asam.
Asam-asam yang banyak digunakan sebagai penggumpal lateks adalah Asam-asam formiat dan
asam asetat. Pada proses ini, pH lateks diusahakan disekitar titik isoelektrik lateks
yaitu 4,4-5,3 dimana muatan positif protein seimbang dengan muatan negatif
sehingga elektrokinetis potensial sama dengan nol.
2. Penambahan larutan elektrolit
Penambahan larutan elektrolit yang mengandung logam seperti Ca2+, Mg2+, Ba2+,
K+, Al3+ kedalam lateks menyebabkan penurunan potensial listrik partikel karet
dan mengakibatkan lateks menggumpal.
3. Penambahan senyawa penarik air
Penggumpalan lateks dengan cara menarik air (dehidrasi) dilakukan dengan
menambahkan senyawa alkohol dan aseton yang dapat mengganggu lapisan
molekul air di dalam lateks. Penggumpalan dengan cara ini jarang dilakukan
karena karet yang dihasilkan memiliki mutu yang kurang baik (Ompusunggu,
1987).
2.5 Struktur Kimia Karet
Polyisoprena adalah gabungan dari unit – unit monomer hidrokarbon C5H8
(isoprene) yang membentuk rantai panjang dan jumlahnya sangat banyak. Karet
alam adalah makro molekul polyisoprenayang bergabung dengan ikatan kepala ke
ekor. Konfigurasi dari polimer ini adalah konfigurasi ”cis” dengan susunan ruang
yang teratur, sehingga rumus dari susunan karet adalah 1,4 cis polyisoprena.
Susunan ruang demikian membuat karet mempunyai sifat kenyal.
Adapun rumus bangun dari isoprena dan cis 1,4 polyisoprena dapat dilihat
pada gambar 2.1 dan gambar 2.2 sebagai berikut :
CH3
CH2 C CH CH2
Gambar 2.3 Struktur monomer Isoprena
C = C
CH3 H
CH2 CH
2
n
Gambar 2.4 Rumus bangun cis - 1,4 – Polyisoprena
Sumber: (Stevens, 2001).
”n” adalah derajat polimerisasi yaitu bilangan yang menunjukkan jumlah
monomer dalam rantai polimer. Nilai ”n” dalam karet berkisar antara 3000 – 15000. Viskositas karet berkorelasi dengan nilai ”n”. Semakin besar nilai n akan
semakin penjang rantai molekul karet menyebabkan viskositas mooney semakin
tinggi. Karet yang terlalu keras kurang disukai konsumen, karena akan
mengkonsumsi energi yang lebih besar sewaktu proses vulkanisasi pada
pembuatan barang jadi. Tetapi sebaliknya karet yang viskositas mooney-nya
terlalu rendah juga kurang disukai karena sifat tegangan putus dan perpanjangan
putus menjadi rendah. Adanya ikatan rangkap karbon ( -C=C- ) padas molekul
karet memungkinkan dapat terjadi reaksi oksidasi. Oksidasi karet oleh udara (O2)
terjadi pada ikatan rangkap molekul, sehingga viskositas mooney menurun.
Terjadinya pemutusan ikatan rangkap molekul, sehingga panjang rantai polimer
semakin pendek. Terjadinya pemutusan rantai polimer mengakibatkan sifat Po
dan PRI karet jadi rendah. Oksidasi karet oleh udara (O2) akan semakin lambat
bila kadar antioksidan alam (protein dan lipida) tinggi serta kadar ion – ion logam
dalam karet (Ca, Mg, Cu, Fe, Na, Rb dan Mn) rendah (Ompusunggu, 1987).
2.6 Tempe
Tempe adalah makanan hasil fermentasi yang sangat terkenal di Indonesia. Tempe
yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah tempe yang menggunakan
bahan baku kedelai. Fermentasi kedelai dalam proses pembuatan tempe
menyebabkan perubahan kimia maupun fisik pada biji kedelai, menjadikan tempe
lebih mudah dicerna oleh tubuh. Tempe segar tidak dapat disimpan lama, karena
tempe tahan hanya selama 2 x 24 jam, lewat masa itu, kapang tempe mati dan
selanjutnya akan tumbuh bakteri atau mikroba perombak protein, akibatnya tempe
cepat busuk ( Sarwono, 2005).
Fermentasi adalah perubahan kimia dalam bahan makanan yang
disebabkan oleh enzim dari kedelai yang mengandung enzim lipoksidase.Bahan
pangan umumnya merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan berbagai
jenis mikroorganisme (Buckle, 2007).
Selain meningkatkan mutu gizi, fermentasi kedelai menjadi tempe juga
mengubah aroma kedelai yang berbau langu menjadi aroma khas tempe. Jamur
yang berperanan dalam proses fermentasi tersebut adalah Rhizopus oligosporus.
Beberapa sifat penting dari Rhizopus oligosporus antara lain meliputi: aktivitas
enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitamin - vitamin
B, kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen, perkecambahan
spora, dan penertisi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai (Kasmidjo,
1990).
Proses fermentasi pembuatan tempe memakan waktu 36 – 48 jam. Hal ini
ditandai dengan pertumbuhan kapang yang hampir tetap dan tekstur yang lebih
kompak. Jika proses fermentasi terlalu lama, menyebabkan terjadinya kenaikan
jumlah bakteri, jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur juga menurun dan
menyebabkan degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amoniak. Akibatnya,
tempe yang dihasilkan mengalami proses pembusukan dan aromanya menjadi
tidak enak. Hal ini terjadi karena senyawa yang dipecah dalam proses fermentasi
adalah karbohidrat (Winarno, 1984).
Tempe segar mempunyai aroma lembut seperti jamur yang berasal dari
aroma miselium kapang bercampur dengan aroma lezat dari asam amino bebas
dan aroma yang ditimbulkan karena penguraian lemak makin lama fermentasi
berlangsung, aroma yang lembut berubah menjadi tajam karena terjadi pelepasan
amonia (Astawan, 2008).
Komposisi kimia dalam 100 gr tempe kedelai dapat dilihat pada tabel 2.4
sebagai berikut :
Tabel 2.4 Komposisi Kimia dalam 100 gram Tempe Kedelai
Komposisi Jumlah
Kaloro (kal) 149,00
Air (gr) 64,00
Protein kasar (gr) 18,30
Lemak (gr) 4,00
Sumber: (Direktorat Gizi Depkes RI, 1992),
2.7 Limbah cair tempe
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri
maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah), yang
kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan
karena tidak memiliki nilai ekonomis (Nisandi, 2007).
Proses produksi tempe, memerlukan banyak air yang digunakan untuk
perendaman, perebusan, pencucian serta pengupasan kulit kedelai. Limbah yang
diperoleh dari proses proses tersebut diatas dapat berupa limbah cair maupun
limbah padat. Sebagian besar limbah padat yang berasal dari kulit kedelai, kedelai
yang rusak dan mengambang pada proses pencucian serta lembaga yang lepas
pada waktu pelepasan kulit, sudah banyak yang dimanfaatkan untuk makanan
ternak. Limbah cair berupa air bekas rendaman kedelai dan air bekas rebusan
kedelai masih dibuang langsung diperairan disekitarnya (Anonim, 1989).
Jika limbah tersebut langsung dibuang keperairan maka dalam waktu yang
relatif singkat akan menimbulkan bau busuk dari gas H2S, amoniak ataupun fosfin
sebagai akibat dari terjadinya fermentasi limbah organik tersebut
(Wardoyo,1975). Adanya proses pembusukan, akan menimbulkan bau yang tidak
sedap, terutama pada musim kemarau dengan debit air yang berkurang.
Ketidakseimbangan lingkungan baik fisik, kimia maupun biologis dari perairan
yang setiap hari menerima beban limbah dari proses produksi tempe ini, akan
dapat mempengaruhi kualitas air dan kehidupan organisme di perairan tersebut .
Bahan yang terbuang dalam proses pembuatan tempe yang berasal dari
1000 gram tempe kedelai adalah sebesar 21,9 % yang terdiri dari 8 % kulit, 12,2
% larut dalam proses perebusan dan 1,7 % hilang pada proses inkubasi. Pada
proses pembuatan tempe diperlukan proses perebusan kedelai selama kurang lebih
setengah jam kemudian dilakukan perendaman kedelai selama satu malam dan
proses fermentasi selama dua hari.
Adapun bagan proses pembuatan tempe dapat dilihat pada gambar 2.3
Gambar 2.5 Bagan Proses Pembuatan Tempe ( Said dan Herlambang, 2003).
Berdasarkan bagan diatas nampak bahwa hampir disetiap tahap pembuatan
tempe menghasilkan limbah. Komposisi kedelai dan tempe yang sebagian besar
terdiri dari protein, karbohidrat dan lemak, maka dalam limbahnya dapat diduga
akan terkandung unsur unsur tersebut.
Hasil analisis kandungan limbah cair tempe dapat dilihat pada tabel 2.5
Tabel 2.5 Hasil Analisis Kandungan Limbah Cair Tempe
No. Parameter Satuan
3 TSS (TotalSuspended
Solid)
Keterangan: Tercetak tebal berarti melampaui standart Baku Mutu Limbah Cair.
Ttd berarti tidak terdeteksi (Erry Wiryani).
Berdasarkan Tabel 2.5 diatas dapat dinyatakan bahwa baik limbah cair
yang berasal dari air rebusan maupun air rendaman kedelai berpotensi untuk
mencemari lingkungan perairan disekitarnya. Suhu limbah cair yang berasal dari
rebusan kedelai mencapai 750C. Apabila setiap hari perairan memperoleh pasokan
limbah cair dengan suhu yangtinggi maka akan membahayakan kehidupan
organisme air. Suhu yang optimum untuk kehidupan dalam air adalah 25 –
300C.Air sungai yang suhunya naik akan mengganggu kehidupan hewan maupun
tanaman air karena kadar oksigen terlarut akan turun bersamaan dengan kenaikan
suhu (Wardhana, 2004).
Tumbuhan air akan terhenti pertumbuhannya pada suhu air dibawah 100C
atau diatas 400C. Terdapat hubungan timbal balik antara oksigen terlarut dengan
laju pernapasan mahkluk hidup. Meningkatnya suhu akan menyebabkan
peningkatan laju pernapasan makhluk hidup dan penurunan oksigen terlarut dalam
air. Laju penurunan oksigen terlarut (DO) yang disebabkan oleh limbah organik
akan lebih cepat karena laju peningkatan pernapasan makhluk hidup yang lebih
tinggi.
2.8 Karet SIR-20
Standar mutu karet bongkah Indonesia tercantum dalam Standar Indonesia Rubber
(SIR). SIR adalah Karet bongkah (karet remah) yang telah dikeringkan dan
dikilang menjadi bandela-bandela dengan ukuran yang telah ditentukan. Karet
SIR-20 berasal dari koagulum (lateks yang sudah digumpalkan) atau hasil olahan
seperti lum,sit angin, getah keeping sisa, yang diperoleh dari perkebunan rakyat
dengan asal bahan baku yang sama dengan koagulum. Prinsip tahapan proses
pengolahan karet SIR-20 yaitu tahapan sortasi bahan baku, tahapan pembersihan
dan pencampuran makro, tahapan peremahan pengeringan, tahapan pengempaan
bandela, dan tahapan pengemasan.
Perbedaan SIR 5, SIR 10, dan SIR 20 adalah pada standar spesifikasi mutu
kadar kotoran, kadar abu dan kadar zat menguap yang sesuai dengan Standar
Indonesia Rubber. Langkah proses pengolahan karet SIR 20 bahan baku koagulum
(lum mangkok, sleb, sit angin, getah sisa). Disortasi dan dilakukan pembersihan
dan pencampuran mikro, pengeringan gantung selama 10 hari sampai 20 hari,
peremahan, pengeringan, pengempaan bandela, (setiap bandela 33 Kg atau 35
Kg), pengemasan dan karet SIR-20 siap untuk diekspor (Ompusunggu, 1987).
2.9 Uji Mutu Karet
2.9.1. Plastisitas Awal (Po)
Plastisitas awal (Po) menggambarkan kekuatan karet. Kegagalan pemenuhan
syarat Po dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Bahan baku yang telah
mengalami degradasi akibat perlakuan yang tidak tepat seperti perendaman
didalam air, penggunaan formalin sebagai pengawet lateks kebun dan umur bahan
olah yang terlalu lama dapat menyebabkan nilai Po.
Nilai Po yang rendah juga bias disebabkan oleh adanya pengeringan suhu
yang terlalu tinggi (<1300C) dalam waktu yang lama dan pengeringan ulang karet
yang kurang matang.. Pemeraman juga dapat menyebabkan karet menjadi keras
dengan disertai peningkatan nilai viskositas atau Po, serta penurunan PRI.
Nilai Po crumb rubber juga dipengaruhi oleh karakter bahan baku yaitu lateks
kebun. Jenis bahan penggumpal berpengaruh baik terhadap nilai Po maupun
ketahanan karet terhadap pengusangan (PRI).
2.9.2. Plastisitas Retention Index (PRI)
Plasticity Retention Index (PRI) adalah cara pengujian yang sederhana dan cepat
untuk mengukur ketahanan karet terhadap degadasi oleh oksidasi pada suhu