SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
WALDAN MUFATHIR NIM: 1111048000050
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
i
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Waldan Mufathir NIM: 1111048000050
Pembimbing I Pembimbing II
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H.
NIP. 19741213 200312 1 002 NIP.
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
iv
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. viii + 92 halaman + 35 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan untuk mengetahui hak politik warga negara dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Latar belakang skripsi ini adalah pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (4). Aturan ini juga sebagai bentuk pelaksanaan hak asasi manusia secara khusus hak politik warga negara yang juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28D ayat (3). Namun Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada beberapa aturannya khusus mengenai pegaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tidak sesuai dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach) Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 pasal 20 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (4) bahwa pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur melalui pemilihan umum. Kemudian persyaratan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 pasal 18 ayat (1) huruf (c) juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28D ayat (3) bahwa setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Kata Kunci : Sultan Hemangku Buwono, Adipati Paku Alam, Gubernur, Wakil Gubernur, Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Demokrasi, Demokratis, Pemilihan Umum, Hak Politik, Ambivalensi Hukum,
Pembimbing : 1. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. 2. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H.
v
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT yang masih memberikan umur
dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“KEDUDUKAN SULTAN HAMENGKU BUWONO DAN PAKU ALAM
SEBAGAI GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA”. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, dan kepada kita selaku umatnya semoga senantiasa melaksanakan
ajarannya. Penulisan skripsi ini dalam perjalanannya banyak mendapatkan bantuan,
arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak, karena itu penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. selaku ketua Program Studi
Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, M.Hum. selaku sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H selaku
dosen pembimbing yang penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian
memberikan masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan
vi
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan
dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis.
6. Kedua orang tua tercinta dan tersayang Abi Muhamad Soleh Aceng, S.H dan
Umi Elis Hasanah atas kasih sayang, motivasi, dukungan, doa, perhatian, ilmu
pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala hal yang selalu diberikan dengan
tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang
Perguruan Tinggi Negeri Strata 1 ini. Begitu pula untuk kakak dan adik
tercinta dan tersayang, Qoriati Hikmah, Fitri Robbany, Syarah Shabrina,
Michael Jawwad Husein. Terima kasih atas segala dukungan, perhatian, dan
kasih sayang yang telah kalian berikan.
7. Teman hidup penulis, Shinta Dwiningthyas yang telah membantu, memberi
semangat, serta menemani penulis setiap waktu baik suka maupun duka.
Terima kasih atas perhatian, cinta, kasih sayang, dan waktunya yang diberikan
kepada penulis. Semoga Allah senantiasa memberkahi dan meridhai
vii
9. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum angkatan 2011 dan keluarga Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga ilmu
yang kita dapatkan bermanfaat untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun kita
berada.
10.Keluarga Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Syariah dan
Hukum Cabang Ciputat, selalu yakin atas usaha kita untuk sampai pada tujuan.
11.Keluarga Santriwan Santriwati Angkatan Tujuh Pondok Pesantren Al-Zaytun
Indonesia, khusus kepada Aesta Fajar, Halim Sulistianto, Muhammad Hidayat,
dan Ikhwan Batu Bara.
Atas bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis
berdoa semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan untuk seluruhnya. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca umumnya.
Jakarta, 26 Agustus 2015
viii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan Dan Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 8
E. Metode Penelitian ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II STATUS BUDAYA DAN STATUS PEMERINTAHAN A. Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 17
B. Teori Kekuasaan ... 21
C. Sultan Hamengku Buwono ... 29
D. Adipati Paku Alam ... 34
E. Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah ... 39
BAB III TINJAUAN UMUM HAK POLITIK WARGA NEGARA A. Hak Politik Warga Negara Dalam Konstitusi Indonesia ... 43
B. Bentuk Hak Politik Warga Negara ... 51
ix
B. Hak Politik Warga Negara Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta .... 64
C. Masa Depan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Di Tengah Negara Hukum ... 80
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ... 84
B. Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 88
1 A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yaitu
perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua tahun 2000, perubahan
ketiga tahun 2001, dan perubahan keempat tahun 2002. Dalam empat kali
perubahan itu, materi Undang-Undang Dasar 1945 yang asli telah mengalami
perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan
sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas
Undang-Undang Dasar 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi
konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai
Undang-Undang Dasar 1945.1
Dari keempat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas,
amandemen kedua pada tahun 2000 berimplikasi luas terhadap sistem
ketatanegaraan Indonesia, salah satunya mengenai pemerintahan daerah.
Amandemen ini menghasilkan rumusan baru yang mengatur pemerintahan di
daerah terutama mengenai pemilihan kepala daerah. Rumusan tersebut terdapat
dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
1
kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Frasa “dipilih secara demokratis”
memiliki makna demokratisasi menurut Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi
yang dimaksud adalah dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini merujuk
kembali pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.2
Dalam hal pemilihan kepala daerah ini, Indonesia sendiri baru memberlakukan
pemilihan kepala daerah secara langsung sejak dikeluarkannya Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No.
6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah.3
Secara umum dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung
itu lebih demokratis. Terdapat dua alasan mengapa gagasan pemilihan langsung
dianggap perlu. Pertama, untuk lebih membuka pintu bagi kepala daerah yang
sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat. Maksudnya adalah kepala daerah yang
menjabat merupakan hasil keinginan terbanyak secara langsung dari rakyat
dalam suatu daerah. Kedua, untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak
mudah dijatuhkan ditengah jalan,4 karena kepala daerah yang tidak dipilih secara
2
Sodikin, Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, (Bekasi: Gramata Publishing, 2014), h. 173.
3
Sodikin, Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, (Bekasi: Gramata Publishing, 2014), h. 178.
4
langsung tidak mendapatkan pengakuan dari rakyat dan dengan alasan itu kepala
daerah dapat diturunkan dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir.
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan proses politik yang tidak
saja merupakan mekanisme politik untuk mengisi jabatan demokratis (melalui
pemilu), tetapi juga sebuah implementasi pelaksanaan otonomi daerah atau
desentralisasi politik yang sesungguhnya.5
Pemilihan kepala daerah secara langsung dilandasi semangat yang kuat
untuk mengoreksi apa yang terjadi selama periode berlakunya Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan kata lain, semangat
dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung adalah koreksi
terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya,
dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi
demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat. Oleh karena itu, keputusan
politik untuk menyelenggarakan pilkada adalah sebuah langkah strategis dalam
rangka memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi.6 Pada
tahun 2014, tepat sejak disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sempat diatur lagi mengenai
pemilihan kepala daerah secara tidak langsung yang dipilih oleh DPRD. Namun
5
Mochamad Isnaeni Ramdan, Laporan Akhir Kompendium Pilkada, (Jakarta: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2011), h. 69.
6
dengan berbagai permasalahan dan penolakan yang terjadi di dalam masyarakat,
kemudian dikembalikan menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat
berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang kemudian dijadikan
Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota dengan aturannya pada pasal 1 ayat (1) yang secara
eksplisit menyebutkan “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut
pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan
kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”.
Selain itu pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan
implementasi pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Hak turut serta dalam pemerintahan (hak politik) yang dilindungi hukum
internasional pada Kovenan Hak Asasi Manusia mengenai Hak Sipil dan Politik
maupun hukum nasional pada Undang-Undang Dasar 1945 intinya terdiri dari
empat bagian, yakni: pertama, hak masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam
pemilihan umum; kedua, hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan
langsung atau dengan perantara wakil yang dipilihnya; ketiga, hak untuk
pemerintah baik dengan lisan maupun dengan tulisan; keempat, hak untuk duduk
dan diangkat dalam setiap jabatan publik di dalam pemerintahan.7
Disahkannya Undang-Undang No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Yogyakarta telah menghilangkan aturan-aturan yang telah dijelaskan di atas.
Karena di dalam pasal 18 ayat (1) huruf (c) Undang-Undang No.13 Tahun 2012
tertulis “Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara
Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat bertakhta sebagai Sultan
Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku
Alam untuk calon wakil Gubernur”. Kemudian Pasal 20 ayat (1) menyebutkan
“Dalam penyelenggaraan penetapan Gubernur dan Wakil Gubenur...”. Ini
berarti Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam tanpa melalui
pemilihan secara langsung oleh rakyat secara otomatis diangkat sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur. Tentunya hal ini menjadi permasalahan, karena
selain menghilangkan pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur secara
langsung oleh rakyat, juga telah meniadakan hak politik warga negara yang
seluruhnya diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Berlatar belakang dari permasalahan di atas maka penulis mengambil
inisiatif untuk meneliti lebih dalam tentang permasalahan ini yang kemudian
diberi judul “Kedudukan Sultan Hamengku Buwono Dan Adipati Paku
7
Alam Sebagai Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan mengenai permasalahan tentang Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, maka ruang lingkup permasalahan penulis
batasi hanya dilihat dari kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati
Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, pengaturan mekanisme
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Hak Politik Warga Negara di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas,
maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
b. Bagaimana hak politik warga negara dalam pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta ?
Setiap penelitian memerlukan suatu penelitian yang dapat memberikan
arah pada penelitian yang dilakukan. Berdasarkan uraian latar belakang dan
permasalahan di atas, maka disusun tujuan penelitian sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengaturan mekanisme pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
b. Untuk mengetahui hak politik warga negara dalam pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan terkait dengan
nilai guna dari penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritis
berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum,
khususnya bidang hukum tata negara.
b. Manfaat Praktis
Penulisan penelitian ini diharapkan dapat membantu jika suatu
saat dihadapkan pada kasus serupa yang berkaitan dengan
pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga
didalamnya dan menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan
masalah yang terkait dengan hal tersebut di atas.
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis menyertakan
beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi
yang akan dibahas, sebagai berikut:
Skripsi yang disusun oleh Miftahul Jannah, tahun 2014, yang berjudul
“Sistem Tata Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pasca
Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.” Skripsi tersebut menjelaskan hubungan pemerintah pusat
dan pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta setelah berlakunya
Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta.
Perbedaan skripsi penulis dengan skripsi yang disusun oleh Mifathul Jannah
terdapat pada penelitiannya. Pada skripsi Miftahul Jannah meneliti tentang
hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sedangkan penulis meneliti
pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dan hak
politik warga negara dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian yang disusun oleh Fahmi Muhammad Ahmadi, tahun 2001,
yang berjudul “Status Tanah Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”.
Penelitian ini meneliti status tanah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Perbedaan penelitian yang disusun oleh Fahmi Muhammad Ahmadi dan skripsi
penulis terdapat hal yang diteliti. Fahmi Ahmadi Muhammad meneliti tentang
status tanah, sedangkan penulis meneliti pengaturan mekanisme pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dan hak politik warga negara dalam
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
E. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum terdapat dua jenis metode
penelitian, yaitu penelitian hukum normatif atau kepustakaan dan penelitian
hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif yang diteliti
hanya bahan pustaka atau data sekunder. Sedangkan pada penelitian hukum
sosiologis atau empiris yang diteliti adalah data sekunder, untuk kemudian
dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap
masyarakat.8
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
hukum normatif yaitu suatu penelitian yang ditinjau melalui aspek hukum,
peraturan-peraturan yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau
praktek yang terjadi di lapangan. Penulis juga mencari fakta-fakta yang
8
akurat tentang peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini
dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan-bahan
lain, serta menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan penulisan skripsi ini.
Sedangkan, bila dilihat dari sifatnya adalah penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu,
atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala,9 yang dalam hal ini yaitu
memberikan data mengenai pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen atau kepustakaan (library research) yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku
yang berkaitan dengan hukum tata negara Indonesia, pemerintahan daerah,
otonomi daerah, keistimewaan daerah istimewa Yogyakarta, hak asasi
manusia, hak politik warga negara, ilmu perundang-undangan, dan
peraturan-peraturan mengenai pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus, dan juga berita
dari internet.
9
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari beberapa
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).10 Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statue approach), pendekatan kasus (case approach),
dan pendekatan historis (historical approach).
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Pendekatan perundang-undangan disini yakni Undang-Undang
Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang
No.15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang
No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Undang-Undang No.17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No.
10
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dan Kovenan Hak
Asasi Manusia mengenai Hak Sipil dan Politik.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan kasus disini yakni meneliti kasus yang terjadi di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hal mekanisme
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, dan hak politik
warga negara, juga melihat pendapat umum dari tokoh-tokoh di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Pendekatan historis ini dengan melihat kembali sejarah
keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Data dan Sumber Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data
sekunder, dan data tersier. Pada umumnya data primer mengandung data
aktual yang didapat dari penelitian lapangan dengan berkomunikasi dengan
anggota-anggota masyarakat dilokasi tempat penelitian dilakukan. Termasuk
lapangan serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
kajian studi kasus.11
Data sekunder adalah data-data yang diperoleh peneliti dari penelitian
kepustakaan dan dokumentasi yang merupakan hasil penelitian dan
pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau
dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan atau milik pribadi
peneliti.12 Ciri-ciri umum dari data sekunder adalah:
a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan
dapat dipergunakan dengan segera.
b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi
oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian tidak
mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan,
analisa, maupun konstruksi data.
c. Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.
Data sekunder antara lain mencakup dokumen resmi, buku-buku,
hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.13
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia), 1942, h. 65.
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. 3, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h. 1.
13
Data tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan atas data primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia, kamus,
website, atau sumber yang lain yang mencakup pada pokok permasalahan
materi.
5. Teknik Pengolahan Dan Analisis Data
Teknik pengolahan data dilakukan secara komprehensif tentang
kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur dikaitkan dengan pegaturan mekanisme
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, juga hak politik warga
negara di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya diteliti
dengan pendekatan yang digunakan. Teknik analisis data yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini adalah teknik analisis data sinkronisasi hukum
dan kualitatif. Teknik sinkronisasi hukum adalah dengan menghubungan
secara horisontal antara undang-undang dengan undang-undang dan secara
vertikal antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan undang-undang. Teknik
analisis kualitatif adalah bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintetiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan teknik penulisan
sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun menjadi lima bab, masing-masing bab terdiri dari
beberapa sub bab, diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan kesimpulan
serta saran-saran yang dianggap perlu. Adapun penyusunan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
BAB I. Pendahuluan. Bab ini berisi mengenai latar belakang masalah yang akan menjelaskan alasan pemilihan judul penulisan hukum. Bab ini juga memaparkan
pembatasan dan rumusan masalah yang akan diteliti, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan (review) studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika
penulisan.
BAB II. Status Budaya Dan Status Politik. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai gambaran secara lebih mendalam terhadap kajian teoritis yang akan
digunakan dalam menganalisa data pustaka yang diperoleh dari penelitian.
Dengan menjelaskan mengenai sejarah Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, teori kekuasaan, sejarah Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam,
BAB III. Tinjauan Umum Tentang Hak Politik Warga Negara. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai gambaran secara lebih mendalam terhadap kajian
teoritis yang akan digunakan dalam menganalisa data pustaka yang diperoleh
dari penelitian. Dengan menjelaskan undang-undang, dan teori-teori tentang hak
politik warga negara.
BAB IV. Ambivalensi Hukum Dalam Status Politik. Dalam bab ini berisi pembahasan dan analisa data yang berusaha dikumpulkan untuk mengkaji secara
ilmiah terhadap data yang telah dikumpul selama penelitian dilakukan, di mana
pada bab ini ditelaah dan dianalisa mengenai pengaturan mekanisme pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dan hak politik warga negara dalam
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
BAB V. Penutup. Dalam bab ini berisi mengenai kesimpulan yang dapat ditarik yang mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan perumusan masalah yang telah
ditetapkan dan saran-saran yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian dan
17
A. Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Ketika dwi-tunggal Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, status dan posisi Kesultanan Yogyakarta
adalah kerajaan merdeka. Kerajaan yang oleh kolonial Belanda diberi otoritas
penuh untuk mengurus wilayahnya sendiri. Ini berbeda dengan kerajaan lain di
Nusantara yang setelah ditaklukan Belanda langsung dihilangkan kewenangan
dan kedaulatannya. Merujuk ketentuan hukum internasional, Yogyakarta
sebenarnya memiliki hak untuk membentuk sebuah negara baru setelah tidak
adanya Belanda. Sukarno sebagai Presiden Indonesia saat itu mengerti sekali
situasi ini dan berpikir bahwa Yogyakarta bisa lepas dari kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Melalui salah seorang anggota PPKI GBPH Purboyo diperoleh informasi
bahwa Sultan tetap setia kepada Republik Indonesia. Berdasarkan informasi
tersebut dua hari setelah proklamasi tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945,
Sukarno mengirimkan surat kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku
Alam VIII yang isinya sebagai berikut:
Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia.”
“Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII Ingkang Kapi VIII, pada kedudukannya, Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia
Tetapi, surat yang kemudian dikenal sebagai Piagam Kedudukan ini ditahan
selama 18 hari, menunggu sikap Sultan dan Paku Alam, apakah akan bergabung
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau membentuk
negara baru seperti yang dipikirkan oleh Sukarno.
Tanggal 5 September 1945, setelah mendengarkan pendapat Komite
Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta (KNID) Sultan Hamengku Buwono IX
dan Paku Alam VIII (dengan isi yang sama, berbeda dalam hal subjek dan
kedudukan) mengeluarkan amanat yang menyatakan bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Isi dari amanat tersebut adalah:
memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta
Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.”1
Sukarno setuju dengan amanat tersebut, dan kemudian pada tanggal 6
September 1945 oleh Menteri Negara Sartono dan A.A Maramis piagam
kedudukan tersebut di atas disampaikan, dan inilah awal mula pengakuan
keistimewaan Yogyakarta sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.2 Sebagai pijakan hukum yang lebih kuat, Pemerintah tertanggal 4
Maret 1950, mengeluarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang kemudian mengalami dua kali
perubahan, yakni dengan Undang No. 19 Tahun 1950 dan
Undang-Undang No. 9 Tahun 1955.
Fakta sejarah ini membuktikan bahwa keistimewaan Yogyakarta,
pertama, bukan hadiah dari negara Indonesia. Kedua, sebagaimana istilah yang
digunakan pihak Keraton Yogyakarta selama ini, keistimewaan adalah ijab kabul
antara para penguasa Yogyakarta dengan para pendiri Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Berdasarkan ijab kabul ini pula kedudukan gubernur dan wakil
gubernur otomatis melekat pada Sultan dan Paku Alam yang bertakhta.3
1
Aloysius Soni BL de Rosari, Sebuah Ijab Kabul “Monarki Yogya” Inkonstitusional?,
Cet. 1, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2011), h. 62-66. 2
Atmakusumah, Tahta Untuk Rakyat, (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 64-65. 3
Aloysius Soni BL de Rosari, Sebuah Ijab Kabul “Monarki Yogya” Inkonstitusional?,
Dalam perjalanannya, perumusan regulasi mengenai keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta semakin mendesak dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur yang masih melahirkan
kontroversi karena tidak memiliki kejelasan aturan, sehingga
membutuhkan instrumen hukum baru yang jelas;
2. Pengaturan mengenai substansi keistimewaan masih belum dirumuskan
secara jelas, karena di Undang-Undang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta lebih pada label dibandingkan substansi;
3. Perkembangan politik Indonesia pada aras-aras nasional menunjukan
masih tersendat-sendatnya proses reformasi.4
Dengan alasan itu kemudian terdapat usaha-usaha untuk membuat draf
RUU terkait keistimewaan Yogyakarta. Pertama berasal dari DPRD Daerah
Istimewa Yogyakarta yang mencoba menampung aspirasi rakyatnya, kemudian
draf dari tim yang dipimpin Almarhum Afan Gaffar, draf dari Keluarga Alumni
Universitas Gadjah Mada (Kagama), dan terakhir draf tim Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada yang dipimpin oleh Cornelis
Lay.
4
Draf tim Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada
yang dipimpin oleh Cornelis Lay kemudian diajukan ke DPR tahun 2003. Setelah
melalui proses panjang dengan menuai pro-kontra dan perdebatan publik salah
satunya mengenai tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dari
berbagai pihak termasuk dari Presiden Indonesia saat itu Susilo Bambang
Yudhoyono yang menyatakan bahwa RUUK Daerah Istimewa Yogyakarta yang
diajukan tidak sesuai dengan nilai demokrasi dan arus reformasi karena masih
berdasarkan monarki absolut, akhirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) disahkan oleh
DPR dalam sidang paripurna yang diselenggarakan pada hari Kamis, 30 Agustus
2012. Berbeda dengan peraturan-peraturan sebelumnya, undang-undang yang
terdiri dari atas 16 bab dan 51 pasal ini mengatur keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta secara menyeluruh.
B. Teori Kekuasaan
Pada beberapa konsep politik, salah satu konsep yang banyak dibahas dan
dipermasalahkan adalah konsep kekuasaan. Karena politik dianggap identik
dengan kekuasaan. Hal tersebut tidak mengherankan oleh karena Machiavelli,
seorang pemikir filsafat politik dari Florence, Italia, pernah mengatakan bahwa,
“politik adalah sejumlah sarana yang dibutuhkan untuk mendapat kekuasaan,
mempertahankan kekuasaan, dan memanfaatkan kekuasaan untuk mencapai
selalu terdapat (serba hadir) dalam proses politik.5 Telah muncul begitu banyak
definisi lain sehingga beberapa ahli, seperti W. Connoly dan S. Lukes
menganggap kekuasaan sebagai suatu konsep yang dipertentangkan (a contested
concept)6 yang artinya merupakan hal yang tidak dapat dicapai suatu konsensus.
Perumusan yang umumnya dikenal ialah bahwa kekuasaan adalah kemampuan
seorang pelaku untuk memengaruhi perilaku seorang lain, sehingga perilakunya
menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Kebanyakan sarjana berpangkal tolak dari perumusan sosiolog Max
Weber yang mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam
suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami
perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini. Sarjana lain yang memiliki
pemikiran sama dengan Max Weber yakni Harold D. Laswell dan Abraham
Kaplan mendefinisikan kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau
sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke
arah tujuan dari pihak pertama.7 Definisi serupa dirumuskan oleh seorang ahli
kontemporer Barbara Goodwin bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk
mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh bersangkutan tidak
akan dipilih, seandainya tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang
5
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, Cet. 1, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 70-71. 6
Norman Barry, An Introduction to Modern Theory, Ed. 4, (London: Macmillan Press, 2000), h. 84.
7
untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.8 Menurut
Robert M. Mac Iver kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan
kelakuan orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberikan perintah,
maupun secara tidak langsung dengan jalan mempergunakan segala alat dan cara
yang ada.9
Dengan adanya beberapa penjelasan di atas, maka dikemukakan bahwa
setiap hubungan kekuasaan harus memenuhi dua persyaratan, yakni: pertama,
tindakan itu dilaksanakan baik oleh yang memengaruhi atau dipengaruhi, kedua,
terdapat kontak atau komunikasi antara keduanya baik langsung maupun tidak
langsung.
Terdapat beberapa konsep yang berkaitan erat dengan kekuasaan (power)
yaitu wewenang (authority) dan legitimasi (legitimacy atau keabsahan). Seperti
dengan konsep kekuasaan, di sini pun bermacam-macam perumusan ditemukan.
Perumusan yang mungkin paling mengenai sasaran adalah definisi yang
dikemukakan oleh Robert Bierstedt yang mengatakan bahwa wewenang
(authority) adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan).10 Hal
yang sama dikatakan oleh Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan bahwa
8
Barbara Goodwin, Using Political Ideas, Ed. 4, (England: Barbara Goodwin, 2003), h. 307.
9
Robert M. Mac Iver, The Web Goverment, (New York: The Mac Millan Company, 1947), h. 87.
10
wewenang (authority) adalah kekuasaan formal. Dianggap bahwa yang
mempunyai wewenang (authority) berhak untuk mengeluarkan perintah dan
membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan
terhadap peraturan-peraturannya.
Dalam rangka pembahasan mengenai wewenang perlu disebut
pembagiannya menurut Max Weber dalam tiga wewenang, yaitu tradisional,
kharismatik, dan rasional-legal. Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan
di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan
yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati. Wewenang
kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan
kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Wewenang rasional-legal
berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi
kedudukan seorang pemimpin.11
Selain itu menurut Charles Andrain terdapat lima sumber kewenangan
untuk memerintah, yakni : a. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber
primordial atau tradisi. Artinya kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara
terus menerus dalam masyarakat. Orang yang berkuasa menunjukan sumber
kewenangannya memerintah sebagai tradisi karena dia keturunan dari pemimpin
terdahulu; b. Hak memerintah berasal dari sumber yang dianggap suci
11
S.N Eisenstadt, Max Weber on Charisma and Institution Building, (Chicago: University Chicago Press, 1968), h. 46.
(pewahyuan). Atas dasar perwahyuan inilah seseorang atau kelompok penguasa
memerintah, dan hak memerintah yang dimilikinya dianggap bersifat sakral dan
pantas untuk diikuti; c. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber pribadi atau
berasal dari kualitas pribadi, baik penampilannya yang agung dan pribadinya
yang popular maupun karena memiliki kharisma; d. Hak memerintah berasal dari
sumber-sumber instrumental seperti keahlian dan kekayaan. Keahlian yang
dimaksud terletak pada keahlian dalam ilmu pegetahuan dan teknologi; e. Hak
memerintah masyarakat berasal dari sumber-sumber legal atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur prosedur-prosedur dan syarat-syarat
menjadi pemimpin pemerintahan. Undang-Undang Dasar 1945 misalnya tidak
hanya mengatur tugas dan kewenangan Presiden dan Wakil Presiden, tetapi juga
mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Kelima sumber kewenangan tersebut di atas (sumber primordial, sumber
yang dianggap suci, sumber pribadi, sumber instrumental, dan sumber legal
formal) dapat dikategorikan ke dalam dua tipe kewenangan utama, yaitu
kewenangan yang bersifat prosedural dan kewenangan yang bersifat substansial.
Kewenangan yang bersifat prosedural adalah hak memerintah berdasarkan
sumber-sumber legal atau peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis
maupun tidak tertulis. Sedangkan kewenangan yang bersifat substansial adalah
hak memerintah berdasarkan pada faktor-faktor yang melekat pada diri
pemimpin, seperti tradisi, sakral, kualitas pribadi, dan sumber instrumental.
digunakan cenderung bersifat prosedural. Sebaliknya, di masyarakat yang
strukturnya masih sederhana cenderung menggunakan tipe kewenangan
substansial karena kehidupan lebih banyak berdasarkan pada tradisi, kepercayaan
kepada kekuatan supranatural, dan kesetiaan pada tokoh pemimpin.12
Selanjutnya konsep legitimasi (legitimacy atau keabsahan) yang terutama
penting dalam suatu sistem politik. Keabsahan adalah keyakinan
anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok
adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran ini berdasarkan persepsi bahwa
pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah
diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dan prosedur yang sah. Sehingga, mereka yang diperintah menganggap bahwa
sudah wajar peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh
penguasa dipatuhi. Dalam hubungan ini dikatakan oleh David Easton bahwa
keabsahan adalah: “Keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah
wajarnya untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi
tuntutan-tuntutan dari rezim itu.”13
Secara sederhana ada tiga azas legitimasi yang diterima masyarakat
secara luas (legitimasi subyek kekuasaan menurut istilah dari Franz Magnis
12
Charles Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 194-197.
13
Suseno). Pertama, legitimasi religios, yang mendasarkan bahwa hak untuk
memerintah dilandasi pada faktor-faktor yang adi-kodrati. Dalam paham ini
penguasa dipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan adikodrati (ilahi,
ghaib, supranatural) sehingga ia mendapat hak ketuhanan (the devine right) untuk
menjadi pemimpin.
Kedua, legitimasi elite, legitimasi ini mendasarkan kekuasaan penguasa
pada kemampuan khusus yang dimiliki oleh aktor (individu ataupun kelompok)
untuk memerintah. Dalam konteks ini dipahami bahwa penguasa haruslah
aktor-aktor yang memiliki kualifikasi khusus atau kualifikasi yang melebihi
kualifikasi-kualifikasi aktor lainnya. Terdapat empat macam legitimasi elite yang
berkembang: a. Legitimasi aristokratis, legitimasi relatif nihil pada abad modern
sekarang. Namun secara sederhana legitimasi aristrokasi hendak mengatakan
bahwa satu golongan dalam masyarakat dianggap memiliki hak untuk berkuasa
dibandingkan dengan golongan lain karena mereka dianggap lebih unggul
daripada yang lainnya; b. Legitimasi teknoratis, kekuasaan penguasa terbangun
oleh karena terbentuknya argumen yang menyatakan bahwa dalam dunia yang
serba modern serta kompleks seperti saat ini dibutuhkan penguasa-penguasa atau
pemimpin-pemimpin yang betul-betul ahli, sehingga mampu beradaptasi dengan
perubahan yang sangat cepat. Pemimpin-pemimpin atau penguasa-penguasa yang
sangat ahli dan mampu menerima tanggungjawab tersebut termanifestasi dalam
diri para kaum teknokrat; c. Legitimasi ideologis, legitimasi ini mendasarkan
negaranya. Maksudnya, setiap warga negara harus mengakui hak istimewa yang
dimiliki oleh aktor-aktor yang mengembangkan ideologi negara untuk menjadi
penguasa, oleh karena merekalah yang mengerti betul bagaimana strategi, atau
harus dibawa ke mana negara ini mengikuti ideologi yang mereka kembangkan;
d. legitimasi pragmatis, adalah bentuk legitimasi yang menempatkan aktor-aktor
tertentu yang menganggap dirinya cocok untuk memegang kekuasaan negara dan
sanggup mengelola kekuasaan tersebut.14
Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan
sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena kedudukan
lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan
yang berdasarkan legitimasi-legitimasi di atas akan menjadi kekuasaan yang
absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah
sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam
menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan
ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.
Maka dari itulah adanya konsepsi demokrasi memberikan landasan dan
mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan
manusia.15
14
S.N Eisenstadt, Max Weber on Charisma and Institution Building, (Chicago: University Chicago Press, 1968), h. 46.
15
Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 1
C. Sultan Hamengku Buwono
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi
pemerintahan yakni kesultanan termasuk di dalamnya Kadipaten Pakualaman.
Daerah yang mempunyai asal usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman
penjajahan Hindia Belanda disebut Zelffbestrurende Landschappen. Di zaman
kemerdekaan disebut dengan nama Swapraja.16 Sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa pendiri Kesultanan Yogyakarta adalah Pangeran Mangkubumi,
terlahir sebagai Raden Mas Sujono. Dari sejarah dapat kita membuktikan bahwa
berdirinya Kesultanan Yogyakarta melewati perjuangan yang ulet dan
memerlukan waktu sekitar 9 tahun. Perjuangan ini diawali dari protes
Mangkubumi, baik kepada kakaknya sendiri, Paku Buwono II, maupun kepada
VOC. Protes ini dilatar belakangi dari sesudah Gegeran Pacina (1740-1743)
dapat diselesaikan, masih ada beberapa pemberontak yang meneruskan
perjuangan. Diantaranya adalah Raden Mas Said yang masih menguasai daerah
Sukawati (sekarang Sragen). Said terkenal sakti, karena itu tidak ada satria
Mataram yang berani menghadapinya. Kemudian Susuhunan Paku Buwono II
kemudian mengeluarkan maklumat, barang siapa yang dapat mengalahkan Said
akan diberikan tanah Sukawati.17
16
Sujanto, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1998), h. 162.
17
Satu-satunya bangsawan yang memberanikan diri untuk mengahadapi
Said adalah Mangkubumi. Setelah mendapat persetujuan raja dengan
memperoleh pusaka Kyai Plered, Mangkubumi bergerak dengan pasukannya
untuk menghadapi Said, namun pemberontak ini berhasil meloloskan diri.
Dengan demikian Mangkubumi berhak menerima hadiah tanah Sukawati yang
dijanjikan oleh raja. Bersama dengan itu datanglah ke Surakarta Gubernur
Jenderal VOC, Van Imhoff yang terkenal licik. Sama halnya dengan Pepatih
Dalem Surakarta, Pringgoloyo, ipar Susuhunan dan Mangkubumi. Pringgoloyo
digambarkan sebagai patih yang licik, selain juga pengecut (ia meninggal dengan
bunuh diri). Pringgoloyo pernah menghasut Susuhunan agar tidak menyerahkan
tanah Sukawati kepada Mangkubumi karena akan membuat iri para bangsawan
lain, juga dapat membahayakan kedudukan Susuhunan sendiri. Namun
Susuhunan tidak mengikuti nasihat patihnya, dan tetap berpegang pada prinsip
sabda pandhita ratu tan kena wola-wali (raja dan pendeta tidak boleh ingkar
janji).18
Van Imhoff yang terkena bujukan Pringgoloyo mengecam Mangkubumi
di Paseban. Van Imhoff yang memiliki kesempatan berpidato mengkritik
Mangkubumi sebagai bangsawan yang tidak tahu berterima kasih kepada
Susuhunan, karena telah menuntut hadiah. Kecaman di muka umum oleh Van
Imhoff sangat menyinggung kehormatan Mangkubumi. Oleh karena itu, pada
18
malam harinya Mangkubumi beserta para pengikutnya meninggalkan Surakarta
menuju Sukawati untuk memulai perlawanan. Sasaran Mangkubumi adalah
Susuhunan yang ingkar janji dan Belanda yang dianggap Murang Tata (kurang
ajar).19
Dengan perjuangan selama 9 tahun, baik Susuhunan Paku Buwono III
maupun VOC dipaksa untuk memberikan separuh Mataram kepada
Mangkubumi, lewat perjanjian Gianti pada tahun 1755. Dalam perjanjian itu
Mangkubumi diakui menjadi Sultan Hamengku Buwono I dengan keratonnya di
Yogyakarta. Gelarnya Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panatogomo Khalifatullah
memang masih berarti raja besar, namun dalam kenyataanya ia terikat oleh
kontrak politik antara lain mengakui kalau Kesultanan Yogyakarta adalah
kerajaan bawahan dari kerajaan Netherland, sebagai pemegang kedaulatan.
Meskipun demikian terhadap rakyat di wilayah Kesultanan, raja tetap diakui
sebagai raja Gung Binathara (raja besar).20
Adapun pembagian wilayah kerajaan tersebut menurut perjanjian Gianti
adalah, untuk wilayah negara agung, yang masing-masing di sekitar Keraton
Surakarta dan Yogyakarta. Susuhunan menerima 53.100 karya bahu atau cacah,
sedangkan Sultan menerima luas yang sama. Untuk daerah–daerah yang disebut
19
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 12.
20
mancanegara (daerah kekuasaan di luar negara agung), Sultan menerima daerah
yang sedikit lebih luas dibandingkan dengan Susuhunan karena daerah yang
diterima Sultan kurang subur. Menurut Prof Sukanto, dalam bukunya
Perdjanjian Gianti, daerah-daerah mancanegara yang masuk ke Kesunanan
Surakarta adalah : Jagaraga, Panaraga, separuh Pacitan, Kediri, Blitar, Ladaya,
Srengat, Pace (Nganjuk-Berbek), Wirasaba (Majaagung) Blora, Banyumas, dan
Kaduwang. Sedangkan daerah Sultan adalah : Madiun, Magetan, Caruban,
separuh Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Japan
(Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras Karas (Ngawen), Kedu, Sela, dan
Warung (Kuwu Wirasari), dan Grobogan.21 Pembagian daerah tersebut tidak
menguntungkan Kesunanan maupun Kesultanan, melainkan lebih
menguntungkan VOC. Dengan pembagian daerah yang terpencar, komunikasi
yang menjamin kesatuan tidak mungkin dibangun, sebaliknya perselisihan antara
Kesunanan dan Kesultanan mudah sekali ditimbulkan, seperti yang terjadi antara
daerah Panaraga (Kesunanan) dan Madiun (Kesultanan).
Kesultanan ini berturut-turut mengalami pergantian dalam perjalanannya.
Sultan Hamengku Buwono I digantikan oleh putranya Hamengku Buwono II
pada tahun 1792. Hamengku Buwono II digantikan oleh putra mahkota kedua
yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono III pada tahun 1812, Hamengku
Buwono III digantikan oleh putra mahkota ketiga yang kemudian diberi gelar
21
Hamengku Buwono IV pada tahun 1814 yang dalam pemerintahannya dibantu
wali Paku Alam I. Hamengku Buwono IV digantikan oleh putra mahkota
keempat yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono V pada tahun 1822
yang dalam pemerintahannya dibantu Dewan Perwalian salah satunya Pangeran
Diponegoro, Hamengku Buwono V karena tidak memiliki putra digantikan oleh
adiknya Pangeran Adipati Mangkubumi yang kemudian diberi gelar Hamengku
Buwono VI pada tahun 1855. Hamengku Buwono VI digantikan oleh putra
mahkota kelima yakni Gusti Pangeran Hangabehi yang merupakan putra tertua
dari selir yang diangkat menjadi parameswari yang kemudian diberi gelar
Hamengku Buwono VII pada tahun 1877, Hamengku Buwono VII digantikan
oleh putra mahkota keenam yang saat itu sedang studi di Belanda yang kemudian
diberi gelar Hamengku Buwono VIII pada tahun 1921. Hamengku Buwono VIII
digantikan oleh putra mahkota ketujuh yakni Dorojatun yang kemudian diberi
gelar Hamengku Buwono IX pada tahun 193922 dengan sejarah panjangnya
melakukan usaha-usaha mengubah birokrasi pemerintahan untuk melepaskan diri
dari kontrol penjajah dimulai pada waktu dinobatkan sebagai sultan,23 Hamengku
22
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 14-22.
23
Buwono IX digantikan oleh putra mahkota kedelapan yang kemudian diberi gelar
Hamengku Buwono X pada tahun 1988.24
Selanjutnya syarat menjadi pengganti raja harus seorang putra mahkota,
yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Pangeran Adipati Anom. Menurut
pranata praja kejawen (peraturan dalam kerajaan Jawa) yang berhak menjadi
Pangeran Adipati Anom adalah putra tertua parameswari, yang dalam bahasa
Jawa disebut garwa padmi. Namun apabila garwa padmi hanya mempunyai putri
saja, kemungkinan pertama, yang diangkat menjadi Pangeran Adipati Anom
adalah adik laki-laki Sultan yang memerintah yang dilahirkan oleh parameswari
(seibu dengan sultan). Kemungkinan kedua, mengangkat seorang selir menjadi
parameswari, sehingga putra tertuanya diangkat menjadi Pengeran Adipati
Anom. Menurut pertimbangan kelayakan berdasar pranatan, yang harus diangkat
bukan putra parameswari yang tertua, melainkan putra yang lain yang diangkat.
Contohnya adalah Sultan hamengku Buwono VII yang merupakan putra keempat
Sultan Hamengku Buwono VII yang dilahirkan oleh parameswari.25
D. Adipati Paku Alam
Kadipaten Pakualaman merupakan hadiah pemerintah Inggris pimpinan
Letnan Gubernur Raffles (1811-1815) kepada Pangeran Notokusumo, putra
24
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 23-25.
25
Hamengku Buwono I, yang kemudian bergelar Paku Alam I. Pangeran
Notokusumo berjasa kepada Inggris karena ia berusaha melunakan hati
Hamengku Buwono II, yang sebenarnya saudara se-ayah. Pendirian Pakualaman
sebenarnya merupakan situasi disintegrasi lebih lanjut bagi kerajaan Mataram.
Pada tahun 1755 lewat perjanjian Gianti yang ditanda tangani oleh Pangeran
Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I, Mataram telah terbagi dua, yaitu
Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta,26 disintegratif ini merupakan
hal yang dikehendaki oleh VOC pada saat itu, dengan tujuan agar VOC menjadi
yang terkuat. Kadipaten Pakualaman merupakan proses intergrasi dari wilayah
Kesultanan Yogyakarta yang berwilayah satu kecamatan di dalam kota
Yogyakarta dan empat kecamatan di wilayah Kulon Progo, yaitu daerah yang
bernama Kabupaten Adikarto.27
Pada abad ke-19 berbagai kerajaan yang pada hakikatnya merupakan
kesatuan politik (pusat kekuasaan) di berbagai daerah mengalami integrasi,28 dan
dilanjutkan pada abad ke-20 dengan semakin kuatnya koloni Nederlansch Indie
atau India-Belanda. Sehingga pada tahun 1813 kesultanan Yogyakarta tidak
kuasa menolak kehadiran Kadipaten Pakualaman. Lahirnya Kadipaten
Pakualaman dengan status penguasanya sebagai Pangeran Merdiko ditentukan
26
M.C Riklefs, Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, (New York-Toronto-Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1974), h. 42.
27
Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985), h. 223.
28
oleh pihak penjajah, semula Inggris dan kemudian Belanda. Dipandang dari
konsep kekuasaan Jawa, terpecahnya Mataram menjadi Kesunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta, serta Kesultanan Yogyakarta menjadi Kesultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, merupakan perkembangan atau situasi
yang tidak berkesesuaian.
Anggapan umum tentang berdirinya Kadipaten Pakualaman adalah bahwa
Kadipaten Pakualaman itu proyek penjajahan, yang ada kaitannya dengan prinsip
pecah belah dan kuasai. Akan tetapi menurut sumber Jawa, berdirinya Kadipaten
Pakualaman adalah kehendak Hamengku Buwono III, yang diindikasi merupakan
bentuk dukungan Notokusumo terhadap Hemengku Buwono III dalam
menjatuhkan Hamengku Buwono II.
Sebagai suatu kadipaten, suatu kerajaan yang kecil, Pakualaman tidak
dapat berbuat banyak untuk mengubah dirinya menjadi kerajaan yang besar.
Peluang untuk itu tidak ada, suatu hal yang sangat berbeda dengan moyangnya
dulu, Panembahan Senapati yang dapat mengubah statusnya dari kadipaten
bawahan Pajang menjadi kerajaan yang membawahkan Pajang dan banyak
daerah lain. Pemerintah Belanda tentu tidak akan membiarkan peluang itu
muncul dan dimanfaatkan oleh Pakualaman.29 Akan tetapi justru karena
29
kekecilannya, dari kalangan pura Pakualaman muncul banyak kaum terpelajar,
yang meminjam istilah Van Niel, disebut elite modern Indonesia.30
Karena mereka berasal dari keluarga raja kecil, maka dari kalangan
mereka kemudian muncul kesadaran akan perlunya pembaharuan di kalangan
masyarakat Jawa. Mereka benar-benar sadar, bahwa suasana Jawa sudah
berubah. Dengan kekecilannya, bahkan mungkin sekali para bangsawan
Pakualaman tidak akan dapat mempertahankan statusnya sebagai kaum elite.
Mereka hanya akan dapat menjalankan peranannya dalam masyarakat Jawa yang
berubah kalau mereka mengikuti perubahan zaman. Bagi mereka mengikuti
perkembangan modern adalah suatu hal yang mutlak. Intelektualisasi keluarga
Pakualaman dimulai pada masa Sri Paku Alam V (1878-1900).31 Oleh karena itu
tidak mustahil kalau dari kalangan putra atau keluarga Pakualaman muncul
tokoh-tokoh awal pergerakan kebangsaan seperti Kusumoyudo, Notosuroto,
Notodiningrat (Wreksodiningrat), Suryapranata, dan yang paling terkenal,
Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Kedua tokoh terakhir sanggup
menggocangkan pemerintah kolonial; Suryapranata lewat SI dan Sarekat Buruh
yang dipimpinnya, sedangkan Suwardi Suryaningrat lewat Indische Partij,
Komite Bumi Putera dan Tamansiswa yang digerakannya. Dari keterangan di
atas nyatalah bahwa nasionalisme adalah paham yang telah “menjangkiti”
30
R Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 30. 31
keluarga Pakualaman. Modernisasi yang diselenggarakan atau diikuti oleh
Kadipaten Pakualaman dan Keluarga Pakualaman, serta partisipasi bangsawan
Pakualaman merupakan sumbangan bagi proses integrasi bangsa.
Di Kadipaten Pakualaman kepala kadipaten disebut sebagai Paku Alam.
Pemakaian nama Paku Alam dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari
harapan untuk melepaskan diri dari ikatan penjajah. Pemberian nama Paku Alam
untuk kepala Kadipaten Pakualaman haruslah seizin atau dengan keputusan dari
Gubernur Jendral.32 Gelar itu diberikan kepada kepala Kadipaten Pakualaman
jika sudah berumur 40 tahun. Sebelum berusia 40 tahun mereka bergelar Suryo
Sasraningrat, atau sejak Paku Alam V, Suryodilogo. Akan tetapi kepala
Kadipaten Pakualaman yang sekarang menggunakan nama Paku Alam VIII pada
usia 32 tahun (4 windu), pada saat Belanda sudah dikalahkan dan Indonesia
diduduki oleh Jepang.
Pada zaman Jepang nasionalisme Indonesia memasuki fase pematangan.
Masa penindasan dan pemerasan pada zaman Jepang begitu mencekam, sehingga
rasa senasib dan sepenangguhan di kalangan rakyat Indonesia begitu kuat
mendorong lajunya proses penyatuan bangsa (nation building). Wawasan
kedaerahan sudah begitu jauh tersingkir, dibarengi dengan merasuknya semangat
kebangsaan di seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali Sri Paduka Alam VIII
dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Baik Sri Paku Alam VIII maupun Sri
32
Sultan Hamengku Buwono IX tidak lagi berwawasan sempit, terbatas pada
kerajaan masing-masing, melainkan sudah berwawasan Indonesia. Mereka tidak
lagi berjuang untuk memulihkan kejayaan masing-masing, melainkan untuk
kejayaan seluruh Indonesia. Dalam bahasa konsep kekuasaan Jawa, mereka
berjuang bukan lagi untuk keagungbinateraan kerajaan Jawa atau diri mereka
masing-masing, melainkan telah beralih untuk negara kebangsaan Indonesia,
yang berkedaulatan rakyat.33 Dengan alasan itu Sri Paduka Alam VIII
“mengembalikan” Kadipaten Pakualaman kepada “induknya”, Kesultanan
Yogyakarta. Sri Paduka Alam VIII sangat sadar apalah artinya Kadipaten
Pakualaman dengan empat kecamatan di Kulon Progo dan satu kecamatan di
dalam kota untuk memainkan peranan yang berarti jika sendiri. Oleh karena itu
sejak Jepang berkuasa Sri Paku Alam bergabung dengan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX berkantor di Kepatihan.
E. Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah
Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Otonomi daerah dimaksudkan untuk lebih
menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
33
keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.34
Pelaksanaan otonomi daerah ini dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang
terdiri dari kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pada tingkat daerah provinsi
disebut sebagai Gubernur dan Wakil Gubenur, dan pada tingkat daerah
kabupaten/kota disebut bupati atau wali kota dan wakil bupati atau wakil wali
kota.35
Kepala daerah sesuai dengan Pasal 65 Undang-Undang No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai tugas dan wewenang sebagai
berikut : mempimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan derah berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD, memelihara ketentraman dan ketertiban
masyarakat, menyusun dan mengajukan rancangan perda tentang RPJPD dan
rancangan peraturan daerah (Perda) tentang RPJMD kepada DPRD untuk
dibahas bersama DPRD serta menyusun dan menetapka RKPD, menyusun dan
mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan
APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
kepada DPRD untuk dibahas bersama, mewakili daerahnya di dalam dan di luar
pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, mengusulkan pengangkatan wakil
34
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 36.
35
kepala daerah, dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut kepala daerah
memiliki wewenang mengajukan rancangan Perda, menetapkan Perda yang telah
mendapat persetujuan bersama DPRD, menetapkan Perkada dan keputusan
Kepala Daerah, mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang
sangat dibutuhkan oleh daerah/atau masyarakat, melaksanakan wewenang lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya pada Pasal 66 wakil kepala daerah mempunyai tugas
membantu kepala daerah dalam memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah, mengoordinasikan kegiatan perangkat daerah
dan menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat
pengawasan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemeritahan daerah
dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi bagi wakil gubernur, memantau dan
mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh perangkat
daerah kebupaten/kota,kelurahan, dan /atau desa bagi wakil bupaten/wali kota,
meberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah, melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila
kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara, dan
melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia